Anda di halaman 1dari 22

1

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian kredit kendaraan melalui leasing diikatkan juga dengan
pengikatan jaminan fidusia. Jadi seandainya karena alasan apapun, benda
jaminan fidusia tersebut beralih ke tangan orang lain, maka fidusia atas benda
tersebut tetap saja berlaku dan tidak ada kewajiban dan tanggung jawab dari
penerima fidusia atas akibat kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari
pemberi fidusia, yang timbul karena hubungan kontraktual ataupun karena
perbuatan melawan hukum, sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut.
Debitur atau pemberi fidusia apabila ingkar janji, eksekusi terhadap benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia sesuai aturannya dengan pelaksanaan
penjualan objek jaminan fidusia tersebut dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2
(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Pemberi fidusia
wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka
pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Dalam hal benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di
pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing) dalam proses
eksekusi atau penarikan kendaraan yang mengalami kredit macet. Tanpa adanya
sertifikat fidusia, debt-collector tidak diperbolehkan melakukan eksekusi di jalan
raya karena berpotensi menimbulkan tindak pidana. Fidusia adalah pengalihan
hak kepemilikan sebuah benda bergerak yang hak kepemilikannya masih dalam
kekuasaan pemilik benda tersebut. Misalnya ketika seseorang yang melakukan
kredit mobil, mobil tersebut adalah milik perusahaan leasing akan tetapi hak
miliknya dialihkan kepada debitur. Dalam pelaksaan eksekusi ini, perusahaan
leasing harus melengkapi diri dengan sertifikat jaminan fudisia setelah
menempuh upaya somasi terhadap debitur terlebih dahulu. 1
1
Mei Amelia R, Tanpa Sertifikat Fudisia, Debt Collector Tak Boleh Eksekusi di
Jalan, Detiknews.com. https://m.detik.com/news/berita/tanpa-sertifikat-fudisia-debt-
2

Pasal 7 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 disebutkan dalam


pelaksanaan eksekusi pengamanan jaminan fidusia harus diajukan secara
tertulis oleh penerima jaminan fidusia atas kuasa hukumnya kepada Kapolda
atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan. Pemohon wajib melampirkan surat
kuasa dari penerima jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa
hukum penerima jaminan fidusia. Pelaksanaan eksekusi pengamanan jaminan
fidusia harus dilaksanakan dengan dilengkapi adanya Sertifikat Jaminan Fidusia.
Sehingga apabila penarikan jaminan fidusia tidak sesuai dengan ketentuan
tersebut, maka dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan
mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat
dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk
mendapat sertifikat, akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di
bawah tangan. 2
Penarikan kendaraan karena alasan menunggak angsuran oleh leasing
selaku petugas dari lembaga pembiayaan merupakan peristiwa yang sering
dijumpai dari berbagai media pemberitaan dan pengalaman dalam masyarakat.
Atas dasar kepastian hukum bagi perusahaan pembiayaan sehubungan dengan
pelaksanaan transaksi fidusia maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu terbit
Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran
Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan
Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. 3
Berdasarkan uraian-uraian dan permasalahan di atas, maka dirasa perlu
untuk meneliti tentang terjadinya penarikan secara paksa yang dilakukan oleh
perusahaan leasing terhadap unit kendaraan yang merupakan objek fidusia.
Adapun penelitian ini dituangkan dalam bentuk tulisan skripsi dengan judul
“Penyelesaian Sengketa Konsumen Atas Perbuatan Melawan Hukum yang
Dilakukan Oleh Leasing Dalam Perjanjian (Studi Putusan Nomor
209/PDT/2019/PT MDN)”

collector-tak-boleh-eksekusi-di-jalan diakses pada 11 Juni 2019


2
Herman Darmawi, Pasar Finansial Dan Lembaga-Lembaga Finansial, Jakarta,
PT. Bumi Aksara, 2006 , hal. 200
3
Widaningsih, “Tinjauan Yuridis Pendaftaran Fidusia Bagi Perusahaan
Pembiayaan (Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012)”, Jurnal Politeknik
Negeri Malang, 2016, hal 550
3

I. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 1365-1380 KUH Perdata, termasuk ke dalam perikatan
4

yang timbul dari undang-undang. Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, yang
dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah Perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain.4
Pengertian perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata
tidaklah dirumuskan secara eksplisit. Pasal 1365 KUH Perdata hanya mengatur
apabila seseorang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, maka ia dapat mengajukan tuntutan
ganti rugi kepada Pengadilan Negeri. Jadi Pasal tersebut bukan mengatur
mengenai onrechtmatigedaad, melainkan mengatur mengenai syarat-syarat
untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melawan hukum. 5
Perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk perikatan yang lahir dari
undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia yang melanggar hukum,
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perbuatan Melawan
Hukum itu sendiri dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechmatige
daad” atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah “tort”.
Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi
khususnya dalam bidang hukum kata tort itu berkembang sedemikian rupa
sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi
kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum Belanda
atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya.
Kata tort berasal dari kata latin torquere atau tortus dalam bahasa
Prancis, seperti kata wrong berasal dari kata Prancis wrung yang berarti
kesalahan atau kerugian (injury). Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum
diartikan bahwa Orang yang berbuat pelanggaran terhadap hak orang lain atau
telah berbuat bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri.6
Perbuatan pelanggaran terhadap hak orang lain, hak-hak yang dilanggar
tersebut adalah hak-hak yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas
pada hak-hak sebagai berikut yaitu hak-hak pribadi (persoonlijkheidrechten),
hak-hak kekayaan (vermogensrecht), hak atas kebebasan dan hak atas
kehormatan dan nama baik.
4
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 62
5
Ibid, hal. 17
6
Ibid, hal. 9
5

Juga termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan


tersebut bertentangan dengan suatu kewajiban hukum (recht splicht) dari
pelakunya. Dengan istilah “kewajiban hukum” ini, yang dimaksudkan adalah
bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Jadi bukan hanya bertentangan
dengan hukum tertulis (wettelijk plicht), melainkan juga bertentangan dengan hak
orang lain menurut undang-undang (wetelijk recht).7
Setelah adanya Arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31
Januari 1919, maka pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu:
Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau
itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat
(sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau
berlawanan baik dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang
seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang
lain.

2. Perbuatan Melawan Hukum


Tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung
jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jika pun dalam hal tertentu
diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut (strict liability), hal
tersebut tidak didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada
Undang-Undang lain. Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya
unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu
diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan
dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan
tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Ada unsur kesengajaan, atau;
b) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);
c) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf
(rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri,
tidak waras, dan lain-lain.
a. Adanya Kerugian Bagi Korban

Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Mandar Maju, Bandung,


7

2000, hal. 2.
6

Perbuatan melawan hukum, unsur-unsur kerugian dan ukuran


penilaiannya dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan demikian,
penghitungan ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada
kemungkinan adanya tiga unsur yaitu biaya, kerugian yang sesungguhnya, dan
keuntungan yang diharapkan (bunga). Kerugian itu dihitung dengan sejumlah
uang.8
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar
gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda
dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil,
maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil,
yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan dinilai
dengan uang.
b. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian
Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari suatu
kerugian, maka perlu diikuti teori adequate veroorzaking dari Von Kries. Menurut
teori ini yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut
pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat,
dalam hal ini kerugian. Jadi antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus
ada hubungan langsung.
Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang
terjadi juga merupakan syarat dari perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan
sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori
penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact)
hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi.
Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan
penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat
tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab
akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai but for (pengecualian)
atau “sine qua non.

3. Akibat Terjadinya Perbuatan Melawan Hukum

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum, Bandung:


8

Mandar Maju, 2008, hal. 185


7

Perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang dianggap


bertentangan dengan ketentuan atau peraturan yang diberlakukan, tentu saja
akan memberikan dampak atau akibat hukum bagi para pihak yang melanggar
ataupun pihak yang dilanggar haknya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
terlihat bahwa akibat utama yang disebabkan adanya perbuatan melawan hukum
yaitu terjadinya kerugian. Kerugian ini dapat dibuktikan bahwa akibat perbuatan
melawan hukum, kerugian terjadi kepada pihak menjadi korban. Unsur kerugian
merupakan unsuur penting lainya dalam menentukan ada tidaknya perikatan
yang lahir dari undang-undang sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam
perikatan yang lahir dari perjanjian adalah relatif lebih mudah untuk menentukan
dan mengukur prestasi yang telah tertentu, dalam perikatan yang lahir dari
undang-undang sesungguhnya seperti zaakwaarneming atau pembayaran yang
tidak terutang prestasi yang harus dipenuhi sesungguhnya telah ditentukan
dengan sangat jelas.
Perbuatan melawan hukum, orang boleh mendapat kepastian bahwa
setiap orang harus patuh pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam civil law
ketentuan hukum pada umumnya tertuang dalam peraturan perundang-
undangan yang telah dibukukan secara relative rigid serta yurisprudensi yang
berkembang dari waktu ke waktu. Sedangkan dalam system common law hukum
memiliki makna yang lebih luwes yang meliputi equity (yang berkembang dan
berbeda-beda menurut ukuran tempat dan waktu dimana suatu kelompok
masyarakat hidup) common law (dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan oleh lembaga legislative maupun eksekutif) serta putusan
hakim (dalam bentuk judge made law). Yang menjadi prestasi atau kewajiban
yang harus dilakukan dalam perbuatan melawan hukum adalah segala sesuatu
yang telah ditetapkan oleh hukum yang tidak boleh dilakukan oleh perorangan
tertentu yang akan dapat merugikan kepentingan pihak atau orang lain.

4. Ganti Rugi Akibat Perbuatan Melawan Hukum


Hak-hak tertentu, baik mengenai hak-hak pribadi maupun mengenai hak-
hak kebendaan dan hukum akan melindungi dengan sanksi tegas baik bagi pihak
yang melanggar hak tersebut, yaitu tanggungjawab membayar ganti rugi kepada
pihak yang dilanggar haknya. Dengan demikian setiap perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada orang lain menimbulkan pertanggungjawaban.
8

Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan: Tiap perbuatan melanggar hukum yang


membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Ketentuan Pasal 1366
KUH Perdata menyatakan: Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tersebut di atas mengatur
pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum
baik karena berbuat (positip=culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat
(pasif=culpa in ommitendo). Sedangkan Pasal 1366 KUH Perdata lebih
mengarah pada tuntutan pertanggungjawaban yang diakibatkan oleh kesalahan
karena kelalaian (onrechtmatigenalaten). Orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena
orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi.
Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan.
Gugatan ganti rugi dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri, tentunya harus melalui suatu proses yang sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku yaitu hukum acara perdata (hukum perdata
formil), dimana hukum perdata formil tersebut merupakan suatu peraturan hukum
yang berfungsi untuk mempertahankan hak seseorang, oleh karena hak tersebut
dilanggar oleh orang lain sehingga menimbulkan kerugian. Disini pihak yang
dirugikan dapat minta perlindungan hukum, yaitu dengan memintakan keadilan
lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukanya gugatan sampai dengan
pelaksanaan putusan hakim.
B. Penyelesaian Sengketa Apabila Terjadi Sengketa Leasing dengan
Debitur
1. Sengketa Pada Leasing
Terjadinya sengketa timbul akibat adanya pelanggaran hak satu pihak.
Sengketa dapat erat kaitannya dengan konflik. Dimana ada sengketa pasti disitu
ada konflik. Begitu banyak konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah konflik
kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh semua
kalangan, karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan. Tergantung
bagaimana kita menyikapinya. Kenapa harus mempelajari tentang sengketa.
9

Karena untuk mengetahui lebih dalam bagaimana suatu sengketa itu dan
bagaimana penyelesaiannya.9
Secara etimologis, pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia
adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau
pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-
organisasi terhadap satu obyek permasalahan. Menurut Winardi, pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu obyek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Berikut ini beberapa teori tentang sebab-sebab timbulnya sengketa,
antara lain :10
a. Teori hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya
ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam masyarakat. Para
penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap konflik-konflik
yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi dan saling
pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta
pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima
keberagaman dalam masyarakat.
b. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena
adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para penganjur
teori ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan,
maka pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan
masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan
kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap.
c. Teori identitas, menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok
orang merasa identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori
identitas mengusulkan penyelesaian konflik karena identitas yang
terancam dilakukan melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara
wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan
mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang
mereka rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan

9
Ibid.
10
Sarjita, Op.Cit, hal. 11
10

akhirnya adalah pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui


identitas pokok semua pihak.
d. Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik
terjadi karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi diantara orang-
orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan
dialog antara orang-orang yang mengalami konflik guna mengenal
dan memahami budaya masyarakat lainnya, mengurangi stereotipe
yang mereka miliki terhadap pihak lain.
e. Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta
kesenjangan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik. Penganut teori ini
berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui
beberapa upaya seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang
menyebabkan ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap
jangka panjang para pihak yang mengalami konflik, serta
pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan
pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan keberadaan
masing-masing
f. Teori kebutuhan atau kepentingan manusia, teori ini mengungkapkan
bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan atau kepentingan
manusia tidak dapat terpenuhi/terhalangi atau merasa dihalangi oleh
orang/pihak lain. Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu substantif, prosedural, dan
psikologis. Kepentingan substantif (substantive) berkaitan dengan
kebutuhan manusia yang yang berhubungan dengan kebendaan
seperti uang, sandang, pangan, papan/rumah, dan kekayaan.
Kepentingan prosedural (procedural) berkaitan dengan tata dalam
pergaulan masyarakat, sedangkan kepentingan psikologis
(psychological) berhubungan dengan non-materiil atau bukan
kebendaan seperti penghargaan dan empati.

2. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa


11

Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan


atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian
sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana
kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim.
Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua
pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk
mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu
penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose
solution. 11
Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis,
menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan
biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para
pihak yang bersengketa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif
lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian
sengketa di luar proses peradilan formal ini lah yang disebut dengan “Alternative
Dispute Resolution” atau ADR.

3. Penyelesaian Sengketa Merek Perkembangan Regulasi Tentang


Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Secara konvensional atau tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam
beberapa dekade yang lampau jika ada sengketa, pada umumnya para pihak
yang bersengketa tersebut membawa kasusnya ke lembaga peradilan ditempuh,
baik lewat prosedur gugatan perdata maupun secara pidana. Jika pilihannya
penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga peradilan, para pihak
memperhatikan asas yang berlaku dalam gugat-menggugat melalui
pengadilan.Satu asas yang cukup penting adalah siapa yang mendalilkan, wajib
membuktikan kebenaran dalilnya. Asas ini dijabarkan dalam pasal 1865 KUHPdt
yang mengemukakan bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
11
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
hal. 21-24
12

menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa


tersebut”.
C. analisis Terhadap Adanya Perbuatan Melawan Hukum dalam
Penyelesaian Sengketa Leasing dalam Putusan Nomor 209/Pdt/2019/PT
Mdn
1. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perbuatan Melawan Hukum Oleh
Perusahaan Leasing
Hukum eksekusi ini sebenarnya tidak diperlukan apabila pihak yang
dikalahkan dengan sukarela mentaati bunyi putusan. Akan tetapi dalam
kenyataannya tidak semua pihak mentaati bunyi putusan dengan sepenuhnya.
Oleh karena itu diperlukan suatu aturan bilamana putusan tidak ditaati dan
bagaimana cara pelaksanaannya. Lebih lanjut dapat dilihat pendapat Bachtiar
Sibarani. yang menyatakan bahwa eksekusi adalah pelaksanaan secara paksa
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap/pelaksanaan secara
paksa dokumen perjanjian yang dipersamakan dengan putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Pengertian eksekusi dalam arti yang lebih luas dikemukakan oleh
Mochammad Dja’is yang menyatakan bahwa “Eksekusi adalah upaya kreditur
merealisasikan hak secara paksa karena debitur tidak mau secara sukarela
memenuhi kewajibannya.12 Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari
proses penyelesaian sengketa hukum. Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam
Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UUJF. Yang dimaksud dengan eksekusi
jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia. Penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena
debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau tidak memenuhi prestasinya
walaupun sudah diberikan somasi.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa eksekusi tidak hanya
diartikan dalam arti sempit tetapi juga dalam arti luas. Eksekusi tidak hanya
pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum kepada
pihak yang kalah, yang tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela,
tetapi eksekusi dapat dilaksanakan terhadap grosse surat hutang notaril dan
benda jaminan eksekusi serta eksekusi terhadap perjanjian. Eksekusi dalam arti

12
Mochammad Dja’is, Membaca dan Mengerti HIR, Semarang: Badan Penerbit
Undip, 2002 hal. 83
13

luas merupakan suatu upaya realisasi hak, bukan hanya merupakan


pelaksanaan putusan pengadilan saja.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa eksekusi penarikan
terhadap unit jaminan fidusia seharusnya dilakukan setelah adanya putusan
pengadilan. Namun pada kenyataannya, banyak terjadi penarikan atau eksekusi
secara sepihak yang dilakukan oleh pihak leasing. Adapun alasan- alasan pihak
leasing melakukan penarikan paksa adalah sebagai berikut:
a. Pihak konsumen melakukan wanprestasi;
b. Pihak konsumen tidak kooperatif dan tidak beritikad baik dalam
melakukan pembayaran kerdit;
c. Eksekusi secara sepihak dianggap lebih efisien karena tidak
membutuhkan waktu yang lama, sebab dilakukan tanpa adanya
putusan pengadilan.

2. Penggunaan Debt-collector Oleh Perusahaan Leasing dalam Penarikan


Kendaraan
Menurut Pasal 1 PMK No.130/PMK.010/2012, perusahaan pembiayaan
(leasing) yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor
dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan dimaksud
pada kantor pendaftaran fidusia sesuai dengan undang-undang yang mengatur
mengenai jaminan fidusia. Dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia memberikan jaminan kepada debitur dan kreditur (leasing)
dalam proses eksekusi atau penarikan kendaraan yang mengalami kredit macet.
Tanpa adanya sertifikat fidusia, debt collector tidak boleh melakukan eksekusi di
jalan karena berpotensi menimbulkan pelanggaran pidana.
Istilah fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan sebuah benda
bergerak yang hak kepemilikannya masih dalam kekuasaan pemilik benda
tersebut. Sebagaimana dalam Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, sertifikat fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap. Apabila
debitur menciderai perjanjian, penerima fidusia (kreditur) mempunyai hak untuk
menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
14

Namun, faktanya tidak sedikit perusahaan leasing yang tidak


mendaftarkan objek kendaraan ke kementerian hukum dan HAM dan lebih
memilih melakukan eksekusi dengan bekerja sama dengan pihak debt collector
dengan melakukan penarikan kendaraan yang masih menunggak pembayaran.
Tidak jarang juga, debitur yang lalai dan bahkan memindahtangankan kendaraan
bermotornya yang masih memiliki jaminan fidusia baik dengan menggadaikan,
mengalihkan atau menyewakan kepada pihak lain. Tentu saja hal tersebut
melanggar ketentuan pada Pasal 23 ayat 2 UU No. 42 tahun 1999 yang
berbunyi pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau
menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang
tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari penerima fidusia.
Dalam Pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 memberi ketentuan bahwa
pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda
yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
2 yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak
Rp. 50.000.000. Apabila perusahaan leasing telah melanggar kewajibannya
dengan tidak mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang
jaminan fidusia menurut Pasal 4 PMK No.130/PMK.010/2012 perusahaan
tersebut telah melanggar dan dikenakan sanksi administratif secara bertahap
berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha.
Oleh karenanya, agar tidak menjadi merugi, kedua pihak baik kreditur dan debitur
sama-sama melakukan kewajibannya dengan santun dan beretika, sehingga
tidak perlu ada istilah debt collector dan kredit macet dalam proses pelunasan
pembiayaan kendaraan.

3. Akibat Hukum yang Timbul Terhadap Perbuatan Melawan Hukum


Perusahaan Leasing

Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Akibat hukum merupakan
suatu akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang
diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur
15

oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum


yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku.13
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum,
yang dapat berwujud:14
1. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contohnya,
akibat hukum dapat berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap
hukum ketika seseorang berusia 21 tahun.
2. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua
atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu
berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Contohnya, X
mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah dengan Y, maka
lahirlah hubungan hukum antara X dan Y apabila sewa menyewa
rumah berakhir, yaitu ditandai dengan dipenuhinya semua perjanjian
sewa-menyewa tersebut, maka hubungan hukum tersebut menjadi
lenyap.
3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.
Contohnya, seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu
akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut yaitu, mengambil
barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.
Akibat hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh karena
suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum, baik perbuatan
yang sesuai dengan hukum, maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan
hukum. Akibat hukum sebagai implikasi atas dilakukannya suatu perbuatan
hukum, dipengaruhi oleh norma- norma dan aturan- aturan yang ada di dalam
lingkungan subjek hukum tersebut.
Perbuatan yang dilakukan leasing yang melakukan perbuatan melawan
hukum tentu akan mengakibatkan akibat hukum terhadap leasing tersebut.
Akibat yang timbul misalnya adalah pemberian sanksi kepada pihak yang
melakukan perbuatan melawan hukum tersebut. Sanksi yang diberikan kepada
pihak leasing ini dapat berupa sanksi administratif sampai sanksi pidana,
tergantung pada tindakan yang dilakukan oleh leasing.
13
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 hal.
295
14
Ibid.
16

Pada putusan Nomor 209/PDT/2019/PT Mdn disebutkan bahwa atas


perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak Tergugat dalam hal ini PT.
Clipan Finance Indonesia Tbk, pihak Tergugat dihukum untuk mengembalikan
kepada Penggugat mobil merk Mobil Truck Merk Mitsubishi, Jenis FM 517
HSwarna hitam tahun 2010 dengan Nomor Polisi BA 1005 A. Hal ini tentu akan
mengakibatkan pihak leasing harus menjalankan perintah putusan pengadilan
dan tidak ada alasan bagi pihak leasing untuk menolak putusan tersebut.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh leasing akan diganjar dengan hukuman
kepada pelaku perbuatan melawan hukum tersebut. Perbuatan melawan hukum
yang dilakukan telah membawa dampak kerugian bagi nasabah kredit mobil,
sehingga perlu diberikan hukuman yang dianggap pantas sehingga tidak ada
ketimpangan hukum.

4. Analisis Putusan Adanya Perbuatan Melawan Hukum Dalam


Penyelesaian Sengketa Leasing dalam Putusan Nomor
209/PDT/2019/PT Mdn
Dapat dianalisa terhadap keabsahan putusan ini, dapat dilihat dari asas-
asas yang diatur seperti telah dijelaskan di atas, dalam Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Dalam putusan tersebut telah diuraikan mengenai alasan-alasan
pengambilan keputusan yang diuraikan dalam pertimbangan-pertimbangan
keputusan. Hal-hal yang menjadi pertimbangan putusan ini yaitu pada pokoknya
bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan dan fakta-fakta dalam
persidangan. Alasan utama adalah bahwa Tergugat telah melakukan penarikan
tanpa adanya sertifikat jaminan fidusia.
b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Dalam perkara perdata ini, gugatan yang diajukan Penggugat adalah
mengenai penarikan secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat yang
merupakan perbuatan melawan hukum. Kemudian oleh Tergugat mengajukan
Eksepsi terhadap gugatan Penggugat yang kemudian oleh Majelis Hakim
menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya dan mengabulkan Gugatan
17

Penggugat untuk seluruhnya. Hal ini membuktikan terpenuhinya asas wajib


mengadili selurh bagian gugatan.
c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Putusan yang dijatuhkan dalam perkara ini tidak melebihi tuntutan. Hal ini
dapat dilihat dari putusan yang menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat
untuk sebagian.
d. Diucapkan di Depan Umum
Adapun putusan ini dibacakan tanggal 17 Mei 2013 dalam persidangan
yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis Hakim tersebut dengan
didampingi Hakim Anggota dan dibantu oleh Panitera Pengganti Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dihadiri Kuasa Hukum
Penggugat dan Kuasa Hukum Tergugat. Dengan begitu, jelas bahwa putusan ini
telah sesuai dan diucapkan di muka umum telah memenuhi ketentuan yang
berlaku.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka putusan tersebut telah memenuhi
asas- asas yang terdapat dalam Undang-undang. Putusan ini tidak bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku karena dalam Peraturan Kementerian Keuangan
telah mengeluarkan peraturan yang melarang perusahaan pembiayaan untuk
menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak kredit
kendaraan.Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.130/PMK.010/2012, tentang pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan
Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan
Bermotor Dengan Membebanan Jaminan Fidusia.
18

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Perbuatan melawan hukum diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 1365-1380 KUHPerdata, termasuk ke dalam
perikatan yang timbul dari undang-undang. Menurut Pasal 1365 KUH
Perdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah
Perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang
karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Pengertian
perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah
dirumuskan secara eksplisit. Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur
apabila seseorang mengalami kerugian karena perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, maka ia dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri. Jadi Pasal
tersebut bukan mengatur mengenai onrechtmatigedaad (perbuatan
melawan hukum), melainkan mengatur mengenai syarat-syarat untuk
menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melawan hukum.
2. Penyelesaian sengketa leasing adalah perusahaan leasing akan
melakukan penyitaan atau dapat disamakan dengan parate eksekusi
dengan alasan bahwa dengan eksekusi langsung berdasarkan parate
eksekusi seperti lebih sederhana dibandingkan dengan proses melalui
pengadilan. Relatif efektif dan efisien dalam waktu dan biaya karena bisa
19

dilakukan secara kekeluargaan tanpa mengunakan tenaga pengacara


dan dokumen yang dipersiapkan tidak harus bermacam-macam. Pihak
perusahaan telah melakukan tindakan preventif dengan melampirkan
surat kuasa untuk melakukan penarikan kendaran bermotor yang
ditandatangani oleh debitur sendiri, perjanjian pemberian fidusia dan
perjanjian pembiayaan konsumen yang kesemuanya merupakan bukti
yang mengikat bagi kedua belah pihak dan memuat perihal penarikan
hingga penjualan dimuka umum yang telah ditandatangani oleh debitur
sendiri.
3. Analisis pada putusaan ini bahwaa putusan tersebut telah memenuhi
asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang. Putusan ini tidak
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku karena dalam Peraturan
Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan yang melarang
perusahaan pembiayaan untuk menarik secara paksa kendaraan dari
nasabah yang menunggak kredit kendaraan. Hal itu tertuang dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/2012, tentang
pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan
Membebanan Jaminan Fidusia.
B. Saran
1. Hendaknya diperketat pengawasan terhadap kegiatan para debt collector
baik yang dilakukan oleh leasing ataupun lembaga pembiayaan lainnya,
karena pada umumnya kegiatan para debt collector ini sangat
meresahkan bagi masyarakat.
2. Perlindungan kepada para konsumen harusnya diselenggarakan secara
bersama-sama antara pihak leasing dengan lembaga negara. Hal ini guna
memberikan jaminan keamaman bagi para pihak yang hendak
menggunakan jasa leasing.
3. Perlunya sebuah lembaga sebagai unit pelaporan jika terjadinya
penarikan secara sepihak oleh leasing. Sebab penarikan sepihak oleh
leasing bukan lagi hal yang jarang terjadi.
20

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Andasasmita, Komar. 1983. Leasing, Bandung, Ikatan Notaris Indonesia

Anwari, Achmad. 1987. Leasing di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia

Darmawi, Herman. 2006. Pasar Finansial Dan Lembaga-Lembaga Finansial,


Jakarta, PT. Bumi Aksara

Djais, Mochammad. 2000. Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Semarang, Fakultas


Hukum Universitas Diponegoro

________________. 2002. Membaca dan Mengerti HIR, Semarang, Badan


Penerbit Undip

Djumhana, Mohammad. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra


Aditya Bakti

Fuady, Munir. 1995. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti

____________. 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya


Bakti

____________. 2008. Pengantar Hukum Bisnis, Bandun, PT. Citra Aditya Bakti

Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika

Ibrahim, Johny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi
Revisi). Malang, Bayu Media Publishing

Ichsan, Achmad. 1969. Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pembimbing Masa

Ismijati, Siti. 1994. Tinjauan Umum mengenai Leasing dan Peranannya dalam
Usaha Memenuhi Kebutuhan akan Alat-alat Produksi, Diktat Penataran
Dosen Hukum Perdata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, UGM
Press
21

Judisseno, Rimsky K. 2005. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia,


Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Lexy. J, Moeleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, PT.Remaja


Rosdakarya

Lubis, Suhrawardi K. 2000. Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika

Machmud, Syahrul. 2008. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum,


Bandung, Mandar Maju

Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra


Aditya Bakti

Naja, H. R. Daeng. 2006. Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract


Drafting, Bandung, Citra Aditya Bakti

Prakoso, Djoko Bambang Ri Lady Yani. 1987. Dasar Hukum Persetujuan


Tertentu diIndonesia, Jakarta: PT.Bina Aksana

Prodjodikoro, Wirjono. 2000. Perbuatan Melawan Hukum, Bandung, Mandar


Maju

___________________. 1983. Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari


Sudut Hukum Perdata, Bandung, Sumur

Sofian. 1994. Hukum Jaminan di Indonesia, Yogyakarta, Liberty

Sofwan, Sri Soedewi. 1982. Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty

Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press

Soimin, Soedharyo. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar


Grafika

Soeroso, R. 2006. Praktek Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika

Subekti, R. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya


Paramitha

_________. 1996. Pokok- pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa

_________. 1979. Pokok-Pokok Perdata, Jakarta, PT. Intermasa

_________. 1990. Hukum Perjanjian Cetakan XII, Jakarta, PT. Intermasa

Sunaryo. 2008. Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika

Sutedi, Adrian. 2010. Hukum Hak Tanggungan, Jakarta, Sinar Grafika


22

Sutantio, Retnowulan. 1989. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik,
Bandung, Mundur Maju

Triandaru, Sigit Totok Budisantoso. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lain
Edisi 2, Jakarta, Salemba Empat

Widaningsih. 2016. “Tinjauan Yuridis Pendaftaran Fidusia Bagi Perusahaan


Pembiayaan (Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012)”,
Jurnal Politeknik Negeri Malang

Widiyono, Tri. 2009. Agunan Kredit dalam Financial Engineering, Bogor, Ghalia
Indonesia

Yuzrizal. 2015. Aspek Pidana dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999


Tentang Jaminan Fidusia, Malang, MNC Publishing

B. Perundang- Undangan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran
Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan.
C. Internet
Mei Amelia R, Tanpa Sertifikat Fudisia, Debt Collector Tak Boleh Eksekusi di
Jalan, Detiknews.com.

https://m.detik.com/news/berita/tanpa-sertifikat-fudisia-debt-collector-tak-boleh-
eksekusi-di-jalan

D. Putusan
Putusan Nomor 209/Pdt/2019/PT Mdn

Anda mungkin juga menyukai