Anda di halaman 1dari 21

Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50 No.

4 (2020): 858-878
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

UPAH PROSES DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


Fitriana Gunadi*
* Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: fitriana.grp@gmail.com
Naskah dikirim: 16 Septermber 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 15 Desember 2019

Abstract
Wages is one of the elements in the employment relationship between an employer and
a worker/employee based on the employment agreement. In accordance with the
fundamental principle that is basically applicable to every workers/employees, wages
will not be paid by employers if the workers/employees do not perform work (no work
no pay). However in its development, there is an issue in the application of such
principle since the ruling of the Decision of the Constitutional Court of Republic of
Indonesia, which obliges employers to pay the wages to workers/employees who do
not work because they are in the process of termination of employment until a decision
has its permanent legal force (inkracht van gewijsde). The issue becomes even more
complex when the obligation to pay wages is reaffirmed by the Supreme Court of
Republic of Indonesia for 6 (six) months, thus the excess time in the industrial
relations dispute process is not an obligation for employers.
Keywords: wages, employer, worker/employee, and termination of employment

Abstrak
Upah merupakan salah satu unsur pada hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Sesuai dengan asas yang pada dasarnya
berlaku untuk semua pekerja/buruh, upah tidak akan dibayar oleh pengusaha apabila
pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (no work no pay). Namun pada
perkembangannya, terdapat permasalahan dalam pemberlakuan asas tersebut sejak
dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang mewajibkan
pengusaha untuk tetap memberikan upah kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja
karena sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja hingga adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Permasalahan semakin menjadi
kompleks ketika kewajiban atas pemberian upah tersebut ditegaskan oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia untuk 6 (enam) bulan, sehingga kelebihan waktu dalam
proses perselisihan hubungan industrial sudah tidak menjadi kewajiban bagi
pengusaha.
Kata Kunci: upah, pengusaha, pekerja/buruh, dan pemutusan hubungan kerja.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2582
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 859

I. PENDAHULUAN

Upah merupakan hak pekerja/buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha atas
dilaksanakannya pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja. Oleh karena itu, pemberian
upah tidak dapat dikaitkan dengan hasil pekerjaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 angka 30 Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(“UU No. 13 Tahun 2003”)1, yang mengatur bahwa upah adalah “hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan.”
Selanjutnya, Soetiksno 2 juga berpendapat bahwa pemberian upah adalah
mengenai ‘penunaian kerja’ dan bukan mengenai ‘penyerahan hasil kerja’. Sehingga
yang ditekankan dalam pemberian upah ini adalah pelaksanaan pekerjaannya, bukan
kepada hasil pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh. Dengan demikian, selama
pekerja/buruh melakukan pekerjaan sesuai dengan yang telah disepakati dalam
perjanjian kerja, maka ia berhak atas pengupahan. Begitu pula sebaliknya, apabila
pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan, maka ia tidak berhak atas pengupahan.
Hal ini sesuai dengan asas fundamental di dunia hukum ketenagakerjaan yang berlaku
bagi setiap pekerja/buruh, yakni asas no work no pay pada ketentuan Pasal 93 ayat (1)
UU No. 13 Tahun 20033.
Namun demikian, penerapan asas no work no pay tersebut tidak bersifat kaku.
Hal ini dikarenakan terdapat beberapa pengecualian yang diberikan oleh undang-
undang kepada pekerja/buruh yang tidak melakukan pekerjaan bukan karena
kesalahannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003,
pengusaha tetap diwajibkan untuk membayar upah kepada pekerja/buruh yang tidak
melaksanakan pekerjaannya, apabila pekerja/buruh tersebut berada dalam kondisi-
kondisi, sebagai berikut:
1. Sakit;
2. Sakit pada hari pertama dan kedua masa haid bagi pekerja/buruh
perempuan;
3. Menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau
menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia;
4. Sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
5. Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
6. Bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang
seharusnya dapat dihindari pengusaha;
7. Melaksanakan hak istirahat;
8. Melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
9. Melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

1
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4279, Pasal 1 angka 30.
2
Soetiksno, Hukum Perburuhan, (Jakarta: 1979), hal. 13.
3
Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “upah tidak dibayar apabila
pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”.
860 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Selain pengecualian tersebut di atas, UU No. 13 Tahun 2003 juga memberikan


hak atas pengupahan kepada pekerja/buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan karena
sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja. Adapun upah yang diberikan selama
proses pemutusan hubungan kerja ini disebut sebagai upah proses. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 155 ayat (2) 4 dan (3) 5 UU No. 13 Tahun 2003, maka sebelum
ditetapkannya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
pengusaha dapat melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap
wajib membayar upah proses tersebut beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh. Ketentuan ini tentunya menyimpangi asas no work no pay, karena
pekerja/buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan sebagai akibat tindakan skorsing
dari pengusaha, tetap berhak atas pengupahan.
Kewajiban pengusaha dalam pemberian upah proses sebagaimana yang diatur
pada Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tersebut kemudian dimohonkan uji
materi oleh drg. Ugan Gandar (Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu),
Ir. Eko Wahyu (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), dan
Ir. Rommel Antonius Ginting (eks pekerja pada PT. Total Indonesia) pada tanggal 1
Juni 2011 di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Berdasarkan permohonan
tersebut, Mahkamah Konstitusi RI telah menjatuhkan Putusan Mahkamah Konstitusi
RI Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 (“Putusan MK No. 37
Tahun 2011”), yang memutuskan bahwa frasa ‘belum ditetapkan’ pada Pasal 155 ayat
(2) UU No. 13 Tahun 2003 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak
dimaknai ‘belum berkekuatan hukum tetap’. Dengan demikian, pengupahan tetap
diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh hingga adanya putusan pengadilan
hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Pasca dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI, Ketua Mahkamah
Agung RI kemudian mengeluarkan rumusan hasil rapat pleno kamar melalui Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015 (“SEMA No. 3
Tahun 2015”). Melalui Surat Edaran tersebut, Mahkamah Agung RI kembali
mempertegas kembali kewajiban pemberian upah proses oleh pengusaha kepada
pekerja/buruh selama 6 bulan, sehingga kelebihan waktu dalam proses perselisihan
hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang RI Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU No. 2
Tahun 2004”)6, bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.

4
Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”.
5
Pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “pengusaha dapat melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing
kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”.
6
Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 6, dan Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 4356.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 861

II. PEMBAHASAN

2.1. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Terhadap Perselisihan


Pemutusan Hubungan Kerja

a) Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Hukum Ketenagakerjaan


Hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 7
Adapun terhadap unsur pertama, yakni pekerjaan (arbeid) berarti pengusaha dan
pekerja/buruh harus memperjanjikan pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh
pekerja/buruh dalam suatu perjanjian kerja. Tentunya pekerjaan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Selanjutnya, untuk unsur kedua yakni upah (loan), merupakan hak
berupa imbalan yang diterima pekerja/buruh dari pengusaha yang dibayarkan atas
dilaksanakannya pekerjaan oleh pekerja/buruh tersebut. Sedangkan, untuk unsur
terakhir yakni perintah (gezag ver houding), merupakan unsur yang mengakibatkan
hubungan kerja ini menjadi bersifat subordinasi (hubungan yang bersifat vertikal)
karena kedudukan para pihak yang tidak seimbang, dimana pengusaha memiliki
kedudukan lebih tinggi dibandingkan kedudukan pekerja/buruh. Unsur perintah dalam
suatu hubungan kerja ini mengakibatkan pihak pengusaha memiliki bargaining
position yang cukup kuat dibandingkan pekerja/buruh yang bekerja di bawah
perintahnya.
Hubungan yang bersifat subordinatif tersebut kemudian mengakibatkan
hubungan kerja ini menjadi hubungan keperdataan yang bersifat unik. Hal ini
dikarenakan pada suatu hubungan kerja telah mengandung ketentuan-ketentuan yang
bersumber dari kesepakatan para pihak (kaidah otonom), dan ketentuan-ketentuan
yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Negara/Pemerintah (kaidah heteronom). Adapun peran Negara/Pemerintah dalam
hubungan kerja ini begitu penting untuk menyeimbangkan kedudukan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha yang tidak seimbang, dikarenakan posisi ekonomi
pengusaha yang lebih kuat dibandingkan pekerja/buruh tersebut.
Begitu pula dalam pengakhiran hubungan kerja, Negara/Pemerintah juga
memegang peranan penting dalam memberikan pengaturan guna melindungi
pekerja/buruh atas tindakan sewenang-wenang dari pihak pengusaha, terutama dalam
tindakan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha. Pada dasarnya,
pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. 8 Dengan berakhirnya hubungan kerja ini, maka tentunya hak dan
kewajiban para pihak menjadi berakhir, sehingga pekerja/buruh akan kehilangan
pekerjaan sebagai mata pencaharian dan sumber pendapatannya. Oleh karena itu, UU
No. 13 Tahun 2003 telah memberikan pengaturan rigid atas pemutusan hubungan
kerja tersebut, dengan melibatkan peran pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/buruh, maupun Negara/Pemerintah.

7
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4279, Pasal 1 angka 15.
8
Ibid., Pasal 1 angka 25.
862 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Menurut Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., dan Dr. Drs. Widodo
Suryandono, S.H., M.H., 9 pemutusan hubungan kerja dapat dibedakan menjadi
beberapa golongan, sebagai berikut:
1. Hubungan kerja putus demi hukum;
2. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pekerja/buruh, hal ini terjadi melalui
pengunduran diri pekerja/buruh;
3. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha karena pekerja/buruh dianggap
mengundurkan diri;
4. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengusaha;
5. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan;
6. Pemutusan hubungan kerja karena terjadi perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, atas kemauan pengusaha
atau pekerja/buruh;
7. Pemutusan hubungan kerja karena kerugian terus menerus selama 2 (dua) tahun
atau force majeure;
8. Pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami pailit;
9. Pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh meninggal dunia; atau
10. Pemutusan hubungan kerja karena memasuki usia pensiun.

Terhadap hal tersebut, UU No. 13 Tahun 2003 mewajibkan bagi seluruh


pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh, dan Negara/Pemerintah, dengan
segala upaya untuk mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja10.
Adapun yang dimaksud dengan segala upaya tersebut adalah dengan mengadakan
kegiatan-kegiatan positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan
hubungan kerja, seperti pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode
kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.11 Namun demikian, upaya-
upaya tersebut tidak perlu dilakukan dalam hal pemutusan hubungan kerja yang terjadi
karena putus demi hukum (berakhirnya waktu pelaksanaan pekerjaan), pekerja/buruh
mengundurkan diri, pekerja/buruh meninggal dunia, pekerja/buruh telah memasuki
usia pensiun, atau pekerja/buruh meninggal dunia.

b) Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Terhadap


Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Apabila segala upaya telah dilakukan namun pemutusan hubungan kerja tetap
tidak dapat dihindarkan, maka maksud pemutusan hubungan kerja tersebut wajib
dirundingkan terlebih dahulu secara sukarela oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah
untuk mufakat.12 Adapun perundingan ini dalam ketentuan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial disebut sebagai perundingan bipartit13. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004, penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya

9
Aloysius Uwiyono, et.al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, Ed. 2, Cet. 3, (Depok: PT
RajaGrafindo Persada, 2018), hal. 137-140.
10
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4279, Pasal 151 ayat (1).
11
Ibid., Penjelasan Pasal 151 ayat (1).
12
Ibid., Pasal 151 ayat (2).
13
Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 mengatur bahwa “perundingan bipartit adalah
perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial”.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 863

perundingan. Apabila setelah lewatnya jangka waktu tersebut, salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai
kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Dalam hal bipartit dianggap gagal, maka akan terdapat 2 (dua) mekanisme yang
disediakan oleh undang-undang. Mekanisme pertama adalah dengan penggunaan
senjata hukum berupa mogok kerja 14 atau penutupan perusahaan (lock out) 15 .
Sedangkan mekanisme kedua adalah dengan melalui penyelesaian perselisihan
hubungan industrial sebagaimana diatur pada UU No. 2 Tahun 2004.
Dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 16 Namun, permohonan penetapan
tersebut tidak diperlukan dalam hal:17
1. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya;
2. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali;
3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan; atau
4. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Permohonan untuk penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan


industrial dapat diajukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan disertai alasan yang menjadi dasarnya dan
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
telah dilakukan.18 Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk
dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas. Setelah menerima permohonan tersebut, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada
para pihak untuk melakukan penyelesaian melalui konsiliasi.19 Jika para pihak tidak

14
Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “mogok kerja sebagai hak dasar
pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat
gagalnya perundingan.” Dalam penjelasannya ditentukan bahwa “yang dimaksud dengan gagalnya
perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau
perundingan mengalami jalan buntu. Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak
mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda
milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.”
15
Pasal 146 UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “penutupan perusahaan (lock out)
merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk
menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Pengusaha tidak dibenarkan melakukan
penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan dengan adanya tuntutan
normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh."
16
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4279, Pasal 151 ayat (3).
17
Ibid., Pasal 154.
18
Pasal 152 UU No. 13 2003 juncto Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2004.
19
Pasal 1 angka 13 UU 2 Tahun 2004 mengatur bahwa “konsiliasi adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
864 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

melakukan konsiliasi, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan
tersebut kepada mediator.20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan, konsiliator/mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang
konsiliasi/mediasi.21 Konsiliator/mediator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan
penyelesaian tersebut. 22 Dalam hal tercapai kesepakatan, maka akan dibuatkan
Perjanjian Bersama yang kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun apabila
tidak tercapai kesepakatan, maka konsiliator/mediator mengeluarkan anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi/mediasi pertama kepada para pihak. Kemudian para pihak harus sudah
memberikan jawaban secara tertulis berupa pernyataan persetujuan atau penolakan
atas anjuran tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis.23
Apabila salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut, maka
penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja
dapat dilanjutkan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah menerima gugatan, Ketua Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan
majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan. 24 Setelah ditetapkannya
majelis Hakim tersebut, maka dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja,
Ketua Majelis Hakim harus melakukan sidang pertama. Adapun putusan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial wajib diberikan Majelis Hakim dalam waktu
selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.25
Selanjutnya, terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim pada
Pengadilan Hubungan Industrial dapat diajukan permohonan kasasi oleh para pihak
kepada Mahkamah Agung RI dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja sejak diberikannya putusan tersebut. Atas permohonan kasasi, maka dalam
waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja, berkas perkara tersebut harus
sudah disampaikan kepada ketua Mahkamah Agung RI. Adapun penyelesaian
perselisihan industrial atas pemutusan hubungan kerja ini harus diputuskan oleh
Mahkamah Agung RI pada tingkat kasasi dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.26

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lebih konsiliator yang netral”.
20
Pasal 1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 mengatur bahwa “mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.”
21
Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 6, dan Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 4356, Pasal 10 juncto Pasal 20.
22
Ibid., Pasal 15 juncto Pasal 25.
23
Ibid., Pasal 13 juncto Pasal 23.
24
Ibid., Pasal 88 ayat (1).
25
Ibid., Pasal 103.
26
Ibid., Pasal 110 s.d. Pasal 115.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 865

Dengan adanya mekanisme yang bertahap dan berjenjang tersebut, maka


penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja,
terhitung sejak perundingan bipartit hingga dijatuhkannya putusan kasasi oleh
Mahkamah Agung RI, memerlukan waktu hingga mencapai kurang lebih 223 (dua
ratus dua puluh tiga) hari kerja atau sekitar 11 (sebelas) bulan. Jangka waktu tersebut
pun belum termasuk waktu yang diperlukan dalam hal pengajuan upaya hukum berupa
peninjauan kembali terhadap putusan kasasi yang ditetapkan Mahkamah Agung RI.
Sehingga baik pengusaha maupun pekerja/buruh akan memerlukan waktu yang cukup
lama dalam memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang bersifat final dan berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

2.2. Pemberian Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja


Upah proses yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh selama
proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial nyatanya telah diatur oleh
Negara/Pemerintah sejak tahun 1964 hingga saat ini.

a) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan


Kerja di Perusahaan Swasta (“UU No. 12 Tahun 1964”)27
Untuk menjamin kepastian bagi kaum pekerja/buruh, maka Negara/Pemerintah
telah menetapkan ketentuan mengenai perizinan dalam pemutusan hubungan kerja
supaya sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha tersebut dapat
dicegah. Melalui UU No. 12 Tahun 1964, Negara/Pemerintah memberikan ketentuan-
ketentuan yang bersifat formil tentang cara pemberian izin atas pemutusan hubungan
kerja tersebut.
Pada ketentuan Pasal 11 UU No. 12 Tahun 1964 telah diatur bahwa selama
Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat 28 belum memberikan izin atas pemutusan
hubungan kerja, dan dalam hal ada permintaan banding terhadap izin yang diberikan
oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah29 namun belum diputuskan oleh Panitia
Penyelesaian Perburuhan Pusat, maka baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus
tetap memenuhi segala kewajibannya.
Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut di atas, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh tetap diharuskan untuk melaksanakan kewajibannya, termasuk namun
tidak terbatas pada kewajiban pengusaha untuk memberikan upah (upah proses)
kepada pekerja/buruh selama belum adanya izin yang diputuskan oleh Panitia
Penyelesaian Perburuhan Pusat.

27
Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1964 Nomor 93, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2686.
28
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan mengatur bahwa “Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat berkedudukan di
Jakarta dan terdiri dari seorang wakil Kementerian Perburuhan sebagai anggota merangkap ketua,
dan seorang wakil Kementerian Perekonomian, seorang wakil Kementerian Keuangan, seorang wakil
Kementerian Perhubungan, 5 orang dari kalangan buruh, dan 5 orang dari kalangan majikan sebagai
anggota untuk tiap-tiap anggota ditunjuk seorang anggota pengganti”.
29
Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan mengatur bahwa “Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
terdiri dari seorang wakil Kementerian Perburuhan, sebagai Ketua merangkap anggota, dan anggota-
anggota lainnya terdiri dari seorang wakil Kementerian Perekonomian, seorang wakil Kementerian
Keuangan, seorang wakil Kementerian Pertanian serta seorang wakil Kementerian Perhubungan, 5
orang dari kalangan buruh dan 5 orang dari kalangan majikan untuk tiap-tiap anggota ditunjuk
sebagai anggota pengganti”.
866 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-03/Men/1996 tentang


Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon,
Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta (“Permenaker No. 03
Tahun 1996”)
Permenaker No. 03 Tahun 1996 ditetapkan oleh Negara/Pemerintah sebagai
peraturan pelaksana dari UU No. 12 Tahun 1964. Meskipun demikian, melalui
Permenaker No. 03 Tahun 1996 ini, Negara/Pemerintah telah memberikan ketentuan
yang lebih longgar kepada pihak pengusaha dalam memberikan upah proses tersebut,
daripada yang telah diatur sebelumnya pada UU No. 12 Tahun 1964.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Permenaker No. 03 Tahun 1996, upah proses
diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh serendah-rendahnya 50% (lima puluh
persen). Adapun kewajiban pemberian upah proses ini hanya berlaku paling lama 6
(enam) bulan saja. Sehingga setelah masa skorsing berjalan 6 (enam) bulan namun
belum ada putusan dari Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau Panitia
Penyelesaian Perburuhan Pusat, maka pengusaha tidak diwajibkan lagi untuk
membayar upah proses tersebut kepada pekerja/buruh.
Dengan adanya ketentuan tersebut, pengusaha diberikan kesempatan oleh
undang-undang untuk menentukan berapa jumlah upah proses yang akan diberikan
kepada pekerja/buruh, sepanjang tidak kurang dari 50% (lima puluh persen). Selain
itu, pengusaha juga tidak perlu mempersiapkan anggaran yang besar, karena
kewajiban atas pemberian upah proses tersebut hanya berlaku untuk 6 (enam) bulan
saja. Meskipun ketentuan tersebut dianggap telah memberikan kepastian hukum bagi
pengusaha karena terdapat pembatasan atas waktu pembayaran upah proses, namun di
sisi lain ketentuan ini juga membuka potensi yang dapat merugikan pekerja/buruh. Hal
ini dikarenakan besarnya jumlah upah proses yang diterima oleh pekerja/buruh
tentunya tidak lagi sebesar 100% (seratus persen) dari upah yang biasanya mereka
terima.

c) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang


Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon,
Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan
(“Kepmenaker No. 150 Tahun 2000”)
Pada tanggal 20 Juni 2000, Negara/Pemerintah telah menetapkan Kepmenaker
No. 150 Tahun 2000 untuk menyempurnakan sekaligus mencabut ketentuan yang
telah diatur sebelumnya dalam Permenaker No. 03 Tahun 1996.
Melalui Kepmenaker No. 150 Tahun 2000, Negara/Pemerintah nampaknya
berusaha memberikan pengaturan yang lebih seimbang bagi pihak pengusaha maupun
pihak pekerja/buruh. Adapun pengaturan upah proses yang ditentukan dalam
Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: 30
1) Pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya
sebelum adanya izin pemutusan hubungan kerja oleh Panitia Penyelesaian
Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat;
2) Apabila pengusaha melakukan skorsing sesuai ketentuan dalam perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau kesepakatan bersama dan belum adanya izin
pemutusan hubungan industrial, maka pengusaha wajib membayar upah proses

30
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-150/Men/2000
tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan, Pasal 16 dan Pasal 17.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 867

paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah yang diterima pekerja
paling lama 6 (enam) bulan. Jika setelah masa skorsing berjalan selama 6 (enam)
bulan dan belum ada putusan, maka upah selanjutnya ditentukan oleh Panitia
Penyelesaian Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat;
3) Apabila pekerja/buruh tidak dapat memenuhi kewajibannya karena dilarang oleh
pengusaha namun pengusaha tidak melakukan skorsing, maka pengusaha wajib
membayar upah pekerja/buruh tersebut selama dalam proses pemutusan
hubungan kerja sebesar 100% (seratus persen);
4) Apabila pekerja/buruh tidak memenuhi kewajibannya atas kemauannya sendiri,
maka pengusaha tidak wajib memberikan upah kepada pekerja/buruh selama
dalam proses pemutusan hubungan kerja; atau
5) Apabila pengusaha dan pekerja/buruh tidak dapat memenuhi kewajibannya
bukan karena pekerja/buruh dilarang bekerja pengusaha, atau bukan atas
kemauan pekerja/buruh sendiri, maka pengusaha tetap diwajibkan untuk
membayar upah pekerja/buruh selama proses pemutusan hubungan kerja sebesar
75% (tujuh puluh lima persen).

d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-


78/Men/2001 tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri
Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan
(“Kepmenaker No. 78 Tahun 2001”)
Terhadap ketentuan Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 tersebut di atas,
Negara/Pemerintah kemudian memberikan perubahan dan penambahan ketentuan
mengenai upah proses melalui penetapan Kepmenaker No. 78 Tahun 2001.
Sebelumnya, dalam Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 ditentukan bahwa apabila
setelah masa skorsing 6 (enam) bulan berakhir, maka selanjutnya pengusaha
memberikan upah proses yang jumlahnya ditentukan oleh Panitia Penyelesaian
Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat. Namun ketentuan ini
diubah pada Kepmenaker No. 78 Tahun 2001, menjadi apabila setelah masa skorsing 6
(enam) bulan berakhir, maka pengusaha tidak berkewajiban untuk membayar upah
proses kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau
Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat. 31 Sehingga terdapat kemungkinan bagi
pengusaha untuk tidak membayar upah proses setelah masa 6 (enam) bulan skorsing,
sepanjang hal tersebut ditetapkan oleh Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah atau
Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat.
Selain itu, dalam Kepmenaker No. 78 Tahun 2001 terdapat pula ketentuan
tambahan bahwa apabila pengusaha mengajukan permohonan izin pemutusan
hubungan kerja namun tidak melakukan skorsing, maka selama izin tersebut belum
diberikan, pekerja/buruh harus tetap melakukan pekerjaannya dan pengusaha
membayar upah proses sebesar 100% (seratus persen).
Selanjutnya, apabila pengusaha tidak mengajukan permohonan izin pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, maka pemutusan hubungan kerja tersebut
akan menjadi perselisihan dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh selama
dibayar 100% (seratus persen) selama belum adanya putusan dari Panitia Penyelesaian
Perburuhan Daerah atau Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat.

31
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-78/Men/2001
tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000
tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan, Pasal 16.
868 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

e) UU No. 13 Tahun 2003


Pada tanggal 25 Maret 2003, Negara/Pemerintah telah menerbitkan UU No. 13
Tahun 2003 yang hingga saat ini masih berlaku dan mencabut beberapa ketentuan
terkait ketenagakerjaan sebelumnya, kecuali Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 beserta
perubahannya.
Dalam UU No. 13 Tahun 2003, ditentukan bahwa selama belum adanya
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha
maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Apabila
pengusaha melakukan skorsing terhadap pekerja/buruh, maka pengusaha diwajibkan
untuk membayar upah proses. Hal ini sebagaimana yang ditentukan pada ketentuan
Pasal 155 UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut:
“(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja
dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa
diterima pekerja/buruh.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat 2 (dua) keadaan yang


mungkin terjadi selama belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, yakni i) pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan
dan menerima upah dari pengusaha; atau ii) pekerja/buruh tidak melaksanakan
pekerjaan sebagai akibat tindakan skorsing dari pengusaha, namun mereka tetap
berhak untuk mendapatkan upah beserta hak-hak lainnya yang biasa mereka terima.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, pemberian upah
harus memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan 32 . Sehingga sudah
menjadi tugas Negara/Pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan atas upah yang
layak kepada pekerja/buruh. Lebih lanjut Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H.,33
berpendapat bahwa UU No. 13 Tahun 2003 memaknai upah sebagai hak dasar pekerja
yang harus dipenuhi pengusaha. Apabila pengusaha tidak membayar upah pekerja,
maka hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan merupakan
kejahatan yang dapat dipidana.
Oleh karena hal tersebut, UU No. 13 Tahun 2003 telah memberikan pengaturan
bahwa meskipun pekerja/buruh dalam proses pemutusan hubungan kerja namun belum
ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka
pengusaha tetap diwajibkan memberikan upah kepada pekerja/buruh. Hal ini
dikarenakan sebelum adanya penetapan tersebut, maka hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha tetap masih ada dan belum berakhir secara hukum.
Sehingga Negara/Pemerintah wajib menjamin hak atas pengupahan bagi setiap
pekerja/buruh yang masih terikat dalam hubungan kerja, sebagaimana diamanatkan
pada Pasal 28D Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.34

32
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 mengatur bahwa “tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
33
Uwiyono, op.cit., hal. 106.
34
Pasal 28D Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 mengatur bahwa “setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 869

Meskipun hak atas pengupahan telah dijamin dalam UU No. 13 Tahun 2003,
namun terdapat beberapa pihak yang masih merasa dirugikan dengan tidak adanya
penafsiran yang tegas dan jelas terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003 tersebut. Hal ini dikarenakan pada waktu keputusan peradilan tingkat
pertama di Pengadilan Hubungan Industrial tidak diterima atau diajukan upaya kasasi
dan seterusnya, maka keputusan yang telah ditetapkan pada tingkat pertama adalah
belum bersifat final atau berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sehingga
hal tersebut menimbulkan adanya potensi ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh
dalam memperoleh hak-haknya karena penetapan atas pemutusan hubungan kerja
mereka pada dasarnya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Selain
itu pada prakteknya, Pengadilan Hubugan Industrial juga memiliki beberapa
penafsiran terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, dimana ada
yang berpendapat bahwa kewajiban atas pemberian upah proses hanya berlaku pada
tingkat pertama di Pengadilan Hubungan Industrial, dan ada juga yang berpendapat
bahwa kewajiban atas pemberian upah proses tersebut berlaku sampai adanya
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

f) Putusan MK No. 37 Tahun 2011


Pada tanggal 1 Juni 2011 di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, telah
diajukan permohonan uji materil oleh drg. Ugan Gandar (Presiden Federasi Serikat
Pekerja Pertamina Bersatu), Ir. Eko Wahyu (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat
Pekerja Pertamina Bersatu), dan Ir. Rommel Antonius Ginting (eks pekerja pada PT.
Total Indonesia) terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Adapun alasan-alasan yang mendasari pengajuan permohonan uji materil tersebut
adalah sebagai berikut35:
1) Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 karena berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh, sejak tidak adanya penafsiran yang
jelas dan tegas mengenai klausula ‘belum ditetapkan’. Hal ini dikarenakan dalam
praktiknya, implementasi dari unsur kata ‘belum ditetapkan’ tersebut telah
menimbulkan pertentangan apakah putusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial tersebut hanya sebatas pada pengadilan tingkat
pertama di Pengadilan Hubungan Industrial ataukah juga meliputi putusan pada
tingkat selanjutnya yaitu Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung
RI.
2) Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(2) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 karena berpotensi menimbulkan
pelanggaran hak pekerja/buruh untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak
secara hukum. Hal ini dikarenakan tidak jelasnya penafsiran klausula ‘belum
ditetapkan’ akan mengakibatkan terabainya hak asasi manusia untuk
mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan
kerjanya.

Terhadap alasan-alasan tersebut di atas, Negara/Pemerintah telah menyampaikan


penjelasan, yang pada pokoknya adalah UU No. 13 Tahun 2003 telah memberikan
kepastian hukum, sehingga menurut Negara/Pemerintah, ketidakpastian hukum yang
terjadi pada diri para pemohon tersebut adalah tidak terkait dengan masalah
konstitusionalitas berlakunya ketentuan tersebut, melainkan terkait dengan praktik
35
Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, hal.
12-17.
870 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

pelaksanaan penyelesaian di lembaga peradilan (dari mulai Pengadilan Hubungan


Industrial sampai Mahkamah Agung RI).36
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim Konstitusi RI pada tanggal
19 September 2012 telah menjatuhkan Putusan MK No. 37 Tahun 2011 dimana salah
satu pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi RI berpendapat sebagai berikut:37

“Menurut Mahkamah, frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) UU
13/2003 harus dimaknai putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap karena putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Putusan
Hubungan Industrial, yaitu putusan mengenai perselisihan kepentingan, putusan
mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan, serta putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang tidak
dimohonkan kasasi. Adapun putusan mengenai perselisihan hak dan PHK yang
dimohonkan kasasi harus menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung
terlebih dahulu baru memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dengan adanya pertimbangan hukum tersebut, maka Majelis Hakim Konstitusi


RI memberikan amar putusan pada Putusan MK No. 37 Tahun 2011, sebagai berikut:38
“1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
3. Frasa ‘belum ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;”

Berdasarkan amar putusan tersebut, maka ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No.
13 Tahun 2003 harus ditafsirkan bahwa selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum berkekuatan hukum tetap, baik pengusaha
maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, termasuk
kewajiban pengusaha untuk memberikan upah proses kepada pekerja/buruh.

g) Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP


No. 78 Tahun 2015”) 39
Dengan telah dijatuhkannya Putusan MK No. 37 Tahun 2011 tersebut, maka
timbul adanya suatu kebutuhan regulasi yang dapat mengakomodir penafsiran
Mahkamah Konstitusi RI tersebut. Hal ini dikarenakan penafsiran yang diberikan oleh

36
Ibid., hal. 30.
37
Ibid., hal. 37.
38
Ibid., hal. 38-39.
39
Pemerintah RI, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 237, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 5747.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 871

Mahkamah Konstitusi RI tersebut masih bersifat abstrak, sehingga masih diperlukan


adanya ketentuan normatif sebagai pelaksana dari ketentuan upah proses tersebut.
Setelah 4 (empat) tahun dijatuhkannya Putusan MK No. 37 Tahun 2011,
Negara/Pemerintah kemudian menerbitkan PP No. 78 Tahun 2015 pada tanggal 23
Oktober 2015. Peraturan ini diharapkan dapat digunakan sebagai pegangan dalam
pelaksanaan hubungan kerja dalam menangani berbagai permasalahan di bidang
pengupahan yang kompleks. Namun sangat disayangkan, PP No. 78 Tahun 2015
tersebut justru sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberian upah proses kepada
pekerja/buruh dalam hal belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja mereka.
Beberapa kebijakan pengupahan yang diatur dalam PP No. 78 Tahun 2015
adalah sebagai berikut:40
1) Upah minimum;
2) Upah kerja lembur;
3) Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4) Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
5) Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6) Bentuk dan cara pembayaran upah;
7) Denda dan potongan upah;
8) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
9) Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
10) Upah untuk pembayaran pesangon; dan
11) Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Selanjutnya, dalam ketentuan PP No. 78 Tahun 2015 ini hanya diatur bahwa
upah tetap dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak
melakukan pekerjaan karena alasan-alasan sebagai berikut:41
1) Pekerja/buruh berhalangan bukan karena kesalahannya;
2) Pekerja/buruh melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
3) Pekerja/buruh menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; atau
4) Pengusaha tidak mempekerjakan pekerja/buruh karena kesalahan pengusaha atau
kendala yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

Dengan tidak diaturnya mekanisme pemberian upah proses tersebut dalam PP


No. 78 Tahun 2015, maka terdapat ketidakpastian hukum atas legalitas pemberian
upah proses kepada pekerja/buruh selama belum ditetapkannya penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde). Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, Negara/Pemerintah
belum memberikan pengaturan mengenai pelaksanaan upah proses sebagaimana yang
telah ditafsirkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK
No. 37 Tahun 2011.
Padahal pengaturan tersebut sangat diperlukan karena penafsiran Mahkamah
Konstitusi RI berpotensi dapat merugikan beberapa pihak, khususnya pengusaha,
karena tidak adanya kepastian hukum perihal sampai kapan upah proses tersebut
diberikan kepada pekerja/buruh. Hal ini dikarenakan Putusan MK No. 37 Tahun 2011
mewajibkan pengusaha untuk tetap membayar upah proses kepada pekerja/buruh
hingga waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti, mengingat belum adanya
ketentuan yang membatasi jangka waktu proses penyelesaian perselisihan hubungan

40
Ibid., Pasal 3 ayat (2).
41
Ibid., Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 25.
872 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

industrial hingga jatuhnya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde).

h) SEMA No. 3 Tahun 2015


Untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi dalam penjatuhan
putusan, setiap Kamar di Mahkamah Agung RI secara rutin menyelenggarakan Rapat
Pleno Kamar yaitu pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Kemudian, pada
tanggal 9-11 Desember 2015, Mahkamah Agung RI kembali menyelenggarakan rapat
pleno kamar untuk membahas permasalahan hukum (questions of law) yang
mengemuka di masing-masing kamar. Rumusan-rumusan yang dihasilkan dari pleno
kamar tersebut kemudian dituangkan oleh Mahkamah Agung RI dalam SEMA No. 3
Tahun 2015.
Pada SEMA No. 3 Tahun 2015, Mahkamah Agung RI menyampaikan bahwa
rumusan-rumusan hasil rapat pleno kamar tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dan seluruh rumusan hukum rersebut diberlakukan sebagai pedoman
dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung RI, pengadilan tingkat pertama dan
banding, sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan
tingkat pertama dan banding. Adapun salah satu rumusan tersebut adalah rumusan
pleno kamar perdata, yang kemudian dibagi menjadi perdata umum dan perdata
khusus.
Berdasarkan rapat pleno kamar perdata khusus, telah dihasilkan beberapa
rumusan yang salah satunya adalah sebagai berikut:42

“Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011


terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM
PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan
waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan
lagi menjadi tanggung jawab para pihak.”

Apabila dilihat pada rumusan tersebut di atas, rupanya salah satu permasalahan
hukum (questions of law) yang mengemuka di kamar perdata khusus pada Mahkamah
Agung RI adalah penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi RI pada
Putusan MK No. 37 Tahun 2011. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya,
bahwa Putusan MK No. 37 Tahun 2011 telah menetapkan bahwa frasa ‘belum
ditetapkan’ dalam Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘belum berkekuatan hukum tetap’.
Sebagai tindaklanjut atas penafsiran Mahkamah Konstitusi RI tersebut,
kemudian Mahkamah Agung RI memberikan pedoman kepada para hakim dengan
berkiblat kembali pada ketentuan upah proses yang sebelumnya telah diatur pada
Permenaker No. 03 Tahun 1996, Kepmenaker No. 150 Tahun 2000, dan Kepmenaker
No. 78 Tahun 2001, dimana pemberian upah proses hanya berlaku selama 6 (enam)
bulan saja, sehingga para pihak tidak perlu menunggu hingga adanya penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde).
Berdasarkan rumusan SEMA No. 3 Tahun 2015 tersebut di atas, hakim pada
pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri)

42
Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 873

maupun pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali (Mahkamah Agung RI)
yang memeriksa perselisihan hubungan industrial terhadap pemutusan hubungan kerja,
harus menjatuhkan hukuman kepada pengusaha untuk membayar upah proses kepada
pekerja/buruh selama 6 (enam) bulan, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut
melaksanakan pekerjaan atau sedang dalam skorsing yang dilakukan oleh pengusaha.

2.3. Pemberlakuan Kewajiban Upah Proses dan Penerapan Asas No Work No


Pay
Ketentuan pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum
atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain43. Adapun pemutusan hubungan kerja ini termasuk
salah satu jenis perselisihan hubungan industrial yang diatur pada UU No. 2 Tahun
2004.
Guna menciptakan hubungan industrial yang harmonis, maka terhadap
pemutusan hubungan kerja tersebut dipersyaratkan adanya penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam hal pemutusan hubungan kerja
yang dilakukan tanpa adanya penetapan tersebut, maka pemutusan hubungan kerja
akan dinyatakan batal demi hukum. Adapun penetapan pemutusan hubungan kerja ini
harus didasarkan pada alasan bahwa perundingan bipartit yang telah dilakukan oleh
pengusaha dan pekerja/buruh tidak menghasilkan kesepakatan atau dianggap gagal.44
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha secara sepihak kepada pekerja/buruh
dapat dikategorikan sebagai tindakan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam
konteks hukum perdata barat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata45. Sehingga
sesuai dengan prinsip dasar dalam ketentuan hukum perdata barat tersebut, pengusaha
yang telah melakukan perbuatan melawan hukum kepada pekerja/buruh, diwajibkan
untuk membayar sejumlah ganti rugi kepada pekerja/buruh tersebut.46 Berangkat dari
prinsip dasar ini, UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur kewajiban pengusaha untuk
memberikan ganti rugi atas pemutusan hubungan kerja yang dilakukannya terhadap
pekerja/buruh tersebut, dengan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh.47
Namun demikian, kewajiban pengusaha tersebut baru akan muncul setelah adanya
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dalam hal penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum ditetapkan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No.
13 Tahun 2003, para pihak tetap melaksanakan segala kewajibannya, termasuk
kewajiban pengusaha untuk membayar upah kepada pekerja/buruh. Namun dengan
adanya penafsiran Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK No. 37 Tahun 2011,

43
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4279, Pasal 150.
44
Ibid.
45
Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 29, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1999).
46
Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
47
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4279, Pasal 156 ayat (1).
874 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

maka frasa ‘belum ditetapkan’ pada ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun
2003 harus dimaknai sebagai putusan yang ‘belum berkekuatan hukum tetap’ (inkracht
van gewijsde).
Meskipun Putusan MK No. 37 Tahun 2011 merupakan putusan dari Mahkamah
Konstitusi RI yang berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir,
namun pada praktiknya, implementasi terhadap pengaturan upah proses ini masih
terdapat berbagai permasalahan. Hal tersebut memang tidak dapat dihindarkan,
mengingat penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi RI masih bersifat
abstrak, karena Mahkamah Konstitusi RI hanya berwenang untuk mempersoalkan
dasar-dasar teoritis dan mengikat secara umum (erga omnes) 48 terhadap suatu
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga, masih
diperlukan adanya ketentuan normatif sebagai pelaksana dari ketentuan upah proses
yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Namun demikian, Negara/Pemerintah melalui PP No. 78 Tahun 2015 justru
tidak memberikan pengaturan rigid terhadap mekanisme pemberian upah proses
tersebut. Sehingga Mahkamah Agung RI melalui SEMA No. 3 Tahun 2015
memberikan pedoman bagi hakim untuk membatasi kewajiban pembayaran upah
proses tersebut dengan “Menghukum Pengusaha membayar upah proses selama 6
bulan. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak”. Rupanya Mahkamah Agung RI
memberikan pedoman kepada hakim dengan berkiblat pada ketentuan upah proses
yang telah diatur sebelumnya pada Permenaker No. 03 Tahun 1996, Kepmenaker No.
150 Tahun 2000, dan Kepmenaker No. 78 Tahun 2001.
Dengan adanya Putusan MK No. 37 Tahun 2011 dan SEMA No. 3 Tahun 2015
tersebut, maka timbul suatu pertanyaan, yakni apakah kewajiban pembayaran upah
proses tersebut akan menyimpangi penerapan asas no work no pay yang selama ini
menjadi prinsip fundamental di bidang hukum ketenagakerjaan?
Pada mulanya, dalam perkara antara Miles dan Wakefield Metropolitan District
Council pada tahun 1989,49 House of Lords menetapkan bahwa prinsip no work no pay
memberikan hak kepada pengusaha untuk tidak membayar upah pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh menolak untuk melakukan pekerjaannya berdasarkan perjanjian kerja.
House of Lords juga menyarankan bahwa jika pekerja/buruh tersebut melakukan
pekerjaan namun pengusaha tidak memperoleh manfaat apapun dari pelaksanaan
pekerjaan tersebut, maka pengusaha tidak perlu membayar upah kepada pekerja/buruh
tersebut. Sehingga asas no work no pay ini menjadi senjata hukum bagi pengusaha
untuk tidak melakukan pembayaran upah kepada pekerja/buruh karena tidak
dilaksanakannya pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja.
Namun, perlu diperhatikan bahwa asas no work no pay ini baru berlaku apabila
pekerja/buruh tersebut tidak melakukan pekerjaannya karena keinginannya sendiri
atau pekerja/buruh lalai dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga pekerja/buruh yang
tidak melaksanakan pekerjaan bukan disebabkan kesalahannya, pekerja/buruh tersebut
tetap berhak atas pengupahan.
Apabila kita melihat kembali ketentuan yang diatur pada UU No. 13 Tahun
2003, maka terdapat 2 (dua) keadaan yang mungkin terjadi selama belum adanya
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni i)

48
I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, Kumpulan
Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Cet. 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2008), hal. 57.
49
H. McLean, Contract of Employment. Negative Covenants and No Work, No Pay, “The
Cambridge Law Journal”, Vol. 49, 1990, 28-31. hal. 29.
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 875

pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan dan menerima upah dari pengusaha; atau
ii) pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan sebagai akibat tindakan skorsing dari
pengusaha, namun mereka tetap berhak untuk mendapatkan upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa mereka terima.
Pada keadaan pertama, pekerja/buruh tetap diwajibkan melaksanakan
pekerjaannya sesuai yang telah disepakati dalam perjanjian kerja. Atas hal tersebut
maka pengusaha wajib pula memberikan upah kepada pekerja/buruh sebagai bentuk
imbalan atas dilaksanakannya pekerjaan tersebut. Sehingga keadaan ini tidak
bertentangan dengan asas no work no pay.
Namun pada keadaan kedua, pengusaha yang melakukan tindakan skorsing
kepada pekerja/buruh tetap diwajibkan memberikan upah beserta hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja/buruh selama 6 (enam) bulan (sesuai dengan SEMA No. 3
Tahun 2015). Hal ini menjadi unik ketika undang-undang memerintahkan pengusaha
yang melakukan skorsing tetap diwajibkan untuk membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Meskipun pekerja/buruh tersebut tidak
melaksanakan pekerjaan, namun keadaan ini tidak bertentangan dengan asas no work
no pay. Hal ini dikarenakan penerapan asas no work no way ditujukan dalam kondisi
pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaannya karena kemauannya sendiri.
Sedangkan pekerja/buruh yang berada dalam masa skorsing, tidak dapat melaksanakan
pekerjaan karena dihalangi oleh pengusaha.
Dalam proses pemutusan hubungan kerja, pengusaha telah diberikan hak oleh
UU No. 13 Tahun 2003 untuk melakukan penyimpangan berupa tindakan skorsing
kepada pekerja/buruh dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya
selama belum ditetapkannya putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Dalam hal ini, menurut Umar Kasim, S.H., M.H., 50 tindakan skorsing
tersebut pada dasarnya dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dalam proses
pemutusan hubungan kerja, karena apabila pekerja/buruh tetap dipekerjakan, maka
dikhawatirkan akan mengganggu proses produksi, seperti pekerja/buruh tersebut
mempengaruhi pekerja/buruh yang lainnya, merusak alat-alat produksi, atau
menghilangkan barang bukti atas kesalahan berat yang telah dilakukan.
Tindakan skorsing oleh pengusaha secara sepihak tersebut tentunya dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena pengusaha telah
menghalangi pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan. Sehingga apabila
pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan dan menerima upah, tentunya hal
tersebut akan merugikan hak pekerja/buruh karena pekerjaan tidak dapat dilaksanakan
sebagai akibat tindakan pengusaha. Oleh karena itu, demi menjaga asas hukum
pengupahan yang berkeadilan, 51 maka Negara/Pemerintah harus melindungi upah
pekerja/buruh untuk menghindari perbuatan semena-mena dari pengusaha yang
memiliki posisi ekonomi yang lebih kuat daripada pekerja/buruh.
Untuk tujuan tersebut, Negara/Pemerintah telah memberikan pengaturan bahwa
tindakan skorsing dapat dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dalam proses
pemutusan hubungan kerja, dengan syarat bahwa pengusaha tetap membayar upah
beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh sebagai bentuk kompensasi
atau ganti rugi atas tindakan skorsing tersebut. 52 Hal ini juga dipertegas dalam
50
Umar Kasim, Upah Selama Masa Skorsing, <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/
ulasan/lt4d56a0a460363/upah-selama-masa-skorsing-/>, diakses tanggal 14 September 2019.
51
Yetniwati, Pengaturan Upah Berdasarkan atas Prinsip Berkeadilan, “Mimbar Hukum”, Vol.
29, No. 1, 2017, 82-95, hal. 88.
52
Pasal 93 ayat (2) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 mengatur bahwa “ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh
bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha”.
876 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, bahwa asas no work no pay tidak
berlaku apabila pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya. Sehingga terhadap usaha pengusaha yang
tidak mempekerjakan pekerja/buruh melalui tindakan skorsing tersebut, tidak dapat
diberlakukan asas no work no pay. Sehingga pengusaha yang melakukan skorsing
namun tidak membayar upah proses kepada pekerja/buruh yang bersangkutan, dapat
dianggap sebagai tindakan pidana pelanggaran, yang diancam dengan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah)53.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah terang bahwa kewajiban pengusaha
untuk membayar upah proses dalam skorsing tidak bertentangan dengan penerapan
asas no work no pay di hukum ketenagakerjaan Indonesia. Namun, yang menjadi
pertanyaan menarik selanjutnya adalah sampai kapankah pengusaha diwajibkan untuk
memberikan upah proses kepada pekerja/buruh yang diskorsing?
Secara normatif, maka sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh Mahkamah
Agung RI kepada para hakim melalui SEMA No. 3 Tahun 2015, ditentukan bahwa
kewajiban atas pemberian upah proses tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan saja.
Namun perlu dikritisi bahwa apakah dengan adanya kewajiban pembayaran upah
proses cukup 6 (enam) bulan pada SEMA No. 3 Tahun 2015 tersebut, juga
berimplikasi pada pembatasan masa skorsing yang dilakukan pengusaha menjadi 6
(enam) bulan juga?
Perlu diketahui bahwa UU No. 13 Tahun 2003 belum mengatur pembatasan
masa skorsing yang diperbolehkan bagi pengusaha kepada pekerja/buruh. Apabila
skorsing tersebut pada nyatanya berlangsung untuk waktu yang lebih dari 6 (enam)
bulan, tentunya ketentuan SEMA No. 3 Tahun 2015 akan merugikan pekerja/buruh.
Hal ini dikarenakan terdapat kemungkinan bahwa pekerja/buruh tersebut diskorsing
untuk jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan, namun dengan adanya SEMA No. 3
Tahun 2015 tersebut, maka pekerja/buruh hanya mendapatkan upah proses selama 6
(enam) bulan saja.
Selain itu, sebagaimana yang telah kita ketahui juga bahwa pengusaha yang
tidak membayarkan upah proses kepada pekerja/buruh selama masa skorsing, dapat
diancam dengan sanksi pidana. Tentunya hal tersebut menunjukkan adanya
ketidaksesuaian antara pedoman yang ditetapkan dalam SEMA No. 3 Tahun 2015
dengan ketentuan yang telah diatur pada UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini juga akan
menyebabkan kebingungan bagi pengusaha yang hendak melakukan skorsing, apakah
sebaiknya mengikuti pedoman SEMA No. 3 Tahun 2015 dengan hanya memberikan
upah proses selama 6 (enam) bulan saja, atau sebaiknya tetap mengikuti ketentuan UU
No. 13 Tahun 2003 yang mewajibkan pemberian upah selama masa skorsing, guna
menghindari adanya ancaman pidana bagi pengusaha tersebut.

III. KESIMPULAN

Bahwa pasca dijatuhkannya Putusan MK No. 37 Tahun 2011, kewajiban


pembayaran upah proses sebagaimana yang diatur dalam Pasal 155 ayat (2) dan (3)
UU No. 13 Tahun 2003, harus ditafsirkan berlaku hingga adanya penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap

53
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor
4279, Pasal 186 juncto Pasal 93 ayat (2).
Upah Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja, Fitriana Gunadi 877

(inkracht van gewijsde). Namun sejak adanya SEMA No. 3 Tahun 2015, kewajiban
atas pemberian upah proses tersebut hanya berlaku untuk 6 (enam) bulan saja.
Padahal, UU No. 13 Tahun 2003 belum memberikan pengaturan mengenai
pembatasan masa skorsing yang dapat dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh
dalam proses pemutusan hubungan kerja. Sehingga apabila masa skorsing diberikan
oleh pengusaha untuk lebih dari 6 (enam) bulan, maka ketentuan SEMA No. 3 Tahun
2015 akan bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 dan dapat merugikan para
pihak, dimana i) pekerja/buruh hanya mendapatkan upah proses selama 6 (enam)
bulan saja, sehingga untuk sisa masa skorsing selebihnya, mereka tidak akan
mendapatkan upah; dan ii) pihak pengusaha dapat dikategorikan telah melakukan
tindakan pidana pelanggaran karena tidak memberikan upah kepada pekerja/buruh
yang masih berada dalam masa skorsing lebih dari 6 (enam) bulan.
Berdasarkan hal tersebut, maka Negara/Pemerintah perlu membentuk regulasi
yang bersifat normatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, untuk
memberikan kepastian hukum mengenai pelaksanaan pemberian upah proses dan
pembatasan masa skorsing yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh
selama proses pemutusan hubungan kerja, guna menciptakan hubungan industrial yang
harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Soetiksno. Hukum Perburuhan. Jakarta: 1979.
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk
Wetboek]. Cet. 34. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
Palguna, I Dewa Gede. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State,
Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna. Cet. 1. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Uwiyono, Aloysius, et. al. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Ed. 2, Cet. 3. Depok: PT
RajaGrafindo Persada, 2018.

Artikel
Kasim, Umar. “Upah Selama Masa Skorsing”.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d56a0a460363/upah-
selama-masa-skorsing-/>. Diakses tanggal 14 September 2019.
McLean, H. Contract of Employment. Negative Covenants and No Work, No Pay.
“The Cambridge Law Journal”. Vol. 49. 1990. 28-31: 29.
Yetniwati. Pengaturan Upah Berdasarkan atas Prinsip Berkeadilan. Mimbar Hukum.
Vol. 29, No. 1. 2017, 82-95: 88.

Peraturan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)
Tahun 1964 Nomor 93, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2686.
Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 39, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4279.
878 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004
Nomor 6, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4356.
Pemerintah RI, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 237, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5747.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-
150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di
Perusahaan.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Keputusan Menteri Nomor Kep-
78/Men/2001 tentang Perubahan atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga
Kerja RI Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan
Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti
Kerugian di Perusahaan.
Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September
2011.
Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada tanggal 29 Desember 2015.

Anda mungkin juga menyukai