Anda di halaman 1dari 4

Cessie dan Hak tanggungan

Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
benda yang Berkaitan dengan Tanah.(”UUHT”)

Apa itu Cessie?


Cessie adalah istilah yang diciptakan oleh doktrin, untuk menunjuk kepada tindakan
penyerahan tagihan atas nama, sebagaimana diatur oleh Pasal 613 KUH Perdata.
Penyerahannya dilakukan dengan membuat akta yang disebut dengan akta cessie.

Adapun bunyi Pasal 613 KUH Perdata sendiri adalah sebagai berikut:

“Penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh,
dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan
hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya
bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya
secara tertulis atau diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan
dengan memberikannya; penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan
memberikannya bersama endosemen surat itu.”

Menurut Subekti, cessie adalah suatu cara pemindahan piutang atas nama di mana piutang
itu dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nantinya menjadi kreditur baru, namun
hubungan hukum utang piutang tersebut tidak hapus sedetikpun, tetapi dalam
keseluruhannya dipindahkan kepada kreditur baru.

Perlu dipahami, yang dimaksud dengan ‘tagihan atas nama’ adalah tagihan yang krediturnya
tertentu dan diketahui dengan baik oleh debitur. Hal ini berbeda dengan tagihan atas tunjuk
(aan toonder) yang merupakan tagihan-tagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi
untuk memudahkan pengalihannya) tidak tertentu.

Selain itu, yang disebut dengan tagihan, tidak selalu harus berupa tagihan atas sejumlah
uang. Yang dimaksud dengan tagihan di sini adalah tagihan atas prestasi, yang merupakan
benda tak berwujud. Jadi, apabila dikatakan cessie merupakan penyerahan tagihan atas
nama, tidak berarti harus berupa tagihan sejumlah uang, meskipun biasanya memang
mengenai sejumlah uang. Jadi, yang dimaksud dengan tagihan atas nama adalah tagihan
atas prestasi perikatan, di mana krediturnya adalah tertentu (diketahui oleh debiturnya).

Perlu diingat pula bahwa ada tagihan-tagihan tertentu yang tidak bisa dijadikan objek cessie,
yaitu yang oleh undang-undang dinyatakan tidak bisa dipindahkan (Pasal 1602g KUH
Perdata), yang karena sifatnya tidak bisa dialihkan (hak alimentasi dan hak pensiun) dan
tagihan yang bersifat sangat pribadi, sangat melekat pada pribadi debiturnya.
Pihak-pihak dalam Cessie
Dalam cessie, setidaknya ada 3 pihak yang terlibat yaitu:

Pihak yang menyerahkan tagihan atas nama (kreditur asal), yang disebut cedent;
Pihak yang menerima penyerahan (kreditur baru), yang disebut cessionaris; dan
Pihak yang punya utang (debitur), yang disebut cessus.

Cara Melakukan Cessie


Berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata, cessie bisa dilaksanakan tanpa sepengetahuan dan
persetujuan dari debitur. Cessie cukup dilaksanakan oleh kreditur asal dan kreditur baru,
dan cessie sudah selesai dengan ditanda-tanganinya akta cessie. Artinya hak milik atas
tagihan atas nama diserahkan sudah pindah kepemilikannya dari kreditur asal kepada
kreditur baru.

Akan tetapi, sebagaimana yang dijelaskan juga dalam Pasal 613 KUH Perdata, agar
perjanjian pengalihan piutang yang dibuat oleh kreditur asal dengan kreditur baru
mempunyai akibat hukum kepada debitur, maka mengenai telah dilakukannya pengalihan
piutang tersebut harus diberitahukan kepada debitur atau secara tertulis disetujui atau
diakui oleh debitur yang bersangkutan.

Dalam hal untuk melakukan pemecahan sertifikat, jika masih berjalan proses utang-piutang
dengan kreditor asal maka sertifikat masih tetap sama sesuai dengan Hak Tanggungan,
karena Akta Cessie itu sendiri di dalam hukum perdata bersifat accesoir yakni mengikuti apa
yang tercantum di dalam Akta Perjanjian Pokok dalam hal ini perjanjian Kredit, namun
berbeda halnya ketika debitor wanprestasi, kreditor baru dalam hal ini pihak ketiga dapat
melakukan pemecahan sertifikat, jika Kreditor baru memegang Sertifikat Hak Tanggungan
maka eksekusi bisa dilakukan dengan menjual obyek tersebut melalui lelang secara langsung
tanpa putusan pengadilan, namun jika belum ada bisa melakukan gugatan wanprestasi atau
Pailit kepada debitor sesuai dengan akta fasilitas kredit yang sudah jatuh tempo atas
keterlambatan bayar, namun jika debitor telah melunasi utang sebagaimana dalam Akta
perjanjian Kredit maka Hak Tanggungan Hapus dan kepemilikan atas tanah menjadi
kepemilikan debitor.

Untuk keamanan pembelian cessie dari Bank, pengembang baru selaku investor sebaiknya
memastikan keabsahan obyek kepemilikan Cessie dan akta Cessie, Investor sebaiknya
memastikan terlebih dahulu aspek legalitas, finansial, pengikatan agunan serta teknis
transaksi dari skema cessie tersebut secara menyeluruh (due dilligence). Aspek legalitas
mencakup legalitas kepemilikan, perizinan proyek perumahan, pengikatan jaminan kredit
yang dilakukan bank serta mekanisme penjualan cessie yang akan dilakukan Bank. Legalitas
kepemilikan dan perizinan proyek perumahan mencakup bukti penguasaan tanah lokasi
proyek perumahan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Riwayat atas tanah, Sengketa atas
tanah Sedangkan dokumen pengikatan kredit berupa perjanjian kredit dan akte-akte
accesoir lainnya seperti SKMHT (Surat Kuasa Menjual Hak Tanggungan / (Akta Pemberian
Hak Tanggungan) APHT/(Sertifikat Hak Tanggungan) SHT dan sertifikat hak atas tanah
yang menjadi agunan kredit tersebut. Sementara aspek finansial adalah nilai aset mencakup
modal (aktiva) dan pasiva (utang). Jual beli cessie harus dilakukan dengan akta perjanjian
jual beli cessie dan akta penyerahan cessie. Berdasarkan akta perjanjian jual beli cessie dan
penyerahan cessie tersebut maka dilakukan pendaftaran hak tanggungan atas nama
perusahaan pengembang baru selaku cessionaris. Untuk melihat apakah dapat dilakukan
pemecahan atas sertifikat tanah tersebut, harus mengacu kepada Akta Perjanjian Kredit
dengan debitor apakah diatur terkait pemecahan sertifikat tersebut, hak untuk melakukan
pemecahan sertifikat jika debitor dinyatakan wanprestasi atas akta cessie tersebut.

Hak Tanggungan pada Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan


Tanah

Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”), terutama

Pasal 10 ayat (1), disebutkan bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji
untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak
tanggungan bersifat accessoir, dimana hal tersebut berarti bahwa pemberian suatu hak
tanggungan haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Berdasarkan hal
tersebut maka dapat dikatakan bahwa eksistensi atas suatu hak tanggungan selalu
diperjanjikan dan mengikuti (accessoir) perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum utang-piutang.

Perlunasan Utang Tertentu


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hak tanggungan selalu bersifat accessoir, mengikuti
perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang
dijamin pelunasannya.

Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHT, utang yang dijamin pelunasannya dapat berupa:
a. utang yang sudah ada pada waktu dibebankan hak tanggungan;
b. ;utang belum ada akan tetapi sudah diperjanjikan.

Selanjutnya, diatur bahwa jumlah utang yang pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan
dapat ditentukan secara tetap pada saat diperjanjikan (diperjanjikan dalam perjanjian yang
bersangkutan) atau ditentukan pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan,
berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan
utang-piutang yang bersangkutan.

Pasal 3 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu
utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal
dari beberapa hubungan hukum. Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa pemberian satu
hak tanggungan dimungkinkan untuk:
beberapa kreditur yang (bergabung) memberikan utang kepada seorang debitur berdasarkan
satu hubungan hukum (perjanjian utang piutang);
beberapa kreditur yang memberikan utang kepada seorang debitur berdasarkan beberapa
hubungan hukum (perjanjian utang piutang) yang berlainan antara masing-masing kreditur
dengan debitur yang bersangkutan.
sebagai contoh, Pasal 6 UUHT mengatur bahwa:

Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Selanjutnya ketentuan terkait eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 UUHT yang
berbunyi

(1). Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan
umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk
pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya.

(2). Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

(3). Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan
keberatan.

(4). Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang
bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.

Anda mungkin juga menyukai