Anda di halaman 1dari 95

EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakutas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Meperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Said Agung Sedayu


NIM : 1112048000045

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435H/2016
EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN

KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI

INDONESIA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:
Said Agung Sedayu
NIM: 1112048000045

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. Fitria, S.H., M.R.


NIP. 197220203200701034 NIP. 197908222011012007

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/ 2016 M

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI


DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2016.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi
Hukum Kelembagaan Negara.
Jakarta, 6 Oktober 2016
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.


NIP: 196912161996031001

PANITIA UJIAN:

1. Ketua : Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, S.H.,M.H. (…………….)


NIP: 196911211994031001

2. Sekretaris : Nur Rohim Yunus, LLM (…………….)


NIP: 197904182011011004

3. Pembimbing I : Dr. Alfitra, S.H.,M.Hum (…………….)


NIP: 197220203200701034

4. Pembimbing II: Fitria, S.H.,M.R (…………….)


NIP: 19790822201101200

5. Penguji I : Dr.H. M. Ali Hanafiyah, S.H.,M.H (…………….)


NIP: 196702032014111001

6. Penguji II : Dedy Nursamsi, S.H.,M.Hum (…………….)


NIP: 1961111011993031002
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 September 2016

Said Agung Sedayu

iii
ABSTRAK

SAID AGUNG SEDAYU, NIM 1112048000045. EKSISTENSI


LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 71 halaman + 3
halaman Daftar Pustaka.

Skripsi ini bertujuan untuk memahami bagaimana eksistensi Lembaga


Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk untuk
mengimplementasikan UU No. 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU
No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang ditujukan untuk memastikan
terakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.
Namun sebagai lembaga yang masih terbilang baru ada beberapa kendala yang
dirasakan LPSK baik dari segi kelembagaan maupun undang-undang yang
mengaturnya sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis


normatif dengan menggunakan pendekatan normatif empiris. pendekatan ini pada
dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan
adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris
mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam
aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu
masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan hukum
primer, sekunder dan bahan non hukum. Dalam penelitian ini dapat ditemukan
kendala-kendala yang dirasakan LPSK antara lain kurangnya dukungan anggaran
maupun SDM sehingga pemberian layanan bagi saksi dan korban belum optimal.
Kemudian mengenai kedudukannya dalam sistem peradilan pidana. Meskipun
LPSK sebagai lembaga yang secara nyata sudah mempunyai mandat untuk
melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban dan menjalankan peranannya
dalam keseluruhan proses peradilan pidana namun kedudukannya belum diatur
dalam KUHAP.

Kata Kunci : LPSK, Sistem Peradilan Pidana, Saksi, Korban, UU No 31 Tahun


2014, Perlindungan Saksi dan Korban.
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan

semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul: “EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA” dengan lancar

dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada manusia

teristimewa yang diistimewakan oleh Allah Yang Maha Istimewa yaitu Nabi

Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku

pengikut setia beliau hingga akhir hayat.

Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya

kepada kedua orang tua tercinta Mamah Murni dan Papah Rodi Saroyo, serta

nenek tercinta Emak Dinih. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak

pihak yang telah membantu penulis baik secara materil maupun immateril. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

v
3. Dr. Alfitra, SH, M. Hum dan Fitria, SH, MR selaku Dosen Pembimbing I dan

II yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada

penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik

dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.

Segenap staff Perpustakaan FSH dan staff Perpustakaan Utama UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memfasilitasi untuk mengadakan studi

kepustakaan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Andreas selaku Humas LPSK dan Bapak Syahrial Martanto selaku

Tenaga Ahli Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban yang telah meluangkan

waktu dalam memberikan informasi dan data terkait skripsi penulis.

6. Al Habib Segaf Bin Umar Bin Abdurrahman Assegaf (Pimpinan Majelis

Ta’lim Walmudzakaroh Mahabbatussholihin) Guru teristimewa yang telah

mendoakan dan membimbing penulis. Semoga Allah SWT panjangkan umur

beliau, sehatkan badan beliau dan diberkahi setiap langkah perjuang beliau.

7. Adik tercinta Maulana Sidiq Sedayu yang telah banyak membantu dikala

printer eror, dan M Ridho Bhogowonto Sedayu yang banyak menghibur

penulis dengan celotehannya.

8. Keluarga besar yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil,

Mbah Kung dan Mbah Putri, Budhe Peni, Om Peri & Tante Nining, Tante Ita

& Om Izal, serta Om Umang & Tante Anti.


9. Sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012 M Yusuf, Renaldi

Hendryan, Sigit Ganda, Dimas Anggri, Agie Zaky, Ade Kurniawan, Agasti

Prior, Farid Muhajir, Farhan Naziri, Maulana Malik, Rifky Razaqi,

Muhammad Ansyori, Deni Fernandez, Bagdhady Zanjani, Murtadlo dan

teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaannya selama

ini.

10. Kelompok KKN Syakir, Agus, Aqil, Ijal, Vedra, Satrio, Aras, Imam, Salma,

Suci, Yayang, Rini, Devi, Luxy, dan Asri yang telah memberikan kesan

mendalam kepada penulis.

11. Keluarga Besar Variant Owner Riders Club (VORC) Jakarta, Bang Chandra

(Pembina VORC), Rendi Agung (WakaVORC), Dendy Apriansyah (SekBen

VORC), Tri Arianto (Kabid Humas VORC), Bowo (Humas VORC), Yudha

Eka, Bunaya, Putra (Member VORC) yang telah memacu semangat penulis,

salam RBC. Dan seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, semoga mendapat keberkahan dari Allah SWT.

Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon

maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi

ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para

pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 29 September
2016 Penulis

Said Agung Sedayu

vii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................... v

DAFTAR ISI........................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 10

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................... 11

E. Kerangka Konseptual ............................................................ 13

F. Metode Penelitian ................................................................. 14

G. Sistematika Penulisan ........................................................... 17

BAB II LANDASAN TEORI SISTEM PERADILAN PIDANA DI

INDONESIA

A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana...................................... 20

B. Komponen Sistem Peradilan Pidana ..................................... 22

1. Kepolisian ....................................................................... 23
2. Kejaksaan ........................................................................ 26

3. Pengadilan ....................................................................... 27

4. Lembaga Pemasyarakatan ............................................... 29

5. Advokad ........................................................................... 32

C. Model Sistem Peradilan Pidana ............................................ 36

1. Crime Control Model…………………………………………36

2. Due Process Model……………………………………...37

D. Kedudukan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan

Pidana……….........................................................................39

BAB III TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN (LPSK)

A. Sejarah Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban……............................................................................41

B. Visi, Misi, Serta Tugas dan Wewenang Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban.............................................43

C. Keangotaan dan Struktur Organisasi Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban ............................................47

D. Tugas dan Fungsi Sekretariat Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban ………......................................................48

E. Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ….……………50

F. Hubungan Kerjasama Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban dengan Lembaga Lain …………,,……………..55

ix
BAB IV EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN

KORBAN

A. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam

Sistem Peradilan Pidana …...................................................60

B. Tantangan dan Kendala Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ....67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.………...............................................................74

B. Saran…...…….......................................................................75

DAFTAR PUSTAKA…...……........................................................................76

LAMPIRAN :

1. Lampiran surat permohonan wawancara kepada pihak LPSK

2. Lampiran surat keterangan telah melakukan penelitian di LPSK

3. Lampiran hasil wawancara bersama Bapak Syahrial Martanto Wiryawan

SH. selaku Tenaga Ahli Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hingga saat ini negara Indonesia telah mengalami empat kali

perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945),1 dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) dirumuskan dengan tegas

menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat)”.

Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of

law yang diartikan sama dengan negara hukum.2

Namun negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat

atau the rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid (tindakan

pemerintah berdasarkan undang-undang), yang kemudian menjadi

rechtsmatigheid (jaminan atas tindakan pemerintah), sedangkan The rule

of law mengutamakan prinsip equality before the law. Adapun negara

hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian hubungan antara

pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip

ini terlihat pula adanya elemen lain dari negara hukum Pancasila yakni

terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan

negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, dan peradilan

1
Jimy AsshidiqieStruktur Ketatanegaraan Indonesia Seteah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945, (Makalah di sampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII dengan tema Penegakkan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14-18 Juli 2003), h.1.
2
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif
tentang Unsur-Unsurnya (Jakarta :Universitas Indonesia Press,1995), h. 69.

1
2

merupakan sarana terakhir. Sejauh menyangkut HAM, yang ditekankan

bukan hanya hak atau kewajiban, melainkan juga jalinan yang seimbang

antara keduanya.3

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan makna terdalam dari


Negara berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum
dan semua orang sama di hadapan hukum”. Konsep negara hukum tentu
saja sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat dengan kedaulatan
hukum sebagai satu kesatuan.4

Era reformasi, pasca perubahan atas UUD 1945, strategi

pembangunan hukum nasional berpedoman pada apa yang dikenal sebagai

Visi dan Misi Pembangunan Hukum Nasional. Visi Pembangunan Hukum

Nasional adalah terwujudnya negara hukum5 yang adil dan demokratis

melalui pembangunan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada

kepentingan rakyat dan bangsa didalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

3
Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),
h. 72.
4
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan.
(Bandung: PT. Alumni, 2002), h. 12.
5
Menurut Mahfud MD yang mengutip hasil dari Konferensi International
Commission of Jurists di Bangkok disebutkan bahwa ciri-ciri negara hukum adalah
sebagai berikut : 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak
individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh atas
hak-hak yang dijamin (due process of law); 2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak; 3. Adanya pemilu yang bebas; 4. Adanya kebebasan menyatakan
pendapat; 5. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6. Adanya
pendidikan kewarganegaraan.
3

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Visi tersebut kemudian diimplementasikan dalam

Misi Pembangunan Hukum Nasional dengan:

1. Mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka

penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial

dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan

masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan kebenaran,

dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat;

2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum;

3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, professional, bermoral,

dan berintegritas tinggi; serta Mewujudkan lembaga hukum yang kuat,

terintegrasi, dan berwibawa.6

Dari keseluruhan hukum yang berlaku di Indonesia, berlaku pula

hukum pidana, yaitu semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan

yang memakai sanksi (ancaman) hukuman bagi mereka yang

melanggarnya.7 Sedangkan menurut Hazewinkel Suringa, hukum pidana

adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah

atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana

(sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.8

6
Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
h.1.
7
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h.
114.
8
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 4.
4

Dengan demikian, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,

tanpa tawar-menawar. Seseorang dikenakan pidana karena telah

melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa pun yang mungkin

timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apakah dengan

demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa

lampau, tidak dilihat ke masa depan.9

Konsep hukum pidana Indonesia dari tahun ke tahun telah

menunjukkan kemajuan yang baik dalam konsepsi dasar pandangan

hukum pidana yang dialirkan melalui penyerapan perkembangan ilmu

pengetahuan dalam hal hukum pidana maupun nilai-nilai budaya atau

budaya hukum yang bersumber pada perubahan dalam pembangunan

masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan manusia ternyata sendi kebenaran

dan keadilan itu meliputi segala macam segi kehidupan dalam masyarakat,

baik di bidang hukum maupun di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya

dan kemasyarakatan lainnya.10

Pada umumnya tindak pidana yang terjadi menimbulkan korban.

Dapat dikatakan korban mempunyai peran fungsional dalam terjadinya

tindak pidana. Tindak pidana (kejahatan) dapat terjadi karena ada pihak

yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki atau tidak oleh

9
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. I (Bandung:
PT Refika Aditama, 2003), h.23.
10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cet. II (Jakarta: Rajawali pers, 2011), h.249.
5

korban.11 Selain itu terdapat juga saksi, yaitu orang yang dapat memberi

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan

tentang sesuatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri

dan dia alami sendiri.

Dalam hukum pidana terdapat sebuah sistem peradilan, atau istilah

yang mulai populer di Indonesia, yaitu criminal justice system yang

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi sistem peradilan pidana.12

Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah

menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.13

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk

menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu

ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu

usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana

adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat

dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga

11
1G. Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan
Kejahatan, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), h. 26.
12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya,
1996), h.2.
13
Romli Atmasasmita (1), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 2.
6

menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon

pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.14

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan


ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi
struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme
administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial
syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan
dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti
menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.15

Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan

korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan

keterangan yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap

sebuah tindak pidana. Hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak

hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap

dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak

banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak

pidana, tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat

memberatkan atau meringankan seorang terdakwa.

Tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan

korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada

kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai

pihak yang dapat memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal

14
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu
Agung, 2007), h. 4.
15
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), h.
13.
7

ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan

hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan

perlakuan dan hak-hak khusus, karena mengingat keterangan yang

disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang

saksi.16

Mengingat bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban

memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana. Sehingga dengan

keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut

dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana. Serta belum

terdapatnya mekanisme perlindungan saksi dan korban yang baik dari

lembaga-lembaga penegak hukum yang ada.

Maka dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK), yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Yang

diundangkan pada 11 Agustus 2006. Kemudian dalam rangka

penyempurnaan UU perlindungan saksi dan korban. Pada tahun 2014

dibuatlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini

ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan

korban dalam proses peradilan pidana.

16
Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin,Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana, h.182
8

Meski Kedudukan LPSK sangat penting dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia, lembaga ini tidak termasuk dalam komponen sistem

peradilan pidana di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan oleh Romli

Atmasasmita, bahwa komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui

baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy)

maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan.17 Jadi

selama ini sistem peradilan pidana Indonesia hanya memfokuskan

bagaimana memproses pelaku tindak pidananya saja sedangkan saksi dan

korban cukup menjadi pelengkap dalam proses peradilan tersebut.

Karena LPSK tidak termasuk dalam komponen sistem peradilan

pidana maka kedudukannya tidak diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka dari itu mantan Wakil Menteri

hukum dan HAM, Denny Indrayana menyatakan bahwa rumusan dalam

RUU KUHAP perlu meletakkan LPSK sebagai lembaga yang paling

berwenang dalam melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban.18

Bahkan didalam UU Nomor 31 Tahun 2014 pun masih terdapat

beberapa kelemahan. Salah satunya pada pasal 5 ayat 2 yang menyebutkan

bahwa perlindungan terhadap saksi dan korban hanya dapat diberikan pada

17
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisianisme, (Bandung: Bina Cipta, 1996), h. 16.
18
M. Zulfikar, Denny : Ada Tiga Kelemahan RUU KUHAP,
http://www.tribunnews.com/2013/04/10/denny-ada- tiga-kelemahan-ruu-kuhap,
diakses pada 5 April 2016, jam 20.30 WIB.
9

tindak pidana dalam kasus tertentu saja.19 Tidak hanya itu kendala lain

yang sangat dirasakan LPSK ialah minimnya anggaran dan jumlah SDM

yang ada sehingga membuat kinerja LPSK belum optimal. Ini

menunjukkan masih terdapat kelemahan terkait LPSK, baik dari

kedudukan, kinerja, maupun Undang-Undang yang mengaturnya.

Sehingga penulis merasa perlu adanya pembenahan dan penguatan

terhadap LPSK agar eksistensinya semakin kuat dan jelas dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia.

Melihat permasalahan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk

mengetahui lebih dalam dan melakukan penelitian secara nyata tentang

permasalahan yang telah disebutkan. Karena itu penulis bermaksud ingin

menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul :

”Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian skripsi ini sudah seharusnya didalamnya

memuat batasan masalah, hal ini diperlukan agar penelitian lebih

terarah dan fokus. Untuk itu penulis membatasi permasalahan dalam

19
Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saaksi Dan Korban, Yang dimaksud dengan “tindak
pidana dalam kasus tertentu” antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana
terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana
psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang
mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat
membahayakan jiwanya.
10

penelitian skripsi ini mengenai eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban (LPSK) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka

rumusan masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research

question), yaitu:

a. Bagaimanakah peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) menurut UU Nomor 31 Tahun 2014?

b. Bagaimana tantangan dan kendala Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban (LPSK) dalam penguatan sistem peradilan pidana di

Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitain

1. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan :

a. Untuk mengetahui peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) menurut UU Nomor 31 Tahun 2014.

b. Untuk mengetahui tantangan dan kendala Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban (LPSK) dalam penguatan sistem peradilan

pidana di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu

manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis
11

1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah

dan menuangkan hasil-hasil penulisan tersebut dalam tulisan;

2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku kuliah

untuk diaplikasikan dalam praktik di lapangan;

3) Untuk memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya,

maupun dalam bidang ketatanegaraan khususnya yakni dengan

mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum

yang timbul dalam masyarakat.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis tulisan ini bertujuan menggali lebih dalam, serta

sebagai bahan rujukan di masa yang akan datang tentang eksistensi

LPSK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Berbicara mengenai studi Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban tentunya sudah ada buku dan skripsi yang membahasnya. Untuk

menghindari kesamaan objek dalam penelitian dengan penelitian atau hasil

karya yang telah ada, penulis mengadakan studi awal terhadap studi-studi

terdahulu.

Kemudian penulis menemukan adanya pembahasan yang sama

terkait Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun dari segi

substansi dan urgensinya cukup jauh berbeda dengan pokok-pokok

permasalahan karya ilmiah lain.


12

Adapun buku dan skripsi yang terkait dengan judul diatas sebagai

berikut:

1. Skripsi Ponda Rahadyan Harimurti Winarno pada Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2011, dengan judul

“Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam

Struktur Ketatanegaraan Indonesia”. Dalam skripsinya Ponda

Rahadyan lebih menekankan kedudukan LPSK dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia dan implikasi dari kedudukan LPSK

terhadap fungsi, tugas, serta wewenang LPSK dalam struktur

ketatanegaraan Republik Indonesia sedangkan penulis membahas

eksistensi LPSK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Skripsi Bill C.P Simanjorang pada Fakultas Hukum Universitas Atma

Jaya Yogyakarta 2014, dengan judul “Realisasi Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap

Saksi dan Korban di Daerah”. Dalam skripsi ini penulis sama-sama

membahas peran LPSK namun berbeda dalam penekanannya. Dalam

skripsinya Bill Simanjorang lebih memfokuskan penelitiannya pada

realisasi LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan

korban didaerah, sedangkan penulis membahas peran LPSK menurut

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi

dan korban dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia.

3. Jurnal Andi Rahman, dosen kopertis wilayah IX Provinsi Sulawesi

Selatan 2012, dengan judul “Perindungan Hukum Bagi Saksi Dalam


13

Proses Peradilan Pidana”. Dalam jurnal tersebut Andi Rahman lebih

fokus membahas perlindungan terhadap saksi dalam proses peradilan

pidana terkhusus lagi yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan dan

juga dalam jurnalnya tidak fokus membahas LPSK, sedangkan penulis

fokus membahas perlindungan saksi dan korban yang dilakukan oleh

LPSK dalam kaitannya sebagai penguat sistem peradilan pidana di

Indonesia.

4. Buku Supriyadi Widodo Eddyono dengan judul “Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia: Sebuah Pemetaan Awal”

yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch tahun 2007. Dalam

buku tersebut Supriyadi Widodo membahas mengenai LPSK secara

umum terkait kedudukan, tugas, kewenangan, kelembagaan dan

sebagainya. Sedangkan penulis lebih fokus membahas peran LPSK

menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan

saksi dan korban serta tantangan dan kendala LPSK dalam penguatan

sistem peradilan pidana di Indonesia.

E. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa

konsep terkait beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam

penelitian ini, yaitu:

1. Saksi

adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang


14

pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

2. Korban

adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan

perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2014

Tentang perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang

perlindungan saksi dan korban.

4. Sistem Peradilan Pidana

Sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga

kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Tipe Penelitian

Studi ini menggunakan studi penelitian yuridis normatif dengan

judul Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.Dalam kaitan nya, penulis

mengacu pada peraturan perundang-undangan, gejala hukum serta

norma-norma yang ada dalam masyarakat.

2. Pendekatan Masalah
15

Dalam hal ini penulis melakukan pendekatan normatif empiris,

pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara

pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai

unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai

implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam

aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu

masyarakat.20

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan

hukum primer meliputi perundang-undangan, catataan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau

putusan-putusan hukum.21Bahan hukum yang terdapat di tulisan ini

antara lain UU No. 31 Tahun 2014 dan UUD NRI Tahun 1945.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam

penulisan ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan Hukum

Tata Negara, Lembaga Independen, Sistem Peradilan Pidana,

20
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat) (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 14-15.
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana 2010) h. 141
16

Skripsi tentang Hukum Tata Negara, Jurnal-Jurnal atau materi

hukum lain nya yang mendukung penulisan ini.

c. Bahan Non Hukum

Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk

atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan

sekunder.Seperti kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan

lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data

dengan teknik dokumenter22, yaitu dengan mencari data sekunder yang

terdiri atas:

a. Bahan hukum primer yang mencakup norma atau kaidah dasar,

yaitu Undang-Undang Dasar 1945, beberapa undang-undang yang

berkaiatan dengan lembaga negara dan wawancara langsung.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan

pustaka yang berisikan tentang bahan primer. Data sekunder ini

diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian

yang berhubungan dengan lembaga negara.

c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara

22
Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), h.
16.
17

lain kamus umum bahasa Indonesia, dictionary, majalah, Koran

dan lainnya.23

5. Analisa Data

Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan

mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan

serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang

penulis ambil. Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik

terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan

berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang

tersebut.

Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam

melakukan analisis tersebut adalah: pertama, semua bahan-bahan

hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan

diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah

disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi,

yakni diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan

teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan

menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis

berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan

23
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 33.
18

dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat

sistematika penulisan dengan membagi pada lima (5) bab, tiap-tiap bab

terdiri dari sub-sub dengan rincian sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dijelasakan

latar belakang masalah, perumusan masalah dan

pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,

manfaat penulisan, tinjauan (review) kajian terdahulu,

kerangka konseptual, metode penelitian, sistematika

penulisan, dan daftar pustaka sementara.

Bab Kedua Gambaran umum tentang sistem peradilan pidana di

Indonesia, pada tahap ini penulis akan mencoba

menjelaskan tentang : (1) Pengertian sistem peradilan

pidana, (2) Model sistem peradilan pidana, (3) Komponen

sistem peradilan pidana.

Bab Ketiga Penjelasan tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban di Indonesia yang meliputi: (1) Landasan hukum

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), (2)

Tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK), (3) Tugas pokok Sekretariat Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), (4) Hubungan


19

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan

lembaga lain.

Bab keempat Analisis yang memaparkan mengenai bagaimana eksistensi

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia.

Bab Kelima Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan penutup.


BAB II

LANDASAN TEORI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Dalam hukum pidana terdapat sebuah sistem peradilan, atau istilah

yang mulai populer di Indonesia, yaitu criminal justice system yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi sistem peradilan

pidana.24 Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini

telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.25

Sistem Peradilan Pidana ialah sistem yang dibuat untuk

menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu

ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu

usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan

pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di

masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan dan membuat para

calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.26

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan

ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi

24
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya,
1996), h.2.
25
Romli Atmasasmita (1), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 2.
26
Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu
Agung, 2007), h. 4.

20
21

struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme

administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial

syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan

dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti

menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh

mendasari jalannya sistem peradilan pidana.27

Suatu definisi yang sedikit berbeda diberikan oleh Barda Nawawi

Arief, dimana beliau menjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana (SPP)

pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP).

Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem

kekuasaan/kewenangan menegakan hukum. Kekuasaan/kewenangan

menegakan hukum ini dapat diidentikan pula dengan istilah “kekuasaan

kehakiman”. Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana atau Sistem

Penegakan Hukum Pidana (SPHP) hakikatnya juga identik dengan Sistem

Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana (SKK-HP).28

Perbedaan pandangan oleh para ahli hukum tersebut terhadap

istilah criminal justice system yang telah disebutkan di atas bukanlah

menunjukan adanya ketidakseragaman. Namun perbedaan tersebut muncul

dikarenakan adanya perbedaan sudut pandang dalam menterjemahkan

suatu istilah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh LJ. Van

27
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), h.
13.
28
Barda Nawawi Arief , Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), (Semarang: UNDIP, 2011), h. 34-35.
22

Apeldorn, yang menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan dalam

melakukan pendefinisian, yaitu:29

“Hampir semua ahli hukum yang memberikan definisi tentang

hukum, memberikannya berlainan. Ini setidak-tidaknya untuk sebagian,

dapat diterangkan oleh banyaknya segi dan bentuk, serta kebesaran

hukum. Hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak

mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan.”

Dari beberapa pengertian sistem peradilan pidana yang telah

dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sebuah sistem yang

dibuat untuk menanggulangi masalah kejahatan dengan memberikan

sanksi bagi pelaku kejahatan sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Komponen Sistem Peradilan Pidana

Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana sistem peradilan pidana Indonesia mempunyai 4 (empat)

komponen atau 4 (empat) sub sistem, yaitu Kepolisian Negara Republik

Indonesia (POLRI), Kejaksaan dibawah Kejaksaan Agung (KEJAGUNG)

dan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung (MA) serta Lembaga

Pemasyarakatan (LP) dibawah Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia (DEPKUMHAM).

Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan

dari Sistem Peradilan Pidana tersebut maka komponen-komponen di

29
LJ. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1993), h. 1.
23

dalamnya wajib untuk bekerja sama, terutama instansi-instansi (badan-

badan) dikenal dengan:30

1. Kepolisian;

2. Kejaksaan;

3. Pengadilan; dan

4. Lembaga Permasyarakatan.

Demikian pula diungkapkan oleh Rusli Muhammad, bahwa dalam

pandangan Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi penegak

hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan

pidana diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembaga Pemasyarakatan.31

1. Kepolisian

Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara

memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan

sebutan “politeia”, di Inggris “police” juga dikenal adanya istilah

“constable”, di Jerman “polizei, di Amerika dikenal dengan “sheriff”,

di Belanda “politie”, di Jepang dengan istilah “koban” dan “chuzaisho”

walaupun sebenarnya istilah koban adalah merupakan suatu nama pos

polisi di wilayah kota, dan chuzaisho adalah pos polisi di wilayah

pedesaan.
30
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan
Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia, 2007), h. 141.
31
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indoensia, (Yogyakarta: UII Press,
2011), h. 61.
24

Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah

dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia”

digunakan sebagai title buku pertama Plato, yakni “Politeia” yang

mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-

citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan

jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.32

Secara filosofis, bahwa eksistensi fungsi kepolisian telah ada

sebelum dibentuknya organ kepolisian, karena fungsi kepolisian

melekat pada kehidupan manusia, yakni menciptakan rasa aman,

tenteram dan tertib dalam kehidupan sehari-harinya.33

Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan

fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Kepolisian sebagai lembaga penegakan hukum melakukan

fungsinya pada tahap Penyelidikan dan penyidikan seperti yang

tercantum dalam ketentuan pasal 4 KUHAP yang berbunyi

:“Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia”. Selain itu yang dimaksud penyidik diatur dalam pasal 6

ayat 1 KUHAP sebagai berikut:

“Penyidik adalah:

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

32
Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-
unsurnya, (Jakarta: UIPress, 1995), h. 19.
33
Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, edisi-ke
satu, (Yogyakarta: Laksbang, 2005), h. 323-324.
25

b. Pejabat Pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh Undang-undang.”

Tujuan mencantumkan kedua pasal tersebut diatas adalah

adalah agar dapat mengukur dan memahami hal ikhwal proses

penegakan hukum dari awal dengan benar, yaitu dimulai dengan

penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga yang berwenang untuk

itu.34

Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan

bahwa kepolisian mempunyai tugas untuk memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Hal

tersebut dipertegas dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang

Kepolisian bahwa polisi berwenang melakukan penyidikan terhadap

semua tindak pidana. Dengan demikian, polisi adalah penyidik dan

berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya

didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyelidik.35

Berdasarkan kewernangan tersebut, apabila ada laporan dan

pengaduan dari masyarakat telah terjadi tindak pidana, maka proses

pertama untuk pemeriksaan agar terpenuhi unsur-unsur pidana

34
Hartono, penyidikan dan penegakan hukum pidana melalui pendekatan
hukum progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 17.
35
H. Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian:Profesionalisme dan Reformasi Polri, Ctk.
I, (Bandung: Laksabang Mediatama, 2007), h. 27.
26

dilakukan oleh polisi dengan melakukan proses penyelidikan dan

penyidikan tindak pidana. Tindakan penyelidikan dan penyidikan

terdapat beberapa rangkaian kegiatan, akan tetapi setiap tindakan yang

dilakukan itu masing-masing harus dibuatkan berita acara. Berita

acara yang dimaksud, berita acara mengenai pemeriksaan tersangka,

berita acara penangkapan, berita acara penahanan, berita acara

penggeledahan/penyitaan dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu

akan dihimpun ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan

kemudian setelah itu dilimpahkan kepada kejaksaan.36

2. Kejaksaan

Pengertian “Jaksa” dan “Penuntut Umum” menurut Pasal 1

Butir 6a dan 6b KUHAP, sebagai berikut.

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang

ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan Hakim”.

Dengan perkatan lain jaksa yang menangani perkara dalam

tahap penuntutan disebut “Penuntut Umum”. Penuntut umumlah yang

dapat melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian jaksa lain

(yang bukan Penuntut Umum) tidak dapat melaksanakan penetapan

36
Anggun Malinda, Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana (Tersangka,
Terdakwa, Terpidana, Saksi dan Korban), (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016) h. 108.
27

hakim tetapi penuntut umum, dapat melakukan eksekusi karena dia

adalah jaksa (bukan sebagai Penuntut Umum).37

Tugas pokok kejaksaan menurut Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 adalah mengadakan penuntutan dalam perkara pidana,

melaksanakan penetapan hakim. Disamping itu, kalau perlu kejaksaan

mengadakan penyelidikan tambahan atau lanjutan (nasporing). Jaksa

sebagai penuntut umum ditugaskan merumuskan perkara yang

diterima dari kepolisian atau instansi yang bertugas sebagai penyidik

untuk menyelesaikan perkara menurut hukum. Pasal 13 dan Pasal 14

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, bahwa jaksa sebagai Penuntut

Umum, berwenang untuk menerima dan memeriksa berkas perkara,

membuat surat dakwaan, melimpahkan berkas perkara ke pengadilan,

memberikan perpanjangan pembantu Presiden yang menempatkan

posisinya sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan.38

3. Pengadilan

Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala

sesuatu mengenai perkara peradilan.39 Peradilan juga dapat diartikan

suatu proses pemberian keadilan disuatu lembaga.40 Dalam kamus

37
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 1 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h.189.
38
Ledeng Marpaung, Proses Penanganan Pidana, Ctk Kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h. 191.
39
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 2.
40
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), h. 278.
28

Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan,

memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah

adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang

mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan

(hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan

atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau

mengadili perselisihan-perselisihan hukum.41

Berkaitan dengan tujuan peradilan pidana ini, Harry C.

Bredmeire memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk

membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan gangguan,

terciptanya suatu kerjasama. dalam hal ini untuk mewujudkan

tugasnya itu pengadilan membutuhkan tiga masukan (input), yaitu :

1. Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab

akibat antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-

kemungkinan yang akan diderita akibat dari putusan tersebut.

2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling

bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan.

3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk

menggunakan pengadilan untuk penyelesaian konflik.42

41
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 3.
42
Achmad Ali, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta :
BP Iblam, 2004), h. 12-14.
29

Lembaga pengadilan merupakan pelaksanaan atau penerapan

hukum terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang

bersifat melihat, putusan mana dapat berupa pemidanaan, pembebasan

maupun pelepasan dari hukuman terhadap pelaku tindak pidana.

Lembaga pengadilan sangat penting, dikarenakan pada hakikatnya

pengadilan merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara

hukum, merupakan barometer dari pada kemampuan bangsa

melaksanakan norma-norma hukum dalam negara, sehingga tanpa

pandang bulu siapa yang melanggar hukum akan menerima hukuman

yang setimpal dengan perbuatannya, dan semua kewajiban yang

berdasarkan hukum akan terpenuhi.43

4. Lembaga Permasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan.44 Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat

tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan

merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu

Departemen Kehakiman).45

43
Djoko Prakoso, Penyidikan, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum
Acara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987).
44
Lihat Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
45
http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada hari
Senin 2 Mei 2016, Jam 19:22 WIB.
30

Lembaga Pemasyarakatan berasal dari istilah asing “social-

institution” atau pranata-sosial , yaitu suatu sistem tata kelakuan dan

hubungan yang berpusat kepada aktivits-aktivitas untuk memenuhi

kebutuhan khusus dalam suatu masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan

merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang

berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.46

Lembaga permasyarakatan merupakan bagian paling akhir

dalam sistem peradilan pidana. Pengelolaan dari lembaga

pemasyarakatan di bawah wewenang Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia/Dephukham. Sebagai suatu tahapan pemidanaan yang

terakhir, sudah semestinya dalam tingkatan ini harus terdapat

bermacam harapan dan tujuan dari sistem peradilan pidana yang

ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan dari mulai kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan.

Harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek

pembinaan dari penghuni Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) yang

disebut sebagai narapidana (NAPI).47 Pemasyarakatan adalah kegiatan

untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan

46
Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana, (jakarta: Sarwoko, 1986), h.
61.
47
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Press,
2005), h. 236.
31

berdasarkan sistem, kelembagan, dan cara pembinaan yang merupakan

bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.48

Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal

empat tahap proses pembinaan, yaitu :49

a. Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di dalam

lembaga

pemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala

hal tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka

telah melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang

diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari bekas

majikan atau atasan mereka, dari teman sepekerjaan mereka, dari

orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas

instansi lain yang menangani perkara mereka.

b. Tahap kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang

narapidana itu telah berlangsung selama sepertiga dari masa

pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan

Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, antara

lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada

peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga

pemasyarakatan, maka kepadanya diberikan lebih banyak

48
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
49
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1994), h.
191.
32

kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium

security.

c. Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang

narapidana itu telah berlangsung selama setengah dari masa

pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan

Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan baik

secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan,

maka wadah proses pembinaan diperluas dengan memperbolehkan

narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan

masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan.

d. Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap seseorang

narapidana itu telah berlangsung selama dua per tiga dari masa

pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan

bulan, kepada narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat,

yang penetapan tentang pengusulannya ditentukan oleh Dewan

Pembina Pemasyarakatan.

5. Advokat / Penasehat Hukum

Kata advokat secara etimologi berasal dari bahasa Latin

advocare, yang berarti to defend, to cell to one, is aid to voch or

warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris advocate berarti: to speak in


33

favour of or depend by argument, to support, indicate, or

recommended publicly.50

Secara terminilogi terdapat beberapa pengertian advokat yang

didefinisikan oleh para ahli hukum, peraturan dan perundang-

undangan :

a. Menurut Harlcn Sinaga, advokat adalah mereka yang memberikan

bantuan hukum baik dengan bergabung atau tidak dalam satu

persekutuan advokat baik sebagai mata pencaharian atau tidak,

yang disebut sebagai pengacara atau penasehat hukum dan

pengacara praktek.51

b. Menurut Yudha Pandu, Advokat adalah orang yang mewakili

kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat

kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara

persidangan dipengadilan atau beracara di pengadilan.52

c. Sedangkan menurut KUHAP, advokat adalah seseorang yang

memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh atau berdasarkan

undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.53

Dari beberapa pengertian advokat yang telah dikemukakan oleh

para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

50
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme, dan
Keperhatinan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), 19.
51
V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.
20.
52
Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Persepektif Masa Kini ,
(Jakarta: PT Abadi Jaya, 2001) h.11
53
Pasal 1, angka 13 KUHAP.
34

advokat adalah seseorang yang memenuhi syarat berdasarkan undang-

undang untuk memberikan bantuan hukum bagi kliennya baik di dalam

maupun di luar persidangan.

Advokat berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas

menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun

nonlitigasi, Menurut Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah

mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk

selalu turut serta dalam penegakan Hak Asasi Manusia, dan dalam

menjalankan profesinya ia bebas untuk membela siapapun, tidak

terikat pada perintah (order) klien dan tidak pandang bulu siapa lawan

kliennya, apakah dia dari golongan kuat, penguasa, pejabat bahkan

rakyat miskin sekalipun.54

Yang menjadi menarik untuk dicermati adalah posisi dari

seorang advokat / lawyer / penasehat hukum di dalam Sistem Peradilan

Pidana. Mengutip pendapat dari Deborah M. Hussey Freeland,

bahwa:55

“Di dalam diskusi Sejarah Hukum dan Common Law terkait

fungsi dari seorang pengacara, Saya menemukan hipotesis yang

mendukung pentingnya posisi pengacara sebagai pejabat pengadilan

(officer of court). Untuk menilai sejauh mana diskusi ini menunjukkan

54
Hendra Winata, Frans, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme dan Kepribadian.
(Jakarta: Sinar Harapan,1995), h. 14.
55
Deborah M. Hussey Freeland, What is a Lawyer? A Reconstruction of the
Lawyer As An Officer of The Court, Saint Louis University, Public Law Review, Vol. XXXI,
2012. h. 427. Yang sudah diterjemahkan oleh Rocky Marbun SH. MH.
35

baik hanya aspiratif atau menyadari sepenuhnya untuk peran

pengacara, saya mempertimbangkan bagaimana seseorang menjadi

seorang pengacara dan bagaimana pengacara berhubungan dengan

pengadilan. Untuk melengkapi analisis hukum dan struktural, saya

menarik dari teori-teori pembentukan identitas, dialektika Hegel, dan

dari sangat langkanya upaya untuk mengeksplorasi apa pengacara

tersebut. Saya menemukan bahwa pengacara memanifestasikan,

melakukan dan tetap sebagai petugas pengadilan. Jika pengacara

belum ditunjuk oleh pengadilan untuk membantu dalam administrasi

keadilan, dia tidak akan menjadi pengacara, dan dia tidak akan hadir

untuk mewakili kliennya sebagai pihak tindakan hukum. Tugas

mewakili dari pengacara dijalankan untuk pengadilan dan kepada

klien, dan yang terakhir tergantung dari mantan klien. Identitas

profesional pengacara sebagai petugas pengadilan penting bagi

pengacara pribadi yang mungkin terganggu dengan mengamati dirinya

secara sempit sebagai advokat yang penuh semangat, dan penting juga

untuk upaya sistem peradilan kita dalam mempengaruhi supremasi

hukum.”

Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menjelaskan

sebagai berikut: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas

dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-

undangan.”
36

Dengan melihat betapa pentingnya peran penasihat hukum atau

advokat ini dalam membela dan melindungi kepentingan hak-hak

kebebasan fundamental dari pencari keadilan dalam proses peradilan

bidana.56 Serta keberadaannya tercantum di dalam KUHAP dan diatur

pada undang-undang lainnya maka jelas advokad adalah sub sistem

peradilan pidana.

C. Model Sistem Peradilan Pidana

Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal

Sanction, mengungkapkan ada dua model dalam proses peradilan pidana

(Two Models of The criminal Process), yaitu crime control model (model

pengendalian kejahatan) dan due process model (model perlindungan

hak).57

1. Crime Control Model

Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa crime control model

merupakan tipe affirmative model, yaitu model yang selalu

menekankan pada effisiensi dan penggunaan kekuasaan pada setiap

sudut proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan

legislatif sangat dominan.58 Crime Control Model didasarkan pada

sistem nilai yang mempresentasikan tindakan represif pada kejahatan

56
http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Kedudukan-dan-
Fungsi-Advokat-Dalam-Sistem-Peradilan-Pidana.html diakses pada Kamis 22 September
2016 pukul 18.54 WIB.
57
Herbert L. Packer dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir,
Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995), h. 56.
58
Romli Atmasasmita (1), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 11.
37

sebagai fungsi yang paling penting dalam suatu Sistem Peradilan

Pidana.59

Tujuan dari Sistem Peradilan Pidana ialah untuk menekan

tindak kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan sanksi pidana

terhadap terdakwa. Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka Crime

Control Model menyatakan bahwa perhatian utama haruslah ditujukan

pada efisiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efisiensi

mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam

memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan

dengan cepat dan harus segera selesai.60

2. Due Process Model

Menurut John Griffith, due process model tampak sangat

berbeda dengan crime control model, sistem due process model

berkisar sekitar konsep penghormatan terhadap individual dan konsep

pembatasan kekuasaan resmi.61 Menurut Due Process Model, tujuan

59
Keith A. Findley, Toward A New Paradigm of Criminal Justice: How the
Innocence Movement Merges Crime Control and Due Process, Sumber:
http://www.law.wisc.edu/m/dfknm/findley_new_paradigm-10-10-08.pdf, diunduh pada
tanggal 5 April 2016, h. 8.
60
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indoensia, (Yogyakarta: UII Press,
2011), h. 43.
61
John Griffith, Ideology in Criminal Procedure or a Third “Model” of Criminal
Process, Faculty Scholarship Series, The Yale Law Journal, Paper 3994, 1970, h. 363. Teks
Asli: “The Due Process Model seems radically different. Its system of values revolves
around “the concept of the primacy of the individual and the complementary concept of
limitation on official power
38

dari sistem peradilan pidana adalah untuk menangani terdakwa pidana

secara adil dan sesuai dengan standar konstitusi.62

Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang mendasari Due

Proses Model adalah:63

1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi

(human error) menyebabkan model ini menolak “informal fact

finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara definitive

“factual guild” seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal

adjudicative and adversary fact finding”. Hal ini berarti dalam

setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang

tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak

penuh untuk mengajukan pembelaannya.

2. Model ini menekankan pada pencegahan (preventive measures)

dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan.

3. Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang

sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan

merendahkan martabat manusia.

4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap

kekuasaan.

5. Adanya gagasan persamaan di muka hukum.

62
Raul Soares da Viega dan Andre Ventura, Analysis of Different Models of
Criminal Justice System-A New Scientific Perspektive, Revista de Ciências Jurídicas e
Econômicas, Vol. 2, No. 2, 2010, h. 204.
63
Romli Atmasasmita (1), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2011) , h. 9-10.
39

6. Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi

pidana.

D. Kedudukan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan

korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan

keterangan yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap

sebuah tindak pidana. Hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak

hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap

dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak

banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak

pidana, tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat

memberatkan atau meringankan seorang terdakwa.

Tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan

korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada

kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai

pihak yang dapat memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal

ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan

hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan

perlakuan dan hak-hak khusus, karena mengingat keterangan yang


40

disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang

saksi.64

Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan keterangan saksi adalah

salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari

saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya

itu. Dari penjelasan pasal tersebut jelas keberadaan saksi sangat penting

bahkan dapat menjadi salah satu alat bukti. Namun sayangnya

perlindungan maupun pemenuhan terhadap hak-hak saksi belum diatur

dengan baik dalam KUHAP.

Begitupun tentang korban, sistem peradilan pidana sekarang ini

berlaku terlalu difokuskan pada pelaku dan kurang memperhatikan korban.

Hal yang sering terjadi adalah terlibatnya korban dalam sistem peradilan

pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan rasa ketidak

berdayaannya serta frustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya

hukum yang cukup. Sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki

posisi korban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya

kepuasan simbolik.65

64
Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin,Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana, h.182.
65
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994),
h. 81.
BAB III

TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(LPSK)

A. Sejarah Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan

korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai

mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini

kemudian disusul dengan adanya naskah akademis66 tentang undang-undang

perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini

kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.67

Kemudian undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk

segera dibentuk berdasarkan Ketetapan (TAP) MPR No. VIII Tahun 2001

tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah

undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi. Berdasarkan

amanat TAP MPR tersebut, maka Badan Legislasi DPR RI kemudian

mengajukan sebuah RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada

66
Setelah dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Prundang-Undangan dalam proses pembentukan Undang-
Undang harus ada naskah akademis.
67
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban: LPSK "http://www.lpsk.go.id/
diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul 19:05 WIB.

41
42

tanggal 27 Juni 2002 dan ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai

fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.68

Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009 telah

menyetujui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Salah satu RUU yang

diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi dan

Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan

Saksi yang juga memuat mengenai ketentuan pembentukan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peran strategis dalam upaya

penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi,

melalui Perlindungan Saksi dan Korban.69

Selanjutnya pada tanggal 30 Agustus 2005 Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mengeluarkan sebuah Surat Presiden mengenai kesiapan

pemerintah untuk pembahasan RUU PSK serta sekaligus menunjuk Menteri

Hukum dan HAM (Menkumham) sebagai wakil pemerintah dalam

pembahasan tersebut. Turunnya Surat Presiden tersebut sudah menunjukkan

itikad baik dari pemerintah agar RUU PSK dapat segera di bahas di DPR.70

Hal tersebut kemudian di respon oleh Komisi III DPR RI yang

menetapkan pembahasan RUU PSK dalam bentuk Panitia Kerja (Panja).

Proses pembahasan RUU yang dibantu oleh wakil dari pemerintah dilakukan

68
Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di
Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h.
9.
69
Zakaria, Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Upaya
Perlindungan Terhadap Whistleblower (Makassar: Universitas Hasanudin, 2015), h. 30.
70
Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di
Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h.
9.
43

secara marathon sejak tanggal 8 Februari 2006, hasil pembahasan tersebut di

rumuskan oleh Tim Perumus (Timus) dan Penelitian Bahasa (Libas) yang

diteruskan dalam Rapat Komisi III dan Pleno DPR. Pada tanggal 18 Juli 2006

akhirnya RUU ini disahkan menjadi UU No 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).

Namun mengingat undang-undang tersebut masih terdapat beberapa

kekurangan baik dalam lingkup konsep perlindungan, tata cara perlindungan,

hak saksi maupun korban sampai dengan masalah kelembagaan.71 Maka

kemudian dalam rangka penyempurnaan UU perlindungan saksi dan korban.

Pada tahun 2014 dibuatlah UU No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU

No. 13 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini ditujukan untuk

memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses

peradilan pidana.

B. Visi, Misi, Serta Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK)

Visi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah

terwujudnya perlindungan saksi dan korban yang ideal dalam sistem peradilan

pidana. Dalam mewujudkan visi tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban memiliki misi sebagai berikut:72

71
Lihat UU perlindungan Saksi Belum Progresif, Supriyadi Widodo Eddyono,
ELSAM-Koalisi Perlindungan Saksi, 2006.
72
VISI & MISI LPSK
http://www.lpsk.go.id/assets/uploads/files/7470d2304eef7ec20ca2e7c6489a79cb.pdf
diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul 18:05 WIB.
44

1. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban

dalam peradilan pidana.

2. Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan

perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban.

3. Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak

saksi dan korban.

4. Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku

kepentingan dalam rangka pemenuhan hak-hak saksi dan korban.

5. Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipatif masyarakat dalam

perlindungan saksi dan korban.

Untuk menjalankan visi dan misinya maka LPSK memiliki tugas dan

wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Dalam

ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi

dan Koran (LPSK), adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk

memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban

sebagaimana diatur dalam UndangUndang. Namun UU PSK tidak merinci

tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut.73 Perumus UU

kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan wewenang LPSK dalam suatu

bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 Tahun 2006 seperti peraturan

lainnya, melainkan menyebar di seluruh UU.74

73
Lihat Pasal 12 UU No 13 Tahun 2006.
74
Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di
Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h.
14.
45

Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13 Tahun

2006, yaitu:

1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal

29).

2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban

(Pasal 29).

3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1).

4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32).

5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak

atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana (Pasal 7).

6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili

korban untuk bantuan (Pasal 33 dan 34).

7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan

diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).

8. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam

melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (Pasal 39).

LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan

dan bantuan kepada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan

sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang


46

Perlindungan Saksi dan Korban.75 Untuk melaksanakan ketentuan

sebagaimana dimaksud di atas, LPSK melaksanakan:76

1. Merumuskan kebijakan di bidang Perlindungan Saksi dan Korban;

2. Melaksanakan perlindungan terhadap Saksi dan Korban;

3. Melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada Saksi

dan atau Korban;

4. Melaksanakan diseminasi dan hubungan masyarakat;

5. Melaksanakan kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan;

6. Melaksanakan pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan;

7. Melaksanakan tugas lain berkaitan dengan pelindungan Saksi dan Korban.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LPSK memiliki struktur

yang terdiri dari pimpinan, anggota dan sekretaris. Anggota LPSK memiliki

tanggung jawab atas tugas dan fungsi:

1. Perlindungan;

2. Bantuan;

3. Kerjasama;

4. Pendidikan dan Pelatihan;

5. Pengawasan:

6. Pelaporan;

7. Penelitian dan Pengembangan;

8. Pembentukan hukum; dan

75
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010
tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 2
76
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010
tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 3
47

9. Diseminasi dan humas.77

C. Keanggotaan dan Struktur Organisasi LPSK

1. Keanggotaan LPSK

Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur

profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan,

perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, Kepolisian,

Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akademisi,

Advokat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.78

Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat

yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK.

Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai

Negeri Sipil.79

2. Struktur Organisasi LPSK

Dalam menjalankan tugasnya LPSK terdiri atas unsur Pimpinan dan

Anggota. Unsur pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang

merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Pelaksanaaan

kegiatan LPSK dilakukan oleh beberapa anggota yang bertanggung jawab

pada bidang-bidang yakni Bidang Perlindungan, Bidang Bantuan,

Kompensasi, dan Restitusi, Bidang Kerjasama, Bidang Pengembangan

Kelembagaan, dan Bidang Hukum Diseminasi dan Humas.


77
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010
tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 4
78
Pasal 14 Undang-undang No 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan
Korban.
79
Pasal 18 Undang-undang No 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan
Korban
48

Untuk mengefektifkan kinerjanya, LPSK merubah susunan Bidang-

bidang menjadi Divisi-divisi. Sebelumnya ada 5 bidang dalam pelaksanaan

kegiatan LPSK dimana masing-masing anggota bertanggung jawab pada

masing-masing bidang. Seiring berjalannya pelaksanaan tugas dan fungsi

LPSK, susunan tersebut dirubah menjadi dua divisi. Divisi Pemenuhan Hak

Saksi dan Korban dan Divisi Hukum, Kerjasama dan Pengawasan Internal.

Diseminasi dan Humas menjadi sebuah Unit langsung dibawah

tanggungjawab Ketua LPSK. Dengan susunan baru ini, LPSK berharap akan

lebih fokus dalam pelaksanaan kegiatannya.

Agar tugas dan fungsi LPSK sebagaimana diamanatkan oleh UU No.

13 Tahun 2006 dapat berjalan, maka diangkat seorang Sekretaris berdasarkan

Permensesneg No. 5 Tahun 2009 tentang Organisasi Tata Kerja Sekretariat

LPSK.80

D. Tugas dan Fungsi Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK)

Sekretariat merupakan satu organisasi yang memiliki peran penting

dalam mendukung pelaksanaan tugas lembaga. Diterbitkannya Peraturan

Presiden Nomor 82 Tahun 2008 tentang Kesekretariatan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Menteri Sekretaris Negara

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja

80
LPSK - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban :
http://www.lpsk.go.id/page/51b6b27a9b4ab. diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul
20:05 WIB.
49

Kesekretariatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, menjadi dasar

hukum bagi pengelolaan dan tata laksana organisasi kesekretariatan LPSK.81

Sesuai Peraturan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2009 komposisi jabatan struktural di Sekretariat LPSK terdiri

dari:

1. 1 (satu) Sekretaris setingkat Eselon II.

2. 4 (empat) Kepala Bagian setingkat Eselon III.

3. 9 (sembilan) Kepala Sub Bagian setingkat Eselon IV.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan

Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009,

Sekretariat Perlindungan Saksi dan Korban menyelenggarakan fungsi:

1. Penyelenggaraan kegiatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

2. Pengelolaan pelayanan administrasi permohonan perlindungan,

kompensasi, restitusi dan pemberian bantuan;

3. Pengelolaan pelayanan administrasi pengaduan dari masyarakat;

4. Pelaksanaaan urusan hukum dan hubungan masyarakat;

5. Pelaksanaan urusan kerjasama kelembagaan, penelitian dan kepatuhan;

6. Pengelolaan program dan anggaran;

7. Pengelolaan urusan kepegawaian;

8. Pengelolaan urusan keuangan;

9. Pengelolaan urusan ketatausahaan; dan

81
VISI & MISI LPSK
http://www.lpsk.go.id/assets/uploads/files/7470d2304eef7ec20ca2e7c6489a79cb. pdf,
diakses pada Jum’at 13 Mei 2016, Pukul 22:12 WIB.
50

10. Pengelolaan urusan perlengkapan dan rumah tangga.

E. Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK

Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan berdasarkan

beberapa asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 yaitu: “penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman,

keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum”. Sebelum saksi dan

korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus

melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK. Seperti yang

telah dijelaskan dalam pasal 28 – pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006.

Proses Pemberian Perlindungan Bagi Saksi dan/atau Korban:82

a. Permintaan diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan, baik


atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau
oleh pejabat yang berwenang kepada LPSK;
b. Pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban
ditentukan dan didasarkan pada “Keputusan LPSK;
c. Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau
Korban yang bersangkutan berkewajiban menandatangani pernyataan
kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan
Korban;
d. Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk
keluarganya sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan;
e. Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak
ditandatanganinya perjanjian pemberian perlindungan;
f. Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan
berdasarkan alasan: (a) inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban
yang dilindungi, (b) atas permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi
dan/ atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam
perjanjian; atau (d) LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/ atau Korban

82
LPSK – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
http://www.lpsk.go.id/permohonan di akses pada Jum’at 13 Mei 2016, Pukul 22:15 WIB.
51

tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang


meyakinkan; dan
h. Penghentian perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus
dilakukan secara tertulis.

Pasal tersebut sudah cukup baik dalam mengatur proses pemberian

perlindungan bagi saksi dan korban. Mulai dari permohonan sampai proses

penghentian perlindungan yang dari segi regulasi cukup memudahkan

pemohon. Tinggal mengimplementasikannya dalam praktek dilapangan.

Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk

pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum

dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berbunyi:

“Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan

mempertimbangkan syarat sebagai berikut:”

a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;


b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau
Korban.83

Ada pula syarat untuk mendapatkan perlindungan bagi pelapor dan

saksi pelapor menurut peraturan bersama, Menteri hukum dan hak asasi

manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi

Pemberantasan Korupsi RI, Ketua LPSK No: M.HH-11.HM.03.02.th.2011 No

: PER-045/A/JA/12/2011 No : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-

55/12/2011 No : 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi

Pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama, adalah sebagai berikut:

83
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
52

a. Adanya informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap

terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau

terorganisir;

b. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman

atau tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor dan

Saksi Pelapor atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut

diungkap menurut keadaan yang sebenarnya; dan

c. Laporan tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan

kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tahap penanganannya

dan dibuatkan berita acara penerimaan laporan.

Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 29 sebagai berikut:

a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri


maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan
sebagaimana dimaksud;
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari
sejak permohonan perlindungan diajukan.

Dari ketentuan Pasal 29 ini ada pengaturan mengenai apakah

permohonan itu secara tertulis atau permohonan perlindungan seharusnya

bukan cuma dari pihak saksi/korban dan pejabat yang berwenang tetapi juga

oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan pendamping saksi dan

korban.Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau walinya

terhadap korban atau saksi masih dibawah umur atau anak-anak.84

84
Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Surabaya: PMN, 2010), h. 204.
53

Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan kepada UP2 oleh

ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan Permohonan) adalah Unit yang bertugas

untuk memberikan pelayanan penerimaan permohonan perlindungan bagi

saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban.Sedangkan mengenai keputusan LPSK perihal

diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang

berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7

hari sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan.

Selanjutnya dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun

2006 menyebutkan bahwa: “Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi

dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau

Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan

perlindungan Saksi dan Korban.” Adapun mengenai pernyataan kesediaan

mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan yang harus ditandatangani oleh

saksi dan/atau korban diatur dalam pasal 30 ayat (2) yang berisi:

Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan

Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam


proses peradilan;
b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya;
c. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan
cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama
ia berada dalam perlindungan LPSK;
d. Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
54

Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya permohonan

tersebut sering kali membingungkan para saksi dan korban, karena mereka

harus melewati proses yang tidak pendek untuk mendapat perlindungan dari

LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan atau korban

merasa enggan untuk meminta perlindungan dari LPSK dan memilih untuk

diam. Para saksi dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur

yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi para saksi dan korban yang tidak

begitu mengerti akan hukum. Karena itulah pemdampingan akan seorang

advokat akan sangatlah membantu para saksi dan korban ini.

Dengan berada dibawah perlindungan LPSK, saksi dan/atau korban ini

tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena banyaknya persoalan yang

kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan. Dalam realita sosial

penegak hukum tidak mau mendengar, melihat, atau merasakan bahwa saksi

yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau

nyaman, termasuk anggota keluarganya. Apalagi dalam setiap tahap

pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan

yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. Kadang-kadang perkara yang

telah berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban

lupa akan peristiwa itu, tetapi di depan sidang pengadilan harus dituntut

kebenaran kesaksiannya.85

F. Hubungan Kerja Sama Lembaga Perindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Dengan Lembaga Lain

85
Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, (Sinar Grafika,
2012), h. 305.
55

a. Kerjasama dengan Lembaga atau Instansi Lainnya

Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK

dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam

melaksanakan perlindungan dan bantuan maka instansi terkait, sesuai

dengan kewenangannya, wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.86

Dari paparan tersebut terlihat bahwa LPSK dalam menjalankan

tugasnya akan dibantu oleh berbagai instansi terkait terutama instansi

pemerintah. Hal ini memang sudah seharusnya diberikan. Karena sudah

menjadi platform umum, bahwa masalah yang terkait dengan perlindungan

saksi hanya bisa ditangani secara efektif melalui pendekatan multi

lembaga.87

Terkait dengan kerjasama antar lembaga/instansi lainnya dapat

dilihat peran masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:88

a. Kepolisian, berperan:

1. Memberi dukungan keamanan dan penjagaan dalam program

perlindungan;

2. Penerima benefit (sebagai penyelidik yang saksinya dilindungi).

b. Kejaksaan, berperan:

86
Lihat Pasal 36 UU No 13 Tahun 2006.
87
Lihat Nicholas R. Fyfe, Perindungan Saksi Terintimidasi, ELSAM, 2006
88
Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di
Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007). h.
30.
56

1. Memberi dukungan administrasi (pihak perpanjangan tangan bagi

saksi yang melaporkan intiidasi);

2. Penerima benefit (sebagai penuntut umum yang saksinya

dilindungi);

3. Memberi dukungan untuk informasi hasil pengadilan, putusan atau

pembebasan pelaku.

c. Pengandilan, berperan:

1. Memberi dukungan untuk perlindungan dalam sidang pengadilan,

misalnya: merubah format ruang sidang, mempersiapkan siding

tertutup, teleconference, dan sebagainya;

2. Memberi dukungan untuk informasi hasil pengadilan.

d. Departemen Dalam Negeri, berperan memberi dukungan untuk

perubahan status administrasi kependudukan dan lain-lain.

e. Departemen Kesehatan, berperan:

1. Memberi dukungan untuk pengobatan medis maupun psikososial;

2. Memberi dukungan untuk perubahan catatan medis, face off dan

lain-lain.

f. Departemen Hukum dan HAM, berperan memberi dukungan

perlindungan bagi saksi dalam status narapidana: pemindahan tahanan,

penjagaan khusus dalam LP dan lain-lain.

g. Departemen Pendidikan, berperan:

1. Memberi dukungan perubahan akte, ijazah dan administrasi

pendidikan;
57

2. Memberi dukungan untuk menyediakan sekoah bagi saksi atau

keuarga saksi yang mendapat relokasi.

h. Komisi Khusus: KPK, Komnas HAM, PPATK, BNN, dan lain-lain,

berperan:

1. Memberi dukungan administrasi (pihak perpanjangan tangan bagi

saksi yang melaporkan intimidasi);

2. Penerima benefit (yang saksinya dilindungi);

3. Memberi dukungan perlindungan yang mungkin ada berdasarkan

kewenangannya.

i. Kepala Pemerintahan Daerah, berperan:

1. Memberi dukungan untuk akses relokasi di wilayahnya;

2. Memberi dukungan untuk kemudahan administrasi.

j. Departemen Tenaga Kerja, berperan:

1. Memberi dukungan pemindahan tenaga kerja;

2. Memberi dukungan pemberian pekerjaan bagi saksi.

b. Kerjasama dengan Lembaga Swasta dan Organisasi Masyarakat lainnya

Disamping itu LPSK sangat perlu bekerjasama dengan masyarakat

baik pihak swasta maupun organisasi masyarakat, dalam rangka

memberikan dukungan. Perlu dikemukakan bahwa saat ini sudah banyak

masyarakat secara swadaya membentuk task force perlindungan saksi bagi

kasus-kasus tertentu, seperti: pemberian rumah aman atau rumah singgah


58

(safe house) sementara bagi kasus-kasus kekerasan seksual dan KDRT

baik bagi korban perempuan maupun anak.89

Untuk mensinergikan perlindungan maka UU PSK harus pula

membuka kerjasama dengan masyarakat, disamping itu hal ini berguna

pula bagi LPSK baik secara logistik maupun dukungan sumberdaya

perlindungan. Dalam prakteknya LPSK juga akan melakukan kordinasi

dengan lembaga seperti.90

a. Organisasi Masyarakat, NGO, berperan:

1. Memberi dukungan keamanan dan penjagaan dalam program

perindungan;

2. Memberi dukungan akomodasi dan “safe house”.

b. Asosiasi Perumahan Lokal berperan:

1. Memberi dukungan tempat tinggal sementara atau permanen bagi

saksi;

2. Memberi dukungan untuk mepermudah akses akan relokasi dan

administrasinya.

89
https://dianascyber.wordpress.com/2012/06/12/lembaga-perlindungan-
saksi-dan-korban-di-indonesia, diakses pada Rabu 25 Mei 2016 Pukul 20:51 WIB.
90
Sebagai contoh UU Perlindungan Saksi di Afsel yang memberikan
kewenangan bagi Lembaga Perlindungan untuk mengkoordinasikan lembaga-lembaga
masyarakat lainnya yang lebih awal telah memberikan perlindungan terhadap saksi
sebelum adanya UU perlindungan Saksi.
BAB IV

EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(LPSK)

A. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Penguatan

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Perlindungan Saksi dan Korban di dalam proses peradilan pidana

merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia

internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan

korban kejahatan dalam Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The

Prevention of Crime and The Treatment of Offenders” di Milan, Italia.

Disebutkan “Victims right should be perceived as an integral aspect of the

total criminal justice system.” (Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian

yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana).91

Pasca Reformasi, Indonesia meratifikasi berbagai Instrumen HAM

Internasional, yang berkonsekuensi pada pengakuan atas hak-hak yang

dijamin dan kewajiban untuk menyesuaikan hukum nasionalnya. Termasuk

penguatan jaminan hak-hak korban kejahatan/pelanggaran. Ratifikasi

Konvensi Anti Penyiksaan, membawa konsekuensi bahwa para korban

penyiksaan harus mendapatkan keadilan dan pemulihan atas penderitaan yang

mereka alami. Sejak itu serangkaian regulasi dibentuk, yang memasukan

berbagai klausul hak-hak korban kejahatan.

91
Denny Indrayana, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika
Lembaga negara, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7
Maret 2007

59
60

Selama ini sistem peradilan pidana Indonesia lebih berorientasi pada

kepentingan pelaku ketimbang kepentingan-kepentingan korban. Sistem

peradilan pidana yang lebih berorientasi pada kepentingan pelanggar hukum

(offender-oriented approach), banyak melakukan pengabaian hak-hak dan

perlindungan hukum terhadap korban selama korban berhadapan dengan

institusi penegak hukum. 92

KUHP dan KUHAP memang telah mengakui hak-hak korban

kejahatan, namun dalam praktiknya hak-hak korban kejahatan tersebut masih

seperti pelengkap dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Minimnya

implementasi disebabkan karena ketentuan dan prosedur terhadap hak-hak

korban tersebut kurang memadai. Sangat jarang kita menemui korban

kejahatan mendapatkan hak-hak semacam kompensasi atau restitusi. KUHAP

yang saat ini berlaku, masih menekankan pada perlindungan hak-hak pihak

tertuduh (tersangka dan terdakwa).93

Pada hakikatnya, korban dan pelaku mempunyai kepentingan yang

sama dalam tata peradilan pidana. Tidak hanya pelaku yang mendapat

hukuman yang seadil-adilnya, tetapi korban juga mesti merasakan bahwa

keterlibatannya membawa dampak positif serta vonis hukuman itu sendiri

menjamin rasa keadilan atas kejahatan yang menimpa dirinya. Persoalan

92
Romany Sihite dan Tim Departemen Kriminologi UI, Reparasi dan Kompensasi
Korban dalam Restorative Justice System, Kedudukan dan Hak-Hak Korban dalam Tata
Peradilan Pidana, (Jakarta: LPSK), h. 51.
93
UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dianggap sebagai regulasi yang
mencerminkan “pendulum has swung too far”, dimana dalam KUHAP lebih banyak
menekankan perlindungan tersangka dan terdakwa , dan minim perlindungan terhadap
saksi dan korban.
61

konkret yang melilit korban kejahatan pada umumnya bukan semata persoalan

apa yang diderita akibat tindak kejahatan, tetapi bagaimana korban

dihadapkan pada berbagai ketidakadilan. Hak-hak mereka dipinggirkan, dan

posisi mereka di hadapan hukum dimarginalkan oleh pihak kepolisian,

kejaksaan, sampai ke pengadilan.94

Dengan dibentuknya UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, merupakan puncak dari pengakuan dan jaminan hak-hak

korban kejahatan. UU ini memberikan hak-hak prosedural dan substantif

kepada korban kejahatan, dan memberikan mandat pembentukan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).95

Walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) yang diundangkan

pada 11 Agustus 2006. Namun secara formal, undang-undang ini masih dinilai

tidak maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban

karena masih terdapat bolong disana sini.

Contoh dalam pasal 12 menyebutkan LPSK bertanggung jawab untuk

menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban

berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang ini. Namun jika ditelusuri kembali, kenyataannya tugas dan

kewenangan LPSK dalam UU PSK tidak diatur secara spesifik dalam

94
Achmad Soleh, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK, 2015), h. 55.
95
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Catatan
ini merupakan pembaruan makalah yang disampaikan dalam Seminar “Menyongsong
Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana”, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK), Hotel Aryaduta, 10 April 2013.
62

ketentuan atau bab tersendiri. Apa yang dimaksud dengan tugas dan

kewenangan LPSK terbatas dan tersebar dibeberapa pasal.96

Mengingat UU PSK No. 13 Tahun 2006 masih terdapat kekurangan

yang dirasakan LPSK sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugas

maupun fungsinya. Maka dibentuklah UU No. 31 Tahun 2014 tentang

perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan

korban. Lahirnya UU tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan UU

sebelumnya.

Disahkannya UU No. 31 Tahun 2014, berperan penting dalam

penegakan hukum dan penanganan hak asasi manusia. Khususnya upaya

perlindungan saksi dan pemenuhan hak-hak korban kejahatan. Kehadiran

undang-undang ini semakin mempertegas komitmen negara bahwa peradilan

pidana tak hanya berorientasi kepada pelaku, tetapi juga kepentingan saksi

dan korban.97

Sebagaimana diketahui, pengungkapan suatu kejahatan dalam

peradilan pidana akan sangat sulit tanpa keterangan saksi. Karena itulah,

kepada saksi dan korban diberikan perlindungan pada semua tahapan proses

peradilan pidana. Ada beberapa hal krusial yang diatur Undang-Undang No.

31 Tahun 2014 sebagai penyempurnaan Undang-Undang N0. 13 Tahun 2006

96
Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di
Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h.
4.
97
Abdul Haris Semendawai, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 1.
63

tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini menyesuaikan perkembangan

hukum di masyarakat.98

Poin-poin penting dimaksud yaitu perluasan subjek perlindungan, yaitu

pengaturan yang jelas mengenai perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor,

dan ahli, serta orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan

dengan suatu perkara pidana meskipun tidak dia dengar sendiri, tidak dia lihat

sendiri, dan tidak dia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu

berhubungan dengan tindak pidana. Kemudian perluasan pelayanan

perlindungan terhadap korban dan pemberian penghargaan dan penanganan

khusus yang diberikan terhadap saksi pelaku.99

Yang tak kalah penting penguatan LPSK dari sisi kewenangan maupun

kelembagaan. Kewenangan yang diamanatkan UU No. 31 Tahun 2014 untuk

menguatkan tugas dan fungsi LPSK antara lain LPSK dapat meminta

keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang

terkait dengan permohonan. Meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau

dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa

laporan pemohon dan meminta informasi perkembangan kasus dari penegak

hukum.100

Tidak hanya itu, LPSK juga diberi kewenangan dalam mengelola

rumah aman. Melakukan pengamanan dan pengawalan, melakukan


98
Abdul Haris Semendawai, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 1.
99
Abdul Haris Semendawai, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 1.
100
Abdul Haris Semendawai, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 1.
64

pendampingan sasksi dan/atau korban dalam proses peradilan, serta

melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan kompensasi.

Untuk melaksanakan semua kewenangan dimaksud, LPSK diperkuat secara

kelembagaan dengan dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin

sekretaris jenderal. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sekretaris

jenderal bertanggung jawab kepada Pimpinan LPSK.101

Penguatan LPSK secara kewenangan dan kelembagaan berbanding

lurus dengan permohonan yang cinderung meningkat setiap tahunnya. Seperti

terlihat pada permohonan yang masuk tiga tahun terakhir, yakni 2013

sebanyak 1.560 permohonan, 2014 dengan 1.076 permohonan dan 2015

sebanyak 1.590 permohonan.102 Data lain menyebutkan sampai akhir tahun

2015 terdapat 2.090 permohonan. Berikut laporan pemenuhan hak korban oleh

LPSK pada tahun 2010-2015

No. Jenis Layanan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Total
s/d Okt
1 Perlindungan 11 9 76 124 113 157 490
Fisik
2 Medis 4 44 131 452 753 35 1419
3 Psikologis 9 62 164 375 341 53 1004
4 Restitusi 2 5 20 128 169 67 391
5 Kompensasi 0 0 0 0 0 0 0
6 Pemenuhan Hak 68 246 352 269 422 321 1678
Prosedural
Total 94 94 366 743 1348 633 4982

101
Abdul Haris Semendawai, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 2.
102
Abdul Haris Semendawai, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 2.
65

Permohonan yang diregisterasi adalah permohonan yang memenuhi

persyaratan formil dan materil sebagaimana ketentuan yang ada. Dari tabel

tersebut dapat terlihat permohonan yang cinderung meningkat, hal ini

menunjukan LPSK semakin dikenal masyarakat. Dan tentunya LPSK semakin

berkontribusi dalam pemenuhan hak saksi maupun korban dalam proses

peradilan pidana.

Mengingat lahirnya UU No. 31 Tahun 2014 semakin menguatkan

tugas dan fungsi LPSK, otomatis membuat LPSK semakin berkontribusi

dalam penguatan sistem peradilan pidana Indonesia. Merujuk pada undang-

undang tersebut dalam penjelasan umumnya, jelas terlihat bahwa undang-

undang perlindungan saksi dan korban dibuat sebagai pelengkap KUHAP.

Karena sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat menitik beratkan

kepada tersangka maupun terdakwa, sementara untuk saksi maupun korban

sangat minim sekali.

Jadi kaitannya dengan penguatan sistem peradian pidana di Indonesia

tentunya kehadiran undang-undang perlindungan saksi dan korban ini sangat

berarti. Karena undang-undang ini merupakan bagian yang harus ada dalam

sistem peradilan pidana yang terus berkembang. Sebenarnya Indonesia cukup

tertinggal, karena perhatian terhadap saksi maupun korban di berbagai negara

lain sudah mulai sejak akhir tahun 1960-an. Meskipun telat, lahirnya undang-
66

undang tersebut merupakan kemajuan dan kontribusi yang baik bagi

penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia.103

B. Tantangan dan Kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi

salah satu langkah penting yang diambil oleh pemerintah. Pada 2008, LPSK

dibentuk guna mengimplementasikan UU No. 13 Tahun 2006 sebagaimana

diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang ditujukan untuk

memastikan terakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses

peradilan pidana.104

Namun sebagai lembaga negara yang masih terbilang baru, tentunya

masih terdapat kendala-kendala yang dirasakan oleh Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban. Lahirnya LPSK sebagai lembaga yang mandiri dan

bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan bantuan terhadap

saksi dan korban merupakan hal yang baru di Indonesia. Oleh karena itu para

anggota LPSK betul-betul membangun dari awal, mulai dari membentuk

format kelembagaan dan lain sebagainya.105

Kendala yang masih dirasakan LPSK sebagai lembaga yang masih

baru antara lain terkait Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih kurang.
103
Wawancara pribadi dengan Bapak Syahrial Martanto SH.,Tenaga Ahli Divisi
Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. (Jakarta: 23 Agustus 2016).
104
Erasmus A.T. Napitupulu, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 79.
105
Wawancara pribadi dengan Bapak Syahrial Martanto SH.,Tenaga Ahli Divisi
Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. (Jakarta: 23 Agustus 2016).
67

Seperti Staff dan Ahli di LPSK yang perlu adanya peningkatan kapasitas

karena jumlahnya masih kurang. Kemudian kurangnya dukungan anggaran

atau dana perlindungan saksi dan korban yang tersedia. Sehingga

mempengaruhi profesionalitas LPSK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Seperti dalam kasus Sampang (kasus pertikaian massa aliran agama di

Kabupaten Sampang, Madura) pada 2011-2013. Dalam penanganan kasus

tersebut terbuka peluang LPSK dalam memberikan layanan bantuan

psikososial seperti berupa penyediaan sandang, pangan, papan dan kebutuhan

intervensi sosial serta psikologis. Hal itu sangat mungkin karena Pemerintah

Provinsi Jawa Timur, Pemda Sampang, dan Badan Kesbangpol Provinsi Jawa

Timur sangat terbuka dan menyambut baik upaya LPSK dalam penanganan

korban kasus tersebut.106

Sayangnya karena kesiapan SDM yang memiliki latar belakang dan

pengalaman di bidang psikologi dan kesejahteraan sosial masih belum

memadai. Sehingga pelayanan bantuan psikologis maupun psikososial oleh

LPSK belum optimal. Seharusnya peluang pemberian bantuan psikososial

pada saat itu sangat terbuka dan peran LPSK bisa menjadi lebih luas dalam

upaya pemulihan terhadap korban kejahatan.

Jumlah SDM yang hanya meliputi 215 orang yang terdiri dari anggota

maupun pegawai di LPSK untuk lingkup nasional tentunya jumlah tersebut

sangat minim sekali. Maka sangat diperlukan penambahan anggaran dan

106
Achmad Soleh, Tantangan LPSK dalam Pemberian Layanan Bantuan
Psikososial dan Pendampingan Psikososial bagi Korban Tindak Pidana, Jurnal
Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK, 2015), h. 63.
68

SDM yang cukup untuk mengoptimalkan kinerja LPSK, sehingga dapat

mengakomodir seluruh permohonan yang ada.

Salah satu aspek yang juga sangat penting adalah menempatkan posisi

LPSK dalam sistem peradilan pidana, dengan menyatakan secara jelas

kedudukan LPSK dalam sistem peradilan pidana yang akan dirancang.

Terdapat alasan substantif dan praktis, yakni LPSK sebagai lembaga yang

secara nyata sudah mempunyai mandat untuk melakukan perlindungan

terhadap saksi dan korban dan menjalankan peranannya dalam keseluruhan

proses peradilan, dan dengan dimasukannya LPSK dalam KUHAP akan

memberikan pemahaman bagi penegak hukum lainnya tentang peranan

LPSK.107

Saat ini masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), minimal LPSK disebut dalam KUHAP. Artinya dengan adanya

penyebutan LPSK dalam KUHAP tentunya membuat eksistensi LPSK sebagai

bagian dari sub sistem peradilan pidana di Indonesia menjadi semakin kuat.

Meskipun saat ini LPSK sudah kuat, karena lahirnya Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban jelas untuk melengkapi KUHAP.108

Namun salah satu yang menjadi kendala ialah banyak penegak hukum

yang positifis dan normatif yang hanya memandang KUHAP saja. Dengan

adanya penyebutan LPSK dalam KUHAP tentunya semakin menguatkan

eksistensi LPSK. Sampai saat ini LPSK masih terus memberikan masukan-

107
http://zainal78.blogspot.co.id/2014/01/catatan-atas-konsep-perlindungan-
korban.html diakses pada senin 8 Agunstus 2016, pukul 22:27 WIB.
108
Wawancara pribadi dengan Bapak Syahrial Martanto SH.,Tenaga Ahli Divisi
Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. (Jakarta: 23 Agustus 2016).
69

masukan kepada DPR terkait topik-topik LPSK untuk kepentingan

perlindungan saksi dan korban.109

Kendala lain yang masih dirasakan LPSK ialah dalam koordinasi

dengan lembaga lain. Jika melihat UU PSK maka habitatnya ialah ada dalam

ruang lingkup proses peradilan pidana. Bahwa tugas dan fungsi LPSK terkait

perlindungan bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, itu kata

kuncinya. Artinya LPSK ini dari segi habitat dan karakter kelembagaan

termasuk bagian dari sistem peradilan pidana.

LPSK termasuk sub sistem dalam peradilan pidana, namun terkadang

hal ini tidak dipahami oleh khususnya penegak hukum. Karena bicara

mengenai peradilan pidana pasti lekat dengan penegak hukum. Namun di situ

terkadang ada miss persepsi tentang LPSK, yang mana banyak penegak

hukum yang sangat positifis dan normatif yang hanya memandang KUHAP

saja. Sehingga memandang LPSK secara sebelah mata karena nama LPSK

belum disebut di dalam KUHAP.110

Namun seiring berjalannya waktu LPSK terus membangun jejaring

kerjasama dengan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dan lain-lain. Dari hubungan kerjasama tersebut membuat hubungan

antara LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya semakin baik. Namun

untuk mengoptimalkan hubungan kerjasama antara LPSK dengan lembaga

109
Wawancara pribadi dengan Bapak Syahrial Martanto SH.,Tenaga Ahli Divisi
Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. (Jakarta: 23 Agustus 2016).
110
Wawancara pribadi dengan Bapak Syahrial Martanto SH.,Tenaga Ahli Divisi
Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. (Jakarta: 23 Agustus 2016).
70

penegak hukum lainnya, tentunya nama LPSK harus dicantumkan dalam

KUHAP.

Perubahan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban

secara teknis telah memberikan penguatan baik dalam konteks perlindungan

dan pemenuhan hak korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana maupun

LPSK sebagai institusi yang dimandatkan oleh undang-undang. Meskipun

demikian perubahan undang-undang tidak juga menjawab permasalahan dasar

dan permasalahan teknis lainnya yakni diantaranya:111

Pertama, mengenai konsep kompensasi yang didasarkan pada

terbuktinya adanya pelaku dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat

maupun terorisme. Dalam konteks kejahatan serius dan terorganisasi tersebut

dalam banyak kasus peristiwa adanya tindak pidana nyata terjadi namun

dalam berbagai hal sistem hukum yang bekerja tidak maksimal menjangkau

pelakunya. Atas hal tersebut kiranya dapat dapat dilakukan upaya pemulihan

kepada korban tanpa menunggu proses hokum berjalan. Negara melalui LPSK

dapat menjalankan skema pemulihan / reparasi bagi korban tanpa terikat

dengan jalur hukum yang mewajibkan adanya putusan yang berkekuatan

hukum tetap. Dalam hal ini pemikiran mengenai Victim Funds yang dikelola

melalui skema APBN relevan untuk direalisasikan.

Kedua, hukum acara restitusi / kompensasi perlu dimasukkan sebagai

salah satu materi R KUHAP untuk memastikan dapat dipatuhi oleh penegak

hukum, termasuk dalam hal eksekusi dan upaya paksa jika dimungkinkan.

111
Syahrial Wartanto Wiryawan, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 173.
71

Ketiga, sinergitas dalam menjalankan skema program layanan bantuan

medis, rehabilitasi psikososial, dan psikososial bagi korban kejahatan

merupakan prioritas program kerja LPSK untuk segera direalisasikan.

Khususnya menyangkut bantuan rehabilitasi psikososial yang secara

substansinya sangat kompleks dan membutuhkan kerjasama dengan instansi

lainnya.

Keempat, untuk memastikan dipenuhinya hak-hak korban kejahatan

oleh sistem peradilan pidana maka RUU KUHAP dan RUU KUHP perlu

memasukkan prinsip-prinsip keadilan dan hak bagi korban sebagai salah satu

materinya, termasuk keberadaan LPSK sebagai salah satu sub sistem peradilan

pidana yang terintegrasi.

Kelima, salah satu hak korban kejahatan yang fundamental serta belum

diatur dalam undang-undang adalah prosedur khusus bagi korban untuk

menyampaikan pendapatnya / aspirasinya terkait dengan dampak kejahatan

bagi dirinya secara langsung atau tidak langsung (tertulis) dalam proses

persidangan. Prosedur bagi korban untuk menyampaikan secara langsung/

tidak langsung dalam proses persidangan terkait dengan dampak kejahatan

bagi dirinya diusulkan masuk sebagai salah satu substansi dalam R KUHAP.

Saat ini, LPSK tengah menanti disahkannya Rancangan Peraturan

Presiden tentang Sekretariat Jenderal LPSK dan Perwakilan LPSK daerah.

Rencana membuka perwakilan di daerah menjadi salah satu upaya untuk lebih

memudahkan masyarakat yang ingin mendapatkan layanan dari LPSK.

Dengan hadir lebih dekat di masyarakat, diharapkan upaya pemenuhan hak


72

saksi dan korban bisa lebih maksimal. Ke depan, LPSK akan terus berupaya

memaksimalkan layanan bagi saksi dan korban kejahatan seperti yang

diamanatkan undang-undang dan harapan dari masyarakat.112

112
Abdul Haris Semendawai, Jurnal Perlindungan, vol. 5 no.1 (Jakarta : LPSK,
2015), h. 2.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka penulis

dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjadi semakin kuat dengan

disahkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban. Undang-undang tersebut cukup memberi kemajuan bagi LPSK baik

dari sisi kewenangan maupun kelembagaan. Sehingga semakin memperkuat

tugas dan fungsi LPSK dalam upaya perlindungan saksi dan pemenuhan hak-

hak korban kejahatan. Peran LPSK dalam penguatan sistem peradilan pidana

Indonesia tentunya sangat besar. Karena sistem peradilan pidana berdasarkan

KUHAP sangat menitik beratkan kepada tersangka maupun terdakwa,

sementara untuk saksi maupun korban sangat minim sekali. Sehingga LPSK

yang memiliki peran dalam melakukan perlindungan terhadap saksi maupun

korban dapat melengkapi kekurangan KUHAP.

2. Tantangan dan kendala LPSK dalam penguatan sistem peradilan pidana di

Indonesia ialah terkait beberapa hal. Hal yang yang paling dirasakan LPSK

antara lain kurangnya dukungan anggaran maupun SDM sehingga pemberian

layanan bagi saksi dan korban belum optimal. Kemudian mengenai

kedudukannya dalam sistem peradilan pidana. Meskipun LPSK sebagai

lembaga yang secara nyata sudah mempunyai mandat untuk melakukan

73
74

perlindungan terhadap saksi dan korban dan menjalankan peranannya dalam

keseluruhan proses peradilan pidana namun kedudukannya belum diatur

dalam KUHAP. Kemudian permasalahan dasar dan permasalahan teknis

yang belum terakomodir dengan baik, antara lain mengenai konsep

kompensasi dan sinergitas dengan instansi lain dalam pemberian bantuan

khususnya bantuan rehabilitasi psikososial.

B. SARAN

1. Untuk menguatkan kedudukan LPSK dalam sistem peradilan pidana

hendaknya DPR segera mengesahkan RKUHAP yang di dalamnya

mencantumkan nama LPSK, agar kedudukan LPSK sejajar dengan sub sistem

peradilan pidana lainnya. Dan untuk mengoptimalkan kinerja LPSK

hendaknya pemerintah memberikan anggaran yang cukup terkait dana

perlindungan saksi dan korban serta meningkatkan jumlah SDM yang ada

dalam tubuh LPSK.

2. Hendaknya pemerintah segera mengesahkan Peraturan Presiden tentang

Perwakilan LPSK Daerah. Karena membuka perwakilan LPSK di daerah

menjadi salah satu upaya untuk lebih memudahkan masyarakat yang ingin

mendapatkan layanan dari LPSK. Dengan hadir lebih dekat di masyarakat,

diharapkan upaya pemenuhan hak saksi dan korban bisa menjadi lebih

maksimal.
75

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam dan DPM Sitompul. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Restu Agung.
2007.
Ali, Achmad. Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta :
BP Iblam. 2004.
Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Semarang: UNDIP.
2011.
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisianisme. Bandung: Bina Cipta. 1996.
__________. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana. 2011.
Azhary. Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
Unsurnya. Jakarta :Universitas Indonesia Press. 1995.
Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2003.
Daud Ali, Mohammad. Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005.
Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni. 1992.
Hamzah, Andi. .Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 1991.
__________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV Sapta Artha Jaya.
1996.
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.
Kusumaatmaja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung:
PT. Alumni. 2002.
Malinda, Anggun. Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana (Tersangka,
Terdakwa, Terpidana, Saksi dan Korban). Yogyakarta: Garudhawaca.
2016.
Marpaung, Ledeng. Proses Penanganan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010.

Muhammad, Rusli. Sistem Peradilan Pidana Indoensia. Yogyakarta: UII Press.


2011.
76

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Undip. 1995.


Packer, L Herbert. dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir. Lembaga
Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. 1995.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Ctk. II. Jakarta: Rajawali pers. 2011.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT
Refika Aditama. Cet. I. 2003.
Rahardi, Pudi. Hukum Kepolisian: Profesionalisme dan Reformasi Polri. Ctk. I.
Bandung: Laksabang Mediatama. 2007.

Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan


Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. 2007.

Sadjijono. Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, edisi-ke


satu. Yogyakarta: Laksbang. 2005.

Soekanto, Soerjono. Pengantar penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1986.


Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
__________. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:
Rajawali Pers. 1995.
Sunaryo, Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press.
2005.
Syamsudin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. Ctk. II. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Widiartana. Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 2009.
Widodo Eddyono, Supriyadi. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di
Indonesia Sebuah Pemetaan Awal. cet1. Jakarta: Indonesia Corruption
Watch. 2007.
Zakaria, Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Upaya
Perlindungan Terhadap Whistleblower. Makassar: Universitas Hasanudin.
2015

.
77

PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 Tentang
Tugas dan Fungsi LPSK.

MAKALAH DAN JURNAL


Asshiddiqie, J. Makalah “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Keempat UUD 1945”. Disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar, Bali 2003.
Jurnal Perlindungan. Vol. 5. No. 1. Jakarta: LPSK. 2015.
Hasil wawancara skripsi bersama Bapak Syahrial Martanto Wiryawan SH. selaku

Tenaga Ahli Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban.

1. Bagaimana peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam

penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia…?

Peran LPSK dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia, Kalau

merujuk pada UU no 13 tahun 2006 melihat penjelasan umum, jelas disana

bahwa UU perlindungan saksi dan korban ini dibuat sebagai pelengkap

KUHAP. Karna sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat

menitik beratkan kepada tersangka maupun terdakwa sementara untuk

saksi maupun korban sangat minim sekali. Jadi kaitannya dengan

penguatan sistem peradilan pidana tentunya kehadiran UU PSK ini sangat

berarti. Karna UU ini merupakan bagian yang harus ada dalam sistem
peradilan pidana yang terus berkembang. Sebenarnya negara kita cukup

tertinggal, karena perhatian terhadap saksi maupun korban diberbagai

negara luar sudah mulai sejak akhir tahun 1960an. Kalau kita bicara

tentang perlindungan saksi, program perlindungan saksi di Amerika sudah

di awali sejak tahun 1960an. Kemudian gerakan tentang perlindungan

korban, yang memandang bahwa korban itu sebagai bagian dari sistem

peradilan pidana dan sebagai bagian penting dalam proses penegakan

hukum sudah mulai dari tahun 1970an. Sementara negara kita merespon

tahun 2006, meskipun telat tapi itu merupakan kemajuan dan berkontribusi

bagi penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Bagaimana eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di

dalam UU No 31 Tahun 2014…? Apakah menurut Bapak masih terdapat

kekurangan dalam UU tersebut…?

UU no 31 tahun 2014 ini memang bagian dari proses negosiasi dan loby

terkait dengan praktek implementasi dari UU no 13 tahun 2006, yang di

dalam UU tersebut masih terdapat bolong-bolong yang dirasakan oleh

LPSK sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugas fungsinya. Namun

yang namanya proses politik pasti ada hal-hal yang mungkin lebih menjadi

prioritas, sehingga target yang dipikirkan LPSK belum sepenuhnya bisa

diakomodasi. Banyak hal-hal yang sangat mendasar, misalkan tentang

definisi konvensasi yang belum berhasil diubah. Contohnya konvensasi

yang sekarang ini digantungkan pada pelaku, padahal seharusnya mutlak

pada korban kejahatan. Ya mungkin step berikutnya bisa diakukan


penyempurnaan kembali. Namun untuk saat ini dengan lahirnya UU No 31

sedikit banyak telah memberikan kemajuan untuk LPSK. Secara

kelembagaan sudah semakin mapan meskipun belum maksimal, namun

sudah terlihat dari konteks lembaga sudah ada kenaikan kelas. Seperti

disebutkan dalam UU tersebut sekretariat sudah berupa sekretariat jendral

sehingga sudah dapat berdiri sendiri. Sebelumnya secara administrasi

keuangan dan kepegawaian masih di sekretariat negara. kemudian dari

segi kewenangan saat ini sudah di eksplisitkan didalam pasal 12 a.

kemudian dari segi perlindungan saksi, definisi saksi sudah diperluas

bahwa saksi itu tidak harus yang mengalami, mengetahui dan mendengar

sendiri namun selama dia tahu konteks permasalahannya dia sudah dapat

dipanggil sebagai saksi. Adapun hal-hal yang belum diatur dalam UU

tersebut LPSK menyiasatinya dengan membuat aturan-aturan tekhnis

sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

UU tersebut. Contohnya PNS yang menjadi whistleblower, kita bisa

terobos dengan melakukan MOU terhadap kementrian pemberdaya

gunaan aparatur negara atau dengan komisi-komisi terkait lainnya misal

seperti komisi ombutsmen.

3. Bagaimana hubungan kordinasi LPSK dengan lembaga lainnya…?

Adakah kendalanya…?

Kalau kita melihat UU LPSK ini habitatnya di proses peradilan pidana,

bahwa tugas fungsi LPSK terkait perlindungan bagi saksi dan korban

dalam proses peradilan pidana, itu kata kuncinya. Artinya LPSK ini dari
segi habitat dan karakter kelembagaan termasuk bagian dari sistem

peradilan pidana. LPSK termasuk sub sistem disitu, namun terkadang ini

tidak dipahami oleh khususnya penegak hukum. Karna bicara mengenai

peradilan pidana, pasti lekat dengan penegak hukum namun disitu

terkadang ada miss persepsi tentang LPSK. Namun seiring berjalannya

waktu LPSK sudah membangun jejaring kerjasama dengan Kepolisian,

Kejaksaan, KPK dan lain-lain. Dari hubungan kerjasama itu membuat

hubungan antara LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya semakin

baik.

4. Apa yang menjadi kendala LPSK dalam menjalankan tugasnya…?

Kendala yang masih dirasakan LPSK sebagai organisasi yang masih baru

antara lain kendala SDM dan dukungan anggaran. Seperti staf di LPSK

perlu adanya peningkatan kapasitas karna jumlahnya masih kurang.

Mengingat LPSK ini sebagai lembaga baru yang dibentuk tahun 2008

akhir, 2009 baru aktif. Undang-undangnya memang lahir dari 2006 namun

anggota LPSK baru terpilih agustus 2008. Kita betul-betul membangun

dari awal, mulai dari membentuk format dan lain sebagainya karna

memang di Indonesia belum ada lembaga seperti ini sebelumnya.

5. Menurut Bapak/ Ibu, untuk lebih efektif terkait LPSK ini, langkah apa saja

yang seharusnya dilakukan pemerintah…?

Untuk membuat LPSK semakin efektif, saat ini LPSK menunggu

disahkannya dua prodak hukum yaitu KUHP dan KUHAP. Karena dua
UU tersebut sangat menentukan bagaimana LPSK kedepan. Saat ini masih

dalam pembahasan di DPR, minimal LPSK disebut di dalam KUHAP,

artinya dengan adanya penyebutan LPSK didalam KUHAP membuat

eksistensi LPSK sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana semakin

kuat. Meskipun saat ini LPSK sudah kuat karena UU PSK jelas

melengkapi KUHAP, namun banyak penegak hukum yang sangat positifis

dan normative yang hanya memandang KUHAP saja. Dengan adanya

penyebutan LPSK dalam KUHAP tentunya semakin menguatkan

eksistensi LPSK, sampai saat ini LPSK masih terus memberi masukan-

masukan kepada DPR terkait topik-topik LPSK untuk kepentingan

perlindungan saksi dan korban.

Anda mungkin juga menyukai