Anda di halaman 1dari 48

PERSELISIHAN BURUH DAN

PENGUSAHA DARI SUDUT PANDANG


UU CIPTA KERJA

Oleh :
DR. TURMAN M. PANGGABEAN, SH.,MH.
(Dosen - Advokat – Konsultan Kekayaan Intelektual –
Kurator & Pengurus Kepailitan)

Jakarta, Mei 2021


2

UU NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA


KERJA
• UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja mencakup 79 Undang-undang yang berisi 1.244
Pasal dengan 11 Klaster pembahasan: 1). Penyederhanaan Perizinan; 2). Persyaratan Investasi;
3). Ketenagakerjaan; 4). Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M; 5).
Kemudahan Berusaha; 6). Dukungan Riset & Inovasi; 7). Administrasi Pemerintahan; 8).
Pengenaan Sanksi; 9). Pengadaan Lahan; 10). Investasi dan Proyek Pemerintah; 11). Kawasan
Ekonomi;
• Dalam Klaster Ketenagakerjaan pembahasan mencakup :
 Upah Minimum,
 Pesangon PHK,
 Outsourcing,
 Tenaga Kerja Asing,
 Jam Kerja;
3

DASAR-DASAR KETENAGAKERJAAN
Pasal 1 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan :
•Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
•Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
•Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
•Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
4

• Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suat perusahaan
milik sendiri;
b.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
• Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5

• Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
• Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
• Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau
beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
• Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
6

• Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
• Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
• Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
• Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
7

• Mogok Kerja adalah Hak dari Pekerja/Serikat Pekerja (Pasal 143, 144, 145 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan).
• Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau
oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
• Pelaksanaan mogok kerja tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang
lain (Pasal 139 UU No. 13 Tahun 2003).
• Mogok kerja wajib diberitahukan secara tertulis kepada secara tertulis kepada pengusaha dan Disnaker,
sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja (Pasal 140 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003).
• Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140
UU No. 13 Tahun 2013, adalah mogok kerja tidak sah.
• Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang
sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah. (Pasal 143 UU No. 13
Tahun 2003).
8

• Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, Disnaker wajib menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan
para pihak yang berselisih (Pasal 141 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2013).
• Dalam hal perundingan menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama
yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan sebagai saksi (Pasal 141 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2013).
• Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari Disnaker segera
menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang (Pasal 141 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2013).
9

Hak Pengusaha :
•Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak diberitahukan secara tertulis, maka demi menyelamatkan alat
produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan:
a.melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b.bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan (Pasal 140 ayat
(4) UU No. 13 Tahun 2003)
•Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003) dan diberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh, serta Disnaker sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan
(lock out) dilaksanakan (Pasal 147 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003).
10

PERUBAHAN PADA KLASTER KETENAGAKERJAAN DALAM UU


NO 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA MENCAKUP
SEBAGAI BERIKUT :
1.Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) :
Hilangnya ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yaitu Pasal 59 ayat (1)
huruf b UU No. 13 Tahun 2003, tentang pembatasan kategori “paling lama 3 (tiga) tahun” dan hilangnya ayat (4) dalam
Pasal 59 yang mengatur bahwa: “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun.”
Perubahan Pasal 56 dalam UU Cipta Kerja pada ayat (3) tidak mengatur lamanya PKWT tetapi justru menyebutkan
bahwa : “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.” dan Ketentuan
lebih lanjut diatur di dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 56 ayat (4) dan Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja).
Ketentuan baru di UU Cipta Kerja memuat kewajiban pengusaha untuk memberikan uang kompensasi kepada
pekerja/buruh yang dipekerjakan secara kontrak, dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu tersebut berakhir (Pasal 61A
ayat (1) dan (2) UU Cipta Kerja). Uang kompensasi ini diberikan sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan
11

