Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga Makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada
kreditur-kreditur lain. Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk
perlindungan hukum, maka pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib
didaftarkan di Kantor Pertanahan, guna memenuhi unsur publisitas atas barang
jaminan, dan mempermudah pihak ketiga mengontrol apabila terjadi pengalihan
benda jaminan.
Obyek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 4 UUHT, yaitu Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Salah satu ciri Hak
Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang
tertentu yaitu mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Setelah berlakunya UUHT, kemudahan yang ditawarkan UUHT pun dalam
kenyatannya tidak selalu mudah untuk ditempuh, karena dalam prakteknya proses
pelaksanaan parate executie telah mengalami pergeseran makna dan tidak semua
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) bersedia melaksanakan
penjualan lelang objek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT (parate
executie) dengan alasan bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek Hak
Tanggungan harus melalui fiat ketua pengadilan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
adanya kekeliruan pembentuk UUHT dan lembaga peradilan dalam memahami dua
lembaga eksekusi yaitu antara parate executie dengan eksekusi berdasarkan titel
eksekutorial. Pendirian lembaga peradilan (yurisprudensi) yang kemudian ditindak
lanjuti oleh keluarnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak
Tanggungan telah mencampuradukkan antara pengertian parate executie dengan
eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, hal ini menimbulkan kebingungan pada
banyak kalangan terutama para kreditur pemegang Hak Tanggungan. Hal tersebut
juga telah menimbulkan ketakutan bagi para pelaksana lelang yang dalam hal ini
KPKNL untuk menerima permohonan lelang parate executie berdasarkan Pasal 6
UUHT.
Di Indonesia lembaga perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya disebut
Undang-Undang Perbankan. Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan
disebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Suatu benda yang dimiliki oleh seseorang, baik bergerak dan tidak bergerak
secara khusus dapat diikat dengan sejumlah utang. Pembebanan atas benda
bersangkutan memakai lembaga jaminan jenis mana adalah ditentukan dengan
macam benda yang dijadikan objek jaminan. Bilamana benda yang dijadikan objek
jaminan berupa benda bergerak maka oleh BW ditentukan lembaga jaminan gadai
(Pand) diatur dalam Pasal 1150-1160 BW, sedangkan jika benda tidak bergerak
maka lembaga jaminan yang dipergunakan adalah lembaga jaminan hipotek diatur
dalam Pasal 1162- 1232 BW, jaminan diluar BW, yaitu Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. 6 Fungsi adanya barang yang di jadikan jaminan adalah untuk
memberikan hak dan kekuasaan kepada bank selaku kreditor untuk mendapatkan
pelunasan dengan barang-barang jaminan yang diserahkan oleh debitor atau
penjamin jika debitor wanprestasi dan atau tidak membayar pinjamannya pada saat
sudah jatuh tempo.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan parate executie Hak Tanggungan dalam kaitannya
dengan fiat pengadilan?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan eksekusi
hak tanggungan dalam perjanjian kredit?
3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi eksekusi hak
tanggungan dalam perjanjian kredit?
4. Apa Implikasi Hukum Jika Lelang Hak Tanggungan Tanpa Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT)?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan
eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit
2. Untuk mengetahui apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam
implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit
3. Memperoleh pemahaman serta menganalisis tentang ketentuan parate
executie Hak Tanggungan dalam kaitannya dengan wajib tidaknya pemegang
Hak Tanggungan pertama meminta fiat pengadilan ketika akan mengeksekusi
obyek jaminan Hak Tanggungan dengan menggunakan parate executie.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ketentuan parate executie Hak Tanggungan dalam kaitannya dengan fiat
pengadilan
Lelang merupakan salah satu alternatif penjualan yang diatur dalam Vendue
Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3 (Undang-Undang Lelang).
Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang (PMK No. 213/2020), Lelang adalah penjualan barang yang terbuka
untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin
meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan
Pengumuman Lelang.
