Anda di halaman 1dari 97

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia dibidang hukum yang

meminta perhatian yang serius dalam pembinaan hukumnya di antaranya adalah

lembaga jaminan. Karena perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti

oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit ini

memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. Pentingnya

lembaga jaminan ini dikarenakan semakin meningkatnya kegiatan

pembangunan pada umumnya dan pembangunan dibidang ekonomi pada

khususnya, akan selalu dibutuhkan tersedianya dana pembangunan yang cukup

besar, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Sebagaimana

ditegaskan dalam penjelasan umum angka 1 paragaraf ke 2, bahwa mengingat

pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses pembangunan, sudah

semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait

mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat

pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Peraturan-peraturan yang b]aik tentang jaminan-jaminan pemberian

kredit atau pinjaman serta pelaksanaannya yang memadai apabila pembayaran

1
2

kembali utang itu macet atau debitur cidera janji, merupakan suatu syarat

mutlak bagi kelancaran perkreditan disuatu negara.

Menurut R. Subekti jaminan yang baik (ideal) dalam rangka melancarkan

dan mengamankan pemberian kredit adalah :

a. Yang dapat secara mudah membantu memperoleh kredit itu oleh pihak

yang memerlukan.

b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan

(meneruskan) usahanya.

c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa

barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat

mudah diuangkan untuk melunasi utang si penerima kredit.1)

Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tepatnya pada

tanggal 24 September 1960 telah membawa perombakan fundamental

terhadap hukum pertanahan pada umumnya dan ketentuan-ketentuan yang

mengatur mengenai lembaga hak jaminan atas hak tanah pada khususnya.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dalam hubungannya dengan

lembaga hak jaminan memberikan penggarisan sebagai berikut :

a. Mencabut Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung

1)
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 19.
3

didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih

berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria.

b. Undang-Undang Pokok Agraria menentukan adanya lembaga hak jaminan

atas hak atas tanah yang diberi nama dengan sebutan "Hak Tanggungan",

yang selanjutnya akan diatur dengan undang-undang tersendiri, yakni

Undang-Undang Hak Tanggungan (pasa151).

c. Adapun hak-hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan

tersebut adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan

sebagaimana tersebut dalam pasal-pasa1 25, 33, 39 Undang-Undang Pokok

Agraria.

d. Selama Undang-Undang Hak Tanggungan yang dimaksud belum terbentuk,

maka untuk "sementara" yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai

hipotik tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan

Credietverband dalam S. 1908-542 sebagai telah diubah dengan S.1937-190

(pasal 57).2)

Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 51 Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA), setelah dinantikan hampir 36 tahun akhirnya menjadi

kenyataan terhitung mulai tanggal 9 April 1996 yaitu mulai diundangkannya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

2)
Rachmadi Usman, Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta,
1999, h.7.
4

beserta benda-benda lain yang yang berkaitan dengan tanah yang disingkat

UUHT dinyatakan berlaku.

Lembaga hak tanggungan yang diatur oleh undang-undang ini adalah

dimaksudkan sebagai pengganti dari hipotik sebagaimana diatur dalam buku

II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai tanah dan credietverband yang

diatur dalam staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan staatsblad

1937-190, yang berdasarkan pasal 57 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Salah satu ciri hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang kuat

adalah mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Eksekusi hak tanggungan

diatur dalam bab V yaitu pasal 20 dan 21 yang memberikan tiga (3) cara

pelaksanaan eksekusi apabila debitur cedera janji, yaitu :

1. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau

2. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana

yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), objek hak tanggungan dijual

melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak

tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya.

3. Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan

tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut

ketentuan undang-undang ini.


5

Ketentuan yang pertama dan yang kedua merupakan perwujudan dari

kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan bagi para

kreditur pemegang hak tanggungan dalam hal harus dilakukan eksekusi. Pada

prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan

umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling

tinggi untuk objek hak tanggungan. Kreditur berhak mengambil pelunasan

piutang yang dijamin dari hasil penjualan objek hak tanggungan. Dalam hal

hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya

sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi hak tanggungan.

Kemungkinan ketiga hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan

antara pemberi dan pemegang hak tanggungan dan terpenuhinya syarat

sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3), jika dengan demikian akan

diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Dengan lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan secara tegas

menyatakan ketentuan creditverband dinyatakan tidak berlaku. Tidak demikian

halnya dengan ketentuan hipotik, tidak semua ketentuan hipotik menjadi tidak

berlaku. Salah satu yang terpenting adalah yang ditegaskan dalam ketentuan

peralihan pasa1 26 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan bahwa

selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan

memperhatikan ketentuan dalam pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hipotik

yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini berlaku terhadap

eksekusi hak tanggungan yaitu ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal


6

224 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch

Reglement/HIR) dan pasal 258 Reglement Acara Hukum untuk daerah luar

jawa dan madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten

Buiten Java en MaduralRBG).

Ada beberapa kendala dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan hipotik,

menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa kendala selama ini muncul

bukan karena adanya ketidak pastian mengenai ketentuan hipotik itu sendiri,

tetapi kesulitannya ada pada segi-segi hukum yang berada diluar ketentuan

hipotik. Kesimpangsiuran selama ini terjadi adalah pada peraturan-peraturan

baru, yang dimaksudkan untuk melengkapi dan atau mengganti ketentuan-

ketentuan hipotik, tetapi telah dikeluarkan dengan kurang memperhatikan,

bahwa hukum merupakan suatu sistem, bagian yang satu berkaitan dengan

bagian yang lain dalam suatu susunan yang logis dan sistematis.3)

Dalam praktek saat ini penggunaan kuasa jual sebagaimana tercantum

dalam pasal 1178 ayat (2) KUHPer yaitu hak dari pemegang hipotik pertama

untuk menjual objek hipotik atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan

umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualannya tersebut

(beding eigen machtig verkop) memerlukan kerjasama debitur.4) Belakangan

berdasarkan yurispudensi diperkuat oleh keputusan Mahkamah Agung yaitu

Keputusan No. 3210 K/PDT/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang menggariskan


3)
Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan dalam Hukum Jaminan Nasional,
Makalah dikemukan pada seminar di UNPAD, Bandung, 27 Mei 1996, h. 4
4)
Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu
Kumpulan Karangan), cet. 1, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999, h. 235.
7

bahwa eksekusi jaminan hipotik, walaupun ada beding eigen machtige verkoop

dilaksanakan dikantor lelang, tetapi harus terlebih dahulu ada Penetapan Ketua

Pengadilan Negeri. Keputusan Mahkamah Agung menyatakan tidak sah

pelelangan yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara Bandung, karena

bertentangan dengan pasa1 224 HIR karena itu akhir-akhir ini kantor lelang tidak

mau lagi melakukan lelang secara parate eksekusi, walaupun peraturan

perundang-undangan memperbolehkannya.5) Seperti umum diketahui jalan

melalui pengadilan rumit dan mungkin ditemukan puluhan hambatan yang

memperlambat pelaksanaan eksekusi. Berbeda halnya dengan sebelum perang

dunia ke II, dimana kreditur dapat menjual lelang hanya berdasarkan ketentuan

dalam pasal 1178 ayat (2) KUHPer.

Mengenai eksekusi hipotik dengan titel eksekutorial berdasarkan pasal

224 HIR juga ditemukan beberapa kendala dalam pelaksanaannya, antara lain :

1. Lamanya waktu yang dibutuhkan bagi kreditur dalam rangka memperoleh

pelunasan piutangnya. Eksekusi objek hipotik dengan titel eksekutorial

dilakukan dengan cara mengajukan eksekusi ke pengadilan negeri

setempat melalui beberapa tahapan, dimulai dengan permohonan,

penyitaan dan diakhiri dengan pelelangan. Umumnya proses tersebut

memakan waktu empat (4) - enam (6) bulan sejak diajukan permohonan

5)
Munir Fuady, Hukum Bisnis Teori dan Praktek Buku Kedua, cet. 1, Bandung : Citra Aditya
Bakti, h. 63.
8

eksekusi. Jangka waktu tersebut akan lebih lama apabila ada bantahan dari

debitur dan adanya penundaan lelang.

2. Kendala eksekusi hipotik yang paling besar adalah mengenai perselisihan

penafsiran jumlah hutang tertentu (fixed loan) yang dijadikan sebagai syarat

materiil eksekusi yang berakibat, bila jumlah hutang dianggap tidak pasti

grosse akte hipotik dinyatakan cacat materiil, oleh karena itu daya

eksekutorialnya gugur dengan demikian pemenuhan pembayaran hutang mesti

ditempuh kreditur melalui gugat perdata biasa. Hampir 30-40% grosse akte

hipotik gagal eksekusinya berdasarkan pasal 224 HIR, atas alasan jumlah

hutang tidak pasti oleh karena dianggap tidak memenuhi pasal 1178 (1)

KUHPer.6)

3. Permasalahan lainnya adalah mengenai dimana titel eksekutorial harus

dicantumkan. Masalah ini timbul setelah keluarnya Surat Edaran (SE) BPN

No. 594-3/3102 (9 September 1987) yang diikuti oleh seluruh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Indonesia. Menurut SE ini titel

eksekutorial dicantumkan pada saat pendaftaran akta hipotik yaitu

sertipikat hipotik bukan pada akta hipotik. Sebaliknya kalangan pengadilan

cenderung tetap berpegang pada pengertian pasal 224 HIR (258 RBG) yang

berkesimpulan pencantuman titel eksekutorial harus pada Akte hipotik.

Akibatnya eksekusi hipotik menjadi terbengkalai, dan menganjurkan


6)
M Yahya Harahap, Tanggapan Atas Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan UUNo. 4/1996,
Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), Oleh
lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU-Medan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, h.
274.
9

penyelesaiannya melalui gugat perdata. Dampaknya memperbesar jumlah

kredit macet.7) Polemik tersebut berawal dari adanya SE Ketua Pengadilan

Tinggi Bandung No. 1/1980, yang menyatakan bahwa eksekusi berdasarkan

pasal 224 HIR atas dasar sertipikat hipotik, yang akta hipotiknya tidak

memuat irahirah tidak boleh dikabulkan. Menyatakan pula bahwa ketentuan

sebaliknya yang terdapat dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) No.

15/1961 adalah tidak sah karena kedudukannya lebih rendah dan karena harus

ditolak oleh pengadilan.

Kendala lain juga dijumpai dalam pelaksanaan eksekusi hipotik di bawah

tangan, eksekusi di bawah tangan tetap harus melalui gugatan dan penetapan

pengadilan terlebih dahulu.8)

Timbul keraguan dan kekhawatiran akankah pelaksanaan eksekusi hak

tanggungan ini menjadi sama lamanya dan sama tidak pastinya seperti dalam

pelaksanaan eksekusi hipotik mengingat ketentuan-ketentuan hak tanggungan

pada hakekatnya merupakan pengoperan dari ketentuan hipotik yang disesuaikan

dengan perkembangan zaman.

Ada kemungkinan untuk menggunakan sarana lain dalam rangka

menyelesaikan masalah kredit macet, khusus bagi bank pemerintah, meminta

penyelesaiannya melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan

Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) (Undang-Undang Nomor

7)
Ibid, h. 274.
8)
Hutagalung, Op. Cit., h. 235.
10

49/prp/1960 jo Keputusan Presiden (Keppres) No. 21/1991). Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 5/1991 dan Keppres No. 55/1991, kejaksaan dengan

kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas

nama negara atau pemerintah mewakili bank-bank milik negara dalam

menyelesaikan masalah – masalah hukum termasuk kredit macet. Oleh karena itu

maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat judul “SUATU TINJAUAN

TENTANG PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ATAS

TANAH SERTA HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK

TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG

BERKAITAN DENGAN TANAH”.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi pokok permasalahan

yang hendak dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakan pengaturan eksekusi hak tanggungan atas tanah dalam sistem

hukum Indonesia ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan eskusi hak tanggungan atas tanah berdasarkan

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
11

3. Merupakan salah satu syarat kelulusan pada Fakultas Hukum Universitas

Bung Karno (UBK).

4. Untuk mengetahui sejauh mana ketentuan-ketentuan dalam mengamankan

kegiatan perkreditan daripada ketentuan-ketentuan sebelumnya.

5. Untuk mengetahui dan menjelaskan perbandingan antara pelaksanaan

eksekusi hipotik dengan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dalam praktek.

6. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis mengenai hak tanggungan.

D. Metodologi Penulisan

Metode pendekatan penulisan yang digunakan kami dalam penulisan

ini adalah pendekatan juridis murni atau legal research sehingga

mempergunakan penelitian yang bersifat normatif. Penelitian normatif adalah

penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan yaitu berupa

buku-buku, peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian dan bahan-

bahan lainnya yang mempunyai hubungannya dengan penulisan ini.

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistemtika penulisan ini penulis membagi dalam beberapa bab,

yang mana setiap bab terbagi lagi atas beberapa sub-bab yang sebagai berikut :

BAB I : Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang penulisan,

perumusan masalah, tujuan penulisan dan metodelogi penulisan.


12

BAB II : Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum hak tanggungan

sebagai lembaga jaminan dan obyek hukum hak tanggungan

yang terbagi lagi dalam sub-sub bab.

BAB III : Dalam bab ini menguraikan tentang pengaturan eksekusi hak

tanggungan berdasarkan UU No. 4/1996 tentang hak tanggungan

atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

BAB IV : Dalam bab ini menerangkan tentang pelaksanaan eksekusi hak

tanggungan dalam praktek yang terbagi lagi dalam sub-sub bab.

BAB V : Dalam bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang

kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN UMUM HAK TANGGUNGAN


SEBAGAI LEMBAGA JAMINAN

A. Tinjauan Terhadap Jaminan Secara Umum

1. Pengertian Jaminan

Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan dalam proses

pembangunan sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa sudah

semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait

mendapat perlindungan melalui suatu lembaga jaminan yang kuat, yang dapat

pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Sehubungan dengan adanya permintaan akan jaminan ini maka pertama-

tama haruslah di mengerti apakah yang merupakan jaminan itu.

Jaminan menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman adalah "suatu

lembaga hukum berupa hak untuk mengambil pelunasan dari suatu perikatan".9)

Hukum jaminan di Indonesia diatur pertama kali dalam Kitab Undang-

undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam KUHPerdata ketentuan umum

tentang jaminan di letakkan dalam Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138. Di

sana di atur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya

dan juga kedudukan semua kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya

9)
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, Cet.l, h.4.

13
14

terhadap kreditnya. Pengaturan mengenai lembaga jaminan ini diatur

dalam pasal 1131 KUHPerdata yaitu :

Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di

kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan

perseorangan.

Dari pasal tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan jaminan

atau tanggungan adalah meliputi segala kebendaan debitur, baik yang

bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang

akan ada diperjanjikan secara khusus, seluruh harta kekayaan debitur

merupakan jaminan atau tanggungan bagi seluruh perikatan yang

dibuatnya termasuk jika ia membuat perjanjian hutang piutang.

Dalam undang-undang No.10/1998 tentang perubahan atas UU

No.7/1992 tentang perbankan melarang pemberian kredit tanpa adanya

jaminan. Jaminan yang dimaksud di sini sebagaimana disebutkan dalam Pasal

8 adalah jaminan dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan

debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikannya.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit,

bank harus melaksanakan penilaian yang seksama terhadap watak

(character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral),

dan prospek usaha dari debitur (condition of economy) atau yang lebih
15

dikenal dengan "the five C's of credit analysis". Demikian ditegaskan dalam

penjelasan Pasa18 UU No.10/1998.

2. Penggolongan Jaminan

Dalam KUHPerdata jaminan merupakan bagian dari hukum benda yang

diatur dalam buku II KUHPerdata. Jaminan dapat dibedakan dalam jaminan

umum dan jaminan khusus

2.1. Jaminan umum

Jaminan umum timbul dari undang-undang tanpa terlebih dahulu

diadakan perjanjian antara para pihak. Jaminan ini diatur dalam Pasal-

pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, yang masing-masing berbunyi sebagai

berikut :

Pasal 1131 KUHPerdata

Segala kebendaan siberhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

dikemudian hari, semuanya menjadi tanggungan untuk segala

perikatan perseorangan.

Pasal 1132 KUHPerdata

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang

menghutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu

dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya


16

piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu

ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Para kreditur mempunyai hak yang sama atas jaminan umum, yang

diberikan oleh Pasal 1131 di atas, yaitu atas seluruh harta debitur, tidak ada

penunjukan secara khusus, untuk menjamin pelunasan piutang mereka.

Namun bila ternyata kekayaan debitur tidak cukup untuk menjamin

seluruh hutangnya maka atas hasil penjualan harta debitur tersebut para

kreditur berbagi ponds-ponds yaitu seimbang dengan besar kecilnya piutang

mereka. Dengan kata lain para kreditur mempunyai kesempatan yang sama

untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya. Kreditur demikian disebut

kreditur konkuren.

2.2. Jaminan khusus

Bagi para kreditur yang tidak puas dengan kedudukannya sebagai

kreditur konkuren diberikan kesempatan untuk memperjanjikan suatu hak

jaminan khusus yang dapat memberikan kepadanya suatu kedudukan yang

lebih baik daripada kreditur konkuren, yaitu didahulukan dalam mengambil

pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi harta benda debitur. Kreditur

demikian disebut kreditur preferent.

Kedudukan sebagai kreditur preferent bisa karena

diberikan/diteritukan oleh undang-undang atau bisa pula karena diperjanjikan


17

oleh para pihak lebih dahulu. Dengan memperjanjikan jaminan khusus,

kreditur tidak kehilangan jaminan umumnya.

Adapun jaminan khusus ini dapat berupa jaminan perseorangan dan

jaminan kebendaan.

a. Jaminan perorangan

Jaminan perorangan atau yang dinamakan penanggungan hutang

("borgtocht","guaranty")10), adalah suatu perjanjian dengan mana seorang

pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk

memenuhi perikatannya si berhutang, manakala orang ini sendiri tidak

memenuhinya (Pasal 1820 KUHPerdata).

Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian accessofir yaitu

bahwa eksistensi atau adanya penanggungan itu tergantung dari adanya

perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang pemenuhannya dijamin dengan

perjanjian penanggungan itu. Dalam hal ini keterikatan si penjamin

(borg) tidak bisa lebih besar atau dengan syarat-syarat yang lebih

memberatkan daripada keterikatan si debitur terhadap hutang yang dijamin

(Pasal 1822 KUHPerdata).

Hak istimewa lainnya yaitu dalam hal ada beberapa orang

penanggungan bersama-sama menanggung pembayaran satu hutang, untuk

menuntut diadakannya pemecahan atau pembagian beban tanggungannya.

10)
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.22.
18

Dalam hal beberapa orang itu bersama-sama menanggung pemenuhan

hutang tersebut sepenuhnya, dapat dituntut pembagian sama rata dan dalam

hal kewajiban penanggungan dibatasi sampai suatu jumlah tertentu, dapat

dituntutnya pembagian menurut imbangan jumlah-jumlah pembatasan

tersebut.

b. Jaminan kebendaan

Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya,

tetapi juga dapat diadakan antara kreditur dengan seorang ketiga yang

menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban siberhutang (debitur).11)

Pemberian kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari

kekayaan seseorang, guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang)

seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan sidebitur atau

kekayaan seorang ketiga. Penyendirian secara khusus itu memberikan

kedudukan istimewa kepada kreditur tersebut dari kreditur-kreditur lainnya.12)

Pemberian jaminan kebendaan juga dapat meliputi aneka macam

barang itu karena kekayaan seorang itu wujudnya beraneka ragam : barang

bergerak, barang tetap (tak bergerak) dan barang tak berwujud (piutang).

Dalam praktek perbankan jaminan yang digunakan jaminan khusus

yang bersifat kebendaan adalah gadai dan fiducia sebagai atas jaminan atas

11)
Ibid, h.20.
12)
Ibid, h.17.
19

benda bergerak serta hak tanggungan yang merupakan pengganti hipotik dan

credietverband sebagai jaminan atas benda tak bergerak khususnya tanah.

Jaminan jaminan kebendaan menurut hukum Indonesia, antara lain,

sebagai berikut:

a. Hipotik;

b. Creditverband;

c. Gadai tanah dan pemberian jaminan menurut hukum adat;

d. Gadai (pand) menurut KUHPerdata

e. Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum adat;

f. Fiducia

g. Oogstverband;13)

Uraian singkat jaminan jaminan tersebut diatas, sebagai berikut :

a. Hipotik

Hipotik adalah lembaga jaminan yang diatur dalam KUHPerdata

buku II, bab ke-XXI pasal 1162 s/d pasal 1232.

Hipotik menurut pasal 1162 KUHPerdata adalah suatu hak kebendaan

untuk benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya

bagi pelunasan suatu perikatan.

Sejak UUPA lahir terjadi perubahan baik pada ketentuan hipotik

maupun credietverband. Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I, bahwa

selama Undang-Undang Hak Tanggungan belum terbentuk (pasal 51

13)
Ibid, h.18.
20

Undang-Undang Pokok Agraria) maka berdasarkan pasal 57 Undang-

Undang Pokok Agraria berlaku ketentuan hipotik dan credietverband

kecuali mengenai hal-hal tentang hak tanggungan yang sudah diatur sendiri

oleh Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya.

Yang dapat menjadi pemberi hak tanggungan adalah yang

memenuhi syarat-syarat sebagai hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan. Yang dapat menjadi pemberi hipotik tanah hak milik adalah

Warga Negara Indonesia sedang untuk hak guna usaha dan hak guna

bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Sedangkan penerima hipotik di dalam Undang-Undang Pokok

Agraria dapat siapa saja (perorangan/badan hukum) asal pemberi barang

hipotik itu adalah mereka yang memenuhi syarat sabagai subjek hak milik, hak

guna bangunan, hak guna usaha.

Apabila debitur lalai atau tidak mampu memenuhi kewajibannya

melunasi pinjamannya, maka kreditur pemegang hipotik dapat

mempergunakan kewenangannya, yaitu :

a. Melaksanakan parete eksekusi, setelah mendapat fiat eksekusi dari

Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan jalan melelang tanah hak yang

di hipotikkan, berdasarkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa" yang terdapat dalam akta hipotik.


21

b. Melaksanakan kuasa jual sebagaimana tercantum dalam pasal 1178 ayat

(2) KUHPerdata. Hal ini harus dengan tegas diperjanjikan dalam akta

hipotik, yaitu menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang

menjadi haknya tanpa perantaraan hakim.

c. Melaksanakan eksekusi hipotik di bawah tangan (pasal 17 UURS). 14)

b. Credietverband

Credietverband merupakan suatu jaminan atas tanah berdasarkan

Koninklijk Besluit (KB) tanggal 6 Juli 1908 No.50 (S. 1908 No. 542).

Dalam pasal 1 S. 1908-542 dirumuskan bahwa credietverband

adalah hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak yang memberi

wewenang kepada yang berhak untuk mengambil penggantian dari benda-

benda itu untuk pelunasan piutangnya.

Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, seperti halnya

hipotik, credietverband juga mengalami perubahan khususnya mengenai

proses terjadinya hingga pendaftaran, mengenai hukum materiil tetap

sebagaimana diatur dalam S. 1908 No. 542 yang telah diubah dengan S.

1937 No. 190. Hanya mengenai objek credietverband, terjadi persamaan

dengan hipotik akan tetapi atas hak atas tanah yang sudah ada sebelum

Undang-Undang Pokok Agraria, penggunaan hipotik dan credietverband

sebagai jaminan ditentukan oleh asal mula hak tersebut, untuk hak atas tanah

14)
Arie s. Hutagalung, op. cit, h. 235.
22

yang berasal dari KUHPerdata dipergunakan hipotik dan untuk yang berasal

dari hukum adat dipergunakan credietverband.15)

c. Gadai tanah dan pemberian jaminan tanah menurut hukum adat

Kalau seorang pemilik tanah membutuhkan sejumlah uang tunai untuk

keperluannya, ia dapat menjual tanah itu atau kalau ia masih ingin mengharap

akan menguasai kembali tanah tersebut dikemudian hari, ia dapat

menggadaikan tanah itu kepada orang lain. Artinya, ia menyerahkan

tanah itu kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tunai dengan

perjanjian dikemudian hari ia berhak menebus kembali tanah itu dengan

membayar sejumlah uang tunai yang sama dengan uang yang ia terima

semula.16)

Ciri-ciri terpenting dari gadai adalah hak menebus tidak mungkin

kadaluwarsa, si penerima gadai selalu berhak untuk mengulang gadaikan

tanahnya sebagai imbalan bahwa ia tidak boleh menuntut supaya tanah itu

ditebus dan barang yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi

miliknya si penerima gadai apabila tidak ditebus, meskipun itu

diperjanjikan tetapi selalu diperlukan suatu transaksi lagi (penambahan uang

gadai).17)

15)
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991, Cet. V, h. 27.
16)
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Intermasa, Jakarta, 1986,
Cet. V, h. 57.
17)
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.58.
23

Dalam hukum adat dikenal juga pemberian jaminan tanah untuk

suatu pinjaman uang dimana tanah itu tetap dikuasai oleh pemiliknya, yang

lebih dikenal dengan istilah "boreg" yang mempunyai sifat "accessoir" dan

meletakkan larangan bagi si pemilik untuk menjual barangnya selama

hutangnya belum lunas.18)

d. Pand menurut KUHPerdata

Definisi gadai menurut pasal 1150 adalah :

Suatu hak yang diperoleh atas suatu barang bergerak, yang

diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau untuk seorang

lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si

berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut

secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya.

Gadai bersifat accessoir, objek gadai meliputi barang-barang bergerak

berwujud dan barang-barang bergerak tidak berwujud.

Gadai barulah lahir dengan penyerahan kekuasaan (bezit) atas barang

yang dijadikan tanggungan itu kepada penerima gadai. Penyerahan kekuasaan

ini oleh undang-undang dianggap sebagai syarat mutlak bagi terbitnya suatu

gadai. Demikian ditegaskan dalam pasal 1152 ayat 1 dan 2 KUHPerdata .

Hak-hak dari penerima gadai adalah sebagai berikut :

18)
Ibid, h.60.
24

1. Menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) yaitu wewenang

yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutang

tanpa memiliki titel eksekutorial.

2. Hak untuk mendapatkan ganti rugi berupa pengembalian biaya-biaya

yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai itu.

3. Berhak menggadaikan lagi barang-barang gadai itu.

4. Hak untuk menahan barang yang dijaminkan sampai seluruh hutang

dilunasi.

Sedangkan kewajiban dari penerima gadai adalah :

1. Bertanggung jawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai,

sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya (pasal 159 ayat 1

KUHPerdata).

2. Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual

(pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata).

3. Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai (pasal 1159

ayat 1 KUHPerdata).

e. Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum adat

"Boreg" atau gadai menurut hukum adat merupakan bentuk

pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum adat. Boreg ditujukan

kepada pemberian jaminan dimana barang jaminannya tetap dikuasai oleh si

peminjam uang, sedangkan gadai atau yang dinamakan (cekelan) ditujukan


25

kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan si

pemberi kredit.

f. Fiducia

Menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 pasal 1 ayat (1)

dinyatakan bahwa fiducia adalah

Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya diadakan

tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.

Ini berarti bahwa atas jaminan benda bergerak dalam ketentuan

gadai harus dikuasai oleh kreditur, maka dalam fiducia barang jaminan

tersebut tetap berada ditangan debitur, hanya kepemilikannya secara hukum

sudah berpindah kepada kreditur, sampai dengan dilunasinya kewajiban

debitur tersebut.

g. Oogstverband

Berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 24 Januari 1886 (staatsblad

1886 Nomor 57) oogstverband adalah suatu jaminan untuk pinjaman uang

yang diberikan atas panenan yang akan diperoleh dari suatu perkebunan

(teh, kopi, dsb) dan dapat dituntut atas panenan tersebut, meskipun

perkebunannya telah beralih kepada pihak ketiga. Atas suatu panenan hanya

dapat berlaku satu oogstverband, kalau ada beberapa maka yang berlaku
26

hanya yang pertama diletakkan sedangkan yang kemudian dapat berlaku

apabila yang pertama telah hapus.

Pembebanan oogstverband dilakukan dengan suatu akta yang dibuat

dihadapan hakim komisaris pengadilan dengan dihadiri panitera pengadilan

dalam wilayah dimana benda terletak. Akta oogstverband harus memuat

perincian kapan dibuatnya, identitas para pihak dan penunjukan benda

jaminan. Kepada pemegang oogstverband dapat diberi grosse akta (pasal 10 s.

1886-56).

B. Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan

1. Pengertian Hak Tanggungan

Pengertian hak tanggungan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1

ayat 1 Undang-undang Hak Tanggungan adalah:

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak

atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut

atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap

kreditor-kreditor lain.
27

Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di

dalam definisi tersebut adalah;

1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.

2. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang sesuai Undang-

Undang Pokok Agraria.

3. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah)

saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

4. Utang yang dijamin harus suatu utang yang tertentu.

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur-kreditur lain.

2. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan

Hak tanggungan sebagai lembaga merupakan hak jaminan atas

tanah yang kuat sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum angka 3

dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya;

b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu

berada;

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak

ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

berkepentingan;
28

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Disamping itu, hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-

bagi yang berarti bahwa hak tanggungan membebani secara utuh objeknya

dan setiap bagian dari padanya. Pelunasan sebagian hutang yang dijamin,

tidak membebaskan sebagian objek hak tanggungan dari beban hak

tanggungan, melainkan hak tanggungan membebani seluruh objeknya untuk

sisa hutang yang belum dilunasi.

Sifat tersebut dapat disampingi dalam hal hak tanggungan tersebut

dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa

bagian yang masing-masing merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri

dan dapat dinilai secara tersendiri dan pelunasan hutang memang dilakukan

dengan cara angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang

merupakan bagian dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan

tersebut. Dengan demikian hak tanggungan akan membebani sisa objek hak

tanggungan untuk sisa hutang yang belum dilunasi. Untuk berlakunya hal

tersebut maka harus diperjanjikan secara tegas dalam APHT. Demikian yang

disebutkan dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan.

Sifat lain dari pada hak tanggungan adalah accessoir daripada

perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang, yang berarti keberadaan,

berakhirnya maupun hapusnya hak tanggungan tergantung pada hutang

piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan tersebut.


29

3. Objek Hak Tanggungan

Untuk dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak

jaminan atas tanah, benda yang bersangkutan harus memenuhi beberapa

syarat, yaitu:

1. Dapat dinilai dengan uang.

2. Mempunyai sifat untuk dipindah tangankan

3. Termasuk hak yang didaftar

4. Ditunjuk khusus oleh suatu Undang-Undang.19)

Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 51 menyebutkan

bahwa objek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak

guna usaha. Dengan lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang

dapat dibebani hak tanggungan diperluas bukan hanya tersebut diatas

tetapi juga meliputi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 dan penjelasan

Undang-Undang Hak Tanggungan :

a. Hak pakai atas tanah Negara ;

b. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman hasil karya yang ada dan

dikemudian hari akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

tersebut yang ada dalam kepemilikan yang sama;

19)
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Dan
Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Cet. 8, Jakarta, Djambatan, 1999, h.
408.
30

c. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman hasil karya yang ada dan

dikemudian hari akan ada, yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

tersebut yang berada dalam kepemilikan yang berbeda.

Yang dimaksud hak pakai atas tanah negara adalah hak pakai yang

diberikan oleh negara kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum

dengan waktu yang terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha. Tidak

termasuk sebagai objek hak tanggungan, hak pakai yang diberikan kepada

instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan keagaman dan sosial serta

perwakilan negara asing, yang peruntukannya tertentu dan walupun didaftar,

menurut syaratnya tidak dapat dipindahtangankan. Dengan ditunjuknya hak

pakai ini menjadi objek hak tanggungan oleh Undang-Undang Hak

Tanggungan, lembaga fiducia tidak diperlukan lagi sebagai lembaga hak

jaminannya.

Tanah bekas hak milik adat yang belum bersertifikat dapat pula

ditunjuk sebagai objek hak tanggungan sebagaimana ditegaskan dalam pasal

10 ayat 3 Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan syarat bahwa hak

milik yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk didaftarkan sedang

pemberian hak tanggungan tersebut dilakukan bersamaan dengan

permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Dalam pasal 4 ayat 4 Undang-Undang Hak Tanggungan dikukuhkan

penerapan asas pemisahan horizontal dalam praktek menjadi kaidah hukum.


31

Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut

bangunan, tanaman, dan asil karya yang telah ada atau akan ada yang

merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya

dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan

yang bersangkutan.

Berlakunya penerapan asas pemisahan horizontal diperluas

sebagaimana ditentukan dalam pasal 4 ayat 5 Undang-Undang Hak

Tanggungan, karena dimungkinkan bahwa benda-benda yang berkaitan

dengan tanah milik pihak lain yang mempunyai hubungan kepentingan

atau hubungan ekonomis dengan pemegang hak atas tanahnya, dengan

ketentuan pembebanan tersebut hanya dapat dilakukan penandatanganan serta

pada akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya

atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.

4. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan

Pemberi hak tanggungan

Menurut pasal 8 Undang-Undang Hak Tanggungan ditentukan bahwa

pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang

mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

objek hak tanggungan yang bersangkutan. Umumnya pemberi hak

tanggungan dilakukan oleh debitur sendiri tetapi dapat juga dilakukan oleh

pihak lain, jika benda yang dijadikan jaminan bukan milik debitur, dalam
32

hal ini ada pihak ketiga yang menjamin hutang orang lain (debitur) dengan

persil miliknya. Bisa juga debitur dan pihak lain, jika yang dijadikan

jaminan lebih dari satu, masing-masing kepunyaan debitur dan pihak lain.

Dalam hal ini yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai

pemegang hak atas tanah, oleh karena itu harus berstatus :

- Untuk hak milik yaitu warga negara Republik Indonesia

- Untuk hak guna usaha dan hak guna bangunan adalah warga

negara republik Indonesia dan badan hukum Indonesia yang

berkedudukan di Indonesia.

- Untuk hak pakai sama halnya dengan hak guna usaha dan hak

guna bangunan, namun warga negara asing yang berdomisili dan

menjadi penduduk Indonesia juga badan hukum asing yang

mempunyai kantor perwakilan di Indonesia dapat pula menjadi

pemegang hak pakai.

Dalam pasal 8 ayat 2 beserta penjelasannya, ditentukan bahwa

kewenangan pemberi hak tanggungan itu harus ada dan terbukti benar pada

saat pendaftaran hak tanggungan, yaitu pada tanggal dibuatnya buku

tanah hak tanggungan yang bersangkutan, tetapi sebenarnya kewenangan

itu harus juga sudah pada waktu diberikannya hak tanggungan dengan

dibuatnya APHT oleh PPAT, biarpun tidak selalu wajib dibuktikan

dengan sertifikat hak atas tanah yamg dijadikan jaminan kalau tanah yang

bersangkutan memang belum terdaftar. Bila demikian kewenangan pemberi


33

hak tanggungan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti lainnya misalnya surat

keterangan waris atau akta pemindahan hak.20

Pemegang hak tanggungan

Tidak ada persyaratan khusus bagi penerima atau pemegang hak

tanggungan. Ia bisa orang perseorangan, bisa badan hukum, bisa orang

asing, bisa juga badan hukum asing, baik yang berkedudukan di Indonesia

maupun di luar negeri sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan

untuk kepentingan pembangunan diwilayah negara RI. Demikian ditegaskan

dalam pasal 9 dan penjelasan pasal 10 ayat 1.

5. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan hak tanggungan merupakan suatu proses yang terdiri atas

dua tahap, yaitu tahap pemberian hak tangggungan dan pendaftarannya.

5.1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Tahap ini didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan

sebagai jaminan pelunasan hutang. Janji tersebut wajib dituangkan di dalam

dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang

yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang

tersebut. Demikian disebutkan dalam pasal 10 ayat 1.

Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT ini dibuat oleh dan dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang dan ditunjuk untuk

20
Ibid, h. 414.
34

membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta pembuatan hukum

lainnya mengenai hak atas tanah yang terletak di dalam daerah kerjanya.

Bentuk dan isi APHT tersebut telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN No.3/1996. Formulirnya disediakan oleh

Badan Pertanahan Nasional (BPN).21)

Dalam rangka memenuhi syarat spesialitas sebagaimana disebut dalam

pasal 11 ayat 1 di dalam APHT wajib dicantumkan:

a. Nama dan identitas pemberi dan penerima hak tanggungan;

b. Domisili pihak-pihak tersebut;

c. Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin, yang

meliputi juga nama dan identitas debitor, kalau pemberi hak tanggungan

bukan debitor;

d. Nilai tanggungan;

e. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan.

Bila point (a-e) di atas tidak dicantumkan secara lengkap, APHT

yang bersangkutan batal demi hukum karena hal tersebut merupakan syarat

sahnya pemberian hak tanggungan.

Disamping isi yang bersifat wajib, dalam APHT dapat pula memuat

isi yang tidak wajib/fakultatif, yaitu berupa janji-janji sebagaimana

tercantum dalam pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan, antara

lain :

21)
Ibid, h. 418.
35

a. Janji yang membatasi kewenagan pemberi hak tanggungan untuk

menyewakan objek hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah

jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali

dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan;

b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk

mengubah bentuk atau tata susunan objek, kecuali dengan persetujuan

tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan;

c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan

untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua

pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak

tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji;

d. Janji untuk memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan

untuk menyelamatkan hak tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk

pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau

dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak

dipenuhinya atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

e. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk

menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur

cidera janji;

f. Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa

objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan;


36

g. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya

objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari

pemegang hak tanggungan;

h. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau

sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan atas

pelunasan piutangnya apabila objek hak tanggungan dilepaskan haknya

oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan

umum;

i. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau

sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk

pelunasan piutangnya, jika objek hak tanggungan diasuransikan;

j. Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak

tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan;

k. Janji bahwa sertifikat hak tanggungan yang telah dibubuhi catatan

pembebanan hak tanggungan diserahkan kepada kreditur.

Namun janji yang memberi wewenang kepada pemegang hak

tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan secara serta merta,

apabila debitur cidera janji, dan janji pelaksanaan eksekusi hak tanggungan

diluar ketentuan Pasal 20 ayat 1, 2 dan ayat 3 batal demi hukum.

Setelah APHT selesai ditandatangani, selambat-lambatnya dalam

waktu 7 (tujuh) hari kerja, PPAT wajib mengirimkan APHT tersebut ke

kantor pertanahan beserta warkah-warkah lainnya yang diperlukan untuk


37

pendaftarannya. Cara pengiriman oleh PPAT dapat disampaikan secara

langsung oleh petugas PPAT atau dapat dikirim melalui pos tercatat atau

dimungkinkan pula disampaikan sendiri oleh pemegang hak tanggungan.

Pada asasnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri

oleh pemberi hak tanggungan. Apabila pemberi hak tanggungan benar-benar

berhalangan hadir, dalam hal ini ia wajib menunjuk pihak lain sebagai

kuasanya, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

yang berbentuk akta otentik. SKMHT harus diberikan langsung oleh

pemberi hak tanggungan dan isinya harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada

membebankan hak tanggungan

b. Tidak memuat kuasa subtitusi

c. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah hutang dan

nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila

debitur bukan pemberi hak tanggungan.

Tidak terpenuhinya syarat tersebut diatas, SKMHT yang bersangkutan

batal demi hukum. SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat

berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah

dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Mengenai Batas

waktu penggunaan SKMHT ditentukan dalam pasal 15 ayat 3 dan 4, yaitu

untuk tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT

selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dibuatnya SKMHT dan bagi tanah


38

yang belum terdaftar atau sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi

hak tanggungan wajib dibuat APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak

dibuatnya SKMHT.

Untuk proyek-proyek tertentu, yaitu jenis-jenis kredit usaha kecil,

sebagaimana dimaksud dalam surat keputusan direksi bank Indonesia tanggal

29 Mei 1993 nomor 26/24/KEP/Dir ditetapkan Batas jangka waktu lain

dengan peraturan menteri negara agraria/kepala BPN nomor 4 tahun 1996.

Jika tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan,

SKMHT yang bersangkutan batal demi hukum.

5.2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan

Hak tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal dibuatnya Buku

Tanah Hak Tanggungan. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah hari

ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi

pendaftarannya dan jika hari ketujuh tersebut jatuh pada hari libur, buku tanah

yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.

Selain dibuat buku tanah hak tanggungan, juga secara serta merta

dicatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan

serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang

bersangkutan. Kepastian mengenai saat didaftarkannya hak tanggungan

tersebut adalah sangat penting terutama bagi kreditur dalam rangka

memperoleh kepastian mengenai kedudukan yang diutamakan baginya

disamping untuk memenuhi syarat publisitas. Dengan demikian


39

pendaftaran hak tanggungan tersebut merupakan syarat mutlak untuk

adanya hak tanggungan. Tata cara pembuatan buku tanah dan sertifikat

hak tanggungan di atas, diatur dalam SE. Menteri Agraria/Kepala BPN nomor

630.11826, tangga126 Juni 1996.

Selanjutnya kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan

sebagai bukti adanya hak tanggungan, dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah

dibuatnya buku tanah hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan ini

memuat irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA". Sertifikat hak tanggungan sesuai dengan ketentuan

pasal 14 ayat 3 UUHT terdiri atas salinan buku tanah hak tanggungan dan

salinan APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) yang bersangkutan,

yang ditanda tangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya

setempat dijilid menjadi satu dalam sampul sertifikat Hak Tanggungan.

Sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak

tanggungan, sedangkan sertifikat hak atas tanah/hak milik atas satuan rumah

susun yang telah dibubuhi catatan adanya beban hak tanggungan di atas

dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah, kecuali bila diperjanjikan

lain.

6. Peralihan Hak Tanggungan

Dalam pasal 16 dimungkinkan terjadinya peralihan hak

tanggungan, yang dapat terjadi karena cessie, subrogasi, atau sebab-sebab

lain. Yang dimaksud sebab-sebab lain, misalnya dalam hal pengambil


40

alihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya

piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan yang baru dan karena

pewarisan.

Dalam hal piutang bersangkutan beralih kepada kreditur lain, hak

tanggungan yang menjaminnya karena hukum beralih pula kepada kreditur

tersebut. Pencatatan peralihan hak tanggungan tersebut tidak memerlukan

akta PPAT, tetapi cukup didasarkan pada akta yang membuktikan

beralihnya piutang yang dijamin kreditur yang baru. Kreditur yang baru

berkewajiban untuk mendaftarkan peralihan tersebut kepada kantor

pertanahan. Pencatatan peralihan hak tanggungan dilakukan pada buku tanah

dan sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan, serta pada buku tanah dan

sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan. Tanggal pencatatan pada

buku tanah adalah tanggal hari ke-7 setelah diterimanya secara lengkap

surat-surat yang diperlukan bagi pendftaran beralihnya hak tanggungan.

Beralihnya hak tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari

tanggal pencatatan pada buku tanah tersebut.

