Anda di halaman 1dari 89

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN

NOMOR:37/PID.SUS.TPK/2014/PN.Amb.
YANG MEMBEBASKAN TERDAKWA TINDAK
PIDANA KORUPSI.

OLEH

NAMA : FITRIA WALLY


NIM : 201621254

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PATTIMURA


AMBON
TAHUN 2020
i

LEMBARAN PENGESAHAN

JUDUL

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN


NOMOR:37/PID.SUS.TPK/2014/PN.Amb.
YANG MEMBEBASKAN TERDAKWA TINDAK PIDANA
KORUPSI.

Oleh:

Nama: FITRIA WALLY


NIM: 201621254

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ilmu Hukum

Ambon,
Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Juanrico. A. S. Titahelu, S.H., M.H . Erwin Ubwarin, SH., M.H.


NIP: 198011232008011002 NIP: 198710262014041002

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pattimura,

Dr. Elsa Rina Maya Toule, S.H., M.S.


NIP: 196503041995122001

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura,

Dr. R. J. Akyuwen, S.H., M.Hum.


NIP: 196503151990021001
ii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fitria Wally

NIM : 201621254

Judul Skripsi : Analisis Yuridis Putusan Nomor:37/Pid.Sus.Tpk/PN.Amb Yang

Membebaskan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi.

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan bukan

merupakan plagiat dan setiap sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah

penulisan karya ilmiah. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini adalah

plagiat, saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai ketentuan yang berlaku di

Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

Ambon,

Yang menyatakan,

Materai Rp 6.000

Fitria Wally
201621254
iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang

Maha Esa, atas limpahan berkat dan rahmat serta hidayah-Nyalah hingga penulis

dapat menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura melalui

penulisan skripsi dengan judul (ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN

NOMOR:37/PID.SUS.TPK/2014/PN.Amb. YANG MEMBEBASKAN

TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS).

Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidak terlepas dari

keterbatasan, kekeliruan, dan kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif serta saran dari semua

pihak guna melengkapi penulisan ini kepada ke depan dan dapat berguna bagi

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan hukum pidana korupsi.

Penulis juga menyadari sungguh bahwa dalam proses penyelesian skripsi

ini, tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak.

Dengan segala kerendahan hati secara khusus penulis persembahkan pula ucapan

terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Prof. Dr. M. J. Saptenno, SH,. M.Hum selaku rector Universitas Pattimura

yang mana telah mengijinkan penulis untuk melakukan perkuliahan pada

Universitas Pattimura selain itu juga telah memberikan ilmu kepada penulis

selama menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

2. Dr. R. J. Akyuwen, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Pattimura yang mana telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama

menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.


iv

3. Dr. Merry Tjoanda, SH., MH selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Pattimura, yang selama ini telah memotivasi penulis dalam

proses perkuliahan sampai pada penyelesaian skripsi ini.

4. Dr. A. I. Laturette, SH., MH, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Pattimura, yang selama ini telah memotivasi penulis dalam

proses perkuliahan sampai pada penyelesaian skripsi ini.

5. Dr. S. S. Alfons, SH.,MH, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Pattimura yang selama ini telah memberikan dukungan pada

penulis selama menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

6. Dr. Arman Anwar, SH.,MH, selaku Wakil Dekan IV Fakultas Hukum

Universitas Pattimura yang mana telah memberikan banyak masukan kepada

penulis selama menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

7. Dr. E. R. M. Toule, SH., MS, selaku ketua program studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang mana telah memberikan banyak

masukan kepada penulis selama menuntut ilmu pada Fakultas Hukum

Universitas Pattimura.

8. Dr. J. A. S. Titahelu, SH., MH, selaku pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktu, ditengah kesibukannya untuk membimbing dan

memberikan motivasi serta mengarahkan penulis dalam menyusun skrisi ini.

9. Bapak E. Ubwarin, SH., MH, selaku pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu, ditengah kesibukannya untuk membimbing dan

memberikan motivasi serta mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi

ini.
v

10. Dr. Hendry J. Piries, SH., MH selaku Mentor yang selalu memberikan

nasihat, arahan, dan perhatian terkait studi terutama masalah indeks prestasi

penulis sejak semester awal hingga semester akhir.

11. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura terkhusus

Dosen Bagian Hukum Pidana; Bapak Dr. J. D. Pasalbessy, SH., M.Hum, Ibu

Dr. D. Hehanussa, SH., M.Hum, Ibu Dr. Hadibah Zachra Wadjo, SH., MH,

Ibu Dr. Margie Gladies Sopacua, SH., MH, Bapak Dr. Julianus E.

Latupeirissa, SH., MH, Bapak Dr. Reimon Supusepa, SH., MH, Ibu Dr.

Sherly Adam, SH., MH, Ibu L. Lokollo, SH., MH, Bapak Elias Z. Leasa,

SH.,MH, Bapak Jacob Hattu, SH., MH, Bapak Iqbal Taufik., SH., MH,

Bapak Denny Latumaerissa, SH., MH, Ibu Jetty M. Patty, SH., MH, Bapak

S. Makaruku., SH., MH, Ibu C. Tuhumury, S.Th., SH., MH, Ibu Juddy M.

Saimima., SH., MH, Ibu Yonna B. Salamor, SH., MH serta Bpk/ibu Dosen

lainnya yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu demi satu, atas

ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama ini.

12. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang telah

banyak membantu dan memberikan ilmu hukum kepada penulis mulai dari

pertama penulis melakukan perkuliahan pada Fakultas Hukum tercinta ini

dan sampai pada penyusunan skripsi ini.

13. Pegawai Fakultas Hukum Universitas Pattimura yang tidak sempat penulis

sebutkan satu demi satu, yang mana telah banyak membantu penulis dalam

berbagai urusan administrasi selama penulis menimba ilmu pada Fakultas

Hukum tercinta ini.


vi

14. Kepada kedua orang tuaku tercinta (Alm) Bapak Hasan Wally dan Mama

Murida Wali yang telah memberikan kasih sayang, bimbingan, nasehat,

semangat, dorongan dan motivasi. Terima kasih atas do’a yang tak henti-

hentinya mengiringi langkah penulis dalam menuntut ilmu, sampai pada

penulisan skripsi ini.

15. Saudara/saudariku tercinta kakak Wa Ona Waly, Wa Ola Waly, Arman Waly,

Tomas Waly dan Wa Jumi Waly, yang tidak pernah bosan memberi

dorongan, semangat, serta masukan bagi penulis selama menjalani studi

hingga menyelesaikan penulisan ini.

16. Keluarga besar Waly, dimana saja berada terima kasih atas dukungan selama

ini kepada penulis.

17. Sahabat-sahabatku yang selalu ada dalam suka maupun duka. Mariam Soel,

Masriani Gainau, Julia Abrahamsz, Emma Tatipatta, Maryana Luturmas,

Meirinda, Agit dan teman-teman kelas E Angkatan 2016 serta teman-teman

yang tidak sempat penulis sebutkan satu-persatu, yang selama ini

mendampingi penulis, terima kasih atas kebersamaanya semoga Allah SWT

memberkati dan menyertai langkah juang kita dalam meraih masa depan

yang baik.

Hanya ucapan terima kasih sajalah yang dapat penulis ucapkan untuk

membalas kebaikan, bantuan, dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang

telah secara tulus dicurahkan kepada penulis, semoga Allah SWT membalas

kebaikan kita semua, dan semoga karya yang sederhana ini dapat membawa

manfaat yang besar bagi kita semua. Amin.


vii

Ambon, 17 Februari 2020

FITRIA WALLY
NIM 2016-21-254
viii

Abstrak

FITRIA WALLY, NIM. 201621254. ANALISIS YURIDIS TERHADAP


PUTUSAN NOMOR:37/PID.SUS.TPK/2014/PN.Amb. YANG
MEMBEBASKAN TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI. Fakultas
Hukum Universitas Pattimura. Dibimbing oleh Pembimbing I Dr. J. A. S. Titahelu,
SH., MH dan Pembimbing II E. Ubwarin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim


Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Ambon dalam menjatuhjan putusan
bebas terhadap Terdakwa Mahmud M. Tamher dalam tindak pidana korupsi yang
tertuang di dalam putusan Nomor:37/Pid.Sus.Tpk/2014/PN.Amb yang dijatuhkan
oleh Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Ambon.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat deskriptif
dengan menggunakan jenis data primer dan sekunder. Dalam penelitian ini
pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan kasus, prosedur
pengumpulan bahan hukum yaitu melalui penelitian kepustakaan, yaitu
pengumpulan data yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan
dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam menjatuhkan
putusan bebas terhadap Terdakwa Mahmud M. Tamher dalam tindak pidana
korupsi, Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Ambon memiliki dasar
pertimbangan bahwa unsur-unsur perbuatan yang di dakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum dalam dakwaan primair tidak terpenuhi, sedangkan unsur-unsur
dalam dakwaan subsidair sudah terpenuhi tetapi perbuatan tersebut tidak dapat
dipidana.

Kata kunci : Korupsi, Putusan Bebas, Tindak Pidana Korupsi.


ix

Daftar Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 dan Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4150)


x

Daftar Putusan

Putusan Nomor: 37/Pid.Sus.Tpk/2014/PN.Amb


xi

DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN SKRIPSI.............................................................i

LEMBARAN KEASLIAN NASKAH..................................................................ii

UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………iii

ABSTRAK............................................................................................................viii

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN....................................ix

DAFTAR PUTUSAN............................................................................................x

DAFTAR ISI.........................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................8

C. Tujuan Penulisan...........................................................................9

D. Kegunaan Penulisan......................................................................9

E. Konsep Teori.................................................................................9

F. Metode Penelitian.........................................................................10

1. Tipe Penelitian.........................................................................10

2. Pendekatan Masalah................................................................11

3. Bahan Hukum.........................................................................11

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum...................................12

5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum..................................12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................13

A. Alat Bukti dan Teori Pembuktian..................................................13

B. Kebebasan Hakim Dalam Mengadili............................................28


xii

C. Sisem Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi.......................34

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................39

A. Kasus Posisi..................................................................................39

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor:37/Pid.Sus.Tpk/

2014/ PN.Amb..............................................................................40

C. Analisis Pertimbangan Hakim......................................................45

BAB IV PENUTUP...........................................................................................73

A. Kesimpulan...................................................................................73

B. Saran..............................................................................................74

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................75
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan, baik di media

cetak, elektronik maupun dalam seminar-seminar, lokakarya, diskusi, dan

sebagainya. Korupsi telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia,

karena telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan

secara sistematis, sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan

bangsa Indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional.1

Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha pemberantasan tindak

pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Peraturan

perundang-undangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali

perubahan, sejak diberlakukannya Peraturan Penguasa Militer Nomor:

PRT/PM/011/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, kemudian diganti dengan

Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor:

PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Penguasa Penuntutan, dan Pemeriksaan

Perbuatan Korupsi, Pidana dan Pemilikan Harta Benda dan kemudian

dikeluarkan lagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor: 24

Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana

Korupsi yang menjadi Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya juga mengalami


1
Chaerudin dkk, Strategi Pencegahan & penegakan Tindak Pidana Korupsi, Bandung ,
PT Refika Aditama 2008, hal. 1.
2

perubahan atau diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pada akhirnya juga

mengalami perubahan sampai saat ini dengan dikeluarkannya Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Akan tetapi semua itu belum dapat menjawab akan kebutuhan terhadap

penegakan hukum dalam Tindak Pidana Korupsi maka pemerintah juga

mengeluarkan Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999

juncto Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang pada dasarnya menyatakan bahwa Tindak Pidana

Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena itu

perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa (extra judicial

action). Perlakuan dan penanganan hukumnya pun harus dengan tindakan

yang tegas dan berani dari para aparatur penegak hukumnya.2

Gencarnya agenda pemberantasan korupsi, kita dihadapkan pada

penegakan hukum dalam kasus korupsi ini yang cukup paradoksal dan masih
2
http://umarsholahudin.com/eksaminasi-publik-terhadap-putusan-pengadilan-kasus-
tindak-pidanakorupsi-dalam-perpesktif-hukum-progresif/diakses pada 10 November 2019|10:12
WIT
3

jauh dari rasa keadilan masyarakat. Salah satunya adalah semakin

menggejalanya vonis hakim pengadilan negeri yang menjatuhkan vonis

ringan, bahkan sampai ada beberapa vonis bebas terhadap terdakwa kasus

korupsi.

Salah satu lembaga yang menjadi tumpuan harapan untuk mencari

keadilan ialah pengadilan. Dalam suatu pengadilan hakim memiliki peranan

yang paling penting karena hakimlah yang berhak memutus perkara. Hakim

dalam memutus suatu perkara juga harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip

peradilan yang bebas dan tidak memihak yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor: 48 Tahun 2009: “Kekuasaan kehakiman

adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia”.

Sebagai salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim diberi wewenang

oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara

pidana. Oleh karena itu, hakim dalam menangani suatu perkara harus berbuat

adil. Sehingga, dalam memberikan keputusan kemungkinan dipengaruhi oleh

hal yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruh agama, kebudayaan,

pendidikan, nilai, norma dan sebagainya sehingga mempengaruhi

pertimbangan dalam memberikan putusan3.

Menyangkut tindak pidana korupsi maka menurut Van Hattum bahwa

tindak pidana korupsi adalah suatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari
3
Oemar Seno Aji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta, Bumi Aksara, 1984, hal. 12.
4

orang yang telah melakukan tindak tersebut.4

Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni

corruption atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin

dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam bahasa Prancis

menjadi corruption dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah corupptie

(korruptie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam

bahasa Indonesia.5 Corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam

bahasa Belanda itu mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.6

Pemberantasan Korupsi seolah-olah jalan ditempat, tidak sesuai dengan

harapan masyarakat. Menyangkut tindak pidana korupsi maka menurut atau

pendapat beberapa para pakar, antara lain sebagai berikut :

a. Teten Masduki, Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption

Watch, berpendapat bahwa korupsi hanya dapat di berantas kalau

sebagian besar masyarakat dilibatkan. Artinya, masyarakat

mempunyai akses untuk mendapatkam informasi dan mengadukan

pejabat negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Negara melindungi masyarakat yang melaporkan.7

b. Selo Sumarjan berpendapat bahwa korupsi itu ibarat pelacuran,

bagaimana dapat diberantas kalau mereka ikut menikmati.

c. Daniel Lev, ahli politik dari Amerika Serikat, berpendapat bahwa

4
P. A. F. Laminantang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1990, hal. 4.
5
Andi Hamzah (i), Korupsi di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 7.
6
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1999, hal.
128.
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi : Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta,
7

Djambatan, 2009, hal. 6.


5

pemberantasan korupsi yang sudah berakar sejak demokrasi

terpimpin, tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya reformasi

Institusional lebih dahulu. Penggantian Pemerintahan tidak akan

banyak bermanfaat jika konstitusi pemerintah yang ada masih seperti

yang lama.8

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka fakta menunjukan

bahwa putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi ternyata bahwa dari

pelaku pidana korupsi dapat dibebaskan antara lain karena :

1. Surat Dakwaan salah

2. Tidak terbukti melakukan korupsi

3.Penafsiran Penuntut Umum yang berbeda dengan penafsiran

pengadilan mengenai suatu unsur.

Melihat hal demikian maka menurut Evi Hartanti menyatakan bahwa

penanganan tindak korupsi membutuhkan suatu ketelitian dan kecermatan dari

penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan,9 karena korupsi

mengandung ciri-ciri sebagai berikut :

1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

2. Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan, kecuali dimana ia

telah begitu merajalela dan berurat akar sehingga individu yang

berkuasa atau mereka berada dalam lingkungannya tidak tergoda

untuk menyembunyikan mereka;

3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik,

8
Ibid.
9
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika 2005, hal. 18.
6

yang tidak senantiasa berupa uang;

4. Koruptor berusaha menyelubungi perbuatan mereka dengan

berlindung di balik pembenaran hukum;

5. Mereka yang terlibat dalam korupsi menginginkan berbagai keputusan

tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan itu;

6. Korupsi mengandung penipuan pada badan publik atau masyarakat

umum;

7. Korupsi adalah salah satu bentuk pengkhianatan;

8. Setiap perilaku korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontrafesi dari

mereka yang melakukan tindakan itu;

9. Korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban

dalam tatanan masyarakat. Ia didasarkan atas niat kesengajaan untuk

menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan khusus.10

Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang

membebaskan terdakwa Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya bukanlah

peristiwa , kejadian atau barang baru, melainkan sudah sering terjadi di masa-

masa lalu, baik sebelum maupun sesudah terbentuknya KPK dan Peradilan

Tindak Pidana Korupsi. Sebagai contoh, kasus korupsi wali kota Tual non-

aktif yang divonis bebas, adalah terdakwa kasus Tindak Pidana Korupsi dalam

kasus korupsi dana asuransi anggota DPRD Maluku.

Wali Kota Tual Maluku, MMT, dan wakilnya, Adam Rahayaan,

menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Ambon, Senin (8/12/2014). Mahmud dan Adam duduk di kursi pesakitan atas
10
Ibid. hal. 19.
7

dakwaan korupsi dana asuransi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Maluku Tenggara periode 1999-2004.

Saat itu, MMT menjabat sebagai Ketua DPRD Maluku Tenggara,

sedangkan AR menjabat Wakil Ketua DPRD. Kasus korupsi yang menjerat

kedua pejabat ini mencuat setelah Inspektorat Kementrian Dalam Negeri

menyurati Kejati Maluku berdasarkan temuan hasil audit BPK yang

menemukan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.

Sidang perdana dengan agenda mendengarkan pembacaan berkas oleh

Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kedua terdakwa dipimpin ketua majelis

hakim Mustari didampingi hakim anggota Abadi serta Ahmad Buchori.

Dalam dakwaannya, JPU menerangkan, pada tahun anggaran 2002,

DPRD Maluku Tenggara menganggarkan dana sebesar Rp1,410 miliar untuk

asuransi bagi 35 anggota Dewan periode periode 1999-2004.

Kemudian, DPRD kembali mengganggarkan dana sebesar Rp 375 juta

pada tahun 2003 yang juga untuk biaya asuransi bagi 35 anggota Dewan.

Namun anggaran tersebut ternyata digunakan untuk kepentingan pribadi.

Dalam dakwaan tersebut, JPU menjerat terdakwa dengan dakwaan

primer Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat

(1) KUH Pidana sebagai dakwaan primair.


8

Jaksa juga menjerat terdakwa dengan dakwaan subsider, yakni

melanggar Pasal 3 junto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi junto Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 junto Pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman

hukuman penjara maksimal 20 tahun atau seumur hidup.

Setelah mendengarkan dakwaan JPU, Majelis hakim kemudian menunda

persidangan hingga Rabu, (19/12) dengan agenda pemeriksaan saksi. Dari 35

anggota DPRD Maluku Tenggara periode 1999-2004 yang dijadikan tersangka

dalam kasus tersebut, belasan telah divonis penjara dan sisanya masih

menjalani proses persidangan.11

Berdasarkan apa yang diuraikan diatas maka yang menjadi judul dalam

penelitian ini adalah Analisis yuridis terhadap Putusan Nomor

37/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Amb yang membebaskan terdakwa tindak pidana

korupsi.

B. Permasalahan

Beranjak dari apa yang diuraikan pada latar belakang diatas maka yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ”Apa dasar pertimbangan

hakim membebaskan terdakwa tindak pidana korupsi?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian skripsi ini yaitu :

11
https://money.kompas.com/read/2014/12/08/16384451/
Terkait.Korupsi.Wali.Kota.Tual.Jalani.Sidang.Perdana/diakses pada 1 Februari 2020, 12.58 WIT
9

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim membebaskan terdakwa

tindak pidana korupsi.

2. Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Fakultas

Hukum Universitas Pattimura.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini diantaranya adalah :

1. Untuk menganalisis dan membahas dasar pertimbangan hakim

membebaskan terdakwa tindak pidana korupsi.

2. Sebagai suatu sumbangan pemikiran bagi praktisi hukum serta aparat

penegak hukum terutama polisi, jaksa dan hakim dalam undang-undang

tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas I A Ambon vonis

pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Teoritis

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai

kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah,

khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teori Pembuktian

Proses pembuktian ada empat system pembuktian yaitu sebagi berikut:

a. Pembuktian berdasarkan keyakinan belaka ( conviction in time)

Bersalah atau tidaknya terdakwa menurut teori pembuktian ini semata-

mata ditentukan oleh keyakinan hakim. Keyakinan tersebut diambil

dan disimpulkan oleh hakim berdasarkan pada alat-alat bukti yang


10

diberikan di persidangan atau hanya dengan mendengarkan keterangan

terdakwa.

b. Pembuktian menurut keyakinan hakim atas alasan yang logis

(conviction raisonee). Keyakinan dalam teori pembuktian ini

memegang perann penting dalam menentukan salah tidaknya

terdakwa , namun keyakinan hakim tersebut harus berdasarkan pada

alsan-alasan yang dapat diterima akal dan logis .

c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk)

teori pembuktian ini berpedoman pada perinsip pembuktian dengan

alat – alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, yang artinya

adaah untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidaknya dengan

melihat pada alat-alat bukti yang sah yang telah ditentukan dalam

undang-undang.

d. Pembuktian menurut undang-undang secar negatif (negatief wettelijk)

Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan

gabunga dan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif

dengan teori pembuktian dengan keyakin belaka.12

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum

12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 247-253.
11

guna menjawab isu hukum yang dihadapi.13

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan penelitian bertujuan agar peneliti mendapat informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabannya.14

Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan

kasus (case approach). Dengan menggunkan pendekatan kasus, yang perlu

dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum

yang dugunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.15

3. Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan tiga sumber bahan hukum, yaitu sumber bahan

hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum

tersier.

Sumber bahan hukum yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut :

a) Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Dasar tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi perubahan atas Undang-Undang Nomor

31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2005, hal. 35.
14
Ibid. hal. 93.
15
Ibid. hal. 158.
12

4) Putusan Pengadilan Nomor 37/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Amb

b) Bahan Hukum Sekunder

Kamus, biografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, hasil-hasil

penelitian para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan

yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Cara yang dilakukan untuk pengumpulan data pada penulisan penelitian ini

yaitu melalui penelitian kepustakaan. Untuk mendukung memperoleh data

secara teoritis penulis mengumpulkan bahan dan literature yang berkaitan

dengan judul skripsi yang diajukan. Dalam penelitian kepustakaan ini

penulis memperoleh bahan-bahan dari :

a) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

b) Pengadilan Negeri Tipikor Ambon.

c) Buku-buku serta bahan kuliah yang dimiliki penulis.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Berkaitan dengan melakukan analisa ini, penulis menggunakan metode

analisa deskriptif kualitatif, yaitu uraian yang penulis lakukan terhadap

data yang terkumpul tidak menggunakan angka dan tidak mengadakan

pengukuran, sehingga data yang diperoleh adalah data yang bersifat

deskriptif.
13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Alat Bukti dan Teori Pembuktian

1. Alat bukti

Mengenai alat-alat bukti yang sah telah dirumuskan dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu terdapat 5

(lima) alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 184 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tetang KUHAP. Jika dibandingkan dengan

hukum acara pidana yang terdahulu yakni HIR (Stb. 1941 Nomor 44),

ketentuan mengenai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184

KUHAP, terdapat perbedaan yang prinsip.

Sebagaimana diketahui bahwa alat bukti dalam hukum acara pidana diatur

dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu Pasal 184 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang memerinci macam-macam alat

bukti dalam hukum acara pidana, yakni sebagai berikut:

1. Keterangan saksi,

2. Keterangan ahli,

3. Surat,

4. Petunjuk, dan

5. Keterangan terdakwa.

Berdasarkan HIR, yaitu Pasal 295 telah dirumuskan 4 (empat) alat bukti

yang sah, yaitu:

1. Keterangan saksi (penyaksian),


14

2. Surat-surat,Pengakuan,

3. Tanda-tanda (penunjukan).16

a) Keterangan saksi

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan alami sendiri dengan menyebut alasan

dari pengetahuannya itu (Pasal 1 ke-27 KUHAP) Pada umumnya semua

orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam

Pasal 168 KUHAP berikut :

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama

sebagai terdakwa.

2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai

derajat ketiga.

3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa.

Menurut KUHAP, keterangan satu saksi intinya hanya berlaku bagi

16
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 1996, hal. 10.
15

pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, tidak berlaku bagi

pemeriksaan cepat.

Hal tersebut dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP

sebagai berikut; "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup

didukung satu alat bukti yang sah." Jadi, ini berarti satu saksi, satu

keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa

disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana

terdakwa dalam perkara cepat”.

b) Keterangan Ahli

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli

keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus

tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana

guna kepentingan pemeriksaan. Jadi, pasal tersebut tidak menjawab siapa

yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan pasal

tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Dikatakan sebagai berikut.

"Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam

suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia

menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pasca pemeriksaan

di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita

acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan

sumpah atau janji di hadapan hakim."


16

Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula

dibedakan dengan tegas. Kadang-kadang seorang ahli merangkap pula

sebagai saksi. KUHAP menentukan bahwa saksi wajib mengucapkan

sumpah (Pasal 160 ayat (3)), tanpa menyebutkan ahli. Tetapi pada Pasal

161 ayat (1) dikatakan: "Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah

menolak untuk bersumpah atau berjanji" Di sinilah dapat dilihat bahwa

ahli yang dimintai keterangannya tersebut harus mengucapkan sumpah

atau janji. Pada penjelasan ayat (2) pasal tersebut dikatakan: "Keterangan

saksi alau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat

dianggap sebagai alat bukti yang sah. tetapi hanyalah merupakan

keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

c) Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan, bacaan yang berarti yang

menterjemahkan suatu pikiran. Selain Pasal 184 yang menyebut alat-alat

bukti maka hanya ada satu pasal saja dalam KUHAP yang mengatur

tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187. Pasal 187 KUHAP membedakan

akta autentic, akta dibawah tangan dan surat biasa. Pasal itu terdiri atas 4

ayat :

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat. atau

yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas

tentang keterangan itu;


17

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam

tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara

resmi daripadanya

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan konteks diatas maka pada hakikatnya dimensi “surat”

sebagai alat bukti sah menurut undang-undang dapatlah disebutkan

hendaknya memenuhi kriteria berikut :

I. Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan.

II. Surat itu di buat dengan sumpah.

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena

persesuaiannya baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa

pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat,

keterangan terdakwa.

Petunjuk disebut oleh Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang

keempat. Jadi, masih mengikuti HIR Pasal 195, HIR Pasal 295. Hal ini

berbeda dengan Ned. Sv. yang baru maupun Undang-Undang Mahkamah


18

Agung Nomor 1 Tahun 1950 yang telah menghapus petunjuk sebagai alat

bukti.

Petunjuk dihapus sebagai alat bukti sebagai inovasi dalam hukum

acara pidana karena menurut van Bemmelen petunjuk (aanwijzing) sebagai

alat bukti tidak ada artinya. Apabila kita bertitik tolak pada pada esensi alat

bukti petunjuk, selengkapnya secara intens ketentuan Pasal 188 KUHP

menentukan bahwa:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena

persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidan itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu

tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh :

a) Keterangan saksi

b) Surat

c) Keterangan terdakwa.

3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,

setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan

keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Dapat dilihat dengan jelas bahwa "keterangan terdakwa" sebagai alat

bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan

terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan,


19

pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.

Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa

atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944.

NJ. 44/45 No. 589. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan

pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat

berikut:

a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan

b. Mengaku ia bersalah.

c. KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan "keterangan terdakwa"

sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. Berbeda dengan peraturan

lama yaitu HIR yang menyebut ''pengakuan terdakwa" sebagai alat

bukti menurut Pasal 295. Disayangkan bahwa KUHAP tidak

menjelaskan apa perbedaan antara "keterangan terdakwa" sebagai alat

bukti. Sekali lagi ditemuinya adanya kesenjangan dalam KUHAP, yang

mana seharusnya diisi nanti dengan yurisprudensi yang baku.

Karena ketentuan yang mengatur alat bukti tersebut merupakan

hukum acara yang merupakan hukum publik, maka baik ketentuan tentang

alat bukti dalam hukum acara pidana maupun dalam hukum acara perdata

keduanya bersifat hukum memaksa (dwingend recht).17 Artinya, segala

jenis alat bukti yang sudah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat

ditambah atau dikurangi. Hanya saja, tertolong oleh lonceng bahwa, baik

dalam ketentuan alat bukti untuk hukum acara perdata maupun dalam

17
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, PT Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 2020, hal. 183.
20

ketentuan dalam hukum acara pidana terdapat model alat bukti yang

terbuka ujung (open end), yang memungkinkan masuknya berbagai alat

bukti baru, sesuai perkembangan teknologi, termasuk alat bukti yang

sangat bersifat sainstifik dan/atau eksperimental. Alat bukti yang terbuka

ujung tersebut adalah alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata

dan alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana.18

Perlu diketahui karena banyak alat bukti nonkonvensional tersebut

yang canggih dan sangat berorientasi pada perkembangan teknologi, maka

banyak diantaranya yang dapat memberikan nilai pembuktian yang akurat,

bahkan melebihi dari keakuratan alat bukti konvensional. Sebagai contoh,

model pembuktian kejahatan melalui alat canggih yang disebut tes DNA

(deoxyribonucleic acid) yang jauh yang lebih akurat dibandingkan dengan

pembuktian konvensional yang menggunakan saksi mata.

Dalam ilmu hukum pembuktian, sering dibedakan antara alat bukti

rill dan alat bukti demonstratif. Yang dimaksud dengan alat bukti riil

adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan

fakta yang dipersangketakan, seperti senjata, peluru, pakaian, kontrak,

yang berhubungan dengan fakta yang akan dibuktikan.19

Sementara itu, yang dimaksud dengan alat bukti demonstratif adalah

alat bukti yang tidak secara langsung membuktikan adanya fakta tertentu,

tetapi alat bukti ini dipergunakan untuk membuat fakta tersebut menjadi

lebih jelas dan lebi dapat dimengerti.

18
Ibid. hal. 184.
19
Ibid. hal. 187.
21

Suatu alat bukti riil dapat pula dibedakan dari alat bukti langsung

(directi) dan alat bukti sirkumstansial. Yang dimaksud alat bukti langsung

adalah alat bukti yang dapat membuktian secara langsung adanya fakta

yang dipersengketakan, seperti dalam kasus penganiyaan, fakta tentang

luka akibat penganiayaan tersebut dapat menjadi bukti langsung terhadap

tuduhan penganiyaan tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan alat bukti riil dalam bentuk

sirkumstansial adalah alat bukti yang tidak secara langsung dapat

membuktikan adanya fakta yang bersangkutan, tetapi pembuktian tersebut

hanya dapat ditarik dari suatu kesimpulan bahwa fakta tentang objek

tertentu adalah benar adanya sehingga dapat pula ditarik kesimpulan

bahwa fakta yang lain juga benar adanya. Sebagai contoh, dalam hal

pembuktian anak dari seorang ayah, kemiripan wajah antara anak tersebut

dan wajah sang ayah dapat menjadi bukti sirkumstansial bahwa antara

anak dan ayah ada hubungan sedarah.

Perbedaan alat bukti riil dan alat bukti demonstrative tidak

selamanya jelas. Kadang-kadang suatu alat bukti dapat dipandang sebagai

alat bukti riil, tetapi dari sudut pandang yang lain dia merupakan alat bukti

demonstrative.

Yang dimaksud dengan alat bukti eksperimental adalah alat bukti

yang dipilih oleh salah satu pihak, yang dilaksanakan diluar pengadilan.

Apabila eksperimen tersebut dilaksanakan d ipengadilan, bukti tersebut

menjadi alat bukti demonstrative dan akan tunduk pada hukum tentang alat
22

bukti demonstrative.

Alat bukti sainstifik (scientific evidence) merupakan suatu jenis alat

bukti, umumnya alat bukti fisik, yang menggunakan eksperimen dan

teknolgi modern yang dilakukan di luar pengadilan. Untuk eksperimen

yang sulit, proses pembuktiannya dilakukan dengan menggunakan saksi

ahli di bidang pelaksanaan eksperimen yang bersangkutan, dan

menghadirkannya di pengadilan sebagai saksi ahli.

2. Teori Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal

(peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran

suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.

Adapun dikaji dari makna leksikon, “pembuktian” adalah suatu proses,

cara, perbuatan membuktikan, usaha mununjukan benar atau salahnya

terdakwa dalam sidang pengadilan. Sedangkan dikaji dari prespektif

yuridis, pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Hal

ini dapat dibuktikan sejak awal dimulainya penyelidikan, penyidikan,

prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang

pengadilan, putusan hakim bahkan sampai upaya hukum, masalah

pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan semua pihak dan

pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses

peradilan, terutama bagi hakim. Proses pembuktian pada hakikatnya

memang lebih dominan pada sidang di pengadilan guna menemukan

kebenaran materil akan peristiwa yang terjadi dan memberikan seadil


23

mungkin.

Dalam perkara pidana pada umumnya dan khususnya delik korupsi,

diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain

diterapkan KUHAP, diterapkan juga sekelumit Hukum Acara Pidana, yaitu

pada Bab IV terdiri atas Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari UU No. 31

Tahun 1999.

Di dalam Pasal 40 tersebut menunjuk bahwa dalam menangani

perkara koneksitas dan terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara

korupsi dilingkungan peradilan militer, maka ketentuan yang dimaksud

dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g dari UU No. 31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.20

Dalam hal pembuktian Undang-undang ini menerapkan pembuktian

terbalik, sebagaimana ternyata dalam penjelasannya. Sistem ini tidak sama

dengan hukum pembuktian dalam KUHAP. Dalam hukum pembuktian,

maka sistem KUHAP sama dengan system HIR. Keduanya memiliki

persamaan dalam sistem dan cara menggunakan alat bukti, yakni sistem

pembuktian negative menurut undang-undang (negatief wettelijk), yang

tercermin dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 ayat (1) HIR.

Dikatakan dalam memori penjelasan, bahwa undang-undang ini juga

menerapkan pembuktian yang terbalik, yang bersifat terbatas atau

berimbang.

Ada beberapa teori atau sistem pembuktian, yakni:


20
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
(UU No. 20 Tahun 2001), CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hal. 78.
24

Teori tradisional

B. Bosch-Kemper, menyebutkan ada beberapa teori tentang pembuktian

yang tradisional, yakni:

1. Teori Negatief

2. Teori Positief

3. Teori Bebas

a) Teori Negatief

Teori ini, mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jia

hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah

terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

Teori ini dianut oleh HIR, sebagai ternyata dalam Pasal 294 HIR ayat

(1), yang pada dasarnya ialah:

a. Keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan

kepada:

b. Alat-alat bukti yang sah.21

b) Teori Positief

Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan

kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh

undang-undang. Dan jika bukti minimum itu kedapatan, bahkan hakim

diwajibkan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran

ini ialah positivitas. Tidak ada bukti, tidak dihukum; ada bukti meskipun

sedikit harus dihukum.

Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal
21
Ibid, hal. 79.
25

183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP berbunyi, sebagai berikut: “Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.”

a) Teori Bebas

Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Yang dijadian

pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa, yang

didasarkan ada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh

pengalaman.22

Teori ini tidak dianut dalam system HIR maupun sistem KUHAP.

Teori Modern

1. Teori Pembuktian dengan Keyakinan Belaka

Aliran ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang

pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan

hakim dan terkesan hakim sangat bersifat subjektif. Menurut aliran ini

sudah dianggap cukup bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu

keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terkait oleh suatu

peraturan. Dalam sistem ini, hakim dapat menurut perasaan belaka dan

menentukan apakah keadaan harus dianggap telah terbukti. Aliran ini

disebut convention intime atau bloote gemoedelijke overtuiging.23


22
Ibid, hal. 80.
23
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung; Sumur, 1962,
hal. 71.
26

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak

memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan

perseorangan sehingga sulit pengawasan. Praktek peradilan juri di

Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak

mengakibatkan putusan bebas yang sangat aneh.24

2. Teori Pembuktian Menurut Undang-undang secara positif

Dalam teori ini, undang-undang menetapkan alat-alat bukti mana

yang dapat dipakai oleh hakim, dan cara bagaimana hakim

mempergunakan alat-alat bukti itu sedemikian rupa.

Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai secara yang sudah

ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetakan keadaan

sudah terbukti, walaupun hakim mungkin berkeyakinan bahwa yang

harus dianggap terbukti itu tidak benar. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi

cara-cara mempergunakan alat-alat bukti, meskipun mungkin hakim

berkeyakinan bahwa keadaan itu benar-benar terjadi, maka

diesampingkanlah sama sekali keyakinan hakim tentang terbukti atau

tidaknya sesuatu hal.25

Kelemahan pada system ini tidak memberikan kepercayaan

kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan

dengan prinsip Hukium Acara Pidana bahwa keputusan harus

didasarkan atas kebenaran.

3. Teori Pembuktian Menurut Undang-undang secara negatif dan


24
Andy Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1985, hal. 241.
25
Wiryono Prodjodikoro, op. cit., hal. 72.
27

4. Teori Keyakinan Atas Alasan Logis

Kedua teori pembuktian ini, jika diperbandingkan kedapatan

adanya hal yang sama dan perbedaan.

Persamaannya dalam hal: hakim harus diwajibkan menghukum

orang, apabila ia yakin bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti

kebenarannya dan lagi bahwa keyakinan harus disertai penyebutan

alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian buah pikiran

(logika).

Perbedaannya dalam hal: pada teori permbuktian menurut

undang-undang secara negative menghendaki alasan-alasan yang

disebutkan oleh undang-undang, sebagai alat bukti (wettelijke

bewijsmiddelen). Tidak memperbolehkan menggunakan alat bukti lain

yang tidak disebut dalam undang-undang dan tentang cara

mempergunakan alat bukti (bewijstvoering), hakim terikat kepada

ketentuan undang-undang.

5. Teori Pembuktian Negatif Menurut Undang-undang

KUHAP maupun HIR menganut teori yang sama, yaitu teori

negatif menurut undang-undang. Kedua-duanya memiliki persamaan

dalam sistem dan cara menggunakan alat-alat bukti, yakni teori

pembuktian negatif menurut undang-undang. Hal itu ternyata dalam

Pasal 183 KUHAP (sama dengan Pasal 294 ayat (1) HIR. Pasal 183

KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh menjalankan pidana kepada

seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti


28

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sedangkan Pasal 294 ayat (1) HIR berbunyi: “Tiada seorangpun

dihukum kecuali hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang

sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang bersalah tentang

perbuatan itu.”

Esensia apa yang terkandung dalam Pasal 183 KUHAP, ialah:

a) Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

b) Terdakwa telah bersalah melakukannya.

B. Kebebasan Hakim Dalam Mengadili

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu : (1) lingkungan

peradilan umum; (2) lingkungan peradilan Agama; (3) lingkungan peradilan

militer; (4) lingkungan peradilan tata usaha negara, serta oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 2 UU No. 48/2009).

1. Hakim

Menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata hakim

berarti orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah). 26

Sedangkan menurut Undang-Undang Peradilan Agama, Hakim adalah

pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam

undang-undang. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib

26
Pusat Bahasa Departemen Pedidikan Nasional, Kamus Besar Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 341.
29

menjaga kemandirian peradilan.

Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam

pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan, jika orang

berkata “perkaranya telah diserahkan kepada hakim”. Berhakim artinya

minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai Hakim

terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan,

adakalanya istilah Hakim dipakai terhadap orang budiman, ahli, dan

orang bijaksana.

Di dalam hukum acara Hakim berarti pejabat peradilan negara yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 ayat (8)

KUHAP). Dalam melaksanakan peradilan, memeriksa dan memutus

perkara Hakim itu terjamin kebebasannya, ia tidak boleh berada di

bawah pengaruh kekuasaan siapapun. Bahkan Ketua Pengadilan tidak

berhak ikut campur dalam soal peradilan yang dilakukannya. Hakim

bertanggung jawab sendiri dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas putusan yang telah diambilnya.

2. Kewajiban Hakim.

Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Mengadili),

mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim untuk menerima,

memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur

dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (9) KUHAP), ia tidak

boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya atau

aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena Hakim itu dianggap


30

mengetahui hukum CuriaIus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus

menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum, jika aturan hukum

kurang jelas maka ia harus menafsirkannya dan jika tidak ada aturan

hukum tertulis ia dapat menggunakan hukum adat.

Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum, wajib

menggali, mengikuti dan mamahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat serta dalam memepertimbangkan berat

ringannya pidana, hakim wajib mampertimbangkan pula sifat yang baik

dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU N0.48/2009).

Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila

terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,

atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua,

salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 29 UU

No.48/2009). Sebelum melakukan jabatannya hakim wajib bersumpah

atau berjanji menurut agama dan keyakinannya (Pasal 30 ayat (1) UU

No. 48/2009).

Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus

menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat

dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam

praktik adakalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jika yang

bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau

ditanyakan hakim.

Hakim Ketua membuka sidang dengan menyatakan terbuka untuk


31

umum, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-

anak. Jika Hakim dalam memeriksa perkara menggunakan bahasa yang

tidak dimengerti oleh terdakwa atau saksi dan mereka tidak bebas

memberikan jawaban, dapat berakibat putusan batal demi hukum.

3. Peranan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain ia harus benar-benar

menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Indonesia dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim harus aktif bertanya dan

memberi kesempatan kepada pihak Terdakwa yang diwakili oleh

Penasehat Hukum untuk bertanya pada saksi-saksi begitu pula Penuntut

Umum. Semua itu dimaksudkan untuk menemukan kebenaran materil

dan pada akhirnya Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang

diputuskannya.

Ada lima hal yang menjadi tanggungjawab Hakim yaitu :

a. Justisialis Hukum; yang dimaksud justisialis adalah meng-adilkan. Jadi

putusan hakim yang dalam prakteknya memperhitungkan kemanfaatan

doel matigheid perlu di-adilkan. Makna dari hukum de zin van het recht

terletak dalam gerechtigheid keadilan. Tiap putusan yang diambil dan

dijatuhkan dan berjiwa keadilan, sebab itu adalah tanggungjawab jurist

yang terletak dalam justisialisasi dari pada hukum.

b. Penjiwaan Hukum; dalam berhukum recht doen tidak boleh merosot

menjadi suatu adat yang hampa tanpa berjiwa, melainkan harus

senantiasa diresapi oleh jiwa untuk berhukum. Jadi Hakim harus


32

memperkuat hukum dan harus tampak sebagai pembela hukum dalam

memberi putusan.

c. Pengintegrasian Hukum; hukum perlu senantiasa sadar bahwa hukum

dalam kasus tertentu merupakan ungkapan dari pada hukum pada

umumnya. Oleh karena itu putusan Hakim pada kasus tertentu tidak

hanya perlu diadakan dan dijiwakan melainkan perlu diintegrasikan

dalam sistem hukum yang sedang berkembang oleh perundang-

undangan, peradilan, dan kebiasaan. Perlu dijaga supaya putusan hukum

dapat diintegrasikan dalam hukum positif sehingga semua usaha

berhukum senantiasa menuju ke pemulihan pada posisi asli restitutio in

integrum.

d. Totalitas Hukum; meksudnya menempatkan hukum keputusan Hakim

dalam keseluruhan kenyataan. Hakim melihat dari dua segi hukum, di

bawah ia melihat kenyataan ekonomis dan sosial sebaliknya di atas

Hakim melihat dari segi moral dan religi yang menuntut nilai-nilai

kebaikan dan kesucian. Kedua tuntutan itu perlu dipertimbangkan oleh

Hakim dalamkeputusan hukumnya, disaat itu juga segi sosial-ekonomis

menuntut kepada Hakim agar keputusannya menperhitungkan situasi dan

pengaruh kenyataan sosial-ekonomis.

e. Personalisasi Hukum; personalisasi hukum ini mengkhususkan

keputusan kepada personal (kepribadian) dari para pihak yang mencari

keadilan dalam proses. Perlu diingat dan disadari bahwa mereka yang

berperkara adalah manusia sebagai pribadi yang memepunyai keluhuran.


33

Dalam personalisasi hukum ini memunculkan tanggungjawab Hakim

sebagai pengayom (pelindung), disini Hakim dipanggil untuk bisa

memberikan pengayoman kepada manusia-manusia yang wajib

dipandangnya sebagai pribadi yang mencari keadilan.

Ketika Hakim dihadapkan pada suatu perkara, dalam dirinya

berlangsung suatu proses pemikiran untuk kemudian memberikan putusannya

mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah

melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya;

2. keputusan mengenai hukumannya, yaitu apakah perbuatan yang

dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah

terdakwa bersalah serta dapat dipidana;

3. keputusan mengenai pidananya, yaitu terdakwa memang dapat dipidana.

Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim akan menilai dengan arif dan

bijaksana serta penuh kecermatan kekuatan pembuktian dari pemeriksaan dan

kesaksian dalam sidang pengadilan (Pasal 188 ayat (3) KUHAP), sesudah itu

Hakim akan mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan

yang didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam

pemeriksaan sidang.

Pada pelaksanaan musyawarah tesebut Hakim ketua mejelis akan

mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai Hakim yang

tertua sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah Hakim

ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta


34

alasannya (Pasal 182 ayat (2) sampai (5) KUHAP).

Bila dalam pelaksaanaan musyawarah tersebut tidak tercapai mufakat

maka keputusan diambil dengan suara terbanyak, apabila tidak juga dapat

diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling

menguntungkan bagi Terdakwa. Pelaksanaan putusan ini dicatat dalam buku

himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku

tersebut rahasia sifatnya.

Terdakwa akan diputus bebas jika pengadilan berpendapat bahwa dari

pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat (1)

KUHAP). Terdakwa akan dituntut lepas dari segala tuntutan hukum apabila

pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti tapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191

ayat (2) KUHAP). Tetapi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka

pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

C. Sistem Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi

1. Teori Pembuktian Terbalik

Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi selain

berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana juga berdasarkan kepada hukum pidana formil sebagaimana

diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan


35

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.27

Delik korupsi adalah sebagaimana juga delik pidana pada umumnya

dilakukan oleh berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara

atau perekonomian negara, yang semakin canggih dan rumit. Sehingga

banyak perkara-perkara/delik korupsi lolos dari “jaringan” pembuktian

system KUHAP. Karena itu pembuktian undang-undang, mencoba

menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik.

Upaya pembentuk undang-undang ini, tidak tanggung-tanggung,

karena baik dalam delik korupsi diterapkan dua sistem sekaligus, yakni

sistem Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan sekaligus dengan sistem

KUHAP. Kedua teori ini ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan

dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat bebas atau

berimbang, dan menggunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-

undang.

Jadi, tidak menerapkan pembuktian terbalik murni, (zuivere

omskeering bewijstast), tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan

berimbang.

Dalam penjelasan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, diatakan

pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”,


27
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif UU
Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hal. 260.
36

yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan

tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak,

dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai

hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap

berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas Pasal 37

dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa

“terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Hal itu tidak berarti

terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum, masih

tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata-kata “berimbang”, mungkin lebih tepat ”sebanding”, dilukiskan

sebagai/berupa penghasilan terdakwa ataupun penambahan harta benda

terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai

output. Antara income sebagai input yang tidak seimbang dengan output,

atau; dengan kata lain input lebih kecil dari output. Dengan demikian

diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output tersebut

(misalnya berwujud rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan

dollar dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari

tindak pidana korupsi yang didakwakan.

Dalam pemerisaan delik korupsi ada dua Hukum Acara Pidana, yakni

hukum acara pidana yang tercermin pada UU No. 31 Tahun 1999, sebagai

penyimpangan dari hukum acara pada KUHAP dan hukum acara pidana
37

yang termuat dalam KUHAP.

Jadi, dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni:

(1) Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa dan

(2) Teori negatif menurut undang-undang, yang dianut oleh

penuntut umum.

Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan

umum, serta berujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU

No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut:

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut

dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta

benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai

hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan

yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber

penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat

digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
38

ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk

memuktian dakwaannya.

Sedangkan teori negative menurut undang-undang tercermin tersirat

dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.”

Karena itu persyaratan permberian pidana dalam sistem KUHAP sangat

berat, yakni:

(1) Minimum dua alat bukti yang yang sah, menurut undang-undang.

(2) Keyakinan hakim.

(3) Ada tindak pidana yang benar-benar terjadi.

(4) Terdakwa itu manusianya yang melakukan perbuatan.

(5) Adanya kesalahan pada terdakwa.

(6) Macam pidana macam apa yang akan dijatuhi hakim.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi

Terdakwa adalah Anggota DPRD Kabupaten Maluku Tenggara periode


39

1999-2004, yang diangkat berdasar surat Gubernur Maluku Nomor: 171.2-378

tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999 dan selanjutnya terpilih sebagai wakil

ketua DPRD.

Bahwa pada tahun 2002 tersedia anggaran Asuransi untuk Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tenggara dalam APBD

Maluku Tenggara didalam pos anggaran 2.2.1.1011.90. III sebesar Rp.

1.410.000.000,- (satu milyar empat ratus sepuluh juta rupiah) dan pada tahun

anggaran 2003 untuk anggaran yang sama meningkat menjadi sebesar Rp.

4.375.000.000,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah ). Dana

tersebut telah dibagikan dan diterima oleh para anggota DPRD Kab.

Maluku Tenggara periode tersebut, termasuk oleh Terdakwa.

Terdakwa sendiri telah mengakui untuk tahun 2002 telah menerima

sebesar Rp. 45.000.000,- dan tahun 2003 diakui Terdakwa hanya diterima

sebesar Rp. 35.000.000,- saja, sedangkan dana sebesar Rp. 95.000.000,-

yang telah diterima oleh Sopir Terdakwa dan tidak diakui oleh terdakwa telah

diterimanya.

Berdasarkan audit BPK RI tahun 2004, penerimaan dana asuransi

tersebut dinyatakan tidak didukung dengan bukti yang sah yaitu berupa Polis

Asuransi, tetapi hanya didukung dengan daftar kolektif penerima sehingga

menurut BPK hal tersebut mengakibatkan pemborosan yang dapat

merugikan daerah. Atas pembayaran dana Asuransi tersebut

merekomendasikan agar Pimpinan dan Sekretaris DPRD Kabupaten Maluku

Tenggara melengkapi bukti-bukti pembayaran dimaksud, apabila tidak


40

dapat melengkapi bukti-bukti maka uang tersebut harus disetor kembali

ke kas daerah.

Terdakwa, MMT telah mengembalikan uang tersebut sebelum

penyidikan sebesar Rp. 180.000.000,- (seratus delapan puluh juta rupiah),

tetapi proses penyidikan, penuntutan dan persidangan tetap berjala.

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor:37/Pid.Sus.Tpk/2014/

PN.Amb

1. Menimbang, bahwa dalam perkara ini yang dimaksud setiap orang adalah

menunjuk kepada Terdakwa MMT yang dihadapkan kepersidangan

sebagai orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan

berdasarkan keterangan saksi-saksi bukti surat serta keterangan terdakwa,

setelah majelis menanyakan identitas terdakwa baik nama maupun

identitas lainnya sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan

diperhadapkan dipersidangan (error inperson ), terdakwa dalam keadaan

sehat dan dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya

terkait surat dakwaan perkara a quo bahkan terdakwa mampu membantah

keterangan yang dianggapnya tidak benar.

2. Menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut maka menurut majelis

unsur “ setiap Orang “ telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan pada

diri terdakwa ;

3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Majelis

berkesimpulan bahwa Terdakwa dalam menerima dana Asuransi tahun

2002 dan tahun 2003 tersebut tidak terdapat unsur melawan hukum, oleh
41

karena itu unsur ini dinyatakan tidak terpenuhi.

4. Menimbang, bahwa dengan tidak terpenuhinya salah satu unsur dalam

Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang No.31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo

Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu

Unsur Secara Melawan Hukum sebagaimana yang telah diuraikan di dalam

pertimbangan hukum diatas, maka majelis tidak perlu mempertimbangkan

unsur selebihnya dan terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam dakwaan primair tersebut dan oleh karena itu Terdakwa harus

dibebaskan dari dakwaan tersebut;

5. Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan

Dakwaan Subsidair yaitu Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-

Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo

pasal 64 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).

6. Menimbang, bahwa Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang No.31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan undang-undang No.20 Tahun 2001 adalah mengenai pidana

tambahan berupa pembayaran uang pengganti ;


42

7. Menimbang, bahwa unsur “Setiap Orang“ telah dipertimbangkan dalam

dakwaan primair diatas dan dinyatakan telah terpenuhi, maka

pertimbangan tersebut diambil alih dan dijadikan pula pertimbangan dalam

unsur yang sama dalam dakwaan subsidair ini. Dengan demikian Majelis

Hakim berkesimpulan unsur Setiap Orang telah terpenuhi ;

8. Menimbang, bahwa unsur ini bersifat alternatif artinya tidak harus semua

terpenuhi cukup salah satunya kalau diri sendiri bisa orang lain atau

korporasi;

9. Menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut maka Majelis

bekesimpulan bahwa unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri

Sendiri atau bekesimpulan bahwa unsur Dengan Tujuan

Menguntungkan Diri Sendiri atau atau Sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan telah terpenuhi pada perbuatan Terdakwa ;

10. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis

berpendapat unsur Dapat merugikan keuangan Negara atau

Perekonomian Negara, telah terpenuhi ;

11. Menimbang, bahwa proses pencairan dana asuransi tersebut dilakukan

dengan melibatkan beberapa pihak diantaranya Sekretaris DPRD

sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, bendahara DPRD dan para anggota

DPRD termasuk Terdakwa sebagai penerima. Bahwa keterkaitan para

pihak tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena

merupakan rangkaian prosedur pencairan anggaran. Bahwa berdasarkan

pertimbangan tersebut Majelis berpendapat unsur Orang yang


43

melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan

telah terpenuhi pula secara sah dan meyakinkan menurut hukum ;

12. Menimbang, bahwa atas dasar teori tersebut diatas dihubungkan dengan

fakta-fakta yang terungkap dalam perkara ini yang sudah diuraikan

dalam pertimbangan hukum diatas, maka perbuatan yang dilakukan

Terdakwa tersebut masuk kategori alasan pembenar dalam teori sifat

melawan hukum materiil fungsi negatif. Sifat melawan hukum tindak

pidana korupsi yang didakwakan kepada Terdakwa tersebut menjadi

hapus, sehingga perbuatannya menjadi patut dan benar; Menimbang,

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Majelis

berkesimpulan bahwa Terdakwa dalam menerima dana Asuransi tahun

2002 dan tahun 2003 tersebut telah terbukti sebagaimana dakwaan Jaksa

Penuntut Umum, namun perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa

tersebut masuk kategori alasan pembenar dalam teori sifat melawan

hukum materiil fungsi negatif dan masuk dalam ranah Hukum

Administrasi dan kewajiban Terdakwa untuk memenuhi kewajiban

admisitrasi sebagaimana rekomendasi BPK tersebut telah dilaksanakan,

sehingga perbuatan terdakwa tersebut dinyatakan bukan merupakan

tindak pidana;

13. Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan Terdakwa bukan merupakan

tindak pidana maka unsur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang

No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001


44

mengenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tidak perlu

dipertimbangkan lagi;

14. Bahwa dalam seluruh perkara tersebut semuanya dinyatakan para

Terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan Jaksa

Penuntut Umum namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak

pidana; Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan yang didakwakan oleh

Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan Subsidair telah terbukti, namun

perbuatan yang dilakukan Terdakwa tersebut bukan suatu tindak

pidana, maka berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHP,

Terdakwa haruslah dilepaskan dari segala tuntutan hukum;

15. Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan

hukum, maka Majelis tidak perlu dipertimbangkan hal-hal yang

memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada diri Terdakwa

16. Menimbang, bahwa dalam perkara ini Penuntut Umum mengajukan barang

bukti dan menurut penilaian Majelis Hakim barang bukti yang

diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut masih dibutuhkan oleh

Jaksa Penuntut Umum dalam perkara yang lain, maka seluruh barang

bukti tersebut dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk

dipergunakaan dalam perkara yang lainnya, sedangkan surat bukti yang

diajukamn oleh Terdakwa atau Penasehat Hukumnya dalam lampiran

pledoi tetap terlampir dalam berkas perkara;

17. Menimbang bahwa, oleh karena Terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan

dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka sesuai dengan Pasal 97 ayat
45

(1) dan ayat (2) KUHAP, Pengadilan akan memerintahkan untuk

merehabilitasi nama baik Terdakwa dengan memulihkan hak

terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

18. Menimbang bahwa, karena terdakwa tidak melakukan tindak pidana,

maka biaya Perkara akan dibebankan kepada Negara; Mengingat Pasal

191 ayat (2), Pasal 97 ayat 1 & 2 UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP

dan Peraturan- peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini.

C. Analisis Pertimbangan Hakim

1. Analisis Dakwaan Primair

Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang No.31

tahun 1999 tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo

Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

a) Unsur “ Setiap Orang “

Pengertian “ Setiap Orang “ adalah manusia sebagai subyek

hukum pendukung hak dan kewajiban yang dapat dipertanggung

jawabkan atas perbuatannya dan apabila orang tersebut

melakukan suatu perbuatan maka kepada orang tersebut dapat

dimintai pertanggungjawaban menurut hukum. Unsur “setiap orang”

diartikan sebagai “orang perorangan atau termasuk korporasi”.28

28
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Indonesia Lawyer Club, Jakarta, 2010, hal. 114.
46

Dalam perkara ini yang dimaksud setiap orang adalah

menunjuk kepada Terdakwa MMT yang dihadapkan kepersidangan

sebagai orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi

dan berdasarkan keterangan saksi-saksi bukti surat serta

keterangan terdakwa, setelah majelis menanyakan identitas

terdakwa baik nama maupun identitas lainnya sebagaimana

tercantum dalam surat dakwaan diperhadapkan dipersidangan (error

inperson ), terdakwa dalam keadaan sehat dan dapat menjawab setiap

pertanyaan yang diajukan kepadanya terkait surat dakwaan perkara

tersebut bahkan terdakwa mampu membantah keterangan yang

dianggapnya tidak benar.

Berdasarkanpertimbangan tersebut maka menurut majelis unsur

“ setiap Orang “ telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan pada

diri terdakwa.

b) Unsur “ Secara melawan Hukum “

Pengertian “ melawan hukum “ dalam lingkup hukum pidana

adalah mengandung makna bertentangan dengan ketentuan atau

peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pengertian

melawan hukum dalam lingkup hukum perdata adalah

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan

dengan hak-hak orang lain.

Istilah melawan hukum menggambarkan suatu pengertian

tentang sifat tercelanya atau sifat terlarangnnya suatu perbuatan.29


29
Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, 2016,
47

Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam penjelasannya

memberi pengertian bahwa yang dimaksud melawan hukum adalah

mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun

materil yaitu bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan

atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka

perbuatan tersebut dapat dipidana.

Sifat melawan hukum formil, mengandung pengertian luas dan

sempit.

a) Pertama, pengertian luas, disebut dengan sifat melawan hukum yang

terselubung. Melawan hukum yang terselubung timbul dari adanya

pandangan bahwa melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak

pidana. Meskipun perkataan melawan hukum atau istilah lain

digunakan yang yang artinya sama-tidak dicantumkan secara tegas

dalam rumusan tindak pidana, unsur tersebut selalu terdapat dalam

semua tindak pidana, dan melekat pada unsur-unsur tertentu yang

lain, misalnya pada perbuatan maupun akibat perbuatan.30

b) Kedua, pengertian sempit, adalah pengertian khusus terhadap

kata/frasa atau unsur “melawan hukum” atau istilah/frasa yang

maksudnya sama-disebutkan secara tegas sebagai unsur tindak

hal. 37.
Ny. Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Materil Dalam Hukum
30

Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2002, hal. 23.


48

pidana dalam rumusan. Misalnya dengan mencantumkan perkataan

“melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) UUTPK yang sedang

dibicarakan.

Sesuai fakta yang terungkap dipersidangan bahwa

Terdakwa adalah Anggota DPRD Kabupaten Maluku Tenggara

periode 1999-2004, yang diangkat berdasar surat Gubernur Maluku

Nomor: 171.2-378 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999 dan

selanjutnya terpilih sebagai wakil ketua DPRD.

Pada tahun 2002 tersedia anggaran Asuransi untuk Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tenggara

dalam APBD Maluku Tenggara didalam pos anggaran 2.2.1.1011.90.

III sebesar Rp. 1.410.000.000,- (satu milyar empat ratus sepuluh juta

rupiah) dan pada tahun anggaran 2003 untuk anggaran yang sama

meningkat menjadi sebesar Rp. 4.375.000.000,- (empat milyar tiga

ratus tujuh puluh lima juta rupiah ).

Untuk tahun 2002 terdakwa sebagai anggota DPRD Kab.

Maluku Tenggara menerima dana Asuransi sebesar Rp.

45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) dari bendahara Dewan

dan pada tahun 2003 terdakwa menerima sendiri dana Asuransi

secara bertahap totalnya sebesar Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima

juta rupiah), sedangkan dana sebesar Rp. 95.000.000,- telah

diterima oleh sopir dinas Terdakwa.

Bahwa yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah


49

dalam menerima dana Asuransi tersebut ada perbuatan melawan

Hukum yang dilakukan oleh Terdakwa.

Dana Asuransi bagi anggota DPRD Kab. Maluku tenggara

tahun 2002 dan tahun 2003 telah tercantum secara resmi dalam

APBD kab. Maluku Tenggara tahun 2002 dan 2003 tersebut.

Dalam proses pembentukan Perda APBD tersebut tidak terungkap

secara jelas bagaimana peran Terdakwa, karena saat pembahasan

tersebut terdakwa tidak pernah turut aktif dalam pembahasannya, hal

ini sesuai dengan keterangan saksi-saksi yang ikut rapat pembahasan

RAPBD yang tidak melihat keberadaan Terdakwa dalam rapat-rapat

tersebut dan juga sesuai bukti Surat Tertanggal 3 Desember 2002

Tentang Pemberitahuan tidak aktif dalam kegiatan rutin

persidangan DPRD Kab. Maluku Tenggara, sehingga kemudian

muncul mata anggaran Asuransi dalam APBD kab Maluku Tenggara

tahun 2002 dan 2003. Proses pembahasan RAPBD Kab. Maluku

tenggara tahun 2002 dan tahun 2003 tersebut adalah merupakan

proses politik yang kemudian menghasilkan produk politik berupa

Perda APBD yang telah disahkan. Terhadap PERDA tentang APBD

tahun 2002 dan 2003 tersebut tidak dilakukan revisi dan ataupun

koreksi dari Gubernur Maluku serta serta tidak pernah dilakukan

pembatalan, sehingga PERDA tentang APBD tersebut sah

menurut hukum dan patut untuk dilaksanakan. Melihat aktifitas

Terdakwa dalam proses tersebut Majelis berkesimpulan bahwa dalam


50

konteks pembahasan APBD ini tidak terungkap adanya

perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Terdakwa.

Selanjutnya dana Asuransi bagi anggota DPRD kab. Maluku

tenggara, sebagaimana yang telah tercantum dalam APBD

tersebut telah dicairkan dan telah dibagikan kepada seluruh anggota

DPRD kabupaten Maluku Tenggara, dimana Terdakwa sendiri telah

mengakui untuk tahun 2002 Terdakwa telah menerima sebesar Rp.

45.000.000,- dan tahun 2003 diakui Terdakwa hanya diterima

sebesar Rp. 35.000.000,- saja, sedangkan dana sebesar Rp.

95.000.000,- yang telah diterima oleh Sopir Terdakwa dan tidak

diakui oleh Terdakwa telah diterimanya.

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan

Dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan Kepmendagri No.29

Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan

Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan APBD,

Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah Dan Penyusunan

Perhitungan APBD, pengelolaan keuangan daerah merupakan

kewenangan kepala daerah, sebagai pemegang kekuasaan umum

pengelolaan keuangan daerah yang selanjutnya didelegasikan kepada

SKPD, sehingga tanggung jawab pengelolaan keuangan daerah

beralih pada SKPD. Dalam pengelolaan anggaran DPRD Kab.

Maluku tenggara dilaksanakan dan merupakan wewenang dari


51

sekretaris DPRD. Anggota DPRD dalam pengelolaan anggaran

tersebut hanyalah mempunyai wewenang pengawasan yang

bersifat kebijakan secara umum, sehingga pengawasannya pun

bersifat pengawasan secara politis. Hal ini sesuai dengan

keterangan AHLI Drs. SYAHRIL MACHMUD dan Prof. Dr.

ZUDAN ARIF FAKHRULLAH, SH. MH.

Terhadap pengelolaan anggaran DPRD tersebut selanjutnya

Terdakwa bersama anggota DPRD yang lainnya telah menerima

dana asuransi pada tahun anggaran 2002 dan 2003. Bahwa pada

tahun 2002 dan 2003 dana asuransi tersebut muncul atas dasar

PP No.110 Tahun 2000, dimana dalam PP tersebut tidak tercantum

secara jelas bagaimana mekanisme penggunaan dana asuransi

tersebut dan baru diatur secara jelas harus menggunakan Polis

Asuransi setelah keluar PP No. 24 yang keluar pada tahun 2004.

Oleh karena penggunaan dana asuransi tahun 2002 dan 2003

belum diatur secara jelas harus menggunakan Polis Asuransi,

sedangkan kewenangan penggunaan anggaran ada di kesekretariatan

DPRD, maka anggota DPRD tidaklah dapat dipersalahkan dalam

menerima dana tersebut, karena telah tercantum dalam APBD

pada tahun tersebut dan berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang

No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menegaskan “

Penyelenggaraan Tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari

dan Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;


52

Menimbang, bahwa atas penerimaan dana Asuransi oleh anggota

DPRD Kab. Maluku Tenggara tahun anggaran 2002 dan 2003

tersebut telah dilakukan audit oleh BPK RI tahun 2004 dengan hasil

rekomendasi bahwa penerimaan dana asuransi tersebut harus

didukung dengan bukti-bukti pendukung dan jika tidak ada bukti

pendukung maka dana tersebut harus dikembalikan ke kas

Daerah.

Timbul pertanyaan selanjutnya, siapakah yang berwenang

dan berkewajiban untuk memproses dana asuransi tersebut dalam

wujud Polis Asuransi? Apakah anggota dewan sebagai penerima

ataukah pihak eksekutif (dalam hal ini kesekretariatan DPRD)

sebagai pengguna anggaran?

Sebagaimana ketentuan dalam PP No. 58/2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah jo. PP No. 105 Tahun 2000 tentang

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Jo.

Kemendagri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan,

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Serta Tata Cara

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,

Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan

Perhitungan Anggaran Dan Pendapatan Belanja Daerah, yang

berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan administrasi

keuangan Anggota DPRD tersebut adalah pihak eksekutif yakni

Sekretaris Dewan dan Bendahara Dewan, hal ini sesuai dengan


53

keterangan ahli Drs. SYAHRIL MACHMUD dan ahli Prof. Dr.

ZUDAN ARIF FAKRULAH, SH. MH.

Terdakwa dalam menerima dana asuransi tersebut bersifat

pasif, hanya sekedar menerima saja, sedangkan dana tersebut sudah

tercantum secara resmi dalam APBD. Terdakwa tidak mengetahui

apakah dana asuransi tersebut harus berwujud Polis atau tidak karena

pengelolaan keuangan DPRD sepenuhnya merupakan wewenang

Sekretaris DPRD sebagai pengguna anggaran. Jika dana asuransi

tersebut harus berwujud Polis asuransi seharusnya pembagian

yang diberikan kepada anggota DPRD sudah berwujud Polis

Asuransi. Bahwa disamping itu dasar pemberian dana asuransi

tahun 2002 dan 2003 tersebut adalah PP No. 110 Tahun 2000, dalam

PP tersebut tidak diatur secara jelas apakah pemberian dana asuransi

tersebut harus berwujud polis ataukah tidak. Pengaturan secara jelas

harus berupa Polis baru muncul dalam PP No. 24 Tahun 2004,

yang jelas tidak bisa dijadikan pedoman untuk penggunaan dana

asuransi ditahun 2002 dan 2003.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Majelis

berkesimpulan bahwa Terdakwa dalam menerima dana Asuransi

tahun 2002 dan tahun 2003 tersebut tidak terdapat unsur melawan

hukum, oleh karena itu unsur ini dinyatakan tidak terpenuhi.

Dengan tidak terpenuhinya salah satu unsur dalam Pasal 2

ayat 1 Jo Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang No.31 Tahun 1999


54

tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo

Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu

Unsur Secara Melawan Hukum sebagaimana yang telah diuraikan di

dalam pertimbangan hukum diatas, maka majelis tidak perlu

mempertimbangkan unsur selebihnya dan terdakwa harus

dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primair

tersebut dan oleh karena itu Terdakwa harus dibebaskan dari

dakwaan tersebut.

2. Analisis Dakwaan Subsidair

Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan Dakwaan

Subsidair yaitu Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang No.31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64

ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan unsur-

unsurnya sebagai berikut :

1. Setiap orang ;

2. Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang lain atau

Suatu Korporasi Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau

Sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;


55

3. Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara ;

4. Orang yang melakukan yang menyuruh melakukan atau turut serta

melakukan perbuatan;

5. Jika antara perbuatan tersebut, meskipun masing-masing

merupakan kejahatan ada hubungannya sedemikian rupa sehingga

harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut;

1) “Unsur Setiap Orang”

Unsur “Setiap Orang“ telah dipertimbangkan dalam dakwaan

primair diatas dan dinyatakan telah terpenuhi, maka pertimbangan

tersebut diambil alih dan dijadikan pula pertimbangan dalam unsur yang

sama dalam dakwaan subsidair ini. Dengan demikian Majelis Hakim

berkesimpulan unsur Setiap Orang telah terpenuhi.

2) Unsur “Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang lain atau

Suatu Korporasi Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan atau Sarana

yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukan “

Unsur ini bersifat alternatif artinya tidak harus semua terpenuhi

cukup salah satunya kalau diri sendiri bisa orang lain atau korporasi;

Kata “dengan tujuan” dalam perumusan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 ini mengandung pengertian sebagai niat,

kehendak atau maksud, sehingga makna dari unsur pertama ini adalah

kehendak untuk diri sendiri, menguntungkan orang lain, atau

menguntungkan suatu korporasi dan dalam doktrin hukum pidana, “niat“

atau “kehendak” untuk melakukan suatu tindak pidana ini, belumlah


56

merupakan “ strafbaar feit” atau perbuatan yang dapat dihukum. Ia

barulah merupakan strafbaar feit jika telah dilaksanakan oleh yang

punya niat atau kehendak itu, terlepas apakah pelaksanaan itu selesai

atau tidak selesai.

Kata “menguntungkan“ dalam unsur pasal ini mengandung

pengertian mendapatkan keuntungan atau mendapatkan sesuatu

kenikmatan yang sebelumnya tidak didapatkan, dan kata “kewenangan”

dapat diartikan sebagai suatu hak yang melekat dimiliki seseorang

dalam hubungannya dengan jabatan atau kedudukan, sedangkan kata

“kesempatan” berarti peluang yang ada karena kewenangan tersebut.

“Sarana“ berarti segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dalam

melakukan perbuatan untuk mencapai maksud atau tujuan tersebut.31

Kata “jabatan“ dapat diartikan sebagai suatu lingkungan pekerjaan

yang sedang dipegang yang dijalankan dalam rangka tugas-tugas

Negara atau kepentingan umum, sedangkan istilah “kedudukan” lebih

ditekankan pada sisi fungsi pada umumnya dari jabatan dan pekerjaan itu.

Menurut BPK menyalah gunakan kewenangan adalah perbuatan

yang dilakukan dengan cara bertentangan dengan tata laksana yang

semestinya sebagaimana yang diatur dalam peraturan, petunjuk tata kerja,

instruksi dinas dan lain-lain, dan berlawanan atau menyimpang dari

maksud tujuan sebenarnya dari pemberian kewenangan, kesempatan atau

sarana tersebut.

Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini merupakan bentuk tindak
31
Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, M2S, Bandung, 1997, hal. 240.
57

pidana korupsi pokok. Ketentuan pasal ini tidak menyebut unsur “secara

melawan hukum”, sehingga Penunut Umum tidak perlu membuktikannya.

Sifat melawan hukum tersebut sudah terhisap pada unsur-unsur yang lain.32

Indriyanto Seno Adji dalam keterangan ahli di tingkat penyidikan

kasus sangkaan korupsi Bibit Slamet Riyanto dan Chandra M. Hamzah

berpendapat bahwa menyalahgunakan kewenangan diartikan sedemikian

rupa yaitu:

a. Memiliki kewenangan, tetapi menggunakan kewenangannya lain

daripada kewenangan yang ada.

b. Tidak memiliki kewenangan, tetapi melakukan tindakan-tindakan

seolah-olah memiliki kewenangan.

c. Melakukan perbuatan atau tindakan dengan menyalahgunakan

prosedur untuk mencapai tujuan tertentu.33

Selanjutnya akan dipertimbangkan apakah terdakwa yang diajukan

dipersidangan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini telah

menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan ataukah tidak.

Sesuai fakta yang terungkap dipersidangan bahwa Terdakwa

adalah Anggota DPRD Kabupaten Maluku Tenggara periode 1999-2004,

yang diangkat berdasar surat Gubernur Maluku Nomor: 171.2-378 tahun

1999 tanggal 4 Oktober 1999 dan selanjutnya terpilih sebagai wakil

ketua DPRD.
32
Hari Sasangka, Komentar Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 11.
33
OC Kaligis, Korupsi Bibit & Chandra, Indonesia Against Injustice, Jakarta, 2010 hal.
428.
58

Bahwa pada tahun 2002 tersedia anggaran Asuransi untuk Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tenggara dalam

APBD Maluku Tenggara didalam pos anggaran 2.2.1.1011.90. III sebesar

Rp. 1.410.000.000,- (satu milyar empat ratus sepuluh juta rupiah) dan pada

tahun anggaran 2003 untuk anggaran yang sama meningkat menjadi

sebesar Rp. 4.375.000.000,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh lima juta

rupiah ).

Untuk tahun 2002 terdakwa sebagai anggota DPRD Kab. Maluku

Tenggara menerima dana Asuransi sebesar Rp. 45.000.000,- (empat

puluh lima juta rupiah) dari bendahara Dewan dan pada tahun 2003

terdakwa menerima sendiri dana Asuransi secara bertahap totalnya sebesar

Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), sedangkan dana sebesar

Rp. 95.000.000,- telah diterima oleh sopir dinas Terdakwa;

Bahwa yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dalam

menerima dana Asuransi tersebut ada perbuatan Terdakwa yang

menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan ataukah tidak?

Sebagaimana dalam pertimbangan hukum dalam dakwaan

Primair, bahwa dana Asuransi bagi anggota DPRD Kab. Maluku

tenggara tahun 2002 dan tahun 2003 telah tercantum secara resmi dalam

APBD Kab. Maluku tenggara tahun 2002 dan 2003, yaitu Perda tentang

APBD Nomor 07 Tahun 2002 serta Perda APBD Nomor 03 Tahun

2003. Dalam proses pembentukan Perda APBD tersebut tidak


59

terungkap secara jelas bagaimana peran Terdakwa, karena saat

pembahasan tersebut terdakwa tidak pernah turut aktif dalam

pembahasannya, hal ini sesuai dengan keterangan saksi-saksi yang ikut

rapat pembahasan RAPBD yang tidak melihat keberadaan Terdakwa dalam

rapat-rapat tersebut dan juga sesuai bukti Surat Tertanggal 3 Desember

2002 Tentang Pemberitahuan tidak aktif dalam kegiatan rutin

persidangan DPRD Kab. Maluku Tenggara, sehingga kemudian muncul

mata anggaran Asuransi dalam APBD Kab. Maluku Tenggara tahun 2002

dan 2003.

Proses pembahasan RAPBD Kab. Maluku tenggara tahun 2002 dan

tahun 2003 tersebut adalah merupakan proses politik yang kemudian

menghasilkan produk politik berupa Perda APBD yang telah disahkan.

Melihat aktifitas Terdakwa dalam proses disahkan. Melihat aktifitas

Terdakwa dalam proses berkesimpulan bahwa dalam konteks

pembahasan APBD ini tidak terungkap adanya perbuatan

menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan, yang telah dilakukan oleh Terdakwa.

Selanjutnya dana Asuransi bagi anggota DPRD Kab. Maluku

tenggara, sebagaimana yang telah tercantum dalam APBD tersebut

telah dicairkan dan telah dibagikan kepada seluruh anggota DPRD

kabupaten Maluku Tenggara, dimana Terdakwa sendiri telah mengakui

untuk tahun 2002 Terdakwa telah menerima sebesar Rp. 45.000.000,-

dan tahun 2003 diakui Terdakwa hanya diterima sebesar Rp.


60

35.000.000,- saja, sedangkan dana sebesar Rp. 95.000.000,- yang telah

diterima oleh Sopir Terdakwa dan tidak diakui oleh Terdakwa telah

diterimanya.

Terdakwa sebagai anggota DPRD jelas telah memanfaatkan

kedudukan dan jabatannya untuk memperoleh dana asuransi tahun

anggaran 2002 dan 2003 tersebut dan dengan diterimanya dana asuransi

tersebut Terdakwa telah memperoleh keuntungan senilai sebagaimana

yang telah diterima Terdakwa tersebut.

Dengan pertimbangan tersebut maka Majelis bekesimpulan

bahwa unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau

bekesimpulan bahwa unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri

Sendiri atau atau Sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

telah terpenuhi pada perbuatan Terdakwa.

3) Unsur “Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”

Di dalam unsur tersebut, terdapat unsur objektif tindak pidananya, ialah:

a. Pertama, keuangan Negara in casu kekayaan Negara yang dapat

dinilai dengan uang.

b. Kedua, perekonomian Negara.

Dua unsur objek tersebut tidak disebutkan secara eksplisit (tegas),

melainkan disebutkan secara implicit. Tersimpul dalam kalimat “dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Dengan

demikian maka sudah pasti bahwa keuangan Negara dan perekonomian

Negara merupakan objek TPK Pasal 2 ayat (1) termasuk juga unsur objek
61

TPK Pasal 3. Bahkan konsepsi TPK di Indonesia terutama terletak pada

penyerangan terhadap kepentingan hukum mengenai keuangan Negara

(kekayaan Negara dalam arti yang seluas-luasnya) dan perekonomian

Negara tersebut.34

Pada tahun 2002 tersedia anggaran Asuransi untuk Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tenggara dalam APBD

Maluku Tenggara didalam pos anggaran 2.2.1.1011.90. III sebesar Rp.

1.410.000.000,- (satu milyar empat ratus sepuluh juta rupiah) dan pada

tahun anggaran 2003 untuk anggaran yang sama meningkat menjadi

sebesar Rp. 4.375.000.000,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh lima juta

rupiah ).

Bahwa dana tersebut telah dibagikan dan diterima oleh para

anggota DPRD Kab. Maluku Tenggara periode tersebut, termasuk oleh

Terdakwa.

Berdasarkan audit BPK RI tahun 2004, penerimaan dana asuransi

tersebut dinyatakan tidak didukung dengan bukti yang sah yaitu berupa

Polis Asuransi, tetapi hanya didukung dengan daftar kolektif penerima

sehingga menurut BPK hal tersebut mengakibatkan pemborosan yang

dapat merugikan daerah. Atas pembayaran dana Asuransi tersebut

merekomendasikan agar Pimpinan dan Sekretaris DPRD Kabupaten

Maluku Tenggara melengkapi bukti-bukti pembayaran dimaksud, apabila

tidak dapat melengkapi bukti-bukti maka uang tersebut harus disetor


34
Adami Chazawi, Potensi Masalah Perumusan Tindak Pidana Korupsi Dalam RUU
KUHP (Artikel) Disampaikan Dalam Diskusi Terbatas RUU KUHP, Diselenggarakan KPK di
Surabaya tanggal 22-10-2013.
62

kembali ke kas daerah;

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis berpendapat unsur

Dapat merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara, telah

terpenuhi.

d) Unsur “Orang yang melakukan yang menyuruh melakukan atau turut serta

melakukan perbuatan”

Bentuk-bentuk penyertaan menurut Adami Chazawi, terdapat dan

diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan yang

disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan

Pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).35

Penyertaan (deelneming) menurut R. Soesilo, sebagai berikut

1) Orang yang Melakukan (Pleger).

Orang di sini ialah seorang yang sendirian telah berbuat

mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana.

2) Orang yang Menyuruh Melakukan (Doen Plegen)

Di sini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh melakukan (doen

plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang

melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain.

3) Orang yang Turut Melakukan (Medepleger)

Turut melakukan dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-

dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan

orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana itu.

35
Adami Chazawi, Percobaan dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 80.
63

Orang yang dengan Pemberian, Salah Memakai Kekuasaan,

Memakai Kekerasan dan Sebagainya, dengan Sengaja Membujuk

Melakukan Perbuatan Pidana.

Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedang membujuknya

harus memakai salah satu dari cara seperti dengan pemberian,

penyalahgunaan kekuasaan, yang artinya tidak boleh memakai cara lain

selain dari yang disebutkan di atas.36

Yang dimaksud dengan mereka (orang) yang melakukan

(Plegen) adalah barang siapa yang secara sendirian telah mewujudkan

/ memenuhi semua unsur-unsur dari suatu perbuatan pidana seorang

diri saja secara fisik berdasarkan atas kemauan/inisiatifnya sendiri

serta kesadaran penuh.

Yang dimaksud dengan menyuruh melakukan suatu tindak

pidana (Doen Plegen) adalah bahwa penyuruh tidak melakukan sendiri

secara langsung suatu tindak pidana, melainkan menyuruh orang lain,

dalam hal ini penyuruh dipidana sebagai petindak, sedangkan yang

disuruh tidak dipidana karena padanya tidak ada unsur kesalahan

atau setidak-tidaknya unsur kesalahannya ditiadakan.

Yang dimaksud dengan turut serta melakukan suatu tindak pidana

(Mede Plegen) ialah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang

sehubungan dengan pelaksanaan suatu tindak pidana dimana ia turut

serta mendampingi pelaku utamanya, jadi dalam hal ini harus :

36
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hal. 71-72.
64

a. Adanya 2 (dua) orang atau lebih yang melakukan suatu tindak

pidana secara bersama-sama.

b. Kesemua orang tersebut adalah orang yang mampu

bertanggungjawab atas perbuatan mereka.

c. Adanya kerjasama tersebut disertai sepenuhnya oleh mereka

semua.

Untuk bentuk pelaku peserta ini disyaratkan adanya :

1. Kerjasama secara sadar, berarti bahwa setiap pelaku peserta

saling mengetahui dan menyadari tindakan dari para pelaku

peserta lainnya. Tidak dipersyaratkan apakah telah ada

kesepakatan jauh sebelumnya, walaupun kesepakatan itu baru

terjadi dekat sebelum atau bahkan pada saat perbuatan itu

dilakukan namun sudah termasuk kerjasama secara sadar.

2. Kerjasama secara langsung, berarti bahwa perwujudan dari

perbuatan pidana itu adalah secara langsung sebagai akibat dari

tindakan dari pelaku peserta itu dan bukan dengan cara sebagai

mana ditentukan dalam pasal 56 KUHP mengenai pembantuan.

Bahwa berdasarkan keterangan para saksi, keterangan Terdakwa

dan dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan maka

diperoleh fakta bahwa pada tahun 2002 tersedia anggaran Asuransi untuk

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tenggara

dalam APBD Maluku Tenggara didalam pos anggaran 2.2.1.1011.90. III

sebesar Rp. 1.410.000.000,- (satu milyar empat ratus sepuluh juta rupiah)
65

dan pada tahun anggaran 2003 untuk anggaran yang sama meningkat

menjadi sebesar Rp. 4.375.000.000,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh

lima juta rupiah ). Bahwa dana tersebut telah dibagikan oleh Bendahara

DPRD Kabupaten Maluku Tenggara dan diterima oleh para anggota

DPRD Kab. Maluku Tenggara periode tersebut, termasuk oleh Terdakwa.

Bahwa proses pencairan dana asuransi tersebut dilakukan dengan

melibatkan beberapa pihak diantaranya Sekretaris DPRD sebagai

Kuasa Pengguna Anggaran, bendahara DPRD dan para anggota DPRD

termasuk Terdakwa sebagai penerima. Bahwa keterkaitan para pihak

tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena

merupakan rangkaian prosedur pencairan anggaran. Bahwa berdasarkan

pertimbangan tersebut Majelis berpendapat unsur Orang yang

melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan

telah terpenuhi pula secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

4) Unsur “Jika antara perbuatan tersebut, meskipun masing-masing

merupakan kejahatan ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus

dipandang sebagai perbuatan berlanjut”

Berdasarkan keterangan para saksi, keterangan Terdakwa dan

dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan maka

diperoleh fakta bahwa pada tahun 2002 tersedia anggaran Asuransi untuk

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Maluku Tenggara

dalam APBD Maluku Tenggara didalam pos anggaran 2.2.1.1011.90. III

sebesar Rp. 1.410.000.000,- (satu milyar empat ratus sepuluh juta rupiah)
66

dan pada tahun anggaran 2003 untuk anggaran yang sama meningkat

menjadi sebesar Rp. 4.375.000.000,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh

lima juta rupiah ). Bahwa dana tersebut telah dibagikan oleh Bendahara

DPRD Kabupaten Maluku Tenggara dan diterima oleh para anggota

DPRD Kab. Maluku Tenggara periode tersebut, termasuk oleh Terdakwa.

Bahwa penerimaan dana asuransi oleh Terdakwa tersebut

dilakukan tahun 2002 dan diulang lagi di tahun 2003. Untuk tahun

2002 Terdakwa telah menerima sebesar Rp. 45.000.000,- dan tahun

2003 diakui Terdakwa hanya diterima sebesar Rp. 35.000.000,- saja,

sedangkan dana sebesar Rp. 95.000.000,- yang telah diterima oleh Sopir

Terdakwa dan tidak diakui oleh Terdakwa telah diterimanya.

Meskipun kedua perbuatan tersebut masing-masing berdiri sendiri

namun dapat dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Dengan demikian

Majelis berkesimpulan bahwa unsur ini telah terpenuhi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berkesimpulan

bahwa seluruh unsur dalam dakwaan subsidair Jaksa Penuntut Umum

telah terpenuhi semua. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah

apakah perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut dapat dijatuhi

pidana ataukah tidak.

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, PP No.105 Tahun

2000 dan Kepmendagri No.29 Tahun 2002 tentang Pedoman

Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah

Serta Tata Cara Penyusunan APBD, pengelolaan keuangan daerah


67

merupakan kewenangan kepala daerah, sebagai pemegang kekuasaan

umum pengelolaan keuangan daerah yang selanjutnya didelegasikan

kepada SKPD, sehingga tanggung jawab pengelolaan keuangan daerah

beralih pada SKPD. Dalam pengelolaan anggaran DPRD Kab. Maluku

Tenggara dilaksanakan dan merupakan wewenang dari sekretaris

DPRD. Anggota DPRD dalam pengelolaan anggaran tersebut

hanyalah mempunyai wewenang pengawasan yang bersifat kebijakan

secara umum, sehingga pengawasannya pun bersifat pengawasan secara

politis. Hal ini sesuai dengan keterangan AHLI Drs. SYAHRIL

MACHMUD dan Prof. Dr. ZUDAN ARIF FAKHRULLAH, SH. MH;

Terdakwa dalam menerima dana asuransi tersebut bersifat pasif,

hanya sekedar menerima saja, sedangkan dana tersebut sudah tercantum

secara resmi dalam APBD. Terdakwa tidak mengetahui apakah dana

asuransi tersebut harus berwujud Polis atau tidak karena pengelolaan

keuangan DPRD sepenuhnya merupakan wewenang Sekretaris DPRD

sebagai pengguna anggaran. Jika dana asuransi tersebut harus

berwujud Polis asuransi seharusnya pembagian yang diberikan kepada

anggota DPRD sudah berwujud Polis Asuransi. Bahwa disamping itu

dasar pemberian dana asuransi tahun 2002 dan 2003 tersebut adalah PP

No. 110 Tahun 2000, dalam PP tersebut tidak diatur secara jelas apakah

pemberian dana asuransi tersebut harus berwujud polis ataukah tidak.

Pengaturan secara jelas harus berupa Polis baru muncul dalam PP No. 24

Tahun 2004, yang jelas tidak bisa dijadikan pedoman untuk


68

penggunaan dana asuransi ditahun 2002 dan 2003.

Karena penggunaan dana asuransi tahun 2002 dan 2003 belum

diatur secara jelas harus menggunakan Polis Asuransi, sedangkan

kewenangan penggunaan anggaran ada di kesekretariatan DPRD, maka

anggota DPRD tidaklah dapat dipersalahkan dalam menerima dana

tersebut, karena anggaran tersebut telah tercantum resmi dalam APBD

pada tahun tersebut. Bahwa berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang No. 22

Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menegaskan “ Penyelenggaraan

Tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan Atas Beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sehingga oleh karena itu

seluruh biaya dalam rangka menunjang kegiatan DPRD diambilkan

dari APBD termasuk didalamnya penghasilan anggota DPRD.

Atas penerimaan dana Asuransi oleh anggota DPRD Kab. Maluku

Tenggara tahun anggaran 2002 dan 2003 tersebut telah dilakukan audit

oleh BPK RI tahun 2004 dengan hasil rekomendasi bahwa penerimaan

dana asuransi tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung dan

jika tidak ada bukti pendukung maka dana tersebut harus disetor kembali

ke kas Daerah.

Sebagaimana fakta yang terungkap di persidangan, Terdakwa telah

mengembalikan dana yang telah diterimanya tersebut senilai Rp.

180.000.000,- (sebagaimana bukti Penyetoran oleh Terdakwa pada Bank

Maluku tertanggal 04 Pebruari 2009 /T-8 dan Penyetoran oleh Terdakwa

pada Bank Maluku tertanggal 11 April 2011/T-10). Meskipun


69

Terdakwa mengaku dana yang diterimanya untuk tahun 2002 sebesar Rp.

45.000.000,- dan tahun 2003 hanya diterima sebesar Rp. 35.000.000,-

sedangkan dana sebesar Rp. 95.000.000,- diterima oleh Sopir Terdakwa,

namun dengan pengembalian yang telah dilakukan oleh Terdakwa tersebut,

Majelis memandang bahwa Terdakwa telah mengambil tanggung jawab

terhadap dana yang telah diterima oleh sopir Terdakwa tersebut, terlepas

apakah dana tersebut sampai ditangan Terdakwa ataukah tidak. Bahwa

terhadap penyetoran kembali dana Asuransi tersebut berdasarkan Surat

dari BPK RI Perwakilan Propinsi Maluku No.

75/S/XIX.AMB/I/2014 (bukti T-14) telah sesuai dengan Rekomendasi dari

BPK dan dengan demikian kerugian Negara telah dipulihkan. Atas hal

tersebut menjadi perbuatan yang patut dan benar.

Dalam buku Azaz-azaz Hukum Pidana, karangan Prof. Moeljatno,

SH. halaman 137, disebutkan dalam teori hukum Pidana biasanya

alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini dibeda-bedakan menjadi:

1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan

hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh Terdakwa

lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar;

2. Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menhapuskan kesalahan Terdakwa

perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa tetap bersifat melawan

hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak

dipidana karena tidak ada kesalahan.

3. Alasan Penghapus Penuntutan, disini bukan soalnya ada


70

alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran

mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang

melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas

dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat

sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan

disini ialah kepentingan umum. 37

Menurut Bambang Purnomo, alasan Pembenar merupakan “faits

justificatifs”, yang artinya dihapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,

sehingga perbuatan itu dibenarkan. Dalam konteks tindak pidana korupsi

dapat dijelaskan bahwa apabila terdapat alasan pembenar, maka sifat

melawan hukum tindak pidana korupsi tersebut menjadi hapus.

Dengan ungkapan lain, dalam hal diterima fungsi negatif melawan hukum

materiil dalam tindak pidana korupsi, maka ketika muncul keadaan-

keadaan atau kondisi- kondisi yang masuk kategori alasan pembenar

itu mengakibatkan sifat pidananya menjadi hapus, sehingga

perbuatannya menjadi patut dan benar.38

Atas dasar teori tersebut diatas dihubungkan dengan fakta-fakta

yang terungkap dalam perkara ini yang sudah diuraikan dalam

pertimbangan hukum diatas, maka perbuatan yang dilakukan Terdakwa

tersebut masuk kategori alasan pembenar dalam teori sifat melawan

hukum materiil fungsi negatif. Sifat melawan hukum tindak pidana

korupsi yang didakwakan kepada Terdakwa tersebut menjadi hapus,


37
Moeljantno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Asdi Mahasatnya, Jakarta, 2002, hal. 137.
38
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Indonesia Lawyer Club, 2010, hal. 181.
71

sehingga perbuatannya menjadi patut dan benar; Berdasarkan

pertimbangan tersebut, maka Majelis berkesimpulan bahwa Terdakwa

dalam menerima dana Asuransi tahun 2002 dan tahun 2003 tersebut telah

terbukti sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum, namun perbuatan

yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut masuk kategori alasan

pembenar dalam teori sifat melawan hukum materiil fungsi negatif

dan masuk dalam ranah Hukum Administrasi dan kewajiban Terdakwa

untuk memenuhi kewajiban admisitrasi sebagaimana rekomendasi BPK

tersebut telah dilaksanakan, sehingga perbuatan terdakwa tersebut

dinyatakan bukan merupakan tindak pidana.

Oleh karena perbuatan Terdakwa bukan merupakan tindak pidana

maka unsur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang No.31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan undang-undang No.20 Tahun 2001 mengenai pidana

tambahan berupa pembayaran uang pengganti tidak perlu dipertimbangkan

lagi.

Terkait perkara yang melibatkan anggota DPRD periode 1999-

2004 yang berkaitan dengan Asuransi tersebut Majelis telah

memperhatikan beberapa Putusan Mahkaman Agung Republik Indonesia

yaitu antara lain:

1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 536 K/PID/2005, dalam

Perkara Anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat periode 1999-2004.

2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1640 K/Pid/2007, dalam


72

Perkara Anggota DPRD Propinsi Bali Periode 1999-2004.

3. Putusan Mahkamah Agung RI No. 167 PK/PID.SUS/2011, dalam

perkara anggota DPRD Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, periode

1999-2004.

4. Putusan Mahkamah Agung RI No. 54 PK/Pid.Sus/2009, dalam

perkara anggota DPRD Kota Semarang, Jawa Tengah, periode 1999-

2004.

5. Putusan Mahkamah Agung RI No. 19 PK/Pid.Sus/2008, dalam

perkara anggota DPRD Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, periode

1999-2004.

6. Putusan Mahkamah Agung RI No. 20 PK/Pid.Sus/2008, dalam

perkara anggota DPRD Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, periode

1999-2004

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penelitian ini masalah pokok yang dianalisis oleh penulis adalah

mengenai dasar pertimbangan hakim membebaskan terdakwa tindak pidana

korupsi terhadap Putusan Nomor: 37/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Amb yang

membebaskan terdakwa tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah pokok


73

diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjatuhkan putusan terhadap

Putusan Nomor 37/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Amb yang membebaskan terdakwa

tindak pidana korupsi. Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi

Ambon, dasar pertimbangan bahwa unsur-unsur perbuatan yang didakwakan

oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan primair tidak terbukti dan dalam

dakwaan Subsidair telah terbukti tetapi perbuatan yang dilakukan Terdakwa

tersebut masuk kategori alasan pembenar dalam teori sifat melawan

hukum materiil fungsi negatif, sifat pidananya menjadi hapus, sehingga

perbuatannya menjadi patut dan benar, perbuatan terdakwa tersebut

dinyatakan bukan merupakan tindak pidana, Oleh karena perbuatan Terdakwa

bukan merupakan tindak pidana maka unsur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf b

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.20 Tahun 2001

mengenai pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tidak perlu

dipertimbangkan lagi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan

adalah sebagai berikut:

1. Hakim dalam memutuskan perkara harus berisi keseimbangan antara

kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

2. Hakim dalam memutus perkara atas suatu kejahatanyang luar biasa

berat dan serius (extra ordinary crime) hendaknya lebih bersikap

seksama dan hati-hati dalam rangka memberikan keadilan bagi pencari


74

keadilan.
75

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Aji, O. S. (1984). Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.

Chaerudin. (2008). Strategi Pencegahan dan Penegakan Tindak Pidana Korupsi.


Bandung: PT Refika Aditama.

Chazawi, A. (2016). Hukum Pidana Korusi (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers.

Chazawi, A. (2011). Percobaab dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana.


Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Djaja, E. (2008). Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Nurmatif


UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU
No. 30 Tahun 2002. Jakarta: Sinar Grafika.

Fuady, M. (2020). Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata. Jakarta: PT


Citra Aditya Bakti.

Hamzah, A. (1991). (i) Korupsi di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, A. (2001). Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, A. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Haranti, E. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Kaligis, O. Korupsi Bibit dan Chandra. Jakarta: Indonesia Against Injustice.

Laminantang, P. A. (1990). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung :


Sinar Baru.

Marpaung, L. (2009). Tindak Pidana Korupsi:Pemberantasan dan Pencegahan.


Jakarta: Djambatan.

Marzuki, P. M. (2005). penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group.

Moeljanto. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Asdi Mahasatnya.

Nasional, P. B. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


76

Pradjojo, T. S. (2010). Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi.


Jakarta: Indonesia Lawyer Club.

Prodjodikoro, W. (1962). Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur.

Prodjohamidjojo, M. (2009). Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Korupsi


(UU No.20 Tahun 2001). Bandung: CV. Mandar Maju.

Saardjaja, N. K. (2002). Ajaran Sifat Melawan Materil dalam Hukum Pidana


Iindonesia. Bandung: Alimni.

Sasaangka, H. (2007). Komentar Korupsi. Bandung: Mandar Maju.

Soesilo, R. (1991). Kitab Undan-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

Waluyo, B. (1996). Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika.

Wojowasito, S. (1999). Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru.

Yandianto. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung: M2S.

Artikel

Adami Chazawi, Potensi Masalah Perumusan Tindak Pidana Korupsi Dalam RUU
KUHP (Artikel) Disampaikan Dalam Diskusi Terbatas RUU KUHP,
Diselenggarakan KPK di Surabaya tanggal 22-10-2013.
Internet

http://umarsholahudin.com/eksaminasi-publik-terhadap-putusan-pengadilan-
kasus-tindak-pidanakorupsi-dalam-perpesktif-hukum-progresif/diakses
pada 10 November 2019|10:12 WIT
https://money.kompas.com/read/2014/12/08/16384451/
Terkait.Korupsi.Wali.Kota.Tual.Jalani.Sidang.Perdana/diakses pada 1
Februari 2020, 12.58 WIT

Anda mungkin juga menyukai