Anda di halaman 1dari 20

HUKUM KETENAGAKERJAAN ATAS PHK TANPA PESANGON

BAGI PARA BURUH

Disusun oleh :
Nama : Fuad Ashar Nugroho,S.I.,S.H.
NIM : 19120117
Mata Kuliah : Hukum Ketenagakerjaan
Prodi : S-2 Hukum

UNIVERSITAS KADIRI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER
FAKULTAS HUKUM TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur adalah salah satu tujuan

Indonesia merdeka. Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan

kesejahteraan bagi rakyatnya secara adil. Salah satu instrumen perwujudan keadilan dan

kesejateraan itu adalah hukum. Melalui hukum,negara berupaya mengatur hubungan –

hubungan antara orang perorang atau antara orang dengan badan hukum. Pengaturan ini

dimaksudkan supaya jangan ada penzaliman dari pihak yang lebih kuat kepada pihak yang

lemah, sehingga tercipta keadilan dan ketentraman di tengah – tengah masyarakat.

Permasalahan yang khas kita dengar sebagai negara berkembang adalah

permasalahan mengenai tenaga kerja atau perburuhan. Salah satu permasalahan tersebut

yaitu pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahan dengan tanpa memberikan

pesangon. Salah satu peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah peraturan yang

mengatur hubungan seseorang di dunia kerja. Fakta menunjukkan bahwa banyak sekali

orang yang bekerja pada perusahaan, oleh sebab itu hubungan kerja antara seorang pekerja

dengan pihak perusahaan perlu diatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi kesewenang-

wenangan yang bisa merugikan salah satu pihak.

Padahal seharusnya pelaksanaan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan

oleh perusahaan harus sesuai dengan Undang – Undang No. 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja dilakukan dalam

beberapa proses yaitu mengadakan musyawarah antara karyawan dengan perusahaan, bila

menemui jalan buntu maka jalan terakhir adalah melalui pengadilan untuk memutuskan

perkara. Bagi karyawan yang bermasalah melakukan pelanggaran berat, langsung

Hukum Ketenagakerjaan 2
diserahkan kepada pihak kepolisian tanpa meminta ijin kepada pihak yang berwenang. Dan

untuk karyawan yang akan pensiun dapat diajukan sesuai dengan peraturan. Demikian pula

karyawan yang mengundurkan diri diatur sesuai dengan peraturan perusahaan dan

perundang-undangan. Sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap tenaga kerja yang

telah di PHK dimana dalam Undang – Undang mengharuskan atau mewajibkan perusahaan

untuk memberikan uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak. Dan

Peraturan mengenai uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak diatur

dalam Pasal 156, Pasal 160 sampai Pasal 169 UU No.13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang menjadi dasar hukum pemberian pesangon bagi para buruh yangdi

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?

2. Apakah fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa pesangon diIndonesia

masih marak dilakukan?

3. Bagaimana langkah hukum yang dapat diambil jika buruh tidak mendapatkan pesangon

ketika terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?

C. Tujuan

1. Mengetahui dasar hukum pemberian pesangon bagi para buruh yang terkena Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK).

2. Mengetahui apa penyebab para buruh tidak memperoleh pesangon saat dikenakan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

3. Mengetahui dan memahami langkah hukum yang dapat diambil jika buruh tidak

mendapatkan pesangon ketika terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).


Hukum Ketenagakerjaan 3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Pemberian Pesangon bagi Buruh yang Mengalami Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK)

Pesangon adalah sejumlah dana yang diberikan kepada karyawan ketika

berakhirnya masa kerja atau pemutusan kerja. Uang tersebut merupakan penghargaan dari

pemberi kerja atas masa bakti karyawan maupun penggantian hak. Selain itu, uang ini juga

merupakan salah satu kompensasi yang wajib diperhatikan oleh sebuah perusahaan. Pada

umumnya, kompensasi yang diberikan oleh perusahaan apabila adanya pengunduran diri

dari karyawan maupun Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Karena apabila kondisi usaha

atau bisnis yang tidak menentu, dapat membuat sebuah perusahaan mengambil langkah

yang cukup ekstrim.

Mengenai kewajiban memberi pesangon dijelaskan dalam Pasal 156 ayat (1)

Undang – Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa“ dalam hal terjadi

pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau

uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

Apabila perusahaan tidak bayar pesangon karyawan karena alasan atas dasar

Peraturan Perusahaan, hal itu tidak dapat dibenarkan menurut hukum.Pasal 111 ayat (2)

Undang-undang Ketenagakerjaan telah menjelaskan bahwa ketentuan dalam Peraturan

Perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau

kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan.Apabila ternyata bertentangan, maka

yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan Pasal

Hukum Ketenagakerjaan 4
111 ayat (2) Undang – Undang Ketenagakerjaan. Dengan kata lain, Peraturan Perusahaan

yang bertentangan dengan Undang – Undang dianggap batal demi hukum. Sehingga yang

berlaku adalah ketentuan yang ada di dalam Undang-undang. Jadi, pihak perusahaan wajib

membayarkan uang pesangon kepada karyawan sebagai akibat PHK. Meskipun Peraturan

Perusahaan memiliki ketentuan yang berbeda.

Apabila perusahaan tidak membayar pesangon kepada karyawan, atau ada

komponen – komponen dari uang pesangon yang tidak diterimakan kepada karyawan,

maka perusahaan dapat dilaporkan ke pihak yang berwenang. Dengan begitu perusahaan

dapat diancam pidana sesuai dalam Pasal 185 ayat(1) yang menyatakan bahwa bila

pengusaha tak menjalankan kewajiban itu (memberikan pesangon), mereka diancam sanksi

pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun atau denda paling sedikit Rp

100.000.000,00 dan paling banyak Rp 400.000.000,00.

Pada dasarnya setiap buruh harus mengetahui bahwa mereka berhak menerima

pesangon saat terjadi pemutusan hubungan kerja atau akrab disebut dengan PHK. Dalam

hal terjadi PHK, ada besaran jumlah pesangon (khususnya uang pesangon dan undang

penghargaan masa kerja) yang nilainya berganda (artinya, dua kali lipat). Namun

sebaliknya, ada juga jenis PHK yang justru pekerja/buruh tidak berhak memperoleh

pesangon, seperti pada PHK karena resign yang tersebut dalam Pasal 162.1 Semua itu

sangat tergantung dari kehendak terjadinya PHK, ataupun alasan dilakukannya PHK

dimaksud.

1
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Hukum Ketenagakerjaan 5
Dalam teori pemutusan hubungan kerja (PHK), Prof. Iman Soepomo,S.H.

dalam bukunya yang berjudul Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (hal. 162 dan

171), mengelompokkan ada 4 (empat) macam alasan /sebab terjadinya PHK, yakni :

a. hubungan kerja yang putus demi hukum;

b. hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak buruh;

c. hubungan kerja yang diputuskan oleh (atas kehendak) pihak majikan atau pemberi

pekerjaan;

d. hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan, terutama berdasarkan alasan penting

(gewichtige-reden, Pasal1603v Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - "KUHPer");

Masing-masing dari keempat macam alasan/sebab PHK tersebut,membedakan

besaran jumlah pesangon dan/atau hak-hak pasca hubungan kerja yang berhak diperoleh

pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam beberapa Pasal mengenai (hak-hak) PHK. Jika

mencermati satu-persatu ketentuan hak-hak pesangon dari berbagai alasan PHK yang

diatur dalam undang-undang, maka tampak adanya perbedaan hak (yang dapat diperoleh)

karena berbeda alasanPHK-nya. Dapat dilihat seperti berikut:

1. Pasal 163 ayat (2) UU No.13/2003, dalam hal pengusaha sudah tidak bersedia

menerima pekerja/buruh di perusahaannya dalam kaitan terjadinya perubahan status,

penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pekerja/buruh di-PHK (oleh

pengusaha), maka ia berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal156

ayat (2) UU No.13/2003.