Jenis-jenis lelang secara umum terdiri dari 3 jenis, yaitu:
a. Lelang Eksekusi;
b. Lelang Noneksekusi Wajib; dan
c. Lelang Noneksekusi Sukarela
Jumlah perkara terkait lelang eksekusi hak tanggungan di KPKNL (Contoh: KPKNL
Bandar Lampung) pada umumnya berkaitan pula dengan jumlah lelang yang telah
dilaksanakan. Terkait dengan lelang eksekusi hak tanggungan sendiri pada umumnya
timbul dari adanya perjanjian kredit dengan objek jaminan benda tidak bergerak.
Dimana terhadap jaminan berupa benda tidak bergerak tersebut dibebankan hak
tanggungan yang dibuat berdasarkan akta pemberian hak tanggungan (APHT) yang
selanjutnya akan didaftarkan ke kantor pertanahan untuk memperoleh Sertifikat Hak
Tanggungan (SHT). Sertifikat hak tanggungan berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang-
Undang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial selayaknya putusan
pengadilan.
Dalam perkara-perkara mengenai lelang hak tanggungan yang masuk ke KPKNL,
salah satu dalil yang sering disampaikan oleh Penggugat dalam gugatannya yaitu terkait
dengan ketentuan dalam Pasal 224 HIR yang menyatakan bahwa terhadap akta yang
dibuat di hadapan Notaris di Indonesia yang kepalanya berbunyi “Demi keadilan dan
Ketuhanan yang Maha Esa” berkekuatan hukum sama dengan putusan hakim yang jika
tidak dengan jalan damai, maka surat akta tersebut dijalankan dengan perintah di
bawah pimpinan ketua pengadilan (Fiat Pengadilan).
Ketentuan mengenai pelaksanaan (eksekusi) Pasal 6 Undang-Undang Hak
Tanggungan tersebut seringkali menjadi salah satu dalil gugatan yang diajukan oleh
debitor. Pasalnya KPKNL seringkali dianggap telah melakukkan perbuatan melawan
hukum (PMH) karena tidak menjalankan prosedur lelang berdasarkan Fiat Executie
melalui penetapan ketua pengadilan. Sementara lelang eksekusi Pasal 6 hak tanggungan
yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan dengan dasar konsep Parate Executie
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan yang
mengatur mengenai eksekusi Hak Tanggungan apabila Debitor cidera janji, yang dapat
dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu :
a. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf (a) :
Yaitu berdasarkan hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaaan sendiri melalui pelelangan umum
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 UUHT.
Batasan Konsep
1. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain. (Pasal 1 angka 1 UUHT)
2. Parate executie adalah pelaksanaan eksekusi hak kreditur atas objek jaminan, tanpa
(di luar) melalui ketentuan hukun acara, tanpa penyitaan, tanpa melibatkan juru sita,
tanpa izin (fiat) Pengadilan.
3. Fiat Pengadilan adalah penetapan eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri, yang dulu memeriksa dan memutuskan perkara itu dalam
tingkat pertama.
4. Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utangpiutang tertentu.
(Pasal 1 angka 2 UUHT)
5. Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utangpiutang tertentu.
(Pasal 1 angka 3 UUHT) 6. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. (Pasal 8 ayat (1) UUHT) 7.
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. (Pasal 9 UUHT).
Kehadiran lelang di Indonesia sudah ada sejak lama, tepatnya pada saat zaman
Hindia Belanda yang dibuktikan dengan adanya peraturan mengenai lelang yaitu
Vendue Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3 (Undang-Undang Lelang).
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang (PMK No. 213/2020), Lelang adalah penjualan barang yang terbuka
untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin
meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan
Pengumuman Lelang. Menurut jenisnya, lelang secara umum terdiri dari 3 jenis, yaitu:
1) Lelang Eksekusi;
2) Lelang Noneksekusi Wajib; dan
3) Lelang Noneksekusi Sukarela.
