Anda di halaman 1dari 105

KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP PEMANFAATAN TANAMAN

GANJA UNTUK PENGOBATAN KANKER DIHUBUNGKAN DENGAN


PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SANGGAU NOMOR
111/PID.SUS/2017/PN.SAG

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna


mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh

RAKHA CIPTA MAHARDIKA

NPM : 164301433

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Pembimbing

Prof. Dr. H. Dwidja Priyatno, S.H., M.H., Sp.N.


Eka Djoneri, S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG

2020
KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP PEMANFAATAN TANAMAN
GANJA UNTUK PENGOBATAN KANKER DIHUBUNGKAN DENGAN
PUTUSAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SANGGAU NOMOR
111/PID.SUS/2017/PN.SAG

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna


mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh

RAKHA CIPTA MAHARDIKA

NPM : 164301433

Telah Disetujui oleh Pembimbing

Bandung, ... Juli 2020

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. H. Dwidja Priyatno, S.H., Eka Djoneri, S.H., M.H.


M.H., Sp.N.

Mengetahui,

Ketua Sekolah Tinggi Hukum Bandung

Dr. Walter Wanggur, S.H., M.H.


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan atas


kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN
KRIMINAL TERHADAP PEMANFAATAN TANAMAN GANJA UNTUK
PENGOBATAN KANKER DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI SANGGAU NOMOR
111/PID.SUS/2017/PN.SAG”.
Adapun penyusunan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program kesarjanaan pada Sekolah Tinggi Hukum Bandung
(STHB) untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini membahas mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi berdasarkan teori-teori, asas-asas, dan
konsep-konsep yang dihubungkan dengan Undang-Undang No 35 Tahun 2009
tentang Narkotika serta dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Sanggau
Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag.
Penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Khususnya kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini baik berupa bimbingan,
saran, dan dukungan teknis maupun moril. Maka pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat
Bapak Prof. Dr. H. Dwidja Priyatno, S.H., M.H., Sp.N. selaku Dosen
Pembimbing Utama dan Bapak Eka Djoneri, S.H., M.H. selaku Dosen
Pembimbing Pendamping dalam penyusunan skripsi ini yang telah banyak
memberikan saran, bantuan dan meluangkan waktunya demi kelancaran dalam
penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Walter Wanggur, S.H., M.H. selaku Ketua Sekolah Tinggi Hukum
Bandung;
2. Bapak Dr. Bonarsius Saragih, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua I Sekolah
Tinggi Hukum Bandung;

i
ii

Bapak Dr. Asep Suryadi, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua II Sekolah Tinggi
Hukum Bandung;

3. Bapak Dr. Dasuki, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua III Sekolah Tinggi Hukum
Bandung;
4. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang sudah
memberikan ilmu dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di
Sekolah Tinggi Hukum Bandung;
5. Seluruh Pegawai di Sekolah Tinggi Hukum Bandung yang selalu ramah dan
sangat membantu penulis selama berada di kampus;
6. Ibu penulis, Imas Indriyani yang tidak pernah lelah mendoakan dan
memberikan dukungan selama penulis menyusun skripsi ini.
7. Ayah penulis, Bambang Soegiharto yang selalu mendoakan, memberi
dukungan moral selama penulis menyusun skripsi ini.
8. Saudara sedarah penulis, Andika Jayanegara yang mendukung dan rela
diganggu oleh penulis dan diminta menemani untuk menyusun skripsi ini.
9. Aura Pramesti Salsabila yang selalu sabar menemani penulis ketika penulis
dalam keadaan apapun dan selalu mendukung juga memberikan motivasi
kepada penulis selama penulis kuliah dan menulis skripsi ini.
10. Keluarga besar Sidik Soepardjo (KBC FAMILY) yang selalu memberikan
support dan doa selama penulis menyusun penelitian skripsi.
11. Keluarga besar Wawan Rachadian yang selalu menanyakan kabar dan
mendoakan penulis.
12. GRANDRIES yang selalu hadir ketika penulis berada di keadaan susah
maupun senang, dan mengajari penulis tentang arti dari sebuah persaudaraan.
Terimakasih untuk segalanya.
13. WANGKER yang selalu menemani dan menghibur penulis saat penulis
sedang suntuk dan bosan.
14. Reinalda Fidelia yang menjadi tempat curhat penulis dan tidak pernah lelah
menyemangati penulis dalam menjalani kehidupan.
15. Kaija Sekar Sabitah yang selalu memberikan motivasi dan saran-saran yang
dibutuhkan penulis ketika penulis sedang kesulitan dalam menghadapi
apapun.
iii

16. PEMUDA HIJRAH yang selalu menghibur penulis saat penulis kurang
bersemangat mengerjakan skripsi.
17. Nada, Kintan, Rika, dan Hapsari yang tak bosan mengingatkan dan
menanyakan kemajuan penyusunan penelitian skripsi oleh penulis.
18. Sahabat dan teman-teman terdekat penulis di kampus, Anggara, Farhan,
Andre, Ibnu, Aldi, Hafiyyan, Renaldi, Aditya, Mafazha, Reihans, Dima,
Fahmi, Adhit, Arsyil, yang selalu memberikan motivasi bagi penulis dan
memberikan bantuan dalam bentuk apapun saat penulis kesulitan selama
proses pengerjaan skripsi.
19. UBERMENSCH yang selalu setia da nada untuk penulis selama penulis
menjalani proses perkuliahan di kampus.
20. Seluruh teman-teman Kelas D Angkatan 2016 STHB yang menemani
keseharian di kampus dan memberikan suasana kelas yang kondusif dan
nyaman;
21. BULLDOG BROTHERS BAND yang menjadi ‘tempat’ untuk penulis
mencurahkan dan menuangkan sisi lain dari penulis dengan cara bermain
music juga membuat karya berbentuk lagu.
22. DADANG CAMPINA yang telah menjadi teman baik penulis selama ini.
23. NOCTURNAL CABIN & VROLODIC COMPANY yang sering menjadi
tempat penulis melakukan proses penyusunan skripsi ini.
Tiada kesempurnaan kecuali milik Tuhan. Penulis sadar skripsi ini jauh dari
sempurna, maka dari itu penulis memohon maaf dan mengharapkan saran serta
kritik yang membangun agar dapat menulis karya yang lebih baik dari skripsi ini
di kemudian hari. Besar harapan penulisan ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi semua pembaca.

Bandung, 16 Juli 2020

Rakha Cipta Mahardika


iv

KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP PEMANFAATAN TANAMAN


GANJA UNTUK PENGOBATAN KANKER DIHUBUNGKAN DENGAN
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SANGGAU NOMOR
111/PID.SUS/2017/PN.SAG

ABSTRAK

Penyalahgunaan Narkotika Golongan I di era ini sudah menjadi hal


yang meresahkan bagi seluruh lapisan masyarakat. Indonesia sendiri sudah
memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
dalam penerapannya, terdapat beberapa pasal dalam UU Narkotika yang
sering digunakan oleh Penuntut Umum, baik dalam dakwaan maupun
tuntutan. Mulai dari Pasal 111, 112, 114, 116 sampai 127 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun masalah dalam
penelitian ini adalah kebijakankriminal pemanfaatan dan sayarat-syarat
pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan kanker dan daya guna
penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku pemanfaatan tanaman ganja
untuk pengobatan kanker.
Penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis-kualitatif,
penelitian ini dilakukan secara deskriptif yang meliputi isi dan struktur
hukum positif di Indonesia dengan menggunakan sumber data sekunder
yang berisi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier. Penelitian ini juga menggunakan dua metode pendekatan
yaitu metode pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach), serta teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka.
Hasil Penelitian dari permasalahn diatas yaitu perspektif kebijakan
kriminal terhadap pemanfaatan tanaman ganja dan syarat-syarat
pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan daya guna
penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku pemanfaatan tanaman ganja untuk
pengobatan kesehatan manusia dihubungkan dengan Putusan Pengadilan
Negeri Sanggau Nomor 111/pid.sus/2017/PN.Sag.
Kata kunci: tanaman ganja, narkotika, kebijakan kriminal,
pemanfaatan, daya guna.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
ABSTRAK.............................................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................................1
B. Identifikasi Masalah.........................................................................8
C. Tujuan penelitian..............................................................................9
D. Kegunaan Penelitian.........................................................................9
E. Kerangka Pemikiran.......................................................................10
F. Metode Penelitian...........................................................................19
G. Sistematika Penulisan.....................................................................22
BAB II TINJAUAN TERHADAP PENGATURAN PEMBERANTASAN
NARKOTIKA
A. Istilah dan Pengertian Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika.....23
B. Jenis-Jenis Narkotika dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan
Manusia..........................................................................................29
C. Pemanfaatan Narkotika Jenis Ganja Untuk Pengobatan Kanker dan
Pengaruhnya Tehadap Kesehatan Manusia....................................35
D. Kebijakan Kriminal terhadap Penyalahgunaan Tanaman Ganja....41
BAB III TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
SANGGAU NOMOR 111/PID.SUS/2017/PN.SAG
A. Kasus Posisi....................................................................................54
B. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.....................................................59
C. Pertimbangan Hakim......................................................................62
BAB IV KEBIJAKAN KRIMINAAL TERHADAP PEMANFAATAN
TANAMAN GANJA UNTUK PENGOBATAN KANKER DIHUBUNGKAN
DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SANGGAU NOMOR
111/PID.SUS/2017/PN.SAG
A. Perspektif Kebijakan Kriminal Terhadap Pemanfaatan Tanaman
Ganja Dan Syarat-Syarat Pemanfaatan Tanaman Ganja Untuk
Pengobatan Kanker Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika Dihubungkan Dengan Putusan Pengadilan
Negeri Sanggau Nomor 111/Pid.Sus/20-17/PN.Sag......................83
vi

B. Daya Guna Sanksi Pidana Dalam Putusan Pengadilan Negeri


Sanggau Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag Terhadap Pelaku
Pemanfaatan Tanaman Ganja Untuk Pengobatan Kanker.............88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................93
B. Saran...............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................95
RIWAYAT HIDUP..............................................................................................98
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945) disebutkan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia
adalah negara hukum. Sehingga seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya,
hukum harus dijadikan sebagai jalan keluar dalam penyelesaian masalah-masalah
yang berkenaan dengan perorangan maupun kelompok, baik masyarakat maupun
negara. Norma hukum bukanlah satu-satunya kaidah yang bersifat mengatur
terhadap manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum tidak
dibuat tetapi hidup, tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hukum harus
tetap memuat nilai-nilai yang ideal dan harus pula dijunjung tinggi oleh segenap
elemen masyarakat. Mengingat hal tersebut segala sesuatunya perlu diatur dengan
hukum agar tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang menyimpang dalam kehidupan
sosial dan salah satu penyimpanganya adalah penyalahgunaan narkotika.
Perkembangan narkotika modern dimuali pada tahun1805. Ketika
Friedrcih Wilhelm seorang dokter berkebangsaan Jerman menemukan senyawa
opium moniak yang kemudian diberi nama morfin. 1 Morfin diperkenalkan sebagai
pengganti opium yang merupakan candu mentah. Sebelumnya di India dn Persia,
candu mentah diperkenalkan oleh Alexander The Great pada 330 SM, di mana
saat itu candu digunakan sebagai bumbu makanan dengan tujuan relaksasi tubuh.
Baru pada 1898, narkotika diproduksi secara massal oleh produsen obat ternama
Jerman, Bayern. Pabrik itu memproduksi obat penghilang rasa sakit dan kemudian
diberi nama heroin. Pada tahun itulah narkotika digunakan secara resmi dalam
dunia medis sebagi obat penghilang rasa sakit. Peredaran narkotika menembus
level internasional, tujuan awalnya sebagai obat kemudian bergeser menjadi
konsumsi karena sifat ketergantungan yang masif. Pada 1906, guna
mengatasi
1
Kata Morphine diambil dari nama dewa Yunani yaitu Morphius yang berarti dewa
mimpi. Tri Seption, Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia
http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-pemberantasannya-di-
indonesia , diakses pada 15 Maret 2020, pukul 20.00 WIB.

1
2

penyalahgunaan narkotika, Amerika Serikat menerbitkan undang-undang yang


meminta farmasi memberikan label yang jelas untuk setiap kandungan dari obat
yang diproduksi. Lalu pada 1914, disusun suatu peraturan yang mengharuskan
pemakai dan penjual narkotika untuk wajib membayar pajak, melarang
memberikan narkotika kepada pecandu yang tidak ingin sembuh serta menahan
paramedis dan menutup tempat rehabilitasi. Kemudian pada 1923, Amerika
Serikat melarang penjualan narkotika terutama dengan bentuk heroin. Pelarangan
penjualan narkotika ini yang menjadi awal penjualan/perdagangan gelap narkotika
yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.2
Peredaran atau perdagangan narkotika dianggap sebagai salah satu
kejahatan di dunia internasional, termasuk di Indonesia. Sebagai bentuk komitmen
Indonesia untuk ikut berperan aktif dan mendorong inisiatif dunia dalam
memberantas penyalahgunaan narkotika, pada 27 maret 1989 di Wina, Austria,
Indonesia turut menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika yang
kemudian diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Sebagai
bentuk respon atas komitmen Internasional tersebut, Indonesia lalu membentuk
dua undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
Salah satu bentuk materi dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997
Tentang Narkotika adalah mengamanatkan dibentuknya suatu lembaga
koordinasi untuk menetapkan kebijakan nasional di bidang narkotika dalam hal
ketersediaan, pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika. Lembaga ini pada awalnya diberi nomenklatur Badan Koordinasi
Narkotika Nasional yang kemudian berubah menjadi Badan Narkotika Nasional
(BNN).
Meski demikian sebenarnya peraturan mengenai narkotika di Indonesia
sudah ada bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Pada zaman kolonialisme
Belanda di Indonesia, tepatnya tahun 1926-1927, Belanda yang saat itu
menduduki Indonesia mencatat maraknya perdagangan candu yang dikelola oleh
pedagang dari Cina. Akibatnya, Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan

2
Ibid.
3

pengaturan atas keberadaan usaha candu atau penggunaan narkotika melalui


Ecgonine atau Verdovende Middelen Ordonanntie (Staatsblad 1927 Nomor 278
yang diperbaharui dengan Staatsblad 1927 Nomor 635).3
Berkembangnya kejahatan narkotika menjadi kejahatan transnasional
kembali mendorong pemerintah Indonesia melakukan pengesahan terhadap
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs) beserta
protokol amandemennya (Protocol Amending the Single Convention on Narcotic
Drugs) melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1976. Disaat yang bersamaan
yaitu pada 27 Juli 1976, Pemerintah Indonesia juga mengesahkan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-undang ini sudah mulai
mengatur perihal pengobatan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika
dan usaha penanggulangannya. Pecandu narkotika dipandang sebagai korban
penyalahgunaan.4
Pendekatan panjang pengaturan narkotika yang diselimuti kutub
pandangan Antara pendekatan criminal dan kesehatan yang saling tarik menarik
berakhir pada dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 tahun
1997 tentang Narkotika. Pada 12 Oktober 2009, Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika) disahkan. Secara
prinsip, UU Narkotika dibentuk dengan 4 (empat) tujuan utama, yaitu:
1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan anak bangsa dari
penyakahgunaan narkotika
3. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; dan
4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah
Guna dan pecandu Narkotika.5
Narkotika sendiri adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran diri, hilangnya rasa sakit dan dapat

3
Triawan, Widodo Eddyono et al., Membongkar Kebijakan Narkotika: Catatan Kritis
Terhadap Beberapa Ketentuan dalam UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Beserta
Tinjauan Konstitusionalitasnya (Jakarta: PBHI, 2010), hlm. 3.
4
Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika.
5
Pasal 4 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
4

menyebabkan ketergantungan. Yang terbagi atas beberapa golongan menurut


jenis, turunan dan efeknya.Ganja sendiri merupakan tumbuhan budidaya
penghasil serat, namun lebih dikenal dengan kandungan zat narkotika yang
terdapat pada bijinya, yaitu tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol)
yang dapat membuat pemakainya mengalami euphoria (rasa senang yang
berkepanjangan tanpa sebab). Namun ganja sendiri juga berguna dalam dunia
kesehatan sebagai obat bius atau penenang untuk penghilang rasa sakit pada
pasien yang akan melakukan operasi, terapi ataupun dalam tahap
penyembuhan.Penggunanaan ganja dalam takaran yang tak tepat dan sembarangan
bisa menyebabkan banyak masalah kesehatan, itulah sebabnya penggunaan ganja
dalam proses penyembuhan dibidang kesehatan belum dapat diterapkan secara
umum di Indonesia, serta pandangan masyarakat akan ganja sebagai barang yang
haram hukumnya untuk dikonsumsi. Penyalahgunaan tersebut tentunya
merupakan tindakan kejahatan yang tidak sesuai dengan aturan aturan yang
berkaitan dengan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika. Dalam undang-undang tersebut mengatur tentang semua
yang berhubungan dengan narkotika mulai dari pengertian, jenis-jenis, zat apa
saja yang terkandung didalamnya, manfaat, efek yang ditimbulkan, golongan-
golongan narkotika, dan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada para pelanggar
yang menyalahgunakan narkotika. Maka dari itu, masyarakat diminta terus
berhati-hati dengan pergaulan sekitar agar tidak ikut terjerumus dalam dunia
narkotika yang membahayakan kesehatan tubuh hingga membahayakan nyawa
bagi para penggunanya.
Ganja (Cannabis sativa atau Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya
penghasil serat, namun lebih dikenal sebagai obat psikotropika karena adanya
kandungan zat tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang dapat
membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa
sebab). Tanaman ganja biasanya dibuat menjadi rokok mariyuana. Tanaman
semusim ini tingginya dapat mencapai 2 meter. Berdaun menjari dengan bunga
jantan dan betina ada di tanaman berbeda (berumah dua). Bunganya kecil-kecil
dalam dompolan di ujung ranting. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis
dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut.
5

Penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan yang bertentangan


dengan peraturan perundang-undangan. Saat ini penyalahgunaan narkotika
melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan
anak-anak. Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun telah mengalami
peningkatan, penyalahgunaan narkotika mendorong adanya adanya peredaran
gelap yang semakin meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu
diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan narkotika dan upaya
pemberantasan peredaran gelap mengingat kemajuan perkembangan komunikasi,
informasi dan transportasi dalam era globalisasi saat ini.6
Pada tahun 2014, Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan bahwa
ada sekitar dua juta pengguna ganja di Indonesia, menjadikan ganja sebagai zat
yang paling banyak digunakan di Indonesia, diikuti oleh stimulan jenis amfetamin
(Amphetamine-Type Stimulants, ATS) seperti metamfetamin (shabu) dan ekstasi.
Hampir semua ganja yang dikonsumsi di Indonesia diproduksi di Aceh, bagian
paling-ujung utara pulau Sumatera, serta di beberapa wilayah lain di Sumatera,
yang kemudian didistribusikan ke seluruh negeri. Budidaya ganja skala kecil juga
mungkin ditemukan di dan diangkut dari Garut, Jawa Barat, serta Papua,
sebagaimana yang disampaikan oleh lembaga advokasi Lingkar Ganja Nusantara
(LGN).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang memasukkan
ganja ke dalam kategori narkotika golongan I. Penggunaan ganja terancam
hukuman maksimal 10 tahun penjara.sedangkan menurut Undang-Undang Nomor
35 tahun 2009 tentang narkotika diancam dengan hukuman paling lama 12 tahun.
Pemerintah juga sudah pernah mengatur secara khusus pertanian ganja lewat
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1980 tentang Ketentuan Penanaman
Papaver, Koka, dan Ganja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini lembaga
pendidikan atau lembaga pengetahuan bisa menanam ganja setelah memperoleh
izin. Lembaga ini harus membuat laporan setiap enam bulan sekali mengenai
lokasi, luas tanaman, dan hasil. Kalau ada kehilangan, lembaga dimaksud harus
melapor ke polisi. Secara umum ganja tidak menimbulkan ketagihan (withdrawal)
seperti halnya morfin. Bila seorang pecandu morfin memutuskan untuk berhenti,
6
Lydia Harlina Marton, Membantu Pencandu Narkotika dan Keluarga (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006), hlm. 1
6

dia akan merasakan rasa sakit di tubuh, lazim disebut sakaw. Dari studi literatur,
ganja hampir sama dengan rokok. Ganja tidak pernah menimbulkan overdosis dan
tidak menimbulkan sifat agresif. Tetapi semua itu harus dibuktikan lewat
penelitian.
Selain efek negatif, ganja memiliki dampak positif seperti tumbuhan yang
ramah lingkungan, anti hama, mudah ditanam, dan memiliki banyak manfaat.
Dengan menurunkan kadar THC (Tetrahydrocannabinol) ganja dapat
dimanfaatkan untuk membuat bahan tekstil, kertas, bahan pembuat makanan.
Sementara kadar THC ganja yang tumbuh di Indonesia belum terukur.THC
merupakan salah satu zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada
penderita glukoma.THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendahnya
saja sudah berdampak bagi pasien. apabila kadar THC diperkaya, dapat menjadi
lebih berguna untuk tujuan pengobatan. Selain itu dimasyarakat tradisonal opium,
kokain, dan ganja, digunakan sebagai pengobatan tradisional. Dan dapat
digunakan sebagai penyedap masakan seperti di Aceh.
Terkait pidana penyalahgunaan narkotika jenis ganja, tahun 2017 terdapat
kasus yang cukup menuai pro kontra, kasus tersebut adalah kasus atas nama
Fidelis Arie Sudewarto yang telah dijatuhi pidana penjara selama 8 (delapan)
bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara
selama 1 (satu) bulan karena terbukti melanggar Pasal 116 ayat (2) UU No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sampai saat ini, belum banyak pihak-pihak/lembaga-lembaga pemberi
bantuan hukum, hak-hak asasi manusia dan masyarakat pada umumnya yang
sadar dan peduli terhadap permasalahan yang diterima pengguna narkotika yang
menjadi korban kebijakan negara dalam melakukan pemberantasan narkotika dan
perdagangan gelap narkotika. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika sebagai pengaturan terbaru narkotika dan pengganti Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 dan beberapa hal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 dirasakan belum dapat memberikan perlindungan hukum dan jaminan atas
kesehatan terhadap pengguna narkotika dan pihak-pihak yang melakukan
pendampingan terhadap pengguna narkotika.
7

Pertama, Pada 2014, BNN dan Sekretariat Mahkamah Agung,


Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI telah
melakukan penandatanganan Peraturan Bersama terkait Penanganan Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.
Penandatanganan tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung, Kementerian
Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Jaksa Agung,
Kapolri, serta BNN di Istana Wakil Presiden. Pada saat itu, BNN dan Sekretariat
Mahkumjakpol mengklaim bahwa Peraturan bersama ini merupakan langkah
konkret bagi pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan atau korban
penyalahguna narkotika di Indonesia.7
Kedua, dari sisi penegakan hukum, Indonesia masih memandang
penggunaan narkotika sebagai sebuah tindak pidana atau persoalan hukum bukan
sebagai persoalan kesehatan. Termasuk anak pecandu dan/ korban penyalahguna
narkotika harus menghadapi persoalan hukum sementara persoalan kesehatannya
terabaikan. Meskipun telah terdapat berbagai macam aturan mengenai anak yang
berkonflik dengan hukum, seperti UU SPPA dan UU perlindungan Anak, namun
secara substantif peraturan-peraturan yang ada belum sepenuhnya melindungi hak
anak pecandu dan/ korban penyalahguna narkotika yang berkonflik dengan
hukum.
Permasalahan lainnya yang lahir dari pendekatan punitif yang digunakan
dalam UU Narkotika adalah terkait dengan overcwording pemasyarakatan
khususnya untuk terpidana kasus narkotika. Berdasarkan Sistem Database
Pemasyarakatan (SDP) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, pada bulan Oktober
tahun 2016 tercatat sebanyak 23.168 orang atau sebanyak 33,97 % dari jumlah
total warga binaan yang berada di dalam penjara adalah Narkoba Pengguna
(NKP).8
Pembentukan UU Narkotika ini bukan tanpa celah. Tarik menarik dan
perbenturan antara pendekatan kriminal dengan pendekatan kesehatan masyarakat
7
BNN, “Peraturan Bersama Penanganan Pecandu Narkoba Dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi”,http:/www.bnn.go.id/portal/index/detail/peraturan-
bersama-penanganan-pecandu-narkoba-dan-korban-penyalahgunaan-narkotika-ke-dalam-
lembaga-rehabilitasi, diakses 15 Maret 2020.
8
Sistem Database Direkrorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi ManusiaRepublikIndonesia, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/,
diakses 15 Maret 2020.
8

sangat mencuat dalam beberapa pengaturannya. Apabila dicermati lebih dalam,


pembentuk UU Narkotika menyadari bahwa harus ada perubahan pendekatan
penanganan terhadap pengguna narkotika, yaitu dari pendekatan pemidanaan
kepada pendekatan kesehatan masyarakat. Hal ini jelas terlihat dalam Pasal 1
angka 13 UU Narkotika yang berbunyi “Pecandu Narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis”. Definisi dari
pecandu narkotika merujuk pada pandangan bahwa yang bersangkutan berhak
untuk mendapatkan pengobatan secara sosial dan medis sehingga dalam banyak
pengaturan UU Narkotika mengedepankan hal tersebut. Misalnya Pasal 54, Pasal
103, dan beberapa pasal lainnya.
Namun, di sisi yang berbeda, UU Narkotika juga memberikan penegasan
yang justru dapat menjerat pengguna narkotika sebagai pelaku kejahatan
narkotika. Contohnya Pasal 1 angka 15 UU Narkotika yang menyatakan bahwa
“Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau
melawan hukum”. Konsekuensi dari unsur “tanpa hak” dan “melawan hukum”
adalah bahwa pengguna narkotika masih dipandang sebagai orang yang melawan
hukum atau pelaku kejahatan.
Berdasarkan uraian permasalahan latar belakang di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perspektif yuridis mengnai
pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan dan kesehatan manusia yang
dituangkan dalam skripsi yang berjudul: “KEBIJAKAN KRIMINAL
TERHADAP PEMANFAATAN TANAMAN GANJA UNTUK PENGOBATAN
KANKER DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
SANGGAU NOMOR 111/PID.SUS/2017/PN.SAG”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahannya dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif kebijakan kriminal terhadap pemanfaatan tanaman
ganja dan syarat-syarat pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
9

dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor


111/pid.sus/2017/PN.Sag?
2. Bagaimana daya guna sanksi pidana dalam putusan Pengadilan Negeri
Sanggau Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag terhadap pelaku pemanfaatan
tanaman ganja untuk pengobatan kanker?
C. Tujuan penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penilitian ini. Antara lain:
1. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis bagaimana perspektif
politik kriminal terhadap penggunaan tanaman ganja dan syarat-syarat apa
saja yang diperlukan dalam pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan
kesehatan manusia berdasarkan Undang-undang nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor
111/pid.sus/2017/PN.Sag
2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis bagaimana daya guna
sanksi pidana dalam putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor
111/Pid.Sus/2017/PN.Sag terhadap pelaku pemanfaatan tanaman ganja
untuk pengobatan kanker.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kegunaan,
diantaranya:
1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana
dalam khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai perspektif politik kriminal terhadap pemanfaatan tanaman
ganja untuk pengobatan kesehatan manusia.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikirian bagi para praktisi hukum seperti polisi, jaksa, hakim,
advokat, aparat pelaksana (lapas), dalam memahami suatu kebijakan
10

yang tepat dan sesuai bagi para pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi praktisi hukum dalam upaya merumuskan kebijakan
legislasi tentang narkotika.
E. Kerangka Pemikiran
Seperti yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah, bahwa
negara hukum Indonesia dikonsepsikan secara tegas sebagai negara hukum yang
prismatik, menggabungkan segi-segi positif antara rechstaat dengan kepastian
hukumnya dan the rule of law dengan rasa keadilan secara integratif, bukan hanya
rechstaat dan bukan hanya the rule of law. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil
perubahan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, tanpa kata
rechstaat yang diletakan di dalam kurung. Hal itu harus diartikan bahwa negara
hukum Indonesia menerima asas kepastian hukum, yaitu titik beratnya pada the
rule of law. Pengertian yang demikian dipertegas pula dalam Pasal 28H UUD
1945 yang juga menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan, sedangkan
Pasal 28D UUD 1945 menekankan pentingnya kepastian hukum yang adil. 9
Sehubungan dengan itu Arief Sidharta mengemukakan, bahwa:
“Negara hukum adalah negara yang penyelenggara pemerintahnya
dijalankan berdasarkan dan bersarankan hukum yang berakar dalam
seperangkat titik tolak normatif, berupa asas – asas dasar sebagai asas –
asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan perilaku
pejabat pemerintah”10
Menurut Sudargo Gautama, ada 3 (tiga) unsur penting negara hukum, yaitu:
1. Terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan. Maksudnya,
negara tidak dapat sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi oelh
hukum, individu mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai
hak terhadap penguasa.
2. Asas Legalitas

9
Moh. Mahfud MD dalam Mas Putra Zenno Januarsyah, Tinjauan Politik Kriminal
Tentang Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi dilawankan Dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, Skripsi pada Program Sarjana Ilmu
Hukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung (Bandung: STHB, 2011), hlm. 9.
10
Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, (Jentera Jurnal Hukum
Edisi 3 Tahun II, 2014) hlm. 123
11

Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan


terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah dan aparatnya.
3. Pemisahan Kekuasaan
Agar hak asasi betul-betul terlindungi adalah dengan pembagian
kekuasaan, yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan
melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain dan tidak
berada dalam satu tangan.11
Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak warga
negaranya dengan tidak membeda-bedakan statusnya di mata hukum, adapun hak
seseorang sebagai warga negara dapat dilihat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Secara teoritis, menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan
bahwa upaya penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan secara:
1. Penal yaitu lewat hukum pidana yang lebih menitik beratkan pada sifat
“repressive” (penindasan/pemberantasan/penupasan) sesudah kejahatan
terjadi.
2. Non Penal yaitu bukan atau diluar hukum pidana yang menitik beratkan
pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum
kejahatan terjadi.12
Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan
saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai
berikut:
1. Faktor Perundang-undangan (Substansi Hukum)
Praktik penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum. Hal ini
dikarenakan konsepsi keadilan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian
hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh
karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya
berdasarkan hukum merupakan suatu tindakan yang dapat dibenarkan
sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum.
2. Faktor Penegak Hukum
Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka

11
Abdul Azis Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 117 – 118.
12
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Jakarta: Kencana, 2008),
hlm. 40
12

penegakan hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa,


terlihat, dan teraktualisasikan.

3. Faktor Sarana dan Fasilitas


Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang cukup,
penegakan hukum tidak akan berjalan dengan lancer dan penegak hukum
tidak bisa menjalankan peranan semestinya.
4. Faktor Masyarakat
Masyarakat memiliki peran dan pengaruh yang cukup kuat dalam
pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari
masyarakat dan bertujuan mencapai masyarakat. Bagian yang terpenting
dalam penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin
tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan
penegakan hukum yang baik.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam oenegakan hukum,
semakin banyak penyesuaian perundang-undangan dengan kebudayaan
masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.13

Dalam melakukan penelitian terkait kebijakan kriminalisasi tentang


pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan kanker erat kaitanya dengan hukum
pidana. Dalam hukum pidana, kita mengenal suatu asas yang erat kaitanya dengan
kebijakan kriminalisasi dan peraturan perundang-undangan, yaiatu asas legalitas.
asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang ada”.14
Mengenai dipidananya seseorang menurut Sudarto tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum attau
bersifat melawan hukum. Disini berlaku apa yang disebut “asas tiada pidana tanpa
keasalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla
poena sine culpa), culpa di sini dalam arti luas meliputi juga kesengajaan.15

13
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
Rineka Cipta, 1983) hlm.8-10
14
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2016), hlm. 71.
15
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 85.
13

Artinya kesalahan merupakan salah satu unsur yang fundamental selain


sifat melawan hukum dari perbuatan, dan harus dipenuhi agar suatu objek hukum
dapat dijatuhi pidana. Kemudian dari pada itu Sudarto menyatakan bahwa agar
seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidanya
pembuat terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat.
2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan dan kealpaan.
3. Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab.
4. Tiada alasan pemaaf.16
Kemudian dalam penelitian ini, guna memecahkan permasalahan yang
pertama, penulis menggunakan teori kriminalisasi yang menjadi faktor penting.
Menurut Sudarto kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan orang
sebagai perbuatan tindak pidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-
undang di mana perbuatannya itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa
pidana. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh
hakim dan selanjutnya apabila dijatuhi pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan
administrasi (eksekutif), di bawah pimpinan Menteri Kehakiman. 17 Selain itu
dalam rangka usaha pembuatan dan perumusan hukum pidana yang baik,
khususnya yang menyangkut penetapan kebijakan kriminalisasi, maka diperlukan
beberapa pendekatan dalam penetapan kebijakan tersebut. Pendekatan
sebagaimana dimaksud harus tetap mencerminkan karakteristik dari Politik
Kriminal itu sendiri, yakni rasionalisasi.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa oleh karena Politik
Kriminal yang rasional harus berorientasi pada dua hal, yaitu kebijakan, dan nilai,
maka Politik Hukum Pidana pun (sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Politik Kriminal), di dalam menetapkan kebijakan kriminalisasi dan juga
(kebijakan penalisasi)-nya sebagai masalah sentral dalam Politik Kriminal dengan
penal, harus pula berorientasi pada kebijakan dan nilai.18

16
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 77
17
Sudarto, Hukum dan Perkembangan … op. cit,. hlm. 32.
18
Widiada Gunakaya, Politik Hukum Pidana (Bandung: Guna Harapan Baru, 2019), hlm.
85.
14

Kemudian, menurut Sudarto: “dalam menghadapi masalah sentral yang


pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-
hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (material atau spiritual) atas
warga masyarakat.
3. Penanggulangan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip biaya
dan hasil (cost and benefit principle).
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).19
Lebih lanjut, Barda Nawawi mengatakan bahwa mengenai kriteria
kriminalisasi dan dekriminalisasi adalah:
“Untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu
memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pebuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan
hukum, serta beban yang dipikul korban, pelaku dan pelaku kejahatan
harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah akan makin menambah bebat aparat penegak hukum yang tidak
simbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya.
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita
bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.”20
Dalam mengoperasikan hukum tidak bisa terlepas dari suatu konsep. 21
Konsep-konsep tersebut digunakan untuk menyebutkan secara ringkas apa yang
dikehendaki atau dicakup oleh suatu peraturan hukum. 22 Konsep juga merupakan
suatu pengetahuan, yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
sesuatu yang tentunya mengandung suatu arti, oleh karena itu perumusan–
perumusan konsep hukum tidak dapat dilepaskan dari unsur empiris yang menjadi

19
Ibid, hlm. 86.
20
Ibid, hlm. 87.
21
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 311.
22
Ibid, hlm. 312.
15

dasarnya, atau dengan kata lain konsep–konsep hukum itu harus mempunyai dasar
empiris, dikarenakan nantinya akan menjadi ukuran untuk menilai dan
menghakimi dunia kenyataan khususnya perbuatan manusia.”23
Salah satu konsep yang memiliki keterkaitan erat dengan skripsi ini adalah
konsep Politik Hukum Pidana. Menurut Widiada Gunakaya, Politik Hukum
Pidana adalah:
“Suatu perencanaan dari pembuat kebijakan mengenai apa yang akan
dilakukan dalam menghadapi problema yang dimiliki oleh hukum pidana,
dan dengan cara bagaimana melakukan sesuatu yang telah direncanakan
itu, sehingga tercipta hukum pidana yang baik sebagai sarana penal dalam
rangka penanggulangan kejahatan, sehingga tercapai tujuan, yakni
perlindungan masyarakat tergadap kejahatan dan kesejahteraan rakyat”

Apabila dikaitkan dengan makna politik hukum (politik hukum pidana


merupakan derivasi dari politik hukum), maka secara singkat Politik Hukum
Pidana dapat diartikan sebagai: Suatu pembentukan atau penciptaan hukum
mengenai hal-hal apa saja yang dijadikan kriteria untuk membuat dan
merumuskan aturan-aturan hukum pidana yang baik dalam rangka
penanggulangan kejahatan.24 Berdasarkan definisi yang dibuat berdasarkan makna
“kebijakan”, terdapat beberapa catatan yang perlu untuk diketahui, yaitu:
1. Definisi tersebut ditinjau dari sudut pandang politik kriminal.
Sebagaimana diketahui, bahwa fungsi utama hukum pidana adalah sebagai
sarana oenal dalam penanggulangan kejahatan. Dengan demikian, ditinjau
dari sudut pandang politik kriminal, maka politik hukum pidana tiada lain
adalah usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan
melalui pembuatan dan perumusan hukum pidana yang baik.
2. Apabila definisi politik hukum pidana di atas, diuraikan lebih lanjut, maka
dapat pula diketahui, bahwa kebijakan-kebijakan yang harus ditetapkan
dalam rangka pembuatan dan perumusan hukum pidana yang baik, adalah
menyangkut masalah-masalah yang menjadi yang menjadi bidang kajian
(ruang lingkup) hukum pidana materiil, yaitu hal-hal sebagai berikut:
a. Kebijakan yang menyangkut tentang penetapan tindak pidana.
b. Kebijakan yang menyangkut tentang penetapan pertanggungjawaban
pidana.
c. Kebijakan yang menyangkut tentang penetapan pidana dan
pemerintah.
d. Kebijakan yang menyangkut tentang penetapan pelaksanaan pidana.
Dalam kebijakan politik kriminal terdapat kebijakan kriminalisasi
yang didalamnya terdapat jenis kebijakan yang dilaksanakan melalui
23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 35.
16

tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum


pidana yang terdiri dari:
1) Kebijakan formulasi/legislatif.
2) Kebijakan aplikatif/yudikatif.
3) Kebijakan administratif/eksekutif.25
Hukum pdana seharusnya ditujukan untuk menegakkan ketertiban umum,
melindungi masyarakat umum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling
bergantung; kepentingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dilindungi
oleh negara.26
Dalam literatur berbahasa Inggria, tujuan pidana biasa disingkat
dengantiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan,
Retribution, sedangkan satu D iala iDeterrence,yang terdiri atas individual
deterrence dan general deterrence (pencegahan khusus danpencegahan umum).
Reformation berarti memperbaiki atau merehabillitasi pennjahat menjadi
orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh
keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik.
Reformation perlu digabung dengan tujuan yang lain seperti pencegahan.
Kritikan terhadap reformasi ialah ia tidak berhasil. 27 Ketidakberhasilannya nyata
banyaknya residivis setelah menjalani pidana penjara. Yang perlu ditingkatkan
dalam sistem reformasi ini adalah intensitas latihan di penjara lebih ditingkatkan.
Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan
tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan
menjadi lebih aman.28
Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan
kejahatan. Sekarang ini banyak dikritik sebagai sistem yang bersifat barbar dan
tidak sesuai dengan masyarakat yang beradab. Namun bagi yang pro dengan
pembalasan ini mengatakan, bahwa orang yang menciptakan sistem yang lebih
lunak kepada penjahat adalah seperti reformasi itu membuat Magna Carta bagi
penjahat (Magna Carta for Law Breaker).29

25
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Adirya
Bakti, 2010), hlm. 24.
26
Jan Remellink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003) hlm. 14.
27
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia & Perkembangannya (Medan:
Sofmedia, 2012), hlm. 36.
28
Ibid., hlm. 37.
29
Ibid.
17

Deterrence berarti menjera atau mencegah, sehingga balik Terdakwa


sebagai individual mauapun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera
atau takut untuk melakukankejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada
Terdakwa.30
Tujuan pemidanaan diformulasikan sebagai bagian integral dari sistem
pemidanaan, sebagai pedoman (guidance of sentencing), landasan filosofis dan
justifikasi pemidanaan agar “tidak hilang”/”tidak dilupakan” dalam praktik.
Sistem pemidanaan yang diungkapkan dalam konsep, dilatarbelakangi
oleh berbagai dasar ide atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Ide keseimbangan monodualistik Antara kepentingan masyarakat (umum)
dan kepentingan individu;
2. Ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”;
3. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/”offender”
(indivudalisasi pidana) dan “victim” (korban);
4. Ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punishment dengan
tindakan/treatment/measures);
5. Ide elastisitas/fleksibelitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of
sentencing”);
6. Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”;
the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of
punishment”);
7. Ide subsidiaritas di dalam jenis pidana;
8. Ide pemaaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”)
9. Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dan kepastian hukum.31
Tujuan pemidanaan yang banyak dikemukakan oleh para sarjana
mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai, di dalam
penjatuhan pidana, yang dalam hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai social budaya
yang dihayati oleh para sarjana tersebut.32
Pertentangan mengenai tujuan pemidanaan sudah terjadi semenjak dahulu
kala, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana retributif
(retributivism) dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan
yang positif lebih lanjut (theological theories). Di samping itu timbul pula
pandangan integrative di dalam tujuan pemidanaan (theological retributivist) yang
beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang prural, yang merupakan

30
Ibid.
31
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia (Bandung: Refika
Aditama, 2013), hlm. 21.
32
Ibid., hlm. 22.
18

gabungan antara pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan


pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan,
keadilan tidak diperoleh melalui pembebanan penderitaan yang diterima untuk
tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan
bahwa keadilan tercapai apabila tujuan teological tersebut dilakukan dengan
menggunakan ukuran-ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalynya
bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya
diperoleh pelaku tindak pidana.33

Secara tradisional teori-teori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan


tujuan pemidanaan) pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu:
1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen).
2. Teori relative atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen).34
Teori absolut, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est).35
menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh
tidakm tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan
kejahatan. Tidak dilihat akbiat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya
pidana, tidak peuli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan.36
Menurut penganut teori ini, Nigel Walker mengatakan para penganut teori
retrinbutif ini dapat pula dibagi beberapa golongan, yaitu:
1. Penganut retributive yang murni (the pure retributivist), yang berpendapat
bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat.
2. Penganut retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi
dalam:
a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang
berpendapat: pidana tidak harus coco/sepadan dengan kesalahan,
hanya saja tidak boleh meebih batas yang cocok/sepadan dengan
kesalahan terdakwa.
b. Penganut retributif yang distributuf (Retribution in distribution),
disingkat dengan teori “distributive” yag berpendapat: pidana
janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga
harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “pidana

33
Ibid., hlm. 23.
34
Ibid.
35
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT
Alumni, 2010), hlm. 10.
36
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan … op.cit., hlm. 24.
19

tanpa kesalahan” dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian


misalnya dalam hal “strict liability”.37
Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori inipun sering juga
disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia
peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccatur”
(supaya orang jangan melakukan kejahatan).38
Dengan demikian pemidanaan terhadap pelaku pemanfaatan tanaman
ganja untuk pengobatan kanker dan kesehatan manusia harus sesuai dengan
pendirian integratif tentang tujuan pemidanaan, yaitu dalam fungsinya sebagai
sarana pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara
solidaritas masyarakat, dan pengimbalan.
F. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, merupakan suatu bentuk kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum dengan cara
menganalisanya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap suatu faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan.39 Metode penelitian dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, metode penelitian deskriptif yaitu
menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terkait dengan
kebijakan kriminalisasi bagi tindak pidana narkotika. Menurut Moh. Nazir
metode deskriptif memiliki arti yaitu suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran,
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Sedangkan tujuan dari

37
Ibid., hlm. 25.
38
Muladi dan Bara Nawawi Arief, Teori-Teori … op.cit., hlm. 16.
39
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1981), hlm. 43.
20

penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau


lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-
sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.40
2. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif menurut Soerjono Soekanto ialah penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai
bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengandalkan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.41
Penelitian dilakukan dengan sumber data sekunder, yaitu:
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa
peraturan perundang-undangan, antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
5) Single Convention on Narcotic Drugs 1961.
6) Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan objek
penelitian.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer,42 antara lain karya-karya ilmiah dan hasil
penelitian dari para ahli hukum, khususnya yang terkait dengan kebijakan
kriminal, politik hukum pidana, narkotika
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan
pemahaman dan pegertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum tersier

40
Widiada Gunakaya, Marginalitas Hakikat Hukum Keadilan Dalam Pembentukan
Hukum Oleh Hakim Untuk Menegasi Korupsi Judisial Dalam Bingkai Negara Hukum Pancasila
(Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Bandung,
2019), hlm. 73.
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali
Pers, 2001), hlm. 13-14.
42
Soerjono Soekanto, Pengantar … op.cit., hlm.51.
21

yang digunakan penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus


Hukum dan Ensiklopedia.43
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan yang
ada di penelitian ini antara lain:
a. Pendekatan kebijakan (Policy Approach) yaitu pendekatan yang
digunakan untuk memungkinkan masyarakat dapat mengevaluasi
tujuan dari undang-undang yang telah atau akan ditetapkan sebagai
kebijakan publik yang mana dalam hal ini terkait kebijakan
kriminalisasi bagi perbuatan pemanfaatan tanaman ganja
untukpengobatan kanker dan Kesehatan manusia.
b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan
dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian,
dalam hal penelitian ini terkait dengan perbuatan pemanfaatan
tanaman ganja untuk pengobatan kanker dan Kesehatan manusia
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
c. Pendekatan kasus (case approach), yaitu dengan melakukan telaah
pada kasus yang dijadikan objek dalam peneletian ini, dalam hal ini
ialah kasus Fidelis Arie Sudewarto yang melakukan perbuatan
pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan kanker dan Kesehatan
manusia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah merupakan teknik atau cara yang
dilakukan untukmengumpulkan data, dalam mengkaji permasahan yang
menjadi objek penelitian penulis menggunakan teknik pengumpulan studi
dokumen (study of document) atau bahan pustaka, yaitu melalui data
tertulis yang berhubungan dengan objek penelitian.
5. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul selanjutnya disusun secara kualitatif, artinya
dalam menganalisis tidak menggunakan rumus-rumus matematis maupun
43
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang:
Banyumedia Publishing, 2008), hlm. 295.
22

angka-angka statistik tetapi beberapa uraian pembahasan sehingga


diperoleh informasi baru dari simpulan hasil penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika adalah untuk memudahkan penulisan skripsi ini diperlukan
adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan antar bab.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini yaitu:
BAB I Pendahuluan, bab ini memberikan pembahasan mengenai latar
belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II terkait dengan tinjauan terhadap pengaturan pemberantasan tindak
pidana narkotika. Bab ini berisi istilah, pengertian, jenis-jenis narkotika dan
pengaruhnya terhadap kesehatan manusia, pemanfaatan narkotika jenis ganja
untuk pengobatan kanker dan kesehatan manusia, dan kebijakan kriminal terhadap
penyalahgunaan tanaman ganja.
BAB III berisikan tinjauan terehadap putusan Pengadilan Negeri Sanggau
Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag mengenai kasus posisi, tuntutan Jaksa Penuntut
Umum, dan Pertimbangan Hakim.
BAB IV berisi analisa mengenai kebijakan criminal terhadap pemanfaatan
tanaman ganja untuk pengobatan kanker dihubungkan dengan putusan Pengadilan
Negeri Sanggau Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag.
BAB V Penutup, bab ini memuat simpulan dari hasil penelitian dan
pembahasan yang dilakukan oleh penulis serta dilengkapi dengan beberapa saran
yang relevan berdasarkan hasil penelitian dan penulisan yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN TERHADAP PENGATURAN PEMBERANTASAN
NARKOTIKA

A. Istilah dan Pengertian Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika


Narkotika atau narcotic berasal dari kata Narcois yang berarti Narkose
atau menidurkan yaitu zat atau obat-obatan yang membiuskan. Dalam pengertian
lain Narkotika adalah zat atau obat yang mengakibatkan ketidaksadaran atau
pembiusan, karena zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf
sentral.44 Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
hingga menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam beberapa golongan.
Narkotika adalah sejenis zat bila dipergunakan (dimasukkan ke dalam
tubuh) akan membawa pengaruh terhadap si pemakai, pengaruh tersebut berupa
menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan-khayalan (halusinasi). 45
Narkoba merupakan zat psikoaktif, yaitu zat yang mempengaruhi aktifitas mental
dan perilaku adapun zat psikoaktif lainnya adalah alcohol, tembakau dan pelarut
yang menguap. Disamping zat psikoaktif Narkotika dan Psikotropika juga dapat
dikatagorikan sebagai zat adiktif, yaitu zat yang dapat menimbulkan sindrom
ketergantungan.46
Dari pengertian diatas hal yang sama dengan narkotika dan psikotropika
adalah bentuknya sama-sama berupa zat atau obat alamiah atau sintetis.
Perbedaannya pada narkotika ada yang berasal dari tanaman, sedang dalam
pengertian narkotika dan psikotropika tidak disebutkan demikian. Narkotika dan
psikotropika pengaruhnya tertuju pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

44
M. Wresniworo, Masalah Narkotika, Psikotropika, dan Obat-obat Berbahaya (Jakarta: Yayasan
Mitra Bintibmas 1999) hlm. 403.
45
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum tentang Narkotika di Indonesia, (Bandung: Karya Nusantara
1990) hlm. 9.
46
Trisno Raharjo, Narkoba Ancaman Masa Depan Panduan Pencegahan dan
Penanggulangannya (Yogyakarta: LPM Press 2002) hlm. 2.

23
24

perubahan khas terhadap aktifitas mental dan perilaku. Sedang pada narkotika
dalam pengertiannya tidak menguraikan pengaruh seperti itu, tetapi langsung
memberikan hubungan kausalitas, bahwa narkotika dapat menurunkan kesadaran,
hilangnya rasa nyeri. Baik narkotika maupun psikotropika sama-sama
menimbulkan akibat pada ketergantungan.47
Peredaran dan penyalahgunaan Narkoba merupakan salah satu
permasalahan nasional yang dipandang serius oleh pemerintah, karena dapat
menyebabkan rusaknya moral bangsa. Karena itu pemerintah sangat memberikan
perhatian terhadap penanganan atas penyalahgunaan Narkoba. Di negara kita,
masalah merebaknya penyalahgunaan narkoba semakin lama semakin meningkat.
Efek domino akibat dari penyalahgunaan narkoba juga semakin beragam, serta
usaha untuk mengatasi penyalahgunaan Narkoba merupakan langkah yang tidak
mudah untuk dilaksanakan. Penyalah guna adalah orang yang menggunakan
Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Ketika seseorang melakukan
penyalagunaan Narkotika secara terus-menerus, maka orang tersebut akan berada
pada keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat
agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Untuk
penanggulangan penyalahgunaan narkoba diperlukan upaya yang terpadu dan
komprenhensif yang meliputi upaya preventif, represif, terapi dan rehabilitasi
Penyebab terjadinya.
Terdapat beberapa metode dalam upaya pencegahan penyalahgunaan
narkotika, yaitu:
1. Promotif
Program promotif ini kerap disebut juga sebagai program preemtif atau
program pembinaan. Pada program ini yang menjadi sasaran pembinaanya
adalah para anggota masyarakat yang belum memakai atau bahkan belum
mengenal narkoba sama sekali. Prinsip yang dijalani oleh program ini
adalah dengan meningkatkan peranan dan kegitanan masyarakat agar

47
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 153.
25

kelompok ini menjadi lebih sejahtera secara nyata sehingga mereka sama
sekali tidak akan pernah berpikir untuk memperoleh kebahagiaan dengan
cara menggunakan narkoba. Bentuk program yang ditawrkan antara lain
pelatihan, dialog interaktif dan lainnya pada kelompok belajar, kelompok
olah raga, seni budaya, atau kelompok usaha. Pelaku program yang
sebenarnya paling tepat adalah lembaga-lembaga masyarakat yang
difasilitasi dan diawasi oleh pemerintah.
2. Preventif
Program preventif ini disebut juga sebagai program pencegahan dimana
program ini ditujukan kepada masyarakat sehat yang sama sekali belum
pernah mengenal narkoba agar mereka mengetahui tentang seluk beluk
narkoba sehingga mereka menjadi tidak tertarik untuk
menyalahgunakannya. Program ini selain dilakukan oleh pemerintah, juga
sangat efektif apabila dibantu oleh sebuah instansi dan institusi lain
termasuk lembaga-lembaga profesional terkait, lembaga swadaya
masyarakat, perkumpulan, organisasi masyarakat dan lainnya.
3. Kuratif
Program ini juga dikenal dengan program pengobatan dimana program ini
ditujukan kepada para peakai narkoba.Tujuan dari program ini adalah
mebantu mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai
akibat dari pemakaian narkoba, sekaligus menghentikan peakaian
narkoba.Tidak sembarang pihak dapat mengobati pemakai narkoba ini,
hanya dokter yang telah mempelajari narkoba secara khususlah yang
diperbolehkan mengobati dan menyembuhkan pemakai narkoba
ini.Pngobatan ini sangat rumit dan dibutuhkan kesabaran dala
menjalaninya.Kunci keberhasilan pengobatan ini adalah kerjasama yang
baik antara dokter, pasien dan keluarganya.
4. Rehabilitatif
Program ini disebut juga sebagai upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga
yang ditujukan kepada penderita narkoba yang telah lama menjalani
program kuratif. Tujuannya agar ia tidak memakaidan bisa bebas dari
penyakit yang ikut menggerogotinya karena bekas pemakaian narkoba.
26

Kerusakan fisik, kerusakan mental dan penyakit bawaan macam


HIV/AIDS biasanya ikut menghampiri para pemakai narkoba. Itulah
sebabnya mengapa pengobatan narkoba tanpa program rehabilitasi
tidaklah bermanfaat. Setelah sembuh masih banyak masalah yang harus
dihadapi oleh bekas pemakai tersebut, yang terburuk adalah para penderita
akan merasa putus asa setelah dirinya tahu telah terjangit penyakit macam
HIV/AIDS dan lebih memilih untuk mengakhiri dirinya sendiri. Cara yang
paling banyak dilakukan dalam upaya bunuh diri ini adalah dengan cara
menyuntikkan dosis obat dalam jumlah berlebihan yang mengakibatkan
pemakai mengalami Over Dosis (OD). Cara lain yang biasa digunakan
untuk bunuh diri dalah dengan melompat dari ketinggian, membenturkan
kepala ke tembok atau sengaja melempar dirinya untuk ditbrakkan pada
kendaraaan yang sedang lewat. Banyak upaya pemulihan namun
keberhasilannya sendiri sangat bergantung pada sikap profesionalisme
lembaga yang menangani program rehabilitasi ini, kesadaran dan
kesungguhan penderita untuk sembuh serta dukungan kerja sama antara
penderita, keluarga dan lembaga.
5. Represif
Ini merupakan program yang ditujukan untuk menindak para produsen,
bandar, pengedar dan pemakai narkoba secara hukum.Program ini
merupakan instansi peerintah yang berkewajiban mengawasi dan
mengendalikan produksi aupun distribusi narkoba.Selain itu juga berupa
penindakan terhadap pemakai yang melanggar undang-undang tentang
narkoba. Instansi yang terkain dengan program ini antara lain polisi,
Departemen Kesehatan, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM),
Imigrasi, Bea Cukai, Kejaksaan, Pengadilan. Begitu luasnya jangkauan
peredaran gelap narkoba ini tentu diharapkan peran serta masyarakat,
termasuk LSM dan lembaga kemasyarakatan lain untuk berpartisipasi
membantu para aparat terkait tersebut Masyarakat juga harus
berpartisipasi, paling tidak melaporkan segala hal yang berhubungan
dengan kegiatan yang terkait dengan penyalahgunaan narkoba
dilingkungannya. Untuk memudahkan partisipasi masyarakat tersebut,
27

polisi harus ikut aktif menggalakkan pesan dan ajakan untuk melapor ke
polisi bila melihat kegiatan penyalahgunaan narkoba. Cantumkan pula
nomor dan alamat yang bisa dihubungi sehingga masyarakat tidak
kebingungan bila hendak melapor. Melaporkan kegiatan pelanggaran
narkoba seperti ini tentu saja secara tidak langsung ikut mebahayakan
keselamatan si pelapor, karena sindikat narkoba tentu tak ingin kegiatan
mereka terlacak dan diketahui oleh aparat. Karena itu sudah jadi tugas
polisi untuk melindungi keselamatan jiwa si pelapor dan merahasiakan
identitasnya. Masalah penyalahgunaan narkoba adalah masalah yang
kompleks yang pada umumnya disebabkan oleh tiga faktor yaitu: faktor
individu, faktor lingkungan/sosial dan faktor ketersediaan, menunjukkan
bahwa pencegahan penyalahgunaan narkoba yang efektif memerlukan
pendekatan secara terpadu dan komprehensif. Pendekatan apa pun yang
dilakukan tanpa mempertimbangkan ketiga faktor tersebut akan mubazir.
Oleh karena itu peranan semua sektor terkait termasuk para orangtua, guru,
tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok remaja dan LSM di
masyarakat, dalam pencegahan narkoba sangat penting.
Sedangkan dalam hukum pidana, tindak pidana narkotika mempunyai dua
sifat yaitu fomil dan materiil sifat formil dalam tindak pidana dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh Undang-undang adalah melakukan perbuatan
(dengan selesainya tindak pidana itu, tindak pidana terlaksana), kemudian dalam
sifat materiil, dalam jenis tindak pidana yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undangundang adalah timbulnya suatu akibat (dengan timbulnya
akibat, maka tindak pidana terlaksana). Pengertian mengenai tindak pidana adalah
pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata,
Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh
pembentuk Undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifat-
sifat yang ada dalam suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, karena
tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.48
Istilah Tindak Pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah
Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delik”. Ada enam istilah yang tercipta dalam
48
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung: Refika Aditama
2003) hlm. 1.
28

bahasa Indonesia untuk menterjemahkan istilah “strafbaar feit” atau” delik” ini,
yaitu:
1. Perbuatan yang dilarang oleh hukum.
2. Peristiwa pidana.
3. Pelanggaran pidana.
4. Perbuatan pidana.
5. Tindak pidana.49
Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkotika termasuk tindak
pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum
acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus,
karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan KUHP sebagai dasar
pengaturan, akan tetapi menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, dimana UU khusus sebagai lex specialis derogat legi generalis
atau asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus
(lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Pengertian tindak pidana narkotika yaitu merupakan hal yang berkaitan
dan menyangkut pembuat, pengedar, dan pengguna atau penyalahguna narkotika
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain, seperti: Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 atas
perubahan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dimana
Undang-undang ini dapat dipakai untuk pelaku, pengimpor atau para penyelundup
narkotika mengingat barangbarang haram tersebut banyak di datangkan dari luar
negeri.50
Tindak pidana memiliki sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan
tertentu diancam dengan pidana kepada barang siapa melakukannya, tindak
pidana tersebut ditujukan kepada:
1. Bagi barang siapa yang memperkosa kepentingan hukum atau menusuk
suatu kepentingan hukum (krekingsdelicten), seperti pembunuhan,
pencurian, dan sebagainya.
2. Membahayakan suatu kepentingan hukum (gevaarzettingsdelicten) yang
dibedakan menjadi:
49
K. Saleh Wantjik, Tidank Pidana Korupsi dan Suap (Jakarta: Paramestika, 1996), hlm. 15.
50
Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro 2001) hlm. 115.
29

a. Concrete gevaarzettingsdelicten, seperti misalnya kejahatan yang


membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang
b. Abstracte gevaarzttingsdelicten, seperti penghasutan, sumpah palsu,
dan sebagainya.51
B. Jenis-Jenis Narkotika dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Manusia
Melihat pengaturan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika digolongkan ke dalam:
1. Narkotika golongan I, adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
2. Narkotika golongan II, adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau ntuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta berpotensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
3. Narkotika golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta memiliki potensi ringan menyebabkan ketergantungan.52
Sehubungan adanya penggolongan Narkotika tersebut, mengenai jenis-
jenis Narkotika dari berbagai golongan telah ditetapkan dalam lampiran Undang-
undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebagaimana terurai di bawah
ini.
Narkotika golongan I terdiri dari:
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk
buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver Somniferym L yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar
morfinnya
3. Opium masak terdiri dari:
a. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui rentetan
pengolahan khususnya pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau
tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya
menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. Jicing, sisa-sisa dari candu stelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah
candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
51
Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro 2001) hlm. 115.
52
Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
30

c. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.


4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythorxylon dari keluarga
Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk
serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau
melalui perubaha kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang
dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-10bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabus dan semua bagian
dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja
atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydocannabinol, atau semua isomer serta bentukk stereo
kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina :3-0-acetiltetrahidro-7α-(-1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14
endoeteno-oripavina.
12. Acetil-lafa-metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilidia
13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida.
14. Alfa-metiltiofentanil:N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil]
priopionanilida.
15. Beta-hidroksifentanil:N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil]
propionanilida.
16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil:N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil4
piperidil] propio-nanilida.
17. Desmorfina: Dihidrodeoksimorfina.
18. Etorfina:tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,14
endoetenooripavina.
19. Heroina: Diacetilmorfina.
20. Ketobemidona: 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina.
21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida.
31

22. 3-metiltiofentanil:N-[3-metil-1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil]
propionanilida.
23. MPPP: 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester).
24. Para-fluorofentanil: 4„-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
PEPAP :1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester).
25. Tiofentanil: N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida.
26. BROLAMFETAMINA, nama lain: (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α –
metilfenetilamina.
27. DOB.
28. DET: 3-[2-(dietilamino)etil] indol.
29. DMA: ( + )-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina.
30. DMHP:3-(1,2-dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-
trimetil6Hdibenzo[b, d]piran-1-ol.
31. DMT: 3-[2-( dimetilamino )etil] indol.
32. DOET: (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina.
33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE: N-etil-1-fenilsikloheksilamina.
34. ETRIPTAMINA: 3-(2aminobutil) indole.
35. KATINONA: (-)-(S)- 2-aminopropiofenon.
36. ( + )-LISERGIDA, nama lain: 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-
metilergolina-8 β – LSD, LSD-25 karboksamida 34.
37. MDMA: (±)-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina.
38. Meskalina: 3,4,5-trimetoksifenetilamina.
39. METKATINONA: 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on.
40. 4- metilaminoreks: (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2- oksazolina.
41. MMDA: 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina.
42. N-etil MDA: (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin.
43. N-hidroksi MDA
44. Paraheksil: 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6Hdibenzo
[b,d] piran-1-ol.
45. PMA: p-metoksi- α –metilfenetilamina.
46. psilosina, psilotsin: 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol.
47. PSILOSIBINA: 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat.
32

48. ROLISIKLIDINA, nama lain: 1-(1-fenilsikloheksil)pirolidina


PHP,PCPY.
49. STP, DOM: 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina.
50. TENAMFETAMINA,namalain: α-metil-3,4-
(metilendioksi)fenetilamina MDA.
51. TENOSIKLIDINA, nama lain: 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina.
52. TMA: (±)-3,4,5-trimetoksi- α –metilfenetilamina.
53. AMFETAMINA: (±)- α –metilfenetilamina.
54. DEKSAMFETAMINA: ( + )- α –metilfenetilamina.
55. FENETILINA: 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina.
56. FENMETRAZINA: 3- metil- 2 fenilmorfolin.
57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP: 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina.
58. LEVAMFETAMINA, nama lain: (- )-(R)- α -metilfenetilamina
levamfetamina.
59. Levometamfetamina: ( -)- N, α –dimetilfenetilamina.
60. MEKLOKUALON: 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon.
61. METAMFETAMINA: (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina.
62. METAKUALON: 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon.
63. ZIPEPPROL: α-(α metoksibenzil)-4-(β-metoksifenetil)-1-
piperazinetam.
64. Opium obat.
65. Campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika.
Narkotika golongan II terdiri dari:
1. Alfasetilmetadol: Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4- difenilheptana.
2. Alfameprodina: Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina.
3. Alfametadol: Alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol.
4. Alfaprodina: alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina.
5. Alfentanil: N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-lH-tetrazol-1-il)etil]- 4-
(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida.
6. Allilprodina: 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina.
7. Anileridina: Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-
karboksilat etil ester.
33

8. Asetilmetadol: 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana.


9. Benzetidin: asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4- karboksilat
etil ester.
10. Benzilmorfina: 3-benzilmorfina.
11. Betameprodina: beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina.
12. Betametadol: beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol.
13. Betaprodina: beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina.
14. Betasetilmetadol: beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4- difenilheptana.
15. Bezitramida: 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil1-
benzimidazolinil)-piperidina.
16. Dekstromoramida: (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-
pirodinil)butil
17. Diampromida: N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida.
18. Dietiltiambutena: 3-dietilamino-1,1-di(2‟-tienil)-1-butena.
19. Difenoksilat: asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina4-
karboksilat etil ester.
20. Difenoksin: asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik.
21. Dihidromorfina
22. Dimefheptanol: 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol.
23. Dimenoksadol: 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat.
24. Dimetiltiambutena: 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena.
25. Dioksafetil butirat: etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat.
26. Dipipanona: 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona.
27. Dipipanona: 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona.
28. Drotebanol: 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol.
29. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina
dan kokaina.
30. Etilmetiltiambutena: 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena.
31. Hidrokodona: dihidrokodeinona.
32. Hidromorfinol: 14-hidroksidihidromorfina.
33. Hidromorfona: dihidrimorfinona
34. Isometadon : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona.
34

35. Fenadoksona: 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona.


36. Fenampromida: N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida.
37. Fenazosina: 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan.
38. Fenomorfan: 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan.
39. Fenoperidina: asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina4-
karboksil Etil ester.
40. Fentanil: 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina.
41. Kodoksima: dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima.
42. .Levofenasilmorfan: (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan.
43. Levometorfan: (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan.
44. Levorfanol: (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan.
45. Metadona: 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona.
46. Metazosina: 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
47. Metildesorfina: 6-metil-delta-6-deoksimorfina.
48. Metildihidromorfina: 6-metildihidromorfina.
49. Metopon: 5-metildihidromorfinona.
50. Mirofina: Miristilbenzilmorfina.
51. Morfina-N-oksida.
52. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya
termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-
oksida.
53. Morfina.
54. Nikomorfina: 3,6-dinikotinilmorfina.
55. Norlevorfanol: (-)-3-hidroksimorfinan.
56. Normetadona: 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona.
57. Normorfina: dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina.
58. Norpipanona: 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona.
59. Oksikodona: 14-hidroksidihidrokodeinona.
60. Tebaina.
61. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.
Narkotika golongan III terdiri dari:
1. Asetildihidrokodeina
35

2. Dekstropropoksifena: α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil butanol


propionate.
3. Dihidrokodeina.
4. Etilmorfina: 3-etil morfina.
5. Kodeina: 3-metil morfina.
6. Nikodikodina: 6-nikotinildihidrokodeina.
7. Nikokodina: 6-nikotinilkodeina.
8. Norkodeina: N-demetilkodeina.
9. Polkodina: Morfoliniletilmorfina.
10. Propiram: N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida.
11. Buprenorfina: 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2- trimetilpropil]-
6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina.
12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas.
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika.
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.
Dalam Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, Pecandu Narkotika adalah Orang yang menggunakan
ataumenyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
narkotika, baik secara fisik maupun psikis sedangkan penyalah guna narkotika
dalam Pasal 1 ayat 15 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
adalah Orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Pengembangan Narkotika bisa digunakan untuk pelayanan kesehatan
sebagaimana diatur dalam Bab IX Pasal 53 sampai dengan Pasal 54 Undang-
undang Nomor 35 tahun 2009 terutama untuk kepentingan Pengobatan termasuk
juga untuk kepentingan Rehabilitasi.
C. Pemanfaatan Narkotika Jenis Ganja Untuk Pengobatan Kanker dan
Pengaruhnya Tehadap Kesehatan Manusia

Kanker adalah penyakit penyebab kematian nomor dua tertinggi di dunia


(13%). Ciri-ciri utama kanker adalah pertumbuhan yang berlebihan dan
penambahan sel yang tidak normal; gangguan dan juga penghancuran jaringan di
sekitarnya; dan penyebaran ke bagian lain badan lewat darah atau cairan getah
bening. Ciri-ciri inilah yang menyebabkan tumor berbeda dari kanker; tumor
36

berkembang hanya pada daerah tertentu saja dan tidak menyebar ke daerah
lainnya.
Kanker menyerah segala usia, bahkan juga menyerang janin. Secara
umum, risiko terserang kanker bertambah seiring dengan bertambahnya usia.
Kanker disebabkan oleh kelainan genetis dari sl yang diakibatkan oleh karsinogen,
asap rokok, radiasi, zat-zat kimia, atau infeksi. Sedangkan penyebab lainnya
adalah mutasi genetis pada saat pembelahan sel atau kelainan genetis yang
memang diturunkan dari keluarga.53
Macam-macam pengobatan kanker Antara lain seperti operasi bedah,
terapi radiaso, terapi imunitas dan antibodi mono-klonal (membunuh sel kanker
dengan antibody buatan), dan tentu saja kemoterapi. Namun obat-obatan yang
digunaan dalam kemoterapi termasuk dalam zat-zat kimia paling beracun yang
digunakan dalam dunia kedokteran. Obat-obat ini membunuh sel-sel kanker dan
juga sel yang sehat. Kemoterapi menyebabkan efek samping seperti mual-mual
yang parah, muntah-muntah, kerontokan rambut, dan berkurangnya sel darah
merah. Gejala-gejala ini membuat pasien semakin menderita karena kehilangan
selera makan, berkurangnya berat badan dan tenaga, timbulnya depresi, bahkan
beberapa pasien berhenti mengikuti pengobatan dan memilih pasrah menerima
kematian.
Selama beberapa tahun, ganja diketahui memiliki efek antiemetic
(menghilangkan rasa mual) untuk menangani efek samping kemoterapi atau terapi
radiasi pengobatan kanker. Ganja juga bisa mengurangi depresi dan
mengembalikan nafsu makan bagi penderita kanker yang sedang menjalani
kemoterapi. Penggunaan untuk mengurangi berbagai efek samping pengobatan
kanker inilah yang salah satunya mendongkrak popularitas ganja dalam dunia
medis internasional. Namun peneitian medis paling mutakhir menunjukkan bahwa
ganja memiliki potensi yang lebih besar dalam pengobatan kanker. Ganja
memiliki kemampuan membunuh berbagai jenis sel tumor dan menghambat
metastasis (penyebaran) sel-sel tersebut.
Tidak hanya berguna mengurangi rasa sakit dan gejla ketidaknyamanan
dalam pengobatan kankerm zat psikoaktif delta-9-THC yang terkandung dalam
53
Tim Lingkar Ganja Nusantara, Hikayat Pohon Ganja (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2011),
hlm. 189.
37

ganja juga terbukti mampu menghambat replikasi sel kanker payudara, dan
membunuh sel-sel kanker pancreas secara selektif tanpa mencederai jaringan
normal lainnya. Sementara zat non-psikoaktif ganja, cannabidiol terbukti punya
efek antitumor pada sel-sel tumor glioma yang menyerang sistem saraf pusat.
Penelitian Manuel Guzman yang diterbitkan dalam Journal Of Nature
Review tahun 2003 menyebutkan bahwa pada percobaan in-vivo (pada tikus) dan
in-vitro (di luar organisme), senyawa-senyawa cannabinoid memiliki efek
menghambat pertumbuhan sel tumor dan bahkan membunuhnya dengan memicu
apoptois (penghancuran diri sendiri pada sel). Terapi ini sukses untuk pengobatan
tumor paru-paru, kulit, rahim, payudara, prostat, dan juga neuroblastoma. Dalam
penelitian lainnya, zat THC pada ganja juga terbukti memicu apoptosis selektif
hanya pada sel-sel kaner darah (leukemia) dalam jangka waktu enam jam.
Senyawa THC melakukan ini dengan cara menghentikan memengaruhi gen
MPK3, yang membantu menghentikan proses komunikasi di dalam sel yang
berkaitan dengan sistem pertahanan sel-sel tumor. Dalam Bahasa yang lebih
sederhana, ganja dapat memperlemah pertahanan sel-sel tumor ini terhadap sistem
kekebalan tubuh manusia.
Dalam wawancara dengan New Scientist tahun 2004, tim ilmuwan yang
dikepalai Guzman di Complutense University, Spanyol, telah menemukan aspek
lain dari kegunaan ganja dalam melawan kanker. Mereka membuktikan ekstrak
ganja dapat menghambat zat kimia tertentu yang dibutuhkan oleh tumor untuk
tumbuh dan menyebarkannya ke pembuluh darah (angiogenesis).54
Sebuah artikel berjudul “The Brain’s Own Marijuana” yang ditulis oleh
Roger Nicoll dan Bradley Alger di majalah Scientific American pada tahun 2004
mengungkap sebuah temuan yang luar biasa dari berbagai dimensi. Artikel
mereka menyebutkan bahwa ternyata otak manusia memproduksi zat yang
berfungsi sama persis dengan THC, zat psikoaktif utama yang dikandung oleh
ganja. Dimensi pertama dari pernyataan ini adalah fakta yang mengingatkan
kesadaran kita sebagai manusia bahwa kita adalah bagian yang terikat dan terikat
erat dengan alam semesta dan seluruh makhluk di dalamnya. Dimensi kedua
adalah pernyataan bahwa otak manusia, yang merupakan benda paling rumit di

54
Ibid., hlm. 191.
38

alam semesta yang kita kenal sampai sekarang, adalah juga ahli kimia yang luar
biasa dalam bertahan mengarungi ombak dan gelombang perjalanan evolusi.55
Penelitian lebih lanjut bahkan menemukan bahwa zat kimia tersebut dapat
membunuh sel-sel tumor. Di belahan dunia lain juga ditemukan juga cerita-cerita
serupa. Pada masa perang Kamboja, diketahui kerbau air dan antelop secara rutin
mengonsumsi tanaman opium yang mungkin dapat mengurangi stress mereka
karena lingkungan yang menakutkan akibat perang. Di Pegunungan Sikkim, kuda-
kuda diketahui gemar mengonsumsi daun teh, sementara keledai di Meksiko
gemar mengunyah daun tembakau.
Pemakaian berbagai jenis tanaman obat oleh hewan dan manusia adalah
perilaku yang terkait erat dengan konsep koevoluis reseptor pada hewan dan pada
tanaman. Contoh sederhana adalah bagaimana binatang yang hanya memiliki
sistem saraf sederhana, seperti semut pemotong daun, bisa memiliki dan
mengembangkan perilaku kolektif dengan mengumpulkan jamur antibiotik.56
Konsep evolusi memiliki sejumlah bukti kuat dalam hal hubungan biologis
antara manusia dan tanaman ganja. Pada bayi yang baru lahir, endocannabinoid
yang terkandung pada susu ibu memiliki efek merangsang bayi untuk terus
mencari dan menghisap susu sehingga meningkatkan kemungkinannya bertahan
hidup. Pemberian cannabinoid dari tanaman ganja ternyata memiliki efek yang
sama. Senyawa kimia dari tanaman ganja ini juga berpengaruh meningkatkan
aktivitas sel-sel osteoblast. Pengaruh dari meningkatnya aktivitas tersebut akan
menyebabkan proses penyerapan makanan oleh daging dan tulang menjadi lebih
efektif.
Kekurangan atau terganggunya keseimbangan tingkat endocannabinoid
pada manusia bisa mengakibatkan gangguan kesehatan seperti EDS
(Endocannabinoid Deficiency Syndrome) yang dapat disembuhkan dengan
pemberian cannabinoidi dari ganja. Mutasi genetis yang mengakibatkan EDS juga
dihubungkan dengan munculnya gejala skizofrenia, dan seperti yang bisa kita
duga pemberian cannabinoid dari ganja dapat mengurangi sampai menyembuhkan
penyakit ini.57

55
Ibid., hlm. 170.
56
Ibid., hlm. 171.
57
Ibid., hlm. 172.
39

Berbagai macam senyawa pada ganja selain cannabinoid juga diketahui


dapat secara sinergis meningkatkan efek positif dari cannabinoid pada manusia,
sekaligus mengurangi efek sampingnya dalam waktu yang bersamaan. Terdapat
lebih dari 400 jenis senyawa yang terkandung dalam ganja yang oleh kampanye
antinarkotika sering sering kali disebut sebagai kumpulan zat kimia yang
mematikan bagi manusia. Dari 400 senyawa yang baru diketahui ini, 60 di
antaranya tergolong kelompok cannabinoid.
Cannabinoid sendiri terbagi lagi menjadi sepuluh kelompok utama, yaitu:
cannabigerol (CBG), cannabichromene (CBC), cannabidiol (CBD), Δ-9-
tetrahydrocannabinol (Δ-9-THC), Δ-8-tetrahydrocannabinol (Δ-8-THC),
cannabicyclol (CBL), cannabielsoin (CBE), cannabinol (CBN), cannabinodiol
(CBND), dan cannabitriol (CBO). Satu-satunya senyawa dari kelompok
cannabinoid yang diketahui sebagai molekul piskoaktif yang menyebabkan efek
“tinggi” saat dikonsumsi oleh manusia adalah Δ-9-tetrahydrocannabinol (Δ-9-
THC) atau yang bisa disingkat THC. Sementara itu, molekul lain seperti CBD—
yang tidak bersifat psikoaktif—diketahui memiliki fungsi sedatif, anti-konvulsan,
melindungi sel saraf dari sifat racun glutamate dengan berperan sebgai anti-
oksidan, anti-inflamasi, anti-jamur, dan anti-bakteri. CBD juga diketahui dapat
menyebabkan apoptosis (penghancuran diri sendiri) pada sel-sel kanker glioma,
serta pada saat yang sama melindungi kelompok sel saraf yang sehat.
Molekul THC yang memabukkan dikenal sebagai anti-biotik dan anti-
bakteri yang bahkan lebih kuat daripada penisilin. THC juga dibuktikan lewat
penelitian-penelitian medis sebagai zat yang dapat menghambat, bahkan
menghentikan laju berbagai penyakit saraf, dari Alzheimer, Parkinson, hingga
multiplesclerosis.58
Reseptor cannabinoid pada otak manusia berjumlah 10 hingga 50 kali
lebih banyak daripada reseptor yang sudah lebih terkenal di dunia kedokteran
seperti dopamine dan oploid. Ini menunjukkan bahwa secara evolusi, manusia
lebih “dekat” dengan tanaman ganja daripada tanaman obat-obatan lainnya.
Cannabinoid dan endocannabinoid diketahui memiliki peran mengatur
transmisi antarsel saraf. Bahkan menurut penelitian, cannabinoid dan

58
Ibid., hlm. 173.
40

endocannabinoid menjadi penghubung jalur komunikasi antarsel saraf yang


sebelumnya tidak diketahui keberadaannya oleh para ilmuwan. Cannabinoid juga
berperan pada sistem reproduksi, pemulihan stress dan penjaga keseimbangan
homeostatis, perlindungan sel saraf, reaksi terhadap simulasi rasa sakit, regulasi
aktivitas motorikm serta mengontrol fase-fase tertentu pada pemrosesan memori,
juga dalam modulasi respons kekebalan dan imunitas tubuh, bahkan berpengaruh
dalam sistem kardiovaskular dan pernapasan dengan mengatur detak jantung,
tekanan darah, dan fungsi saluran pernapasan.59
Begitu banyak fungsi pada tubuh manusia yang diatur oleh molekul
endocannabinoid mengisyaratkan bahwa kekurangan atau kelebihan produksi
molekul ini bisa mengakibatkan berbagai macam masalah kesehatan yang
diakibatkan oleh ketidakseimbangan eemen-elemen yang saling bergantungan.
Karakteristik unik lain dari senyawa cannabinol pada ganja adalah bahwa zat ini
larut dalam lemak, namun tidak larut dalam air. Semua narkotika lain yang
menyimpan ancaman overdosis seperti kokain, opium, heroin, dan amfetamin,
hanya dapat larut dalam air, sehingga sering disalahgunakan dengan disuntikan
lewat pembuluh darah. Belum ada bukti yang mengatakan bahwa keberadaan
THC dalam sel-sel lemak memiliki efek jangka panjang maupun angka pendek
yang buruk. Tersisanya THC pada lemak justru berfungsi mencegah
ketergantungan akibat hilangnya efek psikoaktif secara tiba-tiba.60
Terdapat banyak kemungkinan pengembangan ilmu kedokteran yang
memanfaatkan molekul dan reseptor endocannabinoid. Dengan begitu, sangat lah
mengherankan kalau WHO sampai saat ini menyatakan ganja sebagai tanaman
yang tidak memiliki fungsi medis sama sekali, karena berbagai penelitian dan uji
klinis di berbagai belahan dunia terus memunculkan hasil yang bertentangan
dengan pernyataan WHO tersebut.61
Sebagai satu-satunya spesies tanaman yang menghasilkan molekul
cannabinoid sampai saat ini, nilai penting ganja sebagai obat-obatan akan terus
meningkat seiring dengan berkembangnya manusia dalam hal rasio, sistem
politik, ekonomi, regulasi, hingga netralitas lembaga-lembaga ilmu pengetahuan.62
59
Ibid., hlm. 174.
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Ibid., hlm. 176.
41

D. Kebijakan Kriminal terhadap Penyalahgunaan Tanaman Ganja


Tujuan utama dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika adalah menyelamatkan kesehatan masyarakat Indonesia.
Namun terlihat jelas bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika belum sepenuhnya berdasar pada pengetahuan dan logika ilmu
kesehatan. Dalam undang-undang ini, definisi narkotika masih bisa menimbulkan
kerancuan mengenai penggolongan zat-zat apa saja yang termasuk di dalamnya.
Alkohol atau minuman keras juga dapat menyebabkan penurunan, perubahan
kesadaran, hilangnya rasa sakit, dan kecanduan, seperti halnya biji pala, kumis
kucing, dan kembangpagi/tapak kuda (Ipomea violacea). Beberapa minuman
keras juga didapat melalui proses fermentasi tanaman. Jika merujuk pada Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, minuman beralkohol, atau
tanaman-tanaman tadi seharusnya juga termasuk dalam narkotika.
Pertanyaan kedua adalah keputusan memasukkan ganja ke dalam
narkotika golongan I, bersama kokain dan berbagai turunan opium, seperti heroin
dan morfin. Hal ini menunjukan minimnya pengetahuan pemerintah serta adanya
ketidakpedulian terhadap masalah tanaman ganja. Pendapat ini muncul karena
timbunan fakta-fakta ilmiah telah menyebutkan bahwa ganja tidak menyebabkan
overdosis dan ketergantunga fisik, seperti halnya kokain atau heroin. Sementara
overdosis kokain dan heroin dapat menyebabkan kematian. Dari sudut pandang
vonis serta hukuman terhadap pelanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, ditemukan salah kaprah yang mengerikan dan bisa jadi bersifat
destruktif bagi masyarakat sendiri.
Menurut data Kementerian Hukum dan HAM Indonesia, lebih dari 20%
penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan adalah narapidana kasus
napza. Tindakan penangkapan semua orang yang memakai, memiliki, membawa
napza dalam segala jumlah dan memperlalukannya sebagai pelaku kejahatan
adalah suatu kesalahan. Apalagi jika vonis hukuman terhadap pelaku kerap kali
lebih berat dibandingkan pelaku pembunuhan, pencurian korupsi, pembalakam
hutan, dan perdagangan manusia.63

63
Ibid.
42

Salah satu hal yang menjadi titik permasalahan dalam Undang-Undang


Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah mengenai ketidakjelasan
pengertian dan status antara pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan
narkotika. Oleh karena ketidakjelasan pada pengertian dan status tersebut, maka
pengaturan-pengaturan lainnya menjadi bias dan simpang siur. Pada tataran
praktik, hal ini secara langsung membawa dampak yang besar terutama bagi
pengguna narkotika.
Salah satu dampak praktik yang bias dan simpang siur adalah dalam hal
pemberian rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu
narkotika. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, diuraikan salah satu tujuan pembentukan undang-undang tersebut
adalah guna menjamin upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan
pecandu narkotika. Sedangkan pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. Apabila menggunakan konstruksi Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika ini maka penyalahguna narkotika tidak masuk
dalam kualifikasi seseorang yang dapat diberikan tindakan rehabilitasi medis dan
sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Peristilahan yang digunakan dalam Pasal 4 dan Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut juga berbeda dengan Pasal 103
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dimana pengobatan
dan/atau perawatan dapat diputus atau ditetapkan oleh hakim bagi pecandu
narkotika yang bersalah atau tidak bersalah melakukan tindak pidana narkotika
dan istilah yang digunakan adalah pecandu narkotika. Terhadap satu konteks
bahasan yang sama yaitu pemberian rehabilitasi medis dan sosial terdapat
beragam peristilahan (penyalahguna, pecandu narkotika, dan korban
penyalahguna narkotika).
Selain dalam konteks bahasan pemberian rehabilitasi, permasalahan
pengertian ini juga menjadi simpang siur dalam ketentuan pemidanaan. Misalnya,
Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 200 tentang Narkotika yang
43

menggunakan istilah “penyalahguna” dan “korban penyalahgunaan narkotika”.


Dalam ayat (2) pasal tersebut dinyatakan bahwa hakim dalam memutus wajib
memperhatikan ketentuan Pasal 54, 55, dan 103 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, namun sayanganya istilah “penyalahguna” justru
tidak ditemukan, hanya untuk “penyalahguna sebagai korban”.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
setidaknya terdapat 4 (empat) pengertian bagi pengguna narkotika yaitu pecandu,
penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan pasien narkotika. Pecandu Narkotika.
Pecandu Narkotika diartikan sebagai orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, 64
baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan penyalahguna adalah orang yang
menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.65 Lalu, korban
penyalahgunaan narkotika diartikan sebagai seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau
diancam untuk menggunakan narkotika.66 Terhadap pasien, tidak ditemukan
pengertiannya. Namun, apabila merujuk kepada Pasal 53 UU Narkotika, dapat
diartikan bahwa pasien adalah seseorang yang diberi hak untuk memiliki,
menyimpan, dan/atau membawa narkotika dalam jumlah dan jenis terbatas sesuai
dengan persetujuan dokter demi kepentingan pengobatan.
Dalam penerapannya, terdapat beberapa pasal dalam UU Narkotika yang
sering digunakan oleh Penuntut Umum, baik dalam dakwaan maupun tuntutan.
Mulai dari Pasal 111, 112, 114, dan 127 UU Narkotika. Kecenderungan
penggunaan pasal dan cara perumusan dakwaan dengan dakwaan subsidaritas ini
membawa pengaruh yang signifikan terhadap penempatan seorang pengguna
narkotika di lembaga rehabilitasi baik medis maupun sosial. Berikut adalah
beberapa pasal yang cenderung digunakan.
Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika berbunyi:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana
64
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
65
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
66
Ibid., Penjelasan Pasal 54.
44

penjara, paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).”

Perbedaannya dengan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35


Tahun 2009 tentang Narkotika adalah pada bentuk narkotikanya, yaitu bentuk
tanaman atau bukan tanaman. Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika berbunyi:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”

Lalu, Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika menyatakan bahwa:


“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).”
Ketiga pasal tersebut cenderung ditempatkan dalam dakwaan primair. Selain
unsur-unsurnya lebih luas dan peluang menjerat pelaku semakin besar, hal ini juga
membawa konsekuensi kepada tertutupnya kemungkinan bagi pengguna narkotika
untuk ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis maupun sosial.
Berbeda halnya apabila pasal yang cenderung diterapkan dalam dakwaan
primair adalah Pasal 127 UU Narkotika yang menyatakan:
“Setiap Penyalah Guna (a) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; (b) Narkotika
Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun; dan (c) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”

Pasal tersebut merupakan satu kesatuan dengan Pasal 127 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan
bahwa dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan
45

Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal-pasal


tersebut mewajibkan dan memberikan pedoman bagi hakim untuk menempatkan
pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial, meskipun
pengguna yang dimaksud terbatas pada pecandu dan korban penyalahguna.67
Dari kecenderungan formulasi pasal dakwaan yang digunakan oleh
Penuntut Umum tersebut dapat dikatakan bahwa pendekatan pemidanaan penjara
terhadap pengguna narkotika lebih dominan dibandingkan dengan menempatkan
pengguna dalam lembaga rehabilitasi baik secara medis maupun sosial.
Selain itu, kecenderungan pengenaan Pasal 111, 112, dan 114 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga membawa imbas yang
cukup besar bagi penahanan terhadap pengguna narkotika. Ancaman pidana pada
Pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang minimum 4 (empat) tahun serta maksimum 12 (dua belas) tahun sementara
Pasal 114 dengan ancaman pidana minimum 5 (lima) tahun dan maksimum 20
(dua puluh) tahun menyebabkan penahanan terhadap pengguna narkotika
dilakukan karena sudah memenuhi unsur objektif.68
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat
2 (dua) jenis sistem perumusan lamanya sanksi pidana. Sistem perumusan yang
pertama adalah sistem maksimum (fixed/indefinite sentence system). Perumusan
ini dilakukan dengan dengan cara menentukan ancaman lamanya pidana secara
maksimum. Pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hal
ini dapat dilihat pada Pasal 134 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Pasal tersebut menyatakan bahwa “Pecandu Narkotika yang
sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
6 (enam) bulan atau pidana penjara denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua
juta rupiah).”
Kedua adalah sistem perumusan lamanya sanksi pidana dengan cara
menentukan batas minimum dan maksimum ancaman pidana (determinate
sentence system). Dalam UU Narkotika, sistem perumusan ini dapat terlihat pada

67
Supriyadi Widodo Edyyono et al., Memperkuat Revisi Unda-Undang Narkotika Indonesia
Usulan Masyarakat Sipil (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017), hlm. 21.
68
Ibid., hlm. 22.
46

Pasal 121 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang berbunyi “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika jauh lebih berat ketimbang undang-undang
narkotika sebelumnya. Hampir pada setiap pasal ketentuan pidananya
mencantumkan ancaman pidana minimal, sedangkan undang-undang narkotika
sebelumnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak
menerapkan ancaman pidana minimal kecuali Undang-Undang Psikotropika yang
juga menerapkan ancaman pidana minimal 4 tahun pada jenis golongan
psikotropika golongan I pada saat masih berlaku.
Adanya ancaman pidana minimal yang berat tersebut mungkin
dikarenakan pembuat undang-undang menganggap dampak yang ditimbulkan
oleh penyalahgunaan narkotika sangat serius bagi bangsa dan negara, sehingga
sekecil apapun pelanggaran undang-undang narkotika tidak dapat ditolerir.
Pembuat undang-undang berkehendak memberikan efek jera yang tinggi bagi
pelaku kejahatan sehingga dapat diberantas sampai ke akar-akarnya.
Hakim dalam menjatuhkan putusan memiliki independensi. Hakim tidak
boleh dipengaruhi siapapun selama menjalankan tugasnya, tujuannya supaya
hakim memperoleh kebenaran suatu perkara dapat 23 memberikan keadilan dalam
putusannya. Akan tetapi di sisi lain, hakim juga memiliki keterikatan. Hakim
terikat pada surat dakwaan penuntut umum, karena putusannya harus merujuk
pada surat dakwaan. Surat dakwaan merupakan ruang lingkup perkara, sebagai
suatu masalah yang harus dijawab dalam putusan hakim. Hakim juga terikat
dengan alat-alat bukti yang sah di persidangan, sebagai bahan untuk menilai surat
dakwaan. Kemudian hakim terikat pada pertimbanganpertimbangannya sendiri
dalam putusannya, sebagai alasan-alasan dalam menjatuhkan hukuman suatu
perkara. Dengan adanya ancaman pidana minimal maupun maksimal, hakim
47

terikat pada pasalpasal tersebut maka hakim wajib menjatuhkan hukuman tidak
boleh melebihi batas minimal atau maksimalnya.
Namun yang jadi persoalan, ancaman pidana minimal yang tinggi tersebut
belum tentu diketahui dan diperhatikan oleh sebagian warga masyarakat.
Sehingga bagaimana terhadap kasus seorang pelaku yang baru mengenal
narkotika, yang hanya memiliki satu atau dua butir saja, itupun karena diberikan
oleh temannya, atau ditawari dari seseorang yang tidak dikenal dikatakan untuk
dicoba. Kemudian pelaku berasal dari golongan ekonomi lemah. Ternyata dari
hasil laboratorium jenis narkotika yang dimilikinya adalah golongan I. Akan
terasa tidak adil bila ia mendapatkan hukuman berat minimal 4 tahun sedangkan
perbuatan pidananya tergolong sederhana dan pelaku tergolong ekonomi lemah.69
Walaupun undang-undang tersebut menentukan batas minimal hukuman,
MA secara terbuka berdasarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2015 tentang
Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2015 Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, menyimpangi ketentuan tersebut.
Dalam SEMA itu, MA menyatakan bahwa:
“Hakim memeriksa dan memutus perkara harus didasarkan kepada Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (Pasal 182 ayat 3, dan 4 KUHAP). Jaksa
mendakwa dengan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika namun berdasarkan fakta hukum yang
terungkap di persidangan terbukti Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan,
Terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil (SEMA
Nomor 4 Tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi
dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat
pertimbangan yang cukup.”

Adanya ancaman pidana minimal yang berat dalam tindak pidana


narkotika dirasakan tidak adil terhadap kasus tertentu. Hal ini tidak sesuai pula
dengan prinsip “ultimum remidium” yakni sebagai upaya yang harus
dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia.
Hendaknya sanksi-sanksi pidana penerapannya dalam undang-undang juga
dibatasi agar tidak begitu saja diberlakukan.
Sanksi pidana harus pula dilihat dari keuntungan dan kerugiannya agar
hukuman itu benar-benar menjadi upaya penyembuh dan bukan justru membuat

69
Ibid., hlm. 23.
48

“penyakit” yang lebih parah dalam masyarakat, sebagaimana tujuan hukum selain
untuk kepastian dan keadilan, adalah juga untuk “kegunaan/kemanfaatannya”.
Sebagaimana dalam hukum pidana dikenal teori relatif (relative theorieen) atau
teori tujuan, bahwa:
“Pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat
kejahatan melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat”.70
Guna membedakan pecandu dengan penyalahguna diperlukan grammatur
dan minimum possession. Gramatur adalah berat/jumlah narkotika yang
ditemukan di tangan pengguna sebagai barang bukti. Di Indonesia, meskipun telah
adanya undang-undang baru yakni Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, dalam kasus-kasus tertentu aparat penegak hukum masih kesulitan
untuk menentukan seorang pengguna yang tertangkap tangan sejak awal
pemeriksaan apakah sebagai pecandu, pengguna ataupun penyalah guna, untuk
selanjutnya terhadap pengguna tersebut diproses atau tidak. Defenisi pecandu,
pengguna ataupun penyalah guna memiliki kerancuan akibat belum ada
pembedaan yang tegas oleh pembuat undang-undang. Ada pecandu/pengguna
yang tidak melawan hukum, namun ada pula pecandu/pengguna yang melawan
hukum. Pembuat undang-undang belum secara tegas menempatkan pecandu
sebagai korban. Untuk menengahi masalah pengkategorian ini, seharusnya
pengaturan mengenai gramatur bisa menjadi sebuah solusi. Namun sayangnya
undangundang baru tentang narkotika tidak mengaturnya.71
Dampak positif dalam membedakan/menentukan status pecandu atau
pengguna atau penyalah guna sejak dini adalah berkurangnya pecandu yang harus
ditempatkan atau dihukum penjara. Dengan adanya Pasal 103 Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 yang memberi kewenangan pada Hakim untuk memutus atau
menetapkan seorang Terdakwa tindak pidana narkotika wajib menjalani
rehabilitasi baik terbukti bersalah ataupun tidak, maka jika ada suatu perkara
tindak pidana narkotika sepintas dimaknai aparat penegak hukum harus
membawanya ke pengadilan. Namun di sisi lain, ternyata dalam undang-undang
tersebut terdapat Pasal yang mengatur penghapusan penuntutan pidana jika
pecandu sejak awal melaporkan dirinya kepada lembaga yang berwenang.

70
Ibid.
71
Ibid., hlm. 24.
49

Yang menjadi persoalan adalah undang-undang masih menempatkan


seorang pecandu termasuk subjek kriminal/pelaku kejahatan, bukan berperspektif
sebagai korban. Jika undang-undang telah memposisikan secara tegas dan tidak
parsial bahwa seorang pecandu adalah sebagai korban, maka tentang kewajiban
melapor bagi pecandu dan adanya ketentuan pidana terhadapnya jika tidak
melapor akan terasa tidak perlu diatur dalam undang-undang. Karena tidak
terdapat pembedaan antara pecandu yang melaporkan dirinya ataupun tidak,
keduanya adalah sama-sama sebagai pecandu. Jika pun aparat kesulitan untuk
membedakan mana pecandu yang bukan penyalah guna, untuk menengahinya
adalah dengan pengaturan gramatur bagi pecandu yang tertangkap ketika itu.72
Pengutamaan wajib lapor dan masih berspektif bahwa pecandu juga
sebagai kriminal berdasarkan undang-undang narkotika yang saat ini berlaku,
membuat aparat leluasa untuk memproses seseorang pecandu agar dibawa ke
pengadilan. Seharusnya jika terdapat gramatur dan defenisi yang jelas mengenai
status seorang pengguna, maka terhadap pengguna tersebut yang dapat
menunjukkan dirinya sebagai pecandu walaupun tidak melaporkan dirinya, sejak
awal tidak dapat dijadikan tersangka.
Kekurangan dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
adalah tidak mengatur mengenai gramatur pecandu narkotika, serta tidak
mendefenisikan secara jelas siapa yang dimaksud sebagai pengguna yang tidak
melawan hukum. Ketentuan Umum dalam undang-undang tersebut hanya
menjelaskan defenisi dari Pecandu dan Penyalah guna.
Undang-undang mengatur tentang Pengobatan dan Rehabilitasi pada Bab
IX. Terhadap seseorang yang telah melaporkan dirinya sebagai pecandu sehingga
menjalani pengobatan, maka dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa
narkotika golongan II atau golongan III sesuai resep dokter. Dengan adanya Pasal-
Pasal pada BAB IX undang-undang ini, kewenangan penyidik untuk menetapkan
seseorang sebagai tersangka dan melakukan penuntutan terhadapnya menjadi
gugur. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa “pengguna yang tidak melawan
hukum” adalah seseorang yang memenuhi syarat-syarat berdasarkan pasal-pasal
pada BAB IX undang-undang ini, dengan keutamaan harus wajib lapor.

72
Ibid.
50

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 belum mengatur secara tegas


mengenai kategori pecandu yang tidak melawan hukum. Selain kurang
tersosialisasinya pengaturan tentang wajib lapor, secara psikologis seseorang akan
takut untuk melaporkan dirinya, karena kerapkali seseorang pertama kali
menggunakan narkotika dikarena hanya mencoba-coba hingga akhirnya menjadi
pecandu, tidak pernah melalui izin dokter, serta mendapatkan barang tersebut dari
pasar gelap, sehingga orang tersebut cenderung takut melaporkan dirinya.
Mengenai penentuan kategori seorang pecandu yang tidak melawan
hukum, adalah dengan adanya Pasal 128 yang menghapuskan penuntutan pidana
bagi seorang pecandu yang belum cukup umur atau yang telah cukup umur
asalkan ada laporan terhadap dirinya sebagai seorang pecandu. Pengkategorian
untuk pecandu yang telah cukup umur adalah minimal telah menjalani rehabilitasi
medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga
rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah.73
Sedangkan bagi pecandu yang tidak melaporkan dirinya sejak awal, dapat
pula tidak divonis hukuman penjara asalkan dapat dinyatakan sebagai pecandu
oleh Hakim di pengadilan berdasarkan Pasal 103, yakni hanya diwajibkan untuk
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi baik terbukti
bersalah ataupun tidak. Namun bagi seseorang selama menjalani proses pidana,
tentu sangat melelahkan dan menimbulkan beban psikis yang berat, kerugian baik
materil maupun immateril dalam menghadapi perkaranya. Dirasakan tidak efektif
terhadap seorang pecandu harus menjalani proses hukum acara pidana sejak
dirinya dijadikan tersangka atau terdakwa yang berjalan berbulan-bulan, namun
akhirnya dinyatakan sebagai seorang pecandu. 74
Kaitannya dengan gramatur, tidak diaturnya mengenai gramatur yang akan
menegaskan seseorang sebagai pecandu atau tidak, menjadi kekurangan dan
kelemahan di dalam undang-undang narkotika ini. Padahal sebelum keluarnya
Undang-Undang ini, telah ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07
tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke dalam Panti Terapi dan
Rehabilitasi. Hanya saja, seharusnya filosofi SEMA tersebut diadopsi dan

73
Ibid., hlm. 25.
74
Ibid.
51

dimasukkan ke dalam undang-undang narkotika sehingga menghilangkan tuntutan


pidana terhadap pecandu sejak awal.
Berdasarkan SEMA tersebut, para hakim mendapat amanat agar sedapat
mungkin menerapkan putusan perkara bagi terdakwa pengguna narkoba yang
menderita sindroma ketergantungan adalah untuk menjalani pengobatan dan/atau
perawatan. Sedangkan pengklasifikasian bagi hakim untuk menjatuhkan vonis
rehabilitasi tersebut bila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap
tangan;
2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir 1 di atas, ditemukan barang bukti
satu kali pakai. Contoh:
a. Heroin/putauw: maksimal 0,15 gram;
b. Kokain: maksimal 0,15 gram;
c. Morphin: maksimal 0, 15 gram;
d. Ganja: maksimal 1 linting rokok dan/atau 0,05 gram;
e. Ekstacy : maksimal 1 butir/tablet;
f. Shabu : maksimal 0,25 gram;
g. Dan lain-lain termasuk dalam narkotika golongan I s/d III dan
psikotropika Golongan I s/d IV;
h. Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba
berdasarkan permintaan penyidik;
i. Bukan residivis kasus narkoba;
j. Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa/Psikiater (Pemerintah)
yang ditunjuk oleh hakim;
k. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi
pengedar/produsen gelap narkoba.
Dengan disahkanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, tidak serta merta menghapuskan SEMA No. 07 Tahun 2009, karena
dalam SEMA ini tidaklah terdapat pertentangan dengan pasal-pasal di dalam
Undang-Undang Narkotika Tahun 2009. Dengan kata lain SEMA tersebut masih
dapat diberlakukan bagi hakim untuk memutus seorang yang didakwakan
melakukan tindak pidana narkotika untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi.
52

Undang-undang narkotika tidak secara mutlak memposisikan seorang


pecandu sebagai korban. Masih adanya ketentuan wajib lapor bagi pecandu
mengakibatkan seorang pecandu dapat diposisikan sebagai kriminal. Mengenai
adanya pengaturan gramatur dalam undang-undang ini yang justru hanyalah untuk
memberikan sanksi pemberatan bagi seorang pelaku tindak pidana narkotika,
namun bukan untuk menentukan seseorang sebagai pecandu atau bukan sejak
awal.
Seharusnya untuk menentukan berat ringannya hukuman, hakim selain
menggunakan bukti berdasarkan gramatur, juga dapat menggunakan alasan yang
meringankan dan memberatkan di dalam pertimbangan putusannya, sehingga
vonis sesuai berat/jumlah barang bukti tindak pidana dapat disesuaikan, tidak
hanya terpaku pada gramatur yang diatur udang-undang.
Ditentukannya gramatur narkotika menjadi penting untuk membedakan
seseorang sejak dini apakah sebagai pecandu atau bukan, ataupun pengguna dan
penyalah guna sebagai jaminan terlaksananya proses lanjutan kepada dirinya.
Selain itu dengan adanya pengaturan gramatur, dapat menjadi solusi untuk
memperjelas permasalahan definisi dari pecandu, pengguna, penyalah guna dan
pengedar yang selama ini masih rancu dan tidak jelas. Hal ini tentunya
berimplikasi pada penentuan seseorang mana yang perlu diperlakukan sebagai
kriminal atau bukan.75
Namun pengaturan mengenai gramtur ini di sisi lainnya bisa pula
merugikan seseorang manakala pecandu tersebut tertangkap tangan membawa
melebihi sejumlah gramatur yang diatur. Maka perlu juga mengatur bahwa
gramatur meskipun merupakan indikator utama, namun bukan satu-satunya faktor
untuk menentukan seseorang pengguna atau pecandu untuk kebutuhannya sendiri.
Untuk lebih mendapatkan kepastian apakah gramatur perlu diatur dalam undang-
undang narkotika, sebaiknya pembuat undang-undang terlebih dahulu meletakkan
pandangannya dalam sebuah defenisi yang tegas dan jelas, bahwa pecandu adalah
korban, bukan sebagai seorang kriminal.76

75
Ibid., hlm. 28.
76
Ibid., hlm. 29.
53
BAB III
TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SANGGAU
NOMOR 111/PID.SUS/2017/PN.SAG
A. Kasus Posisi
Bahwa Terdakwa FIDELIS ARIE SUDEWARTO Als NDUK Anak FX
SURAJIYO, pada hari Minggu Tanggal 19 Februari 2017 sekira pukul 11.00 WIB
atau masih termasuk dalam tahun 2017 bertempat di rumah terdakwa yang terletak
di Jalan Jenderal Sudirman No. 28 RT.001 RW.001 Kelurahan Buntut Kecamatan
Kapuas Kabupaten Sanggau atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih
termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Sanggau, “Tanpa hak atau
melawan hukum mmproduksi, mengimpor, mengekspor, atau meneyalurkan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon”. Perbuatan tersebut dilakukan oleh
Terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:
Bahwa berawal sekira tahun 2013 saat mengandung anak Terdakwa yang
kedua dengan usia kehamilan kurang lebih 5 (lima) bulan istri Terdakwa (sdri.
YENI RIAWATI) jatuh sakit hingga mengalami lumpuh pada kaki sebelah kanan
kemudia dirawat di rumah sakit umum kabupaten Sanggau, selama kurang lebih 1
(satu) pecan perawatan di rumah sakit istri Terdakwa kembali sehat kemudian
pada tahun 2014 sekira bulan Oktober istri Terdakwa jatuh sakit mengalami
lumpuh pada kedua kakinya dan dirawat di rumah sakit Antonius Pontianak
selama 14 (empat belas) hari dan dikarenakan tidak ada kemajuan Terdakwa
membawa istri Terdakwa ke pengobatan alternative di daerah Dusun Bodok
Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau dan selama kurang 1 (satu) bulan istri
terdakwa dapat beraktifitas kembali namun sekira bulan November 2015 istri
Terdakwa kembali mengalami lumpuh pada kedua kakinya dan dirawat di Rumah
Sakit Umum Sanggau kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Vincensius Singkawang
dan dirawat selama kurang lebih 1 (satu) pecan, setelah itu karena tidak
mengalami kemajuan Terdakwa membawa Terdakwa pulang ke Kabupaten
Sanggau dan membawanya ke Rumah Sakit Umum Sanggau untuk dirawat
kemudian dari Rumah Sakit Umum Sanggau istri Terdakwa dirujuk ke Rumah
Sakit Soedarso dan dirawat selama

54
55

kurang lebih 2 (dua) pecan dikarenakan tidak ada kemajuan lagi, Terdakwa
membawa istri Terdakwa pulang ke Kabuoaten Sanggau untuk dirawat di rumah
yang mana pada saat itu isti Terdakwa sudah mengalami lumpuh pada kedua kaki,
badan dan tangan sebelah kiri serta mengalami luka pada beberapa bagian
tubuhnya.
Bahwa melihat kondisi istri Terdakwa yang tidak membaik, kemudian
Terdakwa mencari berbagai alternatif pengobatan sambil mencari informasi
dengan cara membaca buku hingga mencari informasi dari internet sebagai upaya
untuk mengobati istri Terdakwa dan dari beberapa buku dan informasi yang
terdakwa peroleh dari internet tentang khasiat ganja yang bisa digunakan untuk
membantu pengobatan, dan dikarenakan Terdakwa sudah mulai putus asa lalu
Terdakwa mencari informasi bagaimana Terdakwa dapat membeli ganja tersebut.
Bahwa kemudian sekira bulan April 2016 terdakwa bertemu dengan
seseorang yang Terdakwa tidak ingat lagi namanya di salah satu warung kopi
Kabupaten Sanggau, yang mengaku dapat membantu menyediaka ganja,
selanjutnya Terdakwa meminta bantuan kepadanya untuk menyediakan ganja
sebanyak 1 (satu) ons dan orang tersebut meminta uang kepada terdakwa sebesar
Rp. 900.000,- (sembilat ratus ribu rupiah) yang kemudian diberikan sesuai
permintaanya dan saat itu setekah menerima uang dari terdakwa, orang tersebut
memnita nama dan nomor handphone Terdakwa da berkata pada Terdakwa
“tunggu saja dua atau tiga hari lagi mungkin barangnya sudah datang.
Bahwa kurang dari tiga hari setelah menyerahkan uang tersebut Terdakwa
menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari kernet Bisa yang meminta
Terdakwa agar segera ke terminal Bis Kabupaten Sanggau untuk mengambil
paket kiriman dari Pontianak, setelah itu Terdakwa segera berangkat menuju ke
terminal Bis Kabupaten Sanggau untuk mengambil paket dan setelah Teradakwa
terima tidak ada nama dan alamat pengirim, selanjutnya paket tersebut Terdakwa
bawa pulang keerumah, dan sesampainya dirumah terdakwa membuka paket
tersebut yang ternyata berisikan daun ganja kering yang disertai biji bunga ganja.
Bahwa kemudia ganja tersebut terdakwa olah menjadi cairan, dan biji
bunga ganja terdakwa semai di dalam pot dan terdakwa pelihara dengan cara
56

memberi pencahayaan menggunakan rangkaian istrik dan lampu, menggunakan


suatu alat pengukur suhu, serta Terdakwa beri pupuk agar tumbuh sehat.
Bahwa setelah batang tanaman ganja tersebut tumbuh, selanjutnya daun
ganja tersebut terdakwa masak bersama-sama dengan makanan yang terdakwa
masak kemudian terdakwa berikan kepada istri terdakwa sedangkan bunganya
terdakwa keringkan di dalam ruangan selama kurang lebih satu hari kemudian
bunga ganja yang sudah kering tersebut terdakwa rendam menggunakan alkohol
dalam sebuah mangkok sambil terdakwa aduk-aduk menggunakan sendok dan
setelah lima menit alkohol berubah warna menjadi warna hijau bunga ganja
tersebut terdakwa pisahkan dari alkohol dengan cara diangkat menggunakan
sendok kemudian alkohol yang masih di dalam mangkok tersebut terdakwa kukus
menggunakan panic alat penanak nasi hingga yang tertinggal hanya cairan
endapan hasil pengukusan kemudian cairan hasil pengukusan terdakwa campur
dengan madu dan minyak kelapa kemudia setelah dingin terdakwa masukan
kedalam botol kecil terbuat dari kaca berwarna bening yang mana cairan hasil
olahan tersebut terdakwa gunakan untuk mengobati luka istri terdakwa.
Bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Februari tahun 2017 sekira pukul
10.10 WIB, saksi SUDIJARTO, SH mendapatkan ingormasi dari masyarakat
tentang terdakwa yang menanam ganja dirumahnya, kemudian saksi
SUDIJARTO, SH bersama-sama dengan saksi EKO WAHYUDI dan saksi
SALBANI mendatangi rumha terdakwa dan melihat beberapa batang pohon
diduga narkotika jenis tanaman ganja serta melihat sdro. YENI RIAWATI yang
merupakan istri dari terdakwa dalam keadaan sakit parah terbaring dikamarnya
yang menurut keterangan terdakwa sdri. YENI RIAWATI sudah kurang lebih
tiga tahun sakit tidak dapat bergerak dan mudah shock.
Bahwa melihat situasi tersebut saksi SUDIJARTO, SH membawa terakwa
ke kantor BNN Kabupaten Sanggau untuk dilakukan interogerasi dan pada saat itu
terdakwa mengakui sengaja menanam tanaman ganja tersebut untuk pengobatan
istri terakwa yang sakit parah, selanjutnya saksi SUDIJARTO, SH beserta saksi
DIMITRI INDASTRI PUTRA kemvali pergi ke rumah terdakwa dan menemukan
Sembilan batang pohon tanaman diduga narkotika golongan I jenis tanaman ganja
setelah itu diketemukan juga 30 (tiga puluh) batang pohon tanaman diduga
57

narkotika golongan I jenis tanaman ganja dalam 1 (satu) unit sepeda motor Honda
Vario warna putih No.po KB 3235 UY, 2 (dua) botol pupuk organik merk D.I
GROW, 1 (satu) rangkaian listrik beserta 2 (dua) buah lampu, 1 (satu) alat
pengukur suhu ruangan, 4 (empat) buah jeriken berukuran 1000 Mili liter warna
putih masing-masing didalamnya terdpat cairan alkohol yang belum digunakan, 1
(satu) buah jeriken ukuan 1000 Mili liter warna putih yang masing-masing
didalamnya terdapat cairan alkohol yang sudah terpakai, 1 (satu) sendok makan
terbuat dari besi, 1 (satu) buah mangkok kecil tebuat dari keramik, 1 (satu) buah
tabung gas 3 kg warna hijau, 1 (satu) buah kompor gas warna hitam silver merk
Rinnai, 1 (satu) buah alat pemasak nasi warna putih biru merk Miyako, 1 (satu)
set panic alat kukus terbuat dari steinles, 1 (satu) buah buku berjudul Green
Flowe, 1 (satu) buah buku dengan judul The Marijuana Grow Bible, 1 (satu) buku
dengan judul Marijuana Plant Care, 1 (satu) buah buku dengan judul National
Geographic Indonesia ganja Apa Benar Bermanfaat?, 1 (satu) satu buah buku
Hikayat Pohon Ganja, 1 (satu) satu buah buku How To Grow Marijuana, 1 (satu)
buah buku dengan judul Cannabis Care Manual, 1 (satu) buku dengan judul
Cannabis Alchemy, selanjutnya barang-barang tersebut berikut 1 (satu) buah
Kartu Tanda Penduduk atas nama Fidelis Arie Sudewarto, 1 (satu) buah
Handphone warna Hitam merk Lenovo Tab A7, 1 (satu) buah motor Honda Vario
warna Putih dengan nomor polisi KB 3235 UY dan 1 (satu) buah STNK dengan
nomor polisi KB 3235 UY, dibawa ke BNN Kabupaten Sanggau untuk diproses
lebih lanjut.
Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pengujian Badan POM Nomor: LP-
17.0098.99.20.06.0004.K tanggal 21 Februari 2017 yang dibuat dan ditanda
tangani atas sumpah jabatan oleh Dra. KETUT AYU SARWETINI, Apt NIP
196308031991032001 Kepala Bidang Pengujian Produk Terapetik, Narkotika,
Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Balai Besar POM di
Pontianak (selaku Manajer Teknis 1), dengan hasil sebagai berikut:
1. 6 (enam) batang, daun, bunga, dan biji berwarna hijau diduga
narkotika jenis ganja (yang disisihkan dari 39 (tiga puluh sembilan)
batang pohon ganja yang disita) berat Netto 6,2255 (enam koma dua
dua lima lima) gram mengandung ganja (termasuk dalam narkotika
58

golongan I menurut UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).


Label sisa barang bukti 1 (satu) kantong berat Netto 4,4683 (empat
koma empat delapan tiga) gram.
Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pengujian Badan POM Nomor: LP-
17.0098.99.20.06.0005.K tanggal 22 Februari 2017 yang dibuat dan ditanda
tangani Dra. KETUT AYU SARWETINI, Apt NIP 196308031991032001 Kepala
Bidang Pengujian Produk Terapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan
Produk Komplemen Balai Besar POM di Pontianak (selaku Manajer Teknis 1),
dengan hasil sebagai berikut:
1. 1 (satu) botol cairan kental warna coklat diduga narkotika jenis gaja
berat Brutto 36,7520 (ti enam koma tujuh lima dua nol) gram
mengandung ganja (termasuk dalam narkotika golongan I menurut
UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Label sisa barang
bukti 1 (satu) botol berat Netto 28,4772 (dua delapan koma empat
tujuh tujuh dua) gram.
Beradasarkan Surat Keterangan dari Badan Narkotika Nasional Kabupaten
Sanggau Nomor: SKET/13/II/Ka/Rh.00/2017/2017/BNNK-Sgu tanggal 20
Februari 2017 yang ditanda tangani oleh kepala BNN Kabupaten Sanggau
NGATIYA, SH MH tentang hasil pengujuan terhadap urine/kencing An.
FIDELIS ARIE SUDEWARTO yang bersangkutan benar telah melakukan test
urine/narkoba pada tanggal 20 Februari 2017 menggunakan alat test narkoba merk
MULTI/DRUG ONE STEP 6 DRUG SCREEN TEST PANEL, berjumlah 6 panel
dengan hasil NEGATIF.
Berdasarkan Surat Keterangan dari Badan Narkotika Nasional Kabupaten
Sanggau Nomor: SKET/14/II/Ka/Rh.00/2017/2017/BNNK-Sgu tanggal 20
Februari 2017 yang ditanda tangani oleh kepala BNN Kabupaten Sanggau
NGATIYA, SH MH tentang hasil pengujuan terhadap urine/kencing An. YENI
RIAWATI yang bersangkutan benar telah melakukan test urine/narkoba pada
tanggal 20 Februari 2017 menggunakan alat test narkoba merk MULTI/DRUG
ONE STEP 6 DRUG SCREEN TEST PANEL, berjumlah 6 panel dengan hasil
Positif THC (+) & MET (+).
59

Bahwa terdakwa FIDELIS ARIE SUDEWARTO Als NDUK Anak FX


SURAJIYO dalam memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika
golongan I bukan tanaman dan menggunakannya diluar kepentingan
pengenmbangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa dilengkapi dengan surat
ijin yang sah dari pejabat berwenang dalam hal ini Departemen Kesehatan RI.
Bahwa terdakwa FIDELIS ARIE SUDEWARTO Als NDUK Anak FX
SURAJIYO telah memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon dan menggunakannya diluar kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknolohi tanpa dilengkapi dengan surat
ijin yang sah dari pejabat yang berwenang.
Perbuatan Terdakwa FIDELIS ARIE SUDEWARTO Als NDUK Anak FX
SURAJIYO, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 116 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.77
B. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Kemampuan berfikir yuridis dari hakim terlihat pada bagaimana upaya
hakim dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum, kesesuaian pertimbangan dan putusan hakim dengan
kaidah hukum, serta perbandingan antara putusan hakim dengan tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Setelah mendengar dan membaca tuntutan pidana dari Penuntut Umum


tanggal 12 Juli 2017 yang menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Sanggau yang mengadili perkara ini memutuskan:
1. Menyatakan Terdakwa FIDELIS ARIE SUDEWARTO Als
NDUK Anak FX SURAJIYO bersalah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana “ menanam Narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
77
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag,” hlm. 19.
60

5 (lima) batang pohon “ sesuai dengan dakwaan kedua Penuntut


Umum yakni Pasal 111 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa FIDELIS ARIE
SUDEWARTO Als NDUK Anak FX SURAJIYO berupa pidana
penjara selama 5 (Lima) Bulan dikurangi selama terdakwa dalam
tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan
membayar denda sebesar Rp. 800.000.000,00 (Delapan ratus juta
rupiah) subsidair 1 (Satu) Bulan penjara.
3. Menyatakan barang bukti berupa:
a. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran besar warna merah bata terbuat dari
plastic. Diberi kode 1.
b. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran sedang warna merah bata terbuat dari plastik.
Diberi kode 2.
c. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran sedang warna merah bata terbuat dari plastik.
Diberi kode 3.
d. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran sedang warna hitam terbuat dari plastik.
Diberi kode 4.
e. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran sedang warna hitam terbuat dari plastik.
Diberi kode 5.
f. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
61

berukuran sedang warna hitam terbuat dari plastik.


Diberi kode 6.
g. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran sedang warna hitam terbuat dari plastik.
Diberi kode 7.
h. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran sedang warna hitam terbuat dari plastik.
Diberi kode 8.
i. 1 (satu) Batang Pohon yang diduga Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja yang ditanam di 1 (satu) buah pot
berukuran sedang warna hitam terbuat dari plastik.
Diberi kode 9.
j. 1 (satu) bungkus karung beras warna putih merk madu
tupai yang didalamnya terdapat 1 (satu) bungkus
kantong plastik warna hitam yang didalamnya terdapat
30 (tiga puluh) batang tanaman diduga narkotika
Golongan I jenis tanaman ganja. Diberi kode 10.
k. 1 (satu) buah botol kecil terbuat dari kaca warna bening
yang didalamnya terdapat cairan diduga hasil olahan
narkotika jenis tanaman ganja. Diberi kode 11.
l. 2 (dua) buah botol pupuk organik merk D.I GROW.

m. 1 (satu) rangkaian listrik beserta 2 (dua) buah lampu.


n. 1 (alat) pengukur suhu ruangan.
o. 4 (empat) buah jeriken ukuran 1000 Mili liter warna
putih yang masing masing didalamnya terdapat carian
alkohol yang belum digunakan.
p. 1 (satu) buah jeriken ukuran 1000 Mili liter warna putih
yang masingmasing didalamnya terdapat carian alkohol
yang sudah terpakai.
q. 1 (satu) buah sendok makan terbuat dari besi.
62

r. 1 (satu) buah mangkok kecil terbuat dari keramik


s. 1 (satu) buah tabung gas 3 kg warna hijau.
t. 1 (satu) buah kompor gas warna hitam silver merk
rinnai.
u. 1 (satu) buah alat pemasak nasi warna putih biru merk
miyako.
v. 1 (satu) set panci alat kukus terbuat dari steinles.
w. 1 (satu) buah buku dengan judul green flower.
x. 1 (satu) buah buku dengan judul The Marijuana Grow
Bible.
y. 1 (satu) buah buku dengan judul marijuana plant care.
z. 1 (satu) buah buku dengan judul National Geographic
Indonesia Ganja Apa Benar Bermanfaat?.
aa. 1 (satu) buah buku dengan judul Hikayat Pohon Ganja.
bb. 1 (satu) buah buku dengan judul How To Grow
Marijuana.
cc. 1 (satu) buah buku dengan judul canabis care manual.
dd. 1 (satu) buah buku dengan judul Cannabis Alchemy.
ee. 1 (satu) buah Handphone warna hitam merk LenovoTab
2 A7.78
C. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum
dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan
memperhatikan faktafakta hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan
alternatif ketiga sebagaimana diatur Pasal 116 ayat (1) UndangUndang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang unsurunsurnya adalah sebagai berikut:
1. Unsur Setiap Orang:
Menimbang, bahwa Undang Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika tidak memberikan definisi yang jelas tentang apa
yang dimaksud dengan setiap orang, namun demikian terminologi
setiap orang yang dimaksud disini tidak lain merupakan padanan kata

78
Ibid., hlm. 4.
63

dari barangsiapa yang biasa dipergunakan dalam rumusan delik dalam


KUHP yang merupakan subyek hukum yaitu orang atau manusia yang
memiliki hak dan kewajiban dalam lapangan hukum, subyek hukum
mana dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam hal subyek hukum
tersebut melakukan tindak pidana;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Penuntut Umum telah
menghadirkan seorang lakilaki bernama lengkap Fidelis Arie
Sudewarto Alias Nduk Anak Fx Surajiyo dengan segala identitasnya
sebagaimana yang telah diuraikan diawal putusan ini sebagai terdakwa;
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim memeriksa secara
seksama seluruh berkas perkara ini, ternyata terdakwa tersebut
merupakan orang yang dimaksud oleh Penuntut Umum didalam surat
dakwaannya dengan demikian tidaklah terjadi terjadi kekeliruan
mengenai orang (error inpersona) dalam perkara ini, selain itu selama
proses pemeriksaan dipersidangan, terdakwa dapat menjawab dengan
tegas semua pertanyaan yang diajukan kepadanya baik oleh majelis
hakim maupun penuntut umum sehingga berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat unsur setiap orang
telah terpenuhi dan terbukti menurut hukum;
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan unsur tanpa
hak atau melawan hukum, terlebih dahulu majelis hakim akan
mempertimbangkan unsur ke3 dari Pasal 116 ayat (1) UU RI No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika yakni unsur Menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan
I untuk digunakan orang lain sebagai berikut;
2. Menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain;
Menimbang, bahwa unsur diatas bersifat alternatif, artinya
bahwa untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana
dalam pasal tersebut tidak harus terbukti semua perbuatan dilakukan
oleh si pelaku akan tetapi cukup salah satu saja perbuatan yang terbukti
dilakukan, maka unsur diatas dianggap telah terpenuhi seluruhnya;
64

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menggunakan


narkotika dapat diartikan sebagai memasukkan kedalam tubuh baik
secara langsung melalui mulut maupun melalui alat bantu;
Menimbang, bahwa berdasarkan faktafakta yang ditemukan
dipersidangan yang terangkai dari keterangan saksi, keterangan
terdakwa, barang bukti serta petunjuk bahwa pada hari minggu tanggal
19 Februari sekira jam 10.10 wib di rumah terdakwa dijalan Jenderal
Sudirman N0.28 Rt.001/Rw.001 Kelurahan Bunut Kecamatan Kapuas
Kabupaten Sanggau terdakwa ditangkap Petugas dari BNN (Badan
Narkotika Nasional) Sanggau;
Menimbang, bahwa sebelumnya pada tangal 14 Februari 2017
dilaksanakan tes urine di Kantor Kesbangpol dan dari hasil tes urine
tersebut ada 2 (dua) orang yang positif namun terdakwa tidak termasuk
yang positif kemudian 2 (dua) orang yang positif dan terdakwa dibawa
ke kantor BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau untuk dimintai
keterangan.
Bahwa di kantor BNN (Badan Narkotika Nasional) Sanggau
terdakwa ada mengatakan bahwa ia ada memiliki tanaman obat akan
tetapi tidak dijelaskan secara sepesifik tanaman obat yang ditanamnya
tersebut adalah ganja selanjutnya pihak BNN Sanggau mendatangi
rumah terdakwa dan mendapati tanaman ganja yang ditanam oleh
terdakwa dan istri terdakwa yang sedang terbaring sakit;
Menimbang, bahwa ganja yang ditanam oleh terdakwa
sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) batang pohon dan terdakwa
menanam ganja tersebut sejak bulan Mei tahun 2013;
Menimbang, bahwa ganja tersebut terdakwa dapatkan dengan
membeli dengan cara memesan lewat seseorang yang tidak sengaja
terdakwa bertemu di terminal Bus Sanggau pada saat terdakwa sedang
membeli makanan dan ganja tersebut terdakwa beli dengan harga Rp
900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah);
Menimbang, bahwa ganja tersebut terdakwa gunakan untuk
mengobati istri terdakwa yang menderita sakit Syringomyelia yang
65

dideritanya sejak bulan Oktober tahun 2013;


Menimbang, bahwa terdakwa sudah melakukan upaya medis
untuk mengobati istri terdakwa yaitu dengan cara membawa istri
terdakwa tersebut ke Rumah Sakit Umum Sanggau, Rumah Sakit
Umum Di Pontianak dan Rumah Sakit Antonius di Pontianak,
terdakwa juga sudah pernah membawa istri terdakwa tersebut ke
Rumah Sakit di Singkawang untuk diperiksa kejiwaannya selain itu
juga terdakwa pernah mengobati istri terdakwa dengan pengobatan
alternatif seperti tukang urut. Bahwa terdakwa juga pernah akan
membawa istri terdakwa tersebut untuk berobat di Jawa namun niat
tersebut urung dilakukan karena Dokter mengatakan kondisi terdakwa
tidak kuat untuk menjalani perjalanan jauh dan dikhawatirkan akan
drop dan membahayakan jiwa istri terdakwa selain itu menurut Dokter
yang merawat istri terdakwa tersebut, sebenarnya istri terdakwa harus
dioperasi akan tetapi kondisi isteri terdakwa pada saat itu tidak
memungkinkan untuk dioperasi dikarenakan terlalu berisiko sementara
dari rumah sakit sendiri sudah tidak ada lagi penanganan medis;
Menimbang, bahwa setelah menjalani berbagai macam
pengobatan tersebut kondisi istri terdakwa tidak kunjung membaik dan
semakin parah bahkan tidak lagi bisa makan kemudian terdakwa
mendapatkan artikel mengenai ganja di internet;
Menimbang, bahwa ganja yang ditanam oleh terdakwa tersebut
kemudian terdakwa olah untuk mengobati istri terdakwa dengan cara
bunga ganja tersebut diolah menjadi ekstrak atau minyak yang
dioleskan di luka istri terdakwa dan ada juga yang dicampur kedalam
makanan istri terdakwa sedangkan daun ganja tersebut diolah dan
dicampurkan ke dalam minuman istri terdakwa dengan cara dijadikan
jus;
Menimbang, bahwa untuk mendapatkan ekstrak ganja sebanyak
3 ml dibutuhkan 4 batang pohon dan ekstrak ganja sebanyak 3 ml dapat
digunakan selama seminggu untuk mengobati istri terdakwa tersebut;
Menimbang, bahwa terdakwa tidak pernah terlibat peredaran
66

narkotika jenis ganja tersebut, terdakwa juga tidak pernah


menggunakan narkotika tersebut untuk dirinya sendiri, ganja tersebut
hanya digunakan terdakwa untuk mengobati istrinya yang sedang sakit;
Menimbang bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pengujian Badan
POM Nomor : LP17.098.99.20.06.0004.K tanggal 21 Pebruari 2017
yang dibuat dan ditanda tangani atas sumpah jabatan oleh Dra. KETUT
AYU SARWETINI, Apt NIP. 196308031991032001 Kepala Bidang
Pengujian Produk Terapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik
dan Produk Komplemen Balai Besar POM di Pontianak (selaku
Manajer Teknis I), dengan hasil sebagai berikut:
a. 6 (enam) batang, daun, bunga dan biji bewarna hijau diduga
Narkotika jenis ganja (yang disihkan dari 39 (tiga puluh
sembilan) batang pohon ganja yang disita) berat Netto
6,2255 (enam koma dua dua lima lima) gram mengandung
Ganja (termasuk Narkotika golongan I menurut UU RI
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Label Sisa
Barang Bukti 1 (satu) kantongberat Netto 4,4683 (empat
koma empat enam delapan tiga) gram.
Menimbang bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pengujian Badan
POM Nomor : LP17.098.99.20.06.0005.K tanggal 22 Pebruari 2017
yang dibuat dan ditanda tangani atas sumpah jabatan oleh Dra. KETUT
AYU SARWETINI, Apt NIP. 196308031991032001 Kepala Bidang
Pengujian Produk Terapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik
dan Produk Komplemen Balai Besar POM di Pontianak (selaku
Manajer Teknis I), dengan hasil sebagai berikut:
1 (satu) botol cairan kental warna coklat diduga Narkotika jenis
ganja berat Brutto 36,7520 (tiga enam koma tujuh lima dua nol) gram
mengandung Ganja (termasuk Narkotika golongan I menurut UU RI
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Label Sisa Barang Bukti 1
(satu) botol berat Brutto 28,4772 (dua delapan Nasional Kabupaten
Sanggau Nomor: SKET/13/II/Ka/Rh.00/2017/BNNKSgu tanggal 20
Pebruari 2017, yang di tanda tangani oleh kepala BNN Kabupaten
67

Sanggau NGATIYA, SH MH Tentang hasil pengujian terhadap


Urine/Kencing An. FIDELIS ARIE SUDEWARTO, yang bersangkutan
benar telah dilakukan Test urine / Narkoba pada tanggal 20 Pebruari
2017, menggunakan alat Test Narkoba merek MULTI/DRUG ONE
STEP 6 DRUG SCREEN TEST PANEL Berjumlah 6 panel dengan
hasil NEGATIF.
Menimbang bahwa berdasarkan Surat keterangan dari Badan
Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau Nomor :
SKET/14/II/Ka/Rh.00/2017/BNNKSgu tanggal 20 Pebruari 2017, yang
di tanda tangani oleh kepala BNN Kabupaten Sanggau NGATIYA, SH
MH Tentang hasil pengujian terhadap Urine / Kencing An. YENI
RIAWATI, yang bersangkutan benar telah dilakukan Test urine /
Narkoba pada tanggal 20 Pebruari 2017, menggunakan alat Test
Narkoba merek MULTI/DRUG ONE STEP 6 DRUG SCREEN TEST
PANEL Berjumlah 6 panel dengan hasil Positif THC (+) & MET (+).
Menimbang bahwa dari uraian tersebut diatas didapati
kesimpulan bahwa benar terdakwa telah menggunakan Narkotika
Golongan I jenis tanaman yaitu ganja kepada istrinya dengan cara
mengoleskan esktrak atau minyak ganja tersebut ke luka yang diderita
istri terdakwa dan mencampur ganja tersebut kedalam minuman istri
terdakwa, dengan demikian menurut Majelis Hakim unsur ini telah
terpenuhi dan terbukti menurut hukum;
3. Unsur Tanpa Hak Melawan Hukum
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “tanpa hak” adalah
tidak memiliki kewenangan dalam melakukan suatu perbuatan,
sedangkan yang dimaksud dengan “melawan hukum” dapat diartikan
secara formil sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku atau
bertentangan dengan hukum positif atau secara materiil yakni suatu
perbuatan tidak diatur dalam suatu peraturan perundangundangan
namun karena perbuatan tersebut dirasa bertentangan dengan kepatutan
maka perbuatan tersebut dilarang;
68

Menimbang, bahwa didalam ketentuan Pasal 7 Undangundang


Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur bahwa Narkotika
hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/
atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dalam
Pasal 8 secara khusus disebutkan larangan penggunaan Narkotika
Golongan I yaitu:
a. Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan;
Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium
setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pasal 39 ayat (1) UU No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan bahwa “Narkotika hanya
dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, dan sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.”;
Menimbang, bahwa dari beberapa pasal perundangundangan
dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Narkotika Golongan I tidak secara
mutlak dilarang beredar di wilayah Republik Indonesia, akan tetapi
dalam proses penyaluran maupun pemanfaatannya harus sesuai dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku hal ini dikarenakan adanya
bahaya yang ditimbulkan terhadap penyalahgunaan narkotika tersebut,
sehingga setiap orang yang akan memanfaatkan narkotika golongan I
harus mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang yakni
Menteri atas persetujuan atau rekomendasi dari Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat
(2) UndangUndang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dalam pertimbangan
unsur sebelumnya dan telah dinyatakan terbukti bahwa terdakwa
Fidelis telah menggunakan Narkotika Golongan I jenis tanaman yaitu
69

ganja, bahwa ganja tersebut digunakan terdakwa untuk mengobati


istrinya;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan apakah dalam menggunakan Narkotika Golongan
I jenis tanaman ganja tersebut dilakukan terdakwa secara tanpa hak
atau melawan hukum atau tidak;
Menimbang, bahwa dipersidangan didapati fakta bahwa
Narkotika Golongan I yang digunakan terdakwa terhadap istrinya
tersebut bertujuan untuk mengobati istri terdakwa yang menderita sakit
Syringomyelia, namun walaupun demikian perbuatan terdakwa
tersebut tidak dapat dibenarkan karena sebagaimana telah dijelaskan
diatas bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan;
Bahwa terdakwa pernah menanyakan masalah Narkotika jenis
ganja tersebut kepada teman terdakwa yang bekerja di Badan
Narkotika Nasional (BNN) Sanggau namun hal tersebut hanya sebatas
obrolan dan tidak dilakukan secara resmi oleh terdakwa tersebut,
terdakwa juga dipersidangan tidak dapat menunjukkan ijin dari pihak
yang berwenang terkait perbuatan terdakwa dalam menggunakan
Narkotika Golongan I jenis tanaman berupa ganja untuk istri terdakwa
tersebut dan terdakwa menggunakan Narkotika Golongan I tersebut
juga bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium
serta tidak memiliki surat persetujuan dari Menteri atas rekomendasi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas didapati
kesimpulan bahwa benar terdakwa dalam menggunakan Narkotika
Golongan I jenis tanaman berupa ganja terhadap istri terdakwa tersebut
dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum dengan demikian
menurut Majelis Hakim unsur ini telah terpenuhi dan terbukti menurut
hukum;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 116
ayat (1) Undang Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika telah
70

terpenuhi, maka terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah


dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan ketiga Penuntut Umum;
Menimbang bahwa Majelis Hakim tidak sependapat dengan
Penuntut Umum yang membuktikan dakwaan kedua yaitu perbuatan
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 111 ayat
(2) UndangUndang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Majelis
Hakim memilih membuktikan dakwaan ketiga yaitu perbuatan
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 116 ayat
(1) Undang Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan
pertimbangan yaitu tujuan utama dari perbuatan terdakwa tersebut
adalah mempergunakan Narkotika jenis ganja untuk mengobati istrinya
yang sedang sakit sedangkan perbuatan menanam sebagaimana yang
dibuktikan dalam surat tuntutan Penuntut Umum menurut Majelis
Hakim adalah merupakan suatu proses sehingga selanjutnya ganja
tersebut dapat dipergunakan untuk mengobati istri terdakwa;
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan Nota Pembelaan atau Pledoi yang disampaikan
oleh terdakwa dan Penasihat Hukum terdakwa;
Menimbang, bahwa penasihat hukum terdakwa dipersidangan
menyampaikan pembelaan secara tertulis yang pada pokoknya, mohon
kepada Majelis Hakim untuk membebaskan terdakwa dengan alasan
perbuatan terdakwa tidak terbukti sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut
Umum yaitu melanggar Pasal 111 ayat (2) UndangUndang No 35 tahun
2009 tentang Narkotika selain itu menurut penasihat hukum terdakwa,
bahwa perbuatan terdakwa menanam ganja tersebut dilakukan karena
adanya daya paksa atau Overmacht sedangkan terdakwa dalam
pembelaannya yang juga dilakukan secara tertulis menceritakan alasan
terdakwa menanam dan menggunakan Narkotika Golongan I jenis
tanaman yaitu ganja kepada istrinya, terdakwa mohon keadilan kepada
Majelis Hakim dan terdakwa mohon diampunkan kesalahannya dalam
melanggar hukum tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Penasihat Hukum
71

terdakwa tersebut Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai


berikut dibawah ini;
Menimbang bahwa Penasihat Hukum Terdakwa mohon kepada
Majelis Hakim agar terdakwa dibebaskan karena tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan terlibat sebagai penyalahguna, pengedar dan
perdagangan Narkotika sebagaimana dituntut oleh Jaksa Penuntut
Umum berdasarkan dakwaan kedua yaitu Pasal 111 ayat (2) Undang-
Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika;
Bahwa terhadap pembelaan tersebut Majelis Hakim
berpendapat karena dakwaan Penuntut Umum bersifat alternatif dan
Majelis Hakim berdasarkan fakta dipersidangan telah memilih dan
membuktikan dakwaan ketiga Penuntut Umum dan mengenai uraian
pertimbangan tersebut telah Majelis Hakim uraikan dalam
pertimbangan diatas dan telah dinyatakan terbukti sedangkan Penasihat
Hukum Terdakwa dalam pembelaannya hanya menguraikan dan
mengupas dakwaan kedua yaitu Pasal 111 ayat (2) UndangUndang
Nomor 35 Nomor 2009 Tentang Narkotika saja sedangkan dakwaan
ketiga yaitu Pasal 116 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Nomor 2009
Tentang Narkotika tidak dibahas oleh Penasihat Hukum, oleh karena
itu terhadap pembelaan Penasihat Hukum tersebut Majelis Hakim
kesampingkan, sedangkan terhadap pembelaan Penasihat Hukum yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak dapat dipidana karena adanya
Overmacht terkait perbuatan terdakwa menggunakan ganja tersebut,
Majelis Hakim juga tidak sependapat karena menurut Majelis Hakim
selama dipersidangan Penasihat hukum terdakwa tidak pernah
menghadirkan Ahli dibidang medis serta membuktikan yang dapat
mendukung pernyataan dari Penasihat Hukum terdakwa maupun
terdakwa sendiri mengenai manfaat tanaman ganja tersebut, sehingga
menurut Majelis Hakim perbuatan terdakwa terkait menggunakan
Narkotika jenis ganja tersebut merupakan perbuatan melawan hukum
dan tidak dapat dikategorikan sebagai Overmacht yang kemudian
menjadi alasan pemaaf ataupun alasan pembenar untuk membebaskan
terdakwa namun demikian tujuan terdakwa tersebut menjadi
72

pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap


terdakwa dan akan diuraikan dalam pertimbangan mengenai pidana
yang patut dijatuhkan terhadap terdakwa, oleh karena itu pembelaan
Penasihat Hukum terdakwa tersebut Majelis tolak dan kesampingkan;
Menimbang, bahwa terhadap pembelaan terdakwa yang
pokoknya mohon keadilan kepada Majelis Hakim dan terdakwa mohon
diampunkan kesalahannya karena melanggar hukum tersebut akan
Majelis Hakim pertimbangkan dalam uraian pertimbangan mengenai
pidana yang patut dijatuhkan terhadap terdakwa;
Menimbang, bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak
menemukan halhal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban
pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka
terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya;
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa mampu bertanggung
jawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana;
Menimbang, bahwa sebelum penjatuhan pidana Majelis Hakim
perlu pula mempertimbangkan halhal sebagai berikut:
a. Bahwa terdakwa menggunakan ganja tersebut untuk
mengobati istrinya yang menderita sakit Syringomyelia;
b. Bahwa istri terdakwa menderita sakit Syringomyelia
sejak bulan Oktober tahun 2013;
c. Bahwa istri terdakwa tersebut sudah pernah menjalani
pengobatan medis di RSUD Sanggau, RS Antonius dan
RSUD Sudarso Pontianak;
d. Bahwa terdakwa juga sudah pernah membawa istri
terdakwa tersebut ke Rumah Sakit di Singkawang untuk
diperiksa kejiwaannya selain itu juga terdakwa pernah
mengobati istri terdakwa dengan pengobatan alternatif
seperti tukang urut dan memberikan suplemen vitamin;
e. Bahwa terdakwa pernah akan membawa istri terdakwa
tersebut untuk berobat di Jawa namun niat tersebut urung
dilakukan karena Dokter mengatakan kondisi istri terdakwa
tidak kuat untuk menjalani perjalanan jauh dan
73

dikhawatirkan akan drop dan membahayakan jiwa istrinya;


f. Bahwa Dokter juga tidak menyarankan istri terdakwa
tersebut dilakukan tindakan operasi karena kondisi istri
terdakwa yang tidak memungkinkan;
g. Bahwa setelah menjalani berbagai macam pengobatan
tersebut kondisi istri terdakwa tidak kunjung membaik dan
semakin parah bahkan tidak lagi bisa makan;
h. Bahwa terdakwa tidak pernah menjual, mengedarkan atau
menggunakan ganja tersebut untuk digunakan kepada
dirinya sendiri;
i. Bahwa terhadap terdakwa pernah dilakukan tes urine
dengan hasilnya terdakwa negatif dan terhadap istri
terdakwa juga dilakukan tes urine dengan hasil Positif THC
(+) & MET (+0;
j. Bahwa pada tanggal 25 Maret 2017 istri terdakwa tersebut
meninggal dunia pada saat terdakwa berada dalam tahanan;

Menimbang, bahwa suatu putusan harus mengakomodasi 3


unsur, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis. Yuridis, artinya suatu
putusan harus didasarkan kepada suatu peraturan perundangundangan
yang sah; sosiologis, artinya putusan itu harus memperhatikan rasa
keadilan atau nilainilai yang ada dan tumbuh dalam masyarakat,
sedangkan filosofis, putusan itu harus mengandung hakekat nilainilai
keadilan yang universal;
Menimbang, bahwa selain itu dalam menegakkan hukum, harus
diperhatikan 3 hal yaitu Kepastian Hukum, Keadilan Hukum dan
kemanfaatan hukum Ketiga unsur tersebut haruslah mendapatkan porsi
yang seimbang antara satu dengan yang lainnya. Bahwa kepastian
hukum adalah kepastian aturan hukum, tanpa adanya kepastian hukum
orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuatnya, dan
akhirnya akan menimbulkan kekacauan dan keresahan dimasyarakat
akan tetapi terlalu menitikberatkan kepada unsur kepastian hukum
akibatnya akan kaku dan dapat menimbulkan ketidakadilan;
74

Menimbang, bahwa unsur selanjutnya adalah keadilan hukum,


yang mana keadilan hukum ini merupakan tujuan hukum yang paling
penting atau utama;
Menimbang, bahwa Adil berarti di tengah, Adil
hakikatnya adalah kita memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya. Adil bukan berarti menyamaratakan segala
sesuatunya akan tetapi yang dimaksud dengan Adil itu adalah
memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya masingmasing agar
terciptanya keseimbangan pada masyarakat. Hukum tanpa keadilan
tidaklah ada artinya sama sekali, bahkan ada yang berpendapat bahwa
hukum itu hanyalah sarana sedangkan tujuannya adalah keadilan;
Menimbang, bahwa mengenai keadilan ini juga telah diatur dan
dimuat di dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang No 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Asas penyelenggaran
Peradilan yang berdasarkan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA hal ini juga termuat dalam setiap
Putusan Hakim di Indonesia yang mana setiap putusan tersebut harus
mencantumkan irahirah yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” begitu
pentingnya irahirah ini untuk di ucapkan oleh Hakim dalam setiap
memutus suatu perkara, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan
maka putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum, irahirah tersebut
sejatinya bukan hanya untuk dicantumkan dan hanya diucapkan oleh
Hakim yang memutus suatu perkara akan tetapi irahirah tersebut
haruslah dipahami dan diresapi karena makna dan hakikat irahirah
putusan tersebut sangat luhur dan sakral yang bertujuan bahwa setiap
menjatuhkan putusan, Hakim harus mempertimbangkan nilainilai
keadilan dan mempertanggung jawabkannya kepada TUHAN YANG
MAHA ESA. Selain itu didalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang No
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan pula bahwa
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, hal ini bermakna dalam memutus suatu perkara, Hakim
75

tidak hanya terikat dengan suatu UndangUndang atau Peraturan akan


tetapi Hakim tersebut wajib mengikuti nilainilai keadilan yang ada di
tengahtengah masyarakat;
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo terdakwa didakwa
dengan Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dan
berdasarkan pasal 3 dinyatakan bahwa UndangUndang 35 tahun 2009
tentang Narkotika berasaskan:
a. Keadilan
b. Pengayoman
c. Kemanusiaan
d. Ketertiban
e. Perlindungan
f. Keamanan
g. Nilai-nilai imiah
h. Kepastian hukum
Menimbang bahwa dalam Undangundang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika asas keadilan diletakkan pada urutan teratas
hal ini menunjukkan bahwa dalam penanganan tindak pidana
Narkotika, penegak hukum ataupun pihak yang berkepentingan
haruslah meletakkan ataupun mendahulukan asas keadilan bagi setiap
pihak yang terlibat dengan Narkotika ini dibandingkan dengan asasasas
yang lain;
Menimbang bahwa unsur ketiga yang harus termuat dalam
menegakkan hukuharuslah mempunyai mamfaat bagi masyarakat.
Bahwa selain Kepastian Hukum dan Keadilan Hukum, kemamfaatan
hukum juga harus diperhatikan karena semua orang mengharapkan
adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum, jangan sampai
penegakan hukum itu sendiri menimbulkan keresahan di tengahtengah
masyarakat;
Menimbang bahwa sejatinya ketiga unsur dalam menegakkan
hukum tersebut haruslah proporsional ataupun berimbang antara satu
dengan yang lainnya, namun faktanya didalam praktek tidak selamanya
ketiga unsur tersebut dapat sejajar ataupun seimbang, hal ini di dapati
dalam perkara A quo yaitu terdakwa yang telah dinyatakan Majelis
76

Hakim telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana


didakwakan penuntut umum dalam dakwaan ketiga yaitu perbuatan
terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 116 ayat (1)
UndangUndang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam pasal
tersebut memberlakukan hukuman minimal 5 (lima) tahun penjara dan
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) namun
berdasarkan faktafakta yang ditemukan dipersidangan, Majelis Hakim
melihat perbuatan terdakwa tersebut dilakukan tidak bertujuan jahat
atau mencelakai istrinya, terdakwa menggunakan Narkotika jenis ganja
tersebut untuk mengobati istrinya yang sakit keras, Narkotika jenis
Ganja tersebut juga bukan untuk terdakwa edarkan ataupun terdakwa
konsumsi sendiri sehingga menghilangkan kesadaran terdakwa,
sehingga menurut Majelis Hakim dalam perkara A quo ada
pertentangan antara unsur Kepastian Hukum dan Unsur Keadilan
Hukum untuk diterapkan dalam perkara A quo;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian mengenai Kepastian
Hukum, Keadilan Hukum dan Kemamfaatan Hukum diatas Majelis
Hakim lebih mengutamakan asas Keadilan hukum daripada asas
Kepastian hukum untuk diterapkan dalam perkara Aquo, karena
Majelis Hakim melihat tujuan terdakwa menggunakan ganja tersebut
untuk mengobati orang yang sangat dicintainya yaitu istrinya yang
pada akhirnya meninggal dunia pada saat terdakwa berada dalam
tahanan, terdakwa sebelumnya sudah berusaha sekuat tenaga untuk
mencarikan pengobatan yang terbaik bagi istrinya tersebut baik itu
secara medis maupun non medis namun usahanya tersebut tidak
berhasil sehingga akhirnya terdakwa menggunakan Narkotika jenis
Ganja yang dilarang digunakan di Indonesia untuk pelayanan
kesehatan dan terdakwa menyadari hal tersebut sebenarnya tidak
boleh dilakukan namun hal tersebut tetap dilakukan terdakwa untuk
mengobati istrinya akan tetapi walaupun demikian telah terdapat
perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim guna menentukan apakah
terhadap terdakwa tersebut lebih pantas diterapkan kepastian hukum
atau keadilan hukum karena salah satu Hakim berpendapat sebagai
berikut:
77

Bahwa menurut Hans Kelsen hukum adalah sebuah sistim


norma. Sedangkan Norma sendiri mengandung arti pernyataan yang
menekankan aspek seharusnya atau das sollen dengan menyertakan
beberapa peraturan yang harus dilaksanakan atau dilakukan;
Bahwa Norma – norma adalah produk dari manusia yang
bersifat mengingat dan harus dipatuhi agar ketertiban dapat terjadi;
Bahwa dalam hidup bermasyarakat yang mana melibatkan
banyak orang dengan karakter dan kemauan yang berbeda – beda pula,
oleh karenanya perlu dibentuk norma untuk mengatur dan membatasi
kepentingan banyak orang ;
Bahwa Undang – undang yang berisi aturan – aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu dalam bertingkah laku
dalam masyarakat atau dengan kata lain dengan adanya aturan
Bahwa terdakwa telah didakwa dengan dakwaan yang
berbentuk alternative yakni Pasal 113 Ayat (2) UU RI No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika atau kedua : melanggar Pasal 111 ayat (2) UU
RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau ketiga : melanggar Pasal
116 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap didepan persidangan
mengenai perbuatan terdakwa oleh Majelis Hakim menilai bahwa
perbuatan terdakwa lebih pantas di kenakan atau diputus melanggar
Pasal 116 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sebagaimana yang tertera dalam dakwaan ketiga penuntut umum ;
Bahwa selanjutnya mengenai penjatuhan hukuman terhadap
terdakwa lebih tepat sesuai dengan Kepastian Hukum yaitu yang
tertera dalam Pasal 116 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dengan pidana minimal 5 Tahun dan maksimal 15 Tahun;
Bahwa alasan pendapat tersebut disebabkan karena ada fakta
yang terungkap dalam persidangan bahwa pada saat terdakwa hendak
akan ditangkap oleh Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN)
Kabupaten Sanggau terdakwa menyuruh adik terdakwa yakni saksi
Clara untuk membuang daun ganja milik terdakwa;
Bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas terlihat bahwa
78

sebenarnya terdakwa sadar dan paham akan perbuatan terdakwa yang


telah menanam dan menggunakan daun ganja ;
Bahwa apapun alasan yang terdakwa sampaikan di dalam
persidangan tentang perbuatan terdakwa yang telah menanam
kemudian menggunakan daun ganja tersebut, maka sudah sepantasnya
adalah hukuman seperti yang tertera dalam Pasal 116 (1) Undang –
undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena berat atau
lamanya terdakwa dijatuhi pidana akan memberikan efek atau contoh
kepada masyarakat lain bahwa menanam dan menggunakan ganja
tersebut adalah merupakan perbuatan yang salah dan tidak dapat
dibenarkan apapun alasannya;
Menimbang, bahwa oleh karena terdapat perbedaan pendapat
dalam musyawarah Majelis Hakim sehingga tidak tercapai kata sepakat
maka diambil suara terbanyak dalam menentukan pidana yang pantas
diterapkan terhadap diri terdakwa apakah berdasarkan Keadilan
Hukum atau Kepastian Hukum;
Menimbang, bahwa oleh karena 2 (dua) orang Hakim
berpendapat pidana yang tepat untuk diterapkan terhadap diri terdakwa
adalah keadilan hukum maka pidana yang akan dijatuhkan adalah
berdasarkan asas Keadilan Hukum;
Menimbang, bahwa walaupun pidana yang akan dijatuhkan
tersebut berdasarkan asas keadilan hukum, maka lamanya pidana yang
akan dijatuhkan terhadap diri terdakwa patut juga mempertimbangkan
dampak atau akibat yang akan terjadi pada masyarakat;
Menimbang, bahwa selain itu penjatuhan hukuman bukan
bertujuan untuk melakukan pembalasan dendam kepada terdakwa
apalagi sebagai upaya menyengsarakan terdakwa, akan tetapi tujuan
dari pemidanaan selain menjadi sarana edukasi bagi masyarakat agar
tidak melakukan hal yang serupa yang terpenting adalah sebagai upaya
melakukan pembinaan bagi terdakwa agar kelak dalam kehidupan
bermasyarakat dapat bersikap dengan lebih baik dan bijaksana;
Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim pidana yang akan
dijatuhkan terhadap diri terdakwa diharapkan akan membuat efek jera
79

juga terhadap masyarakat sehingga diharapkan masyarakat tidak


melakukan perbuatan yang sama;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan
diatas Majelis Hakim berpendapat pidana yang dijatuhkan terhadap
terdakwa telah tepat dan cukup adil dengan kadar kesalahan terdakwa
yang selanjtnya akan ditentukan dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa dalam pasal ini selain pidana penjara juga
berlaku ketentuan denda yang harus dijatuhkan maka terhadap
terdakwa juga patut dijatuhkan denda yang besarnya ditentukan dalam
amar putusan;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah
dikenakan penahanan yang sah, maka masa penahanan tersebut harus
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan dan
penahanan terhadap Terdakwa dilandasi alasan yang cukup, maka
perlu ditetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan dalam
perkara ini Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai
berikut yaitu 9 (sembilan) Batang Pohon Narkotika Golongan I jenis
tanaman ganja merupakan Narkotika Golongan I dan dikhawatirkan
Narkotika tersebut disalahgunakan maka terhadap Narkotika jenis
Ganja tersebut haruslah dirampas untuk dimusnahkan sedangkan
terhadap 1 (satu) bungkus karung beras warna putih merk madu tupai
yang didalamnya terdapat 1 (satu) bungkus kantong plastik warna
hitam yang didalamnya terdapat 30 (tiga puluh) batang tanaman
Narkotika Golongan I jenis tanaman ganja, 1 (satu) buah botol kecil
terbuat dari kaca warna bening yang didalamnya terdapat cairan hasil
olahan narkotika jenis tanaman ganja, 2 (dua) buah botol pupuk
organik merk D.I GROW, 1 (satu) rangkaian listrik beserta 2 (dua)
buah lampu, 1 (alat) pengukur suhu ruangan, 4 (empat) buah jeriken
ukuran 1000 Mili liter warna putih yang masingmasing didalamnya
terdapat carian alkohol, 1 (satu) buah jeriken ukuran 1000 Mili liter
warna putih yang masingmasing didalamnya terdapat cairan alkohol, 1
80

(satu) buah sendok makan terbuat dari besi, 1(satu) buah mangkok
kecil terbuat dari keramik, 1 (satu) buah tabung gas 3 kg warna hijau, 1
(satu) buah kompor gas warna hitam silver merk rinnai, 1 (satu) buah
alat pemasak nasi warna putih biru merk miyako, 1 (satu) set panci alat
kukus terbuat dari steinles, 1 (satu) buah buku dengan judul green
flower,1(satu) buah buku dengan judul The Marijuana Grow Bible,
1(satu) buah buku dengan judul marijuana plant care, 1 (satu) buah
buku dengan judul National Geographic Indonesia Ganja Apa Benar
Bermanfaat, 1 (satu) buah buku dengan judul Hikayat Pohon Ganja, 1
(satu) buah buku dengan judul How To Grow Marijuana, 1 (satu) buah
buku dengan judul canabis care manual, 1 (satu) buah buku dengan
judul Cannabis Alchemy, 1 (satu) buah Handphone warna hitam merk
LenovoTab 2 A7 merupakan alat yang dijadikan sarana oleh terdakwa
untuk melakukan tindak pidana tersebut maka terhadap barang bukti
tersebut juga dinyatakan dirampas untuk dimusnahkan selain itu
terhadap barang bukti berupa 1 (satu) buah Kartu Tanda Penduduk atas
nama Fidelis Arie Sudewarto karena merupakan kartu identitas
terdakwa dan tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa maka terhadap barang bukti tersebut haruslah dikembalikan
kepada terdakwa, sedangkan terhadap barang bukti berupa 1 (satu)
Buah motor Honda Vario Warna Putih dengan nomor polisi KB 3235
UY berserta STNK nya adalah milik Saksi Tri Raman Jaya dan saksi
tersebut tidak mengetahui bahwa barang yang dibawanya tersebut
adalah Narkotika jenis Ganja maka terhadap barang bukti tersebut
haruslah dikembalikan kepada saksi Tri Raman Jaya;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka
terdakwa haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara;
Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa maka perlu juga dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan
yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa:
Keadaan yang memberatkan:
1. Terdakwa tidak mendukung program Pemerintah dalam
81

pemberantasan Narkotika;
Keadaan yang meringankan:
1. Terdakwa belum pernah dihukum;
2. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;
3. Terdakwa menggunakan Narkotika tersebut untuk mengobati
istrinya;
4. Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan tumpuan
terakhir anakanaknya setelah istrinya meninggal;
a. koma empat tujuh tujuh dua) gram.
Menimbang bahwa berdasarkan Surat keterangan dari Badan
Narkotika
BAB IV
KEBIJAKAN KRIMINAAL TERHADAP PEMANFAATAN TANAMAN
GANJA UNTUK PENGOBATAN KANKER DIHUBUNGKAN DENGAN
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SANGGAU NOMOR
111/PID.SUS/2017/PN.SAG

A. Perspektif Kebijakan Kriminal Terhadap Pemanfaatan Tanaman Ganja


Dan Syarat-Syarat Pemanfaatan Tanaman Ganja Untuk Pengobatan
Kanker Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika Dihubungkan Dengan Putusan Pengadilan Negeri Sanggau
Nomor 111/Pid.Sus/20-17/PN.Sag.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal
ini pun pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (social defence) dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
(social welfare).
Selanjutnya teori kriminalisasi merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam rangka menjerat suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Kriminalisasi
merupakan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan tindak
pidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana
perbuatannya itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuklah
peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya
apabila dijatuhi pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (eksekutif),
dibawah pimpinan Menteri Kehakiman. Kemudian dari pada itu kriminalisasi
diartikan pula dari perspektif nilai, dalam hal ini yang dimaksud dengan
kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang
tadinya merupakan tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi
perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana. Sehingga dapat terwujudnya
tujuan hukum yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Pendapat-pendapat diatas dapat diartikan bahwa untuk melakukan
kriminalisasi perlu pengkajian mengenai bagaimana suatu perbuatan dapat
dijadikan suatu tindak pidana, dalam konteks penelitian ini maka perbuatan yang
akan dijadikan suatu tindak pidana adalah perbuatan pemanfaatan ganja untuk

83
84

pengobatan kanker dan syarat-syarat pemanfaatan tanaman ganja untuk


pengobatan kanker, di atas sudah diketahui bahwa diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah menyelamatkan
kesehatan masyarakat Indonesia. Namun terlihat jelas bahwa Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum sepenuhnya berdasar pada
pengetahuan dan logika ilmu kesehatan. Dalam undang-undang ini, definisi
narkotika masih bisa menimbulkan kerancuan mengenai penggolongan zat-zat
apa saja yang termasuk di dalamnya. Alkohol atau minuman keras juga dapat
menyebabkan penurunan, perubahan kesadaran, hilangnya rasa sakit, dan
kecanduan, seperti halnya biji pala, kumis kucing, dan kembangpagi/tapak kuda
(Ipomea violacea).
Keputusan memasukkan ganja ke dalam narkotika golongan I, bersama
kokain dan berbagai turunan opium, seperti heroin dan morfin. Hal ini
menunjukan minimnya pengetahuan pemerintah serta adanya ketidakpedulian
terhadap masalah tanaman ganja. Dari sudut pandang vonis serta hukuman
terhadap pelanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
ditemukan salah kaprah yang mengerikan dan bisa jadi bersifat destruktif bagi
masyarakat sendiri.
Menurut data Kementerian Hukum dan HAM Indonesia, lebih dari 20%
penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan adalah narapidana kasus
napza. Permasalahan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika adalah mengenai ketidakjelasan pengertian dan status antara pecandu,
penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika. Oleh karena ketidakjelasan
pada pengertian dan status tersebut, maka pengaturan-pengaturan lainnya menjadi
bias dan simpang siur. Pada tataran praktik, hal ini secara langsung membawa
dampak yang besar terutama bagi pengguna narkotika.
Salah satu dampak praktik yang bias dan simpang siur adalah dalam hal
pemberian rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu
narkotika. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, diuraikan salah satu tujuan pembentukan undang-undang tersebut
adalah guna menjamin upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan
pecandu narkotika. Sedangkan pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban
85

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi


sosial. Apabila menggunakan konstruksi Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika ini maka penyalahguna narkotika tidak masuk
dalam kualifikasi seseorang yang dapat diberikan tindakan rehabilitasi medis dan
sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Kekurangan dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
adalah tidak mengatur mengenai gramatur pecandu narkotika, serta tidak
mendefenisikan secara jelas siapa yang dimaksud sebagai pengguna yang tidak
melawan hukum. Ketentuan Umum dalam undang-undang tersebut hanya
menjelaskan defenisi dari Pecandu dan Penyalah guna.
Oleh karenanya jika dikaitkan dengan putusan, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, yang berbunyi:
“Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum.”
Konsekuensi logisnya adalah segala ketentuan-ketentuan pidana dalam
undang-undang tersebut berlaku bagi siapa saja yang pemanfaatan tanaman ganja
yang termasuk dalam narkotika golongan I tanpa hak dan melawan hukum dapat
dilakukan penyidikan, penuntutan, pembuktian di persidangan maupun
pemidanaan.
Tindak Pidana Narkotika merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) yang diatur secara khusus dalam Undang - Undnag Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Pembuatan Undang – Undang ini dilakukan untuk menjamin
ketersediaan narkotika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan, serta mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan
memberantas pengedaran gelap narkotika.
Perbuatan menyimpan, membuat, mengedarkan, dan menggunakan
narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama dan bertentangan
dengan peraturan perundang – undangan yang berlak merupakan suatu kejahatan.
Terkait dengan hal tersebut, kasus ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri
Sanggau Nomor 111/Pid.Sus/2017/Pn.Sag pada tanggal 2 Agustus 2017. Majelis
86

Hakim menyatakan bahwa Fidelis terbukti bersalah melakukan tindak pidana


tanpa hak dan melawan hukum karena telah menggunakan Ganja (Narkoba
Golongan I (satu)) terhadap orang lain sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 116
Undang – Undang Nomor 35 Tentang Narkotika yang menyatakan:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan 1 terhadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan 1 untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliyar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliyar rupiah).”
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwasannya
Fidelis telah melakukan upaya pengobatan medis ke beberapa rumah sakit, namun
karena tidak membuahkan hasil dan tim medis juga telah angkat tangan terkait
rangkaian dengan pengobatan Yeni, maka oleh karena itu Fidelis berinisiatif
untuk menyembuhkan Yeni dengan ganja agar ada peningkatan kesehatan dalam
upaya meringankan rasa sakit yang diderita Yeni.
Di dalam hukum pidana juga dikenal adanya alasan pembenar yang
merupakan alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa selanjutnya menjadi perbuatan yang
patut dan dibenarkan.
Majelis Hakim mengesampingkan pembelaan terdakwa atau Penasihat
Hukum Fidelis yang menyatakan bahwa, perbuatan terdakwa yang telah menanam
ganja untuk pengobatan isterinya adalah suatu perbuatan yang tergolong sebagai
Overmacht sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP.
Bahwa dalam ketentuan KUHP disebutkan alasan pembenar diatur dalam
Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa). Dalam
keadaan tertentu, Fidelis tidak dapat berbuat yang lain yang berujung pada
terjadinya tindak pidana, sekalipun sebenarnya hal ini tidak diinginkan oleh
Fidelis. Terjadinya tindak pidana tidak dapat dihindari oleh terdakwa karena
sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Faktor inilah yang menyebabkan terdakwa
tidak dapat berbuat lain yang mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus.
Menurut penulis, Pasal yang ditetapkan kepada Fidelis oleh Pengadilan
Negari Sangau dirasa kurang efektif, terlebih lagi saat Fidelis sedang menjalani
masa tahanan, kondisi Yeni semakin menurun dan menyebabkan Yeni meninggal
87

dunia. Menyadari kenyataan demikian, seharusnya pemerintah bisa memberikan


suatu perlindungan terhadap rakyatnya, perlindungan yang dimaksud seperti
penghapusan pidana karena keadaan darurat atau daya paksa.
Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 48 KUHP, yaitu:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana”
Karena menurut penulis, apa yang dilakukan Fidelis merupakan suatu
keterpaksaan atau daya paksa, karena Fidelis terpaksa memberikan ganja kepada
Yeni mengingat sudah berbagai cara yang dilakukan namun tidak membuahkan
hasil.
Berdasarkan peristiwa yang dialami oleh Fidelis, penulis dapat
menyatakan bahwa terdapat pertentangan antara kepentingan dan kewajiban
hukum. Di satu sisi Fidelis mempunyai kepentingan untuk mengobati istrinya
yang sedang sakit namun di sisi lain Fidelis sebagai warga negara Indonesia
dituntut untuk mentaati segala peraturan perundang – undangan yang berlaku,
dalam hal ini adalah Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Terlebih lagi, Fidelis melakukan perbuatan tersebut tidak didasari atas niat
jahat untuk mencelakai orang lain. Sesungguhnya untuk meniliat suatu putusan
yang mengandung keadilan, sulit dicarikan tolak ukurnya bagi pihak – pihak yang
berperkara di pengadilan karena adil bagi satu pihak belum tentu adil untuk pihak
yang lain yang berperkara.
Menurut penulis, unsur keadilan tidak terpenuhi karena tidak terkabulnya
pembelaan Fidelis yang seharusnya Fidelis bisa bebas dari hukuman penjara dan
denda karena melakukan suatu tindak pidana karena keterpaksaan. Hukum
mempunyai kedudukan yang berguna bagi masyarakat. Sebagai bagian dari cita
hukum, keadilan dan kepastian hukum membutuhkan pelengkap di dalam
memutuskan suatu perkara yaitu kemanfaatan hukum. Baik buruknya suatu
hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan atau tidak
pada manusia. Masyarakat selalu berharap manfaat dalam melaksanaan dan
menegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum atau
penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Pelaksanaan dan penegakkan hukum harus dapat menghindarkan timbulnya
88

persilangan pendapat di dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah peraturan


yang membawa kemanfaatan bagi manusia.
Dengan mempertimbangkan fakta – fakta yang telah diuraikan di atas,
penulis berpendapat bahwa perbuatan Fidelis merupakan suatu tindak pidana yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa dan seharusnya dapat dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim untuk menjadi dasar pembenar dan menghapuskan sifat melawan
hukum dalam perbuatan Fidelis.
B. Daya Guna Sanksi Pidana Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sanggau
Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag Terhadap Pelaku Pemanfaatan
Tanaman Ganja Untuk Pengobatan Kanker

Yang dimaksud dengan daya guna (doelmatigheid) adalah proses


bekerjanya hukum, hukum itu dapat memaksa masyarakat pada umumnya dan
para penegak hukum pada khususnya untuk melakukan segala aktivitasnya selalu
berkaca pada hukum yang mengaturnya. Dengan demikian, hukum menuju
kepada tujuan yang penuh harga (waardevol). Daya guna penjatuhan sanksi
pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat
diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis
menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral masyarakat sebagai
pembenaran penggunaan sanksi pidana, maka pandangan utilitarian melihat
public order sebagai sarana perlindungannya.
Sehubungan dengan konsep daya guna yang dikemukakan diatas, daya
guna penjatuhan pidana tidaklah lain sebagai tujuan pemidanaan itu sendiri, maka
apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan pelaku pemanfaatan ganja untuk
pengobatan kanker, bahwa dengan dipidananya pelaku pemanfaatan tanaman
ganja untuk pengobatan kanker.
Sanksi pidana harus pula dilihat dari keuntungan dan kerugiannya agar
hukuman itu benar-benar menjadi upaya penyembuh dan bukan justru membuat
“penyakit” yang lebih parah dalam masyarakat, sebagaimana tujuan hukum selain
untuk kepastian dan keadilan, adalah juga untuk “kegunaan/kemanfaatannya”.
Sebagaimana dalam hukum pidana dikenal teori relatif (relative theorieen) atau
teori tujuan, bahwa “pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada
pembuat kejahatan melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
89

bermanfaat”

Perlu untuk digarisbawahi bahwa pada dasarnya Narkotika merupakan zat


atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan unuk pengobatan penyakit
tertentu. Pernyataan itu jelas tertulis dalam Keterangan Umum Undang-undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Tindakan Fidelis juga didorong dari
kondisi dimana Negara belum dapat menjamin pemenuhan kepentingan
masyarakat atas pemanfaatan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 7
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan:
“Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembanagan ilmu dan teknologi”
Fakta tidak adanya penelitian tentang narkotika golongan I untuk
kepentingan ilmu pengetahuan setidaknya bisa dikonfirmasi dari berbagai situs
resmi pemerintah yang tidak memuat penelitian tentang narkotika golongan I
khususnya tanaman ganja. Padahal, penting untuk menjadi catatan, medical
marijuana (ganja untuk tujuan pengobatan), bukanlah hal baru di dunia kesehatan,
setidaknya sudah banyak negara yang meregulasi bahkan mengembangkan
medical marijuana.
Karena hal-hal tersebut diatas dan melihat amar putusan hakim, daya guna
penjatuhan sanksi pidana terhadap FIDELIS ARIE SUDEWARTO Als NDUK
jika dilihat dampak dari putusan Majelis Hakim ialah berkurangnya rasa
kepercayaan masyarakat akan Pengadilan sebagai tempat pencari keadilan. Dalam
kasus ini dibutuhkan pertimbangan hukum yang didasari oleh keadilan hukum,
kemanfaatan hukum, dan hati nurani sebagai manusia. Walaupun jika melihat
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ancaman hukuman
minimal untuk tindakan yang dilakukan Fidelis adalah pidana 4 tahun penjara.
Karena jaksa hanya menuntut 5 bulan dan hakim memutus 8 bulan, menurut,
maka pengadilan sebenarnya sudah mengarah ke keadilan hukum. Sangat sulit
untuk berharap hukuman bebas murni, karena ada unsur yang terbukti. Dalam hal
ini, hakim dan jaksa sudah mempertimbangkan posisi kasus ini yang tujuannya
bukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tetapi dalam kapasitas
penyembuhan. Karena itu, vonis 8 bulan itu akhirnya dijatuhkan, tanpa melihat
bahwa sesuai aturan hukuman minimalnya 4 tahun. Penulis cukup mengapresiasi
90

hakim yang nampaknya tidak kaku mengikuti undang-undang yang berlaku.


Apresiasi yang sama juga diberikan kepada penegak hukum yang lain termasuk
jaksa, yang mempertimbangkan alasan dan tujuan Fidelis menanam ganja, yaitu
sebagai bagian dari upaya penyembuhan istrinya. Kalau dilihat dari sudut pandang
hakim atau jaksa penuntut umum, ini adalah keputusan yang progresif. Tetapi
alangkah lebih baiknya berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada selama proses
pengadilan, penulis memandang sebaiknya Pengadilan Negeri Sanggau
memutuskan FIDELIS ARIE SUDEWARTO lepas dari seluruh tuntutan hukum,
karena meskipun apa yang dilakukan adalah perbuatan yang melanggar hukum
yang berlaku, namut perbuatan tersebut didorong oleh daya paksa atau keadaan
darurat.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, sebagai
bagian akhir dari pada keseluruhan penulisan ini dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perspektif Kebijakan Kriminal Terhadap Pemanfaatan Tanaman Ganja
Dan Syarat-Syarat Pemanfaatan Tanaman Ganja Untuk Pengobatan
Kanker Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika Dihubungkan Dengan Putusan Pengadilan Negeri Sanggau
Nomor 111/Pid.Sus/20-17/PN.Sag. Dapat disimpulkan bahwa untuk
mengurangi ketegangan antara tujuan hukum berupa keadilan dan
kepastian hukum, maka diperlukan suatu pembaharuan melalui pendekatan
hukum progresif dimana hakim menjadi tokoh sentral dalam usaha untuk
membuat hukum menjadi lebih responsive. Sekalipun dalam suatu perkara
seseorang terbukti secara sah melakukan tindak pidana, seperti halnya
Fidelis yang terbukti menanam ganja, tetapi oleh karena terbukti bahwa
yang bersangkutan bukan seorang pemakai, pengedar, atau bandar, maka
dengan pertimbangan kemanusiaan maka jaksa dan hakim mencoba
menghadirkan keadilan substantif melalui pendekatan hukum progresif
dengan menjatuhkan hukuman lebih rendah dari ancaman yang
seharusnya. Dengan demikian hakim memberikan kepastian hukum di satu
sisi dan menghadirkan keadilan disisi lainnya.
2. Daya Guna Sanksi Pidana Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sanggau
Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag Terhadap Pelaku Pemanfaatan Tanaman
Ganja Untuk Pengobatan Kanker, penulis berpendapat bahwa hakim
nampaknya tidak kaku mengikuti undang-undang yang berlaku. Apresiasi
yang sama juga diberikan kepada penegak hukum yang lain termasuk
jaksa, yang mempertimbangkan alasan dan tujuan Fidelis menanam ganja,
yaitu sebagai bagian dari upaya penyembuhan istrinya. Kalau dilihat dari
sudut pandang hakim atau jaksa penuntut umum, ini adalah keputusan
yang progresif. Tetapi alangkah lebih baiknya berdasarkan fakta-fakta

93
hukum

94
94

yang ada selama proses pengadilan, penulis memandang sebaiknya


Pengadilan Negeri Sanggau memutuskan FIDELIS ARIE SUDEWARTO
lepas dari seluruh tuntutan hukum, karena meskipun apa yang dilakukan
adalah perbuatan yang melanggar hukum yang berlaku, namun perbuatan
tersebut didorong oleh daya paksa atau keadaan darurat.
B. SARAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis
memberikan saran sebagai berikut:
1. Bahwa dalam perspektif kebijakan kriminal terhadap pemanfaatan
Tanaman ganja dan syarat-syarat pemanfaatan tanaman ganja untuk
pengobatan kanker, perlu adanya penelitian ilmiah dan pembaharuan
hukum berkenaan dengan pemanfaatan ganja medis, sehingga tidak
terulang lagi kasus seperti Fidelis ini. Juga mengingat dalam Single
Convention On Drugs, penggunaan ganja untuk kepentingan medis atau
kesehatan sudah diakui, maka diperlukannya pengkajian ulang terhadap
tanaman ganja yang di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dimasukkan ke dalam Narkotika golongan I yang mana
narkotika golongan I ini tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pengobatan dan kesehatan manusia
2. Bahwa daya guna sanksi pidana terhadap pelaku pemanfaatan tanaman
ganja untuk pengobatan kanker dan kesehatan manusia dalam kasus ini
menurut penulis kurang tepat, karena faktanya Fidelis menanam dan
memanfaatkan ganja tidak memiliki niat jahat melainkan didorong oleh
daya paksa dan keadaan darurat untuk melakukan pengobatan terhadap
istrinya yang sedang sakit, maka sebaiknya Pengadilan Negeri Sanggau
memutuskan Fidelis Arie Sudewarto lepas dari seluruh tuntutan hukum,
karena meskipun apa yang dilakukan adalah perbuatan yang melanggar
hukum yang berlaku, namun perbuatan tersebut didorong oleh daya paksa
atau keadaan darurat.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra
Adirya Bakti, 2010.
_______. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008).
BNN, Peraturan Bersama Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, diakses dari
http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/humas/berita/12185/
peraturan-bersama-penangananpecandu-narkotika-dan-korban-
penyalahgunaan-narkotika-ke-dalam-lembaga-rehabilitasi, diakses 15
Maret 2020.
Dirdjosisworo, Soedjono. Hukum tentang Narkotika di Indonesia. Bandung:
Karya Nusantara 1990.
Edyyono, Supriyadi Widodo. Memperkuat Revisi Unda-Undang Narkotika
Indonesia Usulan Masyarakat Sipil. Jakarta: Institute for Criminal Justice
Reform, 2017.
Gunakaya, Widiada Politik Hukum Pidana. Bandung: Guna Harapan Baru, 2019.
_______. Marginalitas Hakikat Hukum Keadilan Dalam Pembentukan Hukum
Oleh Hakim Untuk Menegasi Korupsi Judisial Dalam Bingkai Negara
Hukum Pancasila. Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2019.
Hakim, Abdul Azis. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2016.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia Publishing, 2008.
Indonesia, Mahkamah Agung Republik. “Putusan Nomor
111/Pid.Sus/2017/PN.Sag,”
Indonesia. Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
_______. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika.
Januarsyah, Mas Putra Zenno. Tinjauan Politik Kriminal Tentang Sifat Melawan
Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi dilawankan Dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, Skripsi pada

95
96

Program Sarjana Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung. Bandung:


STHB, 2011.
Jaya, Nyoman Serikat Putra. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2001.
Maroef, M. Ridha Sale. Narkotika: Masalah dan Bahayanya, sebagaimana
dikutip oleh Rido Triawan, dkk., Membongkar Kebijakan Narkotika.
PBHI-Kemitraan Australia Indonesia, 2010.
Marton, Lydia Harlina. Membantu Pencandu Narkotika dan Keluarga. Jakarta:
Balai Pustaka, 2006.
Muladi. Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 2010.
Nusantara, Tim Lingkar Ganja. Hikayat Pohon Ganja. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2011.
Priyatno, Dwija. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama, 2013.
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama 2003.
Purnomo, Bambang. Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Raharjo, Trisno. Narkoba Ancaman Masa Depan Panduan Pencegahan dan
Penanggulangannya. Yogyakarta: LPM Press 2002.
Seption, Tri Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia
http://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-
pemberantasannya-di-indonesia , diakses pada 15 Maret 2020, pukul 20.00
WIB.
Sidharta, Arief. “Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum”. Jentera Jurnal
Hukum Edisi 3 Tahun II. November 2004).
Sistem Database Pemasyarakatan Direkrorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/year/2016/
month/9, diakses 15 Maret 2020.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajawali Pers, 2001.
_______. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rineka
Cipta, 1983.
_______. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1981.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986.
_______, Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru, 1983.
Supramono, Gatot. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2001.
97

Wantjik K, Saleh. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: Paramestika, 1996.
Wirya, Albert. Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di
Jabodetabek Tahun 2014. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
(LBHM), 2016.
Wresniworo, M. Masalah Narkotika, Psitropika, dan Obat-obat Berbahaya.
Jakarta: Yayasan Mitra Bintibmas, 1999.
RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi
1. Nama lengkap : Rakha Cipta Mahardika
2. Tempat, Tanggal Lahir : Garut, 28 Juli 1997
3. NPM : 164301433
4. Program Studi : Ilmu Hukum
5. Program Kekhususan : Hukum Pidana
6. Jenis Kelamin : Laki-Laki
7. Agama : Islam
8. Status : Belum Menikah
9. Pekerjaan : Belum Bekerja
10. Alamat : Bukit Permata Cimahi Blok I2 Nomor 11
RT 10 Kecamatan Ngamprah Desa Cilame
Kabupaten Bandung Barat
B. Data Keluarga
1. Bapak : Bambang Soegiharto
2. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
3. Ibu : Imas Indriyani
4. Pekerjaan : Guru

C. Pendidikan
1. Sekolah Dasar : SDN Pasar Atas Cimahi, 2003-2009
2. SMP : SMPN 6 Cimahi, 2009-2012
3. SMA : SMAN 3 Cimahi, 2012-2015
4. Perguruan Tinggi : Sekolah Tinggi Hukum Bandung,
2016 – sampai sekarang

98
99

Demikian data riwayat hidup penulis dibuat dengan sebenar-benarnya dan


dapat dipertanggungjawabkan.

Bandung, Juli 2020

Penulis,

Rakha Cipta Mahardika

Anda mungkin juga menyukai