Anda di halaman 1dari 154

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM

PELAKSANAAN PEMBUATAN AKTA YANG TIDAK DIBACAKAN


KEPADA PARA PIHAK BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN
JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DIHUBUNGKAN
DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian Tesis


Guna Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Pada Program Studi Magister Kenotariatan

Oleh :

YOGA RIFALDI
NPM : 20040118037

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

PERSETUJUAN
TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM
PELAKSANAAN PEMBUATAN AKTA YANG TIDAK DIBACAKAN
KEPADA PARA PIHAK BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN
JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN
ASAS KEPASTIAN HUKUM
Oleh :
YOGA RIFALDI
NPM : 20040118037
Diajukan Untuk Memenuhi Salah satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Pada Program Studi Magister Kenotariatan
Bandung, 4 Januari 2020
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(Dr. Efik
Yusdiansyah, S.H., M.H.) (Dr. Alin Ardinal Widjaksana, S.H., M.Kn)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
(Dr. Rini Irianti Sundary, S.H., M..)
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

PENGESAHAN

Proposal Tesis Berjudul : TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT


AKTA TANAH DALAM PELAKSANAAN
PEMBUATAN AKTA YANG TIDAK
DIBACAKAN KEPADA PARA PIHAK
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998
TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH DIHUBUNGKAN
DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
Oleh
Nama Mahasiswa : Yoga Rifaldi
Nomor Pokok Mahasiswa : 20040118037
Pembimbing Utama : Dr. Efik Yusdiansyah, S.H., M.H.
Pembimbing Pendamping : Dr. Alin Ardinal Widjaksana, S.H., M.Kn
Diujikan Tanggal : 30 Desember 2020

Telah Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan


Pada Program Studi Magister Kenotariatan Konsentrasi Kenotariatan

Bandung, 4 Januari 2020


Direktur
(Prof. Dr. Hj. Neni Yulianita, Dra., M.S.)
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohim,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, inayah dan taufik-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

dalam menempuh studi di Magister Kenotariatan Universitas Islam Bandung.

Dalam proses penulisan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan dan

dorongan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih, terutama kepada :

1. Kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang dan do’a restunya

hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini;

2. Ibu Prof. Dr. Hj. Neni Yulianita, M.S selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Islam Bandung.

3. Ibu Dr. Hj. Ratna Januarita, S. H., LL.M., M.H selaku Wakil Direktur

Program Pascasarjana Universitas Islam Bandung

4. Ibu Dr. Hj. Rini Irianti Sundary, S.H., M.H selaku Ketua Program Magister

Kenotariatan Universitas Islam Bandung.

5. Bapak Dr. Efik Yusdiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama, yang

telah sabar membantu memberi masukan, motivasi dan bimbingan dalam

penulisan tesisini.

6. Bapak Dr. Alin Ardinal Widjaksana, S.H., M.Kn selaku Pembimbing


Pendamping, yang telah meluangkan waktu dan sabar membantu, memberi

masukan, motivasi dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Husni Syawali, S.H., M.H. dan Ibu Dr. Yenni Yunithawati

Rukmana, S.H. selaku Dosen Penguji tesis, atas nasehat, saran dan waktu

yang diberikan untuk perbaikan serta penyempurnaan tesisini;

8. Para Dosen Pengajar dan Staf Akademik Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Islam Bandung, yang secara langsung maupun

tidak langsung memberikan bantuan dalam menyelesaikan pendidikan di

Universitas Islam Bandung;

9. Calon Istri Heni Sumarni yang telah memberikan dukungan dan do’a serta

tidak lelah memberikan motivasi dalam menyelesaikan pendidikan ini;

10. Paman sekaligus Notaris Motivator saya Ayi Ruhiat, S.H., Saudara beserta

keluarga yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi dalam

menyelesaikan pendidikan ini;

11. Bapak Notaris Erwin Andriansyah, S.H., M.Kn dan Bapak Yudie Tosin, SP.d

yang telah banyak memberikan motivasi dalam menyelesaikan pendidikan ini.

12. Azmi Permata Putra dan rekan-rekan kerja di Kantor Notaris Erwin

Andriansyah, S.H., M.Kn yang telah banyak memberikan motivasi dalam

menyelesaikan pendidikan ini.

13. Teman-teman seperjuangan kelas A dan B angkatan 2018 Magister

Kenotariatan Universitas Islam Bandung, khususnya Abdullah, Mando,

Edward, Fachri, Mulky, Yogi, dan Hizky yang telah memberikan motivasi
dan kontribusi besar terhadap penulis.

Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang disengaja

maupun tidak disengaja. Akhirnya penulis hanya bisa mendo’akan agar semua

pihak yang telah membantu penulis selama ini dilipatgandakan pahalanya.

Dengan iringan do’a semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini

menjadi sebuah nilai ibadah disisi-Nya dan semoga Tesis ini bermanfaat bagi saya

pribadi dan bagi semua pihak yang membacanya. Amiin Yaa robbal’alamin.

Bandung, 20 Desember 2020

Penulis
ABSTRAK

Keberadaan PPAT sangat penting dalam kehidupan masyarakat untuk


memberikan jaminan kepastian hukum melalui akta autentik, untuk pemenuhan sifat
otentik dari akta, pembacaan akta dilakukan sendiri oleh PPAT, penandatanganan
para pihak, saksi dan oleh PPAT, dilakukan segera setelah pembacaan akta dimaksud,
akan tetapi dalam prakteknya masih ada PPAT yang mengabaikan Pembacaan Akta.
Tujuan dari dibuatnya tesis ini guna mengetahui akibat dari tidak dilakukannya
pembacaan akta kepada para pihak oleh PPAT dan bagaimana tanggung jawab PPAT
atas tidak dibacakannya akta kepada para pihak tersebut. Dalam melakukan penelitian
ini penulis menggunakan 3 (tiga) asas, yaitu Asas Umum Pemerintahan yang Baik,
Asas Tanggung Jawab dan Asas Kepastian Hukum. Penelitian ini akan disusun
dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif (Yuridis Normatif),
Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, Jenis data yang
digunakan dalam penulisan tesis ini adalah data sekunder, teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini bersifat studi kepustakaan, penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif dengan menggunakan data
sekunder yang diperoleh dari studi dokumen. Akta PPAT harus dibacakan isinya
kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi
sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Jika
hal tersebut tidak dipenuhi, maka Akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Tanggung jawab PPAT atas
pelanggaran akta yang tidak dibacakan kepada para pihak, tanggung jawab yang
dimaksud baik tanggung jawab perdata, administratif dan bisa sampai pada tanggung
jawab pidana.
Kata Kunci : Pembacaan Akta, Tanggung Jawab, Akibat Hukum
ABSTRACT

The existence of PPAT is very important in people's lives to guarantee legal


certainty through authentic deeds, to fulfill the authentic nature of the deeds, read the
deeds by the PPAT themselves, sign the parties, witnesses and by the PPAT, done
immediately after the reading of the deed, but in practice there are still PPATs that
ignore the Reading of the Deed. The purpose of this thesis is to determine the
consequences of not reading the deed to the parties by PPAT and how PPAT is
responsible for not reading the deed to the parties. In conducting this research the
writer uses 3 (three) principles, namely the General Principle of Good Governance,
the Principle of Responsibility and the Principle of Legal Certainty. This research will
be compiled using the method of normative legal research (juridical normative), the
specification in this research is descriptive analytical, the type of data used in the
writing of this thesis is secondary data, the data collection technique used in this
research is library research, this research analyzed using qualitative normative
methods using secondary data obtained from document studies. The PPAT Deed must
be read out to the parties in the presence of at least 2 (two) witnesses before being
signed immediately by the parties, witnesses and PPAT. If this is not fulfilled, then
the Deed concerned only has the power of proof as an underhand deed. PPAT
responsibility for violation of deeds that are not read out to the parties, the
responsibility referred to is both civil and administrative responsibility and can come
up to criminal responsibility.
Keywords: Deed Reading, Responsibility, Legal Consequences
SURAT PERNYATAAN

Bissmilahirrahmanirahim,
Yang bertanda tangan di bawah ini saya :

Nama : Yoga Rifaldi

Nomor Pokok Mahasiswa : 20040118037

Program Studi : Magister Kenotariatan

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1. Tesis yang saya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan Doktor) baik di
Universitas Islam Bandung maupun di perguruan tinggi lain;
2. Tesis ini murni gagasan, rumusan, dan penilaian saya sendiri, kecuali arahan
dan saran Pembimbing utama, pembimbing pendamping dan penguji;
3. Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis sudah dicantumkan dalam
daftar pustaka.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian
hari terdapat penyimpangan dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima
sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, 20 Desember 2020
Yang Membuat Pernyataan

Yoga Rifaldi
20040118037
DAFTAR ISI

JUDUL ..........................................................................................................................i

PERSETUJUAN...........................................................................................................ii

PENGESAHAN...........................................................................................................iii

KATA PENGANTAR.................................................................................................iv

ABSTRAK.................................................................................................................vii

ABSTRACT..............................................................................................................viii

SURAT PERNYATAAN............................................................................................ix

DAFTAR ISI.................................................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1

B. Identifikasi Masalah.........................................................................................10

C. Tujuan Penelitian.............................................................................................10

D. Kegunaan Penelitian........................................................................................11

E. Kerangka Pikir.................................................................................................11

F. Metode Penelitian............................................................................................27
BAB II TINJAUAN TEORI MENGENAI TANGGUNG JAWAB, PEJABAT

PEMBUAT AKTA TANAH, PENGERTIAN AKTA, PEMBUATAN DAN

PEMBACAAN AKTA, ASAS KEPASTIAN HUKUM, SERTA ASAS

PERLINDUNGAN HUKUM...................................................................................26

A. Tinjauan Umum Mengenai Tanggung Jawab..................................................26

B. Tinjauan Umum Mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah...............................33

C. Pengertian Akta, Pembuatan dan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT).........................................................................................................39

D. Asas Kepastian Hukum....................................................................................59

E. Asas Perlindungan Hukum..............................................................................65

BAB III Pelaksanaan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan

Contoh Kasus Tidak di Lakukannya Pembacaan Akta Peralihan Hak Atas

Tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.............................................................69

A. Pelaksanaan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah..................69

B. Contoh Kasus Tidak di Lakukannya Pembacaan Akta Peralihan Hak Atas

Tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah...............................................................77

BAB IV TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

DALAM PELAKSANAAN PEMBUATAN AKTA YANG TIDAK

DIBACAKAN KEPADA PARA PIHAK BERDASARKAN PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS


PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM...............................81

A. Akibat Hukum Terhadap Akta Yang Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak

Oleh PPAT Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.....................................................................81

B. Tanggung Jawab PPAT Dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta Otentik, Yang

Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak Oleh PPAT Berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum.......................................................90

BAB V PENUTUP...................................................................................................125

A. Kesimpulan....................................................................................................125

B. Saran..............................................................................................................127

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................128

CURRICULUM VITAE.........................................................................................139
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan

dengan tegas, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip dari negara hukum

adalah menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan

kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut

adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban orang atau badan

hukum sebagai subjek hukum di dalam masyarakat.1 Dalam hukum pertanahan di

Indonesia khususnya diatur dalam UUPA pada Pasal 19 Ayat (1), yang berbunyi

sebagai berikut:2

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran

tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan

yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh

PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan

tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.3 Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT diangkat oleh
1
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Setjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 61.
2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah

1
2

pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan

tertentu dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak

atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan

hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku.4 Oleh sebab itu PPAT merupakan kepanjangan tangan dari BPN, keduanya

saling membantu satu sama lain dalam menjalankan tugasnya masing-masing untuk

menciptakan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah.

Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk

membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar

pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2016). Khusus mengenai PPAT tersebut telah diterbitkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah

tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa :5

“PPAT adalah Pejabat Umum yang ditunjuk dengan Surat Keputusan


Pemerintah dalam hal ini sekarang dikeluarkan oleh Kepala BPN untuk
mewakili sebagian tugas negara yaitu membuat akta atau dokumen yang
diperlukan oleh negara berkaitan dengan penerbitan pelaksanaan peraturan
pertanahan dan pendaftaran aset (kekayaan) negara berupa tanah dalam
melayani kebutuhan masyarakat (public service) dibidang hukum
keperdataan dengan obyek tanah sebagaimana tercantum pada UUPA dan
4
Jimly Asshiddiqie, Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah, Majalah Renvoi
Edisi 3, Jakarta, 2003, hlm. 31.
5
Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa PPAT, Selaras, Malang, 2013, hlm. 33.
3

dapat disimpulkan PPAT mempunyai peranan penting dalam


kewenangannya membuat alat bukti tentang Perbuatan Hukum tertentu
mengenai pengalihan, pembebanan Hak Atas Tanah yang dijadikan dasar
Pendaftaran Hak Atas Tanah pada Direktorat Jendral Agraria sekarang pada
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia”.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

Pasal 37 Ayat (1) mensyaratkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli,

tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan pemindahan hak

lainnya hanya dapat didaftarkan jika dibuat dengan akta yang dibuat di hadapan

PPAT. Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”):

“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang

ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang

berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas jelas bahwa perbuatan hukum berupa

pemindahan hak atas tanah, harus dibuat dengan akta PPAT dan hal tersebut

merupakan sangat mutlak karena apabila tidak dibuat dengan akta PPAT maka tanah

tersebut tidak dapat didaftarkan dalam rangka balik nama sertifikat hak milik atas

tanah yang bersangkutan, oleh karenanya tidak ada jaminan perlindungan hukum

terhadap kepemilikan atas tanah. Dalam membuat akta tanah tersebut, PPAT

disyaratkan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan peraturan

perundang-undangan, diantaranya adalah harus menyertakan dua orang saksi serta

memberi apa yang menjadi hak dari pada saksi dalam perbuatan hukum tersebut.

Hak-hak saksi yang harus dipenuhi oleh PPAT dalam pembuatan akta peralihan hak

atas tanah antaranya ikut menyaksikan seluruh rangkaian pembuatan akta peralihan
4

hak atas tanah tersebut serta menandatangani akta peralihan hak atas tanah tersebut.

Berdasarkan pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah disebut dengan jelas bahwa “Akta PPAT harus

dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para

pihak, saksi-saksi dan PPAT”, pada dasarnya untuk pemenuhan sifat otentik dari akta,

pembacaan akta dilakukan sendiri oleh PPAT, penandatanganan para pihak, saksi dan

oleh PPAT, dilakukan segera setelah pembacaan akta dimaksud.6

Pembuatan Akta Otentik ada yang diharuskan oleh Peraturan Perundang-

Undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum.

Selain akta otentik yang dibuat oleh PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang

berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,

ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi

masyarakat secara keseluruhan. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran

formal sesuai dengan apa yang diberitahukan kepada PPAT. Namun, PPAT

mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT

sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu

6
Budianto, Umar Ma’ruf, Kehadiran Saksi Pada Saat Transaksi Jual Beli Tanah Dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Hubungannya Dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Di Kabupaten Kubu
Raya, Volume 4, Nomor 4, Desember 2017, hlm. 690.
5

dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta

memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-

undangan yang terkait bagi para pihak yang menandatangani akta. Dengan demikian,

para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui

isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya.7

Dalam alquran menyebutkan :8

َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ُخوْ نُوا هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل َوتَ ُخوْ نُ ْٓوا اَمٰ ٰنتِ ُك ْم َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬

yā ayyuhallażīna āmanụ lā takhụnullāha war-rasụla wa takhụnū amānātikum wa

antum ta'lamụn

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan

Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu,

sedang kamu mengetahui”. (QS. Al-Anfal: 27)

Pelaksanaan pembuatan Akta oleh PPAT wajib mengikuti ketentuan yang

berlaku sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan tentang pendaftaran tanah

sebagai amanat yang telah diberikan oleh aturan itu sendiri. Salah satu ketentuan

dalam peraturan tersebut yaitu pembuatan akta oleh PPAT harus dihadiri oleh para

pihak yang melakukan perbuatan hukum bersangkutan atau kuasanya dan disaksikan

oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kemudian oleh PPAT akta tersebut

dibacakan dan dijelaskan kepada para pihak dan saksi-saksi yang kemudian

7
Triyono, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli
Tanah Dan Implikasi Hukumnya Bagi Masyarakat Umum, Volume 17, Nomor 2, Agustus 2019, hlm.
168.
8
https://litequran.net/al-anfal, diakses pada tanggal 19 November 2019.
6

ditandatangani pada saat itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT sebagaimana

diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PMA Nomor 3 Tahun

1997).

Prosedur dalam pembuatan Akta ini juga merupakan kewajiban pelaksanaan

jabatan bagi PPAT terhadap akta yang dibuatnya. Hal ini diatur baik dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Salah satunya yaitu mengenai pembacaan dan penandatanganan akta oleh PPAT

dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:

“Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum

ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT”9

Akta PPAT merupakan alat bukti yang menjamin kebenaran suatu transaksi

atas tanah, baik kebenaran tanggal maupun atas subjek hukumnya. Disamping itu

Akta PPAT sebagai alat bukti diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

sehubungan dengan adanya suatu transaksi yang menggambarkan adanya perjanjian

diantara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. 10 PPAT merupakan pejabat

9
PP No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
PPAT, Pasal 22.
10
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola Surabaya,
Surabaya, 2003, hlm. 230.
7

umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta autentik, yang merupakan

perbuatan mengkonstantir perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Keberadaan

PPAT ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat untuk memberikan jaminan

kepastian hukum melalui akta autentik yang dibuatnya dan diharapkan juga dapat

menghindari terjadinya sengketa. Namun dalam prakteknya di lapangan, masih ada

yang melakukan pembacaan sampai dengan penandatanganan akta tanpa hadir di

hadapan PPAT ataupun PPAT yang tidak hadir dan hanya dihadiri oleh saksi yang

sekaligus pegawai Notaris/PPAT dan yang membacakan akta untuk para penghadap,

padahal dalam akhir isi akta peralihan hak atas tanah yang dibuat PPAT telah

menyebutkan “akhirnya hadir juga dihadapan saya, Pejabat Pembuat Akta Tanah

yang selanjutnya disebut PPAT dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang sama dan

disebutkan pada akhir akta ini”.

Dari hal tersebut akan menimbulkan permasalahan terhadap akta PPAT yang

dapat terdegradasi, PPAT seharusnya merupakan pejabat pembuat akta yang

mengeluarkan produk atau akta peralihan hak atas tanah berdasarkan wewenang yang

diberikan melalui aturan, dimana seharusnya aktanya tersebut bersifat autentik.

Berdasarkan timbulnya permasalahan tersebut maka menarik untuk dilakukan

suatu penelitian dengan judul : “TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT

AKTA TANAH DALAM PELAKSANAAN PEMBUATAN AKTA YANG TIDAK

DIBACAKAN KEPADA PARA PIHAK BERDASARKAN PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS


8

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM”.

Tabel 1
Persamaan dan perbedaan dengan Penulisan Terdahulu

No Peneliti Judul Persamaan Perbedaan


1. Fariz Tanggung Jawab Membahas 1. Akta yang di
Helmy Notaris Dalam mengenai maksud dalam
Rasyad Pembuatan Akta Yang Tanggung Jawab penelian berbeda
(2012) Tidak Memenuhi terhadap akta dari jabatan
Ketentuan Pasal 16 yang tidak pembuat akta
Ayat (1) Huruf L Dan dibacakan oleh antara Notaris
Ayat (7) Undang- Pejabat Umum. dan Pejabat
Undang Nomor 30 Pembuat Akta
Tahun 2004 Tentang Tanah.
Jabatan Notaris 2. Tanggung jawab
yang dibahas oleh
saudara Hariz
hanya membahas
tanggung jawab
secara perdata,
sedangkan
tanggung jawab
yang penulis
bahas adalah
tanggung jawab
secara Perdata,
Administrasi dan
Pidana.
2. Ranty Kewajiban Notaris Membahas 1. Selain membahas
Artsilia, dalam Membacakan mengenai akibat mengenai akta
S.H. Akta hukum terhadap yang dibacakan
(2009) akta yang tidak penulis juga
dibacakan oleh membahas
Pejabat Umum. mengenai
tanggung jawab
pejabat umum
yang tidak
9

membacakan akta
(PPAT).
2. Akta yang di
maksud dalam
penelian berbeda
dari jabatan
pembuat akta
antara Notaris
dan Pejabat
Pembuat Akta
Tanah.
3. Dwi Kewajiban Pembacaan Membahas Membahas kekuatan
Merlyani Akta Otentik Oleh mengenai akibat hukum akta yang di
(2019) Notaris Di Hadapan hukum terhadap tanda tangani secara
Penghadap (Terkait akta yang tidak elektronik,
Dengan Konsep Cyber dibacakan oleh sedangkan hal
Notary) Pejabat Umum. tersebut tidak dibahas
oleh penulis.
4. Titik Pertanggungjawaban Membahas Membahas sesuatu
Utami Seorang Pejabat mengenai hal yang sama dalam
Pembuat Akta Tanah tanggung jawab melaksanakan
(PPAT) Dalam pejabat pembuat jabatannya dalam
Melaksanakan akta tanah dalam pembuatan akta
Jabatannya Dalam melaksanakan tetapi penulis
Pembuatan Akta jabatannya memfokuskan pada
(Analisis Terhadap dalam pembacaan akta.
Putusan Pengadilan pembuatan akta.
Negeri Cibinong
Nomor:
117/PdtG/2007/PN.Cb
n. Tanggal 1 April
2008)

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi

pembahasan dengan pokok-pokok masalah sebagai berikut:


10

1. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta yang tidak dibacakan kepada para

pihak oleh PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?

2. Bagaimanakah tanggung jawab PPAT dalam pelaksanaan pembuatan akta

otentik, yang tidak dibacakan kepada para pihak oleh PPAT berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah dihubungkan dengan asas kepastian hukum?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk menentukan akibat hukum terhadap akta yang tidak dibacakan kepada

para pihak oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Untuk mengidentifikasi tanggung jawab PPAT dalam pelaksanaan pembuatan

akta otentik yang dihubungkan dengan asas kepastian hukum.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis

maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis
11

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi bagi

kalangan PPAT dan calon PPAT dalam kaitannya dengan pengaturan tentang

cara pelaksanaan pembuatan suatu akta otentik agar dapat memberikan jaminan

kepastian hukum bagi para pihak.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pedoman bagi PPAT, terkait

Tanggung Jawab PPAT terhadap kewenangannya dalam membuat akta otentik

yang berdasarkan peraturan dan asas kepastian hukum.

E. Kerangka Pikir

Indroharto mengatakan, menggunakan istilah AAUPL dan mengartikannya

sebagai asas-asas yang khusus berlaku di bidang administrasi pemerintahan dan

menjadi bagian dari asas-asas hukum umum dan penting artinya bagi perbuatan-

perbuatan hukum pemerintahan. Pada awal perkembangannya, AAUPL merupakan

asas hukum yang tidak tertulis, sehingga F.H. Van Der Burg dan G.J.M Cartigny

lebih spesifik memberikan definisi tentang AAUPL (AUPB) sebagai asas-asas hukum

tidak tertulis yang harus diperhatikan badan atau pejabat administrasi Negara dalam

melakukan tindakan hukum yang akan dinilai kemudian oleh Hakim Administrasi.

Sedangkan menurut Wirda Van der Burg mendefinisikan AUPB sebagai tendensi-

tendensi (kecenderungan) etik, yang menjadi dasar hukum Tata Usaha Negara, baik

yang tertulis, maupun yang tidak tertulis, termasuk praktik pemerintahan dan dapat

diketahui pula bahwa asas-asas itu sebagian dapat diturunkan dari hukum dan praktik,
12

sedangkan untuk sebagian besar bukti (jelas atau nyata) langsung mendesak. Hal ini

dikemukakan Wirda dalam salah satu paparannya di hadapan perhimpunan Tata

Usaha Negara di Belanda Tahun 1952.11

Asas-asas yang akan saya pakai dalam tesis ini yaitu:

1. Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Menurut UU Administrasi

Pemerintahan Pasal 10 ayat (1) AUPB terdiri dari 8 asas sebagai berikut :12

a. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan,

kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan

pemerintahan.13 Asas kepastian hukum merupakan produk dari hukum

atau lebih khusus dari perundang-undangan. Hukum positif yang mengatur

kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati

meskipun hukum positif itu kurang adil. Mahmul Siregar mengatakan hal

yang senada dimana kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang

hukum.14 Dengan demikian, kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian


11
Ateng Syarifudin, “Kepala Daerah”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, hlm. 53.
12
http://pemerintah.net/asas-asas-umum-pemerintahan-yang-baik-aupb/, diakses pada tanggal 10
Agustus 2019.
13
Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
14
USU Law Journal, Kepastian Hukum Terhadap Standar Pelayanan Publik Dalam Pelayanan Izin
Usaha : Studi di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Pematang
Siantar, Volume 7, Nomor 3, Juni 2019, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, hlm. 183.
13

hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya

(hukum acara) dalam putusan-putusan badan peradilan. Kemudian

menurut Cicut Sutiarso mengatakan kepastian hukum yang berdasarkan

keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya

hukum yang tepat waktu.15 Selanjutnya, menurut H.L.A Hart dalam the

concept of law, ada kalanya kata-kata dalam sebuah undang-undang dan

apa yang diperintahkannya dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas

sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan

penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui

interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal ini menurut H.L.A Hart

merupakan suatu ketidakpastian (legal uncertainty) dalam ketentuan

undang-undang.16

b. Asas Kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara

seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan

individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3)

kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan

kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat

yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6)

kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang;

15
Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 160.
16
H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh
M. Khozim, Konsep Hukum, Nusamedia, Bandung, 2010, hlm. 230.
14

(7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan

wanita.

c. Asas Ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan

dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak

secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.

d. Asas Kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu

Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan

dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau

pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau

Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum

Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.

e. Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan adalah asas yang mewajibkan

setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan

kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan

tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak

melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan

kewenangan.

f. Asas Keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk

mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan

tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap


15

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia

negara.

g. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan

dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif,

dan tidak diskriminatif.

h. Asas Pelayanan Yang Baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang

tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar

pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Asas Tanggung Jawab

Hans Kelsen mengatakan, tentang tanggungjawab hukum menyatakan

bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu

atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia

bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. 17

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggungjawab terdiri dari:18

“Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab


terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri; 2. Pertanggungjawaban
kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu
pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain; 3. Pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan
diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian; 4.
Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan”.

17
Hans Kelsen (2), diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and State , Teori Umum
Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik,
BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 81.
18
Ibid, hlm. 83.
16

Tanggung jawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan sebagai liability

dan responsibility, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum

yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum,

sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggung jawaban politik. 19

Asas tanggung jawab lebih menekankan pada makna tanggung jawab yang lahir

dari ketentuan Peraturan Perundang-Undangan sehingga asas tanggungjawab

dimaknai dalam arti liability.20

Tanggung jawab berdasarkan definisi dari responsibility adalah kewajiban

bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakannya dan memperbaiki

kerusakan yang ditimbulkannya. Tanggung jawab yang dibebankan kepada PPAT

menurut penulis tepat untuk menggunakan istilah responsibility ini. Responsibility

mempunyai makna yang merujuk kepada tanggung jawab PPAT untuk

melaksanakan jabatannya atas perintah undang-undang, dan PPAT juga

bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan,

bilamana kesalahan tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak yang menghadap

kepada PPAT atau pihak lain yang bersangkutan.21

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata

diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk

19
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 337.
20
Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandotary, Raja Grafindo
Perss, Jakarta, 2011, hlm. 54.
21
Vina Akfa Dyani, Pertanggungjawaban Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Notaris dalam
Membuat Party Acte, Nomor 1, Volume 2, Januari 2017, hlm. 165.
17

Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan

yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan Melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.”

Rosa Agustina mengatakan, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum,

terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam

menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum,

diperlukan 4 syarat: 22

a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

c. Bertentangan dengan kesusilaan

d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Konsep tanggung jawab juga dikemukakan oleh pencetus teori hukum

murni yaitu Hans Kelsen. Menurut Hans, tanggung jawab berkaitan erat dengan

kewajiban, namun tidak identik. Kewajiban tersebut muncul karena adanya aturan

hukum yang mengatur dan memberikan kewajiban kepada subyek hukum.

Subyek hukum yang dibebani kewajiban harus melaksanakan kewajiban tersebut

sebagai perintah dari aturan hukum. Akibat dari tidak dilaksanakannya kewajiban

maka akan menimbulkan sanksi. Sanksi ini merupakan tindakan paksa dari aturan

22
hukumonline.com, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana, di
akses tanggal 10 Maret 2020.
18

hukum supaya kewajiban dapat dilaksanakan dengan baik oleh subyek hukum.

Menurut Hans, subyek hukum yang dikenakan sanksi tersebut dikatakan

“bertanggung jawab” atau secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran.23

3. Asas Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.

Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan

adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai

wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat

menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa

dijawab secara normatif, bukan sosiologi.24

Fence M. Wantu mengatakan, “hukum tanpa nilai kepastian hukum akan

kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua

orang”.25 Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat

dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini. 26 Pengertian

kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap

23
Hans Kelsen (3), Pure Theory of Law, Terjemah, Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni: Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cetakan Keenam, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 136.
24
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
25
Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala Mimbar Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 3, Yogyakarta, Oktober 2007, hlm.
388.
26
Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan
Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurnal
Dinamika Huku, Volume 14, Nomor 2, Mei 2014, hlm. 219.
19

berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal ini untuk menimbulkan banyak salah

tafsir. Menurut Van Apeldoorn.27

Hans Kelsen mengatakan, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma

adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan

menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma

adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi

aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah

laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian

hukum.28

Sejatinya keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah

pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang

bersangkutan. Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk

perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan

sewenangwenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat memperoleh

sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.29

27
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm. 25.
28
Peter Mahmud Marzuki (2), Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2008,
hlm.158.
29
Sudikno Mertokusumo (2), Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hlm. 2.
20

PPAT pada umumnya hanya mencatat tentang apa yang dijelaskan oleh

para pihak yang menghadap kepada PPAT dan tidak memiliki kewajiban untuk

mencari tahu atas kebenaraan materiil. PPAT bisa saja berbuat kesalahan

menyangkut isi akta karena keterangan yang tidak benar (sengaja atau tidak

disengaja) yang diperoleh oleh para pihak, kesalahan demikian ini tidak bisa di

pertanggungjawabkan kepada PPAT karena isi akta tersebut sudah

dikonfirmasikan kepada para pihak oleh PPAT.30

PPAT harus memenuhi persyaratan tentang prosedur atau tata cara

pembuatan akta tersebut terpenuhi, maka akta notaris dan/atau PPAT memiliki

kekuatan pembuktian sempurna. Tetapi jika tidak dipenuhi maka akta notaris

dan/atau PPAT tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta

yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.31 Terdapat

akibat hukum tertentu jika syarat subyektif dan syarat obyektif tidak terpenuhi.

Jika syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan

(vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang

berkepentingan. Sedangkan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian

batal demi hukum (nietig) tanpa perlu ada permintaan dari para pihak.32

30
Sudikno Mertokusumo (1), Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Cetakan Pertama,
Yogyakarta, 1977, hlm. 149.
31
Habib Adjie (1), Hukum Notaris di Indonesia – Tafsiran Tematik Terhadap Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 22.
32
Habib Adjie (3), Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009, hlm. 134.
21

Istilah akta di bawah tangan dan akta yang batal demi hukum adalah dua

hal yang berbeda dan memiliki akibat hukum yang berbeda. Istilah akta di bawah

tangan berkaitan dengan nilai pembuktian suatu alat bukti. Akta di bawah tangan

mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang isi dan tandatangan yang tercantum di

dalamnya diakui oleh para pihak.33

Ketentuan pasal 1320 KUHPerdata bersifat kumulatif, artinya setiap

perjanjian harus memenuhi keempat persyaratan tersebut secara bersama-sama.

Tidak dipenuhinya salah satu syarat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata

tersebut mengakibatkan perjanjian menjadi cacat hukum yang keabsahannya dapat

dipertanyakan dalam arti dapat batal atau dapat dibatalkan oleh pihak ketiga yang

berkepentingan. Syarat (a) dan (b) dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata

merupakan syarat subjektif, hal ini dikarenakan berhubungan dengan orang-orang

atau subjek yang mengadakan perjanjian. Jika syarat subjektif ini dilanggar, maka

perjanjian tersebut dapat dibatalakan. Syarat (c) dan (d) dalam ketentuan Pasal

1320 KUHPerdata merupakan syarat objektif, hal ini dikarenakan berkaitan

dengan isi dari perjanjian. Jika syarat objektif ini dilanggar maka perjanjian

tersebut menjadi batal demi hukum.34

Perihal kesalahan dalam perbuatan melawan hukum, dalam hukum perdata

tidak membedakan antara kesalahan yang ditimbulkan karena kesengajaan pelaku,

33
Habib Adjie (2), Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2009, hlm. 203.
34
Idris Aly Fahmi, Analisis Yuridis Degradasi Kekuatan Pembuktian Dan Pembatalan Akta Notaris
Menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Volume 6,
Nomor 2, 2013, hlm. 225.
22

melainkan juga karena kesalahan atau kurang hati-hatinya pelaku. Ketentuan ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riduan Syahrani sebagai berikut: “tidak

kurang hati-hati”.35 Notaris dan/atau PPAT yang membuat akta ternyata tidak

sesuai dengan wewenangnya dapat terjadi karena kesengajaan maupun karena

kelalaiannya, yang berarti telah salah sehingga unsur harus ada kesalahan telah

terpenuhi.

4. Asas Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek

hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Menurut Sajipto Raharjo, perlindungan

hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang

dirugikan oleh orang lain dan perlindungan hukum itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menjalankan hak yang diberikan oleh hukum. Philipus M.

Hadjon mengatakan,36 perlindungan hukum adalah perlindungan hukum yang

preventif dan perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum yang

preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan perlindungan

hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Sedangkan

menurut Peter Mahmud Marzuki,37 perlindungan hukum adalah suatu kepastian

hukum.

35
Riduan Syahrani (1), Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 279.
36
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987,
hlm. 2.
37
Peter Mahmud Marzuki (1), Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 60.
23

Asas perlindungan hukum yang seimbang adalah prinsip hukum atau asas

hukum yang menjadi dasar dalam memberikan perlindungan hukum secara adil

(tidak berat sebelah) bagi para pihak. Maksudnya adalah, para pihak berada dalam

posisi dan kedudukan yang sama, sehingga pengaturan hak dan kewajiban bagi

para pihak tidak berat sebelah. Dengan demikian para pihak memperoleh

perlindungan hukum yang seimbang. Merumuskan tujuan hukum dalam arti

keseimbangan diantara berbagai kepentingan dalam isinya menunjukkan ciri khas

dari ilmu hukum. Keseimbangan antara kepentingan berarti pendekatannya benar-

benar tidak memihak, menganggap sama dalam prinsip dan berusaha menemukan

penyesuaian. Pengujinya diantaranya dengan memasukkan undangundang, moral,

dan ketertiban umum.38

Teori perlindungan hukum merupakan teori yang menyatakan bahwa setiap

masyarakatakan diberikan perlindungan serta pengayoman terhadap menikmati

semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.39 Terdapat 2 (dua) bentuk

perlindungan hukum, yaitu :40

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang

diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya

pelanggaran atau sengketa. Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan


38
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan,
diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm.130.
39
Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 282.
40
Muschsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, magister Ilmu Hukum
program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14.
24

yang dibuat dengan maksud untuk mencegah setiap warga negara melakukan

pelanggaran dan menjadi batasan dalam melakukan perbuatan-perbuatan

hukum.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan hukum yang

berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan

apabila sudah terjadi pelanggaran atau sengketa. Dalam hal ini maka segala

pemakaian produk dan/atau jasa oleh konsumen, konsumen berhak

mendapatkan kepastian hukum yang berlaku dan mengikat bagi setiap orang.

5. Asas Pendaftaran Tanah

Asas merupakan fundamen yang mendasari terjadinya sesuatu dan

merupakan dasar dari suatu kegiatan, hal ini berlaku pula pada pendaftaran tanah.

Oleh karena itu, dalam pendaftaran tanah ini terdapat asas yang harus menjadi

patokan dasar dalam melakukan pendaftaran tanah. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, bahwa

pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas berikut:

a. Asas sederhana

Asas sederhana dimaksud agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun

prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang

berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

b. Asas aman
25

Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah

perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat

memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah

itu sendiri.

c. Asas terjangkau

Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang

memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan

golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka

penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak

ynag membutuhkan. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai

dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Data

yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Utuk itu perlu

diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi

di kemudian hari.

d. Asas mutakhir

Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara

terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor

Pertanahan selalui sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat

dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.

e. Asas terbuka
26

Asas terbuka dimaksudkan untuk dapat memberikan akses yang

seluas-luasnya kepada masyarakat agar mendapatkan informasi mengenai

pertanahan.

Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran

tanah diseluruh Republik Indonesia menurut ketentuan–ketentuan yang diatur

dengan Peraturan Pemerintah. Adapun kepastian hukum dimaksud adalah

kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah

tersebut. Kepastian berkenaan dengan siapakah pemegang hak atas tanah itu

disebut dengan kepastian mengenai subyek hak atas tanah. Kepastian mengenai

letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah. Kepastian berkenaan

dengan letak, batas-batas dan panjang serta lebar tanah itu disebut dengan

kepastian mengenai obyek hak atas tanah.41

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum

normatif (Yuridis Normatif). Penelitian normatif disebut dengan penelitian

doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan

perundang-undangan dan bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan pendekatan

41
Bachtiar Effendy, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993,
hlm. 21.
27

perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan kasus (case aproach).

Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan

peraturan hukum khususnya hukum perdata di Indonesia. Pendekatan kasus

bertujuan untuk mepelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum42, terkait terkait tanggungjawab Pejabat Pembuat

Akta Tanah terhadap pelaksanaan pembuatan akta yang berdasarkan aturan yang

berlaku dan menciptakan kepastian hukum.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu bertujuan

untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, sistematis, serta akurat melalui

suatu proses analisis dengan menggunakan peraturan hukum, proses penerapan

hukum dan bahan pustaka (kepustakaan) yang merupakan data sekunder, yang

ada dalam keadaan siap terbit, bentuk dan isinya telah disusun oleh peneliti-

peneliti terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah data sekunder,

yaitu data yang diperoleh/dikumpulkan dari bahan kepustakaan atau literatur yang

mempunyai hubungan dengan objek penelitian. Sumber bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier, yang diuraikan sebagai berikut:


42
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
2006, hlm. 295.
28

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah

3) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

2016 tentang Perubahan atas Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

teks, pendapat para sarjana dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus hukum, jurnal-jurnal ilmiah , kasus-kasus hukum,

simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian

penelitian hukum ini, Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet

juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi

yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini. 43

4. Teknik Pengumpulan Data

43
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 15.
29

Sesuai dengan spesifikasi penelitian yang deskriptif analitis dengan

menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini bersifat studi kepustakaan (library research).

Studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder yang terdiri dari bahan-

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

5. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

metode normatif kualitatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh

dari studi dokumen, yaitu dengan mengadakan sistematisasi terhadap bahan bahan

hukum tertulis. Kualitatif dimaksudkan menganalisis data yang berasal dari hasil

penelitian kepustakaan terkait tanggungjawab PPAT terhadap kewenangannya

dalam melegalisasi akta dibawah tangan dalam rangka mewujudkan kepastian

hukum.
BAB II

TINJAUAN TEORI MENGENAI TANGGUNG JAWAB, PEJABAT

PEMBUAT AKTA TANAH, PENGERTIAN AKTA, PEMBUATAN DAN

PEMBACAAN AKTA, ASAS KEPASTIAN HUKUM, SERTA ASAS

PERLINDUNGAN HUKUM

A. Tinjauan Umum Mengenai Tanggung Jawab

Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata

“responsibility” atau “liability”, sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu

“vereentwoodelijk” atau “aansparrkelijkeid”. Tanggung jawab adalah wajib,

menanggung, wajib memikul beban, wajib memenuhi segala akibat yang timbul dari

perbuatan, rela mengabdi, dan rela berkorban untuk kepentingan pihak lain.44

Tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi

apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum,

tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa

yang telah diwajibkan kepadanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)).45

Tanggungjawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan

yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggungjawab juga berarti berbuat

sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Prinsip tanggungjawab

44
Khaerul Tanjung, “Pelaku Usaha dan Tanggung Jawab”,
http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/pelaku-usaha-dan-tanggung-jawab. Diakses pada tanggal 05
Mei 2020, Pukul 15.21 WIB.
45
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 49.

26
27

merupakan perihal yang sangat penting di dalam hukum perlindungan konsumen.

Dalam kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam

menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggungjawab

dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.46

Dalam Islam, tanggungjawab dikenal dengan istilah Mas’uliyah. Mas’uliyyah

atau Accountability ialah prinsip yang menuntut seorang pekerja supaya senantiasa

berwaspada dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan atau dibelanjakan karena

mereka akan di periksa dan dipersoalkan bukan sekadar di dunia malah di hari

pembalasan. Tanggungjawab meliputi beberapa aspek, yakni : tanggungjawab antara

individu dengan individu (mas’uliyyah alafrad), tanggungjawab dengan masyarakat

(mas’uliyyah al-mujtama’) serta tanggungjawab pemerintah (mas’uliyyah al-daulah)

tanggungjawab ini berkaitan dengan baitul mal.47

Hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan

seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam

melakukan suatu perbuatan.48 Selanjutnya menurut Titik Triwulan

pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya

hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang

melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.49

46
Shidarta (1), Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 59.
47
Abd. Shomad, Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 78.
48
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 27.
49
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2010, hlm. 48.
28

Pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko.

Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability

without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal

(lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung

jawab mutlak (strick liabiliy) (berdasarkan Hukum Perdata). Prinsip dasar

pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus

bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain.

Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak

diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung jawab sebagai

risiko usahanya.50

Secara umum, prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai

berikut :51

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability based on

fault)

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum perdata

khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Secara umum, asas tanggung

jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk

mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang

yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.52

50
Ibid. hlm. 49.
51
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan konsumen, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.
92.
52
Ibid, hlm. 93.
29

Perkara yang perlu dijelaskan dalam prinsip ini adalah defenisi tentang

subjek pelaku kesalahan yang dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious

liability dan corporate liability. Vicarious liability mengandung pengertian,

majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang

atau karyawan yang dibawah pengawasannya. Corporate liability memiliki

pengertian yang sama dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga

yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap

tenaga yang diperkerjakannya.53

Mengenai persoalan pertanggung jawaban pejabat menurut Kranenburg

dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:54

a. Teori fautes de personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya

itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab

ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang

bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada

jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula

apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau

53
Ibid, hlm. 94.
54
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 365.
30

kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumtion of liability)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada

si tergugat.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip

tanggung jawab absolut. Ada yang mengatakan tanggung jawab mutlak adalah

prinsip yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.

Sebaliknya tanggung jawab absolut adalah tanggung jawab tanpa kesalahan dan

tidak ada pengecualiannya.55 Asas tanggung jawab mutlak merupakan salah satu

jenis pertanggungjawaban Perdata (Civil Liability).56 Tanggung jawab perdata

merupakan suatu instrumen hukum perdata dalam konteks penegakan hukum

untuk mendapatkan ganti kerugian pada kasus tersebut.

Abdulkadir Muhammad mengatakan, teori tanggung jawab dalam

perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :57

1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan

sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan


55
Ibid, hlm. 96.
56
Salim H.S (1), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 45.
57
Abdulkadir Muhammad (2), Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010,
hlm.
503.
31

sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa

yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena

kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan

(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah

bercampur baur (interminglend).

3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat

perbuatannya.

PPAT bertugas untuk memberikan kepastian hukum terkait dengan

kewenangannya sebagai pembuat akta autentik. Di dalam tugasnya mengandung 2

fungsi pokok PPAT, yaitu pertama PPAT bertanggung jawab terhadap kepastian

hukum terhadap sahnya suatu pengikatan hukum, yang kedua PPAT memiliki

kewenangan secara atribusi dalam menciptakan kepastian dan perlindungan hukum

pada semua pihak. Secara etimologi kata “tanggung jawab” berasal dari bahasa

Inggris yaitu “Responsibility” yang artinya ialah tanggung jawab, bertanggung jawab

atau yang memiliki tanggung jawab.58 Tanggung jawab ialah kewajiban atas segala

hal yang terjadi dan untuk memberi pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan.59
58
John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian
Dictionary)”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 481.
59
F. Sugeng Istanto, “Hukum Internasional”, UAY Press, Jogjakarta, 1994, hlm. 77.
32

Tanggung jawab PPAT merupakan tanggung jawab profesi maka dari itu

tanggung jawab PPAT merupakan tanggung jawab kepada diri sendiri teradap

profesinya, yaitu Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap

orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian

sebagai manusaia pribadi. Dengan demikian bisa memecahkan masalah-masalah

kemanusiaan mengenai dirinya sendri. Menurut sifat dasarnya anusia adalah makhluk

bermoral, tetapi manusia juga seorang pribadi. Karena merupakan seorang pribadi

maka manusia mepunyai pendapat sendiri, perasan sendiri, angan-angan sendiri.

Sebagai perwujudan dari pendapat, perasaan,dan angan-angan itu manusia berbuat

dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan kekeliruan, baik yang

disengaja maupun tidak.60 Profesi pada umumnya, paling tidak ada dua prinsip yang

wajib ditegakkan yaitu:

1. Prinsip agar menjalankan profesinya secara bertanggung jawab;

2. dan Hormat terhadap hak-hak orang lain.

B. Tinjauan Umum Mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah

1. Dasar Hukum dan Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengalami

perubahan sehingga menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 dan

60
http://myblogalwafi.blogspot.com/2015/06/kode-etik-tanggung-jawab-profesi.html, diakses pada
tanggal 30 Oktober 2020.
33

sebagai ketentuan pelaksanaannya terdapat dalam Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat

Akta Tanah.

Budi Harsono mengatakan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 Pasal 1 angka 1 disebutkan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai hak atas tanah atau hak

milik atas satuan rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan

Hak Tanggungan. Pejabat umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang

berwenang dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan

tertentu.61

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa:

“PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat

akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas

Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”

61
Boedi Harsono (2), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan Kesembilan, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 72.
34

Hak atas tanah merupakan wewenang yang diberikan kepada pemegangnya

untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang menjadi

haknya. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah

diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian

pula tubuh bumi dan air serta ruang diatasnya sekedar diperlukan untuk

kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam

batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.62

Hak milik atas satuan rumah susun bukan merupakan hak atas tanah tetapi

berkaitan dengan tanah. Hak milik atas satuan rumah susun terdapat

pengaturannya dalam perundangan tentang rumah susun. Rumah susun adalah

bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi

dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal

dan vertikal merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan

digunakan secara terpisah, terutama demikian UURS untuk tempat yang

dilengkapi dengan apa yang disebut “bagian-bersama”, “tanah-bersama” dan

“benda-bersama”. Bagian-bagian yang dapat dimiliki dan digunakan secara

terpisah tersebut diberi sebutan Satuan Rumah Susun (SRS) yang harus

mempunyai sarana penghubung ke jalan umum tanpa menggangu dan tidak boleh

melalui Satuan Rumah Susun (SRS) yang lain.63

62
Jayadi Setiabudi, Pedoman Pengurusan Surat Tanah & Rumah Beserta Perizinannya, Penerbit Buku
Pintar, Yogyakarta, 2015, hlm, 19.
63
Boedi Harsomo (2), Op Cit, hlm. 348.
35

2. Tugas Pokok Dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Tugas Pokok Dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 4, yang isinya:

Pasal 2

(1)PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah

dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2)Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut :

a. jual beli;

b. tukar menukar;

c. hibah;

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e. pembagian hak bersama;

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

g. pemberian Hak Tanggungan;

h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Pasal 3
36

(1)Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai

semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)

mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang

terletak di dalam daerah kerjanya.

(2)PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan

hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.

Pasal 4

(1)PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya;

(2)Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta

pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah

kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya

meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya

menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta.

Dalam pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan sebagaimana dalam UUPA,

serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sangat penting. Oleh karena

itu, mereka dianggap telah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan
37

pendaftaran hak atas tanah dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya berkaitan

tentang pendaftaran tanah.64

Selain itu, pada Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa:

“PPAT harus membuat satu buku daftar untuk semua akta yang telah
dibuatnya. Diisi setiap hari kerja dan ditutup setiap akhir hari kerja
dengan paraf PPAT yang bersangkutan. PPAT mengirimkan laporan
bulanan mengenai akta tersebut dengan mengambil dari buku daftar akta
PPAT untuk dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan berlaku
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.”
PPAT dapat pula membuat akta pemberian kuasa membebankan Hak

Tanggungan dan sebagai catatan Notaris juga berhak untuk membuat akta

pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan tersebut dengan formulir yang

sudah di bakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional. Namun harus diperiksa

dengan seksama bahwa pajak balik nama dan bea perolehan hak telah dibayarkan

oleh yang bersangkutan sebelum PPAT membuat akta PPAT-nya.65

Boedi Harsono mengatakan, hakekat jabatan PPAT adalah sebagai

berikut:66

a. PPAT adalah pejabat umum yang diberi tugas dan wewenang khusus

memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pembuatan akta yang

membuktjkan, bahwa telah dilakukan dihadapannya perbuatan hukum

64
Yanly Gandawidjaja, Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara Dalam
Proses Pendaftaran Tanah, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002, hlm. 5.
65
Didik Ariyanto, Pelaksanaan Fungsi Dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sementara Di Kabupatn Gobrongan, Tesis PPS Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 30.
66
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 485.
38

pemindahan hak atas tanah, Hak Milik atas Satuan Rumah Susua atau

pemberian Hak Tanggungan atas tanah;

b. Akta yang dibuatnya adalah akta otentik, yang hanya dialah yang berhak

membuatnya;

c. PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara, karena tugasnya di bidang

penyelenggaraan pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan di bidang

Eksekutif / Tata Usaha Negara.

d. Akta PPAT bukan surat keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, karena akta

adalah relaas, yaitu laporan tertulis dai pembuat akta berupa pemyataan

mengenai telah dilakukannya oleh pihak-pihak tertentu suatu perbuatan

hukum di hadapannya pada suatu waktu yang disebut dalam akta yang

bersangkutan;

e. Yang merupakan keputusan PPAT sebagai Pejabat Tata Usaha Negara

adalah keputusan menolak atau mengabulkan permohonan pihak-pihak yang

datang kepadanya untuk dibuatkan akta mengenai perbuatan hukum yang

mereka akan lakukan di hadapannya. Memberi keputusan menolak atau

mengabulkan permohonan tersebut merupakan kewajiban PPAT. Dalam hal

syaratnya dipenuhi wajib ia mengabulkan, sebaliknya dalam hal ada syarat

yang tidak dipenuhi ia wajib menolaknya.


39

C. Pengertian Akta, Pembuatan dan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT)

1. Pengertian Akta secara umum dan Pengertian Akta PPAT

Tugas pokok Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah melaksanakan sebagian

kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan

rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Akta yang dibuat

oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu :67

a. Akta PPAT sebagai bukti telah diadakan perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun;

b. Akta PPAT akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah

kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang

dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran

seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Bukti berupa tulisan dibedakan

menjadi 2 (dua) macam, yaitu:68

a. Akta

67
Urip Santoso, Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perspektif Regulasi, Wewenang, dan Sifat Akta),
Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 126.
68
Ibid, hlm. 129
40

Alat bukti yang berupa akta menurut sifatnya dibagi menjadi 2 (dua),

yaitu:

1) Akta autentik

2) Akta dibawah tangan

b. Surat (tulisan biasa)

Yang dimaksud dengan surat (tulisan biasa) adalah surat atau tulisan

yang dibuat oleh seseorang atau dua orang yang pada waktu dibuat tidak

dimaksudkan untuk dijadikan bukti tentang suatu perbuatan hukum atau

peristiwa hukum, tetapi sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai

pembuktian.

Mengenai pengertian akta, dalam hukum Romawi akta disebut sebagai

gesta atau instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau akta

publica. Akta-akta tersebut dibuat oleh seorang pejabat publik (publicae personae).

Dari berbagai kata tersebut di atas kemudian muncul kata-kata publicare dan

insinuari, actis inseri, yang artinya mendaftarkan secara publik.69

A.Pitlo mengatakan, akta itu sebagai surat-surat yang ditandatangani,

dibuat untuk dipakai sebagai bukti, dan dipergunakan oleh orang, untuk keperluan

siapa surat itu dibuat. Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat

yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar

69
Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm. 252.
41

dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian.70

Akta autentik, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan authentic deed,

sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan authentic akte van, diatur di

dalam Pasal 1868 KUHPerdata dan berbagai peraturan perundang-undangan

lainnya. Secara konseptual, pengertian akta autentik tercantum dalam berbagai

peraturan perundang-undangan dan yang tercantum dalam kamus baik kamus

hukum maupun kamus bahasa Indonesia. Pengertian akta autentik disajikan

sebagai berikut ini: 71

a. Pasal 1868 KUH Perdata

Pengertian akta autentik tercantum di dalam Pasal 1868 KUH Perdata.

Akta autentik adalah : “suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan

undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu

di tempat akta itu dibuat”.

b. Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris tidak ditemukan pegertian akta autentik, namun yang ada,

70
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 1.
71
Salim H.S (2), Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2016, hlm. 17.
42

yaitu pengertian akta notaris. Akta notaris yang selanjutnya disebut dengan

akta adalah:

“Akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk

dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

c. The Law Commision

Pengertian akta autentik dapat dikaji dan dianalisa dalam aturan The

Law Commision. Terminologi yang digunakan dalam The Law Commision

yaitu deed. A deed may be definded as: “A written instrument which is

executed with the necessary formality, and by which an interest, right, or

property passes or is confirmed, or an obligation bining on some person is

created of confirmed”.72

Akta dikonstruksikan sebagai:

1) Instrument tertulis;

2) Dibuat sesuai dengan formalitas yang telah ditentukan;

3) Substansinya memuat tentang:

a) Kepentingan para pihak;

b) Hak;

c) Property; atau

d) Kewajiban yang mengikat dari beberapa orang atau lebih.


72
The Law Commision, tanpa tahun, The Executive of Deeds and Documents by or on Behalf of Bodies
Corporate, hlm. 7, Akses tanggal 7 Mei 2020.
43

d. Black’s Law Dictionary

Pengertian akta autentik juga tercantum di dalam Black’s Law

Dictionary. Akta autentik atau acte authentique adalah:73

“A deed executed with certain prescribed formalities, in the presence

of notary, mayor, greffer, or functionary qualified to act in the place in

the witch it is drawn up”.

Artinya, yaitu sebuah akta notaris yang dibuat dengan formalitas yang

telah ditentukan, dihadapan notaris, walikota, panitera, atau pejabat yang

memenuhi syarat untuk itu dan bertindak di tempat di mana akta itu dibuat.

e. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Akta autentik merupakan : 74

“akta yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang

berwenang membuat akta di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang”.

f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 101 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga

jenis ialah :

1) akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang

pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan

73
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., Amerika, 1979, hlm. 24.
74
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hlm. 17.
44

berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan

sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang

tercantum di dalamnya;

2) akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergu-nakan

sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang

tercantum di dalamnya;

3) Surat-surat lainnya yang bukan akta.

Pengertian Akta PPAT tercantum dalam Penjelasan Pasal 45 ayat (1) PP

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. Akta PPAT merupakan alat

membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, apabila

perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersnagkutan tidak

berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut. Dalam pada itu apabila

suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan,

sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantir pertanahan, maka

pendaftaran tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut

pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya

putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.

Selain itu dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24

Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akta PPAT adalah akta
45

yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.75

Menurut Salim HS, pengertian akta PPAT perlu disempurnakan karena

tidak disajikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan klausula-klausula atau

aturan yang memuat dalam akta itu. Akta PPAT merupakan surat tanda bukti, yang

dibuat di muka dan di hadapan PPAT, yang memuat tentang klausula-klausula atau

aturan-aturan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak di mana pihak

yang pertama berkewajiban untuk menyerahkan hak atas tanah dan/atau hak milik

atas satuan rumah susun, dna pihak kedua berkewajiban untuk menyerahkan uang

atau menerima hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun.76

Secara yuridis, bentuk akta PPAT sendiri telah ditentukan dalam Pasal 38

ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa : “Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta

PPAT diatur oleh Menteri”.

Ada tiga hal yang dimuat dalam pasal 38 ayat (2), yang meliputi:

1) Bentuk akta PPAT;

2) Isi akta PPAT; dan

3) Cara pembuatan akta PPAT.

75
Penjelasan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
76
Salim HS, Op Cit, hlm. 70.
46

Bentuk akta PPAT, terdiri atas:77

1) Akta jual beli;

2) Akta Tukar menukar;

3) Akta Hibah;

4) Akta Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5) Akta Pembagian hak bersama;

6) Akta Pemberian Hak tanggungan

7) Akta Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;

8) Surat kuasa membebankan hak tanggungan.

Selain akta-akta sebagaimana pada ayat (1), Pejabat Pembuat Akta Tanah

juga membuat Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan yang merupakan akta

pemberian kuasa yang digunakan dalam pembuatan akta Pemberian Hak

Tanggungan.78

Bentuk akta PPAT ditentukan oleh Menteri. Bentuk itu, meliputi:79

1) Bagian sampul;

2) Judul;

3) Pembukaan;

77
Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pearturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
78
Pasal 95 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
79
Lampiran Peraturan Kepala Badan pertanahan nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang perubahan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah.
47

4) Komparisi;

5) Substansi;

6) Syarat-syarat;

7) Penutup; dan

8) Tanda tangan

Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai 2 (dua)

fungsi, yaitu :80

a. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai bukti telah diadakan perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah

susun;

b. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah akan dijadikan dasar bagi pendaftaran

perubahan data pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

2. Pembuatan Akta

Notaris/PPAT mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat

dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti

ini, notaris/PPAT harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang

diperlihatkan kepada notaris/PPAT, meneliti semua bukti yang diperlihatkan

kepadanya, mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak. Keputusan

tersebut harus didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para

80
Urip Santoso, Op Cit, hlm. 130.
48

pihak. Pertimbangan tersebut harus memperhatikan semua aspek hukum termasuk

masalah hukum yang akan timbul dikemudian hari. Selain itu setiap akta yang

dibuat dihadapan atau oleh notaris/PPAT harus mempunyai alasan dan fakta yang

mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada pertimbangan hukum yang

harus dijelaskan kepada para pihak/penghadap.81

Suatu akta dapat dikatakan autentik apabila sudah memenuhi syarat-syarat

akta autentik. Syarat-syarat akta autentik yaitu berkaitan dengan hal-hal yang

harus ada supaya suatu akta disebut akta autentik. Pendapat Philipus M. Hadjon,

bahwa syarat akta otentik, yaitu:82

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku),

b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.

Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia

agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:83

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum;

c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

Menurut CA. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:84

81
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas,
Cetakan ke-I, Jakarta, 2003, hlm. 87.
82
Philipus M, Hadjon, "Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31 Januari
2001, hlm.3.
83
Irawan Soerodjo, Op Cit, hlm. 148.
84
CA.Kraan, De Authentieke Akte Gouda, Quint BV, Arnhem, 1984, hlm. 143.
49

a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan

dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang.Tulisan tersebut

turutditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang

bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat

yang berwenang.

c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut

mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-

ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan

kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat

diketahui mengenai hal-hal tersebut).

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh Negara dan mempunyai sifat dan

pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence) serta tidak memihak

(onpartijdigheid-impartiality) dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah

hubungan hukum didalam bidang hukum privat.

Dalam Pelaksanaan Jabatan PPAT Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menjelaskan :

1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.


50

2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada

permulaan tahun takwim.

3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar yaitu:

i. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang

bersangkutan, dan

ii. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya

hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi

obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor

Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut

mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan

kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat

diberikan salinannya.

Dalam hal pembuatan akta PPAT, tahap-tahap yang harus dilakukan oleh

PPAT adalah:

a. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau

pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,

PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor

Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang

ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli


51

(Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

b. Sebelum pembuatan akta peralihan hak PPAT harus memastikan telah

dibayarkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) Pasal 24 ayat (1)

UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Pajak Penghasilan dari

pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (Pasal 39 ayat (1) huruf g

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

c. Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan (Pasal 96

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

d. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut

harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat (Pasal 98 ayat (2) Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

e. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima

hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:

1) bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak

menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum


52

penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

2) bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak

menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3) bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan

sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah

kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;

4) bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat

hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b

tidak benar. PPAT wajib menjelaskan kepada calon penerima hak

maksud dan isi pernyataan sebagaimana dimaksud di atas.

f. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan

perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya

dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (Pasal 101 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah).

g. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua

orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang

berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu


53

perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran

para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang

ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan

hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan (Pasal 101 ayat (2)

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).

h. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan

memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan

prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan

yang berlaku (Pasal 101 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah).

i. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan

dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum

ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksisaksi dan PPAT

(Pasal 22 Peraturan Pemerinta Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah).

j. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya

akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang


54

dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada

Kantor Pertanahan untuk didaftar. PPAT wajib menyampaikan

pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana

dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan (Pasal 40 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Suatu akta dapat dikatakan sah jika memenuhi syarat pada Pasal 1320

KUHPerdata yang mengandung empat syarat yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;

3. Suatu hal tertentu ;

4. Suatu sebab yang halal ;

Apabila keempat syarat perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata

tersebutb telah terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat secara sah akan

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal tersebut

ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa,

semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya (asas pacta sunservanda). Pasal 1338 KUHPerdata ini,

maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa

saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini

dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang


55

berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka

yang membuatnya sebagai undang-undang.

Selain hal-hal tersebut di atas, dalam pembuatan akta, PPAT juga harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari

identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak.

b. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena

jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara)

c. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani

(konsekuensi dari UUPA yang berdasarkan kepada Hukum Adat).

d. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

e. Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang

bersangkutan (Terkait dengan kewenangan PPAT dalam hal pembuatan

akta).

Konsekuensi hukum dari tidak dipenuhi Unsur, Bentuk dan Isian akta

PPAT adalah tidak sahnya akta tersebut dan Kantor Pertanahan setempat akan

menolak pendaftaran terhadap akta yang dibuatnya. Pada dasarnya, PPAT

diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk menyiapkan blanko PPAT, namun

PPAT tidak dapat secara bebas mengembangkan substansi yang tercantum dalam

blanko sesuai dengan kemampuan dan wawasan dari PPAT. Hal ini, disebabkan

substansi yang tercantum dalam blanko akta PPAT sudah distandarisasi oleh
56

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan nasional.

Sehingga apabila PPAT membuat akta PPAT yang diminta oleh para pihak, tidak

sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang diatur dalam PERKABAN

Nomor 8 Tahun 2012, maka Kantor Pertanahan setempat akan menolak

pendaftaran terhadap akta yang dibuatnya.

3. Pembacaan Akta

Salah satu Pelaksanaan Jabatan PPAT yaitu kewajiban untuk membacakan

dan menjelaskan isi akta adalah untuk memastikan bahwa para penghadap telah

sepenuhnya memahami apa yang tertuang di dalam akta. Menurut R. Soegondo

Notodisoerjo, pembacaan ini harus dilakukan dengan jelas sehingga dapat

ditangkap oleh para penghadap dan saksi-saksi.85 Tujuan pembacaan akta tersebut

dikatakan oleh J. C. H. Melis sebagaimana dikutip oleh Tan Thong Kie adalah

untuk: 1) jaminan kepada para penghadap bahwa apa yang mereka tanda tangani

adalah sama dengan apa yang mereka dengar dari pembacaan itu; dan 2) kepastian

bagi para penghadap bahwa apa yang ditulis dalam akta adalah benar kehendak

dari penghadap. Tan Thong Kie selanjutnya juga menyimpulkan 3 manfaat

pembacaan akta, yaitu: 1) Pada saat detik-detik terakhir dalam proses meresmikan

(verlijden) akta, pejabat yang berwenang membuat akta masih diberi kesempatan
85
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris Di Indonesia: Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta,
1982, hlm. 164.
57

memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam penulisan yang sebelumnya tidak

terlihat; 2) Para penghadap diberikan kesempatan untuk bertanya apa yang kurang

jelas bagi mereka sebelum akta tersebut ditandatangani; 3) Untuk memberi

kesempatan pada pejabat yang berwenang membuat akta dan para penghadap

dalam detik-detik terakhir mengadakan pemikiran ulang, bertanya dan jika perlu

mengubah bunyi akta.86

Pembacaan Akta Sendiri diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang

menjelaskan bahwa, Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para

pihak dengan dihadiri oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum

ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Yang

dalam penjelasannya yaitu Untuk pemenuhan sifat otentik dari akta, pembacaan

akta dilakukan sendiri oleh PPAT, Penandatanganan para pihak, saksi dan oleh

PPAT, dilakukan segera setelah pembacaan akta dimaksud.

Salah satu pelanggaran berat apabila PPAT tidak membacakan aktanya

dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan

perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya, 87 hal tersebut dapat menyebabkan

86
Tan Thong Kie, Studi Notariat Dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtisar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2007, hlm. 505.
87
Pasal 28 angka 4 huruf i Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat
Akta Tanah
58

diberhentikannya PPAT secara tidak hormat.88 Tujuan pembacaan akta adalah agar

para pihak mengetahui mengenai objek-objek yang akan diperjanjikan di

dalamnya, dan juga agar para pihak menyetujuinya, karena dalam membuat akta,

haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang tercantum di dalam Pasal

1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu adanya salah satu unsur

kesepakatan dan juga kejelasan mengenai objek yang diperjanjikan. Pembacaan

akta sebagaimana dimaksud pada huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap

menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri,

mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut

dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman salinan akta diparaf oleh

penghadap, saksi, dan PPAT.

88
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 10
ayat (3) huruf a, PPAT diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, karena: a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT, yang
dalam penjelasannya PPAT tidak membacakan akta yang dibuatnya di hadapan para pihak;
59

D. Asas Kepastian Hukum

Prinsip negara hukum adalah untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan

perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban

dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam

kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas

hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat. 89 Konsep

Kepastian Hukum menurut pendapat Soehino mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu

pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan

apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh negara terhadap individu.90

Asas adalah suatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Asas juga

dapat berarti hukum dasar. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam

istilah umum tanpa mensyaratkan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang

diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi

perbuatan itu. Asas hukum umum adalah norma dasar yang di jabarkan dari hukum

positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang

lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu

masyarakat. Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit,

89
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.
29.
90
Peter Mahmud Marzuki (2), Op Cit, hlm. 137.
60

akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi

hukum yang berlaku.91

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian

tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia

menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan

hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan

bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu

hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.92

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan

apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat

umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan

oleh Negara terhadap individu.93

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang

didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung


91
Tata Wijayanta, Loc Cit.
92
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah
Hukum, Jakarta, 2009, hlm. 385.
93
Riduan Syahrani (2), Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm. 23.
61

melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut

pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,

tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat

suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum

membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau

kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.94

Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan.

Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagi

peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum

merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan

dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi

keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati.

Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan

dan kebahagiaan.95

Bachsan Mustafa mengungkapkan, bahwa kepastian hukum itu mempunyai

tiga arti, yaitu:96

“Pertama pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah


pemeritahan tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai kedudukan
hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan-
94
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko Gunung
Agung, Jakarta, 2002, hlm. 83.
95
Ibid, hlm. 95.
96
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
2001, hlm. 53.
62

peraturan hukum administrasi Negara. Ketiga, mencegah kemungkinan


timbulnya perbuatan sewenang-wenang (eigenrechting) dari pihak maupun,
juga tindakan dari pihak pemerintah.”

Kepastian hukum juga merupahan hal yang sangat penting dalam hukum.

Setelah keadilan hukum tercapai maka hal yang selanjutnya harus terpenuhi adalah

kepastian hukum. Tanpa adanya kepastian hukum masyarakat tidak pernah mengerti

apakah perbuatan yang akan masyarakat perbuat benar atau salah dan tanpa adanya

suatu kepastian hukum akan menimbulkan berbagai permasalahan yaitu timbulnya

suatu keresahan dalam masyarakat. Dengan adanya suatu kepastian hukum maka

masyarakat memperoleh perlindungan dari tindakan yang sewenang-wenang dari

berbagai aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yang ada dalam

masyarakat. Kepastian hukum menjadi tolak ukur dalam kejelasan hak dan kewajiban

mereka di dalam suatu hukum. Kepastian hukum harus dapat mengedepankan

pembuktian sehingga hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan.97

Konsep kepastian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa kepastian

hukum mengandung dua pengertian, yaitu yang pertama, adanya aturan yang bersifat

umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh

dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh dibedakan atau dilakukan oleh Negara terhadap

individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-Undang,

97
Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Mmasyarakat”, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Volume 25, Nomor 3, Juli 2007, hlm. 271.
63

melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan satu dengan

putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.98

Konsep kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah

satu syarat yang harus dipenuhi dengan penegak hukum. Sudikno Mertokusumo

mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh

sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.99

Konsep kepastian hukum sebagaimana dikemukakna oleh Soerjono Soekanto

yaitu dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu keadilan

akan dapat dicapai. Fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara

atau masyarakat dengan warganya, dan hubungan antara sesama warga masyarakat

tersebut, agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini

mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya

ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan

diciptakannya peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku umum. Agar tercipta

suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka kaidah dimaksud harus

ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.100

Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum yang telah dikemukakan dalam

poin sebelumnya, maka kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya
98
Peter Mahmud Marzuki (2), Op Cit, hlm. 158.
99
Sudikno Mertokusumo (3), Mengenal hukum, Sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.
145.
100
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, 1999, hlm. 15.
64

kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat

dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung

keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum.

Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi

sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang

mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan

kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban

setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.101

PPAT bertugas melakukan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan

membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai

hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan

hukum. Perbuatan hukum yang dituangkan oleh PPAT haruslah sesuai dengan

kewenangan dan kewajiban yang mengaturnya sehingga tidak menimbulkan masalah

atau cacat pada produk yang dibuat oleh PPAT itu sendiri dan menciptakan suatu

kepastian hukum bagi masyarakat.

E. Asas Perlindungan Hukum

Peralihan hak atas tanah tentu tidak selamanya dapat berjalan dengan lancar,

ada kalanya timbul hal-hal yang sebenarnya di luar dugaan, dan biasanya persoalan

ini timbul dikemudian hari. Semampu apapun dalam membuat perjanjian tidak dapat
101
Lon L. Fuller, Morality of Law New Haven and London, Yale University Press, 1964, hlm. 39.
65

dipungkiri adanya celah-celah kelemahan yang suatu hari jika terjadi sengketa

menjadi celah-celah untuk dijadikan alasan-alasan dan pembelaan diri dan pihak yang

akan membatalkan, bahkan mencari keuntungan sendiri dari perjanjian tersebut.

Perlindungan hukum bagi korban kasus-kasus pertanahan akibat

penyalahgunaan kekuasaan dapat dilakukan secara civil liability

(pertanggungjawaban perdata), kepada pihak yang dirugikan (korban) untuk

menuntut agar yang menjadi haknya dapat dibayar kembali. Di samping itu juga

dapat dilakukan perlindungan hukum secara criminal liability (pertanggungjawaban

pidana). Pertanggungjawaban ini dapat dilakukan dengan menerapkan penal

(hukuman) dan non-penal (tidak dengan hukuman), misalnya dengan menerapkan

pasal 14c Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu dengan sistem pembayaran

bersyarat dalam pidana ganti rugi tanah.102

Suatu perlindungan hukum hendaknya didapat oleh semua subjek hukum

tanpa perbedaan apapun. Sebagaimana tertuang pada salah satu pasal dalam Undang-

Undang Dasar 1945 yakni Pasal 27 ayat (1) yang menyetakan: ”Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum”.103

102
Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Margaretha Pustaka, Jakarta Selatan,
2015, hlm. 14.
103
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28D Ayat (1).
66

Teori yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo ini dapat diartikan pula

bahwa perlindungan hukum adalah suatu hal yang bersifat melindungi subjek hukum

dari hal-hal merugikan yang dilakukan oleh subjek hukum lainnya.

“Menurut Satjipto Raharjo,”Hukum melindungi kepentingan seseorang


mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut.” Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya.” “Kekuasaan
yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan
dalam masyarakat biasa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan
tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang”.104
Pengertian perlindungan hukum lainnya adalah suatu perlindungan yang

diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat

preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,

yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,

kemanfaatan dan kedamaian.105 Suatu pebentukan peratura perundang-undangan

merupakan wujud Perlindungan secara preventif, karena mencegah terjadinya

sengketa. Analisis peneliti untuk perlindungan preventif yang pertama, yakni, terkait

jual beli tanah dibawah tangan tanpa dihadiri oleh saksi adalah dengan melakukan

pendaftaran tanah. Pengertian dari pendaftaran tanah disebutkan secara implisit dalam

Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran

tanah yakni:106

104
Sajipto Raharjo, Op Cit, hlm. 53.
105
Definisi Perlindungan Hukum, http://prasxo.wordpress.com/2011/02/17/definisi-perlindungan-
hukum/, diakses pada tanggal 30 Oktober 2020.
106
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka (1).
67

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Pendaftaran tanah bertujuan:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, suatu rumah susun dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan;

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah

dan satuansatuan rumah susun yang sudah terdaftar;

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Mengingat pendaftaran hak atas tanah, bertujuan untuk memberikan kepastian

hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak, maka dalam setiap peralihan

hak atas tanah para pihak haruslah mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan

hukum.
BAB III

Pelaksanaan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Contoh

Kasus Tidak di Lakukannya Pembacaan Akta Peralihan Hak Atas Tanah oleh

Pejabat Pembuat Akta Tanah

A. Pelaksanaan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya

disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-

akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pejabat umum merupakan seseorang yang diangkat

oleh instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang

atau kegiatan tertentu.107

Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang

kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan tanah dan

benda-benda di atasnya dilakukan dengan akta PPAT. Pengalihan tanah dari pemilik

kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu

penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan

107
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 486.

68
69

syarat; dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan; menggunakan dokumen;

dibuat di hadapan PPAT.108

Tugas dan tanggung jawab PPAT tidak hanya sekedar mengisi formulir akta,

membacakan akta, menandatangani dan membubuhkan cap pada akta, tetapi PPAT

juga dituntut untuk dapat menjamin bahwa akta yang dikeluarkannya sudah sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku. Akta-akta yang dibuat oleh PPAT merupakan

akta otentik dan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam lalu

lintas hukum, baik hukum privat maupun hukum publik. Akta otentik memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak terkait untuk dipergunakan sebagai alat

bukti tertulis, terkuat dan terpenuh. Fungsi dari Akta PPAT adalah sebagai suatu alat

bukti telah dilaksanakanya suatu perbuatan hukum tertentu berkaitan dengan tanah

dan akan dijadikan sebagai daftar pendaftaran atas perubahan data yang diakibatkan

oleh perbuatan tersebut, dan juga akta PPAT merupakan dasar yang kuat untuk

pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Karena dalam

membuat akta, PPAT yang merupakan pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta tanah harus memiliki kecakapan, ketelitian, serta kemampuan dalam

bidang hukum tanah agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan

di kemudian hari bagi para pihak yang bersangkutan, karena kekeliruan atas akta

PPAT dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang

atas suatu kewajiban.109


108
Abdul Kadir Muhammad (1), Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994, hlm. 56.
109
Salim HS, Op Cit, hlm. 75.
70

PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai

pertanahan tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus di bidang

pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan

dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti

telah terjadinya perbuatan hukum pengalihan hak maupun pembatalan hak atas tanah.

Demikian bentuk upaya pemerintah menertibkan administrasi tentang

pendaftaran tanah baik melalui perundang-undangan maupun peraturan pemerintah

sebagai pelaksanaannya namun upaya tersebutpun masih belum sempurna bila dilihat

dari rangkaian-rangkaian pendaftaran tanah. Akta PPAT yang merupakan akta otentik

mempunyai kekuatan mutlak mengenai hal-hal atau peristiwa yang disebut dalam

akta, maka yang dibuktikan adalah peristiwanya.110

Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban,

menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat menghindari

terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses

penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat

dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan

cepat. Pejabat Pembuat Akta Tanah (yang selanjutnya disingkat PPAT) adalah

Pejabat Umum Yang Berwenang antuk membuat Akta Otentik sejauh pembuatan

Akta Otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.111

110
Adrian Sutedi (2), Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 127.
111
Triyono, Op Cit, hlm. 168.
71

Pembuatan Akta Otentik ada yang diharuskan oleh Peraturan Perundang-

Undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum.

Selain akta otentik yang dibuat oleh PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang

berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,

ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi

masyarakat secara keseluruhan.112

Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan

hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti

dengan setepat-tepatnya tanpa boleh di simpangi sedikitpun. Penyimpangan dari

tatacara dan prosedur pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada

kekuatan pembuktian akta itu. Keberadaan suatu akta otentik dan pejabat umum di

Indonesia diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

berbunyi: “akta otentik adalah akta yang didalam bentuknya ditentukan oleh Undang-

Undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu

ditempat dimana akta itu di buatnya.” Pasal tersebut menghendaki adanya Undang-

Undang organik yang mengatur tentang bentuk akta otentik dan pejabat umum.

Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah merumuskan “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat

umum yang berwenang membuat akta otentik…” kata-kata membuat diartikan dalam
112
Ibid.
72

pengertian luas (verlijden) yaitu memprodusir akta dalam bentuk yang ditentukan

oleh Undang-Undang termasuk mempersiapkan, menyusun dan membuat akta sesuai

dengan bentuk yang ditentukan.113

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa

yang diberitahukan kepada PPAT. Namun, PPAT mempunyai kewajiban untuk

memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah

dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara

membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses

terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang

terkait bagi para pihak yang menandatangani akta. Dengan demikian, para pihak

dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta

PPAT yang akan ditandatanganinya.114

Apabila terbit akta PPAT yang cacat hukum karena kesalahan PPAT kelalaian

maupun karena kesengajaan PPAT itu sendiri, maka PPAT itu harus memberikan

pertanggungjawaban baik secara moral maupun secara hukum. Penyebab

permasalahan bisa timbul secara langsung akibat kelalaian PPAT, juga bisa timbul

secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang lain. Apabila penyebab

permasalahan timbul karena kelalaian baik dilakukan secara sengaja maupun tidak

sengaja oleh PPAT, maka berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan

113
I Gusti Bagus Yoga Prawira, Tanggung Jawab Ppat Terhadap Akta Jual Beli Tanah, Jurnal IUS,
Volume 4, Nomor 1, April 2016, hlm, 67.
114
Ibid.
73

pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau dapat dibatalkan (vernietigbaar),

karena tidak terpenuhinya syarat subyektif yang bisa dijadikan alasan bagi pihak yang

dirugikan menuntut ganti rugi kepada pihak PPAT.115

Sesuai dengan tugas dan tanggung jawab PPAT dalam membuat akta otentik,

pembacaan akta dan kehadiran PPAT dalam pembuatan akta merupakan bagian

terpenting yang harus dilakukan. PPAT mempunyai kewajiban dan tanggung jawab

moral untuk memastikan bahwa para pihak telah sungguh mengerti mengenai apa

yang termuat dalam isi akta yang bersangkutan, yaitu dengan cara akta tersebut

dibacakan di depan para pihak dan saksi sehingga isi akta tersebut menjadi jelas, dan

dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau

tidak menyetujui isi akta yang akan ditandatanganinya.116

Pada Pasal 101 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, yang menegaskan bahwa :117

“Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang


saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan
hukum, yang memberikan kesaksian antara lain mengenai kehadiran para
pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam
pembuatan hukum tersebut oleh pihak yang bersangkutan.”
“PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan

memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur

115
Ibid, hlm. 68.
116
Arlene Agustina, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Penandatanganan
Akta Jual Beli Yang Didasari Atas Blangko Kosong (Contoh Kasus: Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1201/K/Pdt/2016), Jurnal Hukum Adigama, hlm. 3.
117
Budianto, Umar Ma’ruf, Op Cit, hlm. 695.
74

pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya dengan ketentuan yang

berlaku.”

Pembacaan akta oleh PPAT diatur juga dalam Pasal Nomor 24 Tahun 2016

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengatur bahwa Akta PPAT harus

dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para

pihak, saksi-saksi dan PPAT. Disamping itu Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJNP,

mengatur bahwa Notaris wajib membacakan Akta di hadapan penghadap dengan

dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, dan ditandatangani pada saat itu juga

oleh penghadap, saksi, dan Notaris, dan Ayat (7) mengatur bahwa Jika hal tersebut

tidak dipenuhi, maka Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Apabila terbukti para pihak dan saksi tidak

menghadap PPAT secara bersamaan, maka yang bertanggung jawab adalah PPAT

yang bersangkutan secara pribadi, sebagaimana tersebut dalam Pasal 55 Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 yang mengatur: PPAT

bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap

pembuatan akta. Berdasarkan Pasal 55 Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional

Nomor 1 Tahun 2006, PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan

tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta.


75

Selanjutnya, Notaris dan PPAT Liza Priandhini, S.H., M.Kn., memberikan

keterangan bahwa sebelum PPAT membuat akta, tahap pertama yang harus dilakukan

oleh PPAT adalah melakukan pengecekkan terhadap sertipikat, lalu membayar pajak,

membacakan, dan setelah itu barulah akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.118

Menurut Dr. Tjempaka, S.H., M.H., M.Kn. Notaris dan PPAT adalah jabatan

yang berbeda namun saling berkesinambungan. Notaris dan PPAT merupakan pihak

yang membantu penghadapnya untuk menuangkan kemauan dari para pihaknya di

dalam suatu akta, oleh karena itu akta tersebut harus dibacakan dihadapan para pihak

dan dua orang saksi sebelum ditandatangani, tujuannya agar memberikan

perlindungan bagi para pihak yang bersangkutan termasuk PPAT itu sendiri, sehingga

apabila ada kesalahan dalam isi akta tersebut, maka dapat diperbaiki sehingga apa

yang tercantum di dalam akta tersebut adalah benar-benar sesuai dengan kemauan

para pihak. Notaris dan PPAT memiliki kewajiban untuk membacakan aktanya

sebelum ditandatangani. Apabila notaris dan PPAT tidak membacakan aktanya, maka

ia akan dikenakan sanksi, dan akta tersebut akibatnya menjadi akta di bawah tangan

atau dapat juga menjadi batal demi hukum. Menurut beliau, tidak membacakan akta

merupakan pelanggaran administratif, dan bentuk sanksinya harus melalui jenjang-

jenjang yang urut, yaitu sanksi lisan, tertulis, diberhentikan sementara, diberhentikan

secara hormat, dan terakhir diberhentikan secara tidak hormat.119 Oleh karena itu

sebagai pejabat pertanahan, maka segala hal yang berkenaan dengan akta-akta

118
Arlene Agustina, Op Cit, hlm. 9.
119
Ibid, hlm. 9.
76

peralihan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, dan pengikatan tanah

sebagai jaminan hutang, merupakan tugas dan tanggung jawab PPAT serta harus

dibuat dihadapannya.120

B. Contoh Kasus Tidak di Lakukannya Pembacaan Akta Peralihan Hak Atas

Tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil contoh kasus berdasarkan

hasil wawancara dari beberapa Pejabat Pembuat Akta Tanah, dimana dari hasil

wawancara tersebut penulis mendapatkan informasi mengenai PPAT yang tidak

melakukan pembacaan akta kepada para pihak baik yang dilakukan rekan PPAT

maupun diantara PPAT yang penulis wawancara pernah tidak membacakan aktanya

kepada para pihak dan ada juga akta yang dibacakan oleh saksi yang merupakan

pegawai atau staff PPAT.

Pada poin sebelumnya telah dijeskan bahwa akta PPAT merupakan akta

otentik mengenai peralihan hak atas tanah yang dimana salah satu syarat akta tersebut

menjadi otentik yaitu Menurut Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah mengatur bahwa Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya

kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi

sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
120
J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius,
Yogyakarta, 2001, hlm. 69.
77

Tetapi dalam prakteknya masih ada PPAT yang mengabaikan mengenai pembacaan

akta dengan alasan tertentu yang diantaranya karena tidak dapat hadirnya salah satu

pihak atau karena PPAT ada kesibukan lain sedangkan para pihak ingin segera

dilaksanakannya akad peralihan hak atas tanah sehingga akta tidak dibacakan

dan/atau dibacakan oleh staff PPAT. Selain itu berdasarkan wawancara penulis

dengan PPAT ada juga yang beranggapan bahwa pembuktian terhadap akta yang

tidak dibacakan hanya terjadi apabila adanya sengketa dan selagi suatu peralihan hak

atas tanah dianggap aman-aman saja.

Dalam prakteknya penulis menemukan suatu kasus dimana PPAT tidak

membacakan aktanya yang ternyata ada perubahan atau ketidak sesuaian nilai

transaksi, yang ternyata seharusnya bernilai lebih tinggi dimana telah disampaikan

akan biaya pajak peralihan hak atas tanah kepada para pihak oleh PPAT baik itu

pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau

bangunan (PPhTB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

menjadi lebih ringan dan para pihak tidak mengetahui hal tersebut karena tidak

dibacakannya akta oleh PPAT tersebut. Bukan berarti dengan tidak dilakukannya

pembacaan akta oleh PPAT para pihak tidak menyadari, setelah diterimanya akta dari

PPAT para pihak mengetahui akan hal itu dari akta yang mereka baca sendiri tetapi

para pihak berpendapat bahwa yang terpenting peralihan itu telah terjadi dan

mengesampingkan pelanggaran yang dilakukan PPAT tersebut.


78

Pada kasus lainnya ada pihak yang terlalu percaya kepada PPAT dengan

alasan telah banyak pembuatan akta kepada PPAT tersebut sehingga mempercayakan

kepada PPAT tersebut untuk tidak dilakukannya pembacaan akta dan PPAT tersebut

tanpa memperhatikan aturan bahwa pembacaan akta adalah wajib PPAT tersebut

seakan dengan permintaan tidak perlu dilakukannya pembacaan tersebut seakan

pekerjaannya dipermudah oleh para pihak, dan biasanya penandatangananpun

dilakukan dengan cara diantar/dikirim kepada para pihak (tidak dilakukan dikantor).

Contoh kasus pada putusan Nomor 633/PDT/2019/PT BDG, Para Penggugat

dengan surat gugatan tertanggal 8 Januari 2019 yang diterima dan didaftarkan di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 9 Januari 2019 dalam

Register No. 8/Pdt.G/ecourt/2019/PN.Bdg., telah mengajukan gugatan bahwa

Perbuatan Tergugat II (PPAT) telah menerbitkan Akta Jual Beli Nomor : 436/2015,

tertanggal 12 Oktober 2015 dengan tidak melaksanakan ketentuan Peraturan

perundang-undangan, terdapat pada Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor : 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah berbunyi "Pembuatan

akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh para pihak yang

melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi

dalam perbuatan hukum itu" jo Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor : 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,

berbunyi "Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan di
79

hadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika

itu juga oleh para pihak, saksi-saksi, dan PPAT", sejatinya Tergugat II (PPAT) tidak

menerapkan prosedur hukum dengan benar terhadap terbitnya Akta Jual Beli Nomor :

436/2015, tertanggal 12 Oktober 2015, dilakukan tanpa prosedur hukum dan

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada bagian pertimbangan majelis hakim menimbang, bahwa Akta Jual Beli

adalah merupakan akta otentik yang harus ditandatangani dihadapan yang membuat

dan menerbitkan akta dan sebelum ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk

dimengerti dan dipahami, dan pada putusan hakim memutuskan : Menyatakan Akta

Jual Beli Nomor 436/2015 tanggal 12 Oktober 2015 maupun Sertifikat Hak Milik

Nomor 3431/Kel. Cicaheum yang telah dibalik nama oleh Turut Terbanding semula

Turut Tergugat dari nama Pembanding semula Penggugat I menjadi Terbanding I

semula Tergugat I tidak mempunyai kekuatan hukum dan harus dinyatakan tidak sah

dan batal demi hukum.


BAB IV

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM

PELAKSANAAN PEMBUATAN AKTA YANG TIDAK DIBACAKAN

KEPADA PARA PIHAK BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN

JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN

ASAS KEPASTIAN HUKUM

A. Akibat Hukum Terhadap Akta Yang Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak

Oleh PPAT Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

PPAT sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta

mengenai pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta

pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku, bertujuan untuk dapat membantu Badan

Pertanahan Nasional untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah di lingkup

pendaftaran tanah. Tetapi faktanya dilapangan ada saja PPAT yang mengabaikan

aturan dimana seharusnya menjadi pedoman bagi PPAT dalam menjalankan tugas

dan kewenangannya, salah satunya yaitu mengenai pembacaan akta kepada para

80
81

pihak. Oleh karena itu PPAT bertanggung jawab atas kepastian hukum setiap akta

yang dibuatnya. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan

kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat

menghindari terjadinya sengketa. Kepastian hukum menjadi tolak ukur dalam

kejelasan hak dan kewajiban para pihak di dalam suatu hukum. Kepastian hukum

harus dapat mengedepankan pembuktian sehingga hukum tersebut dapat di

pertanggungjawabkan.

Pembacaan Akta Sendiri diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menjelaskan bahwa,

Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh

sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh

para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Yang dalam penjelasannya yaitu Untuk

pemenuhan sifat otentik dari akta, pembacaan akta dilakukan sendiri oleh PPAT,

Penandatanganan para pihak, saksi dan oleh PPAT, dilakukan segera setelah

pembacaan akta dimaksud.

Prakteknya, pembuatan akta peralihan hak atas tanah oleh PPAT banyak yang

tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT. Hal ini disebabkan oleh adanya

situasi-situasi dan kondisi-kondisi dalam peralihan hak atas tanah yang menyebabkan

ketidak sesuaian tersebut sepertinya harus dilakukan agar transaksi atau proses

peralihan hak atas tanah bisa dilangsungkan. Situasi-situasi dan atau kondisi-kondisi
82

seperti ini membuat PPAT kadang-kadang tidak mempunyai pilihan lain selain

melakukan pembuatan akta jual beli tanah dengan “mengabaikan” tata cara

pembuatan akta peralihan hak atas tanah sebagaimana diatur oleh Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah serta peraturan

peraturan pelaksanaannya. Selain itu, dalam kenyataan PPAT acapkali menghadapi

dilema, di satu pihak mereka harus tunduk kepada ketentuan dengan sifatnya yang

normatif, sementara di pihak lain, kenyataan lapangan yang begitu kompleks sering

tidak bisa ditangani dan ditampung oleh peraturan yang begitu kaku. Oleh karena itu

dalam konteks situasi tersebut, PPAT melakukan penafsiran terhadap peraturan yang

ada untuk melayani kliennya. Penafsiran dalam konteks situasi antara PPAT dan klien

tidak dapat dihindari, di satu sisi PPAT karena fungsinya harus melayani klien,

sedangkan di lain sisi, klien membutuhkan pelayanan tanpa terlalu peduli dengan

peraturan yang mengikat PPAT. Dengan demikian yang terjadi adalah rasionalisasi

antara kebutuhan PPAT dan kliennya, artinya dalam usaha menjaga kelangsungan

pekerjaannya, PPAT membutuhkan klien sementara klien sering tidak mau

direpotkan oleh persyaratan-persyaratan teknis yang disyaratkan secara hukum.121

Tanggung Jawab PPAT seharusnya memberikan Perlindungan hukum secara

preventif dan represif kepada para pihak yang menghadap kepadanya. Secara

preventif terkait peralihan hak atas tanah dengan akta PPAT dan dibacakan akta
121
Ibid, hlm. 26.
83

tersebut dihadapan saksi dalam setiap perjanjian. Hal ini setidaknya dapat

meminimalisisr terjadinya resiko. Keterangan saksi nantinya dapat dijadikan alat

bukti dalam persidangan, hal tersebut di atur dalam buku ke empat BW yakni:

“Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan


tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara,
yang dipanggil dipersidangan.”

Perlindungan hukum secara represif. Perlindungan hukum represeif bertujuan

untuk menyelesaikan sengketa. Dalam hal peralihan hak atas tanah berdasarkan akta

yang dibuat PPAT tanpa dibacakan dan tidak dihadiri saksi sehingga menimbulkan

sengketa, PPAT harus bertanggung jawab dan menyelesaikan segala permasalahan

sampai dengan mengganti kerugian yang dialami para pihak.

Tugas dan prinsip yang harus dilaksanakan dalam pembuatan akta otentik

PPAT dari 8 (delapan) jenis/macam perbuatan hukum hak atas tanah yang merupakan

bagian dari kegiatan pendaftaran tanah, mengenai pembuatan akta peralihan,

pembebanan, pemberian kuasa oleh pihak-pihak yang wajib dan harus dijalankan

sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, serta memenuhi syarat secara

prosedural.122

Adapun unsur-unsur atau syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan

akta otentik dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang

dirumuskan sebagai berikut: 123

122
Triyono, Op Cit, hlm. 172.
123
Habib Adjie (5), Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris, PT Refika Aditama, Bandung,
2009, hlm. 48.
84

1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

Artinya jika bentuknya tidak ditentukan oleh undang-undang maka salah satu

unsur akta otentik itu tidak terpenuhi dan jika tidak dipenuhi unsur tersebut

maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik.

2. Akta itu harus dibuat oleh door atau dihadapan ten overstaan seorang Pejabat

Umum. Akta otentik tidak saja dapat dibuat dihadapan Notaris, tapi juga

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, dan Pegawai

Kantor Catatan Sipil. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum

yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat.

Pengertian berwenang disini meliputi berwenang terhadap orangnya,

berwenang terhadap aktanya, berwenang terhadap waktunya, berwenang

terhadap tempatnya.

Pasal 1869 KUHPerdata merumuskan: “Suatu akta yang karena tidak

berkuasanya atau tidak cakapnya pejabat termaksud diatas atau karena suatu cacat

dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan sebagai akta otentik namun demikian

mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan”. Artinya suatu akta tidak

mempunyai kekuatan bukti otentik dan hanya mempunyai kekuatan bukti dibawah

tangan apabila:

1. Pejabat umum tidak berwenang untuk membuat akta itu;

2. Pejabat umum tidak mampu atau tidak cakap untuk membuat akta itu;

3. Cacat dalam bentuknya.


85

Berdasarkan Pasal 1869 KUH Perdata, tidak dipenuhinya salah satu syarat

akta maka dapat mengakibatkan akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan

pembuktian seperti akta yang dibuat dibawah tangan apabila ditandatangani oleh para

pihak. Ketika akta PPAT kehilangan keautentikannya atau menjadi akta dibawah

tangan, akta tersebut tidak dapat didaftarkan berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.

Pengertian kata “bentuk” dalam Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPerdata,

menurut pendapat peneliti tidak saja pengertian bentuk dalam arti fisik, tapi juga

pengertian bentuk dalam arti yuridis, sehingga pengertian bentuk dalam pasal-pasal

tersebut dapat dimaknai sebagai prosedur pembuatan akta otentik sebagaimana

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang terkait mengenai persyaratan-

persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai akta otentik.

Ketentuan mengenai keautentikan Akta PPAT, menurut Marihot Pahala

Siahaan, diantaranya yaitu Akta PPAT harus dibacakan dan dijelaskan isinya kepada

para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum

ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Untuk

pemenuhan sifat autentik dari akta, pembacaan dilakukan sendiri oleh PPAT.
86

Penandatanganan para pihak, saksi, dan oleh PPAT, dilakukan segera setelah

pembacaan akta dimaksud. 124

Mengenai akibat hukum dari Akta peralihan hak atas tanah yang dibuat tidak

sesuai prosedur maka harus dibedakan antara Akta PPAT dengan perjanjian peralihan

hak atas tanah yang dituangkan dalam akta. Meskipun akta terdegradasi kekuatan

pembuktiannya tidak serta merta meniadakan isi dari perjanjian peralihan hak atas

tanah diantara para pihak. Akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT

merupakan bukti telah terjadi peralihan hak atas tanah yang dilakukan dihadapan

PPAT. Sehingga disamping melihat kepada keautentikan suatu akta perlu

diperhatikan syarat sahnya perjanjian akta peralihan hak atas tanah yang dilakukan

dihadapan PPAT. PPAT dalam melaksanakan tugasnya tidak dapat membuat akta

tanpa adanya suatu kesepakatan yang timbul dari para pihak yang meminta dibuatkan

akta, apabila para pihak telah bersepakat dalam suatu transaksi dengan tanah sebagai

objeknya maka akta tersebut ditandatangani bersama oleh para pihak, saksi-saksi dan

PPAT.125

Suatu akta autentik dikatakan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

dibawah tangan apabila dilanggarnya ketentuan-ketentuan antara lain tidak

membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit oleh dua

orang saksi dan ditandatangani saat itu juga oleh penghadap, saksi dan PPAT/Notaris.

124
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hlm. 381.
125
Irawan Soerodjo, Op Cit, 2003, hlm. 142.
87

Tidak dibacakannya akta dihadapan para pihak dan saksi termasuk kedalam cacat

bentuk akta, karena pembacaan akta dihadapan para pihak dan saksi merupakan suatu

kewajiban dalam hal ini bagi PPAT untuk menjelaskan akta yang dibuat tersebut

sesuai dengan kehendak para pihak, dan setelah dilakukan pembacaan tersebut

kemudian dicantumkan pada bagian akhir akta. Jika tidak dilakukan maka aspek

formal tidak terpenuhi dan mengakibatkan akta menjadi cacat dari segi bentuk. 126

Pembuktian bahwa hak atas tanah tersebut dialihkan, maka harus dibuktikan dengan

suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian

akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 Ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual Beli yang dibuat

dihadapan PPAT tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli tanah),127 menjadi tidak terealisasikan

atau tidak terwujudkan.

Boedi Harsono mengatakan, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian

mengenai benar sudah dilakukannya peralihan hak atas tanah. Peralihan hak atas

tanah tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi,

dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun

1961 tentang Pendaftaran Tanah (yang sekarang sudah disempurnakan dengan

126
Habib Adjie (4), Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Thn 2004 Tentang
Jabatan Notaris, Aditama Refika, hlm. 96.
127
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni,
Bandung, 1980, hlm. 30
88

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah),

pendaftaran peralihan hak atas tanah itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta

PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan peralihan hak atas tanah tanpa

dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertipikat, biarpun

peralihan hak atas tanah sah menurut hukum.128

B. Tanggung Jawab PPAT Dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta Otentik, Yang

Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak Oleh PPAT Berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah Dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum

Tanggung jawab PPAT terhadap akta otentik hanya mencatat atau

menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak/penghadap ke dalam

akta. Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai pejabat umum.

Namun dalam peraturan perundang-undangan tidak memberikan definisi apa yang

dimaksud dengan pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu adalah orang yang

diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di

bidang atau kegiatan tertentu.129

128
Boedi Harsono (1), Perkembangan Hukum Tanah Adat Melakui Yurisprudensi, (Ceramah,
disampaikan pada Simposium Undang‐Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah‐Tanah Adat
Dewasa Ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977), hlm. 52.
129
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 486.
89

Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara

tanggung jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan PP

No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan PPAT beserta peraturan pelaksanannya yang berada dalam bidang

hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah membuat alat bukti berupa akta

otentik mengenai perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah yang dapat

memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu delik atau

perbuatan yang harus dipertanggung jawabkan. Kesalahan administrasi atau biasa

disebut dengan mal administrasi yang dilakukan oleh PPAT dalam melakukan

sebagian kegiatan pendaftaran tanah tentunya akan menimbulkan konsekuensi

hukum, yakni PPAT dapat dimintai pertanggungjawaban.130

Berkaitan dengan tugas dan kewenangan PPAT ketentuan-ketentuan yang

harus dipenuhi mengenai prosedur pembuatan akta PPAT tersebar dalam berbagai

peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an, diantaranya terdapat di dalam:131

1. PP RI No 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas PP No 37 Tahun 1998

tentang PJPPAT

2. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

3. Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37

Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagaimana telah diubah dengan, Perka BPN

130
Ridwan H.R, Op Cit, hlm. 335.
131
Ibid, hlm. 145.
90

No. 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN No. 1 Tahun 2006

tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT;

4. PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah dengan,

Perka BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PMNA/Ka BPN No. 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah;

5. UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Jo. PP

No. 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 48 Tahun 1994

Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan

Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Jo. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang

Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah.

Produk akta PPAT berpotensi menimbulkan masalah atau sengketa apabila

terdapat adanya penyimpangan syarat sahnya perjanjian jual beli tanah dan bangunan

serta adanya penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta yang menyangkut

syarat materil (baik subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan

persyaratan).132 Seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya

tersebut, khususnya berkaitan dengan prosedur pembuatan akta PPAT adakalanya

melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan

formil maupun materil, misalnya: kesalahan mengenai ketidakwenangan PPAT dalam


132
Adrian Sutedi (1), Peralihan Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 77.
91

membuat akta otentik, yang berakibat hilangnya otensitas akta yang dibuatnya, atau

kekuatan pembuktian akta tersebut tidak lagi sebagai alat bukti yang lengkap atau

sempurna, di antara dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan menjadi

akta atau surat di bawah tangan, dimana kesalahan tersebut bisa saja dilakukan

dengan sengaja maupun tidak disengaja.133

Adapun dalam prakteknya pelanggaran terhadap prosedur dan persyaratan

formil pembuatan akta PPAT dalam hal yaitu :134

1. Penandatanganan akta oleh para pihak tidak dilakukan dalam waktu yang

bersamaan di hadapan PPAT. Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah : “Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang

melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan

surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Artinya proses pembuatan akta peralihan hak atas tanah hingga

penandatanganan akta oleh para pihak harus dilakukan dengan dihadiri para

pihak dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi ada kalanya persyaratan ini

tidak dilakukan, dimana salah satu alasannya adalah karena kesibukan para

pihak sehingga para pihak tidak dapat datang ke kantor PPAT pada saat yang

bersamaan untuk melakukan penandatanganan akta.

133
Dhea Tri Febriana & Ahars Sulaiman, “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2016 Tentang PPAT”, Jurnal Petita, Volume 1, Nomor 1, Juni 2019, hlm. 125.
134
Ibid, hlm. 146.
92

2. Pembuatan dan penandatanganan akta dilakukan diluar daerah kerja PPAT

dan atau diluar Kantor PPAT dan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi. Pasal 101

ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah :

“Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2


(dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai
saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara
lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan
dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan
telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak
yang bersangkutan.”

PPAT dalam melakukan pembuatan akta harus melakukannya di

kantor PPAT yang bersangkutan dengan dihadiri oleh para pihak. PPAT dapat

membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam

perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena

alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak

harus hadir dihadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.

Alasan-alasan yang dapat dianggap sebagai alasan yang sah adalah, apabila

pihak yang bersangkutan dalam keadaan sakit atau oleh karena telah berusia

lanjut sehingga tidak dapat datang ke kantor PPAT. Hal yang paling mendasar

adalah pihak yang tidak dapat hadir itu haruslah berdomisili di daerah kerja

PPAT yang bersangkutan, karena PPAT hanya mempunyai kewenangan

untuk membuat akta di daerah kerjanya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12


93

PJPPAT, “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya”.

3. PPAT tidak membacakan isi dari akta peralihan hak atas tanah dihadapan para

pihak secara terperinci, hanya menjelaskan mengenai maksud dari pembuatan

akta. Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “PPAT

wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi

penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur

pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang

berlaku”.

Pelanggaran terhadap pasal ini termasuk kedalam cacat bentuk,

karena pembacaan akta oleh PPAT dihadapan para pihak dan saksi merupakan

suatu kewajiban untuk menjelaskan, bahwa akta yang dibuatnya tersebut

sesuai dengan kehendak yang bersangkutan dan bila isi akta disetujui maka

oleh para pihak akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak, sekaligus

saksi dan PPAT sendiri.

4. Nilai harga transaksi yang dimuat di akta jual beli tidak sesuai dengan nilai

harga transaksi sebenarnya. Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU No. 28

Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah :

a. Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah

Nilai Perolehan Objek Pajak.


94

b. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jual beli

adalah harga transaksi;

Pembuatan akta jual beli yang nilai transaksi peralihan haknya lebih

kecil dari nilai transaksi riil bertujuan untuk mengurangi jumlah kewajiban

pembayaran pajak PPh (bagi Penjual) dan BPHTB (bagi Pembeli). Nilai

transaksi yang dimuat dalam akta jual beli biasanya mengikuti nilai dari Nilai

Jual Objek Pajak (NJOP) yang dibulatkan ke atas atau berdasarkan penilaian

dari Dispenda terkait zona nilai tanah masing-masing daerah. Jadi tujuan

dilakukannnya pengecilan nilai transaksi dalam akta jual beli adalah untuk

mengecilkan jumlah pajak-pajak yang harus dibayar.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang

Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (selanjutnya disingkat UUPDRD)

menyebutkan bahwa terkait Pajak “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan” (selanjutnya disingkat BPHTB) ialah pajak daerah yang

wewenangnya dipungut oleh pemerintah Kota/Kabupaten. Pajak merupakan

peranan penting bagi suatu negara ialah sumber pemasukan dalam kas negara

yang dipergunakan untuk keperluan kegiatan pemerintah dan pembangunan

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. PPAT sangat berperan penting

dalam transaksi jual beli tanah, dimana secara tidak langsung telah ikut

membantu Kepala BPN Kabupaten/Kota untuk melakukan kegiatan terkait

dengan tanah. Posisi PPAT sangat penting dalam penyampaian terkait dengan

harga transaksi sebagai dasar penetapan BPHTB kepada masyarakat.


95

Pembuatan akta jual beli dibuat pada saat obyek dan harga transaksi telah di

sepakati dan telah dibayar secara lunas oleh pembeli, namun sebelumnya

harus dilakukan verifikasi pajak sebagai syarat yang utama dalam transaksi

jual beli tanah.135

5. PPAT yang melakukan pemalsuan isi akta yang tidak sesuai sebagaimana

kebenarannya yang memberikan keterangan palsu, ada ketidak sesuaian antara

isi akta dan kebenaran yang terjadi, padahal dalam akta PPAT ada kalimat

yang mengatakan :

“setelah dibacakan serta dijelaskan, maka sebagai bukti kebenaran

pernyataan yang dikemukakan oleh Pihak Pertama dan Pihak Kedua

tersebut di atas, akta ini ditandatangani oleh Pihak Pertama, Pihak

Kedua, para saksi dan Saya, PPAT,....”

Padahal dalam kenyataannya akta tersebut tidak dibacakan oleh PPAT

dan berbeda dengan keterangan yang telah ada dalam blangko akta PPAT

mengenai pembacaan akta, seorang PPAT jika telah terbukti melakukan

pemalsuan terhadap akta yang dibuatnya, dapat di diancam dengan pidana

penjara paling lama delapan tahun sesuai dengan Pasal 264 ayat (1) KUHP.

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di atas terkadang terjadi dengan

berbagai alasan, salah satunya adalah kekurang pahaman maupun kesibukan dari para

pihak untuk melakukan penyetoran pajak berkaitan dengan transaksi jual beli tanah

yang dilakukannya. Para pihak seringkali menyerahkan prosedur tersebut kepada


135
Miyasto, Sistem Perpajakan, PT. Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 3.
96

PPAT yang dianggap lebih paham mengenai hal itu. Jadi akta jual beli tersebut belum

diberi nomor dan tanggal oleh PPAT, karena PPAT terlebih dahulu harus melakukan

pembayaran pajak-pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak. Untuk

melakukan pembayaran pajak sampai dengan validasi, paling cepat dibutuhkan waktu

satu hari kerja. Dengan demikian, akta jual beli yang telah ditandatangani oleh para

pihak sampai dengan keesokan harinya masih belum diberi nomor dan tanggal,

sehingga dapat dikatakan tanggal penandatanganan akta tidak sama dengan tanggal

peresmian akta. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut di atas sebenarnya disadari

oleh PPAT berikut konsekuensi yuridis yang bisa dikenai, dan terdapat berbagai

macam faktor yang menyebabkan terjadinya pembuatan akta peralihan hak atas tanah

yang tidak sesuai atau menyimpang dari prosedur pembuatan akta PPAT, akan tetapi

praktek tersebut tetap dilakukan karena ada keyakinan bahwa apabila PPAT tidak

menerima atau tidak mau untuk melakukan perbuatan seperti itu maka klien mereka

akan berpindah dengan mempergunakan jasa PPAT lain ditambah lagi ada rasa segan

terhadap klien yang sudah lama jadi langganan PPAT bersangkutan.136

Kewajiban PPAT dalam pengisian blangko akta dalam rangka pembuatan akta

PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta

didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan, demikian yang

berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1

Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Selain itu, dalam Kode
136
Ibid, hlm. 147.
97

Etik PPAT yang mengatur mengenai larangan dan kewajiban dalam lingkup PPAT

yang salah satunya berkewajiban untuk bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab,

mandiri, jujur, dan tidak berpihak. Dengan demikian pembuatan akta jual beli tanah

yang tidak sesuai dengan harga transaksi yang sebenarnya telah melanggar Perka

BPN nomor 1 tahun 2006 dan Kode Etik PPAT, karena ketidak benaran data yang

ditulis dalam akta. Untuk itu sesuai dengan Pasal 55 Perka BPN nomor 1 tahun 2006,

PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam

setiap pembuatan akta.137

Mengenai pembacaan akta yang tidak dilakukan dengan maksud untuk

merubah harga transaksi jika berhubungan dengan jual-beli, dalam lampiran II

Permen ATR/BPN 2/2018 yang menerangkan bahwa PPAT yang memberikan

keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik

pertanahan dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Bagi PPAT yang melakukan

pengisian blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT, namun tidak dilakukan

sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta tidak didukung dengan

dokumen sesuai peraturan perundang-undangan dapat diberhentikan sementara paling

lama 1 tahun. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Kepala

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.138

137
hukumonline.com, Sanksi bagi PPAT yang Membuat Akta Tak Sesuai Data, di akses tanggal 05
Oktober 2020.
138
Ibid.
98

PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya harus disertai dengan tanggung

jawab dan kepercayaan diri yang penuh, sehingga dapat melaksanakan tugasnya

dengan baik dan benar serta siap untuk bertanggung jawab jika terjadi kesalahan baik

yang disengaja maupun yang tidak disengaja dalam setiap tindakannya. Akta PPAT

merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka

wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk

pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu

PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan

hukum yang bersangkutan.139

Pertanggungjawaban yang diminta kepada PPAT bukan hanya dalam

pengertian sempit yaitu membuat akta, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam arti

yang luas, yaitu tanggung jawab pada saat fase akta dan tanggung jawab pada saat

pasca penandatanganan akta. Tanggung jawab profesi PPAT dapat dikategorikan

menjadi 2 (dua) hal, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum.

Tanggung jawab hukum ini dapat dibedakan pula menjadi 3 (tiga) macam, yaitu

tanggung jawab berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.

Pertanggung jawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau

kelalaiannya dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang menyimpang dari

syarat formil dan syarat materiil tata cara pembuatan akta PPAT, tidak saja dapat

139
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 507.
99

dikenakan sanksi administratif tapi juga tidak menutup kemungkinan dituntut ganti

kerugian oleh para pihak yang dirugikan.140

Berkaitan dengan kesalahan (beroepsfout) dari PPAT, maka harus ditelaah

mengenai bentuk dari kesalahan tersebut, yakni apakah kesalahan tersebut merupakan

wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Pendapat yang

umum dianut bahwa, wanprestasi terjadi apabila didahului dengan adanya perjanjian,

sedangkan jika tidak ada kaitannya dengan perjanjian maka bentuk pelanggarannya

disebut perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daaad. Berpijak pada prinsip

umum tersebut, maka penulis berpendapat bahwa perbuatan PPAT yang telah

menyebabkan sebuah akta menjadi cacat hukum dapat dianggap sebagai perbuatan

melanggar hukum, mengingat antara PPAT dengan klien atau pihak yang berkaitan

dalam akta tidak pernah ditemui adanya suatu perjanjian. Dalam menentukan suatu

perbutan dapat dikualifisir sebagai melanggar hukum, diperlukan 4 (empat) syarat : 141

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;

3. Bertentangan dengan kesusilaan;

4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian”.

Adanya suatu perbuatan melanggar hukum tidak disyaratkan memenuhi

keempat kriteria itu secara kumulatif, namun terpenuhinya salah satu kriteria secara

alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melanggar
140
Triyono, Op Cit, hlm. 177.
141
Ibid.
100

hukum. Sanksi perdata dijatuhkan kepada PPAT atas perbuatan melanggar hukum

(onrechtmatige daad), yakni perbuatan yang menimbulkan kerugian, dan secara

normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang

berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut”. Menurut Roscoe Pound, hukum melihat ada tiga

pertanggungjawaban atas delik yaitu:142

1. Pertanggung jawaban atas kerugian yang di sengaja;

2. Pertanggung jawaban atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja;

3. Pertanggung jawaban dalam perkara tertentu atas kerugian yang dilakukan

karena kelalaian serta tidak disengaja.

Sedangkan J.H. Nieuwenhuis menyatakan tanggung jawab timbul karena

adanya perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad dan merupakan oorzaak

timbulnya kerugian, sedangkan pelakunya yang bersalah yang disebut schuld, maka

orang itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.143

Namun apabila dalam pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT berkaitan dengan

kewajiban seorang PPAT untuk mewujudkan akta otentik yang berkekuatan

pembuktian sempurna, mengandung cacat hukum, yang kemudian oleh suatu putusan

pengadilan dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formil dan materiil dari

prosedur pembuatan akta PPAT tidak di penuhi, sehingga kekuatan akta otentiknya
142
Ibid, hlm. 178.
143
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fak Hukum UI, Jakarta, 2003, hlm. 117.
101

hanya dibawah tangan, atau menjadi batal demi hukum, dan mengakibatkan suatu

kerugian, maka terhadap kejadian tersebut menjadi bertentangan dengan kewajiban

hukum bagi PPAT, dan PPAT tersebut bertanggung jawab atas kerugian itu.144

Di samping bertentangan dengan kewajiban hukum bagi PPAT, juga

disebabkan karena melanggar hak subyektif orang lain. Menurut Meyers,

sebagaimana dikutip oleh Rachman Setiawan, mengemukakan bahwa “Hak Subyektif

menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara

khusus untuk melindungi kepentingannya”. Dalam hal ini terhadap kasus pembuatan

akta PPAT yang mengandung cacat hukum akan mengakibatkan kesulitan bagi pihak

klien atau orang yang berhak atas akta untuk melaksanakan haknya. Hak klien yang

dijamin Undang-Undang dapat meneguhkan selaku yang berhak atas akta adalah hak

untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti haknya yang sah, sehingga

dengan alat bukti tersebut untuk mendalilkan haknya, bahkan membantah hak orang

lain. Dengan demikian apabila akta PPAT yang dibuat sebagai dasar peralihan hak

atas tanah tersebut, dinyatakan batal oleh putusan pengadilan, dan mengakibatkan

klien PPAT tersebut tidak mendapatkan hak atas akta otentik, atau tidak dapat

mempergunakan akta tersebut sebagaimana layaknya peran dan fungsi sebuah akta

otentik, sehingga klien yang seharusnya sebagai pemegang hak menjadi tidak dapat

melaksanakan haknya maka PPAT yang bersangkutan bertanggung jawab atas

kerugian yang ditimbulkan.145

144
Ibid.
145
Ibid, hlm. 179.
102

Ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum adalah suatu bentuk ganti rugi

yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak

yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena ada kesalahan, bukan karena adanya

perjanjian. Sedangkan bentuk ganti rugi yang dikenal dalam hukum perdata ada 2

(dua) macam, yaitu :146

1. Ganti rugi umum yaitu ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus karena

perbuatan melawan hukum berupa biaya, rugi dan bunga. Ganti rugi secara

umum diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata.

2. Ganti rugi khusus yang hanya dapat timbul dari perikatan-perikatan tertentu

pada perbuatan melanggar hukum bentuk ganti rugi berbeda dengan ganti rugi

atas wanprestasi, dan terbuka kemungkinan ganti rugi dalam bentuk lain

selain jumlah uang.147 Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain

dapat dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad yang selengkapnya

dirumuskan.

Pelaku perbuatan melanggar hukum dapat dihukum untuk membayar sejumlah

uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang

dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam bentuk

lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti rugi yang sesuai, maka pelaku

146
Ibid.
147
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bina Cipta Bandung, 1991,
hlm. 70.
103

tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi kepentingan pihak

yang dirugikan yang cocok untuk menghapuskan kerugian yang diderita.148

Setiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia memiliki sanksi pada akhir

aturan hukum tersebut. Di dalam hukum keperdataan, sanksi adalah tindakan

hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-

undang. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti

merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Jadi

kesimpulannya adalah pemberlakuan suatu asas hukum dapat dipaksakan apabila

terdapat sanksi yang menyertainya, dan penegakan terhadap asas hukum dimaksud

dilakukan secara prosedural (hukum acara). Sanksi biasanya diletakkan pada bagian

akhir setiap peraturan yang dalam bahasa latin dapat disebut in cauda venenum,

artinya di ujung suatu kaidah hukum terdapat sanksi.149

Hakekat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk

memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan

yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk

mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang

berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.150

Begitupun sanksi yang dikenakan bagi seorang PPAT adalah suatu bentuk

penyadaran dan tolak ukur kualitas, bahwa PPAT dalam melakukan tugas jabatannya

148
Ibid.
149
A.W Widjaja, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 21.
150
Habib Adjie (3), Op Cit, hlm. 90.
104

telah melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan, dan untuk mengembalikan tindakan PPAT dalam

melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai ketentuan yang berlaku.

Disamping itu pemberian sanksi terhadap PPAT juga untuk melindungi

masyarakat dari tindakan PPAT yang merugikan. Sanksi juga untuk menjaga

martabat lembaga PPAT sebagai lembaga kepercayaan karena apabila PPAT

melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap PPAT.

Sanksi terhadap PPAT secara individu adalah suatu pertaruhan dalam menjalankan

tugasnya, apakah masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta terhadap

PPAT yang bersangkutan atau tidak.151

Akta PPAT adalah alat untuk membuktikan dan menunjukan telah

dilakukannya suatu perbuatan hukum di hadapan PPAT, sehingga apabila perbuatan

hukum itu batal, maka akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai

bukti perbuatan hukum tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan ke-PPAT-an diatur bahwa ketika seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan

jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, PPAT dapat dikenai atau dijatuhi sanksi

berupa sanksi administratif, tetapi tidak mengatur adanya sanksi perdata dan pidana

terhadap PPAT, maka apabila terjadi pelanggaran yang memenuhi delik perdata dan

pidana terhadap PPAT tersebut dapat dikenakan sanksi perdata yang termuat dalam

KUHPerdata dan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHPidana.

151
Ibid, hlm. 91.
105

Sebagai Pejabat Umum, Notaris/PPAT berperan mengakomodasi perbuatan

hukum perdata yang dilakukan oleh masyarakat. Kedudukan Notaris tidak berada di

lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga dapat dipercaya sebagai ahli yang

tidak memihak dalam membuat akta otentik. Akta yang dibuat oleh pejabat umum

yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan

yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh Pejabat Umum

selaku Pembuat Akta. Akta otentik yang dihasilkan Notaris/PPAT dapat

dipertanggungjawabkan dan melindungi para pihak dalam melakukan perbuatan

hukum. Kekuatan akta otentik yang dihasilkan merupakan pembuktian sempurna bagi

para pihak, sehingga apabila salah satu pihak mengajukan keberatan dapat dibuktikan

di pengadilan.

Hal ini dikarenakan pejabat atau pegawai umum tersebut mendapatkan

kepercayaan dari negara untuk menjalankan sebagian fungsi administratif negara,

sehingga legalitasnya dapat dipastikan. Selain itu, seorang pejabat atau pegawai

umum juga tidak memiliki keberpihakan dalam pembuatan akta. Menjamin kepastian

tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan

akta, sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.

Peralihan hak atas tanah yang tidak dapat dibuktikan keautentikannya dapat

memberikan kesulitan bagi pihak yang menerima untuk membuktikan hak atas tanah

yang telah dialihkan diantaranya yaitu penerima hak dapat saja mengalami kesulitan
106

dalam untuk membuktikan kepemilikan haknya. Dalam kasus ini apabila Akta PPAT

yang dibuat terdegradasi menjadi akta di bawah tangan maka yang dapat dimintakan

tanggung jawabnya ialah PPAT sendiri.

Dengan demikian apabila suatu akta tidak memiliki kekuatan hukum yang

kuat atau dengan kata lain mengandung cacat hukum yang mengakibatkan aktanya

mengalami kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka PPAT dapat

dimintai pertanggungjawaban.

Selain mengakibatkan suatu akta tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat

atau dengan kata lain mengandung cacat hukum yang mengakibatkan aktanya

mengalami kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, jika PPAT tidak

membacakan akta yang dibuatnya di hadapan para para pihak merupakan pelanggaran

berat,152 dan konsekuesinya PPAT diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena melakukan pelanggaran berat terhadap

larangan atau kewajiban sebagai PPAT.

Apabila ditarik ke dalam Hukum Perdata, PPAT tersebut melakukan

Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUHPerdata, dan bentuk

pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan artinya

bahwa karena PPAT tersebut menimbulkan kerugian secara sengaja dan diperkirakan

olehnya, maka ia bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya. Sehingga,

152
Penjelasan Pasal 10 ayat (3) huruf a angka 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
107

dalam hal ini PPAT wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh tindakannya. 153

Dan Pasal 16 Ayat (12) UU Nomor 2 Tahun 2014 Tentang UUJN mengatur bahwa

hal tersebut di atas dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk

menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris/PPAT. Dari

ketentuan tersebut harus dilihat apakah perbuatan yang dilakukan PPAT merupakan

perbuatan melawan hukum dengan melihat ketentuan:

1. Perbuatan tersebut digolongkan sebagai perbuatan yang melawan hukum.

Dalam hal ini PPAT telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

kewajiban hukumnya, yaitu tidak melaksanakan ketentuan Pasal 22 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

2. Adanya kerugian. Akibat perbuatan yang dilakukan oleh PPAT tersebut

menyebabkan Akta peralihan hak atas tanah kehilangan keautentikannya yang

kekuatan pembuktiannya terdegradasi menjadi akta di bawah tangan.

3. Adanya kesalahan pelaku Dimana dalam hal ini PPAT tidak membacakan akta

dihadapan para pihak dengan dihadiri dua orang saksi dan tidak

menandatangani akta dalam satu waktu.

4. Adanya hubungan kasual antara perbuatan dengan kerugian, atau adanya

hubungan sebab akibat yang menimbulkan kerugian. Dalam hal ini perbuatan

153
Hans Kelsen (1), Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, 2006, hlm. 140.
108

PPAT yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam membuat akta

mengakibatkan aktanya mengandung cacat formil dan terdegradasi kekuatan

pembuktiannya menjadi dibawah tangan.

Atas kerugian yang ditimbulkannya, maka PPAT dapat dimintai tanggung

jawabnya. Disamping memberikan ganti kerugian terhadap para pihak yang dirugikan

dengan Akta yang dibuatnya, PPAT yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku dapat dikenakan sanksi administratif berupa

pemberhentian dengan tidak hormat karena PPAT telah melakukan pelanggaran berat

terhadap larangan atau kewajibannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 10 PP

Nomor 37 Tahun 1998 juncto Pasal 28 ayat 4 huruf i Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nomor 1 Tahun 2006 yaitu dimana Pembuatan Akta PPAT tidak dihadiri

oleh para pihak yang berwenang dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang

menyebabkan tidak terpenuhinya syarat formal dalam pembuatan Akta peralihan hak

atas tanah.

Selain itu dengan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam

peraturan jabatan PPAT maka dikatakan PPAT juga telah melakukan pelanggaran

terhadap kode etik. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 huruf k dan r Kode Etik

PPAT yang menyebutkan setiap PPAT baik dalam rangka melaksanakan tugas

jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dilarang melakukan perbuatan-

perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik

PPAT, antara lain pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:


109

Larangan dalam Pasal 4 huruf k: Menempatkan pegawai atau asisten PPAT di

satu atau beberapa tempat di luar kantor PPAT yang bersangkutan, baik di kantor

cabang yang sengaja dan khusus dibuka untuk keperluan itu maupun di dalam kantor

instansi atau lembaga/klien PPAT yang bersangkutan, di mana pegawai/asisten

tersebut bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta, baik klien itu

dari dalam dan/atau dari luar instansi/lembaga itu, kemudian pegawai/asisten tersebut

membuat akta-akta itu, membacakannya atau tidak membacakannya kepada klien dan

menyuruh klien yang bersangkutan menandatanganinya di tempat pegawai/asisten itu

berkantor di instansi atau lembaga tersebut, untuk kemudian akta-akta tersebut

dikumpulkan untuk ditandatangani PPAT yang bersangkutan di kantor atau di

rumahnya;

Larangan dalam Pasal 4 huruf r:

1. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT dan ketentuan perundang-

undangan lainnya yang terkait dengan tugas pokok PPAT;

2. Isi sumpah jabatan;

3. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran dasar, Anggaran Rumah Tangga

dan/atau keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi IPPAT tidak

boleh dilakukan oleh anggota perkumpulan IPPAT.

Pada Pasal 6 ayat (1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota perkumpulan

IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa:154

a. teguran;
154
Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
110

b. peringatan;

c. schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT;

d. onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT; dan

e. pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan

IPPAT.

PPAT wajib membacakan akta yang dibuatnya dihadapan para pihak dan

disaksikan oleh dua orang saksi. Lalu pada Pasal 28 Ayat (4) Peraturan Kepala BPN

Nomor 1 Tahun 2006 angka 8, menyebutkan bahwa PPAT dapat diberhentikan secara

tidak hormat apabila PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak.

Sehingga karena akta tersebut tidak dibacakan, maka PPAT tersebut telah melakukan

pelanggaran berat dan sanksinya adalah pemberhentian secara tidak hormat.

Sesuai dengan Pasal 55 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, dalam

pelaksanaan tugas dan jabatannya untuk pembuatan akta, PPAT bertanggung jawab

secara pribadi terhadap akta yang dibuatnya. Bentuk pertanggungjawaban PPAT

terhadap akta yang dibuatnya adalah tanggung jawab berdasarkan kesalahan.

Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan artinya bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan

diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian. Adapun tanggung jawab PPAT

terhadap akta yang dibuatnya dapat diuraikan sebagai berikut: 155

155
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah
111

Ayat (2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh

Kepala Badan, karena : a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau

kewajiban sebagai PPAT;

Ayat (4) Pelanggaran berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,

antara lain:

a. membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa

atau konflik pertanahan;

b. melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang

mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

c. melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud

dalam Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (3);

d. memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang

mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

e. membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak

di luar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 46;

f. melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;

g. pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT

yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan

perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan

tidak hadir dihadapannya;


112

h. pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam

sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak

melakukan untuk perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;

i. PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak

yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang

dibuatnya;

j. PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang

melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;

k. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian

sementara atau dalam keadaan cuti;

l. lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pertanggungjawaban secara administratif ditentukan dalam Pasal 62 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu PPAT yang

dalam melakukan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Selain itu, pelanggaran administratif juga

ketika melanggar ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat

yang ditunjuk, maka akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis

sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT yang diatur di dalam Pasal 10

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, juga ditetapkan dalam Pasal 6 ayat
113

(1) Kode Etik PPAT, yakni bagi anggota yang melakukan pelanggaran kode etik

dapat dikenai sanksi berupa:

1. Teguran;

2. Peringatan;

3. Schorsing (pemberhentiaan sementara) dari keanggotaan IPPAT;

4. Onzetting (pemberhentian) dari keanggotaan IPPAT;

5. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.

Berdasarkan Pasal 6 Ayat (2) Kode Etik IPPAT, penjatuhan sanksi-sanksi

tersebut disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan

anggota tersebut.

Tindakan manusia dikatakan sebagai suatu delik karena aturan hukum

mengenakan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Delik adalah

suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada. Jadi,

adalah delik kriminal jika mempunyai sanksi kriminal, dan adalah suatu delik perdata

jika mempunyai suatu sanksi perdata sebagai konsekuensinya.156

Terdapat aspek-aspek formal dari suatu akta PPAT yang dapat dijadikan dasar

atau batasan untuk dapat memidanakan PPAT jika:157

1. Secara sengaja dan terbukti, bahwa dengan insyaf, sadar, dan terencana bahwa

ia melakukan suatu tindak pidana menggunakan akta yang dibuatnya.

156
Hans Kelsen (4), Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet. ke-2, terjemahan Jimly Asshiddiqie dan
M.Ali Safa’at, selanjutnya disingkat Hans Kelsen I, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 46.
157
Habib Adjie (4), Op Cit, hal.124.
114

2. Secara sengaja dan sadar, Pejabat Pembuat Akta Tanah bersama dengan pihak

yang berkaitan melakukan suatu tindakan yang merupakan pelanggaran

terhadap hukum. Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan

sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya disamping

memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam peraturan perundang-

undangan terkait PPAT, Kode etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan

yang tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Berpijak pada kewenangan yang di miliki oleh PPAT dalam hal pembuatan

akta otentik, Seorang PPAT diharuskan selalu mengambil sikap cermat atau hati-hati

dalam menghadapi setiap kasus, mengingat seorang PPAT telah memiliki

kemampuan profesional baik secara teoritis maupun praktis. Dengan demikian

apabila seorang PPAT melakukan kealpaan dalam pembuatan akta, dan

mengakibatkan akta tersebut cacat hukum maka dapat dikatakan telah terjadi

penyalah gunaan wewenang, karena PPAT bersangkutan menyadari bahwa sebagai

pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka setiap PPAT

dituntut untuk menangani suatu kasus yang berkaitan dengan wewenangnya, dan

tidak dapat dilepaskan dari tuduhan adanya penyalahguanaan wewenang. Keadaan

penyalahguanaan wewenang ini akan semakin jelas apabila terdapat unsur merugikan

yang di derita oleh salah satu atau para pihak yang tampak pada saat di batalkannya

akta PPAT yang dibuatnya sebagai konsekuensi final dari akta yang mengalami cacat

hukum.158
158
Shidarta (2), Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 82.
115

Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang seorang

PPAT telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai

suatu tindak pidana. Syarat materil dan syarat formil dari prosedur pembuatan akta

PPAT merupakan aspek-aspek formal yang harus dilalui dalam pembuatan akta

peralihan hak atas tanah berkaitan dengan tugas jabatan PPAT. Penulis berpendapat

bahwa penyimpangan terhadap syarat materil dan formil dari prosedur pembuatan

akta PPAT harus dilihat berdasarkan batasan-batasan dari aspek formal tersebut yang

mana telah ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan

PPAT. Artinya apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dari aspek formal,

maka sanksi yang dapat dijatuhi adalah sanksi perdata dan sanksi administratif

tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik IPPAT, sehingga

pengkualifikasian pelanggaran aspek formal tersebut suatu tindak pidana merupakan

suatu tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.159

Habib Adjie mengatakan, dengan metode penalaran analogi, mengemukan

bahwa aspek-aspek formal dari suatu akta PPAT dapat dijadikan dasar atau batasan

untuk dapat memidanakan PPAT jika: 160

1. Aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh kesadaran

dan keinsyafan serta direncanakan oleh PPAT yang bersangkutan) bahwa akta

yang dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana;

159
Triyono, Op Cit, hlm. 180.
160
Habib Adjie (4), Op Cit, hlm. 124.
116

2. PPAT secara sadar dan sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak

yang bersangkutan melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya

sebagai tindakan yang melanggar hukum.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang batasan-

batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan

pelanggaran yang tersebut dalam Peraturan Perundang-Undangan terkait PPAT, Kode

etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun perkara pidana yang berkaitan dengan

aspek formal akta Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai

berikut :161

1. Membuat surat palsu/ yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu atau

yang dipalsukan (Pasal 263 ayat(1) dan (2) KUHP);

2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP);

3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266

KUHP);

4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Juncto

Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 266 KUHP);

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat

palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Juncto Pasal 263 ayat (1) dan

(2) KUHP atau Pasal 266 KUHP).

161
Ibid.
117

Pengertian kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana merupakan perbuatan

yang disadari, dimengerti dan diketahui sebagai demikian, sehingga tidak ada unsur

salah sangka atau salah paham. Sedangkan kealpaan (culpa) adalah perbuatan yang

terjadinya karena sama sekali tidak terpikirkannya akan adanya akibat itu atau oleh

karena tidak memperhatikan dan ini disebabkan kurang hati-hati dan perbuatan

tersebut bertentangan dengan kewajibannya.162

Moeljatno berpendapat bahwa kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana

merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan,

sedangkan kealpaan atau kelalaian (culpa) adalah kekurang perhatian pelaku terhadap

obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang

dilarang,sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya adalah sama

dengan kesengajaan, hanya berbeda tingkatannya saja. Menurut Wirjono

Prodjodikoro, “bahwa kesengajaan adalah penting sekali di dalam pidana karena

sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur

culpa. Ini layak, karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah

orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja”.163

PPAT yang memalsukan akta autentik, dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP telah

mengatur mengenai pemberatan dari delik pemalsuan, Pemalsuan surat diancam

dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

1) akta-akta otentik;
162
Triyono, Op Cit, hlm. 168.
163
Ibid.
118

2) surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun

dari suatu lembaga umum;

3) surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dan suatu perkumpulan,

yayasan, perseroan atau maskapai;

4) talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan

dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-

surat itu;

5) surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan Pasal 264

KUHP sebagai berikut:164

“Bahwa sudah barang tentu perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal
ini harus memuat segala elemen-elemen atau syarat-syarat yang termuat
dalam Pasal 263 dan selain dari pada itu ditambah dengan syarat, bahwa
surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat authentik dsb. yang tersebut
berturut-turut pada sub 1 s/d 5 dalam pasal ini, surat-surat mana bersifat
umum dan harus tetap mendapat kepercayaan dari umum”.
PPAT yang melakukan pemalsuan isi akta yang tidak sesuai sebagaimana

kebenarannya yang memberikan keterangan palsu dimana seperti contoh kasus dalam

putusan 633/PDT/2019/PT BDG pada bab III PPAT tidak menerapkan prosedur

hukum dengan benar terhadap terbitnya Akta dan ada ketidak sesuaian antara isi akta

dan kebenaran yang terjadi, padahal dalam akta PPAT ada kalimat yang mengatakan :

“setelah dibacakan serta dijelaskan, maka sebagai bukti kebenaran


pernyataan yang dikemukakan oleh Pihak Pertama dan Pihak Kedua tersebut
164
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 197.
119

di atas, akta ini ditandatangani oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua, para saksi
dan Saya, PPAT,....”
Seorang PPAT jika telah terbukti melakukan pemalsuan terhadap akta yang

dibuatnya, dapat di diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun sesuai

dengan Pasal 264 ayat (1) KUHP. Selain hukum pidana yang dapat menjerat PPAT,

PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b, karena:165

a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai

PPAT; dan/atau

b. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Berdasarkan pembahasan diatas Tanggung Jawab PPAT Dalam Pelaksanaan

Pembuatan Akta Otentik, Yang Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak Oleh PPAT

dapat dikategorikan sebagai berikut :

Tabel 2
Sanksi tidak membacakan akta oleh PPAT

Kesalahan dan/atau Maksud Pertanggungjawaban


No Peraturan
Tidak Membacakan Akta PPAT
1. Terdegradasinya akta menjadi Pasal 1365 Tiap perbuatan yang
dibawah tangan dan tidak bisa KUHPerdata melanggar hukum dan
didaftarkan ke BPN dan atau membawa kerugian
menyebabkan kerugian lain. kepada orang lain,
mewajibkan orang yang
165
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
120

menimbulkan kerugian itu


karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian
tersebut
2. Tidak membacakan akta dengan Pasal 264 ayat Pemalsuan surat diancam
maksud memalsukan isi akta. (1) angka 1 dengan pidana penjara
KUHP paling lama delapan tahun,
jika
dilakukan terhadap:
l. akta-akta otentik;

3. PPAT diberhentikan dengan tidak Pasal 10 Ayat Pasal 10 (1) huruf b PPAT
hormat sebagaimana dimaksud (3) Huruf a yang diberhentikan oleh
pada Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan b PP No. Menteri sebagaimana
karena: 24 thn 2016 dimaksud dalam Pasal 8
a. melakukan pelanggaran berat tentang ayat (1) huruf c, yaitu
terhadap larangan atau Perubahan diberhentikan dengan
kewajiban sebagai PPAT Atas PP No. tidak hormat; dan
(salah satu kewajiban PPAT 37 thn 1998
adalah membacakan aktanya Tentang
sesuai dengan Pasal 22 PP No. Peraturan
24 thn 2016 tentang Jabatan PPAT
Perubahan Atas PP No. 37 thn
1998 Tentang Peraturan
Jabatan PPAT) dan/atau
b. dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan
pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih. (Bila maksud dari
tidak membacakan aktanya,
PPAT berupaya menutupi
Pemalsuan Akta)
4. Pasal 28 ayat (4) huruf I Pasal 28 ayat PPAT diberhentikan
Pelanggaran berat sebagaimana (2) dengan tidak hormat dari
dimaksud pada ayat (2) huruf Peraturan jabatannya oleh Kepala
ayaitu PPAT tidak membacakan Kepala BPN Badan, karena :
aktanya dihadapan para pihak Nomor 1 thn a. melakukan
maupun pihak yang belum atau 2006 pelanggaran berat
121

tidak berwenang melakukan Tentang terhadap larangan atau


perbuatan sesuai akta yang Ketentuan kewajiban sebagai
dibuatnya; Pelaksanaan PPAT;
PP No. 37 thn b. dijatuhi hukuman
1998 kurungan/penjara
Tentang karena melakukan
Peraturan kejahatan perbuatan
Jabatan PPAT pidana yang diancam
hikuman kurungan
atau penjara paling
lama 5 (lima) tahun
atau lebih berat
berdasarkan putusan
pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan
hukum tetap;
c. melanggar kode etik
profesi.
5. Pasal 4 huruf k dan r Kode Etik Pada Pasal 6 Sanksi yang dikenakan
Ikatan Pejabat Pembuat Akta ayat (1) Kode terhadap anggota
Tanah Setiap PPAT, baik dalam Etik Ikatan perkumpulan IPPAT yang
rangka melaksanakan tugas Pejabat melakukan pelanggaran
jabatan maupun dalam kehidupan Pembuat Akta Kode Etik dapat berupa:
sehari-hari, dilarang: Tanah a. teguran;
k. menempatkan pegawai atau b. peringatan;
asisten PPAT di satu atau c. schorsing (pemecatan
beberapa tempat di luar kantor sementara) dari
PPAT yang bersangkutan, baik di keanggotaan
kantor cabang yang sengaja dan perkumpulan IPPAT;
khusus dibuka untuk keperluan itu d. onzetting (pemecatan)
maupun di dalam kantor instansi dari keanggotaan
atau lembaga/klien PPAT yang perkumpulan IPPAT;
bersangkutan, di mana dan
pegawai/asisten tersebut bertugas e. pemberhentian dengan
untuk menerima klien-klien yang tidak hormat dari
akan membuat akta, baik klien itu keanggotaan
dari dalam dan/atau dari luar perkumpulan IPPAT.
instansi/lembaga itu, kemudian
pegawai/asisten tersebut membuat
akta-akta itu, membacakannya
atau tidak membacakannya
kepada klien dan menyuruh klien
122

yang bersangkutan
menandatanganinya di tempat
pegawai/asisten itu berkantor di
instansi atau lembaga tersebut,
untuk kemudian akta-akta tersebut
dikumpulkan untuk
ditandatangani PPAT yang
bersangkutan di kantor atau di
rumahnya;
r. melakukan perbuatan-perbuatan
lain yang secara umum disebut
sebagai pelanggaran terhadap
Kode Etik PPAT, antara lain pada
pelanggaran-pelanggaran
terhadap:
1) ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Jabatan PPAT
dan ketentuan perundang-
undangan lainnya yang
terkait dengan tugas
pokok PPAT;
(Tugas yang dimaksud termasuk
pembacaan akta).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pembacaan akta merupakan salah satu syarat formil dari syahnya suatu akta

yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), syarat formil ini salah

satunya adalah prosedur yang harus dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta

tanah yang diatur dalam Pasal 22 PP No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan

Atas PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT mengatur

bahwa Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak

dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum

ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Jika

hal tersebut tidak dipenuhi, maka Akta yang bersangkutan hanya mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, Ketika akta PPAT

kehilangan keautentikannya atau menjadi akta dibawah tangan, akta tersebut

tidak dapat didaftarkan hal ini berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas

satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan

dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali

pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan

dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

123
124

2. Pertanggungjawaban Pejabat Pembuat Akta Tanah atas pelanggaran prosedur

pembuatan akta yang tidak dibacakan kepada para pihak, secara perdata

apabila atas tindakannya tidak membacakan akta dan berakibat akta tersebut

menjadi akta dibawah tangan oleh karena itu menimbulkan kerugian bagi

para pihak PPAT wajib untuk mengganti kerugian tersebut berdasarkan Pasal

264 ayat (1) angka 1 KUHP. Tanggung jawab secara administratif atas

pelanggaran yang telah dilakukan tersebut, PPAT bertanggung jawab

terhadap jabatannya ataupun dalam keanggotaannya di Ikatan PPAT seperti

pemberhentian secara tidak hormat seperti pada Pasal 6 ayat (1) Kode Etik

Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Tanggung jawab secara pidana bisa saja

terjadi pada PPAT dalam pembacaan akta peralihan hak bila unsur-unsur

pidana pada bab IV dipenuhi sepeti tidak dibacakannya suatu akta kepada

salah satu pihak dikarenakan adanya kesengajaan dengan maksud untuk

memalsukan isi dari akta tersebut seperti diatur dalam Pasal 264 ayat (1)

angka 1 KUHP, pemalsuan surat diancam Pemalsuan surat diancam dengan

pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap akta-akta

otentik, dan dapat diberhentikan secara tidak hormat jika memenuhi Pasal 10

Ayat (3) Huruf a dan b PP No. 24 thn 2016 tentang Perubahan Atas PP No.

37 thn 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT dijatuhi pidana penjara

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5

(lima) tahun atau lebih.


125

B. Saran

1. Sengketa pertanahan yang disebabkan oleh kelalaian PPAT baik yang

disengaja maupun yang tidak disengaja diakibatkan kurangnya kesadaran dari

PPAT akan pentingnya akta yang dibuatnya bukan hanya saat pembuatan akta

tersebut melainkan untuk masa yang akan datang ketika akta itu menjadi suatu

pembuktian untuk peralihan hak atas tanah tersebut dan jika adanya sengketa

pertanahan yang dimana kita tidak menyadari kapan akan datangnya. Disini

penulis menyadari tentang moral seorang PPAT harus benar-benar di pupuk

sejak perkuliahan atau perlunya tes moral ketika calon-calon PPAT itu sendiri

akan diangkat menjadi seorang PPAT agar menjadi PPAT yang benar-benar

bertanggung jawab atas akta yang dibuatanya.

2. Kesewenang-wenangan PPAT dalam menjalankan tugasnya menurut penulis

karena kurangnya pengawasan oleh pihak yang diberi kewenangan untuk

mengawasi PPAT dalam menjalankan tugasnya, dengan adanya pengawasan

setidaknya PPAT akan takut untuk melakukan suatu pelanggaran yang

menurutnya sepele atau hal kecil tetapi tidak disadari bahwa dampaknya akan

besar baik kepada para pihak dalam peralihan hak atas tanah maupun bagi

PPAT itu sendiri.


126

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdul Kadir Muhammad (1), Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1994.

___________________ (2), Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2010.

Abd. Shomad, Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2010.

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko

Gunung Agung, Jakarta, 2002.

Adrian Sutedi (1), Peralihan Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

___________ (2), Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005.

Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa PPAT, Selaras, Malang,

2013.

Ateng Syarifudin, “Kepala Daerah”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994.

A.W Widjaja, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya

Bhakti, Bandung, 2001.

Bachtiar Effendy, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya, Alumni,

Bandung, 1993.
127

Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Margaretha Pustaka, Jakarta

Selatan, 2015.

Boedi Harsono (1), Perkembangan Hukum Tanah Adat Melakui Yurisprudensi,

(Ceramah, disampaikan pada Simposium Undang‐Undang Pokok Agraria

dan Kedudukan Tanah‐Tanah Adat Dewasa Ini, Banjarmasin, 7 Oktober

1977).

_____________ (2), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan Kesembilan,

Djambatan, Jakarta, 2003.

Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandotary,

Raja Grafindo Perss, Jakarta, 2011.

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan konsumen, PT. Sinar Grafika,

Jakarta, 2008.

Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, Yayasan

Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011.

Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit,

Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009.

Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, 1989.


128

Didik Ariyanto, Pelaksanaan Fungsi Dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat

Pembuat Akta Tanah Sementara Di Kabupatn Gobrongan, Tesis PPS

Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.

Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,

Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010.

Sugeng Istanto, “Hukum Internasional”, UAY Press, Jogjakarta, 1994.

Hans Kelsen (1), Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa dan

Nusamedia, Bandung, 2006.

__________ (2), diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and State ,

Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif

Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta,

2007.

__________ (3), Pure Theory of Law, Terjemah, Raisul Muttaqien, Teori Hukum

Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cetakan Keenam, Nusa Media,

Bandung, 2008.

__________ (4), Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet. ke-2, terjemahan Jimly

Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, selanjutnya disingkat Hans Kelsen I,

Konstitusi Press, Jakarta, 2012.

Habib Adjie (1), Hukum Notaris di Indonesia – Tafsiran Tematik Terhadap Undang-

Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama,

Bandung, 2008.

__________ (2), Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2009.


129

__________ (3), Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT.Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2009.

__________ (4), Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Thn

2004 Tentang Jabatan Notaris, Aditama Refika, 2009.

__________ (5), Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris, PT Refika

Aditama, Bandung, 2009.

Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia

Cerdas, Cetakan ke-I, Jakarta, 2003.

HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)

diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, Nusamedia, Bandung, 2010.

Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia,

Arkola Surabaya, Surabaya, 2003.

Jayadi Setiabudi, Pedoman Pengurusan Surat Tanah & Rumah Beserta Perizinannya,

Penerbit Buku Pintar, Yogyakarta, 2015.

Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Setjen dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah,

Majalah Renvoi Edisi 3, Jakarta, 2003.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, 2006.


130

John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia (An English-

Indonesian Dictionary)”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik,

Kanisius, Yogyakarta, 2001.

Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Miyasto, Sistem Perpajakan, PT. Liberty, Yogyakarta, 1997.

Muschsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, magister

Ilmu Hukum program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta,

2003.

Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985.

Peter Mahmud Marzuki (1), Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

___________________ (2), Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Perdana Media Group,

Jakarta, 2008.

Philipus M, Hadjon, "Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya

Post, 31 Januari 2001.

Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bina Cipta

Bandung, 1991.

Riduan Syahrani (1), Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,

1998.

____________ (2), Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1999.
131

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fak Hukum UI, Jakarta, 2003.

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris Di Indonesia: Suatu Penjelasan, Rajawali

Pers, Jakarta, 1982.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 197.

Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria,

Alumni, Bandung, 1980.

Salim H.S (1), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), PT. Sinar Grafika, Jakarta,

2008.

________ (2), Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016.

Shidarta (1), Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000.

_______ (2), Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2006.

Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, 1999.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Sudikno Mertokusumo (1), Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Cetakan

Pertama, Yogyakarta, 1977.


132

____________________ (2), Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1993.

__________________ (3), Mengenal hukum, Sebuah pengantar, Liberty,

Yogyakarta, 1999.

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, 2008.

Tan Thong Kie, Studi Notariat Dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtisar Baru Van

Hoeve, Jakarta, 2007.

Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi

Pustaka, Jakarta, 2010.

Urip Santoso, PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (Perspektif Regulasi, Wewenang,

dan Sifat Akta), Kencana, Jakarta, 2017.

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990.

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problema

Keadilan, diterjemahkan oleh Muhamad Arifin, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 1994.

Yanly Gandawidjaja, Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Sementara Dalam Proses Pendaftaran Tanah, Universitas Katolik

Parahyangan, Bandung, 2002.


133

2. Buku Asing

CA.Kraan, De Authentieke Akte Gouda, Quint BV, Arnhem, 1984.

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., Amerika,

1979.

Lon L. Fuller, Morality of Law New Haven and London, Yale University Press,

1964.

3. Jurnal

Arlene Agustina, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam

Penandatanganan Akta Jual Beli Yang Didasari Atas Blangko Kosong

(Contoh Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 1201/K/Pdt/2016), Jurnal

Hukum Adigama.

Budianto, Umar Ma’ruf, Kehadiran Saksi Pada Saat Transaksi Jual Beli Tanah

Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Hubungannya

Dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998

Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Di Kabupaten

Kubu Raya, Jurnal Akta, Volume 4, Nomor 4, Desember 2017.

Dhea Tri Febriana & Ahars Sulaiman, “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang

PPAT”, Jurnal Petita, Volume 1, Nomor 1, Juni 2019.


134

Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala

Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19,

Nomor 3, Yogyakarta, Oktober 2007.

I Gusti Bagus Yoga Prawira, Tanggung Jawab Ppat Terhadap Akta Jual Beli Tanah,

Jurnal IUS, Volume IV, Nomor 1, April 2016.

Idris Aly Fahmi, Analisis Yuridis Degradasi Kekuatan Pembuktian Dan Pembatalan

Akta Notaris Menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris, Volume 6, Nomor 2, 2013.

Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam

Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Jurnal Dinamika

Hukum, Volume 14, Nomor 2, Mei 2014.

Triyono, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan

Akta Jual Beli Tanah Dan Implikasi Hukumnya Bagi Masyarakat Umum,

Volume 17, Nomor 2, Agustus 2019.

USU Law Journal, Kepastian Hukum Terhadap Standar Pelayanan Publik Dalam

Pelayanan Izin Usaha : Studi di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan

Terpadu Satu Pintu Kota Pematang Siantar, Volume 7 Nomor 3, Juni 2019,

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Vina Akfa Dyani, Pertanggungjawaban Hukum dan Perlindungan Hukum bagi

Notaris dalam Membuat Party Acte, Nomor 1, Volume 2, Januari 2017.


135

Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Kesejahteraan

Mmasyarakat”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 25, Nomor 3, Juli 2007.

4. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Stafcrecht).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang

Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.


136

Peraturan Kepala Badan pertanahan nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang perubahan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24

tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah.

Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

5. Internet

Definisi Perlindungan Hukum, http://prasxo.wordpress.com/2011/02/17/definisi-

perlindungan-hukum/.

http://myblogalwafi.blogspot.com/2015/06/kode-etik-tanggung-jawab-profesi.html.

https://litequran.net/al-anfal

http://pemerintah.net/asas-asas-umum-pemerintahan-yang-baik-aupb

http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/pelaku-usaha-dan-tanggung-jawab

hukumonline.com, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana.

hukumonline.com, Sanksi bagi PPAT yang Membuat Akta Tak Sesuai Data.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka (1).

The Law Commision, tanpa tahun, The Executive of Deeds and Documents by or on Behalf of

Bodies Corporate.
137

CURRICULUM VITAE

1. IDENTITAS
Nama : Yoga Rifaldi
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 02 Juni 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat : Jl. Raya Barat No 154, Kp. Sukamulya
RT.002/RW.007 Desa. Panenjoan, Kecamatan
Cicalengka, Kabupaten Bandung.
No.Tlp/Hp : 082121056182
Email : yogarifaldi7@gmail.com

2. PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar : Sekolah Dasar Tenjolaya II
(2001-2007).
SMP : SMP Negeri 1 Cicalengka
(2007-2010).
SMA : SMA Negeri 1 Cicalengka
(2010-2013).
Sarjana : Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB)
(2013-2017)

Demikianlah Daftar Riwayat Hidup (Curriculum Vitae) Penulis, dibuat


dengan sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bandung, 30 Desember 2020

Yoga Rifaldi

Anda mungkin juga menyukai