Anda di halaman 1dari 13

Nama : Mochamad Rizalul Maulana

NIM : 201910110311097

Hukum Acara Perdata TT II

RESUME

POLA PUTUSAN DAN TEMUAN-TEMUAN LAINNYA

1. Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-Perjanjian Kerja Waktu Tidak


Tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan) ketentuan mengenai Perjanjian Kerja diatur didalam bagian Hubngan
Kerja dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 66. Beberapa hal pokok tentang Perjanjian
Kerja yang diatur didalam bagian tersebut adalah asas-asas dalam penyusunan
Perjanjian Kerja, syarat Perjanjian Kerja, serta klasifikasi Perjanjian Kerja yang
dibedakan menjadi dua, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Di Pengadilan Buruh/Pekerja seringkali mengangkat isu tentang sengketa tidak
adanya itikad baik dari perusahaan untuk menyusun PKWTT bagi para
Buruh/Pekerjanya. PKWTT memberikan perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan
yang manusiawi terhadap Buruh/Pekerja dengan mencantumkan prosedur yang adil dan
berimbang tentang Pemutusan Hubungan Kerja, Kewajiban Perusahaan mengikuti pola
dan sistem pengupahan yang menguntungkan Buruh/Pekerja, serta perlindungan
terhadap Buruh/Pekerja yang wajib diselenggarakan oleh pihak Perusahaan/Pengusaha.
Pengusaha melihat PKWTT sebagai suatu beban yang merugikan bagi mereka,
sehingga PKWTT sebisa mungkin dihindari oleh Perusahaan dalam menyelenggarakan
hubungan kerja dengan para Buruh/Pekerja. Pihak Pengusaha seringkali melanggar
ketentuan hubungan kerja dengan para buruhnya, bahwa hubungan kerja yang
seharusnya termasuk kedalam kategori PKWTT tetapi dimasukkan atau dikondisikan
oleh Pengusaha sebagai PKWT. Hubungan kerja PKWT yang tidak memberikan
perlindungan cukup bagi para Buruh/Pekerja seringkali dimanfaatkan oleh Pengusaha
untuk melanggar hak-hak Buruh/Pekerja dan dibuat sewenang-wenang.
Didalam faktanya banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak Buruh/Pekerja
seperti PHK, uang tunjangan, uang pesangon, dan lain-lain, yang awalnya disebabkan
oleh pelanggaran ketentuan hubungan kerja yang terjalin antara Buruh dengan
pengusaha-pengusaha mempekerjakan Buruh dengan PKWT padahal seharusnya
dengan PKWTT.
Dalam putusan Nomor 847 K/Pdt.Sus/2008, Pengusaha mencoba mengubah PKWTT
ke bentuk PKWT dengan alasan terjadinya merger perusahaan. Contoh lain adalah
Putusan Nomor 51 K/Pdt.Sus/2011 di mana Pengusaha mengubah secara sepihak
PKWTT ke dalam bentuk PKWT dan Buruh dilarang masuk perusahaan dengan alasan
masa kontrak kerja habis. Terkait dengan isu ini, Tim Peneliti berusaha melakukan
kajian tentang sudut pandang dan kedudukan Mahkamah Agung dalam melihat
permasalahan PKWT dan PKWTT berdasarkan analisis putusan – putusan yang
dikeluarkannya.
a. Mahkamah Agung Sebagai Judex Yuridis
Untuk menjaga kesatuan hukum, Mahkamah Agung sebagai Judex Juris
melakukan pemeriksaan atas putusan Majelis Hakim Pengadilan PHI di
bawahnya, apakah telah sesuai dengan ketentuan perundang – undangan dan
kaedah hukum yang berlaku. Sebagian besar putusan yang dikeluarkan Mahkamah
Agung menguntungkan pihak Buruh/Pekerja karena memang dari pembuktian dan
fakta kasus yang ada, pihak Pengusaha telah melanggar ketentuan hubungan kerja
PKWT – PKWTT. Dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 934 K/Pdt.Sus/2009;
Nomor 847 K/Pdt.Sus/2008; Nomor 51 K/Pdt.Sus/ 2011; Nomor 71
K/Pdt.Sus/2011. Hampir seluruh kasus PKWT – PKWTT tersebut disebabkan
oleh pelanggaran Pengusaha untuk tidak mengikat para Buruh/Pekerjanya dengan
PKWTT.
b. Mahkamah Agung menilai UU Ketenagakerjaan memiliki Kompetensi bagi
hubungan kerja yang diselenggarakan diatas laut untuk Anak Buah Kapal
Dalam hal ini Mahkamah Agung telah melakukan penafsiran hukum tentang
kompetensi atau keberlakuan UU Ketenagakerjaan yang juga berlaku untuk Anak
Buah Kapal (ABK). Dalam amar pertimbangannya, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa lokasi darat atau laut sebagai domisili kerja Buruh/Pekerja
tidak mengecualikan keberlakuan UU Ketenagakerjaan yang secara khusus
mengatur (lex specialis) tentang hubungan ketenagakerjaan, dibandingkan Undang
– undang lainnya yang juga mengatur tentang hubungan kerja ABK dengan
Pengusana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum
Dagang (KUHD). Oleh karena itu, UU Ketenagakerjaan juga mengikat
Buruh/Pekerja dengan Pengusaha yang bekerja di atas Kapal Laut.
c. Standing hakim adhoc berpengaruh terhadap pertimbangan yang diberikan
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 51 K/Pdt.Sus/2011 kita dapat melihat
bahwa komposisi hakim di tingkat Mahkamah Agung ternyata mempengaruhi
pertimbangan dan hasil putusan Mahkamah Agung dalam memeriksa kasus PHI.
Hakim Adhoc yang berasal dari kalangan Buruh/Pekerja dan Hakim Agung lebih
taat dalam menerapkan hukum; menguraikan pertimbangan dengan singkat dan
jelas; serta memiliki kecenderungan pertimbangan yang sama satu sama lain
dibandingkan dengan hakim dari kalangan Pengusaha. Hakim ad hoc perwakilan
Pengusaha seringkali memiliki pendapat yang berbeda dibandingkan dua Hakim
Agung lainnya. Bahkan, pertimbangan yang diberikan terkadang tidak mendalam
substansi hukumnya.
d. PKWT yang batal demi hukum karena tidak sesuai dengan Pasal 57-59 UU
Ketenagakerjaan Otomatis menjadi PKWTT
Permasalahan isu PKWT yang paling sering dilanggar oleh Pengusaha adalah
PKWT yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 – 59 UU Ketenagakerjaan,
baik dari segi jangka waktu, perubahan sepihak dari pengusaha, jenis pekerjaan
yang menjadi kegiatan utama perusahaan, serta tidak dipenuhinya kesejahteraan
Buruh/Pengusaha. Dalam hal ini, Mahkamah Agung cenderung konsisten untuk
menilai seluruh PKWT yang tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan
menjadi batal demi hukum dan secara otomatis menjadikan PKWT tersebut
sebagai PKWTT.
2. Tentang Mogok Tidak Sah
Hak mogok adalah salah satu sarana yang paling penting yang mana melalui hak
mogok tersebut para pekerja/buruh dengan organisasi-organisasi mereka dapat
memajukan dan membela kepentingan-kepentingan ekonomi dan sosial mereka.
Kepentingan-kepentingan yang sehubungan dengan pekerjaan dan kepentingan-
kepentingan ekonomi yang dibela oleh pekerja/buruh melalui pelaksanaan hak mogok
tidak hanya menyangkut kondisi-kondisi kerja yang lebih baik atau klaim-klaim
kolektif yang sifatnya sehubungan dengan pekerjaan, tetapi juga pencarian
penyelesaian-penyelesaian terhadap persoalan-persoalan dan permasalahan ekonomi
dan sosial yang dihadapi perusahaan yang langsung berkepentingan dengan para
pekerja/buruh. Oleh karena itu, hak mogok adalah suatu akibat wajar yang hakiki
terhadap hak untuk berorganisasi yang dilindungi oleh Konvensi No. 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi.
Didalam Pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan dengan alasan:
Pekerja/Serikat Buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan Serikat Pekerja/Serikat
Buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja, atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama.
Perlindungan mogok kerja sendiri diatur secara spesifik dalam Pasal 137-145 UU No
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Secara formal, hukum indonesia mengakui
hak mogok, namun hak tersebut dibatasi oleh Keputusan Menteri No 232/Men/2003
yang melanggar standar perburuhan internasional. Namun alasan mogok dibatasi hanya
atas respon terhadap suatu perselisihan di tempat kerja, prosedur persiapan mogok, dan
pembatasan mogok hanya setelah proses mediasi/konsiliasi menjadikan ketentuan
mogok sangat rentan disalahgunakan untuk mendiskriminasi buruh. Akibatnya, pekerja
yang melakukan mogok seringkali menghadapi PHK dengan alasan yang dibuat-buat
atau mangkir.
Putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap Mogok kerja dapat dibaca pada kasus-
kasus berikut ini:
a. Mahkamah Agung menyatakan PHK Tidak Sah akibat mogok kerja yang batal
dilaksanakan.
b. Kesalahan Berat Tidak Dielaborasi oleh Hakim.
c. Peraturan Disiplin Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama yang menghalangi
mogok kerja.
d. Tuduhan Mangkir atas Aksi Mogok yang diwujudkan dalam “kualifikasi
mengundurkan diri” terus menerus dilegitimasi oleh Mahkamah Agung.
e. PHK atas kegiatan mogok adalah hal yang dilarang.
3. Tentang Upah Yang Diberikan Kepada Pekerja Saat Menjalankan Proses
Pemutusan Hubungan Kerja (Upah Proses)
UU Ketenagakerjaan menyebut upah proses secara implisit di dalam Pasal 155 ayat
(2) dan (3).99 Kata yang digunakan dalam Pasal tersebut adalah “putusan lembaga…
belum ditetapkan”. Hal ini menimbulkan multi intepretasi, apakah yang dimaksud
putusan pengadilan PHI atau putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu,
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa jangka
waktu skorsing adalah enam bulan. Terhadap hal ini, dalam praktik pengadilan pun
terjadi ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung terkadang menafsirkan Pasal 155 ayat
(2) UU Ketenagakerjaan dalam menghitung upah proses dimulai dari masa skorsing
sampai putusan dijatuhkan oleh Majelis Hakim PHI yang biasanya juga memutus
hubungan kerja antara Buruh dengan Pengusaha.
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 686 K/Pdt.Sus/2009, Mahkamah Agung
mengubah perhitungan upah proses dari yang ditentukan oleh Majelis Hakim PHI
selama 16 bulan, menjadi 6 bulan tanpa mencantumkan dasar hukum di bagian
pertimbangannya.
4. Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi
Perusahaan menggunakan alasan efisiensi dalam memutus hubungan kerja bertujuan
untuk mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti
dalam kondisi krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja. Efisiensi sebagai
dalil PHK pun digunakan oleh Perusahaan, dengan menyembunyikan alasan
sesungguhnya yakni melakukan penghalangan terhadap buruh untuk
berserikat/melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh. Hal ini terlihat dalam Perkara
No.569 K/Pdt.Sus/2009. Perusahaan berdalil kondisi keuangan sedang mengalami
kerugian, tetapi disisi lain tetap mempekerjakan pekerja dengan Lembur dan menerima
dan menambah karyawan baru dengan status kontrak.
PHK karena efisiensi diatur dengan detail oleh Undang-Undang, dalam Pasal 164
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 disebutkan:
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Padahal kata efisiensi yang terdapat di dalam pasal 164 ayat (3) UUK tidak dapat
diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap
pekerja atau juga “Mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara memPHK pekerja
yang ada.
5. Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Kesalahan Berat
Untuk mencari pola dan menganalisa, Peneliti memilih beberapa kasus dengan
menggunakan pencarian kata “Kesalahan Berat” dari indeks yang ada, tanpa
penyempitan pencarian lainnya didapatkan ada 241 Putusan. Setalah dilakukan
penyempitan dengan Pembatasan Tahun Putusan MA pada tahun 2012 dan 2013 saja,
ditemukan sebanyak 65 Putusan yang mengandung kata kunci kesalahan berat. Agar
lebih akurat kemudian peneliti mensortir dengan melakukan mekanisme filter dalam
setiap kategori, dari kolom 3 sampai kolom 17, ditemukan 47 putusan. Dari ke 47
Putusan tersebut kemudian di Random untuk diambil 7 putusan, dengan pemilihan
angka dengan kelongkapan 7 angka. Kemudian terpilih 1, 8, 15, 22, 29, 36, 43.
Terpilihlah putusan dengan Nomor Perkara :
a. Putusan Mahkamah Agung No. 223 K/Pdt.Sus/2013
b. Putusan Mahkamah Agung No. 9 K/Pdt.Sus/2013
c. Putusan Mahkamah Agung No. 597 K/Pdt.Sus/2012
d. Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Pdt.Sus/2013
e. Putusan Mahkamah Agung No. 700 K/Pdt.Sus/2012
f. Putusan Mahkamah Agung No. 86 K/Pdt.Sus/2013
g. Putusan Mahkamah Agung No. 17 K/Pdt.Sus/2012
6. Tentang Perlindungan Terhadap Hak Perempuan
Perempuan menjadi salah satu kelompok rentan yang mengalami diskriminasi dan
sampai saat ini masih terjadi di dalam praktek hubungan industrial di Indonesia.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan diantaranya adalah kesenjangan
upah, akses perempuan menempuh jabatan tertentu dengan gaji yang lebih tinggi masih
sulit, dan hak-hak spesifik perempuan yang diatur dalam peraturan Perundang-
undangan, seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Selain itu, dalam konsepsi Hukum
Perkawinan Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan
laki-laki sebagai kepala keluarga membuat perempuan tidak dapat mendapatkan
manfaat asuransi yang mencakup suami dan anak-anak.
Di dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa
semua pekerja menerima peluang dan perlakuan yang sama dari pengusaha dan
melarang pemecatan perempuan saat mereka hamil, melahirkan, meyusui, atau masa
pemulihan setelah keguguran.
7. Hak Berserikat dan Dugaan Pemberangusan Serikat Buruh/Serikat Pekerja
(Union Busting)
Kemerdekaan Berserikat dijamin oleh peraturan perundang-undangan Indonesia
melalui Undang-undang No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Pengusaha.
Peranan Serikat Pekerja sangat signifikan dalam mengadvokasi praktek pelanggaran
oleh pemberi kerja seperti upah di bawah minimum, lembur tidak dibayar, cuti tidak
dipenuhi, dll,. Karena pentingnya kemerdekaan berserikat, International Labor
Organization (ILO) telah menetapkan Konvensi ILO (KILO) No 87 yang menjamin
kemerdekaan berserikat bagi buruh.
UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB) secara
jelas melarang praktek-praktek perburuhan yang tidak adil dan menerapkan sanksi
pidana. Namun kenyataannya, serikat pekerja mengalami kesulitan besar dalam dalam
melaporkan pengusaha yang menghalang-halangi Serikat Pekerja. Karena Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) tidak bisa mengadili unsur pidana yang ada dalam kasus
perburuhan, buruh harus melaporkan pelanggaran pidana ke Polisi/ Disnaker. Namun
berhasil atau tidaknya laporan ini tergantung pada kemauan penyidik Polisi/ Disnaker.
Polisi hanya menganggap hubungan ketenagakerjaan menjadi domain Disnaker dan
sering menolak kasus pidana yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
Keberadaan Serikat Pekerja menjadi ancaman bagi Pengusaha, karena ketika ada
Serikat Pekerja di suatu perusahaan, sudah pasti kebijakan-kebijakan melanggar hukum
yang dipraktekkan pengusaha akan dikritisi oleh Serikat. Akhirnya Serikat dapat
mengorganisir buruh untuk meminta hak-haknya yang dicurangi. Oleh karena itu,
ketika buruh mendirikan Serikat Pekerja, Pengusaha sering kali melakukan berbagai
cara untuk menghalang-halanginya, diantaranya:
a. Pengusaha menarget aktivis serikat pekerja sebagai alat untuk melemahkan serikat
pekerja.
b. Modus yang dipergunakan dapat dengan memutasi, melakukan demosi,
pemberhentian, atau skorsing pengurus dan/atau anggota serikat pekerja.
TANGGAPAN

1. Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-Perjanjian Kerja Waktu Tidak


Tertentu.
Terkait dengan PKWTT diatur didialam Keputusan Kementrian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI No. KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu dan peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP
35/2021) tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Didalam penjelasan yang telah
disebutkan diatas, pihak pengusaha/perusahaan seakan-akan mempersulit PKWT
untuk menjadi PKWTT. Dalam hal ini, untuk menjadi PKWTT seorang karyawan
akan direkrut oelh pengusaha/perusahaan untuk melakukan jenis-jenis pekerjaan
waktu tidak tertentu yang sifatnya tetap dan terus-menerus.
Mengenai PKWTT telah diatur didalam Pasal 60 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan
yang menyatakan bahwa masa percobaan, atau probation, berlaku untuk karyawan
baru yang memiliki kontrak tetap atau PKWTT. Dalam pasal yang sama masa
percobaan paling lama yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan adalah 3 bulan.
Namun fakta yang telah dijelaskan diatas pihak perusahaan seperti menghindari
adanya pengangkatan pegawai menjadi PKWTT.
Pihak Pengusaha seringkali melanggar ketentuan hubungan kerja dengan para
buruhnya, bahwa hubungan kerja yang seharusnya termasuk kedalam kategori
PKWTT tetapi dimasukkan atau dikondisikan oleh Pengusaha sebagai PKWT. Dapat
diketahui bahwa hak PKWT antara lain:
a. Hak untuk memperoleh upah yang layak
Disebutkan didalam Peraturan Menteri No. 1/1999, PP 8/1981, dan
Undang-Undang 13/2003, perusahaan wajib memberikan upah atau gaji
yang layak kepada karyawan. Berkaitan dengan hak karyawan tetap
tersebut, upah layak bukan berarti hanya memenuhi upah minimum.
Upah minimum telah diatur oleh pemerintah didalam Pasal 88 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2008
b. Hak atas jaminan sosial dan keamanan, kesehatan, serta keselamatan kerja
(k3)
Hak karyawan tetap berikutnya berkaitan dengan hak dasar pekerja.
Perusahaan perlu memberikan jaminan sosial dan memastikan pelaksanaan
K3 dengan baik. Perusahaan juga perlu memberikan jaminan sosial seperti
BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
c. Hak untuk berserikat
Karyawan memiliki hak untuk berserikat dan membentuk serikat pekerja.
Hak karyawan tetap ini didasari oleh UU Nomor 21 Tahun 2000 dan UU
No 13 Tahun 2003
d. Hak untuk mengembangkan potensi
Karyawan memiliki hak untuk mengembangkan potensi dirinya
diperusahaan terkait minat, bakat, dan kemampuan. Pemerintah telah
menjamin hak keryawan tetap ini dengan menerbitkan UU No. 21 Tahun
2000 dan UU No. 12 Tahun 2003
e. Hak untuk libur, cuti, dan istirahat
Karyawan memiliki hak untuk libur, cuti, maupun beristirahat. Yang
pertama karyawan berhak memperoleh libur 1 hari untuk sistem 6 hari
kerja dalam 1 minggu atau libur 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Setelah itu, karyawan mendapat cuti tahunan berupa 12 cuti hari kerja
setelah 12 bulan bekerja. Berkaitan dengan hak istirahat, karyawan
diberikan hak istirahat maksimal 1 jam setelah bekerja selama 4 jam dan
seterusnya, serta menunaikan ritual keagamaan dalam waktu kerja.
f. Hak memperoleh perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK)
Karyawan yang mengalami PHK berhak atas beberapa hal sebagai berikut:
- 1 kali Uang Pesangon (UP)
- 1 kali Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)
- 1 kali Uang Pengganti Hak (UPH)
2. Tentang Mogok Tidak Sah
Karyawan tetap memiliki hak untuk mogok kerja. Hak ini diatur oleh pemerintah
melalui keputusan Menteri Nomor 232 dan UU tentang Ketenagakerjaan. Meskipun
begitu, karyawan wajib melakukan prosedur yang tepat sebelum melakukan mogok
kerja. Salah satunya dengan menginformasikan rencananya sekurang-kurangnya tujuh
hari sebelum berlangsung. Disebutkan dipenjelasan bahwa ketentuan mogok sangat
rentan disalahgunakan untuk mendiskriminasi buruh. Akibatnya, pekerja yang
melakukan mogok seringkali menghadapi PHK dengan alasan yang dibuat-buat atau
mangkir. Hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan tidak boleh
dilakukan oleh pengusaha/perusahaan karena tentang mogok kerja telah diatur oleh
Undang-Undang dan merupakan hak bagi pekerja.
Terdapat persyaratan yang sah tentang mogok kerja, dalam Pasal 137 UU No. 13
Tahun 2003 disebutkan bahwa “mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan
damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”.
Terdapat syarat administratif yang harus dipenuhi agar mohok kerja dikatakan sah,
diantaranya adalah pekerja atau serikat kerja wajib memberitahukan secara tertulis
kepada perusahaan/pengusaha dan disnaker, 7 hari kerja sebelum mohok kerja
dijalankan, dan dalam surat pemberitahuan tersebut harus memuat waktu, tempat
mogok kerja, alasan dan sebab mengapa harus melakukan mogok kerja, serta tanda
tangan ketua dan sekertaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok kerja.
Menurut Pasal 142 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa
apabila mogok kerja yang tidak memenuhi persyaratan sah seperti yang dijelaskan
diatas, maka mogok kerja tersebut dianggap tidak sah. Pada Pasal 6 dan Pasal 7
Kepmenakertrans No.232/MEN/2003 tentang akibat mogok kerja yang tidak sah,
disebutkan bahwa mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan
sebagai mangkir. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok yidak sah
dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari dalam
bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Pekerja yang tidak memenuhi panggilan
perusahaan untuk kembali bekerja dianggap mengundurkan diri.
Apabila mogok kerja dilakukan secara tidak sah pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum atau perusahaan yang jenis kegiatannya berhubungan dengan
keselamatan jiwa manusia dan mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang
berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
3. Tentang Upah Yang Diberikan Kepada Pekerja Saat Menjalankan Proses
Pemutusan Hubungan Kerja (Upah Proses)
Upah proses merupakan upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja
selama proses perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berlangsung sampai
dengan diterbitkannya penetapan dari Lembaga Perselisihan Hubungan Industrial.
Terkait dengan upah proses sejatinya tidak dijelaskan secara rinci oleh UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sekarang telah dirubah menjadi UU
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), khususnya pada Bab IV
yang  mengatur  tentang Ketenagakerjaan.
Dijelaskan diatas bahwa Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150 tahun 2000 yang
menyebutkan bahwa jangka waktu skorsing adalah enam bulan. Terhadap hal ini, dalam
praktik pengadilan pun terjadi ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung terkadang
menafsirkan Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dalam menghitung upah proses
dimulai dari masa skorsing sampai putusan dijatuhkan oleh Majelis Hakim PHI yang
biasanya juga memutus hubungan kerja antara Buruh dengan Pengusaha. Akan tetapi
dalam proses penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, pelaksanaan
kewajiban mengenai upah proses nyatanya belum terlaksana sebagaimana mestinya
karena menimbulkan penafsiran yang membingungkan terkait dengan batas waktu
pemberian upah proses yang harus dibayarkan kepada Pekerja sampai kapan. Hal inilah
yang dipandang tidak memberikan kepastian terhadap hukum itu sendiri.
Namun dengan lahirnya  Putusan MK Nomor: 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19
September 2011 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2015  serta SEMA Nomor 3 Tahun 2018
telah memberikan penafsiran masing-masing terkait dengan batas waktu pemberian
upah proses maupun status Pekerja yang berhak menerima upah proses (irv).
4. Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi tidak dapat dibenarkan.
Disebutkan diatas bahwa perusahaan menggunakan alasan efisiensi dalam memutus
hubungan kerja bertujuan untuk mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap
beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi krisis global yang mengharuskan
pengurangan pekerja. Padahal dijelaskan didalam Pasal 151 dan Pasal 153 UU No. 13
Tahun 2003, pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja atas alasan efisiensi
dengan syarat adanya kelebihan jumlah pekerja, adanya keterbukaan informasi,
adanya upaya-upaya pencegahan agar pemutusan hubungan kerja tidak terjadi, dan
musyawarah dengan perwakilan pekerja serta dilandasi oleh itikad baik. Maka alasan
dengan tujuan untuk mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi
tidaklah dibenarkan karena tidak sesuai dengan penafsiran Pasal 151 dan Pasal 153
UU No. 13 Tahun 2003.
5. Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Kesalahan Berat
Terkait dengan kesalah berat yang dilakukan oleh buruh/pekerja dapat dilihat didalam
ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pada Pasak 158 ayat (1) huruf a sampai dengan j telah merinci
jenis-jenis kesalahan berat yang dapat mengakibatkan PHK, diantaranya adalah
pekerja/buruh melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan. Selain itu, contoh lainnya adalah buruh/pekerja memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan.
Walaupun perusahaan dapat melakukan PHK terhadap kesalahan berat yang
dilakukan oleh pekerja/buruh, tetapi penjelasan Pasal 155 jo Pasal 151 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap melarang PHK tanpa
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PHK tanpa
penetapan batal demi hukum. Namun, ayat (3) dari Pasal 155
memungkinkan pengecualian bahwa sebelum ada penetapan pelaku usaha boleh
menjatuhkan skorsing dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang
biasa diterima pekerja/buruh tersebut.
6. Tentang Perlindungan Terhadap Hak Perempuan
Kesenjangan dalam bentuk diskriminasi yang disebutkan didalam penjelasan memang
cukup terlihat jelas. Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan diantaranya
adalah kesenjangan upah, akses perempuan menempuh jabatan tertentu dengan gaji
yang lebih tinggi masih sulit, dan hak-hak spesifik perempuan yang diatur dalam
peraturan Perundang-undangan, seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Meskipun hal
tersebut telah jelas dilarang namun dalam praktiknya hal tersebut banyak sekali
terjadi.
Terdapat keistimewaan tersendiri terhadap pekerja perempuan yang harus dipenuhi
hak nya oleh pengusaha. Yang pertama adalah istirahat haid. Dijelaskan didalam
Pasal 81 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 “Pekerja/Buruh perempuan yang dalam
masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib
bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”. Yang kedua istirahat
melahirkan, pada Pasal 82 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan
“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”. Yang ketiga istirahat
gugur kandungan yang dijelasakn pada Pasal 82 ayat (2) undang-undang yang sama
menyatakan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran
kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan
surat keterangan dokter kandungan atau bidan”. Dan masih banyak lagi yang diantara
adalah fasilitas ruang menyusui, larangan mempekerjakan pekerja perempuan hamil
pada kondisi berbahaya, larangan PHK karena hamil, melahirkan, gugur kandungan,
atau menyusui. Ketentuan memperkerjakan pekerja perempuan dimalam hari, serta
larangan diskriminasi.
7. Hak Berserikat dan Dugaan Pemberangusan Serikat Buruh/Serikat Pekerja
(Union Busting)
Disebutkan bahwa buruh/pekerja memiliki hak untuk berserikat dan dilindungi oleh
undang-undang. Namun, pada kenyataannya serikat pekerja mengalami kesulitan
besar dalam dalam melaporkan pengusaha yang menghalang-halangi Serikat Pekerja.
Karena Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak bisa mengadili unsur pidana yang
ada dalam kasus perburuhan, buruh harus melaporkan pelanggaran pidana ke Polisi/
Disnaker.
Alasan dibalik pemberangusan serikat Buruh/Pekerja ini adalah keberadaan Serikat
Pekerja menjadi ancaman bagi Pengusaha, karena ketika ada Serikat Pekerja di suatu
perusahaan, sudah pasti kebijakan-kebijakan melanggar hukum yang dipraktekkan
pengusaha akan dikritisi oleh Serikat. Padahal dijelaskan didalam UU No. 21 Tahun
2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja jika setiap tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai pemberangusan paksa serikat buruh atau union busting
merupakan tindak pidana yang dapat dihukum. Sanksi pidana tersebut diatur didalam
Pasal 43 yang menyatakan “barang siapa menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud alam Pasal 28 akan dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000. Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindakan kejahatan”. Perlindungan terhadap
buruh/pekerja harus tetap ditegakkan oleh pihak-pihak yang berwenang karena
undang--undang telah memberikan perlindungan. Jika undang-undang telah mengatur
maka sudah jelas bahwa perkara tentang buruh adalah hal yang penting.

Anda mungkin juga menyukai