Anda di halaman 1dari 18

1

BAB 3
JENIS JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Dari buku Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial : Ugo. Pujiyo. 2011)

Oleh :
Nama

: Dwi Putri Lestari

NPM

: 1216051035

BAB 3
JENIS-JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Rangkuman:
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan
antar serikat perkerja/buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 1
UUPPHI).
Para pihak yang dapat beperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan
maupun organisasi serikat pekerja/buruh dengan pengusaha atau organisasi
pengusaha. Pihak yang beperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/buruh
pada perusahaan swasta, BUMN/D, usaha-usaha buruh lain dalam satu
perusahaan.

Perselisihan dalam hubungan industrial dapat dikelompokkan dalam empat jenis


perselisihan. Berikut adalah jenis-jenis dari perselisihan hubungan industrial:
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
d. Perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan

Jenis-jenis perselisihan

A. Perselisihan Hak

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau


perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 1 UUPPHI).
Menurut Prof. Iman Soepomo, S.H. perselisihan hak (rechtsgeschil) adalah
perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau
perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian itu ataupun menyalahi
ketentuan hukum.
Perselisihan hak juga disebut sebagai perselisihan normative, yaitu perselisihan
tentang hal-hal yang telah diatur atau telah ada dasar hukumnya. Perbedaan
penafsiran terjadi karena tidak tegasnya batasan/penjelasan dalam peraturan dan
atau adanya perbedaan penilaian atas suatu fakta hukum.
Contoh Kasus:
1.000 Karyawan PT Kereta Api (KA) Tuntut Kesejahteraan
Sekitar 1.000 karyawan PT KA berunjuk rasa menuntut kesejahteraan di kantor
PT KA di jalan Peintis Kemerdekaan, Bandung 15 Maret 2007. Massa buruh yang
tergabung dalam Serikat Pekerja PT KA (SPKA) menuntut direksi yang
sebelumnya untuk menepati janjinya memperjuangkan kesejahteraan karyawan.
Namun setelah satu tahun menjabat sebagai direksi, kesejahteraan karyawan
ternyata tidak mengalami peningkatan. Menurut ketua SPKA, mereka menuntut
kesejahteraan karyawan PT KA sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dia
mengungkapkan perjanjian Kerja Bersama belum terlaksana. Selain itu gaji pokok
belum disetarakan PNS tahun 2007. Padahal perjanjiannya pendapatan karyawan
minimum 10% di atas PNS. Jika tidak segera direalisasikan, pihaknya akan
menggelar aksi yang lebih besar dan melakukan mogok kerja (Media Indonesia,
16 Maret 2007).
Tata Cara dan Proses Penyelesaian
1. Tahap Pertama: Perundingan Bipartit

Berdasarkan Pasal 3 UUPPHI menentukan bahwa setiap ada perselisihan


hubungan industrial, maka wajib hukumnya untuk diselesaikan terlebih dahulu
melalui perundingan bipartite untuk diselesaikan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat tanpa ada pihak ketiga yang turut campur. Apabila dalam
perundingan bipartite tercapai kesepakatan, maka dibuatlah perjanjian bersama,
yang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan
ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran
Perjanjian Bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan maka tahap kedua yang
harus ditempuh, yaitu satu-satunya lembaga penyelesaian perselisihan di luar
pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan hak adalah
mediasi.
2. Tahap Kedua: Mediasi
Karena perundingan bipartite gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti telah dilakukannya
perundingan

bipartit.

Selanjutnya

pihak

yang

bertanggungjawab

akan

menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Apabila dalam


mediasi tercapai kesepakatan, maka dibuatlah perjanjian bersama, yang harus
didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, apabila tidak tercapai
kesepakatan maka tahap ketiga yang harus ditempuh, yaitu mengajukan gugatan
ke pengadilan.
3. Tahap Ketiga: Gugatan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan hubungan industrial ini baru bisa menyelesaikan perselisihan hak,
apabila para pihak telah menempuh penyelesaian melalui lembaga bipartit dan
mediasi, tanpa itu pengadilan akan menolak.
B. Perselisihan Kepentingan

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja


karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau
perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004).
Menurut Prof. Iman Soepomo, S.H. perselisihan kepentingan (belangengeschil),
adalah mengenai usaha mengadakan perubahan dalam syarat-syarat perubahan,
biasanya perbaikan syarat perburuan, yang oleh organisasi buruh dituntutkan
kepada majikan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dilihat adanya perbedaan antara perselisihan
hak dengan perselisihan kepentingan, dalam perselisihan hak yang dilanggar
adalah hukumnya baik yang ada dalam peraturan perundang-undangan, dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sedangkan
dalam perselisihan kepentingan menyangkut pembuatan hukum dan/ atau
perubahan terhadap substansi hukum yang telah ada.
Contoh Kasus:
Pekerja Karoseri Mayasari Mogok Kerja
Sekitar 180 pekerja Karoseri, perusahaan organda Mayasari Grup berdemonstrasi
di kantor unit Karoseri Jalan Raya Lapangan Tembak, Cibubur, Jakarta Timur,
Selasa (15/7).
Pimpinan unjuk rasa Abdul Halim mengatakan tujuan unjuk rasa ini untuk
menuntut perbaikan upah serta pembaharuan perjanjian kerja sama. Sudah dua
tahun mereka tidak mendapatkan upah jaminan sosial tenaga kerja dan beberapa
karyawan dibayar dibawah upah minimum regional. Pengunjuk rasa juga
menuntut jatah cuti yang tidak pernah diberikan kepada mereka.
Tata Cara dan Proses Penyelesaian
1. Tahap Pertama: Perundingan Bipartit

Berdasarkan Pasal 3 UUPPHI menentukan bahwa setiap ada perselisihan


hubungan industrial, maka wajib hukumnya untuk diselesaikan terlebih dahulu
melalui perundingan bipartite untuk diselesaikan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat tanpa ada pihak ketiga yang turut campur. Apabila dalam
perundingan bipartite tercapai kesepakatan, maka dibuatlah perjanjian bersama,
yang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan
ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran
Perjanjian Bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan maka tahap kedua yang
harus ditempuh.
2. Tahap Kedua: Konsiliasi atau Arbitrase atau Mediasi
Apabila perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan, maka para pihak dapat
memilih konsiliasi, arbitrase, atau mediasi. Setelah memilih maka:
1) Jika memilih konsiliasi atau mediasi, maka apabila tercipta kesepakatan
kemudian dibuatlah perjanjian bersama, apabila tidak tercapai maka
konsiliator atau mediator memberikan anjuran tertulis, bila salah satu
pihak tidak menyetujui isi anjuran tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
2) Jika memilih arbitrase, maka putusannya bersifat final dan mengikat,
sehingga para pihak tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial.

3. Tahap Ketiga: Gugatan Melalui Hubungan Industrial


Perbedaan antara penyelesaian perselisihan hak dengan penyelesaian perselisihan
kepentingan adalah jika di dalam perselisihan hak dilakukan perundingan bipartit,
mediasi kemudian gugatan ke pengadilan. Apabila di dalam perselisihan
kepentingan setelah bipartit gagal, maka para pihak dapat memilih konsiliasi,
arbitrase, atau mediasi, baru setelah itu gugatan ke pengadilan.

C. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha (Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003).
Sedangkan perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 UUPPHI).
Jadi, perselisihan PHK timbul setelah adanya PHK yang dilakukan oleh salah satu
pihak, yang mana ada salah satu pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas
adanya PHK tersebut. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya
alasan PHK dan besaran kompensasi atas PHK.
Contoh Kasus:
Dituduh Mencuri Kudapan, Seluruh Buruh Kumpulkan Kue
Puluhan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
(FSPMI) mengumpulkan kue untuk diserahkan kepada majelis hakim serta jaksa
penuntut umum agar menerapkan hokum secara adil.
Buruh United Tobaccos Proceccing Industry (Utepe) Pasuruan, Sufiana diasili
karena dituduh mencuri kudapan senilai Rp 19.000. Dia dituntut tiga bulan
kurungan dan enam bulan percobaan. Bahkan sejak tiga bulan yang lalu
perusahaan telah memecatnya secara sepihak.
Jazuli menilai pemidanaan ini dilakukan untuk melemahkan serikat buruh, sebab
selama ini Sulfiana kerap bersikap kritis terhadap perusahaan. Sulfiana bersikeras
menolak segala tuduhan yang disampaikan jaksa dan selama persidangan jaksa tak
mampu menghadirkan barang bukti maupun saksi yang melihat secara langsung
dugaan pencurian tersebut.
Tata Cara dan Proses Penyelesaian
1. Tahap Pertama: Perundingan Bipartit

Berdasarkan Pasal 3 UUPPHI menentukan bahwa setiap ada perselisihan


hubungan industrial, maka wajib hukumnya untuk diselesaikan terlebih dahulu
melalui perundingan bipartite untuk diselesaikan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat tanpa ada pihak ketiga yang turut campur. Apabila dalam
perundingan bipartite tercapai kesepakatan, maka dibuatlah perjanjian bersama,
yang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan
ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran
Perjanjian Bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan maka tahap kedua yang
harus ditempuh.
2. Tahap Kedua: Mediasi atau Konsiliasi
Apabila perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan, maka para pihak dapat
memilih konsiliasi atau mediasi. Apabila dalam mediasi atau konsiliasi tercapai
kesepakatan, maka dibuatlah perjanjian bersama, yang mengikat kedua belah
pihak. Perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama.
Apabila tidak tercapai maka konsiliator atau mediator memberikan anjuran
tertulis, bila salah satu pihak tidak menyetujui isi anjuran tersebut dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
3. Tahap Ketiga: Gugatan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
Mengenai prosedur penyelesaian perselisihan PHK adalah hamper sama dengan
penyelesaian pada perselisihan kepentingan, yang berbeda adalah lembaga
arbitrase tidak berwenang menangani masalah perselisihan tersebut.
D. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Buruh
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 khususnya dalam Pasal 1 angka 5
disebutkan bahwa Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/ serikat

buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan.
Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bahwa di dalam sebuah perusahaan bisa
saja terdapat beberapa serikat pekerja/buruh. Hal ini dimungkinkan karena
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh Pekerja/Serikat
Buruh, memberikan kemudahan dalam pembentukan serikat pekerja/buruh dalam
perusahaan.

Contoh Kasus:
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) ada tiga organisasi buruh, yaitu Serikat Pekerja
Forum Karyawan (SP FKK), Serikat Karyawan CN 235 (SEKAR 235), dan
Serikat Karyawan Dirgantara Indonesia (SK DI). Bahkan pernah terjadi konflik
antar serikat pekerja dikarenakan kebijakan manajemen.
Tanggal 11 Juli 2003 PT DI merumahkan 9.600 karyawan dan menutup pintu
masuk kompleks PT DI, sehingga kantor SP FKK yang berada di lokasi
perusahaan juga ikut tutup. Kebijakan pengrumahan ini dilanjutkan dengan PHK
terhadap 6.561 orang dari 9.600 karyawan. Namun di lain pihak, ada sebanyak
3.100 karyawan yang dipanggil kembali untuk bekerja. Proses penentuan
karyawab yang dipanggil bekerja kembali dianggap diskriminatif oleh karyawan
yang tidak dipanggil. Bahkan menimbulkan konflik horizontal antara dua serikat
pekerja, karena dua serikat pekerja SKDI dan SK CN 235 dianggap berpihak
kepada manajemen. Konflik ini mengakibatkan pengrusakan barang-barang,
penghinaan, dan penganiayaan.
Tata Cara dan Proses Penyelesaian
1. Tahap Pertama: Perundingan Bipartit
Berdasarkan Pasal 3 UUPPHI menentukan bahwa setiap ada perselisihan
hubungan industrial, maka wajib hukumnya untuk diselesaikan terlebih dahulu
melalui perundingan bipartite untuk diselesaikan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat tanpa ada pihak ketiga yang turut campur. Apabila dalam
perundingan bipartit tercapai kesepakatan, maka dibuatlah perjanjian bersama,

yang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan
ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran
Perjanjian Bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan maka tahap kedua yang
harus ditempuh.
4. Tahap Kedua: Konsiliasi atau Arbitrase atau Mediasi
Apabila perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan, maka para pihak dapat
memilih konsiliasi, arbitrase, atau mediasi. Setelah memilih maka:
3) Jika memilih konsiliasi atau mediasi, maka apabila tercipta kesepakatan
kemudian dibuatlah perjanjian bersama, apabila tidak tercapai maka
konsiliator atau mediator memberikan anjuran tertulis, bila salah satu
pihak tidak menyetujui isi anjuran tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
4) Jika memilih arbitrase, maka putusannya bersifat final dan mengikat,
sehingga para pihak tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial.

5. Tahap Ketiga: Gugatan Melalui Hubungan Industrial


Perbedaan antara penyelesaian perselisihan hak dengan penyelesaian perselisihan
antar serikat pekerja/buruh adalah jika di dalam perselisihan hak dilakukan
perundingan bipartit, mediasi kemudian gugatan ke pengadilan. Apabila di dalam
perselisihan antar serikat pekerja/buruh setelah bipartit gagal, maka para pihak
dapat memilih konsiliasi, arbitrase, atau mediasi, baru setelah itu gugatan ke
pengadilan.

