Anda di halaman 1dari 32

MODEL RESTORATIVE JUSTICE DALAM UPAYA PENANGANAN

PERKARA ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA


YANG BERBASIS NILAI KEADILAN

UJIAN TERBUKA

DISERTASI

Oleh:

Frans Simangunsong
NIM. 03.VII.15.0389

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2019
ii
iii
MOTTO

Hidup ini seperti sepeda agar tetap seimbang kau harus terus bergerak
( Albert Einstein )

Segala sesuatu yang bisa kau bayangkan adalah nyata


( Pablo Picasso )

Seorang pria tidak akan pernah menjadi seorang pria yang besar tanpa adanya
perempuan hebat di sisinya yang selalu memberi dukungan dan harapan dalam
setiap langkah dan keputusan yang diambil
( BJ Habibie )

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa, karena limpahan berkat dan anugerahNya penulis dapat

menyelesaikan disertasi ini. Selama menyusun disertasi ini penulis

mendapat banyak bimbingan, bantuan dan arahan dari berbagai pihak.

Ketertarikan penulis atas tema disertasi ini, berawal dari

kegelisahan penulis terhadap berbagai kasus anak pelaku tindak pidana

narkotika dan masih terjadinya disharmonisasi sanksi pidana dalam

Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan sistem

diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak (SPPA). Sehingga perlu ada model retorative

juctice dalam upaya penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak

pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna

dan karena bantuan, bimbingan, dorongan, arahan dari banyak pihak, karya

ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada:

1. Ir. Prabowo Setiyawan, M.T., Ph.D., selaku Rektor Universitas Islam

Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

2. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

v
3. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program

Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung

(UNISSULA) Semarang.

4. Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. selaku promotor yang ditengah

kesibukan Beliau sebagai Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilu dan Guru Besar Universitas Pelita Harapan Jakarta meluangkan

waktu membimbing dengan sabar dan memotivasi penulis

menyelesaikan disertasi ini.

5. Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum selaku Co Promotor

yang selalu membimbing dengan sabar dan memotivasi penulis

menyelesaikan disertasi ini.

6. Prof. Dr. H. Mahmutarom, S.H., M.H selaku Rektor Wahid Hasyim

Semarang dan penguji saat penulis menempuh Kelayakan yang telah

memotivasi dan memberikan banyak masukan.

7. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H.M.H. selaku penguji saat penulis

menempuh Ujian Tertutup yang telah memotivasi dan memberikan

banyak masukan masukan.

8. Dr. Akhmad Khisni,SH.,M.H. selaku penguji saat penulis menempuh

Ujian Tertutup yang telah memotivasi dan memberikan banyak

masukan.

9. Segenap Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan

Agung (UNISSULA) Semarang.yang telah memberikan ilmunya

kepada penulis.

vi
10. Segenap staf dan karyawan Program Doktor Ilmu HukumUniversitas

Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

11. Sri Haryanto, S.H, Muhammad Nafis, Sri Wahyuni,S.H selaku Hakim

Pengadilan Negeri Karanganyar, Sri Wahyuni,S.H selaku Panitera

Pengganti Pengadilan Negeri Karanganyar yang sudah memberikan

informasi kepada penulis dalam penulisan disertasi ini.

12. Satuan Narkoba Polres Surakarta AIPTU. Wahyono, S.H dan IPTU

Warsino, S.H.M.H, AIPTU Roko yang sudah memberikan data dan

informasi kepada penulis dalam penulisan disertasi ini.

13. AKBP. Dr. Drs Endang Usman, S.H., M.A, Bareskrim Polri yang sudah

memberikan informasi kepada penulis dalam penulisan disertasi ini.

14. Prof. Dr. H. S. Brodjo Sudjono, S.H., M.S. (Alm), yang sudah

memotivasi penulis untuk melanjutkan Program Doktor dan

memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya di Universitas

Surakarta.

15. Dr.Hj.Roch Mulyani, S.E., M.M. selaku Ketua Dewan Pembina

Yayasan Perguruan Tinggi Surakarta, yang senantiasa memberikan

dorongan, arahan dan motivasi kepada penulis.

16. Astrid Widayani, S.E., S.S., MBA selaku Ketua Yayasan Perguruan

Tinggi Surakarta yang sudah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk melanjutkan Program Doktor.

17. Dr. Arya Surendra, S.Sos., M.M. selaku Rektor Universitas Surakarta

yang sudah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk

vii
melanjutka Program Doktor.

18. Prof. Dr. Setiono, S.H., M.S., yang sudah memberikan ijin kepada

penulis untuk melanjutkan Program Doktor ketika beliau menjabat

sebagai Rektor di Universitas Surakarta.

19. Bintara Sura Priambada, S.Sos., S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Surakarta yang sudah memberikan ijin kepada

penulis untuk melanjutkan Program Doktor dan memberikan dukungan

kepada penulis.

20. Arga Baskara S.H., M.H sekalu Wakil DekanFakultas Hukum

Universitas Surakarta yang sudah memberikan dukungan kepada

penulis.

21. Rekan-rekan Program Doktor Ilmu Hukum Hukum Universitas Islam

Sultan Agung (UNISSULA) Semarang yang telah menjadi teman

berdiskusi keilmuwan selama ini.

22. Dr. Drs. Y.B. Irpan, S.H yang selalu memberikan perhatian dan

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi.

23. Suwardjo, S.H., M.H. yang selalu memberikan perhatian dan dukungan

kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi.

24. Rekan-rekan di Fakultas Hukum Unversitas Surakarta Mulyono, S.Sos.,

MSi, Asri Agustiwi, S.H., M.H, Muhammad Afied Hambali, S.H.,M.H,

Ashinta Sekar Bidari, S.H., M.H., Putri Maha Dewi, S.H., M.H., Dr. S.

Andi Sutrasno, S.H., MH, Ismawati Septiningih, S.H., M.H., Herwin

Sulistya S.H., M.H , Susilowardani, S.H., M.Kn., Dr. Yovita Arie

viii
Mangesti, S.H., M.H, Sumarwoto, S.H., M.H, Yudi Asmoro, S.H.,

M.H ., Fatma Ayu Jati, S.H., M.Kn., Arie Purnomo Sidi S.H., M.H., Dr.

Karmilla, S.H., M.Kn, Mas Adi Nugroho, S.H., M.H. dan nama-nama

lainnya yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang selalu mendorong

untuk segera menyelesaikan disertasi ini.

25. Mas Tio, Mas Taufik, Dania, Yuda, Elisa, Mas Abdul, Mbak Girda,

Yuri, Mas Wahyu, Mas Fuad yang selalu memotivasi penulis.

26. Dr. Yuliati Dwi Nastiti, S.H., M.H., M.Kn yang sudah meluangkan

banyak waktunya untuk penulis dan senantiasa memotivasi penulis dan

rekan-rekan Group WW Dr. Anggraini Kusuma Ningrum, S.H., M.H.,

Dr. Erma Rusdiana, S.H., M.H., Dr. Rina, Dr. Arum yang selalu

menyemangati dan memberikan dukungan kepada penulis.

27. Serta para pihak yang telah membantu penulis selama menyusun

disertasi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

28. Keluarga Besar di Medan yang memberikan dukungan kepada penulis

untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.

29. Keluarga Besar di Sukoharjo yang memberikan dukungan kepada

penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.

The last but not least, kepada Ayahanda tercinta Pandapotan

Simangunsong dan Ibunda tercinta Lendiana br Panjaitan, Bapak Ibu

Sukoharjo Drs. Slamet Hernowo, S.H., S.E., dan Dra. Dyah Puspowati,

S.H., S.E., M.H., yang telah luar biasa dengan segala usaha

kesabarannya dan berkeyakinan keras memotivasi penulis dapat

ix
menyelesaikan Program Doktor.

Kepada Istri tercinta Dr. Hervina Puspitosari, S.H., M.H. semangat,

perhatian dan cinta kasihnya yang menguatkan penulis untuk dapat

menyelesaikan disertasi ini.

Penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu penulis berharap semoga disertasi ini memberikan manfaat

bagi pemerintah, penegak hukum dan masyarakat.

Semarang, 2019

Penulis

Frans Simangunsong

x
RINGKASAN DISERTASI
MODEL RESTORATIVE JUSTICE DALAM UPAYA PENANGANAN
PERKARA ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
YANG BERBASIS NILAI KEADILAN

Frans Simangunsong
NIM. 03.VII.15.0389

A. Latar Belakang
Narkoba tak lagi memandang usia, mulai dari anak-anak, remaja,
orang dewasa hingga orang tua sekalipun tak luput dari jeratan
penyalahgunaan narkoba ini. Diperkirakan sekitar 1,5 persen dari total
penduduk Indonesia adalah korban dari penyalahgunaan narkoba tersebut.
Masalah peredaran narkoba ini juga tak kalah mengkhawatirkan, tidak
hanya di kota-kota besar saja namun sampai merambah ke pelosok
indonesia. Narkoba ini sendiri merupakan singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan Bahan Berbahaya lainnya. Istilah narkoba yang banyak
dikenal di Indonesia ini berasal dari bahasa Inggris yakni Narcotics yang
berarti obat bius. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir didalam undang-undang tersebut.
Penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan
kejahatan. Anak tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan
harapan masa depannya. Ia adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh,
yang dibutuhkan adalah bantuan dan bimbingan. Peradilan yang tepat
untuk pelaku delinkuensi anak adalah model keadilan restorative yang
bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban
sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang boleh
mereka terima adalah pendidikan paksa. Model ini akan sungguh-sungguh
terealisasikan apabila, peradilan anak menjadi peradilan sistem peradilan
tersendiri yang bukan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana umum.
Demi menyelundupkan Narkoba masuk ke Indonesia, sejatinya
pihak sindikat akan menggunakan berbagai macam cara, termasuk
diantaranya adalah modus dengan memanfaatkan anak-anak di bawah
umur sebagai kurir Narkoba. Oleh karenanya para penyidik perlu
mewaspadai terhadap kemungkinan tersangka kasus tindak pidana
Narkoba yang dihadapi adalah anak di bawah umur. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

xiii
dapat berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Hal ini mengingat Undang-Undang SPPA lebih
mengedepankan unsur diversi atau pengalihan hukuman pemidanaan pada
tingkat pemeriksaan, penuntutan hingga peradilan bagi si
tersangka. “Artinya bila seorang tersangka kasus Narkoba merupakan
anak di bawah umur maka dimungkinkan ia akan mendapat sanksi yang
berbeda, karena berlaku Undang-Undang SPPA terhadapnya, seorang
pelaku tindak pidana Narkoba usia 14 tahun yang berperan sebagai kurir
Narkoba, kasusnya mendapat perlakuan diversi. Darmawel mengatakan
bahwa kasus seperti ini perlu diwaspadai para penyidik karena
dimungkinkan dapat menjadi modus baru yang digunakan oleh sindikat
Narkoba. “Umumnya kurir memang selalu beralasan tidak tahu apa-apa.
Penyidik perlu memastikan betul apakah anak yang dijadikan kurir
Narkoba itu menyadari perbuatannya atau memang dimanfaatkan oleh
sindikat1
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis merasa tertarik
untuk mengkaji penelitian dengan judul “Model Restorative Justice
Dalam Upaya Penanganan Perkara Anak Sebagai Pelaku Tindak
Pidana Narkotika Yang Berbasis Nilai Keadilan”

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana
narkotika di Indonesia saat ini?
2. Mengapa penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana
narkotika di Indonesia saat ini belum adil?
3. Bagaimana model restorative justice yang ideal dalam upaya penanganan
perkara anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai
keadilan?

C. Kerangka Teori
1. Teori Keadilan Bermartabat Sebagai Grand Theory
Teori keadilan bermartabat menurut Teguh Prasetyo 2, Teori
Keadilan bermartabat berangkat dari postulant sistem;bekerja mencapai
tujuan, yaitu keadilan yang bermartabat. Keadilan yang memanusiakan
manusia, atau keadilan "nge wong ke wong.” Lapisan-lapisan ilmu hukum
dalam perspektif teori keadilan bermartabat itu bekerja atau berfungsi
sebagai sumber atau tempat dimana hukum itu ditemukan.
Dalam konteks itu, teori keadilan bermartabat menolak arogansi, namun
mendorong rasa percaya diri, dan keyakinan diri suatu sistem hukum, dalam hal ini
sistem hukum berdasarkan Pancasila. Ada perbedaan yang prinsipiil antara arogansi
dan keyakinan diri. Yang pertama adalah sikap yang kurang baik dan bahkan tepatnya
tidak baik. namun yang kedua adalah sikap, terutama sikap ilmiah yang dianjurkan,
secara bertanggung jawab. Mereka yang mempelajari filsafat selalu berusaha untuk

1
http://jakrev.com/megapolitan/bnn-resah-dualisme-hukum-bagi-anak-sebagai-kurir-narkoba/,
diakses pada tanggal 3 Januari 2017 pukul 13.45
2
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2005.
Hal. 2

xiv
berwawasan luas dan terbuka. Mereka, para filsuf, dalam hal ini filsuf hukum diajak
untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain, dan tidak memaksakan
kebenaran yang mereka yakini itu (indoktrinasi) kepada orang atau pihak lain. 3Sebagai
suatu teori, hasil berpikir secara kefilsafatan, maka teori keadilan bermartabat juga
mempunyai metode pendekatan dalam mempelajari dan menjelaskan atau menguraikan
dan menerangkan objek pengkajian teori tersebut. Dalam hal ini objek pengkajian dari
teori keadilan bermartabat yaitu segala sesuatu kaidah dan asas-asas hukum yang
berlaku.

2. Middle Theory
a. Teori Sistem Peradilan Pidana
Muladi mengemukakan bahwa, sistem peradilan merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang merupakan hukum pidana materil,
hukum pidana formil merupakan hukum pelaksanaan pidana. Namun
kelembagaan ini harus dilihat konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika
dilandasi hanya kepentingan hukum saja akan membawa bencana berupa
keadilan. Muladi menegaskan bahwa “integrated criminal justice system”
adalah sinkronisasi atau kesempatan dan keselarasan yang dapat dibedakan
dalam4:
1. Sinkronisasi struktural (stuctural synchronization) adalah
keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara
lembaga penegakan hukum.
2. Sinkronisasi subtansi (substantial syncronization) adalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal
dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural (cultural sycronization) adalah keserampakan
dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-
sikap dan falsafah yang menyeluruh mendasari jalannya sistem
peradilan pidana.
b. Teori Sistem Hukum dan Bekerjanya Hukum di Masyarakat
Menurut Lawrence Meir Friedman ada tiga unsur yang
mempengaruhi bekerjanya hukum adalah :
a. Struktur hukum (legal structure)
b. Substansi hukum (legal substance)
c. Kultur hukum (legal culture)5

3.Teori Hukum Progresif Sebagai Aplied Theory


Teori Hukum Progresif dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo dimana
dinyatakan bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya
yaitu hukum untuk manusia, bukan sebaliknya sehingga manusia menjadi
penentu dan titik orientasi hukum. Hal ini mengingat disamping kepastian
dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia
3
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Jan Ilmu Hukum Pemikiran
Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat, Raja Grafindo Persada, 2012, Hal. 4
4
Yesmil Anwar, Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelsanaanya Dalam
Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, Hal. 37
5
Achmad Ali. “Kepurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya”, GhaliaIndonesia.
Jakarta. 2002, Hal.2.

xv
atau memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Sehingga boleh
dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia
dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.6

D. Metode Penelitian
Metode dalam arti umum berarti suatu studi yang logis dan sistematis
tentang prinsip-prinsip yang mengalahkan suatu penelitian. Metodologi
juga berarti cara ilmiah untuk mencari kebenaran.7
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini penulis mendasarkan penggabungan konsep
hukum yang kedua dimana hukum adalah norma-norma positif di dalam
sistem perundang-undangan hukum nasional dan konsep kelima yaitu
hukum adalah manifesti makna-makna simbolik pada perilaku sosial
sebagai tampak interaksi antar mereka. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan penelitian yuridis empiris yang
diarahkan untuk memperoleh data sekunder dan data primer yang
bersumber dari bahan pustaka maupun dari pelaksanaan perundang-
undangan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di BNN, Polres Klaten, Polres Boyolali,
Polresta Surakarta, Pengadilan Negeri Karanganyar.
3. Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini nantinya antara lain:
a. Hakim
b. Kasat Reskrim yang menangani kasus tindak pidana narkotika oleh
anak
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data yang terdiri
dari:
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
lapangan.8Data ini diperoleh dengan melakukan pengamatan terhadap
obyek penelitian ini di lapangan berupa wawancara dengan
responden.
b. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari sumber yang
tidak langsung.9 Berbagai peraturan perundang-undangan serta
buku-buku literatur serta semua komponen tersebut tentunya
merupakan kepustakaan yang relevan dengan tema dalam penelitian
ini.
Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Sumber data primer

6
Sabian Usnian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009, Hal 1
7
Setiono, “Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum”, Fakultss Hukum Program
Pasca Sarjana UNS, Surakarta, 2005. Hal. 3
8
S. Nasution, “Metode Research (Peneliaan Ilmiah)”, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, Hal. 143.
9
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat)”,Raja Grafindo, Jakarta, 2006, Hal. 12

xvi
Wawancara dilakukan dengan informan yang telah ditetapkan
sebelumnya, yang dianggap mengerti permasalahan yang penulis
teliti.
b. Sumber data sekunder
Sumber data yang secara tidak langsung memberikan
keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer yang didapat
dari perpustakaan.
5. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui interview atau wawancara,
tehnik wawancara dilakukan secara bebas dengan menggunakan
sebuah pedoman wawancara. Teknik ini dilakukan agar dapat
memperoleh data yang mendukung tentang tema yang diambil oleh
penulis.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan menggunakan
studikepustakaan, penelusuran internet, kliping koran dan studi
dokumentasi berkas-berkas penting dari institusi yang diteliti serta
penelusuran peraturan-peraturan terkait tindak pidana narkotika oleh
anak.
6. Tehnik Analisa Data
Dalam suatu penelitian, analisis data merupakan tahap yang
paling penting karena analisis data dengan menentukan kualitas hasil
penelitian. Tujuan analisis data dalam penelitian adalah untuk
menyampaikan dan membatasi data sehingga menjadi data yang tersusun
secara baik. Berdasarkan jenis penelitian dan jenis data yang ada dalam
penelitian ini maka selanjutnya dapat ditentukan teknik analisis data yang
tepat. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif yaitu mengumpulkan data, mengklasifikasikannya kemudian
menghubungkan dengan teori yang signifikan dengan masalah, kemudian
disimpulkan guna menemukan hasilnya.

E. Pembahasan
1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menjelaskan
secara umum tentang sanksi pidana bagi perantara (kurir) narkotika
akan tetapi tidak mengatur secara khusus mengenai sanksi pidana bagi
anak yang menjadi kurir narkotika. Namun pada dasarnya pelaku
peredaran narkotika yang menyangkut anak sebagai kurir narkotika
tetap dijerat dengan pasal-pasal sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Narkotika tetapi dengan tidak mengesampingkan
ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Diversi hanya dapat
dilaksanakan untuk tindak tidana yang ancaman pidana penjaranya
dibawah 7 (tujuh) tahun. Proses diversi sudah semestinya tidak
terkungkung pada batasan ancaman pidana penjara dibawah 7 (tujuh )

xvii
tahun. Karena pada prinsipnya sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum
Internasional, dimana diversi haruslah lebih mengutamakan kepentingan
terbaik bagi anak demi tercapainya Keadilan Restoratif bagi
anak.Penanganan tindak pidana narkotika anak di tingkat penyidikasn
dicoba dilakukan penelitian di wilayah hukum dimana terjadi kasus
tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak. Menurut UU SPPA,
maka yang termasuk dalam pengertian anak adalah anak di bawah umur
sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18
tahun. Dengan demikian terhadap mereka ini bilamana menjadi
tersangka dan diperiksa di tingkat penyidikan oleh penyidik, maka
prinsip-prinsip dalam hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam
KUHAP, UU SPPA, UU Perlindungan Anak wajib untuk ditaati oleh
penyidik semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak. Penanganan
Tindak Pidana Anak di Tingkat Penuntutan, ruang lingkup penuntutan
ini meliputi tahap pra penuntutan yang meliputi kegiatan :Penerimaan
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP); Setelah menerima
SPDP segera diterbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut
Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara (P-16); Agar
Jaksa Penuntut Umum yang telah ditunjuk memperhatikan usia
tersangka dan memastikan kepeda penyidik dengan mencari bukti-bukti
autentik seperti akte kelahiran atau akte kenal lahir, data di sekolah,
kelurahan dan lain-lain; Melaporkan secara hirarki tentang identitas
tersangka, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar dan hal-hal lain yang
dipandang perlu; Mengikuti secara aktif setiap perkembangan
penyidikan dan mengintensifkan koordinasi baik dengan penyidik
maupun piliak yang terkait guna mewujudkan keterpaduan dalam upaya
penyelesaian perkara penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum. Penanganan Tindak Pidana Anak di Tingkat Pengadilan,
peradilan anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali
dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat
meninggalkan perilaku buruk selama ini telah ia lakukan. Mekanisme
Restorative Justice di Luar Pengadilan Mekanisme Melalui Diversi.
Diversi bertujuan: mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;menghindarkan
Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Mekanisme penerapan Restorative Justice di dalam pengadilan tetap
dimulai dengan upaya Diversi, yaiig dapat dilaksanakan di ruang
mediasi pengadilan negeri. Kemudian ketika Diversi itu tidak berhasil
niencapai kesepakatan, maka perkara dilanjutkan kepada tahap
persidangan
2) Penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika di
Indonesia saat ini belum efektif.Upaya melakukan perlindungan
hukum terhadap anak sebagai pelaku penyalahgunaan
narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menjelaskan secara umum tentang sanksi pidana bagi

xviii
perantara (kurir) narkotika akan tetapi tidak mengatur secara khusus
mengenai sanksi pidana bagi anak yang menjadi kurir
narkotika. Namun pada dasarnya pelaku peredaran narkotika
yang menyangkut anak sebagai kurir narkotika tetap dijerat dengan
pasal-pasal sebagimana yang diatur dalam undang-undang
narkotika tetapi dengan tidak mengesampingkan ketentuan
khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak).Penanganan anak dalam tindak pidana narkotika belum efektif
diantaranya dari substansi aturan masih disharmonisasi antara sanksi
yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak melalui penerapan diversi. Dari Struktur
hukum penegak hukum masih kurang memahami dengan adanya
konsep diversi dan restorative justiceselain itu dalam menjalankan
tugasnya para aparat penegak hukum sangat rentan dengan
penyalahgunaan wewenang dalam melakukan perlindungan hukum
terhadap anak dibawah umur sehingga tidak jarang terjadi
diskriminasi terhadap anak di dalam menjalankan proses
hukum, faktor masyarakat dalam hal ini masih kurangnya
pemahaman masyarakat akan bahaya dan dampak negatif dari
pemakaian narkotika yang berkelangsungan. Masyarakat juga
hendaknya lebih peduli lagi terhadap lingkungan sekitarnya sebagai
upaya untuk mencegah peredaran narkotika disekitar lingkungan
tempat tinggal. Faktor kebudayaan dalam hal ini masih kuatnya
stigma masyarakat terhadap korban. Korban sudah dianggap atau
di “cap” buruk oleh masyarakat, bahwa anak tersebut tidak
baik dan stigma itu menjadikan anak mengulangi tindak
pidana.Kebijakan hukum pidana Indonesia dalam penerapan sanksi
tindakan terhadap anak pelaku kejahatan narkotika sebagai
upayapenanggulangan kejahatan narkotika adalah bahwa anak pelaku
kejahatan narkotika (ABH) diupayakan semaksimal mungkin untuktidak
dilakukan pidana badan/penjara karena anak di dalam penjara
bukan solusi bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.Penegak
hukum harus bisa menilai anak pelaku tindak pidana narkotika,
baik itu pecandu, membawa, memiliki, menguasai, danmengkonsumsi
bagi diri sendiri adalah cenderung sebagai korban. Dari subtasi hukum
juga terdapat masih lemahnya pengaturan tentang jenis jenis narkotika
yang diatur di dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Munculnya jenis-jenis baru narkotika yang belum diatur
didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyulitkan aparat
penegak hukum untuk memproses lebih lanjut. Komponen budaya hukum
(legal culture, media sosial (medsos) juga bisa memengaruhi remaja
untuk mengonsumsi narkoba sehingga diperlukan patroli di medsos jika

xix
ada portal-portal yang memuat hal-hal terlarang seperti peredaran
narkoba dan perlunya pengawasan dan kerja sama dengan
Kemenkominfo.
3) Model restorative justice yang ideal dalam upaya penanganan perkara
anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai
keadilan.
Model restorative justice “konsensus” merupakan model penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Model ini dalam pencapaian keadilan lebih
mengutamakan pendekatan konsensus sehingga diharapkan mampu
menyelesaikan permasalahan anak sebagai pelaku tindak pidana
narkotika yang menempatkan anak sebagai korban dan pengutamaan
pada masa depan anak. Proses penyembuhan ini menjadi penting
sebagai upaya harm reduction. Model restorative juctice dengan
penempatan anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dalam tempat
rehabilitasi narkotika khusus anak sebagai upaya dekriminalisasi
terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang lebih
mengedepankan masa depan anak dan menempatkan anak sebagai
korban dari orang dewasa yang memanfaatkan anak untuk menggunakan
maupun mengedarkan narkotika. Sehingga perlu upaya pembaharuan
terhadap Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 terkait sanksi bagi
anak pelaku tindak pidana narkotika dengan menghapuskan sanksi
hukuman pidana penjara setengah dari hukuman orang dewasa.
Perlindungan hukum menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang perlindungan anak, yang dimaksud dengan perlindungan. anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan
Hukum yang diterapkan bagi anak yang menjadi kurir narkotika
diantaranya adalah Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau
penjara; Pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang objektif,
tidak memihak dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
Penghindaran dari publikasi atas identitasnya; Pemberian
pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercayai oleh anak;
dan Pemberian advokasi sosial. Model restorative justice dalam
penanganan anak pelaku tindak pidana narkotika perlu adanya
harmonisasi dari substansi aturan tentang Narkotika dan peraturan
dalam sistem peradilan pidana anak dalam penerapan sanksi terhadap
anak pelaku tindak pidana narkotika yang menerapkan sistem diversi.
Perlu dibangunnya tempat-tempat rehabilitasi yang secara khusus
menangani anak pelaku tindak pidana narkotika. Keadilan Restoratif
sebagai tujuan dalam melaksanakan Diversi dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari
stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si
anak dapat kembali ke lingkungan sosialnya secara wajar.
Peraturan tentang penangan anak pelaku tindak pidana di Indonesia

xx
masih kurang maksimal. Terlebih aturan untuk rehabilitasi bagi pecandu
anak karena untuk anak masih dicampur dengan dewasa upaya kedepan
agar rehabilitasi bersama dengan keseluruhan keluarga, karena bukan
hanya tentang narkobanya, tetapi kemungkinan ada kesalahan dalam
pola pengasuhan orang tua. Selain itu upaya pembaharuan dalam
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah perlunya
menghapus ketentuan pasal 7 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Diversi seharusnya
diwajibkan tidak hanya untuk ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun
tapi juga di atas 7 (tujuh) tahun tanpa pembedaan. Berat atau ringannya
pidana yang dilakukan sebagai pertimbangan penegak hukum untuk
diversi seharusnya didasarkan pada kemanfaatan dan tidak dibatasi oleh
UUSPPA.
F. Kesimpulan
1. Penanganan tindak pidana narkotika anak di tingkat penyidikasn dicoba
dilakukan penelitian di wilayah hukum dimana terjadi kasus tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh anak. Menurut UU SPPA, maka yang
termasuk dalam pengertian anak adalah anak di bawah umur sebagai
anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun.
Dengan demikian terhadap mereka ini bilamana menjadi tersangka dan
diperiksa di tingkat penyidikan oleh penyidik, maka prinsip-prinsip dalam
hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP, UU SPPA, UU
Perlindungan Anak wajib untuk ditaati oleh penyidik semata-mata demi
kepentingan terbaik bagi anak. Penanganan Tindak Pidana Anak di
Tingkat Penuntutan, ruang lingkup penuntutan ini meliputi tahap pra
penuntutan yang meliputi kegiatan :Penerimaan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP); Setelah menerima SPDP segera
diterbitkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk
mengikuti perkembangan penyidikan perkara (P-16); Agar Jaksa Penuntut
Umum yang telah ditunjuk memperhatikan usia tersangka dan memastikan
kepeda penyidik dengan mencari bukti-bukti autentik seperti akte
kelahiran atau akte kenal lahir, data di sekolah, kelurahan dan lain-lain;
Melaporkan secara hirarki tentang identitas tersangka, kasus posisi,
ketentuan yang dilanggar dan hal-hal lain yang dipandang perlu;
Mengikuti secara aktif setiap perkembangan penyidikan dan
mengintensifkan koordinasi baik dengan penyidik maupun piliak yang
terkait guna mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian perkara
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Penanganan Tindak
Pidana Anak di Tingkat Pengadilan, peradilan anak diselenggarakan
dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan
perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk selama ini
telah ia lakukan.
2. Penanganan perkara anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika di
Indonesia saat ini belum efektif. Upaya melakukan perlindungan
hukum terhadap anak sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

xxi
menjelaskan secara umum tentang sanksi pidana bagi perantara (kurir)
narkotika akan tetapi tidak mengatur secara khusus mengenai sanksi
pidana bagi anak yang menjadi kurir narkotika. Penanganan
anak dalam tindak pidana narkotika belum efektif diantaranya dari
substansi aturan masih disharmonisasi antara sanksi yang diberikan
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak melalui penerapan diversi. Dari Struktur hukum penegak hukum
masih kurang memahami dengan adanya konsep diversi dan
restorative justice selain itu dalam menjalankan tugasnya para aparat
penegak hukum sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang
dalam melakukan perlindungan hukum terhadap anak dibawah
umur sehingga tidak jarang terjadi diskriminasi terhadap anak
di dalam menjalankan proses hukum, faktor masyarakat dalam hal ini
masih kurangnya pemahaman masyarakat akan bahaya dan dampak
negatif dari pemakaian narkotika yang berkelangsungan.
Masyarakat juga hendaknya lebih peduli lagi terhadap lingkungan
sekitarnya sebagai upaya untuk mencegah peredaran narkotika
disekitar lingkungan tempat tinggal. Faktor kebudayaan dalam hal ini
masih kuatnya stigma masyarakat terhadap korban. Korban sudah
dianggap atau di “cap” buruk oleh masyarakat, bahwa anak
tersebut tidak baik dan stigma itu menjadikan anak mengulangi tindak
pidana.Kebijakan hukum pidana Indonesia dalam penerapan sanksi
tindakan terhadap anak pelaku kejahatan narkotika sebagai upaya
penanggulangan kejahatan narkotika adalah bahwa anak pelaku
kejahatan narkotika (ABH) diupayakan semaksimal mungkin untuktidak
dilakukan pidana badan/penjara karena anak di dalam penjara
bukan solusi bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.Penegak
hukum harus bisa menilai anak pelaku tindak pidana narkotika, baik
itu pecandu, membawa, memiliki, menguasai, danmengkonsumsi bagi
diri sendiri adalah cenderung sebagai korban. Dari subtasi hukum juga
terdapat masih lemahnya pengaturan tentang jenis jenis narkotika yang
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Munculnya jenis-jenis baru narkotika yang belum diatur
didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyulitkan aparat
penegak hukum untuk memproses lebih lanjut. Komponen budaya hukum
(legal culture, media sosial (medsos) juga bisa memengaruhi remaja untuk
mengonsumsi narkoba sehingga diperlukan patroli di medsos jika ada
portal-portal yang memuat hal-hal terlarang seperti peredaran narkoba
dan perlunya pengawasan dan kerja sama dengan Kemenkominfo.
3. Model restorative justice yang ideal dalam upaya penanganan perkara
anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan.
Perlu upaya pembaharuan terhadap Undang Undang Nomor 35 Tahun
2009 terkait sanksi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika dengan
menghapuskan sanksi hukuman pidana penjara setengah dari hukuman
orang dewasa. Perlu dibangunnya tempat-tempat rehabilitasi yang secara

xxii
khusus menangani anak pelaku tindak pidana narkotika. Keadilan
Restoratif sebagai tujuan dalam melaksanakan Diversi dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak dari proses peradilan sehingga dapat
menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
dan si anak dapat kembali ke lingkungan sosialnya secara wajar.
Peraturan tentang penangan anak pelaku tindak pidana di Indonesia
masih kurang maksimal. Terlebih aturan untuk rehabilitasi bagi pecandu
anak karena untuk anak masih dicampur dengan dewasa upaya kedepan
agar rehabilitasi bersama dengan keseluruhan keluarga, karena bukan
hanya tentang narkobanya, tetapi kemungkinan ada kesalahan dalam pola
pengasuhan orang tua. Selain itu upaya pembaharuan dalam Undang-
undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah perlunya menghapus
ketentuan pasal 7 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Diversi seharusnya diwajibkan
tidak hanya untuk ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun tapi juga di
atas 7 (tujuh) tahun tanpa pembedaan. Berat atau ringannya pidana yang
dilakukan sebagai pertimbangan penegak hukum untuk diversi seharusnya
didasarkan pada kemanfaatan dan tidak dibatasi oleh UUSPPA.

G. Implikasi
Hasil analisis dan kesimpulan dalam penelitian ini adalah
membuktikan bahwa model retorative justice dalam perkara anak
sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan
berimplikasi antara lain:
a) Lebih meningkatkan peran penegak hukum utamanya penyidik
dalam melaksanakan kewenangan diskresinya sehingga suatu
perkara anak pelaku tindak pidana narkotika tidak berujung ke
pengadilan dengan proses pemidaan bagi anak tetapi
menempatkan anak pelaku tindak pidana narkotika di tempat
rehabilitasi.
a) Bagi anak pelaku tindak pidana narkotika agar lebih terlidungi
hak-haknya dan anak mendapatkan penanganan rehabilitasi
yang diharapkan tidak akan mengulangi perbuatannya dan
dapat melanjutkan masa depan anak dan kembali lagi ke
masyarakat.
b) Bagi masyarakat agar lebih mengawasi adanya peredaran
narkotika terhadap anak anak dengan pelaku memanfaatkan
anak sebagai pengedar narkotika.

H. Saran
1) Agar dalam implementasi proses diversi seyogyanya dihindari sanksi
sosial yang terlalu memberatkan anak seperti dikucilkan dalam
pergaulan masyarakat setempat serta pengusiran dari kampung
halaman.
2) Merevisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pelaksana Nomor 65 Tahun

xxiii
2015 tentang Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun
terkait anak pelaku tindak pidana narkotika narkotika dapat
dilakukan diversi dengan mengenyampingkan batas ancaman
pidana yang dapat dilakukan diversi dan mengedepankan konsep
rehabillitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika.
3) Perlunya revisi UU Narkotika ketentuan mengenai rehabilitasi anak
pengguna narkotika dan jenis-jenis baru narkoba yang belum masuk
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
4) Perlunya kurikulum bahaya penggunaan narkoba di sekolah mulai dari
PAUD.
5) Orang tua untuk mengedukasikan anak-anaknya terhadap bahaya
narkoba, agar mereka tidak menjadi regenerasi pasar bagi para Bandar
Narkotika.
6) Perlu dibangunnya tempat-tempat rehabilitasi khusus bagi anak pelaku
tindak pidana narkotika dengan sistem pembinaan juga terhadap orang
tua dalam pola pengasuhan anak.

xxiv
SUMMARY
OF RESTORATIVE JUSTICE MODEL DISSERTATION IN HANDLING
OF CHILDREN PERKARA AS A PERFORMER OF NARCOTIC CRIMINAL
BASED ON JUSTICE VALUE

Frans Simangunsong
NIM. 03.VII.15.0389

A. Background
Drugs no longer look at age, ranging from children, adolescents,
adults to the elderly though not escape from the bondage of drug abuse. It
is estimated that around 1.5 percent of the total population of Indonesia is
a victim of drug abuse. The problem of drug trafficking is also no less
worrisome, not only in big cities but extends to remote parts of Indonesia.
This drug itself is an abbreviation of Narcotics, Psychotropic and other
hazardous substances. The term drug that is widely known in Indonesia is
derived from English namely Narcotics which means anesthetic.
According to Article 1 of Law Number 35 Year 2009 concerning
Narcotics, the definition of narcotics is a substance or drug that is derived
from plants or not plants, both synthetic and semisynthetic which can
cause a decrease or change of consciousness, loss of taste, reduce to
eliminate pain and can cause pain dependency, which is divided into
groups as attached in the law.
Imprisonment is only appropriate for adults who commit crimes.
Children are not right to go to jail because it will turn off their hopes for
the future. He is a growing autonomous person, what is needed is help and
guidance. Appropriate justice for child delinquents is a model ofjustice
restorative that is to improve and restore the relationship between
perpetrators and victims so that harmony in life is maintained. The
maximum punishment they can receive is forced education. This model will
be truly realized if, juvenile justice becomes a separate justice system that
is not part of the general criminal justice system.
For the sake of smuggling drugs into Indonesia, the syndicate will
actually use a variety of ways, including the mode of exploiting minors as
drug couriers. Therefore investigators need to be aware of the possibility
of suspects in narcotics cases faced by minors. Law Number 11 of 2012
concerning the Child Criminal Justice System (SPPA) may conflict with
Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics. This is due to the fact that
the SPPA Law prioritizes elements of diversion or transfer of criminal
sentences at the level of examination, prosecution to trial for the suspect.
"This means that if a drug suspect is a minor, it is possible that he will get
different sanctions, because the SPPA Act applies to him, a 14-year-old
narcotics offender who acts as a drug courier, his case is treated as
diversion. Darmawel said that cases like this need to be watched out by
investigators because it might be possible to become a new mode used by

xxv
drug syndicates. "Generally, couriers always reasoned that they did not
know anything. Investigators need to make sure exactly whether the child
is used as couriers Drugs were aware of his actions or is exploited by
syndicates10
Based on the background mentioned above, the authors were
interested in reviewing research titled "Model Restorative Justice In
Effort Case Handling Children For Actors Crime Narcotics Its Value-
Based Justice "

B. Problem Formulation
1. How is the handling of child cases as narcotics offenders in Indonesia at
this time?
2. Why is the handling of child cases as narcotics offenders in Indonesia
currently not fair?
3. What is the ideal restorative justice model in the effort to handle cases of
children as perpetrators of narcotics-based criminal justice?

C. Framework for Theory


1. Justice Theory as a Grand Theory
of DignifiedDignified theory of justice according to Teguh
Prasetyo11, Theory of Dignified Justice departs from the postulant system:
working towards the goal, namely justice with dignity. Justice that
humanizes humans, or justice "wong to wong." The layers of legal science
in the perspective of the theory of dignified justice work or function as the
source or place where the law is found.
In that context, the theory of dignified justice rejects arrogance, but encourages a
sense of self-confidence, and self-confidence in a legal system, in this case the legal
system based on Pancasila.There is a principle difference between arrogance and self-
confidence.The first is a bad attitude and even precisely not good, but the second is an
attitude, especially scientific attitude recommended, responsibly Those who study
philosophy always try to be broad-minded and open, they, philosophers, in this case legal
philosophers are invited to respect the thoughts, opinions and positions of others, and not
to impose the truth they believe in it (indoctrination) to other people or parties, 12as a
theory, the results of thinking in a religious way As a reflection, the dignified justice
theory also has a method of approach in studying and explaining or describing and
explaining the object of study of the theory. In this case the object of study from the
theory of dignified justice is all the principles and principles of applicable law.

2. Middle Theory
a. Criminal Justice System Theory
Muladisuggests that the judicial system is a network(network)trial is

10
http://jakrev.com/megapolitan/bnn-resah-dualisme-hukum-bagi-anak-as-kurir-narkoba/,
accessed on 3 January 2017 at 13.45
11
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung , 2005.
Page 2
12
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Jan Ilmu Hukum Pemikiran
Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat, Raja Grafindo Persada, 2012, Page. 4

xxvi
a material criminal law, criminal law is a formal criminal law
enforcement. But this institution must be seen in the social context. The
nature that is too formal if based only on legal interests will bring disaster
in the form of justice. Muladi asserted that "integrated criminal justice
system" is synchronization or opportunity and harmony which can be
distinguished in13:
1. Structural synchronization (stuctural
synchronizationsynchronization) isand harmony in the framework
of the relationship between law enforcement agencies.
2. Substantial synchronization (substantial
synchronizationsynchronization) is vertical and horizontaland
harmony in relation to positive law.
3. Cultural synchronization (cultural synchronization) is the harmony
and harmony in living the views, attitudes and philosophy that
underlie the functioning of the criminal justice system.
b. The working theory Legal System and Law in Society
According to Lawrence Meir Friedman, there are three elements
that affect the working of the law is:
a. The legal structure(legalstructure)
b. The substance of the law(legalsubstance)
c. Kultur law(legalculture)14

3.Teori Progressive LawAs Theoryaplied


Legal TheoryProgressive sparked by Satjipto Rahardjo where it was
stated that legal thought needs to return to its basic philosophical namely
the law for humans, not vice versa so that humans become determinants
and points of legal orientation. This is because besides legal certainty and
justice it also functions for the welfare of human life or provides benefits
to the community. So it can be said that the law is as a field and human
struggle in the context of the search for happiness in life.15

D. Research
Methods Method in the general sense means a logical and systematic
study of principles that defeat research. Methodology also means a
scientific way to search for truth.16
1. Type of Research
In this paper the author bases the merging of the concept of the
second law in which the law is positive norms in the national legal system
and the fifth concept is the law is a manifestation of symbolic meanings on

13
Yesmil Anwar, Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelsanaanya Dalam
Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, Page. 37
14
Achmad Ali. “Kepurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya”, GhaliaIndonesia.
Jakarta. 2002, Page.2.
15
Sabian Usnian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009, Page 1
16
Setiono, “Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum”, Fakultss Hukum Program
Pasca Sarjana UNS, Surakarta, 2005. Page. 3

xxvii
social behavior as visible interactions between them. This study uses a
research method with empirical juridical research approach that is
directed to obtain secondary data and primary data sourced from library
materials as well as from the implementation of legislation.
2. Research Locations
This research was conducted at the National Narcotics Agency,
Klaten Regional Police, Boyolali Regional Police, Surakarta City Police,
Karanganyar District Court.
3. Determination of Informants
Informants in this study later include:
a. Judge
b. Kasat Reskrim who handles cases of narcotic crime by children
4. Types and Sources of Data
In this study the authors use the type of data consisting of:
a. Primary data is data obtained directly from the field.17This data was
obtained by observing the object of this study in the field in the form of
interviews with respondents.
b. Secondary data, is data obtained from indirect sources.18 Various laws
and regulations as well as literature books and all these components
are certainly relevant literature with the theme in this study.
Sources of data that will be used in this study consist of:
a. Primary data sources
Interviews were conducted with informants who have been
determined previously, who are considered to understand the problems
that the authors examined.
b. Secondary data sources Data
sources that indirectly provide information that is supportive of
primary data sources obtained from the library.
5. Data Collection Techniques Data
collection techniques used are:
a. Primary Data Primary
data obtained through interviews or interviews, interview
techniques are carried out freely using an interview guide. This
technique is done in order to obtain supporting data about the themes
taken by the author.
b. Secondary Data Secondary
data were obtained by using library studies, internet searches,
newspaper clippings and documentation studies of important
documents from the institutions studied as well as tracking regulations
related to narcotics crime by children.
6. Data Analysis Techniques
In a study, data analysis is the most important stage because of
data analysis by determining the quality of research results. The purpose
17
S. Nasution, “Metode Research (Peneliaan Ilmiah)”, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, Hal. 143.
18
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat)”,Raja Grafindo, Jakarta, 2006, Page. 12

xxviii
of data analysis in research is to convey and limit the data so that it
becomes well-organized data. Based on the type of research and the type
of data available in this study, then the right data analysis technique can
be determined. Analysis of the data used in this study is qualitative data
analysis that is collecting data, classifying it then connecting with
significant theories with problems, then concluded in order to find the
results.

E. Discussion
1) of Law Number 35 Year 2009 concerning Narcotics, generally explains
criminal sanctions for narcotics brokers but does not specifically
regulate criminal sanctions for children who become narcotics couriers.
However, basically narcotics traffickers involving children as narcotics
couriers remain charged with articles as regulated in the Narcotics Act
but without prejudice to the specific provisions stipulated in Law Number
11 of 2012 concerning the Child Criminal Justice System. can be carried
out for crimes where the threat of imprisonment is under 7 (seven) years.
The diversion process should not be confined to the limits of the threat of
imprisonment under 7 (seven) years. Because in principle in accordance
with the principles of International Law, where diversion must prioritize
the best interests of children for the achievement of Restorative Justice
for children. Handling of narcotics crime at the investigation level is
attempted to be carried out research in the jurisdiction where narcotics
criminal cases are committed by child. According to the SPPA Law, what
is included in the definition of a child is a minor as a child who is 12
years old but not yet 18 years old. Therefore, if they are named suspects
and examined at the level of investigation by investigators, the principles
in the criminal procedure code as regulated in the Criminal Procedure
Code, the SPPA Act, the Child Protection Act are obliged to be obeyed
by investigators solely in the best interests of the child. Handling of Child
Crimes at the Prosecution Level, the scope of the prosecution includes
the pre-prosecution stage which includes the activities of: Receiving
Notification of Commencement of Investigation (SPDP); After receiving
the SPDP, a Warrant for Public Prosecutor is appointed to follow the
progress of the case investigation (P-16); In order for the Public
Prosecutor who has been appointed to pay attention to the age of the
suspect and ensure the interests of the investigator by looking for
authentic evidence such as birth certificates or birth certificates, data in
schools, villages and others; Report hierarchically about the identity of
the suspect, position cases, provisions violated and other matters deemed
necessary; Actively follow every development of investigations and
intensify coordination with both investigators and related stakeholders in
order to realize cohesiveness in efforts to resolve cases dealing with
children in conflict with the law. Handling of Child Crimes at the Court
Level, juvenile justice is held with the aim to re-educate and improve the
attitudes and behavior of children so that he can leave the bad behavior

xxix
he has been doing. Restorative Justice Mechanism Outside the Court
Mechanism Through Diversion. Diversity aims: achieving peace between
victims and children; resolve cases of Children outside the judicial
process; prevent Children from deprivation of independence; encourage
the community to participate; and instill a sense of responsibility to the
child. The mechanism for implementing Restorative Justice in the courts
continues to begin with the Diversi effort, which can be carried out in the
mediation room of the district court. Then when the diversion fails to
reach an agreement, the case continues to the trial stage. The
2) handling of cases of children as narcotics offenders in Indonesia is
currently ineffective. Efforts to provide legal protection against children
as perpetrators of narcotics abuse, Law Number 35 Year 2009
concerning Narcotics explain in general about criminal sanctions for
narcotics intermediaries (couriers) but does not specifically regulate
criminal sanctions for children who become narcotics couriers.
However, basically narcotics traffickers involving children as narcotics
couriers remain charged with articles as regulated in the narcotics law
but without prejudice to the specific provisions stipulated in Law Number
11 of 2012 concerning the Child Criminal Justice System and the Law
Law Number 35 Year 2014 concerning Child Protection (Amendment to
Law Number 23 Year 2002 concerning Child Protection). The handling
of children in narcotics crimes has not been effective, including the
substance of the rules which are still disharmony between sanctions
given in Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics with Law Number
11 Year 2012 concerning the Criminal Justice System for Children
through the application of diversion. From the legal structure of law
enforcers, they still lack understanding with the concept of diversion and
restorative justice. In addition, in carrying out their duties, law
enforcement officials are very vulnerable to abuse of authority in
providing legal protection for minors so that discrimination against
children is not uncommon in carrying out legal processes, factors the
community in this case is still lack of public understanding of the dangers
and negative effects of sustainable use of narcotics. The community
should also be more concerned about the surrounding environment as an
effort to prevent the circulation of narcotics around the neighborhood.
Cultural factors in this case are still strong community stigma against
victims. The victim has been deemed or "labeled" as bad by the
community, that the child is not good and the stigma makes the child
repeat the crime. Indonesian criminal law policy in the application of
sanctions against children of narcotics crimes as an effort to tackle
narcotics crime is that the child of a narcotics crime ( ABH) strived as
much as possible not to carry out criminal offenses / prisons because
children in prison are not a solution for the development and growth of
children. Law enforcers must be able to assess the children of narcotics
offenders, whether addicted, carrying, possessing, controlling, and
consuming for themselves are tend to be victims. From the substitution of

xxx
the law there is also still a weak regulation regarding the types of
narcotics regulated in Law Number 35 Year 2009 concerning Narcotics.
The emergence of new types of narcotics that have not been regulated in
Law Number 35 Year 2009 makes it difficult for law enforcement officials
to proceed further. Components legal culture (legal culture, social media
(medsos) can also affect teenagers to take drugs so that the necessary
patrol in medsos if there are portals that contain forbidden things such
as drug trafficking and the need for supervision and cooperation with the
Ministry of Communication.
3) The model of restorative justice ideal in efforts to handle cases of
children as narcotics offenders based on justice values.The "consensus"
restorative justice model is a model for resolving disputes outside the
court, this model in achieving justice prioritizes a consensus approach so
that it is expected to be able to solve the problem of children as
perpetrators of crime narcotics which places children as victims and
prioritizes children in the future This healing process becomes important
as a harm reduction effort Restorative juctice model by placing children
as perpetrators of narcotics crime in rehabilitation places for child-
specific narcotics as an effort decriminalization of children who commit
narcotics crime that prioritizes the future of children and places children
as victims of adults who use children to use or distribute narcotics. So
that efforts need to be renewed against Law Number 35 of 2009 related
to sanctions for children who commit narcotics crimes by eliminating
sanctions imprisonment half of adult sentences. Legal protection
according to Law Number 35 of 2014 concerning child protection, which
is meant by protection. children are all activities to guarantee and
protect children and their rights so that they can live, grow, develop and
participate optimally in accordance with human dignity and dignity, and
receive protection from violence and discrimination. Legal protection
that is applied to children who become narcotics couriers include the
avoidance of arrest, detention or imprisonment; Providing justice before
the juvenile court which is objective, impartial and in a hearing that is
closed to the public; Avoidance of publication of his identity; Providing
assistance of Parents / Guardians and people trusted by children; and
Provision of social advocacy. The restorative justice model in handling
children of narcotics offenders needs the harmonization of the substance
of the rules on Narcotics and regulations in the juvenile justice system in
the application of sanctions against children of narcotics offenders who
apply a diversion system. Need to build rehabilitation places that
specifically deal with child offenders of narcotics crime. Restorative
Justice as a goal in implementing Diversion in the juvenile justice system
of the judicial process so as to avoid stigma against children who are in
conflict with the law and the child can return to his social environment
properly. Regulations regarding the handling of child offenders in
Indonesia are still not optimal. Especially the rules for rehabilitation for
child addicts because for children are still mixed with adult efforts in the

xxxi
future so that rehabilitation together with the whole family, because not
only about the narcotics, but there may be errors in parenting patterns of
parenting. In addition, the effort to reform the Law on the Juvenile
Justice System is the need to remove the provisions of article 7
paragraph (2) of Law Number 11 of 2012 concerning the Criminal
Justice System for Children. The diversion should be obliged not only for
criminal threats under 7 (seven) years but also above 7 (seven) years
without distinction. The severity or severity of the criminal offenses
committed as law enforcement considerations for diversion should be
based on expediency and not be limited by UUSPPA.

F. The Conclusion
1. handling of narcotics criminal offenses at the investigation level is
attempted to be carried out research in the jurisdiction where a narcotics
criminal offense is committed by a child. According to the SPPA Law,
what is included in the definition of a child is a minor as a child who is 12
years old but not yet 18 years old. Therefore, if they are named suspects
and examined at the level of investigation by investigators, the principles
in the criminal procedure code as regulated in the Criminal Procedure
Code, the SPPA Act, the Child Protection Act are obliged to be obeyed by
investigators solely in the best interests of the child. Handling of Child
Crimes at the Prosecution Level, the scope of the prosecution includes the
pre-prosecution stage which includes the activities of: Receiving
Notification of Commencement of Investigation (SPDP); After receiving
the SPDP, a Warrant for Public Prosecutor is appointed to follow the
progress of the case investigation (P-16); In order for the Public
Prosecutor who has been appointed to pay attention to the age of the
suspect and ensure the interests of the investigator by looking for authentic
evidence such as birth certificates or birth certificates, data in schools,
villages and others; Report hierarchically about the identity of the suspect,
position cases, provisions violated and other matters deemed necessary;
Actively follow every development of investigations and intensify
coordination with both investigators and related stakeholders in order to
realize cohesiveness in efforts to resolve cases dealing with children in
conflict with the law. Handling of Child Crimes at the Court Level,
juvenile justice is held with the aim to re-educate and improve the attitudes
and behavior of children so that he can leave the bad behavior he has been
doing.
2. The handling of cases of children as narcotics offenders in Indonesia is
currently ineffective. Efforts to provide legal protection to children as
narcotics abuse offenders, Law Number 35 Year 2009 concerning
Narcotics explains in general about criminal sanctions for narcotics
brokers but does not specifically regulate criminal sanctions for children
who become narcotics couriers. The handling of children in narcotics
crimes has not been effective, including the substance of the rules which
still harmonize between sanctions given in Law Number 35 Year 2009

xxxii
concerning Narcotics and Law Number 11 Year 2012 concerning the
Juvenile Justice System through the application of diversion. From the
legal structure of law enforcement, they still lack understanding with the
concept of diversion and restorative justice. In addition, in carrying out
their duties, law enforcement officials are very vulnerable to abuse of
authority in providing legal protection for minors so that discrimination
against children is not uncommon in carrying out legal processes,
community factors in this case are still a lack of public understanding of
the dangers and negative impacts of sustainable use of narcotics. The
community should also be more concerned about the surrounding
environment as an effort to prevent the circulation of narcotics around the
neighborhood. Cultural factors in this case are still strong community
stigma against victims. The victim has been deemed or "labeled" as bad by
the community, that the child is not good and the stigma makes the child
repeat the crime. Indonesian criminal law policy in the application of
sanctions actions against child narcotics offenders as an effort to tackle
narcotics crime is that the child of a narcotics crime (ABH) strived as
much as possible not to carry out corporal / prison crimes because
children in prisons are not a solution for the development and growth of
children. Law enforcers must be able to assess children of narcotic
offenders, whether addicted, carrying, possessing, controlling, and
consuming for themselves is likely to be a victim. From the substitution of
the law there is also still a weak regulation regarding the types of
narcotics regulated in Law Number 35 Year 2009 concerning Narcotics.
The emergence of new types of narcotics that have not been regulated in
Law Number 35 Year 2009 makes it difficult for law enforcement officials
to proceed further. Components legal culture (legal culture, social media
(medsos) can also affect teenagers to take drugs so that the necessary
patrol in medsos if there are portals that contain forbidden things such as
drug trafficking and the need for supervision and cooperation with the
Ministry of Communication.
3. The model of restorative justice ideal in efforts to handle cases of children
as perpetrators of narcotics crime based on justice value. It is necessary to
renew efforts to Law Number 35 Year 2009 related to sanctions for
children who commit narcotic crimes by abolishing sanctions of
imprisonment and half of adult sentences. rehabilitation places that
specifically deal with child offenders of narcotics crime Restorative Justice
as a goal in implementing Diversion in the Child Criminal Justice System
from the judicial process so as to avoid stigma against children who are in
conflict with the law and the child can return to his social environment
naturally. Regulations regarding the handling of child offenders in
Indonesia are still not optimal. Especially the rules for rehabilitation for
child addicts because for children are still mixed with adult efforts in the
future so that rehabilitation together with the whole family, because not
only about the narcotics, but there may be errors in parenting patterns of
parenting. In addition, the effort to reform the Law on the Juvenile Justice

xxxiii
System is the need to remove the provisions of article 7 paragraph (2) of
Law Number 11 of 2012 concerning the Criminal Justice System for
Children. The diversion should be obliged not only for criminal threats
under 7 (seven) years but also above 7 (seven) years without distinction.
The severity or severity of the criminal offenses committed as law
enforcement considerations for diversion should be based on expediency
and not be limited by UUSPPA.

G. Implications
The results of the analysis and conclusions of this study is to prove
that the model retorative justice in the case of a child as a criminal
narcotics based on values of justice implications, among others:
a) Further enhance the role of law enforcement primary
investigator in exercising the authorities discretion so that a
case child offender narcotics does not end up in court with a
conviction for children but places children of narcotics
offenders in rehabilitation.
a) For children who commit narcotic crimes so that their rights
are protected and children get rehabilitation treatment, it is
hoped that they will not repeat their actions and can continue
the child's future and return to the community.
b) For the public to be more aware of the circulation of narcotics
against children by the perpetrators using children as narcotics
dealers.

H. Recommendations
1) In order to implement the diversion process, social sanctions should be
avoided which are too burdensome for children as ostracized by the local
community and expulsion from their homes.
2) Revise Law Number 11 Year 2012 concerning the Child Criminal Justice
System and Implementing Regulation Number 65 Year 2015 concerning
Guidelines for the Implementation of Diversity and Handling of Children
Not Aged 12 (twelve) years related to child offenders of narcotics
criminal acts can be diversified by setting aside limits criminal threats
that can be diversified and put forward the concept of rehabilitation of
children of narcotics offenders.
3) The need for a revision of the Narcotics Law provisions concerning
rehabilitation of children who use narcotics and drugs new types of
drugs that have not been included in Law Number 35 Year 1999.
4) The need for a curriculum of the dangers of drug use in schools starting
from PAUD.
5) Parents to educate their children against the dangers of drugs, so they do
not become a market regeneration for Narcotics Bandar.
6) Need to build special rehabilitation places for children who commit
narcotics crime with a guidance system also against parents in childcare
patterns.

xxxiv

Anda mungkin juga menyukai