Anda di halaman 1dari 14

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dalam Undang-Undang Cipta Kerja

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Artinya harus adanya hal/alasan tertentu yang mendasari pengakhiran
hubungan kerja ini. Dalam aturan perburuhan,atau ketenagakerjaan alasan yang mendasari
PHK dapat ditemukan dalam pasal 154A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU 13/2003) jo. Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
dan peraturan pelaksananya yakni pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja Namun dengan perubahan UU No 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dimana
implikasi perubahan tersebut terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK yang
diatur dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah metode PHK,
dimana dahulu PHK memerlukan ijin dari Pengadilan Hubungan Industrial. Namun dalam
UU Cipta Kerja mekanisme PHK ijin dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tidak dibutuhkan lagi.

Ketentuan dalam aturan perburuhan atau ketenagakerjaan Nasional pada prinsipnya


mengenai PHK menyatakan bahwa berbagai pihak dalam hal ini pengusaha, pekerja, serikat
pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK (pasal 151 ayat (1) UU
13 tahun 2003 jo. pasal 37 ayat (1) PP 35 tahun 2021). Lebih lanjut PP 35 tahun 2021 pada
Bab V, khusus mengatur pemutusan hubungan kerja, dengan rincian:

1. Pasal 36 mengenai berbagai alasan yang mendasari terjadinya PHK. Alasan PHK
mendasari ditentukannya penghitungan hak akibat PHK yang bisa didapatkan oleh
pekerja.
2. Pasal 37 sampai dengan Pasal 39 mengenai Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja
sejak tahap pemberitahuan PHK disampaikan hingga proses PHK di dalam
perusahaan dijalankan. Lebih lanjut bila PHK tidak mencapai kesepakatan tahap
berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 40 sampai dengan Pasal 59 mengenai Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja
yakni berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak,
dan uang pisah. Penghitungannya berdasarkan alasan/dasar dijatuhkannya PHK.

Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai PHK , kita mengetahui terlebih dahulu tentang
hal-hal yang menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja. Menurut pasal 61 UU 13 tahun
2003 jo. UU 11/2021 perjanjian kerja dapat berakhir, atau artinya hubungan kerja berakhir,
apabila:

1. Pekerja meninggal dunia


2. Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
3. Selesainya suatu pekerjaan tertentu
4. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.

Lebih lanjut pasal 154A ayat (1) UU 13 tahun 2003 jo. UU 11 tahun 2021 dan pasal 36 PP 35
tahun 2021 juga mengatur berbagai alasan PHK dapat dilakukan atau diperbolehkan baik
disebabkan karena kondisi tertentu dari perusahaan, PHK karena peristiwa yang timbul dari
pekerja/buruh, PHK yang dilakukan oleh Pengusaha dan PHK karena putusan Pengadilan

Pemutusan Hubungan Kerja secara umum dapat terjadi karena alasan:

a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan


Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha
tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;

b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan Perusahaan atau tidak diikuti
dengan penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;

c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun;

d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure);

e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

f. Perusahaan pailit;
g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh
dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/Buruh;


2. membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut- turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu
sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh;
5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
Perjanjian Kerja;

h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan


Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap
permohonan yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;

i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30


(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;

j. Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis;

k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja,


Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan
pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;

m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;

n. Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; atau

o. Pekerja/Buruh meninggal dunia.

Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan pemerintah harus


mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Namun jika Pemutusan
Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja
diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh
di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh yang bersangkutan merupakan anggota dari
Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dibuat dalam
bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada
Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum Pemutusan Hubungan Kerja. Surat pemberitahuan memuat antara lain ;

1. maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja,


2. konpensasi Pemutusan Hubungan Kerja
3. hak lainya bagi pekerja/buruh yang timbul akibat PHK.

Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan dalam masa percobaan, surat
pemberitahuan disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Pemutusan Hubungan
Kerja. Kemudian Dalam hal Pekerja/Buruh telah mendapatkan surat pemberitahuan dan tidak
menolak Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha harus melaporkan Pemutusan Hubungan
Kerja kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.

Namun bilamana Pekerja/Buruh yang telah mendapatkan surat pemberitahuan


Pemutusan Hubungan Kerja dan menyatakan menolak, harus membuat surat penolakan
disertai alasan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat pemberitahuan. Jika
terjadi perbedaan pendapat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan
Hubungan Kerja harus dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan
Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh guna mencari solusi terbaik sebelum
terjadinya PHK. Kemudian bilamana perundingan yang dilakukansecara secara bipartite
tersebut tidak mencapai kesepakatan, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja tahap
berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemutusan Hubungan Kerja yang Dilakukan Pengusaha

UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja banyak memberi kemudahan bagi dunia
usaha untuk menjalankan kegiatannya, termasuk dalam bidang hubungan industrial.
Misalnya, dalam perubahan Pasal 151 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
melalui UU Cipta Kerja membolehkan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) tanpa didahului oleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). UU Cipta Kerja mengatur dalam hal
PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada
buruh dan/atau serikat buruh. Sebelumnya dalam Pasal 151 UU Ketenagakerjaan mengatur
jika semua upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka PHK wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat buruh atau dengan buruh bila buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat buruh. Jika perundingan itu tidak menghasilkan
persetujuan (kesepakatan), pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

melalui UU Cipta Kerja pemerintah memberi kemudahan bagi pelaku usaha untuk
melakukan PHK. Dengan surat pemberitahuan itu, berarti pengusaha dapat melakukan PHK
tanpa melakukan perundingan terlebih dulu dengan serikat buruh atau buruh yang
bersangkutan. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK)
menyebutkan pemberitahuan PHK itu dibuat dalam bentuk surat dan disampaikan secara sah
dan patut oleh pengusaha kepada buruh dan/atau serikat buruh paling lama 14 hari kerja
sebelum PHK. Untuk buruh dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling
lama 7 hari kerja sebelum PHK. Setelah buruh menerima pemberitahuan itu dan tidak
menolak PHK, pengusaha harus melaporkan PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan
dan/atau dinas ketenagakerjaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bagi buruh yang
menolak PHK itu harus membuat surat penolakan lengkap dengan alasannya paling lama 7
hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan itu. Perundingan bipartit dilakukan untuk
menyelesaikan perselisihan PHK ini. Jika bipartit tidak mencapai kesepakatan, proses
selanjutnya mengikuti mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai
aturan.

Dengan berlakunya UU Cipta Kerja PHK tidak perlu lagi didahului penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha hanya perlu
memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada buruh. Perundingan baru bisa dilakukan
jika buruh menolak PHK,” Namun , pemberitahuan PHK oleh pengusaha itu tidak diperlukan
untuk 4 hal.

1. Pertama, buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri.


2. Kedua, PHK karena berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
3. Ketiga, mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan
(PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). Keempat, buruh meninggal dunia.

Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri sebagai salah satu alasan PHK yang
diperbolehkan, dengan ketentuan pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus
memenuhi syarat :

a. Pekerja mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya


30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
b. Pekerja tidak sedang berada dalam ikatan dinas.
c. Pekerja tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Berdasarkan ketentuan di atas, bila pekerja telah memenuhi persyaratan, selanjutnya


perusahaan harus menerima pengunduran diri tersebut, menyelesaikan proses pengakhiran
hubungan kerja dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal mulai pengunduran
diri, serta memenuhi kompensasi pekerja yang mengundurkan diri yakni: uang penggantian
hak yang diatur dalam pasal 40 ayat (4) PP 35 tahun 2021 dan uang pisah yang besarannya
diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (pasal 50
PP 3 tahun/2021.

Alasan-alasa PHK Yang Dilakukan Oleh Pengusaha ;

1) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh


karena alasan pengambilalihan Perusahaan
2) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan Perusahaan
mengalami kerugian
3) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian
4) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Perusahaan tutup yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian
secara terus menerus selama 2 (dua) tahun atau mengalami kerugian tidak secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun
5) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Perusahaan tutup yang disebabkan bukan karena Perusahaan mengalami
kerugian
6) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure)
7) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan keadaan memaksa (force majeure) yang tidak mengakibatkan
Perusahaan tutup
8) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian
9) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
bukan karena Perusahaan mengalami kerugian
10) Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan Perusahaan pailit
11) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
12) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-
turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis
13) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan
sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut
14) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur
dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama
15) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan
akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf l yang menyebabkan kerugian
Perusahaan
16) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan
akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
17) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12
(dua belas) bulan
18) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun

Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian
Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap
Pekerja/Buruh, sebagaimana di sebutkan pada angka 14 diatas misalnya dalam hal:

a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan ; barang dan/atau uang


milik perusahaan
b. memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan
Perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
Pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
Perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Hak-Hak Pekerja/Buruh Akibat Pemutusan Hubungan Kerja

Jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang


pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima. Uang pesangon sebagaimana dimaksud diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;


b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
Upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
Upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan Upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
Upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan Upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan Upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan Upah; dan
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.

Uang penghargaan masa kerja diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:


a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan
Upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan Upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan Upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5
(lima) bulan Upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, 6 (enam) bulan Upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh
empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah; dan masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun
atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;


b. biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana
Pekerja/Buruh diterima bekerja; dan
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama.

Khusus bagi Pengusaha dan pelaku usaha yang bergerak pada usaha mikro dan kecil
wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak
dan/atau uang pisah bagi Pekerja/Buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dengan
besaran ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha pada usaha mikro dan kecil
dengan Pekerja/Buruh sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 59 PP No 35 tahun 2021.

Standar Perburuhan Internasional Mengatur Tentang PHK

Instrumen hukum perburuhan internasional juga mengakui perlindungan dari PHK


yang sewenang-wenang. Konvensi ILO No. 158 tahun 1982 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja, menyebutkan hal-hal yang harus diperhatikan pada tindakan PHK, yakni:
Pada dasarnya mengenai PHK harus dilakukan sehati-hati mungkin karena keputusan PHK
terhadap pekerja berpengaruh pada anggota keluarga (yang menjadi tanggungan pekerja).
Oleh karena efek sosial PHK berdampak sangat luas bagi kehidupan pekerja dan
keluarganya, maka diperlukan prinsip kehati-hatian.

Seorang pekerja tidak dapat diputus hubungan kerjanya kecuali ada alasan yang sah
untuk pemutusan tersebut dan diatur dalam perundang-undangan masing-masing Negara.
Selain itu masing-masing Negara harus mengatur pula aturan PHK yang mencakup prosedur
dalam melakukan PHK, alasan PHK, dan kompensasi yang berhak diterima pekerja menurut
jenis alasan PHK yang dijatuhkan. Berikut akan di uraikan secara singkat subtansi konvensi
ILO No 152 tahun 1982 ;

Pekerjaan seorang pekerja tidak akan diputus kecuali ada alasan yang sah untuk
pemutusan tersebut terkait dengan kapasitas atau perilaku pekerja atau berdasarkan
persyaratan operasional bidang usaha, perusahaan atau jasa. ( pasal 4. K- ILO n o 152 tahun
1982 ). Selanjutnya Pasal 5, menguraikan tentang alasan PHK yang tidak diperbolehkan jika
dilakukan oleh Pemberi Kerja ( pengusaha, perusahaan ). Berikut ini, antara lain, tidak akan
menjadi alasan yang sah untuk Pemutusan Hubungan Kerja;
1. Keikutsertaan pada keanggotaan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam kegiatan-
kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja atau, dengan persetujuan pengusaha, di
dalam jam kerja;
2. memegang jabatan sebagai, atau bertindak atau telah bertindak dalam kapasitas
sebagai,
3. perwakilan pekerja;
4. Mengajukan keluhan atau keikutsertaan dalam pengajuan gugatan terhadap seorang
pengusaha yang menyangkut dugaan pelanggaran undang-undang atau peraturan atau
memanfaatkan otoritas administratif yang berwenang;
5. Diskriminasi terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, tanggung
jawab keluarga, kehamilan, agama, pendapat politik, kebangsaan atau asal sosial;
6. ketidakhadiran kerja selama cuti melahirkan.
7. (d) Ketidakhadiran kerja sementara karena sakit atau cedera tidak akan menjadi alasan
yang sah untuk pemutusan Hubungan Kerja ( pasal 6. K- ILO No.152 tahun 1982 )
8. Pekerjaan seorang pekerja tidak akan diputus karena alasan-alasan terkait sikap atau
kinerja pekerja sebelum dia diberikan kesempatan untuk membela diri terhadap
tuduhan yang dibuat, kecuali pengusaha tidak dapat secara wajar diharapkan akan
memberikan kesempatan ini. (pasal 7. K- ILO 152 tahun 1982)

Prosedur Banding Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja


Pasal 8. K- ILO No 152 tahun 1982 menyatakan ;
a) Seorang pekerja yang menganggap bahwa pekerjaannya telah diputus secara tidak sah
akan berhak untuk mengajukan banding atas pemutusan tersebut kepada sebuah badan
yang netral, misalnya pengadilan, pengadilan tenaga kerja, komite arbitrase atau
arbitrer.
b) Bila Pemutusan Hubungan Kerja telah disahkan oleh sebuah otoritas berwenang,
pemberlakuan paragraph 1 Pasal ini dapat bervariasi sesuai undang-undang dan
praktik nasional masing-masing.
c) Seorang pekerja dapat dianggap telah melepaskan haknya atas banding terhadap
pemutusan hubungan kerja jika dia tidak menggunakan hak tersebut dalam suatu
jangka waktu yang wajar setelah Pemutusan Hubungan Kerja.
Badan atau lembaga sebagaimana dimaksud di Pasal 8 Konvensi ini akan diberi wewenang
untuk mengkaji alasan yang diberikan atas pemutusan dan keadaan-keadaan lain yang
berkaitan dengan kasus tersebut dan untuk membuat sebuah keputusan tentang apakah
pemutusan tersebut bisa dibenarkan. Agar pekerja tidak menanggung sendiri beban
membuktikan bahwa pemutusan itu tidak sah, metode pemberlakuan sebagaimana dimaksud
di Pasal 1 Konvensi ini harus menetapkan salah satu atau kedua kemungkinan berikut:
a) beban membuktikan adanya alasan yang sah atas Pemutusan Hubungan Kerja
sebagaimana dimaksud di Pasal 4 Konvensi ini akan berada pada pengusaha;
b) badan sebagaimana dimaksud harus diberi wewenang untuk mencapai kesimpulan
tentang alasan pemutusan setelah memperhatikan bukti yang diberikan oleh pihak-
pihak terkait dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang dan
praktik nasional.
Dalam kasus Pemutusan Hubungan Kerja yang dinyatakan karena alasan berdasarkan
persyaratan operasional bidangusaha, perusahaan atau jasa, badan-badan sebagaimana
dimaksud di Pasal 8 Konvensi ini harus diberi wewenang untuk menentukan apakah
pemutusan itu benar-benar karena alasan-alasan ini, tetapi sejauh mana mereka juga diberi
wewenang untuk memutuskan apakah alasan-alasan ini cukup untuk membenarkan
pemutusan itu akan ditentukan oleh metode pemberlakuan sebagaimana dimaksud di Pasal 1
Konvensi ini.
Kemudian dalam Pasal 10 menyebutkan Jika badan-badan atau lembaga
sebagaimana dimaksud di Pasal 8 Konvensi ini menemukan Pemutusan Hubungan Kerja itu
tidak sah dan jika badan-badan tersebut tidak diberi wewenang atau merasa tidak bisa
melakukan, sesuai dengan undang-undang dan praktik nasional, untuk menyatakan
pemutusan tersebut tidak sah dan/ atau memerintahkan atau mengusulkan penerimaan
kembali pekerja tersebut, badan-badan tersebut akan diberi wewenang untuk memerintahkan
pembayaran kompensasi yang memadai atau bantuan serupa lainnya yang mungkin dianggap
tepat.

Hak-Hak Pekerja yang di PHK


Seorang pekerja yang pekerjaannya akan diputus berhak atas masa pemberitahuan
yang wajar atau kompensasi sebagai pengganti, kecuali dia dinyatakan bersalah atas
kesalahan serius, yaitu, kesalahan bersifat demikian yang akan tidak lazim untuk menuntut
pengusaha untuk melanjutkan pekerjaannya selama masa pemberitahuan. ( pasal 11. K- ILO
152 tahun 1982 ). Dalam pasal 12 K- ILO no 152 tahun 1982 disebutkan hak-hak
pekerja/buruh yang di PHK Diantaranya ;
1. Seorang pekerja yang pekerjaannya telah diputus berhak, sesuai dengan undang-undang
dan
praktik nasional, atas;
a) pesangon atau tunjangan pemisahan lainnya, jumlah yang harus didasarkan antara lain
pada
b) masa kerja dan tingkat upah, dan dibayarkan langsung oleh pengusaha atau oleh dana
yang dibentuk oleh iuran pengusaha; atau tunjangan dari asuransi pengangguran atau
bantuan atau bentuk jaminan sosial lain, seperti tunjangan hari tua atau kecacatan, di
bawah kondisi normal yang tunjangan tersebut berlaku atasnya; atau
c) kombinasi pesangon dan tunjangan semacam itu.
2. Seorang pekerja yang tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan asuransi
pengangguran atau bantuan di bawah skema yang berlingkup umum tidak perlu dibayar
dengan pesangon atau tunjangan sebagaimana dimaksud di paragraf 1, subparagraf (a), Pasal
ini semata-mata karena dia tidak menerima tunjangan pengangguran berdasarkan paragraf 1,
subparagraf (b).
3. Ketentuan mungkin dibuat oleh metode pemberlakuan sebagaimana dimaksud di Pasal 1
Konvensi ini atas hilangnya hak atas pesangon atau tunjangan sebagaimana dimaksud di
paragraf 1, subparagraf (a), Pasal ini bila terjadi pemutusan karena kesalahan serius.

Anda mungkin juga menyukai