10

Pengayaan:
Prinsip hubungan industrial yang diterapkan di Indonesia adalah prinsip hubungan
industrial Pancasila. Prinsip ini menghendaki bahwa dalam mengatasi berbagai
permasalahan atau sengketa di bidang ketenagakerjaan yang terjadi harus
diselesaikan melalui prinsip hubungan industrial Pancasila.
Menurut Charles D. Drake (Lalu Husni,2005:41-42) bahwa perselisihan
perburuhan yang terjadi akibat pelanggaran hukum pada umumnya disebabkan
karena :
a. Terjadi perbedaan paham dalam pelaksanaan hukum perburuhan. Hal ini
tercermin dari tindakan-tindakan pekerja/ buruh atau pengusaha yang
melanggar

suatu

ketentuan

hukum,

misalnya

pengusaha

tidak

mempertanggungjawabkan buruh/ pekerjanya pada program jamsostek,


membayar upah di bawah ketentuan standar minimum yang berlaku, tidak
memberikan cuti dan sebagainya.

b. Tindakan pengusaha yang diskriminatif, misalnya jabatan, jenis pekerjaan,


pendidikan, masa kerja yang sama tapi karena perbedaan jenis kelamin
lalu diperlakukan berbeda.

Sedangkan perselisihan perburuhan yang terjadi tanpa didahului oleh suatu


pelanggaran, umumnya disebabkan oleh :
a. Perbedaan dalam menafsirkan hukum perburuhan, misalnya menyangkut
cuti melahirkan dan gugur kandungan, menurut pengusaha buruh/ pekerja
wanita tidak berhak atas cuti penuh karena mengalami gugur kandungan,
tetapi menurut buruh/ serikat buruh bahwa hak cuti tetap harus diberikan
dengan upah penuh meskipun buruh hanya mengalami gugur kandungan
atau tidak melahirkan.
b. Terjadi karena ketidaksepahaman dalam perubahan syarat-syarat kerja,
misalnya buruh/ serikat buruh menuntut kenaikan upah, uang makan,
transportasi, tetapi pihak pengusaha tidak menyetujui.

11

Dalam UUPPHI penyelesaian perselisihan dapat dilakukan di luar pengadilan (


Pengadilan Hubungan Industrial). Mekanisme ini tentunya lebih cepat dan dapat
memenuhi rasa keadilan para pihak karena penyelesaiannya berdasarkan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam era industrialisasi, perselisihan hubungan industrial menjadi semakin
kompleks, untuk penyelesaiannya diperlukan institusi

yang mendukung

mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah.


Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tenteng Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Hubungan Kerjan di Perusahaan Swasta sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan tersebut diatas.
Hal ini disebabkan beberapa hal:
Pertama : sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara,maka Putusan P4P yang semula bersifat final,oleh
pihak yang tidak menerima putusan tersebut dapat diajukan gugutan pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,yang selanjutnya dapat dimohonkan Kasasi
pada Mahkamah Agung. Proses ini membutuhkan waktu relatif lama yang tidak
sesuai untuk diterapkan dalam kasus ketenagakerjaan (hubungan industrial) yang
memerlukan penyelesaian yang cepat,karena berkaitan dengan proses produksi
dan hubungan kerja.
Kedua : adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan
P4P atau biasa disebut hak Veto. Hak Veto ini dianggap merukan campur tangan
Pemerintah,dan tidak sesuai lagi dengan paradigma yang berkembang dalam
masyarakat,dimana peran pemerintah seharusnya sudah harus dikurangi.
Ketiga : dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang dapat menjadi pihak
dalam

penyelesaian

perselisihan

hubungan

industrial

hanyalah

serikat

pekerja/serikat buruh. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000


tentang

Serikat

ILO No.87 tentang

Pekerja/Serikat
Kebebasan

buruh

yang

Berserikat

dijiwai
dan

oleh

Konvensi

Perlindungan

Hak
12

Berorganisasi,yang telah diratifikasioleh Indonesia,maka terbuka kesempatan


untuk setiap pekerja/buruh membentuk/mengikuti organisasi yang disukainya.
Namun di pihak lain hak pekerja/buruh untuk tidak berorganisasi juga harus
dihargai.
Penyelesaian Perselisihan di Luar Pengadilan Hubungan Industrial
Dalam UU ini penyelesaian perselisihan dapat dilakukan di luar pengadilan (
Pengadilan Hubungan Industrial). Mekanisme ini tentunya lebih cepat dan dapat
memenuhi rasa keadilan para pihak karena penyelesaiannya berdasarkan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
Terdapat 4(empat) bentuk penyelesaian yaitu melalui :
a. Bipartit;
b. Mediasi;
c. Konsiliasi;
d. Arbitrase.

a. Penyelesaian melalui Bipartit


Penyelesaian secara bipartit wajib diupayakan terlebih dahulu sebelum para pihak
memilh alternatif penyelesaian yang lain.Hal ini berarti bahwa sebelum pihak atau
pihak-pihak yang berselisih mengundang pihak ketiga untuk menyelesaikan
persoalan diantara mereka,maka harus terlebih dahulu melalui tahapan
perundingan para pihak yang biasa disebut sebagai bipartit.Penyelesaian melalui
bipartit nin harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan . Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)hari,salah satu pihak
menolak untuk merunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai
kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal.

13

Apabila dalam perundingan bipartit berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat


Perjanjian Bersama(PB) yang mengikat dan menjuadi hukum serta wajib
dilaksanakan

oleh

para pihak.Dalam hal

Perjanjian

Bersama(PB)tidak

dilaksanakan oleh salah satu pihak,maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah Perjanjian Bersama(PB) didaftar untuk mendapat penetapan
eksekusi.
b. Penyelesaian melalui Mediasi Wajib
Mediator,adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan
oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak,perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui mediasi wajib diperuntukan bagi:
1. Perselisihan hak
2. Perselisihan kepentingan
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
4. Perselisihan antar serikat pekerja/buruh
Dalam waktu selambat-lambatnya 7(tujuh) hari kerja setelah menerima
permintaan tertulis,mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Dalam hal tercapai kesepakatanpenyelesaian melalui mediasi,maka dibuat
Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh
mediator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama.

14

Dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan


anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi
pertama kepada para pihak. Para pihak harus memberikan pendapatnya secara
tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
menerima anjuran.
Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis dari mediator, dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator
harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama (PB)
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak,
maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan mengajukan gugatan oleh
salah satu pihak. Mediator harus menyelesaikan tugasnya paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal permintaan penyelesaian perselisihan.
c. Penyelesaian melalui Konsiliasi.
Konsiliator, adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai
konsiliator dan ditunjuk oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan
wajib memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui konsiliasi diperuntukan bagi :
perselisihan kepentingan;
perselisihan pemutusan hubungan kerja;
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

15

Penyelesaian oleh konsilator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan


permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan
disepakati para pihak. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja,
konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan
selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang
konsiliasi pertama.
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, maka dibuat
Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani para pihak dan diketahui oleh
konsiliator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, maka
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama kepada para pihak.
Para pihak harus sudah memberikan pendapatnya secara tertulis kepada
konsiliator dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis, dalam waktu selambatlambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama (PB) dan
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama (PB).
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka
penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
Konsiliator harus terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan serta

16

harus ada legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang
ketenagakerjaan.
Dalam melaksanakan tugasnya konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan
jasa yang dibebankan kepada negara.
d. Penyelesaian melalui Arbiter
Arbiter, adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih
dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan
mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase
yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Penyelesaian melalui arbiter harus berdasarkan kesepakatan para pihak yang
berselisih yang dituangkan dalam Perjanjian Arbitrase. Perjanjian tersebut
memuat antara lain pokok-pokok perselisihan yang diserahkan pada arbiter,
jumlah arbiter dan pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbiter.
Pihak-pihak dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter dalam jumlah
gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Arbiter yang ditunjuk haruslah arbiter
yang telah ditetapkan oleh Menteri dan wilayah kerjanya meliputi seluruh negara
Republik Indonesia.
e. Gugatan pengadilan hubungan industrial
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan Pengadilan negeri yang berwenang memeriksa,mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Untuk pertama kali dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap
Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri di setiap ibukota
Propinsi yang daerah hukumnya meliputi Propinsi yang bersangkutan.

17

DAFTAR PUSTAKA

Ugo. Pujiyo. 2011. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial. Jakarta: Sinar Grafika

http://www.joasduma.com/2011/02/perselisihan-hak-perselisihanhubungan.html

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/jenis-perselisihan-hubunganindustrial.html

https://fkispsibekasi.wordpress.com/2011/06/27/penjelasan-uu-no22004-tentang-perselisihan-hubungan-industrial/

18

Anda mungkin juga menyukai