TESIS
Oleh :
YOGA RIFALDI
NPM : 20040118037
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PERSETUJUAN
TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM
PELAKSANAAN PEMBUATAN AKTA YANG TIDAK DIBACAKAN
KEPADA PARA PIHAK BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN
JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN
ASAS KEPASTIAN HUKUM
Oleh :
YOGA RIFALDI
NPM : 20040118037
Diajukan Untuk Memenuhi Salah satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Pada Program Studi Magister Kenotariatan
Bandung, 4 Januari 2020
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
(Dr. Efik
Yusdiansyah, S.H., M.H.) (Dr. Alin Ardinal Widjaksana, S.H., M.Kn)
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
(Dr. Rini Irianti Sundary, S.H., M..)
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PENGESAHAN
Bismillahirrohmaanirrohim,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, inayah dan taufik-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
Dalam proses penulisan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan dan
dorongan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
1. Kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang dan do’a restunya
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Neni Yulianita, M.S selaku Direktur Program Pascasarjana
3. Ibu Dr. Hj. Ratna Januarita, S. H., LL.M., M.H selaku Wakil Direktur
4. Ibu Dr. Hj. Rini Irianti Sundary, S.H., M.H selaku Ketua Program Magister
5. Bapak Dr. Efik Yusdiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama, yang
penulisan tesisini.
7. Bapak Dr. Husni Syawali, S.H., M.H. dan Ibu Dr. Yenni Yunithawati
Rukmana, S.H. selaku Dosen Penguji tesis, atas nasehat, saran dan waktu
9. Calon Istri Heni Sumarni yang telah memberikan dukungan dan do’a serta
10. Paman sekaligus Notaris Motivator saya Ayi Ruhiat, S.H., Saudara beserta
11. Bapak Notaris Erwin Andriansyah, S.H., M.Kn dan Bapak Yudie Tosin, SP.d
12. Azmi Permata Putra dan rekan-rekan kerja di Kantor Notaris Erwin
Edward, Fachri, Mulky, Yogi, dan Hizky yang telah memberikan motivasi
dan kontribusi besar terhadap penulis.
Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang disengaja
maupun tidak disengaja. Akhirnya penulis hanya bisa mendo’akan agar semua
Dengan iringan do’a semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini
menjadi sebuah nilai ibadah disisi-Nya dan semoga Tesis ini bermanfaat bagi saya
pribadi dan bagi semua pihak yang membacanya. Amiin Yaa robbal’alamin.
Penulis
ABSTRAK
Bissmilahirrahmanirahim,
Yang bertanda tangan di bawah ini saya :
Yoga Rifaldi
20040118037
DAFTAR ISI
JUDUL ..........................................................................................................................i
PERSETUJUAN...........................................................................................................ii
PENGESAHAN...........................................................................................................iii
KATA PENGANTAR.................................................................................................iv
ABSTRAK.................................................................................................................vii
ABSTRACT..............................................................................................................viii
SURAT PERNYATAAN............................................................................................ix
DAFTAR ISI.................................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.........................................................................................10
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................10
D. Kegunaan Penelitian........................................................................................11
E. Kerangka Pikir.................................................................................................11
F. Metode Penelitian............................................................................................27
BAB II TINJAUAN TEORI MENGENAI TANGGUNG JAWAB, PEJABAT
PERLINDUNGAN HUKUM...................................................................................26
C. Pengertian Akta, Pembuatan dan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).........................................................................................................39
BAB III Pelaksanaan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan
A. Akibat Hukum Terhadap Akta Yang Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
BAB V PENUTUP...................................................................................................125
A. Kesimpulan....................................................................................................125
B. Saran..............................................................................................................127
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................128
CURRICULUM VITAE.........................................................................................139
BAB I
PENDAHULUAN
dengan tegas, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip dari negara hukum
adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban orang atau badan
Indonesia khususnya diatur dalam UUPA pada Pasal 19 Ayat (1), yang berbunyi
sebagai berikut:2
bersangkutan.3 Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT diangkat oleh
1
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Setjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 61.
2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
1
2
pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan
tertentu dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak
atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan
berlaku.4 Oleh sebab itu PPAT merupakan kepanjangan tangan dari BPN, keduanya
saling membantu satu sama lain dalam menjalankan tugasnya masing-masing untuk
Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar
Nomor 24 Tahun 2016). Khusus mengenai PPAT tersebut telah diterbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pasal 37 Ayat (1) mensyaratkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan pemindahan hak
lainnya hanya dapat didaftarkan jika dibuat dengan akta yang dibuat di hadapan
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
pemindahan hak atas tanah, harus dibuat dengan akta PPAT dan hal tersebut
merupakan sangat mutlak karena apabila tidak dibuat dengan akta PPAT maka tanah
tersebut tidak dapat didaftarkan dalam rangka balik nama sertifikat hak milik atas
tanah yang bersangkutan, oleh karenanya tidak ada jaminan perlindungan hukum
terhadap kepemilikan atas tanah. Dalam membuat akta tanah tersebut, PPAT
memberi apa yang menjadi hak dari pada saksi dalam perbuatan hukum tersebut.
Hak-hak saksi yang harus dipenuhi oleh PPAT dalam pembuatan akta peralihan hak
atas tanah antaranya ikut menyaksikan seluruh rangkaian pembuatan akta peralihan
4
hak atas tanah tersebut serta menandatangani akta peralihan hak atas tanah tersebut.
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah disebut dengan jelas bahwa “Akta PPAT harus
kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para
pihak, saksi-saksi dan PPAT”, pada dasarnya untuk pemenuhan sifat otentik dari akta,
pembacaan akta dilakukan sendiri oleh PPAT, penandatanganan para pihak, saksi dan
Selain akta otentik yang dibuat oleh PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh
berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi
formal sesuai dengan apa yang diberitahukan kepada PPAT. Namun, PPAT
mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT
sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu
6
Budianto, Umar Ma’ruf, Kehadiran Saksi Pada Saat Transaksi Jual Beli Tanah Dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Hubungannya Dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Di Kabupaten Kubu
Raya, Volume 4, Nomor 4, Desember 2017, hlm. 690.
5
dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta
undangan yang terkait bagi para pihak yang menandatangani akta. Dengan demikian,
para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui
َٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ُخوْ نُوا هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل َوتَ ُخوْ نُ ْٓوا اَمٰ ٰنتِ ُك ْم َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن
antum ta'lamụn
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu,
berlaku sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan tentang pendaftaran tanah
sebagai amanat yang telah diberikan oleh aturan itu sendiri. Salah satu ketentuan
dalam peraturan tersebut yaitu pembuatan akta oleh PPAT harus dihadiri oleh para
pihak yang melakukan perbuatan hukum bersangkutan atau kuasanya dan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kemudian oleh PPAT akta tersebut
dibacakan dan dijelaskan kepada para pihak dan saksi-saksi yang kemudian
7
Triyono, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli
Tanah Dan Implikasi Hukumnya Bagi Masyarakat Umum, Volume 17, Nomor 2, Agustus 2019, hlm.
168.
8
https://litequran.net/al-anfal, diakses pada tanggal 19 November 2019.
6
ditandatangani pada saat itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT sebagaimana
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PMA Nomor 3 Tahun
1997).
jabatan bagi PPAT terhadap akta yang dibuatnya. Hal ini diatur baik dalam Peraturan
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Salah satunya yaitu mengenai pembacaan dan penandatanganan akta oleh PPAT
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT”9
Akta PPAT merupakan alat bukti yang menjamin kebenaran suatu transaksi
atas tanah, baik kebenaran tanggal maupun atas subjek hukumnya. Disamping itu
diantara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. 10 PPAT merupakan pejabat
9
PP No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
PPAT, Pasal 22.
10
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola Surabaya,
Surabaya, 2003, hlm. 230.
7
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta autentik, yang merupakan
PPAT ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat untuk memberikan jaminan
kepastian hukum melalui akta autentik yang dibuatnya dan diharapkan juga dapat
hadapan PPAT ataupun PPAT yang tidak hadir dan hanya dihadiri oleh saksi yang
sekaligus pegawai Notaris/PPAT dan yang membacakan akta untuk para penghadap,
padahal dalam akhir isi akta peralihan hak atas tanah yang dibuat PPAT telah
menyebutkan “akhirnya hadir juga dihadapan saya, Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang selanjutnya disebut PPAT dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang sama dan
Dari hal tersebut akan menimbulkan permasalahan terhadap akta PPAT yang
mengeluarkan produk atau akta peralihan hak atas tanah berdasarkan wewenang yang
Tabel 1
Persamaan dan perbedaan dengan Penulisan Terdahulu
membacakan akta
(PPAT).
2. Akta yang di
maksud dalam
penelian berbeda
dari jabatan
pembuat akta
antara Notaris
dan Pejabat
Pembuat Akta
Tanah.
3. Dwi Kewajiban Pembacaan Membahas Membahas kekuatan
Merlyani Akta Otentik Oleh mengenai akibat hukum akta yang di
(2019) Notaris Di Hadapan hukum terhadap tanda tangani secara
Penghadap (Terkait akta yang tidak elektronik,
Dengan Konsep Cyber dibacakan oleh sedangkan hal
Notary) Pejabat Umum. tersebut tidak dibahas
oleh penulis.
4. Titik Pertanggungjawaban Membahas Membahas sesuatu
Utami Seorang Pejabat mengenai hal yang sama dalam
Pembuat Akta Tanah tanggung jawab melaksanakan
(PPAT) Dalam pejabat pembuat jabatannya dalam
Melaksanakan akta tanah dalam pembuatan akta
Jabatannya Dalam melaksanakan tetapi penulis
Pembuatan Akta jabatannya memfokuskan pada
(Analisis Terhadap dalam pembacaan akta.
Putusan Pengadilan pembuatan akta.
Negeri Cibinong
Nomor:
117/PdtG/2007/PN.Cb
n. Tanggal 1 April
2008)
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi
1. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta yang tidak dibacakan kepada para
otentik, yang tidak dibacakan kepada para pihak oleh PPAT berdasarkan
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menentukan akibat hukum terhadap akta yang tidak dibacakan kepada
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
11
kalangan PPAT dan calon PPAT dalam kaitannya dengan pengaturan tentang
cara pelaksanaan pembuatan suatu akta otentik agar dapat memberikan jaminan
2. Kegunaan Praktis
E. Kerangka Pikir
menjadi bagian dari asas-asas hukum umum dan penting artinya bagi perbuatan-
asas hukum yang tidak tertulis, sehingga F.H. Van Der Burg dan G.J.M Cartigny
lebih spesifik memberikan definisi tentang AAUPL (AUPB) sebagai asas-asas hukum
tidak tertulis yang harus diperhatikan badan atau pejabat administrasi Negara dalam
melakukan tindakan hukum yang akan dinilai kemudian oleh Hakim Administrasi.
Sedangkan menurut Wirda Van der Burg mendefinisikan AUPB sebagai tendensi-
tendensi (kecenderungan) etik, yang menjadi dasar hukum Tata Usaha Negara, baik
yang tertulis, maupun yang tidak tertulis, termasuk praktik pemerintahan dan dapat
diketahui pula bahwa asas-asas itu sebagian dapat diturunkan dari hukum dan praktik,
12
sedangkan untuk sebagian besar bukti (jelas atau nyata) langsung mendesak. Hal ini
Pemerintahan Pasal 10 ayat (1) AUPB terdiri dari 8 asas sebagai berikut :12
meskipun hukum positif itu kurang adil. Mahmul Siregar mengatakan hal
yang senada dimana kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang
hukum yang tepat waktu.15 Selanjutnya, menurut H.L.A Hart dalam the
apa yang diperintahkannya dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas
interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal ini menurut H.L.A Hart
undang-undang.16
15
Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 160.
16
H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh
M. Khozim, Konsep Hukum, Nusamedia, Bandung, 2010, hlm. 230.
14
wanita.
kewenangan.
negara.
h. Asas Pelayanan Yang Baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang
tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar
bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu
atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia
bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. 17
17
Hans Kelsen (2), diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and State , Teori Umum
Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik,
BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 81.
18
Ibid, hlm. 83.
16
yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum,
Asas tanggung jawab lebih menekankan pada makna tanggung jawab yang lahir
bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan,
diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk
19
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 337.
20
Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandotary, Raja Grafindo
Perss, Jakarta, 2011, hlm. 54.
21
Vina Akfa Dyani, Pertanggungjawaban Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Notaris dalam
Membuat Party Acte, Nomor 1, Volume 2, Januari 2017, hlm. 165.
17
Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan
diperlukan 4 syarat: 22
murni yaitu Hans Kelsen. Menurut Hans, tanggung jawab berkaitan erat dengan
kewajiban, namun tidak identik. Kewajiban tersebut muncul karena adanya aturan
sebagai perintah dari aturan hukum. Akibat dari tidak dilaksanakannya kewajiban
maka akan menimbulkan sanksi. Sanksi ini merupakan tindakan paksa dari aturan
22
hukumonline.com, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana, di
akses tanggal 10 Maret 2020.
18
hukum supaya kewajiban dapat dilaksanakan dengan baik oleh subyek hukum.
Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan
adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai
wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat
kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua
kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap
23
Hans Kelsen (3), Pure Theory of Law, Terjemah, Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni: Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cetakan Keenam, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 136.
24
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
25
Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala Mimbar Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 3, Yogyakarta, Oktober 2007, hlm.
388.
26
Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan
Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurnal
Dinamika Huku, Volume 14, Nomor 2, Mei 2014, hlm. 219.
19
berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal ini untuk menimbulkan banyak salah
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi
laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
hukum.28
Sejatinya keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah
pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang
27
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm. 25.
28
Peter Mahmud Marzuki (2), Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2008,
hlm.158.
29
Sudikno Mertokusumo (2), Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hlm. 2.
20
PPAT pada umumnya hanya mencatat tentang apa yang dijelaskan oleh
para pihak yang menghadap kepada PPAT dan tidak memiliki kewajiban untuk
mencari tahu atas kebenaraan materiil. PPAT bisa saja berbuat kesalahan
menyangkut isi akta karena keterangan yang tidak benar (sengaja atau tidak
disengaja) yang diperoleh oleh para pihak, kesalahan demikian ini tidak bisa di
pembuatan akta tersebut terpenuhi, maka akta notaris dan/atau PPAT memiliki
kekuatan pembuktian sempurna. Tetapi jika tidak dipenuhi maka akta notaris
dan/atau PPAT tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta
akibat hukum tertentu jika syarat subyektif dan syarat obyektif tidak terpenuhi.
batal demi hukum (nietig) tanpa perlu ada permintaan dari para pihak.32
30
Sudikno Mertokusumo (1), Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Cetakan Pertama,
Yogyakarta, 1977, hlm. 149.
31
Habib Adjie (1), Hukum Notaris di Indonesia – Tafsiran Tematik Terhadap Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 22.
32
Habib Adjie (3), Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009, hlm. 134.
21
Istilah akta di bawah tangan dan akta yang batal demi hukum adalah dua
hal yang berbeda dan memiliki akibat hukum yang berbeda. Istilah akta di bawah
tangan berkaitan dengan nilai pembuktian suatu alat bukti. Akta di bawah tangan
Tidak dipenuhinya salah satu syarat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
dipertanyakan dalam arti dapat batal atau dapat dibatalkan oleh pihak ketiga yang
berkepentingan. Syarat (a) dan (b) dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
atau subjek yang mengadakan perjanjian. Jika syarat subjektif ini dilanggar, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalakan. Syarat (c) dan (d) dalam ketentuan Pasal
dengan isi dari perjanjian. Jika syarat objektif ini dilanggar maka perjanjian
33
Habib Adjie (2), Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2009, hlm. 203.
34
Idris Aly Fahmi, Analisis Yuridis Degradasi Kekuatan Pembuktian Dan Pembatalan Akta Notaris
Menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Volume 6,
Nomor 2, 2013, hlm. 225.
22
melainkan juga karena kesalahan atau kurang hati-hatinya pelaku. Ketentuan ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riduan Syahrani sebagai berikut: “tidak
kurang hati-hati”.35 Notaris dan/atau PPAT yang membuat akta ternyata tidak
kelalaiannya, yang berarti telah salah sehingga unsur harus ada kesalahan telah
terpenuhi.
dirugikan oleh orang lain dan perlindungan hukum itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menjalankan hak yang diberikan oleh hukum. Philipus M.
hukum.
35
Riduan Syahrani (1), Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 279.
36
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987,
hlm. 2.
37
Peter Mahmud Marzuki (1), Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 60.
23
Asas perlindungan hukum yang seimbang adalah prinsip hukum atau asas
hukum yang menjadi dasar dalam memberikan perlindungan hukum secara adil
(tidak berat sebelah) bagi para pihak. Maksudnya adalah, para pihak berada dalam
posisi dan kedudukan yang sama, sehingga pengaturan hak dan kewajiban bagi
para pihak tidak berat sebelah. Dengan demikian para pihak memperoleh
benar tidak memihak, menganggap sama dalam prinsip dan berusaha menemukan
yang dibuat dengan maksud untuk mencegah setiap warga negara melakukan
hukum.
berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan
apabila sudah terjadi pelanggaran atau sengketa. Dalam hal ini maka segala
mendapatkan kepastian hukum yang berlaku dan mengikat bagi setiap orang.
merupakan dasar dari suatu kegiatan, hal ini berlaku pula pada pendaftaran tanah.
Oleh karena itu, dalam pendaftaran tanah ini terdapat asas yang harus menjadi
a. Asas sederhana
b. Asas aman
25
itu sendiri.
c. Asas terjangkau
yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Utuk itu perlu
di kemudian hari.
d. Asas mutakhir
e. Asas terbuka
26
pertanahan.
kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah
tersebut. Kepastian berkenaan dengan siapakah pemegang hak atas tanah itu
disebut dengan kepastian mengenai subyek hak atas tanah. Kepastian mengenai
letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah. Kepastian berkenaan
dengan letak, batas-batas dan panjang serta lebar tanah itu disebut dengan
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
41
Bachtiar Effendy, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993,
hlm. 21.
27
Akta Tanah terhadap pelaksanaan pembuatan akta yang berdasarkan aturan yang
2. Spesifikasi Penelitian
hukum dan bahan pustaka (kepustakaan) yang merupakan data sekunder, yang
ada dalam keadaan siap terbit, bentuk dan isinya telah disusun oleh peneliti-
peneliti terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.
Jenis data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah data sekunder,
yaitu data yang diperoleh/dikumpulkan dari bahan kepustakaan atau literatur yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
Tanah
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
penelitian hukum ini, Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet
juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi
43
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 15.
29
Studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder yang terdiri dari bahan-
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
dari studi dokumen, yaitu dengan mengadakan sistematisasi terhadap bahan bahan
hukum tertulis. Kualitatif dimaksudkan menganalisis data yang berasal dari hasil
hukum.
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM
menanggung, wajib memikul beban, wajib memenuhi segala akibat yang timbul dari
perbuatan, rela mengabdi, dan rela berkorban untuk kepentingan pihak lain.44
tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa
yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggungjawab juga berarti berbuat
44
Khaerul Tanjung, “Pelaku Usaha dan Tanggung Jawab”,
http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/pelaku-usaha-dan-tanggung-jawab. Diakses pada tanggal 05
Mei 2020, Pukul 15.21 WIB.
45
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 49.
26
27
atau Accountability ialah prinsip yang menuntut seorang pekerja supaya senantiasa
berwaspada dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan atau dibelanjakan karena
mereka akan di periksa dan dipersoalkan bukan sekadar di dunia malah di hari
seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam
hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang
46
Shidarta (1), Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 59.
47
Abd. Shomad, Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 78.
48
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 27.
49
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2010, hlm. 48.
28
(lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung
pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus
Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak
risiko usahanya.50
Secara umum, prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai
berikut :51
fault)
Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum perdata
khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Secara umum, asas tanggung
jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk
mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang
yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.52
50
Ibid. hlm. 49.
51
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan konsumen, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.
92.
52
Ibid, hlm. 93.
29
Perkara yang perlu dijelaskan dalam prinsip ini adalah defenisi tentang
majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang
itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab
53
Ibid, hlm. 94.
54
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 365.
30
sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada
si tergugat.
tanggung jawab absolut. Ada yang mengatakan tanggung jawab mutlak adalah
Sebaliknya tanggung jawab absolut adalah tanggung jawab tanpa kesalahan dan
tidak ada pengecualiannya.55 Asas tanggung jawab mutlak merupakan salah satu
perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :57
(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah
perbuatannya.
fungsi pokok PPAT, yaitu pertama PPAT bertanggung jawab terhadap kepastian
hukum terhadap sahnya suatu pengikatan hukum, yang kedua PPAT memiliki
pada semua pihak. Secara etimologi kata “tanggung jawab” berasal dari bahasa
Inggris yaitu “Responsibility” yang artinya ialah tanggung jawab, bertanggung jawab
atau yang memiliki tanggung jawab.58 Tanggung jawab ialah kewajiban atas segala
hal yang terjadi dan untuk memberi pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan.59
58
John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian
Dictionary)”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 481.
59
F. Sugeng Istanto, “Hukum Internasional”, UAY Press, Jogjakarta, 1994, hlm. 77.
32
Tanggung jawab PPAT merupakan tanggung jawab profesi maka dari itu
tanggung jawab PPAT merupakan tanggung jawab kepada diri sendiri teradap
profesinya, yaitu Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap
kemanusiaan mengenai dirinya sendri. Menurut sifat dasarnya anusia adalah makhluk
bermoral, tetapi manusia juga seorang pribadi. Karena merupakan seorang pribadi
dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan kekeliruan, baik yang
disengaja maupun tidak.60 Profesi pada umumnya, paling tidak ada dua prinsip yang
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengalami
60
http://myblogalwafi.blogspot.com/2015/06/kode-etik-tanggung-jawab-profesi.html, diakses pada
tanggal 30 Oktober 2020.
