Anda di halaman 1dari 24

Lelang

HAK TANGGUNGAN
&
PERMASALAHANNYA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA
KANTOR WILAYAH DJKN PAPUA DAN MALUKU
KPKNL AMBON
PREPARED BY :
Widodo Sunarko
Kepala KPKNL Ambon
PENDAHULUAN
Melihat perkembangan dewasa ini dalam penanganan kredit macet
perbankan khususnya dalam pelaksanaan lelang barang jaminan
hutang yang diikat Hak Tanggungan, perlu kiranya mencermati
beberapa hal yang sering terjadi baik itu sebelum maupun sesudah
pelaksanaan lelang Hak Tanggungan :

1. Apakah kredit dengan agunan yang telah diikat APHT, jika debitur
macet agunannya dapat langsung dimohonkan lelang melalui KPKNL?
jawab :
Sebelum agunan tersebut dimohonkan lelang perlu diteliti kembali mengenai
pengikatan drpd agunan kredit tsb. Apakah pengikatannya berupa APHT
ataukah SHT.
Agunan kredit diikat APHT.....maka permohonan lelang memerlukan fiat
eksekusi dari pengadilan.
Berdasarkan Pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 UUHT, APHT wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan APHT. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib mengirimkan
APHT yg bersangkutan dan warkah lain yg diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan
Sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 14 ayat 1 UUHT).
artinya disini bahwa APHT (Akta Pemberian Hak Tangungan) masih belum
mempunyai kekuatan eksekusi. APHT yg dibuat oleh PPAT adalah langkah pertama
dari pemberian hak tanggungan dimana sesuai pasal 10 ayat 1 UUHT, pemberian
hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu yg dituangkan di dalam dan merupakan bagian
tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yg bersangkutan atau perjanjian
lainnya yg menimbulkan utang tsb. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dg
pembuatan APHT oleh PPAT (Pasal 10 ayat 2 UUHT).

Agunan telah diikat SHT (Sertifikat Hak Tanggungan)...........


permohonan lelang bisa dimohonkan langsung ke KPKNL tanpa fiat pengadilan.
Sesuai Pasal 6 jo Pasal 20 ayat 1a UUHT apabila debitur cedera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasannya piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
 Pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk mengeksekusi objek hak
tanggungan pada saat debitur wanprestasi. Eksekusi objek hak tanggungan
tidak memerlukan permohonan sita jaminan terlebih dahulu kepada PN
setempat, namun dalam tahap penjualan tetap dilaksanakan melalui lelang dan
bantuan KPKNL (parate executie karena sudah ada klausula kuasa untuk
menjual sendiri di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan).
Selain karena dalam Sertifikat Hak Tanggungan yg dikeluarkan kantor
pertanahan sudah tercantum irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” (Pasal 14 ayat 2 UUHT), sehingga Sertifikat Hak Tanggungan
tersebut sudah memiliki kekuatan eksekutorial seperti suatu putusan hakim yg
berkekuatan hukum tetap.
2. Bagaimana bila rencana lelang eksekusi Hak Tanggungan mendapat
intervensi Pihak Ketiga?
Agunan Kredit (Objek lelang) adalah sebidang tanah yang awal perolehannya
dari jual beli antara debitur dg pemilik awal tanah (Pihak Ketiga). Menurut
Pihak Ketiga bahwa jual beli tanah yg menjadi objek lelang tersebut belum
dilunasi. Dan Pihak Ketiga meminta kepada Bank agar hasil penjualan objek
lelang diserahkan ke Pihak Ketiga sebagai pembayaran kekurangan/
pelunasan jual beli objek lelang.
jawab :
Jual beli tanah pada asasnya adalah bersifat terang dan tunai. Yang dimaksud
dengan tunai, salah satunya adalah bahwa hak milik beralih seketika pada
saat jual beli tanah dilakukan ( sesuai dengan Pasal 5 UU No.5 Tahun 1960
ttg Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Artinya disini walaupun harga
pembelian tersebut tidak dibayarkan secara penuh, akan tetapi hak milik
sudah beralih pada saat perbuatan hukum jual beli tanah tersebut dilakukan.
Adapun kekurangan pembayaran harga jual beli tersebut menjadi hubungan utang
piutang antara penjual dan pembeli, namun tidak membatalkan peralihan hak atas tanah
yang telah terjadi pada saat jual beli tersebut telah dilakukan.
Dalam UUHT disebutkan “ dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang
tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak
pemberi Hak Tanggungan”.
Selanjutnya Pasal 6 UUHT diatur : “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut”.

Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu
perwujudan dr kedudukan diutamakan yg dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau
pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dr satu pemegang Hak
Tanggungan. Hak tsb didasarkan pada janji yg diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan
bahwa apabila debitor cidera janji pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual
objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dr
pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dr hasil
penjualan itu lebih dahulu drpd kreditor kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap
menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
Dengan memperhatikan uraian diatas maka tindakan kreditur/pemegang Hak
Tanggungan seharusnya adalah:
1. mengambil pelunasan piutangnya.
2. mengembalikan sisa hasil eksekusi kepada debitur, karena sisa pelelangan
tersebut menjadi hak pemberi Hak Tanggungan, yaitu debitur.
Sedangkan mengenai kekurangan pembayaran harga jual beli tanah, menjadi
urusan utang piutang antara pihak ketiga tersebut dengan debitur. Pihak ketiga
tidak dapat menuntut Kreditur/Bank untuk memberikan pelunasan harga
pembayaran, karena tidak ada kewenangan pada Kreditur untuk memberikan
sisa hasil eksekusi objek Hak Tanggungan kepada siapapun kecuali kepada
debitur.
3. Bisakah agunan kredit yang telah diikat Hak Tanggungan diletakkan Sita
Jaminan? Bagaimana penyelesaian piutang debitur selanjutnya.
jawab :
Harta kekayaan yg dimiliki debitur (ataupun yg dimiliki pihak ketiga) baik yg berupa
barang bergerak maupun tidak bergerak adalah sah sebagai agunan (jaminan) bagi
pelunasan utang kredit debitur kepada bank/kreditur apabila telah sah diikat dengan
hak-hak jaminan kebendaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pada prinsipnya tidak terdapat larangan di dalam peraturan perundang-undangan
untuk dapat diletakkannya Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) atas suatu harta
kekayaan yg telah sah diikat oleh suatu hak jaminan kebendaan (Hak Tanggungan)
Tetapi dalam prakteknya, Sita yang diletakkan tersebut oleh Jurusita menjadi
dikualifikasikan sebagai Sita Persamaan (Vergelijken Beslag) berdasarkan Pasal
463 Reglemen Acara Perdata. Hal ini karena prinsip hukum jaminan bahwa hak
preferen dari kreditur pemegangnya (Kreditur Preferen) terhadap harta kekayaan
yg telah sah diikat oleh suatu Hak Tanggungan adalah diutamakan, prinsip hukum
jaminan mana telah ditegaskan dalam Pasal 6 UUHT.
Konsekuensi dari berlakunya prinsip hukum ini adalah jika dilakukan eksekusi
penjualan atau eksekusi lelang atas harta kekayaan tersebut, maka Kreditur
Preferenlah yang berhak untuk pertama kali mengambil uang hasil eksekusinya
hingga terlunasinya tagihan piutangnya, dan jika masih terdapat sisanya maka
barulah itu menjadi bagian pihak-pihak yang berhak berdasarkan Sita Persamaan
yang pelaksanaan eksekusinya menjadi berstatus Sita Eksekusi (Executorial
Beslag).
Namun demikian tetap harus diperhatikan pula Putusan Pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan pasti (in kracht) atas perkara dimana sita ditetapkan
dan diletakkan. Apabila putusan tersebut menetapkan kepemilikan atas harta
kekayaan dimaksud adalah bukan lagi berada pada debitur atau pihak ketiga
pemberi jaminan utang, maka hak jaminan kebendaan (Hak Tanggungan) yang
tadinya melekat pada harta kekayaan tersebut gugur demi hukum. Sehingga hak
preferen dari kreditur atas harta kekayaan tersebutpun tidak lagi terdapat
(hapusnya hak jaminan akibat hapusnya hak milik atas barang jaminan)
4. Dapatkah satu Objek Jaminan dibebankan 2 atau lebih Hak Tanggungan?
Bagaimana pelaksanaan lelangnya.
jawab :
Berdasarkan Pasal 5 UUHT, atas suatu objek tanah dapat dibebani lebih dari satu
hak tanggungan untuk menjamin lebih dari satu utang. Memperhatikan ketentuan
tsb. atas suatu objek hak tanggungan yang sama, bisa diletakkan lebih dari satu
beban hak tanggungan untuk satu utang yang sama. Hak tanggungan tersebut
masing-masing harus dituangkan dalam akta pemberian hak tanggungan sendiri-
sendiri.
Beberapa utang tersebut bisa datang dari kreditur yang sama, tetapi mungkin juga
dari 2 (dua) utang dari 2 (dua) kreditur yang berlainan.
Apabila objek jaminan diikat 2 Hak Tanggungan (HT 1 dan HT 2) yang berasal
dari kreditur yang sama proses eksekusi objek jaminan hak tanggungan dapat
dilakukan secara bersama-sama pelaksanaannya.
Apabila krediturnya berbeda, maka yang berhak untuk memohonkan eksekusi
objek jaminan adalah pemegang Hak Tanggungan Pertama sekaligus mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan.
Selanjutnya apabila dalam hasil penjualan lelang tersebut setelah dipotong
pelunasan hutang pada kreditur pemegang hak tanggungan pertama masih
terdapat sisa, maka sisanya diserahkan kembali ke debitur atau ke pemegang hak
tanggungan kedua dan seterusnya.
Berbeda lagi permasalahannya dan eksekusinya apabila debitur dinyatakan
PAILIT oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
5. Bagaimana kekuatan eksekutorial dari suatu agunan kredit yang statusnya
telah dialihkan akibat debitur wanprestasi, sementara hak tanggungan
yang terpasang dari perjanjian kredit sebelumnya belum dilepaskan
(roya)?
jawab :
Pada hakekatnya yang dijaminkan dari suatu perjanjian hutang-piutang adalah
Tanah (dan bangunannya) dan bukan Sertifikatnya (biasanya SHM), melalui
lembaga penjaminan yg dikenal dg nama Hak Tanggungan karena setelah
Sertifikat Hak Tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan maka Sertifikat
Hak Atas Tanah yg telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan akan
dikembalikan lagi dan disimpan dalam penguasaan Kreditur.
Ketika Debitur wanprestasi atau cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan
mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan (Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat
1a UUHT). Dengan demikian objek hak tanggungan atau agunannya secara
otomatis beralih kepada pemegang hak tanggungan.
Perlu diketahui bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objek hak tangungan
dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7 UUHT). Adapun sifat
melekatnya hak tanggungan tersebut terhadap objeknya merupakan salah satu
jaminan khusus bagi kepentingan pemegang hak tanggungan, walaupun objek
hak tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain.
Sebagai akibatnya, jika peralihan tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur
hukum yg berlaku, peralihan hak atas tanah tersebut dianggap belum pernah
terjadi. Sehingga hak eksekusinya apabila debitur wanprestasi atau cidera janji
tetap berada pada pemegang Hak Tanggungan.
6. Bagaimana kedudukan hukum Surat Kuasa Menjual terhadap objek
jaminan yang dibebani dengan Hak Tanggungan ?
Jawab :
Kedudukan hukum Surat Kuasa Menjual terhadap objek yg dibebani Hak
Tanggungan apabila dilihat dari fungsi dan kekuatan mengikatnya :
Pertama fungsi kuasa menjual pada dasarnya adalah untuk menjamin pelunasan
utang debitur, dalam arti kreditur sangat berkepentingan untuk mengambil
pelunasan hutang tsb demi untuk mengurangi/memperkecil kerugian bahkan
mencegah kerugian dalam penyaluran kreditnya. Fungsi kuasa menjual akan
berlaku atau berfungsi efektif apabila berdiri sendiri dalam artian bahwa tidak ada
bentuk pengikatan atau pembebanan lain seperti Hak Tanggungan. Kreditur tidak
dapat serta merta menjual objek jaminan dengan berdasar pada kuasa menjual
tetapi kreditur masih diwajibkan meminta pernyataan penyerahan sukarela dari
debitur sebelum menjual objek jaminannya. Oleh karena itu pemberian kuasa
menjual oleh debitur kepada kreditur tidak disarankan disamping tidak efektif dan
sia-sia juga menambah beban biaya bagi debitur. Namun kuasa menjual ini penting
apabila objek jaminan itu tidak diikat atau dibebani dengan Hak Tanggungan.
Sementara itu keberadaan Hak Tanggungan sebagai sebuah lembaga jaminan
bagi pemegang Hak Tanggungan/kreditur akan dilindungi dan mempunyai
kepastian hukum akan pelunasan piutangnya karena dengan Hak Tanggungan
kreditur berhak menjual objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan terlebih
dahulu dari debitur dan debitur tidak dapat mengajukan keberatan. Hal ini
disebabkan Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial, daya
mengikat dan daya memaksa terhadap objek Hak Tanggungan apabila debitur
cidera janji (Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat 1a UUHT).
7. Bisakah mengganti Objek Hak Tanggungan ?
Jawab :
Mengenai pembebanan jaminan kredit atas tanah dengan hak tanggungan, diatur
dalam UU No.4/1996 ttg Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda2 Yang
Berkaitan dg Tanah. Dalam UUHT tidak diatur mengenai penggantian benda
jaminan hak tanggungan. Akan tetapi hal tsb. Dimungkinkan dengan melihat
ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf b UUHT :
“ 1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yg dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
selanjutnya dalam Pasal 18 ayat 2 UUHT dikatakan bahwa hapusnya hak
tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian
pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tsb. oleh pemegang
Hak Tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.
Dalam Pasal 18 ayat 2 UUHT tersebut tidak disyaratkan adanya suatu akta otentik,
baik notariil mapun PPAT, oleh karenanya cukup dengan akta dibawah tangan
saja. Yang penting adalah kehendak dari pemegang hak tanggungan untuk
melepaskannya tampak jelas dan tidak meragukan.
Selanjutnya setelah hak tanggungan dilepaskan maka, pihak yg berkepentingan
melakukan permohonan pencoretan hak tanggungan ke Kantor Pertanahan
setempat dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan dan Surat Keterangan
Kreditur bahwa hak tanggungan hapus karena kreditur melepaskan hak tanggungan
yg bersangkutan.
Dengan begitu terlihat jelas bahwa dimungkinkan untuk mengganti objek kredit
tersebut dengan melepaskan objek hak tanggungan yg lama dan membebankan
hak tanggungan pada objek pengganti. Biasanya atas perubahan objek jaminan
kredit tersebut, kreditur akan melakukan perubahan pada perjanjian kredit
(Addendum).
8. Kapan Masa berlaku laporan penilaian berakhir? dan bisakah dilakukan
penurunan Nilai Limit walaupun masa berlaku penilaian belum berakhir
Jawab :
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 disebutkan :
a. Masa Berlaku laporan penilaian atau penaksiran yg digunakan sebagai dasar
penetepan Nilai Limit berlaku untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal laporan penilaian/penaksiran sampai dengan tanggal pelaksanaan
lelang, kecuali terdapat perubahan kondisi yang signifikan menurut penjual.
b. Dalam hal terdapat ketentuan/peraturan perundang-undangan terkait penjual yang
menyatakan bahwa masa berlaku laporan penilaian kurang atau lebih dari 12 (dua
belas) bulan, maka masa berlakunya sesuai dengan kententuan tersebut.
Pada dasarnya dalam penetapan Nilai Limit oleh Penjual adalah sekurang-
kurangnya/paling sedikit sama dengan nilai lukuidasi. Dengan demikian penurunan
Nilai Limit lelang dimungkinkan sepanjang minimal sama dengan Nilai Likuidasi
atau terlebih dahulu meminta KJPP melakukan peninjauan kembali bahwa hasil
laporan penilaian yg dihasilkan sebelumnya terlalu tinggi dengan menyampaikan
alasannya.
Pemohon lelang diminta melampirkan copy laporan hasil penilaian atau penaksiran objek
lelang pada saat pengajuan permohonan lelang. Hal ini dimaksudkan agar
KPKNL/Pejabat Lelang dapat meneliti Nilai Limit yg ditetapkan oleh pemohon lelang
jangan sampai di bawah Nilai Likuidasi. Khususnya pada saat dilaksanakan lelang ulang
sering terjadi dilakukan penurunan nilai limit.

9. Setoran uang jaminan tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam


pengumuman lelang, apakah dapat mengikuti lelang?
Jawab :
Sesuai Perdijen KN No.6/KN/2013 Pasal 13 menyebutkan :
”Setiap orang hanya dapat menyetor satu uang jaminan penawaran lelang untuk satu
barang/paket barang”.
“Jumlah setoran UJ Penawaran Lelang dilakukan untuk masing2 barang dan besaran
UJ yg disetorkan harus sama dg besaran UJ yg disebutkan dalam pengumuman
lelang”.
10. Siapa yang berkewajiban mengajukan surat permintaan SKT ke Kantor
Pertanahan dan berapa lama masa berlaku SKT?
Jawab :
Sesuai ketentuan yang berkewajiban mengajukan surat permintaan penerbitan SKT/
SKPT kepada Kantor Pertanahan untuk kepentingan lelang adalah Kepala KPKNL
atau PL II............diatur dalam Perdirjen KN No.6/KN/2013 pasal 11. Namun dalam
pelaksanaannya/pengurusannya dapat dikuasakan ke pemohon lelang, hal ini
mengingat KPKNL tidak tersedia dana/biaya untuk keperluan pengurusan
SKT/SKPT. Perlu diingat pula bahwa dalam SKT/SKPT yang tercantum sebagai
pemohon SKT/SKPT harus atas nama Kepala KPKNL.
SKT/SKPT dapat digunakan berkali-kali sepanjang tidak ada perubahan data fisik dan
yuridis serta dokumen asli kepemilikan dikuasai Pemohon Lelang/Penjual ---
Informasi tersebut harus dicantumkan dalam Surat Permohonan Lelang yg diajukan.
Apabila dokumen asli tidak dikuasai, maka setiap pengajuan permohonan lelang
harus dimintakan SKT/SKPT baru ke Kantor Pertanahan setempat.
11. Apakah boleh Kreditur mengajukan permohonan lelang sedangkan
Debitur belum masuk katergori Kredit Macet?
Jawab :
Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor : 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas
Aset Bank Umum, Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai
berikut :
a. Prospek Usaha;
b. Kinerja (performance) Debitur; dan
c. Kemampuan Membayar.

Dari Kemampuan Membayar dikelompokkan lagi menjadi 4 kelompok, yaitu :


1) Lancar (kolektibilitas 1)
Tidak terdapat tunggakan;

2) Dalam Perhatian Khusus (kolektibilitas 2)


Apabila terdapat tunggakan pinjaman pokok dan/atau bunga s.d. 90 hari;
3) Kurang Lancar (kolektibilitas 3)
Apabila terdapat tunggakan pinjaman pokok dan/atau bunga s.d. 120 hari;

4) Diragukan (kolektibilitas 4)
Apabila terdapat tunggakan pinjaman pokok dan/atau bunga s.d. 180 hari;

5) Macet (kolektibilitas 5).


Apabila terdapat tunggakan pinjaman pokok dan/atau bunga di atas 180 hari;

Dengan dengan demikian permohonan lelang tersebut belum bisa diajukan ke


KPKNL mengingat belum terpenuhinya syarat minimal yang telah ditetapkan oleh
PBI Nomor : 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
Terima kasih
Tanya Jawab

1. Ade dari bank maluku


Jaminan dipersengketakan dengan pihak ke 3

Anda mungkin juga menyukai