Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Krisis moneter dan perbankan yang melanda Indonesia pada tahun 1997

memakan biaya fiskal yang amat mahal, yaitu mencapai 51% dari PDB. Krisis

tersebut telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan dan

kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk sistem keuangan. Kestabilan

pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang selanjutnya mampu

meredam krisis, sebenarnya merupakan interaksi dari beberapa risiko yang harus

selalu dikelola dengan baik.1

Dewasa ini dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan

perdagangan di Indonesia sehingga menimbulkan makin banyak permasalahan utang

piutang yang timbul di masyarakat. Dalam dunia usaha, masalah utang piutang

timbul karena suatu perjanjian, pajak dan sebagainya yang dapat menimbulkan di satu

pihak adalah kewajiban untuk membayar utang dan dilain pihak timbul hak untuk

mendapatkan pembayaran utang tersebut dan pada beberapa kasus banyak pihak yang

berkewajiban membayar utang tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.

Kepailitan menjadi masalah umum, terjadi dikarenakan keadaan keuangan

dalam suatu perusahaan tidak berjalan dengan baik, dan tidak dapat membayar

1
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm. 11.

1
2

utangnya kepada terpiutang. Menurut Poerwadaminta, “pailit” artinya “bangkrut”;

dan “bangkrut” artinya menderita kerugian besar hinggga jatuh (perusahaan, toko,

dan sebagainya). Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, bankrupt artinya

bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. Dalam Pasal 1 butir

1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang diberikan definisi “Kepailitan” sebagai berikut. “Kepailitan” adalah sita umum

atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan

oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas”. 2

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar

dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur

tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang

tersebut kepada para krediturnya. Sehingga, bila ketidak mampuan untuk membayar

kewajiban yang jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk

mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition

for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan

status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti

bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).3

Sebelumnya kepailitan di Indonesia diatur dalam Failissementsverordening

(Peraturan Kepailitan), kemudian diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang

2
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana,
Jakarta, 2008, hlm. 2.
3
Ibid.
3

Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan. Perpu ini kemudian ditetapkan

sebagai undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Sehubungan

dengan banyaknya putusan Pengadilan Niaga yang kontroversial seperti dalam kasus

Kepailitan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Prudential Life Assurance, dan

lain-lain maka timbul niat untuk merevisi undang-undang tersebut. Akhirnya, pada

tanggal 18 Oktober 2004, lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya disebut UU

Kepailitan).4

Lahirnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjadi sumber hukum bagi setiap

kreditur yang memiliki piutang untuk mendapatkan haknya dari kewajiban yang ada

pada debitur yang memiliki utang. Maka dengan adanya Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat

mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang 1945

Pasal 33 ayat (4) yaitu bahwa:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para

kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk


4
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 1.
4

menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan

menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur

dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. 5

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang

memberikan solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti

membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai

dua fungsi sekaligus, yaitu: pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan

kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung

jawab terhadap semua utang-utangnya. Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga

memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh

kreditur-krediturnya. Jadi, keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu

lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep

yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan

1132 KUHPerdata.6 Lembaga kepailitan disini dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1

ayat (7) yaitu: “Pengadilan adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan

umum”.

Pada prinsipnya, pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu perwujudan

atau pengejawantahan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.

Pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

5
Adrian Sutedi, Op Cit. hlm. 10.
6
Ibid.
5

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,

menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

Pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang


menguntungkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing,
kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan”.

Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal diatas adalah, bahwa: 7

1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak

membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang

menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu

untuk membayar seluruh utangnya, atau karena tidak mampu untuk

membayar seluruh utangnya, maka semua harta bendanya disita untuk

dijual, dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan antara semua krediturnya

secara ponds-ponds-gewijze, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut

besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara

para kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama.

3. Tidak ada nomor urut dari para kreditur yang didasarkan atas saat

timbulnya piutang-piutang mereka.

7
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1974, hlm.
7
6

Terbalik dengan pernyataan diatas bahwa dalam kenyataannya banyak

kreditur yang ingin didahulukan dalam pembagian utang yang terdapat pada harta

kekayaan debitur pailit sehingga terjadi tuntutan yang tidak berdasarkan hukum yang

berlaku, baik itu kepada debitur maupun kepada kurator yang mengurus harta

tersebut. Seperti dalam putusan nomor 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 dimana seorang

kreditur yang menuntut kepada kurator untuk didahulukan haknya agar dapat

mendapatkan harta kekayaan debitur pailit dengan dasar perikatan yang terjadi

sebelum debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, sedangkan kreditur tersebut

oleh hakim dalam putusannya tidak termasuk ke dalam kreditur yang bisa

didahulukan atau memiliki hak istimewa yang diatur oleh Undang-Undang

Kepailitan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka secara aktual

dan menarik untuk diangkat sebagai skripsi dengan judul “PEMBAGIAN HARTA

KEKAYAAN DEBITUR PAILIT SEBAGAI PELUNASAN UTANG KEPADA

KREDITUR DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37

TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 331 K/Pdt.Sus-

Pailit/2015)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok

permasalahan yang akan diteliti antara lain:


7

1. Bagaimanakah kepastian hukum pembagian harta debitur pailit sebagai

pelunasan utang kepada kreditur menurut Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang?

2. Bagaimanakah cara menghitung, urutan-urutan pembagian budel pailit dan

cara menghitung dalam pembagian harta pailit?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian

ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji kepastian hukum atas pembagian harta

pailit bagaimanakah pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana pembagian harta pailit yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jika diterapkan dalam cara

perhitungan, urutan-urutan pembagian budel pailit dan cara menghitung

dalam pembagian harta pailit.

D. Kegunaan Penelitian
8

Tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka hasil penelitian ini

diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat teoritis

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu

hukum khususnya hukum kepailitan yang berkaitan dengan pengaturan

tentang cara perhitungan, urutan-urutan dan pembagian harta pailit dalam

proses pemberesan harta pailit.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu pengetahuan

bagi masyarakat, untuk dapat mengetahui bagaimana proses penyelesaian

pemberesan harta pailit sebagai pelunasan atas utang yang terdapat pada

debitur pailit untuk selanjutnya dibagikan kepada para kreditur yang memiliki

hak yang berbeda-beda.

E. Kerangka Pemikiran

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai

kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar

utangnya. Pernyataan pailit tersebut mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan


9

hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan,

terhitung sejak pernyataan kepailitan.8

Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk

kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan

debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka

masing-masing.9

Jika seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tidak

membayar utangnya dengan sukarela, kreditur akan menggugat debitur secara perdata

ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber

pelunasan utangnya kepada kreditur tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur

dipakai untuk membayar kreditur tersebut. Sebaliknya jika debitur mempunyai

banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua

kreditur, semua kreditur akan berlomba dengan segala cara, baik halal maupun yang

tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihan terlebih dahulu. Kreditur yang datang

belakangan mungkin sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta debitur

sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan kreditur.10

Fred B.G. Tumbuan menyatakan, bahwa melalui sita dan eksekusi oleh para

kreditur secara sendiri-sendiri. Dengan demikian, para kreditur harus bertindak secara

8
Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 2.
9
Fred B.G. Tumbuan, “Pokok-pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana
diubah oleh PERPU No. 1/1998” dalam Penyelesaian Utang-Piutang melalui Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Rudy A. Lontoh, Ed., Alumni, Bandung, 2001, hlm. 125.
10
Imran Nating, Op Cit. hlm. 3.
10

bersama-sama (concursus creditorium) sesuai dengan asas yang ditetapkan dalam

Pasal 1132 KUHPerdata.11

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para

kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan

menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur

dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. Karena

sebagaimana telah dipaparkan pada awal tulisan ini, bahwa kepailitan ada demi untuk

menjamin para kreditur untuk memperoleh hak-haknya atas harta debitur pailit. 12

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang

memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti

membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai

dua fungsi sekaligus. Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada

kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab

terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditur. Kedua, kepailitan sebagai

lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan

eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang

kepailitan baik sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep

yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan

1132 KUHPerdata.13

11
Fred B.G. Tumbuan, Op Cit. hlm. 125.
12
Imran Nating, Op Cit. hlm. 9.
13
Ibid, hlm. 10
11

Putusan Pernyataan Pailit terhadap debitur membawa dampak besar bagi para

kreditur debitur pailit tersebut. Yang menjadi persoalan selanjutnya yaitu

sebagaimana mereka mendapatkan hak-haknya atas harta debitur pailit. Siapa yang

akan mengurus pembagian harta debitur pailit kepada para kreditur berdasarkan hak

masing-masing.

Permasalahan utama dalam kepailitan sebagaimana diungkapkan Profesor

Warren adalah siapa yang berhak dan bagaimana membagi harta debitur pailit.

Terhadap pernyataan ini, di Indonesia telah diatur bahwa yang berhak melakukan itu

adalah Balai Harta Peninggalan dan kurator. Hanya saja inti pernyataan ini adalah

bagaimana membagi harta debitur pailit. 14 Serta bagaimana pengaturan dalam

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang terhadap kepastian akan pembagian urutan-urutan

pembagian harta debitur pailit kepada kreditur-kreditur yang memiliki hak yang

berbeda-beda, dan bagaimana cara menghitung pembagiannya berdasarkan UUK.

Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut:15

1. Kekayaan debitur pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum

atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut Pasal 19 Undang-Undang

Kepailitan, Harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur pada waktu

putusan pailit diucapkan serta segala kekayaan yang diperoleh debitur

pailit selama kepailitan.

14
Ibid, hlm. 11.
15
Ibid. hlm. 40.
12

2. Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai

diri pribadi debitur pailit. Misalnya seseorang dapat melangsungkan

pernikahan meskipun ia telah dinyatakan pailit.

3. Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai

kekayaan yang termasuk harta pailit, sejak hari putusan pailit diucapkan

(Pasal 22 UUK)

4. Segala perikatan debitur yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan

tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta

pailit (Pasal 23 UUK).

5. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para

kreditur dan debitur dan hakim pengawas memimpin dan mengawasi

pelaksanaan jalannya kepailitan.

6. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus

diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 24 Ayat (1) UUK).

7. Semua tuntutan atau yang bertujuan mendapatkan pelunasan suatu

perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitur sendiri selama kepailitan

harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokkan (Pasal 25

UUK).

8. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56A UUK, kreditur yang dijamin

dengan hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan atau hipotek dapat

melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan (Pasal 56

Ayat (1) UUK). Pihak kreditur yang berhak menahan barang kepunyaan
13

debitur hingga dibayar tagihan kreditur tersebut (hak retensi), tidak

kehilangan hak untuk menahan barang tersebut meskipun ada putusan

pailit (Pasal 59 UUK).

9. Hak eksekutif kreditur yang dijamin sebagaimana disebut dalam pasal 56

ayat (1) UUK, dan pihak ketiga untuk menuntut haratanya yang berada

dalam penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum

untuk 90 hari setelah putusan pailit diucapkan (Pasal 56A Ayat (1) UUK).

Jika pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan terdapat:16

1. Perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dilaksanakan,

maka pihak dengan siapa debitur tersebut membuat perjanjian dapat minta

kepastian pada kurator tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian dapat

minta kepastian pada kurator tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian

tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan atau pihak

tersebut. Jika tidak tercapai kesepakatan mengenai jangka waktu tersebut,

maka hakim pengawas akan menetapkan jangka waktu tersebut.

Selanjutnya apabila kurator tidak memberi jawaban atau menyatakan tidak

bersedia memenuhi, maka perjanjian tersebut berakhir dan pihak dengan

siapa debitur membuat perjanjian dapat menuntut ganti rugi dan

diperlakukan sebagai kreditur konkuren. Namun apabila kurator

menyanggupi untuk memenuhi perjanjian tersebut, pihak lawannya dapat

meminta kurator menyediakan jaminan untuk itu. Hal tersebut diatas, tidak
16
Ibid, hlm. 42.
14

berlaku bagi perjanjian yang mewajibkan debitur pailit melakukan sendiri

perbuatan yang diperjanjikan (Pasal 36 UUK).

2. Perjanjian dengan janji penyerahan barang dikemudian hari (Future

Trading), yang waktu penyerahannya akan jatuh pada waktu setelah

pernyataan pailit atau selama kepailitan berlangsung, maka perjanjian

tersebut menjadi hapus dan pihak yang merasa dirugikan dapat

mengajukan diri sebagai kreditur konkuren. Hal ini karena pasar barang

komoditas mensyaratkan suatu kepastian mengenai berlakunya perjanjian

masa mendatang. Namun bila karena hapusnya persetujuan tersebut harta

pailit akan dirugikan, maka pihak lawan wajib mengganti kerugian

tersebut.

3. Perjanjian Sewa Menyewa dengan debitur sebagagai penyewa, maka

ppihak yang menyewakan maupun kurator dapat menghentikan sewa

menyewa tersebut sesuai adat kebiasaan setempat, tetapi menghentikan 3

(tiga) bulan sebelumnya selalu dianggap cukup. Untuk jangka waktu sewa

yang telah dibayar tidak dapat dimintakan penghentian kecuali menjelang

berakhir jangka waktu yang telah dibayar. Sejak putusan pernyataan pailit

diucapkan, uang sewa menjadi utang harta pailit;

4. Untuk perjanjian perburuhan, pihak buruh atau kurator boleh

menghentikan dengan mengindahkan bunyi perjanjian perburuhan tersebut

atau undang-undang yang berlaku, tetapi 6 (enam) minggu sebelumnya


15

selalu dianggap cukup. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, upah

buruh menjadi utang harta pailit.

Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai perorangan

debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang

timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). Pengurusan benda benda

anaknya tetap padanya, seperti ia melaksanakan sebagai wali, tuntutan perceraian

atau perpisahaan ranjang dan meja, diwujudkan oleh dan padanya. Dengan kata lain,

akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. 17

Debitur tidak kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum

menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum tersebut menyangkut

pengurusan dan pengalihan harta benda yang telah ada. Apabila menyangkut harta

benda yang akan diperolehnya, debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum

menerima harta benda yang akan diperolehnya itu, namun yang diperolehnya itu

kemudian menjadi bagian dari harta pailit.

Debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-

tindakan tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita. Dengan pernyataan

pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus

kekuasaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan

itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri.18

17
Ibid, hlm. 44.
18
Ibid.
16

Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan menerangkan bahwa kuratorlah

yang dapat berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dengan

demikian, debitur kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, hak

atas harta kekayaan yang berada diluar kepailitan. Tentang harta pailit dalam Pasal 19

Undang-Undang Kepailitan menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua

kekayaan harta debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua

harta kekayaan yang yang diperolehnya selama kepailitan. Kendali telah ditegaskan

bahwa dengan dijatuhkannya putusan kepailitan harta kekayaan debitur pailit akan

diurus dan dikuasai oleh kurator, namun tidak semua kekayaan debitur pailit

diserahkan ke kurator. Ada beberapa harta yang dengan tegas dikecualikan dari

kepailitan yaitu:19

1. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari;

2. Alat perlengkapan dinas;

3. Alat perlengkapan kerja;

4. Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan;

5. Gaji, upah pensiun, uang jasa, dan honorarium;

6. Hak cipta;

7. Sejumlah uang yan ditentukan oleh hakim pengawas untuk nafkahnya

(debitur);

8. Sejumlah uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya.

19
Ibid, hlm. 45.
17

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu

bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, sistematis, serta akurat

melalui suatu proses analisis dengan menggunakan peraturan hukum, dan proses

penerapan hukum terhadap pembagian harta kekayaan debitur pailit sebagai

pelunasan utang kepada kreditur dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Metode Pendekatan

Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini menggunakan

metode penelitian, yaitu metode penelitian hukum normatif (Yuridis Normatif).

Penelitian normatif disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang

objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan

pustaka.

3. Tahap Penelitian

Pada penulisan tugas akhir ini penulis melakukan penelitian kepustakaan

guna memperoleh data sekunder, yaitu melakukan serangkaian penelitian

terhadap bahan-bahan yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Adalah bahan yang didapat melalui penelitian yang dilakukan dengan

mempelajari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


18

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder ini sangat erat kaitannya dengan bahan

primer, yakni dapat membantu menganalisis bahan primer, yakni berupa

buku-buku teks, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum yang berhubungan

dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini, dokumen, diktat dosen, serta

penelitian lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang relevan dengan

topik pembahasan dalam skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap data primer maupun data sekunder, yaitu kamus-kamus tentang ilmu

hukum, artikel-artikel dari internet yang terkait dengan pembahasan di dalam

skripsi ini.

4. Teknik Pengumpulan Data atau Bahan Hukum

Studi Kepustakaan, alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

literatur yaitu dengan pengumpulan data melalui kepustakaan seperti peraturan

perundang-undangan, buku-buku, dokumen, internet, serta makalah yang relevan

dengan topik penelitian.

5. Metode Analisis Data

Metode analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

yuridis kualitatif, yaitu dalam menganalisis tidak menggunakan rumus matematis

dan angka-angka statistik, tetapi berupa uraian pembahasan sehingga diperoleh


19

informasi baru dari simpulan hasil penelitian dan data yang diperoleh kemudian

disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis.

G. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis melakukan penelitian di :

a. Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang berlokasi di Jl. Cihampelas No.8

Pasir Kaliki, Bandung, Jawa Barat.

b. Universitas Padjajaran yang berlokasi di Jl. Dipatiukur No.35 Bandung,

Jawa Barat.

c. Universitas Islam Bandung yang berlokasi di Jl. Ranggagading No.8

Bandung, Jawa Barat.

d. Universitas Katolik Parahyangan yang berlokasi di Jl. Ciumbuleuit No.94,

Hegarmanah, Cidadap, Kota Bandung, Jawa Barat.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A. Pengertian Kepailitan

Dalam bahasa Prancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan

dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang yang mogok atau macet atau

berhenti membayar utangnya didalam bahasa Prancis disebut lefailli. Untuk arti yang

sama dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failliet. Sedangkan didalam bahasa

Inggris dikenal istilah “to fail”, dan didalam bahasa Latin dipergunakan istilah

“fallire” Pailit, didalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan

debitur (yang berutang) yang berhenti membayar utang-utangnya. Hal itu

mencerminkan didalam pasal 1 ayat 1 Peraturan Kepailitan (PK), yang menentukan:20

“Pengutang yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas pelaporan

sendiri maupun atas permohonan seorang penagih atau lebih, dengan putusan

hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.”

Pailit atau yang lebih dikenal dengan kata bankrupt dalam masyarakat luas,

memiliki arti yang orsinil yaitu seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan

tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabui pihak kriditornya. Dalam


20
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Indonesia, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2013, hlm. 23.

20
21

Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan

dengan pailit atau bankrupt antara lain adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan

dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan

untuk membayar hutang-hutangnya.21

Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan pailit atau bankrupt itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur

agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut

dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditur.

Definisi kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu pada Pasal 2 ayat

(1) yang dimaksud dengan pailit menurut pasal ini adalah:

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

pailit dengan dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya seniri

maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Sedangkan Kepailitan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 ayat (1) yaitu:

“Kepailitan adalah sitaan umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan

Hakim Pengawas sebagaimana diatur Undang-Undang ini”.

B. Syarat-syarat Kepailitan

21
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2014, hlm. 7.
22

Syarat-syarat kepailitan sangat penting dalam permohonan kepailitan karena

bila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat, maka permohonan tersebut tidak

akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Dan syarat-syarat kepailitan tersebut ialah

sebagai berikut:22

1. Pailit ditetapkan apabila debitur yang mempunyai dua kreditur atau lebih

tidak mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo

(Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004).

2. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditur (concursus creditorum).

3. Harus ada utang. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tidak menentukan

apa yang dimaksud dengan utang. Dengan demikian para pihak yang

terkait dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisih

pendapat mengenai ada atau tidak adanya utang.

4. Syarat utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tidak membedakan, tetapi

menyatukan syarat utang yang telah jatuh tempo dan utang yang telah

dapat ditagih.

5. Syarat cukup satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Bunyi Pasal

2 ayat (1) didalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 merupakan

perubahan dari bunyi pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan No. 4

Tahun 1998 dan faillissementsverordening Stb. 1905 No. 217 jo. S. 1906

No. 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv adalah: Setiap debitur yang tidak
22
Adrian Sutedi, Op Cit. hlm. 31.
23

mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti

membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri

maupun atas permintaan seorang kreditur atau beberapa orang krediturnya,

dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitur yang

bersangkutan dalam keadaan pailit.

6. Debitur harus dalam keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari

50% utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan berhenti

membayar kepada para krediturnya, bukan sekedar tidak membayar

kepada satu atau dua orang kreditur saja.

Tidak kalah pentingnya untuk diketengahkan pada kesempatan ini, bahwa

pembuktian tentang keadaan debitur yang “berhenti membayar” itu cukup dilakukan

secara sederhana (sumier), artinya pengadilan dalam memeriksa perkara kepailitan itu

tidak perlu terikat dengan sistem pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan

dalam hukum acara perdata. Berkenaan dengan sifat sederhananya pemeriksaan

permohonan kepailitan, maka tentunya sangat diharapkan sikap yang aktif dari hakim

untuk sedapat mungkin mendengar secara seksama kedua belah pihak (debitur dan

kreditur) didepan persidangan, dan berusaha mendamaikan (akor/akur) diantara

keduanya. Dengan demikian, maka akan dapat dicegah kemungkinan dijatuhkannya

putusan kepailitan, yang sesungguhnya kurang dapat dipertanggungjawabkan.23

C. Prinsip-Prinsip Hukum Kepailitan dan Pengaturannya dalam Undang-

Undang Kepailitan
23
Zainal Asikin, Op Cit. hlm. 30.
24

Proses kepailitan diperlukan prinsip-prinsip sebagai pedoman dalam

penyelesaian sengketa kepailitan itu sendiri, dan beberapa prinsip yang ada dalam

kepailitan diantaranya yaitu:

1. Prinsip Paritas Creditorium

Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditur)

menentukan bahwa para kreditur mempunyai hak yang sama terhadap semua

harta benda debitur. Apabila debitur tidak dapat membayar utangnya, maka

harta kekayaan debitur menjadi sasaran kreditur. Prinsip paritas creditorium

mengandung makna bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang

bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah

dipunyai debitur dan barang-barang dikemudian hari akan dimiliki debitur

terkait kepada penyelesaian kewajiban debitur.24

Prinsip paritas creditorium dalam Undang-Undang Kepailitan tampak

antara lain dalam Pasal 1 ayat (1), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 21 UUK. Pasal 1

ayat (1) UUK menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua

kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam

undang-undang ini. Pasal 2 ayat (1) UUK menyatakan bahwa debitur yang

mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun permohonan


24
M. Hadi Shubhan, Op Cit. hlm. 27.
25

satu atau lebih krediturnya. Sedangkan Pasal 21 UUK menyatakan bahwa

kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan

pailit diucapkan serta segala suatu yang diperoleh selama kepailitan. Pasal-

pasal tersebut ini merupakan jabaran lebih lanjut dari pasal 1131 dan 1132

KUHPerdata yang menentukan bahwa harta kekayaan debitur menjadi

jaminan untuk pelunasan utang-utangnya kepada para segenap krediturnya.25

2. Prinsip Pari Passu Prorata Parte

Prinsip ini berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan

bersama untuk para kreditur dan hasil-hasilnya harus dibagi secara

proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang

menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran

tagihannya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitur untuk

melunasi utang-utangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan dengan

cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan cara

sama rata.26

Prinsip pari passu prorata parte tampak dalam beberapa ketentuan

dalam Undang-Undang Kepailitan, antara lain, Pasal 189 ayat (4) dan (5) serta

Penjelasan Pasal 176 huruf a UUK. Pasal 189 ayat (4) UUK menyatakan

bahwa Pembayaran Kepada Kreditur (a) yang mempunyai hak yang

diistimewakan, termasuk didalamnya yang hak istimewanya dibantah dan

25
Ibid, hlm. 70.
26
Ibid, hlm. 29.
26

pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan

atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak membayar menurut ketentuan

segaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan

benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan

kepada mereka. Sedangkan Penjelasan Pasal 76 huruf a menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan “pro rata”, adalah pembayaran menurut besar

kecilnya piutang masing-masing.27

3. Prinsip Structured Creditors

Prinsip ini maksudnya adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan

mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-

masing. Dalam kepailitan kreditur diklasifikasikan menjadi tiga macam,

yaitu:28

1) Kreditur separatis;

2) Kreditur preferen;

3) Kreditur konkuren.

Prinsip structured creditors tampak dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa debitur yang

mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas

27
Ibid, hlm. 75.
28
Ibid, hlm. 32.
27

permohonan satu atau lebih krediturnya. Dalam pasal ini juga makna kreditur

mencakup semua kreditur baik kreditur separatis, kreditur preferen, maupun

kreditur konkuren.29

4. Prinsip Utang

Dalam proses acara kepailitan konsep utang tersebut sangat

menentukan, oleh karena tanpa adanya tanpa adanya utang tidaklah mungkin

perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut maka

esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah merupakan

pranata hukum untuk melakukan likuidasi aet debitur untuk membayar utang-

utangnya terhadap para krediturnya.30

Utang sendiri dalam UUK diatur dalam Pasal 1 angka 6 yaitu:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan


dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata
uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undnang dan yang wajib dipenuhi memberi hak kepada
Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
Debitur”.

Utang dalam kepailitan merupakan utang yang tidak dibayar lunas

adalah untuk memastikan bahwa utang yang telah dibayar akan tetapi, belum

melunasi kewajiban maka utang tersebut bias dijadikan dasar untuk

mengajukan kepailitan.31

5. Prinsip Debt Collection

29
Ibid, hlm. 75.
30
Ibid, hlm. 34.
31
Hadi Shubhan, Op Cit. hlm. 92.
28

Debt collection principle (prinsip debt collection) mempunyai makna

sebagai konsep pembalasan dari kreditur terhadap debitur pailit dengan

menagih klaimnya terhadap debitur atau harta debitur. Pada hukum kepailitan

modern prinsip ini dimanifestasikan dalam bentuk antara lain likuidasi aset.

Tri Hernowo menyatakan bahwa kepailitan dapat digunakan sebagai

mekanisme pemaksaan dan pemerasan.32

Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa

utang dari debitur harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitur

secara sesegera mungkin untuk menghindari itikad buruk dari debitur dengan

cara menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap segenap harta

bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi krediturnya.

Sebagai suatu alat untuk pengembalian utang-utang dari debitur dengan cara

melakukan likuidasi asetnya, maka kepailitan lebih difokuskan untuk

melakukan pemberesan aset-aset debitur dengan jalan melikuidasi aset-aset

debitur. Manifestasi dari prinsip debt collection dalam kepailitan adalah

ketentuan-ketentuan untuk melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi

yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana, diterapkannya putusan

kepailitan secara serta-merta, adanya ketentuan masa tunggu (stay) bagi

pemegang jaminan kebendaan, dan kurator sebagai pelaksana pengurusan dan

pemberesan.33

32
Ibid, hlm. 38.
33
Ibid, hlm. 41.
29

Prinsip debt collection ini lebih mengarah pada ketentuan persyaratan

meteriil untuk suatu subjek hukum dapat dipailitkan serta mengarah pada

hakikat dari suatu kepailitan sebagai debt collection tool. Prinsip yang

terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) UUK sangat

memegang teguh bahwa kepailitan adalah sebagai pranata debt collection.

Persyaratan untuk dipailitkan dua syarat kumulatif, yakni debitur memiliki

utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih yang belum dibayar lunas

serta memiliki dua atau lebih kreditur. Undang-undang tidak memberikan

syarat lain selain dua hal tersebut, termasuk tidak mensyaratkan suatu keadaan

insolven dimana harta kekayaan debitur (aktiva) jauh lebih kecil dari utang-

utang yang dimiliki (pasiva) yang biasanya diukur dengan suatu incolvency

test. Prinsip debt collection dalam Undang-Undang Kepailitan di Indonesia

lebih mengarah kepada kemudahan untuk melakukan permohonan

kepailitan.34

6. Prinsip Debt Pooling

Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana

harta kekayaan pailit harus dibagi diantara para krediturnya. Dalam

melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip

paritas creditorium dan prinsip pari passu prorata parte, serta pembagian

berdasarkan jenis masing-masing kreditur (structured creditors principle).

Dalam perkembangannya prinsip debt pooling ini lebih luas konsepnya dari
34
Ibid, hlm. 81.
30

sekadar melakukan distribusi aset pailit terhadap para krediturnya secara pari

passu prorata parte maupun secara structured creditor (pembagian

berdasarkan kelas kreditur). Prinsip ini mencakup bagaimana harta kekayaan

pailit harus dibagi diantara krediturnya. Penjabaran sistem ini akan berkaitan

dengan kelembagaan yang terlibat dalam proses kepailitan mulai dari lembaga

peradilan yang berwenang, hukum acara yang digunakan, serta terdapatnya

hakim komisaris dan kurator dalam pelaksanaan kepailitan.35

Prinsip Debt pooling juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifat-

sifat yang melekat didalam proses kepailitan, baik itu yang juga merupakan

artikulasi dari kekhususan sifat-sifat yang melekat didalam proses kepailitan,

baik itu yang berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai penagihan

yang tidak lazim, pengadilan yang khusus menangani kepailitan dengan

kompetensi absolutnya yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang

timbul dalam kepailitan, terdapatnya hakim komisaris dan kurator, serta

hukum acara yang spesifik kendatipun merupakan varian dari hukum acara

perdata biasa.36

Kelembagaan yang terlibat dalam proses kepailitan mulai dari lembaga

peradilan yang berwenang seperti dijelaskan di atas yaitu Pengadilan Niaga

yang dalam UUK diatur dalam Pasal 1 angka 7 dan Pasal 306 yang isinya:

Pasal 1 angka 7

35
Ibid, hlm. 41.
36
Ibid, hlm. 43.
31

“Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan

umum”

Pasal 306

“Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang


dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana telah
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998,
dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara
yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga”.

Hukum acara yang digunakan dalam UUK sendiri diatur dalam Pasal 3

ayat (1) yang isinya:

“Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang

berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan

hukum Debitur”.

Penjelasan pasal diatas bahwa Hukum Acara yang berlaku dalam

mengadili perkara yang termasuk “hal-hal lain” adalah sama dengan Hukum

Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit

termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya.

Prinsip debt pooling selain lembaga dan hukum acara terdapat pula

pihak-pihak dalam pelaksanaan kepailitan seperti Hakim Ad hoc yang diatur

dalam Pasal 302 ayat (3) UUK, Kurator yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka

5 UUK dan dalam BAB II Bagian Ketiga Paragraf 2, dan adapun proses-
32

proses dalam persidangan yang diatur lebih dalam UUK mengenai prinsip

debt pooling ini.

Selanjutnya mengenai Upaya Hukum yang diatur dalam hukum acara

kepailitan berbeda dengan upaya hukum yang diatur dalam hukum acara

perdata biasa. Jika upaya hukum dalam hukum acara perdata diatur bertingkat,

yakni, upaya hukum banding, upaya hukum kasasi, dan upaya hukum

peninjauan kembali (sebagai upaya hukum luar biasa), maka dalam hukum

acara kepailitan upaya hukum yang dikenal adalah upaya hukum kasasi dan

upaya hukum peninjaun kembali dan tidak dikenal upaya hukum banding.

Upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 11 sampai dengan pasal 13 UUK dan

upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 14 serta Bab IV tentang

Peninjauan Kembali dari Pasal 295 sampai 298 UUK. Dalam UUK sendiri

salah satu alasan diadakannya kasasi atau peninjauan kembali ada dalam Pasal

19 ayat (2) yaitu “Terhadap putusan pencabutan dan pernyataan pailit

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan kasasi dan/atau

peninjauan kembali”. 37

Setelah putusan pailit dijatuhkan, proses selanjutnya yaitu proses

pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator dalam

UUK diatur dalam Bab II Bagian Ketiga tentang Pengurusan Harta Pailit dan

Bagian Keempat tentang Tindakan Setelah Pernyataan Pailit dan Tugas

Kurator, dilanjutkan dengan pengumuman yang diatur dalam Pasal 202 ayat
37
Ibid, hlm. 127.
33

(2) dan rapat kreditur diatur dalam Bab II Bagian Ketiga Paragraf 4 tentang

Rapat Kreditur, lalu melanjutkan usaha debitur jika menguntungkan pada

harta pailit atas wewenang kurator atas persetujuan kreditur yang diatur dalam

Pasal 104 UUK, setelah itu dilanjutkan dengan rapat verifikasi (pencocokan

utang-utang) diatur dalam UUK pada Bab II Bagian Kelima Tentang

Pencocokan Piutang, lalu diadakan perdamaian yang diberikan oleh undang-

undang untuk pihak pailit kepada pihak krediturnya yang diatur dalam Bab II

Bagian Keenam tetang perdamaian, jika tidak terjadi suatu perdamaian sampai

dihomologasi dan tahap ini akan dilakukan suatu pemberesan terhadap harta

pailit (insolvensi) dan yang terakhir adalah tentang penundaan kewajiban

pembayaran utang yang diatur dalam Bab III UUK. Proses-proses dan

lembaga-lembaga inilah yang berkaitan dengan sistem prinsip debt pooling

yang merupakan sebagai pedoman pembagian harta pailit.

7. Prinsip Debt Forgiveness

Prinsip debt forgiveness (debt forgiveness principle) mengandung arti

bahwa kepailitan adalah tidak identik hanya sebagai pranata penistaan

terhadap debitur saja atau hanya sebagai sarana tekanan (pressie middle), akan

tetapi bisa bermakna sebaliknya, yakni, merupakan pranata hukum yang dapat

digunakan sebagai alat untuk meringankan beban yang harus ditanggung oleh

debitur karena sebagai akibat kesulitan keuangan sehingga tidak mampu

melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sehingga utang-utangnya

tersebut menjadi hapus sama sekali. Implementasi dari prinsip debt


34

forgiveness ini dalam norma-norma hukum kepailitan adalah diberikannya

moratorium terhadap debitur atau yang dikenal dengan nama penundaan

kewajiban pembayaran utang untuk jangka waktu yang ditentukan,

dikecualikannya beberapa aset debitur dari boedel pailit (asset exemption),

discharge of indebtedness (pembebasan debitur atau harta debitur untuk

membayar yang benar-benar tidak dipenuhinya), diberikannya status fresh-

starting bagi debitur sehingga memungkinkan debitur untuk mulai melakukan

usaha baru tanpa dibebani utang-utang lama, rehibilitasi terhadap debitur jika

ia telah benar-benar menyelesaikan skim kepailitan, dan perlindungan hukum

lain yang wajar terhadap debitur pailit.38

Implementasi dari prinsip debt forgiveness yang paling mendasar

adalah penghapusan utang debitur setelah dilakukan pemberesan harta pailit

dan ternyata harta pailit tersebut tidak dapat menutup seluruh piutang kreditur.

Sedangkan implementasi lainnya dari prinsip ini antara lain diberikannya

rehabilitasi. Dalam UUK tidak dimungkinkan skema penghapusan utang

terhadap sisa-sisa utang debitur yang tidak terbayar setelah dilakukan

pemberesan terhadap seluruh harta pailit.39 Dalam arti lain prinsip debt

forgiveness tidak dinormakan dalam Undang-Undang Kepailitan.

8. Prinsip Universal dan Prinsip Teritorial

38
Ibid, hlm. 43.
39
Ibid, hlm. 156.
35

Prinsip universal dalam kepailitan mengandung makna bahwa putusan

pailit suatu pengadilan di suatu negara, maka putusan pailit tersebut berlaku

terhadap semua harta debitur baik yang berada didalam negeri di tempat

putusan pailit dijatuhkan maupun terhadap harta debitur yang berada diluar

negeri. Prinsip ini menekankan aspek internasional dari kepailitan atau yang

dikenal sebagai cross border insolvency.

Putusan pailit yang diputus oleh pengadilan asing yang akan

dieksekusi disuatu negara, pada dasarnya akan terkait dengan pertanyaan

apakah putusan pengadilan asing dapat dieksekusi disuatu negara. Secara

umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh

banyak negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi

putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini tidak saja berlaku pada negara-

negara yang menganut sistem civil law tetapi berlaku juga bagi negara-negara

yang menganut sistem common law. Penolakan eksekusi terhadap putusan

pengadilan asing terkait erat dengan konsep kedaulatan negara. Sebuah negara

yang memiliki kedaulatan tidak akan mengakui instuisi atau lembaga yang

lebih tinggi, kecuali negara tersebut secara sukarela menundukan diri.

Mengingat pengadilan merupakan alat perlengkapan yang ada dalam suatu

negara maka wajar apabila pengadilan tidak akan melakukan eksekusi

terhadap putusan-putusan pengadilan asing. Ramhat Bastian juga menyatakan

bahwa berdasarkan prinsip kedaulatan wilayah, putusan-putusan asing tidak

dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah negara lain. Hal ini juga
36

berkaitan dengan prinsip kedaulatan hukum dimana masing-masing prinsip,

putusan-putusan asing tidak dapat dilaksanakan dalam wilayah negara lain.40

Prinsip umum mengenai teritorial putusan pengadilan suatu negara

tersebut, berlaku juga pada putusan pailit oleh pengadilan asing. Putusan pailit

suatu pengadilan dari suatu negara tidak dapat diakui dan oleh karenanya

tidak akan dapat dieksekusi oleh pengadilan negara lain. Kenyataan ini pada

satu segi dapat menjadi kebuntuan terhadap para pelaku usaha yang melintas

batas suatu negara.

Undang-Undang kepailitan tidak secara komprehensip mengatur

mengenai prinsip territorial dan prinsip universal dalam kaitannya dengan

kepailitan lintas batas (cross border insolvency). Hanya ada tiga pasal yang

dimuat dalam BAB II bagian kesepuluh, yakni Pasal 212-214 UUK, yang

mengatur mengenai ketentuan-ketentuan hukum internasional. Jika dianalisis

lagi, maka ketiga pasal tersebut tidak representative dengan judul bagian

yakni ketentuan-ketentuan hukum internasional. Artinya, kendatipun judul

bab tersebut adalah ketentuan-ketentuan hukum internasional, akan tetapi

isinya sama sekali tidak mengatur cross border insolvency.

D. Pihak-Pihak dalam Kepailitan

Aspek yang menyangkut para subjek atau pemain-pemain utama dalam suatu

proses kepailitan, adapun pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pihak Pemohon Pailit


40
Ibid, hlm. 48.
37

Pihak pemohon pailit merupakan pihak yang mengambil inisiatif

untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara

biasa disebut sebagai pihak penggugat.41

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maka yang dapat

menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah salah satu dari pihak

berikut ini:42

1. Pihak debitur itu sendiri.

2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditur.

3. Pihak kejaksaan jika menyangkut kepentingan umum.

4. Pihak Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank.

5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah suatu

perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta

lembaga penyimpanan dan penyelesaian.

6. Menteri Keuangan jika debitur perusahaan asuransi, reasuransi,

dana pensiun, atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan

publik.

7. Likuidator perusahaan terbatas dalam hal likuidator tersebut

memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar dari kekayaan

perseroan, yang dalam hal ini kepailitan wajib diajukan oleh

41
Munir Fuady, Op Cit. hlm. 35.
42
Ibid, hlm. 35.
38

likuidator tersebut, kecuali perundang-undangan menentukan lain

atau jika semua kreditur menyetujui penyelesaian diluar kepailitan.

Lihat Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang perseroan terbatas.

2. Pihak Debitur Pailit

Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon/dimohonkan pailit ke

pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur

yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.43

3. Hakim Niaga

Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh

hakim tunggal), baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi.44

4. Hakim Pengawas

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksud dengan

Hakim Pengawas yaitu:

“Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam

putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang”.

43
Ibid, hlm. 36.
44
Ibid.
39

5. Kurator

Kurator merupakan salah satu pihak yang cukup memegang peranan

dalam suatu proses perkara pailit. Dan karena peranannya yang besar dan

tugasnya yang berat, tidak sembarangan orang dapat menjadi pihak kurator.

Karena itu, persyaratan dan prosedur untuk dapat menjadi kurator ini

oleh Undang-Undang Kepailitan diatur secara relatif ketat. Yang dimaksud

dengan kurator sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 5 UUKPKPU yaitu:

“Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan

yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan

harta Debitur Pailit dibawah perusahaan pengawasan Hakim Pengawas

sesuai dengan undang-undang ini”.

6. Panitia Kreditur

Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah apa yang disebut

panitia kreditur. Pada prinsipnya, suatu panitia kreditur adalah pihak yang

mewakili pihak kreditur sehingga panitia kreditur tentu akan memperjuangkan

segala kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada dua macam panitia

kreditur yang diperkenalkan oleh UUK, yaitu:45

1. Panitia Kreditur sementara, yakni panitia yang ditunjuk dalam

puutusan pernyataan pailit.

45
Ibid, hlm. 38.
40

2. Panitia Kreditur tetap, yakni yang dibentuk oleh hakim pengawas

apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur

sementara.

Atas permintaan kreditur konkuren dan berdasarkan putusan kreditur

konkuren dengan suara terbanyak biasa (simple majority), hakim pengawas

berwenang menggantikan panitia kreditur sementara degan panitia kreditur

(tetap) atau membentuk panitia kreditur (tetap) jika tidak diangkat panitia

kreditur sementara. Dalam hal ini, hakim pengawas wajib menawarkan

kepada para kredior untuk membentuk suatu panitia kreditur tersebut.46

46
Ibid.
BAB III

PUTUSAN NOMOR 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015

A. Kasus Posisi

Pihak-pihak dalam perkara ini yaitu Direktur Utama Nixon Marsati Foni yang

mewakili PT MARS BINTANG TIMOR yang memberikan kuasa kepada Junus

Wermasaubun, S.H., & kawan (Advokat) sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat

melawan Tim Kurator PT EUROGATE Indonesia (dalam Pailit) yang diwakili oleh

Charlie Simanjuntak, S.H., dan Wahyudin S.H. yang memberikan kuasa kepada Hj.

Tutut Rokhayatun, S.H., M.H., & kawan (Advokat) sebagai Termohon Kasasi I

dahulu Tergugat I dan Ny. Leonita Widjaya yaitu Direktur PT EUROGATE

Indonesia sebagai Termohon Kasasi II dahulu Tergugat II.

Pihak Pemohon Kasasi dahulu sebagai penggugat mengajukan permohonan

gugatan lain-lain terhadap para Termohon Kasasi dahulu sebagai para Tergugat di

depan persidangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada

pokoknya sebagai berikut:

Berawal sekitar bulan Maret 2013, ketika itu Penggugat memperoleh

informasi bahwa Direksi PT Eurogate Indonesia ketika itu, hendak menjual stock sisa

bahan baku berupa kain (fabrics), barang jadi (garment) serta accessories lainnya

seperti benang, kancing, tali, karet-karet dan juga mesin-mesin produksi beserta

peralatan pabrik lainnya. Setelah Penggugat mempelajari data-data (packinglist) yang

41
42

diberikan tersebut, maka selanjutnya Penggugat bertemu dengan Direksi PT Eurogate

Indonesia untuk melakukan negosiasi mengenai harga dan mekanisme pelaksanaan

pembayaran dan pengeluaran barang-barang tersebut. Kemudian terjadilah

kesepakatan jual-beli antara Penggugat dan Tergugat II atas barang-barang tersebut

dengan rincian sebagai berikut:

1. Sisa stock bahan baku (kain), sebanyak: 530.131 yards = 192.737 kgs =

15.029 rolls, yang berada di Sukabumi sebanyak: 530.083 yard = 159.109

kgs = 12.792 rolls; dan Cibinong sebanyak: 87.806 yard = 33.629 kgs

=2.237 rolls.

2. Accessories garment, sebanyak: 1.126 karung = 18.811 kgs;

3. Barang jadi (garment), sebanyak: 27.974 pieces = 697 carton, yang berada

di Sukabumi sebanyak 18.210 pieces 524 carton dan Cibinong sebanyak

9.764 pieces = 173 carton;

4. Mesin-mesin dan peralatan pabrik lainnya, sebanyak 1.145 unit, dengan

lokasi penyimpanan 839 unit, berada di lokasi Sukabumi, dan sebanyak

306 unit, berada di lokasi Cibinong, dengan perincian sesuai daftar.

Jumlah total uang yang telah dibayarkan dan telah diterima oleh Direksi PT

Eurogate Indonesia ketika itu incasu Tergugat II, adalah sebesar Rp4.150.000.000,00

(empat miliar seratus lima puluh juta rupiah). Namun, Penggugat tidak/belum

menerima barang yang bayar dengan jumlah uang tersebut dengan alasan barang-

barang yang dimaksudkan dalam perjanjian tersebut di atas, berupa mesin dan bahan

baku pakaian, accecories garment milik Tergugat/PT Eurogate Indonesia, yang masih
43

terikat dengan kewajiban pajak pada Direktorat Jendral Bea dan Cukai, sehingga

Penggugat mendatangi Tergugat II ketika itu untuk menanyakan realisasi penyerahan

atas barang-barang dimaksud, namun Tergugat II menyatakan tidak bertanggung

jawab lagi karena PT Eurogate Indonesia telah dinyatakan Pailit oleh Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga barang-barang tersebut dalam

pengawasan dan penguasaan Tergugat I selaku Kurator.

Selanjutnya pada hari/tanggal Kamis, 28-08-2014, sekitar pukul 16.00 wib,

Penggugat mendatangi Tergugat I dan telah menyerahkan Surat Pemberitahuan

Nomor: 003-MBT/SP/XIII/2014, tertanggal 28-08-2014, beserta foto copy bukti-

bukti pembayaran, yang inti dari surat tersebut adalah meminta kepada Tergugat I

agar dapat mengeluarkan barang-barang yang telah dibeli dan dibayar oleh

Penggugat, namun belum menerima barang-barang tersebut, dan pada saat yang sama

saat itu Penggugat juga menerima surat dari Tergugat I dengan Nomor: 005/Tim

Kurator-EGIVIII/ 2014, tertanggal 20 Agustus 2014, perihal Undangan Rapat

Verifikasi/ Pencocokan Piutang. Bukti Surat pemberitahuan dan permohonan

penetapan, dari pengakuan Tergugat II pada rapat verifikasi tersebut, oleh Tergugat I

menetapkan Penggugat selaku Kreditur Konkuren.

Penetapan penggugat sebagai Kreditur Konkuren tidak dapat diterima dengan

alasan yang dimasukan dalam gugatannya dan dilampirkan kembali dalam

permohonan (kasasi), yang intinya penetapan tersebut tidak berdasar menurut hukum

karena Penggugat telah lebih dulu membeli barang-barang objek sengketa dimaksud

dari Tergugat II sebelum Tergugat II dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga pada
44

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan perkara Nomor 26/PDT.SUS-PKPU/

2014/PN.NIAGAJKT.PST., tanggal 22 Juli .

Menurut pemohon kasasi dalam gugatannya dan dilampirkan kembali dalam

permohonan (kasasi) secara hukum barang-barang obyek sengketa dimaksud tidak

termasuk dalam harta Pailit atau tidak patut untuk dimasukkan sebagai harta pailit

yang harus dibereskan karena telah beralih menjadi hak milik Penggugat sebelum

terjadinya Putusan Pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

dalam Putusan perkara No.26/PDT.SUS-PKPU/2014/PN.NIAGAJKT.PST tanggal 22

Juli 2014; sehingga tidak layak menurut hukum untuk Penggugat dimasukkan selaku

Kreditur Konkuren oleh Pihak Tergugat I. Pada dasarnya terjadinya jual-beli antara

penjual dan pembeli adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan

pernyataan antara mereka tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum

diserahkan maupun harganya belum dibayar lunas (Vide, Pasal 1458 KUHPerdata).

Tergugat I dan Tergugat II terhadap gugatan tersebut mengajukan eksepsi

yang pada intinya menyatakan bahwa penyerahan barang telah diatur dalam

perjanjian yang dilakukan Penggugat dan Tergugat I, bahwa dalam Pasal 2 perjanjian

Nomor 001/PTE/IV/2013 tertanggal 10 April 2013 menyatakan: “Pengiriman dan

atau pengeluaran barang dimaksud akan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari

Direktorat Bea dan Cukai cq. Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai

Bogor; dan atau waktunya disesuaikan dengan proses mendapat persetujuan dari

Direktoral Jenderal Bea dan Cukai“. Sampai dengan saat ini terdapat fakta hukum

yang menyatakan, PT Eurogate Indonesia masih belum melunasi kewajiban pajak


45

terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya

tagihan dari Direktorat Jenderal Pajak Bea dan Cukai kepada Tim Kurator. Dan

Direktorat Jenderal Pajak Bea dan Cukai masih melakukan penyitaan terhadap

barang-barang milik PT Eurogate Indonesia baik yang berada di Cibinong ataupun

Sukabumi.

Gugatan yang diajukan Penggugat ini seharusnya diajukan apabila terdapat

fakta bahwa PT Eurogate Indonesia sebelum terjadinya proses Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) atau sampai proses kepailitan telah mendapat persetujuan

dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengeluarkan barang-barang yang

disegel tetapi sampai dengan PT Eurogate Indonesia dinyatakan pailit persetujuan

tersebut belum didapatkan. Dengan demikian perjanjian Nomor 001/PTE/IV/2013

tertanggal 10 April 2013 yang dibuat oleh Penggugat dengan Tergugat II masih

digantungkan pada suatu syarat tertentu sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2

perjanjian perjanjian Nomor 001/ PTE/IV/2013 tertanggal 10 April 2013. Hal

tersebut diperkuat lagi oleh adanya tagihan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

sebesar Rp2.860.413.000,00 (dua miliar delapan ratus enam puluh juta empat ratus

tiga belas ribu rupiah) yang telah diajukan kepada Tim Kurator tertanggal 8

September 2014, tagihan tersebut muncul akibat PT Eurogate Indonesia tidak

membayarkan pajak pemasukan dan pengeluaran barang di Kawasan Berikat.

Selanjutnya walaupun dalam rapat verifikasi hutang/pemberesan harta pailit,

dimana Penggugat dan Tergugat II telah menyebutkan bahwa "Barang-barang

sebagaimana tersebut pada poin 3 huruf a, b, c, dan d gugatan" bukan milik PT


46

Eurogate Indonesia (Dalam Pailit) karena telah dibeli oleh Penggugat, namun ternyata

Tergugat I tetap menetapkan bahwa barang-barang sebagaimana tersebut pada poin 3

huruf a, b, c, dan d gugatan tersebut sebagai Harta Pailit PT Eurogate Indonesia

(Dalam Pailit), dan menetapkan Penggugat sebagai kreditur konkuren.

Penetapan Tergugat I yang menetapkan barang-barang sebagaimana tersebut

pada poin 3 huruf a, b, c, dan d gugatan sebagai Harta Pailit PT Eurogate Indonesia

(Dalam Pailit), dan penetapan Penggugat sebagai kreditur konkuren adalah

merupakan kewenangan dari Tergugat I sendiri atau di luar kekuasaan Tergugat II.

Tergugat II sebelum dinyatakan pailit (PT Eurogate Indonesia) menjual sisa

bahan baku berupa barang-barang sebagaimana tersebut pada poin 3 huruf a, b, c, dan

d gugatan kepada Penggugat, dan PT Eurogate Indonesia telah menerima pembayaran

dari Penggugat, namun hanya sekadar mengetahui bahwa jumlah uang yang telah

dibayarkan oleh Penggugat adalah sebesar Rp2.700.000,00 (dua miliar tujuh ratus

juta rupiah), sedangkan terhadap pembayaran yang selebihnya Tergugat II tidak

mengetahuinya, karena dalam kesepakatan jual beli dan cara pembayaran dilakukan

secara langsung oleh Mr. Franz Roller selaku Direktur Utama PT Eurogate Indonesia.

B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutus Putusan Kasasi Nomor 331

K/Pdt.Sus-Pailit/2015

Dalam pertimbangan hukum hakim terhadap keberatan-keberatan dalam

perkara ini, Mahkamah Agung berpendapat Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak

dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal
47

17 Maret 2015 dan kontra memori tanggal 25 Maret 2015, dihubungkan dengan

pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa berdasar

pembuktian diketahui, antara Penggugat dengan Tergugat terdapat kesepakatan jual

beli barang-barang milik Tergugat, sesuai perjanjian Nomor 001/PTE/IV/2013

tanggal 10 April 2014. Bahwa sesuai isi perjanjian tersebut, disebutkan pengiriman

dan pengeluaran barang-barang dimaksud dilakukan setelah Penggugat melakukan

pengurusan administrasi, dan mendapat persetujuan dari Direktorat Bea dan Cukai.

Bahwa barang-barang yang dimaksudkan dalam perjanjian tersebut di atas,

berupa mesin dan bahan baku pakaian, accecories garment milik Tergugat/PT

Eurogate Indonesia, yang masih terikat dengan kewajiban pajak pada Direktorat

Jendral Bea dan Cukai.

Bahwa kemudian PT Eurogate Indonesia berdasarkan putusan Pengadilan

dinyatakan pailit, sehingga barang-barang milik PT Eurogate Indonesia dimasukkan

menjadi harta pailit, dan Penggugat ditetapkan sebagai kreditur konkuren. Bahwa

berdasarkan hal tersebut, maka penetapan sangat beralasan dan bukan merupakan

perbuatan melawan hukum.

“Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat bukan kreditur yang piutangnya

tidak dijamin dengan hak tanggungan, hak gadai atau hipotek fidusia maupun kreditur

yang diistimewakan maka dengan demikian penempatan Penggugat sebagai Kreditur

Konkuren oleh Tergugat I dalam perkara Kepailitan Nomor


48

26/Pdt.Sus/PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 22 Juli 2014 bukan merupakan

perbuatan melawan hukum”

Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, mempunyai pengaruh bagi debitur

dan harta bendanya. Bagi debitur, sejak diucapkannya putusan kepailitan, ia

kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya

(Persona Standi in ludicio) Pasal 24 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengurusan dan penguasaan harta pailit

itu akan beralih ketangan kurator, dan kurator akan bertindak selaku pengampu.47

Bahwa berdasarkan pembuktian tersebut putusan Judex Facti telah tepat dan

harus dipertahankan.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 01/Pdt.Sus-

Gugatan Lain-lain/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 10 Maret 2015, dalam perkara ini

tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan

kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT MARS BINTANG TIMOR tersebut

harus ditolak.

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

ditolak, Pemohon Kasasi harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam

tingkat kasasi ini.

Memperhatikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 48 Tahun


47
Zainal Asikin, Op Cit. hlm. 52.
49

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,

serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

C. Putusan Hakim

Putusan Hakim terhadap perkara ini yaitu amar putusannya antara lain sebagai

berikut:

MENGADILI

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT MARS BINTANG

TIMOR, tersebut;

Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara

dalam tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada

Mahkamah Agung pada hari Kamis tanggal 3 September 2015 oleh H. Mahdi

Soroinda Nasution, S.H., M.Hum., Hakim Agung yang ditetapkan olehKetua

Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Nurul Elmiyah, S.,H., M.H., dan H.

Hamdi, S.H., M.Hum., Hakim-Hakim Agung, masing-masing sebagai Anggota,

putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh

Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-Anggota tersebut dan dibantu oleh Rita Elsy,

S.H., M.H., Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh para Pihak.


BAB IV

KEPASTIAN HUKUM PEMBAGIAN HARTA KEKAYAAN DEBITUR

PAILIT SEBAGAI PELUNASAN UTANG KEPADA KREDITUR

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

UTANG

A. Kepastian Hukum Pembagian Harta Debitur Pailit Sebagai Pelunasan Utang

Kepada Kreditur

Putusan pailit mempunyai akibat hukum ataupun implikasi terhadap harta

kekayaan debitur maupun terhadap debitur pailit itu sendiri, seperti hak untuk

mengurus harta kekayaan yang beralih ke tangan kurator ataupun bahkan untuk

melakukan segala upaya hukum yang berdampak terhadap harta kekayaan debitur

harus dilakukan oleh kurator.48

Dengan dinyatakannya pailit, Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk

berbuat bebas terhadap kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan dan hak untuk

mengurus kekayaannya yang terhitung sejak tanggal diucapkannya pernyataan

pailit.49 Akibatnya, jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan Debitur dan sejak

saat itu pula semua sita yang dilakukan sebelumnya (jika ada) akan menjadi gugur.
48
Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 106.
49
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang,
Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 8.

50
51

Dikatakan sita umum karena sifat tersebut bukan untuk kepentingan seseorang

atau beberapa orang Kreditur, melainkan untuk semua Kreditur. Hal lain yang perlu

di mengerti yaitu bahwa kepailitan hanya mengenai harta benda debitur, bukan harta

benda pribadi.50 Artinya Debitur tetap cakap melakukan perbuatan hukum diluar harta

kekayaan perusahaan yaitu harta pribadinya.

Pada prinsipnya, kepailitan terhadap seorang debitur berarti meletakkan sitaan

umum terhadap seluruh aset debitur. Karena sitaan yang lain jika ada harus dianggap

gugur karena hukum. Dalam Pasal 21 UUKPKPU, sitaan umum tersebut berlaku

terhadap seluruh kekayaan debitur meliputi:

1. Kekayaan yang sudah ada pada saat pernyataan pailit ditetapkan.

2. Kekayaan yang akan diperoleh oleh debitur selama kepailitan tersebut.

Sitaan Umum ini bertujuan untuk mengamankan harta kekayaan debitur dari

mulai dapat terjadinya penyelewengan harta oleh debitur dan sampai perebutan harta

pailit oleh para krediturnya yang ingin didahulukan tanpa mempertimbangkan

kepailitan itu sendiri, yang dimana harta ini sebenarnya merupakan suatu jaminan

umum pagi para krediturnya.

Hal ini menceriminkan kasus pada Putusan Nomor 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015

dimana seorang yang dinyatakan sebagai kreditur konkuren menginginkan haknya

untuk didahulukan sedangkan diketahui bahwa pembagian kepada kreditur konkuren

ini dibagi harta pailit secara pro rata, yakni sesuai dengan perimbangan piutang

50
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2008, hlm. 7.
52

mereka masing-masing, yang diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang mengatakan

sebagai berikut:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang


menguntungkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing,
kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan”.

Adapun yang dimaksud Kreditur Konkuren adalah para Kreditur dengan hak

pari passu dan pro rata (diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata), artinya para Kreditur

secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang

dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap

piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan Debitur

tersebut.51

Putusan Nomor 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015, Pihak-pihak dalam perkara ini

yaitu Direktur Utama Nixon Marsati Foni yang mewakili PT MARS BINTANG

TIMOR yang memberikan kuasa kepada Junus Wermasaubun, S.H., & kawan

(Advokat) sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat melawan Tim Kurator PT

EUROGATE Indonesia (dalam Pailit) yang diwakili oleh Charlie Simanjuntak, S.H.,

dan Wahyudin S.H. yang memberikan kuasa kepada Hj. Tutut Rokhayatun, S.H.,

M.H., & kawan (Advokat) sebagai Termohon Kasasi I dahulu Tergugat I dan Ny.

Leonita Widjaya yaitu Direktur PT EUROGATE Indonesia sebagai Termohon Kasasi

II dahulu Tergugat II.


51
Kartini Muljadi, Kreditur Preferens dan Kreditur Separatis dalam Kepailitan, “Undang-
Undang Kepailitan dan Perkembangannya: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-
Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004: Jakarta 26-28 Januari 2004”,
Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005, hlm. 165.
53

Putusan utang piutang ini berawal dari suatu perjanjian jual beli barang

perusahaan PT Eurogate Indonesia selaku penjual kepada PT Mars Bintang Timor

selaku pembeli. Dalam hal jual beli ini pihak pembeli telah melakukan pelunasan

pembayaran kepada pihak penjual jumlah total uang yang telah dibayarkan dan telah

diterima oleh Direksi PT Eurogate Indonesia ketika itu incasu Tergugat II, adalah

sebesar Rp4.150.000.000,00 (empat miliar seratus lima puluh juta rupiah), tetapi

pihak penjual belum sempat menyerahkan barang objek jual beli tersebut yang masih

terikat dengan kewajiban pajak pada Direktorat Jendral Bea dan Cukai, sehingga

Penggugat mendatangi Tergugat II untuk menanyakan realisasi penyerahan atas

barang-barang dimaksud, namun Tergugat II menyatakan tidak bertanggung jawab

lagi karena PT Eurogate Indonesia telah dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga barang-barang tersebut dalam pengawasan

dan penguasaan Tergugat I selaku Kurator.

Setiap perseroan (perusahaan) dalam melakukan kegiatan usaha tidak terlepas

dari hubungan hukum dan perbuatan hukum. Di mana hubungan hukum tersebut

dapat menimbulkan suatu perikatan/perjanjian. Maksudnya ialah terhadap hubungan-

hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, di mana hukum meletakkan

“hak” pada satu pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya. Sehingga

perikatan dapat diartikan atau dirumuskan sebagai suatu hubungan hukum yang

terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan

yang mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
54

prestasi itu.52 Dan jika salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi itu maka

terjadilah utang piutang yang dimana pembayarannya bila telah jatuh tempo dapat

diajukan permohonan kepailitan pada Pengadilan Niaga dan ini merupakan suatu

usaha untuk melakukan penagihan terhadap debitur.

“Penagihan” disini diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak kreditur bahwa

pihak kreditur ingin supaya debitur melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau

pada suatu waktu yang disebut dalam pemberitahuan itu. Faktor “waktu” adalah

penting dalam hal perjanjian, terutama dikalangan bisnis. Pada umumnya dapat

dikatakan, bahwa dalam suatu perjanjian kedua belah pihak ada keinginan supaya

selekas mungkin tujuan dari perjanjian terlaksana, yaitu pihak kreditur supaya lekas

merasakan kenikmatan yang terletak pada pelaksanaan janji, sedang pihak debitur

supaya lekas terlepas dari suatu ikatan, yang dampaknya akan sedikit menekan

jiwanya.53 Sebenarnya penagihan semacam ini diatur dalam Pasal 27 UUKPKPU

yang menyatakan bahwa “Selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk

memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitur

pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan”.

Dalam putusan pihak PT Mars Bintang Timor telah melakukan pembayaran

kepada pihak PT Eurogat Indonesia sebesar Rp4.150.000.000,00 (empat miliar

seratus lima puluh juta rupiah) sebagai pembayaran terhadap barang yang dimaksud

dalam putusan. Sedangkan pihak PT Eurogat membantah hal tersebut dalam

52
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1997, hlm. 2.
53
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 15.
55

eksepsinya, bahwa pihak PT Eurogat hanya menerima sebesar Rp2.700.000,00 (dua

miliar tujuh ratus juta rupiah). Disinilah berlaku asas keseimbangan, yaitu dari satu

pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata

dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, dilain pihak terdapat ketentuan

yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh

kreditur yang tidak beritikad baik.

Pernyataan Tergugat II yang menyatakan tidak bertanggung jawab lagi karena

PT Eurogate Indonesia telah dinyatakan pailit ini diatur dalam Pasal 24 ayat (1)

UUKPKPU, Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus

kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan

pailit diucapkan. Penguasaan dan pengurusan itu berpindah tangan kepada kurator

yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yaitu “Kurator berwenang melaksanakan tugas

pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit

diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan

kembali”.

Setelah merasa dirugikan karena tidak menerima haknya yaitu barang dari

objek perjanjian jual beli yang belum diserahkan dan/atau terutang maka pihak PT

Mars Bintang Timor mengajukan gugatan dan karena ditolak lalu mengajukan

permohonan kasasi, dimana dalam gugatan yang dilampirkan kembali dalam

permohonan kasasi yang pada intinya bahwa kurator tidak berhak untuk menyatakan

bahwa barang yang telah dibeli oleh Penggugat yang telah dilunasi pembayarannya

dimasukkan dalam harta pailit oleh karena itu kurator tidak layak menurut hukum
56

menyatakan Penggugat dimasukkan selaku kreditur konkuren dan mnuntut agar

dilakukan penyerahan barang secepatnya.

Kurator (termohon kasasi I) dalam menyatakan memasukkan barang yang

dimaksud dalam putusan ke dalam harta pailit sebenarnya telah dijelaskan dalam

eksepsi Putusan Nomor 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 yang pada intinya tidak

diserahkannya barang kepada Pemohon kasasi selaku pembeli karena adanya suatu

perjanjian yang dibuat oleh Pemohon kasasi selaku pembeli dan Termohon II selaku

penjual yaitu perjanjian Nomor 001/PTE/IV/2013 yang pada pokoknya penyerahan

barang dilakukan setelah Termohon II selaku penjual membayarkan pajak barang

tersebut dan mendapatkan persetujuan penyerahan dari Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai.

Kurator sebenarnya dapat membela diri dengan memasukkan barang-barang

tersebut dalam harta pailit dengan alasan karena putusan pernyataan pailit oleh

Pengadilan Niaga (tingkat pertama) merupakan putusan serta merta (dapat dijalankan

terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum

(Pasal 8 ayat (7) UUKPKPU)). Dengan demikian kurator sudah mulai bekerja sejak

saat jatuhnya putusan pailit (tingkat pertama) walaupun terjadi upaya hukum. Apabila

putusan pernyataan pailit dibatalkan di tingkat kasasi, maka segala tindakan kurator

sebelum diketahuinya putusan kasasi tetap dianggap sah dan mengikat. Hal ini diatur

dalam Pasal 16 ayat (2) UUKPKPU. Selain putusan Pengadilan Niaga tentang

pernyataan pailit yang bersifat serta merta dan putusan-putusan lainnya dari

Pengadilan Niaga mengenai kepailitan, putusan hakim pengawas juga bersifat serta
57

merta, kecuali ditentukan sebaliknya oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam

Pasal 92 UUKPKPU.

Mengenai pajak barang tersebut posisi negara terkait utang pajak diatur dalam

Pasal 21 Ayat (1) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Pelaksanaannya, yaitu

“Menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan

mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan

dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang

pajak dilunasi", Posisi tersebut juga dipertegas didalam Pasal 21 Ayat (3a) UU KUP,

yakni: "Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator,

likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang

membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada

pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk

membayar utang pajak wajib pajak tersebut". Termasuk dalam hal ini penjelasan yang

ada di dalam Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang menyatakan "Menetapkan kedudukan

negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas

barang-barang milik penanggung pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya

perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu

barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk

menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan

oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik

penanggung pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan
58

sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak". Sedangkan pernyataan kurator

yang menyatakan Penggugat sebagai kreditur konkuren ini sudah diatur dalam

UUKPKPU Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) yang menyatakan bahwa:

Pasal 36

(1) Dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian

timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan

perjanjiam dengan Debitur dapat meminta kepada Kurator untuk memberikan

kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu

yang disepakati oleh Kurator dan pihak tersebut.

(2) Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) tidak tercapai, Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan

perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditur

konkuren.

Disimpulkan berdasarkan Pasal 36 UUKPKPU kurator menetapkan pihak PT

Mars Bintang Timor sebagai kreditur konkuren sesungguhnya telah sesuai dengan

aturan hukum.

Pada umumnya kepailitan tidak mempunyai pengaruh khusus terhadap

perjanjian-perjanjian timbal-balik. Terhadap perjanjian-perjanjian ini berlaku

peraturan-peraturan yang biasanya diperlakukan atas perjanjian-perjanjian itu


59

bilamana tidak ada kepailitan, kecuali bila ditentukan peraturan-peraturan yang

menyimpang dengan tegas-tegas. Hal yang demikian ini antara lain kita jumpai

bilamana salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik itu memenuhi prestasinya

sepenuhnya. Misalnya dalam perjanjian jual-beli barang, dimana barang sudah

diserahkan, tetapi harganya belum dibayar sebelum kepailitan dijatuhkan, maka balai

harta peninggalan dapat menuntut pemenuhan harganya atau memilih memecahkan

perjanjian dengan ganti kerugian bilamana balai harta peninggalan memandang

demikian itu lebih baik bagi budel. Dalam hal yang belum berprestasi itu si debitur

sendiri yang sekarang jatuh pailit itu, maka pihak lawan dapat tampil/maju dalam

rapat verifikasi atau menuntut pemecahan perjanjian dengan ganti kerugian. Jadi

dapat disimpulkan bahwa apabila salah satu pihak sudah berprestasi sepenuhnya,

maka kepailitan tidak menimbulkan kesulitan.54

Pengurusan dan atau pemberesan harta pailit diartikan mengurus dan

membereskan harta pailit, termasuk juga utang-utang debitur pailit. Debitur pailit

berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua krediturnya bersama-

sama (Pasal 144 UUKPKPU). Rencana perdamaian yang ditawarkan debitur pailit

tersebut dimasukkan paling lambat delapan hari sebelum rapat pencocokan piutang

(Pasal 145 UUKPKPU). Apabila pada rapat kreditur tersebut ternyata debitur pailit

tidak memajukan penawaran perdamaian, maka demi hukum harta pailit dalam

keadaan tak mampu membayar (Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU).

54
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi
Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Balaksumur, Yogyakarta, 1981, hlm. 25.
60

Demikian juga apabila penawaran perdamaian tersebut ditolak oleh para

kreditur, dalam arti tidak diterima karena tidak disetujui oleh lebih dari setengah

kreditur konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau sementara

diakui yang mewakili paling sedikit dua atau pertiga dari jumlah seluruh piutang

kreditur konkuren yang diakui atau sementara diakui (Pasal 151 UUKPKPU), maka

harta pailit demi hukum dalam keadaan tidak membayar (Pasal 178 ayat (1)

UUKPKPU). Insolvensipun akan terjadi, walaupun perdamaian tersebut diterima

karena disetujui oleh para kreditur konkuren, akan tetapi pengesahan akan

perdamaian tersebut (homologasi) ditolak oleh pengadilan dengan alasan apabila:55

1. Kekayaan harta pailit terlampau amat melebihi jumlah yang dijanjikan

dalam perdamaian.

2. Pemenuhan perdamaian tidak cukup terjamin.

3. Perdamaian telah tercapai karena penipuan, karena sekongkol dengan

seorang berpiutang atau lebih ataupun penggunaan lain-lain cara yang

tidak jujur, tak perduli apakah debitur pailit turut melakukan atau tidak

(Pasal 124 ayat (1)).

Terhitung sejak insolvensi terjadi, maka dimulailah proses pengurusan dan

atau pemberesan harta pailit, termasuk tagihan atau utang para kreditur. Kurator

berdasarkan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUKPKPU, dalam

rapat kreditur yang membicarakan pencocokan piutang, melaporkan pelaksanaan

tugasnya kepada hakim pengawas (Pasal 143 ayat (1) UUKPKPU). Laporan kurator
55
Adrian Sutedi, Op Cit, hlm. 55.
61

tersebut berupa daftar piutang yang sementara diakui atau dibantah yang telah

dicatat/dibuatnya berdasarkan ketentuan Pasal 93 UUKPKPU mengenai sifat dan

jumlah piutang dan utang debitur pailit, nama dan tempat tinggal beserta jumlah

piutangnya. Sedang catatan harta pailit yang dibuatnya dilaporkan setelah rapat

verifikasi berakhir (Pasal 143 ayat (1) UUKPKPU). Dalam prakteknya pembagian

aset pada umumnya dilakukan dengan penjualan aset tanpa perlu memperoleh

persetujuan atau bantuan debitur dimana diatur dalam Pasal 184 UUKPKPU, dalam

melaksanakan penjualan aset debitur peran kurator sangat penting dalam

memperhatikan harga jual aset tersebut dengan mengambil harga yang paling tinggi

atau cara pelelangan (harga tertinggi disini tujuannya untuk memaksimalkan

pelunasan pada saat pembagian kepada kreditur-krediturnya), dan hasil penjualan

dibagikan secara proporsional dalam bentuk uang tunai kepada kreditur. Menurut

Pasal 188 UUKPKPU, hakim pengawas dapat memerintahkan pembagian kepada

kreditur yang piutangnya telah dicocokkan.

B. Cara Menghitung Urutan-Urutan Pembagian Budel Pailit dan Cara

Menghitung dalam Pembagian Harta Pailit

Pembagian aset merupakan suatu proses yang paling penting dalam kepailitan,

karena hal ini menyangkut pengembalian atas kewajiban debitur pailit terhadap

kreditur. Dalam melaksanakan pembagian hasil penjualan aset-aset harta pailit

debitur kepada kreditur atau yang berhak lainnya, maka harus berdasarkan dalam

Undang-Undang Kepailitan perlu dipertimbangkan faktor-faktor pembagian harta


62

pailit, seperti harta yang bukan harta pailit harus dikeluarkan terlebih dahulu yaitu

sebagai berikut:

1) Aset-aset tertentu dari debitur pailit (Pasal 22 UUKPKPU).

2) Sejumlah uang biaya hidup debitur pailit (Pasal 106 UUKPKPU).

3) Sejumlah parabot rumah tangga (Pasal 184 ayat (3) UUKPKPU).

Mengenai masalah daftar pembagian, maka kurator wajib menyusun suatu

daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada hakim pengawas. Pasal 189

ayat (1) UUKPKPU. Kurator membuat daftar pembagian yang berisi jumlah uang

yang diterima dan yang dikeluarkan, termasuk didalamnya upah kurator, nama-nama

kreditur dan jumlah tagihannya yang telah disahkan, pembayaran-pembayaran yang

akan dilakukan terhadap tagihan-tagihan itu atau bagian yang wajib diterimakan

kepada kreditur.

Proses yang harus dilaksanakan oleh kurator sebelum pembagian aset

adalah:56

1. Menyusun daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan dari Hakim

Pengawas.

2. Membuat daftar pembagian yang memuat penerimaan dan pengeluaran

termasuk didalamnya upah kurator, nama kreditur, jumlah yang

dicocokkan dari tiap-tiap piutang dan bagian yang wajib diberikan kepada

Kreditur.

56
Edward Manik, Op Cit. hlm. 172.
63

3. Membuat daftar bagian Kreditur Konkuren sesuai dengan yang telah

ditetapkan oleh Hakim Pengawas.

4. Melaksanakan pembayaran kepada Kreditur yang mempunyai hak yang

diistimewakan, termasuk yang hak istimewanya dibantah, pemegang

gadai, jaminan fidusia atau hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas

kebendaan lainnya sejauh mereka belum melaksanakan hak eksekusinya

secara sendiri-sendiri.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 189ayat (2) UUKPKPU, daftar pembagian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rincian penerimaan dan pengeluaran

termasuk didalamnya upah kurator, nama kredior, jumlah yang dicocokkan dari tiap-

tiap piutang, dan bagian yang wajib ditrimakan kepada kreditur. Sementara itu, Pasal

189 ayat (3) UUKPKPU menentukan bahwa besarnya bagian dari masing-masing

kreditur konkuren ditentukan oleh hakim pengawas. Tentu saja penentuan tersebut

harus dilakukan oleh hakim pengawas sesuai dengan ketentuan Pasal 1132

KUHPerdata, yaitu ditentukan secara proporsional menurut perbandingan besarnya

piutang masing-masing kreditur konkuren tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal

189 ayat (4) UUKPKPU, pembayaran kepada kreditur:

a. Yang mempunyai hak yang diistimewakan, termasuk didalamnya yang

hak istimewanya dibantah.

b. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak

agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar menurut

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari


64

hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa

atau terhadap benda yang diagunkan kepada mereka dengan hak-hak

jaminan tersebut.

Bila jumlah hasil penjualan benda kurang dari seluruh tagihan para kreditur

preferen tersebut, maka untuk kekurangannya kreditur preferen tersebut harus diberi

presentase seperti halnya kepada para kreditur konkuren. Demikian menurut Pasal

189 ayat (5). Dengan kata lain, setelah kreditur preferen tersebut telah memperoleh

pelunasan atas tagihannya dari hasil penjualan benda tersebut ternyata masih terdapat

sisa tagihan yang belum lunas karena nilai atau harga jual benda tersebut tidak cukup

untuk dapat melunasi seluruh jumlah tagihannya, maka untuk sisa tagihan yang

belum lunas itu kreditur preferen itu masih berhak memperoleh bagian dari harta

pailit debitur yang tidak dibebani dengan hak istimewa atau hak jaminan namun

kedudukan kreditur preferen itu berubah menjadi kreditur konkuren. Sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 190 UUKPKPU, kreditur yang piutangnya diterima dengan

bersyarat maka besarnya jumlah bagian kreditur tersebut dalam daftar pembagian

piutang dihitung berdasarkan presentase dari seluruh jumlah piutang.

Terhadap kreditur yang diterima dengan bersyarat, maka Pasal 190

UUKPKPU menyatakan besarnya jumlah bagian kreditur tersebut dihitung

berdasarkan presentase dari jumlah seluruh piutang. Dalam prakteknya bahwa hal ini

sering menimbulkan pembagian yang tidak adil khususnya bagi kreditur konkuren,

mengingat sisa dari aset yang dibagikan umumnya tidak begitu besar dan telah
65

dibayarkan kepada kreditur preferen sehingga mengakibatkan porsi yang diterima

oleh kreditur konkuren sangat kecil.

Daftar pembagian tersebut dapat dibuat sekali atau lebih dari sekali dengan

memperhatikan kebutuhan. Daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim

pengawas wajib disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh

kreditur selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas pada waktu

daftar tersebut disetujui dan diumumkan oleh kurator dalam surat kabar harian

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UUKPKPU.

Sesuai dengan Putusan Nomor 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 menghasilkan daftar

pembagian harta berdasarkan urutannya (tanpa ada kreditur separatis dan kreditur

lain yang dapat muncul diluar putusan ini) yaitu sebagai berikut:

1. Ongkos-ongkos kepailitan (termasuk fee kurator, akuntan, appraiser,

ongkos penjualan aset, dan lain-lain)

Tentunya untuk acara kepailitan ini memerlukan ongkos-ongkos,

Ongkos-ongkos kepailitan (termasuk fee kurator) menempati kedudukan

paling tinggi, tetapi dibawah posisi utang dengan hak jaminan (kreditur

separatis) jika kreditur separatis menjual sendiri aset separatis tersebut,

diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUKPKPU. Cara pemotongan dari ongkos-

ongkos kepailitan ini dibebankan kepada setiap benda yang merupakan bagian

harta pailit (Pasal 191 UUKPKPU). Karena itu, dilihat terlebih dahulu

beberapa presentase jumlah ongkos kepailitan dibandingkan dengan seluruh

tagihan yang ada.


66

Untuk fee kurator sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pedoman Imbalan

Jasa Bagi Kurator dan Pengurus besaran tarif bagi kurator ini diatur dalam

Pasal 2 ayat (1), (3) dan (4), yaitu sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Besarnya Imbalan Jasa Kurator ditentukan sebagai berikut:

a. Dalam hal kepailitan berakhir dengan perdamaian, Imbalan Jasa

dihitung dari presentase nilai utang yang harus dibayar oleh Debitur.

Catatan: dalam lampiran peraturan ini dijelaskan pula jika nilai utang

sampai dengan Rp50.000.000.000;- (lima puluh miliar rupiah)

presentasenya 5% (lima per seratus) dan jika nilai utang lebih tinggi lagi

maka presentasenya berkurang, patokan lebih jelasnya ada pada lampiran

peraturan ini.

Berdasarkan catatan tersebut terbentuk rumus sebagai berikut:

5
×50.000 .000 .000 = 2.500.000.000
100

b. Dalam hal kepailitan berakhir dengan pemberesan, Imbalan Jasa

dihitung dari presentase nilai hasil pemberesan harta pailit diluar

utang.

Catatan: dalam lampiran peraturan ini dijelaskan pula jika nilai utang

sampai dengan Rp50.000.000.000;- (lima puluh miliar rupiah)

presentasenya 8% (delapan per seratus) dan jika nilai utang lebih tinggi
67

lagi maka presentasenya berkurang, patokan lebih jelasnya ada pada

lampiran peraturan ini.

Berdasarkan catatan tersebut terbentuk rumus sebagai berikut:

8
×50.000 .000 .000 = 4.000.000.000
100

c. Dalam hal permohonan pernyataan ditolak di tingkat kasasi atau

peninjauan kembali, besarnya Imbalan Jasa dibebankan kepada

pemohonan pernyataan pailit atau pemohon dan debitur dalam

perbandingan yang ditetapkan oleh majelis hakim.

(3) Besarnya Imbalan Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c

dihitung berdasarkan tarif jam pakai.

(4) Tarif jam kerja terpakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling

banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah) perjam dengan ketentuan

tidak boleh melebihi nilai presentase tertentu dari nilai harta pailit.

Imbalan kurator ditentukan pada saat rapat kreditur dan juga perlu

pertimbangan hakim pengawas berdasarkan tingkat kerumitan pekerjaan

kurator yang semua itu diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa Bagi Kurator

dan Pengurus. Selain fee kurator bisa juga ada tagihan lain seperti akuntan,

appraiser, ongkos penjualan aset, dan lain-lain.

2. Kreditur Preferen Negara Terkait Utang Pajak


68

Negara terkait utang pajak yang diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) UU

Ketentuan Umum dan Tata Cara Pelaksanaannya, yaitu “Menetapkan

kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak

mendahului atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di

muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang

pajak dilunasi". Diketahui bahwa tagihan dari Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai sebesar Rp2.860.413.000,00 (dua miliar delapan ratus enam puluh juta

empat ratus tiga belas ribu rupiah) yang telah diajukan kepada Tim Kurator,

tagihan tersebut muncul akibat PT Eurogate Indonesia tidak membayarkan

pajak pemasukan dan pengeluaran barang di Kawasan Berikat.

Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau likuidasi, maka

kreditur, likuidator atau orang, atau badan yang ditugasi untuk melakukan

pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit,

pembubaran, atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya

sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib

pajak tersebut (Undang-Undang Pajak Nomor 16 Tahun 2009). Oleh UU

Pajak, kurator dilarang membagikan harta wajib pajak, tetapi larangan ini

tidak berlaku jika kurator membayar biaya pailit (karena pembayarannya tidak

terelakkan) dan juga tidak berlaku terhadap utang harta pailit lainnya.

Posisi tagihan pajak atau hutang pajak ini diatur dalam Pasal 21 ayat

(3) UU KUP, jo Pasal 39 ayat (3) UU Kepabeanan, jo Pasal 19 ayat (6) UU


69

PPSP diatur bahwa hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak

mendahulu lainnya kecuali terhadap:

1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman

untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak bergerak.

2) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang.

3) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan

penyelesaian suatu warisan.

Peraturan itu diakui dalam Pasal 1134 KUHPerdata dimana kreditur

yang diistimewakan (preferen) kedudukannya lebih tinggi dari Gadai dan

Hipotek (separatis) kecuali undang-undang dengan tegas menentukan

kebalikannya. Untuk lebih jelasnya Pasal 1134 KUHPerdata menyatakan:

“Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang


kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih
tinggi dari pada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang
itu. Gadai dan Hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali
dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.”

Selain itu ditegaskan juga adanya hak mendahului dari Kas Negara

dan lain-lain badan umum yang dibentuk pemerintah diatur dalam Pasal 1137

KUHPerdata yang menyatakan:

“Hak dari Kas Negara, Kantor lelang dan lain-lain badan umum yang
dibentuk oleh Pemerintah untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan
hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam
berbagai undang-undang khusus yang mengatur mengenai hal-hal itu.
Hal-hal yang sama mengenai persatuan-persatuan atau perkumpulan-
perkumpulan yang berhak atau kemudian akan mendapat hak untuk
memungut bea, diatur dalam peraturan-peraturan yang sudah ada atau
diadakan tentang hal itu.”
70

3. Kreditur Konkuren PT Mars Bintang Timor

PT Mars Bintang Timor yang dinyatakan sebagai kreditur konkuren

secara pro rata (sebanding) dan jumlah tagihan yang diakui. Jumlah total

uang yang telah dibayarkan dan telah diterima oleh Direksi PT Eurogate

Indonesia ketika itu incasu Tergugat II, adalah sebesar Rp4.150.000.000,00

(empat miliar seratus lima puluh juta rupiah) sedangkan pihak PT Eurogat

membantah hal tersebut dalam eksepsinya, bahwa pihak PT Eurogat hanya

menerima sebesar Rp2.700.000,00 (dua miliar tujuh ratus juta rupiah), yang

timbul karena barang yang belum diserahkan oleh PT Eurogate Indonesia

padahal telah dilakukan pembayaran oleh PT Mars Bintang Timor sebesar

yang telah dicantumkan diatas, dan barang tersebut telah dimasukkan pada

harta pailit oleh kurator.

Perbedaan pengakuan oleh kreditur dan debitur atas suatu utang ini

ditentukan dalam pencocokkan tagihan-tagihan di rapat kreditur, dimana

semua kreditur wajib menyerahkan piutngnya masing-masing kepada kurator

disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau

tidaknya kreditur mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia,

hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk

menahan benda (Pasal 115 ayat (1) UUKPKPU).

Pencocokkan ini merupakan suatu pembuktian ada atau tidaknya

utang, seberapa besarnya utang, dan kedudukan para kreditur-kreditur. Dalam

Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2) UUKPKPU dalam hal pembuktian ini peran
71

kreditur yaitu mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh

kreditur dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitur

pailit atau berunding dengan kreditur jika terdapat keberatan terhadap

penagihan yang diterima. Selain itu kurator berhak meminta kepada kreditur

agar memasukkan surat yang belum diserahkan, termasuk memperlihatkan

catatan dan surat bukti asli. Dengan begitu akan diketahui seberapa besar

sebenarnya utang PT Eurogat Indonesia kepada PT Mars Bintang Timor, jika

PT Mars Bintang Timor memiliki bukti atas utang itu kurator dapat

mempertimbangkan besaran utang berdasarkan bukti-bukti surat tersebut.

Jika melihat pada Putusan Nomor 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 penghitungan

untuk pembagiannya yaitu dari tagihan-tagihan yang muncul dan perhitungan untuk

ongkos-ongkos kepailitan (hanya fee kurator saja dan belum ongkos kepailitan lain

yang dapat muncul dari proses kepailitan itu sendiri). Dihitung dalam hal berakhirnya

kepailitan pada tahap pemberesan fee kurator presentasenya 8% (delapan per seratus)

dari nilai utang yang kurang dari Rp50.000.000.000;- (lima puluh miliar rupiah,

diketahui nilai utang dalam putusan ini yaitu Rp2.860.413.000,00 (dua miliar delapan

ratus enam puluh juta empat ratus tiga belas ribu rupiah) ditambah utang kepada

kreditur konkuren (PT Mars Bintang Timor) jika yang diakui dalam pencocokkan

piutang adalah pengakuan dari pihak PT Mars Bintang Timor sebesar

Rp4.150.000.000,00 (empat miliar seratus lima puluh juta rupiah), dengan demikian

perhitungannya yaitu:

Jumlah utang 2.860.413.000 + 4.150.000.000 = 7.010.413.000


72

Jumlah utang yang dimasukkan dalam presentase 8% (delapan per seratus)

8
×7.010 .413 .000= 560.833.040
100

Jadi fee kurator jika nilai utang PT Eurogat Indonesia seperti perhitungan

tersebut yaitu sebesar Rp560.833.040,00 (lima ratus enam puluh juta delapan ratus

tiga puluh tiga ribu empat puluh rupiah). Catatan bahwa nilai ini belum dengan

kreditur lain yang mungkin muncul di luar putusan ini, perhitungannya hanya ongkos

fee kurator belum lagi jka ada ongkos lain yang mungkin muncul dalam kepailitan

dan perhitungannya akan berbeda sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa Bagi

Kurator dan Pengurus.

Perhitungan pembagian pada para kreditur-kreditur perlu diketahui nilai aset

debitur yang nantinya akan jadi patokan, jumlah nilai aset debitur yang akan

berpengaruh pada pembagian kepada setiap para krediturnya seperti adanya kreditur

yang didahulukan pembagiannya seperti kreditur preferen dalam putusan (negara

terkait utang pajak) dan setelah dibagikan pada kreditur yang didahulukan sisanya

baru akan dibagikan kepada kreditur konkuren (PT Mars Bintang Timor) secara pro

rata. Belum lagi mengenai kemungkinan munculnya kreditur-kreditur lain yang

mungkin muncul di luar Putusan Nomor 331 K/Pdt.Sus-Pailit/2015.

Selain kreditur preferen dan kreditur konkuren akan ada kreditur separatis

jika memang debitur memiliki utang yang dijamin dengan gadai, hipotek dan jaminan

lainnya. Kreditur separatis ini dapat mengeksekusi sendiri aset yang merupakan
73

jaminan utangnya tersebut, ini diatur dalam Pasal 56 UUKPKPU. Kedudukkan

kreditur separatis lebih tinggi dari ha-hak terdahulu lainnya, kecuali undang-undang

menentukkan sebaliknya (Pasal 1134 KUHPerdata).

Pada prinsipnya aset baru dibagi-bagi kepada kreditur setelah seluruh aset

debitur terjual dan menjadi cash, yakni apabila cash (uang tunai) sudah cukup tesedia

untuk membayar utang-utangnya. Akan tetapi, tidak dilarang apabila kurator

membagi hasil penjualan harta pailit yang sudah ada terlebih dahulu secara

proporsional asalkan hal tersebut dipandang baik oleh kurator. Dalam hal telah

tersedianya cukup uang tunai, apabila kurator belum juga melakukan pembayaran

kepada kreditur, menurut Pasal 188 UUKPKPU, hakim pengawas dapat

memerintahkan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah dicocokkan.

Kemungkinan lain munculnya kreditur seperti dalam Pasal 200 UUKPKPU,

yaitu kreditur yang karena kelalaiannya baru mencocokkan setelah dilakukan

pembagian, dapat diberikan pembayaran suatu jumlah yang diambil lebih dahulu dari

uang yang masih ada, seimbang dengan apa yang telah diterima oleh kreditur lain

yang diakui. Dalam hal kreditur mempunyai hak untuk didahulukan, mereka

kehilangan hak tersebut terhadap hasil penjualan benda yang bersangkutan, apabila

hasil tersebut dalam suatu daftar pembagian yang lebih dahulu telah diperuntukkan

bagi kreditur lainnya secara mendahulukan.

Menurut Pasal 198 ayat (1) UUKPKPU, tidak diberikan pembagian yang

diperuntukkan bagi kreditur yang piutangnya diakui sementara, selama belum ada

putusan mengenai piutangnya yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
74

Artinya, kreditur yang piutangnya diakui sementara, yaitu sementara menunggu

adanya putusan yang pasti berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh

kekuatan tetap, tidak akan menerima pembagian dari harta pailit selama putusan

hakim yang telah berkekuatan hukum tetap itu belum ada. Dalam hal kreditur terbukti

(menurut putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap) tidak

mempunyai piutang apapun atau piutangnya kurang (lebih kecil) dari uang yang

diperuntukan baginya sebagaimana tercantum didalam daftar piutang, maka uang

yang semula diperuntukkan baginya itu, baik seluruh ataupun sebagian, menjadi

keuntungan (diberikan kepada) kreditur lainnya, demikian menurut Pasal 198 ayat (2)

UUKPKPU. Berapa besar pitang yang hakim yang telah berkekuatan hukum tetap

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1) tersebut. Dengan demikian

pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas dimana

kreditur yang kedudukannya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dulu dari

kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah dan antara kreditur yang memiliki

tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas pro rata.

Dalam hal harta debitur tidak mencukupi untuk membayar utang-utangnya

maka kepailitan akan berakhir, kurator akan mengusulkan agar kepailitan tersebut

dicabut kembali. Usulan oleh kurator ini diatur dalam Pasal 18 UUKPKPU.

Keputusan mencabut kepailitan ini dibuat dalam bentuk ketetapan hakim dan

diputuskan dalam siding yang terbuka untuk umum. Jika kepailitan dibayar lunas,

maka kepailitanpun berakhir, ini diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UUKPKPU.
75

Jika kepailitan berakhir dalam pelunasan, setelah daftar pembagian penutup

menjadi mengikat kreditur memperoleh kembali hak eksekusi terhadap paharta

debitur mengenai piutang yang belum dibayar, Pasal 204 UUKPKPU. Dengan

ketentuan demikian dimaksudkan bahwa sejak daftar pembagian penutup selesai

dilaksanakan, kepailitan berakhir.

Setelah berakhirnya masa pembagian atau pemberesan dengan pelunasan

utang-utang debitur pada kreditur-krediturnya maka debitur atau ahli warisnya berhak

mengajukan permohonan rehabilitasi pada pengadilan yang mengucapkan putusan

pailit. Surat permohonan rehabilitasi harus disertai atau dilampirkan bukti-bukti

pelunasan semua utang kepada para kreditur-kreditur yang diakui. Permohonan

rehabilitasi ini harus diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar, dan dalam

jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah permohonan rehabilitasi kreditur dapat

mengajukan keberatan karena adanya utang yang belum dibayarkan dan diajukan

pada kepaniteraan pengadilan dan diberi tanda penerimaan. Setelah berakhirnya

jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut, terlepas dari diajukan atau tidaknya

keberatan pengadilan harus mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dalam

sidang yang terbuka untuk umum dan dicatat dalam daftar umum sebagaimana dalam

Pasal 20 UUKPKPU dan atas putusan tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.

Mengenai Rehabilitasi UUKPKPU mengaturnya dalam Pasal 215 sampai dengan

Pasal 221.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan pada Bab IV atas pokok-

pokok permasalahannya, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kepastian pembagian harta pailit dilakukan setelah proses-proses dimana

dalam UUKPKPU untuk menentukan pembagian itu sendiri dapat telah

tercapai. Debitur pailit saat dijatuhkannya putusan kepailitan kehilangan

haknya untuk melakukan pengurusan terhadap hartanya yang beralih pada

kurator untuk mengurus dan melakukan pemberesan berdasarkan Pasal 16

UUKPKPU. Setelah terjadinya kepailitan akan diadakannya rapat

pencocokkan piutang yang bilamana dalam tahap ini tidak ada upaya

perdamaian atau perdamaian itu ditolak para kreditur dan atau diterima

tetapi ditolak hakim demi hukum harta pailit berada dalam keadaan

insolvensi, Pasal 178 UUKPKPU. Insolvensi yaitu keadaan dimana

debitur dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya, pada saat

itu hakim pengawas dapat mengadakan rapat kreditur untuk menentukan

cara pemberesan harta dan mengadakan pencocokkan piutang Pasal 187

UUKPKPU. Pembagian aset pada umumnya dilakukan dengan penjualan

aset dan hasilnya dibagikan secara proporsional dalam bentuk uang tunai

76
77

kepada kreditur. Menurut Pasal 188 UUKPKPU, hakim pengawas dapat

memerintahkan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah

dicocokkan.

2. Perhitungan pembagian harta pailit kepada krediturnya, dilakukan

berdasarkan urutan prioritas dimana kreditur yang kedudukannya lebih

tinggi mendapatkan pembagian lebih dulu dari kreditur lain yang

kedudukannya lebih rendah dan antara kreditur yang memiliki tingkatan

yang sama memperoleh pembayaran dengan asas pro rata. Dalam

kepailitan kreditur diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu kreditur

separatis yang piutangnya dijamin dengan gadai dan hipotek dimana

kreditur ini kedudukannya lebih tinggi dari pada hak istimewa (kreditur

preferen) kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan

kebalikannya, selanjutnya kreditur preferen (hak istimewa) suatu hak yang

diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang

menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi dari pada yang lainnya (Pasal

1134 KUHPerdata), yang terakhir adalah kreditur Konkuren adalah para

Kreditur dengan hak pari passu pro rata (diatur dalam Pasal 1132

KUHPerdata), artinya para Kreditur secara bersama-sama memperoleh

pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada

besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka

secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut.


78

B. SARAN

1. Diharapkan pembagian harta pailit dapat menentukan suatu kreditur mana

yang didahulukan dalam prakteknya masih banyak kreditur yang menanyakan

alasan mengapa kreditur tersebut ditempatkan dalam kreditur yang merasa

dirugikan atau bukan merupakan kreditur yang didahulukan, ini disebabkan

oleh ketimpangtindihan suatu aturan perundang-undangan kadangkala

ditemukan dalam undang-undang lain tidak sesuai dengan UUKPKPU. Maka

oleh sebab itu penulis menyarankan agar Undang-Undang Kepailitan dan

Kewajiban Pembayaran Utang di revisi kembali dengan penyempurnaan

kejelasan penempatan kreditur jikapun penempatan kreditur itu dari undang-

undang lain untuk dijelaskan kembali dalam UUKPKPU agar para kreditur

mendapat kejelasan dari penetapan kepada kreditur itu sendiri.

2. Pembagian harta pailit kepada para krediturnya dalam UUKPKPU-pun

menurut penulis belum sempurna, masih ada yang diambil dari Undang-

Undang Kepailitan yang lama maupun undang-undang lain. Ini menyebabkan

kesulitan bagi para kurator untuk menentukan perhitungan jumlah harta yang

harus dibagikan kepada para krediturnya, untuk itu penulis menyarankan agar

UUKPKPU mengenai perhitungan jumlah harta yang harus dibagikan kepada

krediturnyapun harus dicantumkan secara jelas bila perlu diberikan lampiran

mengenai contoh perhitungannya.

Anda mungkin juga menyukai