33
Akta Tanah.
1998 Pasal 1 angka 1 disebutkan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan
Hak Tanggungan. Pejabat umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang
tertentu.61
61
Boedi Harsono (2), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan Kesembilan, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 72.
34
haknya. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah
pula tubuh bumi dan air serta ruang diatasnya sekedar diperlukan untuk
batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.62
Hak milik atas satuan rumah susun bukan merupakan hak atas tanah tetapi
berkaitan dengan tanah. Hak milik atas satuan rumah susun terdapat
bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi
terpisah tersebut diberi sebutan Satuan Rumah Susun (SRS) yang harus
mempunyai sarana penghubung ke jalan umum tanpa menggangu dan tidak boleh
62
Jayadi Setiabudi, Pedoman Pengurusan Surat Tanah & Rumah Beserta Perizinannya, Penerbit Buku
Pintar, Yogyakarta, 2015, hlm, 19.
63
Boedi Harsomo (2), Op Cit, hlm. 348.
35
Tugas Pokok Dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur dalam
Pasal 2
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
Pasal 3
36
mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
Pasal 4
(1)PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya;
pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah
kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya
meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya
maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sangat penting. Oleh karena
itu, mereka dianggap telah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan
37
“PPAT harus membuat satu buku daftar untuk semua akta yang telah
dibuatnya. Diisi setiap hari kerja dan ditutup setiap akhir hari kerja
dengan paraf PPAT yang bersangkutan. PPAT mengirimkan laporan
bulanan mengenai akta tersebut dengan mengambil dari buku daftar akta
PPAT untuk dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan berlaku
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.”
PPAT dapat pula membuat akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan dan sebagai catatan Notaris juga berhak untuk membuat akta
sudah di bakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional. Namun harus diperiksa
dengan seksama bahwa pajak balik nama dan bea perolehan hak telah dibayarkan
berikut:66
a. PPAT adalah pejabat umum yang diberi tugas dan wewenang khusus
64
Yanly Gandawidjaja, Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara Dalam
Proses Pendaftaran Tanah, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002, hlm. 5.
65
Didik Ariyanto, Pelaksanaan Fungsi Dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sementara Di Kabupatn Gobrongan, Tesis PPS Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 30.
66
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 485.
38
pemindahan hak atas tanah, Hak Milik atas Satuan Rumah Susua atau
b. Akta yang dibuatnya adalah akta otentik, yang hanya dialah yang berhak
membuatnya;
d. Akta PPAT bukan surat keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, karena akta
adalah relaas, yaitu laporan tertulis dai pembuat akta berupa pemyataan
hukum di hadapannya pada suatu waktu yang disebut dalam akta yang
bersangkutan;
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu :67
mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun;
Bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
a. Akta
67
Urip Santoso, Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perspektif Regulasi, Wewenang, dan Sifat Akta),
Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 126.
68
Ibid, hlm. 129
40
Alat bukti yang berupa akta menurut sifatnya dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu:
1) Akta autentik
Yang dimaksud dengan surat (tulisan biasa) adalah surat atau tulisan
yang dibuat oleh seseorang atau dua orang yang pada waktu dibuat tidak
pembuktian.
gesta atau instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau akta
publica. Akta-akta tersebut dibuat oleh seorang pejabat publik (publicae personae).
Dari berbagai kata tersebut di atas kemudian muncul kata-kata publicare dan
dibuat untuk dipakai sebagai bukti, dan dipergunakan oleh orang, untuk keperluan
siapa surat itu dibuat. Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat
yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar
69
Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm. 252.
41
dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.70
Akta autentik, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan authentic deed,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan authentic akte van, diatur di
Akta autentik adalah : “suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
Jabatan Notaris tidak ditemukan pegertian akta autentik, namun yang ada,
70
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 1.
71
Salim H.S (2), Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2016, hlm. 17.
42
yaitu pengertian akta notaris. Akta notaris yang selanjutnya disebut dengan
akta adalah:
“Akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk
Pengertian akta autentik dapat dikaji dan dianalisa dalam aturan The
created of confirmed”.72
1) Instrument tertulis;
b) Hak;
c) Property; atau
Artinya, yaitu sebuah akta notaris yang dibuat dengan formalitas yang
memenuhi syarat untuk itu dan bertindak di tempat di mana akta itu dibuat.
undang-undang”.
Pasal 101 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga
jenis ialah :
1) akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang
73
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., Amerika, 1979, hlm. 24.
74
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hlm. 17.
44
tercantum di dalamnya;
2) akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
tercantum di dalamnya;
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. Akta PPAT merupakan alat
membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, apabila
perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersnagkutan tidak
berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut. Dalam pada itu apabila
pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya
putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akta PPAT adalah akta
45
yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.75
aturan yang memuat dalam akta itu. Akta PPAT merupakan surat tanda bukti, yang
dibuat di muka dan di hadapan PPAT, yang memuat tentang klausula-klausula atau
aturan-aturan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak di mana pihak
yang pertama berkewajiban untuk menyerahkan hak atas tanah dan/atau hak milik
atas satuan rumah susun, dna pihak kedua berkewajiban untuk menyerahkan uang
atau menerima hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun.76
Secara yuridis, bentuk akta PPAT sendiri telah ditentukan dalam Pasal 38
ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa : “Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta
Ada tiga hal yang dimuat dalam pasal 38 ayat (2), yang meliputi:
75
Penjelasan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
76
Salim HS, Op Cit, hlm. 70.
46
3) Akta Hibah;
7) Akta Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;
Selain akta-akta sebagaimana pada ayat (1), Pejabat Pembuat Akta Tanah
juga membuat Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan yang merupakan akta
Tanggungan.78
1) Bagian sampul;
2) Judul;
3) Pembukaan;
77
Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pearturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
78
Pasal 95 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
79
Lampiran Peraturan Kepala Badan pertanahan nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang perubahan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah.
47
4) Komparisi;
5) Substansi;
6) Syarat-syarat;
7) Penutup; dan
8) Tanda tangan
Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai 2 (dua)
a. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai bukti telah diadakan perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun;
b. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
2. Pembuatan Akta
dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti
tersebut harus didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para
80
Urip Santoso, Op Cit, hlm. 130.
48
masalah hukum yang akan timbul dikemudian hari. Selain itu setiap akta yang
dibuat dihadapan atau oleh notaris/PPAT harus mempunyai alasan dan fakta yang
mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada pertimbangan hukum yang
akta autentik. Syarat-syarat akta autentik yaitu berkaitan dengan hal-hal yang
harus ada supaya suatu akta disebut akta autentik. Pendapat Philipus M. Hadjon,
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia
c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang
81
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas,
Cetakan ke-I, Jakarta, 2003, hlm. 87.
82
Philipus M, Hadjon, "Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31 Januari
2001, hlm.3.
83
Irawan Soerodjo, Op Cit, hlm. 148.
84
CA.Kraan, De Authentieke Akte Gouda, Quint BV, Arnhem, 1984, hlm. 143.
49
bersangkutan saja.
b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat
yang berwenang.
ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan
d. Seorang pejabat yang diangkat oleh Negara dan mempunyai sifat dan
e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah
2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada
3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar yaitu:
bersangkutan, dan
ii. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi
diberikan salinannya.
Dalam hal pembuatan akta PPAT, tahap-tahap yang harus dilakukan oleh
PPAT adalah:
pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik
dibayarkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) Pasal 24 ayat (1)
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Pajak Penghasilan dari
pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (Pasal 39 ayat (1) huruf g
d. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut
harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat (Pasal 98 ayat (2) Peraturan
e. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima
yang berlaku;
f. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan
yang berlaku (Pasal 101 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Pendaftaran Tanah).
hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan (Pasal 101 ayat (2)
h. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan
yang berlaku (Pasal 101 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Pendaftaran Tanah).
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksisaksi dan PPAT
Suatu akta dapat dikatakan sah jika memenuhi syarat pada Pasal 1320
tersebutb telah terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat secara sah akan
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa,
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya (asas pacta sunservanda). Pasal 1338 KUHPerdata ini,
maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa
saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini
berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam pembuatan akta, PPAT juga harus
a. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari
c. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani
e. Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang
akta).
Konsekuensi hukum dari tidak dipenuhi Unsur, Bentuk dan Isian akta
PPAT adalah tidak sahnya akta tersebut dan Kantor Pertanahan setempat akan
PPAT tidak dapat secara bebas mengembangkan substansi yang tercantum dalam
blanko sesuai dengan kemampuan dan wawasan dari PPAT. Hal ini, disebabkan
substansi yang tercantum dalam blanko akta PPAT sudah distandarisasi oleh
56
Sehingga apabila PPAT membuat akta PPAT yang diminta oleh para pihak, tidak
sesuai dengan bentuk dan tata cara pengisian yang diatur dalam PERKABAN
3. Pembacaan Akta
dan menjelaskan isi akta adalah untuk memastikan bahwa para penghadap telah
ditangkap oleh para penghadap dan saksi-saksi.85 Tujuan pembacaan akta tersebut
dikatakan oleh J. C. H. Melis sebagaimana dikutip oleh Tan Thong Kie adalah
untuk: 1) jaminan kepada para penghadap bahwa apa yang mereka tanda tangani
adalah sama dengan apa yang mereka dengar dari pembacaan itu; dan 2) kepastian
bagi para penghadap bahwa apa yang ditulis dalam akta adalah benar kehendak
pembacaan akta, yaitu: 1) Pada saat detik-detik terakhir dalam proses meresmikan
(verlijden) akta, pejabat yang berwenang membuat akta masih diberi kesempatan
85
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris Di Indonesia: Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta,
1982, hlm. 164.
57
terlihat; 2) Para penghadap diberikan kesempatan untuk bertanya apa yang kurang
kesempatan pada pejabat yang berwenang membuat akta dan para penghadap
dalam detik-detik terakhir mengadakan pemikiran ulang, bertanya dan jika perlu
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Yang
dalam penjelasannya yaitu Untuk pemenuhan sifat otentik dari akta, pembacaan
akta dilakukan sendiri oleh PPAT, Penandatanganan para pihak, saksi dan oleh
dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya, 87 hal tersebut dapat menyebabkan
86
Tan Thong Kie, Studi Notariat Dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtisar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2007, hlm. 505.
87
Pasal 28 angka 4 huruf i Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat
Akta Tanah
58
diberhentikannya PPAT secara tidak hormat.88 Tujuan pembacaan akta adalah agar
dalamnya, dan juga agar para pihak menyetujuinya, karena dalam membuat akta,
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu adanya salah satu unsur
akta sebagaimana dimaksud pada huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap
menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri,
dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman salinan akta diparaf oleh
88
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 10
ayat (3) huruf a, PPAT diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, karena: a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT, yang
dalam penjelasannya PPAT tidak membacakan akta yang dibuatnya di hadapan para pihak;
59
dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam
kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas
hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat. 89 Konsep
pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
Asas adalah suatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Asas juga
dapat berarti hukum dasar. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam
diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi
perbuatan itu. Asas hukum umum adalah norma dasar yang di jabarkan dari hukum
positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang
lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu
masyarakat. Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum konkrit,
89
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.
29.
90
Peter Mahmud Marzuki (2), Op Cit, hlm. 137.
60
akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu
hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.92
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut
pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat
suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum
merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan
dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi
keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati.
Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan
dan kebahagiaan.95
Kepastian hukum juga merupahan hal yang sangat penting dalam hukum.
Setelah keadilan hukum tercapai maka hal yang selanjutnya harus terpenuhi adalah
kepastian hukum. Tanpa adanya kepastian hukum masyarakat tidak pernah mengerti
apakah perbuatan yang akan masyarakat perbuat benar atau salah dan tanpa adanya
suatu keresahan dalam masyarakat. Dengan adanya suatu kepastian hukum maka
berbagai aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya yang ada dalam
masyarakat. Kepastian hukum menjadi tolak ukur dalam kejelasan hak dan kewajiban
hukum mengandung dua pengertian, yaitu yang pertama, adanya aturan yang bersifat
umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibedakan atau dilakukan oleh Negara terhadap
97
Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Mmasyarakat”, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Volume 25, Nomor 3, Juli 2007, hlm. 271.
63
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan satu dengan
putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.98
satu syarat yang harus dipenuhi dengan penegak hukum. Sudikno Mertokusumo
yaitu dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu keadilan
akan dapat dicapai. Fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara
atau masyarakat dengan warganya, dan hubungan antara sesama warga masyarakat
tersebut, agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini
mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya
diciptakannya peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku umum. Agar tercipta
suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka kaidah dimaksud harus
poin sebelumnya, maka kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya
98
Peter Mahmud Marzuki (2), Op Cit, hlm. 158.
99
Sudikno Mertokusumo (3), Mengenal hukum, Sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.
145.
100
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, 1999, hlm. 15.
64
keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum.
Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi
sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang
kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi
hukum. Perbuatan hukum yang dituangkan oleh PPAT haruslah sesuai dengan
atau cacat pada produk yang dibuat oleh PPAT itu sendiri dan menciptakan suatu
Peralihan hak atas tanah tentu tidak selamanya dapat berjalan dengan lancar,
ada kalanya timbul hal-hal yang sebenarnya di luar dugaan, dan biasanya persoalan
ini timbul dikemudian hari. Semampu apapun dalam membuat perjanjian tidak dapat
101
Lon L. Fuller, Morality of Law New Haven and London, Yale University Press, 1964, hlm. 39.
65
dipungkiri adanya celah-celah kelemahan yang suatu hari jika terjadi sengketa
menjadi celah-celah untuk dijadikan alasan-alasan dan pembelaan diri dan pihak yang
menuntut agar yang menjadi haknya dapat dibayar kembali. Di samping itu juga
pasal 14c Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu dengan sistem pembayaran
tanpa perbedaan apapun. Sebagaimana tertuang pada salah satu pasal dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yakni Pasal 27 ayat (1) yang menyetakan: ”Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
102
Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Margaretha Pustaka, Jakarta Selatan,
2015, hlm. 14.
103
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28D Ayat (1).
66
Teori yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo ini dapat diartikan pula
bahwa perlindungan hukum adalah suatu hal yang bersifat melindungi subjek hukum
diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,
yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
sengketa. Analisis peneliti untuk perlindungan preventif yang pertama, yakni, terkait
jual beli tanah dibawah tangan tanpa dihadiri oleh saksi adalah dengan melakukan
pendaftaran tanah. Pengertian dari pendaftaran tanah disebutkan secara implisit dalam
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran
tanah yakni:106
104
Sajipto Raharjo, Op Cit, hlm. 53.
105
Definisi Perlindungan Hukum, http://prasxo.wordpress.com/2011/02/17/definisi-perlindungan-
hukum/, diakses pada tanggal 30 Oktober 2020.
106
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka (1).
67
pemegang hak atas suatu bidang tanah, suatu rumah susun dan hak-hak lain
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak, maka dalam setiap peralihan
hak atas tanah para pihak haruslah mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan
hukum.
BAB III
Pelaksanaan Pembacaan Akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Contoh
Kasus Tidak di Lakukannya Pembacaan Akta Peralihan Hak Atas Tanah oleh
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya
disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-
akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pejabat umum merupakan seseorang yang diangkat
oleh instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang
Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang
kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan.
benda-benda di atasnya dilakukan dengan akta PPAT. Pengalihan tanah dari pemilik
107
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 486.
68
69
Tugas dan tanggung jawab PPAT tidak hanya sekedar mengisi formulir akta,
membacakan akta, menandatangani dan membubuhkan cap pada akta, tetapi PPAT
juga dituntut untuk dapat menjamin bahwa akta yang dikeluarkannya sudah sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Akta-akta yang dibuat oleh PPAT merupakan
akta otentik dan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam lalu
lintas hukum, baik hukum privat maupun hukum publik. Akta otentik memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak terkait untuk dipergunakan sebagai alat
bukti tertulis, terkuat dan terpenuh. Fungsi dari Akta PPAT adalah sebagai suatu alat
bukti telah dilaksanakanya suatu perbuatan hukum tertentu berkaitan dengan tanah
dan akan dijadikan sebagai daftar pendaftaran atas perubahan data yang diakibatkan
oleh perbuatan tersebut, dan juga akta PPAT merupakan dasar yang kuat untuk
pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Karena dalam
membuat akta, PPAT yang merupakan pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta tanah harus memiliki kecakapan, ketelitian, serta kemampuan dalam
bidang hukum tanah agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan
di kemudian hari bagi para pihak yang bersangkutan, karena kekeliruan atas akta
dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti
telah terjadinya perbuatan hukum pengalihan hak maupun pembatalan hak atas tanah.
sebagai pelaksanaannya namun upaya tersebutpun masih belum sempurna bila dilihat
dari rangkaian-rangkaian pendaftaran tanah. Akta PPAT yang merupakan akta otentik
mempunyai kekuatan mutlak mengenai hal-hal atau peristiwa yang disebut dalam
Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban,
terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses
penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat
dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan
cepat. Pejabat Pembuat Akta Tanah (yang selanjutnya disingkat PPAT) adalah
Pejabat Umum Yang Berwenang antuk membuat Akta Otentik sejauh pembuatan
110
Adrian Sutedi (2), Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 127.
111
Triyono, Op Cit, hlm. 168.
71
Selain akta otentik yang dibuat oleh PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh
berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi
Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan
hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti
tatacara dan prosedur pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada
kekuatan pembuktian akta itu. Keberadaan suatu akta otentik dan pejabat umum di
Indonesia diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
berbunyi: “akta otentik adalah akta yang didalam bentuknya ditentukan oleh Undang-
Undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
ditempat dimana akta itu di buatnya.” Pasal tersebut menghendaki adanya Undang-
Undang organik yang mengatur tentang bentuk akta otentik dan pejabat umum.
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah merumuskan “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat
umum yang berwenang membuat akta otentik…” kata-kata membuat diartikan dalam
112
Ibid.
72
pengertian luas (verlijden) yaitu memprodusir akta dalam bentuk yang ditentukan
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa
memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah
dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara
membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses
terkait bagi para pihak yang menandatangani akta. Dengan demikian, para pihak
dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta
Apabila terbit akta PPAT yang cacat hukum karena kesalahan PPAT kelalaian
maupun karena kesengajaan PPAT itu sendiri, maka PPAT itu harus memberikan
permasalahan bisa timbul secara langsung akibat kelalaian PPAT, juga bisa timbul
secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang lain. Apabila penyebab
permasalahan timbul karena kelalaian baik dilakukan secara sengaja maupun tidak
sengaja oleh PPAT, maka berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan
113
I Gusti Bagus Yoga Prawira, Tanggung Jawab Ppat Terhadap Akta Jual Beli Tanah, Jurnal IUS,
Volume 4, Nomor 1, April 2016, hlm, 67.
114
Ibid.
73
karena tidak terpenuhinya syarat subyektif yang bisa dijadikan alasan bagi pihak yang
Sesuai dengan tugas dan tanggung jawab PPAT dalam membuat akta otentik,
pembacaan akta dan kehadiran PPAT dalam pembuatan akta merupakan bagian
terpenting yang harus dilakukan. PPAT mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
moral untuk memastikan bahwa para pihak telah sungguh mengerti mengenai apa
yang termuat dalam isi akta yang bersangkutan, yaitu dengan cara akta tersebut
dibacakan di depan para pihak dan saksi sehingga isi akta tersebut menjadi jelas, dan
dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau
Pada Pasal 101 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur
115
Ibid, hlm. 68.
116
Arlene Agustina, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Penandatanganan
Akta Jual Beli Yang Didasari Atas Blangko Kosong (Contoh Kasus: Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1201/K/Pdt/2016), Jurnal Hukum Adigama, hlm. 3.
117
Budianto, Umar Ma’ruf, Op Cit, hlm. 695.
74
berlaku.”
Pembacaan akta oleh PPAT diatur juga dalam Pasal Nomor 24 Tahun 2016
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengatur bahwa Akta PPAT harus
kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para
pihak, saksi-saksi dan PPAT. Disamping itu Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJNP,
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, dan ditandatangani pada saat itu juga
oleh penghadap, saksi, dan Notaris, dan Ayat (7) mengatur bahwa Jika hal tersebut
pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Apabila terbukti para pihak dan saksi tidak
menghadap PPAT secara bersamaan, maka yang bertanggung jawab adalah PPAT
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 yang mengatur: PPAT
bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap
Nomor 1 Tahun 2006, PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan
keterangan bahwa sebelum PPAT membuat akta, tahap pertama yang harus dilakukan
oleh PPAT adalah melakukan pengecekkan terhadap sertipikat, lalu membayar pajak,
membacakan, dan setelah itu barulah akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.118
Menurut Dr. Tjempaka, S.H., M.H., M.Kn. Notaris dan PPAT adalah jabatan
yang berbeda namun saling berkesinambungan. Notaris dan PPAT merupakan pihak
dalam suatu akta, oleh karena itu akta tersebut harus dibacakan dihadapan para pihak
perlindungan bagi para pihak yang bersangkutan termasuk PPAT itu sendiri, sehingga
apabila ada kesalahan dalam isi akta tersebut, maka dapat diperbaiki sehingga apa
yang tercantum di dalam akta tersebut adalah benar-benar sesuai dengan kemauan
para pihak. Notaris dan PPAT memiliki kewajiban untuk membacakan aktanya
sebelum ditandatangani. Apabila notaris dan PPAT tidak membacakan aktanya, maka
ia akan dikenakan sanksi, dan akta tersebut akibatnya menjadi akta di bawah tangan
atau dapat juga menjadi batal demi hukum. Menurut beliau, tidak membacakan akta
jenjang yang urut, yaitu sanksi lisan, tertulis, diberhentikan sementara, diberhentikan
secara hormat, dan terakhir diberhentikan secara tidak hormat.119 Oleh karena itu
sebagai pejabat pertanahan, maka segala hal yang berkenaan dengan akta-akta
118
Arlene Agustina, Op Cit, hlm. 9.
