1. Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) ketentuan mengenai Perjanjian Kerja diatur didalam bagian Hubngan Kerja dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 66. Beberapa hal pokok tentang Perjanjian Kerja yang diatur didalam bagian tersebut adalah asas-asas dalam penyusunan Perjanjian Kerja, syarat Perjanjian Kerja, serta klasifikasi Perjanjian Kerja yang dibedakan menjadi dua, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Di Pengadilan Buruh/Pekerja seringkali mengangkat isu tentang sengketa tidak adanya itikad baik dari perusahaan untuk menyusun PKWTT bagi para Buruh/Pekerjanya. PKWTT memberikan perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan yang manusiawi terhadap Buruh/Pekerja dengan mencantumkan prosedur yang adil dan berimbang tentang Pemutusan Hubungan Kerja, Kewajiban Perusahaan mengikuti pola dan sistem pengupahan yang menguntungkan Buruh/Pekerja, serta perlindungan terhadap Buruh/Pekerja yang wajib diselenggarakan oleh pihak Perusahaan/Pengusaha. Pengusaha melihat PKWTT sebagai suatu beban yang merugikan bagi mereka, sehingga PKWTT sebisa mungkin dihindari oleh Perusahaan dalam menyelenggarakan hubungan kerja dengan para Buruh/Pekerja. Pihak Pengusaha seringkali melanggar ketentuan hubungan kerja dengan para buruhnya, bahwa hubungan kerja yang seharusnya termasuk kedalam kategori PKWTT tetapi dimasukkan atau dikondisikan oleh Pengusaha sebagai PKWT. Hubungan kerja PKWT yang tidak memberikan perlindungan cukup bagi para Buruh/Pekerja seringkali dimanfaatkan oleh Pengusaha untuk melanggar hak-hak Buruh/Pekerja dan dibuat sewenang-wenang. Didalam faktanya banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak Buruh/Pekerja seperti PHK, uang tunjangan, uang pesangon, dan lain-lain, yang awalnya disebabkan oleh pelanggaran ketentuan hubungan kerja yang terjalin antara Buruh dengan pengusaha-pengusaha mempekerjakan Buruh dengan PKWT padahal seharusnya dengan PKWTT. Dalam putusan Nomor 847 K/Pdt.Sus/2008, Pengusaha mencoba mengubah PKWTT ke bentuk PKWT dengan alasan terjadinya merger perusahaan. Contoh lain adalah Putusan Nomor 51 K/Pdt.Sus/2011 di mana Pengusaha mengubah secara sepihak PKWTT ke dalam bentuk PKWT dan Buruh dilarang masuk perusahaan dengan alasan masa kontrak kerja habis. Terkait dengan isu ini, Tim Peneliti berusaha melakukan kajian tentang sudut pandang dan kedudukan Mahkamah Agung dalam melihat permasalahan PKWT dan PKWTT berdasarkan analisis putusan – putusan yang dikeluarkannya. a. Mahkamah Agung Sebagai Judex Yuridis Untuk menjaga kesatuan hukum, Mahkamah Agung sebagai Judex Juris melakukan pemeriksaan atas putusan Majelis Hakim Pengadilan PHI di bawahnya, apakah telah sesuai dengan ketentuan perundang – undangan dan kaedah hukum yang berlaku. Sebagian besar putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung menguntungkan pihak Buruh/Pekerja karena memang dari pembuktian dan fakta kasus yang ada, pihak Pengusaha telah melanggar ketentuan hubungan kerja PKWT – PKWTT. Dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 934 K/Pdt.Sus/2009; Nomor 847 K/Pdt.Sus/2008; Nomor 51 K/Pdt.Sus/ 2011; Nomor 71 K/Pdt.Sus/2011. Hampir seluruh kasus PKWT – PKWTT tersebut disebabkan oleh pelanggaran Pengusaha untuk tidak mengikat para Buruh/Pekerjanya dengan PKWTT. b. Mahkamah Agung menilai UU Ketenagakerjaan memiliki Kompetensi bagi hubungan kerja yang diselenggarakan diatas laut untuk Anak Buah Kapal Dalam hal ini Mahkamah Agung telah melakukan penafsiran hukum tentang kompetensi atau keberlakuan UU Ketenagakerjaan yang juga berlaku untuk Anak Buah Kapal (ABK). Dalam amar pertimbangannya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa lokasi darat atau laut sebagai domisili kerja Buruh/Pekerja tidak mengecualikan keberlakuan UU Ketenagakerjaan yang secara khusus mengatur (lex specialis) tentang hubungan ketenagakerjaan, dibandingkan Undang – undang lainnya yang juga mengatur tentang hubungan kerja ABK dengan Pengusana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang (KUHD). Oleh karena itu, UU Ketenagakerjaan juga mengikat Buruh/Pekerja dengan Pengusaha yang bekerja di atas Kapal Laut. c. Standing hakim adhoc berpengaruh terhadap pertimbangan yang diberikan Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 51 K/Pdt.Sus/2011 kita dapat melihat bahwa komposisi hakim di tingkat Mahkamah Agung ternyata mempengaruhi pertimbangan dan hasil putusan Mahkamah Agung dalam memeriksa kasus PHI. Hakim Adhoc yang berasal dari kalangan Buruh/Pekerja dan Hakim Agung lebih taat dalam menerapkan hukum; menguraikan pertimbangan dengan singkat dan jelas; serta memiliki kecenderungan pertimbangan yang sama satu sama lain dibandingkan dengan hakim dari kalangan Pengusaha. Hakim ad hoc perwakilan Pengusaha seringkali memiliki pendapat yang berbeda dibandingkan dua Hakim Agung lainnya. Bahkan, pertimbangan yang diberikan terkadang tidak mendalam substansi hukumnya. d. PKWT yang batal demi hukum karena tidak sesuai dengan Pasal 57-59 UU Ketenagakerjaan Otomatis menjadi PKWTT Permasalahan isu PKWT yang paling sering dilanggar oleh Pengusaha adalah PKWT yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 – 59 UU Ketenagakerjaan, baik dari segi jangka waktu, perubahan sepihak dari pengusaha, jenis pekerjaan yang menjadi kegiatan utama perusahaan, serta tidak dipenuhinya kesejahteraan Buruh/Pengusaha. Dalam hal ini, Mahkamah Agung cenderung konsisten untuk menilai seluruh PKWT yang tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan menjadi batal demi hukum dan secara otomatis menjadikan PKWT tersebut sebagai PKWTT. 2. Tentang Mogok Tidak Sah Hak mogok adalah salah satu sarana yang paling penting yang mana melalui hak mogok tersebut para pekerja/buruh dengan organisasi-organisasi mereka dapat memajukan dan membela kepentingan-kepentingan ekonomi dan sosial mereka. Kepentingan-kepentingan yang sehubungan dengan pekerjaan dan kepentingan- kepentingan ekonomi yang dibela oleh pekerja/buruh melalui pelaksanaan hak mogok tidak hanya menyangkut kondisi-kondisi kerja yang lebih baik atau klaim-klaim kolektif yang sifatnya sehubungan dengan pekerjaan, tetapi juga pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap persoalan-persoalan dan permasalahan ekonomi dan sosial yang dihadapi perusahaan yang langsung berkepentingan dengan para pekerja/buruh. Oleh karena itu, hak mogok adalah suatu akibat wajar yang hakiki terhadap hak untuk berorganisasi yang dilindungi oleh Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi. Didalam Pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan dengan alasan: Pekerja/Serikat Buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja, atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Perlindungan mogok kerja sendiri diatur secara spesifik dalam Pasal 137-145 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Secara formal, hukum indonesia mengakui hak mogok, namun hak tersebut dibatasi oleh Keputusan Menteri No 232/Men/2003 yang melanggar standar perburuhan internasional. Namun alasan mogok dibatasi hanya atas respon terhadap suatu perselisihan di tempat kerja, prosedur persiapan mogok, dan pembatasan mogok hanya setelah proses mediasi/konsiliasi menjadikan ketentuan mogok sangat rentan disalahgunakan untuk mendiskriminasi buruh. Akibatnya, pekerja yang melakukan mogok seringkali menghadapi PHK dengan alasan yang dibuat-buat atau mangkir. Putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap Mogok kerja dapat dibaca pada kasus- kasus berikut ini: a. Mahkamah Agung menyatakan PHK Tidak Sah akibat mogok kerja yang batal dilaksanakan. b. Kesalahan Berat Tidak Dielaborasi oleh Hakim. c. Peraturan Disiplin Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama yang menghalangi mogok kerja. d. Tuduhan Mangkir atas Aksi Mogok yang diwujudkan dalam “kualifikasi mengundurkan diri” terus menerus dilegitimasi oleh Mahkamah Agung. e. PHK atas kegiatan mogok adalah hal yang dilarang. 3. Tentang Upah Yang Diberikan Kepada Pekerja Saat Menjalankan Proses Pemutusan Hubungan Kerja (Upah Proses) UU Ketenagakerjaan menyebut upah proses secara implisit di dalam Pasal 155 ayat (2) dan (3).99 Kata yang digunakan dalam Pasal tersebut adalah “putusan lembaga… belum ditetapkan”. Hal ini menimbulkan multi intepretasi, apakah yang dimaksud putusan pengadilan PHI atau putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa jangka waktu skorsing adalah enam bulan. Terhadap hal ini, dalam praktik pengadilan pun terjadi ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung terkadang menafsirkan Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dalam menghitung upah proses dimulai dari masa skorsing sampai putusan dijatuhkan oleh Majelis Hakim PHI yang biasanya juga memutus hubungan kerja antara Buruh dengan Pengusaha. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 686 K/Pdt.Sus/2009, Mahkamah Agung mengubah perhitungan upah proses dari yang ditentukan oleh Majelis Hakim PHI selama 16 bulan, menjadi 6 bulan tanpa mencantumkan dasar hukum di bagian pertimbangannya. 4. Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi Perusahaan menggunakan alasan efisiensi dalam memutus hubungan kerja bertujuan untuk mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja. Efisiensi sebagai dalil PHK pun digunakan oleh Perusahaan, dengan menyembunyikan alasan sesungguhnya yakni melakukan penghalangan terhadap buruh untuk berserikat/melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh. Hal ini terlihat dalam Perkara No.569 K/Pdt.Sus/2009. Perusahaan berdalil kondisi keuangan sedang mengalami kerugian, tetapi disisi lain tetap mempekerjakan pekerja dengan Lembur dan menerima dan menambah karyawan baru dengan status kontrak. PHK karena efisiensi diatur dengan detail oleh Undang-Undang, dalam Pasal 164 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 disebutkan: Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut- turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Padahal kata efisiensi yang terdapat di dalam pasal 164 ayat (3) UUK tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga “Mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara memPHK pekerja yang ada. 5. Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Kesalahan Berat Untuk mencari pola dan menganalisa, Peneliti memilih beberapa kasus dengan menggunakan pencarian kata “Kesalahan Berat” dari indeks yang ada, tanpa penyempitan pencarian lainnya didapatkan ada 241 Putusan. Setalah dilakukan penyempitan dengan Pembatasan Tahun Putusan MA pada tahun 2012 dan 2013 saja, ditemukan sebanyak 65 Putusan yang mengandung kata kunci kesalahan berat. Agar lebih akurat kemudian peneliti mensortir dengan melakukan mekanisme filter dalam setiap kategori, dari kolom 3 sampai kolom 17, ditemukan 47 putusan. Dari ke 47 Putusan tersebut kemudian di Random untuk diambil 7 putusan, dengan pemilihan angka dengan kelongkapan 7 angka. Kemudian terpilih 1, 8, 15, 22, 29, 36, 43. Terpilihlah putusan dengan Nomor Perkara : a. Putusan Mahkamah Agung No. 223 K/Pdt.Sus/2013 b. Putusan Mahkamah Agung No. 9 K/Pdt.Sus/2013 c. Putusan Mahkamah Agung No. 597 K/Pdt.Sus/2012 d. Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Pdt.Sus/2013 e. Putusan Mahkamah Agung No. 700 K/Pdt.Sus/2012 f. Putusan Mahkamah Agung No. 86 K/Pdt.Sus/2013 g. Putusan Mahkamah Agung No. 17 K/Pdt.Sus/2012 6. Tentang Perlindungan Terhadap Hak Perempuan Perempuan menjadi salah satu kelompok rentan yang mengalami diskriminasi dan sampai saat ini masih terjadi di dalam praktek hubungan industrial di Indonesia. Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan diantaranya adalah kesenjangan upah, akses perempuan menempuh jabatan tertentu dengan gaji yang lebih tinggi masih sulit, dan hak-hak spesifik perempuan yang diatur dalam peraturan Perundang- undangan, seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Selain itu, dalam konsepsi Hukum Perkawinan Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai kepala keluarga membuat perempuan tidak dapat mendapatkan manfaat asuransi yang mencakup suami dan anak-anak. Di dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa semua pekerja menerima peluang dan perlakuan yang sama dari pengusaha dan melarang pemecatan perempuan saat mereka hamil, melahirkan, meyusui, atau masa pemulihan setelah keguguran. 7. Hak Berserikat dan Dugaan Pemberangusan Serikat Buruh/Serikat Pekerja (Union Busting) Kemerdekaan Berserikat dijamin oleh peraturan perundang-undangan Indonesia melalui Undang-undang No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Pengusaha. Peranan Serikat Pekerja sangat signifikan dalam mengadvokasi praktek pelanggaran oleh pemberi kerja seperti upah di bawah minimum, lembur tidak dibayar, cuti tidak dipenuhi, dll,. Karena pentingnya kemerdekaan berserikat, International Labor Organization (ILO) telah menetapkan Konvensi ILO (KILO) No 87 yang menjamin kemerdekaan berserikat bagi buruh. UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB) secara jelas melarang praktek-praktek perburuhan yang tidak adil dan menerapkan sanksi pidana. Namun kenyataannya, serikat pekerja mengalami kesulitan besar dalam dalam melaporkan pengusaha yang menghalang-halangi Serikat Pekerja. Karena Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak bisa mengadili unsur pidana yang ada dalam kasus perburuhan, buruh harus melaporkan pelanggaran pidana ke Polisi/ Disnaker. Namun berhasil atau tidaknya laporan ini tergantung pada kemauan penyidik Polisi/ Disnaker. Polisi hanya menganggap hubungan ketenagakerjaan menjadi domain Disnaker dan sering menolak kasus pidana yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Keberadaan Serikat Pekerja menjadi ancaman bagi Pengusaha, karena ketika ada Serikat Pekerja di suatu perusahaan, sudah pasti kebijakan-kebijakan melanggar hukum yang dipraktekkan pengusaha akan dikritisi oleh Serikat. Akhirnya Serikat dapat mengorganisir buruh untuk meminta hak-haknya yang dicurangi. Oleh karena itu, ketika buruh mendirikan Serikat Pekerja, Pengusaha sering kali melakukan berbagai cara untuk menghalang-halanginya, diantaranya: a. Pengusaha menarget aktivis serikat pekerja sebagai alat untuk melemahkan serikat pekerja. b. Modus yang dipergunakan dapat dengan memutasi, melakukan demosi, pemberhentian, atau skorsing pengurus dan/atau anggota serikat pekerja. TANGGAPAN
1. Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu. Terkait dengan PKWTT diatur didialam Keputusan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dan peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021) tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Didalam penjelasan yang telah disebutkan diatas, pihak pengusaha/perusahaan seakan-akan mempersulit PKWT untuk menjadi PKWTT. Dalam hal ini, untuk menjadi PKWTT seorang karyawan akan direkrut oelh pengusaha/perusahaan untuk melakukan jenis-jenis pekerjaan waktu tidak tertentu yang sifatnya tetap dan terus-menerus. Mengenai PKWTT telah diatur didalam Pasal 60 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa masa percobaan, atau probation, berlaku untuk karyawan baru yang memiliki kontrak tetap atau PKWTT. Dalam pasal yang sama masa percobaan paling lama yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan adalah 3 bulan. Namun fakta yang telah dijelaskan diatas pihak perusahaan seperti menghindari adanya pengangkatan pegawai menjadi PKWTT. Pihak Pengusaha seringkali melanggar ketentuan hubungan kerja dengan para buruhnya, bahwa hubungan kerja yang seharusnya termasuk kedalam kategori PKWTT tetapi dimasukkan atau dikondisikan oleh Pengusaha sebagai PKWT. Dapat diketahui bahwa hak PKWT antara lain: a. Hak untuk memperoleh upah yang layak Disebutkan didalam Peraturan Menteri No. 1/1999, PP 8/1981, dan Undang-Undang 13/2003, perusahaan wajib memberikan upah atau gaji yang layak kepada karyawan. Berkaitan dengan hak karyawan tetap tersebut, upah layak bukan berarti hanya memenuhi upah minimum. Upah minimum telah diatur oleh pemerintah didalam Pasal 88 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 b. Hak atas jaminan sosial dan keamanan, kesehatan, serta keselamatan kerja (k3) Hak karyawan tetap berikutnya berkaitan dengan hak dasar pekerja. Perusahaan perlu memberikan jaminan sosial dan memastikan pelaksanaan K3 dengan baik. Perusahaan juga perlu memberikan jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. c. Hak untuk berserikat Karyawan memiliki hak untuk berserikat dan membentuk serikat pekerja. Hak karyawan tetap ini didasari oleh UU Nomor 21 Tahun 2000 dan UU No 13 Tahun 2003 d. Hak untuk mengembangkan potensi Karyawan memiliki hak untuk mengembangkan potensi dirinya diperusahaan terkait minat, bakat, dan kemampuan. Pemerintah telah menjamin hak keryawan tetap ini dengan menerbitkan UU No. 21 Tahun 2000 dan UU No. 12 Tahun 2003 e. Hak untuk libur, cuti, dan istirahat Karyawan memiliki hak untuk libur, cuti, maupun beristirahat. Yang pertama karyawan berhak memperoleh libur 1 hari untuk sistem 6 hari kerja dalam 1 minggu atau libur 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Setelah itu, karyawan mendapat cuti tahunan berupa 12 cuti hari kerja setelah 12 bulan bekerja. Berkaitan dengan hak istirahat, karyawan diberikan hak istirahat maksimal 1 jam setelah bekerja selama 4 jam dan seterusnya, serta menunaikan ritual keagamaan dalam waktu kerja. f. Hak memperoleh perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) Karyawan yang mengalami PHK berhak atas beberapa hal sebagai berikut: - 1 kali Uang Pesangon (UP) - 1 kali Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) - 1 kali Uang Pengganti Hak (UPH) 2. Tentang Mogok Tidak Sah Karyawan tetap memiliki hak untuk mogok kerja. Hak ini diatur oleh pemerintah melalui keputusan Menteri Nomor 232 dan UU tentang Ketenagakerjaan. Meskipun begitu, karyawan wajib melakukan prosedur yang tepat sebelum melakukan mogok kerja. Salah satunya dengan menginformasikan rencananya sekurang-kurangnya tujuh hari sebelum berlangsung. Disebutkan dipenjelasan bahwa ketentuan mogok sangat rentan disalahgunakan untuk mendiskriminasi buruh. Akibatnya, pekerja yang melakukan mogok seringkali menghadapi PHK dengan alasan yang dibuat-buat atau mangkir. Hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan tidak boleh dilakukan oleh pengusaha/perusahaan karena tentang mogok kerja telah diatur oleh Undang-Undang dan merupakan hak bagi pekerja. Terdapat persyaratan yang sah tentang mogok kerja, dalam Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa “mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”. Terdapat syarat administratif yang harus dipenuhi agar mohok kerja dikatakan sah, diantaranya adalah pekerja atau serikat kerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada perusahaan/pengusaha dan disnaker, 7 hari kerja sebelum mohok kerja dijalankan, dan dalam surat pemberitahuan tersebut harus memuat waktu, tempat mogok kerja, alasan dan sebab mengapa harus melakukan mogok kerja, serta tanda tangan ketua dan sekertaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok kerja. Menurut Pasal 142 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa apabila mogok kerja yang tidak memenuhi persyaratan sah seperti yang dijelaskan diatas, maka mogok kerja tersebut dianggap tidak sah. Pada Pasal 6 dan Pasal 7 Kepmenakertrans No.232/MEN/2003 tentang akibat mogok kerja yang tidak sah, disebutkan bahwa mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok yidak sah dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Pekerja yang tidak memenuhi panggilan perusahaan untuk kembali bekerja dianggap mengundurkan diri. Apabila mogok kerja dilakukan secara tidak sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum atau perusahaan yang jenis kegiatannya berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia dan mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat. 3. Tentang Upah Yang Diberikan Kepada Pekerja Saat Menjalankan Proses Pemutusan Hubungan Kerja (Upah Proses) Upah proses merupakan upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja selama proses perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berlangsung sampai dengan diterbitkannya penetapan dari Lembaga Perselisihan Hubungan Industrial. Terkait dengan upah proses sejatinya tidak dijelaskan secara rinci oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sekarang telah dirubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), khususnya pada Bab IV yang mengatur tentang Ketenagakerjaan. Dijelaskan diatas bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa jangka waktu skorsing adalah enam bulan. Terhadap hal ini, dalam praktik pengadilan pun terjadi ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung terkadang menafsirkan Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dalam menghitung upah proses dimulai dari masa skorsing sampai putusan dijatuhkan oleh Majelis Hakim PHI yang biasanya juga memutus hubungan kerja antara Buruh dengan Pengusaha. Akan tetapi dalam proses penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, pelaksanaan kewajiban mengenai upah proses nyatanya belum terlaksana sebagaimana mestinya karena menimbulkan penafsiran yang membingungkan terkait dengan batas waktu pemberian upah proses yang harus dibayarkan kepada Pekerja sampai kapan. Hal inilah yang dipandang tidak memberikan kepastian terhadap hukum itu sendiri. Namun dengan lahirnya Putusan MK Nomor: 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2015 serta SEMA Nomor 3 Tahun 2018 telah memberikan penafsiran masing-masing terkait dengan batas waktu pemberian upah proses maupun status Pekerja yang berhak menerima upah proses (irv). 4. Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi Pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi tidak dapat dibenarkan. Disebutkan diatas bahwa perusahaan menggunakan alasan efisiensi dalam memutus hubungan kerja bertujuan untuk mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja. Padahal dijelaskan didalam Pasal 151 dan Pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja atas alasan efisiensi dengan syarat adanya kelebihan jumlah pekerja, adanya keterbukaan informasi, adanya upaya-upaya pencegahan agar pemutusan hubungan kerja tidak terjadi, dan musyawarah dengan perwakilan pekerja serta dilandasi oleh itikad baik. Maka alasan dengan tujuan untuk mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi tidaklah dibenarkan karena tidak sesuai dengan penafsiran Pasal 151 dan Pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003. 5. Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Kesalahan Berat Terkait dengan kesalah berat yang dilakukan oleh buruh/pekerja dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada Pasak 158 ayat (1) huruf a sampai dengan j telah merinci jenis-jenis kesalahan berat yang dapat mengakibatkan PHK, diantaranya adalah pekerja/buruh melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan. Selain itu, contoh lainnya adalah buruh/pekerja memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan. Walaupun perusahaan dapat melakukan PHK terhadap kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh, tetapi penjelasan Pasal 155 jo Pasal 151 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap melarang PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PHK tanpa penetapan batal demi hukum. Namun, ayat (3) dari Pasal 155 memungkinkan pengecualian bahwa sebelum ada penetapan pelaku usaha boleh menjatuhkan skorsing dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh tersebut. 6. Tentang Perlindungan Terhadap Hak Perempuan Kesenjangan dalam bentuk diskriminasi yang disebutkan didalam penjelasan memang cukup terlihat jelas. Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan diantaranya adalah kesenjangan upah, akses perempuan menempuh jabatan tertentu dengan gaji yang lebih tinggi masih sulit, dan hak-hak spesifik perempuan yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan, seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Meskipun hal tersebut telah jelas dilarang namun dalam praktiknya hal tersebut banyak sekali terjadi. Terdapat keistimewaan tersendiri terhadap pekerja perempuan yang harus dipenuhi hak nya oleh pengusaha. Yang pertama adalah istirahat haid. Dijelaskan didalam Pasal 81 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 “Pekerja/Buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”. Yang kedua istirahat melahirkan, pada Pasal 82 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan “Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”. Yang ketiga istirahat gugur kandungan yang dijelasakn pada Pasal 82 ayat (2) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan”. Dan masih banyak lagi yang diantara adalah fasilitas ruang menyusui, larangan mempekerjakan pekerja perempuan hamil pada kondisi berbahaya, larangan PHK karena hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui. Ketentuan memperkerjakan pekerja perempuan dimalam hari, serta larangan diskriminasi. 7. Hak Berserikat dan Dugaan Pemberangusan Serikat Buruh/Serikat Pekerja (Union Busting) Disebutkan bahwa buruh/pekerja memiliki hak untuk berserikat dan dilindungi oleh undang-undang. Namun, pada kenyataannya serikat pekerja mengalami kesulitan besar dalam dalam melaporkan pengusaha yang menghalang-halangi Serikat Pekerja. Karena Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak bisa mengadili unsur pidana yang ada dalam kasus perburuhan, buruh harus melaporkan pelanggaran pidana ke Polisi/ Disnaker. Alasan dibalik pemberangusan serikat Buruh/Pekerja ini adalah keberadaan Serikat Pekerja menjadi ancaman bagi Pengusaha, karena ketika ada Serikat Pekerja di suatu perusahaan, sudah pasti kebijakan-kebijakan melanggar hukum yang dipraktekkan pengusaha akan dikritisi oleh Serikat. Padahal dijelaskan didalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja jika setiap tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pemberangusan paksa serikat buruh atau union busting merupakan tindak pidana yang dapat dihukum. Sanksi pidana tersebut diatur didalam Pasal 43 yang menyatakan “barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud alam Pasal 28 akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindakan kejahatan”. Perlindungan terhadap buruh/pekerja harus tetap ditegakkan oleh pihak-pihak yang berwenang karena undang--undang telah memberikan perlindungan. Jika undang-undang telah mengatur maka sudah jelas bahwa perkara tentang buruh adalah hal yang penting.