Disusun Oleh :
ARIYOS (191320035)
Jika merujuk kepada Pasal 24 UUKepailitan, dikenal prinsip zero hour principle. Artinya,
suatu harta debitor sudah berada dalam sita umum sejak dinyatakan pailit oleh pengadilan. Jika
dilihat secara kasat mata, tidak ada yang salah dalam ketentuan ini. Namun, kebingungan baru
muncul ketika kurator akan menjalankan sita umum tersebut. Pasalnya, kurator baru bisa bekerja
setelah kurator mendapatkan salinan putusan yang secara praktik sulit didapat dalam waktu
singkat.
Pengertian Kurator pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) adalah Balai Harta Peninggalan
atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta
debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas
yang ditunjuk dari hakim Pengadilan. Kurator sendiri pada Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan
disebutkan dalam kedudukannya harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan
dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara. Tugas Kurator sendiri adalah melakukan
pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Dalam melaksanakan tugas, Kurator tidak harus memperoleh persetujuan dari atau
menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor,
meskipun dalam keadaan di luar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian
dipersyaratkan, dan Kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, untuk meningkatkan
nilai harta pailit.
Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk
mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan
surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian
dalam tugas pengurusan harta pailit, Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau
kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan
kerugian terhadap harta pailit.
Hakim Pengawas
Hakim pengawas ditunjuk oleh hakim pengadilan. Hakim pengawas berperan penting
dalam putusan pernyataan pailit. Sebelum pengadilan mengambil keputusan terkait harta pailit,
pengadilan diharuskan mendengar argumen atau pendapat dari hakim pengawas.Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, hakim pengawas ialah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan, dalam putusan
pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang. Selain hakim pengawas, pengadilan juga
akan meunjuk kurator untuk mengurus atau membereskan harta yang dimilik debitur pailit, di
bawah pengawasan sesuai Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kurator dalam konteks ini
diartikan sebagai Balai Harta Peninggalan atau orang yang ditunjuk oleh pengadilan.
1. Hakim pengawas meminta kurator untuk memberi kepastian tentang perjanjian timbal
balik antara debitur dengan pihak bersangkutan (kreditur).
2. Hakim pengawas memberi jangka waktu, apabila kesepakatan tentang perjanjian timbal
balik tersebut tidak tercapai.
3. Hakim pengawas memberi putusan atas permohonan kreditur atau pihak ketiga yang
berkepentingan, karena haknya ditangguhkan.
4. Hakim pengawas memberi persetujuan kepada kurator, terkait segala hal yang berkaitan
dengan harta pailit.
5. Hakim pengawas menentukan hari, tanggal, waktu, dan lokasi rapat kreditur pertama.
Salah satu pihak yang dikenal dalam proses Kepailitan adalah Panitia Kreditor. Panitia
Kreditor adalah pihak yang mewakili pihak kreditor sehingga panitia kreditor tentu akan
memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditor.
Ada dua macam panitia kreditor yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Kepailitan, yaitu:
Actio Paulina
Dalam hukum kepailitan dikenal istilah actio pauliana, yaitu upaya hukum oleh para
kreditor untuk membatalkan transaksi debitor yang dinilai menimbulkan kerugian terhadap
kreditor. Dalam praktiknya, sering terjadi debitor melakukan hibah sebelum dirinya dinyatakan
pailit yang mengurangi pembayaran utang-utangnya. Hal ini tentu bisa merugikan kreditor.
Karena itu, kreditor bisa melakukan upaya hukum actio pauliana.
Secara umum, actio paulina diatur di dalam KUH Perdata Pasal 1341, berbunyi,
“Meskipun demikian, tiap kreditor boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang
tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitor, dengan nama apapun juga, yang merugikan
kreditor, asal dibuktikan, bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitor dan orang yang
dengannya atau untuknya debitor itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan
kerugian bagi para kreditor. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-
barang yang menjadi obyek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati.”
Ketentuan actio paulina dalam Pasal 1341 KUH Perdata merupakan pengecualian
terhadap Pasal 1340 KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian hanya berlaku dan
mengikat para pihak yang membuatnya. Dengan mekanisme actio paulina, maka pihak ketiga
yang merasa dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Pada hakikatnya, actio paulina erat kaitannya dengan utang piutang. Merujuk pada Pasal
1131 KUH Perdata, segala kebendaan debitor menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan. Hal ini berarti debitor bebas untuk menentukan bagaimana dia memanfaatkan
segala kebendaan yang dimilikinya, tetapi tidak boleh merugikan kreditor. Actio paulina
berperan dalam hal tindakan debitor merugikan kreditor.
Secara khusus, actio pauliana diatur dalam Pasal 41 ayat (1-2) UU Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kedua pasal itu menegaskan
bahwa untuk kepentingan harta pailit, pengadilan dapat melakukan pembatalan segala perbuatan
hukum debitor yang merugikan kepentingan kreditor.
Actio paulina bisa dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Pembatalan
hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan,
debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui bahwa
perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Pasal 41 Ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004 memberikan pengecualian terhadap upaya
hukum actio pauliana. “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena
undang-undang.”
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan gugatan actio pauliana ini
diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata, yaitu:
1. Kreditor yang mengajukan gugatan haruslah merupakan kreditor yang memiliki
kewenangan;
2. Kreditor harus membuktikan bahwa debitor telah melakukan tindakan yang tidak
diwajibkan olehnya;
3. Kreditor harus membuktikan bahwa tindakan debitor merugikan kreditor;
4. Kreditor harus membuktikan bahwa, baik debitor maupun pihak dengan siapa debitor
melakukan perbuatan itu, mengetahui bahwa perbuatan hukum itu akan membawa akibat
yang merugikan kreditor;
Terhadap perbuatan yang dilakukan dengan cuma-cuma oleh debitor, kreditor cukup
membuktikan bahwa debitor pada waktu melakukan perbuatan tersebut akan merugikan kreditor,
tanpa mempersoalkan apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahuinya atau tidak.
Mengenai diterima atau tidaknya gugatan actio pauliana ini, akan ditentukan berdasarkan
putusan pengadilan. Apabila hasil dari putusan adalah membatalkan perjanjian atau tindakan
yang merugikan kepentingan kreditor (khususnya atas harta kekayaan debitor), maka seluruh
kebendaan kreditor akan dikembalikan seperti semula.
Akibat hukum dari actio pauliana adalah dibatalkannya kewajiban-kewajiban perbuatan
hukum debitor dengan pihak siapa perbuatan hukum itu dilakukan dilandasi dengan etikad tidak
baik sehingga dinilai merugikan kreditor. Jaminan hukum yang diberikan oleh kedua aturan
tersebut bagai angin segar bagi kreditor sehingga mendapatkan jaminan hukum atas
kepentingannya dalam proses kepailitan. Namun perlu dicermati belum ada pengaturan
pertanggungjawaban debitor yang melakukan perbuatan hukum dengan etikad tidak baik tapi
pihak ketiga memiliki etikad baik, sehingga perlu adanya penambahan aturan dalam hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja (1999), Kepailitan, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Bagus Wicaksono (2022, Januari 3) Akibat-akibat yang Dapat Ditimbulkan oleh Kepailitan.
https://abpadvocates.com/inilah-akibat-akibat-yang-dapat-ditimbulkan-oleh-kepailitan/
https://www.hukumonline.com/berita/a/revisi-uu-kepailitan--lindungi-kurator
https://martenluckyzebua.co.id/2021/08/19/kedudukan-kurator-dalam-kepailitan
Vanya Karunia Mulia Putri (2019, Juli 7) Tugas dan Fungsi Hakim Pengawas.
https://www.kompas.com/skola/read/2021/07/07/141127269/tugas-dan-fungsi-hakim
pengawas
Bagus Wicaksono (2017, Januari 11) Mengenal Actio Pauliana dalam Hukum Kepailitan
https://abpadvocates.com/mengenal-actio-pauliana-dalam-hukum-kepailitan/