Anda di halaman 1dari 7

Hubungan hukum dalam melakukan pekerjaan memunculkan kewenangan bagi pekerja

untuk melakukan kewajibannya. Dalam rangka menjalankan kewenangannya itu selalu terbuka
peluang terjadinya pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan, baik aturan internal
maupun eksternal (ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku). Hubungan kerja
yang dilakukan dapat berdampak kepada kelalaian yang disebabkan oleh faktor manusia
(pekerja) dalam mengimplementasikan hubungan kerja. Wujud penyimpangan kewenangan itu
salah satunya dapat mengarah kepada tindak pidana penggelapan baik untuk kepentingan pribadi
maupun perkelompok , suatu tindakan yang berangkat dari kepentingan-kepentingan yang keluar
dari tujuan yang telah digariskan, baik dalam perjanjian kerja maupun pencapaian tujuan
perusahaan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat ketentuan Pasal 374, yang apabila
dilihat dari kaca mata praksisnya dapat berbentuk penggelapan dana kegiatan, mark-up nilai
transaksi, pemalsuan tanda-tangan, pemalsuan surat keterangan dokter, penerimaan grativikasi,
pembobolan sistem aturan lembaga, dll. Kendati sudah diatur dalam undang-undang, tidak semua
perusahaan memutuskan pada tahap awal untuk langsung menyerahkan kasus ini ke ranah
hukum. Kasus-kasus demikian biasanya diproses lebih dulu secara internal karena masih ada
kemungkinan untuk menyelesaikan masalah tersebut secara internal apalagi jika ditambah
dengan adanya etikad baik dari pihak yang telah merugikan perusahaan untuk bertanggung jawab
atas perilakunya ( hal yang biasa terjadi adalah pemalsuan atas data pemasukan dan pengeluaran
perusahaan yang dimanipulasi sehingga ada selisih yang merugikan perusahaan dan
menguntungkan pelaku penggelapan dana perusahaan tersebut

Proses penanganan kasus-kasus tersebut secara internal tentu harus dilakukan dengan
penyidikan atas laporan yang diterima dan kemudian ditemukan beberapa bukti sebagai syarat
atas adanya pelanggaran tersebut. Selanjutnya, pihak yang berwenang di internal melakukan
klarifikasi kepada pekerja termaksud dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Apabila dalam klarifikasi tersebut diketahui bahwa pekerja terbukti melakukan tindak pidana
Pasal 374 KUHP tersebut, maka pihak berwenang di perusahaan meminta dibuatkan surat
pernyataan dari pekerja terkait. Surat Pernyataan yang telah ditandatangani oleh pekerja tersebut
akan menjadi salah satu pembuktian tambahan agar dapat dilaporkan kepada pihak yang
berwajib, yakni pengajuan laporan adanya tindak pidana ke kantor Kepolisian setempat.

Jerat pidana sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dimiliki pekerja diatur sebagai pidana penjara selama 5 (lima) tahun, akan tetapi
dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya “pengampunan” atas kesalahan penggelapan
karena adanya kewenangan dalam suatu hubungan kerja ini dengan pemberian sanksi yang lebih
ringan di mana para pihak sepakat untuk tidak melanjutkan ini ke dalam ranah hukum, artinya
sama-sama menyepakati untuk menyelesaikan masalah secara damai dengan ditandai oleh
keinginan pekerja untuk melakukan penggantian kerugian perusahaan sebesar nilai kerugian
yang terjadi. Selanjutnya pekerja yang melakukan penyalahgunaan wewenang tersebut biasanya
mengajukan pengunduran diri. Hal ini disinggung pengaturannya dalam UU No. 13 Tahun 2013,
tepatnya pada Pasal 162 ayat (1,2,3,4), bahwa pengunduran diri yang dilakukan pekerja menjadi
dasar penurunan atas sanksi pidana yang ada, karena dalam ayat (4) pasal ini disebutkan bahwa
pengakhiran hubungan kerja dengan pengunduran diri oleh pekerja dilakukan tanpa adanya
penetapan dari Lembaga PPHI. Dan tentunya dengan adanya pengunduran diri ini tidak
memberikan implikasi atas pembayaran pesangon kepada pekerja.

Jika subjek pelaku tindak pidana ini adalah pegawai negeri dan/atau pemegang jabatan
publik lainnya, maka ketentuan Pasal 415 KUHP dapat dijadikan acuannya. JIka pegawai atau
pejabat ini diberi kewenangan menguasai uang atau surat berharga dan kemudian
menyalahgunakan kewenangan ini, baik dilakukannya sendiri maupun membiarkannya
dilakukan oleh orang lain, maka perbuatan ini juga dikualifikasikan sebagai penggelapan.

Kualifikasi tindak pidana ini juga beririsan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. tindak pidana penggelapan
termuat dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

“Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang
seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena
kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus)
rupiah.”
R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” menyatakan bahwa penggelapan adalah
kejahatan yang hampir sama dengan pencurian tetapi pada penggelapan pada waktu dimilikinya
barang tersebut, sudah ada di tangannya tidak dengan jalan kejahatan/melawan hukum (hal. 258).
Unsur-unsur penggelapan yang harus terpenuhi adalah:

1. Barang siapa (ada pelaku);

2. Dengan sengaja dan melawan hukum;

3. Memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;

4. Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Sedangkan, dalam konteks pertanyaan Anda, penggelapan dalam hubungan kerja yang
dilakukan oleh pekerja di suatu perusahaan ini diancam dengan Pasal 374 KUHP:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang


disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

R. Soesilo menyatakan bahwa pasal ini biasa disebut dengan “Penggelapan dengan
Pemberatan”, di mana pemberatannya adalah dalam hal (hal. 259):

a. terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan


pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dan
pembantu rumah tangga atau majikan dan buruh.
b. terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep), misalnya tukang binatu
menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya, tukang jam, sepatu, sepeda, dsb
menggelapkan sepatu, jam dan sepeda yang diserahkan kepadanya untuk diperbaiki.
c. karena mendapat upah uang (bukan upah berupa barang), misalnya pekerja stasiun
membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.
Jadi, penggelapan uang perusahaan yang dilakukan oleh bawahan Anda dapat diancam
pidana berdasarkan Pasal 374 KUHP. Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasus dapat Anda simak
dalam artikel Jerat Hukum Jika Pemegang Saham Menggunakan Harta Perusahaan dan Tindak
Pidana Penggelapan dengan Pemberatan.

Soal pertanyaan Anda tentang apakah Anda bisa dijadikan tersangka bilamana perusahaan
melaporkan ke pihak kepolisian atas masalah ini, pada dasarnya, yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana atas suatu tindak pidana hanyalah orang yang melakukan tindak
pidana tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban pidana. Sebagaimana pernah
kami uraikan dalam artikel Prinsip Tanggung Jawab Pidana, dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP
ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana yang bisa dikenakan pidana adalah:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.

Jadi, selama Anda bukan orang melakukan penggelapan, orang yang menyuruh bawahan
Anda melakukan penggelapan, atau turut serta dalam penggelapan tersebut, Anda tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas dasar penggelapan dana perusahaan yang dilakukan
oleh bawahan Anda. Anda dapat memberikan argumen disertai bukti-bukti yang cukup bahwa
Anda tidak terlibat dalam penggelapan itu. Kemungkinan Anda dapat dimintakan keterangannya
sebagai saksi, mengingat penggelapan ini dilakukan oleh bawahan Anda.

Mengacu pada penjelasan di atas, menurut hemat kami, Anda mungkin saja dalam proses
hukum nantinya bertindak sebagai saksi. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 Angka
26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah
Konstitusi (“MK”) memberikan perluasan makna saksi, yakni tidak hanya orang yang
mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan
yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan
keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa. Penjelasan lebih lanjut
mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam
KUHAP.

Contoh kasus yang menerapkan hukum diatas adalah

‘’Gelapkan Uang Perusahaan Rp 1,6 Miliar, Divonis 1,5 Tahun Dimitri Maslennikov (51)
akhirnya menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (28/2/2019).

Dimitri yang adalah Direktur PT Selancar Property Service dan Hotel Escofera divonis
setahun dan enam bulan (1,5 tahun) penjara. Warga Negara Asing (WNA) asal Rusia dinyatakan
terbukti bersalah melakukan tindak pidana menggelapkan uang perusahaan dengan kerugian Rp
1,6 miliar lebih.

Terhadap vonis itu, majelis hakim pimpinan I Made Pasek memberikan waktu tujuh hari
menanggapi. Apakah para pihak menerima atau mengajukan banding. Untuk itu baik pihak
terdakwa melalui tim penasihat hukumnya dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) masih pikir-pikir
atas vonis majelis hakim.

Sejatinya, vonis majelis hakim lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa. Sebelum jaksa
menuntut Dimitri dengan pidana penjara selama tiga tahun. Sementara dalam pembacaan amar
putusan, majelis hakim memaparkan fakta persidangan serta pertimbangan unsur-unsur tindak
pidana.

Berdasarkan hal itu, perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Pula, majelis hakim mengurai hal memberatkan dan meringankan sebagai pertimbangan
menjatuhkan putusan.

Hal memberatkan, perbuatan terdakwa sebagai Direktur PT Selancar Property Service


(Hotel Escofera) semestinya bekerja untuk kemajuan perusahaan dan mencegah penyimpangan
dalam pengelolaan keuangan perusahaan. "Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan dan
belum pernah dihukum. Terdakwa adalah pemilik saham dan berjasa bagi perusahaan. Terdakwa
sampai saat ini belum menerima gaji," papar Hakim Anggota Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi.

Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan, perbuatan Dimitri dinilai terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melawan hukum, menguasai uang kepunyaan orang lain tetapi yang
ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, namun karena memiliki jabatan sebagai
Direktur PT Selancar Property Service (Hotel Escofera) untuk kepentingan pribadi. Sebagaimana
dakwaan, Dimitri dijerat Pasal 374 jounto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. "Mengadili, menjatuhkan
pidana kepada terdakwa Dimitri Maslennikov dengan pidana penjara selama satu tahun dan
enam bulan (1,5 tahun) penjara. Dikurangi selama terdakwa menjalani penahanan sementara,
dengan perintah tetap ditahan," tegas Hakim Ketua I Made Pasek.

Sebagaimana diungkap dalam dakwaan, PT Selancar Property Service yang beralamat di


Jala

n Batu Mejan, Banjar Padang Lincon, Canggu, Kuta Utara, Badung, merupakan
perusahaaan penanaman modal asing (PMA) yang bergerak di bidang jasa manajemen hotel,
jaringan internasional, pengelolaan perumahan dan gedung perkantoran.

Dalam akta pendirian perusahaan, Dimitri Maslennikov juga memiliki sebagian saham
dalam perusahaan tersebut dan menjabat sebagai Direktur. Namun sejak menjabat, Dimitri
Maslennikov bukannya memberi keuntungan, malah membuat perusahaan merugi.

Terhitung sejak April 2011 sampai Desember 2016, uang sewa kamar dari tamu-tamu
yang menginap di Hotel Escofera masuk ke kantong Dimitri Maslennikov yang digunakan untuk
kepentingannya sendiri.

"Setelah dilakukan perhitungan jumlah tamu yang menginap di Hotel Escofera dan uang
sewa kamar yang langsung diterima terdakwa sejak 13 April 2011 sampai Desember 2016
sebesar Rp 928.461.508," ungkap Jaksa Anom. Tak hanya itu, Dimitri Maslennikov juga
mengambil uang dari rekening perusahaan melebihi kebutuhan uang yang diajukan oleh bagian
Keuangan (accounting) yang juga digunakan untuk kepentingan pribadinya.
Kelebihan uang yang diambil tersebut digunakan untuk kepentingan terdakwa sendiri di
luar kepentingan perusahaan dengan jumlah sebesar Rp 723.488.750. "Atas perbuatan terdakwa
total kerugian PT Selancar Property Service dari hasil perhitungan tim auditor sebesar Rp
1.651.450.258," beber Jaksa Anom Rai.

Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Gelapkan Uang Perusahaan Rp 1,6
Miliar, Divonis 1,5 Tahun Dimitri Menerima, https://bali.tribunnews.com/2019/03/01/gelapkan-
uang-perusahaan-rp-16-miliar-divonis-15-tahun-dimitri-menerima?page=3.

Penulis: Putu Candra

Editor: Irma Budiarti

Anda mungkin juga menyukai