Anda di halaman 1dari 13

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS

DALAM HUKUM KEPAILITAN

Oleh: Adem Panggabean

A. PENDAHULUAN
Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan
kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada pihak lain sehingga
mengakibatkan terjadi penyitaan atas harta (aset) perusahaan untuk melunasi hutang
tersebut setelah adanya gugatan oleh pihak yang berpiutang (kreditur) ke pengadilan
dalam hal ini sering disebut dengan terjadi pailit terhadap perusahaan (debitur).
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan
kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas
seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di
kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit
tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditor.
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar
dari persoalan utang piutang yang rnenghimpit seorang debitur, di mana debitur
tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang
tersehut kepada para kreditornya. Sehingga, bila keadaan kezidakrmampuan untuk
membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur. maka
langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya
(voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan,
atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian

1
ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar
utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for
bankcruptcy).1
Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap
debitur yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(Undang-Undang Kepailitan) yang menyatakan bahwa ”Debitur yang mempunyai
dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya.”
Dengan memenuhi syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit
atas debitur tersebut, dapat diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pengadilan
niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses,
memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut
dikabulkan maka pengadilan niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan
debitur tersebut dalam keadaan pailit.
Undang-Undang Kepailitan menentukan kreditur yang mengajukan
permohonan kepailitan merupakan pihak yang bertindak selaku pemohon pailit dan
merupakan pihak yang mempunyai tagihan kepada debitur yang dimohonkan pailit.
Debitur dan kepailitan, dapat berupa perserorangan atau badan hukum maupun
institusi. Selain dapat diajukan oleh kreditur, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Kepailitan, untuk kepentingan umum permohonan kepailitan atas
debitur dapat juga diajukan oleh kejaksaan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam
makalah ini adalah tentang pembagian dan kedudukan kreditur setelah terjadinya
debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan, terutama dalam hal ini kreditur yang

1
Ricardo Simanjuntak, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam Emmy
Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya. (Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum, Jakarta, 2005), hal. 55-56.

2
memegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis) yang mempunyai hak preferen
(hak didahulukan) dari kreditur-kreditur yang lainnya. Hal ini karena dalam hal
terjadi suatu pailit sudah pasti kreditur lebih dari satu, sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Kepalitan.

B. PENGERTIAN PAILIT
Kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium
dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan
(vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan
debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun
harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan
dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.2 Sedangkan prinsip
pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan
bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara
mereka, kecuali apabila antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang
harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.3
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan) sebagai pranata hukum
lembaga kepailitan yang menjadi pedoman bertindak para pihak yang terlibat di
dalamnya.
Undang-Undang Kepailitan ini merupakan pengganti dari Peraturan
Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb. 1905-217 jo. 1906-348, yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998. Pada saat ketentuan Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening)
Stb. 1905-217 jo. 1906-348 diberlakukan, dalam prakteknya, masih sangat sedikit

2
Kartini Mulyadi, dalam Rudy A Lontoh, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 168.
3
Ibid., hal. 168.

3
para pihak yang ada pada saat itu mempergunakan lembaga dan Peraturan Kepailitan
untuk menyelesaikan persoalan utang piutangnya.4
Perubahan kemudian dilakukan atas ketentuan pranata hukum yang digunakan
dalam penyelesaian utang piutang dengan lembaga kepailitan ini. Hal ini disebabkan
karena Peraturan Kepailitan sebagai produk hukum kolonial warisan zaman
penjajahan Belanda dirasakan sudah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan para
pihak akan mekanisine penyelesaian utang piutang. Dengan dikeluarkannya
ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun
1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998,
para pihak seperti bersemangat untuk mencoba penyelesaian utang piutang dengan
menggunakan lembaga kepailitan, dengan pengertian bahwa lembaga kepailitan ini
akan dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang mereka dengan prosedur yang
serba cepat.5 Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan lembaga peradilan yang
dapat menampung upaya penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan,
maka pada tahun 1998 dibentuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan kemudian
menyusul Pengadilan Niaga Medan, Semarang, Surabaya dan Makasar pada tahun
1999.
Pailit adalah suatu keadaan, dimana seorang debitur tidak mempunyai
kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditur,
dan pernyataan pailit atas debitur tersebut harus dimintakan pada pengadilan.
Pengertian kepailitan yang diberikan oleh undang-undang, tercantum dalam
ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Kepailitan, yaitu: “Kepailitan adalah sita umum
atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.”

4
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002), hal. 1.
5
Ibid., hal. 1.

4
Kepailitan mempunyai tujuan:
1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara
para krediturnya.
Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari asas jaminan sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.6 Menjamin agar
pembagian harta debitur kepada para krediturnya sesuai dengan asas pari passu,
dibagi secara proporsional. Dengan demikian kepailitan dengan tegas memberikan
perlindungan pada kreditur konkuren.
2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditur.
Dengan dinyatakan pailit, debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk
mengurus, memindahtangankan harta kekayaannya yang berubah status
hukumnya menjadi harta pailit.7

C. JENIS KREDITUR DALAM KEPAILITAN


Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Kepalitan menyatakan: Kreditur adalah
orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat
ditagih di muka pengadilan.
Keberadaan atau eksistensi dari kreditur adalah syarat mutlak dalam
kepailitan dengan alasan sebagai berikut:
1. Karena Pasal 2 ayat 1 mensyaratkan adanya concersus creditorium yaitu debitur
setidaknya memiliki lebih dari dua kreditur. Dalam hal ini, pemohon pailit harus
dapat membuktikan bahwa debitur juga memiliki kreditur lain dengan jumlah
minimum dua orang.

6
Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik
debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan
debitur itu. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi: Barang-barang itu menjadi jaminan
bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut
perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah
untuk didahulukan.
7
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 37.

5
2. Kehadiran kreditur atau wakilnya yang sah sangat penting untuk menentukan
diterima atau tidak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitur dalam rapat
kreditur. Jika jumlah kreditur yang hadir tidak memenuhi ketentuan maka quorum
suara tidak terpenuhi.
Kemudian dalam Pasal 1132 KUHPerdata telah menginsyaratkan bahwa
setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali jika
ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan dari para kreditur-kreditur lainnya. Dengan adanya kalimat dalam Pasal
1132 KUH Perdata yang bunyinya “kecuali apabila diantara para kreditur terdapat
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari para kreditur lainnya” maka terdapat
kreditur-kreditur tertentu yang oleh undang-undang diberikan kedudukan yang lebih
tinggi dari pada kreditur lainnya”.
Dari uraian diatas dapat diketahui beberapa jenis kreditur, yaitu:
1. Kreditur Konkuren
Dalam lingkup kepailitan, yang dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren
(unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak
kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang
yang diistimewakan oleh undang-undang. Dengan kata lain kreditur konkuren adalah
kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lain secara proporsional, yaitu
menurut perbandingan besarnya tagihan masing-masing dari hasil penjualan harta
kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Sedangkan pembayaran
terhadap kreditur konkuren adalah ditentukan oleh kurator.8
2. Kreditur Preferen
Kreditur Preferen termasuk dalam golongan secured creditors karena semata-
mata sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan
pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan
atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Utang debitur pada

8
Ibid., hal. 103.

6
kreditur preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaan, tapi undang-
undang mendahulukan mereka dalam hal pembayaran. Oleh karena itu jika debitur
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka prosedur pembayaran terhadap
kreditur preferen sama seperti kreditur konkuren yaitu dengan cara memasukkan
tagihannya kepada kurator untuk diverifikasi dan disahkan dalam rapat verifikasi.9
3. Kreditur Separatis
Dalam ketentuan Pasal 1133 KUHPerdata dijelaskan siapa-siapa saja yang
memiliki hak untuk didahulukan diantara para kreditur yaitu kreditur yang memiliki
hak istimewa (kreditur preferen) dan kreditur pemegang hak jaminan atas kebendaan
seperti gadai, hipotik dan hak tanggungan dan fidusia.
Sehubungan dengan istilah kreditur separatis, ada terdapat perbedaan
perbedaan pendapat pemakaian istilah diantara para sarjana. Menurut Munir Fuady
bahwa: ”dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur
tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual sendiri
dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada
umumnya”.10
Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa sebagai kreditur pemegang
hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur
separatis. Dengan demikian, Mariam Darus Badrulzaman membedakan antara hak
dan kedudukan kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak atas kebendaan.
Haknya disebut sebagai preferen karena ia digolongkan oleh Undang-Undang sebagai
kreditur yang diistimewakan pembayarannya. Sedangkan kedudukannya adalah
sebagai kreditur separatis karena ia memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen
lainnya yaitu piutangnya dijamin dengan hak kebendaan.11

9
Ibid., hal. 104.
10
Ibid., hal. 105.
11
Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional,
Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka
Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari

7
Dalam hukum kepailitan, kreditur yang dapat digolongkan sebagai kreditur
separatis karena piutangnya dijamin dengan security right in rem adalah kreditur
pemegang hak yang terdiri dari:
1) Hipotik yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan
2) Gadai yang diatur dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3) Fidusia yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia
4) Kreditur yang memiliki hak retensi atas suatu barang dalam Pasal 65 Undang-
Undang Kepailitan
Menurut Sudargo Gautama, “mereka ini karena sifatnya pemilik suatu hak
yang dilindungi secara super preferen dapat mengeksekusi hak mereka seolah-olah
tidak terjadi kepailitan.12 Mereka ini karenanya dianggap separatis (berdiri sendiri).
Sejalan dengan itu menurut Munir Fuady, kedudukan kreditur separatis sangat tinggi,
lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya.13
Kedudukan kreditur separatis tersebut dipisahkan dari kreditur lainnya, dan
objek jaminannya juga dipisahkan dari harta pailit. Adapun arti dari kedudukan
kreditur separatis di atas adalah dalam pengeksekusian jaminan utang. Kreditur
separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari penjualan objek jaminan.
Bahkan jika diperkirakan hasil penjualan atas jaminan utang itu tidak dapat menutupi
seluruh utangnya, maka kreditur separatis dapat memintakan agar terhadap
kekurangan tersebut dia diperhitungkan sebagai kreditur konkuren. Sebaliknya
apabila hasil dari penjualan jaminan utang melebihi utang-utangnya, maka kelebihan
itu harus dikembalikan kepada debitur.

‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh


Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan, hal. 12.
12
Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1998), hal. 78.
13
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 105.

8
D. KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN
Yang dimaksud kreditur preferen dalam golongan secured creditors semata-
mata karena sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan
pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan
atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Kedudukan
preferen lebih tinggi dari kedudukan kreditur lainnya. Menurut Pasal 1133
KUHPerdata, seorang kreditur merupakan kreditur preferen apabila tagihan kreditur
tersebut adalah merupakan:
a. Piutang yang berupa hak istimewa
b. Piutang yang dijamin dengan Hak Gadai
c. Piutang yang dijamin dengan Hipotik
Setelah berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
maka selain kreditur yang memiliki piutang sebagaimana yang dimaksud dengan
Pasal 1133 KUH Perdata, juga kreditur-kreditur yang dijamin dengan hak tanggungan
dan hak fidusia termasuk kreditur preferen atau separatis.
Kreditur Separatis adalah kreditur yang memiliki hak agunan kebendaan,
seperti hak gadai, hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Kedudukan kreditur
separatis dipisahkan dari kreditur lainnya dalam pengeksekusian jaminan utang.
Kedudukan kreditur separatis diatur dalam dua tahap yaitu masa pra pailit dan
setelah masa kreditur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (pasca pailit) baik
kepailitan yang timbul karena prosedur kepailitan maupun yang timbul dari
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

1. Kedudukan Kreditur Separatis Pada Periode Pra Pailit


Kedudukan para kreditur separatis dengan jelas diatur dalam Pasal 55
Undang-Undang Kepailitan, yaitu kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan dalam Pasal 55 ini konsisten dengan

9
ketentuan perundangan lainnya yang mengatur tentang parate executie dari
pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti hak tanggungan, hipotik, gadai,
fidusia, kreditur pemegang ikatan panenan dan kreditur pemegang hak retensi.14

2. Kedudukan Kreditur Separatis periode Pasca Pernyataan Pailit


Kedudukan kreditur separatis pada periode pra pailit dengan pasca pailit pada
dasarnya tetap mengacu pada pasal 55 dan 244 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu kreditur separatis ditempatkan diluar
dari kepailitan debiturnya karena sifat jaminan piutang yang dimilikinya memberinya
hak untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan guna pelunasan piutangnya. Namun
demikian, Undang-Undang Kepailitan juga mengatur kedudukan kreditur separatis
pada periode setelah debitur pailit sebagai berikut:
a. Pasal 56 dan Pasal 246 Undang-Undang Kepailitan
Kedua pasal tersebut dikenal juga sebagai ketentuan yang mengatur tentang
automatic stay, yang diberlakukan bagi kreditur separatis setelah debitur
dinyatakan pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara
ditetapkan. Berdasarkan ketentuan penangguhan eksekusi ini kreditur belum
dapat mengeksekusi sendiri haknya selama 90 hari.
b. Pasal 60 ayat 3 jo Pasal 189 ayat 5 Undang-Undang Kepailitan
Apabila hasil penjualan barang jaminan piutang kreditur separatis tidak
mencukupi untuk memenuhi pembayaran piutangnya, kreditur separatis dapat
mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut kepada kurator.
Konsekuensinya, kreditur separatis berubah menjadi kreditur konkuren tetapi
hanya untuk kekurangan tagihan pembayarannya. Dengan demikian, kekurangan
tagihan ini harus diajukan untuk dicocokan dalam rapat verifikasi.

14
Lihat juga Pasal 224 ayat 1 dan 246 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara tidak
berlaku lagi bagi kreditur separatis dan Pasal 55, pasal 57 dan pasal 58 berlaku mutatis mutandis dalam
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

10
c. Pasal 138 Undang-Undang Kepailitan
Kreditur separatis yang dapat membuktikan bahwa kemungkinan sebagian dari
piutangnya tersebut tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan barang jaminan dapat
menjadi kreditur konkuren atas bagian piutang yang tak dapat dilunasi tersebut.
Ketentuan ini dibuat untuk mengantisipasi kemungkinan dari nilai jaminan
kebendaan yang dimiliki oleh kreditur separatis kurang dari nilai piutang yang
dimilikinya.
d. Pasal 149 ayat 1 jo Pasal 118 ayat 2 Undang-Undang Kepailitan
Kreditur Separatis pada prinsipnya tidak berhak mengeluarkan suara dalam rapat
kreditur. Namun jika kreditur separatis telah melepaskan haknya sebagai kreditur
separatis (waiver) menjadi kreditur konkuren, ia memiliki hak yang sama dengan
kreditur konkuren lainnya, misalnya rencana perdamaian yang diajukan debitur
tidak diterima kreditur. Kondisi seperti ini hanya akan terjadi dalam hal hak
kreditur separatis untuk didahulukan dibantah dalam rapat verifikasi.
Terhadap tagihan kreditur separatis yang dibantah ini, Pasal 118 ayat 2
menegaskan bahwa tagihannya harus dimasukkan dalam daftar piutang yang
diakui sementara.15

E. PENUTUP
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan

15
Lihat Pasal 113, pasal 115, pasal 117 dan pasal 126 Undang-Undang Kepailitan tentang
rapat verifikasi dimana semua tagihan diajukan untuk diverifikasi. Hasilnya adalah ada tagihan yang
diakui (admitted debt), diakui sementara (provisionally admitted debt) atau dibantah (denied debt) oleh
debitur. Hakim Pengawas berperan dalam hal ini karena iadapat mengakui sementara piutang yang
diajukan tapi debitur juga berhak membantah yang diakui sementara oleh Hakim Pengawas tersebut.
Selanjutnya, tagihan-tagihan yang diajukan di rapat verifikasi akan dikategorikan sebagai piutang yang
diakui (admitted claim), yang diakui sementara (provisionally admitted claim) dan piutang yang
dibantah (disputed claim).

11
kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas
seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di
kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit
tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditor.
Di dalam terjadinya pailit maka kreditur dapat dibagi atas kreditur konkuren,
kreditur preferen dan kreditur separatis. Kreditur Separatis adalah kreditur yang
memiliki hak agunan kebendaan, seperti hak gadai, hak tanggungan dan jaminan
fidusia. Kedudukan kreditur separatis dipisahkan dari kreditur lainnya dalam
pengeksekusian jaminan utang. Kedudukan kreditur separatis tetap dijamin
pembayarannya oleh Undang-Undang Kepailitan baik pada masa pra pailit maupun
setelah debitur dinyatakan pailit. Bahkan jika tagihannya dibantah, tagihan tersebut
harus diakui secara bersyarat oleh Kurator dalam rapat verifikasi dan dimasukkan
dalam daftar piutang yang diakui sementara. Demikian juga jika jaminan yang ada
padanya tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran tagihannya, kreditur
separatis dapat menjadi kreditur konkuren untuk kekurangan tagihannya tersebut
tanpa kehilangan hak istimewanya untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan yang
ada padanya. Namun demikian, kepailitan lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditur
konkoren yang tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitur, sehingga
memerlukan mekanisme kepailitan yang tegas untuk mengamankan kepentingan
tagihan-tagihan kreditur konkuren terhadap harta debitur. Walaupun kreditur
separatis sudah memegang jaminan hak tanggungan dan dapat mengeksekusi jaminan
hak tanggungan yang dipegangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi
kreditur pemegang hak tanggungan (separatis) masih memiliki kepentingan yang
berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta
kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitur.

12
DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan


Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan
Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan”
yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada
tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari
‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada
tanggal 25 Juli 1996 di Medan

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002).

Gautama, Sudargo, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, (Bandung:


PT. Citra Aditya Bakti, 1998)

Lontoh, Rudy A, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001)

Simanjuntak, Ricardo, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam


Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya.
(Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang

13

Anda mungkin juga menyukai