2. Pasal 164 ayat (3) UU No.13/2003, dalam hal perusahaan tutup dengan alasan karena

perusahaan melakukan efisiensi [yang bukan disebabkan karena perusahaan

mengalami kerugian 2 (dua)tahun berturut-turut, atau bukan karena keadaan memaksa

(forcemajeur)], dan pengusaha melakukan down-sizing mem-PHK pekerja/buruh-nya,

Hukum Ketenagakerjaan 6
maka pekerja/buruh yang bersangkutan berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali

ketentuan Pasal156 ayat (2) UU No.13/2003.

Dari ketentuan Pasal 163 dan Pasal 164 tersebut dapat disimpulkan, bahwa PHK

yang disebabkan atas kehendak (sepihak) dari pengusaha (disebabkan “penciutan” atau

downsizing), jumlah pesangonnya berganda (dua kali lipat) dari ketentuan standar dalam

Pasal 156 ayat (10) UU NO. 13/3003, khususnya mengenai besaran uang pesangon dalam

Pasal 156 ayat (2) UU No. 13/2003.2 Walaupun demikian, ada juga PHK yang terjadi demi

hukum yang oleh undang-undang sudah ditentukan hak pesangonnya

berganda,sebagaimana tercantum dalam :

1. Pasal 166 UU No.13/2003, dalam hal berakhirnya hubungan kerja (demi hukum)

karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan “sejumlah

uang” yang besaran dan perhitungannya sama dengan perhitungan 2(dua) kali uang

pesangon sebagaimana dimaksud Pasal 156ayat (2) UU No.13/2003.

2. Pasal 167 ayat (5) UU No.13/2003, dalam hal putusnya hubungan kerja (demi hukum)

karena pekerja/buruh telah sampai pada batas usia pensiun yang ditentukan/disepakati,

sedangkan pengusaha tidak mengikut sertakan pekerja tersebut dalam program

pensiun, yang bersangkutan (pensiunan) berhak 2 (dua) kali uang pesangon

sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat (2) UU No.13/2003.

Demikian juga PHK yang dimohonkan oleh pihak pekerja/buruh kepada

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan indsutrial (dhi. Pengadilan Hubungan

Industrial - “PHI”) dan dinyatakan benar (terbukti) adanya dasar permohonan dimaksud.

Yaitu dalam hal hubungan kerja berakhir (PHK) karena alasan mendesak (gewichtige

2
Admin. 2020. Dewan Sepakati Tuntutan Buruh PT Yamakawa Soal Hak Pesangon
.http://www.republiqu.com/dewan-sepakati-tuntutan-buruh-pt-yamakawa-soal-hak-pesangon/.
Diakses pada 15 Mei 2021.
Hukum Ketenagakerjaan 7
reden) sebagaimana tersebut dalam Pasal 169 ayat (1) UU No.13/2003, yang intinya :

karena pengusaha menganiaya, atau menyuruh berbuat tindakan yang bertentangan dengan

aturan, wanprestasi dalam membayar upah/kewajiban, memerintahkan melakukan

pekerjaan diluar job discription, atau memberikan pekerjaan yang membahayakan

jiwa/keselamatan, kesehatan/kesusilaan, dan tidak diperjanjikan sebelumnya (vide Pasal

169 ayat (1) UU No. 13/2003). Atas penetapan PHK (oleh PHI) dengan alasan sebagaimana

tersebut Pasal 169 ayat (1) UU No.13/2003, maka berdasarkan Pasal 169 ayat (2) UU

No.13/2003, pengusaha berkewajiban membayar uang pesangon sebesar 2 (dua) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU No. 13/2003. Selain itu, yang nilai pesangon-nya lebih

besar, adalah dalam hal pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan, cacat akibat

kecelakaan kerjadan setelah sakitnya lebih dari 12 (dua belas) bulan diderita. Dalam hal

demkian, pekerja/buruh dapat mengajukan opsi PHK, dan atas PHK tersebut,

pekerja/buruh yang bersangkutan berhak uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156

ayat (2) UU No.13/2003 dan uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal

156 ayat (3) UU No.13/2003 (Pasal 172 UU No.13/2003).

B. Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Tanpa Pesangon danPandangan Hukum

atas Fenomena Tersebut

Dalam pengaturan khusus untuk ketenagakerjaan, yaitu Undang-Undang

Ketenagakerjaan, terdapat beberapa ketentuan yang menganulir tenaga kerja dalam

memperoleh haknya apabila ia terkena pemutusan hubungan kerja secara sepihak.3 Hal

tersebut tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) jo. Pasal 158ayat (3) jo. ayat (4), yaitu:

3
Admin. 2020. 240 Pekerja Di PHK Tanpa Pesangon, PT Yamakawa Diadukan Ke DPRD. republiqu.com/240-
pekerja-di-phk-tanpa-pesangon-pt-yamakawa-diadukan-ke-dprd/. Diakses pada 15 Mei 2021.
Hukum Ketenagakerjaan 8
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan

pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik

perusahaan;

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau

mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau

pengusaha di lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya

barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam

keadaan bahaya di tempat kerja;

i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;atau

j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana

penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

k. dst....

(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).

Hukum Ketenagakerjaan 9
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya

tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak

sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan

pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama.”

Peraturan di atas, meskipun menganulir tenaga kerja dalam memperoleh hak

atas pesangonnya, tetap memberikan kemurahan hati bagi tenaga kerja yang melakukan

kesalahan berat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 158 ayat (1), yaitu dengan

memberikan uang penggantian hak seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 156 ayat

(4). Dengan kata lain, tidak ada alasan bagi Pengusaha dan Perusahaan, sebagai pihak yang

menerima hasil kerja dari tenaga kerja, untuk tidak membayarkan uang pesangon, uang

penghargaan kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh tenaga kerja.

Hal tersebut tentunya sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa

bagaimana pun kondisinya, tenaga kerja tetap mendapatkan hak atas pesangon, uang

penghargaan kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima.

Meskipun Indonesia sudah memiliki sejumlah peraturan khusus untuk

menjamin kesejahteraan buruh dan tenaga kerja, khususnya dalam hal pemutusan

hubungan kerja, pada faktanya masih terdapat sejumlah tindakan pemutusan hubungan

kerja tanpa adanya pemberian pesangon kepada para tenaga kerja yang terdampak.4

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

didapatkan data sejumlah 15% dari 1.112 pekerja, yang berada di usia 15 tahun ke atas

4
Ngadi, Ruth Meiliana, Yanti Astrelina Purba. 2020. “Dampak Pandemi Covid-19Terhadap PHK dan Pendapatan
Pekerja di Indonesia”. Jurnal Kependudukan Indonesia. Ed. Khusus Demografi dan COVID-19. hlm. 43-
48
Hukum Ketenagakerjaan 10
dengan populasi responden sebagian besar berada di Pulau Jawa, mengalami pemutusan

hubungan kerja tanpa adanya pesangon akibat pandemi COVID-19.5

Hal tersebut pun dapat dilihat dari kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Yamakawa Rattan Industri yang berada di Cirebon

beberapa waktu lalu6. Setidaknya sebanyak 238 karyawan PT. Yamakawa Rattan Industri

harus terkena PHK secara sepihak dan pesangon yang diberikan pun tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Merujuk dari berbagai sumber yang

pernah saya temui, PT. Yamakawa tidak memberikan hak-hak karyawan yang terkena

PHK sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang

berbunyi :

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian

secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan

ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal

156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat

(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Dengan demikian, merujuk pada ketentuan Pasal 164 ayat (1) maka Perusahaan,

dalam hal ini adalah PT. Yamakawa Rattan Industri, setidaknya memberikan uang

pesangon, uang penghargaan kerja, dan uang pengganti hak yang belum digunakan oleh

para karyawan yang terkena PHK sepihak. Namun, pada faktanya, PT Yamakawa hanya

5
Redaksi JKN. 2020. Jawa Barat : Gara-gara Korona Karyawan PT Yamakawa di PHK dan Tanpa Pesangon
.https://www.beritajkn.com/jawa-barat-gara-gara-korona-karyawan-pt-yamakawa-di-phk-dan-tak-
diberi-pesangon/.Diakses pada 15 Mei 2021.
6
Rahman, Arif. 2020. Terkena PHK, Ratusan Massa Gelar Aksi Unjuk RasaTuntut PT Yamakawa Rattan Industri
Berikan Pesangon Sesuai Peraturan .https://suaracirebon.com/2020/05/26/terkena-phk-ratusan-
massa-gelar-aksi-unjuk-rasa-tuntut-pt-yamakawa-rattan-industri-berikan-pesangon-sesuai-
peraturan/. Diakses pada 15 Mei 2021
Hukum Ketenagakerjaan 11
memberikan uang kompensasi bagi karyawan yang terkena PHK sebesar Rp 4.400.000,-,

