PEMBAHASAN
PHK pada dasarnya harus ada izin, kecuali dalam hal tertentu berdasarkan ketentuan Pasal
154 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
a) Pekerja dalam masa percobaan, bila disyaratkan secara tertulis sebelumnya.
b) Pekerja mengajukan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa
ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha.
c) Pekerja mencapai usia pensiun.
d) Pekerja meninggal dunia.
Batas pemberian izin PHK digantungkan pada alasannya,yaitu izin tidak dapat diberikan atau karena
alasan yang dilarang. Berdasarkan ketentuan Pasal 153 (1) Undang-undang No.13 Tahun 2003, apabila :
a) Pekerja berhalangan masuk karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu 12 bulan
secara teres-menerus.
b) Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara.
c) Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agama.
d) Pekerja menikah.
e) Pekerja prempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.
(FOOT NOTE : Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. 2010. Sinar Grafika.
Hal :158-161.)
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 169 Undang-Undang No.13 Tahun 2003,
pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian hubungan industrial
dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sbb :
Menilik Bab serta sederetan Pasal yang tercantum dalam UUKK No.13 Tahun 2003, mekanisme
pelaksanaan PHK dibagi kedalam dua point penting, tergantung pihak mana yang melakukannya.
Yaitu, mekanisme pelaksanaan PHK oleh perusahaan serta prosedur pengajuan PHK oleh
karyawan/pekerja (kemauan sendiri). Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa,
perusahaan dapat melakukan PHK terhadap karyawan/pekerjanya apabila telah mendapat ijin
dari Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Dalam pelaksanaan PHK, partisipasi karyawan/pekerja tentu harus menjadi perhatian bagi
seluruh pihak yang terkait. Terutama saat mengambil dan menentukan sejumlah keputusan.
(FOOT NOTE : D.Danny H. Simanjuntak, PHK DAN PESANGOAN KARYAWAN, 2012. MedPress
Digital. Hal: 42 )
Perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja yang terpenting adalah menyangkut
kebenaran status pekerja dalam hubungan kerja serta kebenaran alasan PHK. Alasan yang
dipakai dasar untuk menjatuhkan PHK yang dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu alasan yang
diizinkan dan alasan yang tidak diizinkan untuk di-PHK. Yang perlu mendapat perhatian adalah
adanya ketentuan apabila pekerja tertangkap tangan melakukan kesalahan besar dapat di-PHK
tanpa izin. Hal ini adalah bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya asas praduga tak
bersalah. Seseorang dikatakan telah terbukti melakukan perbuatan pidana apabila secara tegas
telah diputuskan oleh hakim Apabila pekerja yang terdapat tertangkap tangan melakukan
kesalahan besar Bab Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 167 itu hanya merupakan hasil rekayasa
pengusaha, apa boleh buat akan berakibat pekerja justru tidak mendapatkan perlindungan
hukum dari Undang-Undang No, 13 Tahun 2003. Adanya kebenaran alasan PHK untuk menjaga
kemurnian alasan penjatuhan PHK dari rekayasa majikan. Mengingat kebenaran alasan sangat
berpengaruh terhadap hak yang nantinya dapat diterima oleh buruh pasca izin PHK turun.
Kebenaran alasan yang berasal dari cara terjadinya PHK yang datangnya dari buruh dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu karena alasan buruh mengundurkan diri atau karena adanya
alasan mendesak yang mengakibatkan buruh tidak dapat melanjutkan hubungan kerjanya.
Alasan mengundurkan diri dari buruh harus benar karena jangan sampai terdapat kebohongan
di dalam alasan tersebut. Pengunduran diri itu harus benar-benar murni atas inisiatif buruh
sendiri tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Pihak lain di sini dapat dari majikan atau dari pihak
ketiga.
Kasus itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 huruf a Undang-Undang No. 21 Tahun 2000,
yaitu siapa pun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk
atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau idak menjadi pengurus, menjadi anggota atau
tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh dengan cara melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan
sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi.
Secara yuridis, kedudukan Surat Menaker No. 295/ M/IV/1985 tanggal 10 April 1989 tentang
Penanganan Penyelesaian Masalah PHK adalah lebih tinggi daripada Surat edaran dari Menaker
No SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan PHK Massal. Surat Menaker mempunyai
kekuatan hukum keluar, artinya dapat diterapkan ke umum karena yang mengeluarkan adalah
pejabat yang berwenang dan dalam bentuk yang benar. Adapun surat edaran hanya bersifat
imbauan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar Jadi, dengan adanya surat edaran
dari Menaker No. SE-907/MEN/PHI- PPHI/X/2004 tentang Pencegahan PHK Massal tidak dapat
diartikan bahwa Surat Menaker No. 295/M/IV/1985 tanggal 10 April 1989 tentang Penanganan
Penyelesaian Masalah PHK telah tidak berlaku.
(FOOT NOTE : Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. 2010. Sinar Grafika.
Hal : 167-172.)
Upaya hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya Bipartid yang
dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam hubungan kerja. Apabila
perundingan itu mencapai kesepakatan maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Akan
tetapi, apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga
Kerja setempat.
Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak maka
dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon
veto. Veto Menaker didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional. Apabila di antara
putusan P4D atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat
dijalankan.
Di samping itu, upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha
dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum dilakukan langkah
awal untuk menghindari efisiensi jumlah tenaga kerja. Secara perdata, pekerja dapat mengajukan gugat
ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 1365 BW, yaitu "Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".
Sejak adanya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004, No 6, TLN, No. 4356), upaya hukum
bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara bipartid, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, atau ke pengadilan hubungan industrial.
Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai kesepakatan dengan
cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrase.
Apabila pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, dapat membawa
perkaranya ke pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrase maka kesepakatan
dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrase dan harus didaftarkan ke
Pengadilan Negeri.
Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan pembatalannya
kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter.
Permohonan pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur berdasarkan ketentuan Pasal 52
ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, yaitu :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau
dinyatakan palsu:
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh
pihak lawan: putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak C. dalam
pemeriksaan perselisihan, putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial, atau putusan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 126 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu
tahun sejak diundangkan Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi, lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantikan kedudukan P4D atau P4P sejak
tanggal 14 Januari 2005.
(FOOT NOTE : Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. 2010. Sinar Grafika. Hal : 173-
176).
Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
yang bertujuan mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang telah diberikan oleh
hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Jika dengan cara tersebut permasalahan tidak dapat terselesaikan maka para pihak dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan di tingkat Pengadilan Hubungan
Industrial selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak siding pertama dilakukan. Hukum acara yang
dipakai untuk mengadili sengketa perbutuhan tersebut adalaha Hukum Acara Perdata yang berlaku di
lingkungan Pengadilan Umum, kecuali diatur secara khusus oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hukum Acara dalam menyelesaikan perselisihan
perburuhan. Selanjutnya mengenai proses Beracara Penyeleasaian Perselisihan Perburuhan Pengadilan
Hubungan Industrial adalah:
Pengajuan Gugatan
3. Putusan Pengadilan.
(FOOT NOTE :JURNAL ILMIAH, TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
OLEH PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.
Vol. 7 No. 5 (2019). Hal : 10-12 ).