Lelang eksekusi sendiri terbagi lagi ke dalam beberapa jenis, salah satunya adalah
Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan. Sebelum membahas lebih
lanjut mengenai lelang eksekusi, kiranya perlu bagi kita untuk memahami definisi dari
eksekusi itu sendiri. Istilah eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau
menjalankan putusan pengadilan, namun nyatanya eksekusi tidak hanya berkaitan
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan grosse akta saja,
namun juga terdapat dalam bidang hukum jaminan yang merupakan pelaksanaan hak
kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan dengan cara menjual
jaminannya, apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”, maka kreditur
selaku pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan
dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu
daripada kreditur-kreditur yang lain. Selain itu dipertegas pula dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf (a) UUHT yang menyebutkan bila pemegang Hak Tanggungan pertama berhak
untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Atas dasar
inilah, lelang eksekusi Pasal 6 UUHT yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan
dengan dasar konsep Parate Executie.
Istilah parate executie sendiri secara implisit tidak pernah tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Secara etimologis parate executie berasal dari kata paraat yang
berarti siap di tangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana yang siap di
tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti pelaksanaan yang
langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim. Sedangkan berdasarkan
doktrin ilmu hukum, parate executie memiliki arti sebagai kewenangan untuk menjual
atas kekuasaan sendiri, atau bisa juga diberikan arti bahwa jika debitur wanprestasi
maka kreditur bisa melakukan eksekusi objek jaminan tanpa harus meminta fiat dari
ketua pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan dalam hukum acara perdata, tanpa
perlu melibatkan juru sita dan oleh karenanya prosedurnya jauh lebih mudah dan biaya
lebih murah.
Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa Pasal 6 UUHT dipedomani sebagai
ketentuan bagi para pemegang hak tanggungan pertama dalam hal ini kreditur yang
memiliki hak untuk menjual objek hak tanggungan atas dasar kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut
apabila debitur cidera janji. Dengan kata lain, baik kekuasaan pemegang hak
tanggungan pertama tersebut dicantumkan atau tidak dicantumkan di dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai
kekuasaan/wewenang untuk dapat melakukan penjualan melalui pelelangan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan bahwa hak untuk
menjual atau kekuasaan sendiri menguntungkan dalam 2 hal, yaitu:
a) Tidak dibutuhkan Titel Eksekutorial dalam melaksanakan haknya/eksekusi.
b) Dapat melaksanakan eksekusi sendiri secara langsung (mandiri) tidak peduli adanya
kepailitan dari debitur (di luar pengadilan) karena tergolong separatis.
Merujuk pada ketentuan Angka 4 Penjelasan Umum UUHT yang memuat:
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak
Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut
sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.”
Surat keterangan pendaftaran tanah ini menjadi syarat formal dalam pelaksanaan
lelang karena untuk mengetahui kondisi terakhir status tanah tersebut. Tahap awal dari
pelelangan adalah tahap persiapan lelang yang dimulai dengan permohonan secara
tertulis kepada pejabat lelang yang dilakukan oleh penjual. Permohonan yang diajukan
oleh penjual juga memintakan jadwal pelaksanaan disertai dengan dokumen-dokumen
legalitas yang diperlukan sesuai dengan jenis lelang yang dimintakan. Dalam hal
permohonan lelang dimintakan oleh instansi pemerintah maka permohonan dilakukan
dalam bentuk Nota Dinas oleh pejabat yang menjabat kepala seksi. Penjual juga dapat
menggunakan balai lelang selaku penjual untuk mengajukan permohonan lelang kepada
Pejabat Lelang. Pejabat Lelang tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan
kepadanya sepanjang dokumen lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas
formal subjek dan objek lelang.
Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain
debitor/suami atau istri debitor/ tereksekusi, pelaksanaan lelang dilakukan
berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan giat
eksekusi. Permohonan atas pelaksanaanlelang fiat eksekusi dilakukan oleh Pengadilan
Negeri.
