Anda di halaman 1dari 83

KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Analisis Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh :

KHAIDIR ALI
NIM: 1113048000028

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020
KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
(Studi Analisis Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017)

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

KHAIDIR ALI
NIM: 1113048000028

Pembimbing I Pembimbing II

Abdul Qodir, S.H., M.Hum. Mu’min Roup, M.A.


NIP. 195506141978031002 NIP. 197004161997031004

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020 M

ii
iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Analisis Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017) ” telah diujikan Sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 15 Mei 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata satu (S-1) pada Program Studi Ilmu
Hukum.

Jakarta, Juli 2020


Mengesahkan
Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.


NIP.19691121 199403 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (.................)


NIP.19670203 201411 1 001

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (.................)


NIP.19650908 1995 1 001

3. Pembimbing I : Abdul Qodir, S.H., M.Hum. (.................)


NIP.19550614 197803 1 002

4. Pembimbing II : Mu‘min Roup, M.A. (.................)


NIP.19700416 199703 1 004

5. Penguji I : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, M.H. (.................)


NIP.19540303 197611 1 001

6. Penguji II : Syafruddin Makmur, S.H., M.H. (.................)


NUPN. 9920112680
iv

LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama: KHAIDIR ALI
NIM: 1113048000028
Fakultas: Syariah dan Hukum
Prodi: Ilmu Hukum
No HP/Email: 089605532474
Menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian terbukti hasil karya ini bukan hasil saya atau merupakan
jiplakan orang lain, makas saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Mei 2020

Khaidir Ali
v

ABSTRAK
KHAIDIR ALI, 1113048000028, “KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Analisis
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017)”. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/
2020 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hak Kebebasan Berserikat di
Indonesia dalam Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun
2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang telah ditetapkan menjadi Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2017 dan kebersesuaiannya dengan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan metode analisa
kualitatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: pertama, bahan hukum primer
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan
Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2017. Sedangkan, yang kedua adalah bahan hukum sekunder
berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku terkait. Adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen.
Berdasar penelitian yang telah dilakukan, keputusan Presiden menerbitkan
Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan telah tepat dan memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi Nomor138/PUU-VII/2009 bahwa Presiden
dapat menerbitkan Perppu dengan syarat: (1) terdapat keadaan yang mendesak, (2)
terdapat aturan hukum yang telah berlaku namun tidak memadai, (3) terdapat
kekosongan hukum. Ketiga syarat itu telah terpenuhi dalam pertimbangan
presiden ketika menerbitkan Perppu yang saat ini telah menjadi Undang-undang.
Adapun Hak kebebasan berserikat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) yang menjamin keberlangsungan
hak asasi individu maupun kolektif termasuk dalam berserikat. Akan tetapi
kebebasan berserikat tersebut tidak secara mutlak diberikan. Kebebasan tersebut
dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-undang. Oleh karena itu,
regulasi berserikat yang dalam hal ini adalah keberserikatan Ormas haruslah
tunduk pada Undang-undang yang mengaturnya sehingga kemaslahatan umum
dapat tercapai. Meskipun demikian, terdapat kekurangan dalam Undang-undang
terkait dalam hal kewenangan pembubaran Ormas yang -menurut peneliti- over
subjektif sehingga memungkinkan terjadinya ketimpangan di masa yang akan
datang.
Kata kunci : Hak Berserikat, Kebebasan, UU Nomor 16 tahun 2017

Pembimbing Skripsi : 1. Abdul Qodir, S.H., M.Hum.


2. Mu’min Roup, M.A.
Daftar pustaka : Tahun 1976 sampai Tahun 2018
vi

KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamu‟alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
mencurahkan segala nikmat dan kasih sayangNya kepada kita semua mahluk
ciptaanNya. Hanya Dia Yang Maha Berkehendak atas makhlukNya termasuk
kehendak memberikan izinNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini yang berjudul : KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM PERATURAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (STUDI
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2017).

Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada sosok yang kita muliakan,
junjungan alam Nabiyullah Muhammad SAW, beserta para keluarga dan
sahahabatnya yang setia mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya syari‘at
Islam, yang pengaruh dan manfaatnya bisa kita rasakan hingga saat ini.

Penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi strata 1 (S1) guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum (SH) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan bayak terimakasih kepada pihak-pihak yang
telah memberikan bantuan, semangat, dukungan dan doa, kepada yang terhormat :

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag. S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum.
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum, Drs. Abu Tamrin, S.H. M.Hum., Sekretaris Prodi, serta Drs.
Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Pembimbing Akademik.
Terimakasih atas segala bantuan, perhatian, arahan, dan bimbingan
yang selama ini diberikan.
vii

3. Abdul Qodir, S.H., M.Hum. dan Mu‘min Roup, M.A., pembimbing


skripsi yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi
arahan, koreksi, bimbingan, dan nasihat yang sangat berarti bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Keluarga tercinta Umi Siti Hadidja Passima, Abi Muh. Ali B, S.H.,
Kakak Aulia Pertiwi S.H., Adik-adik tercinta Sri Puji Asyirah, S.Tr.T
dan Husnul Khatimah dan seluruh keluarga besar penulis, terimakasih
atas curahan kasih sayang, dorongan doa, nasihat, motivasi dan segala
pengorbanan selama penulis menempuh studi di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Keluarga Kecil penulis ―L.V‖, Chay, Awi, Igun, Made, Mahatir, Vera,
Nisa, Yuyu, Sri, Indira, Dian, yang selalu mendoakan dari jauh dan
memberikan semangat serta nasihat-nasihat yang sangat berarti.
6. Keluarga Besar Resimen Mahasiswa Jayakarta terkhusus Satuan ―Wira
Dharma‖ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para Senior dan
Alumni/IARMI Komisariat UIN Jakarta yang selalu memberikan
arahannya. Angkatan Nusantara, Althaf, Fuad, Tomi, Fathur, Amin,
Nandar, Arif, Bagus, Faika, Mia, Yuniar, Fika, Nicken, Fani, Iqlimah,
Ida, Nita yang senantiasa membersamai, dan seluruh jajaran Pimpinan
dan staf aktif .
7. Farah Septiana Prisardi sosok istimewa yang selalu memberikan
semangat dan banyak mendukung selama proses pembuatan skripsi.

Atas segala bantuannya penulis menghaturkan Jazakumullah Khoiron


Katsiron. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.

Jakarta, 20 April 2020

KHAIDIR ALI
viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING .................................................. ii


LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah ......................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 9
D. Metode Penelitian ..................................................................... 11
E. Sistematika Pembahasan .......................................................... 13
BAB II KEBEBASAN BERSERIKAT
A. Kerangka Konseptual ............................................................... 14
1. Pengertian Organisasi Kemasyarakatan ............................. 14
2. Pembentukan Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia .... 16
3. Regulasi Pembentukan Organisasi Kemasyarakatan.......... 17
4. Kebebasan Berserikat di Indonesia .................................... 18
B. Kerangka Teori ......................................................................... 19
1. Negara Hukum di Indonesia ............................................... 19
2 Perlindungan Keamanan ..................................................... 31
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu........................................ 32

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERATURAN PEMERINTAH


PENGGANTI UNDANG-UNDANG (Perppu)
A. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) ..... 33
1. Pengertian Perppu ............................................................... 33
2. Fungsi Perppu di Indonesia ................................................ 35
B. Syarat Pembuatan Perppu ......................................................... 37
C. Kedudukan Perppu dalam Sistem Perundang-undangan .......... 43
D. Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun
2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan................................ 46
ix

BAB IV HAK KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM UNDANG-UNDANG


NOMOR 16 TAHUN 2017
A. Pertimbangan Presiden dalam Penerbitan Peraturan Presiden
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan .................................................... 53
B. Kesesuaian Hak Kebebasan Berserikat dalam UUD 1945 dan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 ................................... 58
1. Hak Kebebasan Berserikat dalam UUD 1945 ................... 58
2. Hak Kebebasan Berserikat dalam Undang-Undang Nomor 16
tahun 2017 ......................................................................... 60

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 67
B. Rekomendasi ............................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Negara Indonesia adalah salah satu negara yang tergolong pada negara
hukum. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD
1945) yang menyatakan, ―Negara Indonesia adalah negara hukum.‖
Konsepsi negara hukum menjelaskan bahwa kekuasaan pemerintahan harus
berlandaskan pada supremasi hukum dengan tujuan utama adalah
mewujudkan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Konsep negara hukum di Indonesia didasarkan pada Pancasila.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau cita negara (staatside)
yang berfungsi sebagai filosofhische gronslag dan common platforms atau
kalimatun sawā‟ di antara warga masyarakat dalam konteks bernegara dalam
kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat
Pancasila sebagai ideologi terbuka.1 Hal ini menjadi dasar hukum yang
fundamental bagi masyarakat Indonesia sebgai elemen di dalamnya.
Perlindungan hak asasi manusia atas seluruh warga negaranya
merupakan salah satu ciri yang harus dipenuhi oleh negara dalam
mengimplementasikan konsep negara hukum. Komitmen negara Indonesia
terhadap penghormatan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia
terkandung dalam sila kedua Pancasila, ―Kemanusiaan yang adil dan
beradab.‖ Sila ini mengindikasikan bahwa setiap manusia harus diperlakukan
secara adil dan beradab.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia juga ditegaskan dalam
alinea satu pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, ―Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka

1
Teguh Prasetyo and Abdul Halim Berkatullah, Filsafat Teori Dan Ilmu
Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), h. 367.
1
2

penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan


perikemanusiaan dan perikeadilan.‖
Berbincang hak asasi manusia berarti membicarakan dimensi
kehidupan manusia. Hak asasi manusia, ada bukan karena diberikan oleh
masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan hak kodrati yang melekat
pada diri manusia sejak lahir.2 Salah satu diantaranya yaitu hak atas
kebebasan berserikat (right to freedom of association), yang dinyatakan
dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, ―Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.‖
Pemaknaan atas kebebasan berserikat dan berkumpul berdasarkan
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 antara lain setiap orang berhak membentuk
sebuah perkumpulan seperti partai politik, yayasan, lembaga amal dan
organisasi masyarakat (Ormas). Tentunya semua perkumpulan tersebut harus
merujuk pada hukum sebagaimana bentuk implementasi Indonesia sebagai
negara hukum. Hukum diletakkan pada posisi tertinggi dalam kehidupan
bernegara. Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula
hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.3
Dasar hukum di Indonesia harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat,
baik individu maupun kelompok. Organisasi kemasrakatan (Ormas) andalah
salah satu perkumpulan atau kelompok masyarakat yang berada di Indonesia.
Ormas juga harus patuh terhadap dasar hukum yang diterapkan di Indonesia
demi terciptanya suasana yang tertib dan adil. Definisi mengenai Ormas
sebagai mana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang menyatakan:
“ Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.”

2
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 121.
3
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung:
Alumni, 1973), h. 20-21.
3

Kehadiran Ormas merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam


memperjuangkan hak-hak masyarakat dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Menurut Mouzelis, Ormas juga diciptakan untuk
menegakkan hukum yang efektif demi melindungi kepentingan masyarakat
dari kesewenang-wenangan pemerintah.4 Hal ini juga dirasa penting dengan
hadirnya Ormas sebagai upaya untuk memberikan dukungan terhadap
penegakan hukum yang lebih efisien di negara Indonesia.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan mengalami perubahan. Pada tanggal 10 Juli 2017, Presiden
Joko Widodo membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu Nomor 2 tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan ini merupakan salah satu cara pemerintah untuk
membubarkan organisasi masyarakat yang anti-Pancasila.5
Perppu Ormas ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dengan
pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan dinilai belum mengatur secara komprehensif
mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang
efektif.6
Perppu merupakan salah satu dari beberapa peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia. Dasar hukum utama Perppu dijelaskan
pada Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, ―Dalam hal ihwal
4
Halili dalam Ari Ganjar Herdiansyah and Randi, Peran Organisasi
Masyarakat (Ormas) Dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Menopang
Pembangunan Di Indonesia, Sosioglobal, 1st edn (Bandung: Unpad Press, 2016), h.
54.
5
‗Jokowi Teken Perppu Pembubaran Ormas‘, Kompas.Com, 2017
<https://nasional.kompas.com/read/2017/07/11/18124841/jokowi-teken-Perppu-
pembubaran-Ormas> [accessed 18 September 2018].
6
‗Inilah Perppu Nomor 2/2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17/2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan‘, Setkab.Go.Id <http://setkab.go.id/inilah-
Perppu-no-22017-tentang-perubahan-uu-no-172013-tentang-organisasi-
kemasyarakatan/> [accessed 18 September 2018].
4

kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan


Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang.‖ Jika mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka hierarki Perppu setara dengan Undang-undang.
Hanya saja, Proses pembentukan Perppu ditetapkan oleh Presiden atas dasar
hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Hal kondisi yang memaksa dan darurat dalam pembentukan Perppu
oleh Presiden dapat dilakukan jika sudah memenuhi batasan-batasan tersentu.
Mengingat Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara
merupakan pihak yang paling tahu tentang kondisi negara, meskipun alasan
dalam keadaan yang memaksa tersebut dilandaskan pada pertimbangan
subjektif dan prerogatif Presiden.7 Presiden mempunyai otoritas tertinggi
dalam penetapan Perppu.
Kewenangan Presiden dilakukan sebagai langkah untuk mengatasi
kegentingan memaksa, karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh DPR
dalam membuat Undang-undang. Perppu menurut UUD 1945 memang perlu
diadakan agar keselamatan negara dijamin oleh pemerintah. Hal ini
didasarkan pada situasi keadaan yang genting dan memaksa pemerintah untuk
bertindak lekas dan cepat.8
Selama ini, dalam peraturan perundang-undangan belum ada secara
detail yang mengatur batasan-batasan kondisi kegentingan yang memaksa
dalam penerbitan Perppu. Seakan-akan Perppu sebagai bola liar yang
sewaktu-waktu dapat dimainkan oleh Presiden sebagai penguasa untuk
kepentingan kekuasaannya.9 Dalam perkembangannya, pengaturan lebih
lanjut mengenai Perppu baru dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 138/PUU-VII/2009. Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menjelaskan Perppu diperlukan apabila
7
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, 2nd edn (Yogyakarta: FH UII
Press, 1997), h. 153.
8
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 49.
9
Janpatar Simamora, ‗Multitafsir Pengertian 'Hal Ihwal Kegentingan Yang
Memaksa‘ Dalam Penerbitan Perppu‘, MIMBAR HUKUM, 22.1 (2010), 58–70.
5

adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara


cepat berdasarkan Undang-undang. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut
belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-undang
tetapi tidak memadai. Dalam arti bahwa kekosongan hukum tersebut tidak
dapat diatasi dengan cara membuat Undang-undang secara prosedur biasa
karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Alasan diterbitkannya Perppu Nomor 2 tahun 2017 masih banyak
menuai pro dan kontra. Ada yang mendukung dan ada pula yang tidak. DPR
adalah salah satu pihak yang mendukung terhadap Perppu tersebut. Namun
disisi lain masih banyak yang mempertanyakan alasan yang lebih jelas
mengenai pertimbangan Presiden dalam penerbitan Perppu. Hasil penelitian
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Daniel
Yusmic mempertanyakan analisis tafsir kegentingan yang memaksa menjadi
latar bel akang dibentuknya Perppu Ormas. Dia berpandangan bahwa
diterbitkannya Perppu belum ada ketentuan-ketantuan secara jelas dari
pemerintah.10
Salah satu alasan dasar penelitian ini penting dilakukan karena selama
ini masih banyak hasil penelitian yang belum mampu menjelaskan secara
detail alasan utama diterbitkannya Perppu Nomor 2 tahun 2017 tersebut. Di
samping itu pula, dalam Perppu tersebut yang kemudian dijadikan sebagai
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017, masih memiliki beragam penafsiran.
Salah satunya masih belum dijelaskan secara jelas mengenai hal dan
kebebasan berserikat. Dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 ini
memperbolehkan Warga Negara Asing mendirikan Ormas di Indonesia. Hal
ini berdasarkan Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi ―Ormas yang didirikan oleh
warga negara asing dapat melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.‖ Dengan
demikian menurut peneliti, diterbitkannya Perppu tersebut secara tidak

10
Norman Edwin Elnizar, ‗Perppu Ormas Dinilai Tidak Penuhi Syarat
Kegentingan Yang Memaksa‘, Hukum Online, 2017
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5966c561b29b1/perppu-ormas-dinilai-
tidak-penuhi-syarat-kegentingan-yang-memaksa/> [accessed 18 September 2018].
6

langsung pemerintah lebih membuka kesempatan untuk bebas berserikat


selama tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pada hasil penelitian Direktur Legal Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Street Lawyer, M Kamil Pasha, menganai syarat hal ihwal
kegentingan yang memaksa Perppu mengatakan, lewat Perppu ini pemerintah
dapat menghilangkan kesempatan dari Ormas membela diri di pengadilan.
Tidak hanya itu, Perppu juga dapat langsung membawa anggota Ormas ke
ranah pidana.11 Dalam penelitian ini, lebih mempertegas bahwa Perppu
adalah salah satu alternatif tercepat untuk mengatasi persoalan Ormas yang
bertentangan dengan perundang-undangan di Indonesia.
Namun disisi lain, kritik juga dikemukakan oleh Peneliti Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK), Rizky Argama. Menurutnya, Perppu Ormas
dipandang telah menghapus jaminan kebebasan berserikat. Pasal 61 Perppu
Ormas memungkinkan pemerintah dapat mencabut status badan Ormas tanpa
didahului proses pemeriksaan di pengadilan.12 Sementara, Dosen Universitas
Indonesia, Satya Arinanto mengatakan, Perppu Ormas lebih demokratis
ketimbang regulasi sebelumnya.
―Melalui Perppu Nomor 2 tahun 2017, prosedur tata cara pembubaran
Ormas menjadi berubah. Kalau dulu untuk membubarkan Ormas mesti
mengajukan ke pengadilan. Jika sudah ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, Ormas tersebut langsung dibubarkan
pemerintah. Sekarang dengan Perppu Nomor 2 tahun 2017 menjadi
sebaliknya. Pembubaran Ormas dapat dilakukan langsung pemerintah.
Dengan begitu, Ormas tidak puas masih punya kesempatan untuk
mengajukan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).‖

11
‗Perppu Ormas Dikhawatirkan Timbulkan Kesewenang-Wenangan‘,
Republika.Co.Id, 2017
<https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/07/14/ot38um-perppu-
ormas-dikhawatirkan-timbulkan-kesewenangwenangan> [accessed 18 September
2018].
12
Rofiq Hidayat, ‗Perppu Ormas Ancam Hak Kebebasan Berserikat‘,
Hukum Online, 2017
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59687b1cea88d/perppu-ormas-ancam-
hak-kebebasan-berserikat/> [accessed 18 September 2018].
7

Uraian dari peneliti terdahulu di atas belum membahas mengenai


batasan-batasn kebebasan berserikat secara detail. Sehingga, dirasa penting
untuk diuraikan dalam penelitian ini. Di samping itu pula, alasan lain peneliti
masih beranggapan bahwa kebebasan berserikat Ormas-Ormas yang ada di
Indonesia tidak bebas secara independen, masih harus mematuhi beberapa
peraturan yang berlaku di negara hukum Indonesia. Artinya hukum di
Indonesia seakan-akan membatasi terhadap kebebasan berserikat.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, peneliti menganggap penelitian
ini penting untuk dilakukan, mengingat beberapa hal mengenai pertimbangan
penerbitan Perppu dan kebebasan berserikat. Oleh karena itu, peneliti
mengangkat skripsi ini dengan judul “Kebebasan Berserikat Dalam
Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia (Studi Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2017)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas,
teridentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut.
a. Keberadaan Indonesia sebagai Negara Hukum belum optimal
dalam mengawal kebebasan berserikat yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
b. Terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menjadi
kesepakatan nasional untuk mengakomodir dan merealisasikan
equality before the law dalam tatanan masyarakat Indonesia
utamanya hak berserikat.
c. Diskriminasi terhadap eksistensi Ormas sebagai representasi suara
rakyat sekaligus sebagai sarana penyalur aspirasi mereka dalam
rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Adanya pro dan kontra terhadap alasan penerbitan Perppu Nomor 2
tahun 2017 yang menjadi cikal bakal Undang-Undang Nomor 16
tahun 2017
8

e. Perppu Nomor 2 tahun 2017 masih belum memenuhi syarat


kegentingan yang memaksa secara optimal
f. Adanya perbedaan pandangan mengenai hak kebebasan berserikat
menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2. Batasan Masalah
Dalam penelitian iniagar fokus, maka akan dibatasi masalah yaitu
adanya perbedaan pandangan mengenai hak kebebasan berserikat menurut
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah dan batasan masalah di
atas, guna memudahkan peneliti dalam penelitian ini maka rumusan
masalah dibuat dalam bentuk pertanyaan mengapa terjadi adanya
perbedaan pandangan mengenai hak kebebasan berserikat menurut
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pertimbangan Presiden dalam menetapkan Peraturan
Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan?
2. Apakah Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 2
tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah sesuai dengan hak
kebebasan berserikat yang diatur dalam UUD 1945?
9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya,
maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui Pertimbangan Presiden dalam menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan.
2. Mengetahui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 2
tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam kesesuaiannya
dengan hak kebebasan berserikat yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini sekurang-kurangnya terbagi menjadi


dua macam yakni manfaat teoritis dan praktis. Adapun secara teoritis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang alasan
terbentuknya Perppu Nomor 2 tahun 2017 yang kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap
perkembangan khazanah keilmuan hukum di Indonesia pada umumnya
dan hukum ketatanegaraan pada khususnya, utamanya bagi para
mahasiswa terkhusus mahasiswa ilmu hukum dengan konsentrasi Hukum
Tata Negara dalam mengkaji Peraturan Perundang-undangan yang ada di
Indonesia serta dapat menjadi batu pijakan untuk penelitian selanjutnya
dalam bidang yang sama.

Sedangkan manfaat penelitian ini secara praktis, diharapkan bahwa


penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa usulan dan pertimbangan
10

kepada para praktisi hukum tata negara dalam menilai produk Perppu yang
berkualitas atas dasar kepentingan rakyat dan memberi masukan tentang
implikasi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017. Selain
itu, diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi segenap masyarakat
utamanya yang telah dan hendak mendirikan organisasi kemasyarakatan agar
organisasi yang didirikan dapat sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan
oleh Undang-Undang terkait yang dalam hal ini adalah Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian normatif. Penelitian
normatif merupakan penelitian dengan menggunakan data primer dan
sekunder yakni data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan.13
Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti akan melakukan
penelitian terhadap faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya
Perppu Nomor 2 tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Peneliti akan menggunakan beberapa pendekatan terhadap masalah yang
diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau meneliti bahan kepustakaan yang berkaitan dengan
objek penelitian.

2. Pendekatan Penelitian
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif. Oleh karenanya pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan hukum doktrinal. Pendekatan tersebut
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma

13
Soerjono Soekanto and Sri Namudji, Penelitian Hukum Normatif
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14.
11

hukum yang ada dalam masyarakat14 maka dalam hal mengumpulkan


data, peneliti menggunakan beberapa pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan yang peneliti gunakan
dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.15
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Pendekatan konsep yang peneliti gunakan yaitu konsep
kegentingan yang memaksa dalam proses pembuatan Perppu
dan hak kebebasan berserikat yang menjadi poin utama
pembahasan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2017.
3. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus peneliti gunakan untuk melihat latar
belakang ditetapkannya Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 oleh Presiden.
3. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber penelitian yang
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun
rinciannya sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan data-data yang diperoleh
dari sumber aslinya yang memuat segala keterangan berkaitan
dengan penelitian ini. Sumber tersebut adalah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun

14
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2nd edn (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 105.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia,
2005), h. 178.
12

2017 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 16


tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data-data pendukung
bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang
bertujuan untuk menunjang bahan hukum primer. Sumber
tersebut adalah buku-buku yang ditulis oleh para sarjana hukum,
jurnal hukum dan pendapat para sarjana hukum yang berkaitan
dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan metode pengumpulan data melalui studi
dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan
penelitian dengan mengkaji berbagai macam sumber bacaan seperti buku,
artikel, jurnal, skripsi hingga berita yang diperoleh dari media cetak
ataupun online yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan
akan peneliti uraikan dan hubungkan secara lebih rinci agar dapat
disajikan dalam penelitian yang lebih sistematis. Pengolahan bahan
hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan
permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih
konkret.
6. Metode Penelitian
Teknik penelitian dan pedoman yang digunakan peneliti dalam
skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penelitian karya ilmiah dari
buku “Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”
E. Sistematika Pembahasan
Dalam Penelitian penelitian ini, peneliti akan menyusun alur
penelitian secara sistematis. Peneliti akan membagi alur penelitian ke dalam
beberapa bab sebagai langkah untuk menyusun alur penelitian secara
13

sistematis. Dalam beberapa bab tersebut, terdapat sub-bab demi mendukung


satu pembahasan ke pembahasan yang lain. Lebih jelasnya akan saya uraikan
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Berisi latar belakang penelitian, batasan dan
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II Pembahasan mengenai kajian teoritis yang terdiri dari
pemaparan kerangka konsep yakni pengertian dan tinjauan
organisasi kemasyarakatan, , negara hukum, hak asasi
manusia dan perlindungan keamanan.
Bab III Tinjauan Umum tentang Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang. Bab ini membahas secara menyeluruh
tentang Perppu, hal ihwal kegentingan yang memaksa yang
menjadi syarat ditetapkannya Perppu dan kedudukan
Perppu dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
tahun 2017.
Bab IV Merupakan Bab yang membahas Hak Kebebasan Berserikat
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2017. Bab ini membahas pertimbangan
Presiden dalam menetapkan Perppu Nomor 2 tahun 2017
dan kesesuaian hak kebebasan berserikat dalam UUD 1945
dan Perppu Nomor 2 tahun 2017.
Bab V Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan
penelitian, yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang
didapatkan berdasarkan paparan dari bab-bab sebelumnya
BAB II
KEBEBASAN BERSERIKAT

A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah salah satu tempat yang
memberikan wadah untuk mengaktualisasikan kebebasan berpendapat
sebagai warga. Ormas juga memberikan kebebasan dalam berserikat dan
berkumpul. Pengertian Ormas tercantum dalam Pasal 1 Peraturan
Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 jo.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, yang berbunyi ―Organisasi yang didirikan dan dibentuk
oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang
berdasarkan Pancasila‖.1
Pada tahun 2013, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-
Undang Ormas baru yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985. Undang-undang
tersebut selanjutnya diubah dengan Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017, yang kemudian pada
tahun yang sama ditetapkan sebagai Undang-undang Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari HAM dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI yang dijamin oleh UUD
NRI Tahun 1945. Dengan adanya undang-undang ini Ormas yang ada di
Indonesia secara legalitas memiliki payung hukum dari pemerintah.

1
Muhammad Husen Azis, ‗Hak Berserikat Dan Berkumpul Warga Negara
Asing Dalam Pendirian Organisasi Kemasyarakatan Di Indonesia‘, Jurist-Diction,
1.2 (2018), 627-644.
14
15

Semua Ormas dituntut untuk tunduk pada Undang-undang yang berlaku


guna menciptakan kondisi bermasyarakat dan bernegara yang baik.
2. Pembentukan Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia
Pembentukan organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia
dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan pada status dari organisasi
kemasyarakatan tersebut. Dalam hal ini, organisasi kemasyarakatan di
Indonesia dalam dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Organisasi kemasyarakatan berbadan hukum
Organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum, adalah
organisasi yang mempunyai status badan hukum yang harus
mendaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum dapat melakukan kegiatan
usaha atau profit. Selain itu menurut Wirjono Prodjodikoro, badan
hukum juga dianggap dapat bertindak mempunyai hak-hak,
kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain
atau badan lain2. Sedangkan Ramlan Subekti menambahkan bahwa
badan hukum (rechtpersoon) di sini sama halnya seperti manusia,
dimana dapat digugat dan menggugat didepan hakim.3 Dikarenakan
atas hal tersebut bahwa organisasi kemasyarakatan khususnya yang
berbadan hukum disini berhak diperlakukan layaknya subyek hukum
yakni salah satunya adalah jaminan akan hukum guna mendapatkan
keadilan.
b. Organisasi kemasyarakatan non berbadan hukum
Organisasi kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum
terbentuk dengan sukarela dan tidak mengejar keuntungan atau
nirlaba, meskipun tidak berbadan hukum namun organisasi
kemasyarakatan harus didirikan dengan menggunakan akta notaris
serta memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga

2
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 2009), h. 28-29.
3
Chaidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987), h. 19.
16

(AD/ART). Terdapat struktur pengurusan yang jelas minimal


terdapat ketua, sekretaris, dan bendahara4. Perbedaan yang paling
signifikan antara organisasi kemasyarakatan non badan hukum
dengan organisasi kemasyarakatan berbadan hokum adalah bahwa
organisasi masyarakat non badan hukum di dalam pembentukannya
harus mendapat Surat Keterangan Terdaftar. Sedangkan organisasi
kemasyarakatan berbadan hukum di dalam pembentukannya tidak
perlu adanya Surat Ketarangan Terdaftar.

3. Regulasi Pembentukan Organisasi Kemasyarakat


Regulasi pembentukan Ormas yang terdisi dari warga negara
Indonesia (WNI) diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagai
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 jo. Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Ormas dapat
didirikan oleh minimal 3 (tiga) orang WNI dengan berbentuk badan
hukum maupun tidak berbadan hukum. Regulasi tersebut berdasarkan
pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2016, pertama-tama
adalah dengan mengajukan permohonan pendaftaran yang diajukan dan
ditandatangani oleh pendiri dan pengurus Ormas secara tertulis kepada
Menteri Dalam Negeri, yang dapat disampaikan melalui Gubernur atau
Bupati/Walikota, dalam hal apabila pendiri meninggal dunia atau
berhalangan tetap, permohonan pendaftaran Ormas dapat diajukan dengan
ditandatangani oleh pengurus Ormas. Selanjutnya, permohonan
pendaftaran Ormas tersebut harus dilampiri5:
a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris, yang berisi AD atau
AD/ART;
b. program kerja beserta susunan kepengurusan;
c. surat keterangan domisili sekretariat Ormas;

4
Vidya Prahassacitta, ‗LEGALITAS SUATU KOMUNITAS‘, Business-
Law.Binus.Ac.Id, 2017 <https://business-law.binus.ac.id/2017/12/31/legalitas-suatu-
komunitas/> [accessed 20 September 2019].
5
Azis, "Hak Berserikat Dan Berkumpul,... h. 627-644.
17

d. NPWP atas nama Ormas;


e. surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan atau tidak
dalam perkara di pengadilan; dan
f. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
Selanjutnya, persyaratan dan prosedur tata cara pendaftaran Ormas
yang didirikan oleh WNA lebih kompleks. Jika berdasarkan pada
Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2016, prosedur pengajuan
pendaftaran Ormas Nasional hanya melibatkan Menteri Dalam Negeri
untuk mendapatkan pengesahan, lain halnya dengan prosedur pengajuan
pendaftaran Ormas yang didirikan oleh WNA untuk dapat beroperasi di
Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 59
tahun 2016, bentuk dari Ormas yang didirikan oleh WNA hanya dapat
terdiri atas6:
a. Badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;
b. Badan hukum yayasan yang didirikan oleh WNA atau WNA
bersama-sama
WNI; atau
c. Badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing.
4. Kebebasan Berserikat di Indonesia
Berdasarkan pada prinsipnya, kebebasan berserikat antara lain
kebebasan untuk berkumpul dan berpendapat serta berekspresi.
Kebebasan untuk mendirikan dan bergabung dalam organisasi atau
kelompok tertentu. Di samping itu, kebebasan untuk menjalankan fungsi
administrasi organisasi atau kelompok. Serta kebenaran membuat aturan
organisasi dan menjalankan kegiatannya secara bersama-sama.7
Kebebasan untuk berkumpul sebagimana dijelaskan dalam
Undang-undang Dasar 1945 dan diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan, memperbolehkan setiap individu ataupun kelompok

6
Azis, "Hak Berserikat Dan Berkumpul,... h. 627-644.
7
Andanti Tyagita, ‗Prinsip Kebebasan Berserikat Dalam Serikat Buruh
Sebagai Upaya Perlindungan Dan Penegakan Hak Normatif Pekerja‘, Yuridika, 26.1
(2011), h. 3.
18

untuk berhubungan baik dalam hal politik maupun non politik. Hal ini
mengindikasikan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam
berserikat. Dalam kebebasan berserikat dan berkumpul terdapat dua
macam hak yang berbeda dan tidak dapat dipisahkan, yaitu: 8
1. Hak Kemerdekaan Berserikat
Kemerdekaan berserikat ialah hak manusia untuk menyatukan diri
dengan sesame manusia untuk waktu Panjang guna mencapai sesuatu
maksud
2. Kemerdekaan Berkumpul
Kemerdekaan berkumpul adalah hak manusia untuk membicarakan
bersama sesuatu persoalan.

B. Kerangka Teori
Penelitian skripsi ini dibantu oleh beberapa kerangka teori yang
disusun untuk mempermudah analisis dan interpretasi data penelitian. Adapun
kerangka teori yang dibangun yakni sebagai berikut:
1. Negara Hukum di Indonesia
a. Pengertian Negara Hukum
Istilah negara hukum di Indonesia sering disebut dengan istilah
rechtstaats atau the rule of law. Istilah tersebut merupakan istilah
yang timbul dari reaksi atas teori tujuan negara yang menimbulkan
kekuasaan otoriter di negara Eropa Kontinental. Aristoteles dari
Yunani berpendapat bahwa yang dimaksud negara hukum adalah
negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi
seluruh warga negara9. Dengan adanya keadilan dalam masyarakat,
maka akan tercapai suatu kebahagian dalam bernegara. Menurut
Padmo Wahjono, melihat perkembangan teori negara hukum, terlihat
8
Raja Adil Siregar, ‗Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berserikat,
Berkumpul Dan Mengeluarkan Pendapat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan‘, JOM Fakultas Hukum, 2.2
(2015), h. 6.
9
Moh. Koesnardi and Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, 1st edn (Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI, 1976), h. 75.
19

bahwa dalam pengertian rechtstaat sering dikaitkan dengan pengertian


demokrasi, sehingga pengertian negara hukum yang ideal adalah
―negara hukum yang demokratis‖.10
Menurut UUD 1945 dikatakan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machstaat)11. Dengan demikian, Negara tidak diperkenankan
melaksanakan segala aktivitasnya atas dasar kekuasaan pribadi atau
kelompok tertentu, tetapi harus berdasarkan pada hukum yang
berlaku. Di samping itu pula, UUD 1945 menjelaskan bahwa
pemerintahan berdasar atas sistem konstitusional (hukum dasar) tidak
bersifat absolutism (kekuasaan yang terbatas). Oleh karena itu, segala
kekuasaan yang berkaitan dengan kenegaraan dipandu langsung oleh
Presiden. Namun Presiden juga harus mematuhi hukum konstitusional
yang berlaku dalam menjalankan tugas negara.12
Hukum pada dasarnya harus menjadi acuan yang memberikan
perintah bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu. Konsep negara
hukum (rechtstaats) di Indonesia seyogyanya mampu menyesesuaikan
dengan nilai-nilai yang tercermin dalam Pancasila. Konsep negara
hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan
dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa.
Atas dasar ini maka penguasa tidak dibenarkan melakukan tindakan
sewenang-wenang kepada individu ataupun kelompok tertentu.
Menurut Rukmana Amanwinata dalam disertasinya menjelaskan
bahwa pembatasan kekuasaan dapat dilakukan melalui undang-

10
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, 2nd edn
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 8-9.
11
Christin S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), h. 86.
12
Kansil, Hukum Tata Negara,… h. 86-87.
20

undang atau peraturan perundang-undangan dengan asas legalitas


negara hukum.13
Indonesia termasuk salah satu negara yang terkategorikan
negara hukum. Sehingga dengan seluruh elemen yang berada di
dalamnya harus tunduk terhadap hukum. Hal ini menunjukkan bahwa
pada prinsipnya hukum dapat dikatakan kekuasaan tertinggi di dalam
suatu negara. Seluruh alat perlengkapan negara apa pun namanya,
termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung
tinggi hukum tanpa kecuali.14 Muhammad Tahir Azhary mengutip
pendapat Oemar Seno Adji mengatakan bahwa, negara hukum
Indonesia mempunyai ciri khas tertentu sebab Indonesia mempunyai
pandangan hidup bernegara tersendiri yaitu Pancasila.15 Pancasila
diangkat sebagai fondasi utama dan sumber hukum, maka dengan
demikian negara hukum Indonesia dapat pula disebut negara hukum
Pancasila.
Negara Indonesia memiliki ciri khas tertentu untuk
merepresentasiskan dalam negara sebagai negara hukum yang
berasaskan pada Pancasila. Salah satu contoh kongkritnya, pada sila
pertama dijelaskan adanya jaminan terhadap kebebasan beragama
(freedom of religion). Selanjutnya Muhammad Tahir Azhary
mengatakan bahwa konsep Negara Hukum Pancasila meliputi
beberapa komponen berikut:
1. Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
2. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
3. Kebebasan beragama dalam arti positif

13
Rukmana Amanwinata, ‗Pengaturan Dan Batas Implementasi
Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945‘ (Universitas
Padjajaran, 1996), h. 122-123.
14
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan &
Hak Asasi Manusia, Memahami Proses Onsolidasi Sistem Demokrasi Di Indonesia,
1st edn (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003), h. 12.
15
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara
Madinah Dan Masa Kini (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 69.
21

4. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;


5. Asas kekeluargaan dan kerukunan.
b. Prinsip Negara Hukum
Prinsip negara hukum di negara Indonesia lebih mengarah pada
prinsip yang tertanam dalam Pancasila. Hal ini merupakan salah satu
ciri khas negara hukum yang diterapkan di negara Indonesia. Padmo
Wahjono, dalam bukunya berjudul "Indonesia Berdasar atas Hukum"
menyatakan bahwa ada berbagai pendapat mengenai persyaratan
teoritis yang harus dipenuhi suatu negara hukum. Dengan
membandingkan rumusan-rumusan yang ada, Padmo mengemukakan
4 (empat) pokok-pokok prinsip negara hukum yang diterapkan di
Indonesia, yaitu16:
1. Melindungi dan menghormati hak-hak kemanusiaan
2. Mekanisme kelembagaan negara yang demokratis
3. Adanya suatu tertib hukum
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang bebas.
Berdasarkan pada empat prinsip yang dikemukakan oleh Padmo
Wahjono di atas dapat diketahui bahwa negara hukum Indonesia
berdasarkan prinsipnya lebih mengarah pada pemenuhak atas hak-hak
yang dimiliki masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Arif
Hidayat yang mengatakan bahwa secara umum konsep negara hukum
pada prinsipnya mencakup empat tuntutan dasar, yakni17:
1. Kepastian hukum yang berarti bahwa hukum yang berlaku bersifat
pasti, dan berlaku bagi setiap siatuasi tersentu dan untuk umum.
2. Hukum berlaku sama bagi seluruh penduduk. Dalam arti bahwa
hukum tidak memandang adanya kelompok tertentu, semuanya
dianggap sama jika melanggar hukum.

16
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, 1st edn
(Jakarta: Graha Indonesia, 1983).
17
Arif Hidayat, ‗Kepastian Hukum Harus Sejalan Dengan Rasa Keadilan‘,
Antaranews.Com, 2010 <https://www.antaranews.com/berita/172595/kepastian-
hukum-harus-sejalan-dengan-rasa-keadilan> [accessed 20 September 2019].
22

3. Adanya legitimasi demokratis dalam pembuatan hukum


4. Menjunjung tinggi martabat manusia
Selanjutnya Padmo Wahjono, mengatakan ada 5 (lima) unsur
formal negara hukum Indonesia, yaitu meliputi18:
1. Bersumber pada Pancasila;
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi
negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat, Presiden
mandataris MPR bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat yang
merupakan bagian dari MPR merupakan lembaga pembentuk
undangundang;
3. Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, tidak bersifat
absolut;
4. Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan
5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka.

c. Ciri Negara Hukum di Indonesia


Negara hukum Indonesia merupakan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Nilai-nilai tersebut diinterpretasikan secara luas
berdasarkan kesepakatan. Hal ini tergambar dalam pembukaan UUD
1945 yang memuat rumusan Pancasila. Pancasiala menjadi sumber
hukum tertinggi bagi negara hukum Indonesia. Pembukaan UUD 1945
adalah nilai tertinggi untuk menuntun penyusunan pasal-pasal dalam
UUD 1945 guna menghindari penyimpangan terhadap falsafah yang
terkandung di dalamnnya.
Kekuasaan tertinggi negara Indonesia adalah pemimpin yaitu
Presiden. Pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya tentu harus
berpedoman pada nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan cita
negara Indonesia, yang sekaligus merupakan moral ketatanegaraan.
Ismail Saleh sebagaimana dikutip oleh Ari Wahyudi Hertanto dan

18
Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, h. 11.
23

Sugito Sujadi, menyatakan bahwa sebagai pandangan hidup bangsa


Indonesia, maka seluruh segi kehidupan bangsa Indonesia harus
diwarnai oleh nilai-nilai luhur Pancasila, termasuk segi kehidupan
hukumnya. Oleh karena itu, sistem hukum negara Indonesia harus
berlandaskan pada Pancasila. Berikut beberapa ciri dari sistem hukum
Negara Pancasila adalah19:
1. Kehidupan beragama perlu mendapat jaminan dan perlindungan
hukum sepenuhnya. Dalam sistem hukum Pancasila, agama
beserta sanksinya perlu dikaji secara khusus.
2. Perlu ada ketentuan-ketentuan hukum yang melindungi harkat dan
martabat manusia yang hidup di negara Indonesia tanpa
membedakan asal keturunan dan status sosial. Ini bearti hukum
memancarkan rasa kemanusiaan, yang dapat dilihat misalnya dari
adanya bantuan hukum bagi para tersangka yang sedang
berperkara. Juga adanya penasehat hukum yang mendampingi
sejak ditahan sebelum terbukti bersalah, dan diperlakukan secara
manusiawi.
3. Hukum nasional berlaku sama bagi setiap masyarakat Indonesia
tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, kedudukan
sosial. Maksudnya adalah setiap orang harus dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing.
4. Memiliki wajah kerakyatan yang perlu ditampilkan dalam
peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan perundang-
undangan yang diciptakan adalah untuk kepentingan rakyat,
memberi manfaat untuk rakyat.
5. Konsep keadilan. Barometer keadilan harus berdasar pada rasa
keadilan seluruh rakyat Indonesia. Setiap warga negara atau
penduduk harus merasa mendapat perlindungan dan pengayoman
dari para aparat penegak hukum. Rasa keadilan yang dapat

19
Ari Wahyudi Hertanto and Sugito Sujadi, Ilmu Negara, Konstitusi, Dan
Keadilan, 1st edn (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2007), h. 10-13.
24

dirasakan sejak proses ditangkap, ditahan, dihadapkan didepan


pengadilan sampai mendapat keputusan yang mempunyai
kekuatan pasti.
Pada perkembangan negara hukum di Indonesia terdiri dari
beberapa unsur penting. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh
Stahl, unsur-unsur negara hukm secara umum dapat dilihat sebagai
berikut20:
1. Didasarkan atas kedaulatan rakyat.
2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah
pengaruh eksekutif.
6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau
warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan
pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian
yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran
warga negara
Adapun pendapat lain juga mengatakan bahwa negara hukum
Indonesia tidak dapat dipisahkan oleh nilai-nilai yang terkandung
dalam lima sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan oleh Azhary, dia
mengemukakan bahwa terdapat 7 (tujuh) unsur negara hukum
Indonesia, yaitu:
1. Bersumber pada Pancasila
2. Menganut sistem konstitusi

20
Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press, 2003), h.
4.
25

3. Kedaulatan rakyat
4. Persamaan dalam hukum
5. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain
6. Pembentukan undang-undang
7. Sistem MPR (Majelis Permusyawartan Rakyat).

d. Hak Asasi Manusia (HAM)


1). Pengerti Hak Asasi Manusia (HAM)
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) telah banyak ditemui
diberbagai literatur. Secara umum HAM dapat diartikan sebagai suatu
hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa yang tidak dapat diganggu gugat keberadaannya. Hak
asasi manusia adalah hak dasar yang dalam hal ini dianggap sebagai
hak yang dimiliki setiap manusia, yang melekat atau inheren padanya
karena dia adalah manusia. Adapun pengertian hak asasi manusia
menurut John Locke adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. 21
Adapun pengertian HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia22
Dari pengertian di atas diketahui bawha HAM merupakan
kondrat setiap manusia ataupun masyarkat yang telah ditetapkan oleh
Tuhan sejak lahir. Hak Asasi Manusia ada bukan karena diberikan

21
A. Ubaedillah and Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), Demokrasi,Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 148.
22
Fauzan Khairazi, ‗Implementasi Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di
Indonesia‘, Inovatif, 8.1 (2015), 72-94.
26

oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan hak kodrati diri
manusia sejak pertama kali lahir di dunia.23 Salah satu diantaranya
yaitu hak atas kebebasan berserikat (right to freedom of association),
yang dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang
menyatakan, ―Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Dalam bukunya Miriam Budiarjo menyatakan bahwa HAM
secara komprehensif mengalami perkembangan.24 Hal ini disebabkan
oleh perubahan sosial ataupun lingkungan sekitar. Meriam
menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) perbedaan perkembangan HAM,
yaitu:
a) Generasi pertama adalah hak sipil dan politik yang sudah lama
dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran di negara-
negara barat,
b) Generasi Kedua adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya yang gigih
diperjuangkan oleh negara-negara komunis dalam masa Perang
Dingin (1945-awal tahun 1970-an) sering dinamakan Dunia Kedua,
kemudian hak ini didukung negara-negara yang baru membebaskan
diri dari penjajahan kolonial, dan yang sering disebut Dunia Ketiga,
c) Generasi ketiga adalah hak atas perdamaian dan hak atas
pembangunan (development), yang terutama diperjuangkan oleh
negara-negara ketiga.

2). Prinsip Hak Asasi Manusia


Pada prinsipnya setiap orang memiliki hak tertentu untuk
menjunjung Hak Asasi Manusia yang dimilikinya. Setiap orang
diberikan kebebasan atas hak dirinya selama masih belum
bertentangan dengan undang-undang yang disepakatinya. Kebanyakan

23
Suseno, Etika Politik...,h. 121.
24
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 5th edn (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2015), h. 12.
27

HAM saling berhubungan dan menjangkau aspek-aspek yang


berbeda-beda dari tiga kepedulian utama, yaitu integritas, kebebasan
dan kesetaraan status semua umat manusia.25
Bentuk dari kesungguhan negara Indonesia dalam
menghormati, melindungi, dan memajukan HAM bagi warga
negaranya, kemudian disahkan sejumlah undang-undang seperti26:
a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Kebebasan
Menyatakan Pendapat;
b) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM;
Pada undang-undang tersebut disebutkan bahwa pengaturan
mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman
pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa.
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia.
Materi Undang- Undang ini tentu saja harus disesuaikan dengan
kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.27
c) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
Undang-undang ini lahir karena salah satu bentuk amanah
dari Bab IX pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang HAM. Negara menyadari bahwa perlunya suatu
lembaga yang menjamin akan hak pribadi seseorang. Dengan
jaminan inilah, setiap individu bisa mengetahui hak dan batasan
atas dirinya.

25
Yusuf Daeng, HAM Dan Keadilan (Pekanbaru: Alfa Riau, 2007), h. 57.
26
Setiaji and others, ‗Kajian Hak Asasi Manusia Dalam Negara the Rule of
Law: Antara Hukum Progresif Dan Hukum Positif‘, Lex Scientia Law Review, 1.1
(2017), h. 69-80.
27
Bambang and Supriyanto, ‗Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif Di Indonesia‘, Al- Azhar Indonesia Seri
Pranata Sosial, 2.3 (2014), h. 156.
28

d) Amandemen berbagai Undang-Undang untuk diselaraskan dengan


prinsip-prinsip HAM, seperti Undang-Undang Parpol, Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman, pencabutan Penetapan Presiden
Nomor 11 tahun 1963, dsb.
e) Peluncuran Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) dalam
rangka memberikan jaminan bagi peningkatan pemajuan dan
perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan
nilai-nilai adat istiadat, budaya, dan agama bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.

3).Batasan Pengadilan Hak Asasi Manusia


Fungsi adanya Undang-undang HAM tidak lain untuk
melindungi segala hak individu ataupun kelompok tertentu dalam
menjalankan segala aktivitasnya. Dalam hukum nasional, yang mana
tertera dalam Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, dinyatakan bahwa setiap orang wajib
menghormati HAM orang lain dan atas dasar itulah, setiap orang
dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam UUD 1945 (yang telah diamandemen), menjelaskan
mengenai masalah Hak Asasi Manusia. Hal ini dicantumkan secara
khusus dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan
hasil amandemen kedua tahun 2000. Pemerintah untuk melaksanakan
amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas,
dibentuklah Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan
Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan
Hak Asasi Manusia.28

28
Bambang dan Supriyanto, "Penegakan Hukum,... h. 156.
29

a) Pertama, definisi pelanggaran Hak Asasi Manusia dideskripsikan


sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak
mendapatkan atau di khawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 ayat 6).
b) Kedua, hak untuk hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat di
kecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan.
c) Ketiga, dalam Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak
untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum
internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang di
jamin oleh hukum Indonesia oleh negara Republik Indonesia
menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional.
d) Keempat, di dalam Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai berikut : Untuk mengadili pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat di bentuk pengadilan dalam ayat (1) di
bentuk dengan Undang- Undang dalam jangka waktu paling lama
4 tahun sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai
mana dimaksudkan dalam ayat (2) di adili oleh pengadilan yang
berwenang. Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa yang berwenang mengadili pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat adalah pengadilan Hak Asasi Manusia.
30

2. Perlindungan Keamanan
Indonesia sebagai negara hukum serta berdasar kepada Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
sebagai dasar berbangsa dan bernegara memiliki kewajiban untuk
menjaga dan memastikan terjaminnya keamanan warga negara.
Perlindungan keamanan tersebut sebagaimana yang telah
diamanahkan oleh Undang-Undang juga menjadi tujuan dari penerapan
syariat dalam Islam. Terdapat 5 hal pokok yang menjadi fokus utama
implementasi tujuan-tujuan syariat dalam Islam yaitu : Hifdh al- Dīn,
Hifdh al- Nafs, Hifdh al- Nasl, Hifdh al- „Aql, Hifdh al- Māl.29 Salah satu
manifestasi dari kelima tujuan pokok ini adalah realisasi perlindungan
keamanan dalam kehidupan manusia.
Dalam penerapannya, perlindungan keamanan merupakan
pengejawantahan lebih lanjut dari perlindungan diri dalam konteks
bernegara. Karena sejatinya sebuah negara merupakan kumpulan dari
individu-individu (masyarakat) yang berkumpul dan bersepakat untuk
menciptakan kehidupan yang sejahtera.30
Di dalam suatu negara terdapat berbagai macam tipe masyarakat
dengan kepentingan masing-masing. Terlebih Indonesia dengan
semboyan bhinneka tunggal ika semakin menegaskan bahwa
perlindungan keamanan haruslah berorientasi pada keberagaman
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang berlaku
haruslah berkiblat pada kepentingan umum.
Pembahasan tentang kepentingan umum dalam hukum islam
dikenal dengan maṣlaḥah al- „ammah. Kemaslahatan umum merupakan
suatu keharusan untuk direalisasikan dalam kehidupan. Oleh karena itu
kepentingan umum harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan di

29
Nispan Rahmi, ‗Maqasid Al- Syari‘ah; Melacak Gagasan Awal‘, Jurnal
Syariah: Jurnal Ilmu Hukum Dan Pemikiran, 17.2 (2017), h. 172.
30
Adnan, Ilmu Politik; Pengantar Pemikiran Politik Islam (Gorontalo:
Sultan Amai Press, 2007), h. 39.
31

seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam salah satu kaidah disebutkan


bahwa ― kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan individu‖.

C. Tinjauan (Review)
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada beberapa karya
ilmiah terdahulu, tentunya terdapat perbedaan yang menjadi fokus masalah di
dalam rujukan dengan fokus masalah yang peneliti teliti, diantarannya :
1. Skripsi berjudul ―Tinjauan Yuridis Pengawasan Pemerintahan Terhadap
Pelaksanaan Fungsi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Keagamaan‖
oleh Prandy Arthayoga Louk Fanggi Sarjana Strata Satu (S1) Departemen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
membahas tentang mekanisme pengawasan pemerintah terhadap
pelaksanaan fungsi organisasi kemasyarakatan bidang keagamaan di kota
Makassar. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi peneliti adalah peneliti
dalam skripsinya membahas tentang hak kebebasan berserikat dalam
Perppu Ormas.31
2. Skripsi Berjudul ―Perbandingan Pengaturan Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-
Undang‖ oleh Khoulud Beby Bestiani Sarjana Strata Satu (S1) Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia
membahas tentang kelebihan ataupun kekurangan Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Ormas. Perbedaan skripsi ini
dengan skripsi peneliti adalah peneliti dalam skripsinya membahas

31
Prandy Arthayoga Louk Fanggi, Tinjauan Yuridis Pengawasan
Pemerintahan Terhadap Pelaksanaan Fungsi Organisasi Kemasyarakatan Bidang
Keagamaan, (Skripsi Universitas Hasunuddin,2017) Diakses pada 21 Oktober 2019
pukul 13.21 WIB.
32

pertimbangan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.32
3. Jurnal berjudul ―Implikasi Yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan di
Indonesia‖ oleh Dian Kus Pratiwi Dosen Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran membahas tentang implikasi pasca diterapkannya Perppu
Nomor 2 tahun 2017. Perbedaan jurnal ini dengan skripsi peneliti adalah
peneliti dengan skripsinya menjelaskan perihal pertimbangan Presiden
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun
2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan.33

32
Khoulud Beby Bestiani, Perbandingan Pengaturan Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang, (Skripsi Universitas Islam Indonesia,
2018), diakses pada tanggal 1 November 2019 pukul 22.13 WIB
33
Dian Kus Pratiwi, Implikasi Yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia (Jurnal
Univesitas Padjajaran, 2017), diakses pada tanggal 29 Oktober 2019 Pukul 09.21
WIB
BAB III
Tinjauan Umum Tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang

A. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang


1. Pengertian Perppu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau sering
disebut Perppu merupakan salah satu badan hukum yang diterapkan di
Indonesia. Peppu ini dibuat oleh Presiden untuk mengatasi kegentingan
yang terjadi pada nagara. Dasar hukum utama Perppu dijelaskan pada
Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945. Undang-undang tersebut menjelaskan
bahwa, ―Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang‖.1
Dengan demikian, Perppu dapat didefinisikan sebagai suatu peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden tanpa persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 UUD Negara
Republik Indonesia 1945.
Sedangkan menurut pandangan Titik Triwulan Tutik dalam
bukunya, ia menyebutkan bahwa Perppu perlu diadakan agar keselamatan
negara dijamin oleh pemerintah karena dalam keadaan yang genting, yang
memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan cepat.2 Hakikat lahirnya
ketatapan Perppu yang dikeluarkan Presiden ini untuk mengantisipasi
keadaan ―genting yang memaksa‖. Adanya unsur paksaan keadaan
tersebut untuk segera ditindak lanjuti melalui ketatapan Perppu. Sehingga
dengan diterbitkannya Perppu oleh Presiden berharap akan dapat
memberikan solusi bagi keadaaan yang perlu untuk segera diatasi.
Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isinya
seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Indonesia).
2
Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara..., h. 49.
33
34

keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan


pemerintah3. Perppu diterbitkan tanpa harus melibatkan DPR, hanya
cukup dengan ketetapan Presiden. Sehingga masa berlaku Perppu relatif
singkat, karena hal tersebut perlu segara ditindaklanjuti dan disepakati
oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Hal ini selaras dengan yang
disampaikan oleh Ni‘matul Huda dalam bukunya bahwa Perppu tersebut
harus segera dibahas dan dipersidangkan untuk dibahas dan disetujui
untuk diundangkan menjadi Undang-Undang, jika tidak disetujui oleh
DPR maka Perppu itu demi hukum harus dicabut4
Salah satu contoh Perppu yang kemudian disetujui sebagai
Undang-undang yaitu terjadi pada Undang-undang Nomor 16 Tahun
2017. Undang-undang tersebut awalnya merupakan ketetapan yang
berbentuk Perppu, namun ketetapan Perppu segera disetujui oleh DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat), lalu Perppu tersebut resmi sebagai Undang-
undang. Kandungan dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 ini
membahas Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi
Undang-Undang.
Oleh karena itu, Peppu adalah suatu peraturan pemerintah yang
diterbitkan oleh Presiden sebagai suatu hukum atau Undang-undang di
Indonesia yang berlaku sementara. Perppu memiliki kewenangan yang
sama dengan undang-undang sebelum disetujui oleh DPR.5 Ketika DPR
menyetujui terhadap Perppu tersebut, maka Perppu sudah resmi dikatakan
sebagai Undang-Undang negara Republik Indonesia.

3
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, 1st edn (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), h. 3.
4
Ni‘matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi Dan Judicial Review
(Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 60.
5
Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Jakarta: Kanisius, 1998)h.
193.
35

2. Fungsi Perppu di Indonesia


Indonesia merupakan negara demokrasi yang juga memiliki hukum
dalam menjalankan segala kegiatan masyarakatnya. Dalam negara hukum
yang modern ini, menurut A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip
oleh Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, peraturan perundang-
undangan mempunyai fungsi sebagai berikut:6
1. Memberikan bentuk pada endapan-endapan nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat;
2. Produk fungsi negara di bidang pengaturan; dan
3. Metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan
mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang
diharapkan.
Di samping itu, berbagai jenis peraturan perundang-undangan di
Negara Republik Indonesia yang tersusun secara hierarki, mengakibatkan
pula adanya perbedaan dalam hal fungsi maupun materi muatan dari
berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam hierarki
peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa Undang-undang dan
Perppu mempunyai kedudukan yang sama. Kedudukan ini dalam artian
Perppu yang belum disetujui oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Berdasarkan hal itu pula sehingga fungsi undang-undang dan Perppu
adalah sama, yaitu7:
1. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyebutnya. Fungsi ini
terlihat jelas di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
karena pasal-pasal tersebut menyatakan secara tegas hal-hal yang
harus diatur dengan undang-undang;

6
Haposan Siallagan and Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-Undangan Di
Indonesia (Medan: UHN Press, 2008), h. 38.
7
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi Dan
Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 215.
36

2. Pengaturan dibidang materi konstitusi seperti: 1) organisasi, tugas, dan


susunan lembaga negara dan 2) tata hubungan antara negara dan
warga negara dan antar warga negara/penduduk secara timbal balik.
Adapun berdasarkan pada hirarki semua jenis peraturan perundang-
undangan mempunyai fungsi tertentu dalam penerapannya. Tetapi secara
umum menurut Bagir Manan sebagimana dalam bukunya Hamzah Halim
menyatakan bahwa fungsi peraturan perundang-undangan dibagi menjadi
2 (dua) kelompok utama, yaitu terdiri dari fungsi internal dan fungsi
eksternal8. Berikut akan dijelaskan dibawah ini secara terperinci:
1. Fungsi Internal
Fungsi internal adalah fungsi peraturan perundang-undangan
sebagai sub-sistem hukum terhadap sistem kaidah hukum pada
umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan
menjalankan beberapa fungsi antara lain:
a. Fungsi penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem
kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui
beberapa cara, yaitu melalui keputusan hakim, kebiasaan yang
timbul di dalam praktik dalam kehidupan masyarakat atau negara,
dan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, peraturan
perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum.
b. Fungsi pembaharuan hukum. Pembentukan peraturan perundang-
undangan dapat direncanakan, sehingga pembaruan hukum dapat
pula direncanakan. Fungsi pembaruan terhadap perundang-
undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan
perundang-undangan masa Belanda dan peraturan perundang-
undangan nasional yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan
perkembangan baru.

8
Hamzah Halim and Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun & Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoretis & Praktis
Disertai Manual (Jakarta: Kencana, 2013), h. 61-64.
37

c. Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem


hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan
kolonial yang harus ditata kembali. Pembaruan sistem hukum
nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem
hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang
harmonis satu sama lain.
d. Fungsi kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan asas penting
di dalam tindakan hukum dan penegakan hukum dan peraturan
perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang
lebih tinggi daripada hukum kebiasaan dan hukum adat atau
yurisprudensi.
2. Fungsi eksternal
Fungsi eksternal adalah keterkaitan peraturan perundang-
undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal bisa juga
disebut fungsi sosial hukum, dan dapat dibedakan menjadi:
a. Fungsi perubahan. Fungsi perubahan yaitu hukum sebagai sarana
rekayasa sosial dimana peraturan perundangundangan diciptakan
atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang
ekonomi, sosial, maupun budaya.
b. Fungsi stabilitas. Peraturan perundang-undangan dibidang pidana,
ketertiban, dan keamaan merupakan kaidah-kaidah yang terutama
bertujuan menjamin stabilitas masyarakat.
c. Fungsi kemudahan. Fungsi kemudahan dapat berfungsi sebagai
sarana mengatur berbagai kemudahan peraturan yang berisi
insentif, seperti keringan pajak.
B. Syarat Pembuatan Perppu
Berdasarkan pada definisi yang diuraikan di atas, Perppu tergolong pada
peraturan pemerintah yang bersifat sementara yang ditetapkan oleh Presiden,
tanpa persetujuan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Perppu diterbitkan pada
kondisi yang memang membutuhkan untuk segera mengeluarkan peraturan
38

perundang-uandangan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penerbitan dan


penetapan Perppu harus memenuhi syarat yang berlaku.
Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa syarat materiil untuk penetapan
Perppu yaitu9:
1. Adanya kebutuhan mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity;
2. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan
waktu; dan
3. Tidak tersedianya alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi
keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk
mengatasi keadaan tersebut.
Sedangkan berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 138/PUU-VII/2009, sebagaimana yang tertera dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang menyebutkan
setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal ihwal kegentingan
penerbitan Perppu, yaitu10:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara rnernbuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.

9
Jimly Ashiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pas,
h. 154-155ca RefOrmasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006).
10
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
Menjadi Undang-Undang (Indonesia).
39

Apabila ketiga syarat di atas sudah terpenuhi, Presiden selaku kepala


pemerintahan dengan kewenangan konstitusionalnya untuk mengatur
beberapa hal yang perlu diatasi oleh Negara. Seluruh materi yang dimuat
dalam Perppu tentunya tergantung kebutuhan yang dihadapi di lapangan.
Bahkan ketentuan tersebut yang menyangkut perlindungan hak asasi manusia
yang dijamin oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 dapat saja ditentukan oleh Perppu. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menghadapi keadaan darurat guna melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia.11
Pendapat lain mengatakan bahwa Perppu diterapkan berdasarkan
kegentingan yang memaksa. Dua keadaan ini ditarsirkan bahwa terdapat dua
alasan dalam penetapan Perppu, yaitu12.:
1. Adanya keadaaan krisis (Crisis)
Keadaan krisis ini adalah suatu keadaan apabila terdapat gangguan
yang menimbulkan kegentingan yang bersifat mendadak (a grave and
sudden disturbunse). Apabila tidak segera dikeluarkan ketetapan Perppu
akan berakibat pada keamanan negara.
2. Aadanya keadaan kemendesakan (Emergency)
Kemendesakan apabila terjadi keadaan yang tidak diperhitungkan
sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu
permusyawaratan terlebih dahulu atau telah ada tanda-tanda permulaan
yang nyata dan menurut nalar dan wajar (Reasonableness) yang apabila
tidak diatur segera menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun
jalannya pemerintahan
Presiden adalah kompoten terpenting yang memiliki kekuatan hukum
terbesar, karena Presiden memiliki banyak pengetahuan tentang akses
infOrmasi dalam proses pembuatan hukum. Presiden merupakan pemengan
hukum yang mengerti peraturan tersebut dibuat. Pada pasal 4 dan 5 UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Pasal 4 ayat (1)

11
Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat..., h. 12-13..
12
Manan, Lembaga KePresidenan..., h. 60.
40

Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut


UUD Pasal 5 ayat (2) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.13
Kemudian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang mengatur
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, telah
mendudukkan Perppu sejajar dengan Undang-Undang. Dalam hal ini,
ketentuan Pasal 22 Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945 pada
intinya berisikan:
1. Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
2. Kewenangan tersebut hanya dapat digunakan apabila dalam keadaan
kegentingan yang memaksa; dan
3. Perppu tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada
persidangan berikutnya14
Pada umumnya pembentukan peraturan perundangan dibuat dalam
keadaan yang normal, namun pembentukan Perppu dilakukan dalam keadaan
tidak normal. Kedaan yang tidak normal ini akan menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan jika tidak segera diselesaikan. Keadaan ini tergolong pada
keadaan darurat yang mendesak untuk segera bertindak. Dalam praktiknya,
kategori hal ihwal kegentingan yang memaksa mengandung arti luas yaitu
tidak terbatas pada keadaan kegentingan atau memaksa, tetapi termasuk
kebutuhan yang mendesak pula. Mengenai syarat-syarat yang perlu diatur
dalam keadaan darurat atau keadaan yang memaksa dapat dibedakan menjadi
syarat materiil dan syarat formil. Menurut S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly
Asshiddiqie, membedakan keadaan darurat dalam tiga kategori yaitu:

13
Jazim Hamidi, Hukum Lembaga KePresidenan Indonesia (Bandung:
Alumni, 2010), h. 88..
14
Ali Marwan Hsb, ‗Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Compelling Circumstances of The
Enactment Government Regulation In Lieu Of Law)‘, Legislasi Indonesia, 14.1
(2017), h. 109-122.
41

1. Keadaan darurat karena perang (State of War, atau State of Defence),


yaitu keadaan perang bersenjata;
2. Keadaan darurat karena ketegangan (State of Tension) termasuk
pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa
politik;
3. Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang
memaksa (innere notstand). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat,
tetapi ada kepentingan internal pemerintahan. Maka dapat ditempuh
dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum.
Di samping itu pula, Dalam putusan yang lain juga disebutkan, yaitu
putusan MK Nomor 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, MK berpendapat
bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan
adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau
keadaan perang. Pada saat itu dinyatakan bahwa perihal "kegentingan yang
memaksa" menjadi hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang
kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan
sebagai Undang-undang15
Dengan demikian, berdasarkan pada beberapa pendapat di atas
mengenai keadaan kegentingan yang memaksa tidak boleh dicampur adukan
dengan keadaan bahaya. Dasar pembentukan Perppu oleh Presiden didasarkan
atas peristiwa tidak normal suatu negara yang berwujud keadaan darurat
negara (state of emergency). Dan kandungan dari keadaan darurat negara
menimbulkan kegentingan yang memaksa terdiri dari 3 syarat ialah adanya
kebutuhan yang mendesak untuk bertindak (reasonable necessity), waktu
yang tersedia terbatas sehingga terjadi kegentingan waktu (limited time), serta
tidak tersedianya alternatif lain untuk mengatasi keadaan tersebut.
Dalam pandangan hukum Islam, diterbitkannya Perppu merupakan
ketetapan yang bersifat memaksa karena menghadapi keadaan yang harus

15
Fitra Arsil, ‗Menggagas Pembatasan Pembentukan Dan Materi Muatan
Perppu: Studi Perbandingan Pengaturan Dan Penggunaan Perppu Di Negara-Negara
Residensial‘, Hukum & Pembangunan, 48.1 (2018).
42

segera diselesaikan. Dalam Al-Qur‘an Surat Al-Baqarah Ayat 173 dijelaskan


sebagai berikut:

ِ ِ
ْ ‫اْلِْن ِزي ِر َوَما أُه مل بِِه لغَ ِْْي اللم ِه ۖ فَ َم ِن‬
‫اضطُمر َغْي َر بَ ٍاغ َوََل‬ َ ‫إِمَّنَا َحمرَم َعلَْي ُك ُم الْ َمْيتَةَ َوالد‬
ْ ‫مم َو ََلْ َم‬

‫يم‬ ِ ‫ع ٍاد فَ ََل إِ ْْث علَي ِه ۖ إِ من اللمه َغ ُف‬


ٌ ‫ور َرح‬
ٌ َ َْ َ َ

Artinya: ―Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,


daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama)
selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa, ketika dalam keadaan
terpaksa maka Islam memperbolehkan untuk bertindak sesuatu meskipun hal
demikian dilarang. Berlakunya suatu keadaan bahaya atau keadaan darurat
dalam hukum tata negara menyebabkan perbuatan yang bersifat melawan
hukum (onrecht). Hal demikian dapat dibenarkan untuk dilakukan karena
adanya kebutuhan yang mengharuskan yang sulit tercapai apabila
menggunakan norma objektif. Bagitupun dengan penetapan Perppu, jika
dipandang dengan hadirnya Perppu dapat menyelesaikan persoalan maka
Presiden dibolehkan menetapkannya.
Namun di samping itu, juga perlu dipertimbangkan segala hal yang
akan berdampak pada ditetapkannya Perppu tersebut. Salah satu yang
terpenting dalam penetapan Perppu yaitu harus berdasarkan pada kebutuhan
masyarakat, dengan demikian segala ketetapannya harus bersifat adil, tanpa
harus ada yang terdiskriminasi. Dalam Al-Qur‘an Surat An-Nisa ayat 58
dijelasakan bahwa:
43

ۖ ِ ِ ‫ماس أَ ْن ََْت ُك ُموا بِالْ ََ ْد‬ ِ ِ


َ ْ َ‫إِ من اللمهَ يَأْ ُم ُرُك ْم أَ ْن تُ َؤُّدوا ْاْل ََمانَات إِ َ َٰل أ َْهل َها َوإِذَا َح َك ْمتُ ْم ب‬
ِ ‫ْي الن‬

ِ ‫إِ من اللمه نَِِ مما يَِظُ ُكم بِِه ۖ إِ من اللمه َكا َن ََِسيَا ب‬
‫ص ًْيا‬ َ ً َ ْ َ َ

Artinya: ―Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat‖.
Ayat Al-Qur‘an di atas menerangkan bahwa Allah memerintahkan
untuk menetapkan hukum atau amanah berdasarkan pada yang berhak
menerimanya. Artinya dikeluarkannya Perppu oleh Presiden harus
berdasarkan pada kepentingan yang memang seharusnya dibutuhkan.
Diharusnya mengedepankan kepentingan publik dari pada kepentingan
pribadi. Hal ini dilakukan guna menerapkan hukum yang adil sesuai dengan
tuntutan yang terkandung dalam Al-Qur‘an.
C. Kedudukan Perppu dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan
Perppu termasuk dalam salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan yang diterapkan di Indonesia. Perppu juga memiliki kekuatan
hukum yang sama dengan Undang-undang yang lain. Berdasarkan pada
hirarki Perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat diketahui bahwa
Undang-undang dan Perppu memiliki kedudukan yang sama, setara dalam
posisi penegakan hukumnya. Perppu mempunyai hirarki yang setingkat
dengan Undang-undang, tatapi Perpu terkadang dikatakan tidak sama dengan
undang-undang karena belum memiliki persetujuan dari DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat)16
Berdasarkan pada pembentukan dan keadaannya, Undang-undang
dibentuk oleh Presiden dalam keadaan normal dengan persetujuan DPR,

16
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan..., h. 57.
44

sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden dalam keadaan genting yang


memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah kemudian yang membuat
kedudukan Perppu yang dibetuk hanpa persetujuan DPR kadang-kandang
dianggap memiliki kedudukan dibawah Undang-undang.17
Norma hukum negara Republik Indonesia selalu memberikan rujukan
menganai hukum yang berlaku. Norma-norma hukum yang berlaku memiliki
level tertentu yang pada akhirnya semua merujuk pada dasar negara Republik
Indonesia yaitu Pancasila. Kedudukan Perppu sendiri sering menimbulkan
perdebatan yang pada umumnya dikarenakan beberapa hal, antara lain:18
1. Perppu dapat dikatakan sebagai peraturan yang bersifat sementara, sebab
secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada Dewan Perwakilan
Rakyat yaitu pada masa sidang berikutnya setelah Perppu tersebut
dibentuk. Walaupun bersifat sementara namun dampak pemberlakuan
Perppu dapat saja berlangsung lama, sekalipun Perppu itu telah dicabut.
2. Proses politik di DPR yang kadangkala memunculkan kontroversi
sehingga sangat diperlukan ketegasan DPR apakah akan menyetujui atau
tidak menyetujui Perppu tersebut. Kadangkala pengesahan Perppu menjadi
ajang tawar menawar pemerintah dan DPR sehingga perdebatan dari segi
substansi hukum tidak penting.
3. Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan
undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undangundang.
Dalam hal DPR menyetujui Perppu tersebut kadangkala pengesahan
Perppu menjadi ajang Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan
Konstitusional tawar menawar pemerintah dan DPR sehingga perdebatan
dari segi substansi hukum tidak penting.
4. Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan
undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undang-
17
Nur Rohim, ‗Kontroversi Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan Yang Memaksa‘, Cita
Hukum, 2.1 (2014), h. 123-124.
18
Saldi Isra, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan Di
Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif)
(Jakarta: Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, 2010), h. 165.
45

undang. Dalam hal ini DPR menyetujui Perppu tersebut maka rancangan
undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut tidak berlaku dan
Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan
Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan
tersebut. Proses ini kadangkala berlangsung lama akibat dari dinamika di
DPR yang sangat tidak menentu.19
Berdasarkan hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan
di Indonesia merujuk ke Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:20
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peran DPR dalam konteks Perppu baru terlihat pada Pasal 22 ayat (2)
dan ayat (3) Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945 yang
menegaskan bahwa ―peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut‖ dan ―jika tidak
mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut‖.
Berbeda dengan Undang-Undang, masa berlakunya Perppu sangat singkat
yakni sampai dengan persidangan DPR yang terdekat dengan tanggal
penetapan Perppu tersebut. Setelah itu, diperlukan ketegasan sikap dari DPR
apakah akan menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut.
Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan
rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi
undang-undang. Dalam hal DPR menyetujui Perppu tersebut maka rancangan

19
Isra, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan..., h. 166.
20
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Indonesia).
46

undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang


disahkan menjadi Undang-Undang, sedangkan jika Perppu itu ditolak oleh
DPR maka Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan
undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur
pula segala akibat dari penolakan tersebut.

D. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017


tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Negara Indonesia menganut sistem demokrasi, dimana salah satu
prinsip dari Negara yang menganut sistem demokrasi adalah adanya
kebebasan berorganisasi atau berserikat yang mana telah diatur dalam pasal
28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tapi di
Indonesia justru kebebasan berorganisasi dibatasi oleh pemerintah dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Dengan alasan ancaman keamanan atau keadaan
yang mendesak dan genting.
Dalam Perppu yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang
tersebut, Presiden memberikan pertimbangan hukum terhadap keputusannya
menerbitkan Perppu adalah dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi
yakni tentang kewajibannya sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala
Negara untuk menjaga stabilitas keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan
Indonesia berdasarkan Pacasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Hal lain yang mendasari terbitnya Perppu tersebut adalah
ketidakmampuan Undang-undang yang telah ada yakni Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2013 dalam menyikapi perkembangan Ormas yang dirasa
meresahkan kesatuan negara sehingga presiden memandang perlu adanya
peraturan baru yang dapat menertibkan situasi yang bergejolak di masyarakat
47

dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun


2017.
Selain kedua hal tersebut, terdapat hal lain yang bersifat kasuistis yang
juga melatarbelakangi terbitnya Perppu tersebut yaitu adanya Ormas di
Indonesia yang akhir-akhir ini semakin menampakkan sikap anti Pancasila
dalam khalayak umum. Adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah
organisasi yang menentang ideologi Pancasila dan hendak menggantinya
dengan ideologi Khilafah. Pada mulanya Ormas ini dibiarkan ada di
Indonesia meskipun telah jelas-jelas menentang Pancasila sebagai Ideologi
bernegara di Indonesia. Akan tetapi seiring berjalannya waktu penyebaran
paham anti Pancasila semakin masif digaungkan oleh kelompok ini sehingga
berpontensi mengancam stabilitas dan kesatuan negara. Oleh karena itu,
melalui Perppu tersebut organisasi HTI dibubarkan dan dinyatakan terlarang.
Keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini mengundang pro
kontra dikalangan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan sendiri.
Keputusan ini seolah olah ingin memberangus kebebasan berorganisasi,
padahal seharusnya sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi,
kebebasan berorganisasi sangat dijunjung tinggi, sebagai ciri dan prinsip dari
sistem demokrasi sendiri.
Namun hal tersebut dibantah oleh pemerintah karena menurut mereka
seiring berkembangnya zaman, paham anti Pancasila atau radikalisme justru
berkembang bebas di Indonesia dan justru disebarkan dan dikembangkan
melalui organisasi kemasyarakatan. Maka demi menertibkan Ormas yang
terindikasi paham anti Pancasila atau radikalisme maka pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan yang pada tahun yang sama ditetapkan
sebagai Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017.
Adapun perubahan dalam Perppu tersebut mencakup beberapa hal
yang antara lain sebagai berikut.
48

1. Pada pasal 1 ketentuan umum nomor 1 ditambahkan redaksi


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
sebagai legal standing peraturan tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
2. Pada pasal 59 terdapat beberapa perubahan dalam masing-masing
ayat sebagai berikut.
- Ayat (1) yang semula memiliki 5 poin pada Peraturan ini
direduksi menjadi 3 poin dengan menggabungkan poin (a)
dan (b) pada Undang-undang sebelumnya menjadi satu
sehingga berbunyi ―Ormas dilarang menggunakan nama,
lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan narna,
lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;‖.
Lalu poin (c) seperti sedia kala tanpa perubahan dan poin
(d) dipindah ke ayat (4) poin (a) pada Peraturan ini.
- Ayat (2) pada Peraturan ini merupakan ayat (3) pada
Undang-undang sebelumnya dengan tanpa ada
penambahan.
- Ayat (3) pada Peraturan ini merupakan ayat (2) pada
Undang-undang sebelumnya dengan tanpa ada
penambahan.
- Ayat (4) pada Undang-undang sebelumnya hanya satu poin
berubah menjadi 3 poin sehingga berbunyi:
― (4) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol
organisasi yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan
separatis atau organisasi terlarang;
b. melakukan kegiatan separatis yang mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan
ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila.‖
49

3. Pada pasal 60 dirubah dan ditambah sehingga berbunyi:


Pasal 60
(1) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2)
diiatuhi sanksi administratif.
(2) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi
sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

4. Pada pasal 61 dirubah dan ditambah sehingga berbunyi:


Pasal 6l
(1) Sanksi administratif sebegaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan; dan/atau
c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan
status badan hukum.
(2) Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) selain
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b juga dikenakan sanksi
keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Sanksi administratif sebrg'imana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(2) berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia.
(4) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat
meminta pertimbangan dari instansi terkait.

5. Pada pasal 62 dirubah dan ditambah sehingga berbunyi:


Pasal 62
(1) Peringatan tertulis sebagaimala dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(l) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan terhrlis dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan
kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
50

(3) Dalam hal Ormas tidak memahrhi sanksi penghentian kegiatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (21), Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya
melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum.

6. Pada Peraturan Pemerintah ini ketentuan pasal 63 s/d 81


dihapuskan.
7. Terdapat penambahan aturan di antara pasal 80 dan 81 yakni pasal
80A yang berbunyi:
Pasal 80A
Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud
daLam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus
dinyatakan bubar berdaiarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini.

8. Selain penambahan pasal, terdapat pula penambahan bab di antara


BAB XVII dan BAB XVIII yakni BAB XVIIA yang berbunyi:
BAB XVIIA
KETENTUAN PIDANA
9. Terdapat penambahan aturan di antara pasal 82 dan 83 yakni pasal
82A yang berbunyi:
Pasal 82A
(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas
yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59
ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana ien:ari
paling singkat 6 (enam) bulan - dan patin! fima 1 (satu) tahun.
(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas
yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal- 59
ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana aengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat S (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(3) Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang bersangkutan diancam dengan pidana tambahan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
pidana.
51

10. Terdapat penambahan aturan di antara pasal 83 dan 84 yakni pasal


83A yang berbunyi:
Pasal 83A
Pada saat Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2OL3 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang ini.

Selain beberapa perubahan yang telah dipaparkan di atas, dalam


bagian penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2017 tersebut
dijelaskan bahwa yang menjadi fokus pembenahan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam penerbitan Perppu ini adalah upaya menjaga stabilitas
keamanan negara yang telah menjadi amanah konstitusi berdasarkan
Pancasila sebagai ideologi negara dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Lebih lanjut, di dalam Peraturan tersebut dijelaskan bahwa keadaan
darurat yang dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, antara lain kegiatan Ormas tertentu yang telah
melakukan tindakan permusuhan antara lain, ucapan, pemyataan, sikap atau
aspirasi baik secara lisan maupun tertulis, melalui media elektronik ataupun
tidak memakai media elektronik, yang menimbulkan kebencian baik terhadap
kelompok tertentu maupun terhadap mereka yang termasuk ke dalam
penyelenggara negara. Tindakan tersebut merupakan tindakan potensial
menimbulkan konflik sosial antara anggota masyarakat sehingga dapat
mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk dicegah dan diatasi aparat
penegak hukum.
Pelanggaran terhadap asas-asas Ormas yang telah menegaskan tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat
dicelakan oleh pengurus atau Ormas yang bersangkutan ki.ena telah
melanggar kesepakatan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia,
52

sebagaimana telah diwujudkan dalam Pancasila dan undang-undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 194s. pelanggaran terhadap asaJOrmas
yang telah mengakui Pancasila dan undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, merupakan wqjud pikiran, niat jahat-yang semula
telah ada sejak Ormas tersebut didaftarkan.
Adapun maksud dan tujuan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-
Undang ini adalah untuk membedakan dan sekaligus melindungi Ormas yang
mematuhi dan konsisten dengan asas dan tujuan Ormis berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetah memisahkan kedua
golongan Ormas tersebut dan disertai dengan jenis sanksi dan penerapannya
yang bersifat luar biasa.
BAB IV
Hak Kebebasan Berserikat
dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017

A. Pertimbangan Presiden dalam Penerbitan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi
Kemasyarakatan
Presiden merupakan pemimpin negara yang berlaku dalam sistem
pemerintahan demokrasi. Indonesia tergolong pada pemerintahan demokrasi,
sehingga Presiden memiliki otoritas dalam memutuskan persoalan bangsa
Indonesia. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau dikenal
dengan istilah Perppu adalah salah satu bentuk kewenangan Presiden dalam
mengatasi pesoalan mendesak yang terjadi pada negara Indonesia. Perppu
diterbitkan dalam keadaan sementara untuk mengatasi ancaman yang terjadi
pada negara. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Pasal 22 Ayat (1)
Undang-undang Dasar Tahun 1945 menjelaskan bahwa, ―Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.‖
Penerbitan Perppu sepenuhnya ada pada otoritas Presiden. Presiden
memiliki potensi besar untuk mengambil alih proses pembentukan kebijakan
atau peraturan dari tangan legislatif dalam penerbitan Perppu. Presiden dalam
membentuk dan menetapkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 merupakan salah
satu kewenangan subjektiftas Presiden untuk menentukan arah kebijakan
Negara terhadap prinsip-prinsip dan tujuan Negara yang sebagai mana
diperintahkan oleh konstitusi. Namun, di samping itu kekuasaan dan
kewenangan Presiden tentunya memiliki alasan dalam penerbitan Perppu
tersebut. Dalam Undang-undang 1945 dan Undang-undang Nomor12 Tahun
2011 dijelakan bahwa persiden dalam menetapkan Perppu harus berdasarkan
pada keadaan kegentingan. Keadaan ihkwal kegentingan ini masih memiliki
rumusan tafsir yang berbeda-beda karena belum jelas diatur dalam Undang-
undang tersebut.

53
54

Menurut pandangan peneliti atas hal ihwal kegentingan yang


memaksa dalam penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
dapat diasumsikan sebagai bentuk untuk menjaga stabilitas keamanan,
stabilitas politik, dan stabilitas hukum dalam mengatur dan mengelola
problematika Ormas yang dihadapi Negara. Serta untuk memudahkan dalam
mengatur beberapa Ormas yang yang ada di Indonesia.
Perppu menjadi salah satu alternatif untuk menjaga keutuhan sistem
hukum yang berlaku di negara Indonesia. Perppu adalah tindakan nyata
seorang Presiden untuk meminimalisir berbagai ideologi kepentingan
organisasi masyarakat pada kelompok-kelompok tertentu yang bertentangan
dengan ideologi Negara Indonesia. Salah satu contohnya yaitu organisasi HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia) yang memiliki tujuan yang melenceng dari
Pancasila sebagai pilar negara dan Undang-undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Organisasi ini butuh ditindak oleh pemerintah, guna
menjaga keslabilan negara.
Undang-undang keormasan sebelum Perppu Nomor 2 tahun 2017
ditetapkan, mekanisme pembubaran Ormas melalui putusan pengadilan.
Namun, setelah ditetapkannya Perppu tersebut, kementerian terkait dapat
mencabut status badan hukum dari Ormas, yang sama saja membubarkannya.
Hal ini berdasarkan asas contrario actus. Hal ihwal kegentingan yang
memaksa yang melatarbelakangi ditetapkannya Perppu tersebut karena
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas sudah tidak mampu
memenuhi kebutuhan hukum saat itu, utamanya yang berkaitan dengan
Ormas yang mengancam ideologi Pancasila yang harus segera
ditindaklanjuti.
Di samping itu pula, diterbitkannya Perppu Nomor 2 tahun 2017 tidak
lain melihat kondisi negara sedang dihebohkan dengan lahirnya beberapa
organisasi tanpa adanya legalitas dari negara. Lahirnya organisasi ini
dianggap tidak sesuai oleh ideologi negara yakni Pancasila. Sehingga dengan
lahirnya Perrpu tersebut dapat meminimalisir terjadinya Ormas-Ormas yang
55

bertentangan tersebut. Di samping itu pula, organisasi masyarakat yang


berkembang pesat tersebut agar mudah terpantau oleh negara dengan adanya
kebijakan Perppu.
Menurut peneliti, terbitnya Perppu Nomor 2 tahun 2017 sudah sudah
memenuhi standar syarat dalam menetapkan Perppu. Berdasarkan pada
putusan MK Nomor138/PUU-VII/2009, syarat utama karena adanya
kegentingan yang memaksa dalam penerbitan Perppu Nomor 2 tahun 2017
sudah terpenuhi. Hal ini dapat dilihat dari tiga alasan dasar dalam penerbitan
Perppu tersebut, yaitu:
1. Adanya keadaan
Artinya keadaan pada saat itu membutuhkan untuk segara menerbitkan
Perppu. Perppu dituntut untuk segera diterbitkan untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Hal ini
disebabkan adanya ajaran atau paham yang bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Ini menjadi
suatu ancaman bagi negara jika menyebar ke seluruh masyarakat dan tidak
segera diatasi oleh pemerintah. Dengan lahirnya Perppu tersebut
diharapkan dapat menjaga keutuhan NKRI yang berlandaskan pada
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2. Adanya Undang-undang tetapi tidak memadai.
Peneliti berpandangan bahwa pengaturan mengenai Ormas memang sudah
di atur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
kemasyarakatan, namun undang-undang tersebut sudah tidak relefan pada
kondisi tersebut dan tidak dapat menjawab terhadap adanya hukum yang
berlaku. Dalam Undang-udang tersebut hanya menjelaskan mengenai
Ormas yang menyebarkan paham atau ideologi terbatas hanya pada
atheisme, komunisme, marxisme atau leninisme, padahal dalam
perkembangannya masih banyak paham lain yang bertentangan dengan
Pancasila. Di samping itu masih tidak tersedianya asas contrarius actus
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang juga menjadikan
alasan Pemerintah tidak dapat bertindak cepat dan tegas untuk
56

menertibkan Ormas yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan


Undang-undang Dasar 1945.
3. Adanya kekosongan hukum
Kondisi ini juga menjadi alasan diterbitkannya Perppu Nomor 2 tahun
2017. Maksud dari kekosongan hukum ini adalah undang-undang
sebelumnya sudah tidak relefan pada waktu itu dan ini jika diatasi dengan
cara membuat Undang-undang baru, secara prosedur membutuhkan waktu
yang lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu segera
diselesaikan. Hal ini sangat tidak memungkinkan jika menunggu hasil
revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013. Pada kondisi
inilah kemudian Presiden memiliki kekuasaan untuk segera
menyelesaikannya demi menjaga keutuhan dasar negara Pancasila dan
undang-undang dasar 1945. Sehingga, penerbitan Perrpu menjadi salah
satu solusi tegas dan cepat pemerintah dalam mengatasi Ormas yang
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Di samping itu, berdasarkan pada hasil berita yang disampaikan di
media Kompas.com pada hari Rabu Tanggal 12 Juli 2017, ditegaskan bahwa
Presiden memiliki tiga pertimbangan dalam penerbitan Perppu Nomor 2
tahun 2017. Pertama, tindakan pemerintah tersebut sudah sesuai dengan
putusan MK Nomor 132/PUU-VII/2009 tentang adanya keadaan yang
mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
undang-undang. Keadaan mendesak ini diakibatkan adanya beberapa Ormas
yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Kedua, karena adanya aturan hukum yang kurang memadai. Menurut
Wiranto sebagai Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan
menjelaskan bahwa undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau dengan kata lain adanya undang-undang
tidak memadai untuk menyelesaikan hukum1. Undang-undang sebelumnya
belum konsisten mengatur keormasan yang adanya di negara Indonesia.

1
Fabian Januarius Kuwado and Kristian Erdianto, ‗Ini Tiga Pertimbangan
Pemerintah Menerbitkan Perppu Ormas‘, Kompas.Com, 2017
57

Ketiga, Perppu bisa diterbitkan jika kekosongan hukum tersebut


tidak bisa diatasi dengan cara membuat Undang-undang baru. Mekanisme
pembentukan Undang-undang baru membutuhkan waktu yang lama,
sehingga sebagai pengganti hukum sementara harus diterbitkan Perrpu
oleh Presiden. Alasan lain penerbitan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang
Ormas tersebut karena Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 belum
mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Presiden Jokowi menyatakan salah satu alasan lain yang lebih
kuat ditetapkannya Perppu tersebut yaitu untuk membubarkan organisasi
kemasyarakatan (Ormas) yang anti Pancasila.2 Sehingga diterbitkanya
Perppu ini akan lebih mudah mengorganisir Ormas yang bertentangan
dengan hukum negara Indonesia.
Dalam Perppu Nomor 2 tahun 2017 Pemerintah juga diberi
wewenang secara sepihak untuk membubarkan Ormas. Dalam Pasal 62
ayat (2) Perppu ini menyatakan bahwa ―Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian
kegiatan‖. Berdasarkan pada pernyataan ini dapat diketahui bahwa
pemerintah meniliki berhak membubarkan Ormas jika masih tidak
memperhatikan aturan yang berlaku. Pencabutan status badan hukum
Ormas sebagaimana dimaksud, menurut Pasal 80A sekaligus dinyatakan
bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Oleh karena itu, hadirnya Perppu ini mampu memberikan undang-undang
yang lebih jelas dan tegas dalam mengatasi masalah negara.
Dari tiga alasan di atas, peneliti menegaskan bahwa lahirnya
peraturan yang berlaku di suatu negara selalu menyesuaikan pada kondisi
yang terjadi. Pertimbangan diterbitkannya peraturan disebabkan adanya

<https://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/12232051/ini-tiga-pertimbangan-
pemerintah-menerbitkan-perppu-ormas> [accessed 2 October 2019].
2
‗Jokowi Teken Perppu Pembubaran Ormas‘, [accessed 2 October 2019].
58

ketidaksesuaian dengan hukum yang ada, sehingga perlu dipertegas


dengan peraturan yang baru. Sedangkan Perppu ini diterbitkan tidak lain
karena ada kondisi yang bertendangan dengan ideologi negara dan
Undang-undang yang ada. Diderbitkannya Perppu menjadi salah satu
solusi semantara untuk menggantikan kedudukan Undang-undang yang
kurang relevan dengan kedaan di masa itu.
B. Kesesuaian Hak Kebebasan Berserikat Dalam UUD 1945 dan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2017
1. Hak Kebebasan Berserikat Dalam UUD 1945
Hak kebebasan berserikat di Indonesia menjadi salah satu bentuk
ciri khas yang dimiliki oleh negara yang menganut sistem pemerintahan
negara demokrasi. Sistem demokrasi ini, setiap individu memiliki hak
masing-masing dalam menentukan pilihann jalan hidupnya sepanjang
tidak bertentangan dengan koridor Undang-undang yang berlaku. Undang-
undang dibuat sebagai bentuk aturan yang berisikan nilai-nilai yang perlu
dipatuhi oleh masyarakat untuk menjaga kestabilan negara. Undang-
undang juga dibentuk untuk mengatur dan memantau terjadinya perilaku
yang sewenang-wenangnya membahayakan terhadap masyarakat umum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
memberikan penjelasan perlindungan terhadap jaminan kemerdekaan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta memajukan
dirinya dalam memperjuangkan hak secara individu ataupun kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negara sebagai perwujudan HAM
(Hak Asasi Mmanusia). Dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa:
“Dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya secara individu
maupun kolektif, setiap orang wajib menghormati Hak Asasi
Manusia lainnya dan wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
59

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban


umum dalam masyarakat yang demokratis”.
Selanjutnya peneliti menegaskan bahwa isi pokok dari undang-
undang dasar 1945 Pasal 28J ayat 2 Undang-udang Dasar Negara Republik
Indonesia terdiri dari beberapa poin, yaitu:
a. Dituntut bagi setiap orang untuk menghormati hak asasi manusia orang
lain demi terciptanya tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Hak asasi manusia ini memiliki batasan tertentu
sebagaimana hukum yang berlaku di negara tempat tinggalnya.
Manusia sejak dilahirkan sudah mempunyai hak dan kewajiban. Hak
dan kewajiban ini berlaku bagi setiap individu dan kelompok tertentu
dalam menjali kehidupan di dunia.
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan atau Undang-undang yang ditetapkan oleh negara.
Hal ini bertujuan untuk menjamin segala bentuk hak yang dimiliki oleh
setiap individu. Diantara hak yang dimiliki oleh individu adalah hal
kebebasan berorganisasi, hak beragama dan lain-lain. Hak-hak tersebut
sudah tertanam sejak mereka lahir di dunia. Sehingga, tak seorangpun
yang dapat menghalangi hak orang lain kecuali Undang-undang yang
sudah disepakati bersama.
c. Menjunjung tinggi prinsip negara demokrasi. Yang mana setiap
individu berhak untuk memberikan segala ide pikiran ataupun fisiknya
demi kemajuan negara. Masyarakat setidaknya juga harus ikut serta
dalam membangun negara lebih maju.
Pemaknaan lain atas kebebasan berserikat dan berkumpul
berdasarkan pada Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yaitu
setiap orang berhak membentuk sebuah perkumpulan seperti partai politik,
yayasan, lembaga amal dan organisasi masyarakat (Ormas). Tentunya
semua perkumpulan tersebut harus merujuk pada hukum sebagaimana
bentuk implementasi Indonesia sebagai negara hukum. Hukum diletakkan
pada posisi tertinggi dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, negara
60

membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan


ditegakkan melalui otoritas negara.
Namun, di samping itu perlu diketahui bahwa prinsip hak atas
kebebasan atau kemerdekaan berserikat yang diakui dalam Pasal 28
Undang-undang Dasar 1945 ini, belum memberikan jaminan
konstitusional yang tegas menganai kebebasan berserikat, melainkan
hanya dinyatakan bahwa kebebasan tersebut akan ditetapkan dengan
undang-undang. Hal ini disebabkan pada masa itu masih berada dalam
situasi yang kurang stabil, bahkan pada masa awal-awal pasca
kemerdekaan, Indonesia masih harus waspada dalam menyikapi perubahan
yang terjadi. Bagi warga negara asing semakin tidak memungkinkan untuk
membangun organisasi dalam mengekpresikan kebebasan berserikat dan
berkumpul di negara Indonesia.
Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa kebebasan
berserikat berdasarkan Undang-undang 1945 tidak sepenuhnya bebas
berserikat, masih harus mematuhi aturan pemerintah yang berlaku. Setiap
orang memiliki hak masing-masing, namun hak ini dibatasi oleh adanya
peraturan negara. Peraturan pemerintah dibuat untuk menyamaratakan atau
menjamin kedudukan masyarakat atas pemenuhan hak-hak yang
dimilikinya. Di saping itu, dibentuknya Undang-undang untuk
memberikan ruang batasan dalam bertindak agar tidak menggaggu
terhadap masyarakat luas. Sehingga dengan demikian, lahirnya Undang-
undang diharapkan dapat tercipta kehidupan yang tentran sesuai dengan
kesepakatan aturan yang dibuat.
2. Hak Kebebasan Berserikat Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun
2017
Hak kebebasan berserikat adalah hak yang dimiliki setiap individu
dalam menjalani kehidupannya. Tanpa terkecuali, setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat dan berkumpul selama tidak bertentangan dengan
norma dan undang-undang yang berlaku di negara Indonesia. Bahkan
warga negara asing yang tinggal di Indonesia, mereka juga berhak untuk
61

berserikat. Dalam mengaktualisasikan hak kebebasan berserikat dan


berkumpulnya tersebut, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun
warga negara asing (WNA) dapat mendirikan suatu organisasi
kemasyarakatan (Ormas).
Secara terperinci lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017
berangkat dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985, kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Berselang beberapa tahun, ternyata ditemukan ada hal
yang kurang jelas yang belum diatur sehingga dibentuklah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia
Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan dan terakhir ditetapkan
menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang yang dianggap lebih
sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan masyarakat di
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 yang selanjutnya diubah
dengan Perppu Nomor 2 tahun 2017 dan ditetapkan menjadi Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2017 ini sudah cukup jelas diatur oleh negara
sebagaimana tercantum di dalamnya mengenai aturan kebebasan berserikat
bagi setiap orang, baik WNI ataupun WNA. Dalam Undang-undang
Nomor 16 tahun 2017 tentang Ormas tersebut, menyatakan bahwa warga
negara Indonesia ataupun warna negara asing diperkenankan mendirikan
organisasi masyarakat (Ormas). Namun di samping itu, untuk menjaga
keutuhan prinsip demokrasi negara Indonesia dalam menjalankan
kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut, setiap warga negara wajib
tunduk kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai pilar
hukum negara Indonesia. Mereka juga harus tunduk dan patuh terhadap
suatu pembatasan yang ditentukan negara Indonesia demi terciptanya
62

prinsip negara hukum yang berlaku. Serta untuk melindungi berbagai


kepentingan-kepentingan sepihak yang bertentangan dengan ideologi
perundang-undangan yang negara Indonesia.
Menurut peneliti hadirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017
tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum dengan
prinsip demokrasi tidak perlu diapresiasi secara sepenuhnya mengenai
dibolehkannya masyarakat untuk berserikat. Perlu diperhatikan bahwa
negara masih memberikan batasan tertentu bagi masyarakat dalam
mendirikan Ormas harus berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Kebabasan tersebut
masih dibatasi oleh adanya peraturan pemerintah. Sehingga, kebebasan
berserikat bagi setiap warga yang tinggal di negara Indonesia harus juga
tunduk padang perundang-undangan pemerintah yang berlaku.
Bedasarkan pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 terdapat
beberapa batasan tertentu setiap Ormas ataupun kelompok lain yang ingin
mendirikan organisasi harus memenuhi beberapa ketentuan-ketentuan
yang tertera dalam pasal 59, berikut beberapa larangan yang harus
dipenuhi tersebut:
a. Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau
atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut
lembaga pernerintahan;
b. Dilarang menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera
negara lain atau lembaga atau badan internasional menjadi narna,
lambang, atau bendera Ormas;
c. Dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda
gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda
gambar Ormas lain atau partai politik;
63

d. Dilarang menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun


sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Dilarang mengumpulkan dana untuk partai politik;
f. Dilarang melakukan tindakan pennusuhan terhadap suku, agama,
ras, atau golongan;
g. Dilarang melakukan penyalagunaan, penistaan, atau penodaan
terhadap agama yang dianut di Indonesia;
h. Dilarang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum
dan fasilitas sosial;
i. Dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenartg
penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
j. Dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol
organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol
organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
k. Dilarang melakukan kegiatan separatis yang mengancam
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
l. Dilarang menganut, mengembangkan, serta. Menyebarkan ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Adanya pembatasan ruang gerak organisasi kemasyarakatan
sebagai mana tertera dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 ini
penting diterapkan untuk mengingatkan kesepakatan bahwa bangsa
Indonesia memiliki pilar Pancasila sebagai ideologi bangsa yang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Hal ini perlu terus diindahkan demi menjunjung cita-cita pendiri
bangsa untuk memajukan Indonesia. Jangan sampai hancur disebabkan
adanya ancaman dari Ormas yang bertentangan dengan cita-cita pendiri
Bangsa Indonesia. Pembatasan bermaksud bukan untuk mengekang
64

kebebasan berserikat masyarakat, melainkan untuk menjaga keutuhan pilar


Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai ideologi negara
Indonesia.
Namun di samping itu pula, dalam Undang-Undang Nomor 16
tahun 2017 ini masih terdapat beberapa kontroversi dalam pemaknaan
kebebasan berserikat. Hal ini terdapat pada Pasal 62 ayat (3) mengenai
sanksi pidana dan pembubaran Ormas. Pasal ini memberikan kewenangan
penuh kepada Eksekutif untuk melakukan pencabutan badan hukum
Ormas, yang di dalam Pasal 80A juga ditegaskan sebagai bentuk
pembubaran Ormas. Ketentuan ini menurut peneliti masih ternilai
subjektif, seakan-akan yang berhak untuk membubarkan Ormas yang
bertentangan tersebut hanya ditentukan oleh pemerintah dan pejabat di
dalamnya. Kesannya pemerintah memiliki kekuatan yang lebih luas dalam
pembubaran Ormas. Padahal negara Indonesia ini adalah negara hukum
dan demokrasi. Seharunya segala tindakan yang bertentangan tersebut
harus diselesaikan berdasarkan hukum dan suara rakyat. Dalam konsep
Negara hukum, penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan seharusnya
tidak hanya tertuju pada satu komponen, ada batasan kekuasaan (eksekutif)
tertentu yang harus juga dipenuhi.
Selanjutnya, berdasarkan pada prinsip kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat, suatu Ormas yang tidak
mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak dapat
pelayanan dari pemerintah (Negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan
Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat
melarang kegiatan tersebut sepanjang tidak melakukan pelanggaran hukum
yang berlaku. Pemerintah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk ikut
serta terhadap Ormas yang tidak terdaftar di pemerintahan. Pemerintah
hanya bisa memantau segala aktivitasnya sesuai tidaknya dengan Undang-
Undang negara.
65

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 ini juga mengatur


mengenai sanksi Ormas yang bertentangan dengan ideologi negara.
Berikut sanksi yang dikenakan menurut pasal 61 dan pasal 62.
1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan; dan/atau
c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan
status badan hukum.
2. Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat 2 selain dikenakan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b juga dikenakan sanksi keimigrasian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(2) berupa:
a. Pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
b. Pencabutan status badan hukum oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia.
4. Dalam melakukan pencabutan. sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat
meminta pertimbangan dari instansi terkait.
5. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud datam Pasal 61 ayat (1)
huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
6. Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan urusarr pemerintahan di bidang hukum
66

dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan


sanksi penghentian kegiatan.
7. Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan peinerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum.
Dari beberapa sanksi tersebut dapat diketahui bahwa kebebasan
berserikat yang berlaku di negara Indonesia memiliki batasan undang-
undang yang harus dipatuhi. Undang-undang mengatur segala larangan
dan sanksi yang berlaku bagi setiap orang yang berserikat dan
berkumpul. Hal ini menggambarkan bahwa negara sangat menekankan
pada setiap orang yang berserikat untuk tetap menjaga kemaslahatan
bersama. Kebebasan berserikat juga harus memperhatikan setiap hak
asasi manusia. Dengan demikian dapat tercipta negara demokrasi yang
berlandaskan hukum dan menjunjung setiap nilai-nilai Pancasila serta
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bagian
pendahuluan serta hasil data dan analisa sebelumnya, maka penelitian ini
berkesimpulan sebagai berikut.
1. Pertimbangan dan langkah Presiden dalam menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang kemudian ditetapkan oleh DPR menjadi
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 adalah keputusan yang tepat. Hal ini
dikarenakan beberapa hal yang melatarbelakanginya sebagaimana disebutkan
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor138/PUU-VII/2009 bahwa
Presiden dapat menerbitkan Perppu dengan syarat: (1) terdapat keadaan yang
mendesak, (2) terdapat aturan hukum yang telah berlaku namun tidak
memadai, (3) terdapat kekosongan hukum. Ketiga syarat itu telah terpenuhi
dalam pertimbangan presiden ketika menerbitkan Perppu yang saat ini telah
menjadi Undang-undang.
2. Hak kebebasan berserikat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) yang menjamin
keberlangsungan hak asasi individu maupun kolektif termasuk dalam
berserikat. Akan tetapi kebebasan berserikat tersebut tidak secara mutlak
diberikan. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan dalam
Undang-undang. Oleh karena itu, regulasi berserikat yang dalam hal ini
adalah keberserikatan Ormas haruslah tunduk pada Undang-undang yang
mengaturnya sehingga kemaslahatan umum dapat tercapai. Meskipun
demikian, terdapat kekurangan dalam Undang-undang terkait dalam hal
kewenangan pembubaran Ormas yang -menurut peneliti- terlalu subjektif
sehingga memungkinkan terjadinya ketimpangan di masa yang akan datang.

67
68

B. Rekomendasi
Menurut kami, perlu adanya pengkajian lebih lanjut dalam Undang-udang
Organisasi Kemasyarakatan agar kemaslahatan umum dapat tercapai sepenuhnya
dan tidak mengkebiri prinsip demokrasi yang menjunjung tingga asas kesetaraan
individu yang tentunya tetap berpijak Pancasila dan UUD 1945.
69

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Ilmu Politik; Pengantar Pemikiran Politik Islam (Gorontalo: Sultan Amai
Press, 2007)
Ali, Chaidir, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987)
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Cet. 2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
Amanwinata, Rukmana, ‗Pengaturan Dan Batas Implementasi Kemerdekaan
Berserikat Dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945‘ (Universitas
Padjajaran, 1996)
Arsil, Fitra, ‗Menggagas Pembatasan Pembentukan Dan Materi Muatan Perppu:
Studi Perbandingan Pengaturan Dan Penggunaan Perppu Di Negara-Negara
Residensial‘, Hukum & Pembangunan, 48.1 (2018)
Ashiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat, cet. 1 (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007)
———, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca RefOrmasi
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2006)
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode
Negara Madinah Dan Masa Kini (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Azis, Muhammad Husen, ‗Hak Berserikat Dan Berkumpul Warga Negara Asing
Dalam Pendirian Organisasi Kemasyarakatan Di Indonesia‘, Jurist-Diction,
1.2 (2018)
Bambang, dan Supriyanto, ‗Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia
(HAM) Menurut Hukum Positif Di Indonesia‘, Al- Azhar Indonesia Seri
Pranata Sosial, 2.3 (2014)
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 5th edn (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2015)
Daeng, Yusuf, HAM Dan Keadilan (Pekanbaru: Alfa Riau, 2007)
Elnizar, Norman Edwin, ‗Perppu Ormas Dinilai Tidak Penuhi Syarat Kegentingan
Yang Memaksa‘, Hukum Online, 2017
70

<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5966c561b29b1/perppu-
ormas-dinilai-tidak-penuhi-syarat-kegentingan-yang-memaksa/> [accessed
18 September 2018]
Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1973)
Halim, Hamzah, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun &
Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoretis & Praktis Disertai
Manual (Jakarta: Kencana, 2013)
Hamidi, Jazim, Hukum Lembaga KePresidenan Indonesia (Bandung: Alumni,
2010)
Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi
Manusia, Memahami Proses Onsolidasi Sistem Demokrasi Di Indonesia, 1st
edn (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003)
Herdiansyah, Ari Ganjar, dan Randi, Peran Organisasi Masyarakat (Ormas) Dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Menopang Pembangunan Di
Indonesia, Sosioglobal, Cet. 1 (Bandung: Unpad Press, 2016)
Hertanto, Ari Wahyudi, dan Sugito Sujadi, Ilmu Negara, Konstitusi, Dan
Keadilan, Cet. 1 (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2007)
Hidayat, Arif, ‗Kepastian Hukum Harus Sejalan Dengan Rasa Keadilan‘,
Antaranews.Com, 2010
<https://www.antaranews.com/berita/172595/kepastian-hukum-harus-
sejalan-dengan-rasa-keadilan> [accessed 20 September 2019]
Hidayat, Rofiq, ‗Perppu Ormas Ancam Hak Kebebasan Berserikat‘, Hukum
Online, 2017
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59687b1cea88d/perppu-ormas-
ancam-hak-kebebasan-berserikat/> [accessed 18 September 2018]
Hsb, Ali Marwan, ‗Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Compelling Circumstances of The
Enactment Government Regulation In Lieu Of Law)‘, Legislasi Indonesia,
14.1 (2017)
Huda, Ni‘matul, Negara Hukum, Demokrasi Dan Judicial Review (Yogyakarta:
UII Press, 2005)
71

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi Dan Materi


Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2008)
‗Inilah Perppu Nomor 2/2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17/2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan‘, Setkab.Go.Id <http://setkab.go.id/inilah-
Perppu-no-22017-tentang-perubahan-uu-no-172013-tentang-organisasi-
kemasyarakatan/> [accessed 18 September 2018]
Isra, Saldi, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan Di Mahkamah
Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif) (Jakarta:
Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, 2010)
‗Jokowi Teken Perppu Pembubaran Ormas‘, Kompas.Com, 2017
<https://nasional.kompas.com/read/2017/07/11/18124841/jokowi-teken-
Perppu-pembubaran-Ormas> [accessed 18 September 2018]
Kansil, Christin S.T, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Jakarta: Rineka
Cipta, 2008)
Khairazi, Fauzan, ‗Implementasi Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di
Indonesia‘, Inovatif, 8.1 (2015)
Koesnardi, Moh., and Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI, 1976)
Kuwado, Fabian Januarius, and Kristian Erdianto, ‗Ini Tiga Pertimbangan
Pemerintah Menerbitkan Perppu Ormas‘, Kompas.Com, 2017
<https://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/12232051/ini-tiga-
pertimbangan-pemerintah-menerbitkan-perppu-ormas> [accessed 2 October
2019]
Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, Cet. 1 (Yogyakarta: FH UII Press, 1997)
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia, 2005)
‗Perppu Ormas Dikhawatirkan Timbulkan Kesewenang-Wenangan‘,
Republika.Co.Id, 2017
<https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/07/14/ot38um-
perppu-ormas-dikhawatirkan-timbulkan-kesewenangwenangan> [accessed
18 September 2018]
Prahassacitta, Vidya, ‗LEGALITAS SUATU KOMUNITAS‘, Business-
72

Law.Binus.Ac.Id, 2017 <https://business-


law.binus.ac.id/2017/12/31/legalitas-suatu-komunitas/> [accessed 20
September 2019]
Prasetyo, Teguh, dan Abdul Halim Berkatullah, Filsafat Teori Dan Ilmu Hukum:
Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012)
Rahmi, Nispan, ‗Maqasid Al- Syari‘ah; Melacak Gagasan Awal‘, Jurnal Syariah:
Jurnal Ilmu Hukum Dan Pemikiran, 17.2 (2017)
Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press, 2003)
Rohim, Nur, ‗Kontroversi Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan Yang Memaksa‘, Cita
Hukum, 2.1 (2014)
Setiaji, Mukhamad Luthfan, Ibrahim, and Aminulah, ‗Kajian Hak Asasi Manusia
Dalam Negara the Rule of Law: Antara Hukum Progresif Dan Hukum
Positif‘, Lex Scientia Law Review, 1.1 (2017)
Siallagan, Haposan, and Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-Undangan Di
Indonesia (Medan: UHN Press, 2008)
Simamora, Janpatar, ‗Multitafsir Pengertian 'Hal Ihwal Kegentingan Yang
Memaksa‘ Dalam Penerbitan Perppu‘, MIMBAR HUKUM, 22.1 (2010), 58–
70
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2009)
Siregar, Raja Adil, ‗Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berserikat, Berkumpul
Dan Mengeluarkan Pendapat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan‘, JOM Fakultas Hukum, 2.2
(2015)
Soekanto, Soerjono, and Sri Namudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001)
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)
73

Tyagita, Andanti, ‗Prinsip Kebebasan Berserikat Dalam Serikat Buruh Sebagai


Upaya Perlindungan Dan Penegakan Hak Normatif Pekerja‘, Yuridika, 26.1
(2011)
Ubaedillah, A., dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), Demokrasi,Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Indonesia)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (Indonesia)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Indonesia)
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Cet. 1 (Jakarta: Graha
Indonesia, 1983)
———, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. 2 (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986)

Anda mungkin juga menyukai