Anda di halaman 1dari 2

Dalil PHK yang mengada-ada

Apakah dapat dikategorikan ke dalam "pemberian keterangan palsu" bila Pengusaha dalam
jawaban gugatannya di PHI mendalilkan alasan PHK adalah "pekerja tidak menjalankan
perintah atasannya, Mr. X, lewat email", padahal Mr. X sama sekali bukan atasan pekerja?
Terima kasih.

Jawaban :

Pertama, perlu diluruskan bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan) tak mengenal ‘tidak menjalankan perintah atasan’ sebagai salah satu alasan
PHK. Kewajiban bagi pekerja untuk senantiasa menjalankan perintah atasan lazimnya tertuang
dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama.

Di dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau perjanjian kerja bersama biasanya
juga mengatur sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada pekerja yang tak manut dengan perintah
atasan. Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembinaan, skorsing atau
bahkan pemutusan hubungan kerja.

Ketika ada pekerja yang dianggap melanggar peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan atau
perjanjian kerja bersama itu, maka Pasal 161 UU Ketenagakerjaan bisa diterapkan.

Pasal 161 UU Ketenagakerjaan lengkapnya berbunyi:

(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan
surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Dari ketentuan di atas terdapat ketentuan bahwa pengusaha dapat memecat pekerjanya yang
dianggap telah melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja
bersama. Namun kepada pekerja bersangkutan haruslah diberi surat peringatan pertama, kedua,
dan ketiga secara berturut-turut.

Kemudian masuk ke pertanyaan Anda.

Mengacu pada Pasal 57 UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial (UU PPHI), maka hukum acara yang diberlakukan di PHI adalah hukum acara
perdata, kecuali ditentukan lain dalam UU PPHI.

Sementara dalam hukum acara perdata, khususnya mengenai teori pembuktian, kita mengenal
asas yang menyatakan, “siapa yang mendalilkan, maka dia yang harus membuktikan.”
Terkait dengan jawaban pengusaha di sidang yang mendalilkan bahwa "pekerja tidak
menjalankan perintah atasannya, Mr. X lewat email," maka akan menimbulkan dua
konsekuensi:

1. Pengusaha harus membuktikan kalau pekerja telah membangkang dari perintah atasan.
Dihubungkan dengan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan di atas, pengusaha harus
menunjukkan adanya surat peringatan tentang adanya pelanggaran yang dilakukan oleh
pekerja.
2. Pengusaha juga harus membuktikan bahwa Mr. X adalah memang atasan pekerja.

Kalau Anda menganggap bahwa Mr. X bukan atasan pekerja, Anda juga harus
membuktikannya. Mudahnya, bisa lihat bagaimana struktur organisasi (organigram)di
perusahaan itu. Apakah Mr. X memang menjabat sebagai atasan pekerja bersangkutan atau
bukan. Selain itu, juga dapat dilihat dari fungsi jabatan Mr. X. Ada atau tidak relevansinya
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh si pekerja.

Terkait dengan Tindak pidana “pemberian keterangan palsu,”, hal itu diatur dalam pasal 242
KUHP. Pasal 242 ayat (1) KUHP menentukan bahwa “Barangsiapa dalam hal-hal yang
menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika
keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang
ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri
atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh
tahun.”

Dalam hal ini, apabila Mr. X bukan atasan dari pekerja yang bersangkutan, maka dalil yang
dikemukakan Pengusaha tersebut tidak ada dasarnya. Namun demikian, pengusaha yang
bersangkutan memberikan keterangan tersebut dalam jawaban atas gugatan, tidak di atas
sumpah, sehingga tidak memenuhi unsur tindak pidana pemberian keterangan palsu, yaitu
bahwa keterangan harus dilakukan dengan sumpah. Jawaban tersebut tidak diberikan di atas
sumpah. Oleh karena itu, menurut hemat kami, pemberian keterangan dalam jawaban tidak
dapat dikategorikan dalam “pemberian keterangan palsu” menurut pasal 242 KUHP.

Keadaan akan berbeda ketika Mr. X dihadirkan sebagai saksi di PHI. Ketika ia sudah disumpah
sebagai saksi, maka ia harus mengatakan yang sejujurnya. Jika ia tetap mengaku sebagai atasan
pekerja, dan Anda tetap memiliki bukti bahwa ia berbohong, maka di sini Mr. X bisa dikenakan
tuduhan Pasal 242 KUHP.

Sebagai tambahan, karena masih dalam proses jawab-menjawab di persidangan, pekerja punya
kesempatan untuk membantah bahwa dalil-dalil yang dikemukan pengusaha adalah tidak
benar.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai