Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 2

HUKUM KETENAGAKERJAAN
Dosen : Febrozi Rohadi, S.H.,M.H

Nama : Aprilia Monika


Nim : 044135459
Upbjj : UT Purwokerto
Prodi : Ilmu Hukum
1. A. Apakah PHK dalam keadaan Force Majure oleh perusahaan masih
memerlukan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial ? hubungkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
B. Langkah atau tahapan apa saja yang seharusnya dilakukan perusahaan
sebelum melakukan PHK dimasa Pandemi Covid-19 ?
Jawab :
a. PHK dalam keadaan force majure , perusahaan masih memerlukan penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial karena pada
Perlindungan Upah Pekerja, Jika terjadi PHK dalam masa penyebaran covid-
19, maka Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak yang seharusnya diterima. Berapa uang pesangon tergantung alasan yang
digunakan. Jika Pasal 164 ayat (1) UUK maka uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 (4) UUK. Dan jika alasan PHK menggunakan alasan Pasal 164 ayat
(3) mendapatkan uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 (4) UUK. Namun
sekali lagi merujuk pada Pasal 151 UUK agar dihindari PHK dan selalu
menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan berkesinambungan.
b. Langkah dan tahapan perusahaan sebelum melakukan PHK dapat dilihat
dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
197/MEN/PHI-PPHI/V/2008 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), disebutkan bahwa sebelum perusahaan mengambil langkah
PHK, maka dilakukan pada langkah-langkah berikut :
 Meminta perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi,
termasuk overhead perusahaan;
 Mendorong pelaksanaan tindak lanjut kesepakatan Dewan
Pengurus Nasional APINDO berdasarkan hasil pertemuan bipartit
dengan pihak Serikat Pekerja/Serikat Buruh, agar setiap
perusahaan dapat menaikan biaya makan dan biaya transportasi
kepada para pekerjanya, sesuai kemampuan perusahaan yang
bersangkutan;
 Meminta agar setiap pengusaha memerankan forum bipartit dan
mengedepankan dialog antara pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh di perusahaan masing-masing.

2. Buatlah perbedaan alasan PHK dan hak-hak normatif yang harus diterima
antara aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja ?
Jawab :
Ada 4 alasan yang mendasari dalam PHK yakni :
1. Termination, yaitu berakhirnya hubungan kerja karena selesainya
kontrak kerja;
2. Dismissal, yaitu berakhirnya hubungan kerja disebabkan tindakan
indisipliner. Misalnya dalam hal pekerja/buruh melakukan kesalahan-
kesalahan seperti mabuk, madat, dan melakukan tindak kejahatan;
3. Redundancy, yaitu berakhirnya hubungan kerja karena berkaitan dengan
perkembangan teknologi. Misalnya suatu perusahaan yang menggunakan
alat-alat teknologi canggih seperti menggunakan robot dalam proses
produksi, yang berakibat pengurangan pekerja/buruh;
4. Retrenchment, yaitu berakhirnya hubungan kerja berkaitan dengan
masalah ekonomi, misalnya pemasaran dan lain sebagainya, sehingga
perusahaan tersebut tidak dapat/tidak mampu untuk memberikan upah
kepada pekerja/buruh.

jika dikontekskan dengan keadaan pandemi saat ini, perbedaan dari ke 4 alasan
diatas ini yang menjadi satu-satunya alasan yang paling rasional untuk melakukan
PHK terdapat pada poin nomor empat, yakni retrenchment. Di mana, perusahaan
sedang berada dalam situasi kebangkrutan, atau alasan lain yang menjadikan
kewajiban perusahaan untuk membayar gaji pekerja menjadi terhalang, maka
keputusan untuk melakukan PHK dapat dibenarkan dan konstitusional, dengan
penerapan yang mengikuti mekanisme sebagaimana yang telah diatur dengan
terang dalam ketentuan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Hak hak normatif yang harus diterima yakni pengusaha wajib
memenuhi hak atas pesangon buruh dan atau uang penghargaan masa kerja dan
uang pengganti hak yang seharusnya diterima. Besar kecilnya perhitungan uang
pesangon ini dihitung berdasarkan lamanya masa kerja(UUK No.13 Tahun. 2003
Pasal. 156).

3. A. Jika merujuk pada Pasal 64 UU Nomor 13 Taun 2013 tersebut Outsourcing


dibagi menjadi dua yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa
pekerja/buruh. Berikan penjelasan Saudara terhadap hal tersebut ?
B. Terkait ketentuan Outsourcing, Mahkamah Konstitusi pernah melakukan
pengujian dan telah menerbitkan Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 yang
berdampak pada pro dan kontra di kalangan Pekerja/Buruh. Apa yang Saudara
pahami terkait putusan MK Tersebut!
Jawab:
a) Menurut saya Aturan mengenai outsurcing diatur dalam Undang - Undang
Ketenagakerjaan pasal 64 sampai 66. Berkaitan dengan pasal 64 Undang -
Undang Ketenagakerjaan Berkaitan dengan pasal 64 Undang -Undang
Ketenagakerjaan, perjanjian outsourcing perusahaan disesuaikan dengan
ketentuan perundang – undangan yang dibuat dalam bentuk perjanjian
penyediaan tenaga kerja / buruh yang dibuat dalam bentuk tertulis.
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 59 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Perlindungan upah dan kesejaheraan syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh
dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
b) Pada putusan MK tersebut dapat dilihak bahwa dampak dari praktik
outsourcing akan menyengsarakan pihak perkerja dan mengaburkan
hubungan industrial. Praktik outsourcing juga dapat mengakibatkan
keresahan bagi pekerja, tindakan dari mereka yaitu mogok kerja yang ujung-
ujungnya berakibatkan adanya PHK.

Sumber Referensi :
BMP ADBI4336 Hukum Ketenagakerjaan
Arifinal, M., Suhadi, A., & Agustina, R. S. (2020). Perlindungan Pekerja Buruh
Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan Swasta Di Masa
Pandemi Covid 19. Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 290-300.
Irawan, A. D. (2019). Status Hukum Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011. Arena Hukum, 12(2), 253-
273.
Kusumaningtyas, R. F. (2019). Perlindungan Hukum Perburuhan (Strategi dan
Tips Jitu Memahami Perjanjian Kerja Terkait Permasalahan PHK). Jurnal
Pengabdian Hukum Indonesia (Indonesian Journal of Legal Community
Engagement) JPHI, 2(1), 46-59.
Zahrawati, D., Septarina Budiwati, S. H., & MH, C. (2020). Analisis Yuridis
Perjanjian Kerja Outsourcing Perspektif Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus Perjanjian Kerja Outsourcing
PT. Gatra Karya Utama) (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
-

Anda mungkin juga menyukai