tanpa adanya uang pesangon.7

Fakta di lapangan, durasi kerja karyawan yang terkena PHK tidaklah sama.

Durasi kerja karyawan tersingkat adalah 2 tahun, dan durasi kerja terlama adalah 6 tahun.

Apabila merujuk pada Pasal 156 ayat (2), (3), dan (4),maka jumlah “uang kompensasi”

yang seharusnya diberikan oleh perusahaan kepada karyawan tidak lah Rp 4.400.000,-.

Untuk karyawan yang bekerja selama 2 tahun, setidaknya menerima uang pesangon yang

setara dengan 3(tiga) bulan upah, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima,

seperti cuti tahunan yang belum diambil, ongkos pulang yang dikeluarkan oleh pekerja,

penggantian perumahan atau biaya pengobatan dan perawatan, dan berbagai macam hal

yang diatur dalam perjanjian kerja. Sedangkan, untuk karyawan yang sudah bekerja selama

6 tahun, setidaknya menerima uang pesangon yang serata dengan upah selama 7 (tujuh)

bulan kerja, uang penghargaan kerja yang setara dengan 3 (tiga) bulan kerja, dan uang

penggantian hak yang seharusnya diterima, seperti cuti tahunan yang belum diambil,

ongkos pulang yang dikeluarkan oleh pekerja, penggantian perumahan atau biaya

pengobatan dan perawatan, dan berbagai macam hal yang diatur dalam perjanjian kerja.8

Berdasarkan pemaparan kasus di atas, dapat disimpulkan bahwasanya PT.

Yamakawa Rattan Industri telah mengabaikan kewajibannya sebagai pihak yang

bertanggung jawab atas pemenuhan kesejahteraan tenaga kerjanya, baik selama terikat

dengan hubungan kerja maupun sudah tidak terikat dengan hubungan kerja. Secara hukum,

PT Yamakawa Rattan Industri telah melakukan pelanggaran atas Pasal 156 ayat (1).

7
Admin. 2020. Tolak Memberikan Pesangon, PT Yamakawa Rattan Industry di Demo Ormas GRIB dan Mantan
Karyawan .https://suaraindonesianews.com/news/tolak-memberikan-pesangon-pt-yamakawa-rattan-
industry-di-demo-ormas-grib-dan-mantan-karyawan/.Diakses pada 15 Mei 2021.
8
Admin. 2020. Grudug PT Yamakawa, Korban PHK Minta Pesangon Sesuai UU Ketenagakerjaan
.https://fajarsatu.com/2020/05/grudug-pt-yamakawa-korban-phk-minta-pasangon-sesuai-uu-
ketenagakerjaan/. Diakses pada 15Mei 2021.
Hukum Ketenagakerjaan 12
Merujuk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pasal 185 ayat (1) merumuskan sanksi

yang seharusnya diterima oleh PT Yamakawa Rattan Industri sebagai akibat dari tindakan

penolakan pemberian uang pesangon bagi para karyawannya yang terkena PHK sepihak.

Isi dari ketentuan Pasal 185 ayat (1) adalah sebagai berikut :

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42

ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E

ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana

penjara paling singkat 1 (satu)tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda

paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,-

(empat ratus juta rupiah.)”

C. Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh Apabila Tidak Menerima UangPesangon

Ketika Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Oleh karena permasalahan yang mendasari adanya sengketa tersebut berkenaan

dengan hak yang diterima oleh pekerja, merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, khususnya sebagaimana

peraturan yang tercantum dalam Pasal 3,langkah awal untuk menyelesaikan masalah ini

adalah dengan mengadakan Perundingan Bipartit secara musyawarah untuk mencapai

mufakat.

Perundingan Bipartit, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merupakan suatu perundingan

yang terjadi antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pihak

pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Pelaksanaan

perundingan ini setidaknya diselesaikan paling lama dihari ke-30 (tiga puluh) sejak tanggal

dimulainya perundingan. Namun, perundingan bipartit dianggap gagal apabila selama 30

Hukum Ketenagakerjaan 13
hari tersebut, salah satu pihak menolak untuk melakukan perundingan atau telah dilakukan

perundingan tetapi tidak tercapai suatu kesepakatan, maka perundingan dianggap gagal.9

Apabila perundingan sudah mencapai dead lock atau kegagalan, maka salah

satu atau kedua pihak dapat mencatatkan sengketa yang terjadi kepada instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang ada di tempat tinggal dengan

melampirkan bukti sudah dilakukan upaya perundingan bipartit, sebagaimana tercantum

dalam Pasal 4 Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang

kemudian akan diupayakan langkah mediasi. Mediator yang bertugas dalam membantu

penyelesaian sengketa ini, setidaknya memenuhi beberapa persyaratan yang tercantum

dalam Pasal 910, diantaranya :

a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. warga negara Indonesia;

c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;

d. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;

e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan

g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Dalam upaya mediasi, saksi atau saksi ahli dapat dipanggil untuk menghadiri

sidang mediasi untuk diminta dan didengarkan kesaksiannya terkait dengan sengketa

tersebut. Bila tidak tercapai kesepakatan perselisihan hubungan industrial melalui mediasi,

9
Admin. 2020. Korban PHK PT Yamakawa Kembali Tuntut Keadilan
.https://suaracirebon.com/2020/06/19/korban-phk-pt-yamakawa-kembali-tuntut-keadilan/. Diakses
pada 15 Mei 2021.
10
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Hukum Ketenagakerjaan 14
maka mediator dapat melakukan beberapa langkah, sebagai mana tercantum dalam Pasal

13 ayat (2) jo. Pasal14, yaitu :

Pasal 13

(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihanhubungan

industrial melalui mediasi, maka :

a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;

b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu

selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi

pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;

c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada

mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam

waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima

anjuran tertulis;

d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada

huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;

e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud

pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3(tiga) hari kerja

sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu

para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah

hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan

akta bukti pendaftaran.

Hukum Ketenagakerjaan 15
Pasal 14

(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka

para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian

perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri setempat.

(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1)dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Hukum Ketenagakerjaan 16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dasar hukum dari pemberian pesangon bagi para tenaga kerja yang terkena

Pemutusan Hubungan Kerja tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) Undang – Undang No. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa “dalam hal terjadi pemutusan hubungan

kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa

kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Rincian untuk pemberian

pesangon bagi paratenaga kerja yang terkena PHK telah diatur dalam Pasal 156 ayat (2)

sampaidengan ayat (4).

Meskipun Indonesia sudah memiliki sejumlah peraturan khusus untuk

menjamin kesejahteraan buruh dan tenaga kerja, khususnya dalam hal pemutusan

hubungan kerja, masih terdapat sekitar 15% tenaga kerja, dari 1.112 sampel, yang terkena

PHK namun pihak perusahaan tidak memberikan pesangon. Hal tersebut dapat tercermin

dari kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan oleh PT

Yamakawa Rattan Industri yang berada di Cirebon beberapa waktu lalu. Setidaknya

sebanyak 238 karyawan PT Yamakawa Rattan Industri harus terkena PHK secara sepihak

dan pesangon yang diberikan pun tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan. Kasus tersebut merupakan salah satu catatan merah bahwasanya di

Indonesia, di tengah berlakunya peraturan yang menjamin kesejahteraan buruh, masih

banyak terjadi penyelewengan atas kewajiban perusahaan sebagai pihak yang bertanggung

jawab atas kesejahteraan buruh.

Langkah hukum yang dapat ditempuh bagi para tenaga kerja yang tidak

menerima haknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, merujuk pada Undang-

Hukum Ketenagakerjaan 17
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial,khususnya sebagaimana peraturan yang tercantum dalam Pasal 3, langkah awal

untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan mengadakan perundingan bipartit secara

musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila perundingan sudah mencapai dead lock

atau kegagalan, maka salah satu atau kedua pihak dapat mencatatkan sengketa yang terjadi

kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang ada di tempat

tinggal dengan melampirkan bukti sudah dilakukan upaya perundingan bipartit,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial yang kemudian akan diupayakan langkah mediasi. Namun, apabila

langkah tersebut masih belum menemukan solusi untuk permasalahan yang dibawakan,

maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

B. Saran

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan pemenuhan atas

hak-hak yang dimiliki oleh tiap individu, sudah sepatutnya Pemerintah menggalakan

kembali penegakan hukum bagi tiap-tiap pihak yang melalaikan kewajibannya dalam

upaya pemenuhan hak yang dimiliki oleh orang lain.Dengan adanya penegakan hukum

dan penegasan atas penerapan sanksi sebagaimana tercantum dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan,tindakan-tindakan seperti PHK tanpa pesangon dapat ditekan

jumlahnya dan kesejahteraan buruh akan terjamin sebagaimana yang diharapkan oleh

konstitusi dan peraturan perundang-undangan terkait.

Hukum Ketenagakerjaan 18
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Rahman, Arif. 2020. Terkena PHK, Ratusan Massa Gelar Aksi Unjuk RasaTuntut PT

Yamakawa Rattan Industri Berikan Pesangon Sesuai Peraturan

.https://suaracirebon.com/2020/05/26/terkena-phk-ratusan-massa-gelar-aksi-unjuk-

rasa-tuntut-pt-yamakawa-rattan-industri-berikan-pesangon-sesuai-peraturan/.

Diakses pada 15 Mei 2021.

Admin. 2020. Grudug PT Yamakawa, Korban PHK Minta Pesangon Sesuai UU

Ketenagakerjaan .https://fajarsatu.com/2020/05/grudug-pt-yamakawa-korban-phk-

minta-pasangon-sesuai-uu-ketenagakerjaan/. Diakses pada 15Mei 2021.

Admin. 2020. Korban PHK PT Yamakawa Kembali Tuntut Keadilan

.https://suaracirebon.com/2020/06/19/korban-phk-pt-yamakawa-kembali-tuntut-

keadilan/. Diakses pada 15 Mei 2021.

Redaksi JKN. 2020. Jawa Barat : Gara-gara Korona Karyawan PT Yamakawa di PHK dan

Tanpa Pesangon .https://www.beritajkn.com/jawa-barat-gara-gara-korona-

karyawan-pt-yamakawa-di-phk-dan-tak-diberi-pesangon/.Diakses pada 15 Mei 2021.

Admin. 2020. 240 Pekerja Di PHK Tanpa Pesangon, PT Yamakawa Diadukan Ke DPRD.

republiqu.com/240-pekerja-di-phk-tanpa-pesangon-pt-yamakawa-diadukan-ke-

dprd/. Diakses pada 15 Mei 2021.

Admin. 2020. Dewan Sepakati Tuntutan Buruh PT Yamakawa Soal Hak Pesangon

.http://www.republiqu.com/dewan-sepakati-tuntutan-buruh-pt-yamakawa-soal-hak-

pesangon/. Diakses pada 15 Mei 2021.

Hukum Ketenagakerjaan 19
Admin. 2020. Tolak Memberikan Pesangon, PT Yamakawa Rattan Industry di Demo Ormas

GRIB dan Mantan Karyawan .https://suaraindonesianews.com/news/tolak-

memberikan-pesangon-pt-yamakawa-rattan-industry-di-demo-ormas-grib-dan-

mantan-karyawan/.Diakses pada 15 Mei 2021.

Ngadi, Ruth Meiliana, Yanti Astrelina Purba. 2020. “Dampak Pandemi Covid-19Terhadap

PHK dan Pendapatan Pekerja di Indonesia”. Jurnal Kependudukan Indonesia. Ed.

Khusus Demografi dan COVID-19. hlm. 43-48.

Hukum Ketenagakerjaan 20

Anda mungkin juga menyukai