SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Oleh:
Siti Nabilah Hejazziey
NIM 11170480000106
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
i
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL (Analisis
Putusan 828/PID.SUS/2020/PN.DPS) oleh Siti Nabilah Hejazziey NIM
111700480000106 telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu
Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum.
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ABSTRAK
Siti Nabilah Hejazziey, NIM 11170480000106. PENEGAKAN
HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN (HATE
SPEECH) PADA MEDIA SOSIAL (Analisis Putusan
828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan 72/PID.SUS/2020/PT.DPS). Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1443 H/2022 M. Program
Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Praktisi Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1443 H/ 2022 M, Isi : vi + 65 halaman + 5 halaman daftar pustaka.
Penelitian ini menemukan permasalahan mengenai bagaimana ketentuan-
ketentuan hukum yang bisa diterapkan dalam menangani kasus ujaran kebencian
dan apa yang menjadi akar persoalan hakim didua tingkat dalam menangani
perkara hukum yang sama dengan vonis yang berbeda dalam putusan Nomor
828/PID.SUS/2020/PN.DPS mengenai hate Speech di media sosial.
Skripsi ini bertujuan untuk memahami Penegakan Hukum terhadap tindak
pidana ujaran kebencian pada media sosial dan untuk mengetahui pertimbangan
hukum hakim dalam putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS mengenai hate
Speech di media sosial. Dalam kasus ini terdapat perdebatan baru dalam
penegakan hukum terhadap UU ITE.
Metode penelitian skripsi ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat
yuridis, dengan bahan hukum primer Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UU HAM) dan SE Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian.
Menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan kasus karena focus dari
penelitian ini adalah menganalisis putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mengenai upaya penegakkan
hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian di media sosial sudah sesuai,
dapat mengontrol masyarakat agar tidak berlebihan dalam memberikan ujaran
kebencian karena Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan
berekspresi kepada rakyatnya tetapi pada kenyataannya negara Indonesia
sebenarnya tidak memberikan hak untuk beropini dan kritik secara utuh dan
mengenai pertimbangan hukum hakim pada tingkat pertama dan kedua menurut
peneliti sebenarnya apa yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim tingkat
pertama sudah sesuai dan tepat sehingga tidak perlu mencapai tingkat banding
karena apa yang diucapkann oleh Jerinx sudah memenuhi seluruh unsur dengan
sengaja dan tanpa hak menyebabkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas antar golongan.
Kata Kunci : Ujaran kebencian, Hate Speech, Media Sosial, Cyber Crime.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr, JM Muslimin, M.A.
2. Tresia Elda, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai 2021
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Penegakkan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian
(Hate Speech) pada media sosial (Analisis Putusan
828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan 72/PID.SUS/2020/PT.DPS)”. Shalawat serta
salam, saya curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa
sallam yang berkat cahayanya berupa ilmu agama dan pengetahuan sehingga
membawa risalah kebenaran bagi semua umatnya khususnya kepada umat Islam.
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum.
3. Dr. JM Muslimin, M.A. dan Tresia Elda, S.H., M.H, Pembimbing Skripsi
yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk
memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.
4. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah membantu dalam
menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Prof. Djawahir Hejazziey (Abah), Ibu
Ana Susanti, S.H. (Mama), kakak, adik-adik, teman-teman saya Tasya, Alya
dan lisa terimakasih atas dukungan dan kasih sayang yang tidak ada hentinya
vi
bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Mohon maaf jika selama ini
peneliti sering merepotkan. Terima kasih untuk Mama dan Abah yang tidak
pernah lupa mengingatkan untuk selalu belajar dan berdo’a kepada Allah demi
kelancaran penyusunan skripsi ini.
6. Terimakasih untuk Ahmad Dhiyaul Fikri, yang selalu bersedia membantu
kelancaran, kesuksesan dan mendukung peneliti hingga skripsi ini selesai pada
waktunya.
7. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Tidak ada hadiah yang lebih bernilai selain do’a yang bisa peneliti berikan
untuk membalas jasa-jasa kalian.
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................. 68
B. Saran ....................................................................................................... 70
Sebagai fenomena baru, media sosial belum memiliki definisi yang pasti,
sehingga tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Ada yang
memandangnya sebagai suatu proses sosial ataupun proses sejarah, proses
alamiah yang akan juga membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin
terikat satu sama lain, memunculkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, budaya
masyarakat dan ekonomi.1 Dengan munculnya media sosial, masyarakat
menjadi lebih bebas dalam menyampaikan pendapatnya. Sebagai negara
hukum seluruh tindakan yang terjadi dan telah diatur didalam peraturan
Indonesia, jika dilanggar dan tidak sesuai dengan pearturan maka ada sanksi
terhadapp pelanggar aturan tersebut. Termasuk pendapat yang dilakukan
secara bebas di media sosial dirasa perlu untuk dilakukan pengawasan agar
tidak memberikan pengaruh negatif dan menimbulkan perbuatan yang
melawan hukum, yang nantinya ditakutkan akan merugikan kesejahteraan
masyarakat dan negara. Contohnya seperti Hoax, Cyber Bullying dan Hate
Speech.
Untuk mengendalikan aktivitas di media sosial, negara Indonesia telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Hate Speech adalah sebuah aktivitas menyebarkan
rasa benci dan permusuhan yang memiliki sifat SARA (Suku, Agama, Ras,
dan Antar golongan) jadi, ujaran kebencian merupakan perkataan, perilaku,
tulisan maupun pertunjukan yang dapat bisa menimbulkan kekerasan dan
tindakan prasangka baik dari pihak yang melakukan maupun korban dari
tindakan tersebut2. Sejak maraknya hate speech dan lahirnya UU ITE,
1
Nawawi Arief, Barda. Kapita Selekta Hukum Pidana. Citra Aditya
Bakti. (Bandung:2004), h. 4.
2
Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer,
(Jakarta : Pustaka Utama Gratifi, 2009) h.15 .
1
2
3
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h.101.
3
2. Pembatasan Masalah
b. Skripsi ini berfokus terhadap apa yang menjadi akar persoalan hakim
didua tingkat dalam menangani perkara hukum yang sama dengan vonis
yang berbeda;
5
3. Perumusan Masalah
1. Tujuan Penelitian
Secara garis besar, manfaat peneiltian ini akan dibagi menjadi dua:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan
6
D. Metode Penelitian
2. Data Penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk
menjawab masalah penelitian. Oleh karena itu, data yang penulis gunakan
7
3. Sumber Data
Sumber data ini hanya bertumpu dari dokumen putusan
pengadilan, yaitu Putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS.
6. Pedoman Penulisan
Pedoman yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini
berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku yang telah
disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum, yaitu “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.
E. Sistematika Pembahasan
1. Kerangka Teori
a. Teori Pemidanaan
Pemidanaan sendiri diartikan sebagai upaya untuk menjalankan
gagasan-gagasan mengenai keadilan, kepastian hukum dan manfaat
sosial menjadi nyata1. Proses dari penegakan hukum ini dilakukan
agar norma hukum dapat secara actual menjadi panduan dari perilaku-
perilaku dalam sebuah hubungan hukum didalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan penegakan hukum pidana merupakan
sebuah upaya untuk melahirkan gagasan atau pemikiran mengenai
keadilan didalam hukum pidana khususnya dalam kepastian hukum
dan kemanfaatan sosial yang membuat kepastian hukum dan
1
Sajipto Raharjdo, Masalah Penegakan Hukum, (Bandung : Sinar Baru, 1987), h.15.
10
11
2
Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada,2012), h.15.
3
Andi Hamzah,Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana, (Surabaya : FH
Universitas, 1983), h.24.
12
6
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2005), h.128.
14
7
M. Agus Santoso, Hukum, Moral dan Keadilan Sebuah Kajian
Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014) h. 85-86.
8
Sadjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014) h. 174.
9
Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat,(Malang:Setara Press,
2011) h. 48
15
2. Kerangka Konseptual
a. Kebebasan berekspresi
Kebebasan berekspresi merupakan hak setiap warga negara
agar dapat mengungkapkan secara lisan, tertulis dan bertanggung
jawab sesuai peraturan perundang-undangan. Kebebasan
berekspresi mengacu pada hak untuk berbicara secara bebas tanpa
adanya pembatasan. Kebebasan berpendapat adalah bagian dari
kebebasan berfikir dalam rangka untuk mencari kebenaran. Hal ini
dapat dijelaskan Ketika pendapat adalah dipaksa untuk berdiam
diri, padahal di sisi lain pendapat tersebut bisa jadi benar.
Selanjutnya maka semua orang berhak untuk mengumpulkan
informasi-informasi yang mereka kumpulkan oleh karena itu orang
tersebut harus dapat menjamin hak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, memproses dan menyampaikan11.
Kebebasan berekspresi merupakan cerminan dari komunikasi
yang berarti terdapar proses mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
10
Hyorinimus Rhiti, Filsafat Hukum,(Dari Klasik sampai Postmoderenisme),
(Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Press, 2011), h. 151.
11
Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakkannya di Indonesia,
(Bandung: Grafiti, 2003), h. 73-75.
16
b. Hate Speech
12
Rhona K Smith , Hukum HAM,… h. 22.
13
Fathur Rahman, Analisis Meningkatnya Kejahatan Criberbulliying
Dan Hate Spaceech Menggunakan Media Sosial, “Jurnal Ilmu Pengetahuan
Dan Tehnologi Komputer”, Vol. 1, No. 3, (Mei,2016), h. 3.
17
c. Media Sosial
14
Yayan Muhammad Royani, Ujaran Kebencian Menurut Ali Bin Abi
Thalib, “Jurnal Al- ‘Adl”, Vol. 11 No. 1, (Oktober, 2018), h. 4.
18
15
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi
(Cybercrime), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h.12-14
19
16
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber
Crime), … , h.33.
17
Fahmi anwar, Perubahan dan Permasalahan Media Sosial, “Jurnal Muara Ilmu
Sosial, Humaniora, dan Seni”, Vol. 1, No. 1,( April 2017) h. 137.
20
Dalam penelitian skripsi ini penulis merujuk kepada buku dari hasil
penelitian, skripsi, maupun artikel jurnal terdahulu, tentunya terdapat pembeda
yang membedakan apa yang menjadi fokus masalah di dalam rujukan dengan
focus masalah yang penulis teliti, yaitu:
18
Anang Sugeng Cahyono, Pengaruh Media Sosial Terhadap
Perubahan Sosial Masyarakat Di Indonesia, “Jurnal Publicana”, Vol.9, No.1 (
April, 2016) .
21
19
Arief Presetyo Utomo, Ujaran Kebencian Melalui Media Sosial :
Antara Kebebasan Berekspresi Dan Tindak Pidana, (Jambi, Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi 2020).
20
Annisa Parastyani, Hak Kebebasan Berpendapat Di Muka Umum
Dalam Perspektif Tindak Pidana Ujaran Kebencian Menurut Pasal 156
KUHP Dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE.(Malang : Skripsi Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020).
22
4. Artikel Jurnal Yang Ditulis Oleh Gusti Ayu Made Gita Permatasari
Dan Komang Pradnyana Sudibya
Artikel jurnal ini membahas mengenai kepastian hukum dari
pengaturan mengenai hate speech di Indonesia, persamaan dari peneltian
ini dengan penelitian yang saya buat adalah kami sama-sama membahas
pengaturan dan pertanggungjawaban yang diberikan oleh Hukum Pidana
terhadap ujaran kebencian. Yang membedakan dari penelitian ini adalah,
penelitian ini memfokuskan kepada UU ITE yang menjadikan
pertanggungjawaban pidana terhadap ujaran kebencian memiliki alat bukti
baru dalam pembuktian tindak pidana ujaran kebencian. Sedangkan dalam
penelitian ini saya memfokuskan kedalam pertimbangan hakim dalam
memutus Putusan Nomor 72/PID.SUS/2020/PT.DPS tentang Hate Speech
di media sosial. 22
5. Artikel Jurnal Yang ditulis oleh Irawan, Hamza Baharuddin dan Nur
Fadhillah
21
Rikky Gani, Analisis yuridis terhadap implementasi Pasal 27 dan
Pasal 28 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 terhadap penghinaan atau
pencemaran serta ujaran kebencian dalam kebebasan berpendapat, (Jakarta :
Skripsi Universitas Pelita Harapan, 2020) .
22
Gusti Ayu Made Gita Permatasari Dan Komang Pradnyana Sudibya,
Tinjauan Yuridis Mengenai Pengaturan Dan Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian Di Media Sosial, Jurnal Kertha
Wicara, Vol. 2, No.5 (Maret, 2018).
23
C. Tindak Pidana
23
Irawan, Hamza Baharuddin dan Nur Fadhillah, Efektivitas
Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech): Studi
Kejaksaan Negeri Makassar, “Journal Of Lex Generalis (JLG)”, Vol.1, No.5
(Oktober, 2020).
24
Isnu Gusnadi, Cepat &Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Fajar
Interpratama Mandiri, 2014), Cetakan Pertama, h. 35.
24
perbuatan yang dilarang, oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut. Pendapat lain mengenai pengertian
pengertian tindak pidana disampaikan oleh E. Utrecht,
menurutnya tindak pidana merupakan adanya perbuatan yang melawan
hukum, ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas
kelakuannya.
a. Adanya perbuatan yang dilarang, dalam hal ini baik disengaja maupun
tidak disengaja yang dilakukan oleh manusia,
4. Sistem Hukuman
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman tambahan
1). KUHP :
25
Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti, 2009), h. 38.
29
b. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun
30
empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
1. Penghinaan
2. Pencemaran nama baik
3. Penistaan
4. Perbuatan tidak menyenangkan
5. Memprovokasi
6. Menghasut
7. Menyebarkan berita bohong
BAB III
DI INDONESIA
26
Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, (Malang :
Media Nusa Creative, 2016), h. 199-200.
38
27
Sugeng , Hukum Telematika Indonesia ( Jakarta : Prenadamedia
Group, 2020), h.33.
28
Azhar dan Sopoyono , Kebijakan Hukum Pidana dalam
Pengaturan dan Penanggulangan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di
Media Sosial, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia , Vol .2 , No.2 ( Mei,
2020), h. 275.
40
didasarkan oleh hak maupun kewenangan. Isu Suku, Agama, Ras, dan
Atargolongan (SARA) adalah objek yang dituju dan disinggung oleh pelaku
dalam mewujudkan tujuannya agar dapat melahirkan rasa kebencian dan
permusuhan.
4. “menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan” yang berbentuk informasi berdasarkan UU ITE dengan
memanfaatkan fasilitas jaringan internet atau sistem elektronik lainnya.
Persyaratan dalam peristiwa ini yakni informasi yang berkaitan harus
tersebar dan diketahui oleh masyarakat luas. Waktu tersebarnya informasi
tesebut harus diketahui semenjak informasi elektronik dengan jelas dilarang
dan telah tersebar serta di ketahui oleh masyarakay yang di sebabkan oleh
pelaku. Sedangkan jika informasi tersebut sudah di baca, di ketahui dan di
lihat oleh berapa banyak masyarakat tidak menjadi masalah informasi ini
menjadi mudah di akses oleh setiap kalangan yang diakibatkan oleh pelaku
juga menjadi tolak ukur yang harus di tetapkan kepada pelaku.
5. Objek yang menjadi tujuan pada perbuatan yang di maksud dalam pasal 28
ayat (2) UU ITE merupakan “individu dan atau kelompok masyarakat
tertentu yang didasarkan pada Suku, Agama, Ras, dan Atargolongan
(SARA)” dimana dapat terjadi oleh siapa saja, korban yang dimaksud dalam
persoalan ini adalah setiap orang dan atau kelompok masyarakat yang
secara manusia memiliki jati diri atas dasar isu penting yang di maksud
didalam pasal ini.
Unsur yang lainnya adalah unsur yang didasarkan pada berbagai konvensi
internasional yakni, niat (intent), dalam unsur niat ini mengkualifikasikan sebuah
pernyataan harus dilakukan secara sadar oleh pelaku dimana dapat melahirkan
rasa benci. Unsur yang kedua adalah hasutan (incitement), hasutan disini
memiliki maksud untuk membuat perbedaan pada pandangan mengenai suatu
yang tidak di perbolehkan. Hal ini diperhatikan berdasarkan 2 macam perspektif,
perspektif yang pertama adalah menyakini sebuah perbuatan menghasut
merupakan perbuatan yang harus dilarang, sedangkan perspektif lainnya
41
29
Mauludi, Awas Hoax! : Cerdas Mengahadpi Pencemaran Nama Baik, Ujaran
Kebencian Dan Hoax, (Jakarta : PT. Elex Media Komputido, 2018), h.21.
42
dianggap memiliki arti yang sama. Kata kebebasan dan kemerdekaan memang
dapat di gunakan secara bergantian. Kedua kata ini juga dapat di artikan sebagai
hal yang sama sesuai dalam kamus besar bahasa Indonesia yang mengatakan
bahwa kebebasan adalah sinonim dari kemerdekaan itu sendiri30. Sedangkan jika
melihat secara etimologis bebas menurut kamus umum bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai berikut:
1. Lepas sama sekali yaitu tidak terhalang, tidak terganggu dan sebagainya
sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat sebagaimananya dengan leluasa;
2. Lepas dari kewajiban yaitu terlepas dari tuntutan, ketakutan, tidak dikenakan
pajak, hukuman dan sebagainya dimana dapat juga diartikan sebagai tidak
terikat atau terbatasi oleh apapun;
3. Merdeka dimana tidak dapat di perintah atau di pengaruhi oleh negara lain31.
30
Jimly Asshiddiqie, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM,(Yogyakarta : Genta
Publishing, 2013), h.23.
31
W.J.S. Poerwadirminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1984), h.113.
43
kelompok kecil di masyarakat. Sejarah pada zaman modern baru dimulai di abad
ke -14 dimana percetakan sudah berkembang di eropa. Perjuangan terhadap hak
asasi manusia di eropa dipuncaki pada Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Penduduk Negara (Declaration des Droits L’Hommes et du Citoyen) pada tahun
1789 di Perancis.
tidak dapat menemukan keseimbangan yang tepat antara hak atas kehormatan,
keselamatan dan privasi. Dimana sebagian batasan ini dibuat setelah terjadi
ketegangan-ketegangan semacamnya.
Kebebasan berekspresi sangat dibutuhkan agar dapat melindungi warga
dari para penguasa yang korup dan tiran. Sebuah pemerintahan yang demokratis
biasanya mengharuskan rakyatnya untuk dapat menilai kinerja dari sistem
pemerintahan. Dalam memenuhi kebutuhan control dan penilaian itulah rakyat
memiliki semua informasi yang diperlukan dalam pemerintahan di negaranya.
Tidak terbatas dimana syarat selanjutnya warga dapat menyebarkan informasi
tersebut dan kemudian di diskusikan antara satu dan lainnya.
Kebebasan berekspresi terdiri dari dua macam yang pertama adalah
kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide dari
seluruh jenis terlepas dari batasan dan bentuk yang kedua adalah hak untuk
memiliki sarana dalam melakukan sesuatu, kebebasan berekspresi tidak hanya
untuk melindungi ide dan informasi tetapi juga bentuknya, sarana transformasi
dan penerimaan33. Kebebasan berekspresi adalah salah satu unsure penting dalam
demokrasi. Bahkan didalam sidang pertama PBB di tahun 1946 jauh sebelum
disahkannya Universal Declaration on Human Rights majelis umum PBB melalui
Resolusi nomor 59 ayat (1) telah terlebih dahulu menyatakan bahwa informasi
adalah hak asasi manusia yang fundamental dan standar dari seluruh kebebasan
yang telah dinyatakan suci oleh PBB.
Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Hukum di Indonesia dimasa depan
akan menghadapi tantangan yang semakin berat, perlindungan atas hak kebebasan
dalam berekspresi tidak lagi berhadapan dengan ekspresi konvensional, seperti
hak atas informasi, kebebasan akademik, kebebasan pers, kebebasan berpendapat,
demonstrasi damai dan bentuk-bentuk ekspresi lainnya. Populasi penduduk yang
mencapai 250 juta orang membuat Indonesia menduduki pada posisi 10 besar
penggunaan internet di dunia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengatakan hingga akhir tahun
33
Jimly Ashiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan MK,
(Jakarta : Konstitusi Press, 2006), h.17.
48
diatur didalam Pasal 18 ICCPR atau untuk menghormati hak dan reputasi dari
orang lain atau untuk melindungi keamanan nasional dan atau ketertiban umum
atau kesehatan atau moral masyarakat jika merujuk kepada Pasal 19 ICCPR.
Pembatasan-pembatasan yang memiliki fokus untuk melindungi ketertiban
umum adalah dasar yang sering di gunakan oleh pemerintah dalam membatasi
praktik kebebasan tersebut. Dalam berbagai keputusan yang telah dikeluarkan
oleh berbagai institusi internasional seperti Komite Hak Asasi Manusia dan juga
Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa di katakan bahwa pembatasan yang
memiliki tujuan untuk melindungi ketertiban umum harus didasarkan pada dua
elemen yaitu elemen yang pertama adalah tuduhan –tuduhan yang konkret
mengenai bagaimana pelaksanaan kebebasan berekspresi si tertuduh yang akan
mengancam ketertiban umum dan bahwa pembatasan tersbut di butuhkan untuk
melindungi ketertiban umum. Ini berarti bahwa ketertiban umum tidak secara
otomatis akan menggangu hanya karena hukum yang mengatakan seperti itu
akan tetapi dikarenakan terdapat situasi yang secara efektif menyerang atau
mengancam ketertiban umum. Pemerintah harus senantiasa menjunjung tinggi
prinsip persamaan dan non-diskriminasi dalam menerjemahkan lingkup dari
klausul pembatasan tersebut.
Pada perkembangannya, prasyarat pembatasan ini akan di turunkan dalam
batasan yang lebih mendetail sesuai dengan yang tercantum dalam ebberapa
prinsip hak asasi manusia internasional. prinsip ini adalah prinsip siracusa dan
prinsip Johhanesburg yang mengatakan bahwa pembatasan hal adalah sebagai
berikut:
1. Diatur Melalui Undang-Undang
Pembatasan ini didasarkan pada Undang-undang, implementasi Undang-
Undang harus sesuai dengan konvenan, dimana kovenan ini berlaku saat
pembatasan sedang dilakukan
2. Dalam Sebuah Masyarakat yang Demokratis
Pembatasan ini dilaksanakan dengan syarat harus dibuktikan terlebih dahulu
oleh negara.
3. Kesehatan Masyarakat
50
Pembatasan ini baru dilakukan jika terdapat ancaman kesehatan populasi atau
anggota populasi. Memiliki tujuan untuk mencegah penyakit atau luka atau
menyediakan perawatan bagi yang sedang sakit atau terluka.
4. Moral Publik
Pembatasan ini memiliki kewenakan untuk melakukan diskresi sehingga
dapat membuktikan bahwa pembatasan ini penting dalam menjaga
penghormatan pada nilai-nilai fundamental masyarakat serta tidak
menyimpangi prinsip non-diskriminasi.
5. Keamanan Nasional
Jika berhubungan dengan eksistensi bangsa, integritas territorial dan politik
atau kemerdekaan, maka pembatasan ini dapat dilakukan namun, tidak bisa
diterapkan pada ancaman yang bersifat local atau ancaman yang relative
terisolasi pada sebuah hukum dan tata tertib. Pembatasan ini juga tidak dapat
dilakukan sebagai alasan pembenar dalam upaya menekan oposisi dan
perlawanan terhadap represi negara
6. Keamanan Publik
Jika terdapat ancaman terhadap keamanan nyawa dan keutuhan fisik,
kerusahan alam yang serius maka pembatasan ini dapat dilakukan.
Pembatasan ini tidak dapat digunakan pada pembatasan yang kabur atau
sewenang-wenang dan hanya dapat di terapkan jika dilakukan dalam
perlindungan yang memadai dan mekanisme pemilihan yang efektif.
7. Hak Dan Kewajiban Dari Pihak Lain
Pembatasan ini tidak bisa dilakukan untuk melindungi negara dan pejabat
negara dari kritik serta opini public mengenai mereka. Jika terdapat konflik
antar hak preferensi diberikan kepada hak yang memiliki sifat paling
fundamental maka pembatasan ini tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun
Kebebasan berekspresi juga di kemukakan dalam Undnag-Undang
Keterbukaan Informasi Publik dimana dengan terdapat bentuk informasi yang
dikecualikan. Terdapat dua titik penting yang harus diperhatikan mengenai dan
dengan pembatasan informasi dalam undang-undang ini. yang pertama adalah
51
undang-undang ini membatasi jenis informasi public yang memiliki akses bebas
oleh masyarakat.
Kedua undang-undang ini menggunakan dasar kepatutan dan kepentingan
umum sebagaidasar alasan pembatasan hak. Dasar alasan kepatutan dan
kepentingan umum justru tidak termuat didalam konstitusi maupun Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sendiri menekankan bahwa
informasi public yang dikecualikan memiliki sifat yang ketat dan terbatas.
Sehingga dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengecualian informasi
didasarkan pada dua dasar pembatasan dan dilakukan secara ketat dan terbatas.
Pada tanggal 13 Juni 2020, dalam akun Instagram I Gede Ariastina atau
yang biasa dipanggil dengan Jerinx dengan username Instagram nya @jerxid
memposting kalimat yang berbunyi “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI
dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19.
Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan ? kalau
hasilanya bikin stress dan menyebabkan kematian pada bayi atau ibunya, siapa
yang tanggungjawab?” kemudian Jerinx menulis Kembali dikolom komentar nya
dengan mengatakan “BUBARKAN IDI! Saya ga akan berhenti menyerang kalian
@ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini! (emotikon babi)
rakyat sedang diadu domba dengan IDI/RS ? TIDAK. IDI dan RS yang mengadu
diri mereka sendiri dengan hak-hak rakyat”
akun ini, dia telah menebar kebencian, menghina organisasi IDI, meresahkan
masyarakat”.
Dua hari kemudian tepatnya pada tanggal 15 Juni 2020 pada akun yang
sama @jrxid Kembali memposting kalimat yang berbunyi “Tahun 2018 ada 21
Dokter Indonesia yang meninggal ini yang terpantau oleh media saja ya. Sayang
ada konspirasi busuk yang mendramatisir situasi seolah dokter meninggal
HANYA TAHUN INI agar masyarakat ketakutan berlebihan thd CV19. Saya tahu
dari mana ? silahkan salin semua link yang ada difoto, post di FB atau Ig anda,
lalu lihat APA YANG TERJADI ! masih bilang CV19 bukan konspirasi ? WAKE
THE FAKEUP INDONESIA!”. Postingan ini disukai sebanyak 2.532 like dengan
komentar sebanyak 41.189 pertanggal 29 Juli 2020. Hal ini diakibatkan karena
Jerinx merupakan seorang Public Figure yakni sebagai anggota grup band
Superman Is Dead (SID), sehingga memiliki fans yang cukup banyak yang
tersebar di seluruh Indonesia sehingga mancanegara.
4. Majelis Hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan bukti surat dan tidak
memasukkan keterangan saksi-saksi maupun keterangan ahli yang senyatanya
54
b. Bahwa postingan itu dibuat pada tanggal 13 Juni 2020 dan 15 Juni
2020.
c. Akun jrxid ini termasuk akun Public karena dapat dilihat oleh
semua orang.
i. 4 lembar print out hasil print screen yang diambil dari akun
nistagram @ididenpasar.
55
56
Bukti-bukti tersebut telah disita secara sah menurut hukum dan telah
mendapat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Denpasar serta
telah dibuat berita acara penyitaannya sehingga setelah ini para Majelis
Hakim akan dianalisis untuk memperkuat pembuktian.
telah terpenuhi sehingga Jerinx terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi agar menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas antar golongan. Namun dalam memori
bandingnya Penuntut Umum menyatakan tidak sependapat dengan putusan
Majelis Hakim tingkat pertama tersebut dengan alasan bahwa hukuman yang
dijatuhkan kepada terdakwa masih terlalu ringan yakni kurang dari 2/3 tuntutan
Penuntut Umum. Penjatuhan sanksi yang ringan juga dapat melahirkan
kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat kepada
institusi pengadilan dimana tindakan ini dapat melahirkan ketidakpercayaan
kepada penegakan hukum masyarakat.
3. Putusan Hakim
37
Muhibudin Wijaya Laksana, Psikologi komunikasi, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2015) h. 25.
65
Tindakan yang dilakukan oleh Jerinx pada akun media sosialnya dapat
memberikan efek-efek komunikasi yang dapat memberikan perubahan
sikap, antara lain menyatakan bahwa seseorang akan mengalami
ketidaknyamanan didalam dirinya bila dihadapkan pada informasi baru
atau informasi yang bertentangan dengan keyakinannya. Keadaan tidak
nyaman ini disebut sebagai istilah disonasi sehingga orang akan berupaya
secara sadar atau tidak sadar untuk membatasi atau mengurangi
ketidaknyamanan ini melalui 3 proses selektif yakni penerimaan informasi
selektif, ingatan selektif dan persepsi selektif.
38
Morissan, Psikologi Komunikasi (Bogor: Galia Indonesia, 2010) h.235.
66
3. Analisis Yuridis
Pada bagian analisis yuridis ini penulis akan menganalisa dari analisis
hukumnya atau istilah-istilah kunci yang digunakan dalam hukum. Tindak
pidana ujaran kebencian merupakan kejahatan yang masih sering terjadi
dan sering disepelekan oleh masyarakat sehingga praktek ujaran kebencian
semakin lama semakin melewati batas maka dari itu agar tidak semakin
melewati batas. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
Nomor. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor.
11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
A. Kesimpulan
68
69
B. Saran
Adapun saran dari peneliti dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Setelah menganalisis fakta dan bukti mengenai ketentuan-ketentuan
hukum yang bisa diterapkan dalam menangani kasus ujaran kebencian
dapat mengontrol masyarakat agar tidak berlebihan dalam memberikan
ujaran karena walaupun Indonesia merupakan negara yang memberikan
kebebasan berekspresi kepada rakyatnya tetapi pada kenyataannya
pemerintah sebenarnya tidak memberikan hak untuk beropini dan kritik
secara utuh.
2. Fokus penulis adalah akar persoalan hakim didua tingkat dalam
menangani perkara hukum yang sama dengan vonis yang berbeda
dalam putusan Nomor 828/PID.SUS/2020/PN.DPS dan
72/PID.SUS/2020/PT.DPS mengenai hate Speech di media sosial
menurut peneliti sebenarnya apa yang telah diputuskan oleh Majelis
Hakim tingkat pertama sudah sesuai dan tepat sehingga tidak perlu
mencapai tingkat banding karena apa yang diucapkann oleh Jerinx
sudah memenuhi seluruh unsur dengan sengaja dan tanpa hak
menyebabkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan
atas antar golongan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Alkatri Zefry. Belajar Memahami Hak Asasi Manusia. (Depok: Ruas. 2010)
Alston Philip dan Franz Magnis Suseno. Hak Asasi Manusia. (Yogyakarta : Pusat Studi
Hak Asasi Manusia.2008)
Arief Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. (Bandung:2004)
Ashiddiqie Jimly. Kemerdekaan Berserikat. Pembubaran Partai Politik dan MK. (Jakarta
: Konstitusi Press. 2006).
Budiarjo Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002)
Chazawi Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaan. (Malang : Media Nusa Creative.
2016)
Davidson Scott. Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek Dalam Pergaulan
Internasional. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Tahun 1994)
Donnely Jack. Universal Human Rights in Theory and Practice. (London : Cornell
University Press. 2003)
Fajar Mukti. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2015)
70
71
Harahap Krisna. HAM dan Upaya Penegakkannya di Indonesia. (Bandung: Grafiti. 2003)
Ibrahim Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang :Bayu
Media Publishing. 2008)
Laksana Muhibudin Wijaya. Psikologi komunikasi. (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2015)
Mauludi. Awas Hoax! : Cerdas Mengahadpi Pencemaran Nama Baik. Ujaran Kebencian
Dan Hoax. (Jakarta : PT. Elex Media Komputido. 2018)
Nasution S.. Metode Penelitian Kualitatif Naturalistik. (Jakarta: Sinar Grafika. 2012)
Poerwadirminta W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka. 1984).
Raharjdo Sajipto. Masalah Penegakan Hukum. (Bandung : Sinar Baru. 1987)
Qamar Nurul. Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi. (Jakarta: Sinar
Grafika. 2003)
Santoso M. Agus. Hukum. Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum. (Jakarta:
Kencana. 2014)
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan
singkat.(Jakarta : Rajawali Pers. 2001)
Suhariyanto Budi. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime). (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2012).
Sutan Remy Syahdeini. Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer. (Jakarta : Pustaka
Utama Gratifi. 2009)
Wahid Abdul. Mohammad Labib. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). (Bandung: PT.
Refika Aditama:2010)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
ARTIKEL JURNAL
Ahmad Rijali. “Analisis Data Kualitatif”. Jurnal Alhadharah.Vol. 17. No. 33. (Januari –
Juli. 2018)
Anang Sugeng Cahyono. Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat
Di Indonesia. “Jurnal Publicana”. Vol.9. No.1 ( April. 2016)
Azhar dan Sopoyono . Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengaturan dan
Penanggulangan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Media Sosial.
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia . Vol .2 . No.2 ( Mei. 2020)
Barda Nawawi Arief. Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime dan Cyber Sex. “Jurnal
Law Reform”. Vol. 1. No.1. ( Januari. 2006)
Fahmi anwar. Perubahan dan Permasalahan Media Sosial. “Jurnal Muara Ilmu Sosial.
Humaniora. dan Seni”. Vol. 1. No. 1. (April 2017)
Gusti Ayu Made Gita Permatasari Dan Komang Pradnyana Sudibya. Tinjauan Yuridis
Mengenai Pengaturan Dan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana
Ujaran Kebencian Di Media Sosial. “Jurnal Kertha Wicara”. Vol. 2. No.5 (Maret.
2018).
Iqbal Kamalludin dan Barda Nawawi Arief. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Tentang
Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di
Dunia Maya. “Law Reform” Vol.15. No.1 (Mei. 2020)
Irawan. Hamza Baharuddin dan Nur Fadhillah. Efektivitas Penuntutan Terhadap Tindak
Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech): Studi Kejaksaan Negeri Makassar.
Journal Of Lex Generalis (JLG). Vol.1. No.5 (Oktober. 2020).
Yayan Muhammad Royani. Ujaran Kebencian Menurut Ali Bin Abi Thalib. “Jurnal Al-
‘Adl”. Vol. 11 No. 1. (Oktober. 2018).
SKRIPSI
Rikky Gani. Analisis yuridis terhadap implementasi Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE
Nomor 11 Tahun 2008 terhadap penghinaan atau pencemaran serta ujaran
kebencian dalam kebebasan berpendapat. (Jakarta : Skripsi Universitas Pelita
Harapan. 2020)
WEBSITE
Yulida Meistiara. Detik.com. Selama 2017 Polri Tangani 3.325 Kasus Ujaran
Kebencian. https://news.detik.com/berita/d-3790973/selama-2017-polri-tangani-
3325-kasus-ujaran-kebencian. diakses pada tanggal 9 Mei 2021.