Anda di halaman 1dari 155

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI


TANPA IZIN EDAR

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Ujian Komprehensif Pada Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

OLEH:
SULY SRI SULANTI
02011281419495

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN MENGIKUTI UJIAN

KOMPREHENSIF SKRIPSI

NAMA : SULY SRI SULANTI


NIM : 02011281419495
PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PIDANA

JUDUL
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI
TANPA IZIN EDAR

Secara subtansi telah disetujui


untuk mengikuti ujian Komprehensif

Indralaya, 2018

Pembimbing Utama, Pembimbing Pembantu,

Dr. H. Ruben Achmad, S.H., M.H. Vera Novianti, S.H.,M.Hum


NIP. 195509021981091001 NIP 197711032008012010

Ketua Bagian Hukum Pidana

Dr.Hj.Nashriana, S.H.,M.Hum
NIP 196509181991022001
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
KAMPUS INDRALAYA
Saya yang betanda tangan dibawah ini :

Nama Mahasiswa : Suly Sri Sulanti


Nomor Induk Mahasiswa : 02011281419495
Tempat/ Tanggal Lahir : Penanggiran, 20 Januari 1998
Fakultas : Hukum
Strata Pendidikan : S1
Program Studi : Ilmu Hukum
Bagian/ Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini tidak memuat bahan – bahan yang sebelumnya
telah diajukan untuk memperoleh gelar diperguruan tinggi maupun tanpa mencantumkan
sumbernya. Skripsi ini juga tidak memuat bahan – bahan yang sebelumnya sudah
dipublikasikan atau ditulis oleh siapapun tanpa mencantumkan sumbernya dalam teks.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Apabila terbukti bahwa
saya telah melakukan hal – hal dengan pernyataan ini , saya bersedia menanggung segala
akibat yang timbul dikemudian hari sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Indralaya, 2018

SULY SRI SULANTI


02011281419495
MOTTO

“Manusia yang hebat adalah ia yang mampu


bertahan ditengah badai”

Kupersembahkan Kepada:
 Kedua Orang tuaku tercinta
- Ayahanda Joko Sutopo
- Ibunda Sepriyati
 Saudara-saudaraku tercinta:
- My Best Brother “Masican”
- Adek Amy
- Adek Afy
 Terkhusus Almarhumah Nenekku tercinta, Rusjannah
 Aldhan Rinaldy
 Almamaterku

 Organisasiku tercinta LPM Media Sriwijaya

 Teman-teman Seperjuanganku FH Unsri Kampus Indralaya


Terkhusus Angkatan 2014

KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah

memberikan rahmat dan karunia-NYA yang bergitu besar sehingga penulis dapat

menyusun dan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pertimbangan Hakim

Dalam Penjatuhan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengedaran Sediaan

Farmasi Tanpa Izin Edar” yang merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Program Kekhususan Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca serta

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana terus mengalami

perkembangan di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat

kelemahan baik dalam penyusunan kalimat, penyajian materi, maupun pembahasannya,

hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan yang penulis miliki. Semoga Allah

SWT dapat melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua serta penulis

berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Indralaya, 2018

SULY SRI SULANTI


0201128141949

UCAPAN TERIMA KASIH


Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

Karena atas berkat dan rahmatnya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar”, sebagai salah satu syarat dalam

mencapai gelar sarjana hukum pada fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa begitu banyak pihak yang telah turut

membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Melalui kesempatan ini, dengan segala

kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT, atas berkah rahmat-Nya sehingga tercipta lah skripsi ini.
2. Kedua orang tuaku tercinta ayahanda Joko Sutopo dan Ibunda Sepriyati yang selalu

mengalirkan doa-doanya untuk saya, serta kakanda tercinta Masican tersayang yang

telah banyak memotivasi dan dukungan yang tiada hentinya, Adek Amy dan Adek

Rafy yang selalu memberikan semangat serta doa sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini;

3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Anis Saggaff, MSCE, selaku Rektor Universitas Sriwijaya;

4. Bapak Dr. Febrian, S.H., MS, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya;

5. Bapak Dr. Firman Muntaqo, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya.
6. Bapak Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya.
7. Bapak Prof. Dr. H. Abdullah, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya.
8. Ibu Dr.Hj.Nashriana, S.H.,M.Hum, selaku Kepala Bagian Program Kekhususan Studi

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

9. Bapak Dr. H. Ruben Achmad, S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing I yang telah

meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan petunjuk, pengarahan, bimbingan

dan bantuan dalam penyusunan skripsi;

10. Ibu Vera Novianti, S.H.,M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan petunjuk, pengarahan, bimbingan

dan bantuan dalam penyusunan skripsi;

11. Bapak Dr. Firman Muntaqo, S.H., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing Akademik

selama penulis menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya kampus

Indralaya;

12. Semua Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis

mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya;

13. Seluruh Staf administratif Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang selama ini

telah membantu penulis dalam hal persiapan skripsi ini;

14. Penulis-penulis yang buku-bukunya dijadikan bahan skripsi ini;

15. Sahabat terbaik sejak SMA Deva Eka Putri dan Septa Ayu Hastuti yang selalu ada

buat aku dan memberi semangat;

16. Yang tersayang Aldhan Rinaldy yang telah membantu, menemani dan meberi support

dalam pembuatan skripsi ini;


17. Sahabat seperjuangan skripsi, Luki Yandari, M. Riduan, Mj. Trisna, Adi Saputra,

Yessy, kak Aris, Cek Redho, Uda Arifandi, Sawal, Fajar, Barlian, Tri Mekar, terima

kasih kerjasamanya;

18. Sahabat seperjuangan di Fakultas Hukum Unsri Indralaya, Eka Aprianti, Amrina

Rossada, Gita Tri Olanda, Dewi Anggraini, Pranita Nastiti, Musarofatul Alfiyah,

Wulansari, Widya, Nindi Anggraini, Yessy Egga Mayasari, Bella, Luki, Rosmita,

Deca, Nopriyanti, Reymondo, Adli, Ramadhoni, Mustofa, Azwir, Tara, Sangap, dan

masih banyak lagi nama-nama yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih

kerjasamanya selama di bangku kuliah;

19. Keluargaku Wisma Nando, Kak Rori, Kak Arya, Deva, Citra, Cikita, Weni, kak Aris,

Cek Redho, Yeti, Mbak Tri, Eka, Kak Fendy, Fitri, Ali, yang telah menemani hari-

hariku dalam membuat skripsi;

20. Adik-adiku di fh unsri, Mery Astuti, Irena, Alfi dan Cendani, terimakasih bantuan dan

motivasi kalian yang selalu menanyakan “kapan wisuda?”;

21. Organisasiku LPM Media Sriwijaya, B.O. Ramah, HMI cabang FH Unsri,

IKAMALA, KAMMI Al-Aqso, yang memberi banyak pengetahuan dan pengalaman

berharga disana;

22. Keluargaku di KKN Unsri-88 Desa Karang Agung, fabela, siti rahayu. Faudrine, Ocy,

mbak Novi, Ode, Dika, Putri, Widya, Marisa, Linda, Regina, Yuli, Hardin, Rudi,

Anton, Habib, Ridho, Memei, Purwo, Toton, dan Aha, yang satu atap selama 40 hari
selama Kuliah Kerja Nyata dan memberikan pengalaman berharga sekali seumur

hidup, terima kasih;

23. Sahabat tercinta Eki Julianti dan Ressa, yang memberikan semangat dan support

kepada saya;

24. Sahabat seperjuangan Forum Alumni Smanpala (FORMAT) terima kasih selalu

membersamai dan saling memberi semangat dalam pembuatan skripsi.

25. Teman – teman seangkatan di jurusan hukum program S1 Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas dukungan,

perhatian dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini;

26. Dan keluarga besar tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, semangat dan

dorongan serta do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis,

Suly Sri Sulanti


02011281419495
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………..

i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………

ii
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………………...

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………………….

iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………………....

v
UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………………………..

vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..........

x
ABSTRAK…………………………………………………………………………….

xiii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………................

1
A. Latar Belakang…………………………………...…………………………….
1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………...…

13
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………..…….….

14
D. Manfaat Penelitian………………………………………………………...…...

14
E. Ruang Lingkup………………………………………………………..…….…

15
F. Kerangka Teori……………………………………………………..………….

15
G. Metode Penelitian……………………………………………………………...

17
1. Jenis Penelitian…………………………………………………..………...

17
2. Pendekatan Penelitian………………………………………….………….

18
3. Sumber Bahan Penelitian………………………………………….………

19
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………………………………………

20
5. Analisis Bahan Hukum……………………………………………….……

20
6. Teknik Penarikan Kesimpulan……………………………………………..

21
H. Sistematika Penulisan…………………………………………………………..

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………..........

24
A. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar…….

24
1. Tindak Pidana Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar………………………….….

24
2. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar……....

39
Manusia……………………………………………………..……………...

39
3. Sanksi Pidana Terhadap Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar………………..…..

45
B. Teori Putusan Hakim dalam Vonis Sanksi Pidana………………………….……...

52
1. Tinjauan Umum Tentang Hakim……………………………...………………..

52
a. Pengertian Hakim…………………………………………………………..

52
b. Peranan Hakim di Pengadilan……………………………………………...

53
2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim……………………………………...

53
a. Pengertian Putusan Hakim…………………………………………….…...
53
b. Macam-macam Putusan Hakim……………………………………………

57

3. Tinjauan Umum Tentang Dasar Pertimbangan Hakim………………………...

59

C. Tindak Pidana Obat………………………………………………………………...

65
D. Tinjauan Umum Terhadap Upaya Penanggulangan Kejahatan…………………….

70

1. Upaya Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana (Penal)……….…..

70

2. Upaya Penanggulangan Kejahatan Tanpa Hukum Pidana (Nonpenal)……..….

83

E. Tinjauan Umum Terhadap Obat……………………………………………………

85
1. Pengertian Obat………………………………………………………..……….

85
2. Penggolongan Obat…………………………………………………………...

86
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN…………………..………………………...

89

A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar……………………………

89
1. Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi………..

90
2. Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr……….

102
3. Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 299/ Pid.Sus/ 2015/ PN.Plg......

113
B. Penjatuhan Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi

Tanpa Izin Edar Berdasarkan Asas Kepastian, Keadilan Hukum, Dan Kemanfaatan

Hukum................................................................................................

125
a. Asas Kepastian Hukum…………………..…….……………..…………………

125
b. Asas Keadilan Hukum…………………………………………………….……..

127
c. Asas Kemanfaatan Hukum……………………………………………………….

129
BAB IV PENUTUP……………………………….………………………………………

140
A. Kesimpulan……………………………………………….………...………………

140
B. Saran…………………………………………………………………....…………..

142

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Analisis Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Putusan terhadap
Pelaku Tindak Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi tanpa Izin Edar dalam perspektif
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Penelitian skripsi ini
dilatarbelakangi dengan adanya peristiwa tindak pidana sediaan farmasi yang beredar
dimasyarakat dengan tidak memiliki izin edar. Dirumuskan beberapa permasalahan yang
akan dibahas, yaitu bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap orang yang melakukan tindak pidana pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar
dan apakah penjatuhan putusan oleh hakim dalam tindak pidana pengedaran sediaan
farmasi tanpa izin edar telah sesuai dengan asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan
hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif.
Sumber bahan hukum penelitian menitikberatkan pada studi kepustakaan baik berupa
bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Berdasarkan hasil analisis penulis yaitu
pada: 1. putusan No: 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr; 2. putusan No: 197/ pid. sus/ 2012/ PN.
Kdi; dan 3. putusan No. 299/ Pid.Sus/ 2015/ PN.Plg dalam pertimbangan yuridisnya
disimpulkan bahwa terdakwa terbukti bersalah dengan melakukan tindak pidana sediaan
farmasi tanpa izin edar, terdakwa melanggar pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim menjatuhkan vonis
kepada terdakwa berbeda-beda dalam tiap putusan yaitu, 1. Terdakwa atas nama Sutrisno
Als. Patrek Bin Loso divonis pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dari
tuntutan jaksa penuntut umum 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan penjara; 2. Terdakwa
atas nama Hari Laksono Bin Giman divonis pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dari
tunututan jaksa penuntut umum 10 (sepuluh) bulan penjara; 3. Terdakwa atas nama Indra
Bin Syamsuar divonis pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dari tuntutan jaksa penuntut
umum 5 (lima) bulan penjara. Aparat penegak hukum khususnya hakim harus jeli dalam
memutus suatu perkara terhadap terdakwa sehingga dalam suatu perkara hukum yang
telah diputus dapat memberikan suatu kepastian hukum, kemanfaatan bagi para pihak dan
mencerminkan keadilan serta nilai-nilai kemanusiaan.
Kata Kunci: Sediaan Farmasi, Pertimbangan Hakim, Asas Kepastian, Kemanfaatan
dan Keadilan Hukum.
Pembimbing Utama, Pembimbing Pembantu,

Dr. H. Ruben Achmad, S.H., M.H. Vera Novianti, S.H.,M.Hum


NIP. 195509021981091001 NIP 197711032008012010
Ketua Bagian Hukum Pidana

Dr.Hj.Nashriana, S.H.,M.Hum
NIP 196509181991022001
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan

daerah. Setiap daerah memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda-beda, karena

keragaman mata pencarian yang beragam sehingga memengaruhi tingkat ekonomi yang

erat kaitannya dengan kesejahteraan. Kesejahteraan disebutkan didalam cita-cita bangsa

Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut


melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, hukum berperan penting

sebagai alat pengawas terhadap tatanan sosial yang ada di dalam masyarakat. Hukum ada

dimana masyarakat itu ada, sehingga setiap apa yang dilakukan orang atau badan hukum

(subyek hukum) yang menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat memengaruhi orang

lain adalah perbuatan hukum dimana jika terjadi di masyarakat dan menimbulkan

peristiwa kemasyarakatan disebut dengan peristiwa hukum. Seiring dengan

perkembangan globalisasi, hukum juga ikut berkembang bersama masyarakat dan tatanan

didalamnya.
Perbuatan hukum dapat dibagi dalam perbuatan yang sesuai hukum dan yang

tidak sesuai dengan hukum atau yang bertentangan dengan hukum. Terhadap perbuatan

hukum yang tidak sesuai dengan hukum, akan diberikan sanksi atau ganjaran yang

bersifat negatif. Akan tetapi sampai sejauh manakah hukum atau sanksi yang diberikan

pada pelakunya, itu bergantung pada pertanggungjawaban yang harus diberikannya.1


Undang-undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa:

“Negara Indonesia adalah negara hukum” hal ini berarti bahwa setiap warga Negara

Indonesia harus tunduk dan patuh dalam sistem hukum yang berlaku di Negara Indonesia

yang mengatur segala aspek kehidupan manusia dan juga membatasi kepentingan-

kepentingan dengan menentukan suruhan, larangan, dan kebolehan untuk mencapai

ketertiban hukum dalam masyarakat.


Seiring dengan kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia didalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks. Perilaku demikian

apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai

1 B.I.T. Tamba, Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Dalam Melakukan


Perawatan), (Universitas Sriwijaya, Palembang,1996), hlm. 13.
dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang

sesuai dengan norma (hukum) yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku

yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan dibidang

hukum dengan merugikan masyarakat.2


Hukum Pidana sebagai hukum publik bertujuan untuk mengatur interaksi

masyarakat agar sesuai dengan pengaturan hukum itu sendiri. Dalam kaitannya dengan

pengaturan publik khususnya mengenai norma-norma larangan keharusan yang memiliki

sanksi negatif maka hukum pidana mengambil posisi sebagai solusi yang efektif

mengatasi masalah di atas. Dengan adanya hukum pidana tersebut diharapkan dapat

memberi rasa aman dalam masyarakat baik kepada individu maupun kelompok dalam

melaksanakan aktifitas kesehariannya.3


Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, menjelaskan bahwa: “kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif

secara sosial dan ekonomis.”4 Hal ini dapat dikatakan bahwa kesehatan merupakan

bagian terpenting dalam hidup manusia, yang dimana sehat artinya tidak cacat, tidak

terkena penyakit baik fisik maupun psikis dan bisa menjalani kehidupan sosial dengan

normal seperti manusia pada umumnya.


Negara Indonesia menjamin pelayanan kesehatan atas warga Negaranya untuk

mewujudkan kesejahteraan umum serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Sesuai

dengan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa: “Negara

2 Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm. 1.
3 Chazawi, Adami. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya
Hukum Pidana. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.. hlm. 121.

4Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan

umum yang layak.”5


Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik,

mental maupun sosial ekonomi. Dalam perkembangan pembangunan kesehatan selama ini, telah

terjadi perubahan orientasi baik tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya

pemecahan masalah dibidang kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi, sosial budaya,

pertahanan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan orientasi tersebut akan

mempengaruhi proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan.


Proses pembangunan dalam hal ini berkesinambungan dengan hukum, hukum sebagai

pengawas dari segala tatanan sosial dalam masyarakat. Adapun tiga pandangan tentang hukum

dan kemudian dicoba untuk mengemukakan hubungannya dengan masa pembangunan sekarang

ini atau dimasa datang. Tiga pandangan yang dimaksudkan ialah: 6

1. Pandangan Legalitas

2. Pandangan Fungsional, dan

3. Pandangan Kritis.

Beberapa ajaran yang memengaruhi pandangan diatas, yakni:

a. Ajaran Legalisme

Hukum sebagai struktur tertutup yang logis, tidak bertentangan satu

sama lain. Hukum dipandang sebagai seperangkat aturan-aturan yang

diharapkan agar ditaati oleh para anggota masyarakat.7

b. Ajaran yang Funksionil

Pandangan secara funksionil disebut juga Sosiological Jurisprudence

dari hukum berarti senantiasa mengukur norma-norma hukum dan


5 Republik Indonesia, Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
6 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, 2007, hlm. 3.
7 Ibid,.
sebagainya itu berdasarkan effektivitasnya, bagaimana bekerjanya

didalam kenyataannya. Maka cara berfikir secara funksionil adalah

berfikir dalam problema (probleemdenken) dan tidak semata-mata

didasarkan kepada suatu sistem yang cenderung untuk menghendaki

status quo.8

c. Ajaran yang Kritis

Pandangan kritis ini memandang hukum sebagai bagian dari masyarakat,

dengan perkataan lain “hukum dalam masyarakat”. Ia melihat didalam

hukum disatu pihan endapan dari perbandingan kekuatan yang nyata dan

kepentingan-kepentingan yang dominan, sedang dilain pihak juga

aspirasi untuk keadilan dan legitimasi. Ajaran ini mengkaji hukum

dengan ukuran-ukuran yang dipergunakan oleh hukum itu sendiri.9

Beberapa pandangan hukum diatas dapat disimpulkan bahwa hukum selalu ada

didalam masyarakat dan berpengaruh bagi kelangsungan hidup didalamnya serta

mengatur segala sesuatunya yang berupa nilai dan norma sebagai pedoman dan aturan

bagi masyarakat itu sendiri dan harus diaati oleh masyarakat tersebut. Apabila hukum

tidak ditaati atau dapat dikatakan menyimpang dari aturan nilai dan norma yang berlaku,

maka akan dikenakan sanksi bagi pelaku yang melakukan kejahatan tersebut.
Undang – Undang Pokok Kesehatan Tahun 1960 menegaskan, bahwa kesehatan

rakyat adalah salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa

8 Ibid, hlm. 8-9.


9 Ibid, hlm. 9.
dan mempunyai peranan penting dalam penyusunan masyarakat adil, makmur dan

sejahtera; dan karean kesejahteraan umum termasuk kesehatan, maka haruslah diusahan

pelaksanaan cita – cita Bangsa Indonesia yang tercantum dalam alenia keempat

Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, yaitu mewujudkan suatu tata masyarakat

yang adil dan makmur, material dan spiritual berdasarkan pancasila. Bagi suatu

masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera, soal kesehatan merupakan suatu

unsur yang sangat penting.10


Profesi farmasi merupakan profesi yang berhubungan dengan seni dan ilmu

dalam penyediaan (pengolahan) bahan sumber alam dan bahan sintesis yang cocok dan

menyenangkan untuk didistribusikan dan digunakan dalam pengobatan dan pencegahan

suatu penyakit. Farmasi meliputi pengetahuan tentang identifikasi, kombinasi, analisa dan

standarisasi obat dan pengobatan, termasuk pula sifat-sifat obat dan distribusinya yang

aman dan pula dalam penggunaannya, baik penyerahan obat atas dasar dengan resep

dokter, dokter gigi, dan dokter hewan maupun pada penjualan bebas. Apoteker adalah

seorang ahli dalam farmasi seperti tersebut dalam definisi diatas.11


Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah

mengucapkan sumpah jabatan Apoteker12


Dalam Ketentuan Umum (Pasal 1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan, Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan

kosmetika. Pengertian Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi atau keadaan

10 CST. Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1991, hlm. 5.
11 Moh. Anief, Farmasetika, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 1.
12 Republik Indonesia, Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017
Tentang Apotek.
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.13


Maraknya tindak pidana dalam bidang ilmu kesehatan menimbulkan

keprihatinan yang besar bagi kehidupan bangsa ini karena kesehatan merupakan suatu hal

yang vital bagi manusia terhadap kelangsungan hidupnya. Hal ini menunjukan bahwa

tingkat kesadaran masyarakat akan hukum masih sangat rendah sehingga cenderung

melakukan tindak pidana. Banyak sekali oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab

melanggar aturan hukum yang ada dengan mengedarkan obat-obatan sediaan farmasi

tanpa izin edar.


Apabila tidak ada jaminan bahwa obat-obatan tersebut tidak sesuai dengan

prioritas kebutuhan kesehatan serta memenuhi standar mutu, keamanan dan khasiat obat

yang dapat diterima, semua pelayanan kesehatan jelas membahayakan. 14 Apalagi

pelayanan kesehatan yang tidak memiliki izin edar, jelas keamanan dan khasiat nya tidak

terjamin, maka masyarakat harus lebih teliti dalam membeli obat-obatan baik sediaan

farmasi, obat-obatan tradisional maupun obat jenis lainnya yang dikonsumsi untuk

kesehatan. Untuk meghindari peredaran obat-obatan sediaan farmasi tanpa izin edar, serta

menjamin keamanan mutu obat, pemerintah turut serta mengawasinya melalui lembaga

BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).


BPOM berwenang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat

dan makanan. sesuai dengan ketentuan Pasal 2 angka (1) Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 80 Tahun 2017, bahwa “BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan

13 Republik Indonesia, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

14 World Health Organization, Pemastian Mutu Obat, terj. Mimi V. Syahputri, (Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2005), hlm. 1.
tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.”15
Adapun fungsi BPOM dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan

Makanan berdasarkan Pasal 3 angka (1) Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017,

yakni:16
a. Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
b. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
c. Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang

Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;


d. Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;
e. Koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan instansi pemerintah

pusat dan daerah;


f. Pemberian bimbingan teknis dan supervise di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
g. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan;


h. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi

kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM;


i. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab BPOM;
j. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan
k. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantive kepada seluruh unsur organisasi di

lingkungan BPOM.
Pengawasan terhadap obat-obatan haruslah ketat karena semakin banyaknya

penjualan obat-obatan bebas tanpa adanya resep dokter baik di apotek maupun toko obat.

Biasanya obat bebas dapat mendorong untuk pengobatan sendiri atau perawatan penyakit

tanpa pemeriksaan dokter dan tanpa analisa dokter. Penjualan obat secara bebas inilah

yang kemudian menjadi salah satu faktor adanya pihak-pihak yang memproduksi dan

mengedarkan obat atau sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar bahkan palsu.

15 Republik Indonesia, Pasal 2 angka (1) Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
16 Republik Indonesia, Pasal 3 angka (1) Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Tentunya untuk menjualkan produksi sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar

maupun palsu tersebut tidak memiliki izin edar karena obat-obatan yang memiliki izin

edar harus sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh BPOM.
Pada dasarnya, penggunaan obat bertujuan untuk memperoleh kesembuhan dari

penyakit yang diderita. Dalam penggunaan obat harus sesuai ketentuan-ketentuan, sebab

apabila salah, penggunaan obat dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Dikatakan bahwa obat dapat memberi kesembuhan dari penyakit bila digunakan untuk

penyakit yang cocok dengan dosis yang tepat dan cara pemakaian yang tepat pula. Jika

tidak, akan memperoleh kerugian bagi badan bahkan dapat mengakibatkan over dosis

bahkan kematian.
Jika dilihat dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa peredaran obat-obatan

farmasi tanpa izin edar sebenarnya telah melanggar Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa:17

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan sediaan


farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupah).”
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

menyebutkan:18

“Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat

izin edar.”

17 Republik Indonesia, Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
18 Republik Indonesia, Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Thun 2009 Tentang Kesehatan.
Berdasarkan ketentuan peraturan yang telah dimuat, peredaran atau menjual

obat-obatan yang tidak memiliki izin edar telah jelas merupakan suatu tindak pidana.

Walaupun telah dilakukan upaya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan seperti

melakukan pemantauan dan juga pemberian pengarahan serta bimbingan kepada pelaku

pengedar obat-obatan yang tidak memiliki izin edar tersebut.


Adapun contoh kasus mengenai sediaan farmasi tanpa izin edar dengan putusan

yang memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu:

1. Putusan No: 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr, di Pengadilan Negeri Jember dengan perkara

pidana dalam tingkat pertama dengan dengan acara biasa, hakim mengadili dengan

amar putusan menyatakan bahwa terdakwa Hari Laksono bin Giman melakukan

tindak pidana “Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar”.

Hakim memberikan sanksi pidana berupa menjatuhkan pidana kepada terdakwa

dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan menjatuhkan pula pidana denda

sebesar Rp 250.000.- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

2. Putusan No: 197/ pid. sus/ 2012/ PN. Kdi di Pengadilan Negeri Kediri perkara pidana

khusus dalam tingkat pertama dengan dengan acara pemeriksaan khusus, hakim

mengadili dengan amar putusan menyatakan bahwa terdakwa Sutrisno Als. Praktek

Bin Loso melakukan tindak pidana “Dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi berupa obat yang tidak memiliki izin edar”,

hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan penjara selama 2 (dua) tahun 6

(enam) bulan dan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

3. Putusan No. 299/ Pid.Sus/ 2015/ PN.Plg di Pengadilan Negeri Palembang yang

mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama.
Hakim menyatakan bahwa terdakwa Indra Bin Syamsuar melakukan tindak pidana

“Dengan sengaja mengedarkan persediaan farmasi tanpa izin edar”. Hakim

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan

dan denda sebesar Rp 5.000.000’- (lima juta rupiah).

Dari beberapa putusan diatas terdapat beberapa unsur pidana, yakni:

1. Setiap orang
Adalah siapa saja yang menjadi subyek hukum sebagai pelaku tindak pidana

pendukung hak dan kewajiban serta mampu mempertanggungjawabkan

perbuatannya.
2. Adanya unsur kesengajaan
Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat

kesehatan yang tidak memenuhi standart dan/ atau persyaratan keamanan, khasiat

atau kemanfaatan dan mutu. Dengan sengaja dimaksudkan juga bahwa pelaku benar-

benar mengetahui sesuaru perbuatan atau akibat dari perbuatan tersebut terjadi.
Adapun perbedaan yang siginifikan dalam beberapa putusan diatas, yakni pada

putusan No: 197/ pid. sus/ 2012/ PN. Kdi dengan hukuman pidana penjara selama 2 (dua)

tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan putusan

No: 373/Pid.Sus/2015/PN.Plg dengan hukuman pidana penjara selama 2 (dua) bulan 15

(lima belas) hari denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).


Ilmu, penelitian dan kebenaran adalah tiga hal yang dapat dibedakan tetapi

sebenarnya tidak terpisahkan satu sama lain. Menurut Almack, hubungan antara ilmu dan

penelitian seperti hasil dan proses. Penelitian adalah proses, sedangkan hasilnya adalah

ilmu. Sedangkan Whitney, berpendapat bahwa ilmu dan penelitian adalah sama-sama

proses, sehingga ilmu dan penelitian adalah proses yang sama. Hasil dari proses tersebut
adalah kebenaran (truth).19 Maka dari itu, penulis perlu melakukan penelitian dengan

judul “Analisis Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Putusan Terhadap Tindak

Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

beberapa permasalahan yang perlu dibahas, yakni sebagai berikut:


1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap orang

yang melakukan tindak pidana pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar?
2. Apakah penjatuhan putusan oleh hakim dalam tindak pidana pengedaran sediaan

farmasi tanpa izin edar telah sesuai dengan asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan

hukum?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hukum hakim dalam

penjatuhan pidana terhadap tindak pidana pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum

hakim dalam memutus perkara pidana terhadap sediaan farmasi tanpa izin edar.

Ketiga asas tersebut menunjang sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan

ilmu hukum, khususnya mengenai tindak pidana pengedaran sediaan farmasi tanpa

izin edar. Dengan hasil penelitian ini, peneliti dapat menambah pengetahuan dan

19 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 29.
memahami bagaimana cara penerapan sanksi pidana, tujuan hukum mengenai asas

keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum serta pertimbangan hukum hakim

terhadap penjatuhan putusan terhadap pelaku tindak pidana di bidang kesehatan

terutama pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar.

2. penelitian ini juga untuk mengembangkan pola pikir dinamis sekaligus untuk

mengetahui kemampuan penyusun terhadap penerapan ilmu yang diperoleh selama

perkuliahan. Selain itu, penelitian ini juga untuk melengkapi syarat akademis guna

mencapai jenjang sarjana ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara praktis dalam upaya memberikan

masukan terhadap aparat penegak hukum, dalam melaksanakan penjatuhan sanksi

terhadap tindak pidana sediaan farmasi tanpa izin edar.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini, dibatasi pada ruang lingkup penelitian

hukum guna mendapatkan jawaban yang di inginkan. Maka dari itu penelitian ini hanya

membahas penerapan tindak pidana terhadap pelaku pengedaran sediaan farmasi tanpa

izin edar dan mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan tindak pidana

pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar.


F. Kerangka Teori
Teori Pertimbangan Hakim
Menurut Getherd Robbes secara kontektual ada tiga (3) esensi yang terkandung dalam

kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:20

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatukan oleh hakim.

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan

fungsi yudisialnya.

Menurut Mackenzei ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh

hakim dalam memperimbangakan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai

berikut.21

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan kesimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat

– syarat yang ditentukan oleh undang – undang dan kepentingan pihak-pihak

yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan

kepentingan korban.

20 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Geafika, 2010), Hlm. 104.
21 Ibid, hlm. 106.
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan olehn hakim meruapakan diskresi atau kewenangan dari

hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan

dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim

akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara

pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu

putusan, lebih ditentukan oleh insting atau intuisi dari pada pengetahuan dari

hakim.

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakuakan

secara sistematik dan penuh kehati – hatian khususnya dalam kaitan dengan

putusan – putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan

hakim. Pendekatan keilmuan ini meruapakan semacam peringatan bahwa

dalam memutus seuatu perkara, hakim tidak boleh semata – mata atas dasar

insting atau intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan

hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara

yang harus diputuskan.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seseorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara – perkara dihadapinya sehari – hari, dengan

pengalaman yang dimilikinya, seseorang hakim dapat mengetahui bagaimana


dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang

berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangakan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disangketakan, kemudian mencari peraturan perundang – undangan yang

relavan dengan pokok perkara yang disangketakan sebagai dasar hukum dalam

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan motivasi yang

jelas untuk menegakan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang

berperkara.

Berdasarkan teori-teori tersebut diatas, penulis akan menggunakan teori

pendekatan keilmuan yaitu bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakuakan secara

sistematik dan penuh kehati – hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan –

putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. bahwa dalam

memutus seuatu perkara, hakim tidak boleh semata – mata atas dasar insting atau intuisi

semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan

keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis, dan pemilihan jenis

penelitian tersebut tergantung pada perumusan masalah yang ditentukan dalam

penelitian tersebut. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini

adalah Penelitian Hukum Normatif.

Penelitian hukum normatif adalah metode yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka yang ada. penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan

berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,

teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.22

Penelitian Hukum Normatif, meliputi:23

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematika hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;

d. Penelitian sejarah hukum; dan

e. Penelitian perbandingan hukum.

Berdasarkan beberapa penelitian hukum normatif diatas, penulis menggunakan

“penelitian terhadap asas-asas hukum”. Karena merupakan usaha untuk menemukan

apakah hukum itu telah sesuai untuk diterapkan atau dengan kata lain hukum secara

nyata dilaksanakan atau dipatuhi oleh masayarakat guna menyeleaikan suatu perkra

tertentu.

2. Pendekatan Penelitian

22 Penelitian Hukum Normatif, 2013, https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-


adalah/html, Diakses tanggal 26 februari 2018
23 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 41-42.
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

undang – undang (Statue Approach) merupakan suatu jenis pendekatan yang

dilakukan dengan mengkaji seluruh peraturan peundang - undangan dan peraturan

hukum lainnya yang memiliki keterkaitan dengan tema atau isu hukum yang sedang

dikaji. Peraturan hukum lainnya yang dimaksudkan tersebut berupa peraturan hukum

yang bersifat nasional dan pendekatan kasus (Case Approach) yang dilakukan dengan

menelaah kasus – kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-

kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan

berkekuatan hukum tetap.24

3. Sumber Bahan Penelitian

Penelitian hukum normatif menitikberatkan studi kepustakaan, oleh karena itu maka

data yang dijadikan bahan penelitian adalah data sekunder atau bahan pustaka yang

mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier,

diantaranya:25

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang digunakan

dalam penelitian, yaitu:

a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang Nomor 36 Thun 2009 Tentang Kesehatan

c. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan

Pengawas Obat dan Makanan


24 Pendekatan Dalam Penelitian Hukum, 2013,
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum. Diakses tanggal
10 Maret 2018 pukul 11.30 Wib.
25 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 93.
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017

Tentang Apotek

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi dokumen, karya tulis

ilmiah, buku – buku ilmiah, maupun artikel – artikel dari suatu media cetak yang

erat hubungannya dengan pokok bahasan ini. Bahan hukum sekunder juga

meliputi semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak

resmi.26

3. Bahan Hukum Tersier

Data Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Data tersier

dapat berupa kamus bahasa hukum, ensiklopedi, majalah, media massa dan

internet.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Karena penelitian ini menitikberatkan pada data sekunder, maka teknik pengumpulan

bahan hukum dilakukan melalui Studi Kepustakaan, yaitu dengan melakukan

26 Ishaq, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Alfabeta, 2017, hlm. 54.


penelusuran bahan hukum berupa putusan – putusan pengadilan, sattistik kejahatan

sebagai peraturan perundangan, berbagai literature pendukung, hasil penelitian dan

penelusuran melalui teknologi informasi.27

5. Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan gejala – gejala di lingkungan

masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu

kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. 28

Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik azas – azas hukum

(rechsbeginselen) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun

hukum positif tidak tertulis.29

6. Teknik Penarikan Kesimpulan

Teknik penarikan kesimpulan dalam penulisan skripsi ini dilakukan secara deduktif

yakni penarikan kesimpulan yang berawal dari pengertian umum yang kebenarannya

sudah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. 30

Hasil penelitian ini merupakan penerapan hal-hal yang bersifat umum terlebih dahulu

dan selanjutnya dihubungkan dalam bagian-bagian yang khusus. Dengan silogisme

diaturlah jalan pikiran, yaitu dengan berpangkal pada premis-premis untuk

memperoleh suatu kesimpulan (deduktif).31

H. Sistematika Penulisan

27 Jhoni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2006, hlm.
47.
28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hlm. 32.
29 Ibid, hlm. 252.
30 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 10.
31 Ibid, hlm. 31.
Secara keseluruhan pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan,

Manfaat, Ruang lingkup, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan Skripsi.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini membahas mengenai pengertian tindak pidana, sejarah tindak

pidana farmasi, pengertian dan ruang lingkup tindak pidana, sejarah farmasi di

Indonesia, pengertian farmasi, sumber hukum farmasi di Indonesia, gambaran

umum tentang tindak pidana farmasi tanpa izin edar, pertanggung jawaban

pidana serta upaya penanggulangannya.

BAB III: PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana pengedaran sediaan

farmasi tanpa izin edar dan apakah pertimbangan hakim tersebut telah sesuai

dengan asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan skripsi yang ditulis serta

saran-saran penulis terhadap permasalahan yang muncul.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar
1. Tindak Pidana Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar
Tindak pidana atau strafbaarfeit di dalam Kitab Undang – Undang Hukum

Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa strafbaarfeit itu. Tindak pidana

biasanya disinonimkan dengan istilah delik yang dalam bahasa latin disebut

delictum.32
Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum

yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:33
a. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang

dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang

melanggarnya.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa saja kepada mereka yang telah melakukan

larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan

apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.

Pengertian hukum pidana yang dikemukaan oleh Moeljatno dalam konteks

yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana materiil (poin 1 dan 2),

tetapi juga hukum pidana formil (poin 3). Hukum pidana tidak hanya berkaitan

dengan penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana serta

kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tapi juga proses

peradilan yang harus dijalankan oleh otang tersebut.34


Berkaitan dengan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, menurut

Prof. Van Hamel:35

32 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2012, hlm. 47.
33 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm. 2.
34 Ibid., hlm. 5.
35 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
2011, hlm. 10.
“Hukum pidana material itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-

peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedang

hukum pidana formal menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu

yang mengikat pemberlakuan hukum pidana material.”


Hukum pidana dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian umum atau

algemene deel dan bagian khusus atau bijzonder deel. Bagian umum itu memuat asas-

asas umum atau apa yang juga disebut algemene leerstuken, hingga pada dasarnya ia

hanya terbatas pada apa yang telah diatur didalam Buku ke-1 KUHP, sedang bagian

khusus itu memuat masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran, baik

yang dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasikan. Selanjutnya, hukum pidana

itu dapat dibagi menjadi hukum pidana biasa atau algemen strafrecht dengan hukum

pidana khusus atau bijzonder strafrecht. Hukum pidana umum adalah hukum pidana

yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada

umumnya, sedang hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja

telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja, misalnya bagi

anggota-anggota angkatan bersenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang

mengatur tindak pidana tertentu saja, misalnya tindak pidana fiskal.36


Strafbaarfeit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu

telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku

yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang

bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.37


Menurut Simons pengertian tindak pidana dirumuskan sebagai suatu

perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, diancam dengan pidana oleh

36 Ibid., hlm. 12.


37 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT. Rafika Aditama,
2011, hlm. 97.
Undang-Undang perbuatan mana dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan dan dapat dipersalahkan pada si pembuat.38


Sementara itu, Moeljatno menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan

tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan

tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.39

Jika dilihat dari pengertian ini, maka disitu dalam pokoknya ternyata:40
a. Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku;
b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang

mengadakan kelakuan tadi.


Sudarto, ahli hukum pidana lain mendefinisikan hukum pidana sebagai hukum

yang memuat aturan-aturan hukum mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang

memenuhi syarat tertentu suatu akibat pidana. Sejalan dengan hal ini maka Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat dua hal pokok, yaitu:41


a. Memuat pelukisan-pelukisan dari perbuatan-perbuatan yang diancam pidana,

yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi, disini seolah-olah

negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum,

perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.


b. Menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang-orang

yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang itu. Dalam hukum pidana

modern, reaksi ini tidak hanya berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut

dengan tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-

perbuatan yang merugikannya.

38 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana Indonesia, Palembang: Penerbit Universitas
Sriwijaya, 2007, hlm. 67.
39 Erdianto Effendi, opcit., hlm. 98.
40 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 60.
41 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm. 3.
Istilah hukum pidana pada dasarnya tercakup beberapa pengertian. Pertama,

adakalanya istilah hukum pidana bermakna sebagai hukum pidana materiil

(substantive criminal law), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai

perbuatan yang dinyatakan terlarang, hal-hal atau syarat-syarat yang menjadikan

seseorang dapat dikenai tindakan hukum tertentu berupa pidana atau tindakan karena

telah melakukan perbuatan yang dilarang itu dan berisi ketentuan mengenai sanksi

hukum berupa ancaman pidana, baik berupa sanksi pidana maupun sanksi tindakan.

Ketiga hal tersebut dalam khazanah teori hukum pidana lazim tersebut dengan

perbuatan pidana (criminal responsibility/liability) dan pidana atau tindakan

(punishment/treatment).42
Kedua, istilah hukum pidana juga bermakna sebagai hukum pidana formil

(law of criminal procedure), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai tata

cara atau prosedur penjatuhan sanksi pidana atau tindakan bagi seseorang yang

diduga telah melanggar aturan dalam hukum pidana materiil. Makna yang kedua ini

disebut juga dengan hukum acara pidana. Ketiga, istilah hukum pidana juga diartikan

sebagai hukum pelaksanaan pidana (law of criminal execution), yaitu aturan hukum

yang berisi ketentuan mengenai bagaimana suatu sanksi pidana yang telah dijatuhkan

terhadap seorang pelanggar hukum pidana materiil itu harus dilaksanakan.43


Adapun Leoby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana

meliputi:44
a. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang;
c. Perbuatan itu dianggap melawan hukum;
d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan;

42 Ibid., hlm. 5.
43 Ibid.
44 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT. Rafika Aditama,
2011, hlm. 99.
e. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara, menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi, unsur-unsur tindak pidana

adalah:45
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat melawan hukum (dan tindakan);
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan

dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;


e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Strafbaarfeit itu terdiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat).

Adapun mengenal yang kedua, hal itu berbeda juga dengan “perbuatan pidana” sebab

disini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban

pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya

menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat yang dilarang dengan ancaman

dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang benar-benar dipidana seperti yang

sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya

dengan perbuatannya itu, yaitu dengan kesalahannya.46

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak

pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak

pidana yaitu:47

a) Unsur obyektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku terus

dilakukan. Terdiri dari:

45 Ibid.
46 Ibid., hlm. 62.
47 Teguh Prasetyo, op.cit., hlm 50.
1) Sifat melanggar hukum;

2) Kualitas dari si pelaku;

3) Kausalitas.

b) Unsur subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan

dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung

di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 53

ayat (1) KUHAP;

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya;

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti dalam Pasal 340 KUHP, yaitu

pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu;

5) Perasaan takut seperti terdapat dalam Pasal 308 KUHP.

Ilmu hukum pidana adalah ilmu atau pengetahuan mengenai suatu bagian

khusus dari hukum, yaitu hukum pidana. Objek daru ilmu ini adalah aturan-aturan

hukum pidana yang berlaku di suatu negara, bagi kita hukum pidana Indonesia.

Hukum pidana yang berlaku dinamakan hukum pidana positif. Tujuannya ialah

menyelidiki pengertian objektif dari hukum pidana positif. “Rechtswissenschaft ist

die wissenschaft vom obyektiven sinn despositiven Rechts”, demikian Prof. Radbruch

dalam Vorschule der Rechtsfilosofie (1948).48

48 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, hlm. 11.
Penyelidikan tersebut melalui tiga fase, tiga Stufen, yaitu:49

1. Interpretasi;

2. Konstruksi;

3. Sistematik.

Interpretasi bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang

termaktub dalam aturan-aturan hukum. Pengertian objektif adalah mungkin berbeda

dengan pengertian subjektif dari pejabat-pejabat ketika membuat aturan. Sebab jika

tidak demikian dan tetap mengikuti pengertian pada saat lahirnya, maka aturan-aturan

tadi tidak dapat digunakan untuk waktu yang keadaan masyarakatnya jauh berlainan

dari ketika aturan-aturan dibuat, sehingga tidak dapat mengikuti kehidupan dan

pertumbuhan rakyat. Akibatnya ialah bahwa aturan-aturan hukum lalu dirasa sebagai

penghalang perkembangan masyarakat.

Kontruksi adalah bentukan yuridis yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-

unsur tertentu, dengan tujuan agar apa yang termaktub dalam bentukan itu merupakan

pengertian jelas dan terang. Rumusan-rumusan delik itu misalnya merupakan

pengertian jelas dan terang. Rumusan-rumusan delik misalnya adalah suatu kontruksi

yuridis. Misalnya: pencurian dalam pasal 362 KUHP dirumuskan “mengabil barang

orang lain, dengan maksud memilikinya secara melawan hukum (secara tidak sah)”.

Semua perbuatan yang dapat dimasukkan dalam kontruksi ini yang menurut hukum

dianggap sebagai pencurian.

Pemberontakan (pasal 108) dikontruksi sebagai:

1. Menentang Pemerintahan yang telah menetap di Indonesia dengan senjata;

49 Ibid., hlm. 12-13.


2. Menyerbu bersama-sama dengan atau menggabungkan diri pada gerombolan yang

menentang pemerintah yang telah menetap di Indonesia dengan senjata, dengan

maksud untuk melawan pemerintah itu.

Sistematik adalah mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada

khususnya atau seluruh bidang hukum pada umumnya. Maksudnya ialah agar

peraturan-peraturan yang banyak dan beraneka warna itu, tidak merupakan hutan

belukar yang sukar lagi berbahaya untuk diambil kemanfaatannya, tetapi merupakan

tanaman yang teratur dan indah sehingga memberi kegunaan yang maksimal kepada

masyarakat.

Dengan mengerti akan makna objektif dari hukum pidana yang berlaku serta

mempergunakan sarana kontruksi dan sistematik, maka dalam menetapkan

(toepassen) hukum itu, baik sebagai pegawai kepolisian, pamongpraja, jaksa, hakim

maupun sebagai pengacara dan pembela, orang lalu bukan saja tahu akan adanya

aturan hukum yang berlaku, tetapi juga tahu akan maksudnya, baik sebagai suatu

aturan khusus, maupun dalam rangkaiannya dengan lain-lain aturan yang merupakan

bentukan atau kontruksi hukum tertentu, dengan tujuan yang tertentu pula, ataupun

justru sebagai pengecualian dari aturan-aturan lain. Sebab alasan-alasan yang dipakai

dalam menentukan hukumnya, kompleks kejadian tersebut, bukanlah pandangan yang

subjektif, menurut keinginan atau kehendak sendiri, yang tergantung dari keadaan

masing-masing, tetapi pandnagan yang objektif menurut ketentuan yang ilmiah,

sehingga boleh diuji dan diteliti kebenarannya oleh siapa pun.


Di dalam persidangan semua unsur-unsur harus dibuktikan. Menurut

Moeljatno keadaannya adalah sebagai berikut:50

a) Unsur obyektif yang tidak dapat dibuktikan maka keputusannya ialah

terdakwa harus dibebaskan (vrijspraak);

b) Unsur subjektif yang tidak dapat dibuktikan, maka keputusannya ialah

terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum (ontslag van rechsvervotn).

Tindak pidana di bidang Kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009. Untuk mencapai tujuan nasional diselenggarakanlah upaya

pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian

pembangunan yang menyeluruh, terarah dan terpadu, termasuk diantaranya

pembangunan keshatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu

unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan berdasarkan Pancasila dan Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, setiap kegiatan

dan upaya untuk meningkatkan derajat masyarakat yang setinggi-tingginya

dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan dan

berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sember daya manusia,

peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.51


Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang kesehatan yang kewenangannya:


52

50 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, op.cit., hlm.76.


51 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus (Memahami Delik-Delik di Luar KUHP), Jakarta,
Prenada Media Group, 2016, hlm. 240.
52 Ibid, hlm. 240-241.
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang

tindak pidana dibidang kesehatan;


2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak

pidana dibidang kesehatan;


3. Memintaketerangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan tindak pidana dibidang kesehatan;


4. Melakukan pemeriksaan atas surat dan/ atau dokumen lain tentang tindak

pidana dibidang kesehatan;


5. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam

perkara tindak pidana dibidang kesehatan;


6. Meminta bantuan ahli dalam rangkapelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana dibidang kesehatan;


7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang

membuktikan adanya tindak pidana dibidang kesehatan.

Terhadap pelanggar ketentuan-ketentuan hukum yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, diancam pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal-Pasal dibawah ini:53

1. Pasal 196
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard an/atau
persyaratan keamanan khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).”
Unsurnya:

- Setiap orang;
- Dengan sengaja;
- Memproduksi atau mengederkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan;

53 Ibid, hlm 241.


- Tidak memenuhi standar dan/ atau persyaratan keamanan, khasiat atau

kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan

ayat (3);
- Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

(catatan: Pasal 98 ayat (2) setiap prang yang tidak memiliki keahlian dan

kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan

mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Ayat (3) ketentuan mengenai

pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran kesediaan farmasi

dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah).54

Pasal 196 ini merupakan jenis tindak pidana formil yakni menghukum perbuatan

atau menitikberatkan terhadap perbuatan yang dilarang. Subjeknya orang,

seseorang dapat dihukum karena kesalahannya. Hukuman/sanksi yang dikenakan

berupa pidana pokok yakni pidana penjara dan pidana denda. Dengan demikian,

hukum pidana dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa

penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Tanggung jawab

pidana yang dilakukan pada orang berdasarkan pada asas “Tiada Pidana Tanpa

Kesalahan” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Gen straf zonder Schuld atau

Nulla Poena Sine Culpa.

2. Pasal 197
“setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/ atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
54 Ibid, hlm 244.
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu
milyar lima ratus juta rupiah)”
Unsurnya:

- Setiap orang;
- Dengan sengaja;
- Memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan;
- Tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1);
- Dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(catatan: Pasal 106 ayat (1) sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat

diedarkan setelah mendapat izin edar).

Pasal 197 ini merupakan jenis tindak pidana formil yakni menghukum perbuatan

atau menitikberatkan terhadap perbuatan yang dilarang. Subjeknya orang,

seseorang dapat dihukum karena kesalahannya. Hukuman/sanksi yang dikenakan

berupa pidana pokok yakni pidana penjara dan pidana denda. Dengan demikian,

hukum pidana dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa

penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Tanggung jawab

pidana yang dilakukan pada orang berdasarkan pada asas “Tiada Pidana Tanpa

Kesalahan” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Gen straf zonder Schuld atau

Nulla Poena Sine Culpa.

3. Pasal 198
“Setiap orang yang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat
(1) dipidana dengan Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).”
Unsurnya:
- Setiap orang;
- Tidak memiliki keahlian dan kewenangan;
- Untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal

108 ayat (1);


- Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta

ripiah).

(catatan: Pasal 108 ayat (1) praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan

termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengandaan,

penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,

pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat, obat tradisional

harusdilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyaikeahlian dan

kewenangan sesuai dengan ketentuan Persturan Perundang-Undangan. Ayat (2)

ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah).55

Dalam pasal 198 ini juga merupakan jenis tindak pidana formil yakni menghukum

perbuatan atau menitikberatkan terhadap perbuatan yang dilarang. Subjeknya

orang, seseorang dapat dihukum karena kesalahannya. Hanya saja hukuman yang

dikenakan dalam pasal ini berupa pidana pidana pokok yaitu denda. Dengan

demikian, hukum pidana dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya

bahwa penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Tanggung

jawab pidana yang dilakukan pada orang berdasarkan pada asas “Tiada Pidana

55 Ibid,.
Tanpa Kesalahan” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Gen straf zonder Schuld

atau Nulla Poena Sine Culpa.

Dari rumusan tindak pidana diatas. Berdasarkan Pasal 196, Pasal 197, dan Pasal

198 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dapat penulis

jelaskan bahwa Pasal 197 lebih berkaitan dengan studi putusan yang diteliti.

Pasal 197, yang berbunyi:

“setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan


farmasi dan/ atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar
lima ratus juta rupiah)”
Dengan Unsur:
- Setiap orang;
- Dengan sengaja;
- Memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan;
- Tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1);
- Dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah).


2. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar

Manusia
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan

pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila

pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan

normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.56

Asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah tiada pidana jika tanpa

kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sistrea). Asas ini

tidak disebut dalam hukum tertulis, tetapi asas ini dianut dalam penerapan hukum di

Indonesia.57 Banyak tulisan yang membicarakan tentang syarat-syarat dari mampu

bertanggungjawab atau tidak mampu bertanggung jawab, syarat utamanya adalah

bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana.58 Asas kesalahan tersebut menyangkut

orangnya yang merupakan asas atau individual dalam mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut:

56 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 22.
57 Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, Sinar Grafika Jakarta, 1991,
hlm. 165.
58 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta,
1983, hlm. 32.
“Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan

hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggung

jawab atas perbuatannya”.59

Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan sebutan mens rea.

Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah seorang kecuali jika orang

yang bersalah itu jahat. Doktrin mens rea itu dilandaskan pada maxim actus nonfacit

reum nisi mens sit rea, yang berarti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang

bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.”60

Menurut pandangan tradisional, disamping syarat-syarat objektif melakukan

perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat subjektif atau syarat-syarat

mental untuk dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhkan pidana kepadanya. Syarat

subjektif ini disebut “kesalahan”. Menurut sistem hukum kontinental, syarat-syarat

subjektif ini dibagi dua, yaitu bentuk kesalahan (kesengajaan dan kealpaan) dan

mampu bertanggung jawab. 61

Konsep kesalahan geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan)

sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atau sesuatu badan

hukum dikenai pula di Indonesia. Pasal 1 KUHP berbunyi:62

1) Tiada satu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.

59 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas, Djakarta, 1958, hlm. 255


60 Erdianto Effendi, opcit. hlm., 107.
61 Ibid.
62 Ibid.,hlm. 108.
2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan

dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling

menguntungkannya.

E.Y Kanter dan S.R Sianturi menyebutkan bahwa:63 Pertanggungjawaban

pidana menjurus kepada perbuatan pelaku tindak pidana, apabila ia telah melakukan

suatu tindak pidana, apabila ia telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi

unsur yang telah ditentukan dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut

dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan delik yang telah dilakukannya.

Seseorang dapat bertanggung jawab atas segala tindakannya apabila tindakan

tersebut melawan hukum dan tidak ada peniadaan alasan pembenar untuk itu.

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif ada memenuhi syarat

untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah

asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas legalitas. Ini

berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai

kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.64 Oleh karena itu,

pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak

pidana yang dilakukannya.

Dasar pemikiran hukum pidana perbuatan yang meletakkan kepada

pembuktian unsur-unsur tindak pidana, dilatarbelakangi oleh pemikiran KUHP itu

63 E. Y. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya,Jakarta: Storia Grafika, 2002., hlm.249.
64 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana:Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1981., hlm. 156-157.
sendiri berorientasi kepada sifat individualisasi dari perbuatan itu sendiri.

Konsekuensi yuridis pembuktian unsur-unsur tindak pidana adalah jika salah satu

unsur tindak pidana itu tidak terbukti, maka orang tidak dapat dipidana dengan

sendirinya ia harus dibebaskan. Dasar pemikiran hukum pidana perbuatan yang

melekatkan kepada pembuktian unsur-unsur tindak pidana, dilatarbelakangi oleh

pemikiran bahwa KUHP itu sendiri berorientasi kepada sifat individualisasi dari

perbuatan itu sendiri. Ini berarti untuk dipidananya perbuatan atau tindak pidana,

maka jaksa/penuntut umum harus membuktikan unsur-unsur tindak pidana.

Konsekuensi yuridis pembuktian unsur-unsur tindak pidana ini adalah jika salah satu

unsur tindak pidana itu tidak terbukti, maka orang tidak dapat dipidana dan dengan

sendirinya ia harus dibebaskan.65

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu

telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan

hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalm undang-undang

dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut

belum memnuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat

dipertanggungjawabkan, orang tersebut masih perlu adanya syarat bahwa orang yang

mealkukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dengan demikian, hukum pidana

65 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana (Tindak Pidana, Pertanggungjawaban,
Pidana dan Pemidana an), Palembang: Universitas Sriwijaya, 2014., hlm. 194.
dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa penjatuhan pidana

disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Tanggung jawab pidana yang

dilakukan pada orang berdasarkan pada asas “TIADA PIDANA TANPA

KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Gen straf zonder Schuld atau

Nulla Poena Sine Culpa.66

Pasal 196
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard an/atau
persyaratan keamanan khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).”
Pasal 197
“setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/ atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu
milyar lima ratus juta rupiah)”

Pasal 198
“Setiap orang yang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat
(1) dipidana dengan Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).”

Pertanggungjawaban yang terdapat dalam Pasal 196, Pasal 197, dan Pasal 198

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dikenakan kepada Manusia atau “orang”

yang dimana orang merupakan subjek hukum dalam ketiga Pasal tersebut diatas

menyebutkan kata “setiap orang”. Dalam KUHP terdapat dalam tiap-tiap pasal dalam

Buku II dan Buku III, bahwa subjek hukum pidana adalah natuurlijke person atau

manusia. Jadi, Penulis dalam hal ini menitikberatkan pertanggungjawaban dalam

66 Fajrin, 2012, Kitabpidana.blogspot.co.id, diakses tanggal 23 Mei 2018 pukul 06.15 WIB
Pasal 196, Pasal 197, dan pasal 198 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah

manusia.

3. Sanksi Pidana Terhadap Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar

Sanksi pidana, yang dalam bahasa inggris, disebut dengan criminal

sanctions, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan strafrechtelijke sancties

merupakan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan

pidana. Ada dua suku kata yang terkandung dalam sanksi pidana yaitu sanksi dan

pidana.67

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa:68


“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupah).”

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 menyebutkan:69

“Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.”
Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal tersebut telah jelas bahwa pasal

tersebut merupakan ketentuan pidana yang mengatur bahwa setiap orang yang

mengedarkan obat-obatan yang tidak memiliki izin edar akan dikenakan sanksi

67 Rodliyah dan Salim HS, 2017, Hukum Pidana Khusus (Unsur dan Sanksi Pidananya), Depok,
Rajawali Pers, hlm. 17.
68 Republik Indonesia, Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
69 Republik Indonesia, Pasal 106 Undang-Udang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
pidana dan hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan diancam

dengan pidana.

Stelsel pidana maksudnya adalah susunan pidana yang ada dalam pasal 10

KUHP, yang terdiri dari:70

a. Pidana Pokok:

1. Pidana Mati

2. Pidana Penjara

3. Kurungan

4. Denda

b. Pidana Tambahan:

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.

Di dalam KUHP di kenal beberapa sistem ancaman hukuman atau stelsel

pemidanaan suatu perbuatan pidana seseorang yang dibedakan antara lain :

1) Stelsel pokok terdiri dari :

a) Absorpstie Stelsel/Stelsel Absorpsi

70 Pasal 10 KUHP
Didalam hal ini seseorang melakukan beberapa perbuatan yang

merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan

pidana yang berbeda macamnya, maka menurut sistem ini hanya

akan dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana terberat ini seolah

menyerap (absoreen) pidana-pidana yang ringan yang juga

diancamkan.71

b) Cumulatie Stelsel/Stelsel Kumulasi

Didalam hal ini seseorang melakukan beberapa perbuatan pidana

sendiri-sendiri, maka berdasarkan sistem ini tiap-tiap delik yang

dilakukan oleh orang tadi semuanya dijatuhkan.72

2) Stelsel tambahan terdiri dari :

a) Verscherpte Absorptie Stelsel/Stelsel Absorpsi Diperberat

Didalam hal seorang melakukan beberapa perbuatan yang

merupakan delik yang masing-masing diancam dengan pidana

sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya

dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat dengan

ditambah sepertiganya (dari pidana terberat).73

b) Gematigde Cumulatie Stelsel/Stelsel Kumulasi Terbatas

Didalam hal ini seseorang melakukan beberapa pidana yang

menimbulkan beberapa macam delik, yang untuk masing-masing

diancamkan dengan pidana, maka menurut stelsel ini semua pidana

71 Hermien Hadiati Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka


Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, hlm.25.
72 Ibid, hlm.25.
73 Ibid
yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan

semuanya.74

Dengan meninjau stelsel pidana dalam Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan, maka strafshoort yakni jenis-jenis pidana yang ada

dalam stelsel tersebut termasuk dalam pidana pokok berupa pidana penjara dan denda.

Begitu pula dengan strafmaat yakni berat ringannya pidana yang dikenakan dari pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah). Sedangkan strafmodus yakni bentuk pengenaan pidana dalam pasal

196 Undang-Undang Kesehatan ini adalah menggunakan bentuk pengenaan pidana

kumulasi karena pengancaman dikenakan dengan kata "dan", dikenakan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar

rupiah).

Dengan meninjau stelsel pidana dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan, maka strafshoort yakni jenis-jenis pidana yang ada

dalam stelsel tersebut termasuk dalam pidana pokok berupa pidana penjara dan denda.

Begitu pula dengan strafmaat yakni berat ringannya pidana yang dikenakan dari pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupah). Sedangkan strafmodus yakni bentuk pengenaan pidana

dalam pasal 197 Undang-Undang Kesehatan ini adalah menggunakan bentuk pengenaan

pidana kumulasi karena pengancaman dikenakan dengan kata "dan", dikenakan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupah).

74 Ibid
Dengan meninjau stelsel pidana dalam Pasal 198 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan, maka strafshoort yakni jenis-jenis pidana yang ada

dalam stelsel tersebut termasuk dalam pidana pokok berupa pidana denda paling banyak

Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Sedangkan strafmodus yakni bentuk pengenaan

pidana dalam pasal 198 Undang-Undang Kesehatan ini adalah menggunakan bentuk

pengenaan pidana Tunggal karena hanya satu jenis pidana yang dikenakan kepada

terpidana dalam pasal ini yaitu pidana denda.

Pelaksanaan hukuman dari ketiga rumusan Pasal diatas, yaitu:

1. Pidana Penjara

Pelaksanaannya dalam pidana penjara dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya sidebut LAPAS adalah tempat untuk

melakukan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Dalam

penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 penempatan Terpidana di

LAPAS dilakukan dengan pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

dan pendaftarannya dilaksanakan pada saat Terpidana diterima di LAPAS, begitu

juga pembebasannya dilaksanakan pada saat Narapidana telah selesai menjalani

masa pidananya.

Pasal 270 KUHAP berbunyi:

“pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat

putusan kepadanya.”
Pidana penjara sebagai bagian dari prevensi umum dan khusus serta tolak

ukur penjeraan sebagai salah satu sarana nasional dalam menanggulangi kejahatan.

Dari perkembangan kongres PBB, mengenai prevention of crime and treatment of

offenders, pidana penjara masih tetap dapat dipertahankan hanya perlu dibatasi

penggunaannya untuk pidana tertentu, terutama yang menjadi perhatian adalah

tentang resosialisasi terpidana. Selanjutnya dilihat dari pemidanaan dalammasyarakat

modern, pidana sebagai proses untuk merubah tingkah laku, maka pidana penjara

masih dapat dipertahankan dan dilihat dari upaya pengamanan masyarakat, pidana

penjara merupakan salah satu dari pemidanaan yang lebih manusiawi dibandingkan

dengan tindakan yang sewenang-wenang diluar hukum.75

Eksistensi pidana penjara dilihat dari sudut efektivitas sanksi harus dapat

dilihat dari dua segi aspek pokok tujuan pemidanaan yakni aspek perlindungan

masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Dari aspek perlindungan masyarakat

maka tujuannya adalah untuk mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak

pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat antara lain; memenyelesaikan

konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan

noda-noda dan memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,

sedangkan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan

rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari

perlakuan sewenang-wenang diluar hukum.

75 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm.
78.
Berkenaan dengan tindak pidana penjara, telah diatur juga dalam RUU-

KUHP, pasal 69:76

2. Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu;

3. Pidana penjara untuk waktu tertentudijatuhkan paling lama 15 (lima belas

tahun) berturut-turut atau paling sigkat satu hari, kecuali ditentukan

minimum khusus;

4. Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana seumut hidup atau jika

ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhkan pidana penjara

15 (lima belas tahun), maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat

dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut;

5. Dalam hal bagaimanapun, pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh

dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

2. Pidana Denda

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana denda diatur dalm Pasal 30

dan 31. Pada pasal 31 menyatakan:

1) Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen.

2) Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan.

3) Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan

paling lama adalah 6 bulan.

76 Pasal 69 RUU-KUHP
4) Dalam putusan hkim lamanya kurungan pengganti ditetapkan

demikian: jika dendanya lima puluh sen atau kurang, dihitung satu

hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup lima puluh sen.

5) Jika ada pemberatan denda, disebabkan karena ada perbarengan atau

pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52 dan 52 a, maka kurungan

pengganti paling lama dapat menjadi 8 bulan.

6) Kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan,

Pasal 32 KUHP menyatakan:

1. Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan sebagai

pengganti dengan tidak usah menunggu sampai waktu harus membayar

denda itu.

2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar

dendanya.

3. Pembayaran sebagian dari denda, baik sebelum maupun sesudah dan

mulai menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari

sebagian kurungan bagian denda yang telah dibayar.

B. Teori Putusan Hakim dalam Vonis Sanksi Pidana


1. Tinjauan Umum Tentang Hakim
a. Pengertian Hakim
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam

Undang-Undang kekuasaan kehakiman.77 Hakim adalah hakim pada Mahkamah

Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahya dalam

77 Pasal 31 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 (yang sudah di ganti dengan Undang-Undang
No.48 Tahun 2009) Tentang Kekuasaan Kehakiman.
lingkungan peradilan umum.78 Menurut pendapat Abdul Kadir Muhammad,

Hakim adalah pegawai negeri sipil yang diangkat sebagi pejabat penegak hukum

mengadili perkara berdasarkan syarat syarat dan prosedur yang ditetapkan oleh

Perundang-Undangan yang berlaku.79


Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-

Undang untuk mengadili. Mengadili di artikan sebagai tindakan hakim untuk

menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan

tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur

dalam Undang-Undang.80
b. Peranan Hakim di Pengadilan
Soerjono Soekanto menyatakan peranan mempunyai arti perbuatan

seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh

masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang

dalam suau kelompok sosial atau kedudukan berarti juga tempat seseorang dalam

suatu pola tertentu.81


Athur L. Corbin mengemukakan sebagai berikut A jugde who is ready to

decide what is justice and for the public weal without any knowledge of history

and precedent is an egoist and an ignoranmus artinya seorang hakim yang siap

memutus atas nama keadilan kesejahteraan umum tanpa memiliki pengetahuan

tentang sejarah yurisprudensi adalah egois dan bersikap masa bodoh.82

2. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim


a. Pengertian Putusan Hakim

78 Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
79 Fence M.Wantu, Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2011, hlm. 24-25.
80 Ibid, hlm. 26.
81 Fence M. Wantu, Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan
(Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata., Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011, hlm.20
82 Ibid, hlm 40
Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam

persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan

Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di

dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Berlandaskan pada visi

teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan:83

“Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan

perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural

hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau

pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan

menyelesaikan perkara.”84

Didalam KUHAP, definisi putusan adalah “pernyataan hakim yang

diucapkan dalam siding yang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas

atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur

dalam Undang-Undang ini”.85 Sedangkan untuk jenis putusan sendiri ada dua

jenis yaitu putusan sela dan putusan akhir. Perbedaan dari keduanya terletak pada

sejauh manakah suatu perkara pidana telah di periksa oleh hakim.86

Berdasarkan Pasal 191 dan 193 KUHAP dapat diketahui bahwa ada dua

macam sifat putusan, yaitu:

1. Putusan pemidanaan;

83 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Praktik Peradilan,
Jakarta, Mandar Maju, 2007, hlm. 127.
84 Pasal 191 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
85 Karjadi, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1997.
86 Yuli Isnandar, Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatukan Putusan Pidana Bersyarat
(Study di Pengadilan Negeri Karang Anyar), Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2008, hlm.
30.
2. Putusan yang bukan pemidanaan, yang dibagi menjadi dua macam, yaitu:

putusan bebas dari segala dakwaan dan putusan lepas dari segala tuntutan

hukum.

Menurut Wiryono Kusumo, pertimbangan atau yang sering disebutjuga

considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam

memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak

sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu

tidak benar dan tidak adil.87

Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo, secara sederhana putusan

hakim mencakup irah-irah dan kepala putusan, pertimbangan, dan amar. Dari

cakupan itu, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan. Alasan-

alasan yang kuat dalam pertimbangan sebagai dasar putusan membuat putusan

sang hakim menjadi objektif dan berwibawa.88

Dalam Pasal 183 KUHAP, ”hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya”.89

Pasal 184 KUHAP


(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;

87 S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta, Pradnya Paramita, 2009, hlm 41.
88 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2005, hlm
22.
89 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Yogyakarta, Laksana, 2014, hlm. 634.
e. Keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185 KUHAP

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyakatan disidang

pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.


(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila

disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.


(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau

keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan

saksi itu ada. Hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga

dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.


(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,

bukan merupakan keterangan saksi.


(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan

sungguh-sungguh memperhatikan:
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
c. Alasan yang mungkin dioergunakan oleh saksi untuk memberi

keterangan tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat memengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.


(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang

lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan

alat bukti sah yang lain.

Pasal 186 KUHAP, “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan

disidang pengadilan.

b. Macam-macam Putusan Hakim

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang

berkenaan dengan terdakwa ada 3 macam:90

1. Putusan Bebas (Vrijspaark)

Putusan bebas terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan

terdakwa atas perbuatan yang dilakukan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

Yang dimaksud dengan “Perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim

atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah menurut

ketentuan pada hukum acara pidana ini.

2. Putusan dilepas (Oslag van alle Rechtvervolging)

Terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:

“jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti, tetapi itu merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus dari

segala tuntutan hukum”

90 Pasal 191 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena:

a. Hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidananya

b. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebutkan yang menyebabkan

terdakwa tidak dapat dihukum di antaranya yaitu:

a. Pasal 44 KUHAP, yaitu tentang orang yang sakit jiwa atau cacat jiwanya

dan cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling);

b. Pasal 48 KUHP, yaitu tentang keadaan yang memaksa (overmacht);

c. Pasal 49 KUHP, yaitu tentang pembelaan terpaksa (noodeweer);

d. Pasal 50 KUHP, yaitu melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan

Undang-Undangan;

e. Pasal 51 KUHP, yaitu melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang

sah.

Menurut Soedirjo pada Pasal-Pasal tersebut dikatakan sebagai pasal yang

bersifat umum. Di samping itu dikatakan pula terdapat yang menghapus pidana

secara khusus dalam Pasal tertentu dalam Undang-Undang, antara lain yaitu Pasal

166 dan 310 ayat (3) KUHP91

3. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)

Terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Jika

pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

91 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2006, hlm. 137
Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu

apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas

perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan

meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yaitu:

a. Sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah.

b. Dengan adanya minimum pembuktian tersebut hakim memperoleh keyakinan

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang hendak

melakukannya.

3. Tinjauan Umum Tentang Dasar Pertimbangan Hakim


Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa

dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal

sebagai berikut:92

1. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah

melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

2. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan

terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa

bersalah dan dapat dipidana.

3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat

dipidana.

Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, dan sempurna

hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria dasar pertanyaan (the four

way test) berupa:93

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan?

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Pedoman pemberian pidana (strafftoemeting-leidraad) akan memudahkan hakim

dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan

perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal bersifat

subjektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan memperhatikan

92 Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni. Bandung. 1986. hlm 74.
93 Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu. Surabaya. 2007. hlm 136.
butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih

dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu.94

Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana,

menurut Moeljatno, dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:95

1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana

Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau

tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan tersebut sebagai

dalam rumusan suatu aturan pidana.

2. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana

Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar

suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan

bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.

3. Tahap Penentuan Pemidanaan

Hakim akan menjatuhkan pidana bila unsur-unsur telah terpenuhi dengan melihat pasal

Undang-Undang yang dilanggar oleh Pelaku. Dengan dijatuhkannya pidana, Pelaku

sudah jelas sebagai Terdakwa.

Menurut Getherd Robbes secara kontektual ada tiga (3) esensi yang

terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman,

yaitu:96

94 Muladi & Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. 1998,
hlm 67
95 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm 96.

96 Ibid, Hlm. 104.


a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan

putusan yang akan dijatukan oleh hakim.

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan

fungsi yudisialnya.

Menurut Mackenzei ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

digunakan oleh hakim dalam memperimbangakan penjatuhan putusan dalam suatu

perkara, yaitu sebagai berikut.97

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan kesimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-

syarat yang ditentukan oleh undang – undang dan kepentingan pihak-pihak

yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan

kepentingan korban.

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan olehn hakim meruapakan diskresi atau kewenangan dari

hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan

dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim

akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara

pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu

putusan, lebih ditentukan oleh insting atau intuisi dari pada pengetahuan dari

hakim.
97 Ibid, hlm. 106.
c. Teori Pendekatan Keilmuan

Teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakuakan

secara sistematik dan penuh kehati – hatian khususnya dalam kaitan dengan

putusan – putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan

hakim. Pendekatan keilmuan ini meruapakan semacam peringatan bahwa

dalam memutus seuatu perkara, hakim tidak boleh semata – mata atas dasar

insting atau intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan

hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara

yang harus diputuskan.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seseorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara – perkara dihadapinya sehari – hari, dengan

pengalaman yang dimilikinya, seseorang hakim dapat mengetahui bagaimana

dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang

berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangakan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disangketakan, kemudian mencari peraturan perundang – undangan yang

relavan dengan pokok perkara yang disangketakan sebagai dasar hukum dalam

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan motivasi yang

jelas untuk menegakan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang

berperkara.
Berdasarkan teori-teori tersebut diatas, penulis akan menggunakan teori

pendekatan keilmuan yaitu bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakuakan secara

sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-

putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. bahwa

dalam memutus seuatu perkara, hakim tidak boleh semata – mata atas dasar insting

atau intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga

wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan.
Dalam memutus suatu perkara pidana, seorang hakim harus memutus dengan

seadil-adilnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Van Apeldoorn,

hakim haruslah:98

1. Menyesuaikan undang-undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian

konkrit dalam masyarakat

2. Menambah Undang-Undang apabila perlu.

3. Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan

hakim dalam mengambil keputusan. Menurut Soedarto, hakim memberikan

keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan

perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

b. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa

itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat

dipidana;

98 E. Utrecht & Moch Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesi, Sinar Harapan,
Jakarta, 1983, hlm 204
c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa dapat dipidana. Fungsi utama

dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan

kepadanya, dimana dalam perkara pidana hal itu tidak terlepas dari sistem

pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada prinsipnya menentukan

bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping

adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim

yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

C. Tindak Pidana Obat


Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan memberi pengertian

obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk

mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka

penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan

kontrasepsi, untuk manusia.99


Pengertian Izin Edar menurut Peraturan Menteri Kesehatan adalah bentuk

persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.100 Sedangkan

peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan

obat, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan.101


Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan tersebut mengatur tentang pemberian

izin edar, yang menyatakan bahwa :102

a) Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan


registrasi untuk memperoleh Izin Edar;

99 Republik Indonesia, Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang


Kesehatan; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144.
100 Republik Indonesia, Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008
tentang Registrasi Obat.
101 Republik Indonesia, Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008
tentang Registrasi Obat.
102 Republik Indonesia, Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008 tentang
Registrasi Obat.
b) Izin edar diberikan oleh Menteri;
c) Menteri melimpahkan pemberian Izin Edar kepada Kepala Badan;
d) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
1. Obat penggunaan khusus atau permintaan dokter;
2. Obat donasi;
3. Obat uji klinis;
4. Obat sampel untuk registrasi.

Berdasarkan ketentuan dalam peraturan Menteri Kesehatan, obat yang

memiliki izin edar harus memenuhi kriteria sebagai berikut :103

a) Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan

melalui percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain yang sesuai

dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan;

b) Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara

Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian

terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi yang sahih;

c) Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat

menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional, dan aman;

d) Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat;

e) Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus meiliki keunggulan

kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat

yang telah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang di klaim;

f) Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya

yang akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.

103 Republik Indonesia, Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008 tentang
Registrasi Obat.
Pemerintah memberi bimbingan dalam perkembangan dan pengawasan

terhadap usaha-usaha yang mempergunakan obat asli Indonesia. Bimbingan dan

pengawasan yang dimaksud diatur lebih lanjut dengan peraturan peundang-undangan.

Dengan melakuakn bimbingan dan pengawasan tehadap usaha-usaha yang

mempergunakan obat asli Indonesia, maka dapat dijaga jangan sampai penggunaan obat

asli Indonesia membahayakan. Kecuali itu kepribadian Indonesia didalam bidang farmasi

sebagai sebahagian dari kultur Indonesia umumnya dipelihara dan diperkembangkan

sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Pokok Kesehatan.104


Menteri Kesehatan mengusahakan:105
a. Penyelidikan baik tentang cara mebuat dan mengusahakan maupun tentang

khasiat obat-obat asli Indonesia;


b. Standarisasi dalam pemakaian obat-obat asli Indonesia;
c. Pertukaran pengalaman dengan luar negeri;
d. Mencari sumber-sumber obat asli Indonesia;
e. Usaha-usaha lain.

Didalam pasal ini ditetapkan usaha-usaha yang konkret yang harus dilaukan dalam

bidang obat-obat asli Indonesia “usaha-usaha lain”meliputi penerangan mengenai

obat asli Indonesia.106

Obat-obatan keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan

teknik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan membaguskan,

mendefinisikan dan lain-lain, tubuh manusia baik dalam bungkusan maupun tidak ,

yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van

Gezondheid.107
104 CST. Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991, hlm.
102.
105 Ibid.
106 Ibid.,
107 Abdullah Cholil, dkk., Hukum Kesehatan Indonesia, Jakarta, Perhuki, 1987, hlm. 15.
Dalam rangka memperoleh izin edar harus dilakukan registrasi terlebih

dahulu. Registrasi obat tertuang dalam Pasal 5 Peraturan Kepala Badan Pengawas

Makanan dan Obat-obatan (BPOM) Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas

Peraturan badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. HK.03.1.23.10.11.08481

tahun 2001 tentang kriteria dan tata laksana registrasi obat, yaitu :108

1) Registrasi obat terdiri atas :

a. Registrasi baru;

b. Registrasi variasi; dan

c. Registrasi ulang.

2) Registrasi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas :

a. Kategori 1 : Registrasi Obat Baru dan Produk Biologi,

termasuk Pokok Biologi Sejenis (PBS)/Similar Biotherapeutic

Product (SBP).

b. Kategori 2 : Registrasi Obat Copy

c. Kategori 3 : Registrasi sediaan Lain yang mengandung obat.

3) Registrasi variasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b

terdiri atas :

a. Kategori 4 : registrasi variasi major (VaMa).

108 Republik Indonesia, Pasal 5 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 3
Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2001 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
b. Kategori 5 : registrasi variasi minor yang memerlukan

persetujuan (VaMi-B).

c. Kategori 6 : registrasi variasi minor dengan notifikasi (VaMi-

A).

4) Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu:

Kategori 7 : registrasi ulang.

Merujuk pada definisi yang diberikan oleh para ahli, bahwa tindak pidana

adalah peraturan yang dilarang oleh peraturan hukum dan diancam dengan pidana,

dimana pengertian perbuatan disini adalah selain bersifat aktif (melakukan yang

sebenarnya dilakukan oleh hukum) juga merupakan peribatan yang bersifat pasif

(tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).109

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa:


“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupah).”

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 menyebutkan:

“Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.”
Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal tersebut telah jelas bahwa pasal tersebut

merupakan ketentuan pidana yang mengatur bahwa setiap orang yang mengedarkan obat-

109 Teguh Prasetyo, opcit, hlm., 50.


obatan yang tidak memiliki izin edar akan dikenakan sanksi pidana dan hal tersebut

merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan diancam dengan pidana.

D. Tinjauan Umum Terhadap Upaya Penanggulangan Kejahatan

1. Upaya Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana (Penal)

Saparinah Sadli memberikan pendapat, perilaku menyimpang itu merupakan

suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang

mendasar kehidupan dan keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan

individual maupun ketegangan-ketegangan sosial, dan merupakan ancaman nyata

atau potensial bagi berlangsungnya kertertiban sosial. Dengan demikian, kejahatan

disamping merupakan masalah kemanusiaan, juga termasuk masalah sosial.110

Terhadap masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang tertua ini telah

banyak usaha-usaha penanggulangan yang dilakukan dengan berbagai cara. Salah

satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan

sanksi yang berupa pidana.111

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya

untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.

Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang

kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat.112

110 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 148.


111 Ibid., hlm 149.
112 Ibid.
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari

tiga komponen, yaitu “Criminology”, “Criminal Law”, dan “Penal Policy”.

Dikemukakan olehnya, bahwa”Penal Policy” adalah ilmu sekaligus seni yang pada

akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada

pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-

undang dan juga kepada penyelenggara negara atau pelaksana putusan pengadilan.113

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum”

adalah:114

a) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

b) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan

teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan

sistem-dogmatik. Disamping pendekatan yuridis-normatif, kebijakan hukum pidana

juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan

113 Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 19.


114 Ibid., hlm. 22.
sosiologis, historis dan komperatif, bahkan memerlukan pendekatan komprehensif

dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan

sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.115

Menurut Barda Nawawi Arief, ada 4 (empat) aspek dari perlindungan

masyarakat yang harus juga mendapat perhatian dalam penegakan hukum pidana

yaitu:116

a) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang

merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka wajar

apabila penegakan hukum bertujuan untuk penanggulangan kejahatan.

b) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang,

oleh karena itu, wajar pula apabila penegakan hukum pidana bertujuan

memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi

tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat

yang baik dan berguna.

c) Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi

atau reaksi dari penegak hukum maupun dari masyarakat pada umumnya. Oleh

karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus mencegah

terjadinya perlakuan tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.

d) Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan

berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat adanya kejahatan.

Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat

115 Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm 22.


116 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998., hlm 11.
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dan mendatangkan

rasa damai dalam masyarakat.

Penegakan hukum pidana, apabila dilihat dari suatu proses kebijakan maka

penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui

beberapa tahap. Pertama, tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum in abstracto

oleh badan pembuat undang-undnag. Tahap ini disebut tahap legislatif. Kedua, tahap

aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum

mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut sebagai

tahap kebijakan yudikatif. Ketiga, tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum

pidana secara kongkrit oleh aparat penegak hukum. Tahap ini dapat disebut sebagai

tahap kebijakan eksekutif atau administratif.117

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan

mengejawantahkannya dalam sikap dan tindakan sebagai serangkaian penjabaran

nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup. Tegaknya hukum

ditandai oleh beberapa faktor yang saling berkait sangat erat yaitu hukum dan aturan

sendiri.118 Penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga

peace maintence. Hal inikarena hakikatnya penegakan hukum merupakan proses

penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata, yang bertujuan

117 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim., opcit., hlm. 111.


118 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada., Jakarta. 2012, hlm.3.
untuk kedamaian. Oleh karena itu, tugas penegak hukum adalah mencapai

keadilan.119

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,

sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:120

a) Faktor hukum itu sendiri, misalnya Undang-Undang;

b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum;

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan;

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Ruang lingkup dari istilah “Penegak Hukum” adalah luas sekali, oleh karena

mencakup mereka yang secara langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum.

Apabila terjadi suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, alat

negara sebagai penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) wajib

melakukan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara tersebut. dalam

melaksanakan tugasnya tersebut, hukum acara pidana memberikan kewenangan

119 M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm.
98.
120 Soerjono Soekanto, opcit., hlm. 8.
kepada mereka untuk melakukan tindakan-tindankan yang pada hakekatnya

merupakan pengurangan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa sebagai manusia.121

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai

tata cara penyidikan, penangkapan, penahanan dan penuntutan terhadap tersangka

atau terdakwa tindak pidana, diantaranya sebagai berikut:

1. Penyidikan dan Penyelidikan

Apabila terjadi suatu tindak pidana yaitu suatu peristiwa yang oleh

undang-undang dengan tegas dinyatakan dapat dikenakan sanksi pidana, maka

demi kepentingan umum alat negara penegak hukum berkewajiban untuk

melakukan pengusutan (opsporing) yang oleh KUHAP disebut penyelidikan dan

penyidikan.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana dirumuskan penyidikan adalah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.122

Sedangkan Penyelidikan KUHAP memberikan pengertian, “Penyelidikan

adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan.”123

121 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 13.


122 C. Djasman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Bandung: Nuansa Aulia,
2013., hlm 41.
123 Republik Indonesia, Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Melihat kedua pengertian di atas, dapat dilihat bahwa penyelidikan

merupakan tahap awal dari kegiatan pengusutan dan apabila peristiwa tersebut

merupakan tindak pidana, maka selanjutnya dapat dilanjutkan dengan kegiatan

penyidikan. Pihak yang melakukan penyelidikan disebut penyelidik, dan orang

yang melakukan penyidikan disebut penyidik.

Pasal 1 angka 4 KUHAP menyatakan bahwa, “Penyelidik adalah pejabat

polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penyelidikan.”

Dalam Pasal 4 KUHAP menyatakan bahwa, “Penyelidik adalah setiap

pejabat polisi negara Republik Indonesia.”

Pasal 6 KUHAP menyebutkan sebagai penyidik adalah:

1. Penyidik adalah :

a. Pejabat Polisi Republik Indonesia.

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang.

2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur

lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP berwenang

untuk:124

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

124 Syarifuddin Pettanasse, Hukum Acara Pidana, Palembang: Unsri, 2015, hlm., 80.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

dari tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab

(Pasal 7 KUHAP).
2. Penangkapan

Penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara

waktu kebebasan tersangka dan terdakwa, dan apabila cukup bukti guna

kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta

menurut cara yang diatur di dalam undang-undang.125

Penangkapan dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP sebagai berikut:

“Penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara


waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Menurut Pasal 16 KUHAP, yang berwenang untuk melakukan penangkapan

adalah :
1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik
berwenang melakukan penangkapan.
2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu
berwenang melakukan penangkapan.

3. Penahanan
Menurut Pasal 1 angka 21, yang dimaksud dengan Penahanan adalah :

125 C. Djasman Samosir, Op.cit., hlm 45.


“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu
oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur syarat-syarat penahanan

bagi tersangka atau terdakwa, yaitu :

1) Diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup;


2) Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa

tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau

menghilangkan barang bukti; dan


3) Mengulangi tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang berhak

melakukan penahanan adalah penyidik atau penyidik pembantu atas perintah

penyidik demi kepentingan penyidikan, penuntut umum demi kepentingan

penuntutan, dan hakim demi kepentingan pemeriksaan di pengadilan. Penahanan

dapat dilakukan dengan tiga jenis penahanan yang berupa :126

a. Penahanan rumah tahanan negara;


b. Penahanan rumah; dan
c. Penahanan kota.

4. Penuntutan

Pasal 13 KUHAP menyatakan bahwa bahwa penuntut umum adalah jaksa

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14 KUHAP, meberikan penjelasan tentang wewenang dari penuntut

umum, yaitu :
126 Ibid., hlm. 59-60.
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan

memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari

penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik;


d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada

terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah

ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;


j. Melaksanakan penetapan hakim.

Di dalam penjelasan tersebut dikatakan bahwa, yang dimaksud dengan

“tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan

memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik. penuntut

umum dan pengadilan.127

Setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, ia

segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib

127 Syarifuddin Pettanasse, Op.cit., hlm. 121.


memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau

belum. Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum

mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk hal yang harus

dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal

penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara

itu kepada penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).128

5. Putusan Pengadilan

Secara umum pengertian putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa peniadaan

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1 angka 11

KUHAP.129

Jika dilihat lebih lanjut pengertian di atas, putusan pengadilan yang

dibacakan oleh Hakim ada tiga jenis, yaitu :

a. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa.


b. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan

hukum 1 dan 2 (diatur dalam Pasal 191 KUHAP).


c. Putusan yang mengandung penghukuman bagi terdakwa (diatur dalam

Pasal 193 KUHAP).

Pelaksanaan putusan pengadilan ini diatur di dalam Pasal 270-276

KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 270 KUHAP, pelaksanaan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk
128 Ibid.
129 Nurdin Romli, Modul Materi PLKH Hukum Acara Pidana (SUPPLEMENT), Palembang:
Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2013., hlm 110.
itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Yang dimaksud

dengan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap ialah putusan

tersebut tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum yang ada (rechtsmiddelen)

seperti banding dan kasasi. Dalam ketentuan Pasal 271 KUHAP, dalam hal pidana

mati pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan menurut ketentuan

undang-undang. Pasal 273 ayat (1) KUHAP mengatur jika putusan pengadilan

menjatuhkan pidana denda, dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus

segera dilunasi. Sedangkan dalam Pasal 274 KUHAP menjelaskan dalam hal

pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian, pelaksanaannya dilakukan

menurut tata cara putusan perdata. Apabila lebih dari satu orang dipidana, maka

biaya perkara atau ganti kerugian dibebankan kepada mereka bersama-sama

secara seimbang.130

2. Upaya Penanggulangan Kejahatan Tanpa Hukum Pidana (Nonpenal)

Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh

dengan cara :131

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);


b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).

Dengan demikian, upaya penanggunlangan kejahatan secara garis besar dapat

dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “nonpenal”
130 Ruben Achmad dan Artha Febriansyah, Modul Klinik Hukum Pidana, Palembang: Fakultas
Hukum Universitas Sriwijaya, 2013., hlm. 82.
131 Nurdin Romli, op.cit., hlm. 44.
(bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di atas, upaya yang

disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan ke dalam kelompok upaya

“nonpenal”. Jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.132

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “nonpenal” lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor

kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial

yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal

secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan

strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal dan menanggulangi sebab-sebab yang

menimbulkan kejahatan.133

Tujuan utama dari usaha nonpenal itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi

sosial tertentu, namun secara tidak kangsung mempunyai pengaruh preventif terhadap

kejahatan. Dengan demikian, keseluruhan kegiatan preventif nonpenal ini sebenarnya

mempunyai kedudukan yang strategis, memegang posisi kunci yang harus

diinsentifkan dan diefektifkan.134

Disamping usaha-usaha nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan

masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di

dalam masyarakat itu sendiri, dan pula upaya nonpenal itu digali dari berabgai sumber

132 Ibid., hlm. 46.


133 Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 40.
134 Muladi, dan Barda Nawawi A, opcit., hlm.159.
lainnya yang juga mempunyai potensi efek preventif, sumber lain itu misalnya

media/pers, media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi dan pemanfaatan potensi

efek preventif dari aparat penegak hukum.135

E. Tinjauan Umum Terhadap Obat


1. Pengertian Obat

Obat memiliki pengertian yaitu yang dibuat dari bahan-bahan yang didapat

langsung dari bahan-bahan alamiah Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar

pengalaman dan dipergunakan dalam pengobatan tradisional.136 Obat menurut

Undang-Undang Kesehatan adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk

biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi, untuk manusia.137


Obat sering disebut sebagai obat modern ialah suatu bahan yang dimaksudkan

untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurungkan,

menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan

135 Ibid., hlm. 48.


136 CST, Kansil.,opcit. hlm. 100.
137 Republik Indonesia, Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan.
badaniah dan rokhaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian

badan manusia.138

2. Penggolongan Obat
Penggolongan obat diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

917/Menkes/Per/X/1993. Penggolongan obat dilakukan guna meningkatkan

keamanan serta ketepatan pemakaian atau penggunaan dan pengamanan distribusi

obat.
Penggolongan jenis-jenis obat adalah sebagai berikut : 139
a. Obat bebas, yaitu obat yang dapat dijual bebas di toko-toko obat atau

apotek dan dapat dibeli tanpa menggunakan resep dokter. Obat yang

termasuk golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau bergaris

tepi hitam. Contoh: Parasetamol.


b. Obat bebas terbatas, yaitu obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat diperjualbelikan tanpa resep dokter, dan disertai

dengan tanda peringatan. Obat yang termasuk golongan ini ditandai

dengan lingkaran berwarna biru bergaris tepi hitam. Contoh: CTM.


c. Obat keras dan psikotropika, yaitu obat yang hanya dapat dibeli di apotek

dengan resep dokter. Obat yang termasuk golongan ini ditandai dengan

huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.

Contoh: Diazepam dan Phenobarbital.


138 Moh. Anief, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1997., hlm.13.
139 Ayu Permatasari, 2017, 5 Penggolongan Obat: Obat Bebas, Bebas Terbatas, Keras,
Psikotropika, Narkotika dan Contoh http://bidhuan.id/obat/43398/5-penggolongan-obat-obat-bebas-bebas-
terbatas-keras-psikotropika-narkotika-dan-contoh/. Diakses pada 02 April 2018, pukul 16.22 WIB.
d. Obat narkotika, yaitu obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh:

Morfin dan Petidin.


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar

Putusan hakim merupakan mahkota dari puncak dari suatu perkara yang sedang

diperiksa dan diadili oleh hakim. Oleh karena itu hakim dalam membuat putusan harus

memeperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari

sedikit mungkin kekeliruan baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya

kecakapan teknik membuatnya. Dalam menjatuhkan suatu putusan hakim selalu berusaha

agar putusannya dapat diterima masyarakat, hakim akan merasa lega apabila putusannya

dapat memberikan kepuasan pada semua pihak dalam suatu perkara, dengan alasan-alasan

atau pertimbangan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 140 Hakim dalam

menjalankan fungsinya terutama dalam mengambil putusan dihubungkan dengan

kebebasannya akan berpikir terhadap dirinya sendiri, pidana apa yang akan dijatuhkan

terhadap terdakwa, hakim akan membebaskan atau melepaskan terdakwa. Meskipun

dikatakan hakim bebas dalam mengambil keputusan, namun terikat pada apa yang didakwaan

penuntut umum, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana diluar dakwaan penuntut umum.

140 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Agresif,
Yogyakarta,Sinar Grafika,Hlm. 94.
Putusan hakim yang dijatuhkan kepada terdakwa berdasarkan kualitas kesalahan

dengan melihat latar belakang dari pada tindak pidana dimana sanksi yang telah

dijatuhkan telah sesuai dengan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Proses pemidanaan dalam kasus tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau

alat kesehatan yang tidak memilik izin edar adalah sebagai berikut:

1. Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri Nomor

197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi
A. Kasus Posisi

Bahwa terdakwa atas nama SUTRISNO Als. PATREK Bin LOSO

pada hari Jum’at, tanggal 29 Juni 2012 sekira jam 04.00 WIB atau setidak-

tidaknya pada suatu waktu yang masih termasuk dalam tahun 2012, bertempat

di rumah terdakwa di Dusun Templek Desa Gadungan, Kec. Puncu Kab.

Kediri atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam

daerah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri yang memeriksa dan

mengadili, setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki

izin edar, sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) UURI No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan, Perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa

dengan cara sebagai berikut:

Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, ditangkap petugas

Kepolisian Resort Kediri, yang telah mendapatkan informasi dari masyarakat

bahwa di Dusun Templek Desa Puncu, Kab. Kediri sedang marak peredaran

narkoba atau pil koplo, setelah dilakukan penyelidikan pada hari Jum’at
tanggal 29 Juni 2012 pukul 04.00 wib menangkap terdakwa Sutrisno Als.

Paterk Bin Loso dirumahnya di Dusun Templek Desa Gadungan Kec. Puncu

Kab. Kediri, ditemukan menyimpan 4.500 (empat ribu lima ratus) butir pil

jenis LL yang disimpan dibawah kursi, dan diakui milik terdakwa Sutrisno als.

Patrek Bin Loso. Setelah terdakwa dilakukan pemeriksaan ia mengaku

mendapatkan pil jenis LL tersebut pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2012 sekira

pukul 21.00 wib bertempat di tepi jalan umum Dusun Templek Desa

Gadungan Kec. Puncu Kab. Kediri, dari Sdr. Agus (DPO) dengan cara

membeli seharga Rp.800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) mendapatkan 4.500

(empat ribu lima ratus) butir pil jenis LL, dan rencananya pil jenis LL tersebut

akan dijual setiap 90 (sembilan puluh) butir pil jenis LL dijual dengan harga

Rp.40.000,- (empat puluh ribu rupiah) rencana dari penjualan 90 (sembilan

puluh) butir jenis LL tersebut terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar

Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) namun terdakwa belum sempat menjualnya

sudah ditangkap Petugas Kepolisian Resort Kediri. Barang bukti pil jenis LL

tersebut setelah dilakukan pemeriksaan di Laboraturium Kriminalistik Cabang

Surabaya dengan nomor : LAB : 4922 / NOF / 2012 pada hari Kamis tanggal

12 Juli 2012, yang diperiksa oleh Arif Andi Setyawan S.Si, MT, Imam Mukti

S.Si, Apt, Luluk Muljani, didapatkan kesimpulan bahwa terhadap barang bukti

nomor = 4788 / 2012 / NOF –berupa tablet warna putih logo LL tersebut

diatas adalah benar tablet dengan bahan aktif triheksifinidil HCI (tidak

termasuk Narkotika maupun Psikotropika, tetapi termasuk Daftar Obat Keras).


B. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat suatu perumusan

dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari

surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk

melakukan pemeriksaan.141
Setelah melihat Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri Nomor

197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi, bentuk dakwaan penuntut umum adalah dakwaan

Alternatif.
Dakwaan Alternatif dipergunakan oleh penuntut umum apabila tindak

pidana yang akan didakwakan pada terdakwa hanya satu tindak pidana akan

tetapi penuntut umum belum yakin benar tentang tindak pidana apa tang

paling tepat didakwakan pada terdakwa. Tentang kualifikasi atau pasal yang

tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut dan untuk memperkecil

peluang lolosnya terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, maka digunakan

bentuk dakwaan alternatif. Penggunaan dakwaan alternatif oleh penuntut

umum dimaksud kan juga untuk memberikan pilihan kepada hakim dalam

menerapkan hukum yang lebih tepat.142

Dakwaan alternatif meliputi:

141 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, 2010, Surat Dakwaan, PT. Alumni, Bandung, hlm. 17.
142 Paul Sinlaeloe, 2015, Memahami Surat Dakwaan, Penyelia Aksara, Kupang, hlm. 23.
1. Dakwaan Pertama, bahwa terhadap barang bukti tersebut tidak dapat

dilihat sudah mempunyai izin edar. Perbuatan terdakwa sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam pasal 197 Undang-undang Republik

Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan


sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

2. Dakwaan Kedua, bahwa terhadap barang bukti tersebut tidak memenuhi

standar dan /atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan

mutu. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 196 Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan


sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard
an/atau persyaratan keamanan khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

3. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3

(1) UU Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949).

Tuntutan Jaksa/ Penuntut Umum berupa:


1. Menyatakan terdakwa SUTRISNO Als. PATREK Bin LOSO telah terbukti

bersalah melakukan tindak pidana “ Dengan sengaja mengedarkan sediaan

farmasi dan / atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan / atau

persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu ” sebagaimana

diatur dalam pasal 197 UURI No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara

selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dikurangi selama terdakwa

menjalani masa penahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan

dan Denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta ribu rupiah) Subsidair selama

3 (tiga) bulan kurungan;

3. Menyatakan barang bukti berupa : 4500 (empat ribu lima ratus) butir pil

LL dirampas untuk dimusnahkan;

4. Menetapkan agar terpidana dibebani membayar biaya perkara Rp. 2.000,-

(dua ribu rupiah).

C. Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa dipersidangan juga telah didengar keterangan terdakwa

yang pada pokoknya sebagai berikut:

a. Bahwa kejadian dalam perkara ini pada hari Jum’at, tanggal 29 Juni 2012

sekira jam 04.00 wib di rumah terdakwa di Dusun Templek, Desa

Gadungan, Kec. Puncu, Kab. Kediri, terdakwa miliki sebanyak 4500

(empat ribu lima ratus) butir dibungkus plastik sediaan farmasi pil jenis

LL memiliki ciri-ciri bentuknya bulat, kecil, warna putih dan ada tulisan

LL terdakwa mendapatkan sediaan farmasi pil jenis LL dari Sdr. AGUS


(belum tertangkap) pada hari Rabu, tanggal : 27 Juni 2012 sekira jam

21.00 Wib bertempat ditepi jalan umum Dusun Templek Desa Gadungan

Kec. Puncu Kab. Kediri, dengan membeli pil tersebut seharga

Rp.800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) mendapatkan sebanyak 4500

(empat ribu lima ratus) butir dan akan terdakwa jual atau edarkan dan

sebagian akan terdakwa konsumsi sendiri. terdakwa menjual sediaan

farmasi jenis pil LL rencananya setiap 90 (Sembilan puluh) butir terdakwa

jual dengan harga Rp.40.000,- (empat puluh ribu rupiah);

b. Bahwa terdakwa mengenal sediaan farmasi jenis pil LL mulai menjual

atau mengedarkan pil jenis LL sejak tahun 2011 sedangkan untuk

mengkonsumsinya sejak tahun 2010. Terdakwa mengkonsumsi pil sekali

minum 3 (tiga) butir dan tidak mempunyai izin dalam menjual atau

mengedarkan sediaan farmasi pil jenis LL / Artane serta tidak mempunyai

keahlian dalam menjual atau mengedarkan sediaan farmasi pil jenis

LL/Artane. Setelah mengkonsumsi sediaan farmasi jenis pil tersebut tidak

mengantuk, tidak cepat lelah dan bersemangat dalam bekerja;

c. Bahwa terdakwa membenarkan barang bukti dipersidangan.

bahwa dalam perkara ini Penuntut Umum mengajukan barang bukti

berupa: Sediaan farmasi berupa pil jenis LL sebanyak 4490 (empat ribu

empat ratus Sembilan puluh) butir;

d. Bahwa benar menurut saksi ahli sediaan farmasi adalah obat, bahan baku

obat, obat tradisional dan kosmetik, menurut keterangan saksi ahli sesuai

dengan pasal 98 UU No, 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dilarang


mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan dan mengedarkan

bagi setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan;

e. Bahwa benar yang berhak mengedarkan sediaan farmasi yang berupa obat

dan bahan baku obat tersebut adalah tenaga kefarmasiaan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Dasar Pertimbangan Yuridis

Dalam kasus ini terdakwa telah diajukan ke persidangan dan telah

didakwa dengan dakwaan Alternatif yaitu Pertama Pasal : 197 UURI No.

36 Tahun 2009 Atau Kedua Pasal 196 UURI No. 36 Tahun 2009 Atau

Ketiga Pasal 3 (1) UU Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949) .

Menimbang, bahwa oleh karena Dakwaan Penuntut Umum disusun

secara Alternatif, maka Majelis berpendapat bahwa Majelis mempunyai

alternatif untuk memilih dakwaan mana yang Majelis anggap lebih tepat

untuk dibuktikan oleh Perbuatan Terdakwa, untuk itu terlebih dahulu

Majelis akan membuktikan Dakwaan Pertama Pasal : 197 UURI No. 36

Tahun 2009 unsur-unsurnya :

1. Setiap orang.

Setiap orang adalah siapa saja yang menjadi subyek hukum dan

mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Berdasarkan

keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, surat, barang bukti dan

petunjuk di depan persidangan terbukti bahwa terdakwa SUTRISNO

Als. PATREK Bin LOSO adalah subyek hukum dimaksud dan mampu
mempertanggungjawabkan perbutannya serta selama persidangan

berlangsung tidak ditemukan adanya alasan pembenar atau alasan

pemaaf pada perbuatan terdakwa.

2. Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan

atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan atau

persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu.

Unsur “Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standart

dan atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu”

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, saksi-saksi bernama 1.

TRI BINTORO, 2. YUDI SETIAWAN, 3. Dr. AZIZ SAMSURIZAL,

keterangan terdakwa, alat bukti surat, barang bukti serta petunjuk di

depan persidangan terbukti bahwa sebelumnya:

a. Bahwa terdakwa memiliki, menyimpan dan mengedarkan sediaan

farmasi pil jenis LL tersebut tidak memiliki ijin edar yang

berwenang.

b. Bahwa sediaan farmasi jenis pil milik terdakwa menurut saksi ahli

sediaan farmasi tersebut berupa pil warna putih dengan logo LL

dan dapat berbahaya bagi kesehatan karena terdakwa bukan tenaga

kesehatan yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan serta

tidak memiliki ijin edar dari yang berwenang dan jika diedarkan

dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan, tidak tepat indikasi, tidak

tepat dosis pemakaian dan tidak tepat sasaran (pasien);


c. Bahwa sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan Laboraturium

Kriminalistik Cabang Surabaya dengan nomor : LAB : 4922 / NOF

/ 2012 pada hari Kamis tanggal 12 Juli 2012, yang diperiksa oleh

Arif Andi Setyawan S.Si, MT, Imam Mukti S.Si, Apt, Luluk

Muljani, didapatkan kesimpulan bahwa terhadap barang bukti

nomor = 4788 / 2012 / NOF – berupa tablet warna putih logo LL

tersebut diatas adalah benar tablet dengan bahan aktif

triheksifinidil HCI (tidak termasuk Narkotika maupun

Psikotropika, tetapi termasuk Daftar Obat Keras).

Dengan demikian unsur “Dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak

memenuhi standart dan atau persyaratan keamanan, khasiat atau

kemanfaatan dan mutu” telah terpenuhi.

Menimbang, bahwa dari kejadian dan fakta hukum yang telah

terungkap dihubungkan dengan unsur-unsur dari pasal dakwaan, maka

dapat disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi segenap

unsur pasal yang didakwakan kepada dirinya sehingga majelis

berpendirian terdakwa telah melakukan tindak pidana yang telah

didakwakan Penuntut Umum kepada dirinya.

Menimbang, bahwa Majelis Hakim dalam persidangan tidak

ditemukan adanya alas an pemaaf atau alasan pembenar dan terdakwa

dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan,

karena itu terdakwa harus dijatuhi pidana.


Menimbang, bahwa untuk menghindari agar terdakwa tidak

melarikan diri atau mengulangi lagi perbuatannya maka cukup

beralasan untuk memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam

tahanan.

Dasar Pertimbangan Non Yuridis

Adapun dasar pertimbangan non yuridis berdasarkan analisis putusan

nomor 197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi dalam perkara SUTRISNO Als.

PATREK Bin LOSO adalah sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

a. Terdakwa sebagai pengedar;

b. Terdakwa meresahkan masyarakat;

c. Terdakwa merusak masa depan generasi muda;

d. Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah

yang sedang giatgiatnya memberantas segala macam peredaran

obat terlarang dan obat keras.

Hal-hal yang meringankan:

a. Terdakwa mengaku terus terang perbuatannya;

b. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan

mengulangi lagi.

D. Putusan Hakim

1. Menyatakan bahwa terdakwa SUTRISNO Als. PATREK Bin LOSO

tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan


tindak Pidana “Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan

farmasi berupa obat yang tidak memiliki izin edar”;

2. Menjatuhkan Pidana kepada terdakwa dengan Pidana penjara selama 2

(dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta

rupiah), apabila denda tersebut tidak dibayar maka dapat diganti dengan

pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;

3. Menetapkan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan ;

5. Menetapkan barang bukti berupa : Sediaan farmasi berupa pil jenis LL

sebanyak 4490(empat ribu empat ratus sembilan puluh) butir dirampas

untuk dimusnahkan;

6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).

E. Analisis Putusan

Menurut pendapat penulis, hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu

rendah, sedangkan berdasarkan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan

hukum, maka seharusnya keadilan penjatuhan hukuman atas sanksi harus

diberikan lebih berat sehingga menimbulkan efek jera terhadap terdakwa.

Dilihat dari asas kemanfaatannya, hukuman yang diterima oleh pelaku

kejahatan haruslah memberi manfaat bagi orang yang melakukan tindak

pidana itu sendiri dan juga memberi manfaat pembelajaran untuk orang lain
agar takut melakukan tindak pidana, sehingga terciptanya keamanan dan

kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum

yang terlaksana disini adalah putusan hakim yang telah inkracht. Sediaan

farmasi berupa pil jenis LL sebanyak 4490(empat ribu empat ratus sembilan

puluh) butir merupakan barang bukti yang dimana pil tersebut akan diedarkan

dengan jumlah yang tidak sedikit, serta bisa membahayakan bagi orang lain

karena penjualan yang tidak sesuai aturan pakai, sehingga tidak menutup

kemungkinan berdampak negatif terhadap kerusakan generasi bangsa.

2. Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr

a. Kasus Posisi

Bahwa terdakwa atas nama HARI LAKSONO Bin GIMAN pada hari

Minggu tanggal 21 Juni 2015 sekitar pukul 17.00 WIB atau setidak-tidaknya pada

waktu lain yang masih termasuk bulan Juni tahun 2015 bertempat dirumah

terdakwa Dsn.Loncatan Desa Mangaran Kec. Ajung Kab. Jember atau setidak-

tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan Negeri Jember, yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,

dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan yang tidak memenuhi standart dan/atau persyaratan keamanan, khasiat

atau kemanfaatan dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan

ayat (3), perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:
Bahwa pada awalnya saksi VIVIN MUJIANTO dan saksi MEIKA

PUTRA (keduanya merupakan anggota Polisi dari Satuan Reserse Narkoba Polres

Jember), yang mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa terdakwa HARI

LAKSONO Bin GIMAN telah menjual atau mengedarkan obat warna putih logo

“ Y “. Selanjutnya saksi-saksi bersama dengan anggota lainnya melakukan

penyelidikan dan melakukan penangkapan, serta melakukan penggeledahan badan

terhadap terdakwa dirumahnya, ternyata saksi-saksi menemukan 9 (Sembilan)

plastik klip yang berisikan obat warna putih berlogo Y dengan jumlah 62 butir dan

5 (lima) plastik klip obat warna kuning dengan jumlah 60 butir, serta ditemukan

uang sebesar Rp.10.000.- (sepuluh ribu rupiah).

Bahwa terdakwa Hari Laksono mendapat obat-obatan tersebut diatas dari

orang yang bernama SAMSUL (belum tertangkap/dalam penyelidikan Polreskoba

Jember), kemudian terdakwa sudah menjual atau mengedarkan sekitar 10 hari

kepada teman-temannya dan terdakwa mendapat upah dari penjualan obat-obatan

terlarang tersebut sebesar Rp.10.000.- (sepuluh ribu rupiah) dari sdr. SAMSUL

(belum tertangkap/dalam lidik Polreskoba Jember).

Bahwa terdakwa Hari Laksono menjual obat-obatan berlogo Y warna

putih dan warna kuning adalah tergolong obat keras dan tidak ada ijin dari yang

berwenang, padahal terdakwa mengetahui menjual atau mengedarkanya dilarang

oleh Undang-Undang yang berlaku. Dan terdakwa menjual obat-obatan tergolong

keras yang dilarang tersebut dengan cara menunggu dirumahnya dan para

pembeli/pengguna berdatangan tanpa ada resep dari dokter, namun cara terdakwa

menjual/ mengedarkannya dengan secara bebas dan juga sembunyi-sembunyi.


Selanjutnya perbuatannya terdakwa HARI LAKSONO Bin GIMAN dibawa oleh

saksi-saksi dari Polreskoba Jember guna pengusutan lebih lanjut.

Bahwa berdasarkan pengujian secara laboratoris, barang bukti berupa

tablet warna putih logo “Y” adalah benar tablet dengan bahan aktif

Trihexyphenidy (Trex) tergolong obat keras dan Tablet Dekstrometorphan

tergolong obat bebas terbatas sesuai dengan aturan, tidak termasuk Narkotika

maupun Psikotropika, tetapi termasuk Daftar Obat Keras berdasarkan Berita

Acara Keterangan Ahli Nomor: 440/19038/414/2015 tanggal 10 Agustus 2015

yang dibuat dan ditandatangani oleh ABDUL MUNIF selaku yang memberikan

keterangan Ahli dan mengetahui Atas Nama Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten

Jember Kepala Seksi Keparmasian dan Perbekalan Kesehatan

Dra.Widiajaningsih, Apt.

b. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

1. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Setelah melihat Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 558/ pid. B/

2015/ PN. Jmr, bentuk dakwaan penuntut umum adalah dakwaan Alternatif.

Dakwaan Alternatif meliputi:

1. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud Pasal

196 Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, atau;

2. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud Pasal

197 Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


Menimbang bahwa guna mendukung kebenaran dakwaannya Jaksa Penunut

Umum dipersidangan telah mengajukan saksi-saksi yang keterangannya dibawah

sumpah pada pokoknya sebagai berikut :

1. Saksi : VIVIN MUJIANTO

a. Bahwa pada hari Minggu tanggal 21 Juni 2015 sekitar jam 17.00

WIB dirumah Terdakwa Hari Laksono Dusun Loncatan Desa

Mangaran Kecamatan Ajung Kabupaten Jember pada waktu itu

saksi bersamasama dengan Meike Putra telah melakukan

penangkapan dan melakukan penggeledahan menemukan barang

bukti berupa 9 (Sembilan) plastik klip yang berisikan obat warna

putih berlogo Y dengan jumlah keseluruhan 62 (enam puluh dua )

butir dan 5 (lima) plastik klip obat warna kuning dengan jumlah

keseluruhan 60 (enam puluh) butir dan uang sebesar Rp.10.000,-

(Sepuluh ribu rupiah);

b. Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut diatas,

Terdakwa menyatakan tidak keberatan dan membenarkan ;

2. Saksi : MEIKE PUTRA

Bahwa pada hari Minggu tanggal 21 Juni 2015 sekitar jam 17.00 WIB

dirumah Terdakwa Hari Laksono Dusun Loncatan Desa Mangaran Kecamatan

Ajung Kabupaten Jember pada waktu itu saksi bersamasama dengan Vivin

Mujianto telah melakukan penangkapan dan melakukan penggeledahan

menemukan barang bukti berupa 9 (Sembilan) plastik klip yang berisikan obat

warna putih berlogo Y dengan jumlah keseluruhan 62 (enam puluh dua ) butir
dan 5 (lima) plastik klip obat warna kuning dengan jumlah keseluruhan 60

(enam puluh) butir dan uang sebesar Rp.10.000,- (Sepuluh ribu rupiah).

3. Saksi : ABDUL MUNIE

Bahwa benar obat jenis Tryhexyphenidil adalah obat keras dimana

pemakaiannya harus dengan resep dokter disarana kesehatan yang berizin dan

ketentuan untuk penjualan, pengedaran obat jenis Trihexyphenidil tersebut

hanya dapat dilakukan oleh apotek dan penjualan oleh apotek harus dengan

resep dokter, sehingga obat tersebut tidak dapat dijual secara bebas dan tidak

dapat dijual tanpa dengan resep dokter, sedangkan untuk jenis obat

Dextromethorphan boleh dijual di Apotek dan Toko obat berijin dengan

jumlah sesuai dosis Terapy ( 3xsehari 1-2 tablet) tanpa resep dokter

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Farmasi tentang

Penggolongan Obat.

2. Tuntutan Jaksa/ Penuntut Umum berupa:

Menimbang, bahwa selanjutnya Penuntut Umum mengajukan tuntutan yang

dibacakan dipersidangan pada tanggal 06 Oktober 2015 Nomor : Reg.Perkara.

189/ JEMBER/10/2015 yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Hari Laksono bin Giman terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan

sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi

standard dan atau persyaratan keamanan khasiat atau kemanfaatan


dan mutu sesuai dakwaan Kesatu Pasal 196 Undang-Undang RI

No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 10

(sepuluh) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan

sementara dan denda sebesar Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh

ribu rupiah) Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;

3. Menyatakan barang bukti berupa : 2 (dua) kantong plastik kecil

masing-masing isi 60 (enam puluh) butir tablet warna kuning dan

62 (enam puluh dua) warna putih dirampas dimusnahkan dan uang

tunai Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dirampas untuk Kas

Negara;

4. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

2.000,- (dua ribu rupiah).

c. Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa barang bukti yang diajukan dipersidangan oleh

Penuntut Umum telah disita secara sah menurut hukum dan barang bukti tersebut

dibenarkan oleh para saksi dan Terdakwa maka barang bukti tersebut dapat

dipergunakan untuk memperkuat pembuktian.

Menimbang bahwa perlu dibuktikan apakah perbuatan yang dilakukan

oleh Terdakwa tersebut diatas telah sesuai dengan perbuatan yang didakwakan

kepada Terdakwa. Bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan tindak

pidana maka perbuatannya haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak

pidananya yang didakwakan.


Menimbang bahwa dalam perkara ini Terdakwa diajukan kepersidangan

oleh Penuntut Umum dengan dakwaan Alternatif kesatu melanggar Pasal 196

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 atau kedua

melanggar Pasal 197 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan.

Menimbang, bahwa terhadap dakwaan yang demikian ini maka

merupakan alternatif bagi Hakim untuk memilihnya dengan mendasarkan kepada

fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, apakah perbuatan Terdakwa

tersebut telah memenuhi rumusan dalam dakwaan pertama atau kedua.

1) Dasar Pertimbangan Yuridis

Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan dipersidangan Majelis

sependapat dengan Penuntut Umum dalam dakwaan kesatu yaitu

melanggar Pasal 196 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan, Majelis mempertimbangkan yang unsur-

unsurnya sebagai berikut :

1. Barang siapa.

2. Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi tanpa memilki izin edar.

1. Unsur Barang siapa.

Menimbang bahwa menurut Majelis Hakim unsur barang siapa

mengacu kepada subyek hukum sebagai pelaku tindak pidana pendukung


hak dan kewajiban berhubungan erat dengan pertanggung jawaban pidana

serta pencegah error in persona.

Menimbang, bahwa orang yang diajukan kepersidangan ternyata

benar Hari Laksono bin Giman yang telah didakwa Penuntut Umum

sebagai pelaku tindak pidana dalam dakwaannya, hal ini terbukti dari

pengakuan Terdakwa sendiri saat identitasnya dibacakan pada awal

persidangan maupun keterangan para saksi.

Menimbang, dengan demikian tidak ada error in persona dalam

perkara ini dalam makna salah mendakwa orang sebagai pelaku tindak

pidana.

Menimbang, bahwa selama persidangan tidak ditemui adanya alas

an pembenar atau pemaaf atas diri Terdakwa, dimana Terdakwa mampu

membedakan baik buruk perbuatannya serta tidak terlihat adanya kelainan

psikis dari tingkah lakunya selama persidangan dilaksanakan, sehingga

oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat Terdakwa adalah orang yang

mampu menurut hukum. Dengan demikian unsur pertama ini telah

terpenuhi.

2. Unsur Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi tanpa

memilki izin edar

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta pemeriksaan yang

terungkap dipersidangan baik keterangan saksi-saksi dan keterangan

Terdakwa serta alat bukti yang ditunjukkan dimuka persidangan bahwa

pada hari Minggu tanggal 21 Juni 2015 sekitar jam 17.00 WIB di rumah
Terdakwa Dusun Loncatan Desa Mangaran Kecamatan Ajung Kabupaten

Jember Terdakwa ditangkap oleh petugas Kepolisan Resort Jember pada

saat itu Terdakwa telah menjual obat warna putih berlogo Y secara bebas

dan Terdakwa mendapatkan obat warna putih berlogo Y dari Samsul

kemudian Samsul menyuruh Terdakwa untuk menjualkan obat warna

putih berlogo Y dan apabila semua obat tersebut laku terjual Terdakwa

diberi upah Rp.10.000,- (Sepuluh ribu rupiah) sedangkan Terdakwa

menjual obat warna putih berlogo Y tanpa dilengkapi surat ijin edar disita

dari tangan Terdakwa 9 (sembilan) plastik klip yang berisikan obat warna

putih berlogo Y dengan jumlah keseluruhan 62 (enam puluh dua) butir, 5

(lima) plastik klip obat warna kuning dengan jumlah keseluruhan 60

(enam puluh) butir dan uang sebesar Rp.10.000,- (Sepuluh ribu).

Menimbang, bahwa dengan demikian unsur kedua ini telah

terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa.

Menimbang, bahwa oleh karena keseluruhan unsur dakwaan

Penuntut Umum telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa, maka Majelis

Hakim berpendapat bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Dengan sengaja

mengedarkan sediaan farmasi tanpa memilki izin edar”.

2) Dasar Pertimbangan Non Yuridis

Adapun dasar pertimbangan non yuridis berdasarkan analisis putusan

nomor 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr dalam perkara HARI LAKSONO Bin

GIMAN adalah sebagai berikut:


Hal-hal yang memberatkan:

Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat dan merusak moral

generasi muda.

Hal-hal yang meringankan:

1. Terdakwa belum pernah di hukum.

2. Terdakwa mengaku terus terang.

3. Terdakwa menyesali atas perbuatannya dan berjanji tidak akan

mengulangi perbuatannya.

d. Putusan Hakim

1. Menyatakan Terdakwa HARI LAKSONO bin GIMAN yang identitas

lengkapnya tersebut dimuka telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana : Dengan sengaja mengedarkan sediaan

farmasi tanpa memiliki izin edar.

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HARI LAKSONO bin GIMAN

tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan ) bulan.

3. Menjatuhkan pula pidana denda sebesar Rp.250.000,- ( Dua ratus lima

puluh ribu rupiah ) apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti

dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

4. Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani

oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

5. Menetapkan supaya Terdakwa tetap dalam tahanan.

6. Memerintahkan barang bukti berupa : 2 (dua) buah kantong plastik kecil

masing-masing isi 60 (enam puluh) butir tablet warna kuning dan 62


(enam puluh dua) butir warna putih dirampas untuk dimusnahkan dan

uang tunai Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dirampas untuk Negara.

7. Membebankan biaya dalam perkara ini kepada Terdakwa sebesar

Rp.2.000,- (Dua ribu rupiah).

e. Analisis Putusan

Menurut pendapat penulis, hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu

rendah, sedangkan berdasarkan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan

hukum, maka seharusnya keadilan penjatuhan hukuman atas sanksi harus

diberikan lebih berat sehingga menimbulkan efek jera terhadap terdakwa.

Walaupun demikian, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih

rendah dari batas minimal dan juga tidak boleh menjatuhkan hukuman yang

lebih tinggi dari pada batas maksimal hukuman yang telah ditentukan oleh

Undang-Undang. Dilihat dari asas kemanfaatannya, hukuman yang diterima

oleh pelaku kejahatan haruslah memberi manfaat bagi orang yang melakukan

tindak pidana itu sendiri dan juga memberi manfaat pembelajaran untuk orang

lain agar takut melakukan tindak pidana, sehingga terciptanya keamanan dan

kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum

yang terlaksana disini adalah putusan hakim yang telah inkracht. Sediaan

farmasi berupa 2 (dua) buah kantong plastik kecil masing-masing isi 60 (enam

puluh) butir tablet warna kuning dan 62 (enam puluh dua) butir warna putih
merupakan barang bukti yang dimana pil tersebut akan diedarkan dengan

jumlah yang tidak sedikit, walaupun jika dibandingkan dengan putusan

sebelumnya memang pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar ini lebih

sedikit, hanya saja jika dilakukan secara berkelanjutan akan menimbulkan

bahaya terhadap penjualan obat tersebut jika dikonsumsi oleh masyarakat,

serta bisa membahayakan bagi orang lain karena penjualan yang tidak sesuai

aturan pakai, sehingga tidak menutup kemungkinan berdampak negatif

terhadap kerusakan generasi bangsa.

3. Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 299/ Pid.Sus/ 2015/ PN. Plg

a. Kasus Posisi

Bahwa terdakwa INDRA Bin SYAMSUAR, pada hari Kamis tanggal 07 Juni

2012 sekira pukul 12.20 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam

bulan Juni di tahun 2012 bertempat di Toko Indra milik terdakwa di Pasar

Lemabang Blok B No.32 Palembang atau setidak-tidaknya di suatu tempat

yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Palembang,

telah dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar. Perbuatan tersebut

dilakukan oleh terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Bahwa bermula ketika dilakukan Operasi gabungan Daerah di sarana

Produksi/Distribusi/Gudang Obat dan makanan di kota palembang oleh

petugas BBPOM Palembang yaitu saksi Dra. LINARIYATI BR


TARIGAN, APT dan dibantu oleh Anggota Polisi Polresta Palembang

yaitu saksi Noky Juliawan langsung melakukan penyelidikan.

2. Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, saksi Dra.

LINARIYATI dan saksi Noky Juliawan langsung mendatangi Toko Obat

INDRA yang dikelola oleh terdakwa lalu para saksi langsung menjelaskan

kedatangan mereka untuk melakukan pemeriksaan terhadap barang-barang

yang dijual oleh terdakwa kemudian para saksi melakukan pengeledahan

didalam toko tersebut terdakwa terdakwa lalu ditemukan dalam etalase

dan dalam lemari yang berada diruang tengah toko tersebut berupa 15

(lima belas) macam kelompok produk kosmetik tanpa izin edar yang

terinci dalam tabel sebagai berikut:

1. SP Special Super Asli Rp.10.000,-/pot 82 pot

2. SP Spesial Super Asli Kecil Rp.10.000,-/pot 27 pot

3. Pemutih Dokter Original krim Rp.10.000,-/pot 45 pot

4. SP Spesial UV.White krim Rp.10.000,-/pot 10 pot

5. Dokter White krim Rp.10.000,-/pot 8 pot

6. Dokter Super Merah krim Rp.10.000,-/pot 8 pot

7. CR Kuning krim Rp.10.000,-/pot 6 pot

8. Cream Hongkong krim Rp.10.000,-/pot 40 pot

9. Natural 99 Putih krim Rp.10.000,-/pot 2 pot

10. Diamond Cream Vit.E krim Rp.10.000,-/pot 2 pot

11. Sp Spesial Super krim Rp.10.000,-/pot 1 pot


12. RDL Hydroquinone 3 krim Rp.20.000,-/pot 1 pot

13. Sp Spesial Asli krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

14. Sp Spesial Ginseng krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

15. Rose Asli krim Rp.10.000,-/pot 5 pot

Bahwa berdasarkan pengakuan terdakwa yang saat itu mengatakan

terdakwa membeli kosmetik tanpa izin edar dari sales prilance yang

kemudian dijual di Toko Obat INDRA sehingga terdakwa memperoleh

keuntungan sebesar Rp.50.000 ,-( lima puluh ribu rupiah) kemudian

terdakwa dan barang bukti di bawa ke BBPOM untuk penyidikan lebih

lanjut.

Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan dan pengecekan oleh

petugas ahli BBPOM terhadap barang bukti berupa: 15 (lima belas)

macam produk kosmetik tidak memiliki izin edar sehingga tidak dapat

dijamin keamanan mutu dan komposisinya karena belum dievaluasi aspek

mutu, manfaat, keamanannya dan belum diuji secara laboratorium oleh

BBPOM. Bahwa saksi Dra. LINARIYATI BR TARIGAN, APT pernah

melakukan pembinaan di Toko Indra milik terdakwa pada sekira awal

tahun 2012 yang pada intinya menyampaikan kepada terdakwa bahwa

Jangan memperjual belikan produk kosmetik yang mengandung bahan

yang dilarang beredar dan kosmetik yang belum ada nomor

registrasi/belum terdaftar di Badan POM RI, saksi juga menyampaikan

agar terdakwa selaku pemilik toko Indra supaya membeli produk kosmetik

dari sumber yang resmi jangan membeli dari orang yang tidak jelas dan
tidak bisa dipertanggung jawabkan namun tetap saja terdakwa tidak

mengindahkan pembinaan maupun peringatan dari petugas BBPOM

dengan tetap menjual obat tradisional, kosmetika, maupun obat yang tidak

memiliki izin edar tersebut. Bahwa terdakwa membeli dan menjual

kembali 15 (lima belas) macam produk kosmetik tidak memiliki izin edar

adalah tanpa memiliki keahlian dan kewenangan melalui praktik

kefarmasian dan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang.

b. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor

299/ Pid.Sus/ 2015/ PN. Plg, bentuk dakwaan Penutut umum dibuat

dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 197 jo Pasal 106 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal

197 Jo Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 36 tahun 2009 yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau


mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).”

Surat dakwaan disusun secara tunggal jika seseorang atau

terdakwa melakukan hanya satu perbuatan pidana saja. Substansi dari

dakwaan tunggal/ biasa adalah jika (para) terdakwa hanya melakukan


satu perbuatan pidana saja dan tidak terdapat kemungkinan-

kemungkinan alternatif atau kemugkinan untuk merumuskan tindak

pidana lain sebagai penggantinya.143

b) Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Tuntutan pidana dari Penuntut Umum tanggal 30 Maret 2015, No

PDM-162/PLG/Ep.2/03/2015 yang pada pokoknya sebagai berikut:

i. Menyatakan terdakwa INDRA bin SYAMSUAR bersalah

melakukan Tindak Pidana “ Mengedarkan Sediaan Farmasi

Tanpa Izin” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

dakwaan pasal 197 jo pasal 106 Ayat (1) UU No. 36 Tahun

2009;

ii. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa INDRA BIN

SYAMSUAR dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan

penjara dikurangi selama terdakwa ditahanan sementara

dan pidana denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)

subsidair 3 (tiga) bulan kurungan;

iii. Menyatakan Barang Bukti berupa : 15 (lima belas) macam

kelompok produk komestik tanpa izin edar dirampas untuk

dimusnahkan.

iv. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara

sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).

143 Ibid, hlm. 22.


c. Pertimbangan Hakim

Dalam putusan ini terdapat beberapa pertimbangan hakim, Dasar

pertimbangan hakim terdiri dari:144

d. Dasar Pertimbangan Yuridis, yang merupakan unsur pertama dan

utama yaitu Undang-Undang dan Teori-teori yang berkaitan

dengan kasus atau perkara.

e. Dasar Pertimbangan Non Yuridis, yaitu melihat dari lingkungan

dan berdasarkan dari hati nurani hakim itu sendiri.

a) Dasar Pertimbangan Yuridis

Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Penuntut

Umum yang dibuat dengan dakwaan tunggal, yaitu melanggar

Pasal 197 jo Pasal 106 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

i. Barang siapa;

ii. Dengan sengaja;

iii. Memproduksi atau mengedarkan persediaan farmasi

dan/atau alt-alat kesehatan yang tidak memilikii ijin edar.

Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim

akan mempertimbangkannya sebagai berikut:

144 Ari Rochman, 2013, http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/534/jbptunikompp-gdl-arirochman-


26694-8-unikom a-v.pdf., Diakses pada 6 Juni 2018 pukul 02.27 WIB
1. Unsur ”Barang Siapa”

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “Barang Siapa“

adalah siapa saja yang menjadi subjek hukum atau pendukung

hak dan kewajiban, baik itu pribadi kodrati maupun badan

hukum yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana

dakwaan Penuntut Umum.

Menimbang, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan

ke persidangan Terdakwa INDRA bin SYAMSUAR dimana

setelah identitas Terdakwa diperiksa secara seksama ternyata

sesuai dengan identitas Terdakwa sebagaimana termuat dalam

surat dakwaan Penuntut Umum dan selama persidangan

Terdakwa juga mampu menjawab serta merespon semua apa

yang terjadi dipersidangan dengan baik sehingga jelas bahwa

Terdakwa yang diajukan oleh Penuntut Umum adalah subjek

hukum pribadi kodrati yang diduga melakukan tindak pidana

sebagaimana dakwaan Penuntut Umum tersebut.

Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim

berpendapat bahwa unsur “Barang Siapa” telah terpenuhi.

2. Unsur “Dengan Sengaja”

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah

bahwa pelaku benarbenar mengetahui dan menghendaki sesuatu

perbuatan atau akibat dari perbuatan tersebut terjadi.


Menimbang, bahwa untuk membuktikan unsur ini Majelis Hakim

akan mengemukakan fakta hukum bahwa benar terdakwa

mendapatkan kosmetik yang tanpa izin dari Balai Besar POM

dengan membeli dari sales Freeline, dan mau menjual pada

masyarakat karena banyak yang memintanya dan mendatangkan

keuntungan bagi terdakwa, meskipun terdakwa tahu kalau ini

dapat membahayakan kesehatan bagi penggunanya.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum diatas

Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdakwa benar-benar

menghendaki barang-barang kosmetik miliknya yang di beli dari

sales freeline tanpa memiliki ijin edar terjual dengan harapan

atau motif mendapatkan keuntungan, sehingga Majelis Hakim

berpendapat unsur dengan sengaja telah terpenuhi.

3. Unsur “Memproduksi atau mengedarkan persediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan yang tidak memilikii izin edar.

Menimbang, bahwa unsur “Memproduksi atau

mengedarkan persediaan farmasi dan/atau alat-alat kesehatan

yang tidak memiliki izin edar bersifat alternatif dimana apabila

salah satu dari perbuatan yang terdapat dalam unsur ini terpenuhi

dilakukan oleh Terdakwa maka unsur ini dianggap telah

terpenuhi sehingga perbuatan lainnya tidak perlu

dipertimbangkan lagi.
Menimbang, bahwa untuk membuktikan unsur ini Majelis

Hakim akan mengemukakan fakta-fakta hukum sebagai berikut :

i. Bahwa benar Terdakwa dihadapkan kepersidangan karena

telah mengedarkan kosmetik yang tanpa memiliki ijin

edar dari Balai Besar POM, dan hal ini terjadi pada hari

Kamis tangggal 7 Juni 2012 sekitar jam 12.20 WIB

;bertempat di toko Indra Pasar Lemabang Blok B No. 32

Palembang;

ii. Bahwa benar terdakwa mendapatkan kosmetik yang

tanpa izin dari Balai Besar POM dengan membeli dari

sales Freeline, dan mau menjual pada masyarakat karena

banyak yang memintanya dan mendatangkan keuntungan

bagi terdakwa, meskipun terdakwa tahu kalau ini dapat

membahayakan kesehatan bagi penggunanya.

b) Dasar Pertimbangan Non Yuridis

Adapun dasar pertimbangan non yuridis berdasarkan analisis

Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 299/ Pid.Sus/ 2015/

PN. Plg dalam perkara INDRA bin SYAMSUAR adalah sebagai

berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat.

Hal-hal yang meringankan:

a. Terdakwa belum pernah dihukum;


b. Terdakwa berlaku sopan dipersidangan;

c. Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya

serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi

dikemudian hari.

d. Putusan Hakim

i. Menyatakan terdakwa INDRA bin SYAMSUAR telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“DENGAN SENGAJA MENGEDARKAN PERSEDAAN

FARMASI TANPA IZIN EDAR”;

ii. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa INDRA bin SYAMSUAR

dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp

5.000.000,00,- (Lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama (dua)

bulan;

iii. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

iv. Menetapkan terdakwa tetap ditahan;

v. Menetapkan barang bukti berupa : 15 (lima belas) macam kelompok

produk komestik tanpa izin edar yang terinci sebagai berikut :

1. SP Special Super Asli Rp.10.000,-/pot 82 pot

2. SP Spesial Super Asli Kecil Rp.10.000,-/pot 27 pot

3. Pemutih Dokter Original krim Rp.10.000,-/pot 45 pot

4. SP Spesial UV.White krim Rp.10.000,-/pot 10 pot


5. Dokter White krim Rp.10.000,-/pot 8 pot

6. Dokter Super Merah krim Rp.10.000,-/pot 8 pot

7. CR Kuning krim Rp.10.000,-/pot 6 pot

8. Cream Hongkong krim Rp.10.000,-/pot 40 pot

9. Natural 99 Putih krim Rp.10.000,-/pot 2 pot

10. Diamond Cream Vit.E krim Rp.10.000,-/pot 2 pot

11. Sp Spesial Super krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

12. RDL Hydroquinone 3 krim Rp.20.000,-/pot 1 pot

13. Sp Spesial Asli krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

14. Sp Spesial Ginseng krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

15. Rose Asli krim Rp.10.000,-/pot 5 pot

Dirampas untuk dimusnahkan.

6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara

sejumlah Rp 5.000,00,- (lima ribu rupiah).

e. Analisis Putusan

Menurut pendapat penulis, hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu

rendah, sedangkan berdasarkan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan

hukum, maka seharusnya keadilan penjatuhan hukuman atas sanksi terhdap

terdakwa menurut penulis sudah seadil-adilnya dilakukan oleh hakim dalam

perkara ini, karena dalam hal ini jenis edaran farmasi yang dimaksud adalah

kosmetik yang tidak memiliki izin edar, jadi tidak berpengaruh pada kematian.

Dilihat dari asas kemanfaatannya, hukuman yang diterima oleh pelaku


kejahatan haruslah memberi manfaat bagi orang yang melakukan tindak

pidana itu sendiri dan juga memberi manfaat pembelajaran untuk orang lain

agar takut melakukan tindak pidana, sehingga terciptanya keamanan dan

kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum

yang terlaksana disini adalah putusan hakim yang telah inkracht. Sediaan

farmasi berupa jenis kosmetik merupakan barang bukti yang dimana kosmetik

tersebut akan diedarkan dengan jumlah yang tidak sedikit, jika dilakukan

secara berkelanjutan akan menimbulkan bahaya terhadap penjualan obat

tersebut jika dikonsumsi oleh masyarakat, serta bisa membahayakan bagi

orang lain karena penjualan yang tidak sesuai aturan pakai, sehingga tidak

menutup kemungkinan berdampak negatif terhadap kerusakan generasi

bangsa.

B. Penjatuhan Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi

Tanpa Izin Edar Berdasarkan Asas Kepastian, Keadilan Hukum, Dan Kemanfaatan

Hukum.
a. Asas Kepastian Hukum

Kepastian hukum adalah salah tujuan utama dari sistem peradilan hukum

di Indonesia. Kepastian hukum sangat erat kaitannya dengan keadilan, bahkan

sebagian orang beranggapan bahwa keadilan itu adalah kepastian hukum. Dan

kepastian hukum dapat tercapai setelah proses peradilan telah selesai (adanya

putusan pengadilan). Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” yang

bermakna kepastian tentang hukum itu sendiri. Ada empat hal yang berhubungan

dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya

bahwa hukum itu adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa

hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang

penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”,

“kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas

sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah

dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Berbicara

mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah

kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit

des Rechts).145

Indikator

145 Rahmi Purnama Melati, 2015, “Asas Kepastian Hukum dalam Peradilan di Indonesia”
dikutip dari http://amiyorizakaria.blogspot.com/2015/11/asas-kepastian-hukum-dalam-peradilan-di.html,
diakses pada tanggal 29 Mei 2018 pukul 21.18 WIB.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan)

asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak dipenuhi maka hukum

akan gagal untuk disebut sebagai hukum atau dengan kata lain harus terdapat

kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:146

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak

berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh hukum;

5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan;

7. Tidak boleh sering diubah-ubah;

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Dari kedelapan indikator diatas, dapat penulis jelaskan bahwa dalam

putusan 1 (satu), putusan 2 (dua), dan putusan 3 (tiga) telah adanya kepastian

hukum, karena putusan dalam perkara ini hakim tidak semata menggunakan

putusan untuk putusan sesaat, melainkan memutus sesuai dengan Undang-Undang

dan putusan diumumkan pada publik sehingga penulis dapat dan khalayak dapat

mengetahui tentang putusan perkara ini serta putusan dapat dipahami oleh hukum.

Hakim dalam 3 (tiga) perkara ini, memutus telah sesuai dengan Undang-Undang

yang berlaku yaitu bertolak ukur pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

146 Achmad Rifansyah, 2014, “asas kepastian hukum” http://tesishukum.com/pengertian-asas-


kepastian-hukum-menurut-para-ahli/, Diakses pada tanggal 7 Juni 2018 pukul 01.02 WIB.
Tentang Kesehatan Pasal 197 yang dimana Undang-Undang ini tidak

bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan diatasnya, seperti KUHP,

UUD 1945, dan Peraturan Perundang-Undangan lain diatasnya.

b. Asas Keadilan Hukum

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan

sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.147 Hal yang paling fundamental

ketika membicarakan hukum tidak terlepas dengan keadilan dewi keadilan dari

Yunani. Dari zaman yunani hingga zaman modern para pakar memiliki disparitas

konsep keadilan, hal ini disebabkan pada kondisi saat itu. Sesungguhnya konsep

keadilan sangat sulit mencari tolak ukurnya karena adil bagi satu pihak belum

tentu dirasakan oleh pihak lainnya. Kata keadilan berasal dari kata adil, yang

berarti dapat diterima secara obyektif.148

Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan

bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Jika hukum

semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan

memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat

membentuk peraturan-peraturan umum. Tertib hukum yang tak mempunyai

peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis adalah tidak mungkin. Tak adanya

peraturan umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh, mengenai apa

yang disebut adil atau tidak adil. Ketidaktentuan itu akan menyebabkan

perselisihan. Jadi hukum harus menentukan peraturan umum, harus

147 Dardji Darmohardjo, Shidarta., 2006, Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan bagaimana
filsafat
hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 155.
148 Algra, dkk., 1983, Mula Hukum, Jakarta: Binacipta, hlm. 7.
menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut supaya

tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri. makin banyak hukum memenuhi

syarat, peraturan yang tetap, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian,

jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan.

Itulah arti summum ius, summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah

ketidakadilan yang tertinggi.149

Dalam kaitannya tentang keadilan juga harus diperhatikan tentang asas

cepat, sederhana, dan biaya ringan. Sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU

No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yaitu berupa peradilan dilakukan

dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.150

Indikator

Indikator yang dapat penulis jelaskan dari beberapa konsep keadilan

tersebut diatas yakni:

1. Keadilan bukan berarti persamarataan, adil tidak harus sama rata, hal ini

bergantung pada kebutuhan hukum yang ada dalam suatu perkara.

2. Keadilan dan kepastian hukum saling mendesak dan harus mengutamakan

keadilan diatas kepastian hukum.

3. Keadilan dapat memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum.

4. Keadilan berkaitan dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan.

Hakim telah memutus dengan pertimbangan yang cukup adil, hanya saja

hukum yang seharusnya dijatuhkan pada putusan 1 (satu) seharusnya bisa lebih

149 L.J. Van Apeldoorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya
Paramita, hlm. 11.
150 Romy Gumilar, “Penyelesaian Perkara Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan” Dikutip dari http://www.romygumilar.wordpress.com diakses 28 mei 2018 pukul 22.00 WIB.
tinggi karena perbuatan terdakwa dengan mengederkan ribuan butir pil tergolong

obat keras adalah memiliki tingkat bahaya yang cukup tinggi terhadap

masyarakat. Putusan 2 (dua) dan putusan 3 (tiga) menurut penulis berdasarkan

indikator keadilan diatas, hakim sudah menjatuhkan putusan dengan seadil-

adilnya karena hukuman tergolong berat terhadap perbuatan terdakwa dengan

sedikitnya barang bukti terhadap pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar.

Hukuman yang dijatuhkan hakim lebih mengutamakan keadilan diatas kepastian

hukum yang dimana kepastian hukum terhadap hukuman terdakwa berdasarkan

Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah berupa penjara paling

lama 15 tahun (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupiah) dengan memutus perkara berdasarkan

keadilan yang seadil-adilnya diatas kepastian hukum tersebut. Biaya yang

dibebankan kepada terdakwa adalah ringan yaitu dalam putusan 1 (satu) biaya

yang dibebankan adalah Rp 2.000,- (dua ribu rupiah), biaya yang dibebankan

dalam putusan 2 (dua) juga sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah) dan biaya yang

dibebankan dalam putusan 3 (tiga) adalah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).

c. Asas Kemanfaatan Hukum

Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk

mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen

sebagaimana dikutip Mohamad Aunurrohim mengatakan bahwa, “hukum itu

dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia


sebagai makhluk rasional”. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum

bukanlah, bagaimana hukum itu seharusnya, melainkan apa hukumnya.151

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan

hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan

hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai

justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul

keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.152

Indikator

Indikator dari asas kemanfaatan hukum, menurut UU Nomor 30 Tahun

2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 10 huruf b yang dimaksud asas

kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang, yaitu:153

1. Kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain;

2. Kepentingan individu dengan masyarakat;

3. Kepentingan warga masyarakat dengan masyarakat asing;

4. Kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompik

masyarakat yang lain;

5. Kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat;

6. Kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang;

7. Kepentingan manusia dan ekosistemnya;

8. Kepentingan pria dan wanita.


151 Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di
Indonesia” dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 28 Mei 2018 pukul 22.35 WIB, hlm. 6 dan
7.
152 Sudikno Mertokususmo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm.
160.
153 Republik Indonesia Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan.
Dapat penulis jelaskan bahwa dari setiap putusan hakim diharapkan

memperoleh keadilan yang memberikan kemanfaatan dan kepastian yang

merupakan tujuan dari hukum. “keadilan merupakan eksistensi hak-hak individu,

kemanfaatan aturan merupakan esensi keadilan”, sehingga dikaitkan dengan

pendapat John Rawls “kemanfaatan merupakan esensi keadilan yang harus

menghargai individu”.154 Kemanfaatan dalam ketiga perkara tersebut diatas adalah

bertolak ukur pada keadilan yang notabenenya harus memiliki manfaat bagi setiap

individu yang berperkara terutama pada terdakwa. Apakah dalam putusan hakim

ini memberikan manfaat atau tidak kepada terdawa, hal ini tergantung pada

keadilan yang diberikan hakim dalam memutus perkara tersebut. Dengan

hukuman yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa diharapkan dapat memberi

manfaat berupa efek jera pada si pelaku. Tentunya hukuman yang diberikan

hakim tidak boleh melebihi batas maksimal dan minimal hukuman tersebut

ditetapkan oleh Undang-Undang yang berlaku.

Analisis putusan hakim berdasarkan asas kepastian hukum, keadilan hukum,

kemanfaatan hukum:

154 Cekli Setya Pratiwi, dkk., 2016, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), Malang,
Cakrawala Surya Prima, hlm. 63.
1) Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri Nomor

197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi

Menyatakan bahwa terdakwa SUTRISNO Als. PATREK Bin LOSO tersebut

diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana

“Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat

yang tidak memiliki izin edar”;

1. Menjatuhkan Pidana kepada terdakwa dengan Pidana penjara

selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp

1.000.000,- (satu juta rupiah), apabila denda tersebut tidak

dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama 1

(satu) bulan;

2. Menetapkan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan;

3. Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan ;

4. Menetapkan barang bukti berupa : Sediaan farmasi berupa pil

jenis LL sebanyak 4490(empat ribu empat ratus sembilan puluh)

butir dirampas untuk dimusnahkan;

5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).

Analisis:

Berdasarkan putusan pengadilan negeri kabupaten Kediri nomor

197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi, termasuk kedalam hukum pidana khusus karena


hukuman dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa tercantum didalam

Perundang-Undangan diluar KUHP yang bersanski pidana. Penjatuhan putusan

hakim dalam putusan ini berupa “pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam)

bulan dan denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), apabila denda tersebut

tidak dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan”

dari lamanya hukuman maksimal penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

sesuai dengan ketentuan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

Menurut pendapat penulis, hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu

rendah, sedangkan berdasarkan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum,

maka seharusnya keadilan penjatuhan hukuman atas sanksi harus diberikan lebih

berat sehingga menimbulkan efek jera terhadap terdakwa. Dilihat dari asas

kemanfaatannya, hukuman yang diterima oleh pelaku kejahatan haruslah memberi

manfaat bagi orang yang melakukan tindak pidana itu sendiri dan juga memberi

manfaat pembelajaran untuk orang lain agar takut melakukan tindak pidana,

sehingga terciptanya keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara. Kepastian hukum yang terlaksana disini adalah putusan hakim

yang telah inkracht. Sediaan farmasi berupa pil jenis LL sebanyak 4490(empat

ribu empat ratus sembilan puluh) butir merupakan barang bukti yang dimana pil

tersebut akan diedarkan dengan jumlah yang tidak sedikit, serta bisa

membahayakan bagi orang lain karena penjualan yang tidak sesuai aturan pakai,

sehingga tidak menutup kemungkinan berdampak negatif terhadap kerusakan

generasi bangsa.
2) Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr

1. Menyatakan Terdakwa HARI LAKSONO bin GIMAN yang identitas

lengkapnya tersebut dimuka telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana : Dengan sengaja mengedarkan sediaan

farmasi tanpa memiliki izin edar.

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HARI LAKSONO bin GIMAN

tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan.

Menjatuhkan pula pidana denda sebesar Rp.250.000,- ( Dua ratus lima puluh

ribu rupiah ) apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan

pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

3. Menetapkan masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani oleh

Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Menetapkan supaya Terdakwa tetap dalam tahanan.

5. Memerintahkan barang bukti berupa: 2 (dua) buah kantong plastik kecil

masing-masing isi 60 (enam puluh) butir tablet warna kuning dan 62 (enam

puluh dua) butir warna putih dirampas untuk dimusnahkan dan uang tunai

Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dirampas untuk Negara.

6. Membebankan biaya dalam perkara ini kepada Terdakwa sebesar Rp.2.000,-

(Dua ribu rupiah).

Analisis:

Dalam putusan pengadilan negeri kabupaten Jember nomor 558/ pid. B/

2015/ PN. Jmr, termasuk kedalam hukum pidana khusus karena hukuman dari

tindak pidana yang dilakukan terdakwa tercantum didalam Perundang-Undangan


diluar KUHP yang bersanski pidana. Tetapi didalam putusan ini, kasus peng

Penjatuhan putusan hakim dalam putusadaran sediaan farmasi ini termasuk

kedalam hukum pidana umum, padahal harusnya kasus ini termasuk kedalam

pidana khusus. Sanksi pidana yang dijatuhkan berupa “pidana penjara selama 8

(delapan) bulan dan pidana denda sebesar Rp.250.000,- ( Dua ratus lima puluh

ribu rupiah ) apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana

kurungan selama 1 (satu) bulan”, dari lamanya hukuman maksimal penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 197 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009.

Menurut pendapat penulis, hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu

rendah, sedangkan berdasarkan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan

hukum, maka seharusnya keadilan penjatuhan hukuman atas sanksi harus

diberikan lebih berat sehingga menimbulkan efek jera terhadap terdakwa. Dilihat

dari asas kemanfaatannya, hukuman yang diterima oleh pelaku kejahatan

haruslah memberi manfaat bagi orang yang melakukan tindak pidana itu sendiri

dan juga memberi manfaat pembelajaran untuk orang lain agar takut melakukan

tindak pidana, sehingga terciptanya keamanan dan kesejahteraan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum yang terlaksana disini

adalah putusan hakim yang telah inkracht. Sediaan farmasi berupa 2 (dua) buah

kantong plastik kecil masing-masing isi 60 (enam puluh) butir tablet warna

kuning dan 62 (enam puluh dua) butir warna putih merupakan barang bukti yang

dimana pil tersebut akan diedarkan dengan jumlah yang tidak sedikit, walaupun
jika dibandingkan dengan putusan sebelumnya memang pengedaran sediaan

farmasi tanpa izin edar ini lebih sedikit, hanya saja jika dilakukan secara

berkelanjutan akan menimbulkan bahaya terhadap penjualan obat tersebut jika

dikonsumsi oleh masyarakat, serta bisa membahayakan bagi orang lain karena

penjualan yang tidak sesuai aturan pakai, sehingga tidak menutup kemungkinan

berdampak negatif terhadap kerusakan generasi bangsa.

3) Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 299/ Pid.Sus/ 2015/ PN. Plg

1. Menyatakan terdakwa INDRA bin SYAMSUAR telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“DENGAN SENGAJA MENGEDARKAN PERSEDAAN

FARMASI TANPA IZIN EDAR”;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa INDRA bin

SYAMSUAR dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan

denda sebesar Rp 5.000.000,00,- (Lima juta rupiah) dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama (dua) bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah

dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan;

4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan;

5. Menetapkan barang bukti berupa : 15 (lima belas) macam

kelompok produk komestik tanpa izin edar yang terinci sebagai

berikut :
1. SP Special Super Asli Rp.10.000,-/pot 82 pot

2. SP Spesial Super Asli Kecil Rp.10.000,-/pot 27 pot

3. Pemutih Dokter Original krim Rp.10.000,-/pot 45 pot

4. SP Spesial UV.White krim Rp.10.000,-/pot 10 pot

5. Dokter White krim Rp.10.000,-/pot 8 pot

6. Dokter Super Merah krim Rp.10.000,-/pot 8 pot

7. CR Kuning krim Rp.10.000,-/pot 6 pot

8. Cream Hongkong krim Rp.10.000,-/pot 40 pot

9. Natural 99 Putih krim Rp.10.000,-/pot 2 pot

10. Diamond Cream Vit.E krim Rp.10.000,-/pot 2 pot

11. Sp Spesial Super krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

12. RDL Hydroquinone 3 krim Rp.20.000,-/pot 1 pot

13. Sp Spesial Asli krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

14. Sp Spesial Ginseng krim Rp.10.000,-/pot 1 pot

15. Rose Asli krim Rp.10.000,-/pot 5 pot

Dirampas untuk dimusnahkan.

6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara

sejumlah Rp 5.000,00,- (lima ribu rupiah).

Analisis:

Dalam putusan pengadilan negeri Palembang nomor 299/ Pid.Sus/ 2015/

PN. Plg, termasuk kedalam hukum pidana khusus karena hukuman dari tindak

pidana yang dilakukan terdakwa tercantum didalam Perundang-Undangan diluar

KUHP yang bersanski pidana. Sanksi pidana yang dijatuhkan berupa “pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp 5.000.000,00,- (Lima juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama (dua) bulan”, dari lamanya hukuman maksimal penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00

(satu miliar lima ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 197 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009.

Menurut pendapat penulis, hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu

rendah, sedangkan berdasarkan asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan

hukum, maka seharusnya keadilan penjatuhan hukuman atas sanksi terhdap

terdakwa menurut penulis sudah seadil-adilnya dilakukan oleh hakim dalam

perkara ini, karena dalam hal ini jenis edaran farmasi yang dimaksud adalah

kosmetik yang tidak memiliki izin edar, jadi tidak berpengaruh pada kematian.

Dilihat dari asas kemanfaatannya, hukuman yang diterima oleh pelaku kejahatan

haruslah memberi manfaat bagi orang yang melakukan tindak pidana itu sendiri

dan juga memberi manfaat pembelajaran untuk orang lain agar takut melakukan

tindak pidana, sehingga terciptanya keamanan dan kesejahteraan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum yang terlaksana disini

adalah putusan hakim yang telah inkracht. Sediaan farmasi berupa jenis

kosmetik merupakan barang bukti yang dimana kosmetik tersebut akan

diedarkan dengan jumlah yang tidak sedikit, jika dilakukan secara berkelanjutan

akan menimbulkan bahaya terhadap penjualan obat tersebut jika dikonsumsi oleh

masyarakat, serta bisa membahayakan bagi orang lain karena penjualan yang
tidak sesuai aturan pakai, sehingga tidak menutup kemungkinan berdampak

negatif terhadap kerusakan generasi bangsa.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka penulis dapat menarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim memutus perkara tindak pidana terhadap pengedaran

sediaan farmasi tanpa izin edar pada kasus putusan nomor: 197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi

dalam perkara SUTRISNO Als. PATREK Bin LOSO, putusan nomor 558/ pid. B/

2015/ PN. Jmr dalam perkara HARI LAKSONO Bin GIMAN, dan putusan nomor
299/ Pid.Sus/ 2015/ PN. Plg dalam perkara INDRA bin SYAMSUAR, Dari hasil

persidangan, terdapat alasan yuridis dan non yuridis, yaitu:

a. Alasan Yuridis dari ketiga putusan yaitu semua alat bukti serta keterangan

saksi menunjukan bahwa benar terdakwa telah terbukti sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana sediaan farmasi tanpa izin edar,

Pertanggungjawaban atas perkara tersebut diatas dengan bertolak ukur pada

pasal yang sama yakni Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan adalah “Manusia” karena terdapat frasa “Setiap Orang”

dalam Pasal tersebut dan “dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan atau alat keehatan yang tidak memenuhi standar dan atau

persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan mutu”. Tidak ada alasan

pemaaf dan alasan pembenar selama di persidangan terhadap tindak pidana

yang dilakukan atas terdakwa, dimana terdakwa mampu membedakan baik

buruk perbuatannya serta tidak terlihat adanya kelaianan psikis dari

tingkahlakunya. Maka terdakwa dalam ketiga putusan tersebut diatas telah

terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sediaan farmasi tanpa

izin edar.

b. Alasan Non Yuridis, pertimbangan berdasarkan analisis putusan nomor:

197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi dalam perkara SUTRISNO Als. PATREK Bin

LOSO, putusan nomor 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr dalam perkara HARI

LAKSONO Bin GIMAN, dan putusan nomor 299/ Pid.Sus/ 2015/ PN. Plg

dalam perkara INDRA bin SYAMSUAR terdapat beberapa hal yang

memberatkan yakni trdakwa sebagai pengedar, perbuatannya meresahkan


masyarakat dan merusak masa depan generasi muda serta bertentangan

dengan program pemerintah memberantas segala macam peredaran obat

terlarang dan obat keras. adapun hal-hal yang meringankan trdakwa mengaku

terus terang mengenai perbuatannya, menyesali dan berjanji tidak akan

mengulanginya lagi.

2. Putusan hakim dalam perkara sediaan farmasi tanpa izin edar dengan putusan nomor:

197/Pid.Sus./2012/PN.Kdi dalam perkara SUTRISNO Als. PATREK Bin LOSO,

putusan nomor 558/ pid. B/ 2015/ PN. Jmr dalam perkara HARI LAKSONO Bin

GIMAN, dan putusan nomor 299/ Pid.Sus/ 2015/ PN. Plg dalam perkara INDRA bin

SYAMSUAR, hakim dalam menjatuhkan putusannya telah sesuai dengan asas

kepastian hukum, asas keadilan hukum dan asas kemanfaatan hukum dimana

hukuman yang dijatuhkan hakim lebih mengutamakan keadilan diatas kepastian

hukum yang mana kepastian hukum terhadap hukuman terdakwa berdasarkan Pasal

197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah berupa penjara paling lama 15

tahun (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,- (satu miliar

lima ratus juta rupiah) dengan memutus perkara berdasarkan keadilan yang seadil-

adilnya. Rata-rata hukuman yang dijatuhkan memang rendah mengingat pengedaran

sediaan farmasi tanpa izin tersebut tidak terlalu banyak. Hukuman yang adil diberikan

hakim kepada terdakwa dapat memberikan manfaat untuk memberi efek jera kepada

terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut, serta memberikan pembelajaran

untuk orang lain agar takut melakukan tindak pidana, sehingga terciptanya keamanan

dan kesejahteraan dalam masyarakat.

B. SARAN
Penulis memberikan saran-saran bagi semua pihak khususnya Badan Pengawas Obat dan

Makanan (BPOM) dan aparat penegak hukum yang berwenang, yakni sebagai berikut:
1. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seharusnya lebih teliti dalam

memerhatikan atas penjualan pengedaran sediaan farmasai tanpa izin edar baik

berupa obat, makanan, kosmetik, maupun obat-obatan jenis lain yang seharusnya

memenuhi standar mutu terhadap penggunaan serta pengedarannya.


2. Perlu adanya pengawasan lebih lanjut oleh aparat penegak hukum yang berwenang

seperti kepolisian untuk mengawasi jalannya peredaran obat-obatan sediaan farmasi

tanpa izin sehingga dapat mengurangi tindak kejahatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku – Buku

Abdullah Cholil, dkk.,1987, Hukum Kesehatan Indonesia, Perhuki, Jakarta.


Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Presfektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
____________, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Agresif, Sinar Grafika, Yogyakarta.
Algra, dkk., 1983, Mula Hukum, Binacipta, Jakarta.
Andi Hamzah, 2001, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia
Indonesia Jakarta.
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.
A. Hamzah dan Irdan Dahlan, 2010, Surat Dakwaan, PT. Alumni, Bandung.
Bambang Sunggono. 2007. Metode Penelitian Hukum. P.T. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Bambang Waluyo. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
B.I.T. Tamba. 1996. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Dalam
Melakukan Perawatan). Universitas Sriwijaya, Palembang.
Cekli Setya Pratiwi, dkk., 2016, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB), Cakrawala Surya Prima, Malang.
Chazawi Adami. 2001. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
CST Kansil. 1991. Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia. PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
C. Djasman Samosir, 2013, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Nuansa
Aulia, Bandung.
Dardji Darmohardjo, Shidarta., 2006, Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT. Rafika
Aditama, Bandung.
E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana I, Universitas, Djakarta.
E. Utrecht & Moch Saleh Djindang, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesi,
Sinar Harapan, Jakarta.
E. Y. Kanter dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Fence M. Wantu, 2011, Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan
Kemanfaatan (Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata., Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Hermien Hadiati Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana
Dalam Rangka Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung.
Ishaq. 2017. Metode Penelitian Hukum. Alfabeta, Bandung.
Jhoni Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia,
Malang.
Leden Marpaung, 1991, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, Sinar
Grafika Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2007, Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu. Surabaya.
___________, 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan
Praktik Peradilan, Mandar Maju, Jakarta.
L.J. Van Apeldoorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Moh. Anief, 1997, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
__________, 2007, Farmasetika, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Muladi & Barda Nawawi Arif, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung.
M. Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Nurdin Romli, 2013, Modul Materi PLKH Hukum Acara Pidana
(SUPPLEMENT), Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya, Palembang.
Paul Sinlaeloe, 2015, Memahami Surat Dakwaan, Penyelia Aksara, Kupang.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta.
P.A.F. Lamintang, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2014, Hukum Pidana (Tindak Pidana,
Pertanggungjawaban, Pidana dan Pemidana an), Universitas Sriwijaya,
Palembang.
Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana:Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, Jakarta.
Rodliyah dan Salim HS, 2017, Hukum Pidana Khusus (Unsur dan Sanksi
Pidananya), Rajawali Pers, Depok.
Ruben Achmad dan Artha Febriansyah, 2013, Modul Klinik Hukum Pidana,
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang.
Ruslan Renggong, 2016, Hukum Pidana Khusus (Memahami Delik-Delik di Luar
KUHP), Prenada Media Group, Jakarta.
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Soedarto. 2007. Hukum dan Hukum Pidana. Penerbit P.T. Alumni, Bandung.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
_______________, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada., Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media,
Yogyakarta.
Syarifuddin Pettanasse, 2015, Hukum Acara Pidana, Unsri, Palembang.
S.M. Amin, 2009, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta.
Teguh Prasetyo, 2012, Hukum Pidana, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
World Health Organization. 2005. Pemastian Mutu Obat. terj. Mimi V. Syahputri.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Yuli Isnandar, 2008, Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatukan Putusan
Pidana Bersyarat (Study di Pengadilan Negeri Karang Anyar), Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Peraturan Perundang – Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 (yang sudah di ganti dengan Undang-Undang
No.48 Tahun 2009) Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang
Apotek.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 3 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2001 Tentang Kriteria dan
Tata Laksana Registrasi Obat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010 Tahun 2008
tentang Registrasi Obat.

Website

Achmad Rifansyah, 2014, “asas kepastian hukum”


http://tesishukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-para-
ahli/, Diakses pada tanggal 7 Juni 2018.
Ari Rochman, 2013, http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/534/jbptunikompp-gdl-
arirochman-26694-8-unikom a-v.pdf., Diakses pada 6 Juni 2018.
Ayu Permatasari, 2017, 5 Penggolongan Obat: Obat Bebas, Bebas Terbatas,
Keras, Psikotropika, Narkotika dan Contoh
http://bidhuan.id/obat/43398/5-penggolongan-obat-obat-bebas-bebas-
terbatas-keras-psikotropika-narkotika-dan-contoh/. Diakses pada 02 April
2018, pukul 16.22 WIB.
Fajrin, 2012, Kitabpidana.blogspot.co.id, diakses tanggal 23 Mei 2018 pukul
06.15 WIB.
Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di
Indonesia” dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 28 Mei
2018 pukul 22.35 WIB.
Penelitian Hukum Normatif, 2013, https://idtesis.com/pengertian-penelitian-
hukum-normatif-adalah/html, Diakses tanggal 26 februari 2018.
Pendekatan Dalam Penelitian Hukum, 2013,
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-
penelitian-hukum. Diakses tanggal 10 Maret 2018 pukul 11.30 Wib.
Rahmi Purnama Melati, 2015, “Asas Kepastian Hukum dalam Peradilan di
Indonesia” dikutip dari http://amiyorizakaria.blogspot.com/2015/11/asas-
kepastian-hukum-dalam-peradilan-di.html, diakses pada tanggal 29 Mei
2018.
Romy Gumilar, “Penyelesaian Perkara Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan” Dikutip dari http://www.romygumilar.wordpress.com diakses 28
mei 2018 pukul 22.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai