Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Artinya harus adanya hal/alasan tertentu yang mendasari pengakhiran
hubungan kerja ini. Dalam aturan perburuhan,atau ketenagakerjaan alasan yang mendasari
PHK dapat ditemukan dalam pasal 154A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU 13/2003) jo. Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
dan peraturan pelaksananya yakni pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja Namun dengan perubahan UU No 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dimana
implikasi perubahan tersebut terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK yang
diatur dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah metode PHK,
dimana dahulu PHK memerlukan ijin dari Pengadilan Hubungan Industrial. Namun dalam
UU Cipta Kerja mekanisme PHK ijin dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tidak dibutuhkan lagi.
1. Pasal 36 mengenai berbagai alasan yang mendasari terjadinya PHK. Alasan PHK
mendasari ditentukannya penghitungan hak akibat PHK yang bisa didapatkan oleh
pekerja.
2. Pasal 37 sampai dengan Pasal 39 mengenai Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja
sejak tahap pemberitahuan PHK disampaikan hingga proses PHK di dalam
perusahaan dijalankan. Lebih lanjut bila PHK tidak mencapai kesepakatan tahap
berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 40 sampai dengan Pasal 59 mengenai Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja
yakni berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak,
dan uang pisah. Penghitungannya berdasarkan alasan/dasar dijatuhkannya PHK.
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai PHK , kita mengetahui terlebih dahulu tentang
hal-hal yang menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja. Menurut pasal 61 UU 13 tahun
2003 jo. UU 11/2021 perjanjian kerja dapat berakhir, atau artinya hubungan kerja berakhir,
apabila:
Lebih lanjut pasal 154A ayat (1) UU 13 tahun 2003 jo. UU 11 tahun 2021 dan pasal 36 PP 35
tahun 2021 juga mengatur berbagai alasan PHK dapat dilakukan atau diperbolehkan baik
disebabkan karena kondisi tertentu dari perusahaan, PHK karena peristiwa yang timbul dari
pekerja/buruh, PHK yang dilakukan oleh Pengusaha dan PHK karena putusan Pengadilan
b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan Perusahaan atau tidak diikuti
dengan penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun;
f. Perusahaan pailit;
g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh
dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
j. Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis;
m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan dalam masa percobaan, surat
pemberitahuan disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Pemutusan Hubungan
Kerja. Kemudian Dalam hal Pekerja/Buruh telah mendapatkan surat pemberitahuan dan tidak
menolak Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha harus melaporkan Pemutusan Hubungan
Kerja kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja banyak memberi kemudahan bagi dunia
usaha untuk menjalankan kegiatannya, termasuk dalam bidang hubungan industrial.
Misalnya, dalam perubahan Pasal 151 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
melalui UU Cipta Kerja membolehkan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) tanpa didahului oleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). UU Cipta Kerja mengatur dalam hal
PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada
buruh dan/atau serikat buruh. Sebelumnya dalam Pasal 151 UU Ketenagakerjaan mengatur
jika semua upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka PHK wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat buruh atau dengan buruh bila buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat buruh. Jika perundingan itu tidak menghasilkan
persetujuan (kesepakatan), pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
melalui UU Cipta Kerja pemerintah memberi kemudahan bagi pelaku usaha untuk
melakukan PHK. Dengan surat pemberitahuan itu, berarti pengusaha dapat melakukan PHK
tanpa melakukan perundingan terlebih dulu dengan serikat buruh atau buruh yang
bersangkutan. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK)
menyebutkan pemberitahuan PHK itu dibuat dalam bentuk surat dan disampaikan secara sah
dan patut oleh pengusaha kepada buruh dan/atau serikat buruh paling lama 14 hari kerja
sebelum PHK. Untuk buruh dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling
lama 7 hari kerja sebelum PHK. Setelah buruh menerima pemberitahuan itu dan tidak
menolak PHK, pengusaha harus melaporkan PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan
dan/atau dinas ketenagakerjaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bagi buruh yang
menolak PHK itu harus membuat surat penolakan lengkap dengan alasannya paling lama 7
hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan itu. Perundingan bipartit dilakukan untuk
menyelesaikan perselisihan PHK ini. Jika bipartit tidak mencapai kesepakatan, proses
selanjutnya mengikuti mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai
aturan.
Dengan berlakunya UU Cipta Kerja PHK tidak perlu lagi didahului penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha hanya perlu
memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada buruh. Perundingan baru bisa dilakukan
jika buruh menolak PHK,” Namun , pemberitahuan PHK oleh pengusaha itu tidak diperlukan
untuk 4 hal.
Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri sebagai salah satu alasan PHK yang
diperbolehkan, dengan ketentuan pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus
memenuhi syarat :
Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian
Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap
Pekerja/Buruh, sebagaimana di sebutkan pada angka 14 diatas misalnya dalam hal:
Khusus bagi Pengusaha dan pelaku usaha yang bergerak pada usaha mikro dan kecil
wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak
dan/atau uang pisah bagi Pekerja/Buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dengan
besaran ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha pada usaha mikro dan kecil
dengan Pekerja/Buruh sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 59 PP No 35 tahun 2021.
Seorang pekerja tidak dapat diputus hubungan kerjanya kecuali ada alasan yang sah
untuk pemutusan tersebut dan diatur dalam perundang-undangan masing-masing Negara.
Selain itu masing-masing Negara harus mengatur pula aturan PHK yang mencakup prosedur
dalam melakukan PHK, alasan PHK, dan kompensasi yang berhak diterima pekerja menurut
jenis alasan PHK yang dijatuhkan. Berikut akan di uraikan secara singkat subtansi konvensi
ILO No 152 tahun 1982 ;
Pekerjaan seorang pekerja tidak akan diputus kecuali ada alasan yang sah untuk
pemutusan tersebut terkait dengan kapasitas atau perilaku pekerja atau berdasarkan
persyaratan operasional bidang usaha, perusahaan atau jasa. ( pasal 4. K- ILO n o 152 tahun
1982 ). Selanjutnya Pasal 5, menguraikan tentang alasan PHK yang tidak diperbolehkan jika
dilakukan oleh Pemberi Kerja ( pengusaha, perusahaan ). Berikut ini, antara lain, tidak akan
menjadi alasan yang sah untuk Pemutusan Hubungan Kerja;
1. Keikutsertaan pada keanggotaan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam kegiatan-
kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja atau, dengan persetujuan pengusaha, di
dalam jam kerja;
2. memegang jabatan sebagai, atau bertindak atau telah bertindak dalam kapasitas
sebagai,
3. perwakilan pekerja;
4. Mengajukan keluhan atau keikutsertaan dalam pengajuan gugatan terhadap seorang
pengusaha yang menyangkut dugaan pelanggaran undang-undang atau peraturan atau
memanfaatkan otoritas administratif yang berwenang;
5. Diskriminasi terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, tanggung
jawab keluarga, kehamilan, agama, pendapat politik, kebangsaan atau asal sosial;
6. ketidakhadiran kerja selama cuti melahirkan.
7. (d) Ketidakhadiran kerja sementara karena sakit atau cedera tidak akan menjadi alasan
yang sah untuk pemutusan Hubungan Kerja ( pasal 6. K- ILO No.152 tahun 1982 )
8. Pekerjaan seorang pekerja tidak akan diputus karena alasan-alasan terkait sikap atau
kinerja pekerja sebelum dia diberikan kesempatan untuk membela diri terhadap
tuduhan yang dibuat, kecuali pengusaha tidak dapat secara wajar diharapkan akan
memberikan kesempatan ini. (pasal 7. K- ILO 152 tahun 1982)