Dalam pelaksanaan lelang penjual dalam surat pernyataannya menyatakan bertanggung
jawab atas:
a. Keabsahan kepemilikan barang
b. Keabsahan dokumen persyaratan lelang
c. Penyerahan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
d. Dokumen kepemilikan kepada pembeli.
e. Gugatan perdata maupun tuntutan pidana yang timbul akibat tidak dipenuhinya
peraturan perundangundangan di bidang lelang.
f. Tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul karena ketidak absahan barang
dan dokumen persyaratan lelang.
g. Penguasaan fisik barang yang akan dilelang
Penjual dapat juga mengajukan syarat-syarat lelang tambahan yang terlampir bersama
surat permohonannya kepada Pejabat Lelang, sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan pperundang-undangan, termaasuk tapi tidak terbatas pada:
a. Jangka waktu bagi peserta lelang untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang
akan dilelang
b. Jangka waktu pengembalian barang oleh pembeli
c. Jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang.
SKPT ini sangat penting bagi pejabat lelang untuk memperoleh keyakinan tentang objek
lelang. Oleh karena itu skpt tersebut harus tetap diterbitkan, walaupun tanah yang
bersangkutan sedang dalam sengketa atau dalam situasi sitaan, kemudian kepala kantor
pertanahan mengeluarkan skpt dimaksud selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja atau 7
(tujuh) hari kalender setelah diterimanya permintaan dari kepala kantor lelang.
SKPT sangat penting bagi pejabat lelang untuk memperoleh keyakinan tentang objek
lelang karena di dalam SKPT disebutkan secara lengkap tempat dimana objek lelang
tersebut serta identitas dari pemilik tanah dan bangunan dan yang paling utama dari
adanya SKPT ini adalah catatan tanah tersebut apakah dalam status sengketa atau
dalam status sitaan sehingga SKPT dalam proses lelang mutlak adanya.
Dalam proses lelang, baik itu lelang eksekusi maupun non-eksekusi SKPT itu mutlak
adanya, apabila SKPT itu ada, tetap harus diselaraskan dengan syarat-syarat lelang
lainnya hal itu berguna sebagai alat proteksi diri bagi para pihak yang terlibat.
Sedangkan apabila SKPT tidak keluar pada waktu lelang, maka lelang tetap di jadwalkan
tetapi lelang langsung dinyatakan berakhir karena syarat dari lelang tersebut tidak
lengkap. Apabila syarat sudah lengkap maka bank selaku pihak kreditur bisa
mengajukan lelang ulang paling lama 60 hari setelah lelang pertama.
SKPT akan kadaluarsa setelah pemenang lelang dinyatakan berhak atas tanah dan
bangunan tersebut, tetapi apabila tidak adanya pemenang dalam lelang, maka SKPT
akan kadaluarsa dalam jangka waktu 6 bulan setelah dikeluarkannya SKPT
tersebut. (Tim Na/Rs)
Selain itu ada pengertian implementasi dari Van Mater Horn yang dikutip oleh
Wahab dalam buku dalam Analisis Kebijaksanaan, adalah: Implementasi adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabatpejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-
tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Pengertian implementasi dari
Van Mater Van Horn menjabarkan tentang suatu tingkah laku atau pola yang dilakukan
oleh aparatur atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu menurut
Van Mater Van Horn, pengertian implementasi juga disampaikan oleh Mazmanian dan
Sebastiar sebagai berikut: Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan
dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-
perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Hak Tanggungan seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Angka 1 UUHT adalah;
“hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
krediturkreditur lain.” Hak tanggungan sebagai pelunasan hutang bersifat tidak dapat di
bagibagi, yaitu bahwa jaminan meliputi benda secara utuh, artinya dengan membayar
sebagian hutang tidak berarti dapat membebaskan hutang, sehingga apabila jaminan
tersebut berupa tanah, maka jika sebagian hutang dilunasi tidak mewajibkan pemegang
hak tanggungan untuk menyerahkan sebagian dari tanah yang dijadikan jaminan,7 hal
ini tercantum dalam pasal 2; (1)“hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-
bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat 2”, (2)“apabila hak taggungan dibebankan pada beberapa hak atas
tanah, dapat diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan,
bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang
besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari
objek hak tanggungan, yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga
kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa obyek hak tanggungan untuk
menjamin sisa utang yang belum dilunasi.”