Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan dengan tenaga
kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling patuh dan taat
akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai menjalin kerja bersama.
Dengan adanya keterikatan bersama antara para tenaga kerja berarti masing-masing pihak
memiliki hak dan kewajiban. Demikian pula sebaliknya, apablia terjadi PHK berarti manajer
tenaga kerja dituntut untuk memenuhi hak dna kewajiban terhadap tenaga kerja sesuai dengan
kondisi pada saat terjadi kontrak kerja. Bagi setiap pekerja/buruh, pengakhiran atau PHK bisa
sejauh mimpi buruk.
Secara yuridis dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh perusahaan
disebabkan oleh :
1
25 Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Panduan bagi Pegusaha, Pekerja, dan Calon Pekerja, Cetakan I,
Jakarta, Pustaka Yustisia, 2008, hal.106
pekerja/buruh dalam Undang-undanhg Nomor 13 Tahun 2003 pasal 151 ayat (1)
ditentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh dan pemerintah,
berupaya mengusahakan agar tidak terjadi PHK. Dalam hal, upaya tersebut telah Setiap
orang mempunyai tujuan dan motivasi yang berbeda dalam melakukan pekerjaan. Bagi
mereka yang tidak patuh atau menentang perusahaan dapat diberikan teguran atau sanksi
balikan yang lebih tegas diputuskn hubungan kerjanya.
Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang melanggar ketentuan
yang tercantum dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau PKB (kesalahan
ringan), maupun kesalahan pidana (kesalahan berat). Pekerja/buruh yang diputus
hubungan kerjanya karena alasan telah melakukan kesalahan berat hanya dapat
memperoleh uang pengganti hak.
Pekerja/buruh sebagai manusia merdeka berhak memutuskan hubungan kerja dengan cara
mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kehendak untuk mengundurkan diri ini dilakukan
tanpa penetapan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hak untuk
mengundurkan diri melekat pada setiap pekerja/buruh karena pekerja/buruh tidak boleh dipaksa
Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha untuk bekerja
bila ia sendiri tidak menghendakinya , karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksa
untuk terus-menerus bekerjasama apabila ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan demikian
PHK oleh pkerja /buruh ini,yang aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerjanya adalah
pekerja/buruh tersebut. Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga
PPHI,dalam hal pengusaha melakukan perbuatan:
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas
kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 4. Selain uang penggantian hak, pekerja/buruh
diberikan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,peraturan
perusahaan atau PKB. Pekerja atau buruh yang mengundurkan diri tersebut harus memenuhi
syarat:
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri tersebut berhak atas uang pengganti hak sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung,selain menerima uang pengganti hak diberikan
pula uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Selain PHK oleh pengusaha, pekerja/buruh , hubungan kerja juga dapat putus atau
berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya. Pekerja
/buruh tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang. PHK demi
hukum adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi dengan sendirinya sehubungan dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian yang dibuat oleh majikan dan buruh. PHK demi hukum
terjadi apabila karena satu alasan dan lain hal hubungan kerja oleh hukum dianggap sudah tidak
ada dan oleh karena itu tidak ada alas hak yang cukup dan layak bagi salah satu pihak untuk
menuntut pihak lainya guna tetap mengadakan hubungan kerja.
Karena itulah pemutusan hubungan kerja terjadinya bukan karena sebab-sebab tertentu
baik yang datangnya dari pihak buruh maupun majikan, pasal 1603e Perdata menyebutkan :
“Perhubungan kerja berakhir demi hukum, dengan lewatnya waktu yang ditetapkan dalam
persetujuan maupun reglement atau dalam ketentuan undangundang atau lagi maijkan itu tidka
ada oleh kebiasaan ”. Demikian juga dalam pasal 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-05/MEN/1986 tentang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu dikatakan :
“Kesepakatan kerja untuk waktu tertentu berakhir demi hukum dengan berakhirnya waktu yang
ditentukan dalam kesepakatan kerja atau dengan selesainya pekerjaan yang disepakatinya”
Meskipun pemutusan hubungan kerja itu terjadi dengan sendirinya namun para pihak dapat
memperjanjikan untuk mengadakan pemberitahuan apabila perjanjian kerja itu berakhir.
Pemberitahuan ini nantinya dapat diikuti dan ketentuan apakah perjanjian kerja/hubungan kerja
itu akan diakhiri atau tidak. Selain dapat terjadi karena berakhirnya jangka waktu perjanjian,
pemutusan hubungan kerja/perjanjian kerja demi hukum ini juga dapat terjadi karena
meninggalnya pekerja (pasal 160 3e KUHPerdata jo. Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. PER-05/PEN/1986). Ketentuan pasal ini dapat dimengerti karena sesuai dengan asas hukum
perjanjian yang oleh Soebekti disebut sebagai asas kepribadian. Seperti yang disimpulkan dari
ketentuan pasal 1331 KUHPerdata yang menentukan bahwa seseorang hanya dapat mengikatkan
diirnya sendiri. Akan tetapi jika yang meninggal dunia itu adalah majikan/pengusaha, maka
hubungan kerjanya tidak putus atau berakhir (pasal 1603 KUHPerdata jo. Pasal 14 ayat (1)