SKRIPSI
Oleh:
Mochamad Andre Prayudi
NPM :194301097
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Keperdataan
Pembimbing:
Dr..Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn.
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
Oleh
MOCHAMAD ANDRE PRAYUDI
NPM:194301097
Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Bandung
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul” TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI
BPHTB MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI
PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN
DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO PERDA
KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2017”.
Skripsi ini membahas mengenai Tinjauan Yuridis penerapan validasi
BPHTB menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli tanah
yang dibuat ppat/ppats dengan dasar transaksi dan NJOP lama dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomo 28 Tahun 2009 Junto Perda Kabupaten Bandung NO.17
Tahun 2017.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin berhasil tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh sebab itu, pertama-tama penulis sampaikan terimakasih kepada Allah SWT,
karena telah memberikan kelancaran dan kemudahan kepada penulis, dan juga
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
semua pihak yang membantu dan mendukung penulis selama mengikuti
perkuliahan di Sekolah Tinggi Hukum Bandung, khususnya selama penulisan
skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih juga kepada yang
terhormat Ibu Dr.Hj.Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn., selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya mengarahkan dan
membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Selanjutnya, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Suryadi, S.H., M.H. selaku Ketua Sekolah Tinggi Hukum
Bandung.
iii
2. Ibu Dr. Endang Pujiastuti, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua I Sekolah Tinggi
Hukum Bandung.
3. Ibu Dr. Tuti Herawati, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua II Sekolah Tinggi
Hukum Bandung.
4. Bapak Dr. H. Asep Rozali S.H., M.H. selaku Wakil Ketua III Sekolah
Tinggi Hukum Bandung.
5. Seluruh Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang telah mendidik
penulis dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
6. Staf Administrasi dan Perpustakaan Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang
telah banyak membantu penulis.
7. Terima kasih kepada kakak saya, Mochamad Mulqi Prayudi dan Yoga
Rifaldi atas segala doa dan segala bantuan ketika saya mengerjakan skripsi
ini.
8. Terima kasih kepada yang terkasih Hafni Urbach Rabbani Deane atas
bantuan dan penyemangat motivasi saya agar terus mengerjakan skripsi ini
sehingga skripsi ini selasai dengan baik.
9. Terima kasih untuk sahabat-sahabat saya dikampus Iksan Hanafi, Ardian
Dwi, Aldo Galatheo yang selalu menanyakan kemajuan skripsi sehingga
memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini secepatnya
10. Terima kasih kepada teman-teman Kelas B angkatan 2019 Sekolah Tinggi
Hukum Bandung yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua saya
yang sangat saya cintai, yaitu: Alm.Bapak Yudi Tossin S. Pd dan Ibu Nathalia
Puspasari, Yang terus mendoakan saya agar saya sukses dalam menjalankan
kehidupan saya di dunia ini, dan skripsi ini juga sebagai persembahan terima kasih
saya kepada alm bapak yudi yang ingin kedua anaknya lulus sekolah di perguruan
tinggi. Tanpa orang-orang diatas tidak mungkinlah saya bisa menyelesaikan tugas
akhir ini.
Dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,
untuk itu penulis mengharapkan segala saran dan masukan untuk memperbaiki agar
skripsi ini dapat selesai dengan maksimal.
iv
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membutuhkan sebagai referensi maupun bahan pertimbangan dan tentunya dapat
memberikan manfaat tersendiri bagi penulis, serta skripsi ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.
v
DAFTAR ISI
B. Identifikasi Masalah........................................................................... 5
C. Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA (UU No. 5 /Tahun 1960) .... 27
vi
DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN 2017 ................................................................. 40
A. Kesimpulan ...................................................................................... 53
B. Saran-Saran ...................................................................................... 54
vii
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN
NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI
TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA
KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN
2017
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2003), hlm. 5.
1
2
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.2 Maka dari itu, peralihan hak atas
tanah dan bangunan menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi pihak yang
mengalihkan maupun pihak yang menerima peralihan hak. Kewajiban tersebut
dimana setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan wajib menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara harus menjadi penerimaan utama
karena sumber-sumber penerimaan yang lain, selain seperti pajak, pendapatan
pengelolaan sumber alam sangat terbatas, bisa berkurang bahkan habis. Oleh karena
itu, kesadaran rakyat membayar pajak harus ditumbuhkembangkan secara terus
menerus agar pajak nantinya sebagai sumber utama untuk membiayai
pembangunan.3
Bea Perolehan Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut: BPHTB) memiliki
sejumlah permasalahan yang aktual dan menarik untuk diperhatikan sehubungan
aktifitas pemerintah dalam mengadministrasikan perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang tidak lain adalah peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
setelah melaksanakan kewajiban membayar BPHTB. Kewajiban membayar
BPHTB, merupakan wewenang negara yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3) yang
menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kemudian oleh ayat (5) UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang. ternyata secara implementatif
penerapan kewajiban pajak BPHTB minim informasi yang diberikan kepada publik
dengan masyarakat minim pemahaman dan pengetahuan tentang BPHTB. Di dalam
masyarakat terdapat ketidaktahuan siapa yang menjadi subjek wajib bayar BPHTB,
walaupun istilah “perolehan” menunjukkan bagi yang memperoleh dan untuk jual
beli penjual menjadi subjek wajib pajak penghasilan, tetapi ditengah masyarakat
masih terjadi antara penjual dan pembeli saling berkeras melimpahkan kewajiban
dan kerap membayar secara urunan dimana pembeli menambah pembayaran
2
Ibid
3
Setu Setiawan, Perpajakan Indonesia Edisi 2009, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press, 2009), hlm.1.
3
4
Marihot Pahala Siahaan I. Op.Cit, hlm.6.
4
terbaru dan aplikasi baru. Masalah yang muncul adalah transaksi lama pada akta
jual beli diterapkan aturan tersebut diatas, yang membuat terhambatnya proses
validasi dan mengharuskan membayar pajak BPHTB sesuai nilai pasar.
Berdasarkan timbulnya permasalahan tersebut maka menarik untuk diangkat
sebagai skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI
BPHTB MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI
PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN
DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO PERDA KABUPATEN
BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2017”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok
permasalahan yang akan diteliti antara lain:
1. Apakah sah menerapkan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS
dengan dasar transaksi dan NJOP lama?
2. Bagaimanakah menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP
lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto Perda
Kabupaten Bandung Nomor 17 tahun 2017?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sah tidaknya menerapkan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli tanah
yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar transaksi dan NJOP lama.
2. Untuk mengetahui cara menetapkan biaya pajak BPHTB Dengan
Transaksi Dan Njop Lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun
2009 junto Perda Kabupaten Bandung Nomor 17 tahun 2017.
6
D. Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka hasil penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat
teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berkaitan dengan
pengaturan tentang cara perhitungan, urutan-urutan dan pembagian harta
pailit dalam proses pemberesan harta pailit.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu
pengetahuan bagi masyarakat, untuk dapat mengetahui bagaimana proses
penyelesaian pemberesan harta pailit sebagai pelunasan atas utang yang
terdapat pada debitur pailit untuk selanjutnya dibagikan kepada para
kreditur yang memiliki hak yang berbeda-beda.
E. Kerangka Pemikiran
Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan tulang punggung penerimaan
APBN. Sejak awal tahun 1980-an, penerimaan perpajakan sebagai sumber utama
penerimaan negara. Penerimaan pajak merupakan gambaran partisipasi masyarakat
dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di negaranya.
Apabila konstibusi penerimaan perpajakan semakin besar terhadap APBN berarti
partisipasi masyarakatnya semakin besar pula dalam pembangunan di negaranya
karena pada hakikatnya pajak berasal dari dan untuk masyarakat.
Negara melihat peluang untuk mendapatkan pemasukan kas Negara dari sektor
Pajak salah satunya dengan adanya pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan bangunan (BPHTB) atas setiap perolehan hak atas tanah danbangunan.
BPHTB dipungut oleh pemerintah Indonesia sebagai pajak pusat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik
7
Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988)
yang diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 20015.
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara Cuma-
Cuma). Tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan
harus dilaksanakan oleh masyarakat. Namun dengan perkembangan dalam
masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa
berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur
keadilan. Guna memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikut sertakan dalam
membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan
dikembangkan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.6
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah, dan salah satu sumber PAD yang memiliki
kontribusi terbesar berasal dari Pajak Daerah. Pajak daerah merupakan salah satu
bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak
daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Selama ini, pungutan
daerah yang berupa Pajak Daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana disempurnakan dengan Undang- Undang
Nomor 34 Tahun 2000.
Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat ketentuan
mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan
pajak, dan lain-lain. Namun demikian, Pengaturan dalam peraturan daerah harus
disesuaikan dengankebijakan yang termuat dalam UU atau Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, perubahan ketentuan tersebut salah satunya sangat berdampak pada
wajib pajak BPHTB.
Pemungutan pajak memiliki teori dan/atau asas, sebagai berikut:
1. Asas keadilan. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus
ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak
diselenggarakan secara umum dan merata. Berkaitan dengan
pemungutan pajak, Smith (1723-1790) dalam Santoso menguraikan asas
5
Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm 4.
6
Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat, 2011), hlm 1.
8
pemungutan pajak yang lebih dikenal dengan The Four Maxims, dengan
uraian sebagai berikut:7
a. Pembagian tekanan pajak di antara Subjek Pajak masingmasing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing,
di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas
kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak,
dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak
yang sama pula;
b. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan
tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty”
ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai
subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya;
c. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which
it is most likely to be convenient for the contributor to pay it”. 8
Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut
convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya
dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu
saat sedekatdekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang
bersangkutan;
d. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it brings into to public treasury of the State”. 9
Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya
dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan
melebihi pemasukan pajaknya.10
7
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak ,( Bandung : PT. Refika Aditama,
Cet ke 21, 2008), hlm. 27-28.
8
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, (Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008), hlm. 2.
9
Ibid, hlm. 8.
10
Sinaga, DR. N. A, “Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya di Indonesia” Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma”, Vol 7
No.1 (September 2016), hlm 150-151, https://doi.org/10.35968/jh.v7i1. diakses 26 April 2023.
9
11
Ibid, hlm. 29-37
12
Ibid, hlm. 37
13
Ibid, hlm. 41-42.
14
Ibid, hlm. 42
15
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 1999, hlm
1-2.
11
ditetapkan oleh pemerintah.16 Penetapan nilai perolehan dalam jual beli tanah dan
bangunan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan pokok bahasan utama lain dari penelitian ini. Menganalisis
temuan kerja lapangan berdasarkan konsep yang meliputi harga transaksi (dalam
undang-undang jual beli tanah), nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan
tata usaha negara, dan biaya untuk mendapatkan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB). yang sistem perpajakannya self assessment (dalam undang-undang
perpajakan), dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Harga transaksi dalam jual beli tanah
Jual beli tanah merupakan suatu kesepakatan antara kedua belah
pihak yang dimaksud di sini yaitu penjual dan pembeli dalam
melakukan suatu transaksi jual beli tanah dengan pembayaran tunai,
setelah itu barulah hak atas tanah tersebut dari penjual berpindah kepada
pembeli. Sehingga unsur dalam jual beli tanah adalah bidang tanah yang
dijual belikan dan harga transaksi yang sudah disepakati yang dibayar
dalam bentuk uang.
Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan, yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga
yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan
(dalam hal ini penjual dan pembeli). 17
2. Nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan tata usaha negara
NJOP atau nilai jual objek pajak merupakan salah satu tolok ukur
yang menjadi dasar acuan dasar pengenaan BPHTB, maka dari itu
eksistensi nilai jual objek pajak atau yang sering kita dengar sebagai
NJOP dalam kaitannya sebagai acuan atau dasar pengenaan pajak akan
diuraikan sebagai berikut.
Menurut pasal 40 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah. Pasal 4
16
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung, “Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual Objek
Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota Manado” Jurnal EMBA Vol.4 No.4
(Desember 2016), hlm.993, https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571, diakses 26 April 2023.
17
Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 2 ayat (2).
12
ayat (2) huruf a, pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten salah
satunya adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Pasal 5 ayat (1), jenis
pajak (yang salah satunya adalah PBB) merupakan jenis pajak yang
dipungut berdasarkan Penetapaan Kepala Daerah. Pasal 5 ayat (3),
dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak (dalam
hal ini adalah PBB) yakni Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Dari keempat pasal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa merupakan
suatu keputusan tata usaha negara atau KTUN nilai jual objek pajak
(NJOP) yang dimuat dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak
bumi dan bangunan (SPPT-PBB). 18
Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan penyelenggaraan
pemerintahan yang disebut juga dengan keputusan tata usaha negara
atau keputusan administrasi negara, yang selanjutnya disebut keputusan
adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh instansi atau pejabat
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.19 Menurut pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara bahwa putusan tata usaha negara adalah penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
memuat perbuatan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. yang bersifat konkrit, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. 20
Menurut pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, bahwa NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi
jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi
18
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 40 Ayat (7).
19
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 7.
20
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Pasal 1 Angka 9.
13
21
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 1 Angka 36.
22
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 5.
14
nilai jual yang wajar, atau nilai pasar karena menurut hukum positif,
NJOP ditetapkan setelah melakukan pendataan nilai jual-nilai jual tanah
yang dijualbelikan di area tersebut dan menentukan nilai rata-ratanya,
serta NJOP dalam kedudukannya sebagai keputusan tata usaha negara
yang sah tersebut bagi pejabat pemerintahan (badan atau pejabat tata
usaha negara) wajib melaksanakannya.
3. Sistem self assessment dalam hukum pajak
materiil tentang timbulnya hutang pajak, yakni setiap Undang-
undang pajak menganut ajaran wajib pajak wajib membayar pajak yang
terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan adanya surat ketetapan
pajak.23
Sistem pemungutan pajak yang berlaku menurut undang-undang
pajak BPHTB adalah sistem self assessment, di mana kepada wajib
pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga
penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib
pajak sendiri.24
Dalam sistem self assessment ini sudah barang tentu diperlukan
kejujuran wajib pajak, dan tetap saja ada wajib pajak yang tidak jujur
dalam menghitung besarnya pajak melalui surat pemberitahuan. Untuk
itu aparat perpajakan (fiscus) diberi wewenang untuk melakukan
penelitian (validasi) dan pemeriksaan terhadap kebenaran dari surat
pemberitahuan dari wajib pajak yang bersangkutan.25
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
23
Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Pasal 12 Ayat 1.
24
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Dan
Bangunan, Pasal 10 Ayat 1.
25
Indonesia.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara
Pemeriksaan Pajak, Pasal 3 Ayat 1.
15
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan skripsi agar dapat menyampaikan gambaran yang
jelas, mudah dipahami bagi pembaca. Maka penulis menyusun penulisan skripsi
menjadi lima bab dan setiap bab dibagi sub-sub sesuai pembahasan yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini penulis memaparkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
Bab ini akan menjelaskan hasil kepustakaan seperti
kerangka teori mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
17
A. Tinjauan BPHTB
1. Pengertian dan dasar hukum BPHTB
26
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2001, (Yogyakarta, Andi Offset, 2001), hlm. 272
27
Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah
dan Bangunan pasal 1 ayat 1.
28
Ibid, hlm. 31.
18
19
29
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hlm. 271.
30
Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah pasal 85
20
k) Pemekaran Usaha
l) Hadiah
2) Pemberian hak baru karena
a) Kelanjutan pelepasan hak
b) Di luar pelepasan hak
31
Mardiasmo, Op. cit, hlm. 273
32
Ibid, hlm. 273.
33
Ibid, hlm.275.
21
e) Waris
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
g) Hadiah
2) Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk : lelang
3) Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, untuk : putusan hakim.
4) Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor pertanahan, untuk : hibah wasiat.
5) Sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
untuk:
a) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak.
b) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak
2. Tempat Pembayaran34
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui kantor pos
dan atau badan usaha milik daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditunjuk oleh Menteri dengan surat setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
34
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, Pasal 84 ayat (2)
35
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa
Pemikiran, Jakarta, PT. Dina Aksara, 1988,) hlm.8.
22
berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 1 ayat 4). Sehubungan
dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa “Dalam pada
itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki
oleh seseorang”.36
Mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al Rashid, pada
hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada
pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.37Achmad
Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan
Pengertian setelah berlakunya UUPA.
a) Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, di negara kita masih terdapat
“dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum
pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat
juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat
(tanah Eropah).38
Pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang
dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli
membayar harga (walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada
penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada
pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pambeli telah mendapat
hak milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak
lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada
pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu
bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).39 Sehubungan dengan hal
36
Harun Al Rashid, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
(Jakarta, Ghalia Indonesia), 1987, hlm. 50.
37
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
38
A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973, hlm.
40).
39
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1973, hlm. 30).
23
40
Boedi Harsono, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik Atas
Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, (Bandung-
Jakarta, 1983).
41
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
pelaksanaannya, (Bandung, Alumni, 1993), hlm. 86.
42
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), hlm.
11.
24
43
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
(Bandung, Sumur, 1974), hlm. 13.
44
Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Cetakan 1, (Yogyakarta, Seksi
Notariat FH UGM, 1982), hlm. 5.
45
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 32.
25
46
Achamad Chulaemi, Op. cit, hlm. 89.
47
Boedi Harsono, UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi, Pelaksanaan Hukum Agraria, Bagian I
dan II Jilid I,( Jakarta, Djambatan, 1972).
48
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, (Bandung, Alumni, 1976).
26
49
Achmad Chulaimi, Op. cit, hlm. 91.
50
Peranginangin, Effendi. Praktek Hukum Agraria : Permohonan Hak Atas Tanah.
(Yogyakarta, ESA Study Club, 1981), hlm. 9.
27
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang
dapat dipunyaiorang atas tanah (Pasal 20 Undang Undang Pokok
Agraria). Ini berarti Hak milik memiliki sifat 3T ( turuntemurun, terkuat
51
R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraris), Cetakan 1,( Jakarta, Pradnya Paramita, 1980,)
hlm. 26.
52
Sudargo Gautama, Tafsiran UUPA,( Bandung, Alumni, 1973), hlm. 124.
53
Harun Al Rashid, Op. cit, hlm. 51.
54
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 19.
28
55
Irawan Soerodjo, Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) Eksistensi,
Pengaturan dan Praktik, LaksBang Mediatama, (Yogyakarta, 2014), hlm. 60.
56
Pasal 570 s.d. Pasal 624 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur
tentang Hak Milik.
29
57
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),( Sinar Grafika, Jakarta, 2005),
hlm.101
58
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hal. 61-62.
59
Pasal 27 UUPA tentang Hapusnya Hak Milik.
30
60
Pasal 28 ayat 1, Pasal 29 UUPA dan lihat juga Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
mengatur tentang Hak Guna Usaha (HGU).
61
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press,( Malang, 2016),hlm 83-84
62
Ibid, hlm. 84
31
63
Ibid, hlm. 85
64
Ibid, hlm. 86
32
65
Pasal 34 UUPA tentang Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU).
66
Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan (HGB).
33
67
H.M Arba, Hukum Agraria Indonesia,( Sinar Grafika, Jakarta), hlm 111-112.
68
Ibid, hlm. 112
69
Pasal 37 ayat (1) UUPA menjelaskan apa-apa saja objek HGB.
70
Pasal 48 UUPA.
34
71
H.M Arba, Op.Cit, 2015. hlm 15.
72
Pasal 40 UUPA menjelaskan tentang sebab-sebab hapusnya HGB.
35
73
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hlm 66
74
Ibid, hlm. 67
36
75
Ibid, hlm. 68.
BAB III
KASUS POSISI
37
38
76
Bonus Aprianto Hernanda, “Problematika Validasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan Atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai Bangunan Tidak
Sesuai Dengan Nilai Jual Objek Pajak Dan Nilai Perolehan Objek Pajak”,
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No. 1, 2014, hlm. 12,
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/1548/1266/. diakses 12 Juli 2023.
39
Pada tahun 2023 nyonya X akan melakukan peralihan hak ke BPN dengan
dasar AJB No.XXX/2009 yang nyonya X buat pada tahun 2009 lalu dikarenakan
pada saat pembuatan akta jual beli nyonya X tidak melaksanakan proses
pembayaran pajak PPh dan BPHTB maka dengan itu nyonya X diharuskan terlebih
dahulu untuk membayar pajak tersebut.
Pada saat setelah melaksanakan pembayaran pajak tersebut, nyonya X
diharuskan melakukan validasi pajak yang sudah dibayarkan kepada Bapenda dan
Kpp pratama, namun pada saat dilakukan validasi BPHTB ternyata validasinya
ditolak dengan alasan NJOP tidak sesuai atau transaksi dibawah minimum NJOP
tahun 2023 sedangkan akta yang dibuat oleh nyonya X pada tahun 2009 sudah
sesuai dengan NJOP pada tahun itu. Bapenda dengan alasan aplikasi yang baru
tahun 2023 dipakai, tidak dapat memproses dan mengharuskan membayar BPHTB
sesuai dengan transaksi yang ditentukan aplikasi dan dapat dilakukan proses
validasi, Bapenda mengharuskan melakukan pembayaran dengan seolah-olah
transaksi menjadi 200 juta sesuai perhitungan aplikasi yang menurut Bapenda
merupakan NJOP terbaru atau NJOP 2023 yang ditetapkan aplikasi tersebut.
Pada contoh kasus transaksi Nyonya X pada akta jual-beli Tahun 2009 di
PPATS yang bernilai Rp. 28Juta dan NJOP tahun 2009 bernilai Rp. 20Juta dengan
rincian luas tanah 100m2 dan NJOP permeter sebesar Rp. 200ribu, sedangkan NJOP
terbaru permeter bernilai Rp. 2Juta dan jika berdasarkan perhitungan BPHTB
dikalikan luas tanah menjadi Rp. 200Juta dikurangi NJOPTKP Kabupaten Bandung
yaitu sebesar Rp. 60Juta menjadi Rp.140Juta dan dikali 5% dan nilai perolehan
pajak BPHTB menjadi Rp. 7Juta. Pemohon atau Nyonya X merasa keberatan
dengan nilai tersebut yang dianggapnya terlalu besar dimana transaksinya hanya
Rp.28Juta.
Permasalahan tersebut diatas menimbulkan proses peralihan hak menjadi
terhambat karena hasil penelitian validasi BPHTB yang dilakukan Bapenda
menjadi salah satu syarat yang mutlak.
BAB IV
40
41
pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta
yang berada di bawah air” (Undang Undang Pokok Agraria Pasal 4 ayat 1 jo Pasal
1 ayat 4). Sehubungan dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan
bahwa “Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang
dapat dihaki oleh seseorang”.
77
Achmad Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan Pengertian
setelah berlakunya UUPA.
Proses transaksi jual beli tanah dan bangunan, NJOP merupakan hal yang
wajib dipahami terlebih dahulu. Karena, dengan mengetahui Nilai Jual Objek Pajak,
maka akan tahu berapa besar dana dan pajak yang akan ditanggung dari transaksi
tersebut. Jadi, bisa dikatakan fungsi Nilai Jual Objek Pajak sebagai penentu harga
dan pertimbangan dalam menjual tanah dan bangunan. Setelah menentukan nilai
jual tersebut maka akan diketahui Bea perolehan hak atas tanah dan Bangunan
(BPHTB), BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pelaksanan untuk melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunan pada
kantor PPAT sebelum melakukan penandatanganan akta jual beli, PPAT akan
meminta bukti pembayaran pajak penjual (PPh) dan pembeli (BPHTB) jika belum
akan dibantu untuk pembuatan formulir pembayaran yang dipakai sebagai dasar
pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak yang
terutang sebelum akta jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani oleh
PPAT/Notaris. Akta disini sebagai bukti telah terjadi jual beli tanah dan atau
bangunan. Jika akta tersebut ditandatangani sebelum dilunasinya pajak BPHTB
yang terutang, maka PPAT/Notaris tersebut akan terkena sanksi sesuai peraturan
yang berlaku.78
Perhitungan untuk pajak penjual (PPh) dalam PP Nomor 34 Tahun 2016
disebutkan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan
jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang Pajak
77
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
78
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, (Bogor, 2008), hlm.
13.
42
Penghasilan yang bersifat final. Tarifnya ada tiga, tergantung dari jenis transaksinya
yang dikenaikan dari jumlah bruto nilai pengalihan, yaitu 2,5% untuk transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang
dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Contohnya jika transaksi sebesar Rp. 100.000.000,-
dikalikan 2,5% hasilnya Rp. 2.500.000,- (biaya pajak yang harus dibayarkan
penjual).
Cara menghitung BPHTB yaitu 5 persen dari harga beli dikurangi Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Misalnya harga tanah dan bangunan
sebesar Rp. 100.000.000,- dikurangi NJOPTKP wilayah kabupaten bandung yaitu
Rp 60.000.000,- lalu dikalikan 5 persen maka hasilnya Rp. 2.000.000,- yang
menjadi nilai BPHTB.
Besaran NJOPTKP di masing-masing wilayah berbeda-beda, namun
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah pasal 87 ayat 4 ditetapkan besaran paling rendah sebesar Rp 60
juta untuk setiap wajib pajak. Kendati demikian, apabila perolehan hak berasal dari
waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih memiliki hubungan
keluarga sedarah maka NJOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp 300 juta.
Besaran pokok pajak BPHTB yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Adapun NPOPTKP merupakan nilai
pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB. 79
Diwajibkan untuk melaporkan (validasi), setelah proses pembayaran subjek
pajak dilakukan, untuk PPh dilaksanakan di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) pratama
diwilayah bidang tanah yang menjadi objek jual beli. Sedangkan untuk BPTHB
dilaporkan (validasi) kepada Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) setempat.
Validasi PPh maupun BPHTB dapat dilakukan sendiri oleh wajib pajak atau dibantu
oleh PPAT. Persyaratan validasi PPh dan BPHTB yaitu:80
79
Perkim.id. Bagaimana Rumus Menghitung Biaya BPHTB?. Perkim.id. 11 Mar, 2021.
https://perkim.id/perumahan/bagaimana-rumus-menghitung-biaya-bphtb. Diakses pada 09 Juli
2023.
80
Diperoleh dari jawaban yang menggunakan daftar pertanyaan dari staff Notaris-PPAT.
43
1. KTP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
2. NPWP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
3. Bukti pembayaran PPh dan/atau BPHTB;
4. Foto copy akta jual beli;
5. Foto copy PBB; dan,
6. Lainnya berdasarkan aturan yang berlaku.
Dinas terkait akan memeriksa sesuai dengan aturan yang berlaku jika telah
dilakukannya pelaporan tersebut dan jika laporan tersebut telah memenuhi maka
dinas tersebut akan mengeluarkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti
Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak baik pajak PPh ataupun BPHTB. Dengan
dasar nilai transaksi ini, maka nilai dasar yang digunakan dalam perhitungan
BPHTB tergantung dari kesepakatan para pihak dalam melakukan transaksi.
Sehingga kepastian kebenaran nilai transaksi yang dianggap telah disetujui dan
menjadi dasar perhitungan BPHTB tergantung dari kejujuran para pihak. Tidak
menutup kemungkinan nilai transaksi tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya
yang sengaja dilakukan dengan maksud agar pajaknya lebih rendah dari yang
sebenarnya. Hal ini tentunya tidak mudah untuk menjamin kapastian bahwa nilai
transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB itu adalah nilai
transaksi yang sebenarnya ataukah tidak. Hal demikian wajar dapat saja terjadi
penurunan harga, mengingat pada umumnya para pihak menghendaki pembayaran
pajak yang lebih ringan. Dalam hal ini maka diperlukan adanya validasi untuk
melakukan penelitian dan verifikasi secara cermat tentang kebenaran nilai transaksi
yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB.
Validasi maksudnya adalah penelitian/verifikasi atas bukti pembayaran
yang berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), yang dilakukan oleh petugas
dinas yang berwenang, antara lain untuk meneliti kebenaran atas nilai yang
digunakan untuk menghitung BPHTB. Berdasarkan ketentuan undang-undang,
bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai transaksi.
Persoalan yang perlu dibahas adalah ketika dihadapan PPAT bisa saja pihak-
pihak mengaku bahwa nilai transaksinya tidak sesuai dengan kenyataan, dalam arti
lebih rendah dari yang sebenarnya, dengan maksud agar pajak atau BPHTB nya
ringan. Dalam hal terjadi demikian, maka pada saat dilakukan validasi ini, ada
44
81
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, PT.
Kompas Media Nusantara,( Jakarta, 2002), hlm. 121-122.
45
82
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Kepastian Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 490 Jurnal Hukum ius quia iustum no. 3 vol. 22 juli 2015,
hlm. 489 – 509. https://dx.doi.org/10.20885/iustum.vol22.iss3.art8. Diakses 12 Juli 2023.
83
Ibid hlm.491
46
diajukan validasi terdapat berbedaan nilai transaksi menurut perhitungan dinas dan
harus diadakan perubahan. Dalam hal ini mana nilai transaksi yang sebenarnya,
apakah nilai yang telah disepakati pihak-pihak dan dimuat di dalam akta yang sudah
ditandatangani, atau nilai yang harus diikuti menurut perhitungan dinas 84.
Sedangkan penggunaan nilai dalam akta yang tidak sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya ada konsekuensi yuridis, sehingga apabila terjadi sengketa dapat
menjadi batal. Sedangkan keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber
dari dinas pendapatan Kabupaten/Kota yang berwenang mengelola BPHTB
menghendaki bahwa nilai yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB
tetap menggunakan dasar nilai transaksi, dengan pertimbangan bahwa nilai tanah
selalu mengalami perkembangan terutama kenaikan, sehingga tidak dapat itentukan
secara tetap. Oleh karena itu juga menghendaki tetap adanya kewajiban validasi
pada setiap pembayaran BPHTB untuk meneliti kesesuaian obyek pajak dan nilai
transaksi yang sebenarnya.
Keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber Kantor
Pertanahan, melainkan mengatakan bahwa prinsipnya berpegang pada Surat dari
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 85: 5 /SE/IV/2003 tentang Pendafataran
Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah terkait dengan pelaksanaan
UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
diperoleh pendapat dan keterangan berkaitan dengan kewajiban validasi, yaitu
bahwa kewajiban validasi atas pembayaran BPHTB berbeda-beda antara wilayah
Kabupaten dan Kota. Bagi kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas
tanah ada yang tidak mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil jalan
tengah tidak mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat dipersyaratkan
adanya bukti pembayaran BPHTB (SSPD) yang sudah divalidasi, juga ada yang
tidak mensyaratkan tetapi ada instansi lain yaitu pada saat validasi pembayaran
pajak penjual (PPh) di KPP Pratama mensyaratkan validasi BPHTB. Untuk itu
dalam rangka menjamin kepastian dalam pembayaran BPHTB, perlu adanya
ketetapan nilai harga tanah secara standar yang ditetapkan oleh instansi yang
berwenang, seperti halnya dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan, dibuat Nilai
84
Ibid hlm. 492
85
Ibid hlm. 493
47
Jual Obyek Pajak (NJOP) yang dikeluarkan setiap tahun pajak oleh instansi yang
berwenang sebagai dasar menghitung pajak PBB. PBB tersebut dimuat dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi danbangunan (SPPT PBB) dan
disampaikan kepada wajib pajak setiap tahun dan ditinjau secara periodik dengan
menyesuaikan perkembangan harga tanah di wilayah yang bersangkutan. Dalam
menetapkan nilai harga yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB,
dapat dilakukan dengan berkoordinasi antar instansi yang berhubungan, antara lain
antara dinas pendapatan pemerintah Kabupaten/ Kota dengan Kantor Pertanahan. 86
Nilai Perolehan Objek Pajak untuk jual beli adalah harga transaksi.
Ketentuan yang menyelaskan bahwa nilai perolehan obyek pajak adalah nilai
transaksi inilah yang perlu diadakan perubahan. Usulan perubahan pasal tersebut
yaitu menjadi sebagai berikut: bahwa yang dimaksud “Nilai Perolehan Obyek
Pajak” adalah nilai yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/ kota
melalui instansi yang diberi kewenangan untuk itu, dengan ketentuan apabila belum
ditetapkan nilai oleh instansi dimaksud, maka nilai perolehan obyek pajak, dengan
menggunakan Nilai Obyek Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB)
yang tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB) pada tahun yang bersangkutan. Dasar pertimbangan usulan
perubahan tersebut, agar terjamin adanya kepastian nilai yang dipergunakan untuk
menghitung BPHTB dan dengan sendirinya juga berapa BPHTB yang harus
dibayar oleh wajib pajak. Sehingga dari sejak awal wajib pajak dengan mudah dan
dapat memastikan berapa BPHTB yang harus dibayar. Dengan adanya perhitungan
yang sudah pasti tersebut, maka akan mempermudah dan memberi kepastian wajib
pajak dalam membayar BPHTB dan tidak diperlukan lagi validasi yang harus
melalui prosedur yang rumit dan memakan waktu, dan dengan sendirinya akan
mempermudah dan mempercepat proses pendaftaran tanah lebih lanjut pada Kantor
Pertanahan yang berwenang. Sesuai tujuan utama reformasi perpajakan menurut
Chaizi Nasucha, adalah untuk mencapai efektifitas yang tinggi, yaitu kemampuan
untuk membuat biaya administrasi penerimaan pajak sekecil-kecilnya.87
86
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Op.cit hlm.501
87
Andrian Sutedi, Opcit hlm. 107
48
88
Indonesia Peraturan Daerah Kabuaten Bandung Nomor.17 Tahun 2017 tentang
perubahan kedua atas peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 1 Tahun 2011 tentang pajak
Daerah Pasal 58 ayat 1-5.
49
Dalam kasus posisi yang saya pakai transasksi yang dilakukan Nyonya X
senilai 28Juta pada tahun 2009 yang pada waktu itu NJOP tanah tersebut senilai
20Juta, berarti Nilai Perolehan BPHTB yang dipakai adalah Nilai transaksi karena
lebih besar dibandingkan dengan Nilai NJOP pada tahun tersebut.
Dari berbagai aturan tersebut proses pengenaan pajak yang menggunakan
NJOP baru menurut saya bertentangan dengan Pasal 58 ayat 2 Perda kabupaten
Bandung No. 17 Tahun 2017 yaitu Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a (Perolehan BPHTB jual beli berdasarkan transaksi)
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
Bahwa berdasarkan hal tersebut NJOP yang dipakai bukanlah NJOP terbaru
melainkan sesuai dengan NJOP Tahun 2009 (pada tahun terjadinya perolehan). Dan
apa yang dimaksud dengan perolehan pada undang-undang nomor 28 tahun 2009
pada pasal 1 angka 41 yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan angka 42 Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi
atau Badan.
diperoleh nilai yang sama dan pasti. Sedangkan legalitas sebuah transaksi
diperlukan adanya kebenaran dan kepastian hukum termasuk menyangkut nilai
transaksi. Adapun tarif pengenaan BPHTB bagi pembeli atau yang memperoleh hak
terhadap semua transaksi peralihan tanah adalah sebesar 5%. Dengan perhitungan : Nilai
Perolehan dikurangi Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak (NPTKP) untuk wilayah
Kabupaten/ Kota Bandung sebesar Rp. 60.000.000,- kali tarif 5%. Sebagai contoh sebuah
transaksi dengan nilai perolehan sebesar Rp. 200.000.000,-. BPHTB yang harus dibayar
adalah = Rp. 200.000.000,- - Rp. 60.000.000,- = Rp. 140.000.000,- x 5% = Rp 7.000.000,-
. Di samping itu, bagi penjual atau pihak yang mengalihkan dikenakan Pajak Penghasilan
atas penjualan tanah dan bangunan dengan tarif sebesar 5%, sehingga dengan nilai
perolehan Rp. 200.000.000,- maka penjual akan dikenakan PPh sebesar = 200.000.000,- x
5% = Rp. 10.000.000,-. 89
Pelaksanaannya, pemungutan BPHTB melewati prosedur validasi terhadap
penentuan harga jual objek transaksi sebagai dasar pengenaan BPHTB yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui verifikasi lapangan. Adapun Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkanUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau
NJOP pengganti. NJOP yang didasarkan pada Pasal 79 UU No. 28 Tahun 2009, sebagai
berikut: Dalam menetapkan NJOP diatur dalam Pasal 79 sebagaimana jangka waktu
penetapan NJOP, Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Kepala Daerah dilakukan setiap
3 tahun sekali, kecuali objek pajak tertentu yang besarannya dapat ditetapkan setiap tahun
tergantung perkembangan wilayahnya. Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:90
1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek
pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.
89
Padmo Wahjono, Undang-undang Perpajakan Beserta Penjelasan dan Peraturan
Pelaksanaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 51.
90
Arum Sri Pen problematika pemungutan BPHTB terhadap harga jual tanah
di kabupaten gresik Jurnal Pro Hukum: Vol . 11, No. 2, Agustus 2022, hlm 2.
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1549. diakses 15 Juli 2023.
51
2. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan
berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.
3. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu jenis pajak
kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hal ini
menyebabkan BPHTB yang dulunya ditangani oleh Pemerintah Pusat yang merupakan
Pajak Pusat, sekarang ditangani sendiri oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan merupakan
Pajak Daerah. Dengan demikian, Kantor Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011,
DJP tidak berwenang memungut BPHTB lagi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 ini, maka mengakibatkan Undang- Undang BPHTB tidak berlaku lagi yaitu
1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak
dan retribusi daerah tersebut.91
Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi
daerah, BPHTB menjadi Pajak Daerah, maka Kabupaten Bandung yang merupakan salah
satu daerah yang telah menerapkan kebijakan pengaturan BHPTB di wilayahnya kemudian
menerbitan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan
atas peraturan bupati bandung nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi
penetapan nilai jual objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan, sebagai bentuk desentralisasi pengelolaan BPHTB. Dari hasil
analisa penulis, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 3 huruf L Perda Kabupaten
Bandung No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan bupati bandung nomor 37
tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi penetapan nilai jual objek pajak dan
ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan mengatur: NJOP
sebagai dasar pengenaan PBB pada SPPT ini dapat dipergunakan sebagai dasar pengenaan
Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sesuai dengan ketentuan
91
Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi daerah.
52
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.
Secara umum mekanisme pengenaan dan penetapan objek, subjek, tata cara
perhitungan dan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sama dengan pengaturan BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun
1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun
2000. Mekanisme ini kemudian secara sempurna di ikuti didalam substansi ketentuan Perda
Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015. Dari hasil analisa penulis terhadap UU No. 28
tahun 2009 dan Perda Kabupaten Bandung No. 17 tahun 2017, maka mekanisme penetapan
pajak BPHTB hanya memberikan kebebasan bagi daerah dalam menentukan kebijakan
penetapan tarif BPHTB dalam batas maksmial dan minimal sudah ditentukan dalam UU
ini. Artinya, baik subyek maupun obyek pengenaan pajak BPHTB yang telah diatur dalam
UU No. 28 Tahun 2009 harus tetap dimasukkan dalam regulasi masing-masing peraturan
daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Amanat dari mekanisme
pengenaan pajak BPHTB tersebut kemudian dituangkan dalam pasal-pasal yang ada dalam
Perda Kabupaten Bandung Nomor 7 Tahun 2017 termasuk subyek dan obyek yang sama
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 sebagai upaya dalam peningkatan
pajak di wilayah tersebut namun tetap memegang prinsip dan asas-asas dalam pengenaan
pajak itu sendiri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Apakah sah penerapan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi jual beli tanah dengan dasar transaksi dan NJOP lama
Berdasarkan UU No.38 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah Pasal 87 ayat 1 sampai 3 junto Peraturan Daerah Kabupaten Bandung
No.17 Tahun 2017 Pasal 58 ayat 1 sampai 3 menyebutkan bahwa dasar
pengenaan BPHTB adalah NPOP, nilai perolehan objek pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf a yaitu jual beli adalah nilai transaksi, dan Jika
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa penerapan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi jual beli tanah dengan dasar
transaksi dan NJOP lama menjadi tidak sah karena tidak memakai NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan.
53
54
B. Saran-Saran
1. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar melakukan penelitian validasi
BPHTB berdasarkan aturan yang ada, khusunya pada penentuan
perhitungan pajak BPHTB berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun
2009 tentang pajak dan retribusi daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung nomor 17 tahun 2017 tentang pajak daerah.
2. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar dapat memberikan
pengetahuan tentang pajak BPHTB dengan lebih rinci, sehingga
masyarakat awam menjadi tahu tentang bagaimana proses menetapkan
pajak BPHTB.
54
DAFTAR PUSTAKA
Barata, A. A. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak. Jakarta: Gramedia. 2003.
Harsono, Boedi. Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak
Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas
Tanah Menurut UUPA. Bandung-Jakarta. 1983.
HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. 2005.
56
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung. Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota
Manado. Jurnal EMBA, 4(4), 993. 2016. Diakses 26 April 2023
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571.
Saleh, K.W. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1973.
Siahaan, M.P. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Raja Grafindo
Persada. 2003.
Subekti, R. Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1989.
Sutedi, Adrian. Hukum Pajak dan Retribusi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
2008.
A. DATA PRIBADI
B. DATA KELUARGA
1. Ayah
a. Nama : Yudi Tossin S.Pd.
b. Agama : Islam
c. Pekerjaan : Wiraswasta
d. Alamat : Kp. Margaluyu rt 06/01 Nagreg Kabupaten
Bandung
2. Ibu
a. Nama : Nathalia Puspasari
b. Agama : Islam
c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
d. Alamat : Kp. Margaluyu rt 06/01 Nagreg Kabupateb
Bandung
C. PENDIDIKAN
1. SD : SDN NAGREG II
2. SMP : SMPN 1 CICALENGKA
3. SMA : SMAN 1 CICALENGKA
Demikian riwayat hidup ini dibuat oleh penulis dengan sebenar-benarnya dan
dapat dipertanggungjawabkan.
60