2. Pengupahan :
 Dihapuskannya frasa “kebutuhan hidup layak” dalam Pasal 88 dan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, sebagai rujukan
penghitungan upah minimum. Sebagai gantinya, disisipkanlah Pasal 88D dalam UU Cipta Kerja yang mengatur
bahwa:
“(1) Upah minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.
(2) Formula perhitungan upah minimum memuat variable pertumbuhan ekonomi atau inflasi.”
• UU Cipta Kerja hanya memberikan kewajiban penetapan upah minimum di tingkat provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten/kota sifatnya adalah opsional atau pilihan (Pasal 88C ayat (1) UU Cipta Kerja).
• UU Cipta Kerja juga menghapuskan upah minimum sektoral yang sebelumnya ada dalam UU Ketenagakerjaan;
• Pemangkasan kebijakan pengupahan di UU Cipta Kerja dari yang sebelumnya terdiri dari 11 jenis kebijakan upah
(Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan) menjadi 7 jenis kebijakan upah (Pasal 88 ayat (3) UU Cipta Kerja).
• UU Cipta Kerja menghilangkan pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi dalam
struktur dan skala upah dengan merubah bunyi Pasal 92 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003.
12

Pembayaran Upah Pekerja Pada Saat Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial
(Pasal 157A UU Cipta Kerja)

(1)Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh


harus tetap melaksanakan kewajibannya.
(2)Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh.
(3)Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan
selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.

Pasal 93 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan
13

3. Pekerjaan alih daya (outsourcing).


Pengaturan tentang pekerjaan alih daya yang diatur dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan diubah dalam
UU Cipta Kerja menjadi:
“(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya
didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu
maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”
• Namun, pembatasan jenis-jenis pekerjaan yang dapat dialih-dayakan ditiadakan dalam UU Cipta
Kerja, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi.”
• Dan Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh dan Perizinan Berusaha diatur
dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 66 ayat (6) UU Cipta Kerja).
14

4.Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Terdapat perbedaan mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
• Dalam UU Cipta Kerja (Pasal 151), PHK dapat dilakukan dengan mekanisme
pemberitahuan dari pengusaha ke Pekerja/Serikat Pekerja, apabila Pekerja/Serikat Pekerja
setelah diberitahu dan menolak PHK, maka penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui
perundingan bipartit, dan apabila tidak mendapatkan kesepakatan, PHK dilakukan melalui
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
• Pengaturan sebelumnya tentang PHK pada UU Ketenagakerjaan (Pasal 151), PHK wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja, dalam hal perundingan benar-
benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
15

LARANGAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


(Pasal 153 UU Cipta Kerja)

(1)Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:
a.Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui
12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c.Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.Menikah;
e.Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.Mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam
satu perusahaan;
16

g. Mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh


melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja
atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. Mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan;
i. Berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
fisik, atau status perkawinan; dan
j. Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja
yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/ buruh yang
bersangkutan.
17
ALASAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(Pasal 154A UU Cipta Kerja)

(1)Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena :


a.Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia
menerima pekerja/buruh;
b.Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan
penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c.Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus
selama 2 (dua) tahun;
d.Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur).
e.Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f.Perusahaan pailit;
g.Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
18

1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh;


2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
3. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau
lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
h. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh
pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
(1) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum
tanggal mulai pengunduran diri;
(2) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
(3) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
19

h. Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis
yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan
tertulis;
i. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama,
kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
j. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib
karena diduga melakukan tindak pidana;
k. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
l. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
m. Pekerja/buruh meninggal dunia.
2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan
pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1).
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.
20

5. Pesangon
UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan mengenai besaran pesangon dan penghargaan masa kerja
yang bisa didapatkan oleh pekerja saat terjadi PHK.
• Pada UU Ketenagakerjaan, besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang didapatkan saat
terjadi PHK dipengaruhi tidak hanya oleh lama waktu kerja, namun juga alasan terjadinya PHK.
• Pada UU Cipta Kerja, korelasi antara alasan PHK dengan besaran pesangon dan/atau penghargaan
masa kerja dihilangkan, sehingga multiplier pesangon dan/atau penghargaan masa kerja yang
semula dapat mencapai 32 kali upah juga tidak lagi ada. Pada UU Cipta Kerja, batas maksimal
pesangon dan/atau penghargaan masa kerja yang diwajibkan kepada pengusaha adalah 19 kali
upah.
• Pada UU Cipta Kerja, Ketentuan Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar
15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang semula terdapat dalam Pasal
156 ayat (4) huruf c UU Ketenagakerjaan dihilangkan.
21

• Pesangon Karyawan Pada Perusahaan Pailit (Pasal 95 UU Cipta


Kerja)
1)Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
2)Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya
sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
3)Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan
pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
22

6. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan


• UU Cipta Kerja menambahkan satu jenis program jaminan sosial, yakni jaminan
kehilangan pekerjaan. Hal ini diatur UU Cipta Kerja dalam perubahan UU No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 46A yang berbunyi: “Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan
pekerjaan yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial ketenaga-
kerjaan dan Pemerintah Pusat dan Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Pemerintah.”
• Pasal 46C ayat (2) menyebutkan bahwa “iuran jaminan kehilangan pekerjaan dibayar
oleh Pemerintah Pusat”.
• Pasal 46D menyebutkan bahwa “Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang
tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja, diberikan paling banyak 6 (enam)
bulan upah dan manfaat ini diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan
tertentu”
• Ketentuan lanjutan dalam Peraturan Pemerintah
23

7. Pekerja Sakit / Cacat Kecelakaan Kerja


Perbedaan Inisiatif Pemutusan Hubungan Kerja
• Dalam UU Ketenagakerjaan inisiatif PHK pada Pekerja/Buruh, sebagaimana pada Pasal 172
mengatur : “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4). “
• Dalam UU Cipta Kerja inisiatif PHK pada Perusahaan sebagaimana pada Pasal 154A huruf m :
“Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena : Pekerja/buruh mengalami sakit
berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya
setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan”
24

Jenis-jenis Perselisihan Hubungan Industrial


Perselisihan Hubungan Industrial :
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 butir 1 UU No. 2 Tahun 2004 Jo.
Pasal 1 butir 22 UU No. 13 Tahun 2003).

Perselisihan hak :
•Perselisihan ini timbul disebabkan oleh tidak dipenuhinya hak (Gaji, Upah Lembur, mutasi, dll)
yang merupakan akibat adanya perbedaan pemahaman atau pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama ( Pasal 1
butir 2 UU No. 2 Tahun 2004)
25

Perselisihan kepentingan :
•Perselisihan ini muncul dalam hubungan industrial karena tidak adanya kesepahaman mengenai
pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja pada perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 butir 3 UU No. 2 Tahun 2004)

Perselisihan PHK :
•Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kepahaman mengenai pemutusan hubungan kerja
oleh salah satu pihak (Pasal 1 butir 4 UU No. 2 Tahun 2004).

Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan
(Pasal 1 butir 5 UU No. 2 Tahun 2004).
26

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN


ar serikat pekerja dalam satu perusahaan
INDUSTRIAL
Perundingan Bipartit :
•Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
yang sudah tercatat di Disnaker dan wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal dimulainya perundingan (Pasal 1 butir 18 UU No. 13 Tahun 2003 Jo. Pasal 1 butir 3 Jo. Pasal 3 UU
No. 2 Tahun 2004 UU No. 2 Tahun 2004).

Perundingan Tripartit :
•Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, Perundingan Tripartit bisa melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase (Pasal 1 butir 19 UU No. 13 Tahun
2003 Jo. Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2004).

Pengadilan Hubungan Industrial :


•Bagi pihak yang menolak anjuran mediator dan juga konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke PHI. Tugas PHI
antara lain mengadili perkara Perselisihan Hubungan Industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima
permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
27

PENYELESAIAN MELALUI BIPARTIT


(PASAL 3, PASAL 6, PASAL 7 UU NO. 2 TAHUN 2004)

• Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih


dahulu melalui perundingan bipartit;
• Diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan;

Bipartit Gagal :
• Apabila dalam jangka waktu 30 hari kerja, salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
• Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
(Disnaker) dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit;
• Apabila bukti upaya penyelesaian bipartit tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 hari kerja.
28

Bipartit Berhasil :
•Apabila mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama;
•Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan, dapat mengajukan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama
didaftar;
•Dalam hal pemohon berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat Perjanjian Bersama
didaftar, maka dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industria pada Pengadilan Negeri di
wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten.
29

PENYELESAIAN MELALUI TRIPARTIT


(PASAL 4 AYAT 1 UU NO. 2 TAHUN 2004)

• Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada para pihak untuk
memilih konsiliasi atau arbitrase;

• Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan melalui konsiliasi atau arbitrase, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaiannya melalui mediator;
• Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penye-lesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.
• Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh.
• Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang
ditandatangani para pihak dan diketahui oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industria
pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB);
30

