Anda di halaman 1dari 21

HUKUM ACARA PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Perjanjian kerja dalam Pasal 1601 KUHPerdata yaitu suatu persetujuan bahwa
pihak kesatu yaitu buruh mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tenaganya kepada
pihak lain yaitu majikan, dengan upah selama waktu tertentu.

Perjanjian kerja dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2004 tentang


Ketenagakerjaan adalah suatu perjanjian antara pekerja dan penguasaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan


antara serikat pekerja dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan
pengusaha yang memuat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Syarat
sahnya perjanjian kerja sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, yakni terpenuhinya 4 syarat
perjanjian:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


Dalam hal ini pihak-pihak yang dimaksud yakni buruh dan majikan, dimana
mereka sepakat berdasarkan kehendak mereka sendiri secara bebas, tanpa ada
penipuan (Dwang), paksaan (Dwaling), kekhilafan (Bedrog).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Artinya para pihak harus orang yang sudah dinyatakan sebagai subjek hukum
menurut hukum. Kecuali yang tidak cakap yakni anak-anak, orang dewasa di
bawah pengawasan, dan orang sakit jiwa.
3. Suatu hal tertentu
Dalam hal perjanjian kerja, suatu hal tertentu adalah semua orang bebas
melakukan hubungan kerja, asalkan objek pekerjaannya jelas, yaitu melakukan
pekerjaan.
4. Suatu sebab yang halal
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan,
ketertiban umum, dan atau kesusilaan.
Menurut Pasal 61 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian
kerja berakhir apabila:

1. Pekerja meninggal dunia


2. Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
3. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
meyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Hak Pengusaha dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu:

1. Mengenakan denda terhadap pekerja yang melakukan pelanggaran karena (Pasal


95 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan):
a. Kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda
b. Jika pengusaha karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, sesuai persentase dari upah pekerja
c. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau
buruh/pekerja dalam pembayaran upah
d. Mendahulukan pembayaran upah dan hak pekerja daripada utang lain, jika
perusahaan dinyatakan pailit atau likudiasi berdasarkan perundang-undangan.
2. Membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan
3. Membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang
kompensasi PHK (Pasal 156 ayat (1))

Kewajiban Pengusaha:

1. Membayar upah
2. Memberi waktu istirahat dan hari libur resmi (Pasal 79 ayat (2) dan Pasal 80 UU No,
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
3. Mengatur tempat kerja dan alat kerja agar tidak terjadi kecelakaan pada
pekerja/buruh (Pasal 86 UU No. 13 Tahun 2003)
4. Bertindak sebagai pengusaha yang baik
5. Memberi surat keterangan yang berisi: macam pekerjaan, cara melakukan
pekerjaan, lama melakukan pekerjaan, dan cara berakhirnya hubungan kerja

Hak-hak tenaga kerja dalam UU No. 13 Tahun 2013 yaitu:

1. Tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan
(Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003)
2. Tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di
dalam atau di luar negeri (Pasal 13)
3. Setiap tenaga kerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. Keselamatan dan kesehatan kerja
b. Moral dan kesusialaan
c. Perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabak manusia serta nilai-nilai
agama (Pasal 86 ayat (1))
d. Tenaga kerja berhak atas pelatihan kerja untuk membekali, meningkatkan dan
mengembangkan produktivitas dan kesejahteraan (Pasal 9)
e. Tenaga berhak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh (Pasal 104 ayat (1))

Hubungan industrial adalah hubungan antara para pelaku kegiatan proses produksi
(pekerja, pengusaha) untuk menghasilkan barang dan jasa sebagai hasil usaha, dan
pemerintah yang mengayomi dan berkepentingan untuk pembinaan ekonomi nasional.
Fungsi utama hubungan industrial:

1. Menjaga kelancaran atau peningkatan produksi


2. Memelihara dan menciptakan ketenagan kerja
3. Mencegah dan menghindari adanya pemogokan
4. Ikut menciptakan serta memelihara stabilitas nasional

Perselisihan hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004


tentang PPHI adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena
adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat dalam satu perusahaan.

1. Perselisihan Hak

Menurut UU No. 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 2 perlisihan hak adalah


perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Penjelasan
Pasal 2 perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja Bersama,
atau peraturan perundang-undangan artinya yang sudah ada dasar hukumnya.

Hak-hak normative tersebut bisa berupa hak berserikat, hak menerima upah, hak
melakukan mogok (Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2000), hak untuk mendapatkan cuti
(Pasal 79 ayat (1) UU No, 13 Tahun 2000.

2. Perselisihan Kepentingan

Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2004 tentang UUPPHI adalah perselisihan


yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak aanya persesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Perbedaan perselisihan kepentingan dengan perselisihan hak. Perselisihan hak


yang dilanggar adalah hukumnya atau yang sudah ada ditetapkan Bersama tapi
pengusaha langgar misalnya bayaran upah. Sedangkan perselisihan kepentingan
tentang pembuatan hukum dan atau perubahan substansi hukum yang sudah
misalnya pembuatan perjanjian kerja.

3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004, perselisihan karena tidak adanya


kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak. Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003, PHK adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja.

Pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003, PHK meliputi pemutusan hubungan kerja
yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan atau milik persekutuan atau badan hukum, baik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosia dan lainnya yang mempunyai pengurus, dan
memperkejakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lainnya.

Menurut Sendjun H Manulang ada 4 istilah PHK yaitu:

a. Termination: putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya


kontrak kerja
b. Dismissal: putusnya hubungan kera karena Tindakan indisiprinel
c. Redundancy: pemutusan hubungan kerja yang dikaitkannya dengan
perkembangan teknologi
d. Retrenchment: pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah
ekonomi, masalah pemasaran dan sebaginya sehingga perusahaan tidak dapat
atau tidak mampu memberikan upah kepada tenaga kerja atau karyawannya.

Pasal 153 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 alasan pengusaha tidak boleh
melakukan PHK:

a. Pekerja berhalangan masuk karena sakit menurut keterangan dokter selama


waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus
b. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
c. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
d. Pekerja menikah
e. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayi
f. Pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama
g. Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan diluar jam kerja, atau didalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerjabersama
h. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dipastikan

Jenis-jenis PHK:

a. PHK Demi Hukum

Putusnya hubungan kerja dengan sendirinya tanpa adanya perbuatan hukum


tertentu, baik pengusaha maupun pekerja (tidak perlu mendapat penetapan dari
Lembaga yang berwenang). KUHP mengenal dua PHK demi hukum yakni karena
habisnya waktu dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan meninggalnya
pekerja. Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003 dapat terjadi dalam hal:

1) Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan


secara tertulis sebelumnya
2) Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa adanya indikasi tekanan atau intiminasi dari
pengusaha
3) Pekerja mencapai usian pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja Bersama, atau peraturan
perundang-undangan
4) Pekerja meninggal dunia
b. PHK Oleh Pekerja

Pemutusan hubungan kerja oleh pihak pekerja sendiri karena kemauannya dapat
dilakukan dengan:

1) Pekerja mengundurkan diri (Pasal 162)


2) Pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan adanya
perubahan status, penggabungan, peleburan, dan perubahan kepemilikan
perusahaan (Pasal 163 ayat (1)
3) Permohonan pekerja kepada Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (Pasal 169 ayat (2))
4) Permohonan pekerja karena sakit berkepanjangan, mengallami cacat tetap
akibat kecelakaan kerja (Pasal 172)

Pasal 169 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, pekerja bisa mengajukan PHK
kepada Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan kesalahan:

1) Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja


2) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3) Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan
berturut-turut
4) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja
5) Memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar perjanjian
kerja
6) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
Kesehatan dan kesulitan pekerja yang tidak dicantumkan dalam perjanjian
kerja
c. PHK Oleh Pengusaha

UU No. 13 Tahun 2003 pengusaha dapat memutuskan PHK pekerja apabila


pekerja melakukan hal sebagai berikut:

1) Pekerja melakukan kesalahan berat (Pasal 158 ayat (1))


2) Pekerja ditahan pihak yang berwajib (Pasal 160 ayat (3))
3) Pekerja melakukan Tindakan indispliner,dengan melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja Bersama (Pasal 161 ayat (1))
4) Perubahan status, penggabungan dan peleburan perusahaan
5) Perubahan tutup karena mengalami kerugian yang telat diaudit dan
dinyatakan mengalami kerugian oleh akuntan public (Pasal 164 ayat (2))
6) Pekerja meninggal dunia (Pasal 166)
7) Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja Bersama atau perundang-
undangan (Pasal 167 ayat (1))
8) Pekerja mangkir yang di kualifikasikan mengundurkan diri (pasal 168 ayat (1))
9) Pekerja telah mengadukan dan melaporkan bahwa pengusaha telah
melakukan kesalahan namun tidak terbukti (Pasal 169 ayat (3))
d. PHK Karena Putusan Pengadilan

Pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan,
wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah kerja sampai batas
waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja Dalam Satu Perusahaan

Pasal 1 angka UU No. 2 Tahun 2004 perselisihan antar serikat pekerja dengan
serikat pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
Penyelesaian hubungan industrial dalam UU No. 2 Tahun 2004 dapat diselesaikan
melalui dua jalur yakni penyelesaian diluar pengadilan (non litigasi) dan penyelesaian
melalui pengadilan (litigasi). Penyelesasian non litigasi data dilakukan dengan
bipartite dan perundingan tripartite (mediasi, konsiliasi, abitrase), sedangkan
secara litigasi melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Prinsip para pihak dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah


diatur dalam Pasal 136 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu:

a. Wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buru atau serikat pekerja/buruh


secara musyawarah untuk mufakat
b. Bila upaya musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial melalui prosedur yang diatur UU.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara non litigasi : Bipartit dan Tripartit

A. Lembaga Perundingan Bipartit

Perudingan bipartite adalah perundingan untuk menyelesaikan perselisihan hak,


perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu
perusahaan. Tugas Lembaga Perudingan Bipartit adalah:

1) Melakukan pertemuan secara periodic secara bulan dan/atau sewaktu-waktu


apabila diperlukan.
2) Mengomunikasikan kebijakan pengusaha dan menyalurkan aspirasi
pekerja/buruh berkaitan kesejahteraan pekerja/buruh dan kelangsungan
usaha
3) Melakukan deteksi dini dan menampung permasalahan hubungan industrial
di perusahaan
4) Menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pengusaha dalam
penetapan kebijakan perusahaan
5) Menyampaikan saran dan pendapat kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/buruh

Waktu pelaksanaan perundingan bipartit adalah 30 hari sejak tanggal mulainya


perundingan. Perundingan untuk mencari penyelesaian secara musyawarah untuk
mufakat yang dilakukan oleh para pihak harus dibuatkan risalah yang
ditandatangani para pihak yang memuat:

a) Nama dan alamat para pihak


b) Tanggal dan tempat perundingan
c) Pokok masalah dan alasan perselisihan
d) Pendapat para pihak
e) Kesimpulan dan hasil perundingan
f) Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan

Jika sepakat maka dibuat perjanjian Bersama kemudian ditandatangani kedua


pihak, kemudian perjanjian Bersama tersebut wajib didaftarkan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum para pihak yang
mengadakan perjanjian Bersama. Kemudian perjanjian tersebut diberikan akta bukti
pendaftaran perjanjian Bersama.

Pasal 7 ayat (5) menegaskan bahwa apabila perjanjian Bersama tidak


dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapat eksekusi.
Perjanjian Bersama mempunyai kekuatan eksekutorial.

Dalam hal permohonan eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat


pendaftaran perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi
untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadila Negeri yang
berkompeten melaksanakan eksekusi.
Selama waktu 30 hari perundingan tersebut ada salah satu pihak menolak
berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai satu
kesepakatan, maka perundingan bipartite dianggap gagal. Salah satu pihak atau
kedua pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya
perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan, instansi
tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati dan memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau abitrase.

B. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Konsiliasi

Pasal 1 angka 13 UU No. 2 Tahun 2004 Jo. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 10/MEN/2005 adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan saja melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Konsiliator dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 2 Tahun 2004 Jo. Pasal 1 angka 2
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 10/MEN/2005
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat konsiliator ditetapkan oleh
Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan kepentingan, perselisihan
PHK atau perselisihan antar serikat buruh/pekerja hanya dalam satu perusahaan.

Dalam Pasal 19 UU No. 2 Tahun 2004 Jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 10/MEN/2005 syarat-syarat konsiliator:

1) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa


2) WNI
3) Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun
4) Pendidikan minimal S1
5) Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
6) Berwibawa, jujur, adil dan tidak berkelakuan tercela
7) Memiliki pengalaman di bidang industrial sekurang-kurangnya 5 tahun
8) Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
9) Tidak berstatus PNS atau TNI/POLRI
10)Lulus mengikuti program Latihan yang diselenggarakan oleh pemerintah

Kewenangan konsiliator diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.10/MEN/2005 yakni:

1) Meminta keterangan para pihak


2) Menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat kuasa
3) Menolak melakukan konsiliasi bagi para pihak yang belum melakukan
perundingan bipartite
4) Meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan
5) Memanggil saksi atau saksi ahli
6) Membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para pihak
instansi/Lembaga terkait

Pasal 7 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor


Per.10/MEN/2005 tentang kewajiban konsiliator yakni:

1) Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat di dengar keterangan


yang diperlukan
2) Mengatur dan memimpin konsiliasi
3) Membantu membuat perjanjian Bersama apabila tercapai kesepakatan
4) Membuat anjuran tertulis apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
5) Membuat risalah penyelesaian PHI
6) Membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang
ditangani
7) Membuat laporan hasil penyelesaian PHI kepada Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi melalui Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial

Penyelesaian PHI melalui Konsiliasi dilakukan dengan cara:

1) Para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis,


konsiliator yang ditunjuk dan disepakati para pihak (Pasal 18 UU No. 2
Tahun 2004 Jo Pasal 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Per.10/MEN/2005)
2) Dalam waktu paling lambat 7 hari setelah menerima pelimpahan berkas
tersebut, konsiliator sudah harus mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari ke 8 sudah
dilakukan siding konsiliasi pertama (Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2004 Jo
Pasal 10 huruf b dan c Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Per.10/MEN/2005)
3) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam siding
untuk diminta keterangannya (Pasal 21 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004)
4) Jika mencapai kesepakatan, dibuat perjanjian Bersama dan
ditandatangani para pihak dan disaksikan konsiliator dan di daftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum para pihak mengadakan perjajian Bersama untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran (Pasal 23 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 Jo Pasal
1 huruf g Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Per.10/MEN/2005).
5) Jika kesepakatan tidak tercapai maka:
a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis (Pasal 23 ayat 2 huruf a UU
No. 2 Tahun 2004 Jo Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.10/MEN/2005)
b. Anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari sejak sidang konsiliasi
pertama harus sudah disampaikan ke para pihak (Pasal 23 ayat (2)
huruf b UU No. 2 Tahun 2004)
c. Para pihak dalam waktu 10 hari sejak menerima anjuran tersebut
sudah harus memberikan jawaban kepada konsiliator yang isinya
menyetujui atau menolak anjuran tersebut (Pasal 22 ayat (2) huruf d
UU No. 2 Tahun 2004 Jo Pasal 10 ayat (5) Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.10/MEN/2005).
d. Jika para pihak tidak memberikan pendapat maka anjuran tersebut
dianggap di tolak (Pasal 23 ayat (2) huruf d UU No. 2 Tahun 2004 Jo
Pasal 10 ayat (5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Per.10/MEN/2005)
e. Jika anjuran tersebut disetujui, paling lambat 3 hari sejak anjuran
tertulis disetujui, konsiliator sudah harus selesai membantu para pihak
membuat perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak yang mengadakan perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti tertulis (Pasal 23 ayat (2) huruf e UU No. 2
Tahun 2004 Jo Pasal 10 ayat (6) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Per.10/MEN/2005)
6) Jika perjanjian Bersama tidak dilaksanakan salah satu pihak, pihak yang
dirugikan bisa mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial untuk mendapat penetapan eksekusi (Pasal 23 ayat
(3) huruf c UU No. 2 Tahun 2004)
7) Jika permohonan eksekusi berdomisili di luar PN tempat pendaftaran
perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
yang kompeten melaksanakan eksekusi (Pasal 23 ayat (3) UU No. 2
Tahun 2004)
8) Jika anjuran konsiliator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak,
maka dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat (Pasal 24 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004)
9) Konsiliator sudah harus menyelesaikan tugasnya paling lambat 30 hari
kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan
(Pasal 25 UU No. 2 Tahun 2004 Jo Pasal 11 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.10/MEN/2005)

C. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Abitrase

Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999, abitrase adalah cara penyelesaian


suatu perkara perdata diluar pengadilan umum yang berdasarkan atas suatu
perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian abitrase untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan. Putusan
abitrase bersifat mengikat dan final.

Arbiter yang berwenang menyelesaikan yakni yang ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 32 UU No. 2 Tahun 2004 mensyaratkan penyelesaian melalui abitrase
dilakukan atas dasar kesepakatan secara tertulis yang memuat:

a) Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak


b) Pokok persoalan dan yang dapat diserahkan kepada abitrase untuk
diselesaikan dan diambil putusan
c) Jumlah arbiter yang disepakati
d) Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan abitrase
e) Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian dan tanda tangan para pihak
yang berselisih

Jika para pihak sudah menandatangani perjanjian abitrase, mereka memilih


abiter, kemudian abiter yang dipilih harus memberitahukan kepada para pihak
mengenai penerimaan penunjukkan secara tertulis dengan membuat perjanjian
penunjukan arbiter (Pasal 34 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004). Arbiter yang sudah
ditunjuk tidak dapat menolak kecuali para pihak sepakat (Pasal 38 ayat (1) UU No. 2
Tahun 2004).

Arbiter yang ditunjuk dapat mengajukan tuntutan ingkar kepada PN apabila


cukup alasan dan bukti autentik yang menimbulkan keraguan arbiter akan
melakukan tugas tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil
keputusan. Tuntutan ingkar tersebut juga dapat diajukan bila ada bukti hubungan
kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasa (Pasal 38 ayat (1)
UU No. 2 Tahun 2004). Tata cara penyelesaian melalui arbitrase yaitu:

1) Diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih


(Pasal 44 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004)
2) Jika para pihak berdamai, arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta
perdamaian yang ditandatangani para pihak dan arbiter atau majelis arbiter
(Pasal 44 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004)
3) Kemudian akta perdamaian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial
pada PN di wilayah arbiter mengadakan perdamaian (Pasal 44 ayat (3) UU
No. 2 Tahun 2004)
4) Pendaftaran dilakukan dengan cara:
a) Akta perdamaian yang sudah didaftarkan diberikan akta bukti pendaftaran
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
b) Jika akta perdamaian tidak dilaksanakan salah satu pihak, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada PN di wilayah akta perdamaian di daftar untuk
mendapatkan penetaan eksekusi
c) Jika pemohonan eksekusi berdomisili di luar PN tempat pendaftaran akta
perdamaian, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada PN di wilayah domisi
Pemohon eksekusi.
5) Jika upaya perdamaian gagal, arbiter meneruskan siding arbitrase (Pasal 44
ayat (5) UU No. 2 Tahun 2004)
6) Arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih untuk didengar
keterangannya (Pasal 46 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004)
7) Putusan siding arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
udangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan
umum
8) Putusan arbitrase memuat (Pasal 50 ayat (1) dan (3) UU No. 2 Tahun 2004):
a) Kepala keputusan yang berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA)
b) Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter
c) Nama lengkap dan alamat para pihak
d) Hal-hal yang termuat dalam perjanjian yang diajukan para pihak
e) Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, penjelasan lebih lanjut para pihak
f) Pertimbangan yang menjadi dasar keputusan
g) Mulai berlakunya keputusan
h) Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter
9) Dalam putusan, ditetapkan paling lama 14 harikerja sudah dilaksanakan
(Pasal 50 ayat (4) UU No. 2 Tahun 2004)
10)Putusan tersebut bersifat akhir dan tetap dan mengikat para pihak (Pasal 51
ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004)
11)Putusan tersebut didaftarkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
PN di wilayah arbiter menetapkan putusan (Pasal 50 ayat (2) UU No. 2 Tahun
2004)
12)Jika putusan arbitrase tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang
dirugikan bisa minta permohonan eksekusi ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pihak yang harus menjalankan putusan tersebut (Pasal 51 ayat
(3) UU No. 2 Tahun 2004)
13)Putusan arbitrase dapat diajukan permohonan peninjauan kembali oleh salah
satu pihak atau para pihak pengajuannya paling lama 30 hari kerja sejak
ditetapkannya keputusan arbitrase. Apabila putusan tersebut mengandung
unsur-unsur (Pasal 52 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004):
a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu
b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan
c) Keputusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh pihak dalam
pemeriksaan perselisihan
d) Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

D. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi

Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,


perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral. Dilakukan jika tidak terjadi kesepakatan dalam perundingan
bipartit.

Mediator dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Dalam Pasal 4 UU
No. 2 Tahun 2004 tahapannya:

1) Jika perundingan Bipartit gagal, salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga kerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya
penyelesaian secara bipartite sudah dilakukan
2) Kemudian, instansi tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.
3) Jika dalam waktu 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan, instansi
tersebut melimpahkan penyelesaian kepada mediator

Mediator yang berada di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota. Mediator


adalah PNS yang diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep.92/Men/VI/2004 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Mediator serta Tata Cara Kerja Mediasi. Pasal 8 Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.92/Men/VI/2004 menjelaskan kewajiban
mediato

1) Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang
diperlukan
2) Mengatur dan memimpin mediasi
3) Membantu membuat perjanjian Bersama, apabila tercapai kesepakatan
4) Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
5) Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
6) Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Kewenangan Mediator dijelaskan dalam Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.92/Men/VI/2004 yaitu:

1) Menganjurkan kepada pihak yang berselisih untuk berunding terlebih dahulu


dengan itikad baik sebelu dilaksanakan mediasi
2) Meminta keterangan, dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan
perselisihan
3) Mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan
4) Membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari pihak dan
instansi atau Lembaga terkait
5) Menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila tidak
memiliki surat kuasa

Surat anjuran mediator meruppakan syarat formal mengajukan gugatan ke


pengadilan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
secara mediasi berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 Jo Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.92/Men/VI/2004 adalah:

1) Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja setelah menerima pelimpahan


penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan segera mengadakan siding mediasi.
2) Mediator memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang untuk
diminta keterangannya
3) Jika terjadi kesepakatan, maka dibuat perjanjian Bersama yang ditanda
tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta di daftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada PN di wilayah pihak-pihak
mengadakan perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran
4) Jika tidak tercapai kesepakatan maka:
a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis
b. Anjuran tertulis paling lama 10 hari sejak siding mediasi pertama harus
sudah disampaikan kepada para pihak
c. Kemudian para pihak dalam waktu 10 hari kerja setelah menerima anjuran
tersebut harus memberikan jawaban kepada mediator yang isinya
menyetujui atau menolak
d. Jika tidak memberikan pendapat, maka dianggap menolak anjuran tertulis
tersebut.
e. Jika anjuran tertulis disetujui, paling lama 3 hari stelah disetujui para
pihak, mediator sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian
Bersama untuk didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada PN di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran
5) Jika perjanjian Bersama yang sudah didaftarkan tidak dilaksanakan salah
satu pihak, maka pihak lain dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada PN di wilayah perjanjian itu didaftarkan
untuk mendapatkan penetapan eksekusi
6) Jika anjuran tertulis yang dibuat mediator ditolak oleh salah satu pihak atau
para pihak, kemudian dapat dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industri
pada PN.
7) Mediator harus sudah menyelesaikan tugasnya paling lambat 30 hari kerja
terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial

Anda mungkin juga menyukai