119
Ibid, hlm. 9.
76
peralihan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, dan pengikatan tanah
sebagai jaminan hutang, merupakan tugas dan tanggung jawab PPAT serta harus
dibuat dihadapannya.120
hasil wawancara dari beberapa Pejabat Pembuat Akta Tanah, dimana dari hasil
melakukan pembacaan akta kepada para pihak baik yang dilakukan rekan PPAT
maupun diantara PPAT yang penulis wawancara pernah tidak membacakan aktanya
kepada para pihak dan ada juga akta yang dibacakan oleh saksi yang merupakan
Pada poin sebelumnya telah dijeskan bahwa akta PPAT merupakan akta
otentik mengenai peralihan hak atas tanah yang dimana salah satu syarat akta tersebut
menjadi otentik yaitu Menurut Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Pembuat Akta Tanah mengatur bahwa Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya
kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi
sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
120
J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius,
Yogyakarta, 2001, hlm. 69.
77
Tetapi dalam prakteknya masih ada PPAT yang mengabaikan mengenai pembacaan
akta dengan alasan tertentu yang diantaranya karena tidak dapat hadirnya salah satu
pihak atau karena PPAT ada kesibukan lain sedangkan para pihak ingin segera
dilaksanakannya akad peralihan hak atas tanah sehingga akta tidak dibacakan
dan/atau dibacakan oleh staff PPAT. Selain itu berdasarkan wawancara penulis
dengan PPAT ada juga yang beranggapan bahwa pembuktian terhadap akta yang
tidak dibacakan hanya terjadi apabila adanya sengketa dan selagi suatu peralihan hak
membacakan aktanya yang ternyata ada perubahan atau ketidak sesuaian nilai
transaksi, yang ternyata seharusnya bernilai lebih tinggi dimana telah disampaikan
akan biaya pajak peralihan hak atas tanah kepada para pihak oleh PPAT baik itu
pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau
bangunan (PPhTB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
menjadi lebih ringan dan para pihak tidak mengetahui hal tersebut karena tidak
dibacakannya akta oleh PPAT tersebut. Bukan berarti dengan tidak dilakukannya
pembacaan akta oleh PPAT para pihak tidak menyadari, setelah diterimanya akta dari
PPAT para pihak mengetahui akan hal itu dari akta yang mereka baca sendiri tetapi
para pihak berpendapat bahwa yang terpenting peralihan itu telah terjadi dan
Pada kasus lainnya ada pihak yang terlalu percaya kepada PPAT dengan
alasan telah banyak pembuatan akta kepada PPAT tersebut sehingga mempercayakan
kepada PPAT tersebut untuk tidak dilakukannya pembacaan akta dan PPAT tersebut
tanpa memperhatikan aturan bahwa pembacaan akta adalah wajib PPAT tersebut
dilakukan dengan cara diantar/dikirim kepada para pihak (tidak dilakukan dikantor).
dengan surat gugatan tertanggal 8 Januari 2019 yang diterima dan didaftarkan di
Perbuatan Tergugat II (PPAT) telah menerbitkan Akta Jual Beli Nomor : 436/2015,
akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh para pihak yang
kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi
Nomor : 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
berbunyi "Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan di
79
itu juga oleh para pihak, saksi-saksi, dan PPAT", sejatinya Tergugat II (PPAT) tidak
menerapkan prosedur hukum dengan benar terhadap terbitnya Akta Jual Beli Nomor :
Pada bagian pertimbangan majelis hakim menimbang, bahwa Akta Jual Beli
adalah merupakan akta otentik yang harus ditandatangani dihadapan yang membuat
dan menerbitkan akta dan sebelum ditandatangani terlebih dahulu dibacakan untuk
dimengerti dan dipahami, dan pada putusan hakim memutuskan : Menyatakan Akta
Jual Beli Nomor 436/2015 tanggal 12 Oktober 2015 maupun Sertifikat Hak Milik
Nomor 3431/Kel. Cicaheum yang telah dibalik nama oleh Turut Terbanding semula
semula Tergugat I tidak mempunyai kekuatan hukum dan harus dinyatakan tidak sah
A. Akibat Hukum Terhadap Akta Yang Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak
mengenai pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta
pendaftaran tanah. Tetapi faktanya dilapangan ada saja PPAT yang mengabaikan
aturan dimana seharusnya menjadi pedoman bagi PPAT dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya, salah satunya yaitu mengenai pembacaan akta kepada para
80
81
pihak. Oleh karena itu PPAT bertanggung jawab atas kepastian hukum setiap akta
yang dibuatnya. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan
kejelasan hak dan kewajiban para pihak di dalam suatu hukum. Kepastian hukum
pertanggungjawabkan.
24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menjelaskan bahwa,
Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh
sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh
para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Yang dalam penjelasannya yaitu Untuk
pemenuhan sifat otentik dari akta, pembacaan akta dilakukan sendiri oleh PPAT,
Penandatanganan para pihak, saksi dan oleh PPAT, dilakukan segera setelah
Prakteknya, pembuatan akta peralihan hak atas tanah oleh PPAT banyak yang
tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT. Hal ini disebabkan oleh adanya
situasi-situasi dan kondisi-kondisi dalam peralihan hak atas tanah yang menyebabkan
ketidak sesuaian tersebut sepertinya harus dilakukan agar transaksi atau proses
peralihan hak atas tanah bisa dilangsungkan. Situasi-situasi dan atau kondisi-kondisi
82
seperti ini membuat PPAT kadang-kadang tidak mempunyai pilihan lain selain
melakukan pembuatan akta jual beli tanah dengan “mengabaikan” tata cara
pembuatan akta peralihan hak atas tanah sebagaimana diatur oleh Peraturan
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah serta peraturan
dilema, di satu pihak mereka harus tunduk kepada ketentuan dengan sifatnya yang
normatif, sementara di pihak lain, kenyataan lapangan yang begitu kompleks sering
tidak bisa ditangani dan ditampung oleh peraturan yang begitu kaku. Oleh karena itu
dalam konteks situasi tersebut, PPAT melakukan penafsiran terhadap peraturan yang
ada untuk melayani kliennya. Penafsiran dalam konteks situasi antara PPAT dan klien
tidak dapat dihindari, di satu sisi PPAT karena fungsinya harus melayani klien,
sedangkan di lain sisi, klien membutuhkan pelayanan tanpa terlalu peduli dengan
peraturan yang mengikat PPAT. Dengan demikian yang terjadi adalah rasionalisasi
antara kebutuhan PPAT dan kliennya, artinya dalam usaha menjaga kelangsungan
preventif dan represif kepada para pihak yang menghadap kepadanya. Secara
preventif terkait peralihan hak atas tanah dengan akta PPAT dan dibacakan akta
121
Ibid, hlm. 26.
83
tersebut dihadapan saksi dalam setiap perjanjian. Hal ini setidaknya dapat
bukti dalam persidangan, hal tersebut di atur dalam buku ke empat BW yakni:
untuk menyelesaikan sengketa. Dalam hal peralihan hak atas tanah berdasarkan akta
yang dibuat PPAT tanpa dibacakan dan tidak dihadiri saksi sehingga menimbulkan
Tugas dan prinsip yang harus dilaksanakan dalam pembuatan akta otentik
PPAT dari 8 (delapan) jenis/macam perbuatan hukum hak atas tanah yang merupakan
pembebanan, pemberian kuasa oleh pihak-pihak yang wajib dan harus dijalankan
prosedural.122
akta otentik dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang
122
Triyono, Op Cit, hlm. 172.
123
Habib Adjie (5), Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris, PT Refika Aditama, Bandung,
2009, hlm. 48.
84
1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Artinya jika bentuknya tidak ditentukan oleh undang-undang maka salah satu
unsur akta otentik itu tidak terpenuhi dan jika tidak dipenuhi unsur tersebut
maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik.
2. Akta itu harus dibuat oleh door atau dihadapan ten overstaan seorang Pejabat
Umum. Akta otentik tidak saja dapat dibuat dihadapan Notaris, tapi juga
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, dan Pegawai
Kantor Catatan Sipil. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum
terhadap tempatnya.
berkuasanya atau tidak cakapnya pejabat termaksud diatas atau karena suatu cacat
dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan sebagai akta otentik namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan”. Artinya suatu akta tidak
mempunyai kekuatan bukti otentik dan hanya mempunyai kekuatan bukti dibawah
tangan apabila:
2. Pejabat umum tidak mampu atau tidak cakap untuk membuat akta itu;
Berdasarkan Pasal 1869 KUH Perdata, tidak dipenuhinya salah satu syarat
akta maka dapat mengakibatkan akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian seperti akta yang dibuat dibawah tangan apabila ditandatangani oleh para
pihak. Ketika akta PPAT kehilangan keautentikannya atau menjadi akta dibawah
tangan, akta tersebut tidak dapat didaftarkan berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP 24
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Pengertian kata “bentuk” dalam Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPerdata,
menurut pendapat peneliti tidak saja pengertian bentuk dalam arti fisik, tapi juga
pengertian bentuk dalam arti yuridis, sehingga pengertian bentuk dalam pasal-pasal
persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai akta otentik.
Siahaan, diantaranya yaitu Akta PPAT harus dibacakan dan dijelaskan isinya kepada
para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Untuk
pemenuhan sifat autentik dari akta, pembacaan dilakukan sendiri oleh PPAT.
86
Penandatanganan para pihak, saksi, dan oleh PPAT, dilakukan segera setelah
Mengenai akibat hukum dari Akta peralihan hak atas tanah yang dibuat tidak
sesuai prosedur maka harus dibedakan antara Akta PPAT dengan perjanjian peralihan
hak atas tanah yang dituangkan dalam akta. Meskipun akta terdegradasi kekuatan
pembuktiannya tidak serta merta meniadakan isi dari perjanjian peralihan hak atas
tanah diantara para pihak. Akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT
merupakan bukti telah terjadi peralihan hak atas tanah yang dilakukan dihadapan
diperhatikan syarat sahnya perjanjian akta peralihan hak atas tanah yang dilakukan
dihadapan PPAT. PPAT dalam melaksanakan tugasnya tidak dapat membuat akta
tanpa adanya suatu kesepakatan yang timbul dari para pihak yang meminta dibuatkan
akta, apabila para pihak telah bersepakat dalam suatu transaksi dengan tanah sebagai
objeknya maka akta tersebut ditandatangani bersama oleh para pihak, saksi-saksi dan
PPAT.125
membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit oleh dua
orang saksi dan ditandatangani saat itu juga oleh penghadap, saksi dan PPAT/Notaris.
124
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hlm. 381.
125
Irawan Soerodjo, Op Cit, 2003, hlm. 142.
87
Tidak dibacakannya akta dihadapan para pihak dan saksi termasuk kedalam cacat
bentuk akta, karena pembacaan akta dihadapan para pihak dan saksi merupakan suatu
kewajiban dalam hal ini bagi PPAT untuk menjelaskan akta yang dibuat tersebut
sesuai dengan kehendak para pihak, dan setelah dilakukan pembacaan tersebut
kemudian dicantumkan pada bagian akhir akta. Jika tidak dilakukan maka aspek
formal tidak terpenuhi dan mengakibatkan akta menjadi cacat dari segi bentuk. 126
Pembuktian bahwa hak atas tanah tersebut dialihkan, maka harus dibuktikan dengan
suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual Beli yang dibuat
pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli tanah),127 menjadi tidak terealisasikan
mengenai benar sudah dilakukannya peralihan hak atas tanah. Peralihan hak atas
tanah tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi,
126
Habib Adjie (4), Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Thn 2004 Tentang
Jabatan Notaris, Aditama Refika, hlm. 96.
127
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni,
Bandung, 1980, hlm. 30
88
pendaftaran peralihan hak atas tanah itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta
PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan peralihan hak atas tanah tanpa
dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertipikat, biarpun
akta. Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sebagai pejabat umum.
dimaksud dengan pejabat umum. Maksud “pejabat umum” itu adalah orang yang
diangkat oleh Instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di
128
Boedi Harsono (1), Perkembangan Hukum Tanah Adat Melakui Yurisprudensi, (Ceramah,
disampaikan pada Simposium Undang‐Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah‐Tanah Adat
Dewasa Ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977), hlm. 52.
129
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 486.
89
No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan PPAT beserta peraturan pelaksanannya yang berada dalam bidang
hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah membuat alat bukti berupa akta
otentik mengenai perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah yang dapat
memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu delik atau
disebut dengan mal administrasi yang dilakukan oleh PPAT dalam melakukan
harus dipenuhi mengenai prosedur pembuatan akta PPAT tersebar dalam berbagai
tentang PJPPAT
Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagaimana telah diubah dengan, Perka BPN
130
Ridwan H.R, Op Cit, hlm. 335.
131
Ibid, hlm. 145.
90
No. 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN No. 1 Tahun 2006
Perka BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PMNA/Ka BPN No. 3
Pendaftaran Tanah;
5. UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Jo. PP
No. 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 48 Tahun 1994
Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Jo. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah.
terdapat adanya penyimpangan syarat sahnya perjanjian jual beli tanah dan bangunan
serta adanya penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta yang menyangkut
syarat materil (baik subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan
membuat akta otentik, yang berakibat hilangnya otensitas akta yang dibuatnya, atau
kekuatan pembuktian akta tersebut tidak lagi sebagai alat bukti yang lengkap atau
akta atau surat di bawah tangan, dimana kesalahan tersebut bisa saja dilakukan
1. Penandatanganan akta oleh para pihak tidak dilakukan dalam waktu yang
bersamaan di hadapan PPAT. Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997
Tanah : “Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang
berlaku”. Artinya proses pembuatan akta peralihan hak atas tanah hingga
penandatanganan akta oleh para pihak harus dilakukan dengan dihadiri para
pihak dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi ada kalanya persyaratan ini
tidak dilakukan, dimana salah satu alasannya adalah karena kesibukan para
pihak sehingga para pihak tidak dapat datang ke kantor PPAT pada saat yang
133
Dhea Tri Febriana & Ahars Sulaiman, “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2016 Tentang PPAT”, Jurnal Petita, Volume 1, Nomor 1, Juni 2019, hlm. 125.
134
Ibid, hlm. 146.
92
dan atau diluar Kantor PPAT dan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi. Pasal 101
kantor PPAT yang bersangkutan dengan dihadiri oleh para pihak. PPAT dapat
membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam
perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena
alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak
Alasan-alasan yang dapat dianggap sebagai alasan yang sah adalah, apabila
pihak yang bersangkutan dalam keadaan sakit atau oleh karena telah berusia
lanjut sehingga tidak dapat datang ke kantor PPAT. Hal yang paling mendasar
adalah pihak yang tidak dapat hadir itu haruslah berdomisili di daerah kerja
PJPPAT, “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya”.
3. PPAT tidak membacakan isi dari akta peralihan hak atas tanah dihadapan para
akta. Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan
wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi
berlaku”.
karena pembacaan akta oleh PPAT dihadapan para pihak dan saksi merupakan
sesuai dengan kehendak yang bersangkutan dan bila isi akta disetujui maka
oleh para pihak akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak, sekaligus
4. Nilai harga transaksi yang dimuat di akta jual beli tidak sesuai dengan nilai
harga transaksi sebenarnya. Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU No. 28
a. Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
b. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jual beli
Pembuatan akta jual beli yang nilai transaksi peralihan haknya lebih
kecil dari nilai transaksi riil bertujuan untuk mengurangi jumlah kewajiban
pembayaran pajak PPh (bagi Penjual) dan BPHTB (bagi Pembeli). Nilai
transaksi yang dimuat dalam akta jual beli biasanya mengikuti nilai dari Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) yang dibulatkan ke atas atau berdasarkan penilaian
dari Dispenda terkait zona nilai tanah masing-masing daerah. Jadi tujuan
dilakukannnya pengecilan nilai transaksi dalam akta jual beli adalah untuk
menyebutkan bahwa terkait Pajak “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
peranan penting bagi suatu negara ialah sumber pemasukan dalam kas negara
dalam transaksi jual beli tanah, dimana secara tidak langsung telah ikut
dengan tanah. Posisi PPAT sangat penting dalam penyampaian terkait dengan
Pembuatan akta jual beli dibuat pada saat obyek dan harga transaksi telah di
sepakati dan telah dibayar secara lunas oleh pembeli, namun sebelumnya
harus dilakukan verifikasi pajak sebagai syarat yang utama dalam transaksi
5. PPAT yang melakukan pemalsuan isi akta yang tidak sesuai sebagaimana
isi akta dan kebenaran yang terjadi, padahal dalam akta PPAT ada kalimat
yang mengatakan :
dan berbeda dengan keterangan yang telah ada dalam blangko akta PPAT
penjara paling lama delapan tahun sesuai dengan Pasal 264 ayat (1) KUHP.
berbagai alasan, salah satunya adalah kekurang pahaman maupun kesibukan dari para
pihak untuk melakukan penyetoran pajak berkaitan dengan transaksi jual beli tanah
PPAT yang dianggap lebih paham mengenai hal itu. Jadi akta jual beli tersebut belum
diberi nomor dan tanggal oleh PPAT, karena PPAT terlebih dahulu harus melakukan
melakukan pembayaran pajak sampai dengan validasi, paling cepat dibutuhkan waktu
satu hari kerja. Dengan demikian, akta jual beli yang telah ditandatangani oleh para
pihak sampai dengan keesokan harinya masih belum diberi nomor dan tanggal,
sehingga dapat dikatakan tanggal penandatanganan akta tidak sama dengan tanggal
oleh PPAT berikut konsekuensi yuridis yang bisa dikenai, dan terdapat berbagai
macam faktor yang menyebabkan terjadinya pembuatan akta peralihan hak atas tanah
yang tidak sesuai atau menyimpang dari prosedur pembuatan akta PPAT, akan tetapi
praktek tersebut tetap dilakukan karena ada keyakinan bahwa apabila PPAT tidak
menerima atau tidak mau untuk melakukan perbuatan seperti itu maka klien mereka
akan berpindah dengan mempergunakan jasa PPAT lain ditambah lagi ada rasa segan
Kewajiban PPAT dalam pengisian blangko akta dalam rangka pembuatan akta
PPAT harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta
berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Selain itu, dalam Kode
136
Ibid, hlm. 147.
97
Etik PPAT yang mengatur mengenai larangan dan kewajiban dalam lingkup PPAT
yang salah satunya berkewajiban untuk bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab,
mandiri, jujur, dan tidak berpihak. Dengan demikian pembuatan akta jual beli tanah
yang tidak sesuai dengan harga transaksi yang sebenarnya telah melanggar Perka
BPN nomor 1 tahun 2006 dan Kode Etik PPAT, karena ketidak benaran data yang
ditulis dalam akta. Untuk itu sesuai dengan Pasal 55 Perka BPN nomor 1 tahun 2006,
PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam
keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik
pertanahan dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Bagi PPAT yang melakukan
pengisian blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT, namun tidak dilakukan
sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta tidak didukung dengan
lama 1 tahun. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Kepala
137
hukumonline.com, Sanksi bagi PPAT yang Membuat Akta Tak Sesuai Data, di akses tanggal 05
Oktober 2020.
138
Ibid.
98
jawab dan kepercayaan diri yang penuh, sehingga dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik dan benar serta siap untuk bertanggung jawab jika terjadi kesalahan baik
yang disengaja maupun yang tidak disengaja dalam setiap tindakannya. Akta PPAT
merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka
wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk
pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu
pengertian sempit yaitu membuat akta, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam arti
yang luas, yaitu tanggung jawab pada saat fase akta dan tanggung jawab pada saat
menjadi 2 (dua) hal, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum.
Tanggung jawab hukum ini dapat dibedakan pula menjadi 3 (tiga) macam, yaitu
tanggung jawab berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.
kelalaiannya dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang menyimpang dari
syarat formil dan syarat materiil tata cara pembuatan akta PPAT, tidak saja dapat
139
Boedi Harsono, Op Cit, hlm. 507.
99
dikenakan sanksi administratif tapi juga tidak menutup kemungkinan dituntut ganti
mengenai bentuk dari kesalahan tersebut, yakni apakah kesalahan tersebut merupakan
umum dianut bahwa, wanprestasi terjadi apabila didahului dengan adanya perjanjian,
sedangkan jika tidak ada kaitannya dengan perjanjian maka bentuk pelanggarannya
disebut perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daaad. Berpijak pada prinsip
umum tersebut, maka penulis berpendapat bahwa perbuatan PPAT yang telah
menyebabkan sebuah akta menjadi cacat hukum dapat dianggap sebagai perbuatan
melanggar hukum, mengingat antara PPAT dengan klien atau pihak yang berkaitan
dalam akta tidak pernah ditemui adanya suatu perjanjian. Dalam menentukan suatu
perbutan dapat dikualifisir sebagai melanggar hukum, diperlukan 4 (empat) syarat : 141
keempat kriteria itu secara kumulatif, namun terpenuhinya salah satu kriteria secara
alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan melanggar
140
Triyono, Op Cit, hlm. 177.
141
Ibid.
100
hukum. Sanksi perdata dijatuhkan kepada PPAT atas perbuatan melanggar hukum
normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang
berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”. Menurut Roscoe Pound, hukum melihat ada tiga
timbulnya kerugian, sedangkan pelakunya yang bersalah yang disebut schuld, maka
Namun apabila dalam pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT berkaitan dengan
pembuktian sempurna, mengandung cacat hukum, yang kemudian oleh suatu putusan
pengadilan dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formil dan materiil dari
prosedur pembuatan akta PPAT tidak di penuhi, sehingga kekuatan akta otentiknya
142
Ibid, hlm. 178.
143
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fak Hukum UI, Jakarta, 2003, hlm. 117.
101
hanya dibawah tangan, atau menjadi batal demi hukum, dan mengakibatkan suatu
hukum bagi PPAT, dan PPAT tersebut bertanggung jawab atas kerugian itu.144
menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara
khusus untuk melindungi kepentingannya”. Dalam hal ini terhadap kasus pembuatan
akta PPAT yang mengandung cacat hukum akan mengakibatkan kesulitan bagi pihak
klien atau orang yang berhak atas akta untuk melaksanakan haknya. Hak klien yang
dijamin Undang-Undang dapat meneguhkan selaku yang berhak atas akta adalah hak
untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti haknya yang sah, sehingga
dengan alat bukti tersebut untuk mendalilkan haknya, bahkan membantah hak orang
lain. Dengan demikian apabila akta PPAT yang dibuat sebagai dasar peralihan hak
atas tanah tersebut, dinyatakan batal oleh putusan pengadilan, dan mengakibatkan
klien PPAT tersebut tidak mendapatkan hak atas akta otentik, atau tidak dapat
mempergunakan akta tersebut sebagaimana layaknya peran dan fungsi sebuah akta
otentik, sehingga klien yang seharusnya sebagai pemegang hak menjadi tidak dapat
144
Ibid.
145
Ibid, hlm. 179.
102
Ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum adalah suatu bentuk ganti rugi
yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak
yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena ada kesalahan, bukan karena adanya
perjanjian. Sedangkan bentuk ganti rugi yang dikenal dalam hukum perdata ada 2
1. Ganti rugi umum yaitu ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus karena
perbuatan melawan hukum berupa biaya, rugi dan bunga. Ganti rugi secara
umum diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata.
2. Ganti rugi khusus yang hanya dapat timbul dari perikatan-perikatan tertentu
pada perbuatan melanggar hukum bentuk ganti rugi berbeda dengan ganti rugi
atas wanprestasi, dan terbuka kemungkinan ganti rugi dalam bentuk lain
dapat dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad yang selengkapnya
dirumuskan.
dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam bentuk
lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti rugi yang sesuai, maka pelaku
146
Ibid.
147
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bina Cipta Bandung, 1991,
hlm. 70.
103
tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi kepentingan pihak
Setiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia memiliki sanksi pada akhir
hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-
merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Jadi
terdapat sanksi yang menyertainya, dan penegakan terhadap asas hukum dimaksud
dilakukan secara prosedural (hukum acara). Sanksi biasanya diletakkan pada bagian
akhir setiap peraturan yang dalam bahasa latin dapat disebut in cauda venenum,
yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk
mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang
Begitupun sanksi yang dikenakan bagi seorang PPAT adalah suatu bentuk
penyadaran dan tolak ukur kualitas, bahwa PPAT dalam melakukan tugas jabatannya
148
Ibid.
149
A.W Widjaja, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 21.
150
Habib Adjie (3), Op Cit, hlm. 90.
104
masyarakat dari tindakan PPAT yang merugikan. Sanksi juga untuk menjaga
Sanksi terhadap PPAT secara individu adalah suatu pertaruhan dalam menjalankan
hukum itu batal, maka akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai
dengan ke-PPAT-an diatur bahwa ketika seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan
jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, PPAT dapat dikenai atau dijatuhi sanksi
berupa sanksi administratif, tetapi tidak mengatur adanya sanksi perdata dan pidana
terhadap PPAT, maka apabila terjadi pelanggaran yang memenuhi delik perdata dan
pidana terhadap PPAT tersebut dapat dikenakan sanksi perdata yang termuat dalam
151
Ibid, hlm. 91.
105
hukum perdata yang dilakukan oleh masyarakat. Kedudukan Notaris tidak berada di
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga dapat dipercaya sebagai ahli yang
tidak memihak dalam membuat akta otentik. Akta yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan
yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh Pejabat Umum
hukum. Kekuatan akta otentik yang dihasilkan merupakan pembuktian sempurna bagi
para pihak, sehingga apabila salah satu pihak mengajukan keberatan dapat dibuktikan
di pengadilan.
sehingga legalitasnya dapat dipastikan. Selain itu, seorang pejabat atau pegawai
umum juga tidak memiliki keberpihakan dalam pembuatan akta. Menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Peralihan hak atas tanah yang tidak dapat dibuktikan keautentikannya dapat
memberikan kesulitan bagi pihak yang menerima untuk membuktikan hak atas tanah
yang telah dialihkan diantaranya yaitu penerima hak dapat saja mengalami kesulitan
106
dalam untuk membuktikan kepemilikan haknya. Dalam kasus ini apabila Akta PPAT
yang dibuat terdegradasi menjadi akta di bawah tangan maka yang dapat dimintakan
Dengan demikian apabila suatu akta tidak memiliki kekuatan hukum yang
kuat atau dengan kata lain mengandung cacat hukum yang mengakibatkan aktanya
mengalami kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka PPAT dapat
dimintai pertanggungjawaban.
Selain mengakibatkan suatu akta tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat
atau dengan kata lain mengandung cacat hukum yang mengakibatkan aktanya
mengalami kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, jika PPAT tidak
membacakan akta yang dibuatnya di hadapan para para pihak merupakan pelanggaran
dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena melakukan pelanggaran berat terhadap
bahwa karena PPAT tersebut menimbulkan kerugian secara sengaja dan diperkirakan
152
Penjelasan Pasal 10 ayat (3) huruf a angka 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
107
dalam hal ini PPAT wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh tindakannya. 153
Dan Pasal 16 Ayat (12) UU Nomor 2 Tahun 2014 Tentang UUJN mengatur bahwa
hal tersebut di atas dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris/PPAT. Dari
ketentuan tersebut harus dilihat apakah perbuatan yang dilakukan PPAT merupakan
Dalam hal ini PPAT telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
3. Adanya kesalahan pelaku Dimana dalam hal ini PPAT tidak membacakan akta
dihadapan para pihak dengan dihadiri dua orang saksi dan tidak
hubungan sebab akibat yang menimbulkan kerugian. Dalam hal ini perbuatan
153
Hans Kelsen (1), Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, 2006, hlm. 140.
108
jawabnya. Disamping memberikan ganti kerugian terhadap para pihak yang dirugikan
dengan Akta yang dibuatnya, PPAT yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan
pemberhentian dengan tidak hormat karena PPAT telah melakukan pelanggaran berat
Nomor 37 Tahun 1998 juncto Pasal 28 ayat 4 huruf i Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nomor 1 Tahun 2006 yaitu dimana Pembuatan Akta PPAT tidak dihadiri
oleh para pihak yang berwenang dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang
menyebabkan tidak terpenuhinya syarat formal dalam pembuatan Akta peralihan hak
atas tanah.
peraturan jabatan PPAT maka dikatakan PPAT juga telah melakukan pelanggaran
terhadap kode etik. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 huruf k dan r Kode Etik
PPAT yang menyebutkan setiap PPAT baik dalam rangka melaksanakan tugas
perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik
satu atau beberapa tempat di luar kantor PPAT yang bersangkutan, baik di kantor
cabang yang sengaja dan khusus dibuka untuk keperluan itu maupun di dalam kantor
tersebut bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta, baik klien itu
dari dalam dan/atau dari luar instansi/lembaga itu, kemudian pegawai/asisten tersebut
membuat akta-akta itu, membacakannya atau tidak membacakannya kepada klien dan
rumahnya;
dan/atau keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi IPPAT tidak
Pada Pasal 6 ayat (1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota perkumpulan
a. teguran;
154
Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
110
b. peringatan;
IPPAT.
PPAT wajib membacakan akta yang dibuatnya dihadapan para pihak dan
disaksikan oleh dua orang saksi. Lalu pada Pasal 28 Ayat (4) Peraturan Kepala BPN
Nomor 1 Tahun 2006 angka 8, menyebutkan bahwa PPAT dapat diberhentikan secara
tidak hormat apabila PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak.
Sehingga karena akta tersebut tidak dibacakan, maka PPAT tersebut telah melakukan
Sesuai dengan Pasal 55 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, dalam
pelaksanaan tugas dan jabatannya untuk pembuatan akta, PPAT bertanggung jawab
155
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah
111
Ayat (2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh
Ayat (4) Pelanggaran berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
antara lain:
e. membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak
Pasal 46;
h. pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam
yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang
dibuatnya;
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu PPAT yang
dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Selain itu, pelanggaran administratif juga
ketika melanggar ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat
yang ditunjuk, maka akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT yang diatur di dalam Pasal 10
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, juga ditetapkan dalam Pasal 6 ayat
113
(1) Kode Etik PPAT, yakni bagi anggota yang melakukan pelanggaran kode etik
1. Teguran;
2. Peringatan;
anggota tersebut.
mengenakan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Delik adalah
suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada. Jadi,
adalah delik kriminal jika mempunyai sanksi kriminal, dan adalah suatu delik perdata
Terdapat aspek-aspek formal dari suatu akta PPAT yang dapat dijadikan dasar
1. Secara sengaja dan terbukti, bahwa dengan insyaf, sadar, dan terencana bahwa
156
Hans Kelsen (4), Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet. ke-2, terjemahan Jimly Asshiddiqie dan
M.Ali Safa’at, selanjutnya disingkat Hans Kelsen I, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 46.
157
Habib Adjie (4), Op Cit, hal.124.
114
2. Secara sengaja dan sadar, Pejabat Pembuat Akta Tanah bersama dengan pihak
undangan terkait PPAT, Kode etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan
Berpijak pada kewenangan yang di miliki oleh PPAT dalam hal pembuatan
akta otentik, Seorang PPAT diharuskan selalu mengambil sikap cermat atau hati-hati
mengakibatkan akta tersebut cacat hukum maka dapat dikatakan telah terjadi
pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka setiap PPAT
dituntut untuk menangani suatu kasus yang berkaitan dengan wewenangnya, dan
penyalahguanaan wewenang ini akan semakin jelas apabila terdapat unsur merugikan
yang di derita oleh salah satu atau para pihak yang tampak pada saat di batalkannya
akta PPAT yang dibuatnya sebagai konsekuensi final dari akta yang mengalami cacat
hukum.158
158
Shidarta (2), Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 82.
115
PPAT telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai
suatu tindak pidana. Syarat materil dan syarat formil dari prosedur pembuatan akta
PPAT merupakan aspek-aspek formal yang harus dilalui dalam pembuatan akta
peralihan hak atas tanah berkaitan dengan tugas jabatan PPAT. Penulis berpendapat
bahwa penyimpangan terhadap syarat materil dan formil dari prosedur pembuatan
akta PPAT harus dilihat berdasarkan batasan-batasan dari aspek formal tersebut yang
PPAT. Artinya apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dari aspek formal,
maka sanksi yang dapat dijatuhi adalah sanksi perdata dan sanksi administratif
tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik IPPAT, sehingga
bahwa aspek-aspek formal dari suatu akta PPAT dapat dijadikan dasar atau batasan
dan keinsyafan serta direncanakan oleh PPAT yang bersangkutan) bahwa akta
159
Triyono, Op Cit, hlm. 180.
160
Habib Adjie (4), Op Cit, hlm. 124.
116
2. PPAT secara sadar dan sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak
etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun perkara pidana yang berkaitan dengan
aspek formal akta Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai
berikut :161
1. Membuat surat palsu/ yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu atau
KUHP);
Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 266 KUHP);
palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Juncto Pasal 263 ayat (1) dan
161
Ibid.
117
yang disadari, dimengerti dan diketahui sebagai demikian, sehingga tidak ada unsur
salah sangka atau salah paham. Sedangkan kealpaan (culpa) adalah perbuatan yang
terjadinya karena sama sekali tidak terpikirkannya akan adanya akibat itu atau oleh
karena tidak memperhatikan dan ini disebabkan kurang hati-hati dan perbuatan
sedangkan kealpaan atau kelalaian (culpa) adalah kekurang perhatian pelaku terhadap
sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur
culpa. Ini layak, karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah
PPAT yang memalsukan akta autentik, dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP telah
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1) akta-akta otentik;
162
Triyono, Op Cit, hlm. 168.
163
Ibid.
118
2) surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun
3) surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dan suatu perkumpulan,
4) talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan
dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-
surat itu;
“Bahwa sudah barang tentu perbuatan yang diancam hukuman dalam pasal
ini harus memuat segala elemen-elemen atau syarat-syarat yang termuat
dalam Pasal 263 dan selain dari pada itu ditambah dengan syarat, bahwa
surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat authentik dsb. yang tersebut
berturut-turut pada sub 1 s/d 5 dalam pasal ini, surat-surat mana bersifat
umum dan harus tetap mendapat kepercayaan dari umum”.
PPAT yang melakukan pemalsuan isi akta yang tidak sesuai sebagaimana
kebenarannya yang memberikan keterangan palsu dimana seperti contoh kasus dalam
putusan 633/PDT/2019/PT BDG pada bab III PPAT tidak menerapkan prosedur
hukum dengan benar terhadap terbitnya Akta dan ada ketidak sesuaian antara isi akta
dan kebenaran yang terjadi, padahal dalam akta PPAT ada kalimat yang mengatakan :
di atas, akta ini ditandatangani oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua, para saksi
dan Saya, PPAT,....”
Seorang PPAT jika telah terbukti melakukan pemalsuan terhadap akta yang
dibuatnya, dapat di diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun sesuai
dengan Pasal 264 ayat (1) KUHP. Selain hukum pidana yang dapat menjerat PPAT,
PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, karena:165
PPAT; dan/atau
Pembuatan Akta Otentik, Yang Tidak Dibacakan Kepada Para Pihak Oleh PPAT
Tabel 2
Sanksi tidak membacakan akta oleh PPAT
3. PPAT diberhentikan dengan tidak Pasal 10 Ayat Pasal 10 (1) huruf b PPAT
hormat sebagaimana dimaksud (3) Huruf a yang diberhentikan oleh
pada Pasal 10 ayat (1) huruf b, dan b PP No. Menteri sebagaimana
karena: 24 thn 2016 dimaksud dalam Pasal 8
a. melakukan pelanggaran berat tentang ayat (1) huruf c, yaitu
terhadap larangan atau Perubahan diberhentikan dengan
kewajiban sebagai PPAT Atas PP No. tidak hormat; dan
(salah satu kewajiban PPAT 37 thn 1998
adalah membacakan aktanya Tentang
sesuai dengan Pasal 22 PP No. Peraturan
24 thn 2016 tentang Jabatan PPAT
Perubahan Atas PP No. 37 thn
1998 Tentang Peraturan
Jabatan PPAT) dan/atau
b. dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan
pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih. (Bila maksud dari
tidak membacakan aktanya,
PPAT berupaya menutupi
Pemalsuan Akta)
4. Pasal 28 ayat (4) huruf I Pasal 28 ayat PPAT diberhentikan
Pelanggaran berat sebagaimana (2) dengan tidak hormat dari
dimaksud pada ayat (2) huruf Peraturan jabatannya oleh Kepala
ayaitu PPAT tidak membacakan Kepala BPN Badan, karena :
aktanya dihadapan para pihak Nomor 1 thn a. melakukan
maupun pihak yang belum atau 2006 pelanggaran berat
121
yang bersangkutan
menandatanganinya di tempat
pegawai/asisten itu berkantor di
instansi atau lembaga tersebut,
untuk kemudian akta-akta tersebut
dikumpulkan untuk
ditandatangani PPAT yang
bersangkutan di kantor atau di
rumahnya;
r. melakukan perbuatan-perbuatan
lain yang secara umum disebut
sebagai pelanggaran terhadap
Kode Etik PPAT, antara lain pada
pelanggaran-pelanggaran
terhadap:
1) ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Jabatan PPAT
dan ketentuan perundang-
undangan lainnya yang
terkait dengan tugas
pokok PPAT;
(Tugas yang dimaksud termasuk
pembacaan akta).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pembacaan akta merupakan salah satu syarat formil dari syahnya suatu akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), syarat formil ini salah
satunya adalah prosedur yang harus dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta
tanah yang diatur dalam Pasal 22 PP No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan
ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Jika
hal tersebut tidak dipenuhi, maka Akta yang bersangkutan hanya mempunyai
tidak dapat didaftarkan hal ini berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan
123
124
pembuatan akta yang tidak dibacakan kepada para pihak, secara perdata
apabila atas tindakannya tidak membacakan akta dan berakibat akta tersebut
menjadi akta dibawah tangan oleh karena itu menimbulkan kerugian bagi
para pihak PPAT wajib untuk mengganti kerugian tersebut berdasarkan Pasal
264 ayat (1) angka 1 KUHP. Tanggung jawab secara administratif atas
pemberhentian secara tidak hormat seperti pada Pasal 6 ayat (1) Kode Etik
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Tanggung jawab secara pidana bisa saja
terjadi pada PPAT dalam pembacaan akta peralihan hak bila unsur-unsur
pidana pada bab IV dipenuhi sepeti tidak dibacakannya suatu akta kepada
memalsukan isi dari akta tersebut seperti diatur dalam Pasal 264 ayat (1)
pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap akta-akta
otentik, dan dapat diberhentikan secara tidak hormat jika memenuhi Pasal 10
Ayat (3) Huruf a dan b PP No. 24 thn 2016 tentang Perubahan Atas PP No.
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
B. Saran
PPAT akan pentingnya akta yang dibuatnya bukan hanya saat pembuatan akta
tersebut melainkan untuk masa yang akan datang ketika akta itu menjadi suatu
pembuktian untuk peralihan hak atas tanah tersebut dan jika adanya sengketa
pertanahan yang dimana kita tidak menyadari kapan akan datangnya. Disini
sejak perkuliahan atau perlunya tes moral ketika calon-calon PPAT itu sendiri
akan diangkat menjadi seorang PPAT agar menjadi PPAT yang benar-benar
menurutnya sepele atau hal kecil tetapi tidak disadari bahwa dampaknya akan
besar baik kepada para pihak dalam peralihan hak atas tanah maupun bagi
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abdul Kadir Muhammad (1), Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1994.
Bandung, 2010.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko
Adrian Sutedi (1), Peralihan Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
___________ (2), Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa PPAT, Selaras, Malang,
2013.
Bandung, 1993.
127
Selatan, 2015.
1977).
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan konsumen, PT. Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit,
Hans Kelsen (1), Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa dan
__________ (2), diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and State ,
2007.
__________ (3), Pure Theory of Law, Terjemah, Raisul Muttaqien, Teori Hukum
Bandung, 2008.
__________ (4), Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet. ke-2, terjemahan Jimly
Habib Adjie (1), Hukum Notaris di Indonesia – Tafsiran Tematik Terhadap Undang-
Bandung, 2008.
__________ (4), Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Thn
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)
Jayadi Setiabudi, Pedoman Pengurusan Surat Tanah & Rumah Beserta Perizinannya,
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Setjen dan
John M. Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia (An English-
J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik,
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, PT Raja
2003.
Jakarta, 2008.
Bandung, 1991.
Riduan Syahrani (1), Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
1998.
____________ (2), Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999.
131
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Fak Hukum UI, Jakarta, 2003.
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 197.
Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Salim H.S (1), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), PT. Sinar Grafika, Jakarta,
2008.
________ (2), Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
_______ (2), Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2006.
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Yogyakarta, 1999.
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
Tan Thong Kie, Studi Notariat Dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtisar Baru Van
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi
Jakarta, 1994.
Yanly Gandawidjaja, Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
2. Buku Asing
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., Amerika,
1979.
Lon L. Fuller, Morality of Law New Haven and London, Yale University Press,
1964.
3. Jurnal
Arlene Agustina, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam
Hukum Adigama.
Budianto, Umar Ma’ruf, Kehadiran Saksi Pada Saat Transaksi Jual Beli Tanah
Dhea Tri Febriana & Ahars Sulaiman, “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta
Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
I Gusti Bagus Yoga Prawira, Tanggung Jawab Ppat Terhadap Akta Jual Beli Tanah,
Idris Aly Fahmi, Analisis Yuridis Degradasi Kekuatan Pembuktian Dan Pembatalan
Triyono, Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan
Akta Jual Beli Tanah Dan Implikasi Hukumnya Bagi Masyarakat Umum,
USU Law Journal, Kepastian Hukum Terhadap Standar Pelayanan Publik Dalam
Terpadu Satu Pintu Kota Pematang Siantar, Volume 7 Nomor 3, Juni 2019,
Utara.
Mmasyarakat”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 25, Nomor 3, Juli 2007.
4. Peraturan Perundang-Undangan
Pokok-Pokok Agraria.
Tanah.
Peraturan Kepala Badan pertanahan nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang perubahan
5. Internet
perlindungan-hukum/.
http://myblogalwafi.blogspot.com/2015/06/kode-etik-tanggung-jawab-profesi.html.
https://litequran.net/al-anfal
http://pemerintah.net/asas-asas-umum-pemerintahan-yang-baik-aupb
http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/pelaku-usaha-dan-tanggung-jawab
hukumonline.com, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana.
hukumonline.com, Sanksi bagi PPAT yang Membuat Akta Tak Sesuai Data.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka (1).
The Law Commision, tanpa tahun, The Executive of Deeds and Documents by or on Behalf of
Bodies Corporate.
137
CURRICULUM VITAE
1. IDENTITAS
Nama : Yoga Rifaldi
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 02 Juni 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat : Jl. Raya Barat No 154, Kp. Sukamulya
RT.002/RW.007 Desa. Panenjoan, Kecamatan
Cicalengka, Kabupaten Bandung.
No.Tlp/Hp : 082121056182
Email : yogarifaldi7@gmail.com
2. PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar : Sekolah Dasar Tenjolaya II
(2001-2007).
SMP : SMP Negeri 1 Cicalengka
(2007-2010).
SMA : SMA Negeri 1 Cicalengka
(2010-2013).
Sarjana : Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB)
(2013-2017)
Yoga Rifaldi