Anda di halaman 1dari 69

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN

NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI


TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA
KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN
2017

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat


guna mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh:
Mochamad Andre Prayudi
NPM :194301097
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Keperdataan

Pembimbing:
Dr..Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2022
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN NJOP
TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG
DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN
2009 JUNTO PERDA KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17
TAHUN 2017

LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat


guna mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh
MOCHAMAD ANDRE PRAYUDI
NPM:194301097

Telah Disetujui oleh Pembimbing


Bandung, ... Agustus 2023

Pembimbing

Dr. Hj. Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn.

Mengetahui,
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Bandung

Dr. Asep Suryadi, S.H., M.H.

i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini, saya mengatakan bahwa:

1. Skripsi saya merupakan karya asli yang belum pernah diajukan


untukmendapatkan gelar akademik Sarjana Hukum dan/atau
kepentinganlainnya, baik di Sekolah Tinggi Hukum Bandung, di perguruan
tinggi lain, ataupun institusi lain;
2. Skripsi ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan dari pihak lain, kecuali arahan dari dosen pembimbing; dan
3. Dalam skripsi ini, tidak ada karya atau pendapat yang telah ditulis ataupun
dipublikasikan pihak lain, kecuali dengan jelas dicantumkan sebagai acuan
dalam naskah dengan menyebutkan nama penulis dan data publikasi, serta
dicantumkan pada “catatan kaki” dan daftar pustaka.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila
di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam
pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan gelar yang telah diperoleh karena skripsi ini serta sanksi lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan norma-
norma yang berlaku di dunia pendidikan tinggi pada umumnya dan di
Sekolah Tinggi Hukum Bandung pada khususnya.

Bandung, … Agustus 2023


Yang membuat pernyataan,

Mochamad Andre Prayudi


NPM. 194301097

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul” TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI
BPHTB MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI
PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN
DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO PERDA
KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2017”.
Skripsi ini membahas mengenai Tinjauan Yuridis penerapan validasi
BPHTB menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli tanah
yang dibuat ppat/ppats dengan dasar transaksi dan NJOP lama dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomo 28 Tahun 2009 Junto Perda Kabupaten Bandung NO.17
Tahun 2017.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin berhasil tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh sebab itu, pertama-tama penulis sampaikan terimakasih kepada Allah SWT,
karena telah memberikan kelancaran dan kemudahan kepada penulis, dan juga
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
semua pihak yang membantu dan mendukung penulis selama mengikuti
perkuliahan di Sekolah Tinggi Hukum Bandung, khususnya selama penulisan
skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih juga kepada yang
terhormat Ibu Dr.Hj.Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn., selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya mengarahkan dan
membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Selanjutnya, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Asep Suryadi, S.H., M.H. selaku Ketua Sekolah Tinggi Hukum
Bandung.

iii
2. Ibu Dr. Endang Pujiastuti, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua I Sekolah Tinggi
Hukum Bandung.
3. Ibu Dr. Tuti Herawati, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua II Sekolah Tinggi
Hukum Bandung.
4. Bapak Dr. H. Asep Rozali S.H., M.H. selaku Wakil Ketua III Sekolah
Tinggi Hukum Bandung.
5. Seluruh Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang telah mendidik
penulis dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
6. Staf Administrasi dan Perpustakaan Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang
telah banyak membantu penulis.
7. Terima kasih kepada kakak saya, Mochamad Mulqi Prayudi dan Yoga
Rifaldi atas segala doa dan segala bantuan ketika saya mengerjakan skripsi
ini.
8. Terima kasih kepada yang terkasih Hafni Urbach Rabbani Deane atas
bantuan dan penyemangat motivasi saya agar terus mengerjakan skripsi ini
sehingga skripsi ini selasai dengan baik.
9. Terima kasih untuk sahabat-sahabat saya dikampus Iksan Hanafi, Ardian
Dwi, Aldo Galatheo yang selalu menanyakan kemajuan skripsi sehingga
memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini secepatnya
10. Terima kasih kepada teman-teman Kelas B angkatan 2019 Sekolah Tinggi
Hukum Bandung yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua saya
yang sangat saya cintai, yaitu: Alm.Bapak Yudi Tossin S. Pd dan Ibu Nathalia
Puspasari, Yang terus mendoakan saya agar saya sukses dalam menjalankan
kehidupan saya di dunia ini, dan skripsi ini juga sebagai persembahan terima kasih
saya kepada alm bapak yudi yang ingin kedua anaknya lulus sekolah di perguruan
tinggi. Tanpa orang-orang diatas tidak mungkinlah saya bisa menyelesaikan tugas
akhir ini.
Dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,
untuk itu penulis mengharapkan segala saran dan masukan untuk memperbaiki agar
skripsi ini dapat selesai dengan maksimal.

iv
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membutuhkan sebagai referensi maupun bahan pertimbangan dan tentunya dapat
memberikan manfaat tersendiri bagi penulis, serta skripsi ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Bandung, ... Agustus 2023

Mochamad Andre Prayudi

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .............................................................. ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah........................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5

D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 6

E. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 6

F. Metode Penelitian ............................................................................ 14

G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 16

BAB II TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH


DAN BANGUNAN (BPHTB)............................................................. 18

A. Tinjauan BPHTB ............................................................................. 18

B. Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum dan Setelah Keluarnya UUPA


21

C. Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA (UU No. 5 /Tahun 1960) .... 27

BAB III KASUS POSISI ................................................................................... 37

A. Pengurusan Pajak BPHTB oleh staff PPAT .................................... 37

B. Permasalahan validasi pajak BPHTB .............................................. 38

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB


MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI
PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DI BUAT PPAT/PPATS

vi
DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN 2017 ................................................................. 40

A. Menerapkan Validasi BPHTB Menggunakan NJOP Terbaru Terhadap


Transaksi Pada Akta Jual Beli Tanah yang Dibuat PPAT/PPATS
Dengan Dasar Transaksi dan NJOP Lama ....................................... 40

B. Menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP lama


Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 junto Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung nomor 17 tahun 2017 ......................... 49

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 53

A. Kesimpulan ...................................................................................... 53

B. Saran-Saran ...................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... 60

vii
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN
NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI
TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA
KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN
2017

MOCHAMAD ANDRE PRAYUDI


ABSTRAK

Pajak merupakan pendapatan terbesar bagi Negara Indonesia. Salah satu


sumber pajak yang diterima oleh negara adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan (BPHTB) yang sekarang ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk
dikelola guna kepentingan daerah tersebut. Dasar hukum pemungutan BPHTB
adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah yang merupakan pengganti dari UndangUndang Nomor 20 Tahun
2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk penerapan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar
transaksi dan NJOP lama, dan untuk mengetahui penetapan pajak BPHTB dengan
Transaksi dan NJOP lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto Perda
Kabupaten Bandung nomor 17 tahun 2017.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).Pendekatan
perundang-undangan dilakukan dengan cara menelaah peraturanperundang-undangan yang
relevan dengan topik penelitian ini, antara lain UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. serta Peraturan Daerah Kabupaten Bandung
Nomor 7 Tahun 2017 tentang pajak Daerah, Pendekatan kasus dilakukan dengan cara
menelaah kasus yang terkait dengan masalah yang diteliti, serta data diperoleh lalu
dilakukan analisis secara kualitatif.
Dalam praktiknya ditemukan bahwa validasi pajak khususnya Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ditentukan oleh nilai pasar terbaru yang ditentukan
oleh pegawai Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA), Dengan alasan mengikuti aturan
terbaru dan aplikasi baru. Masalah yang muncul adalah transaksi lama pada akta jual beli
diterapkan aturan tersebut diatas, yang membuat terhambatnya proses validasi dan
mengharuskan membayar pajak BPHTB sesuai nilai pasar.

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Manusia hidup dan melakukan aktifitas setiap saat diatas tanah,
maka dari itu dapat dikatakan manusia selalu berhubungan dengan tanah baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Tanah merupakan kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi oleh manusia selain makanan dan pakaian. Begitu berharganya
tanah, sehingga manusia akan selalu berupaya untuk mendapatkan tanah, dari upaya
membeli dari pemilik tanah, melakukan tukar menukar, dan membuka hutan atau
ladang. Perbuatan-perbuatan di atas mengakibatkan pemilikan dan hak penguasaan
tanah beralih dari satu pihak ke pihak yang lain.1 Peralihan hak atas tanah dan
bangunan berkaitan erat dengan kepastian hukum dan ditandai oleh adanya bukti
atas peralihan hak tersebut. Untuk memberikan kekuatan dan kepastian hukum
pemilikan tanah dan bangunan setiap peralihan hak atas tanah dan atau bangunan
harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, serta wajib didaftarkan pada instansi yang berwenang, yaitu Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Dengan demikian, hak atas tanah dan
bangunan secara sah ada pada pihak yang memperoleh hak tersebut dan dapat
dipertahankan terhadap semua pihak.
Maka didalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan,
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa

1
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2003), hlm. 5.

1
2

Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.2 Maka dari itu, peralihan hak atas
tanah dan bangunan menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi pihak yang
mengalihkan maupun pihak yang menerima peralihan hak. Kewajiban tersebut
dimana setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan wajib menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara harus menjadi penerimaan utama
karena sumber-sumber penerimaan yang lain, selain seperti pajak, pendapatan
pengelolaan sumber alam sangat terbatas, bisa berkurang bahkan habis. Oleh karena
itu, kesadaran rakyat membayar pajak harus ditumbuhkembangkan secara terus
menerus agar pajak nantinya sebagai sumber utama untuk membiayai
pembangunan.3
Bea Perolehan Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut: BPHTB) memiliki
sejumlah permasalahan yang aktual dan menarik untuk diperhatikan sehubungan
aktifitas pemerintah dalam mengadministrasikan perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang tidak lain adalah peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
setelah melaksanakan kewajiban membayar BPHTB. Kewajiban membayar
BPHTB, merupakan wewenang negara yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3) yang
menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kemudian oleh ayat (5) UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang. ternyata secara implementatif
penerapan kewajiban pajak BPHTB minim informasi yang diberikan kepada publik
dengan masyarakat minim pemahaman dan pengetahuan tentang BPHTB. Di dalam
masyarakat terdapat ketidaktahuan siapa yang menjadi subjek wajib bayar BPHTB,
walaupun istilah “perolehan” menunjukkan bagi yang memperoleh dan untuk jual
beli penjual menjadi subjek wajib pajak penghasilan, tetapi ditengah masyarakat
masih terjadi antara penjual dan pembeli saling berkeras melimpahkan kewajiban
dan kerap membayar secara urunan dimana pembeli menambah pembayaran

2
Ibid
3
Setu Setiawan, Perpajakan Indonesia Edisi 2009, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press, 2009), hlm.1.
3

dan/atau penjual mengurangkan nilai pembayaran. penyamaan persepsi BPHTB


sama dengan Pajak Bumi dan Bangunan, dan merasa terpaksa atas besaran nilai
pajak yang harus dibayar. Dalam persoalan demikian, masyarakat acapkali
melimpahkan penyelesaiannya kepada Notaris/PPAT dengan meminta adanya
penurunan nilai pajak yang mesti dibayar. Pemungutan BPHTB dilakukan
berdasarkan sistem Self Assessment. Dalam sistem ini wajib pajak diberi wewenang
dan kepercayaan untuk menghitung sendiri, membayar serta melaporkan pajak
yang terutang atau yang harus dibayar. Dengan sistem ini diharapkan masyarakat
bisa dengan mudah memenuhi kewajiban pajaknya dan meningkatkan kesadaran
pajak masyarakat, terutama pajak yang timbul pada saat terjadinya perolehan hak
atas tanah dan bangunan. Dalam sistem self assessment wajib pajak merupakan
subyek atau para pelaku perpajakan, sehingga memiliki nilai positif dalam
mencerdaskan wajib pajak. Namun disisi lain sistem ini mempunyai kelemahan,
yaitu tidak semua wajib pajak mengerti dengan prosedur membayar pajak yang baik
dan benar. Kurangnya pemahaman seperti ini yang mengakibatkan wajib pajak
kesulitan dalam menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan membayar pajak
terhutang kepada negara.4Dalam pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal
mendasar yang harus diketahui adalah dasar pengenaan pajak. Sesuai dengan Pasal
87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang menjadi dasar pengenaan
pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP adalah
besaran nilai/ harga objek pajak yang dipergunakan sebagai dasar pengenaan pajak.
Karena pada dasarnya ada 15 jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan yang
menjadi objek pajak, maka atas setiap jenis peralihan hak tersebut harus ditentukan
NPOPnya. Pasal 87 ayat (2) menentukan apa yang menjadi NPOP sebagai dasar
pengenaan pajak pada masing-masing jenis perolehan hak, sebagai berikut :
1. Jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi
2. Tukar menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
3. Hibah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
4. Hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
5. Waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

4
Marihot Pahala Siahaan I. Op.Cit, hlm.6.
4

6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yang menjadi


NPOP adalah nilai pasar
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar
8. Peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP aladah nilai pasar
9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,
yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
10. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, yang menjadi
NPOP ada- lah nilai pasar
11. Penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
12. Peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
13. Pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
14. Hadiah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
15. Penunjukan pembeli dalam lelang, yang menjadi NPOP adalah harga
transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Jika Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagai mana yang dimaksud di
atas tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan PBB pada tahun terjadi perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah
NJOP PBB. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara BPHTB dengan PBB, di
mana NJOP yang ada pada dasarnya merupakan dasar pengenaan pajak pada PBB
juga dijadikan sebagai dasar dalam menentukan dasar pengenaan pajak pada
BPHTB. Penggunaan NJOP sebagai pembanding terhadap harga transaksi atau nilai
pasar sebenarnya wajar karena pada dasarnya NJOP mencerminkan nilai pasar dari
objek pajak yang diperoleh. Pengertian dari NJOP sendiri yaitu, harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Praktiknya ditemukan bahwa validasi pajak khususnya Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ditentukan oleh nilai pasar terbaru yang
ditentukan oleh pegawai Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA) khususnya dalam
kasus posisi saya berada di kabupaten Bandung, dengan alasan mengikuti aturan
5

terbaru dan aplikasi baru. Masalah yang muncul adalah transaksi lama pada akta
jual beli diterapkan aturan tersebut diatas, yang membuat terhambatnya proses
validasi dan mengharuskan membayar pajak BPHTB sesuai nilai pasar.
Berdasarkan timbulnya permasalahan tersebut maka menarik untuk diangkat
sebagai skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI
BPHTB MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI
PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN
DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO PERDA KABUPATEN
BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2017”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok
permasalahan yang akan diteliti antara lain:
1. Apakah sah menerapkan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS
dengan dasar transaksi dan NJOP lama?
2. Bagaimanakah menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP
lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto Perda
Kabupaten Bandung Nomor 17 tahun 2017?

C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sah tidaknya menerapkan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli tanah
yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar transaksi dan NJOP lama.
2. Untuk mengetahui cara menetapkan biaya pajak BPHTB Dengan
Transaksi Dan Njop Lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun
2009 junto Perda Kabupaten Bandung Nomor 17 tahun 2017.
6

D. Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka hasil penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat
teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berkaitan dengan
pengaturan tentang cara perhitungan, urutan-urutan dan pembagian harta
pailit dalam proses pemberesan harta pailit.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu
pengetahuan bagi masyarakat, untuk dapat mengetahui bagaimana proses
penyelesaian pemberesan harta pailit sebagai pelunasan atas utang yang
terdapat pada debitur pailit untuk selanjutnya dibagikan kepada para
kreditur yang memiliki hak yang berbeda-beda.

E. Kerangka Pemikiran
Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan tulang punggung penerimaan
APBN. Sejak awal tahun 1980-an, penerimaan perpajakan sebagai sumber utama
penerimaan negara. Penerimaan pajak merupakan gambaran partisipasi masyarakat
dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di negaranya.
Apabila konstibusi penerimaan perpajakan semakin besar terhadap APBN berarti
partisipasi masyarakatnya semakin besar pula dalam pembangunan di negaranya
karena pada hakikatnya pajak berasal dari dan untuk masyarakat.
Negara melihat peluang untuk mendapatkan pemasukan kas Negara dari sektor
Pajak salah satunya dengan adanya pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan bangunan (BPHTB) atas setiap perolehan hak atas tanah danbangunan.
BPHTB dipungut oleh pemerintah Indonesia sebagai pajak pusat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik
7

Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988)
yang diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 20015.
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara Cuma-
Cuma). Tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan
harus dilaksanakan oleh masyarakat. Namun dengan perkembangan dalam
masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa
berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur
keadilan. Guna memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikut sertakan dalam
membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan
dikembangkan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.6
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah, dan salah satu sumber PAD yang memiliki
kontribusi terbesar berasal dari Pajak Daerah. Pajak daerah merupakan salah satu
bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak
daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Selama ini, pungutan
daerah yang berupa Pajak Daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana disempurnakan dengan Undang- Undang
Nomor 34 Tahun 2000.
Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat ketentuan
mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan
pajak, dan lain-lain. Namun demikian, Pengaturan dalam peraturan daerah harus
disesuaikan dengankebijakan yang termuat dalam UU atau Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, perubahan ketentuan tersebut salah satunya sangat berdampak pada
wajib pajak BPHTB.
Pemungutan pajak memiliki teori dan/atau asas, sebagai berikut:
1. Asas keadilan. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus
ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak
diselenggarakan secara umum dan merata. Berkaitan dengan
pemungutan pajak, Smith (1723-1790) dalam Santoso menguraikan asas

5
Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm 4.
6
Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat, 2011), hlm 1.
8

pemungutan pajak yang lebih dikenal dengan The Four Maxims, dengan
uraian sebagai berikut:7
a. Pembagian tekanan pajak di antara Subjek Pajak masingmasing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing,
di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas
kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak,
dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak
yang sama pula;
b. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan
tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty”
ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai
subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya;
c. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which
it is most likely to be convenient for the contributor to pay it”. 8
Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut
convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya
dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu
saat sedekatdekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang
bersangkutan;
d. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it brings into to public treasury of the State”. 9
Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya
dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan
melebihi pemasukan pajaknya.10

7
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak ,( Bandung : PT. Refika Aditama,
Cet ke 21, 2008), hlm. 27-28.
8
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, (Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008), hlm. 2.
9
Ibid, hlm. 8.
10
Sinaga, DR. N. A, “Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya di Indonesia” Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma”, Vol 7
No.1 (September 2016), hlm 150-151, https://doi.org/10.35968/jh.v7i1. diakses 26 April 2023.
9

2. Asas menurut falsafah hukum Di atas telah diuraikan bahwa hukum


pajak harus mengabdi kepada keadilan. Keadilan inilah yang kita
namakan “asas pemungutan pajak”. Lepas dari kenyataan bahwa pada
pelaksanaannya pembuat undangundang pajak harus selalu memegang
teguh kepada asas keadilan, seringkali juga dipersoalkan, apakah
pemungutan pajak oleh suatu negara berdasarkan pula atas keadilan.
Sejak abad ke-18 timbullah teoriteori guna memberikan dasar
menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut
pajak dari rakyatnya, antara lain :
a. Teori asuransi (Verzerings theory) Teori ini menyatakan bahwa
termasuk dalam tugas negara untuk melindungi orang dan segala
kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa, juga harta
bendanya.
b. Teori kepentingan (Belangen theory) Teori ini dalam ajarannya
yang semula, hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang
harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini
harus didasarkan atas kepentingan orang masingmasing dalam
tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga
perlindungan atas jiwa orangorang itu beserta harta bendanya.
c. Teori gaya pikul. Yang menjadi pokok pangkal teori ini pun adalah
asas keadilan, yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk
setiap orang.
d. Teori kewajiban pajak mutlak atau teori bakti. berlawanan dengan
ketiga teori di atas, yang tidak mengutamakan kepentingan-
kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini
berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga
diajarkanlah olehnya bahwa justru karena sifat negara inilah maka
timbullah hak mutlak untuk memungut pajak.
e. Teori asas gaya beli.Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan
kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan pemungutan pajak; bukan kepentingan individu, juga
10

bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang


meliputi keduanya itu.11
3. Asas yuridis. Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang
perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun
untuk warganya. Maka mengenai pajak di negara hukum segala sesuatu
harus ditetapkan pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan
cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-
undang.12
4. Asas ekonomi. Selain fungsi budgeter, pajak juga dipergunakan sebagai
alat untuk menentukan politik perekonomian. Tidak mungkin suatu
negara menghendaki merosotnya kehidupan ekonomi masyarakat.13
5. Asas finansial. Sesuai dengan sistem budgeternya, bahwa sudah barang
tentu bahwa biaya-biaya untuk mengenakan dan untuk memungutnya
harus sekecilkecilnya apalagi dalam bandingan dengan
pendapatannya.14
Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus
dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi essensial. Salah satu usaha untuk
mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan
pembangunan, yaitu dengan cara menggali sumber dana yang berasal dari dalam
negeri berupa pajak yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan yang berguna
bagi kepentingan bersama.15
Pengertian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak sama dengan nilai pasar.
NJOP merupakan harga rata-rata suatu objek pajak yang ditetapkan dengan
mekanisme tertentu, sedangkan nilai pasar merupakan Harga Jual Objek Pajak
(HJOP) yang terjadi secara wajar di pasar. Adanya kemungkinan HJOP yang
ditentukan oleh pasar akan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari NJOP yang

11
Ibid, hlm. 29-37
12
Ibid, hlm. 37
13
Ibid, hlm. 41-42.
14
Ibid, hlm. 42
15
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 1999, hlm
1-2.
11

ditetapkan oleh pemerintah.16 Penetapan nilai perolehan dalam jual beli tanah dan
bangunan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan pokok bahasan utama lain dari penelitian ini. Menganalisis
temuan kerja lapangan berdasarkan konsep yang meliputi harga transaksi (dalam
undang-undang jual beli tanah), nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan
tata usaha negara, dan biaya untuk mendapatkan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB). yang sistem perpajakannya self assessment (dalam undang-undang
perpajakan), dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Harga transaksi dalam jual beli tanah
Jual beli tanah merupakan suatu kesepakatan antara kedua belah
pihak yang dimaksud di sini yaitu penjual dan pembeli dalam
melakukan suatu transaksi jual beli tanah dengan pembayaran tunai,
setelah itu barulah hak atas tanah tersebut dari penjual berpindah kepada
pembeli. Sehingga unsur dalam jual beli tanah adalah bidang tanah yang
dijual belikan dan harga transaksi yang sudah disepakati yang dibayar
dalam bentuk uang.
Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan, yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga
yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan
(dalam hal ini penjual dan pembeli). 17
2. Nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan tata usaha negara
NJOP atau nilai jual objek pajak merupakan salah satu tolok ukur
yang menjadi dasar acuan dasar pengenaan BPHTB, maka dari itu
eksistensi nilai jual objek pajak atau yang sering kita dengar sebagai
NJOP dalam kaitannya sebagai acuan atau dasar pengenaan pajak akan
diuraikan sebagai berikut.
Menurut pasal 40 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah. Pasal 4

16
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung, “Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual Objek
Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota Manado” Jurnal EMBA Vol.4 No.4
(Desember 2016), hlm.993, https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571, diakses 26 April 2023.
17
Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 2 ayat (2).
12

ayat (2) huruf a, pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten salah
satunya adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Pasal 5 ayat (1), jenis
pajak (yang salah satunya adalah PBB) merupakan jenis pajak yang
dipungut berdasarkan Penetapaan Kepala Daerah. Pasal 5 ayat (3),
dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak (dalam
hal ini adalah PBB) yakni Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Dari keempat pasal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa merupakan
suatu keputusan tata usaha negara atau KTUN nilai jual objek pajak
(NJOP) yang dimuat dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak
bumi dan bangunan (SPPT-PBB). 18
Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan penyelenggaraan
pemerintahan yang disebut juga dengan keputusan tata usaha negara
atau keputusan administrasi negara, yang selanjutnya disebut keputusan
adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh instansi atau pejabat
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.19 Menurut pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara bahwa putusan tata usaha negara adalah penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
memuat perbuatan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. yang bersifat konkrit, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. 20
Menurut pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, bahwa NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi
jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi

18
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 40 Ayat (7).
19
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 7.
20
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Pasal 1 Angka 9.
13

jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek


lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 21
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014,
wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan atau pejabat
pemerintahan untuk mengambil keputusan atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pasal 1 angka 22, atribusi adalah
pemberian kewenangan kepada badan atau pejabat pemerintahan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 atau undang-undang. Pasal 7 ayat (2) huruf
k, pejabat pemerintahan memiliki kewajiban melaksanakan keputusan
yang sah. 22
Dari apa yang telah disampaikan tersebut, maka telah dapat
dibuktikan bahwasannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pejabat
tata usaha negara berdasarkan atribusi yang diberikan oleh undang-
undang yang menyatakan nilai jual objek pajak (NJOP) yang dimuat
dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan
(SPPT-PBB) merupakan suatu keputusan tata usaha negara, maka dari
itu wajib dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan (badan atau pejabat
tata usaha negara) keputusan tata usaha negara yang sah tersebut.
Telah dapat disimpulkan, cerminan dari nilai jual yang terdapat
dipasaran atau nilai jual yang wajar untuk dilakukan pembayaran adalah
eksistensi suatu nilai jual objek pajak (NJOP). Penetapan NJOP
dilakukan setelah pendataan nilai jual-nilai jual tanah yang dijualbelikan
di area tersebut dan menentukan nilai rata-ratanya, dan juga wajib
dilaksanakan oleh para pejabat pemerintahan yang memiliki
kewenangan mengenai kedudukan NJOP tersebut yang menjadi
keputusan tata usaha negara.
Sebagai kesimpulannya, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, bahwa secara normatif
eksistensi suatu nilai jual objek pajak (NJOP) merupakan cerminan dari

21
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 1 Angka 36.
22
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 5.
14

nilai jual yang wajar, atau nilai pasar karena menurut hukum positif,
NJOP ditetapkan setelah melakukan pendataan nilai jual-nilai jual tanah
yang dijualbelikan di area tersebut dan menentukan nilai rata-ratanya,
serta NJOP dalam kedudukannya sebagai keputusan tata usaha negara
yang sah tersebut bagi pejabat pemerintahan (badan atau pejabat tata
usaha negara) wajib melaksanakannya.
3. Sistem self assessment dalam hukum pajak
materiil tentang timbulnya hutang pajak, yakni setiap Undang-
undang pajak menganut ajaran wajib pajak wajib membayar pajak yang
terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan adanya surat ketetapan
pajak.23
Sistem pemungutan pajak yang berlaku menurut undang-undang
pajak BPHTB adalah sistem self assessment, di mana kepada wajib
pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga
penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib
pajak sendiri.24
Dalam sistem self assessment ini sudah barang tentu diperlukan
kejujuran wajib pajak, dan tetap saja ada wajib pajak yang tidak jujur
dalam menghitung besarnya pajak melalui surat pemberitahuan. Untuk
itu aparat perpajakan (fiscus) diberi wewenang untuk melakukan
penelitian (validasi) dan pemeriksaan terhadap kebenaran dari surat
pemberitahuan dari wajib pajak yang bersangkutan.25

F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian

23
Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Pasal 12 Ayat 1.
24
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Dan
Bangunan, Pasal 10 Ayat 1.
25
Indonesia.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara
Pemeriksaan Pajak, Pasal 3 Ayat 1.
15

Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu


bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, sistematis,
serta akurat melalui suatu proses analisis dengan menggunakan
peraturan hukum, dan proses penerapan validasi BPHTB menggunakan
NJOP terbaru berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Junto Perda Kabupaten Bandung Nomor 17 tahun 2017.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan yang meneliti
data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tesier. Adapun bahan hukum yang digunakan sebagai
berikut.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
memiliki kekuatan hukum dan mengikat pada pihak-pihak
yang bersangkutan. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini, antara lain:
1) KUHPerdata
2) Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun
2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Dan Bangunan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan
undang- undang, hasil-hasil penlitian, atau pendapat pakar
hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum),
ensiklopedia.
3. Metode Pendekatan
16

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji kasus permasalahan


dari penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), yakni pendekatan dengan melakukan kajian terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan lain yang
terkait dengan pokok masalah yang dibahas dan melalui pendekatan
kasus (case approach).
4. Teknik Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan, alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi literatur yaitu dengan pengumpulan data melalui
kepustakaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku,
dokumen, internet, serta makalah yang relevan dengan topik penelitian.
5. Metode Analisis Data
Metode analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis kualitatif, yaitu dalam menganalisis tidak menggunakan
rumus matematis dan angka-angka statistik, tetapi berupa uraian
pembahasan sehingga diperoleh informasi baru dari simpulan hasil
penelitian dan data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis
untuk selanjutnya dianalisis.

G. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan skripsi agar dapat menyampaikan gambaran yang
jelas, mudah dipahami bagi pembaca. Maka penulis menyusun penulisan skripsi
menjadi lima bab dan setiap bab dibagi sub-sub sesuai pembahasan yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini penulis memaparkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
Bab ini akan menjelaskan hasil kepustakaan seperti
kerangka teori mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
17

topik penulisan. Tinjauan BPHTB, tinjauan umum akta jual


beli tanah, tinjauan umumPPAT/PPATS.
BAB III : KASUS POSISI
Bab ini membahas mengenai kasus posisi atau biasa dikenal
dengan urutan peristiwa yang terkait dengan perkara
beserta membahas hasil dari wawancara.
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB
MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP
TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG
DI BUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO
PERDA KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN
2017
Bab ini akan membahas tentang hasil penelitian dalam
skripsi ini yaitu Menerapkan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta
jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar
transaksi dan NJOP lama, Menetapkan biaya pajak BPHTB
Dengan Transaksi Dan Njop Lama Berdasarkan undang-
undang nomor 28 tahun 2009 junto Perda Kabupaten
Bandung Nomor 17 tahun 2017.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini penulis memaparkan simpulan yang
didapatkan dari keseluruhan karya tulis skripsi ini, dan
penulis akan memberikan saran mengenai permasalahan
beberapa yang terdapat dalam pembahasan karya tulis
skripsi ini.
BAB II

TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN


BANGUNAN (BPHTB)

A. Tinjauan BPHTB
1. Pengertian dan dasar hukum BPHTB

Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang


berbunyi sebagai berikut: “Bumi, dan air, dan kekayaan dan yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunukun untuk
sebesar-besar kumakmuran rakyat. 26”Tanah sebagai bagian dari bumi
yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi
kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat
investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga
memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi
mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar
menyerahkan sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan27.
Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap ada perjanjian pemindahan
hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan
harta karena hibah wasiat. Yang dimaksud harta tetap dalam Ordonansi
tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah,
yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang,28

26
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2001, (Yogyakarta, Andi Offset, 2001), hlm. 272
27
Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah
dan Bangunan pasal 1 ayat 1.
28
Ibid, hlm. 31.

18
19

Prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang BPHTB


adalah :29
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkar sistem Self
Assessment
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek
Pajak Kena Pajak.
c. Adanya sanksi bagi Wajib Pajak maupun pejabat-pejabat umum
yang melanggar ketentuan atau tidak melaksnakan kewajibannya
menurut Undang-undang yang berlaku.
d. Hasil Penerimaan BPHTB sebagian besar diserahkan kepada
Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di
luar ketentuan ini tidak diperkenankan.

2. Objek dan Subjek BPHTB


a. Obyek Pajak
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi :30
1) Pemindahan hak karena :
a) Jual beli
b) Tukar menukar
c) Hibah
d) Hibah wasiat
e) Waris
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
g) Penunjukan pembeli dalam lelang
h) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap
i) Penggabungan Usaha
j) Peleburan Usaha

29
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hlm. 271.
30
Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah pasal 85
20

k) Pemekaran Usaha
l) Hadiah
2) Pemberian hak baru karena
a) Kelanjutan pelepasan hak
b) Di luar pelepasan hak

b. Tidak Termasuk Objek Pajak


Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak
yang diperoleh.31
1) Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik
2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
3) Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
oleh Menteri
4) Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
5) Karena wakaf
6) Untuk digunakan kepentingan ibadah.
c. Subjek Pajak32
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak BPHTB
3. Saat Terutangnya BPHTB dan Tempat pembayaran
a. Saat Terutangnya Pajak
Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah :33
1) Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk :
a) Jual beli
b) Tukar menukar
c) Hibah
d) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.

31
Mardiasmo, Op. cit, hlm. 273
32
Ibid, hlm. 273.
33
Ibid, hlm.275.
21

e) Waris
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
g) Hadiah
2) Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk : lelang
3) Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, untuk : putusan hakim.
4) Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor pertanahan, untuk : hibah wasiat.
5) Sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
untuk:
a) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak.
b) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak
2. Tempat Pembayaran34
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui kantor pos
dan atau badan usaha milik daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditunjuk oleh Menteri dengan surat setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.

B. Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum dan Setelah Keluarnya UUPA


Pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan
bumi yang paling atas. Yang dapat dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-
tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah
perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan
disebut tanah bangunan. Di dalam tanah garapan itu dari atas ke bawah
berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan
pembentukan humus dan lapisan dalam.35
Selaku fenomena yuridis,c.q. hukum positif kita, tanah itu
dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedangkan di dalam pengertian
“bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta yang

34
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, Pasal 84 ayat (2)
35
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa
Pemikiran, Jakarta, PT. Dina Aksara, 1988,) hlm.8.
22

berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 1 ayat 4). Sehubungan
dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa “Dalam pada
itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki
oleh seseorang”.36
Mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al Rashid, pada
hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada
pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.37Achmad
Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan
Pengertian setelah berlakunya UUPA.
a) Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, di negara kita masih terdapat
“dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum
pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat
juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat
(tanah Eropah).38
Pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang
dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli
membayar harga (walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada
penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada
pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pambeli telah mendapat
hak milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak
lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada
pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu
bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).39 Sehubungan dengan hal

36
Harun Al Rashid, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
(Jakarta, Ghalia Indonesia), 1987, hlm. 50.
37
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
38
A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973, hlm.
40).
39
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1973, hlm. 30).
23

tersebut Boedi Harsono berpendapat bahwa dalam hukum adat perbuatan


pemindahan hak (jual beli, tukarmanukar, hibah) merupakan perbuatan
hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, dengan pembayaran
harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan
penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada
penjual pada saat jual beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai, dalam
arti pembeli telah menjadi pemegang haknya yang baru.40
Pengertian menurut hukum adat tersebut berbeda dengan sistem
yang dianut KUHPerdata (BW). Menurut sistem BW jual beli hak atas
tanah dilakukan dengan membuat akta perjanjian jual beli hak dihadapan
notaris, dimana masing-masing pihak saling berjanji untuk melakukan
suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang menjadi abyek jual
beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan tanahnya
kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya. 41
Perjanjian jual beli yang dianut BW tersebut bersifat obligatoir,
karena perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik
baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan
demikian, maka dalam sistem BW tersebut “levering” merupakan suatu
perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of
ownership”).42
Pengertian jual beli tanah yang tercantum dalam Pasal 145
KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli tanah adalah sesuatu perjanjian
dengan mana penjual mengikatkah dirinya (artinya berjanji) untuk
menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan

40
Boedi Harsono, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik Atas
Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, (Bandung-
Jakarta, 1983).
41
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
pelaksanaannya, (Bandung, Alumni, 1993), hlm. 86.
42
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), hlm.
11.
24

pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga


yang telah disetujui.43
Menurut pendapat Hartono Soerjopratiknjo,44 perjanijan jual beli
adalah suatu perjanjian yang konsensuil atas mana Pasal-pasal 1320 dan
berikutnya berlaku. Jadi untuk adanya perianjian jual beli disyaratkan
empat hal:
1) persetujuan dari mereka yang mengikatkan diri
2) kecakapan untuk mengadakan perikatan
3) pokok yang tertentu
4) sebab yang diperkenankan
Akan tetapi untuk perjanjian jual beli maka pembuat UU
memandang perlu memberikan peraturan-peraturan khusus. Selanjutnya
Pasal 1458 BW mengatakan: “Jual beli telah terjadi antara kedua belah
pihak, seketika setelah orang-orang mencapai kata sepakat tentang benda
dan harganya, walaupun benda itu belum diserahkan dan harganya belum
dibayar.” Kemudian dikatakan oleh Pasal 1459 BW: “Hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama
penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616".
Berkaitan dengan hal tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat,
bahwa jual beli menurut Hukum barat terdiri atas dua bagian yaitu:
perjanjian jual belinya dan penyerahan haknya. Yang keduanya itu
terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga walaupun yang pertama
sudah selesai, biasanya dengan suatu akta notaris, tetapi kalau yang kedua
belum dilakukan, maka status tanah masih milik penjual, karena disini
akta notaris hanya bersifat obligatoir.45
b) Pengertian Jual Beli Tanah Setelah Keluarnya UUPA
UUPA menghendaki adanya unifikasi hukum, dan karena itu
dalam pengertian jual beli itupun tidak menggunakan kedua sistem
tersebut bersama-sama.

43
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
(Bandung, Sumur, 1974), hlm. 13.
44
Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Cetakan 1, (Yogyakarta, Seksi
Notariat FH UGM, 1982), hlm. 5.
45
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 32.
25

Apabila dilihat ketentuan dalam UUPA, tidak disebutkan secara


jelas pengertian yang mana yang dipakai dalam jual beli tersebut.46
Seperti ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUPA, hanya manyatakan, jual beli,
penukaran, penghibahan, penberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik
serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Boedi Harsono berpendapat
mengingat bahwa hukum agraria sekarang ini memakai sistem dan asas-
asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula
diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak
milik/penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh penjual kepada
pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya pada penjual.47
Dengan berdasarkan pada Pasal 5 UUPA, maka jual beli tanah
setelah UUPA mempergunakan sistem dan asas dalam hukum adat.
Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat Saleh Adiwinata yang
menyatakan: bilamana kita perhatikan jual beli menurut UUPA ini
dengan membandingkan caranya dengan jual beli menurut hukum adat
sebelum UUPA berlaku,
maka dari saat terjadinya persetujuan jual beli sampai kepada si
pembeli menjadi pemilik penuh adalah barbeda sekali caranya beserta
formalitas lainya adalah lebih mirip kepada jual beli eigendom dari jual
beli tanah dengan Hak Milik Indonesia.48
Selanjutnya bilamana diperhatikan konstruksi kalimat yang
dipakai Pasal 19 PP No.24/1997 yang menyebut: Perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta.
Maka dapat kita simpulkan bahwa persetujuan jual beli tanah merupakan
persetujuan yang konsensuil, karena dipisahkan secara tegas antara
persetujuannya sendiri dengan penyerahannya (levering) sedangkan

46
Achamad Chulaemi, Op. cit, hlm. 89.
47
Boedi Harsono, UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi, Pelaksanaan Hukum Agraria, Bagian I
dan II Jilid I,( Jakarta, Djambatan, 1972).
48
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, (Bandung, Alumni, 1976).
26

dalam hukum adat konstruksi kalimat demikian adalah tidak cocok


dengan sistem hukum adat yang kontan ini.49
Di dalam jual beli tanah, obyeknya (yang diperjual belikan)
pengertian dalam praktek adalah tanahnya, sehingga timbul istilah jual
beli tanah. Tetapi secara hukum yang benar adalah jual beli hak atas
tanah, karena obyek jual belinya adalah hak atas tanah yang akan dijual.
Memang benar bahwa tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya
pembeli secara sah menguasai dan mempergunakan tanah. Tetapi yang
dibeli (dijual) itu bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.50
Sesuai dengan pernyataan tersebut di atas adalah pendapat
Hartono Soerjopratiknjo, yang berpendapat bahwa obyek dari suatu
perjanjian jual beli tidak hanya barang berwujud akan tetapi juga barang
tidak berwujud. Pada umumnya semua hak dapat dijual, akan tetapi ada
juga perkecualiannya. Perkecualian itu ada yang berdasarkan UU dan ada
yang berdasarkan sifat haknya.
Hak atas tanah menurut Pasal 16 UUPA meliputi:
1. hak milik,
2. hak guna-usaha,
3. hak guna-usaha,
4. hak pakai,
5. hak sewa,
6. hak membuka tanah,
7. hak memungut hasil hutan,

Pengertian hak milik menurut Pasal 20 yang dihubungkan dengan


Pasal 6 UUPA merumuskan:
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh
yangdapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa
hak itumempunyai fungsi sosial.

Menurut pendapat R. Susanto, Hak milik adalah hak untuk


menguasai tanah dengan cara yang seluas-luasnya dan memungut hasil
dari tanah itu dengan sepenuhnya, dengan mengindahkan peraturan-

49
Achmad Chulaimi, Op. cit, hlm. 91.
50
Peranginangin, Effendi. Praktek Hukum Agraria : Permohonan Hak Atas Tanah.
(Yogyakarta, ESA Study Club, 1981), hlm. 9.
27

peraturan pemerintah dan hukum adat setempat. Unsur-unsur yang


terpenting dari hak milik adalah:
1) Menguasai tanah; artinya si pemilik tanah dapat menyewakan,
menggadaikan, meminjamkan; menukarkan, menghadiahkan, menjual
tanah menurut kehendak si pemilik.
2) Memungut hasil.51
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA dijelaskan bahwa hak
milik bersifat “zakelijk”. Sehingga karena tak bersifat pribadi
(persoonlijk) maka hak ini dapat dialihkan dan beralih pada pihak
lain.52
Peralihan/beralihnya hak milik atas tanah apabila dilihat dari
segi hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (istilah
lain adalah perbuatan hukum), atau karena suatu peristiwa
hukum.
Tindakan hukum (rechtshandelingen) termasuk jual beli,
hibah, pemberian dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat
dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak
milik karena peristiwa hukum misalnya karena pewarisan. 53
Jadi dapat dikatakan bahwa peralihan hak karena tindakan
hukum adalah peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya
hak tersebut berpindah pada pihak lain. Sedangkan karena peristiwa
hukum, terjadi apabila seseorang yang mempunyai salah satu hak
meninggal dunia, sehingga secara otomatis haknya berpindah pada
ahli warisnya.54

C. Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA (UU No. 5 /Tahun 1960)


1. Hak Milik

Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang
dapat dipunyaiorang atas tanah (Pasal 20 Undang Undang Pokok
Agraria). Ini berarti Hak milik memiliki sifat 3T ( turuntemurun, terkuat

51
R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraris), Cetakan 1,( Jakarta, Pradnya Paramita, 1980,)
hlm. 26.
52
Sudargo Gautama, Tafsiran UUPA,( Bandung, Alumni, 1973), hlm. 124.
53
Harun Al Rashid, Op. cit, hlm. 51.
54
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 19.
28

dan terpenuhi). Turuntemurun artinya hak atas tanah tersebut


tetapberlangsung meskipun yang mempunyai Hak milik meninggal
dunia dan berlanjut kepadaahli warisnya sepanjang masih
memenuhipersyaratan sebagai Hak milik. Terkuatartinya hak milik atas
tanah ini berlangsunguntuk jangka waktu yang tidak terbatas dansecara
yuridis dapat dipertahankan terhadappihak lain.Selanjutnya makna
terpenuhidalam Hak milik artinya pemegang Hak milik memiliki
wewenang yang luas, yaitupemegang Hak Milik dapat mengalihkan,
menjaminkan, menyewakan bahkan menyerahkan penggunaan tanah
tersebut kepada pihak lain dengan memberikan hak atas tanah yang baru
(Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai). Termasuk dalam lingkup
terpenuhi adalah bahwa dari segi peruntukannya Hak Milik dapat
dipergunakan untuk keperluan apa saja baik untuk usaha pertanian
maupun non pertanian (rumah tinggal atau mendirikan bangunan untuk
tempat usaha)55 Bagaimana definisi Hak Milik dari sudut Hukum
Perdata? Hak Milik di dalam Hukum Perdata di atur di dalam Pasal 570
KUH Perdata s.d. Pasal 624 KUH Perdata56.Bahwa dinyatakan Hak
Milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan itu dengan
kedaulatan sepenuhnya,asal tidak bertentangan dengan UU, ketertiban
umum dan tidak menganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH Perdata).
Pengertian Hak Milik dalam Pasal 570 itu dalam arti luas karena benda
yang dapat menjadi objek Hak Milik, tidak hanya benda tidak bergerak,
tetapi juga benda yang bergerak.
Lain halnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA dimana
dalam rumusan itu hanya mengatur benda yang tidak bergerak
khususnya atas tanah, sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa
Pasal 20 UUPA berbunyi “ Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat,
terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UUPA bahwa tanah

55
Irawan Soerodjo, Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) Eksistensi,
Pengaturan dan Praktik, LaksBang Mediatama, (Yogyakarta, 2014), hlm. 60.
56
Pasal 570 s.d. Pasal 624 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur
tentang Hak Milik.
29

mempunyai fungsi sosial termasuk pula tanah yang berstatus Hak


Milik57.Luasnya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
kepada pemegang Hak Milik sebagaimana yang tersebut diatas, tidak
berarti pemegang Hak Milik dapat berbuat apa saja atau tanpa batas atas
penggunaan tanah tersebut. Meskipun tanah itu berstatus Hak Milik,
pemegang Hak Milik dibatasi dalam suatu koridor aturan yang berlaku
dimana pemegang hak wajib memperhatikan fungsi sosial atas tanah
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok
Agraria yang artinya58:
a. Dalam aktivitas penggunaan atau pemanfaatan tanah tidak boleh
menimbulkan kerugian kepada orang lain.
b. Penggunaan tanah wajib disesuaikan dengan peruntukan yang telah
ditetapkan sesuai dengan rencana tata ruang.
c. Penggunaan atau pemanfaatan tanah wajib memperhatikan
kepentingan umum selain kepentingan pribadi.
d. Tanah yang digunakan atau dimanfaatkan harus dipelihara dengan
baik dan mencegah terjadinya kerusakan tanah.
e. Tanah yang digunakan tidak boleh diterlantarkan sehingga
menimbulkan kerugian atas tanah tersebut, baik dari sisi kesuburan,
penggunaan dan kemanfaatan atas tanah tersebut
Hapusnya Hak Milik atas tanah telah diatur dalam Pasal 27
UUPA59, yang menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus dan
berakibat tanahnya jatuh kepada Negara yaitu:
a. Karena pencabutan hak atas tanah berdasarkan Pasal 8.
b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
c. Kerena ditelantarkan.
d. Karena ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat 3,
yaitu karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek
Hak Milik atas tanah dan Pasal 26 ayat 2, yaitu: karena peralihan hak

57
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),( Sinar Grafika, Jakarta, 2005),
hlm.101
58
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hal. 61-62.
59
Pasal 27 UUPA tentang Hapusnya Hak Milik.
30

yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain tidak


memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah.
2. Hak Guna Usaha (HGU)

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang


dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana yang
telah ditentukan dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan,
atau peternakan (Pasal 28 ayat 1). Kemudian, PP Nomor 40 Tahun 1996
menambahkan guna perusahaan perkebunan60Ketentuan yang mengatur
mengenai Hak Guna Usaha adalah: Pasal 16 ayat 1 huruf b UUPA,
kemudian secara khusus Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28 sampai
34 UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha diatur
dengan Peraturan Perundangan (Pasal 50 ayat 2 ). Peraturan yang
dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, yang
kemudian secara khusus pengaturannya dalam Pasal 2 sampai dengan
1861.
Luas tanah Hak Guna Usaha untuk perseorangan minimum 5
hektar dan luas maksimum 25 hektar. Sedangkan untuk badan hukum
luas minimum 5 hektar dan luas maksimum ditetapkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (Pasal 28 ayat 2 UUPA jo Pasal 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Subjek dalam hukum Hak Guna
Usaha adalah:62
a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 UUPA jo Pasal 2 PP Nomor 40
Tahun 1996).
Jangka waktu Hak Guna Usaha 25 tahun dan untuk perusahaan
yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan paling lama 35
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun

60
Pasal 28 ayat 1, Pasal 29 UUPA dan lihat juga Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
mengatur tentang Hak Guna Usaha (HGU).
61
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press,( Malang, 2016),hlm 83-84
62
Ibid, hlm. 84
31

(Pasal 29 ayat 1, 2 dan 3 UUPA). Kemudian di dalam Pasal 8 PP No. 40


tahun 1996 mengatur jangka waktu Hak Guna Usaha untuk pertama
kalinya paling lama 35 tahun, dapat diperpanjang paling lama 25 tahun,
dan diperbaharuan untuk waktu paling lama 35 tahun. Permohonan
perpanjangan atau pembaharuan HGU diajukan selambat-lambatnya dua
tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU tersebut. Perpanjangan
atau pembaharuan HGU tersebut di catatkan dalam buku tanah pada
kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Persyaratan untuk
melakukan perpanjangan yang dilakukan oleh pemegang hak adalah:63
a. Tanah masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat,
dan tujuan pemberian hak tersebut.
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak (Pasal
9 ayat 1)
Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha adalah:64
a. Membayar uang pemasukan kepada Negara.
b. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan/atau
peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pemberian hak.
c. Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan
kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi
teknis.
d. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas
tanah yang ada di lingkungan HGU.
e. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya
alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai
penggunaan HGU

63
Ibid, hlm. 85
64
Ibid, hlm. 86
32

g. Menyerahkan kembali tanah diberikan dengan HGU kepada Negara


setelah HGU tersebut dihapus.
h. Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada Kepala
Kantor Pertanahan (Pasal 12 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1996),
Di Pasal 34 UUPA dijelaskan bahwa hapusnya Hak Guna Usaha
jika:65
a. Jangka waktunya telah berakhir.
b. Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak terpenuhi.
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir.
d. Dicabut untuk kepentingan umum.
e. Ditelantarkan.
f. Tanahnya musnah.
g. Ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2 UUPA.
3. Hak Guna Bangunan (HGB)

Dalam Pasal 35 UUPA dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan


(HGB) adalah hak untuk mendirikan bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu 30 tahun. Atas
permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan dan keadaan
bangunan-bangunannya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain. Penggunaan tanah yang dipunyai dengan HGB adalah untuk
mendirikan bangunan-bangunan, meliputi bangunan rumah, tempat
tinggal, usaha perkantoran, pertokoan industri dan lain-lain.66 Orang atau
bandan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi memenuhi syarat,
dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Jika dalam waktu tersebut tidak
diperhatikan/dilaksanakan, maka hak tersebut hapus karena hukum

65
Pasal 34 UUPA tentang Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU).
66
Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan (HGB).
33

dengan ketentuan bahwa hak pihak lain akan dipindahkan menurut


ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.67
Dalam hal seseorang mendapatkan wasiat HGB, sedangkan dia
adalah warga negara asing, maka HGB tersebut tidak sekaligus hapus.
Begitu juga seorang warga negara Indonesia yang mempunyai HGB
kemudian berubah jadi warga negara asing (WNA), maka dalam satu
tahun harus diakhiri. Jika tidak diakhiri, maka haknya hapus karena
hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara, namun bagi yang
bersangkutan dapat saja mengajukan permohonan hak sesuai dengan
kedudukan subjek yang bersangkutan, misalnya dengan Hak Pakai. Jika
ahli waris HGB orang yang memenuhi syarat dan bersama-sama dengan
orang yang tidak memenuhi syarat, maka dalam jangka waktu satu tahun
bagi yang tidak memenuhi syarat harus memindahkan/ melepaskan
kepada pihak yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu
tersebut pemilikan pihak pihak yang tidak memenuhi syarat tidak
diakhiri, menurut Boedi Harsono (2009) bukan hanya bagiannya yang
hapus, seluruh hak atas tanah menjadi hapus. Hal ini disebabkan oleh:68
a. HGB milik bersama tidak dapat ditentukan bagian tanah mana
kepunyaaan pihak yang memenuhi syarat, dan bagian mana pula
kepunyaan pihak yang tidak memenuhi syarat.
b. Apabila HGB tersebut tidak hapus, maka akan timbul keadaan
seseorang yang tidak memenuhi syarat dapat terus mempunyai HGB.
Keadaan ini bertentangan dengan UUPA.
Yang menjadi objek HGB menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1)
UUPA adalah tanah-tanah:69
a. Tanah Negara
b. Tanah Hak Milik
Adapun yang dapat mempunyai HGB berdasarkan Pasal 48
UUPA adalah:70

67
H.M Arba, Hukum Agraria Indonesia,( Sinar Grafika, Jakarta), hlm 111-112.
68
Ibid, hlm. 112
69
Pasal 37 ayat (1) UUPA menjelaskan apa-apa saja objek HGB.
70
Pasal 48 UUPA.
34

a. Warga Negara Indonesia


b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.

Adapun ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB) adalah:71

a. Dapat beralih dan dialihkan


b. Jangka waktu terbatas
c. Dapat dijadikan jaminan hutang
d. Dapat dilepaskan oleh pemegang haknya
e. Dapat terjadinya dari Hak Milik dan Tanah Negara.

Berdasarkan Pasal 40 UUPA HGB dapat hapus karena beberapa


sebab:72

a. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan


b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang /pemegang hak
pengelolaan/pemeganng Hak Milik sebelum waktunya berakhir.
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya sebelum jangka
waktu berakhir.
d. Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961.
e. Ditelantarkan
f. Tanahnya musnah
g. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) UUPA, yaitu dimana pemegangnya tidak
memenuhi syarat dan dalam waktu satu tahun tidak mengakhiri
penggunaan HGB.
4. Hak Pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut


hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah Hak
Milik atau di atas Tanah Pengelolaan. Hak Pakai memberi wewenang
dan juga kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya

71
H.M Arba, Op.Cit, 2015. hlm 15.
72
Pasal 40 UUPA menjelaskan tentang sebab-sebab hapusnya HGB.
35

oleh pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik


tanah yang bersangkutann yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah. Makna kata “menggunakan” berarti dapat
mendirikan bangunan di atas tanah tersebut, sedang kata “memungut
hasil”berarti memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan pemegang
haknya, misalnya pertanian, peternakan, perikanan atau perkebunan.73
Kewenangan yang terdapat dalam Hak Pakai tersebut diatas,
memberikan gambaran bahwa Hak Pakai tersebut seolaholah hampir
sama atau menyerupai jenis hak atas tanah yang lain seperti Hak Milik,
Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha karena di dalamnya
memberikan wewenang untuk mendirikan bangunan atau mengambil
hasil pemanfaatan atas tanah tersebut. Di samping itu terhadap Hak
Pakai juga dapat didaftarkan, sehingga mempunyai alat bukti hak berupa
sertipikat. Kesamaan lain adalah Hak Pakai juga sama dengan Hak
Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.74
Perbedaannya dengan hak-hak tanah yang lain tersebut adalah
Hak Pakai merupakan satu-satunya jenis hak atas tanah dalam Undang-
Undang Pokok Agraria yang dapat diberikan kepada warga negara asing
atau badan hukum asing, karena hak atas tanah ini memberikan
wewenang yang terbatas (Pasal 42 UUPA). Hak Pakai diberikan untuk
jangka waktu tertentu. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996, Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat
diperpanjang. Perpanjangan ini sering diartikan untuk selama 15 tahun
akan tetapi Hak Pakai yang diberikan kepada subyek hukum tertentu
diberikan dengan jangka waktu selama tanah tersebut digunakan, yaitu
hanya diberikan kepada kementerian, lembaga pemerintah non
departemen, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perwakilan
badan internasional, badan keagamaan dan badan-badan sosial.
Sedangkan bagi para warga atau badan hukum perpanjangan masa Hak
Pakai diberikan sesuai dengan keputusan pemberian haknya oleh kantor

73
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hlm 66
74
Ibid, hlm. 67
36

pertanahan setempat. Hak Pakai daapat diberikan di atas tanah Hak


Pengelolaan.75

75
Ibid, hlm. 68.
BAB III
KASUS POSISI

Hasil wawancara dengan staff PPAT, saya mendapatkan beberapa informasi


terkait dengan apa yang menjadi tugas seorang staff PPAT yang berhubungan
dengan pajak dan permasalahan validasi khususnya pajak BPHTB dan contoh
kasus, berikut permasalahan mengenai pajak BPHTB yang telah saya rangkum:

A. Pengurusan Pajak BPHTB oleh staff PPAT


Pertama yang harus dilakukan adalah melunasi Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), dalam UU Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
menyebutkan bahwa PBB adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Kedua memohon proses validasi BPHTB kepada Badan Pendapatan Daerah
BAPENDA berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan. Syarat tersebut yaitu:
1. Mengisi dan menyerahkan form permohonan penelitian Surat Setoran
Pajak Daerah SSPD BPHTB beserta berkas permohonan;
2. Meneliti form permohonan penelitian SSPD BPHTB beserta berkas
permohonan;
3. Memasukkan basis data Wajib Pajak sesuai dengan berkas permohonan
dan mencetak serta menandatangani tanda terima untuk diagendakan
dan diserahkan kepada Wajib Pajak;
4. Meneliti berkas permohonan dan memaraf SSPD BPHTB;
5. Meneliti dan memaraf SSPD BPHTB;
6. Menandatangani SSPD BPHTB;
7. Menerima dan mengarsipkan berkas permohonan serta menyampaikan
SSPD BPHTB;
8. Menerima SSPD BPHTB.
Adanya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 5/SE/IV/2013 Tentang
Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah
Terkait.Dengan Pelaksanaan UU No. 28/2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, maka PPAT, Pejabat Lelang tidak perlu melakukan penelitian SSPD

37
38

BPHTB pada kantor Bapenda. Namun untuk mengantisipasi adanya pemalsuan


bukti setoran pembayaran BPHTB, Kepala BPN RI mewajibkan kepada
pemohon/kuasa/PPAT/Notaris/Pejabat Lelang untuk membuat surat pernyataan
sesuai format yang disediakan oleh Kantor BPN, yang isinya memuat keterangan
bahwa yang bersangkutan benar telah membayarkan setoran pembayaran BPHTB
ke kantor instansi yang berwenang di daerahnya. Faktanya dilapangan hasil validasi
menjadi salah satu syarat mutlak untuk peralihan hak atas tanah di Badan
Pertanahan Nasional khususnya BPN Kabupaten Bandung.
Proses validasi ada beberapa permohonan yang dikuasakan kepada pegawai
Notaris/PPAT (Narasumber) ditolak dengan berbagai alasan. Beberapa hal yang
menjadi alasan ditolaknya validasi oleh BAPENDA, antara lain sebagai berikut:
1. Kurangnya dokumen atau kesalahan dalam mengisi formulir;
2. Belum dilunasinya hutang PBB tahunan;
3. Ketidak sesuain antara transaksi dalam akta jual beli dengan nilai jual
objek pajak, dan lain sebagainya.
Kendala di atas apabila tidak segera mendapatkan penyelesaian, maka
peluang pengelolaan PBB dan BPHTB oleh Bapenda justru akan memunculkan
ketidakpastian nilai, kegelisahan masyarakat dan terhambatnya berbagai proses
yang berhubungan dengan peralihan hak atas tanah.76

B. Permasalahan validasi pajak BPHTB


Pada tanggal 9 Desember 2009 nyonya X membeli sebidang tanah dengan
luas 350 m2 dengan dasar kepemilikan adalah sebuah sertifikat hak milik
No.04XXX, desa X kecamatan X Kabupaten Bandung. Dengan nilai transaksi
sebesar 28 juta rupiah, setelah itu nyonya X mendatangi kantor pejabat pembuat
akta tanah sementara (PPATS) untuk membuat akta-jual beli (AJB). Namun nyonya
X tidak langsung melaksanakan proses peralihan hak sertifikat ke Badan
Pertanahan Nasional (BPN).

76
Bonus Aprianto Hernanda, “Problematika Validasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan Atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai Bangunan Tidak
Sesuai Dengan Nilai Jual Objek Pajak Dan Nilai Perolehan Objek Pajak”,
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No. 1, 2014, hlm. 12,
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/1548/1266/. diakses 12 Juli 2023.
39

Pada tahun 2023 nyonya X akan melakukan peralihan hak ke BPN dengan
dasar AJB No.XXX/2009 yang nyonya X buat pada tahun 2009 lalu dikarenakan
pada saat pembuatan akta jual beli nyonya X tidak melaksanakan proses
pembayaran pajak PPh dan BPHTB maka dengan itu nyonya X diharuskan terlebih
dahulu untuk membayar pajak tersebut.
Pada saat setelah melaksanakan pembayaran pajak tersebut, nyonya X
diharuskan melakukan validasi pajak yang sudah dibayarkan kepada Bapenda dan
Kpp pratama, namun pada saat dilakukan validasi BPHTB ternyata validasinya
ditolak dengan alasan NJOP tidak sesuai atau transaksi dibawah minimum NJOP
tahun 2023 sedangkan akta yang dibuat oleh nyonya X pada tahun 2009 sudah
sesuai dengan NJOP pada tahun itu. Bapenda dengan alasan aplikasi yang baru
tahun 2023 dipakai, tidak dapat memproses dan mengharuskan membayar BPHTB
sesuai dengan transaksi yang ditentukan aplikasi dan dapat dilakukan proses
validasi, Bapenda mengharuskan melakukan pembayaran dengan seolah-olah
transaksi menjadi 200 juta sesuai perhitungan aplikasi yang menurut Bapenda
merupakan NJOP terbaru atau NJOP 2023 yang ditetapkan aplikasi tersebut.
Pada contoh kasus transaksi Nyonya X pada akta jual-beli Tahun 2009 di
PPATS yang bernilai Rp. 28Juta dan NJOP tahun 2009 bernilai Rp. 20Juta dengan
rincian luas tanah 100m2 dan NJOP permeter sebesar Rp. 200ribu, sedangkan NJOP
terbaru permeter bernilai Rp. 2Juta dan jika berdasarkan perhitungan BPHTB
dikalikan luas tanah menjadi Rp. 200Juta dikurangi NJOPTKP Kabupaten Bandung
yaitu sebesar Rp. 60Juta menjadi Rp.140Juta dan dikali 5% dan nilai perolehan
pajak BPHTB menjadi Rp. 7Juta. Pemohon atau Nyonya X merasa keberatan
dengan nilai tersebut yang dianggapnya terlalu besar dimana transaksinya hanya
Rp.28Juta.
Permasalahan tersebut diatas menimbulkan proses peralihan hak menjadi
terhambat karena hasil penelitian validasi BPHTB yang dilakukan Bapenda
menjadi salah satu syarat yang mutlak.
BAB IV

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN


NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI
TANAH YANG DI BUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERDA
KABUPATEN BANDUNG
NOMOR 17 TAHUN
2017

A. Menerapkan Validasi BPHTB Menggunakan NJOP Terbaru Terhadap


Transaksi Pada Akta Jual Beli Tanah yang Dibuat PPAT/PPATS
Dengan Dasar Transaksi dan NJOP Lama
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang sudah dirubah dengan UU No.
21 Tahun 1997 di samping Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur dalam UU No. 12 th
1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 th 1994. Subyek Pajak dari BPHTB
adalah orang pribadi atau badan hukum yang memperoleh hak-hak atas tanah dan
bangunan. Sebelum dikeluarkan UU No. 21 Tahun 1997 dan UU No 38 Tahun 2009, ada
pemungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam ordonansi Bea Balik
Nama Staatsblaad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap ada perjanjian
pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta
karena hibah wasiat. Yang dimaksud harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-
barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan
dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang
paling atas. Yang dapat dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah
garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan
untuk mendirikan bangunan disebut tanah bangunan. Di dalam tanah garapan itu dari atas
ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan
humus dan lapisan dalam. Sedangkan selaku fenomena yuridis, c.q. hukum positif
kita, tanah itu dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedangkan di dalam

40
41

pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta
yang berada di bawah air” (Undang Undang Pokok Agraria Pasal 4 ayat 1 jo Pasal
1 ayat 4). Sehubungan dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan
bahwa “Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang
dapat dihaki oleh seseorang”.
77
Achmad Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan Pengertian
setelah berlakunya UUPA.
Proses transaksi jual beli tanah dan bangunan, NJOP merupakan hal yang
wajib dipahami terlebih dahulu. Karena, dengan mengetahui Nilai Jual Objek Pajak,
maka akan tahu berapa besar dana dan pajak yang akan ditanggung dari transaksi
tersebut. Jadi, bisa dikatakan fungsi Nilai Jual Objek Pajak sebagai penentu harga
dan pertimbangan dalam menjual tanah dan bangunan. Setelah menentukan nilai
jual tersebut maka akan diketahui Bea perolehan hak atas tanah dan Bangunan
(BPHTB), BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pelaksanan untuk melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunan pada
kantor PPAT sebelum melakukan penandatanganan akta jual beli, PPAT akan
meminta bukti pembayaran pajak penjual (PPh) dan pembeli (BPHTB) jika belum
akan dibantu untuk pembuatan formulir pembayaran yang dipakai sebagai dasar
pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak yang
terutang sebelum akta jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani oleh
PPAT/Notaris. Akta disini sebagai bukti telah terjadi jual beli tanah dan atau
bangunan. Jika akta tersebut ditandatangani sebelum dilunasinya pajak BPHTB
yang terutang, maka PPAT/Notaris tersebut akan terkena sanksi sesuai peraturan
yang berlaku.78
Perhitungan untuk pajak penjual (PPh) dalam PP Nomor 34 Tahun 2016
disebutkan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan
jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang Pajak

77
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
78
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, (Bogor, 2008), hlm.
13.
42

Penghasilan yang bersifat final. Tarifnya ada tiga, tergantung dari jenis transaksinya
yang dikenaikan dari jumlah bruto nilai pengalihan, yaitu 2,5% untuk transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang
dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Contohnya jika transaksi sebesar Rp. 100.000.000,-
dikalikan 2,5% hasilnya Rp. 2.500.000,- (biaya pajak yang harus dibayarkan
penjual).
Cara menghitung BPHTB yaitu 5 persen dari harga beli dikurangi Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Misalnya harga tanah dan bangunan
sebesar Rp. 100.000.000,- dikurangi NJOPTKP wilayah kabupaten bandung yaitu
Rp 60.000.000,- lalu dikalikan 5 persen maka hasilnya Rp. 2.000.000,- yang
menjadi nilai BPHTB.
Besaran NJOPTKP di masing-masing wilayah berbeda-beda, namun
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah pasal 87 ayat 4 ditetapkan besaran paling rendah sebesar Rp 60
juta untuk setiap wajib pajak. Kendati demikian, apabila perolehan hak berasal dari
waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih memiliki hubungan
keluarga sedarah maka NJOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp 300 juta.
Besaran pokok pajak BPHTB yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Adapun NPOPTKP merupakan nilai
pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB. 79
Diwajibkan untuk melaporkan (validasi), setelah proses pembayaran subjek
pajak dilakukan, untuk PPh dilaksanakan di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) pratama
diwilayah bidang tanah yang menjadi objek jual beli. Sedangkan untuk BPTHB
dilaporkan (validasi) kepada Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) setempat.
Validasi PPh maupun BPHTB dapat dilakukan sendiri oleh wajib pajak atau dibantu
oleh PPAT. Persyaratan validasi PPh dan BPHTB yaitu:80

79
Perkim.id. Bagaimana Rumus Menghitung Biaya BPHTB?. Perkim.id. 11 Mar, 2021.
https://perkim.id/perumahan/bagaimana-rumus-menghitung-biaya-bphtb. Diakses pada 09 Juli
2023.
80
Diperoleh dari jawaban yang menggunakan daftar pertanyaan dari staff Notaris-PPAT.
43

1. KTP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
2. NPWP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
3. Bukti pembayaran PPh dan/atau BPHTB;
4. Foto copy akta jual beli;
5. Foto copy PBB; dan,
6. Lainnya berdasarkan aturan yang berlaku.
Dinas terkait akan memeriksa sesuai dengan aturan yang berlaku jika telah
dilakukannya pelaporan tersebut dan jika laporan tersebut telah memenuhi maka
dinas tersebut akan mengeluarkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti
Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak baik pajak PPh ataupun BPHTB. Dengan
dasar nilai transaksi ini, maka nilai dasar yang digunakan dalam perhitungan
BPHTB tergantung dari kesepakatan para pihak dalam melakukan transaksi.
Sehingga kepastian kebenaran nilai transaksi yang dianggap telah disetujui dan
menjadi dasar perhitungan BPHTB tergantung dari kejujuran para pihak. Tidak
menutup kemungkinan nilai transaksi tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya
yang sengaja dilakukan dengan maksud agar pajaknya lebih rendah dari yang
sebenarnya. Hal ini tentunya tidak mudah untuk menjamin kapastian bahwa nilai
transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB itu adalah nilai
transaksi yang sebenarnya ataukah tidak. Hal demikian wajar dapat saja terjadi
penurunan harga, mengingat pada umumnya para pihak menghendaki pembayaran
pajak yang lebih ringan. Dalam hal ini maka diperlukan adanya validasi untuk
melakukan penelitian dan verifikasi secara cermat tentang kebenaran nilai transaksi
yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB.
Validasi maksudnya adalah penelitian/verifikasi atas bukti pembayaran
yang berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), yang dilakukan oleh petugas
dinas yang berwenang, antara lain untuk meneliti kebenaran atas nilai yang
digunakan untuk menghitung BPHTB. Berdasarkan ketentuan undang-undang,
bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai transaksi.
Persoalan yang perlu dibahas adalah ketika dihadapan PPAT bisa saja pihak-
pihak mengaku bahwa nilai transaksinya tidak sesuai dengan kenyataan, dalam arti
lebih rendah dari yang sebenarnya, dengan maksud agar pajak atau BPHTB nya
ringan. Dalam hal terjadi demikian, maka pada saat dilakukan validasi ini, ada
44

kemungkinan nilai transaksinya harus dirubah dan disesuaikan dan dengan


sendirinya terjadi kurang bayar, karena nilai yang digunakan menghitung BPHTB
oleh wajib pajak tidak sesuai menurut penilaian petugas yang berwenang meneliti.
Disinilah yang dapat menyebabkan kendala dan hambatan dalam proses lebih lanjut
pendaftaran peralihan di Kantor Pertanahan, karena harus menunggu proses
validasi selesai dengan membayar kekurangannya apabila terdapat kurang bayar.
Adanya hambatan dalam proses pendaftaran peralihan hak atas tanah ini tidak
sesuai dengan harapan masyarakat, yang umumnya menghendaki proses yang cepat
dan sederhana. Hal ini sesuai pernyataan bahwa, merupakan harapan kita semua,
bahwa pemrosesan sertifikat setelah persyaratan lengkap dapat diselesaikan dalam
jangka waktu yang wajar. Pelayanan aparat pelaksana pendaftaran tanah yang
profesional dan transparansi dalam tata kerja serta biaya yang diperlukan,
merupakan syarat keberhasilan pelaksanaan pendaftaran tanah.81
Berkaitan dengan validasi SSPD ini pada awal pengalihan pengelolaan dari
pajak pusat oleh KPP Pratama menjadi pajak darah oleh pemerintah daerah melalui
dinas yang berwenang semula menjadi syarat wajib dalam pendaftaran peralihan
jual beli di kantor pertanahan, disamping juga validasi atas pajak penjual (PPh) oleh
KPP Pratama. Karena terjadi hambatan pada saat pendaftaran peralihan di kantor
pertanahan inilah, menimbulkan keluhan masyarakat yang melakukan pengurusan
peralihan tanah. Karena untuk syarat pendaftaran harus menunggu validasi SSPD
yang kadang memakan waktu yang lama, di samping harus melakukan perubahan
nilai transaksi dan besarnya pembayaran BPHTB ketika nilai yang diajukan wajib
pajak tidak sesuai menurut perhitungan dinas yang berwenang. Dengan kondisi
demikian, maka dalam perkembangannya kemudian keluar Surat Edaran Kepada
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor : 05 /SE/IV/2003 tentang
Pendafataran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah terkait dengan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, yang ditujukan kepada kepala-kepala kantor pertanahan seluruh
Indonesia, yang intinya memerintahkan kantor pertanahan agar menerima

81
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, PT.
Kompas Media Nusantara,( Jakarta, 2002), hlm. 121-122.
45

pendaftaran peralihan tanah tanpa menunggu validasi bukti pembayaran BPHTB.


82

Berdasarkan data dan keterangan yang diperoleh ternyata dalam penerapan


kewajiban validasi pembayaran BPHTB pasca Surat Edaran Kepala Badan
Pertanahan Nasional nomor 5 /SE/IV/2003 tentang Pendafataran Hak Atas Tanah
atau Pendaftaran Hak atas Tanah terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berbeda-beda
antara wilayah Kabupaten dan Kota yang satu dan lainnya.
Bagi kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah ada yang
tidak mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil jalan tengah tidak
mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat dipersyaratkan adanya bukti
pembayaran BPHTB (SSPD) yang sudah divalidasi, juga ada yang tidak
mensyaratkan tetapi ada instansi lain dalam proses lain yaitu pada saat validasi
pembayaran pajak penjual (PPh) di KPP Pratama yang mensyaratkan validasi
BPHTB. Dengan ketidak seragaman dalam pelayanan proses pendaftaran peralihan
hak atas tanah terkait dengan persyaratan validasi BPHTB ini tentunya juga dapat
menimbulkan ketidakadilan dan tidak adanya kepastian hukum. Untuk itu pada
waktu ke depan diharapkan ada perbaikan dan pembenahan melalui kerjasama dan
koordinasi yang baik antar instansi dan pihak-pihak yang terkait dengan proses
peralihan hak atas tanah dan pembayaran BPHTB, baik Kantor Pertanahan, Dinas
pengelola BPHTB, dan PPAT-Notaris.83
Umumnya data dan keterangan yang diperoleh dari para PPAT/Notaris,
mengeluhkan adanya ketidakpastian besarnya nilai BPHTB yang harus dibayar,
sehubungan nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar menghitung BPHTB
antara yang disepakati oleh pihak-pihak dengan dinas sering terjadi perbedaan, dan
tidak jarang harus diadakan perubahan nilai transaksi sesuai penilaian dinas dan
harus menambah BPHTB yang harus dibayar. Yang menjadi persoalan adalah
ketika akta jual beli sudah resmi ditandatangani dengan nilai transaksi sesuai
dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli, di waktu kemudian pada saat

82
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Kepastian Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 490 Jurnal Hukum ius quia iustum no. 3 vol. 22 juli 2015,
hlm. 489 – 509. https://dx.doi.org/10.20885/iustum.vol22.iss3.art8. Diakses 12 Juli 2023.
83
Ibid hlm.491
46

diajukan validasi terdapat berbedaan nilai transaksi menurut perhitungan dinas dan
harus diadakan perubahan. Dalam hal ini mana nilai transaksi yang sebenarnya,
apakah nilai yang telah disepakati pihak-pihak dan dimuat di dalam akta yang sudah
ditandatangani, atau nilai yang harus diikuti menurut perhitungan dinas 84.
Sedangkan penggunaan nilai dalam akta yang tidak sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya ada konsekuensi yuridis, sehingga apabila terjadi sengketa dapat
menjadi batal. Sedangkan keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber
dari dinas pendapatan Kabupaten/Kota yang berwenang mengelola BPHTB
menghendaki bahwa nilai yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB
tetap menggunakan dasar nilai transaksi, dengan pertimbangan bahwa nilai tanah
selalu mengalami perkembangan terutama kenaikan, sehingga tidak dapat itentukan
secara tetap. Oleh karena itu juga menghendaki tetap adanya kewajiban validasi
pada setiap pembayaran BPHTB untuk meneliti kesesuaian obyek pajak dan nilai
transaksi yang sebenarnya.
Keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber Kantor
Pertanahan, melainkan mengatakan bahwa prinsipnya berpegang pada Surat dari
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 85: 5 /SE/IV/2003 tentang Pendafataran
Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah terkait dengan pelaksanaan
UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
diperoleh pendapat dan keterangan berkaitan dengan kewajiban validasi, yaitu
bahwa kewajiban validasi atas pembayaran BPHTB berbeda-beda antara wilayah
Kabupaten dan Kota. Bagi kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas
tanah ada yang tidak mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil jalan
tengah tidak mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat dipersyaratkan
adanya bukti pembayaran BPHTB (SSPD) yang sudah divalidasi, juga ada yang
tidak mensyaratkan tetapi ada instansi lain yaitu pada saat validasi pembayaran
pajak penjual (PPh) di KPP Pratama mensyaratkan validasi BPHTB. Untuk itu
dalam rangka menjamin kepastian dalam pembayaran BPHTB, perlu adanya
ketetapan nilai harga tanah secara standar yang ditetapkan oleh instansi yang
berwenang, seperti halnya dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan, dibuat Nilai

84
Ibid hlm. 492
85
Ibid hlm. 493
47

Jual Obyek Pajak (NJOP) yang dikeluarkan setiap tahun pajak oleh instansi yang
berwenang sebagai dasar menghitung pajak PBB. PBB tersebut dimuat dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi danbangunan (SPPT PBB) dan
disampaikan kepada wajib pajak setiap tahun dan ditinjau secara periodik dengan
menyesuaikan perkembangan harga tanah di wilayah yang bersangkutan. Dalam
menetapkan nilai harga yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB,
dapat dilakukan dengan berkoordinasi antar instansi yang berhubungan, antara lain
antara dinas pendapatan pemerintah Kabupaten/ Kota dengan Kantor Pertanahan. 86
Nilai Perolehan Objek Pajak untuk jual beli adalah harga transaksi.
Ketentuan yang menyelaskan bahwa nilai perolehan obyek pajak adalah nilai
transaksi inilah yang perlu diadakan perubahan. Usulan perubahan pasal tersebut
yaitu menjadi sebagai berikut: bahwa yang dimaksud “Nilai Perolehan Obyek
Pajak” adalah nilai yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/ kota
melalui instansi yang diberi kewenangan untuk itu, dengan ketentuan apabila belum
ditetapkan nilai oleh instansi dimaksud, maka nilai perolehan obyek pajak, dengan
menggunakan Nilai Obyek Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB)
yang tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB) pada tahun yang bersangkutan. Dasar pertimbangan usulan
perubahan tersebut, agar terjamin adanya kepastian nilai yang dipergunakan untuk
menghitung BPHTB dan dengan sendirinya juga berapa BPHTB yang harus
dibayar oleh wajib pajak. Sehingga dari sejak awal wajib pajak dengan mudah dan
dapat memastikan berapa BPHTB yang harus dibayar. Dengan adanya perhitungan
yang sudah pasti tersebut, maka akan mempermudah dan memberi kepastian wajib
pajak dalam membayar BPHTB dan tidak diperlukan lagi validasi yang harus
melalui prosedur yang rumit dan memakan waktu, dan dengan sendirinya akan
mempermudah dan mempercepat proses pendaftaran tanah lebih lanjut pada Kantor
Pertanahan yang berwenang. Sesuai tujuan utama reformasi perpajakan menurut
Chaizi Nasucha, adalah untuk mencapai efektifitas yang tinggi, yaitu kemampuan
untuk membuat biaya administrasi penerimaan pajak sekecil-kecilnya.87

86
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Op.cit hlm.501
87
Andrian Sutedi, Opcit hlm. 107
48

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 17 Tahung 2017 Pasal 58


ayat 1 sampai 5 dijelaskan bahwa dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Nilai perolehan yang dimaksud adalah: 88
1. jual beli adalah harga transaksi
2. tukar menukar adalah nilai pasar;
3. hibah adalah nilai pasar;
4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
5. waris adalah nilai pasar;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihn adalah nilai pasar;
8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
10. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar ;
11. penggabungan usaha adalah nilai pasar ;
12. peleburan usaha adalah nilai pasar
13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
14. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga
16. transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) belum ditetapkan pada saat terutang Pajak, NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan.
Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) adalah bersifat sementara.

88
Indonesia Peraturan Daerah Kabuaten Bandung Nomor.17 Tahun 2017 tentang
perubahan kedua atas peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 1 Tahun 2011 tentang pajak
Daerah Pasal 58 ayat 1-5.
49

Dalam kasus posisi yang saya pakai transasksi yang dilakukan Nyonya X
senilai 28Juta pada tahun 2009 yang pada waktu itu NJOP tanah tersebut senilai
20Juta, berarti Nilai Perolehan BPHTB yang dipakai adalah Nilai transaksi karena
lebih besar dibandingkan dengan Nilai NJOP pada tahun tersebut.
Dari berbagai aturan tersebut proses pengenaan pajak yang menggunakan
NJOP baru menurut saya bertentangan dengan Pasal 58 ayat 2 Perda kabupaten
Bandung No. 17 Tahun 2017 yaitu Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a (Perolehan BPHTB jual beli berdasarkan transaksi)
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
Bahwa berdasarkan hal tersebut NJOP yang dipakai bukanlah NJOP terbaru
melainkan sesuai dengan NJOP Tahun 2009 (pada tahun terjadinya perolehan). Dan
apa yang dimaksud dengan perolehan pada undang-undang nomor 28 tahun 2009
pada pasal 1 angka 41 yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan angka 42 Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi
atau Badan.

B. Menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP lama


Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 junto Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung nomor 17 tahun 2017
Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang pajak dan retribusi Daerah, bahwa yang menjadi dasar pengenaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
Sedangkan yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana
dimaksud adalah nilai transaksi untuk peralihan karena jual beli atau nilai pasar
untuk peralihan lainnya. Penggunaan nilai transaksi atau nilai pasar inilah yang
menimbulkan ketidak pastian, karena nilai transaksi atau nilai pasar terhadap
sebuah obyek itu bagi beberapa pihak sifatnya relatif, tergantung nilai itu bagi siapa,
apakah bagi pihak-pihak, bagi petugas pajak, atau lainnya, sehingga sulit akan
50

diperoleh nilai yang sama dan pasti. Sedangkan legalitas sebuah transaksi
diperlukan adanya kebenaran dan kepastian hukum termasuk menyangkut nilai
transaksi. Adapun tarif pengenaan BPHTB bagi pembeli atau yang memperoleh hak
terhadap semua transaksi peralihan tanah adalah sebesar 5%. Dengan perhitungan : Nilai
Perolehan dikurangi Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak (NPTKP) untuk wilayah
Kabupaten/ Kota Bandung sebesar Rp. 60.000.000,- kali tarif 5%. Sebagai contoh sebuah
transaksi dengan nilai perolehan sebesar Rp. 200.000.000,-. BPHTB yang harus dibayar
adalah = Rp. 200.000.000,- - Rp. 60.000.000,- = Rp. 140.000.000,- x 5% = Rp 7.000.000,-
. Di samping itu, bagi penjual atau pihak yang mengalihkan dikenakan Pajak Penghasilan
atas penjualan tanah dan bangunan dengan tarif sebesar 5%, sehingga dengan nilai
perolehan Rp. 200.000.000,- maka penjual akan dikenakan PPh sebesar = 200.000.000,- x
5% = Rp. 10.000.000,-. 89
Pelaksanaannya, pemungutan BPHTB melewati prosedur validasi terhadap
penentuan harga jual objek transaksi sebagai dasar pengenaan BPHTB yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui verifikasi lapangan. Adapun Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkanUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau
NJOP pengganti. NJOP yang didasarkan pada Pasal 79 UU No. 28 Tahun 2009, sebagai
berikut: Dalam menetapkan NJOP diatur dalam Pasal 79 sebagaimana jangka waktu
penetapan NJOP, Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Kepala Daerah dilakukan setiap
3 tahun sekali, kecuali objek pajak tertentu yang besarannya dapat ditetapkan setiap tahun
tergantung perkembangan wilayahnya. Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:90
1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek
pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.

89
Padmo Wahjono, Undang-undang Perpajakan Beserta Penjelasan dan Peraturan
Pelaksanaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 51.
90
Arum Sri Pen problematika pemungutan BPHTB terhadap harga jual tanah
di kabupaten gresik Jurnal Pro Hukum: Vol . 11, No. 2, Agustus 2022, hlm 2.
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1549. diakses 15 Juli 2023.
51

2. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan
berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.
3. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu jenis pajak
kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hal ini
menyebabkan BPHTB yang dulunya ditangani oleh Pemerintah Pusat yang merupakan
Pajak Pusat, sekarang ditangani sendiri oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan merupakan
Pajak Daerah. Dengan demikian, Kantor Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011,
DJP tidak berwenang memungut BPHTB lagi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 ini, maka mengakibatkan Undang- Undang BPHTB tidak berlaku lagi yaitu
1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak
dan retribusi daerah tersebut.91
Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi
daerah, BPHTB menjadi Pajak Daerah, maka Kabupaten Bandung yang merupakan salah
satu daerah yang telah menerapkan kebijakan pengaturan BHPTB di wilayahnya kemudian
menerbitan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan
atas peraturan bupati bandung nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi
penetapan nilai jual objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan, sebagai bentuk desentralisasi pengelolaan BPHTB. Dari hasil
analisa penulis, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 3 huruf L Perda Kabupaten
Bandung No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan bupati bandung nomor 37
tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi penetapan nilai jual objek pajak dan
ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan mengatur: NJOP
sebagai dasar pengenaan PBB pada SPPT ini dapat dipergunakan sebagai dasar pengenaan
Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sesuai dengan ketentuan

91
Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi daerah.
52

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.
Secara umum mekanisme pengenaan dan penetapan objek, subjek, tata cara
perhitungan dan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sama dengan pengaturan BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun
1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun
2000. Mekanisme ini kemudian secara sempurna di ikuti didalam substansi ketentuan Perda
Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015. Dari hasil analisa penulis terhadap UU No. 28
tahun 2009 dan Perda Kabupaten Bandung No. 17 tahun 2017, maka mekanisme penetapan
pajak BPHTB hanya memberikan kebebasan bagi daerah dalam menentukan kebijakan
penetapan tarif BPHTB dalam batas maksmial dan minimal sudah ditentukan dalam UU
ini. Artinya, baik subyek maupun obyek pengenaan pajak BPHTB yang telah diatur dalam
UU No. 28 Tahun 2009 harus tetap dimasukkan dalam regulasi masing-masing peraturan
daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Amanat dari mekanisme
pengenaan pajak BPHTB tersebut kemudian dituangkan dalam pasal-pasal yang ada dalam
Perda Kabupaten Bandung Nomor 7 Tahun 2017 termasuk subyek dan obyek yang sama
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 sebagai upaya dalam peningkatan
pajak di wilayah tersebut namun tetap memegang prinsip dan asas-asas dalam pengenaan
pajak itu sendiri.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Apakah sah penerapan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi jual beli tanah dengan dasar transaksi dan NJOP lama
Berdasarkan UU No.38 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah Pasal 87 ayat 1 sampai 3 junto Peraturan Daerah Kabupaten Bandung
No.17 Tahun 2017 Pasal 58 ayat 1 sampai 3 menyebutkan bahwa dasar
pengenaan BPHTB adalah NPOP, nilai perolehan objek pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf a yaitu jual beli adalah nilai transaksi, dan Jika
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa penerapan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi jual beli tanah dengan dasar
transaksi dan NJOP lama menjadi tidak sah karena tidak memakai NJOP yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan.

2. Menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP lama


Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto Perda
Kabupaten Bandung Nomor 17 tahun 2017
Penetapan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP lama Berdasarkan
undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto Perda Kabupaten Bandung Nomor
17 tahun 2017 pada kasus Nyonya X dipakai harga transaksi dikarnakan nilainya
melebihi NJOP pada tahun berlangsungnya perolehan, dan pada pasal 1 angka
41 dan 42 UU Nomor 28 Tahun 2009 yang dimaksud dengan perolehan yang
dapat saya simpulkan adalah perolehan didapatnya hak atas tanah dan bangunan
berdasarkan bukti berupa akta jual beli yang dibuat PPAT/PPATS berdasarkan
kejadian jual beli yang dilakukan oleh para pihak baik objek, waktu dan lainnya
yang tercantum akta tersebut. Maka dengan itu perhitungan biaya BPHTB pada
kasus Nyonya X harus berdasarkan nilai transaksi yaitu Rp.28Juta, dikarenakan
transaksi tersebut dibawah NJOPTKP maka BPHTB menjadi nihil.

53
54

B. Saran-Saran
1. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar melakukan penelitian validasi
BPHTB berdasarkan aturan yang ada, khusunya pada penentuan
perhitungan pajak BPHTB berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun
2009 tentang pajak dan retribusi daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung nomor 17 tahun 2017 tentang pajak daerah.
2. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar dapat memberikan
pengetahuan tentang pajak BPHTB dengan lebih rinci, sehingga
masyarakat awam menjadi tahu tentang bagaimana proses menetapkan
pajak BPHTB.

54
DAFTAR PUSTAKA

Adiwinata, Saleh. Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA. Bandung: Alumni.


1976.

Barata, A. A. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak. Jakarta: Gramedia. 2003.

Chulaimi, Achmad. Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas


Tanah dan Pemindahannya. Semarang: FH-UNDIP. 1986.

Effendie, Bachtiar. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan


pelaksanaannya. Bandung: Alumni. 1993.

Gautama, Sudargo. Tafsiran UUPA. Bandung: Alumni. 1973.

Harsono, Boedi. Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak
Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas
Tanah Menurut UUPA. Bandung-Jakarta. 1983.

Harsono, Boedi. UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi, Pelaksanaan Hukum Agraria,


Bagian I dan II Jilid I. Jakarta: Djambatan. 1972.

Hernanda, Bonus Aprianto. “Problematika Validasi Bea Perolehan Hak Atas


Tanah Dan Bangunan Atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai
Bangunan Tidak Sesuai Dengan Nilai Jual Objek Pajak Dan Nilai
Perolehan Objek Pajak.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya,
3(1), 12. 2014. Diakses 12 Juli 2023,
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/1548/1266/.

HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. 2005.
56

Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang


Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Indonesia Peraturan Daerah Kabuaten Bandung Nomor.17 Tahun 2017 tentang


perubahan kedua atas peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 1
Tahun 2011 tentang pajak Daerah.

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara


Pemeriksaan Pajak.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak


Atas Dan Bangunan.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas


Tanah dan Bangunan.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan


Tata Cara Perpajakan.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha


Negara.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan.

Mardiasmo. Perpajakan Edisi Revisi 2001. Yogyakarta: CV Andy Offset, 2001.

Mardiasmo. Perpajakan Edisi Revisi, Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008.

Murjiyanto, R. & Ismaya, S. Kepastian Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan


Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jurnal Hukum IUS QUIA
57

IUSTUM, 22(3), 489-509. 2015. Diakses 12 Juli 2023,


https://dx.doi.org/10.20885/iustum.vol22.iss3.art8.

Parlindungan, A.P. Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA. Bandung: Alumni. 1973.

Peni, Arum Sri & Huda, M. PROBLEMATIKA PEMUNGUTAN BPHTB


TERHADAP HARGA JUAL TANAH DI KABUPATEN GRESIK. Jurnal Pro
Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, 11(2), 2. 2022.
Diakses pada 15 Juli 2023.
https://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article/view/1942

Peranginangin, Effendi. Praktek Hukum Agraria: Permohonan Hak Atas Tanah.


Yogyakarta: ESA Study Club. 1981.

Perkim.id. Bagaimana Rumus Menghitung Biaya BPHTB?. Perkim.id. 11 Mar,


2021. Diakses pada 09 Juli 2023. https://perkim.id/perumahan/bagaimana-
rumus-menghitung-biaya-bphtb

Prodjodikoro, Wiryono. Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan


Tertentu. Bandung: Sumur. 1974.

R. O.H. Monding dan R.J. Pusung. Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota
Manado. Jurnal EMBA, 4(4), 993. 2016. Diakses 26 April 2023
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571.

R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT. Refika


Aditama, 2008

Rashid, H.A. Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya).


Jakarta: Ghalia Indonesia. 1987.

Sahnan. Hukum Agraria Indonesia. Malang: Setara Press. 2016.

Saleh, K.W. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1973.

Sinaga, DR. N. A. Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya Di Indonesia. Jurnal


Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara
Marsekal Suryadarma 7(1), 150-151. 2016. diakses 26 April 2023,
https://doi.org/10.35968/jh.v7i1
58

Setiawan, S. Perpajakan Indonesia. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


Press. 2009.

Siahaan, M.P. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Raja Grafindo
Persada. 2003.

Soerjopratiknjo, Hartono. Aneka Perjanjian Jual Beli, Cetakan 1. Yogyakarta:


Seksi Notariat FH UGM. 1982.

Soerodjo, Irawan. Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL)


Eksistensi, Pengaturan dan Praktik. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.
2014.

Suandi, Erly. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat. 2000.

Subekti, R. Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1989.

Sumardjono, Maria S.W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi.


Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 2002.

Sunindhia, Y.W. & Ninik W, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa


Pemikiran). Jakarta: PT. Dina Aksara. 1988.

Susanto, R. Hukum Pertanahan (Agraris), Cetakan 1. Jakarta: Pradnya Paramita.


1980.

Sutedi, Adrian. Hukum Pajak dan Retribusi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
2008.

Wahjono, Padmo. Undang-undang Perpajakan Beserta Penjelasan dan Peraturan


Pelaksanaan. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984.

Waluyo dan Wirawan, B. I. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. 1999.


59

Wirawan, B. I. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat. 2011.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. DATA PRIBADI

1. Nama Lengkap : Mochamad Andre Prayudi


2. NPM :194301097
3. Bidang Kajian Utama : Hukum Keperdataan
4. Alamat : Kp. Margaluyu rt 06/01 Nagreg Kabupateb
Bandung
5. Tempat/Tanggal Lahir : Bandung, 12 Juni 2001
6. Jenis Kelamin : Laki-laki
7. Agama : Islam

B. DATA KELUARGA
1. Ayah
a. Nama : Yudi Tossin S.Pd.
b. Agama : Islam
c. Pekerjaan : Wiraswasta
d. Alamat : Kp. Margaluyu rt 06/01 Nagreg Kabupaten
Bandung
2. Ibu
a. Nama : Nathalia Puspasari
b. Agama : Islam
c. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
d. Alamat : Kp. Margaluyu rt 06/01 Nagreg Kabupateb
Bandung
C. PENDIDIKAN
1. SD : SDN NAGREG II
2. SMP : SMPN 1 CICALENGKA
3. SMA : SMAN 1 CICALENGKA
Demikian riwayat hidup ini dibuat oleh penulis dengan sebenar-benarnya dan
dapat dipertanggungjawabkan.

Bandung, Juli 2023


Hormat Saya

Mochamad Andre Prayudi

60

Anda mungkin juga menyukai