Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat
adalah adanya pembangunan nasional berupa pembangunan ekonomi. Adapun
upaya yang dilakukan masyarakat adalah melakukan usaha dengan dukungan
dana dan tersedianya dana dari bank dalam bentuk kredit. Dalam Pasal 1
angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun tentang
Perbankan menyatakan bahwa kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.
Pemberian kredit merupakan suatu perjanjian utang-piutang antara
bank dengan debitur, yang ditekankan kepada kesepakatan para pihak yang
berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Dalam praktiknya, pemberian kredit
sering mengalami resiko kemacetan kredit. Maka untuk mengatasi hal tesebut
perlu adanya perjanjian pinjam meminjam antara kreditur dengan debitur yang
diikat dengan jaminan. Tujuan dari pengikatan jaminan adalah untuk
memberikan kepastian dan keamanan atas pelaksanaan kredit tersebut jika
terjadi wanprestasi yang diakibatkan oleh debitur. Jika debitur melakukan
wanprestasi atau cidera janji maka kreditur dapat mengambil pelunasannya
melalui pelelangan umum yang berdasarkan irah-irah’’DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA’’yang tercantum
dalam sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki titel
eksekutorial yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan.

1
Pada saat ini maraknya wanprestasi yang dilakukan debitur dalam
dunia perbankan menyebabkan pemerintah membentuk suatu lembaga yaitu
Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara(KP2LN). Sehingga lelang
merupakan sarana penjualan yang efisien untuk memperoleh pelunasan bagi
kreditur. Namun dalam kenyataannya banyak kendala-kendala serta masalah
yang timbul di dalam pelaksanaanya diantaranya yaitu pemenang lelang yang
beritikad baik tidak dapat memperoleh dan menikmati atas barang yang telah
dimenangkannya.
Lelang di Indonesia diatur dalam Vendu Reglement Stbl. Tahun 1908
Nomor 189 dan berlaku sampai saat ini. Proses lelang dilakukan oleh akan
menimbulkan akibat hukum yaitu peralihan hak obyek lelang dari penjual
kepada pemenang lelang. Peralihan hak atas tanah melalui lelang merupakan
perbuatan hukum yang sah sepanjang memenuhi syarat yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Dasar pelaksanaan lelang eksekusi hak
tanggungan adalah adanya hak preferen yang dimiliki oleh kreditur pemegang
hak tanggungan. Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam
perjanjian kredit, para pihak (debitur dan kreditur) selalu dibebani dua hal,
yaitu hak dan kewajiban.1 Hak tanggungan juga tetap membebani obyek hak
tanggungan di tangan siapa pun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur
pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang obyek tersebut,
biarpun telah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite).2
Berdasarkan uraikan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan
Tidak Bergerak Melalui Lelang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah

1
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hlm 29
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi, Dan Pelaksanaannya (Edisi Revisi:Cetakan ke 7), Djambatan, Jakarta, 1999, hlm 402

2
1. Bagaimana karakter hukum jual beli melalui lelang tidak memberi

perlindungan absolute bagi pembeli lelang ?

2. Mengapa berbagai putusan pengadilan memberikan perlindungan hukum

terhadap kepastian hukum hak membeli lelang ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakter hukum jual beli melalui lelang tidak memberi perlindungan


absolute bagi pembeli lelang
Hak tanggungan timbul karena adanya suatu perjanjian, sehingga ada
kesepakatan antara kedua belah pihak dengan memberikan hak tanggungan.
Rumusan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan menyatakan
bahwa “ Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan
di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”.
Salah satu ciri dari hak tanggungan adalah pelaksanaan yang pasti dari
eksekusinya serta hak-hak istimewa yang terdapat di dalam hak tanggungan
tersebut yang lebih ditujukan kepada penerima hak tanggungan. Keistimewaan
tersebut terdapat dalam salah satu asas hak tanggungan yaitu memberikan
kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya. Hal ini berarti
bahwa kreditur pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan untuk
didahulukan terhadap para kreditur lainnya dalam mendapatkan pelunasan
piutangnya atas hasil penjualan benda yang dibebani dengan hak tanggungan.
Objek yang dibebankan atas hak tanggungan berada di bawah
kekuasaan penerima hak tanggungan. Hal ini bertujuan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada kreditur apabila debitur cidera
janji. Jika terjadi cidera janji, benda yang dijaminkan dengan hak tanggungan
akan dijual untuk melunasi utang debitur yang dijamin tersebut. Kekuatan
hukum pemegang hak tanggungan sangat jelas diberikan dalam hukum hak
tanggungan karena memberikan keutamaan haknya. eksekusi jaminan dapat
dilakukan dengan parate eksekusi. Parate Eksekusi memberikan hak kepada
kreditur untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri seolah-olah
obyek Jaminan yang dijaminkan oleh debitur adalah miliknya sendiri dengan

4
tanpa melibatkan debitur itu sendiri. Pelaksanaan parate eksekusi dianggap
sederhana karena tidak melibatkan debitur, pengadilan maupun prosedur
hukum acara. Pelaksanaannya hanya digantungkan pada syarat debitur
wanprestasi, padahal kreditur sendiri baru membutuhkannya kalau debitur
wanprestasi.kewenangan seperti itu tampak sebagai hak eksekusi yang selalu
siap ditangan kalau dibutuhkan, itulah sebabnya eksekusi yg demikian disebut
sebagai parate eksekusi.
Pelelangan objek hak tanggungan oleh bank memiliki dua prosedur
eksekusi hak tanggungan, yaitu berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak
Tanggungan dengan menjual langsung atas kekuasaan sendiri (parate
eksekusi) dan juga berdasarkan Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 26 Undangundang
Hak Tanggungan berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai title
eksekutorial yaitu eksekusi dengan perantaraan pengadilan. Objek yang
ditanggungkan dapat dijual jika debitur cidera janji berdasarkan sertifikat hak
tanggungan yang memiliki title eksekutorial yang berirah-irah “ DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang
bersifat mengeksekusi meskipun diperjanjikan atau tidak diperjanjikan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilakukan
melalui penjualan umum pelelangan yang penjualan barang yang disita umum
melalui perantara pejabat yang berwenang.
Lelang sebagai suatu alternatif cara penjualan barang oleh Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KP2LN) yang bertujuan untuk
menentukan harga yang wajar bagi suatu barang dan merupakan bagian dari
sistem hukum perdata nasional mempunyai berbagai sifat yang baik dan
memiliki keunggulan dibandingkan dengan cara penjualan lainnya, seperti
keterbukaan, bebas, dapat dipertanggungjawabkan, memberikan kepastian
hukum, cepat, dan efisien.
Tujuan dari penjualan melalui lelang adalah menjual secara umum
harta kekayaan tergugat yang disita, dan dari hasil penjualan uangnya akan

5
dibayarkan kepada pihak penggugat sebesar yang ditetapkan dalam putusan.
Dalam hal permohonan lelang sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Menteri
Keuangan No.93 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menganut
beberapa persyaratan yaitu :
1. Penjual/Pemilik Barang yang bermaksud melakukan penjualan barang
secara lelang melalui KP2LN.
2. Permohonan harus mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis
kepada Kepala KP2LN untuk dimintakan jadwal pelaksanaan lelang.
3. Permohonan disertai dokumen persyaratan lelang sesuai dengan jenis
lelangnya.
seorang penawar lelang sebelum melaksanakan perjanjian jual beli di
pelelangan harus memperhatikan beberapa criteria dari pelelangan.

Adapun kriterianya yaitu :


1. Pembeli harus mengetahui persis barang yang akan ia beli.
2. Pembeli harus mengetahui status hukum barang yang akan ia beli.
3. Pembeli harus benar-benar siap membeli, dalam arti bahwa ia akan
mengajukan penawaran sesuai dengan kemampuannya dan akan
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh kantor lelang Negara.

Analisis selanjutnya adalah dasar pertimbangan hukum dalam putusan


nomor 45/Pdt.G/1999/PN.Ska tentang penjualan lelang yang telah
dimenangkan oleh Tergugat V (Philipus Deddy Santoso) setelah melewati
beberapa proses dan memenuhi syarat lelang, Tergugat V tidak memperoleh
hak kebendaan bahkan objek tidak dikuasainya karena Para Penggugat tidak
mengosongkan tanah dan tidak mau menyerahkan benda yang telah dilelang
karena Para Penggugat beralasan bahwa objek sengketa berupa sebidang tanah
dan bangunan yang berdiri di atas SHM Nomor 259 adalah harta peninggalan
(gono-gini) Muknowiyah dengan Samija Harso Martono. Maka Para
Penggugat mengajukan gugatan kepada pihak Bank Windu Kencana (Tergugat
I), Tergugat II, Tergugat III, dan selaku Pemenang lelang yang kasusnya dari
Pengadilan Negeri, Banding, kasasi hingga peninjauan kembali. Namun
putusan dari hakim pun menerima bantahan eksekusi hak atas tanah dan
bangunan. Gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga jelas sangat merugikan

6
bagi pemenang lelang yang akan mengajukan eksekusi rill terhadap benda
yang telah dilelang tersebut. Berita Acara Lelang/ risalah lelang harus ada
dalam pelaksanaan lelang sebab jika tidak ada risalah lelang maka pelelangan
tersebut cacat hukum. Pada saat pelaksanaan jual beli pelelangan
tersebut juru lelang akan membuat berita acara lelang (risalah lelang). Juru
lelang pun selama penjualan berlangsung.
Apabila terjadi kasus yang terjadi pada Tergugat V dimana ada pihak
ketiga yaitu Para Penggugat yang mengajukan tuntutan kepada ketua
Pengadilan Negeri serta menyatakan keberatan terhadap pelaksanaan
penjualan lelang tersebut dengan mengatakan bahwa barang yang dilelang itu
adalah miliknya dan ia tidak mengetahui bahwa terhadap barang tersebut telah
dilakukan lelang oleh kantor lelang negara, maka langkah pertama dalam hal
ini pembeli lelang haruslah mendapatkan perlindungan hukum dari kantor
lelang negara, agar ia dapat menguasai dan menikmati barang yang dibelinya
apabila barang itu berada dalam kekuasaan pihak ketiga dan pembeli yang
beritikad baik tersebut haruslah mempertahankan barang yang telah ia beli
secara lelang di muka pengadilan, karena pada saat membeli barang tersebut ia
tidak mengetahui tentang adanya cacat/permasalahan-permasalahan yang
melekat pada barang yang ia beli secara lelang, serta yang ia ketahui bahwa
kantor lelang adalah sebagai perantara penjual yang sah berdasarkan undang-
undang dan mengetahui bahwa si pemilik barang tersebut adalah benar-benar
pemilik barang yang sah. Meskipun didalam peraturan tidak memberikan
dasar hukum bahwa kantor lelang bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan namun kantor lelang haruslah memberikan perlindungan kepada
pembeli lelang berupa :
1. Meneliti barang yang akan dilelang terlebih dahulu terhadap keabsahan
penjual dan barang yang akan dijual, apabila terdapat permasalahan
tentang barang maupun kepemilikan barang tersebut maka antara kantor
lelang maupun kepemilikan barang tersebut menyelesaikan segala
permasalahan-permasalahan yang melekat pada barang tersebut. Apabila
semua permasalahan itu telah selesai baru kemudian terhadap barang

7
tersebut dilakukan penjualan secara umum (lelang). Ini dilakukan untuk
menghindarkan agar objek yang dilelang tersebut tidak mengalami cacat
hukum atau tidah sah .
2. Memberikan perlindungan hukum berupa kesaksian dan barang-barang
bukti berupa memberikan surat bukti pembelian lelang (risalah lelang)
serta bukti-bukti sertifikat yang sah terhadap barang tersebut (Rumah
toko) itu dengan sertifikat Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, serta
surat-surat bukti lainnya. Kantor lelang negara juga akan memberikan
pembelaan dengan mengatakan bahwa sebelum lelang itu dilaksanakan,
terlebih dahulu telah dilakukan pengajuan permintaan penjualan lelang
oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Yang amat disayangkan oleh penulis adalah KP2LN tidak dapat
diminta pertanggung jawaban dalam hal kerugian. Pada dasarnya kantor lelang
tidak dapat menolak apa yang dipermohonkan kepadanya sepanjang
persyaratan lelang dipenuhi. Pihak kantor lelang tidak pertanggung jawab
apabila ada kerugian yang dipikul oleh pemenang lelang. Karena pada awal
pengajuan penawaran pembelian lelang, pembeli telah membuat surat
pernyataan sanggup untuk membeli objek lelang tersebut. Bisa dikatakan
bahwa itu adalah perlindungan awal dari kantor lelang untuk pemenang lelang,
sehingga pemenang lelang tidak ada yang tidak tahu bagaimana benda yang
akan dibelinya karena kantor lelang melakukan semua kegiatan lelang itu
secara transparan tidak ada yang ditutuptutupi. Maka segala resiko yang
timbul ditanggung oleh pembeli lelang.
Berdasarkan putusan nomor 45/Pdt.G/1999/PN.Ska, di atas, dimana
terlihat karakteristik gugatan atas dasar kesalaan/kelalaian debitor sehubungan
dengan kepemilikan debitor atas barang jaminan sebagai harta warisan yang
belum terbagi. gugatan atas dasar perbuatan hukum sebelum pelaksanaan
lelang yang pada akhirnya memintakan petitum/putusan agar hakim
menyatakan lelang batal demi hukum. ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum lebih diutamakan kepada petitum minta putusan hakim bahwa
perbuatannya adalah bersifat melawan hukum.

8
Dengan demikian, dalam hukum pada dasarnya siapa yang melakukan
perbuatan melawan hukum maka ia harus bertanggung jawab terhadap
seseorang yang dirugikannya. Namun dalam kenyataannya di undang-undang
disebutkan bahwa pembeli lelang harus bersedia menanggung segala resiko
yang terjadi. Seperti klausula yang tertera dalam Risalah Lelang “Apabila
tanah dan/atau bangunan yang akan dilelang ini berada dalam keadaan
berpenghuni, maka pengosongan bangunan tersebut sepenuhnya menjadi
tanggung jawab pembeli. Apabila pengosongan bangunan tersebut tidak dapat
dilakukan secara sukarela, maka pembeli berdasarkan ketentuan yang termuat
dalam Pasal 200 HIR dapat meminta bantuan Pengadilan Negeri setempat
untuk mengosongkan.”
Terlihat di dalam klausula tersebut seolah-olah memberikan benteng
yang kuat terhadap kantor pelelangan sehingga sulit bagi pihak yang dirugikan
untuk meminta pertanggung jawaban. Seharusnya pertanggung jawaban lebih
dititik beratkan kepada KP2LN Surakarta. Tetapi sesuai dengan Pasal 16
Peraturan Menteri Keuangan No. 93 Tahun 2010 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, lebih menitik beratkan pertanggung jawaban atas
kerugian kepada pihak penjual.
Perlindungan hukum terhadap pemenang lelang harus diberikan oleh
undang-undang karena dengan adanya pemenang lelang serta objek jaminan
merupakan kunci dalam penyelesaian eksekusi lelang.

B. Berbagai putusan pengadilan memberikan perlindungan hukum terhadap


kepastian hukum hak membeli lelang
Sebagaimana analisis terkait perlindungan hukum bagi pemenang
lelang eksekusi hak tanggungan atas penguasaan obyek lelang yang diberikan
oleh hukum positif Indonesia maupun dari risalah lelang. Hukum positif
Indonesia tentang lelang yang memberikan perlindungan hukum bagi
pemenang lelang eksekusi hak tanggungan atas penguasaan obyek lelang
adalah Vendu Reglement, HIR, serta PMK Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang
Perubahan Atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010 dan PMK Nomor

9
93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Sedangkan risalah
lelang tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pemenang lelang
eksekusi hak tanggungan.
Vendu Reglement merupakan peraturan yang mengatur prinsip-prinsip
pokok tentang lelang yang telah berlaku sejak 1 April 1908. Perlindungan
hukum secara preventif merupakan perlindungan hukum dimana rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum
suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. 3 Perlindungan
hukum preventif bagi pemenang lelang eksekusi hak tanggungan merupakan
suatu bentuk perlindungan yang diberikan kepada pemenang lelang sebelum
terjadinya suatu sengketa terkait obyek lelang. Vendu Reglement memberikan
perlindungan hukum secara preventif terhadap pemenang lelang eksekusi hak
tanggungan terkait peralihan hak obyek lelang. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 42 Vendu Reglement, bahwa pemenang lelang berhak
memperoleh kutipan risalah lelang sebagai akta jual beli obyek lelang. Secara
umum Vendu Reglement hanya mengatur tentang penyelenggaraan lelang, juru
lelang atau saat ini disebut sebagai pejabat lelang, bagian-bagian serta isi dari
risalah lelang. Namun Vendu Reglement ternyata tidak mengatur ketentuan
yang mencerminkan asas kepastian hukum bagi pemenang lelang.
Selain Vendu Reglement sebagai peraturan pokok lelang, Peraturan
teknis tentang pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan yang saat ini
berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 mulai berlaku
pada tanggal 23 juni 2010, dan kemudian mengalami perubahan dengan
diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 yang
berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2013. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
3
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia : Sebuah Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkup Peradilan Umum Dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm 18

10
93/PMK.06/2010 tetap berlaku, karena tidak semua Pasal yang ada di
dalamnya mengalami perubahan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
106/PMK.06/2013 hanya memuat Pasal-Pasal hasil perubahan dari peraturan
sebelumnya. Sehingga pasal-pasal yang tidak diubah dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tetap berlaku.
Peraturan teknis pelaksanaan lelang ini mengacu kepada Vendu
Reglement sebagai peraturan pokok lelang. Tetapi tidak semua Pasal dalam
Vendu Reglement diimplementasikan dalam peraturan teknis ini. Perlindungan
hukum yang diberikan kepada pemenang lelang dalam peraturan teknis
pelaksanaan lelang dapat dilihat dalam Pasal 3 PMK Nomor
93/PMK.06/2010, yang menyatakan bahwa : “lelang yang telah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak dapat dibatalkan.”
Dari rumusan ini telah mencerminkan adanya asas kepastian hukum
terhadap pemenang lelang eksekusi hak tanggungan. Peraturan ini bersifat
teknis, sehingga hanya mengikat para pihak di dalamnya. Berdasarkan studi
kasus yang diteliti saat ini, masih terdapat putusan pembatalan lelang atas
lelang eksekusi hak tanggungan. Selain terkait pembatalan lelang, peraturan
teknis tentang petunjuk pelaksanaan lelang juga memberikan perlindungan
secara preventif kepada pemenang lelang eksekusi hak tanggungan terkait
dokumen kelengkapan dalam proses lelang, keabsahan obyek lelang, serta
memberikan perlindungan hukum kepada pemohon lelang (kreditur).4
Ketentuan Pasal 12 PMK Nomor 93/PMK.06/2010, secara tidak
langsung telah memberikan asas kepastian hukum terhadap pembeli/pemenang
lelang. Sebelum melaksanakan lelang, pejabat lelang telah melakukan analisis
yuridis terhadap dokumen persyaratan lelang, sehingga lelang dapat
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait
keabsahan obyek lelang, diatur dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
PMK Nomor 93/PMK.06/2010, yang mencerminkan adanya asas kepastian
hukum terhadap pembeli/pemenang lelang. Terkait penguasaan obyek, dalam
Pasal 67 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 memberikan

4
Pasal 12 PMK Nomor 93/PMK.06/2010

11
perlindungan preventif kepada pemilik obyek. Berdasarkan ketentuan ini maka
pemenang lelang harus melaksanakan kewajibannya agar dapat menguasai
obyek. Pasal ini telah mencerminkan adanya kepastian hukum bagi pemilik
obyek dan penjual (kreditur) atas pelunasan jual beli dalam lelang oleh
pemenang lelang.
Selain Vendu Reglement dan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Pentunjuk Pelaksanaan Lelang, perlindungan hukum preventif bagi pemenang
lelang seharusnya juga terdapat dalam risalah lelang. Risalah lelang adalah
berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang
merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.5
Risalah lelang berisi jual beli yang didasari kesepakatan dua pihak, dan
Pejabat lelang sebagai pejabat umum, hanya menyatakan, menyaksikan dan
mengesahkan. Namun risalah lelang ternyata tidak memberikan perlindungan
hukum bagi pembeli/pemenang lelang eksekusi hak tanggungan, begitu juga
dengan pejabat lelang sebagai pembuat risalah lelang ternyata tidak
bertanggung jawab atas kebenaran keterangan-keterangan dalam proses lelang
eksekusi hak tanggungan yang terdapat dalam risalah lelang. Hal ini terlihat
dalam klausul risalah lelang yang menyatakan bahwa :
“Pejabat lelang/KPKNL tidak menanggung atas kebenaran keterangan-
keterangan-keterangan yang diberikan secara lisan pada waktu penjualan
tentang keadaan sesungguhnya dan keadaan hukum atas barang yang dilelang
tersebut, seperti luasnya, batas-batasnya, perjanjian sewa menyewa dan
menjadi resiko pembeli----------------------------------------------
Penawar/pembeli dianggap sungguh-sungguh telah mengetahui apa yang telah
ditawar olehnya. Apabila terdapat kekurangan/kerusakan baik yang terlihat
ataupun yang tidak terlihat, maka penawar/pembeli tidak berhak untuk
menolak atau menarik diri kembali setelah pembelian disahkan dan
melepaskan segala hak untuk meminta kerugian atas sesuatu apapun juga.”

Dalam klausul ini terlihat bahwa pemenang lelang sebagai pembeli


yang sah memiliki posisi yang lemah terkait obyek lelang. Klausul ini dapat
merugikan pemenang lelang, terutama bagi calon pembeli yang tidak
melakukan pemeriksaan obyek sebelum membeli terhadap penjualan melalui
lelang. Pembeli/pemenang lelang tidak mendapatkan perlindungan hukum
5
Pasal 1 angka 32 PMK Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

12
yang pasti terkait obyek lelang yang dibelinya apabila pembeli/pemenang
lelang mengalami gugatan terkait obyek lelang. Dalam klausul ini lebih
memberikan asas kepastian hukum terhadap pemilik obyek, dengan
menekankan bahwa segala resiko pembeli atas obyek lelang tidak
membatalkan pembeli/pemenang lelang.
Selain perlindungan hukum secara preventif, pemenang lelang
eksekusi hak tanggungan juga mendapatkan perlindungan secara represif.
Perlindungan represif menurut Hadjon adalah upaya untuk mendapatkan
perlindungan hukum yang dilakukan melalui badan peradilan.6 Perlindungan
represif terhadap pemenang lelang eksekusi hak tanggungan terdapat dalam
Pasal 200 HIR. Apabila pemenang lelang eksekusi hak tanggungan tidak dapat
menguasai obyek yang dibeli melalui proses lelang yang sah demi hukum,
maka pemenang lelang dapat meminta bantuan kepada Pengadilan Negeri
untuk pengosongan obyek tersebut.7 Dalam ketentuan ini memberikan asas
kepastian hukum bagi pemenang lelang untuk dapat menguasai obyek lelang.
Analisis selanjutnya adalah dimana berbagai putusan pengadilan
terkait perlindungan hukum terhadap pembeli lelang. Pemohon kasasi
(tergugat pada tingkat pertama) membeli sebidang tanah melalui proses lelang
eksekusi. Beberapa tahun setelah lelang tersebut dilakukan, putusan yang
menjadi dasar hukum pelaksanaan lelang dinyatakan oleh pengadilan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan putusan ini, penggugat pada
tingkat pertama meminta pembatalan lelang eksekusi yang sudah dilaksanakan
dengan sempurna. Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan gugatan tersebut
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk) berdasarkan asas nebis in idem, karena
(apabila diterima) akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dan
kerancuan terhadap status hukum kepemilikan obyek sengketa. Putusan ini
kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tingkat Banding. Mahkamah Agung
berpendapat bahwa lelang yang telah dilaksanakan tidak dapat dibatalkan dan

6
Philipus M. Hadjon, op.cit. hlm 2
7
Ketentuan Pasal 200 ayat (11) HIR

13
hak pembeli lelang harus dilindungi, serta mengabulkan permohonan para
pemohon kasasi.
Putusan Mahkamah Agung ini penting untuk menegaskan
perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang beritikad baik. Dengan
demikian, terdapat jaminan kepastian hukum untuk proses jual beli barang
lelang yang didasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Bagaimana apabila ternyata di kemudian hari terjadi pelanggaran hak
pemegang alas hak yang sah? Pada prinsipnya telah ada mekanisme
perlawanan eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 HIR/206 RBg pada saat
eksekusi dilakukan. Namun, apabila hal itu diketahui belakangan, yaitu ketika
proses eksekusi telah dilaksanakan dengan sempurna, maka menurut
Mahkamah Agung alat pemulihan haknya adalah mekanisme gugatan ganti
rugi terhadap pemohon lelang, bukan terhadap pembeli lelang tersebut.

14
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka Penulis menarik beberapa simpulan


sebagai berikut
1. Sebagaimana dalam putusan nomor 45/Pdt.G/1999/PN.Ska, di atas, dimana
terlihat karakteristik gugatan atas dasar kesalaan/kelalaian debitor
sehubungan dengan kepemilikan debitor atas barang jaminan sebagai harta
warisan yang belum terbagi. gugatan atas dasar perbuatan hukum sebelum
pelaksanaan lelang yang pada akhirnya memintakan petitum/putusan agar
hakim menyatakan lelang batal demi hukum. ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum lebih diutamakan kepada petitum minta putusan hakim
bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan hukum.
2. Pemenang lelang yang beritikad baik dapat diberikan perlindungan hukum
oleh undang-undang dengan meminta pertanggung jawaban kepada pihak
penjual objek yang dalam hal ini pihak bank yang menjualkan kepada
KP2LN untuk melelang. Jika terjadi bantahan akibat gugatan yang
diajukan oleh pihak ketiga maka pemenang lelang dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.


As Suhaiti Arief, 2008, Hukum Acara Perdata, Bung Hatta University Press,
Padang.
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak
Tanggungan, Kencana, Jakarta.
M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
M.Yahya Harahap, 2005, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
R.Wirjono Prodjodikoro, 1984, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur
Bandung, Jakarta.
Rachmadi Usman, 1999, Pasal- Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,
Djambatan, Jakarta.
Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan– Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok
Dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan. Alumni, Bandung.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1979, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung.
Salim HS, 2011, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta.

A. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Peraturan Menteri KeuanganNomor 93/PMK 06/2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang

16

Anda mungkin juga menyukai