Perjanjian kerja dalam Pasal 1601 KUHPerdata yaitu suatu persetujuan bahwa
pihak kesatu yaitu buruh mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tenaganya kepada
pihak lain yaitu majikan, dengan upah selama waktu tertentu.
Kewajiban Pengusaha:
1. Membayar upah
2. Memberi waktu istirahat dan hari libur resmi (Pasal 79 ayat (2) dan Pasal 80 UU No,
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
3. Mengatur tempat kerja dan alat kerja agar tidak terjadi kecelakaan pada
pekerja/buruh (Pasal 86 UU No. 13 Tahun 2003)
4. Bertindak sebagai pengusaha yang baik
5. Memberi surat keterangan yang berisi: macam pekerjaan, cara melakukan
pekerjaan, lama melakukan pekerjaan, dan cara berakhirnya hubungan kerja
1. Tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan
(Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003)
2. Tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di
dalam atau di luar negeri (Pasal 13)
3. Setiap tenaga kerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. Keselamatan dan kesehatan kerja
b. Moral dan kesusialaan
c. Perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabak manusia serta nilai-nilai
agama (Pasal 86 ayat (1))
d. Tenaga kerja berhak atas pelatihan kerja untuk membekali, meningkatkan dan
mengembangkan produktivitas dan kesejahteraan (Pasal 9)
e. Tenaga berhak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh (Pasal 104 ayat (1))
Hubungan industrial adalah hubungan antara para pelaku kegiatan proses produksi
(pekerja, pengusaha) untuk menghasilkan barang dan jasa sebagai hasil usaha, dan
pemerintah yang mengayomi dan berkepentingan untuk pembinaan ekonomi nasional.
Fungsi utama hubungan industrial:
1. Perselisihan Hak
Hak-hak normative tersebut bisa berupa hak berserikat, hak menerima upah, hak
melakukan mogok (Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2000), hak untuk mendapatkan cuti
(Pasal 79 ayat (1) UU No, 13 Tahun 2000.
2. Perselisihan Kepentingan
Pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003, PHK meliputi pemutusan hubungan kerja
yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan atau milik persekutuan atau badan hukum, baik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosia dan lainnya yang mempunyai pengurus, dan
memperkejakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lainnya.
Pasal 153 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 alasan pengusaha tidak boleh
melakukan PHK:
Jenis-jenis PHK:
Pemutusan hubungan kerja oleh pihak pekerja sendiri karena kemauannya dapat
dilakukan dengan:
Pasal 169 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, pekerja bisa mengajukan PHK
kepada Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan kesalahan:
Pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan,
wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah kerja sampai batas
waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 1 angka UU No. 2 Tahun 2004 perselisihan antar serikat pekerja dengan
serikat pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
Penyelesaian hubungan industrial dalam UU No. 2 Tahun 2004 dapat diselesaikan
melalui dua jalur yakni penyelesaian diluar pengadilan (non litigasi) dan penyelesaian
melalui pengadilan (litigasi). Penyelesasian non litigasi data dilakukan dengan
bipartite dan perundingan tripartite (mediasi, konsiliasi, abitrase), sedangkan
secara litigasi melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara non litigasi : Bipartit dan Tripartit
Pasal 1 angka 13 UU No. 2 Tahun 2004 Jo. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 10/MEN/2005 adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan saja melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Konsiliator dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 2 Tahun 2004 Jo. Pasal 1 angka 2
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 10/MEN/2005
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat konsiliator ditetapkan oleh
Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan kepentingan, perselisihan
PHK atau perselisihan antar serikat buruh/pekerja hanya dalam satu perusahaan.
Dalam Pasal 19 UU No. 2 Tahun 2004 Jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 10/MEN/2005 syarat-syarat konsiliator:
Mediator dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Dalam Pasal 4 UU
No. 2 Tahun 2004 tahapannya:
1) Jika perundingan Bipartit gagal, salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenaga kerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya
penyelesaian secara bipartite sudah dilakukan
2) Kemudian, instansi tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.
3) Jika dalam waktu 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan, instansi
tersebut melimpahkan penyelesaian kepada mediator
1) Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang
diperlukan
2) Mengatur dan memimpin mediasi
3) Membantu membuat perjanjian Bersama, apabila tercapai kesepakatan
4) Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
5) Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial
6) Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Kewenangan Mediator dijelaskan dalam Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.92/Men/VI/2004 yaitu: