Anda di halaman 1dari 5

1.

Dalam penjelasan umum atas UUHT disebutkan ciri-ciri Hak Tanggungan sebagai lembaga
hak jaminan atas tanah yang kuat, yaitu

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan  atau mendahulu kepada pemegangnya.


2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada.
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan
kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Selain itu, sebagai jaminan kebendaan, maka Hak Tanggungan juga mempunyai asas-asas dan
sifat-sifat sebagai hak kebendaan, yaitu sebagai berikut.

1)   Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) atau tidak dapat dipisah-pisahkan
(onsplitsbaarheid) sebagaimana disebutkan  dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUHT. Hal ini
mengandung arti, bahwa Hak Tanggungan membebani secara  utuh objek Hak Tanggungan dan
setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan, tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak
Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan
untuk sisa utang yang belum dilunasi. Dengan demikian, pelunasan sebagian dari hutang debitur
tidak menyebabkan terbebasnya dari sebagian objek Hak Tanggungan.

2)   Hak Tanggungan mengandung royal parsial  sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2


ayat (2) UUHT yang merupakan penyimpangan dari sifat Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-
bagi.

3)   Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapa pun
berada. Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 7 UUHT yang menyatakan, bahwa Hak
Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Sifat ini
merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun
objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih
tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji.

4)   Hak Tanggungna bertingkat  (terdapat perintah yang lebih tinggi diantara kreditor pemegang
Hak Tanggungan). Dengan asasi ini, maka pemberi jaminan atau pemilik benda yang menjadi
onjek Hak Tanggungan masih mempunyai kewenangan untuk dapat membebankan lagi benda
yang sama telah menjadi objek Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu
lainnya, sehingga akan terdapat peringkat kreditor pemegang Hak Tanggungan.

5)   Hak Tanggungan membebani hak atas tanah tertentu (asas spesialisitas) sebagaimana diatur
dalam ketentuan pasal 11 juncto pasal 8 UUHT. Asas spesialisitas ini mengharuskan bahwa Hak
Tanggungan hanya membebani hak atas tanah tertentu saja dan secara spesifik uraian mengenai
objek dari Hak Tanggungan itu dicantumkan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT).

6)   Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas), artinya pemberian Hak Tanggungan
harus atau wajib diumumkan atau didaftarkan, sehingga pemberian Hak Tanggungan tersebut
dapat diketahui secara tebuka oleh pihak ketiga dan terdapat kemungkinan mengikat pula
terhadap pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.

7)   Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu yang dicantumkan dalam APHT. Hal ini
diatur dalam pasal 11 ayat (2) UUHT, bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan dengan atau
tanpa disertai dengan janji-janji tertentu, bila disertai dengan janji, maka hal itu dicantumkan
didalam APHT.

2. SKMHT wajib dibuat dengan Akta Notaris atau Akta PPAT;

Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan HT (mis.
Untuk menjual atau menyewakan objek HT, atau memperpanjang hak atas tanah);

Tidak memuat kuasa substitusi (penggantian penerima kuasa melalui pengalihan);artinya dlm
SKMHT dilarang dimuat pemberian wewenang kepada penerima kuasa untuk mengalihkan
kuasa yang diterimanya kepada pihak lain, sehingga terjadi penggantian penerima kuasa.

Catatan: Bukan merupakan subsitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain
dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya. Misalnya Direksi Bank menugaskan
pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya.

Harus mencantumkan secara jelas objek HT, jumlah hutang dan nama serta identitas kreditur,
nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi HT;

Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka dapat dikenai sanksi berupa: teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara dari jabatan, dan pemberhentian dari jabatan.

SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun, kecuali karena
kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena habis jangka waktunya.
Batas Waktu SKMHT

SKMHT mengenai HaT yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-
lambatnya 1 bulan sesudah diberikan;

Jika tanahnya belum terdaftar,atau sudah bersertipikat tetapi belum didaftar atas nama pemberi
HT sebagai pemegang hak baru, maka batas waktu pembuatan APHT nya 3 bulan sesudah
diberikan;

AKIBAT HUKUMNYA SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT DAN TIDAK MEMENUHI
SYARAT MAKA dalam waktu yang ditentukan tersebut, BATAL DEMI HUKUM
3.
a. Proses lelang melalui pengadilan negeri ini hanya dapat dilakukan apabila jaminan/ barang
yang akan dilelang tersebut masih dalam kondisi:

a. Masih dikuasai oleh pemilik jaminan/pemilik barang (belum dikosongkan).


b. Adanya indikasi perlawanan dari pemilik jaminan/pemilik barang.

Dari segi prosedur dan biaya, lelang melalui pengadilan negeri ini relatif rumit dan cukup
memakan biaya karena Bank selaku pemegang hak tanggungan tidak cukup mengajukan hanya
permohonan lelang  kepada Ketua Pengadilan Negeri tetapi juga harus mengajukan permohonan
sita jaminan (meskipun dari segi kepraktisan, permohonan sita jaminan dan permohonan lelang
ini dapat disatukan dalam satu permohonan, sayangnya dalam praktek, banyak Pengadilan yang
menghendaki satu persatu permohonan).

Jika permohonan lelang disetujui maka Pengadilan akan menerbitkan penetapan lelang yang
dikemudian dilanjutkan dengan penetapan sita jaminan. Dengan diterbitkannya sita jaminan,
maka Pengadilan akan melakukan penyitaan terhadap objek lelang yang kemudian akan
didaftarkan kepada kantor Badan Pertanahan setempat sekaligus mengajukan permohonan SKPT
(Surat Keterangan Pendaftaran Tanah).

Setelah keluarnya SKPT tersebut, maka Pengadilan Negeri mengajukan kegiatan Taksasi


(penaksiran) dengan melibatkan pihak kelurahan dan pihak Dinas Pekerjaan Umum (PU), untuk
dapat ditetapkannya berapa nilai atau harga wajar atas jaminan/barang yang akan dilelang.
Setelah didapatkannya harga, maka Kepala Pengadilan akan menetapkan harga limit terendah
atas jaminan/barang yang akan dilelang tersebut. Bandingkan dengan kegiatan lelang yang
dilakukan oleh Balai Lelang Swasta atau KPKNL dimana penjual/ pemegang hak tanggungan
yang berhak menentukan harga limit terendah atas objek lelang.

b. Dasar hukum penjualan lelang melalui Balai Lelang Swasta diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan No. 47/KMK.01/1996 tanggal 25 Januari 1996 dan Keputusan Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No.1/PN/1996. Adapun peraturan yang mengatur tentang
perizinan, kegiatan usaha dan pelaksanaan lelang Balai Lelang Swasta diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tanggal 30 November 2005 tentang Balai Lelang.

Dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 ditegaskan
bahwasanya kegiatan usaha Balai Lelang meliputi Jasa Pralelang, Jasa Pelaksanaan Lelang
dengan Pejabat Lelang Kelas II, dan Jasa Pascalelang terhadap jenis lelang :

a. Lelang Non Eksekusi Sukarela,


b. Lelang aset BUMN/ D berbentuk persero, dan
c. Lelang aset milik bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) di atas, maka kegiatan lelang hak tanggungan yang
dilakukan melalui Balai Lelang Swasta terlebih dahulu secara formal hukumnya harus ada kata
sepakat antara Bank  dengan debitornya. Tanpa adanya kata kesepakatan untuk menggunakan
mekanisme penjualan lelang melalui Balai Lelang Swasta, debitor dapat menuntut pembatalan
atas mekanisme tersebut.

Dalam praktek perbankan, umumnya dalam proses negoisasi dengan debitor, bank kerap
memaksakan kehendaknya bahkan cenderung menekan debitur untuk menyetujui menggunakan
mekanisme lelang melalui Balai Lelang Swasta. Penekanan atau pemaksaan ini terjadi karena
Bank umumnya beranggapan bahwasanya lelang hak tanggungan melalui Balai Lelang Swasta
lebih cepat dan murah disamping memang dari sudut aturan hukumnya, berdasarkan ketentuan
Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996, Bank selaku pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaannya sendiri. Benarkah demikian ?

Dalam prakteknya, ternyata pelaksanaan lelang melalui Balai Lelang Swasta tidaklah mudah dan
cenderung membutuhkan biaya yang besar mengingat Balai Lelang Swasta sering mendapat
hambatan dalam pengosongan objek jaminan kredit bank berupa Hak Tanggungan yang telah
dilelang, karena untuk memperoleh fiat pengadilan (putusan. Penetapan pengadilan) tentang
eksekusi pengosongan terlebih dahulu harus disertakan Surat Pengantar dari KPKNL, walaupun
sudah ada Risalah Lelang yang dikukuhkan oleh Pejabat Lelang Kelas II dari KPKNL ketika
dilakukan lelang oleh Balai Lelang Swasta. Disamping itu, Bank juga harus memperhitungkan
besaran imbalan jasa kepada Balai Lelang Swasta, meskipun besaran imbalan jasa ini ditentukan
pula dengan adanya kesepakatan namun sedikit banyaknya pastinya akan mempengaruhi
pendapatan Bank atas hasil penjualan lelang tersebut.

c. Pasal 30 Keputusan Menteri Keuangan No.102/PMK.02/2008 tentang organisasi dan tata kerja
instansi vertikal dilingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, menyatakan bahwasanya
tugas pokok KPKNL adalah melaksanakan pelayanan dibidang kekayaan Negara, penilaian,
piutang negara dan lelang.

Adapun teknis pelaksanaan lelang yang dilakukan KPKNL diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 93 /PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 ditegaskan bahwasanya lelang yang
telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat dibatalkan. Artinya lelang
yang dilakukan KPKNL memilki kekuatan hukum yang tetap terkecuali dapat dibuktikan
sebaliknya. Dalam Pasal 4-nya ditegaskan pula, bahwasanya lelang tetap dilaksanakan walaupun
hanya diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang dan jika dalam hal tidak ada peserta lelang,
lelang tetap dilaksanakan dan dibuatkan Risalah Lelang Tidak Ada Penawaran. Artinya dari segi
kepraktisan waktu, lelang yang dilakukan KPKNL lebih praktis dan cepat dibandingkan lelang
yang dilakukan Balai Lelang Swasta.

Bahwa secara hukum, segala jenis lelang dapat dilakukan oleh KPKNL (pasal 8 ayat (3)
Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010). Bandingkan dengan kegiatan lelang yang
dilakukan Balai Lelang Swasta yang notabene hanya mencakup Lelang Non Eksekusi Sukarela
saja. 

Anda mungkin juga menyukai