Anda di halaman 1dari 84

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN

KEBENCIAN (HATE SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL


Analisis Putusan 828/PID.SUS/2020/PN.DPS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

SITI NABILAH HEJAZZIEY


NIM : 11170480000106

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443H/2022M
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN
KEBENCIAN (HATE SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL
Analisis Putusan 828/PID.SUS/2020/PN.DPS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

SITI NABILAH HEJAZZIEY


NIM : 11170480000106

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443H/2022M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN


KEBENCIAN (HATE SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL

Analisis Putusan 828/PID.SUS/2020/PN.DPS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Siti Nabilah Hejazziey
NIM 11170480000106

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. JM Muslimin, M.A. Tresia Elda, S.H., M.H.


NIP. 19680812 199903 1 014 NUPN. 9920113096

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H/2022 M

i
ii

LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL (Analisis
Putusan 828/PID.SUS/2020/PN.DPS) oleh Siti Nabilah Hejazziey NIM
111700480000106 telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu
Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, .. Maret 2022


Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( …………..)


NIP. 19670203 201411 1 001
Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (…………..)
NIP. 19650908 199503 1 001
Pembimbing I : Dr. JM Muslimin, S.H., M.H.
NIP. 19680812 199903 1 014
Pembimbing II: Tresia Elda, S.H., M.H.
NUPN. 9920113096
Penguji I : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.
NIP. 19590319 197912 1 001
Penguji II : Rahmat Ferdian Andi Rosidi, S.H.I, M.H
NUPN. 0321048002
iii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Siti Nabilah Hejazziey


NIM : 11170480000106
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 21 September 1996
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. H. Romli Blok Nangka No.16, RT. 01/RW.
08, Kedaung, Kec. Sawangan Depok (belakang
PT. Mido)
Nomor Handphone : 0895806631947
Email : nebieyjazz21@gmail.com

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Maret 2022


iv

Siti Nabilah Hejazziey

ABSTRAK
Siti Nabilah Hejazziey, NIM 11170480000106. PENEGAKAN
HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN (HATE
SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL (Analisis Putusan
828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan 72/PID.SUS/2020/PT.DPS). Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1443 H/2022 M. Program
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Praktisi Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1443 H/ 2022 M, Isi : vi + 65 halaman + 5 halaman daftar pustaka.
Penelitian ini menemukan permasalahan mengenai bagaimana ketentuan-
ketentuan hukum yang bisa diterapkan dalam menangani kasus ujaran kebencian
dan apa yang menjadi akar persoalan hakim didua tingkat dalam menangani
perkara hukum yang sama dengan vonis yang berbeda dalam putusan Nomor
828/PID.SUS/2020/PN.DPS mengenai hate Speech di media sosial.
Skripsi ini bertujuan untuk memahami Penegakan Hukum terhadap tindak
pidana ujaran kebencian pada media sosial dan untuk mengetahui pertimbangan
hukum hakim dalam putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS mengenai hate
Speech di media sosial. Dalam kasus ini terdapat perdebatan baru dalam
penegakan hukum terhadap UU ITE.
Metode penelitian skripsi ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat
yuridis, dengan bahan hukum primer Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UU HAM) dan SE Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian.
Menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan kasus karena focus dari
penelitian ini adalah menganalisis putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mengenai upaya penegakkan
hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian di media sosial sudah sesuai,
dapat mengontrol masyarakat agar tidak berlebihan dalam memberikan ujaran
kebencian karena Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan
berekspresi kepada rakyatnya tetapi pada kenyataannya negara Indonesia
sebenarnya tidak memberikan hak untuk beropini dan kritik secara utuh dan
mengenai pertimbangan hukum hakim pada tingkat pertama dan kedua menurut
peneliti sebenarnya apa yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim tingkat
pertama sudah sesuai dan tepat sehingga tidak perlu mencapai tingkat banding
karena apa yang diucapkann oleh Jerinx sudah memenuhi seluruh unsur dengan
sengaja dan tanpa hak menyebabkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas antar golongan.
Kata Kunci : Ujaran kebencian, Hate Speech, Media Sosial, Cyber Crime.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr, JM Muslimin, M.A.
2. Tresia Elda, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai 2021
v

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Penegakkan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian
(Hate Speech) pada media sosial (Analisis Putusan
828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan 72/PID.SUS/2020/PT.DPS)”. Shalawat serta
salam, saya curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa
sallam yang berkat cahayanya berupa ilmu agama dan pengetahuan sehingga
membawa risalah kebenaran bagi semua umatnya khususnya kepada umat Islam.

Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih sedalam-


dalamnya untuk bantuan, masukan, dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi
ini kepada Yang Terhormat :

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum.
3. Dr. JM Muslimin, M.A. dan Tresia Elda, S.H., M.H, Pembimbing Skripsi
yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk
memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.
4. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah membantu dalam
menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Prof. Djawahir Hejazziey (Abah), Ibu
Ana Susanti, S.H. (Mama), kakak, adik-adik, teman-teman saya Tasya, Alya
dan lisa terimakasih atas dukungan dan kasih sayang yang tidak ada hentinya
vi

bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Mohon maaf jika selama ini
peneliti sering merepotkan. Terima kasih untuk Mama dan Abah yang tidak
pernah lupa mengingatkan untuk selalu belajar dan berdo’a kepada Allah demi
kelancaran penyusunan skripsi ini.
6. Terimakasih untuk Ahmad Dhiyaul Fikri, yang selalu bersedia membantu
kelancaran, kesuksesan dan mendukung peneliti hingga skripsi ini selesai pada
waktunya.
7. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Tidak ada hadiah yang lebih bernilai selain do’a yang bisa peneliti berikan
untuk membalas jasa-jasa kalian.

Jakarta, 21 Maret 2022

Siti Nabilah Hejazziey


vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ........................................................................................................... iiv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

BAB I __PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................................. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................................. 5

D. Metode Penelitian ..................................................................................... 6

E. Sistematika Pembahasan .......................................................................... 8

BAB II __TINJAUAN UMUM TENTANG HATE SPEECH DI MEDIA


_________SOSIAL .............................................................................................. 10

A. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................................. 10

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu...................................................... 20

BAB III___PENERAPAN HUKUM PENGATURAN UJARAN


__________KEBENCIAN DI INDONESIA ..................................................... 36

A. Pengaturan Hukum Rasa Ujaran Kebencian Berdasarkan Ketentuan


Hukum Di Indonesia .................................................................................... 36

B. Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Hukum di Indonesia .................. 42

C. Duduk Perkara Tingkat Pertama dan Banding ...................................... 52

BAB IV___PELAKSANAAN HUKUM TINDAK PIDANA UJARAN


__________KEBENCIAN DALAM MEDIA SOSIAL .................................... 55

A. Pertimbangan dan Putusan hukum Hakim pada Tingkat Pertama ......... 55

B. Pertimbangan dan Putusan Hukum Hakim pada Tingkat Banding ........ 60


viii

C. Analisis Putusan dalam Perspektif kebahasaan Penghinaan, Ujaran


Kebencian, Psikologi Komunikasi dan Yuridis ........................................... 62

BAB V__PENUTUP ............................................................................................ 68

A. Kesimpulan ............................................................................................. 68

B. Saran ....................................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Sebagai fenomena baru, media sosial belum memiliki definisi yang pasti,
sehingga tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Ada yang
memandangnya sebagai suatu proses sosial ataupun proses sejarah, proses
alamiah yang akan juga membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin
terikat satu sama lain, memunculkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, budaya
masyarakat dan ekonomi.1 Dengan munculnya media sosial, masyarakat
menjadi lebih bebas dalam menyampaikan pendapatnya. Sebagai negara
hukum seluruh tindakan yang terjadi dan telah diatur didalam peraturan
Indonesia, jika dilanggar dan tidak sesuai dengan pearturan maka ada sanksi
terhadapp pelanggar aturan tersebut. Termasuk pendapat yang dilakukan
secara bebas di media sosial dirasa perlu untuk dilakukan pengawasan agar
tidak memberikan pengaruh negatif dan menimbulkan perbuatan yang
melawan hukum, yang nantinya ditakutkan akan merugikan kesejahteraan
masyarakat dan negara. Contohnya seperti Hoax, Cyber Bullying dan Hate
Speech.
Untuk mengendalikan aktivitas di media sosial, negara Indonesia telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Hate Speech adalah sebuah aktivitas menyebarkan
rasa benci dan permusuhan yang memiliki sifat SARA (Suku, Agama, Ras,
dan Antar golongan) jadi, ujaran kebencian merupakan perkataan, perilaku,
tulisan maupun pertunjukan yang dapat bisa menimbulkan kekerasan dan
tindakan prasangka baik dari pihak yang melakukan maupun korban dari
tindakan tersebut2. Sejak maraknya hate speech dan lahirnya UU ITE,

1
Nawawi Arief, Barda. Kapita Selekta Hukum Pidana. Citra Aditya
Bakti. (Bandung:2004), h. 4.
2
Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,
(Jakarta : Pustaka Utama Gratifi, 2009) h.15 .

1
2

membuat aktivitas memberikan pendapat secara bebas menjadi sedikit


terhambat sebab masyarakat harus memahami mengenai batasan-batasan
dalam mengekspresikan pendapatnya di media sosial agar tidak menjadi
boomerang kepada mereka. Dalam menyampaikan pendapat tidak hanya dapat
disampaikan secara lisan, tetapi dalam tulisan khususnya tulisan yang
disampaikan melalui media sosial juga dapat disebut sebagai pendapat 3.
Wakil Direktur tindak pidana Cyber Bareskrim Polri Kombes Pol
Himawan Bayu Aji mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 1.581 kasus
ujaran kebencian. Lalu pada tahun 2021 tercatat sebanyak 1.960 kasus ujaran
kebencian di Indonesia. Di tahun 2019 juga tepatnya pada bulan januari
seorang public figure Ahmad Dhani, terjerat kasus Hate Speech yang
diakibatkan oleh pendapatnya yang ia unggah di media sosial. Ahmad Dhani
Terbukti secara sah telah melakukan tindak pidana dengan sengaja, menyuruh
untuk melakukan, menyebarluaskan informasi yang menunjukan rasa
kebencian dan permusuhan diantara individu dan kelompok masyarakat
tertentu. Dalam Putusan Nomor 370/Pid.Sus/2018/PN.Jkt-Sel Ahmad Dhani
divonis hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan penjara. Ia
dikenakan pasal 45A (2) Jo Pasal 28 (2) UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang
perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
Selanjutnya pada tingkat banding pada Nomor 58/PID.SUS/2019/PT.DKI
Ahmad Dhani dikenai hukuman pidana penjara selama 1 tahun penjara. Ia
dikenakan Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (
UU ITE).
Lalu , pada 19 November tahun 2020 I Gede Aryastina atau yang lebih
dikenal dengan Jerinx Superman Is Dead (SID), ikut terjerat kasus Hate
Speech. Hal ini disebabkan oleh pendapat yang ia sampaikan melalui media
sosial Instagram yang dianggap mencemarkan nama baik Ikatan Dokter
Indonesia (IDI). Pihak kepolisian juga menilai bahwa perkataan Jerinx

3
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h.101.
3

memiliki unsur-unsur pencemaran nama baik. Selanjutnya pada tanggal 14


Januari 2021 Jerinx mengajukan Banding, yang membuat hasil putusannya
tetap bersalah sesuai dengan dakwaan sebelumnya. Didalam Putusan Nomor
72/PID.SUS/2020/PT.DPS.
Melihat dari beberapa kasus yang sudah dipaparkan diatas, terdapat
pertentangan putusan pengadilan baik ditingkat pertama maupun ditingkat
kedua yang menjadi perbincangan dimasyarakat. Apakah hakim menggunakan
hukum yang berbeda atau menggunakan penalaran hukum yang berbeda?. Hal
ini jika dibiarkan terus-menerus secara akademik akan menjadi tidak baik oleh
sebab itu skripsi ini mencoba untuk menjelaskan alasan perbedaan hakim
untuk menerapkan hukum dalam menangani perkara Jerinx dalam kasus
ujaran kebencian. Apa yang menjadi akar persoalan hakim di dua tingkat
tersebut memvonis perkara yang sama dengan hasil vonis yang berbeda? Lalu
mengapa hakim menggunakan hukum yang sama tetapi hasil berbeda?.
Permasalahan dalam skripsi ini terdapat keragaman pendapat hakim
didalam tingkat pertama dan kedua saat memutus kasus Jerinx, karena yang
menjadi fokus penelitian ini adalah pendapat hakim maka yang menjadi
pertanyaan penelitian adalah apa faktor yang menyebabkan hakim memiliki
pertimbangan dan vonis yang berbeda dalam memutus kasus yang sama.
Berdasarkan latar belakang diatas memunculkan pertanyaan bagi mahasiswa
hukum, jika persoalan hukum yang sama kenapa dapat melahirkan putusan
yang berbeda, apakah terdapat sudut pandang hakim yang berbeda? Karena
dalam dunia akademik hal ini telah menjadi perdebatan dan agar persoalan ini
dapat tuntas maka saya menggunakan ini sebagai pembahasan skripsi peneliti
dengan judul “PENEGAKAN TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN
(HATE SPEECH) DALAM MEDIA SOSIAL (Analisis Putusan
828/PID.SUS/2020/PN. DPS dan 72/PID.SUS/2020/PT. DPS).”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah Penelitian


4

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka


identifikasi masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana ketentuan hukum yang dapat diterapkan terhadap tindak pidana


ujaran kebencian.
b. Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia memberikan
perlindungan terhadap kebebasan berpendapat.
c. Bagaimana pertanggung jawaban hukum bagi masyarakat yang melakukan
tindak pidana ujaran kebencian.
d. Apa kendala yang ditemui dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana ujaran kebencian.
e. Apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai kebebasan berpendapat
dalam hukum di Indonesia.
f. Apa saja hak kebebasan berpendapat yang diberikan oleh hukum
g. Apa hambatan bagi hakim dalam memutuskan putusan untuk pelaku yang
melakukan tindak pidana ujaran kebencian.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diungkapkan di atas, maka


terlihat bahwa persoalan pada penelitian ini terdapat permasalahan pada
ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan dalam menangani kasus
ujaran kebencian dan apa yang menjadi akar persoalan hakim didua tingkat
dalam menangani perkara hukum yang sama dengan vonis yang berbeda. Maka
dari itu penelitian ini berfokus pada teori keadilan, yaitu sebagai berikut:

a. Skripsi ini berfokus terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang bisa


diterapkan dalam menangani kasus ujaran kebencian;

b. Skripsi ini berfokus terhadap apa yang menjadi akar persoalan hakim
didua tingkat dalam menangani perkara hukum yang sama dengan vonis
yang berbeda;
5

3. Perumusan Masalah

Permasalahan penelitian ini adalah pertimbangan hukum hakim dalam


putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS mengenai hate Speech di media
sosial karena terdapat hasil vonis yang berbeda. Berdasarkan permasalahan
penelitian yang telah diuraikan maka peneliti jabarkan berupa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan dalam


menangani kasus ujaran kebencian?
b. Apa yang menjadi akar persoalan hakim dalam menangani perkara hukum
dalam putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS mengenai hate Speech
di media sosial?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan penelitian yang sudah diuraikan maka peneliti


jabarkan berupa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang bisa diterapkan


dalam menangani kasus ujaran kebencian.
b. Untuk menjelaskan akar persoalan hakim dalam menangani perkara
hukum dalam putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS mengenai
hate Speech di media sosial.
2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar, manfaat peneiltian ini akan dibagi menjadi dua:

a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan
6

dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana ujaran


kebencian di media sosial.
b. Kegunaan Praktis
1) Untuk memberikan informasi yang benar tentang tindak pidana
ujaran kebencian di media sosial.
2) Memberikan sumbangan pemikiran pada umumnya dibidang Cyber
Crime khususnya dalam melakukan kegiatan ujaran kebencian.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan tujuan
mengeksplorasi penerapan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Infomasi dan Transaksi Elektronik dalam Putusan Nomor
828/PID.SUS/2020/PN.DPS. Penelitian ini mendeskripsikan tentang apa
sanksi bagi pelaku tindak pidana ujaran kebencian menurut Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik serta
mendeskripsikan tentang pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor
828/PID.SUS/2020/PN.DPS.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis untuk mengeksplorasi penerapan hukum oleh majelis
hakim. Penulis memfokuskan pada penerapan sanksi menurut Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik dan
pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS.

2. Data Penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk
menjawab masalah penelitian. Oleh karena itu, data yang penulis gunakan
7

untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut:
a. Informasi mengenai penerapan Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik, apakah sudah dalam
penerapannya oleh Majelis hakim sudah sesuai dalam Putusan Nomor
828/PID.SUS/2020/PN.DPS.
b. Informasi tentang perbedaan pertimbangan hakim dalam memvonis
terdakwa pada Putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS dinilai
Majelis Hakim tingkat pertama sudah sesuai dan tepat sehingga tidak
perlu mencapai tingkat banding jika dilihat dari unsur-unsur tindak
pidana ujaran kebencian.

c. Informasi mengenai Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang


ujarang kebencian (hate speech) dan Surat Edaran Kapolri No.
SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk
Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan
Produktif.

3. Sumber Data
Sumber data ini hanya bertumpu dari dokumen putusan
pengadilan, yaitu Putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS.

4. Metode dan Tekhnik Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumen dengan membaca isi dokumen. Sebelum mendapat
data, saya mencari dokumen putusan terlebih dahulu di website resmi
Direktori Putusan Mahkamah Agung secara daring. Data penelitian ini
terdiri dari bahan hukum primer, yaitu naskah Putusan Nomor
828/PID.SUS/2020/PN.DPS.
8

5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum


sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi selanjutnya, setelah bahan hukum
diolah dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya
akan diketahui permasalahan mengenai relevansi PENEGAKAN
HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN
(HATE SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL (Analisis Putusan
828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan 72/PID.SUS/2020/PT.DPS ).

6. Pedoman Penulisan
Pedoman yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini
berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku yang telah
disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum, yaitu “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penulisan dalam penelitian ini maka peneliti


akan menguraikan metode penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab sebagai
berikut:

Bab Pertama, pada bab ini membahas mengenai Pendahuluan


tentang pengantar untuk dapat memahami garis besar dari topik penelitian
yang diangkat, yaitu diuraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan
9

Bab Kedua, pada bab ini dilanjutkan dengan membahas tentang


kajian teoritis, pada bab ini akan diuraikan dua pokok pembahasan yang
mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya pembahasan terkait teoritis,
yakni teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan yang tertuang dalam
tulisan ini, kerangka konseptual yakni kata yang sering digunakan dalam
tulisan ini. Selanjutnya akan dijelaskan terkait review (tinjauan ulang) studi
terdahulu, agar tidak ada persamaan terhadap materi muatan dan pembahasan
dalam skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh pihak lain.

Bab Ketiga, pada bab ini dilanjutkan dengan membahas terkait


bagaimana Tinjauan Tentang Penerapan Hukum Pengaturan Ujaran
Kebencian di Indonesia dan Kebebasan Berekspresi Dalam Sistem Hukum di
Indonesia dan Posisi Hukum. Pada bab ini penulis akan fokus untuk
menguraikan beberapa data yang berhubungan erat dengan apa yang menjadi
titik fokus pembahasan dalam tulisan ini. Data-data yang didapatkan dari
sumber yang jelas dan akurat yang didapat dari lembaga yang bersangkutan
sebagai pelengkap penulisan ini.

Bab Keempat, pada bab ini membahas tentang upaya penegakan


hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian pada media sosial,
pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS
tentang Hate Speech di media sosial.

Bab Kelima menjelaskan mengenai jawaban dari perumusan


masalah yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian yang selanjutnya
dituangkan kedalam kesimpulan dan rekomendasi sebagai temuan yang di
peroleh peneliti dari pokok permasalahan yang diangkat didalam penelitian ini
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HATE SPEECH DI MEDIA SOSIAL

A. Kerangka Teori dan Konseptual

Untuk mampu memeahami berbagai persoalan yang ditulis oleh penulis


pada bab selanjutnya, pemahaman awal berupa teori sangat diperlukan oleh
pembaca. Pada bab ini penulis akan memaparkan definisi dari istilah
konseptual terkait konsep dasar dari kegiatan ujaran kebencian di media
sosial atas 5 sub-bab. Sub-bab pertama ialah kerangka teori yang
menguraikan teori-teori terkait tindak pidana ujaran kebencian. Dilanjutkan
dengan sub-bab kedua ialah kerangka konseptual yang memaparkan definisi
dari istilah pokok bahasan skripsi. Pada sub-bab ketiga penulis meninjau
beberapa penelitian terdahulu. Pada sub-bab empat dan lima penulis
menjelaskan pengertian dari tindak pidana ujaran kebencian di media sosial.

1. Kerangka Teori

Untuk menilai suatu perbuatan ujaran kebencian dapat dikatakan


sebagai suatu tindak pidana. Berikut ini adalah teori terkait yang
menyatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana

a. Teori Pemidanaan
Pemidanaan sendiri diartikan sebagai upaya untuk menjalankan
gagasan-gagasan mengenai keadilan, kepastian hukum dan manfaat
sosial menjadi nyata1. Proses dari penegakan hukum ini dilakukan
agar norma hukum dapat secara actual menjadi panduan dari perilaku-
perilaku dalam sebuah hubungan hukum didalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan penegakan hukum pidana merupakan
sebuah upaya untuk melahirkan gagasan atau pemikiran mengenai
keadilan didalam hukum pidana khususnya dalam kepastian hukum
dan kemanfaatan sosial yang membuat kepastian hukum dan

1
Sajipto Raharjdo, Masalah Penegakan Hukum, (Bandung : Sinar Baru, 1987), h.15.

10
11

kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum di setiap hubungan


hukum2.
Penegakan hukum tidak hanya dapat bergerak di ranah hukum
pidana atau bidang represif tetapi dapat bergerak didalam bidang
preventif. Tetapi dalam istilah Law Enforcement, penegakan hukum
dianggap represif, sedangkan tindakan preventif disebut sebagai law
compliance. Sehingga akan menjadi lebih tepat jika menggunakan
istilah penanganan hukum atau pengendalian hukum3. Penegakan
hukum pidana dibagi menjadi dua tahap utama yakni:
1) Penegakan Hukum Pidana In Abstracto.
Penegakan hukum ini adalah tahap dimana pembuatan atau tahap
formulasi sudah selesai saat diundangkannya sebuah peraturan
perundang-undangan. Yang selanjutnya diarahkan kepada tahap
eksekusi. Di dalam ketentuan perundang-undangan pokok masalah
hukum pidana harus memuat tindak pidana (strafbaar feit/criminal
act/actus reus), Kesalahan (schuld/guit/mens rea), dan Pidana
(straf/punishment/poena).
2) Penegakan Hukum Pidana In Concerto.
Penegakan hukum In Concerto , adalah proses penjatuhan pidana
(pemidanaan). Proses ini dilakukan untuk menegakan kebenaran
dan keadilan. Penegakan hukum pidana in concerto ini terdiri dari
tahap penerapan (penyidikan) dan tahap pelaksanaan Undang-
Undang oleh aparat penegak hukum, yang dapat disebut sebagai
tahap yudisial dan tahap eksekusi. Dimana kedua tahap ini adalah
titik penting dari penanganan dalam sebuah perkara pidana yang
diwarnai sebagai berikut:
a) Masalah perbuatan uang suap dan perbuatan tercela lainnya (
permainan kotor)

2
Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada,2012), h.15.
3
Andi Hamzah,Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana, (Surabaya : FH
Universitas, 1983), h.24.
12

b) Masalah scientific culture / approach ( optimalisasi


pendekatan keilmuan) dalam penegakan hukum.
Untuk melaksanakan penegakan hukum pidana, haru
melalui proses rasional yang sengaja disusun untuk mencapai
sebuah tujuan yang merupakan sebuah mata rantai aktifitas yang
tidak bersumber dari nilai pidana dan pemidanaan4.
Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum ini
dibagi menjadi 5 faktor yaitu :
1) Faktor hukumnya sendiri atau peraturan perundang undangan
didalam peraturan tersebut terdapat masalah atau tidak. Sebab
hukum memiliki fungsi untuk keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Didalam pelaksanaannya sering sekali terjadi
perdebatan antara kepastian hukum dengan keadilan. Kepastian
hukum memiliki sifat yang konkret dan berwujud nyata
sedangka keadilan memiliki sifat yang abstrak sehingga ketika
seorang hakim memutuskan sebuah perkara berdasarkan undang
undang saja, terkadang keadilan tidak dapat tercapai. Oleh
karena itu ketika melihat sebuah permasalahan mengenai hukum
harus dibiasakan menjadikan keadilan sebagai prioritas utama.5.
2) Faktor Penegak hukum. Faktor ini mencangkup para pihak yang
membuat serta menerapkan hukum yakni dalam hal ini adalah
aparatur penegak hukum yang dianggap bisa untuk memberikan
kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum secara professional.
3) Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum,
fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai
sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama
adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.
Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang
4
Andi Hamzah, Masalah Penegakan Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004),
h.21.
5
Soerjono Soekanto, Teori Efektifitas Hukum,(Jakarta : Gramedia, 1986),h.9.
13

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan


yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.
4) Faktor masyarakat penegakan hukum berasal dari masyarakat
dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.
Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai
hukum
5) Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya
ditengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari
kebudayaan spiritual atau non material. sebagai suatu sistem
(atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum
mencangkup, struktur, subtansi dan kebudayaan. Struktur
mencangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang,
mencangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum
antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-
kewajibanya, dan seterusnya6.
b. Teori Keadilan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia keadilan
diartikan sebagai tidak memihak, tidak sewenang-wenang dan
tidak berat sebelah. Keadilan memiliki arti bahwa sebuah
keputusan dan sebuah perilaku didasarkan pada norma yang
objektif. Pada dasarnya keadilan merupaka sebuah konsep yang
relatif, berbeda-beda disetiap orang, adil menurut yang satu belum
tentu adil bagi orang lain, hal ini membuat ketertiban umum harus
relevan pada sebuah indicator keadilan pada negara itu.
Di Indonesia sendiri keadilan disebut dalam Pancasila
sebagai dasar negara, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Di dalam sila kelima ini memiliki nilai-nilai dan tujuan
dalam hidup berdampingan. Keadilan-keadilan ini dapat didasari

6
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2005), h.128.
14

dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yang hubungannya


manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia, manusia
dengan masyarakat, bangsa dan negara, serta hubungan manusia
dengan Tuhan-Nya7.
Hukum memiliki hubungan yang sangat erat dengan
keadilan, hukum juga dianggap harus sejalan dengan keadilan
karena tujuan hukum dilahirkan untuk tercapainya rasa keadilan
pada masyarakat. Menurut Hans Kelsen, keadilan merupakan tata
tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya berusaha untuk
mencari kebenaran yang dapat berkembang dan subur. Karena
menurutnya keadilan merupakan sebuah keadilan, perdamaian,
demokrasi-toleransi8.
Keadilan hukum untuk masyarakat tidak hanya keadilan
yang bersifat formal-prosedural, keadilan yang didasarkan pada
aturan-aturan normatif yang jauh dari moralitas dan nilai-nilai
kemanusiaan. Sedangkan lawan dari keadilan formal-prosedural
adalah keadilan substantif yakni keadilan yang dalam
perhitungannya bukan kuantitatif seperti dalam keadilan formal,
tetapi menggunakan keadilan kualitatif sehingga didasarkan pada
moralitas publik dan nilai-nilai kemanusiaan dan mampu
memberikan kepuasan serta kebahagiaan bagi masyarakat9.
Selain keadilan bagi masyarakat terdapat pula keadilan
sosial. Keadilan sosial adalah sebuah bagian dari rumusan sila
kelima Pancasila. Keadilan ini mengatur mengenai sikap atau
perilaku individu yang memiliki keutamaan atau kebijakan itu
sendiri. Jadi, keadilan tidak hanya difokuskan pada masyarakat
umum melainkan juga kepada individu-individu. Disini keadilan

7
M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan Sebuah Kajian
Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014) h. 85-86.
8
Sadjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014) h. 174.
9
Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat,(Malang:Setara Press,
2011) h. 48
15

sosial tidak sama dengan sosialisme yang tidak terlalu perduli


dengan kepentingan individu meskipun dalam keadilan sosial
perhatian terhadapa indvidu tetap ada tetapi tidak bergantung pada
kehendak individu, melainkan bergantung dengan struktur-struktur.
Keadilan ini dapat tercapai Ketika struktur seperti prosedur
ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologis dalam masyarakat
melahirkan pembagian kekayaan masyarakat yang adil yang
menjamin bahwa setiap warga dapat menerima hak nya. Keadilan
sosial lebih mudah diterima dengan membuka struktur-struktur
yang tidak adil10.

2. Kerangka Konseptual

a. Kebebasan berekspresi
Kebebasan berekspresi merupakan hak setiap warga negara
agar dapat mengungkapkan secara lisan, tertulis dan bertanggung
jawab sesuai peraturan perundang-undangan. Kebebasan
berekspresi mengacu pada hak untuk berbicara secara bebas tanpa
adanya pembatasan. Kebebasan berpendapat adalah bagian dari
kebebasan berfikir dalam rangka untuk mencari kebenaran. Hal ini
dapat dijelaskan Ketika pendapat adalah dipaksa untuk berdiam
diri, padahal di sisi lain pendapat tersebut bisa jadi benar.
Selanjutnya maka semua orang berhak untuk mengumpulkan
informasi-informasi yang mereka kumpulkan oleh karena itu orang
tersebut harus dapat menjamin hak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, memproses dan menyampaikan11.
Kebebasan berekspresi merupakan cerminan dari komunikasi
yang berarti terdapar proses mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan

10
Hyorinimus Rhiti, Filsafat Hukum,(Dari Klasik sampai Postmoderenisme),
(Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Press, 2011), h. 151.
11
Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakkannya di Indonesia,
(Bandung: Grafiti, 2003), h. 73-75.
16

menggunakan segala jenis media yang tersedia. Seperti yang


disebutkan dalam pasal 28F UUD 1945 hasil amandemen yang
menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan
diri sendiri dan lingkungan sosialnya. Serta memiliki hak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis media
yang tersedia. Kebebasan berekspresi dalam era teknologi
informasi dan komunikasi dimasa sekarang sudah diekspresikan
melalui banyak saluran baik secara lisan, tulisan, langsung tatap
muka atau melalui media sosial12.

b. Hate Speech

Hate Speech atau ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi


yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk
provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok
yang lain. Ditinjau dari sisi hukum, ujaran kebencian adalah perkataan,
perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat
memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari
pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan
tersebut13.

Ujaran kebencian merupakan definisi untuk tindak kejahatan yang


berkaitan dengan perkataan bermuatan umpatan, penghinaan terhadap
individu atau kelompok atas dasar ras, sex, orientasi seksual,etnis dan
agama. Perbuatan tersebut merupakan bentuk penghinaan yag
menimbulkan suasana permusuhan, intimidasi serta merupakan bagian

12
Rhona K Smith , Hukum HAM,… h. 22.
13
Fathur Rahman, Analisis Meningkatnya Kejahatan Criberbulliying
Dan Hate Spaceech Menggunakan Media Sosial, “Jurnal Ilmu Pengetahuan
Dan Tehnologi Komputer”, Vol. 1, No. 3, (Mei,2016), h. 3.
17

dari tindakan pencemaran14. Pengaruh dan dampak yang terjadi akibat


ujaran kebencian dapat memberikan efek kepada audien yang
menerima pesan tersebut. Artinya, dalam situasi yang lebih khusus,
misalnya dalam forum yang lebih privat dan terbatas, di mana tidak
dimungkinkan adanya perkiraan efek yang konkret terhadap
diskriminasi, kekerasan dan intoleransi. Indonesia menganut mazhab
yang berbeda dengan beberapa Negara, seperti Amerika, dalam hal
hate speech, yaitu meletakkan hate speech sebagai tindak pidana
materiil.
Untuk dapat diproses secara hukum atau diintervensi melalui
pendekatan non hukum, suatu tindakan kejahatan tidak perlu
menunggu adanya “dampak” dari tindakan tersebut, karena tindakan
itu sendiri telah merupakan kejahatan. Hal ini yang ditegaskan di
dalam SE dan telah disebutkan, bahwa “perbuatan ujaran kebencian
memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan
kemanusiaan” atau bahwa secara inheren hate speech sendiri
merupakan kejahatan yang patut dilarang.
Hate Speech atau ujaran kebencian mempunyai sejarah Panjang
yang dihubungkan kepada pembunuhan masal berskala besar atau
ancaman penindasan atas komunitas-komunitas lemah, pembersihan
etnis atas penduduk asli Amerika dan kaum Amborigin di Australia
oleh koloni kulit putih hingga terdapat perbudakan orang-orang Afrika,
pembunuhan kaum yahudi pada masa nazi di Jerman, dan genosida
Rwanda pada tahun 1994. Walaupun demikian terkadang tujuan utama
dari ujaran kebencian adalah untuk memberikan dukungan terhadap
golongan sendiri.

c. Media Sosial

14
Yayan Muhammad Royani, Ujaran Kebencian Menurut Ali Bin Abi
Thalib, “Jurnal Al- ‘Adl”, Vol. 11 No. 1, (Oktober, 2018), h. 4.
18

Zaman era globalisasi sekarang ini banyak menyebabkan semakin


canggihnya teknologi informasi sehingga berpengaruh terhadap
munculnya bermacam-macam bentuk kejahatan yang sifatnya modern
(kekinian) yang berpengaruh lebih besar daripada kejahatan
konvensional (kejahatan terhadap harta benda, jiwa atau nyawa, dan
kehormatan yang menimbulkan kerugian baik fisik maupun psikis baik
dilakukan dengan cara-cara biasa maupun acara-cara yang baru).
Kejahatan konvensional terdiri dari beberapa hal yaitu pelaku nya bisa
siapa aja baik berpendidikan ataupun tidak dan alat kejahatannya juga
sederhana yang tidak perlu menggunakan suatu keahlian.
Berdasarkan dari beberapa literatur, cybercrime mempunyai
beberapa karakteristik, yaitu :
1) Perbuatan dilakukan secara illegal, tanpa etis dan hak itu terjadi
didalam wilayah siber atau ruang. Bahwa perbuatan tersebut tidak
dapat dipastikan yurisdiksi dari mana negara yang berlaku
terhadapnya.
2) Perbuatan tersebut dilakukan menggunakan peralatan yang ada
hubungannya dengan ineternet.
3) Perbuatan tersebut berdampak kerugian materiil maupun
immateriil seperti jasa, nilai, waktu, martabat, harga diri, dan
kerhaasiaan informasi) yang sudah pastinya lebih besar
dibandingkan kejahatan konvensional.
4) Pelaku dari perbuatan tersebut sudah pasti menguasai cara
menggunakan internet dan aplikasinya.
5) Perbuatan tersebut dapat dilakukan secara didalam negeri ataupun
diluar negeri.15

Teknologi komunikasi membawa manusia kesuatu peradaban yang


baru dengan tata nilai dan struktur sosialnya. Pada artinya masyarakat

15
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi
(Cybercrime), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h.12-14
19

yang lama berkembang menjadi masyarakat yang baru dizaman


sekarang ini , dimana system tata nilai dalam masyarakat telah berubah
dari yang bersifat local-partikular menjadi global universal. Dari
perubahan ini akan memberikan pergeseran norma, moral, kesusilaan
dan nilai.
Seiring perkembangan teknologi komputer, perkembangan
teknologi dibidang teknologi telekomunikasi, pada akhirnya
menyebabkan terjadinya perpaduan antara kedua bidang teknologi
tersebut. Pencampuran keduanya membentuk piranti baru yang dikenal
dengan sebutan nama internet. Pada artinya, internet merupakan
jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media
komunikasi, seperti satelit, kabel telfon, serat optic ataupun media
sosial.16 Internet adalah jaringan computer yang dapat terhubung ke
jaringan akademik, komersial, pemerintah, perorangan maupun
organisasi. Dan selain itu internet juga menyediakan akses layanan
telekomunikasi dan sampai jutaan yang memakai sumberdaya
informasi yang sudah tersebar diseluruh dunia.
Media sosial merupakan salah satu media yang paling tinggi
perkembangannya. Adapun pengguna internet diseluruh dunia
mencapai Sekitar 70% yang aktif dalam media sosial. Penggunaan
media sosial telah menyebabkan begitu banyak masalah, meliputi
perubahan budaya dari budaya tradisional menjadi budaya digital.
Adapula generasi yang berkembang dalam budaya digital memiliki
kecenderungan bersifat menyendiri (desosialisasi). Seperti pedang
bermata dua, namun dilain sisi media sosial juga memiliki begitu
banyak manfaat.17
Media sosial adalah sebuah media online dengan para
penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan

16
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber
Crime), … , h.33.
17
Fahmi anwar, Perubahan dan Permasalahan Media Sosial, “Jurnal Muara Ilmu
Sosial, Humaniora, dan Seni”, Vol. 1, No. 1,( April 2017) h. 137.
20

menciptakan isi meliputi blog,forum dan dunia virtual. Jejaring sosial


merupakan situs dimana setiap orang bisa page pribadi, kemudian
terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan
komunikasi. Dengan adanya media sosial informasi menjadi lebih
mudah didapat dan disebarkan. Blog, jejaring sosial dan wiki
merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh
masyarakat di seluruh dunia.
Adapula dampak positif dari media sosial yaitu memudahkan kita
untuk berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak
dan waktu bukan lagi masalah, lebih mudah dalam mengekspresikan
diri, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, biaya lebih
murah. Sedangkan dampak negatif dari media sosial adalah
menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi
secara tatap muka cenderung menurun, membuat orang-orang menjadi
kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah privasi,
rentan terhadap pengaruh buruk orang lain.
Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial adalah media
online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial
menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi
menjadi dialog interaktif18.

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini penulis merujuk kepada buku dari hasil
penelitian, skripsi, maupun artikel jurnal terdahulu, tentunya terdapat pembeda
yang membedakan apa yang menjadi fokus masalah di dalam rujukan dengan
focus masalah yang penulis teliti, yaitu:

1. Skripsi yang ditulis Arif Prasetyo Utomo

18
Anang Sugeng Cahyono, Pengaruh Media Sosial Terhadap
Perubahan Sosial Masyarakat Di Indonesia, “Jurnal Publicana”, Vol.9, No.1 (
April, 2016) .
21

Skripsi ini membahas mengenai pembatasan kebebasan berekspresi


diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 207 dan
208, Undang-undang nomor 19 tahun 2016 pasal 27 dan 28, dan pada Surat
Edaran Kapolri NO SE/06/X/2015. Persamaan penelitian ini dengan skripsi
yang saya susun adalah kami sama sama membahas mengenai kebebasan
berekspresi. Yang membedakan adalah dalam penelitian ini difokuskan pada
bentuk-bentuk ekspresi yang dianggap sebagai ujaran kebencian diatur
dalam KUHP, sedangkan dalam penelitian ini dalam pertimbangan hakim
dalam memutus Putusan Nomor 72/PID.SUS/2020/PT.DPS tentang Hate
Speech di media sosial19.

2. Skripsi yang ditulis oleh Annisa Parastyani


Skripsi ini membahas mengenai arti dan batasan-batasan mengenai
hak atas kebebasan berpendapat di depan umum. Persamaan penelitian ini
dengan skripsi yang saya buat adalah kami sama sama membahas
mengenai hak untuk berpendapat. Yang membedakan adalah skripsi yang
di tulis Annisa Parastyani berfokus kedalam perspektif Tindak Pidana
ujaran kebencian menurut Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Sedangkan penelitian saya berfokus
kepada perspektif Hak Asasi Manusia mengenai batasan ujaran kebencian.
20.

3. Skripsi yang yang dibuat oleh Rikky Sumito


Skripsi ini membahas mengenai kebebasan berekspresi yang
sedang dihadapi oleh Warga Negara Indonesia. Persamaannya adalah kami
sama sama membahas mengenai kasus yang digunakan dalam penelitian

19
Arief Presetyo Utomo, Ujaran Kebencian Melalui Media Sosial :
Antara Kebebasan Berekspresi Dan Tindak Pidana, (Jambi, Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi 2020).
20
Annisa Parastyani, Hak Kebebasan Berpendapat Di Muka Umum
Dalam Perspektif Tindak Pidana Ujaran Kebencian Menurut Pasal 156
KUHP Dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE.(Malang : Skripsi Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020).
22

sama-sama menjadi perhatian khusus di Indonesia karena terdapat


perbedaan antara anggapan masyarakat luas mengenai pertanggung
jawaban pidana dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat.
Perbedaan penelitian ini dengan skripsi yang saya susun adalah penelitian
ini difokuskan pada keberatan yang dirasakan masyarakat terhadap Pasal
27 dan Pasal 28 UU ITE. Sedangkan penelitian ini memfokuskan kepada
kondisi dan budaya masyarakat dalam menghadapi ujaran kebencian
didalam kehidupan mereka. 21

4. Artikel Jurnal Yang Ditulis Oleh Gusti Ayu Made Gita Permatasari
Dan Komang Pradnyana Sudibya
Artikel jurnal ini membahas mengenai kepastian hukum dari
pengaturan mengenai hate speech di Indonesia, persamaan dari peneltian
ini dengan penelitian yang saya buat adalah kami sama-sama membahas
pengaturan dan pertanggungjawaban yang diberikan oleh Hukum Pidana
terhadap ujaran kebencian. Yang membedakan dari penelitian ini adalah,
penelitian ini memfokuskan kepada UU ITE yang menjadikan
pertanggungjawaban pidana terhadap ujaran kebencian memiliki alat bukti
baru dalam pembuktian tindak pidana ujaran kebencian. Sedangkan dalam
penelitian ini saya memfokuskan kedalam pertimbangan hakim dalam
memutus Putusan Nomor 72/PID.SUS/2020/PT.DPS tentang Hate Speech
di media sosial. 22

5. Artikel Jurnal Yang ditulis oleh Irawan, Hamza Baharuddin dan Nur
Fadhillah

21
Rikky Gani, Analisis yuridis terhadap implementasi Pasal 27 dan
Pasal 28 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 terhadap penghinaan atau
pencemaran serta ujaran kebencian dalam kebebasan berpendapat, (Jakarta :
Skripsi Universitas Pelita Harapan, 2020) .
22
Gusti Ayu Made Gita Permatasari Dan Komang Pradnyana Sudibya,
Tinjauan Yuridis Mengenai Pengaturan Dan Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian Di Media Sosial, Jurnal Kertha
Wicara, Vol. 2, No.5 (Maret, 2018).
23

Artikel jurnal ini membahas mengenai factor-faktor yang


mempengaruhi penuntutan tindak pidana terhadap ujaran kebencian.
Persamaan penelitian saya dengan artikel jurnal ini adalah kami sama-
sama menganalisis penuntutan terhadap tindakan ujaran kebencian.
Perbedaannya adalah penelitian saya berfokus pada kasus ujaran
kebencian yang dilakukan oleh Jerinx sedangkan artikel jurnal ini berfokus
pada efektifitas Kejaksaan Negeri Makasar dalam menghadapi kasus
ujaran kebencian. 23

C. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tentang tentang tindak pidana merupakan istilah yang


berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikenal
dengan straafbaar feit yang dalam bahasa inggris berasal dari kata criminal
act. Dalam memberikan definisi mengenai straafbaar feit masih banyak
perbedaan pendapat dari berbagai ahli karena tidak ada penjelasan resmi
tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit dalam Wvs Hindia
Belanda (KUHP) itu sendiri.24

Simons merumuskan straafbaar feit sebagai kelakuan yang


diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab. Van Hamel dalam mendefinisikan straafbaar feit adalah perbuatan
seseorang yang dirumuskan adalah wet, yang bersifat melawan hukum,
yang patut dipidana, dan dilakukan dengan kesalahan. Moeljanto dalam
bukunya Asas-Asas Hukum pidana mendefinisikan tindak pidana sebagai

23
Irawan, Hamza Baharuddin dan Nur Fadhillah, Efektivitas
Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech): Studi
Kejaksaan Negeri Makassar, “Journal Of Lex Generalis (JLG)”, Vol.1, No.5
(Oktober, 2020).
24
Isnu Gusnadi, Cepat &Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Fajar
Interpratama Mandiri, 2014), Cetakan Pertama, h. 35.
24

perbuatan yang dilarang, oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut. Pendapat lain mengenai pengertian
pengertian tindak pidana disampaikan oleh E. Utrecht,
menurutnya tindak pidana merupakan adanya perbuatan yang melawan
hukum, ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas
kelakuannya.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka menurut penulis tindak


pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana
(sanksi pidana) kepada seseorang ataupun kelompok yang melakukan
tindak pidana tersebut.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Pada dasarnya suatu perbuatan harus terdir dari unsur-unsur fakta


perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat (perbuatan) yang
ditimbulkan karenanya. Dari keduanya akan melahirkan suatu kejadian/
perbuatan. Perbuatan yang dapat dipidana apabila memenuhi unsur
subjektif dan objektif, diantaranya:

a. Adanya perbuatan yang dilarang, dalam hal ini baik disengaja maupun
tidak disengaja yang dilakukan oleh manusia,

b. Akibat, akibat dari perbuatan seseorang yang dapat merugikan atau


membahayakan orang lain dan jika dilakukan akan ada sanksi yang
dapat menjeratnya, misalkan perbuatan yang diatur dalam pasal 362
KUHP yang mengakibatkan hilangnya barang milik orang lain.

c. Sifat melawan hukum, bertentangan dengan peraturan perundang-


undangan ataupun hal-hal yang dibenarkan masyarakat sebagai
tindakan yang tidak patut dilakukan.
25

d. Keadaan sekitar yang dilanggar dan diancam oleh peraturan


perundang-undangan .

e. Hal yang dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang.

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau bukan


menurut Moeljanto harus memenuhi unsur sebagai berikut:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan), misalnya terdapat pada pasal 338


KUHP. Unsur yang terdapat dalam pasal tersebut salah satunya ialah
tindakan/ kelakuan seseorang, sehingga mengakibatkan kematian
terhadap orang lain.

b. Hal Ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

d. Unsur melawan hukum subjektif.

e. Unsur melawan hukum objektif.

Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat


ataumembiarkan)

b. Melawan hukum (onrectmatige).

c. Diancam dengan pidana (staatbaar gesteld)

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld inverband staand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

3. Jenis-jenis tindak pidana

a. Kejahatan dan pelanggaran


26

Membedakan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana


pelanggaran bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dalam penglihatan
kualitatif, kejahatannya adalah recht delict artinya kejahatan adalah
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, perbuatan tersebut
diancam dengan pidana dalam undang-undang atau tidak. Sedangkan
pelanggaran bersifat wet delict, artinya perbuatan tersebut baru
diwujudkan sebagai
pelanggaran setelah adanya hukum yang menyatakan bahwa tindakan
tersebut merupakan tindak pidana.

Menurut pandangan kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan


pelanggran dilihat dari perspektif kriminologi, yaitu kejahatan
dipandang lebih serius dibandingkan dengan pelanggaran.

b. Delik Formil dan Delik Materil

Delik Formil merupakan delik yang menguraikan tentang


perbuatan yang dilarang, delik ini tidak mengatur akibat dari
perbuatandilarang tersebut. Misalnya delik pencurian hanya
mengandung perbuatam yang dilarang berupa pengambilan barang
orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut untuk dimiliki (Pasal
362 KUHP), dalam pasal ini tidak dijadikan unsur akibatnya. Delik
Materil mengandung unsur akibat seperti
delik pembunuhan (Pasal 538 KUHP), yang berarti perbuatan apa saja
yang membawa akibat dari kematian orang lain.

c. Delik Dolus dan Delik Culpa

Delik dolus merupakan delik yang memuat unsur kesengajaan,


misalnya pada Pasal: 187, 245, 3310, 338 KUHP. Sedangkan Delik
Culpa merupakan delik yang memuat kelapaan sebagai salah satu
unsur, misal pada Pasal 195, 197, 360 KUHP.
27

d. Berdasarkan macam perbuatannya dapat dibedakan menjadi Delik


Commissionis dan delik Omissionis

e. Delik Aduan dan Delik Biasa

4. Sistem Hukuman

Mengenai sanksi telah diatur dalam Pasal 10 KUHP bahwa


hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana
terdiri dari:

a. Hukuman Pokok (hoofd straffen)

1. Hukuman mati

2. Hukuman penjara

3. Hukuman kurungan

4. Hukuman denda

b. Hukuman tambahan

1. Pencabutan beberapa hak tertentu

2. Perampasan hak-hak tertentu

3. Pengumuman putusan hakim

D. Sanksi Tindak Pidana Ujaran Kebencian di Media Sosial

Pada tema pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa hal


penting yang terkait dengan tindak pidana ujaran kebebencian di media
sosial, unsur dari tindakan ujaran kebencian di media sosial, dan sanksi
hukumannya menurut hukum positif. Pertama, penulis akan membahas
mengenai pengertian ujaran kebencian di media sosial secara
28

fundamental. Kedua, penulis membahas tentang unsur tindak pidana


ujaran kebencian di media sosial.

1. Pengertian Tindak Pidana ujaran kebencian di media sosial

Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah Tindakan komunikasi


yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk
provokasi, hasut an, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang
lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat,
seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Dalam arti hukum
Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan,
ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya
tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku
pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang
menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini
disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum
Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu25

Hampir semua Negara diseluruh Dunia mempunyai undang-


undang yang mengatur tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), di
Indonesia Pasal-Pasal yang mengatur tindakan tentang Ujaran Kebencian
(Hate Speech) terhadap seseorang, kelompok ataupun lembaga
berdasarkan Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015 terdapat di dalam
Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, kemudian Pasal 28 jis.Pasal
45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang informasi & transaksi
elektronik dan Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis. Berikut beberapa penjabaran singkat terkait
Pasal-Pasal didalam Undang-undang yang mengatur tentang Ujaran
Kebencian (Hate Speech):

1). KUHP :

25
Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti, 2009), h. 38.
29

1. Pasal 156 KUHP: Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan


permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa
golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.

2). Pasal 157 ayat (1) dan (2) KUHP:

a.Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan


tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung
pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara
atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud
supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.

b.Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu


menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun
sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu
juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian
tersebut.

3. Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP:

a. Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik


seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan
pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.

b. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun
30

empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.

c. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika


perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk membela diri.

d. Pasal 311 KUHP ayat (1): Jika yang melakukan kejahatan


pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan
apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan
dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam
melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

4. UU No 11 tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi


Elektronik): 1. Pasal 28 ayat (1) dan (2):

a. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita


bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.

b. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi


yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) 3)
Pasal 45 ayat (2): Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

5. UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis: 1.


Pasal 16: Setiap Orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian
atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau
31

angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun


dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Selama ini, Ujaran Kebencian (Hate Speech) berdampak pada
pelanggaran HAM ringan hingga berat. Selalu awalnya hanya kata-kata,
baik di media sosial, maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu
menggerakan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah.
Oleh sebab itu maka di perlukan adanya suatu tindakan dari para aparat
dan penegak hukum khususnya Kepolisian untuk mencegah dan
melakukan tindakan preventif maupun represif dalam menangani kasus
Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini.

Apabila tidak ditangani dengan efektif efisien dan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan akan berpotensi memunculkan
konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak
diskriminasi, kekerasan dan atau penghilangan nyawa. Didalam surat
Edaran Kapolri NOMOR SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate
Speech) dijelaskan pengertian tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech)
dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan
pidana lainnya di luar KUHP3 , yang berbentuk antara lain:

1. Penghinaan
2. Pencemaran nama baik
3. Penistaan
4. Perbuatan tidak menyenangkan
5. Memprovokasi
6. Menghasut
7. Menyebarkan berita bohong

Semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada


tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik
sosial. Selanjutnya dalam Surat Edaran (SE) pada huruf (h) disebutkan,
32

Ujaran Kebencian (Hate Speech) sebagaimana dimaksud diatas dapat


dilakukan melalui berbagai media,antara lain:
1. Dalam Orasi kegiatan kampanye
2. Spanduk atau banner
3. Jejaring media sosial
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi)
5. Ceramah keagamaan
6. Media masa cetak atau elektronik
7. Pamflet
Ruang lingkup kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech)
tergolong ke dalam tindak pidana terhadap kehormatan, istilah lain yang
juga umum dipergunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan
adalah tindak pidana penghinaan. Dipandang dari sisi sasaran atau objek
delicti, yang merupakan maksud atau tujuan dari Pasal tersebut yakni
melindungi kehormatan, maka tindak pidana terhadap kehormatan lebih
tepat.Pembuat undang-undang,sejak semula bermaksud melindungi:
1. Kehormatan, dalam bahasa Belanda disebut eer
2. Nama Baik, dalam bahasa Belanda disebut geode naam.
Jika dipandang dari sisi feit/perbuatan maka tindak pidana
penghinaan tidak keliru. Para pakar belum sependapat tentang arti dan
definisi kehormatan dan nama baik, tetapi sependapat bahwa kehormatan
dan nama baik menjadi hak seseorang atau hak asasi setiap manusia.
Dengan demikian, hanya manusia yang dapat memiliki kehormatan dan
nama baik. Binatang meskipun saat ini ada yang telah diberikan nama,
tetapi tidak dapat memiliki kehormatan dan nama baik. Bagi masyarakat
Indonesia, kehormatan dan nama baik telah tercakup pada Pancasila, baik
pada Ketuhanan Yang Maha Esa maupun pada kemanusiaan yang adil
dan beradab, hidup saling menghormati. Sesuai dan menurut Surat
Edaran Kapolri No SE/X/06/2015 yang dimaksud Ujaran Kebencian
(Hate Speech) dan yang termasuk kedalam Ujaran Kebencian (Hate
Speech) di antaranya adalah penghinaan, pencemaran nama baik,
33

penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut


dan menyebarkan berita bohong baik secara langsung di muka umum
maupun lewat sosial media.
Berikut akan di jelaskan mengenai beberapa perbuatan Yang termasuk
kedalam Ujaran Kebencian (Hate Speech).
1. Penghinaan Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dalam penjelasan Pasal 310
KUHP, menerangkan bahwa: Menghina adalah Menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang. Yang diserang ini biasanya
merasa malu. Objek penghinaan adalah berupa rasa harga diri atau
martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik orang baik
bersifat individual ataupun komunal (kelompok).
2. Pencemaran Nama Baik Pengertian Pencemaran Nama Baik dalam
KUHP dikenal juga pencemaran nama baik (defamation) ialah
tindakan mencemarkan nama baik atau kehormatan seseorang
melalui cara menyatakan sesuatu baik secara lisan maupun tulisan.
3. Penistaan Penistaan adalah suatu perkataan, perilaku, tulisan,
ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya
tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku
pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut,
sedangkan menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP Penistaan adalah Suatu
perbuatan yang dilakukan dengan cara menuduh seseorang ataupun
kelompok telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar
tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang di
tuduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti
mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya. Cukup dengan
perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.
Sedangkan Penistaan dengan surat di atur di dalam Pasal 310 ayat
(2) KUHP.
34

Sebagaimana dijelaskan, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan


tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan menista
dengan surat. Jadi seseorang dapat dituntut menurut Pasal ini jika
tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
4. Perbuatan Tidak Menyenangkan Suatu perlakuan yang menyinggung
perasaan orang lain. Sedangkan di dalam KUHP Perbuatan Tidak
Menyenangkan di atur pada Pasal 335 ayat (1). Pasal 335 ayat (1):
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
1) Barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan
memakai kekerasan suatu perbuatan lain maupun perlakuan
yang tak menyenangkan, atau memakai ancaman kekerasan,
sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan tak menyenangkan,
baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
2) Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman
pencemaran atau pencemaran tertulis.
5. Memprovokasi Menurut KBBI Memprovokasi artinya adalah suatu
perbuatan yang dilakukan untuk membangkitkan kemarahan dengan
cara menghasut, memancing amarah, kejengkelan dan membuat
orang yang terhasut mempunyai pikiran negatif dan emosi.
6. Menghasut Menurut R.Soesilo Menghasut artinya mendorong,
mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya
berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat ”dengan
sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau
“membujuk” akan tetapi bukan “memaksa”. Pidana yang mengatur
tentang Hasutan atau Menghasut di atur di Pasal 160 KUHP.
7. Menyebarkan Berita Bohong Menurut R.Soesilo Menyebarkan
Berita Bohong yaitu menyiarkan berita atau kabar dimana ternyata
kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong.Yang dipandang
35

sebagai kabar bohong tidak saja memberitahukan suatu kabar


kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul suatu
kejadian.

Subjek hukum dalam tindak pidana ujaran kebencian di media sosial


sebagai berikut:
1. Orang perseorangan, yaitu setiap individu/perorangan yang secara sengaja
maupun tidak sengaja bertindak melakukan ujaran kebencian di media
sosial.
2. Kelompok, yaitu dua orang atau lebih yang bekerja sama melakukan
ujaran kebencian di media sosial.
36

BAB III

PENERAPAN HUKUM PENGATURAN UJARAN KEBENCIAN

DI INDONESIA

A. Pengaturan Hukum Ujaran Kebencian Berdasarkan Ketentuan Hukum Di


Indonesia

Pengaturan hukum mengenai ujaran kebencian yang didasarkan pada


hukum di Indonesia telah di atur di dalam beberapa peraturan perundang-
undangan antara lain adalah, dalam Pasal 156 Kitab Undang - Undang Hukum
Pidana (KUHP), Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 16
juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait.
Dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan
bahwa suatu perbuatan tersebut di lakukan dengan ujaran yang berisi kata-kata
atau kalimat tertentu, dimana dapat di nyatakan dengan ucapan sehingga
dikataan sebagai menyatakan perasaan dengan lisan. Isi dari perkataan yang
dapat dinyatakan sebagai ujaran dengan rasa kebencian adalah sebagai berikut:
1. Sebuah pernyataan,
2. Mengenai suatu hal,
3. Mengandung permusuhan,
4. Mengandung kebencian, dan
5. Penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia

Syarat sebuah perkataan agar dapat di anggap sebagai pernyataan


permusuhan, kebencian atau menghina atas suatu atau beberapa golongan
penduduk Indoesia dalam masyarakat Indonesia adalah dengan mendasarkan
pada nilai-nilai moral, tata Susila dan ketaatan dalam pergaulan hidup
37

masyarakat sebagai suatu bangsa yakni bangsa indonesia26. Komisi Nasional


Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) dalam buku saku atas penanganan ujaran
kebencian (hate speech) saying berbahaya dikarenakan :
1. Merendahkan manusia lain. Hal ini dikarenakan karena manusia merupakan
ciptaan tuhan dan tidak ada seorang pun yang dapat merendahkan manusia
lainnya dan kemanusiaan seorang pun merupakan ciptaan Tuhan.
2. Menciptakan kerugian materiil dan memakan korban jiwa. Berdasarkan data
penelitian, ditemukan fakta bahwa jumlah kerugian materil dan korban
kekerasan yang berdasarkan identitas lebih besar dari pada kekerasan
lainnya.
3. Dapat berdampak pada konflik. Hasutan untuk memusuhi orang lain atau
kelompok tertentu dapat melahirkan konflik, konflik ini dapat antar individu
dan dapat meluas menjadi konflik komunal atau antar kelompok lainnya.
4. Dapat berdampak kepada pemusnahan kelompok (genosida). Hasutan atas
kebencian ini dapat membuat stereotyping atau pelabelan, stigma,
pengucilan, diskriminasi, kekerasan. Untuk tingkat yang paling mengerikan
dapat melahirkan kebencian kolektif seperti pembantaian etnis, pembakaran
kampung atau genosida, terhadap kelompok yang menjadi sasaran pada
ujaran kebencian.

Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran


Kebencian (Hate Speech) Nomor 2 huruf (f) Surat Edaran Kapolri Nomor
SE/06/X/2015 dijelaskan lebih lanjut bahwa ujaran kebencian bisa berbentuk
tindak pidana yang sudah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang terdapat di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbentuk Penghinaan,
Pencemaran nama baik, Penistaan, Perbuatan tidak menyenangkan,
memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong dan semua tindakan

26
Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, (Malang :
Media Nusa Creative, 2016), h. 199-200.
38

tersebut memiliki tujuan atau dapat berdampak pada tindak diskriminasi,


kekerasan, penghilangan nyawa dan / atau konflik sosial.
Selanjutnya mengenai Revisi UU ITE yang baru dengan Undang-Undang
No. 19 Tahun 2016 sudah diundangkan pada tanggal 25 November 2016. Hal ini
sesuai dengan Pasal 87 UU No. 12 Tahun 2011 sehingga, semenjak di
undangkannya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 ini memiliki kekuatan
hukum dan seluruh masyarakat Indonesia dinilai sudah mengetahui dan wajib
melaksanakannya. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 memiliki amanat
penting untuk masyarakat agar dapat membangun etika dalam penggunaan
media sosial. Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tidak dimaksudkan
untuk melarang orang-orang untuk berpendapat maupun mengkritisi melalui
media sosial. Harus di pahami bahwa Pasal 28 E ayat (3) secara tegas
mengatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Kebebasan adalah hak asasi manusia (HAM) yang memang dilindungi
oleh konstitusi. Tetapi harus dilihat juga pada pasal 28 J ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, karena HAM bukan lah
kebebasan tanpa batasan tetapi negara juga memiki andil untuk mengatur
batasannya, HAM seseorang perlu di batasi oleh HAM orang lain sesuai dengan
amanat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Kebijakan hukum pidana sendiri terdiri dari tahap formulasi, tahap
aplikasi, dan tahap esekusi dan apabila memiliki kelemahan pada tahap
formulasinya maka akan berdampak juga kepada tahap selanjutnya yakni tahap
aplikasi dn tahap esekusi. Seperti dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE
sering kali dianggap sebagai pasal yang multitafsir, sehingga pasal ini dalam
penerapannya menjadi bermasalah. Ujaran kebencian di media sosial merupakan
delik yang dirumuskan didalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pasal 28 ayat (2) UU
ITE ini mengatur mengenai perbuatan yang dianggap dapat menghasut,
39

menyebarkan atau mensyiarkan sebuah pernyataan yang menyinggung hal-hal


penting seperti Suku, Agama, Ras, dan Atargolongan (SARA)27
Terdapat dua unsur didalam delik ujaran kebencian yang dirumusakan
pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE yakni unsur objektif dan subjektif28. Unsur
subjektif dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE terdapat pada kata “dengan sengaja”
yang berarti perbuatan itu di lakukan oleh pelaku secara sadar dan mengetahui
perbuatan tersebut merupakan perbuatan terlarang. Selain itu, terdapat 4 unsur
objektif yang dimiliki oleh pasal 28 ayat (2) UU ITE yaitu:
1. Dalam kalimat “tanpa hak”, “ menyebarkan informasi untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan” dan “ individu dan atau kelompok
masyarakat tertentu yang didasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antar
golongan (SARA)
2. “Dengan sengaja” adalah unsur kesalahan yang dapat menjadi suatu
keharusan dalam ketentuan hukum, kesengajaan merupakan unsur yang di
maksud didalam Pasal tersebut. Hal ini memiliki arti kesengajaan dalam
beberapa jenisnya yang memiliki peliang untuk diterapkan pada maksud
dari unsur kesengajaan tersebut, kesengajaan memiliki 2 artian yakni
sebagai kemungkinan dan sebagai sebuah kepastian. Dimana pelaku tersebut
memiliki tujuan yang ingin di capai sehingga di cerminkan kedalam
perbuatannya. Perbuatan tersbeut harus memiliki isu Suku, Agama, Ras, dan
Atargolongan (SARA) yang menjadi hal penting sebagai bahan oleh pelaku
agar dapat memunculkan perselisihan dan membuat rasa benci serta
permusuhan didalammnya.
3. “tanpa hak” adalah unsur yang di berikan secara bersamaan dengan unsur
subjektif yakni “dengan sengaja” hal ini memiliki arti bahwa penutut umum
harus dapat membuktikan kedua unsur tersebut secara sekaligus. Arti dari
“tanpa hak” adalah pelaku melakukan perbuatannya dengan tidak

27
Sugeng , Hukum Telematika Indonesia ( Jakarta : Prenadamedia
Group, 2020), h.33.
28
Azhar dan Sopoyono , Kebijakan Hukum Pidana dalam
Pengaturan dan Penanggulangan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di
Media Sosial, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia , Vol .2 , No.2 ( Mei,
2020), h. 275.
40

didasarkan oleh hak maupun kewenangan. Isu Suku, Agama, Ras, dan
Atargolongan (SARA) adalah objek yang dituju dan disinggung oleh pelaku
dalam mewujudkan tujuannya agar dapat melahirkan rasa kebencian dan
permusuhan.
4. “menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan” yang berbentuk informasi berdasarkan UU ITE dengan
memanfaatkan fasilitas jaringan internet atau sistem elektronik lainnya.
Persyaratan dalam peristiwa ini yakni informasi yang berkaitan harus
tersebar dan diketahui oleh masyarakat luas. Waktu tersebarnya informasi
tesebut harus diketahui semenjak informasi elektronik dengan jelas dilarang
dan telah tersebar serta di ketahui oleh masyarakay yang di sebabkan oleh
pelaku. Sedangkan jika informasi tersebut sudah di baca, di ketahui dan di
lihat oleh berapa banyak masyarakat tidak menjadi masalah informasi ini
menjadi mudah di akses oleh setiap kalangan yang diakibatkan oleh pelaku
juga menjadi tolak ukur yang harus di tetapkan kepada pelaku.
5. Objek yang menjadi tujuan pada perbuatan yang di maksud dalam pasal 28
ayat (2) UU ITE merupakan “individu dan atau kelompok masyarakat
tertentu yang didasarkan pada Suku, Agama, Ras, dan Atargolongan
(SARA)” dimana dapat terjadi oleh siapa saja, korban yang dimaksud dalam
persoalan ini adalah setiap orang dan atau kelompok masyarakat yang
secara manusia memiliki jati diri atas dasar isu penting yang di maksud
didalam pasal ini.

Unsur yang lainnya adalah unsur yang didasarkan pada berbagai konvensi
internasional yakni, niat (intent), dalam unsur niat ini mengkualifikasikan sebuah
pernyataan harus dilakukan secara sadar oleh pelaku dimana dapat melahirkan
rasa benci. Unsur yang kedua adalah hasutan (incitement), hasutan disini
memiliki maksud untuk membuat perbedaan pada pandangan mengenai suatu
yang tidak di perbolehkan. Hal ini diperhatikan berdasarkan 2 macam perspektif,
perspektif yang pertama adalah menyakini sebuah perbuatan menghasut
merupakan perbuatan yang harus dilarang, sedangkan perspektif lainnya
41

mengatakan bahwa penyebaran gagasan-gagasan mengenai diskriminasi lah


yang sebenarnya harus secara tegas dilarang.
Hubungan diantara konteks pernyataan dengan kemungkinan dari
perbuatan yang di lakukan itu merupakan faktor dari unsur hasutan yang harus
diperhatikan dalam proses menentukan ada atau tidak adanya perbuatan tersebut,
terakhir unsur ketiga yaitu adalah hasil yang di larang (proscribed results), unsur
ini memfokuskan terhadap apa saja yang secara umum telah menjadi akibat dari
kejahatan atau perbuatan terlarang itu.29

B. Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Hukum di Indonesia

Pada sistem hukum di Indonesia sudah membentuk peraturan yang


mengatur tentang kebebasan berpendapat baik melalui media sosial maupun
secara langsung, seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 Pasal 27 dan 28 dimana peraturan mengenai keasusilaan, perjudian,
pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman, berita hoax, dan ujaran
kebencian dengan dasar permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Golongan. Lalu, dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Pasal 207 dan 208 yang menjelaskan tentang penghinaan
kepada penguasa dapat terkena pidana.

Kebebasan berekspresi merupakan kebebasan yang merujuk pada sebuah


hak untuk berbicara dengan bebas tanpa adanya sensor atau pembatasan dimana
dalam menggunakan hak ini seluruh masyarakat harus memiliki prinsip bebas dan
bertanggung jawab. Bebas disini adalah bahwa seluruh ide, pikiran dan pendapat
dikemukakan dengan bebas tanpa adanya tekanan dari siapapun serta bertanggung
jawab atas seluruh ide, pikiran atau pendapat yang sebelum di kemukakan harus
didasari dengan akal sehat, niat baik dan norma-norma yang berlaku.

Untuk menyamakan pandangan mengenai pemikiran kebebasan, terdapat


beberapa perbedaan dari kata kebebasan dan kemerdekaan yang kerap kali

29
Mauludi, Awas Hoax! : Cerdas Mengahadpi Pencemaran Nama Baik, Ujaran
Kebencian Dan Hoax, (Jakarta : PT. Elex Media Komputido, 2018), h.21.
42

dianggap memiliki arti yang sama. Kata kebebasan dan kemerdekaan memang
dapat di gunakan secara bergantian. Kedua kata ini juga dapat di artikan sebagai
hal yang sama sesuai dalam kamus besar bahasa Indonesia yang mengatakan
bahwa kebebasan adalah sinonim dari kemerdekaan itu sendiri30. Sedangkan jika
melihat secara etimologis bebas menurut kamus umum bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai berikut:

1. Lepas sama sekali yaitu tidak terhalang, tidak terganggu dan sebagainya
sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat sebagaimananya dengan leluasa;

2. Lepas dari kewajiban yaitu terlepas dari tuntutan, ketakutan, tidak dikenakan
pajak, hukuman dan sebagainya dimana dapat juga diartikan sebagai tidak
terikat atau terbatasi oleh apapun;

3. Merdeka dimana tidak dapat di perintah atau di pengaruhi oleh negara lain31.

Kebebasan berekspresi dapat dikaitkan pada kebebasan mengeluarkan


pendapat dimana telah diatur didalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945
yakni kemerdekaan dalam berserikat dan berkumpul, dalam mengeluarkan
pemikiran dengan lisan dan tulisan sesuai dengan ditetapkannya undang-undang
dari setiap warga negara yang wajib memahami hak dan kewajibannya dalam
mengeluarkan pendapat. Sesuai dengan yang dikatakan dalam Pasal 21
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). “Freedom of
Expression is a fundamental right” yang dapat diartikan sebagai sebuah hak yang
sangat mendasar ini adalah sebulah penegasan atas kebebasan berekspresi sebagai
dasar hak dari hak asasi manusia.

Kebebasan dalam berekspresi sebenarnya sudah ada sejak masa Polis


Athena di Yunani, dimana sekitar 2400 tahun yang lalu. Namun, jenis kebebasan
berekspresi pada zaman itu masih terbatas dan hanya dapat di lakukan oleh

30
Jimly Asshiddiqie, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM,(Yogyakarta : Genta
Publishing, 2013), h.23.
31
W.J.S. Poerwadirminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1984), h.113.
43

kelompok kecil di masyarakat. Sejarah pada zaman modern baru dimulai di abad
ke -14 dimana percetakan sudah berkembang di eropa. Perjuangan terhadap hak
asasi manusia di eropa dipuncaki pada Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Penduduk Negara (Declaration des Droits L’Hommes et du Citoyen) pada tahun
1789 di Perancis.

Pada tahun 1688, Raja William II di Inggris juga menyusun Declaration


and Bill of Rights yang membahas bahwa hak-hak rakyat dan anggota parlemen
tidak boleh di ganggu gugat atau di tuntut atas dasar pengucapannya. Lahirnya
Declaration and Bill of Rights mendorong adanya monarkhi konstitusional (GAE,
1983 : 209). Sehingga dimasa sekarang Bill of Rights dianggap sebagai salah satu
dokumen penting untuk menghormati hak asasi manusia dimana setelah itu hak
asasi manusia di pertegas kembali melalui Declaration of Independence di tahun
1788. Deklarasi ini menggunakan asas persamaan manusia, karena tuhan telah
menciptakan manusia dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dirampas
diantaranya adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas dan hak untuk mengejar
kebahagiaan. Perlindungan pertama yang dilakukan atas hak kebebasan
berekspresi pertama kali di berikan oleh Amandemen Pertama Konstitusi Amerika
Serikat pada abad ke-18.

Kebebasan berekspresi juga termasuk kedalam Four Freedom yang di


ucapkan oleh Presiden Franklin D. Roosevelt pada tahun 1941 yang berisikan;

1. Freedom of Speech (kebebasan / kemerdekaan dalam berekspresi)


2. Freedom to Religion ( kebebasan dalam beragama)
3. Freedom from Want (kebebasan dari kemiskinan)
4. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan)32
Semenjak saat itu istilah kebebasan berekspresi sering di gunakan secara
luas dan di hubungkan dengan kepentingan sehingga mulai kepentingan itu berdiri
hingga kepentingan tersebut menemukan titik jenuhnya kebebasan berekspresi
merupakan konflik yang harus lahir agar hak-hak individu tetap ada dan dapat
32
Mansour fakih, Menegakan Keadilan dan Kemanusiaan, (Yogyakarta : Insist Press,
2003), h.45.
44

dipertahankan. Dari beberapa definisi mengenai kebebasan berekspresi maka


secara jelas bahwa hak ini tidak dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dalam
bentuk apapun. Bahkan dalam Pasal 10 (1) ketentuan freedom of expression dalam
“The European Convention on Human Right” mengatakan bahwa kebebasan
berekspresi yang dimaksud dapat mencangkup dua dimensi yaitu pengertian
hingga bentuknya. Seperti yang ditekankan pada Pasal 19 (2) Konvenan
Internasional Hak Sipil dan Politik dimana ide dan informasi dapat diterima atau
ditransmisikan secara lisan atau tulisan tercetak, dalam bentuk seni atau melalui
media lainnya yang dapat di terima oleh penerima informasi.

Dalam penerapannya kebebasan berekspresi dalam sistem hukum di


Indonesia terdapat bentuk dan batasan-batasan yang dianggap dapat mengekang
kebebasan berpendapat. Indonesia sendiri merupakan negara yang memberikan
kebebasan kepada rakyatnya agar dapat memberikan opini dan kritik kepada
pemerintah. Walaupun keadaannya seperti itu pemerintah sebenarnya tidak
memberikan hak kebebasan untuk berekspresi secara utuh, dengan di
undangkannya UU tentang kebebasan berekspresi. Undang-Undang ini dibentuk
agar tidak terjadinya tindak kejahatan dengan cara memicu seseorang atau
kelompok untuk melakukan tindak pidana. Berdasarkan direktori putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia terdapat kasus mengenai ITE sebanyak
2.470 pada tahun 2021, dimana kasus diantaranya adalah kasus mengenai ujaran
kebencian. Hal ini membuktikan bahwa pelanggaran UU ITE tidak dapat di
sepelekan. Dalam sistem hukum Indonesia sendiri sudah terbentuk peraturan yang
membatasi tentang kebebasan berpendapat yaitu Pasal 207 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana , Pasal 208 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 27 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, Surat Edaran Kapolri Nomor
SE/06/X/2015 huruf (F) dan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021.

Dari peraturan perundang-undangan diatas dapat dilihat bahwa


pembatasan bagi masyarakat Indonesia memiliki sifat yang final dan mengikat.
Pada sistem hukum di Indonesia seperti yang tercantum dalam beberapa peraturan
diatas terdapat beberapa Batasan serta bentuk sebuah ujaran yang dapat di
45

kualifikasikan sebagai ujaran kebencian. Yang harus di perhatikan dari peraturan


perundang-undangan tersebut adalah adanya penghinaan atas penguasa atau badan
umum di depan publik, menyiarkan, mempertunjukan atau menulis atau melukis
yang memiliki penghinaan kepada penguasa atau badan umum di dalamnya,
penyebaran tindakan asusila, perjudian, pencemaran nama baik, penghinaan,
pemerasan atau pengancaman, lalu penistaan agama, perbuatan tidak
menyenangkan, provokasi menghasut, hoax, yang menimbulkan diskriminasi dan
kekerasan atau penghilangan nyawa seseorang, memprovokasi seseorang atau
kelompok masyarakat dalam konteks Suku, Agama, Ras, dan Antar Anggota
(SARA).
Sebuah perbuatan dianggap sudah melanggar aturan hukum dan dapat
dikenakan sanksi pidana maka harus memenuhi dua unsur yakni, unsur actus reus
dan unsur mens rea. Actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau
kegiatan dari perbuatan yang dilakukan. Sedangkan Mens rea merupakan sikap
batin pelaku pada saat melakukan kejahatan. Menurut hukum pidana perbuatan
lahiriyah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap pelaku
atau mental pelaku disebut sebagai mens rea, jadi actus reus adalah elemen luar
sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan atau unsur mental.
Seseorang dapat dipidana tidak cukup dengan alasan karena orang tersebut
telah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum atau perbuatan
melawan hukum. Sehingga walaupun perbuatannya telah memenuhi rumusan
delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan tetapi hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Hal ini dikarenakan
kita juga harus melihat sikap batin atau niat atau maksud dari tujuan si pelaku
kejahatan pada saat melakukan perbuatan bertentangan dengan hukum.
Pada beberapa negara tertentu perbuatan dan sikap batin seseorang dapat
disatukan menjadi syarat adanya perbuatan pidana. Para ahli juga berpendapat
bahwa unsur actus reus adalah perbuatan yang harus didahulukan. Karena jika
telah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai dengan rumusan Undang-Undang
maka akan lebih mudah untuk mempertimbangkan mengenai kesalahan pelaku
yang merupakan masuk ke dalam unsur pertanggungjawaban pidana.
46

Sikap batin pelaku sangat berbeda dengan perbuatan yang melawan


hukum, mens rea hanya mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yakni
sikap batin yang disebut sebagai unsur subjektif sebuah tindak pidana. Suatu delik
dapat dikatakan Kembali unsur subjektif jika unsur-unsurnya telah terbukti
sehingga membuat terbuktinya pertanggungjawaban pembuat delik. Didalam
rumusan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat
dianggap sebagai termasuk kedalamnya, dikarenakan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan hal tersebut memang disyaratkan.
Beberapa Ahli Hukum memberikan pendapat bahwa sebagai dasar
pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku
dalam hubungannya dengan kelakuan yang dapat dipidana dan berdasarkan
kejiwaan mentalnya. Sehingga untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai
dan ditentukan terlebih dahulu dan ada beberapa hal yang menyangkut pelaku
yakni seperti kemampuan bertanggungjawab, hubungan kejiwaan antara pelaku
dan akibat yang ditimbulkan oleh dolus atau culpa. Untuk pertanggungjawaban
pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas tiga anasir yaitu
kemampuan bertanggungjawab dari pembuat sikap psikis yakni disengaja atau
kurangnya kehati-hatian (lalai), sehingga perlu digarisbawahi bahwa tidak ada
alasan-alasan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana.
Dari uraian yang telah peneliti jabarkan maka dapat disimpulkan bahwa
jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang lahir karena
perbuatannya itu atau tindakan yang merupakan berasal dari hubungan kausalitas
maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan
pidananya itu.
Kebebasan berekspresi merupakan suatu hal yang kompleks dikarenakan
kebebasan berkespresi tidak berbentuk absolute dan diikuti dengan tugas dan
tanggung jawab khusus dan diwajibkan untuk mematuhi beberapa pembatasan.
Selama pembatasan tersebut ditetapkan oleh hukum dan dibutuhkan maka hak ini
menjadi kompleks karena, hak ini melindungi hak pembicara sekaligus hak
pendengar dimana kedua sisi ini terkadang bisa bertabrakan dan sulit untuk
disatukan. Kedua hak ini terkadang dapat mengalami gesekan-gesekan karena
47

tidak dapat menemukan keseimbangan yang tepat antara hak atas kehormatan,
keselamatan dan privasi. Dimana sebagian batasan ini dibuat setelah terjadi
ketegangan-ketegangan semacamnya.
Kebebasan berekspresi sangat dibutuhkan agar dapat melindungi warga
dari para penguasa yang korup dan tiran. Sebuah pemerintahan yang demokratis
biasanya mengharuskan rakyatnya untuk dapat menilai kinerja dari sistem
pemerintahan. Dalam memenuhi kebutuhan control dan penilaian itulah rakyat
memiliki semua informasi yang diperlukan dalam pemerintahan di negaranya.
Tidak terbatas dimana syarat selanjutnya warga dapat menyebarkan informasi
tersebut dan kemudian di diskusikan antara satu dan lainnya.
Kebebasan berekspresi terdiri dari dua macam yang pertama adalah
kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide dari
seluruh jenis terlepas dari batasan dan bentuk yang kedua adalah hak untuk
memiliki sarana dalam melakukan sesuatu, kebebasan berekspresi tidak hanya
untuk melindungi ide dan informasi tetapi juga bentuknya, sarana transformasi
dan penerimaan33. Kebebasan berekspresi adalah salah satu unsure penting dalam
demokrasi. Bahkan didalam sidang pertama PBB di tahun 1946 jauh sebelum
disahkannya Universal Declaration on Human Rights majelis umum PBB melalui
Resolusi nomor 59 ayat (1) telah terlebih dahulu menyatakan bahwa informasi
adalah hak asasi manusia yang fundamental dan standar dari seluruh kebebasan
yang telah dinyatakan suci oleh PBB.
Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Hukum di Indonesia dimasa depan
akan menghadapi tantangan yang semakin berat, perlindungan atas hak kebebasan
dalam berekspresi tidak lagi berhadapan dengan ekspresi konvensional, seperti
hak atas informasi, kebebasan akademik, kebebasan pers, kebebasan berpendapat,
demonstrasi damai dan bentuk-bentuk ekspresi lainnya. Populasi penduduk yang
mencapai 250 juta orang membuat Indonesia menduduki pada posisi 10 besar
penggunaan internet di dunia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengatakan hingga akhir tahun

33
Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan MK,
(Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h.17.
48

2015 penggunaan internet di Indonesia mencapai 88 Juta pengguna, selain itu


mayoritas masyarakat Indonesia juga merupakan pengguna aktif media sosial
seperti facebook, twitter dan instagram.
Kebebasan berskpresi setidaknya dapat mencangkup 3 jenis ekspresi
yakni;
1. Kebebasan untuk mencari informasi;
2. Kebebasan untuk menerima informasi;
3. Kebebasan untuk memberikan informasi (termasuk kebebasan berpendapat)
Kebebasan berekspresi juga melindungi seluruh informasi atau ide-ide
apapun yang termasuk kedalam fakta, komentar kritis ataupun ide dan gagasan-
gagasan. Kebebasan dalam berekspresi juga melindungi seluruh bentuk
komunikasi baik secara lisan maupun tertulis, cetak, media seni dan media apapun
yang menjadi pilihan seseorang yang nantinya akan ditunjukan dalam media
radio, televisi, music, desain grafis, fotografi, dan media seni lainnya.
Kebebasan berekspresi dipahami sebagai suatu kemerdekaan yang
memiliki sifat yang dinamis. Dimana dalam beberapa point penting lahir dengan
siapa yang dapat menetapkan dan apa konsekuensi yang harus ditanggung jika
pembatasan ini tidak dapat dilaksanakan, serta landasan apa saja yang paling sah
untuk menetapkan pembatasan tersebut. Pembatasan-pembatasan ini timbul dari
tugas dan tanggung jawab khusus yang berhubungan dengan pelaksanaan
kebebasan tersebut. Dari berbagai instrument hak asasi manusia internasional
hanya ICCPR dan CRC yang membahas mengenai pembatasan ini. dimana
terdapat 3 syarat yang telah di tetapkan dalam Pasal 18 dan 19 ICCPR yang harus
terpenuhi sebelum pembatasan mengenai hak atas kebebasan berekspresi
dilakukan yaitu;
1. Harus diatur menurut hukum;
2. Harus untuk sebuah tujuan yang sah atau memiliki legitimasi
3. Harus dianggap perlu untuk dilalukan atau proposional
Mengenai syarat yang ke dua , pembatasan hanya dapat dilaksanakan
dengan tujuan agar dapat melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral
masyarakat atau hak dan kebebasan orang lain. hal ini sesuai dengan yang telah
49

diatur didalam Pasal 18 ICCPR atau untuk menghormati hak dan reputasi dari
orang lain atau untuk melindungi keamanan nasional dan atau ketertiban umum
atau kesehatan atau moral masyarakat jika merujuk kepada Pasal 19 ICCPR.
Pembatasan-pembatasan yang memiliki fokus untuk melindungi ketertiban
umum adalah dasar yang sering di gunakan oleh pemerintah dalam membatasi
praktik kebebasan tersebut. Dalam berbagai keputusan yang telah dikeluarkan
oleh berbagai institusi internasional seperti Komite Hak Asasi Manusia dan juga
Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa di katakan bahwa pembatasan yang
memiliki tujuan untuk melindungi ketertiban umum harus didasarkan pada dua
elemen yaitu elemen yang pertama adalah tuduhan –tuduhan yang konkret
mengenai bagaimana pelaksanaan kebebasan berekspresi si tertuduh yang akan
mengancam ketertiban umum dan bahwa pembatasan tersbut di butuhkan untuk
melindungi ketertiban umum. Ini berarti bahwa ketertiban umum tidak secara
otomatis akan menggangu hanya karena hukum yang mengatakan seperti itu
akan tetapi dikarenakan terdapat situasi yang secara efektif menyerang atau
mengancam ketertiban umum. Pemerintah harus senantiasa menjunjung tinggi
prinsip persamaan dan non-diskriminasi dalam menerjemahkan lingkup dari
klausul pembatasan tersebut.
Pada perkembangannya, prasyarat pembatasan ini akan di turunkan dalam
batasan yang lebih mendetail sesuai dengan yang tercantum dalam ebberapa
prinsip hak asasi manusia internasional. prinsip ini adalah prinsip siracusa dan
prinsip Johhanesburg yang mengatakan bahwa pembatasan hal adalah sebagai
berikut:
1. Diatur Melalui Undang-Undang
Pembatasan ini didasarkan pada Undang-undang, implementasi Undang-
Undang harus sesuai dengan konvenan, dimana kovenan ini berlaku saat
pembatasan sedang dilakukan
2. Dalam Sebuah Masyarakat yang Demokratis
Pembatasan ini dilaksanakan dengan syarat harus dibuktikan terlebih dahulu
oleh negara.
3. Kesehatan Masyarakat
50

Pembatasan ini baru dilakukan jika terdapat ancaman kesehatan populasi atau
anggota populasi. Memiliki tujuan untuk mencegah penyakit atau luka atau
menyediakan perawatan bagi yang sedang sakit atau terluka.
4. Moral Publik
Pembatasan ini memiliki kewenakan untuk melakukan diskresi sehingga
dapat membuktikan bahwa pembatasan ini penting dalam menjaga
penghormatan pada nilai-nilai fundamental masyarakat serta tidak
menyimpangi prinsip non-diskriminasi.
5. Keamanan Nasional
Jika berhubungan dengan eksistensi bangsa, integritas territorial dan politik
atau kemerdekaan, maka pembatasan ini dapat dilakukan namun, tidak bisa
diterapkan pada ancaman yang bersifat local atau ancaman yang relative
terisolasi pada sebuah hukum dan tata tertib. Pembatasan ini juga tidak dapat
dilakukan sebagai alasan pembenar dalam upaya menekan oposisi dan
perlawanan terhadap represi negara
6. Keamanan Publik
Jika terdapat ancaman terhadap keamanan nyawa dan keutuhan fisik,
kerusahan alam yang serius maka pembatasan ini dapat dilakukan.
Pembatasan ini tidak dapat digunakan pada pembatasan yang kabur atau
sewenang-wenang dan hanya dapat di terapkan jika dilakukan dalam
perlindungan yang memadai dan mekanisme pemilihan yang efektif.
7. Hak Dan Kewajiban Dari Pihak Lain
Pembatasan ini tidak bisa dilakukan untuk melindungi negara dan pejabat
negara dari kritik serta opini public mengenai mereka. Jika terdapat konflik
antar hak preferensi diberikan kepada hak yang memiliki sifat paling
fundamental maka pembatasan ini tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun
Kebebasan berekspresi juga di kemukakan dalam Undnag-Undang
Keterbukaan Informasi Publik dimana dengan terdapat bentuk informasi yang
dikecualikan. Terdapat dua titik penting yang harus diperhatikan mengenai dan
dengan pembatasan informasi dalam undang-undang ini. yang pertama adalah
51

undang-undang ini membatasi jenis informasi public yang memiliki akses bebas
oleh masyarakat.
Kedua undang-undang ini menggunakan dasar kepatutan dan kepentingan
umum sebagaidasar alasan pembatasan hak. Dasar alasan kepatutan dan
kepentingan umum justru tidak termuat didalam konstitusi maupun Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sendiri menekankan bahwa
informasi public yang dikecualikan memiliki sifat yang ketat dan terbatas.
Sehingga dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengecualian informasi
didasarkan pada dua dasar pembatasan dan dilakukan secara ketat dan terbatas.

C. Duduk Perkara Tingkat Pertama

Pada tanggal 13 Juni 2020, dalam akun Instagram I Gede Ariastina atau
yang biasa dipanggil dengan Jerinx dengan username Instagram nya @jerxid
memposting kalimat yang berbunyi “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI
dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19.
Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan ? kalau
hasilanya bikin stress dan menyebabkan kematian pada bayi atau ibunya, siapa
yang tanggungjawab?” kemudian Jerinx menulis Kembali dikolom komentar nya
dengan mengatakan “BUBARKAN IDI! Saya ga akan berhenti menyerang kalian
@ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini! (emotikon babi)
rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS ? TIDAK. IDI dan RS yang mengadu
diri mereka sendiri dengan hak-hak rakyat”

Lalu, kalimat-kalimat yang Jerinx lontarkan di akun media sosialnya


melahirkan beberapa perdebatan dimana salah satu pengikutnya ada yang
menanggapi tulisan tersebut, sebagai contohnya untuk tanggapan yang pro
terdapat komentar yaitu @arsa.dewa: “bubarkan. Sok jadi malaikat, cuih”,
@a.andita_youbeager: “KITA DIPAKSA UNTUK BODOH, bli” sedangkan untuk
tanggapan yang kontra terdapat komentar seperti @yami_en “Dokter di olok2
terus”, @budidoremi.17: “@divisihumaspolri @poldabali tolong terus pantau
52

akun ini, dia telah menebar kebencian, menghina organisasi IDI, meresahkan
masyarakat”.

Dua hari kemudian tepatnya pada tanggal 15 Juni 2020 pada akun yang
sama @jrxid Kembali memposting kalimat yang berbunyi “Tahun 2018 ada 21
Dokter Indonesia yang meninggal ini yang terpantau oleh media saja ya. Sayang
ada konspirasi busuk yang mendramatisir situasi seolah dokter meninggal
HANYA TAHUN INI agar masyarakat ketakutan berlebihan thd CV19. Saya tahu
dari mana ? silahkan salin semua link yang ada difoto, post di FB atau Ig anda,
lalu lihat APA YANG TERJADI ! masih bilang CV19 bukan konspirasi ? WAKE
THE FAKEUP INDONESIA!”. Postingan ini disukai sebanyak 2.532 like dengan
komentar sebanyak 41.189 pertanggal 29 Juli 2020. Hal ini diakibatkan karena
Jerinx merupakan seorang Public Figure yakni sebagai anggota grup band
Superman Is Dead (SID), sehingga memiliki fans yang cukup banyak yang
tersebar di seluruh Indonesia sehingga mancanegara.

Dampak dari kedua kalimat postingan tersebut dianggap memiliki nilai


kebencian dan/atau permusuhan dan/atau penghinaan atau pencemaran nama baik
terhadap Ikatan Dokter Indonesia dimana membuat IDI menjadi terhina dan
dibenci oleh Sebagian masyarakat Indonesia sehingga memberikan kerugian baik
materil maupun immateriil akibat dari postingan tersebut, yang membuat anggota
IDI mendesak ketua IDI untuk melaporkan Jerinx sebagai pemilik akun tersebut
ke kantor polisi, dikarenakan anggota IDI merasa telah berjuang melawan Covid-
19 sehingga kejadian ini menghambat pekerjaan para Dokter dilapangan.
Kemudian pada tanggal 14 Juni 2020, Ikatan Dokter Indonesia di wilayah Bali
menggelar rapat dimana dari hasil rapat tersebut memutuskan agar ketua IDI
wilayah Bali untuk melaporkan hal ini kepada ketua umum PB IDI dan ketua PB
IDI Pusat memberikan tanggapan agar hal ini dilaporkan ke kantor Polisi.
Sehingga ketua IDI wilayah Bali yakni Dokter I Gede Putra Suteja melaporkan
Jerinx SID sebagai pemilik akun instagram @jrxid ke Polda Bali pada tanggal 16
Juni 2020.
53

D. Duduk Perkara Tingkat Banding

Pada tanggal 26 november 2020, Penasihat Hukum Denpasar telah


menyatakan banding di hadapan Panitera Pengadilan negeri Denpasar bahwa ia
tidak sependapat dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar,
Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN. Dps, dan menyatakan keberatan, berpendapat bahwa
Pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara yang
menyatakan terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 28 ayat (2) Jo.Pasal 45A ayat (2)
UU Nomor. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Pasal 64 Ayat (1)
KUHP, karena:

1. Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak mempertimbangkan legal standing pelapor


dan/atau siapa yang menjadi korban dalam putusan perkara, secara nyata
menunjukan putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak Sempurna dan tidak
Lengkap dalam Pertimbangan Hukumnya (Onvoldoendee Gemotieveerd).

2. Majelis Hakim Tingkat Pertama pada Pengadilan Negeri Denpasar tidak


memasukkan keterangan saksi-saksi maupun keterangan ahli yang menerangkan
postingan terdakwa tanggal 13 juni 2020 tidak berkaitan dengan postingan
terdakwa tanggal 15 juni 2020 baik dalam berita acara sidang maupun di dalam
putusan perkara senyatanya telah menunjukan putusan perkara tidak Sempurna
dan tidak Lengkap dalam Pertimbangan Hukumnya (Onvoldoendee
Gemotieveerd).

3. Majelis hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang


senyatanya muncul di depan persidangan dalam putusannya, telah membuat
putusan Majelis hakim tingkat pertama menjadi tidak lengkap dan cacat, sehingga
putusan Pengadilan Negeri Denpasar dalam Perkara Pidana Nomor:
828/Pid.Sus/2020/PN.Dps tanggal 19 Nopember 2020 patut untuk dibatalkan.

4. Majelis Hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan bukti surat dan tidak
memasukkan keterangan saksi-saksi maupun keterangan ahli yang senyatanya
54

diterangkan di depan persidangan sehingga mempengaruhi fakta hukum yang


dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dalam memutus
perkara menyebabkan putusannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1)
huruf d KUHAP.

5. Majelis Hakim pertama telah salah dalam menerapkan unsur “Menyebarkan


informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan
indovidu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan Suku, Agama, Ras
dan Antar Golongan;

6. Majelis Hakim tingkat pertama salah memberikan pertimbangan dengan


menyatakan bahwa terdakwa “menyudutkan para dokter ataupun petugas
pelayanan kesehatan” (halaman 113 putusan 828/Pid.Sus/2020/Pn. Dps), karena
apa yang dinyatakan oleh terdakwa tidak pernah ditujukan kepada dokter ataupun
petugas pelayanan Kesehatan;
BAB IV

PELAKSANAAN HUKUM TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN


DALAM MEDIA SOSIAL

A. Penegakan Hatespeech dalam Hukum Indonesia

1. Bukti-bukti yang digunakan dalam Putusan

Selama proses persidangan saksi ahli melakukan pemeriksaan


secara digital forensik terhadap barang bukti berupa handphone Iphone
7plus warna hitam dengan nomor imei 356571087297925, nomor seri
FCCCF34YHFY7 melalui media sosial Instagram dengan username
@jrxid. Dari hasil pemeriksaan, saksi ahli melakukan terhadap barang
bukti tersebut kemudian ahli dibuatkan laporan dan berita acara yakni:

a. Bahwa saat pemeriksaan tanggal 12 Agustus 2020 ahli menemukan


bahwa ada dua postingan dan dari postingan tersebut ada like
lebih dari 1.

b. Bahwa postingan itu dibuat pada tanggal 13 Juni 2020 dan 15 Juni
2020.

c. Akun jrxid ini termasuk akun Public karena dapat dilihat oleh
semua orang.

d. Bahwa terdapat bukti video livestreaming Instagram Bersama dr.


Tirta yang ditonton lebih dari 120.000.

e. Bahwa terdapat surat-surat hasil rapid test yang dianggap tidak


sesuai dengan hasilnya.

f. Bahwa terdapat bukti postingan Jerinx pada tanggal 13 dan 15 Juni


2020.

g. 8 lembar print out hasil print screen postingan akun Instagram


@jrxid beserta terhadap komentar-komentar postingan.

h. Satu buah flashdisk merk sandisk warna hitam kapasitas 16Gb


yang berisi hasil screen capture postingan akun Instagram @jrxid.

i. 4 lembar print out hasil print screen yang diambil dari akun
nistagram @ididenpasar.

55
56

j. 1 bundle print out berita terkait dengan pemberitaan Ikatan Dokter


Indonesia, rapid test dan Rumah Sakit serta pemberitaan tenaga
Kesehatan yang meninggal dunia.

Bukti-bukti tersebut telah disita secara sah menurut hukum dan telah
mendapat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Denpasar serta
telah dibuat berita acara penyitaannya sehingga setelah ini para Majelis
Hakim akan dianalisis untuk memperkuat pembuktian.

2. Pertimbangan Hukum Hakim

Hakim menimbang bahwa sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan


dakwaan penuntut umum, akan lebih baik jika Majelis Hakim untuk
mempertimbangkan pendapat dari Penasihat Hukum Jerinx yang
menyebutkan bahwa Penuntut Umum sudah memanipulasi keterangan
Ahli Bahasa yakni Charge Wahyu Aji Wibowo dalam fakta dipersidangan.
Bahwa pada permasalahan ini Majelis Hakim menganggap sudah sesuai
dengan aturan Pasal 1 Angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Dikarenakan didepan persidangan Ahli Wahyu Aji Wibowo
sebelumnya sudah beberapa kali dimintai keterangan oleh Mahkamah
Konstitusi dan pihak Kepolisian sebagai Ahli di Bidang Bahasa yang
mempunyai legalitas karena Wahyu Aji Wibowo merupakan seorang PNS
di Balai Bahasa Bali, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan melihat latar belakang
yang dimiliki oleh Wahyu Aji Wibowo maka pendapatnya didepan
persidangan sebagai Ahli Bahasa Indonesia dapat diterima sebagai alat
bukti keterangan Ahli sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) huruf b Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Majelis Hakim juga mempertimbangkan unsur-unsur yang disebutkan


dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ( UU ITE). Dimana pada unsur setiap orang dibuktikan dengan
I Gede Aryastina alias Jerinx adalah orang yang sehat jiwanya atau tidak
57

sedang terganggu mental nya sehingga menurut Majelis Hakim mampu


secara hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, sehingga
unsur setiap orang terpenuhi. Selanjutnya, terdapat unsur dengan sengaja
dan tanpa hak yang didasarkan pada fakta-fakta hukum Majelis Hakim
menimbang bahwa Jerinx mengerti akan akibat dari perbuatannya
sehingga unsur kedua ini telah terpenuhi.

Unsur menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa


kebencian, atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA).
Majelis Hakim menimbang bahwa tulisan yang diposting Jerinx pada
tanggal 13 juni 2020 dan 15 Juni 2020 di akun Instagramnya bisa diakses
dan dilihat oleh semua kalangan masyarakat sehingga perbuatan Jerinx
dinilai sebagai perbuatan yang menyebarkan informasi. Selanjutnya,
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU/XP/2017 tanggal
28 Maret 2018 mempertegas bahwa antar golongan tidak hanya meliputi
Suku, Agama dan Ras tetapi mencakup seluruh entitas yang tidak terwakili
pada Suku, Agama dan Ras. Selain itu, kalimat yang diposting oleh Jerinx
mengundang para pengguna media sosial untuk memberikan komentar
negatif yang mengandung rasa kebencian terhadap IDI. Walaupun di
negara Indonesia memperbolehkan kebebasan berekspresi seperti yang
disampaikan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, tetapi Hakim
menimbang bahwa kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang bukan
berarti berhak dan bebas untuk menyerang kehormatan orang lain dan
dalam kasus ini Jerinx telah mengerti dan menyadari betul akibat dari
kedua postingannya dikarenakan jerinx seorang Public Figure. Jadi kedua
postingan tersebut telah memenuhi kedalam unsur menimbulkan rasa
kebencian, atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan.

Unsur yang terakhir jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-


masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya
58

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan lanjut.


Majelis Hakim menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum maka
kedua postingan tersebut masing-masing telah tumbuh dari kehendak yang
terlarang dan dilakukan dalam rentang waktu yang tidak berlangsung lama
yakni tanggal 13 dan 15 Juni 2020. Unsur keempat ini telah terpenuhi.
Majelis Hakim juga menimbang Jerinx telah terbukti dan menyatakan
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ( UU ITE).

Selama persidangan hakim juga menemukan hal-hal yang bisa


menghapuskan pertanggung jawaban pidana, baik sebagai alasan
pembenar dan/atau alasan pemaaf sehingga Jerinx dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Dalam kasus ini Jerinx sudah dikenakan
penangkapan dan penahanan yang sah sehingga masa penangkapan dan
penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan kemudian, Majelis Hakim memberitahukan keadaan yang
memberatkan yaitu :

a. Perbuatan Jerinx memberikan rasa tidak nyaman kepada Dokter-


Dokter di Indonesia yang sedang berjuang menangani pasien Covid-
19.
b. Jerinx sempat meninggalkan ruang sidang sebagai protes atas
persidangan yang dilakukan secara online sehingga tindakannya
melukai kehormatan pengadilan.
c. Perbuatan Jerinx ini dilakukan secara berlanjut

Keadaan yang meringankan menurut Majelis Hakim adalah :

a. Terdakwa sering melakukan kegiatan sosial dengan membantu warga


yang tidak mampu sepanjang pandemi Covid-19 dengan membagikan
makanan hingga saat persidangan.
59

b. Jerinx merupakan tulang punggung keluarga yang menghidupi istri


dan adik-adiknya yang masih kecil.
c. Jerinx sudah meminta maaf kepada IDI bahkan Jerinx memiliki
keinginan untuk mengiyakan ajakan ketua IDI Pusat untuk kolaborasi
dalam upaya penanganan Covid-19.
d. Jerinx berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya dan belum
pernah dihukum.

Pada tingkat kedua Majelis Hakim menimbang terhadap putusan tingkat


pertama dimana Jaksa Penuntut Umum Jerinx telah menyebutkan ingin
banding didepan Panitera Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 26
November 2020, sesuai dengan akta permintaan banding No.
828/Pid.sus/2020/PN.DPS dan permintaan banding ini sudah disampaikan
secara sesama kepada Penasihat Hukum kepada Jerinx pada tanggal 26
November 2020. Oleh karena itu, Jerinx dan Jaksa Penuntut Umum
mengajukan memori banding tertanggal 3 Desember 2020 dan telah
diberitahukan kepada Jerinx pada tanggal 11 Desember 2020, sedangkan untuk
memori banding Jerinx telah diberitahukan tanggal 14 Desember 2020.

Jerinx telah mengajukan kontra memori banding tertanggal 18


Desember 2020 dan sudah diberitahukan secara sesama kepada penuntut umum
ditanggal yang sama. Pada tanggal 26 November 2020 Jerinx dan Jaksa
Penuntut Umum diberitahukan untuk mempelajari berkas perkara masing-
masing selama 7 hari kerja. Dikarenakan permintaan banding yang diajukan
oleh penuntut umum dan terdakwa telah diajukan dalam tengganng waktu, tata
cara serta syarat-syarat yang telah ditentukan Undang-Undang maka
permintaan banding tersebut secara formil dapat diterima.

Dalam pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama berpendapat


bahwa seluruh unsur Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ( UU ITE). Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
60

telah terpenuhi sehingga Jerinx terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi agar menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas antar golongan. Namun dalam memori
bandingnya Penuntut Umum menyatakan tidak sependapat dengan putusan
Majelis Hakim tingkat pertama tersebut dengan alasan bahwa hukuman yang
dijatuhkan kepada terdakwa masih terlalu ringan yakni kurang dari 2/3 tuntutan
Penuntut Umum. Penjatuhan sanksi yang ringan juga dapat melahirkan
kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat kepada
institusi pengadilan dimana tindakan ini dapat melahirkan ketidakpercayaan
kepada penegakan hukum masyarakat.

Penuntut Umum meminta kepada Majelis Hakim untuk


mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan yang dilakukan oleh Jerinx
yakni perbuatan Jerinx saat situasi dan kondisi demi Covid 19 seperti
melakukan walk out saat proses pembacaan dakwaan akibat permintaannya
untuk dilakukan persidangan secara offline kepada Majelis Hakim tidak
terpenuhi. Tuntutan pidana yang telah Penuntut Umum ajukan dirasa sudah
sesuai dengan keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan yang telah dijabarkan sebelumnya pada


akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan tingkat pertama sudah tepat dan benar dalam
pertimbangan hukumnya mengenai terbuktinya dakwaan, tetapi mengenai
lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Jerinx Majelis Hakim tingkat banding
tidak sependapat dengan Majelis Hakim tingkat pertama karena pemidaan tidak
bersifat pembalasan. Dalam penjatuhan hukumannya tidak ditujukan untuk
melakukan balas dendam, tetapi hanya bertujuan sebagai edukasi agar pada
saat Jerinx selesai menjalani hukuman dapat menjadi jera. Sehingga tentang
pidana yang dijatuhkan kepada Jerinx Majelis Hakim tingkat banding
berpendapat perlu diubah.
61

3. Putusan Hakim

Berdasarkan peristiwa hukum, tuntutan jaksa, keterangan saksi,


keterangan ahli dan pertimbangan hakim yang telah penulis jelaskan
diatas maka Majelis Hakim menyatakan bahwa I Gede Aryastina alias
Jerinx terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian, atau permusuhan
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan antar golongan. Hal ini
sebagai dakwaan alternatif pertama penuntut umum.

Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap Jerinx yakni pidana


penjara selama 1 tahun dan 2 bulan, dengan pidana denda sebesar
Rp.10.000.000-. (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan jika ketentuan
tersebut tidak dibayar makan harus diganti dengan pidana kurungan
selama 1 bulan. Majelis Hakim juga menetapkan masa penangkapan dan
penahanan yang sudah dijalani Jerinx dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan, dan menetapkan Jerinx untuk tetap ditahan.

Majelis Hakim membebankan kepada Jerinx untuk membayar biaya


perkara sejumlah Rp. 2000-. (dua ribu rupiah). Sidang diputuskan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar pada hari Selasa tanggal 17
November 2020 oleh Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi, S.H., M.H.,
sebagai Hakim Ketua, Made Pasek, S.H., M.H. dan I Dewa Made Budi
Watsara, S.H. M.H. Sebagai Hakim Anggota.
62

B. Analisis Putusan dalam Perspektif kebahasaan Penghinaan, Ujaran


Kebencian, Psikologi Komunikasi dan Yuridis

1. Analisis Putusan dalam Perspektif kebahasaan mengenai Penghinaan


dan Ujaran Kebencian

Untuk menilai perkataan yang diucapkan oleh Jerinx memiliki makna


yang positif atau negatif maka harus melihat dari setiap kata tersebut
sudah sesuai dengan konteks, dengan siapa berbicara, kapan dia berbicara
dan medianya apa sehingga perkataan tersebut baru bisa dinilai makna nya
secara jelas.

Pada perkataan Jerinx yang disebutkan didalam akun media sosial


Instagramnya Pada tanggal 13 Juni 2020 “Gara-gara bangga jadi kacung
WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan
melahirkan dites CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur
kenapa dipaksakan? Kalau hasilnya bikin stress dan mengakibatkan pada
bayi atau ibunya siapa yang bertanggungjawab?”

Menurut KBBI, Kacung memiliki makna sebagai pesuruh atau pelayan.


Sehingga saat kalimat tersebut dilontarkan kepada orang yang bukan
memiliki profesi tersebut maka kalimat tersebut cenderung akan memiliki
sifat yang subyektif, akan melahirkan dampak yang negatif untuk orang
yang merasa dituju dan akan menyakiti perasaannya. Menurut Ahli
Kebahasaan Wahyu Aji Wibowo mengatakan bahwa Dokter atau IDI tidak
termasuk dalam makna kata kacung tersebut.

Jerinx juga melontarkan “BUBARKAN IDI! Saya ga akan berhenti


menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal
ini (emoticon babi) rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS?TIDAK.
IDI dan RS yang mengadu diri mereka sendiri dengan hak-hak rakyat”.
Menurut KBBI, bubarkan memiliki arti untuk menyuruh bubar atau
mencerai beraikan atau menghentikan atau meniadakan atau
63

menghapuskan. Jika melihat kedalam konteks yang dikatakan oleh Jerinx


maka dalam perkataan tersebut Jerinx bermaksud untuk meminta
menyuruh bubar atau mencerai beraikan atau menghentikan atau
meniadakan atau menghapuskan IDI. Tetapi jika melihat dari
kewenangannya maka Jerinx tidak memiliki hak untuk membubarkan IDI.

Mengenai emoticon babi merupakan sebuah lambang dari binatang.


Jika menganalisis konteks dalam perkataan Jerinx maka emoticon tersebut
memiliki arti sebagai ejekan yang kasar untuk menunjukkan rasa tidak
menyukai hal tersebut. Untuk mengetahui apakah kalimat-kalimat yang
dikatakan oleh Jerinx dapat menimbulkan rasa kebencian dengan kata-kata
atau pernyataan yang disampaikan membuat orang lain tidak nyaman.

Jerinx juga menyebutkan “Tahun 2018 ada 21 Dokter Indonesia yang


meninggal. Ini yang terpantau oleh media saja ya. Saying ada konspirasi
busuk yang mendramatisir situasi seolah Dokter meninggal HANYA
TAHUN INI agar masyarakat ketakutan berlebihan thd CV19. Saya tau
dari mana? Silahkan salin semua link yang ada difoto, post di FB atau IG
anda lalu lihat APA YANG TERJADI! Masih bilang CV19 bukan
konspirasi? WAKE THE FAKE UP INDONESIA!. Menurut KBBI,
konspirasi berarti sebuah komplotan atau persekongkolan. Setelah di
analisis dalam perkataan tersebut maka kata konspirasi busuk diartikan
sebagai sebuah persekongkolan yang tidak baik, yang mendramatisir para
Dokter yang meninggal hanya terjadi ditahun ini saja dan sebelumnya
tidak ada.

Pada kalimat terakhir, Jerinx menuliskan kalimat WAKE THE FAKE


UP INDONESIA!. Jika secara tata Bahasa kalimat ini secara positif
mengajak untuk bangun, akan tetapi dalam konteks tersebut hanya sebagai
sebuah ejekan. Dari dua unggahan yang dibuat oleh Jerinx tersebut Wahyu
Aji Wibowo sebagai saksi Ahli Bahasa mengatakan bahwa postingan
Jerinx yang ditujukan kepada IDI membuat nama IDI tidak baik dan
64

cenderung kepada pencemaran nama baik. Dilihat dalam postingan “gara-


gara bangga jadi kacung WHO” dapat dilihat secara jelas pihak yang
dituju adalah IDI dan secara jelas bahwa kata kacung disitu memiliki
unsur penghinaan atau pencemaran nama baik.

Peneliti menilai jika kalimat tersebut bertujuan untuk mengkritik maka


seharusnya Jerinx bisa memilih kata-kata yang lebih baik dan sopan agar
tidak ada yang merasa tersinggung dan menimbulkan rasa kebencian.

2. Analisis Psikologi Komunikasi dengan Jerinx sebagai seorang Public


Figure

Komunikasi dan psikologi merupakan bidang yang saling berkaitan


satu sama lain yakni sama-sama melibatkan manusia. Komunikasi
merupakan kegiatan bertukar informasi yang dilakukan oleh manusia
untuk mengubah pendapat atau perilaku manusia lainnya. Sedangkan
perilaku manusia adalah objek bagi ilmu psikologi sehingga terbentuklah
teori psikologi komunikasi.37

Berhubungan dengan kasus yang dialami Jerinx sangat berkaitan erat


dengan kejujuran, integritas dan moral. Sebagai seorang Public Figure
sudah seharusnya jika Jerinx menggunakan etika Public Speaking, karena
melalui komunikasilah ide dan pendapat seseorang tentang benar atau
salah, baik atau buruk dapat tersampaikan. Setiap Public Figure
menyampaikan pendapatnya dimuka umum seharusnya berkomitmen
terhadap prinsip-prinsip etika komunikasi karena komunikasi yang etis
merupakan hal yang sangat mendasar dalam membentuk pemikiran dan
pengambilan keputusan yang pada akhirnya harus
dipertanggungjawabkan.

37
Muhibudin Wijaya Laksana, Psikologi komunikasi, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2015) h. 25.
65

Tindakan yang dilakukan oleh Jerinx pada akun media sosialnya dapat
memberikan efek-efek komunikasi yang dapat memberikan perubahan
sikap, antara lain menyatakan bahwa seseorang akan mengalami
ketidaknyamanan didalam dirinya bila dihadapkan pada informasi baru
atau informasi yang bertentangan dengan keyakinannya. Keadaan tidak
nyaman ini disebut sebagai istilah disonasi sehingga orang akan berupaya
secara sadar atau tidak sadar untuk membatasi atau mengurangi
ketidaknyamanan ini melalui 3 proses selektif yakni penerimaan informasi
selektif, ingatan selektif dan persepsi selektif.

Pada psikologi komunikasi disebutkan terdapat 3 faktor penting yang


dapat melahirkan perubahan pendapat pada diri audiens, yaitu siapa
(sebagai sumber pesan), apa (isi pesan) dan kepada siapa (karakteristik
atau sifat audien). Untuk faktor siapa (sebagai sumber pesan) dalam kasus
ini adalah Jerinx sendiri sebagai sumber pesan, sebagai seorang Public
Figure maka Jerinx memiliki satu sifat penting yakni kepercayaan
masyarakat. Mengenai apa (isi pesan) maka pesan yang disampaikan oleh
Jerinx dalam media sosialnya cenderung melahirkan argumentasi dan
kekhawatiran yang timbul dari pesan tersebut kepada audien yang
menerima dan faktor yang terakhir kepada siapa (karakteristik atau sifat
audien) berarti pesan Jerinx tersebut ditujukan kepada pengguna media
sosial Instagram yang dapat diakses oleh berbagai kalangan sehingga
audien mudah dipengaruhi.

Menurut Hovland, pesan yang berasal dari sumber yang memiliki


kredibilitas tinggi dapat menghasilkan perubahan pendapat yang lebih
besar dibandingkan dengan pesan yang berasal dari sumber pesan dengan
kredibilitas rendah.38 Sebagai contohnya dalam kasus ini isi pesan yang
disampaikan oleh Jerinx melalui akun Instagramnya dapat menghasilkan
perubahan yang lebih besar dikarenakan memiliki pengikut dalam jumlah

38
Morissan, Psikologi Komunikasi (Bogor: Galia Indonesia, 2010) h.235.
66

yang banyak dibandingkan dengan isi pesan yang disampaikan


dibandingkan orang yang tidak memiliki jumlah pengikut yang banyak.

3. Analisis Yuridis

Pada bagian analisis yuridis ini penulis akan menganalisa dari analisis
hukumnya atau istilah-istilah kunci yang digunakan dalam hukum. Tindak
pidana ujaran kebencian merupakan kejahatan yang masih sering terjadi
dan sering disepelekan oleh masyarakat sehingga praktek ujaran kebencian
semakin lama semakin melewati batas maka dari itu agar tidak semakin
melewati batas. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
Nomor. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor.
11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

Pada kasus Putusan 828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan


72/PID.SUS/2020/PT.DPS) Jerinx dituntut atas ujaran kebencian di media
sosial. Penuntut Umum menuntut Jerinx telah melakukan tindak pidana
dan telah diatur dan diancam pidana dalam pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A
ayat (2) Undang-Undang Nomor. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi
elektronik (ITE) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagai dakwaan alternatif
pertama penuntut umum.

Penuntut Umum memiliki pendirian bahwa perbuatan ujaran kebencian


yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara memposting didalam media
sosial Instagram kalimat ujaran kebencian terhadap IDI, dalam hal ini
mengandung permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap golongan
penduduk Indonesia. Menimbulkan suatu kebencian atau permusuhan
adalah kata yang termasuk kedalam delik formil sedangkan akibatnya
termasuk delik materil sehingga jika melihat dakwaan pertama yang
menjadi unsur-unsurnya adalah:
67

a. Setiap orang: individu baik warga Negara Indonesia, warga Negara


Asing dan seluruh populasi hingga badan hukum yang disebutkan
dalam Pasal 1 angka 21.
b. Dengan sengaja: Jerinx telah mengetahui dan menyadari apa yang ia
perbuat. Sehingga kesengajaan disini adalah bentuk kesalahan yang
disengaja sebagai kesadaran kemungkinan atau kesadaran kepastian.
c. Tanpa hak berkaitan dan tanpa memperoleh izin dari komunitas yang
berwenang dalam konteksnya ada KOMINFO.
d. Menyebar luaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yakni dapat dibagikan dan diperbanyak sehingga dapat diakses sebagai
informasi elektronik.

Kalimat yang dilontarkan oleh Jerinx bisa dianggap sebagai informasi


yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA). Dan juga untuk perlindungan hukum
entitas yang tidak terwakili dalam SARA yang juga termasuk kedalam
objek dari ketentuan Pasal 28 Ayat (2) tersebut.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang bisa diterapkan dalam


menangani kasus ujaran kebencian dapat dilihat kedalam dua unsur
pada delik ujaran kebencian yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur objektifnya ada tanpa hak, dengan sengaja, menyebarkan
informasi untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan,
dilakukan oleh individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Sedangkan
untuk unsur subjektif dapat dibuktikan dengan adanya perbuatan
dengan sengaja atau secara sadar dan mengetahui perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang terlarang.
2. Mengenai akar persoalan hakim didua tingkat dalam menangani
perkara hukum yang sama dengan vonis yang berbeda dalam putusan
Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan 72/PID.SUS/2020/PT.DPS
mengenai hate Speech di media sosial dikarenakan terdapat perbedaan
landasan hukum yang berbeda dari tingkat pertama dan kedua, yakni
pada tingkat pertama majelis hakim menyatakan bahwa Jerinx secara
sah bersalah dan meyakinkan melanggar tindak pidana ujaran
kebencian karena kalimat yang dilontarkannya mengandung suku,
agama, ras dan antar golongan (SARA). Sedangkan menurut Hakim
tingkat banding Jerinx hanya terbukti melakukan ujaran kebencian
tetapi perkataannya tidak mengandung SARA, sehingga yang tadinya
Jerinx dihukum selama 1 tahun 2 bulan dengan denda Rp.10.000.000;
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti
pidana kurungan 1 bulan. Yang selanjutnya dikurangi menjadi pidana
kurungan selama 10 bulan.

68
69

B. Saran

Adapun saran dari peneliti dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Setelah menganalisis fakta dan bukti mengenai ketentuan-ketentuan
hukum yang bisa diterapkan dalam menangani kasus ujaran kebencian
dapat mengontrol masyarakat agar tidak berlebihan dalam memberikan
ujaran karena walaupun Indonesia merupakan negara yang memberikan
kebebasan berekspresi kepada rakyatnya tetapi pada kenyataannya
pemerintah sebenarnya tidak memberikan hak untuk beropini dan kritik
secara utuh.
2. Fokus penulis adalah akar persoalan hakim didua tingkat dalam
menangani perkara hukum yang sama dengan vonis yang berbeda
dalam putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan
72/PID.SUS/2020/PT.DPS mengenai hate Speech di media sosial
menurut peneliti sebenarnya apa yang telah diputuskan oleh Majelis
Hakim tingkat pertama sudah sesuai dan tepat sehingga tidak perlu
mencapai tingkat banding karena apa yang diucapkann oleh Jerinx
sudah memenuhi seluruh unsur dengan sengaja dan tanpa hak
menyebabkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan
atas antar golongan.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Alkatri Zefry. Belajar Memahami Hak Asasi Manusia. (Depok: Ruas. 2010)

Alston Philip dan Franz Magnis Suseno. Hak Asasi Manusia. (Yogyakarta : Pusat Studi
Hak Asasi Manusia.2008)

Arief Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. (Bandung:2004)

Ashiddiqie Jimly. Kemerdekaan Berserikat. Pembubaran Partai Politik dan MK. (Jakarta
: Konstitusi Press. 2006).

______________Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM.(Yogyakarta : Genta


Publishing. 2013)

Budiarjo Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002)

Chazawi Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaan. (Malang : Media Nusa Creative.
2016)

Davidson Scott. Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek Dalam Pergaulan
Internasional. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Tahun 1994)

Donnely Jack. Universal Human Rights in Theory and Practice. (London : Cornell
University Press. 2003)

Fajar Mukti. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2015)

Fakih Mansour. Menegakan Keadilan dan Kemanusiaan. (Yogyakarta : Insist Press.


2003)

Hamzah Andi. Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana. (Surabaya : FH


Universitas. 1983)

____________ Masalah Penegakan Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta. 2004)

70
71

Harahap Krisna. HAM dan Upaya Penegakkannya di Indonesia. (Bandung: Grafiti. 2003)

Hujawijatna. Pembimbing Ke arah Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta. 1997)

Ibrahim Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang :Bayu
Media Publishing. 2008)

Kumkelo Mujaid. Fiqh Hak Asasi Manusia. (Malang: Setara Press.2015)

Laksana Muhibudin Wijaya. Psikologi komunikasi. (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2015)

Mahmud Peter. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Kencana Prenada.2012)

Mauludi. Awas Hoax! : Cerdas Mengahadpi Pencemaran Nama Baik. Ujaran Kebencian
Dan Hoax. (Jakarta : PT. Elex Media Komputido. 2018)

Miles Matthew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif. (Jakarta:


Universitas Indonesia. 2009)

Morissan. Psikologi Komunikasi (Bogor: Galia Indonesia. 2010)

Nasution S.. Metode Penelitian Kualitatif Naturalistik. (Jakarta: Sinar Grafika. 2012)

Poerwadirminta W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka. 1984).
Raharjdo Sajipto. Masalah Penegakan Hukum. (Bandung : Sinar Baru. 1987)

Qamar Nurul. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi. (Jakarta: Sinar
Grafika. 2003)

Raharjo Sadjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2014)

Rhiti Hyorinimus. Filsafat Hukum.(Dari Klasik sampai Postmoderenisme).


(Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Press. 2011)

Santoso M. Agus. Hukum. Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum. (Jakarta:
Kencana. 2014)

Sholehudin Umar. Hukum & Keadilan Masyarakat.(Malang:Setara Press. 2011)


72

Smith Rhona K. Hukum HAM. (Yogyakarta : Pusham UII. 2009)

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan
singkat.(Jakarta : Rajawali Pers. 2001)

Soekanto Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta :


Rajawali Press. 2005)

________________ Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press. 1986)

________________ Teori Efektifitas Hukum.(Jakarta : Gramedia. 1986)

Sugeng . Hukum Telematika Indonesia ( Jakarta : Prenadamedia Group. 2020)

Suhariyanto Budi. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime). (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2012).

Sutan Remy Syahdeini. Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer. (Jakarta : Pustaka
Utama Gratifi. 2009)

Wahid Abdul. Mohammad Labib. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). (Bandung: PT.
Refika Aditama:2010)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 20 September 1958

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik
73

ARTIKEL JURNAL

Ahmad Rijali. “Analisis Data Kualitatif”. Jurnal Alhadharah.Vol. 17. No. 33. (Januari –
Juli. 2018)

Anang Sugeng Cahyono. Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat
Di Indonesia. “Jurnal Publicana”. Vol.9. No.1 ( April. 2016)
Azhar dan Sopoyono . Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengaturan dan
Penanggulangan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Media Sosial.
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia . Vol .2 . No.2 ( Mei. 2020)
Barda Nawawi Arief. Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime dan Cyber Sex. “Jurnal
Law Reform”. Vol. 1. No.1. ( Januari. 2006)

Fahmi anwar. Perubahan dan Permasalahan Media Sosial. “Jurnal Muara Ilmu Sosial.
Humaniora. dan Seni”. Vol. 1. No. 1. (April 2017)

Fathur Rahman. Analisis Meningkatnya Kejahatan Criberbulliying Dan Hate Spaceech


Menggunakan Media Sosial. “Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Tehnologi
Komputer”. Vol. 1. No. 3. (Mei.2016)

Gusti Ayu Made Gita Permatasari Dan Komang Pradnyana Sudibya. Tinjauan Yuridis
Mengenai Pengaturan Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana
Ujaran Kebencian Di Media Sosial. “Jurnal Kertha Wicara”. Vol. 2. No.5 (Maret.
2018).
Iqbal Kamalludin dan Barda Nawawi Arief. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Tentang
Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di
Dunia Maya. “Law Reform” Vol.15. No.1 (Mei. 2020)

Irawan. Hamza Baharuddin dan Nur Fadhillah. Efektivitas Penuntutan Terhadap Tindak
Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech): Studi Kejaksaan Negeri Makassar.
Journal Of Lex Generalis (JLG). Vol.1. No.5 (Oktober. 2020).

Khairil Ikhsan. Problematika Kebebasan Berpendapat Dalam Media Sosial Menurut


Prespektif Hak Asasi Manusia. “Jurnal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta”.
Vol.1. No.1.(Januari.2021)
74

Sudirman Sidabukke. Penyimpangan Hukum Kasus Prita Mulyasari. “Jurnal Nestor


Magister Hukum”. Vol.5. No.1 (Mei. 2014)

Yayan Muhammad Royani. Ujaran Kebencian Menurut Ali Bin Abi Thalib. “Jurnal Al-
‘Adl”. Vol. 11 No. 1. (Oktober. 2018).

SKRIPSI

Annisa Parastyani. Hak Kebebasan Berpendapat Di Muka Umum Dalam Perspektif


Tindak Pidana Ujaran Kebencian Menurut Pasal 156 KUHP Dan Pasal 28 Ayat
(2) UU ITE.(Malang : Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang. 2020).
Arief Presetyo Utomo. Ujaran Kebencian Melalui Media Sosial : Antara Kebebasan
Berekspresi Dan Tindak Pidana. (Jambi. Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi 2020).
Pahriadi. Ujaran Kebencian Perspektif Al Qur’an (Analisis Qs. Al Dzurriyat: 51-55).
(Makasar: Skripsi. Universitas Negri Alaudin. 2018)

Rikky Gani. Analisis yuridis terhadap implementasi Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE
Nomor 11 Tahun 2008 terhadap penghinaan atau pencemaran serta ujaran
kebencian dalam kebebasan berpendapat. (Jakarta : Skripsi Universitas Pelita
Harapan. 2020)

WEBSITE

Yulida Meistiara. Detik.com. Selama 2017 Polri Tangani 3.325 Kasus Ujaran
Kebencian. https://news.detik.com/berita/d-3790973/selama-2017-polri-tangani-
3325-kasus-ujaran-kebencian. diakses pada tanggal 9 Mei 2021.

Anda mungkin juga menyukai