7. Piutang Yang Dijamin

Piutang yang dijamin dapat berupa hutang yang sudah ada pada

waktu dibebankan hak tanggungan yang bersangkutan dan dapat pula piutang

belum ada akan tetapi sudah diperjanjikan, misalnya hutang yang timbul

dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur

dalam rangka pelaksanaan bank garansi. Bagi sahnya hak tanggungan yang
41

dibebankan, saat yang menentukan bahwa benar ada hutang yang dijamin

adalah saat diajukannya permohonan eksekusi, yaitu apabila debitur cidera

janji. Pada saat itu adanya dan berapa jumlah hutang debitur harus dengan

mudah dapat dipastikan sebagai syarat untuk dapat dilakukan eksekusi

menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).22)

Piutang yang dijamin pelunasannya itu dapat disebut secara pasti

jumlahnya di dalam APHT yang bersangkutan. Tetapi dapat pula

jumlahnya yang pasti baru dapat diketahui kemudian, yaitu Setelah diadakan

perhitungan berdasarkan ketentuan di dalam akta perjanjian hutang piutang

yang bersangkutan atau berdasarkan perjanjian lain yang menimbulkan

hubungan hutang piutang, misalnya: perjanjian pengelolaan harta orang

yang belum dewasa atau yang berada dibawah pengampuan, yang wajib

disertai pemberian hak tanggungan oleh pihak pengelola (yang ditetapkan

sebagai wali atau pengampu) atau perjanjian keagenan sebagai distributor

barang-barang yang dihasilkan kreditor.

Dalam hal belum diketahui secara pasti jumlah piutangnya wajib

dicantumkan secara tegas dalam APHTnya suatu jumlah uang tertentu,

yang disebut nilai tanggungan. Nilai tanggungan hakikatnya merupakan

kesepakatan sampai sejumlah berapa pagu atau batas jumlah piutang yang

dijamin dengan hak tanggungan itu. Piutang yang sebenarnya bisa kurang bisa

pula kebih besar dari nilai tanggungan yang disepakati, maka yang dijamin

22)
Ibid, h. 406.
42

secara khusus dengan hak tanggungan terbatas sampai sebesar nilai

tanggungan yang dicantumkan dalam APHT. Pelunasan piutang yang

selebihnya diperoleh menurut ketentuan jaminan umum.23)

Hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat

berasal dari satu hubungan hukum, yaitu suatu perjanjian hutang piutang

tertentu, dapat pula berasal dari beberapa hubungan hukum. Seringkali terjadi

debitur berhutang kepada lebih dari satu kreditur yang masing-masing

didasarkan pada perjanjian hutang piutang yang berlainan, misalnya

kreditur adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan.

Piutang para kreditur dijamin dengan satu hak tanggungan yang dibebankan

atas tanah yang sama. Bank-bank yang berkaitan dalam pinjaman sindikasi,

hubungan kreditur satu dengan yang lain diatur sendiri oleh mereka dan

menunjuk salah satu kreditur yang akan bertindak atas nama mereka,

misalnya siapa yang akan menghadap PPAT dalam pemberian hak

tanggungan dan siapa yang akan menerima dan menyimpan sertifikat hak

tanggungan yang bersangkutan. Demikian disebutkan dalam penjelasan pasal

3 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan.

8. Eksekusi Hak Tanggungan

Apabila debitur cidera janji, maka pemegang hak tanggungan pertama

mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri

23)
Ibid, h, 407
43

melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil

penjualan tersebut (pasa1 20 ayat 1 a).

Disamping itu dapat pula ditempuh, bila debitur cidera janji melalui

kekuatan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan

(pasal 20 ayat l b). Irah-irah yang tercantum dalam sertifikat hak

tanggungan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Hal mana dijalankan

melalui tata cara yang sesuai dengan aturan hukum perdata yang terdapat

dalam pasal 224 HIR dan 258 RBG. Demikian diatur dalam pasa1 26

Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) beserta penjelasannya jo pasal

14.

Pada prinsipnya setiap eksekusi dilaksanakan melalui pelelangan

umum namun bila diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi

maka dimungkinkan oleh pasal 20 ayat 2 beserta penjelasannya untuk

menjual objek hak tanggungan dibawah tangan asalkan atas kesepakatan

pemberi dan pemegang hak tanggungan, dengan memenuhi syarat

sebagaimana tertuang dalam pasal 20 ayat 3, yaitu:

1. Dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara

tertulis oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak

yang berkepentingan;
44

2. Diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar

di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta

tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.


45

9. Hapusnya Hak Tanggungan

Hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak tanggungan (pasal 18

Undang-Undang Hak Tanggungan), sebagai berikut:

a. Hapusnya hutang yang dijamin hak tanggungan;

b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;

c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan perikat oleh Ketua

Pengadilan Negeri;

d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak

tanggungan tergantung dari adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan

sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.

Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya

dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak

tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak

tanggungan.

Hapusnya hak tanggungan sebagaimana disebut dalam huruf c di

atas, terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak

tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan

dari beban hak tanggungan. Pembeli objek hak tanggungan, baik dalam

suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun

dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang hak tanggungan
46

agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban yang

melebihi harga pembelian. Atas dasar pernyataan pemegang hak

tanggungan yang berisi dilepaskannya hak tanggungan yang bersangkutan.

Apabila objek hak tanggungan dibebani lebih dari satu hak tanggungan dan

tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang hak tanggungan tersebut

mengenai pembersihan dari beban yang melebihi harga pembeliannya,

pembeli objek hak tanggungan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua

Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu,

sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang

diantara pihak yang berpiutang dan peringkat mereka masingmasing menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permohonan tersebut tidak

dapat diajukan oleh pembeli objek hak tanggungan, apabila pembelian

itu dilakukan dengan jual beli sukarela (bukan dari pelelangan eksekusi)

dan dalam APHT yang bersangkutan para pihak telah secara tegas
-

mencantumkan janji yang disebut dalam pasal 11 ayat 2 huruf f, bahwa

objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan (pasal 19 ayat 1, 2, 3 dan 4).

Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang

dibebani tidak menyebabkan hapusnya piutang yang dijamin. Piutang

kreditur masih tetap ada, tetapi bukan lagi piutang yang dijamin secara

khusus berdasarkan kedudukan istimewa kreditur. Dalam hal hak atas tanah

yang dibebani berakhir jangka waktunya dan kemudian diperpanjang, Hak

tanggungan yang bersangkutan tidak menjadi hapus karena hak atas tanah
47

yang dibebani tetap berlangsung selama jangka waktu perpanjangan.

Beda halnya jika hak atas tanah yang bersangkutan diperbaharui karena

hak atas tanah yang semula memang hapus. Bila objeknya semula tetap

akan dijadikan jaminan harus dilakukan pembebanan hak tanggungan baru.

10. Roya Hak Tanggungan dan Roya Partial

Roya Hak Tanggungan

Setelah hak tanggungan hapus sebagaimana tersebut diatas,

sebagaimana diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Hak Tanggungan,

Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku

tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Selanjutnya, sertifikat hak

tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah hak

tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.

Permohonan pencoretan tersebut diajukan oleh pihak yang berkepentingan

dengan melampirkan sertifikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh

kreditur atau berupa pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan

hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan

itu sudah lunas, atau karena krediturnya melepaskan hak tanggungan yang

bersangkutan.

Roya Partial

Walaupun hak tanggungan mempunyai sifat tidak dibagi-bagi, namun

dimungkin para pihak memperjanjikan "roya parsial", yaitu apabila hak

tanggungan dibebani beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam


48

akta pemberian hak tanggungan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin

dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai

masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek hak

tanggungan, yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut sehingga

kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa objek hak tanggungan

untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Demikian disebutkan

dalam pasal 2 Undang-Undang Hak Tanggungan.

Hal ini dimaksudkan untuk menampung kebutuhan perkembangan

dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan

pembangunan komplek perumahan yang semula menggunakan kredit untuk

pembangunan seluruh komplek dan kemudian akan dijual kepada pemakai

satu persatu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini juga

menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan.24)

24)
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-ketentuan Pokok Dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan), Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cet. 1, 1999, h. 23.
BAB III

PENGATURAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN


BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996
TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA
BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), eksekusi hak

tanggungan diatur dalam pasa 120 sampai dengan pasal 21 undang-undang nomor 4

tahun 1996.

Pasa120 berbunyi:

(1) Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2),

Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara

yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan

piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada

kreditor-kreditor lainnya.

(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, Penjualan obyek Hak

Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan semua pihak.

48
49

(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat

dilakukan setelah lewat 1(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh

pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang

beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta

tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang

bertentangan dengan ketentuan pada ayat satu (1), ayat (2), dan ayat (3) batal

demi hukum.

(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualam yang

dimaksud pada ayat satu (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang

dijamin dengan Hak Tanggungna itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah

dikeluarkan.

Menurut pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan diatas memuat 3 (tiga)

pelaksanaan eksekusi yang apat digunakan kreditur untuk memperoleh pelunasan

piutangnya, yaitu:

A. Parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT.

B. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak

tanggungan.

C. Menjual objek hak tanggungan di bawah tangan.

Uraian mengenai pelaksanaan eksekusi diatas adalah sebagai berikut:


50

A. Parate Eksekusi

Parate eksekusi adalah merupakan suatu upaya untuk melakukan sendiri

eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan.

Parate eksekusi diatur dalam pasal 6, yang intinya memberikan

kewenangan kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek

hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil pejualan tersebut, apabila debitor

cidera janji. Pemegang hak tanggungan pertama tidak perlu meminta

persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak tanggungan dan tidak perlu

meminta penetapan Ketua Pangadilan Negeri setempat untuk melakukan

eksekusi tersebut. Cukuplah apabila pemegang hak tanggungan pertama itu

mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk

pelaksanan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek hak tanggungan

tersebut. Karena kewenangan pemegang hak tanggungan pertama itu

merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (kewenangan

tersebut dipunyai demi hukum), Kepala Kantor Lelang Negara harus

menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.25)

Dengan demikian lembaga parate eksekusi ini memudahkan kreditur atau

lembaga perbankan dalam mengeksekuai objek hak tanggungan guna mengatasi

kredit macet tanpa melalui prosedur beracara di pengadilan yang rumit dan

25)
Ibid, h. 164
51

tidak pasti. Dengan kata lain lembaga ini memberikan cara yang mudah dan

sederhana bagi debitur alam rangka memperoleh pengembalian piutangnya.

Sebelumnya ketentuan mengenai parate eksekusi dapat pula dijumpai

dalam KUHPerdata Bab XXI tentang hipotik, yaitu pasal 1178 ayat (2), yang

menyatakan :

Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk,

pada waktu yang diberikannya hipotik, dengan tegas meminta

diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau

jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan

menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil

pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan

penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaimana

diatur dalam pasal 1211.

Meskipun kedua-keduanya baik pasal 6 Undang-Undang Hak

Tanggungan maupun pasal 1178 KUHPerdata ayat (2) berbicara tentang menjual

persil jaminan di muka umum, untuk dari hasil penjualan diambil sebagai

pelunasan hutang, tetapi ada perbedaan diantara keduanya, bahwa pasal 6

Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) berkata tentang "menjual atas

kekuasaan sendiri", yang berarti hak untuk menjual objek hak tanggungan di

depan umum dalam hal debitur cidera janji, sudah diberikan oleh undang-

undang sendiri kepada kreditur pemegang hak tanggungan yang pertama atau
52

dengan kata lain hak tersebut diberikan secara demi hukum. Sedangkan dalam

pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata berkata tentang "dikuasakan untuk dijual",

yang berarti kewenangan tersebut baru ada dan mengikat apabila diperjanjikan

terlebih dahulu oleh kreditur dan debitur atau pemberi jaminan. Dengan demikian

kewenangan kreditur pemegang hak tanggungan yang pertama, dalam hal debitur

wanprestasi untuk menjual persil jaminan di muka umum, sekarang tidak

diperoleh dari pemberi hak tanggungan, tetapi sudah dengan sendirinya ada

padanya, atas dasar undang-undang sendiri memberikan kepadanya.26)

Namun ketentuan parate eksekusi secara demi hukum yang diatur dalam

pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) ini ternyata terdapat juga

didalam pasal 11 ayat (2e) dan dalam blanko formulir akta pemberian hak

tanggungan malah diperjanjikan kuasa lagi dari pemberi hak tanggungan, untuk

melaksanakan hak-hak seperti itu.27) Hal ini akan menimbulkan kebingungan

karena sebenarnya parate eksekusi ini perlu diperjanjikan atau tidak. Menurut

Prof. Sudargo Gautama pemuatan ketentuan tersebut dakam pasal 11 ayat (2e)

berlebihan karena sebenarnya tidak perlu lagi dibuat janji apabila Undang-

Undang Hak Tanggungan (UUHT) pada pasal 6 telah mengatur parate eksekusi

secara demi hukum.28)

26)
J Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, cet. II, h. 220.
27)
Ibid, h. 220.
28)
Sudargo Gautama, Komentar Atas UUHT Yang Baru Tahun 1996 No. 4, Internusa, Jakarta,
cet. IV, h. 16.
53

Hal lain yang membingungkan adalah apa yang termuat dalam penjelasan

umum angka 9, yang menyebutkan:

... dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang

eksekusi Hak Tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang

mengatur parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224

Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch

Reglement) dan pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah

Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in

de Gewesten Buiten Java en Madura).

Berdasarkan ketentuan pasal 224 HIR dan 258 RBG adalah yang berkaitan

dengan eksekusi grosse akte hipotik dan grosse akte pengakuan hutang yang

harus terlebih dahulu melalui fiat eksekusi atau dengan kata lain melalui proses

pengadilan terlebih dahulu baru dapat dieksekusi, karena penetapan adanya hak-

hak di dalam suatu akta yang demikian, yang telah dibuat dalam bentuk

tertentu di hadapan seorang pejabat umum yang oleh undang-undang

dinyatakan berwenang untuk itu, memberikan cukup jaminan yang dapat

dipercaya untuk disejajarkan dengan suatu keputusan hakim.

Pelaksanaa parate eksekusi yang langsung oleh kantor lelang dapat

pula dilakukan dalam hal eksekusi "pernyataan bersama" PUPN yang

dilakukan oleh BUPLN asalkan pernyataan bersama itu mempunyai irah-irah

"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dalam hal ini
54

eksekusi dapat dilakukan langsung tanpa campur tangan pengadilan negeri

karena pernyataan bersama tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yakni

dianggap berkekuatan sama dengan suatu keputusan pengadilan yang sudah

berkekuatan tetap.29)

Hal tersebut diatas khusus diperuntukkan bagi bank pemerintah karena

utang kepada bank tersebut dianggap sebagai utang kepada negara, maka tersedia

penyelesaiannya (kredit macet) melalui PUPN/BUPLN (yang dibentuk lewat

Undang-Undang Nomor 49/Prp/ 1960 dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor

21/1991). karena PUPN dimaksudkan sebagai pengganti pengadilan biasa, maka

pengurusan piutang negara termasuk kredit macet di bank pemerintah, cukup

dilaksanakan oleh PUPN/BUPLN, bukan oleh pengadilan biasa.30)

B. Berdasarkan Titel Eksekutorial yang Terdapat dalam Sertipikat Hak

Tanggungan

Sertipikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan dan

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse

akte hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah.

Pada pasal 26 Undang-undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa

selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan

29)
Munir Fuady, Op. Cit., h. 61.
30)
Ibid, h. 61.
55

memperhatikan ketentuan pasal 14 peraturan mengenai eksekusi hipotik yang

ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak

tanggungan. Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik yang

ada dalam pasal tersebut adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 224 HIR dan

pasal 258 RBG.

Bunyi pasa1224 HIR adalah sebagai berikut:

Grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat dihadapan notaris di

Indonesia dan yang kepalanya berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan

Ke-Tuhanan yang Maha Esa berkekuatan sama dengan keputusan

hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat demikian dijalankan

dengan perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri, yang

dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal debitur itu

atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang

dinyatakan pada pasal-pasal yang lalu dalam bagian ini, tetapi

dengan pengertian, bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika

sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika keputusan hakim itu harus

dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum

pengadilan negeri yang memerintahkan pelaksanaan keputusan itu,

maka haruslah dituruti peraturan pasal 195 ayat (2) dan seterusnya.31)

31)
Wahab Daud, H.LR. Hukum Acara Perdata, Pusbakum, Jakarta, 1999, cet. Kedua, h. 64.
56

Didalam pasal 224 HIR mengatur dua bentuk grosse akta yang terdiri

dari grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang yang masing-masing

berdiri sendiri dan tidak boleh dicampur aduk atau saling bertindih dalam satu

objek hutang yang sama. Yang diperkenankan hukum ialah memilih salah satu dari

bentuk tersebut. Kalau sudah jatuh pilihan kepada bentuk grosse akta pengakuan

hutang, perjanjian kredit yang bersangkutan tidak boleh lagi ditimpali dengan

bentuk perjanjiari hipotik atau sebaliknya kalau bentuknya telah mereka pilih

hipotik, tidak dibolehkan menimpalinya dengan grosse akta pengakuan hutang.

Akibat hukumnya kalau terjadi pencampuradukan antara kedua bentuk grosse

akta tersebut adalah grosse akta yang demikian dianggap mengandung cacat

yuridis, alasannya pencampuradukan tersebut dengan sendirinya telah

melenyapkan kepastian bentuk grosse akta.32)

Berdasarkan ketentuan pasal 224 HIR dan pasal 258 RBG di atas, grosse

akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang (yang bertitel "Demi Keadilan Ke-

Tuhanan Yang Maha Esa") mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama

dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Dalam prakteknya saat ini, seperti yang telah dikemukan dalam Bab I

bahwa terdapat perbedaan pandangan mengenai pencantuman titel eksekutorial

(irah-irah) antara badan yudikatif, mahkamah agung, pengadilan tinggi dan

pengadilan negeri dengan badan pertanahan negara. Badan yudikatif

32)
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1993, cet. Keempat, h. 199-210.
57

memandang bahwa titel eksekutorial harus dicantumkan pada akta hipotiknya

sesuai dengan ketentuan pasal 224 HIR dan 258 RBG, sedangkan menurut badan

pertanahan negara pencantuman titel eksekutorial adalah pada sertipikat

hipotik yang berlaku menurut ketentuan perundang-undangan sekarang ini.

Oleh karena perbedaan pandangan tersebut dalam prakteknya eksekusi dengan

cara ini sering menimbulkan kesulitan bagi kreditur untuk mengambil

pelunasan piutangnya apabila debitur cidera janji.

Grosse akta hipotik memang merupakan syarat penggunaan ketentuan

eksekusi hipotik. Menurut overschrijvings, yang pendaftarannya menggunakan

sistem pendaftaran akta, surat tanda bukti adanya hak-hak tersebut adalah grosse

akta. Tetapi sejak pendaftaran tanah diselenggarakan menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 10/1961 yang menggunakan sistem pendaftaran hak, surat

tanda bukti adanya hak-hak atas tanah dan hak tanggungan, baik yang

menggunakan ketentuan hipotik maupun credietverband, bukan lagi grosse

akta, melainkan sertipikat.

Ketentuan pasal 14 Undang-undang Hak Tangggungan yang harus

diperhatikan adalah bahwa grosse akta hipotik berfungsi sebagai surat tanda bukti

adanya hipotik, dalam hal hak tanggungan sertipikat hak tanggungan,

demikian ditegaskan dalam penjelasan pasal 26 Undang-undang Hak

Tanggungan. Sertipikat hak tanggungan sebagai tanda bukti adanya hak

tanggungan memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang

Maha Esa" mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan


58

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai

pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Dengan

demikian adanya ketentuan ini diharapkan dapat mengakhiri keragu-raguan

yang selama ini terjadi akibat adanya perbedaan pandangan/penafsiran dimana

titel eksekutorial harus ditempatkan.

Sertipikat hak tanggungan yang memakai irah-irah "Demi Keadilan

Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa" itu karena disamakan dengan

putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, mempunyai

kedudukan istimewa dalam hal penagihan piutangnya. Bagi pemegang sertipikat

hak tanggungan yang demikian tidak usah bersusah payah dalam menjalankan

perkara perdata bila dibandingkan dengan kreditur bukan pemegang hak

tanggungan tersebut karena dengan berdasarkan pada pasal 224 HIR, yaitu

dengan cara mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri dimana

objek hak tanggungan terletak atau menurut tempat kedudukan yang dipilih

dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), agar terhadap debitur

tersebut ditegur lebih dahulu dengan patut untuk memenuhi kewajiban hukumnya

seperti apa yang tercantum dalam sertipikat hak tanggungan. Dan apabila

setelah ditegur dengan patut oleh pengadilan negeri ternyata debitur masih

juga melalaikannya, maka terhadap objek hak tanggungan yang menjadi

jaminan pelunasan utangnya diletakan sita eksekutorial sehingga terhadap objek

tersebut tidak dapat dibebani, diasingkan atau dipindahkan kepada orang lain,

selanjutnya bila debitur masih tetap tidak mau melunasi utangnya, terhadap objek
59

tersebut kemudian eksekusi dengan melalui kantor lelang negara, dimana hasil

lelang tersebut akan diberikan kepada kreditur sebagai pelunasan piutangnya,

apabila masih ada kelebihan, kelebihan tersebut menjadi hak debitur.33)

Dengan demikian eksekusi ini dilaksanakan oleh kantor lelang setelah ada

persetujuan dari ketua pengadilan negeri berupa penetapan ketua pengadilan

negeri setempat. Penetapan ini bukanlah keputusan yang diputus lewat

gugatan biasa. Kreditur tidak perlu lagi melakukan proses gugatan di pengadilan

yang memerlukan waktu yang lama dan keputusan yang tidak pasti.

C. Menjual Objek Hak Tanggungan Dibawah Tangan

Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan melalui pelelangan

umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling

tinggi untuk objek hak tanggungan. Demikian ditegaskan dalam penjelasan

pasal 20 ayat (1). Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum

diperkirakan tidak menghasilkan harga tertinggi, maka dengan menyimpang dari

prinsip tersebut diatas, undang-undang hak tanggungan memberikan

kemungkinan untuk melakukan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan

objek hak tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan di bawah

tangan, sepanjang hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang hak

tanggungan dan dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut

dalam pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang-undang Hak Tanggungan.

33)
Suprayitno, Permasalahan Grosse Akta Dalam Pasa1224 HIR, September, 1980, h. 458.
60

Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah

lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi

dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di

daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat lainnya serta

tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Pengumuman tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar atau media

massa lainnya, misalnya radio, televisi atau melalui kedua cara tersebut.

Jangkauan surat kabar dan atau media massa lainnya itu harus meliputi tempat

letak objek hak tanggungan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan tanggal

pemberitahuan tertulis adalah tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal

penerimaan melalui kurir, atau tanggal pengiriman facsimile. Apabila ada

perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan tanggal pengumuman yang

dimaksud dalam ayat ini, jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal

paling akhir diantara kedua tanggal tersebut.

Persyaratan yang ditetapkan diatas dimaksudkan untuk melindungi

pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang hak tanggungan, kedua,

ketiga dan kreditur-kreditur lain dari pemberi hak tanggungan. Terdapat perbedaan

pendapat mengenai menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum

atas kekuasaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 Undang-undang


61

Hak Tanggungan dan menjual objek hak tanggungan di bawah tangan, sebagai

berikut :

Retnowukan Sutantio menyatakan bahwa menjual objek hak

tanggungan di bawah tangan tidaklah tepat bila dinyatakan sebagai tindakan

eksekusi. Demikian pula halnya dengan penjualan objek hak tanggungan

berdasarkan janji untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri

yang dimiliki oleh pemegang hak tanggungan pertama sebagaimana

dimaksud dalam pasal 6, bukanlah tindakan eksekusi. Menurutnya eksekusi

hak tanggungan hanya dapat dilakukan berdasarkan sertipikat hak tanggungan,

yang seperti surat keputusan hakim, memakai irah-irah "Demi Keadilan

Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa", yang dilaksanakan atas perintah

dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri di wilayah mana tanah

tersebut terletak.34) Pendapat yang sama dikemukan pula oleh responden dari

kalangan penegak hukum yang merupakan hasil penelitian yang diselenggarakan

oleh BPHN (Badan Pengkajian Hukum Nasional) tentang perlindungan hukum

eksekusi jaminan kredit, dimana 100% responden menyatakan bahwa pelelangan

yang dilaksanakan oleh kantor lelang negara atas permintaan kreditur

berdasarkan kuasa untuk menjual atas kekuasaan sendiri, dan penjualan objek

hak tanggungan di bawah tangan untuk memperoleh harga yang tinggi bukan

merupakan eksekusi sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, karena

34)
Retnowulan Sutantio, Eksekusi Hak Tanggungan, Makalah Disampaikan Pada Seminar
Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perankan, FH-USU, 24-26 Maret 1997.
62

pengertian eksekusi yang selama ini dipakai harus melalui prosedur mulai

dari penegasan penyitaan sampai pada pelelangan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 196 HIR. Dan pengertian eksekusi yang terdapat dalam pasa120

Undang-undang Hak Tanggungan tidak termasuk pengertian eksekusi hukum

acara perdata.

Sebaliknya Boedi Harsono menyatakan penjualan objek hak tanggungan

baik melalui pelelangan umum ataupun di bawah tangan yang diatur dalam

pasal 20, dalam hal debitur cidera janji atau tidak dapat memenuhi kewajibannya,

adalah dalam rangka eksekusi hak tanggungan yang bersangkutan. Bukan

penjualan sukarela yang dimaksud dalam pasal 19 Undang-undang Hak

Tanggungan. Pasal 20 dalam BAB V yang diberi berjudul eksekusi hak

tanggungan. Hal tersebut secara tegas juga dinyatakan dalam ayat (4), bahwa "

setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang

bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi

hukum". Beliau juga memberikan pengertian eksekusi yang diatur dalam pasal

20 Undang-undang Hak Tanggungan, yaitu apabila debitur cidera janji objek

hak tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan dijual melalui

pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang -

undangan yang berlaku dan kreditur pemegang hak tanggungan berhak

mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya yang

dijamin dengan hak tanggungan tersebut, dengan hak mendahulu dari pada

kreditur-kreditur yang lain.


63

Dengan adanya perbedaan pandangan mengenai pengertian eksekusi ini

tentunya dapat menimbulkan keragu-raguan pihak-pihak terkait dalam

pelaksanaan eksekusi hak tangggungan.

Apabila pemberi hak tanggungan atau debitur (dalam hal debitur bukan

pemilik objek hak tanggungan) ingin menghindari penjualan umum (melalui

lelang) atas objek hak tanggungan tersebut, hal itu hanya dapat dilakukan

apabila pemberi hak tanggungan/debitur melakukan pelunasan utang yang

dijamin dengan hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah

dikeluarkan. Demikian disebutkan dalam pasal 20 ayat (5).

Mengenai batas waktu pelunasan utang tersebut diatas Prof. Sudargo

Gautama berpendapat, bukan saja dapat dilakukan sebelum saat pengumuman

lelang dikeluarkan tetapi setiap saat dapat dilakukan pelunasan utang dan biaya

eksekusi sebelum dilakukan lelang. Dalam hal tersebut lelang harus dibatalkan, 35)

pendapat yang sama di kemukakan oleh Retnowulan Sutantio, menurutnya rawan

sekali adalah anak kalimat " Sampai saat pengumuman lelang dikeluarkan ...".

Jadi seandainya pelelangan baru diumumkan satu kali, temyata debitur mampu

membayar utangnya beserta biaya - biaya perkara dan biaya eksekusi, namun

pelelangan diteruskan/tidak batalkan. Adalah sangat kejam, dimana lalu letak

keadilan?. Oleh karena itu menurutnya pasal 20 ayat (5) Undang-undang Hak

Tanggungan, perlu ditinjau kembali karena dalam prakteknya selama ini,

asalkan saja pelelangan belum terlaksana, apabila debitur membayar

35)
Sudargo Gautama, Op. Cit., h. 112.
64

utangnya termasuk biaya perkara dan biaya eksekusi, maka pelelangan akan di

batalkan.36)

Pasa1 21 Undang-undang Hak Tanggungan memberikan jaminan terhadap

hak pemegang hak tanggungan apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan

pailit. Menurut pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan itu, apabila

pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap

berwenang melakukan segala hak yang di perolehnya menurut ketentuan Undang-

undang Hak Tanggungan. Dengan demikian objek hak tanggungan tidak akan

disatukan dengan harta kepailitan untuk di bagi kepada kreditur-kreditur lain dari

pemberi hak tangggungan. Ketentuan pasal 21 Undang-undang Hak

Tanggungan ini memberikan penegasan mengenai kedudukan preferent dari

pemegang hak tanggungan terhadap objek hak tanggungan terhadap kreditur-

kreditur lain.37)

36)
Refiowulan Sutantio, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit,
BPHN, 1999, h. 18.
37)
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., h. 162.
BAB IV

PELAKSANAAN EKSEKUSI
HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK

Ketika bank dihadapkan dengan kredit bermasalah di mana debitur telah

cidera janji atau wanprestasi, maka eksekusi merupakan upaya akhir yang dapat

ditempuh bila debitur cidera janji atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana

diperjanjikan. Jalur eksekusi akan ditempuh bila berbagai pendekatan non eksekusi,

yang bagi bank upaya rescheduling (penjadwalan kembali pelunasan kredit),

reconditioning (peninjauan kembali kondisi atau persyaratan kredit) dan

restructuring (penataan kembali kredit) tidak lagi dapat ditempuh. Karena

merupakan sarana terakhir tentunya wajar apabila kreditur mengharapkan agar

dapat berjalan cepat, sederhana, mudah dan pasti serta memberikan hasil

optimal sehingga dapat mengembalikan piutangnya, bukan malah menimbulkan

masalah lain yang menjadikannya mengatung dan berlarut-larut yang tentunya

memakan waktu, tenaga dan biaya yang besar dan menimbulkan ketidakpastian.

A. Pelaksanaan Parate Eksekusi

Sejak adanya putusan Mahkamah Agung No. 3210 K/Pdt. /1984

tanggal 30 Januari 1986, pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata menjadi kehilangan

kemampuannya. Sungguhpun ada "beding eigen machtige verkoop", tetap

65
66

terlebih dahulu harus ada penetapan ketua pengadilan negeri. Sehingga kreditur

khususnya kalangan perbankan dalam mengatasi kredit macet tidak lagi berani

menggunakan lembaga parate eksekusi.

Dengan diaturnya kembali lembaga parate eksekusi dalam pasal 6

Undang-undang Hak Tanggungan, menurut Adi Sulistiyono38) mengandung

makna bahwa pembuat undang-undang telah mengkoreksi kesalahan yang

selama ini diperbuat oleh mahkamah agung dan mengharapkan agar kreditur

khususnya kalangan perbankan tidak ragu lagi dalam menggunakan lembaga ini

untuk mengatasi kredit macet.

Dalam praktek saat ini lembaga parate eksekusi sebagaimana

disebutkan dalam pasal 6 telah terlaksana berdasarkan SE. No. 23/PN/2000

tentang petunjuk pelaksanaan lelang hak tanggungan sebagaimana disebutkan

dalam pasal 1 sebagai berikut :

Berdasarkan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan, maka

lelang hak tanggungan dapat dilaksanakan sebagai berikut:

a. Pemegang hak tanggungan pertama menjual objek hak

tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum

sesuai pasal 6 Undang undang Hak Tanggungan

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), objek hak

tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang

38)
Adi Sulistiyono, Op. Cit., h. 14.
67

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan

piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu daripada

kreditur-kreditur lain.

Sebelum keluarnya S.E. No. 23/PN/2000 tersebut, krediturpun tetap dapat

menjual objek hak tanggungan langsung melalui pelelangan umum berdasarkan

S.E. No. 21/PN/1998 tentang petunjuk pelaksanaan pasal 6 Undang-undang Hak

Tanggungan yang mana didalam pelaksanaannya ternyata sangat sulit

mendapatkan persetujuan melelang dari debitur sehingga dicabut dengan S.E.

No. 19/PN/2000 yang selanjutnya pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan

pada waktu yang akan datang mengacu pada Undang-undang No. 4 Tahun 1996,

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, peraturan lelang dan peraturan

pelaksanaan lainnya. Namun lelang di sini dikonstruksikan sebagai lelang

sukarela bukan lelang eksekusi sebagaimana diatur dalam S.E. No. 23/PN/

2000 sesuai yang ditegaskan dalam Bab V pasal 20 Undang-undang Hak

Tanggungan.

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan lelang

tersebut, sesuai dengan yang termuat dalam pasal 2 S.E. No. 23/PN/2000,

adalah sebagai berikut :

a. Dalam APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) harus memuat janji

sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 jo pasal 11 ayat (2) huruf e

Undang-undang Hak Tanggungan, yakni apabila debitur cidera janji


68

pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek

hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

b. Bertindak sebagai pemohon lelang atas kreditur pemegang hak tanggungan

pertama.

c. Pelaksanaan lelang melalui pejabat lelang kantor lelang negara.

d. Pengumuman lelang mengikuti tatacara pengumuman lelang eksekusi.

e. Tidak diperlukan persetujuan debitur untuk pelaksanaan lelang.

f. Nilai limit sedapat mungkin ditentukan oleh panitia.

g. Pelaksanaan lelang pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan ini dapat

melibatkan balai lelang pada jasa pra lelang.

h. Dokumen persyaratan lelang antara lain terdiri dari:

1. Salinan/fotocopy perjanjian kredit.

2. Salinan/fotocopy sertipikat hak tanggungan dan akta pemberian hak

tanggungan.

3. Salinan/fotocopy sertipikat hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan

4. Salinan/fotocopy bukti bahwa debitur wanprestasi yang dapat berupa

peringatan

- Peringatan maupun pernyataan dari pimpinan/direksi bank yang

bersangkutan selaku kreditur.

5. Surat pernyataan dari pimpinan/direksi bank yang bersangkutan selaku

kreditur yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan


69

Setiap penjual yang bermaksud melalukan penjualan secara lelang

mengajukan permohonan lelang secara tertulis disertai dokumen yang

disyaratkan sebagaimana disebutkan dalam point (h) di atas kepada kepala

kantor lelang negara. Hal mana merupakan tahap pertama dari prosedur lelang.

Kantor lelang dalam hal ini tidak boleh menolak permohonan lelang yang

diajukan kepadanya sepanjang persyaratan lelang sudah dipenuhi dan lelang

dilaksanakan dalam wilayah kerja kantor lelang tempat barang berada. Demikian

disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) serta pasal (3) Keputusan Menteri

Keuangan No.337/KMK.01/2000 tanggal 18 Agustus 2000. Bila kemudian

kantor lelang menyetujui atau mengabulkan, maka kantor lelang bersama

pemohon lelang menetapkan tanggal, hari dan jam lelang.

Penjualan secara lelang didahului dengan pengumuman lelang yang

dilakukan oleh penjual melalui surat kabar harian, selebaran atau tempelan yang

mudah dibaca oleh umum atau melalui media elektronik berupa televisi atau

internet di wilayah kerja kantor lelang tempat barang akan dijual. Kantor

lelang menyebarluaskan pengumuman lelang kepada pihak lain yang

berkepentingan. Pengumuman lelang untuk lelang eksekusi terhadap barang

tidak bergerak adalah sebagai berikut:

a. Pengumuman dilakukan 2 (dua) kali berselang 15 (lima belas) hari.

Pelaksanaan pengumuman diatur sedemikian rupa sehingga pengumuman

kedua tidak jatuh pada hari libur/hari besar.


70

b. Pengumuman pertama diperkenankan tidak menggunakan surat kabar harian,

tetapi dengan cara pengumuman melalui selebaran, tempelan yang mudah

dibaca oleh umum, dan atau media elektronik. Namun demikian apabila

dikehendaki oleh penjual pengumuman yang pertama tersebut dapat

dilakukan dengan surat kabar harian dan

c. Pengumuman kedua sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus dilakukan

dengan surat kabar harian dan dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas)

hari sebelum hari pelaksanaan lelang.39)

Setiap peserta lelang harus menyetor uang jaminan ke rekening kantor

lelang negara (KLN). Uang lelang di sini adalah uang yang disetor terlebih

dahulu sebagai syarat sahnya menjadi peserta lelang yang dipersyaratkan adanya

uang jaminan.

Kemudian penjual menentukan nilai limit dan diserahkan kepada pejabat

lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang. Nilai

limit adalah nilai minimal yang ditetapkan oleh penjual untuk dicapai dalam suatu

pelelangan sebagai dasar untuk menetapkan pemenang lelang atau

merupakan pedoman bagi pejabat lelang untuk menetapkan pembeli.

Dalam hal nilai limit tidak tercapai atau tidak ada peminat atau pembeli

maka lelang akan ditunda untuk diulang pada kesempatan berikutnya yang

sebelumnya diikuti dengan pengumuman lelang ulang.

39)
Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan No. 337/KMK O1/2000, Pasal 14.
71

Kepada pemenang lelang atau pembeli diharuskan membayar harga

lelang, bea lelang, dan uang miskin dan pungutan lainnya yang diatur

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara tunai yang

masing-masing besarnya bervariasi tergantung pada jenis barangnya.

Terhadap penjual lelang dikenakan pula bea lelang sebesar 1,5% (satu

setengah persen) dari harga lelang untuk barang yang tidak bergerak dan untuk

atas pelelang pabrik dan mesin-mesin yang melekat menjadi satu-kesatuan. Selain

itu penjual juga dikenakan bea lelang ditahan, yang besarnya 0,375% (tiga ratus

tujuh puluh lima perseribu persen) dari penawaran yang tertinggi. 40) Ketentuan di

atas tidak berlaku bagi instansi pemerintah selaku penjual.

Disamping itu untuk barang berupa tanah atau tanah dan bangunan

terhadap penjual juga dikenakan pajak penghasilan (PPH), dengan ketentuan

dalam hal barang tersebut milik perseorangan maka pajak penghasilan (PPH)

hanya akan dikenakan apabila tanggungan hasil lelangnya pada saat itu berjumlah

60 juta atau lebih. Dalam hal barang tersebut milik badan maka pajak

penghasilan (PPH) dikenakan tanpa memperhatikan jumlah hasil lelang (tanpa

batas).

Dengan demikian akibat tidak tercapainya nilai limit, kreditur tidak saja

kehilangan waktu namun juga biaya yang tidak sedikit disamping biaya iklan

juga terhadapnya dibebani pula biaya penahanan.

Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan No. 337/KMK 01/2000, Pasa1 35 jo Pasa128 dan
40)

Pasa129.
72

Pembayaran uang hasil lelang dilakukan secara tunai atau dengan cek atau

giro kepada penjual. Dalam hal penjual lelang adalah instansi pemerintah atau

pemda, maka hasil lelang disetorkan ke kas negara.

Sebagai tahap akhir dari prosedur lelang, kantor lelang negara (KLN)

menyerahkan dokumen dan barang kepada pemenang lelang. Kantor lelang

negara (KLN) juga memberikan petikan risalah lelang sebagai bukti untuk balik

nama dan sebagainya.

B. Eksekusi Melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BPULN)

Untuk penyelesaian kredit macet pada bank pemerintah atau bank BUMN

pusat atau daerah, maka pengurusannya diserahkan kepada Panitia Urusan

Piutang Negara (PUPN) atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara

(BUPLN). PUPN/BUPLN pada dasarnya dibentuk oleh pemerintah untuk

mengurus dan menyelesaikan kredit macet pada bank-bank pemerintah yang

disebut dengan piutang negara dengan berlandaskan Undang-undang No.

49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

Tugas utama dari panitia urusan piutang negara sebagaimana disebutkan

dalam pasal 4 Undang-undang No. 49/Prp/1960 adalah sebagi berikut:

1. Mengurus piutang negara yang berdasarkan peraturan ini telah diserahkan

pengurusannya kepadanya oleh pemerintah atau badan-badan yang

dimaksudkan dalam pasal 8 peraturan ini.


73

2. Piutang negara diserahkan sebagai tersebut dalam angka 1 di atas, ialah

piutang yang adanya dan besanya telah pasti menurut hukum akan tetapi

yang menanggung hutangnya tidak melunasinya sebagaimana mestinya.

3. Menyimpang dari ketentuan yang dimaksud dalam angka 1 di atas,

mengurus piutang-piutang negara dengan tak usah menunggu

penyerahannya, apabila menurut pendapatnya ada cukup alasan kuat bahwa

piutang-piutang negara tersebut harus segera diurus.

4. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang atau kredit-kredit yang telah

dikeluarkan oleh negara atau badan-badan negara apakah kredit itu benar-

benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau syarat-syarat

pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang

berhubungan dengan itu kepada bank-bank yang menyimpang dari

ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-undang

No. 23/1960 tentang Rahasia Bank.

Pelaksanaan teknis dan operasional dalam rangka penyelenggaraan tugas

panitia urusan piutang negara dalam menyelesaikan piutang negara mulai dari

penerimaan kasus, pemeriksaan, pemanggilan, penyitaan sampai dengan

pelelangan dilakukan oleh badan urusan piutang dan lelang negara melalui

instansi vertikalnya yang bersifat operasional yaitu Kantor Pelayanan

Pengurusan Piutang Negara (KP3N) dan Kantor Lelang Negara (KLN). Dengan

kata lain dapat dikatakan bahwa BUPLN merupakan perpanjangan tangan dari

PUPN. Dasar hukum pelaksanaan BUPLN ini adalah Keputusan Presiden No.
74

21/ 1991 jo Keputusan Menteri Keuangan No. 940/KMK.O1/1991 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara.

Proses pengurusan piutang negara

Pengertian piutang negara atau hutang kepada negara menurut pasal 8

Undang-undang No. 49/Prp/1960 adalah :

Jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara/ badan-badan yang

baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara

berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.

Piutang negara yang diserahkan pada panitia urusan piutang negara adalah

kredit yang oleh bank sendiri sudah tidak dapat diusahakan lagi

penyelesaiannya, yaitu dengan memakai metode-metode rescheduling,

reconditioning, restructuring, dan menggabungkan ketiga cara tersebut. Hal ini

dilakukan oleh semua bank baik bank pemerintah maupun bank swasta.

Setelah tahap ini tidak juga dapat diselesaikan, maka pada bank

pemerintah berdasarkan pada Undang-undang No. 49/Prp/1960 harus diserahkan

pada Panitia Urusan Piutang negara (PUPN). Pihak bank melakukan

penyerahan kredit macet beserta semua data-data atau dokumen dan hal-hal

lain yang bertalian dengan perikatan yang menyebabkan adanya kredit macet

tersebut, sebagimana tertuang dalam pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No.

333/KMK.O1/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagai berikut:

a. Penjelasan mengenai piutang yang memuat identifikasi dan keadaan usaha

penanggung hutang/penjamin hutang uraian singkat terjadinya piutang dan


75

sebabsebab kemacetannya, kondisi atau keadaan barang jaminan dan

upaya-upaya penyelesaian piutang yang telah dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

b. Perikatan, peraturan dan atau dokumen lainnya yang membuktikan adanya

piutang.

c. Rekening koran, mutasi piutang atau dokumen lainnya yang memuat

jumlah piutang dengan rincian hutang pokok, bunga, beban-beban dan atau

kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

d. Identitas penanggung hutang/penjamin hutang.

e. Daftar dan dokumen barang jaminan serta pengikatannya dalam hal piutang

yang diserahkan didukung dengan barang jaminan.

f. Surat pemberitahuan kepada penanggung hutang/penjamin hutang yang

menyatakan bahwa pengurusan hutangnya diserahkan kepada panitia cabang.

g. Surat pernyataan kesanggupan/kesediaan penyerah piutang untuk meroya

hipotik/creditverband/hak tanggungan atau fiducia.

h. Data/dokumen lainnya yang dianggap perlu oleh penyerah piutang.

Badan Urusan piutang dan Lelang Negara (BUPLN) menerima

penyerahan pengurusan piutang negara, Setelah melakukan penelitian terhadap

data-data/dokumen tersebut di atas sebagai syarat penyerahan piutang negara

yang harus dipenuhi oleh penyerah piutang. Bila penyerah piutang

dinyatakan memenuhi persyaratan atau dapat dibuktikan adanya dan besarnya

piutang negara. Kemudian PUPN/BUPLN menerbitkan surat penerimaan


76

pengurusan piutang negara (SP3N). Barulah pada tahap ini hak sepenuhnya

penyelesaian piutang berpindah ke tangan PUPN/BUPLN.

Berkaitan dengan keharusan/kewajiban bagi bank pemerintah untuk

menyerahkan penyelesaian kredit macetnya pada PUPN, berarti baik kekuatan

titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak tanggungan maupun lembaga

parate eksekusi yang tersedia dan diberikan oleh Undang-undang Hak

Tanggungan bagi kreditur dalam rangka pengembalian piutangnya apabila

debitur cidera janji tidak dapat dilaksanakan atau dengan kata lain

pelaksanaan eksekusi secara demikian tidaklah dibenarkan dalam hal kreditur

adalah bank pemerintah,walaupun kreditnya dijamin dengan hak tanggungan.

Segera setelah surat penerimaan pengurusan piutang negara (SP3N)

diterbitkan oleh PUPN/BUPLN melakukan pemanggilan secara tertulis kepada

penanggung hutang/penjamin hutang untuk memperoleh kepastian besarnya

piutang yang wajib diselesaikan serta syarat-syarat penyelesaiannya kemudian

hasilnya dituangkan dalam pernyataan bersama (PB) yang mempunyai kekuatan

pelaksanaan seperti suatu putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum

pasti, yang ditandatangani oleh PUPN/BUPLN dan jangka waktu

penyelesaian piutang yang ditetapkan dalam pernyataan bersama (PB) paling

lama 12 (dua belas) bulan. Demikian disebutkan dalam pasal 13 ayat (1), (2),

(3) Keputusan Menteri Keuangan No. 333/KMK.O1/2000 tentang Pengurusan

Piutang Negara.
77

Di dalam pasal 14 dengan peraturan yang sama menyatakan dalam hal

pernyataan bersama (PB) tidak dapat dibuat karena penanggung hutang/penjamin

hutang tidak memenuhi panggilan atau menolak menandatangani pernyataan

bersama (PB) tanpa yang alasan yang sah, PUPN/BUPLN menetapkan jumlah

piutang negara yang wajib dilunasi oleh penanggung hutang/penjamin hutang

dengan menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN).

Apabila pemegang hutang/penjamin hutang tidak memenuhi kewajiban

yang ditetapkan dalam pernyataan bersama (PB), setelah terlebih dahulu diberi

peringatan tertulis, penanggung hutang/penjamin hutang menandatangani

pernyataan bersama (PB) yang hanya berisi pengakuan hutang, lalu surat

penetapan jumlah piutang negara (PJPN) telah diterbitkan dan penanggung

hutang/penjamin hutang tidak melunasinya maka dilakukan penagihan sekaligus

dengan surat paksa. PUPN/BUPLN menerbitkan surat paksa yang telah

ditandatangani.

Kemudian penyitaan atas barang jaminan berdasarkan pasal 23 Keputusan

Menteri Keuangan No.333/KMK.O1/2000 dilakukan apabila ketentuan dalam

surat paksa tidak dipenuhi oleh penanggung hutang/penjamin hutang. Penyitaan

tersebut dilaksanakan oleh juru sita piutang negara dengan disaksikan oleh 2 (dua)

orang saksi dan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan serta diumumkan.

Dalam hal apa yang ditetapkan dalam berita acara penyitaan tidak

juga dipenuhi oleh penanggung hutang/penjamin hutang maka PUPN/BUPLN

menerbitkan surat perintah penjualan barang sitaan kemudian dilaksanakan


78

penjualan lelang melalui kantor lelang dengan terlebih dahulu diumumkan dalam

surat kabar harian atau media massa lainnya.

Salah satu ciri hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang kuat

adalah memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur pemegang hak

tanggungan. Pengertian "memberikan kedudukan diutamakan kepada pemegang

hak tanggungan terhadap kreditur-kreditur lain" dapat ditemui dalam

Penjelasan Umum butir ke-4 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) yaitu:

Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan

berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan

jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang

lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tanpa

mengurangi prefensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum

yang berlaku.

Dari pengertian tersebut di atas, dapatlah diketehui bahwa hak krediutur

pemegang hak tanggungan, sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan kreditur-

kreditur lain, namun harus mengalah terhadap piutang-piutang negara. Dengan

kata lain, hak negara lebih utama dari kreditur pemegang hak tanggungan.41)

Sedangkan yang dimaksud dengan piutang-piutang negara itu sendiri tidak

ada penjelasannya. Mengenai hal ini, pada waktu Rencana Undang-undang

41)
Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah Disampaikan
Dalam Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Bandung.
1999, h. 137.
79

Hak Tanggungan dibahas ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan

dengan piutang negara, hanya terbatas yang berupa pajak saja. Namun saat ini

dalam prakteknya yang digunakan adalah pendapat yang dikemukan oleh ketua

BUPLN Adolf Warouw dalam rapat antara BUPLN dengan direksi bank-bank

pemerintah yang diadakan tanggal 25 April 1996 bertempat di gedung kantor

pusat Bank Dagang Negara di Jakarta, yaitu bahwa menurut pandangan

BUPLN yang dimaksud dengan piutang negara dalam Undang-undang Hak

Tanggungan itu tidak hanya terbatas berupa pajak saja, tetapi juga termasuk

semua piutang negara sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang

No.49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Menurutnya,

tidak dibedakan prioritas antara pajak dan piutang-piutang negara lainnya

termasuk kredit-kredit macet bank-bank pemerintah yang diserahkan kepada

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) untuk menagihnya.42)

Dengan demikian tagihan dari badan-badan usaha milik negara

(BUMN), termasuk bank-bank pemerintah, akan selalu didahulukan untuk

memperoleh pengembalian piutangnya dari hasil penjualan lelang objek hak

tanggungan tersebut dari pada bank-bank swasta sekalipun telah dijamin dengan

hak tanggungan.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini 43), sangat tidak adil bagi kreditur

pemegang hak tanggungan yang bukan BUMN atau instansi pemerintah, oleh

42)
lbid, h. 137
43)
Ibid, h. 138
80

karenanya haruslah ada pembatasan mengenai apa yang termasuk piutang

negara di sini, menurutnya haruslah hanya berupa pajak yang terhutang oleh

debitur atau oleh pemberi hak tanggungan yang bukan debitur sendiri dan biaya

pelelangan yang harus dibayarkan kepada kantor lelang negara dalam rangka

eksekusi hak tanggungan itu. Tidak seyogianya diberi yang terlalu luas.

Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui

pelelangan umum. Demikian disebutkan dalam penjelasan pasal 20 ayat (1) alinea

kedua Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT). Namun hal ini dapat

dikesampingkan dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan

tidak akan menghasilkan harga tertinggi sebagaimana disebutkan dalam pasal 20

ayat (2) beserta penjelasannya asalkan hak tersebut disepakati oleh pemberi dan

pemegang hak tanggungan dan diberitahukan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan serta diumumkan dalam surat atau media massa.

Hal yang sama dilakukan oleh PUPN/BUPLN yang mana membuka

pula kemungkinan penjualan diluar lelang sebagaimana dinyatakan dalam pasal

31 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No.333/KMK.O1/2000, yakni :

Penanggung hutang dan/atau penjamin hutang selaku pemilik barang

jaminan dapat melaksanakan penjualan lelang barang jaminan dan/atau

harta kekayaan lainnya untuk penyelesaiaan piutang negara dengan

persetujuan ketua panitia cabang.


81

Penjualan di bawah tangan merupakan salah satu alternative penyelesaian

piutang negara selain melalui lelang. Penjualan ini hanya dapat dikabulkan oleh

PUPN/BUPLN jika dengan cara penjualan ini dirasakan menguntungkan

negara. Selain itu penjualan di bawah tangan ini harus mendapat

persetujuan dari PUPN/BUPLN, penyerah piutang dan penanggung

hutang/penjamin hutang.

Penjualan di luar lelang ini berpedoman pada nilai pasar yang wajar dari

laporan hasil penilaian penilai intern atau penilai ekstern. Dalam hal nilai pasar

wajarnya di bawah nilai hak tanggungan, untuk penjualan di luar lelang

terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari penyerah piutang.

Dalam hal penyerah piutang mengajukan keberatan atas nilai tersebut,

penyerah piutang wajib menyampaikan secara tertulis alasan-alasan keberatan

dimaksud kepada PUPN/BUPLN selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak

surat permintaan persetujuan diterima oleh penyerah piutang. Demikian

disebutkan dalam pasa1 31 ayat (2), (3), dan (4) Keputusan Menteri Keuangan

No.333/KMK.O1/2000.

Namun tidak sama halnya dengan Undang-undang Hak Tanggungan,

penjualan di luar lelang ini tidak diumumkan dimana dalam Undang-undang Hak

Tanggungan hal ini menjadi salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi

yang dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan

demikian penjualan lelang ini dapat dikatakan tidak memenuhi azas publisitas,

masyarakat umum tidak akan mengetahui adanya penjualan benda jaminan


82

tersebut. Hal ini dapat berakibat timbulnya kerugian pihak-pihak lain yang

berkepentingan, entah itu pemilik benda yang sebenarnya atau kreditur-kreditur

lainnya.

C. Eksekusi Melalui Pengadilan Negeri

Berdasarkan pasal 224 HIR dan 258 RBG urutan tindakan atau tahapan-

tahapan yang dilakukan oleh kreditur adalah sebagai berikut :

1. Tahapan Permohonan

a. Kreditur mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan negeri

dimana barang jaminan tersebut terletak atau pengadilan negeri yang

dalam perjanjian ditetapkan sebagai domisili hukum.

b. Dalam waktu kurang lebih 20 (dua puluh) hari setelah diajukan

permohonan tersebut maka diadakan sidang pengadilan yang dihadiri oleh

pemohon (kreditur) dan termohon (debitur). Dalam sidang tersebut oleh

hakim disampaikan teguran (aanmaning) kepada kreditur, bahwa dalam

waktu 8 (delapan) haru yang bersangkutan harus memenuhi isi putusan

pengadilan yaitu melakukan pembayaran lunas pinjaman beserta bunga,

ongkos-ongkos dan sebagainya dan bila tidak dipenuhi pengadilan akan

memanggil debitur sekali lagi dan dalam waktu yang sama bila tidak juga

dipenuhi maka tahap berikutnya dapat dilanjutkan yaitu mengajukan

permohonan sita eksekusi.


83

1. Tidak memperdulikan aanmaning, dalam hal demikian prosedur dapat

dilanjutkan.

2. Mengakui hutang beserta jumlahnya, dalam hal demikian kreditur

dapat langsung meminta pembayaran seluruh jumlah hutang atau

meminta kerjasama debitur untuk menjual jaminan guna melunasi

seluruh jumlah hutangnya.

3. Mengajukan bantahan

2. Tahap Sita Eksekusi

a. Kreditur mengajukan permohonan sita eksekusi

b. Kurang lebih 1 (satu) bulan sejak permohonan diajukan pengadilan

negeri akan mengeluarkan penetapan sita eksekusi yang kemudian

dilanjutkan dengan proses penyitaan oleh juru sita pengadilan atas

benda-benda tidak bergerak yang menjadi jaminan pinjaman tersebut,

yang dibuktikan dengan berita acara eksekusi yang diserahkan kepada

kreditur dalam waktu 3-4 hari setelah penyitaan. Apabila tidak ada

tanggapan dari kreditur, maka proses akan dilanjutkan.


84

3. Tahap Pelelangan

a. Kreditur mengajukan permohonan untuk melelang barang-barang jaminan

kepada pengadilan negeri.

b. Pengadilan akan memuat ketetapan lelang kurang lebih 1 (satu) minggu

sejak permohonan diajukan dan menetapkan waktu lelang Setelah

berkonsultasi dengan kantor lelang.

c. Setelah ditetapkan harinya kemudian diadakan “pengumuman lelang”,

dalam surat kabar yang dilaksanakan 2 (dua) kali dengan antara waktu

15 (lima belas) hari, yang biasanya diurus oleh panitera pengadilan yang

bersangkutan.

d. Dalam pelaksanaan lelang tersebut biasanya kreditur dapat menentukan

harga lelang minimal.

Sebelum lelang dilaksanakan ada 2 (dua) syarat yang harus

dipenuhi kreditur yaitu:

1. Kreditur memberitahukan pengadilan mengenai plafon harga (harga

minimal) dari barang jaminan.

2. Kreditur meminta surat keterangan pendaftaran (SKPT) dari barang

jaminan kepada kantor agraria setempat.

e. Acara lelang dilaksanakan di pengadilan negeri setempat. Dalam hal ini

pengadilan bertindak sebagai penjual yang diwakili oleh ketua pengadilan

negeri, sedangkan kantor lelang sebagai pelaksana. Pembeli harus

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.


85

f. Dalam waktu kurang lebih satu setengah bulan sejak lelang dilaksanakan,

risalah lelang diterbitkan dan diserahkan kepada pembeli lelang sebagai

bukti untuk balik nama dan sebagainya.

Proses permohonan eksekusi hak tanggungan berdasarkan titel

eksekutorial pada prinsipnya adalah sama dengan eksekusi grosse akta

hipotik. Yang membedakannya adalah saat ini dalam prakteknya eksekusi

ini didasarkan pada sertipikat hak tanggungan dimana irah-irah "Demi

Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa" yang mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama denagn keputusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap dimuat. Ini berarti dalam

prakteknya pasal 14 ayat (1) telah terlaksana dan sekaligus

melenyapkan perbedaan penafsiran yang selama ini terjadi. Dengan kata

lain mengakhiri keragu-raguan karena selama ini beberapa pandangan tentang

eksekusi grosse akta hipotik telah menimbulkan berbagai penafsiran, yakni

dimana irah-irah tersebut harus diletakkan, pada akta hipotik ataukah pada

sertipikat hipotik. Hal mana sangat tidak menguntungkan bagi pihak kreditur.

Namun proses di atas tidak selalu berjalan mulus, dalam prakteknya

banyak hal-hal yang menjadi penghalang diantaranya bantahan, penundaan

pelelangan dan sebagainya.

Bantahan yang umumnya terjadi adalah mengenai jumlah hutangnya,

jumlah hutang yang ada tidak sesuai dengan catatan debitur. Sebagaimana

disyaratkan bahwa untuk dapat dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR harus
86

dipenuhi syarat materiil eksekusi yaitu jumlah hutang yang pasti besarnya

(mengenai jumlah hutang tertentu), juga mengenai barang jaminan. Sering

kali jaminan tersebut terdaftar atas nama istri atau suami debitur dan

dianggap digunakan sebagai jaminan tanpa persetujuan istri atau suami.

Kemudian istri atau suami yang bersangkutan membantah bahwa ia tidak

pernah setuju menggunakan tanah atau rumah tersebut sebagai jaminan. Dapat

pula ternyata istri atau suami yang menandatangani persetujuan tersebut

bukan istri atau suami yang sah yamg dibuktikan denagan adanya surat nikah.

Bantahan lainnya adalah mengenai kewenangan pengadilan, kaitannya

dengan kompetensi relatif dari pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang

berwenang adalah pengadilan negeri dimana tanah yang merupakan jaminan

tersebut terletak, namun ternyata permohonan diajukan bukan di pengadilan

negeri di wilayah dimana tanah tersebut terletak. Satu contoh: permohonan

diajukan di pengadilan negeri Jakarta Selatan padahal tanahnya berada di

Tangerang. Dalam keadaan demikian eksekusi umumnya ditunda sampai

terhadap perlawanan atau bantahan tersebut diputus, dengan segala resiko

adanya banding, kasasi dan peninjauan kambali oleh pihak yang merasa

tidak puas dengan keputusan tersebut. Hal ini tentunya akan membuat

kreditur kehilangan banyak waktu yang semula dapat ditempuh hanya dalam

waktu 23 bulan menjadi bertahu-tahun. Selain itu kreditur harus

mengeluarkan sejumlah dana yang cukup besar untuk biaya pengacara dan

biaya lainnya.
87

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat ini dalam eksekusi

hak tanggungan masih pula ditemui kendala yang sama yang ada dalam

rangka eksekusi hipotik dimana hamper 30-40% grosse akta hipotik gagal

eksekusinya berdasarkan pasal 224 HIR atas alasan jumlah hutang yang

tidak pasti oleh karena tidak memenuhi ketentuan pasal 1176 ayat (1)

KUHPerdata.

Adapun adanya hambatan-hambatan tersebut di atas dapat

disebabkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam eksekusi ini, antara lain:

Dari kreditur

a. Membuat plafon harga lelang terlalu rendah sehingga ditolak oleh

pengadilan negeri

b. Tidak menyiapkan pembeli

c. Tidak menyiapkan harga lelang

d. Berdamai dengan debitur sebelum lelang

Dari pengadilan

a. Ditunda ketua pengadilan negeri dengan alasan: plafon tidak tercapai, ada

bantahan atau gugatan, debitur memohon tunda dan dikabulkan

b. Surat ketua pengadilan tinggi

c. Suarat Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) serta telepon dari

MARI

Dari debitur

a. Gugat menggugat
88

b. Bantah membantah

c. Minta fatwa ke pengadilan tinggi

d. Meminta fatwa ke MARI

e. Menghalang-halangi lelang dengan pembeli-pembeli fiktif

Dalam pelaksanaan lelang tersebut biasanya kreditur dapat

menentukan harga lelang minimal. Bila harga lelang minimal tersebut tidak

tercapai atau dengan kata lain tidak ada peminat atau pembeli, maka lelang

dibatalkan untuk dilaksanakan pada kesempatan berikutnya, lelang ditunda

selama 1(satu) bulan. Untuk lelang berikutnya tersebut dikenakan biaya

ikalan, ongkos lelang dan sebagainya. Dengan demikian kreditur tidak saja

kehilangan waktu tetapi juga biaya yang tidak sedikit.

Disamping hambatan tersebut di atas, seringkali pula terjadi dimana

objek hak tanggungan telah disita terlebih dahulu oleh pihak ketiga dalam

perkara lain dengan sita jaminan, hal mana menyebabkan proses eksekusi

menjadi tertunda sampai perkara tersebut diputus, bahkan dalam kasus

seperti ini pengadilan langsung menolak eksekusi objek hak tanggungan

dengan alasan objek tersebut sedang berada dalam keadaan tersita atas nama

pihak ketiga.

Bila demikian yang terjadi menurut M. Yahya Harahap dapat diatasi

melalui asas vergelijkende beslag (sita persamaan) pasal 463 Rv, yang

menurutnya dalam prakteknya saat ini hampir semua hakim tidak


89

memperdulikan asas sita persamaan pasal 463 Rv tersebut, dengan

ketentuan:

1. Barang yang sedang disita untuk kepentingan seseorang, tidak boleh

disita lagi pada waktu yang sama atas permintaan atau untuk

kepentingan orang lain.

2. Juga barang yang sedang diagunkan kepada orang lain, tidak boleh

diletakkan sita atas permintaan pihak ketiga:

a. Jadi sita di atas barang yang diagunkan tidak boleh disita oleh

pengadilan negeri untuk kepentingan orang lain.

b. Berupa catatan dalam "berita acara sita" yang berisi barang yang

hendak disita sedang berada dalam status sita atau status barang

jaminan atas nama dan kepentingan seseorang.

c. Dengan adanya catatan demikian, kedudukan pemohon sita berada

di bawah urutan prioritas pemegang sita pertama atau pemegang hak

tanggungan pertama.

d. Dengan penerapan sita persamaan yang demikian, secara pasti

dapat ditentukan peringkat prioritas pihak yang berkepentingan.

Pembeli lelang eksekusi atas sertipikat hak tanggungan yang

dilaksanakan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri yang berwenang

adalah pembeli lelang yang terlindungi. Dasarnya ialah pembeli lelang

tersebut akan selalu menerima objek hak tanggungan dalam keadaan bersih

(bebas dari beban) meskipun ada dipasang janji untuk tidak dibersihkan.
90

Semua beban tagihan para pemegang hak tanggungan yang tak

terbayar itu, akan berubah menjadi tagihan yang tidak dijamin dengan hak

tanggungan dan menjadi tagihan konkuren. Dan dalam hal pihak tereksekusi

atau orang-orang yang mendapat hak dari padanya tidak mampu

mengosongkan persil terlelang maka pembeli lelang cukup mengajukan

permohonan eksekusi pengosongan melalui pasal 200 ayat (11) HIR, tidak

perlu mengajukan gugatan hanya dalam hal penghuni objek hak tanggungan

yang telah dilelang tersebut mendiami persil tersebut berdasarkan perjanjian

sewa menyewa yang dibuat sebelum dipasangnya hak tanggungan tersebut,

maka pembeli lelang harus menunggu sampai hak sewa penghuni tersebut

habis.

Namun demikian, meskipun sudah beberapa kali mengingatkan

debitur maupun pihak tereksekusi lainnya masih tetap bertahan di tanah dan

bangunan yang sebetulnya sudah tidak dihakinya lagi. Untuk itu kreditur

ataupun pembeli harus mengeluarkan tenaga dan biaya lagi untuk

pengosongan jaminan yakni dengan cara meminta bantuan instansi PEMDA

(Trantib), kepolisian dan rayon militer untuk mengosongkan.


BAB V

PENUTUP

A . K es im p u la n

Adanya pandangan atau persepsi yamg berbeda mengenai pengertian

eksekusi antara yang dimaksud dalam pasal 196 HIR dengan yang dimaksud

dalam Undang-undang Hak Tanggungan, yang mana dapat menimbulkan

keragu-raguan pihak-pihak terkait dalam melaksanakan eksekusi hak tanggungan.

Khusus bagi bank pemerintah pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tidak

dibenarkan melalui parate eksekusi maupun fiat eksekusi pengadilan negeri akan

tetapi harus melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). PUPN/BUPLN

juga membuka pula kemungkinan penjualan di bawah tangan, asalkan

mendapatkan persetujuan dari PUPN/BUPLN, penyerah piutang dan

penanggung atau penjamin utang dan dirasakan menguntungkan negara.

Terhambatnya pelaksanaan lelang dikarenakan adanya perlawanan

(bantahan) dari pihak ketiga atau oleh debitur sendiri dengan mengemukakan

keberatan atas penetapan jumlah utang yang dibuat oleh kreditur. Dalam

keadaan demikian umumnya eksekusi ditunda sampai bantahan tersebut

mempunyai kekuatan hukum tetap dengan segala resiko adanya banding, kasasi

dan peninjauan kembali.

91
92

Di dalam Undang-undang Hak Tanggungan telah disediakan 3 (tiga) cara

pelaksanaan eksekusi bagi kreditur bila ternyata debitur cidera janji sebagaimana

ditentukan dalam pasa1 20, yaitu:

1. Parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 Undang-undang Hak

Tanggungan.

Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak

tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa

terlebih dahulu meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat.

2. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak

tanggungan.

Eksekusi dilaksanakan oleh kantor lelang setelah ada penetapan ketua

pengadilan negeri setempat berdasarkan sertipikat hak tanggungan yang

memuat irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha

Esa”.

3. Menjual objek hak tanggungan dibawah tangan

Dalam hal penjualan, melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan

menghasilkan harga tertinggi, maka diberikan kemungkinan untuk

melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut

disepakati oleh pemegang dan pemberi hak tanggungan dan dipenuhinya

syarat sebagaimana ditentukan dalam ayat (3) pasal tersebut.


93

B. Saran

1) Perlu adanya persepsi yang sama mengenai pengertian eksekusi guna kepastian

hukum dan menghilangkan keragu-raguan dalam pelaksanaan dan penegakan

hukum. Untuk itu perlu adanya kajian untuk menyamakan persepsi mengenai

penegertian eksekusi dalam pasal 196 HIR dan Undang-undang Hak Tanggungan

2) Eksekusi hak tanggungan merupakan sarana terakhir dan merupakan perwujudan

dari kemudahan yang diberikan oleh Undang-undang Hak Tanggungan bagi

kreditur dalam rangka memperoleh pengembalian piutangnya. Apabila ada

pelawanan (bantahan) tidak menghambat eksekusi hak tanggungan sebagaimana

misi eksekusi hak tanggungan yaitu cepat, sederhana dan mudah serta

memberikan hasil yang optimal.

3) Untuk mencegah terjadinya perlawanan (bantahan) pihak ketiga atas pelaksanaan

eksekusi hak tanggungan, kepada kreditur sebelum memberikan kredit sebaiknya

melalukan penelitian secara cermat dan teliti terhadap objek jaminan dan baru

apabila benar-benar milik debitur atau pemberi hutang baru kredit diberikan

serta membuat perhitungan yang cermat, tepat dan dapat dimengerti mengenai

jumlah pinjaman yang disertai dengan bukti-bukti hal ini dilakukan untuk

menghindari peluang-peluang yang dapat digunakan debitur untuk mengajukan

perlawanan dan juga kepada kreditur diharapkan berhati-hati dalam menyeleksi

debiturnya, karena debitur yang berniat jelek akan mengulur-ulur waktu dan

bersedia melalukan apa saja dengan tujuan menghindari tanggung jawab atas

utangnya.
94

4) Terhadap ketentuan PUPN/BUPLN mengenai menjual di bawah tangan perlu

diadakan perbaikan agar tidak mengakibatkan kerugian pihak ketiga.

PUPN/BUPLN dapat menggunakan ketentuan Undang-undang Hak Tanggungan

pasal 20 ayat (3).


95

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan


Nasional, makalah dikemukan pada seminar di UNPAD, Bandung, 27 Mei
1999.

, Perjanjian Kredit Bank, Cet ke-1, Alumni, Bandung, 1978.

, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Cet ke-V,


Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Daud, Wahab, H.I.R. Hukum Acara Perdata, Cet ke-2, Pusbakum, Jakarta, 1999.

Fuady, Munir, Hukum Bisnis Teori dan Praktek Buku Kedua, Cet ke-1, Bandung,
Citra Aditya Bakti.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas UUHT Yang Baru tahun 1996 No.4, Cet ke-IV,
Internusa, Jakarta, 1996.

Harahap, M Yahya, Tanggapan Atas Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan U,U


No. 4/1996 Persiapan PelaksanaanHak Tanggungan Dilingkungan
Perbankan Oleh Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU-
Medan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996.

, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cet ke-4,


PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya Mid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Cet ke-8,
Djambatan, Jakarta, 1999.

Hutagalung, Arie S, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu
Kumpulan Karangan), Cet ke-1, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1999.

Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan No. 337/KMK.O1/2000, Pasal 14.

, Keputusan Menteri Keuangan No. 337/KMK.01/2000, Pasal 35 jo


Pasal 28 dan Pasal 29
96

J Satrio, Hukum Jaminan, Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Citra


Aditya Bakti, Cet ke-II, Bandung, 2002.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Intermasa, Cet ke-
V, Jakarta, 1986.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok


Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai
UndangUndang Hak Tanggungan), Edisi Kedua, Cet ke-1, Alumni,
Bandung, 1999.

, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah


Disampaikan Dalam Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Bandung, 1999.

Subekti, R, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,


Citra Aditya Bakti, Bandung.

Suprayitno, Permasalahan Grosse Akta Dalam Pasal 224 HIR, September, 1980

Sutantio, Retnowulan, Eksekusi Hak Tanggungan, Makalah Disampaikan Pada


Seminar Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkunan
Perbangkan, FH-USU, 2426 Maret 1997.

, Penelitian, Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan


Kredit, BPHN, 1999, h. 18.

Usman, Rachmadi, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djarrtbatan,


Jakarta, 1999.

Perundang-undang

Kitab Undang-Undang Hukum perdata/BW

Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
BendaBenda Yang Berkaitan dengan Tanah.

Anda mungkin juga menyukai