Anda di halaman 1dari 6

SISTEM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

MEDIASI
Perselisihan:
- Hak
- Kepentingan
- PHK
- Antar SP/SB

BIPARTIT KONSILIASI PHI-PN KASASI-MA PK-MA


Perselisihan: Perselisihan: Perselisihan: Perselisihan: Perselisihan:
- Hak - Hak - Hak - Hak - Hak
- Kepentingan - Kepentingan - PHK - PHK - Kepentingan
- PHK - PHK - Kepentingan - PHK
- Antar SP/SB - Antar SP/SB - Antar SP/SB - Antar SP/SB

ARBITRASE
Perselisihan:
- Kepentingan
- Antar SP/SB

Dasar Hukum

Dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah Undang Undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004).
Namun oleh karena UU No. 2 Tahun 2004 tidak cukup mengatur, khususnya mengatur hukum
acara Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri (PHI), kasasi dan peninjauan pada
Mahkamah Agung (kasasi dan PK), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 57, untuk memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap suatu perkara perselisihan hubungan industrial, dalam
praktik majelis hakim menggunakan hukum acara yang diatur dalam Undang Udang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan dan Surat Edaran
Mahkamah Agung, Herzien Indonesis Reglement (HIR) yang berlaku untuk Jawa dan Madura,
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) yang berlaku untuk daerah diluar Jawa dan Madura, serta
Reglement of de Rechtsvordering (Rv) sebagai hukum acara perdata yang berlaku bagi orang
Eropa dan Timur Asing yang berada di Indonesia.

Jenis Perselisihan

Perselisihan hubungan industrial ada 4 (empat) jenis yaitu:


1. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Perselisihan kepentingan yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak.
4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lainnya hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan
hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Lembaga

Lembaga-lembaga penyelesaian perselisihan industrial adalah Bipartit, Mediasi, Konsiliasi,


Arbitrase, PHI, Kasasi, dan PK.

Kewenangan Lembaga

Bipartit, Mediasi, PHI, dan PK berwenang menyelesaikan seluruh (4 jenis) perselisihan hubungan
industrial yaitu, perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Konsiliasi hanya berwenang
menyelesaikan 3 (tiga) jenis perselisihan yaitu, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Arbitrase hanya berwenang
menyelesaikan 2 (dua) jenis perselisihan yaitu, perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh. Dan kasasi hanya berwenang menyelesaian 2 (dua) jenis
perselisihan yaitu, perselisihan hak, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja.

Tata Cara Penyelesaian

Tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industri diselesaikan dengan proses sebagai
berikut.

Bipartit
Lakukan perundingan bipartit yaitu, perundingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha secara
musyawarah untuk mufakat/sepakat. Jika perundingan mencapai kesepakatan untuk berdamai,
buatlah Perjanjian Bersama (PB) dan daftarkan di PHI supaya memperoleh nilai eksekutorial.
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus selesai paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal dimulainya perundingan pertama. Jika perundingan tidak terjadi akibat salah satu pihak
tidak bersedia melakukan perundingan, menurut pendapat penulis, dihitung sejak tanggal
pelaksanaan perundingan yang diminta salah satu pihak dalam surat permohonan perundingan
bipartitnya.

Pencatatan Perselisihan

Apabila perundingan gagal maka proses selanjutnya adalah mencatatkan (istilah UU No. 2 Tahun
2004) atau mendaftarkan perselisihan ke kantor instansi pemerintah yang bertanggungjawab
dibidang ketenagakerjaan atau Disnaker/Kemnaker. Selanjutnya Disnaker/Kemnaker akan
memanggil para pihak untuk melakukan klarifikasi atas perselisihan yang dicatatkan sekaligus
bertanya apakah perselisihan diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase.

Sepanjang yang penulis ketahui, sejak berlakunya UU No. 2 Tahun 2004 sampai sekarang belum
pernah penyelesaian perselisihan hubungan industrial diselesaikan melalui lembaga konsiliasi
maupun arbitrase. Seluruhnya diselesaikan melalui mediasi.

Mediasi

Anggaplah para pihak memilih penyelesaian melalui mediasi. Selanjutnya mediator akan
memanggil para pihak untuk hadir dalam sidang mediasi. Apabila dalam sidang mediasi tercapai
kesepakatan untuk berdamai maka mediator akan membantu membuat PB untuk berdamai.
Perjanjian Bersama ini juga didaftarkan di PHI untuk memperoleh nilai eksekutorial. Apabila
dalam sidang mediasi gagal untuk berdamai maka mediator mengeluarkan anjuran. Dan apabila
para pihak menerima anjuran mediator maka mediator akan membatu membuat PB dan
mendaftarkannya ke PHI untuk memperoleh nilai eksekusi. Penyelesaian perselisihan melalui
mediasi harus selesai paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak mediator menerima
pelimpahan perselisihan dari Kepala Disnaker/pejabat Kemnaker.

Konsiliasi dan Arbitrase

Proses penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase tidak dibahas penulis karena sepengetahuan
penulis 2 (dua) lembaga penyelesaian perselisihan ini tidak pernah dipilih para pekerja/buruh dan
pengusaha untuk menyelesaikan perserlisihan hubungan industrial. Mungkin, karena sangat rumit
para pihak harus bersepakat memilih konsiliator atau arbiter yang sama orangnya. Juga biaya
arbitrase dan honorarium arbiter.

Pengadilan Hubungan Industrial

Jika anjuran mediator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak maka salah satu pihak
mengajukan gugatan ke PHI yang satu provinsi dengan tempat/lokasi kerja pekerja/buruh. Sistem
beracara di PHI sama dengan sistem penyelesaian perkara perdata umum. Dari segi proses ada
gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian (bukti surat, saksi, ahli, pemeriksaan setempat),
kesimpulan, dan putusan. Dari segi putusan ada putusan gugatan gugur, putusan sela, putusan
verstek, dan putusan akhir.

Jika para pihak menerima putusan PHI atau salah satu pihak atau para pihak tidak melakukan
upaya hukum kasasi maka putusan PHI menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
yang dapat dieksekusi. Namun jika salah satu pihak atau para pihak menolak putusan PHI maka
salah satu pihak atau para pihak dapat melakukan upaya hukum kasasi. Tapi upaya hukum kasasi
hanya boleh terhadap jenis perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Sedangkan perselisihan kepentingan diajukan melalui upaya hukum peninjauan kembali.
Demikian juga upaya hukum terhadap perselisihan antara SP/SB diajukan melalui upaya hukum
peninjauan kembali.

Penyelesaian perselisihan melalui PHI wajib selesai selabta-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja
terhitung sejak sidang pertama. Pengalaman penulis, waktu 50 (lima puluh) hari kerja itu tidak
cukup. Waktu 50 (lima puluh) hari kerja itu bisa cukup jika dilaksanakan persidangan 2 (dua) kali
dalam seminggu. Tapi para pihak tidak bersedia bersidang 2 (dua) kali dalam seminggu dengan
kebanyakan alasan tidak cukup waktu 3 (tiga) hari menyusun jawaban, replik, duplik, kesimpulan.
Selain itu, mayoritas panggilan didelegasikan ke Pengadilan Negeri di kota/kabupaten alamat para
pihak. Juga kadangkala jumlah saksi para pihak banyak.

Kasasi

Pasal 110 UU No. 2 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut: “Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi
kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:

a. Bagi pihak yang hadir terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
b. Bagi pihak yang tidak hadir terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.”.
Pasal 110 itu mempunyai arti paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pembacaan
putusan wajib mengajukan permohonan kasasi disertai dengan pemberian memori kasasi di
Kepaniteraan PHI-PN pemutus. Jika dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja itu dilewati
maka putusan itu menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat
dimohonkan untuk dieksekusi.

Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah
Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi (Pasal 115 UU No. 2 Tahun 2004).

Peninjauan Kembali

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
tidak mengatur lembaga peninjauan kembali atas perkara yang diputus Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri dan perkara yang diputus Mahkamah Agung dalam tingkat
kasasi. Namun dalam praktik, terhadap perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja diterima, diadili, dan diputus Mahkamah Agung dalam
tingkat peninjauan kembali.

Hal itu didasarkan pada ketentuan Pasal 67 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut:

“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang
pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama
oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan
satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.”.

Sedangkan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, sejauh ini
penulis belum pernah mengetahui apakah perselisihan antar serikat diterima atau tidak. Tapi
terhadap putusan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat yang ditangani atau
diselesaikan arbiter, berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004, satu pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung atas alasan-alasan
sebagaimana diuraikan dalam bagian penyelesain perselisihan melalui arbitrase di atas. Frasa
“permohonan pembatalan” dalam ketentuan Pasal 52 itu dapat dimaknai sama dengan
“permohonan peninjauan kembali”.

Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, tanggal 16 November
2018, angka II huruf B angka 3 pada pokoknya berbunyi sebagai berikut: Dalam perkara
perselisihan hubungan industrial tidak ada upaya hukum Peninjauan Kembali. Surat Edaran ini
menimbulkan pertanyaan, sejak kapan upaya hukum peninjauan kembali ini dihentikan, karena
tidak disebut dalam SEMA itu, apakah sejak tanggal 17 November 2018. Jika ada novum atau
terdapat 2 (dua) putusan pengadilan yang saling bertentangan atas satu objek perkara PHI,
apakah tetap tidak bisa PK ?

Sekian. Semoga Bermanfaat

Advokat Harris Manalu, S.H.


Spesialis Hubungan Industrial | ex Hakim Ad-Hoc PHI
0812 8386 580, adv.harris.manalu.sh@gmail.com
Cibubur, 23 Feb 2019

Anda mungkin juga menyukai