PENYELESAIAN PERSELISIHAN TRIPARTIT (Pasal 1 butir 11-16 UU No. 2 Tahun


2004)

•Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,


perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.
•Mediator Hubungan Industrial adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanyadalam satu
perusahaan.
•Konsiliasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
31

• Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang
memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
• Arbitrase Hubungan Industrial adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan
Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
• Arbiter Hubungan Industrial adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih
dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
32

PENYELESAIAN MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN


INDUSTRIAL
(UU NO. 2 TAHUN 2004)
• Berlakunya UU No. 2 tahun 2004 tentang PPHI, sejak tgl 14 Januari 2006;
• PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) adalah Pengadilan Khusus (lex specialis)
Merupakan Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan Peradilan Umum
(dibawah naungan MA), yang menangani perselisihan hubungan industrial;
• PHI berada ditingkat Propinsi, dan dalam tahap berikutnya Kota-kota yang padat
Industri diperbolehkan mengusulkan adanya PHI;
33

PENYELESAIAN MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN


INDUSTRIAL
(UU NO. 2 TAHUN 2004)

Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial (Pasal 5).
Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum acara
perdata yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam
undang-undang ini (Pasal 57), dengan acara persidangan : Pembacaan Gugatan,
Jawaban, Replik, Duplik, Daftar Bukti, Saksi dan Kesimpulan.
Pengadilan Hubungan Industrial tidak mengenal upaya hukum banding, namun
hanya Pengadilan tingkat pertama, Kasasi dan Peninjauan Kembali (Pasal 56).
URUTAN BERACARA DI PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL

-Dilampiri Surat Kuasa Khusus


1. PENDAFTARAN GUGATAN KE PANITERA PHI -Risalah Perundingan dari Perantara
-Surat Gugatan Asli & 4 Foto Copy

-Oleh Jurus Sita PHI


2. TERIMA RELAAS PANGGILAN SIDANG
-Untuk TERGUGAT mendapat copy
Gugatan

3. PEMERIKSAAN LEGAL STANDING PENGGUGAT

4. PEMERIKSAAN LEGAL STANDING TERGUGAT

5. PENAWARAN UPAYA DAMAI, PEMBACAAN GUGATAN &


PENAWARAN JIKA ADA PERUBAHAN GUGATAN

6. PEMBACAAN JAWABAN TERGUGAT & PENAWARAN Jawaban TERGUGAT asli dan 4


JK ADA PERUBAHAN JAWABAN GUGATAN fotocopy
URUTAN BERACARA DI PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL

7. REPLIK / tanggapan Penggugat thd Jawaban


Tergugat

8. DUPLIK / tanggapan Tergugat thd Replik


-Pembuktian dari apa yang di dalilkan (baik
9. Pembuktian Penggugat : Tertulis + saksi Tertulis ataupun Saksi)
-Siapkan pertanyaan ke Saksi sehingga
untuk menguatkan dalil & sebaliknya
10. Pembuktian Tergugat : Tertulis + saksi
-Diberi kesempatan mempelajari bukti2 dari
pihak lawan & hal lain yg harus disampaikan
11. KESIMPULAN Pengugat/Tergugat

12. PUTUSAN - Hasil musyawarah Majelis


36

Pengajuan Gugatan :
Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja (Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004);
Gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi,
hakim wajib mengembalikan gugatan (Pasal 83 UU No. 2 Tahun 2004);
Bila Bipartit tidak dilaksanakan tiba-tiba langsung muncul anjuran dari Disnaker,
dan atas dasar anjuran Disnaker tersebut lalu muncul gugatan, maka gugatan
tersebut menjadi premature dan cacat hukum.
Pihak-pihak tidak dikenakan biaya perkara termasuk biaya eksekusi yang nilai
gugatannya di bawah Rp. 150 juta (Pasal 58 UU No. 2 Tahun 2004).
37

Jangka waktu pengajuan Gugatan :


Bahwa tentang tenggat waktu pengajuan Gugatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun setelah terjadi putusnya hubungan kerja, telah diatur dalam :
•Pasal 82 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial : “Gugatan oleh
pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu)
tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.”

•Pasal 171 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi : “Pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh
dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya”.
38

Kuasa Hukum Para Pihak :


 Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa
hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 87 UU No. 2 Tahun
2004);
 Bahwa menurut hukum bila seseorang atau Badan hukum hendak mengajukan gugatan
kepada Badan Peradilan dan menunjuk kuasa hukum maka dalam surat kuasa harus
bersifat khusus dan dalam surat kuasa harus dicantumkan dengan jelas hanya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
 Selain itu didalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai
Penggugat dan B sebagai Tergugat (Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia (SEMA) No. 6 Tahun 1994 Tentang Surat Kuasa Khusus tanggal 14 Oktober
1994 dan juga ditentukan dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Perdata Umum Buku II Edisi 2007 Halaman 54 angka 4).
39

CONTOH KASUS PERKARA PERSELISIHAN


HUBUNGAN INDUSTRIAL
Perkara No.60/G/2013/PHI/PN.BDG antara AHMAD SAIFULLOH, DKK (Penggugat) melawan PT. SUCACO,
TBK (Tergugat) di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung.

Duduk Perkara :
Para Penggugat (AHMAD SAIFULLOH, DKK) telah melakukan demonstrasi, dan mogok kerja tanpa ijin Tergugat (PT.
SUCACO, TBK) dan disertai dengan aksi provokasi pembakaran produk-produk perusahaan yang merupakan kesalahan
berat, mengakibatkan Tergugat tutup/tidak beroperasi lagi, sehingga Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja.

Foto-foto : Demonstrasi, mogok kerja tanpa ijin, dan pembakaran hasil produksi perusahaan
40

PEMBAHASAN :

1. Terjadinya demo, aksi mogok kerja tanpa ijin dan pembakaran hasil produksi, melanggar ketentuan
Pasal 137 sampai Pasal 140 UU No. 13 Tahun 2003 :
•Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, damai,
dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
•Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat minimal 7 (tujuh) hari kerja sebelum
mogok kerja dilaksanakan

2. Pembakaran hasil produksi mengakibatkan perusahaan tutup :


Merupakan kesalahan berat sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 158 ayat 1 huruf g UU No. 13
Tahun 2003) dan;
Mengakibatkan tutupnya/tidak beroperasinya perusahaan, sehingga tidak dibayarnya upah para pekerja
berdasarkan Asas No Work No Pay yaitu upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan
pekerjaan (Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 78 tahun 2015);
41

3. Surat Kuasa Tidak Sah:


Bahwa karena surat kuasa Para Penggugat tertanggal 22 Mei 2013 yang dipergunakan oleh Para
Penggugat untuk mengajukan gugatan perkara a quo tidak mencantumkan siapa sebagai pihak
Tergugat sehingga Surat Kuasa tidak sah karena Surat Kuasa tersebut tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No.6 Tahun
1994 Tentang Surat Kuasa Khusus tanggal 14 Oktober 1994 Jo. Pedoman Teknis Administrasi dan
Teknis Peradilan Perdata Umum Buku II Edisi 2007 Halaman 54 angka 4.
4. Surat Kuasa dan Gugatan Cacat Formil :
Bahwa salah satu dari Para Penggugat tidak pernah menandatangani surat kuasa, seharusnya Para
Pemberi Kuasa hanya berjumlah 30 orang bukan 31 orang sebagaimana yang tercantum baik
didalam surat kuasa maupun didalam gugatan, oleh karena jumlah para pemberi kuasa tidak sesuai
dengan faktanya atau jumlah para pemberi kuasa melebihi dari yang seharusnya diterima oleh
penerima kuasa, maka surat kuasa dan gugatan menjadi cacat formil.
42

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Perkara


memutuskan perkara No.60/G/2013/PHI/PN.BDG antara AHMAD SAIFULLOH,
DKK melawan PT. SUCACO, TBK dengan amar putusan :

Mengadili :
Dalam Eksepsi :
Mengabulkan Eksepsi Tergugat

Dalam Pokok Perkara;


• Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima;
• Membebankan biaya perkara kepada Para Penggugat sebesar Rp 376.000,00 (tiga
ratus tujuh puluh enam ribu rupiah).
43

Perkara No. 33/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Palembang, antara IR. ALWI SIRAJUDDIN, PIA (Penggugat) melawan PT.
PERKEBUNAN MITRA OGAN (Tergugat I) dan PT. RAJAWALI NUSANTARA INDONESIA (Tergugat II) di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang.

Duduk Perkara :
Gugatan PENGGUGAT adalah karena PENGGUGAT tidak terima atas proses mutasi dari TERGUGAT I (Anak Perusahaan
BUMN dari TERGUGAT II) dipindahkan ke TERGUGAT II (Perusahaan Induk), tapi di sisi lain PENGGUGAT mengakui
sebagai karyawan TERGUGAT II dengan cara : menerima gaji dari TERGUGAT II dan PENGGUGAT juga mengajukan
permohonan cuti kepada TERGUGAT I dengan suratnya tertanggal 24 Agustus 2016 terhitung dari tanggal 25 Agustus 2016
sampai dengan tanggal 03 September 2016 (8 hari).

Pembahasan :
1.Bahwa TERGUGAT II selaku Induk Perusahaan, memiliki kewenangan untuk melakukan pengadaan pekerja dengan
penerimaan pekerja, pengangkatan, promosi, demosi, mutasi pekerja dan pemindahan pekerja di dalam lingkungan
TERGUGAT II, unit usaha dan anak-anak perusahaannya sesuai dengan formasi dan kebutuhan perusahaan serta bidang
ketrampilannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 44 PKB TERGUGAT II dan Pasal 1, Pasal 9,
Pasal 15, dan Pasal 36 ayat (2) PKB TERGUGAT I.
2.Bahwa PENGGUGAT pada tahun 2013 pernah menerima dan melaksanakan dengan baik, penugasan Mutasi dari
TERGUGAT I ke anak perusahaan TERGUGAT II (PT Mitra Rajawali Banjaran di Bandung) dan PENGGUGAT tidak
pernah mengajukan keberatan, bahkan PENGGUGAT telah menerima penugasan dan perjalanan dinas sebagai Tim Kerja
Pengkajian Rencana Pendirian Pabrik Latex TERGUGAT II dan akhirnya PENGGUGAT dikembalikan lagi menjadi staf
TERGUGAT I.
44

3. Bahwa PENGGUGAT setelah mendapatkan Surat Pengangkatan menjadi Staf TERGUGAT II,
PENGGUGAT mengakui sebagai karyawan TERGUGAT II dengan cara : menerima gaji dari
TERGUGAT II dan PENGGUGAT juga mengajukan permohonan cuti kepada TERGUGAT II dengan
suratnya tertanggal 24 Agustus 2016 terhitung dari tanggal 25 Agustus 2016 sampai dengan tanggal 03
September 2016 (8 hari);
4. Bahwa setelah masa cutinya berakhir, ternyata PENGGUGAT tidak masuk (mangkir) dari pekerjaan di
TERGUGAT II, sehingga TERGUGAT II memberi Surat Teguran 2 kali dan Surat Peringatan 3 kali, namun
tidak mendapat respon dan tanggapan dari PENGGUGAT.
5. Bahwa PENGGUGAT tetap tidak masuk kerja hingga 4 bulan 14 hari, sehingga PENGGUGAT
dikualifikasi mengundurkan diri, bersandar pada Pasal 168 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan secara jelas dan tegas menyatakan :“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri” dan tidak berhak mendapat gaji sebagaimana Asas “NO WORK NO
PAY” yaitu upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (Pasal 93 ayat (1) UU
No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 78 tahun 2015).
6. Bahwa oleh karena PENGGUGAT telah mengundurkan diri maka PENGGUGAT secara formil tidak lagi mempunyai
kapasitas atau legal standing untuk mengajukan gugatan.
45

7. Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Palembang mengeluarkan Anjuran No. 567/446/Disnaker/2017


tertanggal 13 Juli 2017, tanpa adanya lampiran bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui
perundingan Bipartit telah dilakukan dan juga tanpa adanya Risalah Bipartit, yang dijadikan dasar
Gugatan PENGGUGAT.
8. Dalam Pasal 4 UU No. 2 tahun 2004 mengatakan dalam Bipartit wajib dibuat Risalah Bipartit yang kemudian
diajukan ke Mediator maka Mediator wajib memeriksa berkas yang diajukan, bila tidak ada Risalah Bipartit
maka Mediator wajib mengembalikan lagi ke Para Pihak untuk dilengkapi.
9. Bila Bipartit tidak dilaksanakan tiba-tiba langsung muncul anjuran dari Disnaker, dan atas dasar anjuran
Disnaker tersebut lalu muncul gugatan, maka gugatan tersebut menjadi premature dan cacat hukum,
bertentangan dengan mekanisme sebagaimana diatur Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-undang No. 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
10. Bahwa Gugatan PENGGUGAT diajukan pada tanggal 04 Juli 2018, sedangkan Surat Panggilan terakhir
dari TERGUGAT II pada tanggal 16 Januari 2017 yang tidak juga diindahkan oleh PENGGUGAT,
sehingga PENGGUGAT putus hubungan kerjanya dengan TERGUGAT II karena PENGGUGAT dikualifikasi
mengundurkan diri, maka bila diperhitungkan tenggat waktu dari tanggal surat panggilan terakhir tanggal 16
Januari 2017 sampai Gugatan perkara aquo diajukan PENGGUGAT pada tanggal 04 Juli 2018, adalah
1 (satu) tahun 5 (lima) bulan 19 (sembilan belas) hari.
CURRICULUM VITAE 46

 
•Nama : DR. TURMAN M. PANGGABEAN, SH.,MH.
•Tempat/Tanggal lahir : Jakarta / 18 Oktober 1960
•Kebangsaan : Indonesia
•Status/Jenis Kelamin : Kawin/Laki-laki
•Alamat : Kantor advokat DR. Turman M. Panggabean, SH.,MH & Rekan /
ABSOLUT PATENT & TRADEMARK
Ruko Cempaka Mas Blok B-24, Jl. Letjend. Suprapto,
Jakarta Pusat 10640, INDONESIA.
Tel.  (62-21)  428 - 70830 (hunting), Fax. (62-21) 428 – 70832
email: turmanpanggabean@cbn.net.id
Pengalaman Profesi :
•1982 – 1985 : Wartawan pada Media Cetak Inti Jaya;
•1986 – 1989 : Wartawan pada Media Cetak Bisnis Indonesia;
•1989 – 1990 : Pendiri dan Managing Partner pada Kantor Suryomurcito & Panggabean Law Offices;
•1991 – 1993 : Pendiri dan Managing Partner pada Kantor TB Aritonang & Panggabean Law Offices;
•1990 – 1992 : Managing Partner pada Kantor Hosanna Patent & Trademarks;
•1990 – 1992 : Managing Partner pada Kantor Indo Patent & Trademarks;
•1993 – 1999 : Managing Partner pada Kantor Mandala Patent;
•1995 – 2000 : Managing Partner pada Kantor Pacific Patent&Trademarks;
•1999 – 2000 : Pendiri dan Managing Partner pada Kantor Acemark “Amir Syamsudin” Law Offices;
47
• 2000–sekarang : Pendiri dan Pemilik Kantor Konsultan Kekayaan Intelektual ABSOLUT Patent & Trademark;
• 2001-sekarang : Pendiri dan Pemilik Kantor Advokat/Kurator dan Pengurus Kepailitan
DR. Turman M. Panggabean, SH.,MH., dan Rekan;
• 2010-sekarang : Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat Persatuan Advokat Indonesia
(PKPA PERADI)
• 2018-sekarang : Dosen Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS).

Ijin-Ijin Yang Dimiliki


•Advokat
•Konsultan Kekayaan Intelektual
•Kurator dan Pengurus Kepailitan

ORGANISASI:
• 1991 – 1994 : Anggota Asosiasi Advokat Indonesia ( AAI )
• 1994 – 1998 : Wakil Bendahara Umum IKADIN;
• 1999 – Sekarang : Anggota INTA (International Trademark Association)
• 1999 – Sekarang : Anggota IKADIN Jakarta Barat
• 1999 – 2002 : Pengurus DPC IKADIN Jakarta Barat
• 2002 – Sekarang : Anggota Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI)
• 2003 – 2007 : Pengurus DPP IKADIN (Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia)
• 2006 – Sekarang : Anggota Konsultan Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI);
• 2010 – 2015 : Ketua Departemen Hubungan Antar Lembaga PERADI;
• 2015 – 2017 : Bendahara Umum PERADI;
• 2015 – Sekarang : Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI);
• 2017 – Sekarang : Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia ( AKPI )
48

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai