Anda di halaman 1dari 5

JAMINAN KEBENDAAN DI INDONESIA, APA SAJA YA?

Apa sih Jaminan itu?


Menurut M. Bahsan, jaminan adalah segala sesuatu yang diterima debitur untuk menjamin
suatu utang piutang dalam masyarakat.

Terus, apa sih Hukum Jaminan itu?


Hukum Jaminan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan
antara pemberi dan penerima jaminan, dan suatu pembebanan dalam suatu fasilitas kredit.

Hmm, lalu fungsinya ada Jaminan untuk apa?


Jaminan ini kerap diberikan terhadap transaksi antara kreditur (baik bank maupun non-bank)
dan debitur untuk menjamin bahwa debitur dapat memenuhi kewajiban pembayarannya atas
pinjaman yang telah diperoleh dari kreditur.

Penting ga sih adanya Jaminan?


Jaminan penting banget! Jadi kamu (sebagai kreditur, misalnya) bisa memastikan
pinjamin/kredit yang kamu berikan kepada debitur bisa dibayar lagi, bahkan apabila debitur
lalai dan tidak dapat membayar kamu memiliki opsi untuk mengeksekusi barang jaminan
yang sudah diperjanjikan diawal antara kreditur dan debitur.

Pada dasarnya Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni :


 Jaminan Perseorangan, diatur di dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPer”) mengenai penanggungan (Borgtocht), sebagai berikut :
“penanggungan ialah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ke tiga, guna
kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang
manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”

Berdasarkan hal ini, jaminan perseorangan dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yakni

 Jaminan Kebendaan, diatur di dalam KUHPer dan undang-undang terkait lainnya.


Pengaturan mengenai Jaminan Kebendaan termaktub di dalam 1131 KUHPer yang
menyatakan bahwa segala barang-barang bergerak dan tidak bergerak milik debitur,
baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan untuk perikatan-
perikatan perorangan debitur itu. Kita akan mengulik lebih lengkap mengenai ini, ya!

Jaminan Kebendaan dapat diklasifikasikan menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak
Pada dasarnya di Indonesia dikenal 5 (lima) jenis Jaminan kebendaan, yakni sebagai berikut :

1. Gadai
Pengaturan mengenai gadai dapat ditemui di dalam Pasal 1150 s.d. Pasal 1161 Bab ke
XX KUHPer tentang Gadai. Berdasarkan Pasal 1150 KUHPer, gadai didefinisikan
sebagai suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-
orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
gadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat mengetahui beberapa hal, yakni :


 Gadai hanya berlaku untuk jaminan kebendaan terhadap barang-barang bergerak (baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud);
 Seseorang yang memiliki hak gadai dapat didahulukan pelunasan hutangnya.

Barang yang menjadi jaminan gadai haruslah dibawah kekuasaan si kreditur (yang
berpiutang) atau pihak ketiga yang telah disetujui oleh para pihak. Barang-barang
jaminan gadai yang berada di bawah kekuasaan si debitur (yang berutang) atau yang
kembali atas kemauan kreditur (yang berpiutang) menjadi tidak sah.

Apabila debitur (yang berutang) cidera janji (setelah tenggang waktu yang ditentukan
lampau) dan tidak memenuhi kewajiban pembayarannya, maka kreditur (yang
berpiutang) berhak untuk menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan
setempat untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari
pendapatan penjualan tersebut.
2. Hipotik
Pengaturan mengenai Hipotik termaktub di dalam Pasal 1162 s.d Pasal 1232 Bab XI
KUHPer tentang hipotik, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
serta peraturan-peraturan pelaksananya. Berdasarkan Pasal 1162 KUHPer, hipotik
didefinisikan sebagai suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk
mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa jaminan hipotik hanya dapat
diberikan kepada benda yang tidak bergerak, contohnya adalah kapal (kapal dengan
bobot 7 (tujuh) ton ke atas atau isi 20 m3 termasuk benda tidak bergerak). Selain itu
hipotik juga hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal
yang secara tegas ditunjuk oleh undang-undang.

3. Hak Tanggungan
Hak tanggungan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU
Hak Tanggungan”).

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan, Hak Tanggungan didefinisikan


sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Berdasarkan definisi tersebut, jaminan Hak Tanggunan pada dasarnya hanya dapat
dibebankan pada hak atas tanah saja. Jaminan Hak Tanggungan ini juga dapat bersifat
horizontal, yakni termasuk juga benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan
tanah tersebut. Apabila ternyata bangunan, tanaman dan benda-benda lain di atas
tanah tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, maka pembebanan Hak
Tanggungan hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya (atau yang diberi kuasa untuk
itu) dengan menandatangani pada Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Sama halnya dengan Hak Gadai dan Hak Hipotik, Hak Tanggungan juga memiliki
kedudukan yang diutamakan daripada kreditor-kreditor lain. Tak lupa, utang yang
dijamin menggunakan Hak Tanggungan berupa utang yang telah ada atau yang telah
diperjanjikan dengan jumlah tertentu.

Berdasarkan Pasal 4 UU Hak Tanggungan, hak atas tanah yang dapat dibebani dengan
Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai atas Tanah Negara, dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Berdasarkan Pasal 14 UU Hak Tanggungan, di dalam Sertifikat Hak Tanggungan


tercantum irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”, yang artinya sertifikat tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memeoleh kekuatan hukum tetap.

4. Fidusia
Pengaturan mengenai Fidusia termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”). Berdasarkan UU a quo,
Fidusia diartikan sebagai pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan Jaminan Fidusia
diartikan sebagai hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan definisi tersebut, jaminan fidusia dapat diberikan terhadap suatu benda
bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan dimana penguasaan benda
tersebut masih di bawah pemilik benda. Selain itu, sama halnya dengan hak-hak atas
jaminan kebendaan di atas lainnya, penerima fidusia memiliki kedudukan lebih utama
daripada kreditor lainnya.
Sama halnya dengan Sertifikat Hak Tanggungan, berdasarkan Pasal 15 UU Jaminan
Fidusia, di dalam Sertifikat Jaminan Fidusia tercantum irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang artinya sertifikat
tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah memeoleh kekuatan hukum tetap.

5. Resi Gudang
Pengaturan mengenai Resi Gudang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang serta peraturan pelaksana dibawahnya.

Pada dasarnya pemberian jaminan kebendaan akan dituangkan di dalam perjanjian jaminan.
Perjanjian ini bersifat accesoir, yang artinya merupakan jaminan tambahan dan mengikuti
perjanjian hutang-piutang yang menjadi perjanjian pokoknya.

Semoga bermanfaat!

sumber :
- kuhperdata
- http://mini.hukumonline.com/yangandco/mengenal-hukum-jaminan-kredit-
indonesia.html
- https://konsultanhukum.web.id/jenis-jenis-jaminan/
- UU 4 96
- UU 42 99
-

Anda mungkin juga menyukai