Anda di halaman 1dari 128

PERMASALAHAN FINANCIAL TECHNOLOGY ILEGAL DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

SHANIA APRILIA
NIM: 11170480000091

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/ 2021 M
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

PERMASALAHAN FINANCIAL TECHNOLOGY ILEGAL DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

SHANIA APRILIA
NIM: 11170480000091

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Nahrowi, S.H., M.H. Diana Mutia Habibaty, S.E. Sy., M.H.
NIP. 19730215 19990 3 002 NIP. 19920606 202012 2 018

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/ 2021 M

i
LEMBAR PENGESEHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PERMASALAHAN FINANCIAL TECHNOLOGY ILEGAL


DI INDONESIA.” Oleh Shania Aprilia NIM 11170480000091 telah diujikan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 06 Agustus 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu
Hukum.

Jakarta, 25 Agustus 2021


Mengesahkan
Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.


NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.


NIP. 19670203 201411 1 001 ( ................................. )

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.


NIP. 19650908 199503 1 001 ( ................................. )

Pembimbing I : Dr. Nahrowi, S.H., M.H.


NIP. 19730215 19990 3 002 ( ................................. )

Pembimbing II : Diana Mutia Habibaty, S.E.Sy., M.H.


NIP.19920606 202012 2 018 ( ................................. )

Penguji I : Dr. Syahrul A’dam, M.Ag.


NIP. 19730504 20003 1 002 ( ................................. )

Penguji II : Feni Arifiani, S.Ag., M.H.


NIP. 19760708 200212 1 009 ( ................................. )

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Shania Aprilia

NIM :11170480000091

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Komp. Binalindung, Jl. Binasiswa II Blok C 7 No. 8 RT


05/11, Kel. Jaticempaka, Kec. Pondok Gede, Kota Bekasi.

No. Hp : 082122588488

Email : apriliashania04@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Agustus 2021

Shania Aprilia
NIM. 11170480000091

iii
ABSTRAK

SHANIA APRILIA. NIM 11170480000091. “PERMASALAHAN FINANCIAL


TECHNOLOGY ILEGAL DI INDONESIA” Konsentrasi Hukum Bisnis,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mendalami dan menganalisis permasalahan
Fintech P2P lending di Indonesia, khususnya Fintech P2P lending ilegal yang
memiliki banyak masalah dan kasus seperti melakukan tindakan intimidatif,
mengakses kontak dan membobol data pribadi, selain itu penelitian ini juga
mencoba menganalisis upaya penguatan regulasi yang harus dilakukan, yakni
dengan mengesahkan Undang-Undang.
Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statue approach) dan studi kasus yang menjelaskan mengenai permasalahan
fintech ilegal di Indonesia dalam peraturan otoritas jasa keuangan. Pendekatan
kasus (case approach) dalam penelitian ini dilakukan dilakukan dengan cara
mengambil beberapa contoh kerugian nasabah pengguna Fintech P2P Lending
ilegal atau pencurian data pribadi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Fintech P2P Lending
selain membawa manfaat juga terlalu banyak menimbulkan beberapa problematika,
yaitu maraknya Fintech P2P Lending ilegal, suku bunga yang tinggi, dan perlakuan
intimidasi serta penagihan dengan cara mengancam. Untuk Upaya penguatan
regulasi Fintech P2P Lending di Indonesia adalah dengan cara segera mengesahkan
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Pemerintah memberikan sanksi yang
tegas dan dituangkan ke dalam regulasi setingkat Undang-Undang untuk Fintech
P2P Lending ilegal, dan harus segera mengesahkan mengesahkan Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi. Selain itu mengingat dengan kemajuan zaman yang
semakin canggih dengan perkembangan bisnis secara fintech.

: Fintech P2P Lending, Data Pribadi, Regulasi Fintech P2P


Kata Kunci
Lending.

Pembimbing : 1. Dr. Nahrowi, S.H., M.H.


Skripsi 2. Diana Mutia Habibaty, S.E. Sy., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 2000 sampai Tahun 2021

iv
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ‬

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya dan telah memberikan kemudahan sehingga Penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERMASALAHAN FINANCIAL
TECHNOLOGY ILEGAL DI INDONESIA.”. Shalawat dan salam tidak lupa
Penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, dan para
sahabatnya.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
terbatasnya kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang Penulis miliki. Oleh
karena itu Penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan kritik dan saran
dengan guna memperbaiki tugas akhir ini.

Selanjutnya, dalam penyusunan skripsi ini peneliti banyak mendapatkan


bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan
ini peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang
terhormat :

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya.
2. Bapak Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program
Studi Ilmu Hukum dan jajarannya.
3. Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah bersedia membimbing
Penulis dan tidak henti-hentinya selalu mengingatkan
Mahasiswa/Mahasiswinya untuk menyelesaikan skripsi dengan tepat
waktu.

v
4. Bapak Dr. Nahrowi, S.H., M.H. yang telah bersedia untuk menjadi
Pembimbing Skripsi dan meluangkan waktunya disela kesibukannya
untuk memberikan bimbingan-bimbingan, arahan, dukungan serta
masukan-masukan dan semua konsultasi yang sangat membantu dan
berarti bagi Penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
5. Ibu Diana Mutia Habibaty, S.E. Sy., M.H. yang telah bersedia untuk
menjadi Pembimbing dan meluangkan waktunya disela kesibukannya
untuk memberikan bimbingan-bimbingan, arahan, dukungan serta
masukan-masukan dan semua konsultasi yang sangat membantu dan
berarti bagi Penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
6. Bapak Fathudin, S. H.I, S.H, MA. Hum, MH. Dosen Penasehat
Akademik yang selalu menasehati dan membimbing penulis dan telah
bersedia memberikan tandatangannya untuk segala keperluan akademis
Penulis, serta nasehat-nasehat yang sangat berarti dan membangkitkan
Penulis untuk serius dalam belajar.
7. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Seluruh Staf Administrasi yang selalu bersedia memberikan cap, dan
tandatangannya untuk segala keperluan akademis Penulis.
10. Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta, Detyantuti Syarlas dan
Zulfinaldi, S.H. Serta kedua saudara yang saya cintai, Giffari Syarlas,
S.H., M.H. dan Qanita Najiyah, thanks for all your love, caring and
support. Love you all…
11. Bunda Dian Kurniati untuk Bunda yang kucintai, thank you for all your
love, support caring, help. Love you Bun…
12. Rijal Habibunnajar, S.H. (Bang Rijal) yang sudah bersedia meluangkan
waktu diantara kesibukan-kesibukannya untuk memberi bimbingan-

vi
bimbingan, koreksi-koreksi, masukan-masukan serta bantuan yang
diberikan pada awal penulisan dan dalam penulisan serta seluruh
konsultasi yang diberikan, yang amat berguna dalam penulisan ini.
13. Kakak Intan, Kakak Nanda, Kakak Mita, Kakak Dinda, thank you for
your everything, thank you for all your support.
14. Bayu Prasetya, S.H. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan masukan-masukan dan segala bantuan yang berikan
kepada Penulis.
15. Baby Mulia Nuranti (Baby) my lovely sister another mother, thank you
for all your help, thank you for all your support, thank you for always
reminding me to love myself first.
16. Resti (Somay), Silvia (Abang), Ayu (Kibo), Lusi (Lemot) sahabatku
dari SD, thank you for sharing pages of your life since elementary
school with me, thank for always being my best friend.
17. Shafira (si aktif), Dian (Bidadari), Anan (lemot), Ferin (Anak RP) for
all the laughter you girls’ve gave, for being so helpful and always there
for me, thank you for sharing some pages of your college life with me.
I really thank god for giving me friends like you girls.
18. Teman-Teman SMA ku yang kusayang, Putri (Pute), Epi, Pratiwi, Desi,
Rizky Putri (Kiput), Salma (Mboy) thank you for making me laugh,
semangat.
19. Ichsan, Abdillah, Adnan, Anjas, Iqbal (Bale), Rendi, Wahyu (Ciwey),
yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk membantu disaat
stuck. I really thank god for giving me friends like you boys.
20. Teman-teman 2017-ku yang kusayang, Rara, Noe, Chindi, Ilma, Izza,
Rantika, Ikrima, Farhan, Fawaz, Alif, Dimas, Sigit, Fasta, Dezza,
Teguh, Najla, Lala, Tasya, Salsabila Sekar, Rizky Zulfa, Teguh, Shafa,
Firda, Nyayu Bella, Nabila (Cici), Sherina, Sanditya Sekar Ayu (Ayu),
Tandi, Habib, Sultan, Izzat, Milati, Azza, Indah, Fadhli, Een, Dzulfadli
(Dzul), Deo, Dayat, Anis, Chirunisa (Acha), Alya, Lisa, Dzikrina,
Nandavita, Ketut, Siski, Alfio, Sentoso, Dayat, Elsy, Justisia, Resita,

vii
Noneng, Mediana, Ilma, Tama, Mardiyah dan teman-teman yang tidak
bisa disebutkan satu-persatu.
21. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas semua
bantuan dan dukungannya.
22. Yang Selalu kucintai yaitu Diriku sendiri, yang selalu ada dan kuat
dalam menjalani perkuliahan hingga sampai menyelesaikan Pendidikan
di FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih, sudah menjadi
hebat dan buat bangga dirimu sendiri. I am proud of the human being
that I am.
Akhir kata, Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Segala kritik dan saran akan Penulis pergunakan demi perbaikan di masa yang akan
datang.

Jakarta, 30 Juli 2021

Shania Aprilia

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................... i

LEMBAR PENGESEHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii

ABSTRAK ........................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR........................................................................................ v

BAB I .................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................. 8

D. Metode Penelitian................................................................................... 9

E. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12

BAB II .............................................................................................................. 14

KONSEP DASAR PENGUATAN FINANCIAL TECHNOLOGY DAN


PENGUATAN REGULASI ............................................................................. 14

A. Kerangka Konseptual .......................................................................... 14


1. Penguatan Regulasi .......................................................................... 14
2. Financial Technology Peer To Peer Lending .................................. 17

B. Kerangka Teori .................................................................................... 37


1. Kepastian Hukum ............................................................................ 37
2. Perlindungan Hukum....................................................................... 39
3. Perlindungan Konsumen ................................................................. 43
4. Keabsahan Perjanjian Secara Elektronik ....................................... 46

ix
C. Tinjauan (Review) / Kajian Terdahulu ............................................... 50

BAB III ............................................................................................................. 55

DASAR HUKUM FINANCIAL TECHNOLOGY PEER TO PEER


LENDING DI INDONESIA ............................................................................ 55

A. Dasar Hukum Financial Technology Peer To Peer Lending Di


Indonesia ...................................................................................................... 55
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen................................................................................................. 55
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik................................................................................................. 58
3. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo)
No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem
Elektronik................................................................................................. 60
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi (LPMUBTI) ........................................................... 62
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa
Keuangan ................................................................................................. 63
6. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial..................................................... 64

B. Kasus-Kasus Financial Technology Peer To Peer Lending ................ 65


1. Kasus PT Vcard Technology Indonesia (Vloan) ............................. 65
2. Kasus RupiahPlus ............................................................................ 67
3. Kasus PT Barracuda dan PT Vega Data ......................................... 70

BAB IV ............................................................................................................. 71

x
PERMASALAHAN DAN URGENSI PENGUATAN REGULASI
FINANCIAL TECHNOLOGY PEER TO PEER LENDING SEBAGAI
UPAYA PENANGGULANGAN DI INDONESIA ......................................... 71

A. Penanggulangan Permasalahan Financial Technology Peer To Peer


Lending di Indonesia ................................................................................... 71

B. Penguatan Regulasi Financial Technology Peer To Peer Lending..... 86

BAB V ............................................................................................................ 101

PENUUTUP ................................................................................................... 101

A. Kesimpulan......................................................................................... 101

B. Rekomendasi ...................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 103

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi dan internet yang semakin meningkat telah


menyebabkan hubungan dunia seolah tanpa batas (borderless) dan
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat. Sehingga saat ini penggunaan teknologi
internet seperti pisau bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus
menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.1 Artinya bisa saja
dampak yang ditimbulkan tersebut akan membawa perubahan-perubahan
yang baik atau bahkan akan timbul perubahan-perubahan yang buruk bagi
keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.

Asosiasi Penyelanggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat


jumlah pengguna internet di Indonesia sepanjang tahun 2018 mencapai
171,17 juta pengguna atau setara 64,8% terhadap populasi 264,16 juta jiwa.
Jumlah tersebut menunjukan kenaikan yang sangat pesat dalam kurun waktu
satu tahun terakhir yang hanya mencapai 54,68% pengguna.2 Data di atas
menunjukan bahwa implementasi pemanfaat teknologi digital di Indonesia
sangat besar dan tentu saja memberikan dampak bagi
(pekembangan/kemajuaan) diberbagai sektor, salah satunya adalah sektor
bisnis terutama industri perdagangan online atau e-commerce. Tentu saja
dampak dari pesatnya perkembangan teknologi dan internet tidak hanya

1
Maskun, Kejahatan Siber Cyber Crime, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013),
h. 29.
2
Bulletin Assosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia (APJII), edisi-07 tahun 2018,
https://www.apjii.or.id/content/read/39/410/Hasil-Survei-Penetrasi-dan-Perilaku-Pengguna-
Internet-Indonesia-2018 diakses pada 18 September 2020.

1
2

merambah industri perdagangan, tetapi juga pada industri keuangan


Indonesia yang berbasis online.

Fintech berasal dari istilah financial technology atau teknologi


finansial. Menurut The National Digital Research Centre (NDRC)
merupakan suatu inovasi pada sektor finansial yang mendapat sentuhan
teknologi modern. Financial technology (fintech) yang merupakan strategi
dalam menjawab tantangan yang berkaitan dengan aspek pemerataan
pembangunan dan pengembangan ekonomi, termasuk masalah keuangan
inklusif.

Fintech merupakan implementasi dari pemanfataan teknologi untuk


peningkatan layanan jasa perbankan dan keuangan yang umumnya
dilakukan oleh perusahaan rintisan (startup) dengan memanfaatkan
teknologi software, internet, komunikasi, dan komputasi terkini. Konsep ini
mengadaptasi perkembangan teknologi yang dipadukan dengan bidang
finansial sehingga bisa menghadirkan proses transaksi keuangan yang lebih
praktis, aman, serta modern. Bentuk dasar fintech antara lain, pembayaran
(digital wallets, P2P payments), investasi (equity crowdfunding, Peer To
Peer Lending), pembiayaan (crowdfunding, microloans, credit facilities),
asuransi (risk management), lintas-proses (big data analysis, predicitive
modeling), infrastruktur (security).3 Kehadiran fintech merupakan jawaban
bagi masyarakat yang belum tersentuh dengan layanan jasa perbankan
sehingga mendatangkan kemudahan bagi setiap kalangan masyarakat untuk
mendapatkan layanan jasa keuangan yang praktis, aman dan cepat.

Dalam diskursus internasional, financial technology di dunia


dipelopori oleh Negara Inggris yang merilis fintech pada tahun 2005, pada
waktu itu berdiri sebuah perusahaan fintech yang bernama ZOFA.
Kemudian setelah lahirnya perusahaan tersebut, Fintech P2P lending

3
Nofie Iman, Financial Technology dan Lembaga Keuangan, (Yogyakarta: Gathering
Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri, 2016), h. 7.
3

kemudian berkembang ke negara-negara lain, salah satunya Negara


Amerika Serikat yang muncul industri pinjaman peer to peer lending yang
bernama Prosper Marketplace dan Lending Club pada Februari 2006.4
Tidak hanya di daratan Eropa dan Amerika, Industri Fintech P2P Lending
juga mulai masuk ke daratan Asia, termasuk Indonesia. Salah satu platform
fintech yang sedang marak di kalangan masyarakat Indonesia adalah yang
dikategorikan lembaga keuangan lainnya yaitu peer to peer lending (P2P
lending) seperti Koinworks.com, Modalku.com, Amartha.com, dan
Danamas.

Fintech P2P Lending merupakan penyelenggaraan layanan jasa


keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima
pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam melalui
sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.5 Fintech P2P
Lending memiliki keunggulan khas yaitu dapat menjalankan fungsi
interface melalui pendanaan di luar neraca (off-balance sheet). Layanan
Fintech P2P Lending juga lebih fleksibel dan dapat mengalokasikan modal
atau dana kepada siapa saja, dalam jumlah nilai berapa pun, secara efektif
dan transparan, serta dengan bunga yang ringan.6 Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) mencatat Hingga Desember 2020 jumlah perusahaan terdaftar atau
berizin OJK berjumlah 152 perusahaan. Per Agustus 2020 peminjam di
perusahaan Fintech P2P Lending mencapai 27.376.996 entitas dengan nilai
pinjaman sebesar Rp 40,37 Triliun, yang bersumber dari penyedia dana
sebanyak 669.580 entitas.7

4
Darman, Financial Technology (Fintech): Karakteristik dan Kualitas Pinjaman pada Peer
to Peer Lending di Indonesia”, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol. 18, 2, (2009), h. 13.
5
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK No. 77/POJK.01/2016, Ps.1.
6
Regita Wijayani, Perlindungan Hak Konsumen Selaku Debitur dan Kreditur pada
Transaksi Peer to Peer (P2P) Lending Financial Technology, Tesis Magister Gadjah Mada
(Yogyakarta, 2017), h. 4.
7
Otoritas Jasa Keuangan, Perkembangan Fintech Lending,
https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-
statistik/fintech/Documents/Perkembangan%20Fintech%20Lending%20Periode%20Agustus%202020.
pdf , diakes pada 30 Maret 2021.
4

Berkembangnya perusahaan Fintech P2P Lending sebagai penyedia


jasa keuangan berbasis teknologi informasi mendorong Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) selaku regulator dan pengawas kegiatan di sektor Jasa
Keuangan. OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Lalu Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial. OJK telah menetapkan prosedur pengajuan untuk
membuat Fintech P2P Lending legal. Namun, fakta menunjukkan masih
menjamurnya Fintech P2P Lending yang ilegal atau tanpa izin dari OJK.
Berdasarkan data OJK bersama Bareskrim Polri yang tergabung dalam
Satgas Waspada Investasi (SWI), hingga saat ini jumlah Fintech P2P
Lending yang tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dari OJK sesuai
POJK Nomor 77/POJK.01/2016 pada tahun 2020 Satgas dalam operasinya
kembali menemukan 126 Fintech P2P lending ilegal. Adapun total fintech
ilegal yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi untuk ditutup sejak
tahun 2018 hingga September 2020 mencapai 2840 entitas. Dilain hal,
penggunaan teknologi dalam praktek Fintech P2P Lending setidaknya
memiliki dua potensi resiko yaitu resiko keamanan data konsumen dan
resiko kesalahan transaksi.8

Resiko yang dapat timbul mengenai data pribadi konsumen Fintech


P2P Lending seperti adanya pencurian data pribadi, kerusakan sistem yang
dapat memungkinkan terjadinya pembobolan data, penyalahgunaan data
pribadi yang telah dikuasai oleh pelaku usaha itu sendiri ataupun pihak-
pihak lainnya yang dapat mengakses data pribadi konsumen. Hal ini
membuat masyarakat yang menjadi konsumen diharuskan meneliti terlebih
dahulu ketika akan menggunakan Fintech P2P Lending, baik sebagai

8
Siaran Pers Satgas Waspada Investasi, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-
kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-Satgas-Waspada-Investasi-Tutup-126-Fintech-Lending-
Ilegal-dan-32-Investasi-Tanpa-Izin-.aspx
5

investor maupun pihak peminjam. Penanganan dalam hal ini, OJK bekerja
sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo)
untuk melakukan pemblokiran kepada Fintech P2P Lending ilegal tersebut.
Akan tetapi, permasalahan lain timbul ketika Fintech P2P Lending ini
membuka website atau aplikasi baru dengan nama lain pada website maupun
penyedia konten digital.

Perusahaan Fintech P2P Lending seringkali melakukan penagihan


utang dengan intimidasi dan melanggar hak privasi dari nasabah selaku
konsumen. Ketika utang tersebut jatuh tempo, perusahaan tersebut
melakukan penagihan dengan cara mengancam akan menyebarkan data
pribadi konsumen di media sosial, melakukan intimidasi serta pengancaman
kepada keselamatan konsumen.9 Faktanya, tidak hanya konsumen saja yang
diancam serta diintimidasi oleh perusahaan tersebut, tetapi juga kepada
teman, hingga keluarga nasabah dan dianggap sebagai penanggung jawab
pembayaran utang nasabah.10

Selain kasus tersebut, terdapat kasus lain yang terjadi pada


konsumen Fintech P2P Lending ini, yaitu satu debitur meminjam lebih
dari satu aplikasi Fintech P2P Lending. Hal ini dikarenakan peminjam
tidak dapat melunasi pembayaran dengan sejumlah bunga dalam waktu
relatif singkat, dan mengakibatkan debitur meminjam pada aplikasi
Fintech P2P Lending lainnya. Kasus demikian membuat debitur atau
peminjam tersebut terlilit hutang pada beberapa Fintech P2P Lending,
seperti dalam kasus yang pernah terjadi pada sopir taksi yang melakukan
bunuh diri karena tidak mampu membayar pinjaman online. Menurut data

9
Haris Prabowo, Cerita Orang Pinjam Uang Yang Diteror Perusahaan Fintech,
https://tirto.id/cerita-orang-pinjam-uang-yang-diteror-perusahaan-fintech-c9cU diakses pada 19
Oktober 2020.

10
Haris Prabowo, Cerita Orang Pinjam Uang Yang Diteror Perusahaan Fintech,
https://tirto.id/cerita-orang-pinjam-uang-yang-diteror-perusahaan-fintech-c9cU diakses pada 19
Oktober 2020.
6

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta per Juni 2019 aduan tentang
Fintech P2P Lending sebanyak 4.500. Pada periode Januari hingga Maret
2020, Satgas Waspada Investasi masih menemukan 508 Fintech P2P
Lending11 ilegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jika dihitung sejak tahun 2018, maka hingga tahun 2020, sudah ditemukan
total 2406 Fintech P2P Lending ilegal.12 Modus fintech ini antara lain
mengakses kontak di ponsel peminjam, menyebarkan foto Kartu Tanda
Penduduk (KTP), dan juga menyebar foto pribadi milik peminjam,
menduplikasi perusahaan fintech yang punya legalitas dengan cara
melabui informasi bahwa mereka sudah terdaftar di otoritas tertentu,
menjebak masyarakat dengan bunga tinggi dan tidak terkendali bahkan
cenderung penipuan, dan terdapat ancaman, fitnah dan pelecehan
seksual.13

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut penulis


mengkajinya dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGUATAN
REGULASI DAN PENANGGULANGAN PERMASALAHAN
FINANCIAL TECHNOLOGY PEER TO PEER LENDING DI
INDONESIA.”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah
a. Perlindungan hukum pengguna Fintech P2P Lending belum diatur
secara jelas
b. Perlindungan data pribadi konsumen yang diatur Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) yang belum memadai

11
Sumit Agarwal, Jian Zhang, Fintech Lending and Payment Innovation: A Review, Asia
Pasific, (Journal of Studies), (2020), h. 115.
12
Siaran Pers Satgas Waspada Investasi, SP 02/SWI/2020.
13
SWI Tutup 3.056 Pinjol Ilegal, Begini Modus Tipu-Tipunya,
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210202120758-37-220420/swi-tutup-3056-pinjol-ilegal-
begini-modus-tipu-tipunya diakses pada 13 Maret D2021.
7

c. Banyak kasus pencurian data pribadi yang menimpa pengguna


Fintech P2P Lending yang menyulitkan penenggak hukum untuk
menenggakkan aturan yg belum memadai
d. Pengawasan Fintech P2P Lending yang belum maksimal
e. Kurangnya jaminan keamanan identitas pribadi oleh institusi
pemerintah
f. Keabsahan perjanjian pinjam-meminjam lewat internet khususnya
mekanisme kesepakatan (konsensus) para pihak
g. Pengaman secara hukum terhadap pemberi pinjaman, baik pinjaman
dengan jaminan terutama tanpa jaminan (tanpa collateral)
h. Dokumen dalam Perjanjian Elektronik Peer to Peer Lending semua
berdokumen elektronik atau adanya dokumen basah (langsung)
i. Sistemisasi Data Debitur dalam fintech agar tidak terjadi debitur
nakal untuk kepentingan perlindungan kreditur fintech
j. Merumuskan unsur pidana dalam pola ancaman kreditur terhadap
debitur fintech

2. Pembatasan Masalah

Dari sekian banyak masalah-masalah yang sudah diidentifikasi


oleh penulis. Penulis membatasi hanya menyangkut terhadap norma dan
ketiadaan hukum Fintech P2P Lending dan penguatan hukum, dan
perlindungan hukum terhadap data pribadi industri fintech ilegal di
Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang


diangkat adalah terkait perlindungan hukum bagi pengguna fintech P2P
Lending melalui upaya penguatan hukum. Sebagai upaya mempertegas
arah pembahasan, adapun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
8

a. Bagaimana penanggulangan Fintech P2P Lending ilegal di


Indonesia?
b. Bagaimana upaya penguatan regulasi Fintech P2P Lending
dalam upaya penanggulangan Fintech di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan masalah di atas maka untuk menindak


lanjuti masalah yang telah ditetapkan di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis, serta mengkritisi


penanggulangan Fintech P2P Lending yang sedang
berkembang di Indonesia saat ini
b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penguatan
regulasi Fintech P2P Lending dalam upaya penanggulangan
Fintech di Indonesia

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang ingin dihadirkan penulis


sebagai berikut:

a. Manfaat akademik dari penelitian ini dapat dimanfaatkan


sebagai bahan literatur/referensi selain itu, juga dapat
dimanfaatkan sebagai penelitian lanjutan bagi mahasiswa
atau peneliti yang akan mengkaji penelitian yang serupa
b. Manfaat teoritis dari penelitian ini dapat sebagai bahan
pertimbangan bagi pihak yang berwenang dalam
pengembangan Fintech P2P Lending
9

D. Metode Penelitian

Untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini


maka penulis menggunakan metode deskriptif analitis sebagai upaya untuk
menyelesaikan penelitian skripsi ini.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian merupakan usaha yang terstruktur dan sistematis


yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam meneliti suatu permasalahan
yang membutuhkan jawaban yang ilmiah.

Peter Mahmud Marzuki menyebutkan definisi Penelitian Hukum


(legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi yaitu adakah
aturan hukum yang sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang
berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta
apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum atau
prinsip hukum.14

Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini menggunakan tipe


penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum dengan melihat,
menelaah dan menginterprestasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan
perundang-undangan, pandangan para pakar hukum, doktrin hukum,
dan sistem hukum yang berkaitan15 untuk memecahkan suatu isu
hukum.

14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, edisi revisi, (Jakarta: Prenademedia Group,
2016) h. 47.
15
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004) h. 101.
10

2. Pendeketan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini


adalah pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Pendekatan
Perundang-undangan (statue approach) yang menjelaskan mengenai
permasalahan Fintech P2P Lending ilegal di Indonesia dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan. Pendekatan kasus (case approach) dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil beberapa contoh
kerugian nasabah pengguna Fintech P2P Lending ilegal atau pencurian
data pribadi.

3. Sumber Data
a. Sumber hukum primer yaitu berupa Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
b. Sumber hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum dalam bidang perlindungan konsumen meliputi buku-buku
hukum yang terkait perlindungan konsumen, fintech teks, jurnal
hukum, buku-buku hukum yang terkait perlindungan konsumen, dan
buku-buku yang terkait financial technology.
c. Sumber hukum tersier, kamus hukum, dapat berupa buku-buku
mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat atau laporan-laporan
penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik
penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk
memperkaya dan memperluas wawasan penulis.
11

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan melalui penelusuran


kepustakaan pada perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan
perpustakaan utama UIN Jakarta yaitu membaca dan menganalisa
literatur yang ada terkait dengan Fintech P2P lending dan kemudian
mencatat serta menyalin data-data penting yang berhubungan dengan
masalah penelitian baik dari sumber dokumen/buku, koran, majalah, dan
lain-lain.

5. Teknik Pengolahan dan Anilisis Bahan Hukum

Analisis terhadap data-data yang telah didapatkan dengan cara


deskriptif analisis, yaitu data yang diperoleh sudah diklarifikasikan
menurut pokok bahasan masing-masing, yang selanjutnya dilakukan
analisis data. Sehingga dengan begitu data dapat tersusun dengan
sistematis dan memberikan penjelasan yang baik bagi para pembaca.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif, yaitu menguraikan data secara jelas sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada kaidah-kaidah


penulisan karya ilmiah dan buku yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum yang berjudul “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017”.
12

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi ke dalam lima


bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab untuk lebih
memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan dibahas. Adapun
urutan masing-masing bab serta pokok bahasannya sebagai berikut.

Bab Satu, penulis membahas pendahuluan meliputi Latar Belakang,


Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab Kedua, penulis menjelaskan tinjauan Pustaka. tentang


Pengertian Fintech P2P Lending, teori-teori yang berkaitan dengan
pembahasan yang tertuang dalam penelitian ini. Selanjutnya akan dijelaskan
terkait review (tinjauan ulang) studi terdahulu, agar tidak ada persamaan
terhadap materi muatan dan pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang
ditulis oleh pihak lain dan diakhiri dengan tinjauan (review) Studi
Terdahulu.

Bab Ketiga, penulis akan menguraikan beberapa regulasi yang


berkaitan dengan Fintech P2P Lending di Indonesia, seperti Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, POJK No.
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, dan aturan lainnya yang berkaitan dengan Fintech
P2P Lending di Indonesia.

Bab Keempat, membahas mengenai pembahasan, pada bab ini akan


membahas masalah Fintech P2P Lending di Indonesia, khususnya Fintech
P2P Lending ilegal dan pencurian data pribadi. Kemudian selain itu, penulis
juga akan mencoba membahas mengenai upaya penguatan hukum apa yang
harus dilakukan dalam menanggulangi Fintech P2P Lending ilegal di
Indonesia.
13

Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan


saran sebagai rekomendasi atas temuan yang diperoleh dari permasalahan
yang diangkat pada penelitian.
14

BAB II

KONSEP DASAR PENGUATAN FINANCIAL TECHNOLOGY DAN


PENGUATAN REGULASI

A. Kerangka Konseptual

1. Penguatan Regulasi
Regulasi adalah alat untuk melakukan rekayasa sosial. Karena
regulasi mempunyai sifat memaksa, maka regulasi berfungsi sebagai
alat untuk menggerakkan sumber daya dalam rangka mencapai tujuan
yang ditetapkan. Dengan kata lain, regulasi merupakan bentuk formil
dari kebijakan pemerintah agar dapat dilaksanakan di masyarakat.
Menurut Jimly Asshiddiqqie regulasi merupakan pengaturan yang
menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan
untuk mengatur dari produk legislasi itu.16

Menurut Black Law Dictionary, kata regulation memiliki arti


sebagai “a rule or order, having legal force. Issued by an administrative
agency or a government”, atau yang mempunyai arti regulasi adalah
suatu aturan atau perintah yang memiliki kekuatan hukum, yang
dikeluarkan oleh badan administrasi atau pemerintah.17 Regulasi juga
dapat diartikan sebagai peraturan yang dikeluarkan oleh berbagai
departemen dan instansi pemerintah untuk dilaksanakan tujuan undang-
undang yang telah ditentukan.18 Dari kedua definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa regulasi adalah sebuah aturan atau peraturan yang
dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas yang berwenang.

16
Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), h. 27.
17
Brian A. Garner, Black Law Dictionary, (USA: West Group, 2009), h. 1289.
18
Janosik, Robert J., ed, Regulations are issued by various federal government departments
and agencies to carry out the intent of legislation enacted by Congress, Encyclopedia of the
American Judicial System, Screebner, Vol. 2, 1, (1987), h. 1.
15

Dalam bahasa Belanda, regulasi dikenal sebagai wetgeving


wettelijke regels, atau wettelijke regeling(en),19 atau bisa diartikan
sebagai perundang-undangan. Istilah ini berasal dari kata wetterlijke
regels. Adapun dalam Juridisch woordenboek, wetgeving memiliki
makna peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan,
baik pada tingkat pusat maupun daerah.20 Kemudian P. J. P Tak dalam
bukunya Rechtvorming in Nederland mendefinisikan peraturan
perundang-undangan sebagai keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh
pejabat berwenang, dan berisi aturan tingkah laku yang memiliki sifat
mengikat untuk umum.21 Peraturan perundangan-undangan juga
merupakan perwujudan dari kehendak pemegang kekuasaan yang
berdaulat, sehingga peraturan perundang-undangan merupakan hukum
tertinggi dan adalah satu-satunya sumber hukum.22

Mengenai regulasi di Indonesia sendiri menganut sistem


peraturan hierarki yang mana hal ini dianut dari teori yang digagas oleh
Hans Kelsen yakni Stufenbau theory. Pada teori ini dijelaskan bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hierarki yang berarti suatu norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar
(Grundnorm).23 Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

19
Maria Farida Indrat Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius,
2007), h.1-6.
20
S. J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, (Groningen/Batavia: J.B.
Wolters, 1948), h. 5.
21
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill, 1992),
h. 3.
22
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
(Bandung: PT. Alumni, 1997), h. 248.
23
Eka N.A.M Sihombing, Menyoal Ketentuan Usul Pindah Pegawai Negeri Sipil Di
Lingkungan Pemerintah Daera Kabupaten Nias Barat, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, No. 511,
2013, h. 99.
16

pada Pasal 7 ayat (1), disebutkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-
undangan yang kedudukannya paling tinggi. Kemudian TAP MPR yang
urutannya setelah Undang-undang 1945, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (PERPU), Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kota.

Mengingat Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa “Jenis
peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksaan
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan Lembaga,
atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Sehingga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dapat


dikategorikan sebagai salah satu peraturan yang diakui keberadaannya
di Indonesia sebagaimana tercantum pada Pasal 8 ayat (1) di atas. Selain
itu POJK merupakan peraturan turunan yang diamanatkan oleh Pasal 8
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam hal ini otoritas jasa keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, regulasi
tersebut menjadi payung hukum bagi perusahaan-perusahan Fintech
P2P Lending di Indonesia untuk menjalankan usahanya.24 Dalam belied
tersebut, terdapat ketentuan mengenai mekanisme pencatatan dan

24
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
17

pendaftaran fintech, mekanisme pemantauan dan pengawasan fintech,


pembentukan ekosistem fintech, membangun budaya inovasi dan
kolaborasi, inklusi dan literasi, menajemen resiko yang efektif,
perlindungan konsumen, transparansi serta ketentuan anti pencucian
uang dan pendanaan terorisme.25

Sebagaimana telah terang bahwa perlindungan data terhadap


Fintech P2P Lending ilegal benar-benar tidak ada, seperti pengelolaan
yang tidak profesional serta tidak adanya kontrol dari pemilik data dan
bagi Fintech P2P Lending legal tidak adanya aturan yang mengatur
besaran bunga, Oleh karena itu, hukum menurut Soerjono Soekanto
salah satu aspek yang dapat menjamin efektifitas dan efiensi
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi adalah
melalui regulasi yang dapat menciptakan kondisi yang kondusif. Namun
regulasi juga dapat menciptakan kondisi sebaliknya jika tidak dapat
mengakomodir aspek-aspek penting, mengantisipasi perbuatan-
perbuatan hukum yang akan muncul serta tidak bersifat fair dan adil.26
Maka dari itu perlu adanya penguatan regulasi.

2. Financial Technology Peer To Peer Lending

a. Pengertian Fintech Peer To Peer Lending

Industri Fintech P2P Lending saat ini sangat diminati banyak


orang di Indonesia karena memiliki banyak manfaat dalam dunia
keuangan. Secara definisi, Fintech Peer To Peer Lending (P2PL)
atau biasa juga disebut sebagai social lending atau person to person
lending merupakan salah satu bentuk crowdfunding berbasis utang
berupa praktik pemberian pinjaman uang antar individu dimana

25
Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
26
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h.
151.
18

peminjam dan pemberi pinjaman dipertemukan melalui platform


yang diberikan oleh perusahaan penyelenggara Fintech P2P
Lending. Fintech P2P Lending memberikan wadah bagi seseorang
yang ingin meminjam uang dari seseorang yang tidak pernah
ditemui secara langsung sebelumnya. Begitu juga dengan kreditur,
dapat memberikan pinjaman kepada seseorang yang tidak dikenal
dan informasi yang diketahui bisa hanya berdasarkan rekam jejak
kredit dari peminjam.

Layanan Fintech P2P Lending ini berbeda dengan layanan


pinjam meminjam uang sebagaimana diatur pada Pasal 1754
KUHPerdata para pihak yang terlibat adalah pemberi pinjaman dan
penerima pinjaman dimana para pihak ini memiliki hubungan
hukum secara langsung melalui perjanjian pinjam meminjam.
Pemberi pinjaman berkewajiban untuk memberikan kepada pihak
lain suatu jumlah tertentu barang yang habis pakai karena pemakaian
dengan syarat bahwa penerima pinjaman akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Sedangkan layanan Fintech P2P Lending ini pemberi pinjaman
tidak perlu bertemu langsung dengan penerima pinjaman, bahkan
diantara para pihak dapat saja tidak saling mengenal karena dalam
sistem Fintech P2P Lending terdapat pihak lain yakni platform atau
penyelenggara Fintech P2P Lending yang menghubungkan
kepentingan antara para pihak ini.27

Seiring berkembangnya teknologi internet, praktik Fintech


P2P Lending lebih umum dilakukan secara online atau biasa dikenal
dengan Fintech. Perusahaan yang bergerak di bidang Fintech P2P
Lending berbeda dengan bank atau institusi keuangan konvensional
lainnya. Di sini perusahaan atau penyelenggara Fintech P2P

27
Ratna H, Juliyani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,
(Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas Islam Indonesia, 2018), h. 322.
19

Lending hanya menjamin hubungan antara peminjam (debitur) dan


pemberi pinjaman (kreditur).

Setidaknya ada beberapa hal yang dilakukan oleh


penyelenggara Fintech P2P Lending, yaitu memastikan bahwa
peminjam memiliki kelayakan untuk mengajukan kredit; membantu
kreditur untuk mencari orang yang membutuhkan pinjaman;
membantu dalam proses administrasi; mengurus arus dana antara
peminjam dan pemberi peminjam; serta melakukan proses
penagihan ketika terjadi gagal atau telat bayar.

Pasar Fintech P2P Lending sudah berkembang pesar di


beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di Asia,
Tiongkok dan Singapura pun sudah mulai mengadopsi
Crowdfunding. Sedangkan di Indonesia, praktik ini belum popular
namun menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia
memiliki potensi yang sangat besar menjadi intrumen pengumpulan
dana investasi.28

b. Perbedaan Fintech Peer To Peer Lending dengan Bank

Meskipun perusahaan penyelenggara Fintech P2P Lending


memiliki kemiripan dengan perbankan yang menerima uang dari
deposan dan menyalurkannya melalui fasilitas kredit atau
pembiayaan, perusahaan penyelenggara Fintech P2P Lending
bukanlah perbankan. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank merupakan badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

28
Peer To Peer Lending: Potensi Crowdfunding yang Belum Tersentuh,
https://www.investree.id/blog/marketplace-lending/peer-to-peer-lending-potensi-crowdfunding-
yang-belum-tersentuh diakses pada 23 Maret 2021.
20

kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan


taraf hidup rakyat banyak.

Dalam sistem perbankan, hubungan hukum antar nasabah


penyimpan dana dan bank didasarkan atas perjanjian antara nasabah
penyimpan dana dan bank. Simpanan sendiri merupakan dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito (berjangka),
sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.29 Lebih lanjut Undang-Undang 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan
bahwa LPS berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah dan turut
serta secara aktif dalam memelihara sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya. 30

Dengan model bisnisnya yang menjalankan kegiatan pinjam-


meminjam yang mirip dengan kegiatan yang dilakukan perbankan,
Fintech P2P Lending berbeda dengan Bank, berikut adalah
perbedaan Fintech P2P Lending dengan Bank:

1. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya


Menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi, kegiatan
Penyelenggara Fintech P2P Lending dikategorikan sebagai
“Lembaga Jasa Keuangan Lainnya”. Dengan demikian,
penyelenggara Fintech P2P Lending bukan merupakan bank,
dan tidak mengikuti aturan di industri perbankan.

29
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
h. 242.
30
Jonker Sihombing, Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan, (Bandung: PT Alumni,
2010), h. 58.
21

2. Tidak dijamin LPS


Menurut Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan,
Lembaga Penjamin Simpanan hanya menjamin dana simpanan
nasabah di bank. Dalam hal ini, Fintech P2P Lending bukan
merupakan bank, dan tidak melakukan bisnis perbankan,
sehingga dana Lender tidak dijamin oleh LPS.
3. Terjadi Secara Daring (Online)
Proses bisnis industri Fintech P2P Lending dilakukan secara
online dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan
informatika. Sedangkan proses bisnis bank masih memerlukan
tatap muka.
4. Hanya Sebagai Platform

Penyelenggara Fintech P2P Lending hanya bertindak


sebagai pengelola platform pada transaksi pinjam meminjam,
dimana dana Pemberi Pinjaman disalurkan kepada Penerima
Pinjaman yang sesuai dengan kriterianya, melalui escrow
account Penyelenggara. Di sisi lain, bank mengelola dana
masyarakat yang dititipkan dalam bentuk simpanan.

5. Perjanjian Langsung Antara Debitur dan Kreditur

Pada transaksi pinjam meminjam melalui Fintech P2P


Lending kreditur atau pemberi pinjaman dapat memilih debitur
atau penerima pinjaman, dan kemudian mengadakan perjanjian
pinjam meminjam dengan difasilitasi oleh Penyelenggara
Fintech P2P Lending. Sedangkan pada bank, keputusan kredit
ada pada bank.
22

6. Proses Cepat

Pemanfaatan data dan teknologi informasi membuat waktu


yang dibutuhkan Penyelenggara Fintech P2P Lending
menyetujui permohonan pinjaman untuk ditampilkan di
platform lebih cepat. Sedangkan di Bank, proses persetujuan
pinjaman paling cepat dilakukan dalam kurun waktu mingguan
bahkan bulanan.

c. Pihak Yang Terlibat Dalam Fintech Peer To Peer Lending

Penyelenggara Fintech P2P Lending berbeda dengan


perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana diatur pada Buku
III KUHPerdata yang hanya melibatkan pihak pemberi pinjaman
dan pihak penerima pinjaman, dalam layanan Fintech P2P Lending
atau Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi melibatkan berbagai pihak yaitu:31

1. Pihak Penyelenggara Layanan Fintech Peer To Peer Lending

Pengertian penyelenggara layanan pinjam meminjam uang


berbasis teknologi informasi telah diatur dalam Pasal 1 ayat (6)
POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Penyelenggara dalam
ketentuan tersebut adalah badan hukum Indonesia yang
menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi. Menurut Pasal 2 ayat
(2) bentuk badan hukum penyeleggara dapat berupa perseroan
terbatas atau koperasi.

31
Ratna H, Juliyani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,
(Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas Islam Indonesia, 2018), h. 322.
23

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, penyelenggara


Fintech P2P Lending haruslah badan hukum dan tidak dapat
dilakukan oleh orang/perorangan maupun kegiatan usaha non badan
hukum seperti Maatschap, Firma, ataupun CV. Badan hukum yang
dapat bertindak sebagai penyelenggara Fintech P2P Lending
hanyalah perseroran terbatas yang telah mendapatkan pengesahan
dari Kementerian Hukum dan HAM atau Koperasi. Ditinjau dari
kapasitas hukum, tentu badan hukum memiliki kedudukan yang
lebih baik jika dibandingkan dengan perusahaan non badan hukum
mengingat badan hukum merupakan subjek hukum atau pendukung
hak dan kewajiban yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
nama badan hukum tersebut. Dengan ketentuan ini pula jelas bahwa
yayasan maupun badan hukum lainnya tidak dapat menjalankan
kegiatan Fintech P2P Lending. Persyaratan penyelenggara dalam
bentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi ini telah sesuai
dengan tujuan kepastian hukum bagi para pihak dalam kegiatan
usaha Fintech P2P Lending dimana Fintech P2P Lending
merupakan kegiatan usaha yang bersifat mencari keuntungan (profit
oriented) dan melibatkan banyak pihak.

2. Pihak Penerima Pinjaman (Debitur)

Penerima pinjaman atau debitur sebagaimana diatur dalam


Pasal 1 ayat (7) POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi adalah orang
dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Pasal
15 penerima pinjaman dalam sistem Peer To Peer Lending harus
berasal dari berdomisili di wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Penerima pinjaman dapat berupa orang
perseorangan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum
Indonesia.
24

Berdasarkan ketentuan di atas, penerima pinjaman dalam


Fintech P2P Lending bukanlah perorangan WNA ataupun badan
hukum asing. Namun, ketentuan tesebut belumlah cukup mengingat
dalam ketentuan tersebut hanya disebutkan bahwa penerima
pinjaman adalah pihak yang mempunyai utang tanpa menyebutkan
dengan siapa penerima pinjaman mengikatkan diri dalam perjanjian
utang-piutang atau pinjam meminjam. Hal ini seolah-olah penerima
pinjaman memiliki perjanjian pinjam meminjam dengan
penyelenggara Fintech P2P Lending dimana hal tersebut mirip
dengan kegiatan usaha perbankan dalam menerima dan
menyalurkan dana ke masyarakat.

3. Pihak Pemberi Pinjaman (Kreditur)

Pemberi pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (8)


POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Berbasis Teknologi Informasi adalah orang, badan
hukum dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena
perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi. Pemberi pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau luar
negeri. Pasal 16 pemberi pinjaman terdiri dari orang perseorangan
warga negara Indonesia, orang perserorangan warga negara asing,
badan hukum Indonesia/asing, dan/atau lembaga Internasional.

4. Bank

Pasal 24 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan


Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi menentukan
bahwa penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan
virtual account dalam rangka layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi. Selain itu, penyelenggara juga wajib
menyediakan virtual account bagi setiap pemberi pinjaman dan
25

dalam rangka pelunasan pinjaman, penerima pinjaman melakukan


pembayaran melalui escrow account penyelenggara untuk
diteruskan ke virtual account pemberi pinjaman.

Escrow account adalah rekening yang dibuka secara khusus


untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang dipercayakan
kepada Bank Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu sesuai
dengan perjanjian tertulis.32

Virtual account adalah nomor identifikasi pelanggan


perusahaan (end user) yang dibuat oleh Bank untuk selanjutnya
diberikan oleh perusahaan kepada pelanggannya (perorangan
maupun non perorangan) sebagai identifikasi penerimaan
(collection).33

Tujuan penggunaan virtual account dan escrow account


dalam hal ini yaitu larangan bagi penyelenggara dalam melakukan
penghimpunan dana masyarakat melalui rekening penyelenggara.
Guna mendukung penggunaan virtual account dan escrow account
tersebut maka penyelenggara harus bekerjasama dengan pihak bank.

5. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

OJK ialah lembaga yang independen, yang mempunyai


fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan

32
Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank
Indonesia dengan Pihak Ekstern.
33
Mandiri Virtual Account, diterima dari https://www.bankmandiri.co.id/virtual-account
diakses pada 23 Januari 2021.
26

bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan


pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan.

Pada Pasal 6 menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas


pengaturan dan pengawasan terhadap: (a) kegiatan jasa keuangan di
sektor Perbankan; (b) kegiatan jasa keuangan di sektor Pasal Modal;
dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya. Apabila mengacu pada kedua pasal tersebut, OJK adalah
instansi yang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
tumbuh kembangnya fintech, salah satunya Fintech P2P Lending
yang merupakan bagian Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang
diawasi oleh OJK.34

OJK dalam sistem penyelenggara Fintech P2P Lending ini


bertindak selaku pemberi persetujuan pengajuan pendaftaran dan
perizinan penyelenggaraan sistem serta selaku pihak yang harus
mendapatkan laporan berkala atas penyelenggaraan sistem pinjam
meminjam uang berbasis teknologi informasi.

d. Fungsi Fintech Peer To Peer Lending

Bank Indonesia Fintech Office atau BI-FTO didirikan


dengan empat tujuan utama. Pertama, memfasilitasi perkembangan
inovasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi di Indonesia.
Kedua, mempersiapkan Indonesia untuk mengoptimalkan
perkembangan teknologi dalam rangka pengembangan,
perekonomian, ketiga, meningkatkan daya saing industri keuangan
berbasis teknologi Indonesia. Keempat, menyerap informasi dan

34
Ernasari, dkk, Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology
(Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016), Diponogoro Law Journal, Vol. 6,
2017.
27

memberikan umpan balik untuk mendukung perumusan kebijakan


Bank Indonesia, sebagai respon terhadap perkembangan berbasis
teknologi. Menurut Bank Indonesia, Finansial teknologi berfungsi
membantu transaksi jual beli dan sistem pembayaran menjadi lebih
efisien dan ekonomis namun tetap efektif. Serta terdapat 4 teknologi
yaitu fungsi katalisator atau fasilitator, fungsi business intelligence,
fungsi asesmen, serta fungsi koordinasi dan komunikasi.35 Fungsi
dari finansial teknologi sebagai berikut:36

1. Sebagai katalisator/fasilitator bagi petukaran ide inovatif


pengembangan Fintech di Indonesia.
2. Sebagai business intelligence, dimana BI-FTO akan secara
rutin memberikan update melalui diseminasi hasil kajian dan
pertemuan termasuk dengan kementrian dan otoritas terkait
serta lembaga internasional.
3. Fungsi asesmen yaitu BI-FTO akan melakukan pemantauan
dan pemetaan atas potensi manfaat sekaligus risiko dari
inovasi model bisnis dan produk yang ditawarkan. Hasil
asesmen tersebut akan menjadi dasar bagi perumusan
kebijakan di Bank Indonesia.
4. Fungsi koordinasi dan komunikasi, yang berperan
memberikan pemahaman atas kerangka pengaturan yang
ada, dan mendorong harmonisasi regulasi lintas otoritas.

Bank Indonesia Fintech Office pula dengan regulatory


sandbox, yang memungkinkan usaha fintech melakukan kegiatan
secara terbatas, tentunya setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Regulatory sandbox diberlakukan agar pelaku

35
Arbonas Hutabarat, Siaran Pers Bank Indonesia,
https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_179715.aspx diakses pada
05 Februari 2021.
36
Posma Sariguna Johson Kennedy, Tantangan terhadap Ancaman Disruptif dan
Financial Technology dan Peran Pemerintah dalam Menyikapinya, FKBI, edisi 6, 2017, h. 7.
28

Fintech yang kebanyakan adalah perusahaan startup dengan skala


kecil mendapatkan kesempatan untuk mematangkan konsep dan
berkembang dengan sehat serta pada waktunya mampu
menyediakan layanan finansial yang aman kepada masyarakat.
Dengan regulatory sandbox inilah fintech office akan menjadi ujung
tombak Bank Indonesia dalam memahami fintech untuk selanjutnya
menyediakan pengaturan yang mampu memberikan dukungan
optimal bagi perkembanggannya. Bank Indonesia fintech office juga
akan menjadi wadah untuk pertukaran ide inovatif antara pelaku
fintech sekaligus kolaborasi antar pelaku fintech dan regulator.

e. Manfaat Fintech Peer To Peer Lending

Finansial teknologi juga memiliki banyak manfaat bagi


masyarakat yang belum banyak diketahui oleh masyarakat pada
umumnya. Berikut manfaat finansial teknologi:

1. Fintech sebagai alat pembayaran (e-money, e-cash, e-


payment, dll). E-Money atau Electronic Money adalah
teknologi finansial yang memungkinkan penggunanya untuk
menyimpan uang dengan nominal tertentu pada suatu
perangkat yang memiliki teknologi NFC.37 Dalam
penggunaannya, namun, diberbagi Market Place juga bisa
mengajukan pinjaman untuk biaya Pendidikan atau pinjaman
komsumtif.
2. Fintech dalam Saham dan Asuransi

Masyarakat harus paham bahwa saham dan asuransi


itu sangatlah penting. Keduanya adalah instrumen yang akan
berguna untuk investasi jangka panjang. Maka dari itulah

37
Evar Stingger, Manfaat Penggunaan Fintech, diakses dari https://evarstinger/fintech-
teknologi-finansial-manfaat-penggunaan-dan-evolusinya/ diakses pada 9 Februari 2021.
29

lahir teknologi-teknologi finansial yang masuk ke dalam


pola hidup masyarakat yang untuk lebih mudah memahami
dan menggunakan instrumen finansial dengan efektif.

Keberadaan finasial teknologi dalam saham ini


membantu pengembangan pasar modal. Terutama dengan
adanya aplikasi mobile trading. Masyarakat akan lebih
mudah untuk menginvestasikan uangnya dalam bentuk
saham menggunakan sistem ini dalam pasar modal. Banyak
investor ritel yang bertambah dengan menggunakan aplikasi
tersebut. Hal ini membuat saham semakin dilirik oleh
masyarakat untuk sarana investasi karena di dalam aplikasi
tersebut juga dapat diketahui mana saham-saham yang bagus
dan direkomendasikan.

f. Jenis Fintech Peer To Peer Lending

Finansial teknologi memberikan beberapa jenis-jenis yang


dapat dijadikan acuan dalam melakukan suatu transaksi. Berikut
jenis-jenis finansial teknologi:

1. Crowndfunding dan Peer To Peer Lending

Peer To Peer Lending mempunyai manfaat yang cukup


besar karena memiliki akses untuk menyalurkan dana kepada
masyarakat terutama UMKM.38 Pinjaman bisa disalurkan
kepada mereka yang belum tersentuh oleh rekening bank. Perlu
diketahui masyarakat yang belum punya rekening di bank
terbilang masih sangat banyak di Indonesia. Dengan adanya
finansial teknologi di sektor ini dapat menyelesaikan masalah

38
Fransiska Ardela, Klasifikasi Fintech, diakses dari
http://www.finansialku.com/klafisikasi-fintech-menurut-bank-indonesia/ diakses pada 9 Februari
2021.
30

yang mungkin tidak bisa dijangkau perbankan konvensional.


Penawaran yang diajukan oleh sistem ini juga sangat mudah dan
keuangan serta melakukan perencanaan keuangan secara mudah
dan cepat. Cukup menggunakan smartphone pengguna tinggal
mengisi data-data yang diminta untuk mengetahui rencana
keuangan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
pengguna tersebut.

2. Market Aggregator

Penyediaan jasa yang mengumpulkan dan mengoleksi


berbagai pilihan layanan keuangan untuk disajikan kepada
pengguna.39 Informasi tersebut kemudian dapat dibandingkan
untuk menentukan produk. Dengan mengakses dan
membandingkan informasi melalui portal market aggregator.

Masyarakat dapat mempelajari kelebihan dan


kekurangan setiap produk dan memilih kartu kredit yang paling
sesuai dengan persyaratan yang dimiliki oleh penggunanya.
Sistem ini lebih kepada membandingkan mana yang lebih baik
dan sesuai dengan keperluan pengguna.

3. Risk and Investeement Management

Risk and Investeement Management atau perencanaan


keuangan dalam bentuk digital.40 Pengguna akan diarahkan
produk investasi mana yang cocok untuknya sesuai preferensi
diberikan dengan finansial teknologi jenis ini, masyarakat

39
Roy Franedya, Empat Jenis Fintech di Indonesia, diakses dari
http://www.cnbcindonesia.com/fintech/20180110145800-37-1126/ini-dia-empat-jenis-fintech-di-
indonesia , pada diakses pada 9 Februari 2021.
40
Fransiska Ardela, Klasifikasi Fintech, diakses dari
http://www.finansialku.com/klafisikasi-fintech-menurut-bank-indonesia/ diakses pada 9 Februari
2021.
31

sebagai pengguna akan dibantu untuk mengetahui situasi kondisi


keuangan serta melakukan perencanaan keuangan secara muda
dan cepat. Cukup menggunakan smartphone pengguna tinggal
mengisi data-data yang diminta untuk mengetahui rencana
keuangan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
pengguna tersebut.

4. Payment, Clearing dan Settlement

Memberikan layanan sistem pembayaran baik yang


diselenggarakan oleh industri perbankan maupun Bank
Indonesia seperti Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
(BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional BI (SKNBI), hingga BI
Scripicss Securities Sculement System (BI-SSSS). Portal ini ada
untuk menyederhanakan proses transaksi online.41 Berdasarkan
jenis-jenis di atas masyarakat dapat melakukan kegiatan
finansial teknologi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
pengguna jasa tersebut.

Pengguna jasa tiap sistem memiliki syarat-syarat


tersendiri dan fungsinya sendiri-sendiri sesuai dengan tujuan
penyelenggara jasa keuangan. Masyarakat diberi kemudahan
dengan hanya mengandalkan internet dari handphone untuk
dalam menggunakan jenis-jenis di atas. Jenis-jenis tersebut
dapat memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi
sesuai dengan fungsinya masing-masing.

41
Roy Franedya, Empat Jenis Fintech di Indonesia, diakses dari
http://www.cnbcindonesia.com/fintech/20180110145800-37-1126/ini-dia-empat-jenis-fintech-di-
indonesia , pada 9 Februari 2021.
32

g. Kelebihan dan Kekurangan Fintech Peer To Peer Lending

Finansial teknologi memiliki beberapa kelebihan dan


kekurangan yang dapat dijadikan pedoman oleh masyarakat yang
akan menggunakan layanan finansial teknologi ini. Berikut
kelebihan dan kekurangan finansial teknologi:

Menurut Otoritas Jasa Keuangan, kelebihan dari finansial


teknologi adalah:

1. Melayani masyarakat Indonesia yang belum dapat dilayani


oleh industri keuangan tradisional dikarenakan ketatnya
peraturan perbankan dan adanya keterbatasan industri
perbankan tradisional dalam melayani masyarakat di daerah
tertentu.
2. Menjadi alternatif pendanaan selain jasa industri keuangan
tradisional dimana masyarakat memerlukan alternatif
pembiayaan yang lebih demokratis dan transparan.

Berdasarkan kelebihan-kelebihan diutus masyarakat yang


belum dapat dilayani oleh industri keuangan karena peraturan
perbankan yang ketat dilayani dengan menggunakan layanan sistem
ini. Sistem ini dapat melayani sampai masyarakat daerah karena
hanya bermodal Smartphone untuk melakukan pinjaman.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan, kekurangan dari Finansial


Teknologi adalah:

1. Fintech merupakan pihak yang memiliki lisensi untuk


memidahkan dana dan kurang mapan dalam menjalankan
usahanya dengan modal yang besar. Jika dibandingkan
dengan bank.
33

2. Ada sebagian perusahaan Fintech belum memiliki kantor


fisik, dan kurangnya pengalaman dalam menjalankan
prosedur terkait sistem keamanan dan integritas produknya.

Berdasarkan kekurangan-kekurangan menurut Otoritas Jasa


Keuangan di atas dapat diketahui bahwa Finansial Teknologi ini
tidak memiliki lisensi untuk memindahkan dana dan kurang mapan
dalam menjalankan usahanya dengan modal yang besar serta
kurangnya pengalaman dalam menjalankan prosedur terkait sistem
keamanan dan integritas produk dalam kegiatannya.

h. Para Pihak dalam Fintech Peer To Peer Lending

Finansial teknologi memiliki beberapa pihak yang berperan


atau menjalankan kegiatan finansial teknologi tersebut. Adapun para
pihak di dalam finansial teknologi tersebut adalah:

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PB/2017


tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, penyelenggara
adalah setiap pihak yang menyelenggarakan kegiatan teknologi
finansial.

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor


77/POJK.01/2016, Penyelenggara layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut
Penyelenggara diatur dalam Pasal 1 ayat (6) adalah badan hukum
Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,
Badaan Hukum yang disebutkan dapat berupa Perseroan Terbatas
dan Koperasi. Sedangkan, pengguna layanan tersebut adalah:

1. Penerima pinjaman menurut Pasal 1 ayat (7) adalah orang


dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena
34

perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis


Teknologi Informasi.
2. Pemberi pinjaman berdasarkan Pasal 1 ayat (8) adalah orang,
badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai
piutang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor


19/1Z/PB1/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang terlibat di dalam
penyelenggaraan finansial teknologi berupa penyelenggara kegiatan
yang dapat berasal dari badan hukum yang berstatus Perseroan
Terbatas dan Koperasi. Pengguna dari finansial teknologi adalah
peminjam dan Investor yang melakukan kegiatan di dalam sistem.

i. Syarat Penerima dan Pemberi Pinjaman Online

Penerima Pinjaman adalah orang dan/atau badan hukum


yang mempunyai utang karena perjanjian Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,42 syaratnya sebagai
berikut:

1. Penerima Pinjaman harus berasal dan berdomisili di wilayah


hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Penerima Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. Orang perseorangan warga negara Indonesia; atau

42
Pasal 1 Angka 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77.
35

b. Badan hukum Indonesia43

Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau


badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,44 syaratnya
sebagai berikut:

1. Pemberi pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau luar


negeri.
2. Pemberi pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. Orang perseorang warga negara Indonesia;
b. Orang perseorangan warga negara asing;
c. Badan hukum Indonesia/asing;
d. Badan usaha Indonesia/asing; dan/atau
e. Lembaga Internasional
j. Kebijakan Legal dan Ilegal Pinjaman Online
1. Kebijakan Legal Pinjaman Online

Penyelenggara layanan Pinjam Meminjam Uang


Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut
Penyelenggara dan badan hukum Indonesia yang menyediakan,
mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi,45 Perusahaan yang legal
tentunya memiliki perizinan dan sudah terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan. Penyelenggara yang telah melakukan kegiatan
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
sebelum peraturan OJK ini diundangkan, harus mengajukan
permohonan pendaftaran kepada OJK paling lambat 6 (enam)

43
Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77.
44
Pasal 1 Angka 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77.
45
Pasal 1 Angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77.
36

bulan setelah peraturan OJK ini berlaku dan OJK memberikan


persetujuan atau penolakan atau permohonan perizinan paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen
permohonan perizinan sesuai dengan persyaratan dalam
peraturan OJK ini.46

2. Kebijakan Ilegal Pinjaman Online

Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor


77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi, Otoritas Jasa Keuangan
mengawasi penyelenggara Fintech P2P Lending yang berstatus
terdaftar atau berizin dan hingga 12 Desember 2018 telah
mencapai 78 penyelenggara. Penyelenggara Fintech P2P
Lending yang tidak terdaftar atau berizin di OJK dikategorikan
sebagai Fintech P2P Lending ilegal. OJK mengingatkan bahwa
keberadaan Fintech P2P Lending ilegal tidak dalam pengawasan
pihak manapun, sehingga transaksi dengan pihak Fintech P2P
Lending ilegal sangat berisiko tinggi bagi para penggunanya.

Mengenai pengaduan atau laporan masyarakat terkait


Fintech P2P Lending, OJK telah melakukan penelahaan dan
telah berkoordinasi dengan Fintech P2P Lending legal yang
dipublikasikan di media telah melakukan pelanggaran. OJK
secara tegas akan mengenakan sanksi jika memang terbukti
penyelenggara tersebut melakukan pelanggaran. Berdasarkan
penelahaan OJK, pengaduan masyarakat terkait Fintech P2P
Lending terdiri dari dua hal yaitu:

1. Nasabah tidak mengembalikan pinjaman tepat waktu, yang


berujung pada perhitungan suku bunga dan penagihan

46
Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Jasa Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77.
37

2. Perlindungan kerahasiaan data nasabah terkait dengan


keluhan penagihan mengenai penanganan Fintech P2P
Lending ilegal, OJK yang tergabung dalam Satgas Waspada
Investasi (SWI) telah menghentikan kegiatan sejumlah 404
Fintech P2P Lending ilegal dan telah melakukan tindakan
tegas kepada Fintech P2P Lending ilegal berupa:
a. Mengumumkan ke masyarakat nama-nama Fintech P2P
Lending ilegal
b. Memutus akses keuangan Fintech P2P Lending ilegal
pada perbankan dan fintech payment system
berkerjasama dengan Bank Indonesia
c. Mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin
kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika
d. Menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim
Polri untuk proses penegakan hukum47

B. Kerangka Teori

1. Kepastian Hukum
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma.
Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau
“das sollen”, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang
harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan
bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap

47
Siaran Pers, OJK Minta Masyarakat Berhubungan Dengan Fintech Terdaftar/Berizin
Serta Waspadai Fintech Lending Ilegal https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-
pers/Documents/Pages/Siaran-Pers-OJK-Minta-Masyarakat-Berhubungan-dengan-Fintech-
Terdaftar-Berizin-serta-Waspadai-Fintech-Lending-
Ilegal/SIARAN%20PERS%2084%20P2P%20final.pdf diakses pada 10 Februari 2021.
38

individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut


menimbulkan kepastian hukum.48

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan


dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir)
dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang
jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian
dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual
mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil
bukan sekedar hukum yang buruk.49

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,


yang pertama itu adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua yang berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.50

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-


Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivitas di dunia
hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom
dan mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini hukum tak lain hanya
kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari
sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. kepastian hukum itu

48
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 158.
49
Cst Kansil, dkk, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta, Balai Pustaka Jilid, 2009), h. 385.
50
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adityra Bakti,
1999), h. 23.
39

diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu


aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan
hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan
keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.51

Dari uraian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwasanya


kepastian hukum merupakan salah satu tujuan daripada hukum, dimana
membuat para pihak dalam Fintech P2P Lending mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan serta memberikan
keamanan hukum bagi konsumen dari kesewenangan penyelenggara
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu konsumen dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
penyelenggara perusahaan Financial Technology terhadap konsumen
serta mengetahui apa saja upaya yang dapat dilakukan konsumen
apabila terjadi sengketa.

2. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum memiliki arti sebagai suatu perbuatan
untuk melindungi, terutama memberikan perlindungan pada orang-
orang yang lemah dalam segi hukum. Menurut Prof. Van Aperldoorn
pengertian mengenai hukum ini tidak dapat hanya mengikat pada
masyarakat saja, namun harus memiliki aspek keadilan dan asas yang
berguna untuk melindungi masyarakat dengan adil.52

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perlindungan


berasal dari kata “Lindung” yang berarti melindungi, mengayomi,
mencegah, mempertahankan dan membentengi.53 Sedangkan pengertian
hukum memiliki sifat yang memaksa namun tidak untuk memaksakan
kehendak pada seseorang tanpa kita sadari hukum dibuat semata-mata

51
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:
Penerbit Toko Gunung Agung, 2002), h. 82-83.
52
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu hukum, (Jakarta: Balai Pustaka Jilid 1, 2006), h. 3
53
Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008), h. 841.
40

untuk melindungi kepentingan manusia. Makna hukum dari segi


etimologi hukum berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk
tunggal dari kata “Alkas”, yang apabila diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia menjadi “Hukum”.54

Menurut Philip M. Hadjon mengartikan bahwa perlindungan


hukum adalah suatu kondisi subjektif yang menyatakan hadirnya
keharusan pada diri sendiri sejumlah subjek hukum untuk memperoleh
sejumlah sumber daya guna kelangsungan timbulnya subjek hukum
yang dijamin dan dilindungi oleh hukum agar kekuatannya teroganisir
dalam pengambilan keputusan politik maupun ekonomi khususnya pada
distribusi sumber daya baik para perangkat individu maupun
struktural.55 Perlindungan hukum tersebut dibedakan menjadi dua hal
yaitu perlindungan hukum bersifat preventif yang artinya warga
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
mengungkapkan pendapatnya sebelum diberikan putusan pemerintah
mendapat dalam bentuk yang represif. Dengan demikian perlindungan
hukum yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa sedangkan perlindungan hukum yang bersifat represif
bertujuan untuk menyelesaikan adanya suatu sengketa.56

Pengertian perlindungan hukum menurut ketentuan Pasal 1 ayat


(6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban menentukan bahwa perlindungan adalah segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang. Sesuai dengan apa yang telah

54
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Gratika, 2000), h. 24
55
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 2.
56
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 2.
41

diuraian di atas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum


adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat
manusia atas segala hak yang dimiliki serta pengakuan terhadap hak
asasi manusia di bidang hukum. perlindungan hukum ini dibuat semata-
mata untuk mempermudah atau memberi rasa aman nyaman kepada
masyarakat oleh pemerintah.

Terdapat beberapa tujuan perlindungan hukum yang


dikemukakan oleh beberapa ahli hukum, maka dari itu sangatlah sulit
untuk menyatakan secara pasti apakah tujuan perlindungan hukum itu.
Ada yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan suatu kedamaian,
keadilan, kefaedahan, kepastian dan lain sebagainya. Hukum sangatlah
memiliki keterkaitan erat dengan masyarakat keduanya saling terkait
satu sama lain, yang apabila dimana ada hukum disitu pasti ada
kehidupan. Hukum merupakan sekumpulan atuaran-aturan atau kaidah
yang mengandung isi yang memiliki sifat umum karena hukum berlaku
bagi semua orang dan normatif karena menentukan hal apa yang boleh
dilakukan dan hal apa yang dilarang untuk dilakukan.57

Menurut Philipus M Hadjon, perlindungan hukum berkaitan


dengan suatu kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi
panutan diantaranya kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi.
Dalam hubungannya dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah ada hubungan
dengan kekuasaan ekonomi.58 Perlindungan hukum merupakan
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-
hak asasi manusia yang dimiliki subyek hukum berdasarkan ketentuan
hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah
yang dapat dilindungi dari suatu hal dari hal lainnya. Maka apabila

57
Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003),
h. 39.
58
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 2.
42

dikaitkan dengan perlindungan konsumen, berarti hukum memberikan


perlindungan terhadap hak-hak konsumen dari suatu hal yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.59

Setiap pengertian yang diuraikan oleh para ahi memiliki arti


yang hampir sama namun ada yang menyampaikan lebih spesifik,
singkat namun jelas, dan sedikit berbeda dengan pengertian para ahli
namun pada intinya yaitu satu tujuan untuk memberikan suatu
perlindungan kepada manusia. Tujuan dari perlindungan hukum yakni
untuk memberikan pengayoman atau mengayomi terhadap manusia
sesuai dengan hak asasi manusia yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Manusia yang dirugikan oleh orang lain atau
pihak institusi maka perlindungan ini diberikan kepada masyarakat agar
mendapatkan hak-hak semestinya yang diberikan oleh hukum atas
kerugian yang dialami. Perlindungan hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah semata-mata untuk kepentingan masyarakat sendiri untuk
menghindari terjadinya suatu sengketa antar para pihak. Sarana
perlindungan hukum ada dua bentuk, ialah perlindungan hukum
preventif dan represif.

Perlindungan hukum pada Fintech P2P Lending bertujuan untuk


melindungi seluruh hak-hak penerima pinjaman dengan menerapkan
prinsip dasar perlindungan hukum bagi penerima pinjaman agar tidak
terjadinya sengketa antara penerima pinjaman dengan penyelenggara,
prinsip-prinsip tersebut ialah prinsip transparansi, perlakuan yang adil,
keandalan, kerahasiaan, keamanan data, dan penyelesaian sengketa
dengan sederhana, cepat dan biaya terjangkau. Maka dari itu,
diperlukannya peraturan yang kuat. Agar tercapainya perkembangan
Fintech P2P Lending yang sehat.

59
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 25.
43

3. Perlindungan Konsumen
Peraturan perundang-undangan yang menjelaskan mengenai
pengertian perlindungan konsumen terdapat pada Pasal 1 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang berbunyi “Perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”.

Perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunakan guna


menggambarkan adanya hukum yang memberikan suatu bentuk
perlindungan kepada konsumen apabila ada kerugian atas pengguanaan
barang dan/atau jasa. Menurut peraturan perundang-undangan,
perlindungan konsumen adalah segala hak upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Orang yang disebut konsumen adalah seseorang yang
menggunakan barang dan/atau jasa yang telah tersedia di masyarakat,
baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperjualbelikan.60

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan


sesama manusia. Oleh karena itu, menjadi semua harapan bagi semua
bangsa di dunia guna mewujudkan hubungan dari berbagai dimensi
yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan
antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Dari pengertian di atas
hampir sama dengan perlindungan hukum, namun dalam hal ini lebih
spesifik yakni kepada konsumen. Perlindungan sudah pasti memiliki
tujuan-tujuan tersendiri, salah satunya untuk menghindari adanya
sengketa antar pihak dan juga dari pihak pelaku usaha dan konsumen

60
Burhannudin S, Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikat Halal,
(Malang: UIN Maliki Prees, 2011), h. 2.
44

yang memiliki itikad baik untuk tetap memahami dan menaati peraturan
perundang-undang yang telah diatur mengenai perlindungan konsumen.

Terdapat beberapa tujuan perlindungan konsumen yang dalam


Peraturan perundang-undangan yang dijelaskan mengenai tujuan
perlindungan konsumen terdapat pada Pasal 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang bertujuan:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen


untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, keselamatan konsumen.

Tujuan perlindungan hukum pada hakikatnya adalah untuk


mencapai maslahat dari hasil transaksi ekonomi/bisnis. Pengertian
maslahat dalam kegiatan ekonomi/bisnis adalah berpaduan antara
pencapaian keuntungan. Salah satu unsur penting dalam kegiatan usaha
ekonomi dan bisnis adalah adanya konsumen. Hampir keseluruhan
orang yang telah menggunakan produk barang dan/atau jasa yang
45

beredar di masyarakat dapat dikatakan sebagai konsumen. Banyaknya


konsumen yang bergantung pada keberadaan suatu produk yang beredar
di masyarakat, menyebabkan keberadaannya perlu mendapat
perlindungan.61

Menurut Achmad Ali masing-masing undang-undang memiliki


tujuan khusus dan hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen di atas. Dimana yang mengatur tujuan
khusus perlindungan konsumen sekaligus membedakan dengan tujuan
umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang
disebutkan di atas bila dikelompokkan dalam tiga tujuan hukum secara
umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam
point huruf c dan huruf e. Sementara tujuan yang memberikan suatu
kemanfaatan terdapat pada point huruf a dan b serta c, d, dan f. Terakhir
tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat
pada point d. pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena
seperti yang dilihat pada point huruf a sampai f terdapat tujuan yang
dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.62

Tujuan perlindungan konsumen memiliki tujuan yang kesamaan


dengan tujuan peraturan perundang-undangan yang lain yaitu untuk
memberikan suatu perlindungan kepada konsumen sehingga apabila
terjadi suatu kejadian yang mengakibatkan konsumen atau pelaku usaha
untuk merasa dirugikan. Manusia yang dirugikan oleh orang lain atau
konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha maka perlindungan ini
dapat diberikan kepada masyarakat agar mendapatkan atas hak-hak
yang diberikan oleh hukum. masyarakat secara tidak langsung

61
Widi Nugrahaningsih, Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terhadap Bisnis Online, Jurnal Serambi Hukum, Vol. 11 No. 01, 2017, h.
3
62
Achmad Ali, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta: Yarsif Watampone,
1998), h. 95.
46

diperhatikan oleh pemerintah dengan dibuatnya peraturan perundang-


undangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.
Perlindungan konsumen yang dikeluarkan oleh pemerintah semata-mata
untuk kepentingan masyarakat sendiri untuk menghindari terjadinya
suatu sengketa antar pihak.

Perlindungan konsumen mewujudkan masalah kepentingan


sesama manusia. Maka dari itu, menjadi semua harapan bagi semua
bangsa di dunia guna mewujudkan hubungan dari berbagai dimensi
yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan
antara konsumen, penyelenggara Fintech P2P Lending dan pemerintah.
Perlindungan sudah pasti memiliki tujuan-tujuan tersendiri, salah
satunya menghindari adanya sengketa para pihak dan juga dari pihak
penyelenggara Fintech P2P Lending dan konsumen memiliki itikad baik
untuk tetap memahami dan manaati peraturan perundang-undangan
yang telah diatur mengenai perlindungan konsumen. Untuk
menegakkan hukum perlindungan konsumen, maka perlu
diberlakukannya asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penetapan
hukum. Pengaturan mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip yang
berlaku dalam hukum perlindungan konsumen dijelaskan dalam
peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa perlindungan
konsumen harus berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen serta partisipasi hukum seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

4. Keabsahan Perjanjian Secara Elektronik


Perjanjian elektronik merupakan salah satu bentuk perjanjian
yang baru mendapatkan perlindungan secara khusus dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) sebagaimana yang dijelaskan melalui Pasal 1 ayat (17)
menyebutkan bahwa “Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak
47

yang dibuat melalui sistem elektronik”.63 Kemudian dijelaskan kembali


pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dalam
Pasal 1 ayat (15). Kedua pasal tersebut memuat definisi yang sama
tentang perjanjian elektronik, yaitu perjanjian para pihak yang dibuat
melalui sistem elektronik. Sedangkan untuk Sistem Elektronik itu
sendiri menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa
“Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.” Perjanjian
elektronik sendiri termasuk dalam kategori kontrak tidak bernama
(innominaat) ialah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tetapi terdapat dalam
masyarakat akibat perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan
bisnis.64

Meskipun berbeda fisiknya dengan perjanjian konvensional,


perjanjian elektronik tetap tunduk pada hukum kontrak/hukum
perjanjian/hukum perikatan yang sama, yaitu yang telah diatur dalam
KHUPerdata. Kedua jenis perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-
syarat sah perjanjian dan asas-asas perjanjian. Dalam sistem common
law, perjanjian dimaknai sebagai persetujuan (agreement) antara pihak
lainnya yang melakukan penerimaan atas penawaran tersebut
(acceptance). Tanpa adanya kesepakatan bersama (mutual assent),
maka tidak ada kontrak. Konsep ini sebenarnya sama dengan konsep

63
Pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE).
64
Micke Komar Kantaatmadja, CyberLaw: Suatu Pengantar, cetakan 1, (Bandung: ELIPS,
2001), h. 15.
48

kesepakatan berdasarkan hukum perjanjian konvensional.65 Orang yang


membuat penawaran disebut dengan offeror sedangkan orang yang
menerima tawaran tersebut disebut offeree.66

The Oxford Universal Dictionary yang mendefinisikan


penawaran (offer) sebagai pernyataan kehendak untuk memberikan
sesuatu atau melakukan sesuatu atau membayar sesuatu. 67 Di dalam
hukum, suatu penawaran ialah suatu pernyataan kehendak dari pihak
yang satu (offeror) mengenai kehendaknya untuk melakukan suatu
kewajiban pada masa yang akan datang dengan syarat-syarat tertentu.68
Penawaran ini adalah manifestasi keinginan untuk mengadakan suatu
tawar-menawar (bargain) kepada pihak lainnya. Di dalam proses tawar
menawar itu diharapkan ada penerimaan (acceptance) dari syarat-syarat
itu oleh pihak lainnya (offerce), dan offeror akan terikat untuk
melaksanakan kewajibannya.69 Unsur berikutnya dari kontrak adalah
penerimaan (acceptance). Tanpa adanya penerimaan, tidak ada kontrak.
Penerimaan dapat didefiniskan sebagai kesepakatan akhir dari offerce
terhadap persyaratan penawaran. Penerimaan dapat dilakukan dengan
cara tertentu secara tegas atau eksplisit atau dilakukan secara tidak
langsung yang dapat ditafsirkan dari perbuatan atau perilaku (implisit)
offerce.70 Lebih jauh mengenai offerer dan offerce dalam layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi ini diatur dalam POJK No.
77/POJK.01/2016 menerangkan bahwa dalam layanan ini melibatkan
tiga pihak dalam kegiatannya, yaitu Pemberi Pinjaman (lender /

65
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 25.
66
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 25.
67
Emilda Kuspranigrum, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam UU ITE Ditinjau dari
Pasal 1320 KUHPerdata dan UNCITRAL Model Law On Electrinic Commerce, Jurnal Risalah, Vol.
7, No. 2, (2011).
68
Emilda Kuspranigrum, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam UU ITE Ditinjau dari
Pasal 1320 KUHPerdata dan UNCITRAL Model Law On Electrinic Commerce, Jurnal Risalah, Vol.
7, No. 2, (2011).
69
Ridwan Khairandy, Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi
Elektronik Commerce, Artikel Jurnal UII, (2001).
70
Ridwan Khairandy, Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi
Elektronik Commerce, Artikel Jurnal UII, (2001).
49

investor) ketentuan pemberi pinjaman ini diatur dalam Pasal 16 PJOK


No. 77/POJK.01/2016 menerangkan bahwa pemberi pinjaman dapat
berasal dari dalam dan/atau luar negeri baik orang perseorang, badan
hukum, ataupun lembaga Internasional. Artinya siapapun dapat menjadi
pemberi pinjaman pada pinjaman online. Penerima Pinjaman
(borrower/peminjam) ketentuan penerima pinjaman diatur dalam Pasal
15 POJK No. 77/POJK.01/2016 yang menjelaskan bahwa penerima
pinjaman harus berasal dan berdomisili di wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia, baik orang perorangan maupun badan
hukum Indonesia. Penyelenggara layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi terkait penyelenggara yang diatur dalam
Bab II POJK No 77/POJK.01/2016 yang menjelaskan bahwa
penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan,
mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi dari pihak pemberi pinjaman kepada pihak
penerima pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak pemberi
pinjaman.

Berjalan dengan baik atau tidakya kegiatan kredit yang


dilakukan melalui perusahan Fintech P2P Lending didasari pada sah
atau tidaknya suatu perjanjian kredit yang dibuat, dalam hal ini berupa
perjanjian elektronik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri
khas yang paling penting dari suatu perjanjian adalah adanya
kesepakatan bersama (mutual consent) dari para pihak.71

Hal yang menjadi penting dalam hukum perjanjian atau kontrak


adalah penentuan keabsahan suatu perjanjian. Tolak ukur keabsahan
perjanjian tersebut di dalam sistem hukum perjanjian Indonesia terdapat

71
RR Dewi Anggraeni, Acep Heri Rizal, Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Melalui
Internet (E-Commerce) Ditinaju Dari Aspek Hukum Perdataan, Jurnal Sosial & Budaya Syar’I, Vol.
6, No. 3, (2019).
50

pada Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat beberapa syarat-syarat


dalam membuat suatu perjanjian, antara lain:72

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.

Terhadap 4 (empat) syarat tersebut, dapat dikatakan bahwa


syarat pertama (kesepakatan) dan kedua (kecakapan) disebut syarat
subjektif, dan syarat ketiga (hal tertentu) dan keempat (sebab yang halal)
disebut sebagai syarat objektif. Dalam hal perjanjian mengandung cacat
kehendak, karena adanya kesepakatan mengandung paksaan, penipuan,
kekeliruan atau penyalahgunaan keadaan hanya membawa akibat dapat
dibatalkannya suatu perjanjian. Demikian juga dalam hal perjanjian
dibuat oleh pihak yang tidak cakap membuat perjanjian tidak berakibat
batalnya perjanjian itu. Sepanjang tidak ada pembatalan perjanjian,
perjanjian tersebut tetap sah.73

C. Tinjauan (Review) / Kajian Terdahulu

Sebelum penulis melakukan penelitian ini telah terdapat beberapa


penelitian telah melakukan pembahasan yang relevan dalam beberapa
penelitian, pembahasan tersebut hampir sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis, namun terdapat beberapa perbedaan persamaan,
yaitu:

72
J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1992), h. 126.
73
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:
PT Raja Garfindo Persada, 2002), h. 94.
51

1. Skripsi ditulis oleh Muhammad Yusuf74


Skripsi dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada
Layanan Pinjaman Uang Berbasis Financial Technology yang ditulis
oleh Muhammad Yusuf pada tahun 2019 Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Menjelaskan tentang bentuk-betuk
perlindungan hukum penyelesaian sengketa serta langkah dan tindakan
preventif debitur pada layanan pinjaman uang berbasis Financial
technology atau Fintech P2P Lending. Adapun penulis melakukan
penelitian yang berbeda yaitu terletak pada pembahasan mengenai
penguatan regulasi Fintech P2P Lending dalam upaya penanggulangan
Fintech di Indonesia dengan cara mendorong lahirnya Undang-Undang
Data Pribadi.

2. Skripsi ditulis oleh Muhammad Erieq M.A75


Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Erieq M.A dengan judul
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Fintech Lending Yang Di
Rugikan Dalam Transaksi Peminjaman Uang Secara Online pada tahun
2019 Universitas Jember. Menjelaskan tentang bentuk perlindungan
hukum bagi konsumen fintech lending yang dirugikan dalam transaksi
pinjaman uang secara online, serta upaya penyelesaian yang dapat
dilakukan konsumen fintech lending yang dirugikan dalam transaksi
pinjaman uang secara online. Adapun penulis melakukan penelitian
yang berbeda yaitu penulis hanya memfokuskan ke penguatan regulasi
dengan cara mendorong lahirnya Undang-Undang Data Pribadi.

74
Muhammad Yusuf, Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada Layanan Pinjaman
Uang Berbasis Financial Technology. (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019).
75
Muhammad Erieq M.A, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Fintech Lending Yang Di
rugikan Dalam Transaksi Peminjaman Uang Secara Online. (Skripsi S-1 Fakultas Hukum,
Universitas Jember, 2019).
52

3. Skripsi ditulis oleh Dio Batrayudha76


Skripsi ini yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending Berdasarkan
Hukum Positif Di Indonesia dikeluarkan pada tahun 2019 oleh
Universitas Sriwijaya. Pada skripsi tersebut membahas mengenai
perlindungan hukum terhadap konsumen Financial Technology berbasis
Peer To Peer Lending berdasarkan hukum positif di Indonesia, serta
upaya apa yang dapat dilakukan konsumen bila terjadi sengketa.
Sehingga perbedaan pada penelitian ini adalah, penulis akan membahas
mengenai upaya penguatan regulasi Fintech P2P Lending dalam upaya
penanggulangan Fintech di Indonesia. Dan jika dilihat lebih jauh penulis
tidak hanya menggunakan hukum positif sebagai dasar normatif,
melainkan juga mendorong lahirnya Undang-Undang Data Pribadi.

4. Skripsi ditulis oleh Rizal Habibunnajar77


Skripsi yang ditulis oleh Rizal Habibunnajar dengan judul Problematika
Regulasi Pinjam Meminjam Secara Online Berbasis Syariah Di
Indonesia pada tahun 2020 Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Menjelaskan tentang permasalahan regulasi
fintech syariah dan konvensional yang masih sama, yakni POJK Nomor.
77 Tahun 2016. Sehingga perbedaan dari penelitian ini adalah, penulis
akan membahas ketiadaan hukum Fintech P2P Lending dan penguatan
hukum, dan perlindungan hukum terhadap data pribadi industri fintech
ilegal di Indonesia.

76
Dio Batrayudha, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Financial Technology
Berbasis Peer To Peer Lending Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia. (Skripsi S-1 Fakultas
Hukum, Universitas Sriwijaya, 2019).
77
Rizal Habibunnajar, Problematika Regulasi Pinjam Meminjam Secara Online Berbasis
Syariah Di Indonesia. (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2020).
53

5. Artikel Jurnal ditulis oleh Ernama Santi, Budiharto, Hendro


Saptono78
Jurnal tahun 2017 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan
judul Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial
Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016). Jurnal ini menjelaskan hubungan hukum para pihak
yang terlibat dalam fintech dan mengetahui pelaksanaan pengawasan
yang dilakukan oleh OJK terhadap fintech berdasarkan POJK No.
77/POJK.01/2016. Sehingga perbedaan dari penelitian ini adalah,
penulis akan membahas ketiadaan hukum Fintech P2P Lending dan
penguatan hukum, dan perlindungan hukum terhadap data pribadi
industri fintech ilegal di Indonesia.

6. Artikel Jurnal ditulis oleh Safira Machrusyah, Hanif Ibnu


Budyatomo, Riska Dwi Aulia79
Jurnal tahun 2020 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan
judul Optimalisasi Penanggulangan Fintech Peer To Peer Lending
Ilegal Melalui Intersectoral Coordinating Protocol Guna Menghadapi
Revolusi Industri 4.0. Jurnal ini membahas dan menyarankan untuk
pengesahan Undang-Undang data pribadi, dan membuat peraturan
bersama antar 3 (tiga) lembaga. Perbedaannya penelitian pada jurnal
tersebut penulis hanya memfokuskan ke penguatan regulasi dengan cara
mendorong lahirnya Undang-Undang Data Pribadi.

78
Ernama Santi, Budiharto, Hendro Saptono, Pengawasan Otorits Jasa Keuangan
Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016),
Diponegoro Law Jurnal, Vol. 6, No. 3, (2017).
79
Safira Machrusyah, Hanif Ibnu Budyatomo, Riska Dwi Aulia, Optimalisasi
Penanggulangan Fontech Peer To Peer Lending Ilegal Melalui Intersectoral Coordinating Protocol
Guna Menghadapi Revolusi Industri 4.0, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7, Edisi. I, (2020).
54

7. Artikel Jurnal ditulis oleh Rayyan Sugangga, Erwin Hari Sentoso80


Jurnal tahun 2020 di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Malang
dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Terhadap Pengguna
Pinjaman Online (PINJOL) Ilegal. Jurnal ini membahas perlunya
perlindungan hukum terhadap pengguna pinjaman online ilegal melalui
perubahan regulasi Fintech di Indonesia. Serta sosialisasi mengenai
penggunaan Fintech secara baik dan benar pada masyarakat.
Perbedaannya penelitian ini dengan jurnal tersebut penulis hanya
memfokuskan ke penguatan regulasi dengan cara mendorong lahirnya
Undang-Undang Data Pribadi.

80
Rayyan Sugangga, Erwin Hari Sentoso, Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna
Pinjaman Online (PINJOL) Ilegal, Jurnal Pajoul, Vol. 1, No. 1, (2020).
55

BAB III

DASAR HUKUM FINANCIAL TECHNOLOGY PEER TO PEER LENDING


DI INDONESIA

A. Dasar Hukum Financial Technology Peer To Peer Lending Di Indonesia

Pada September 2015, Asosiasi Teknologi Keuangan Indonesia


(AFI) lahir dengan bertujuan untuk memberikan peluang kepada mitra
bisnis yang berkualitas untuk membangun ekosistem teknologi keuangan di
Indonesia. Sejak saat itu, perkembangan pengguna fintech di Indonesia
berkembang pesat. Lalu, industri fintech yang dinilai memberikan nilai
positif bagi Indonesia ini akhirnya mendapatkan dukungan dari Bank
Indonesia yang berperan aktif di bidang financial technology dengan
merumuskan regulasi. Seperti berikut daftar peraturannya:

1. Pada tahun 2016, kantor fintech Bank Indonesia didirikan.


2. Ketentuan tentang penerbitan proses pembayaran transaksi e-
commerce membuatnya lebih efisien dan lebih aman.
3. POJK (Peraturan Otoritas Layanan) munculnya finance, tentang
layanan perkreditan berbasis teknologi informasi tahun 2016.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) sesuai
dengan kewenangannya dalam mengawasi dan mengatur industri jasa
keuangan telah melahirkan sejumlah regulasi yang mengatur financial
technology. Berikut beberapa peraturannya:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen
Undang-undang ini menjadi salah satu dasar hukum bagi fintech,
khususnya dalam hal perlindungan konsumen, walaupun masih bersifat
general undang-undang ini mengatur bagaimana hak-hak konsumen. Oleh
karena itu, apabila konsumen tidak puas dengan barang dan/atau jasa dan
berhak menuntut ganti rugi atau kebebasan menuntut ganti rugi sesuai
56

dengan peraturan perundang-undangan yang ditentukan, maka konsumen di


sini memiliki hak. Jika konsumen melakukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, maka pelaku usaha juga berhak
menuntut kompensasi. Tidak hanya konsumen, pelaku usaha juga berhak
mendapatkan hak atas apa yang diproduksi. Berikut penjelasan mengenai
hak konsumen berdasarkan bunyi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Hak Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam


mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan Pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lainnya.
Berdasarkan dari pasal tersebut konsumen berhak untuk
mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Sebagaimana disebutkan pada huruf a,
lalu konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan
57

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sebagaimana ini
dinyatakan pada huruf c. Dalam hal ini jika konsumen memiliki
ketidakpuasaan atas pihak pinjaman online maka konsumen berhak untuk
menyatakan keluhannya dan wajib untuk didengarkan sebagaimana bunyi
huruf d. Jika konsumen terlibat konflik dengan pihak pinjaman online maka
konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan
mendapatkan advokasi yang layak dalam menyelesaikan sengketa
sebagaimana yang dinyatakan huruf e. Konsumen berhak untuk
mendapatkan pelayan yang baik, jujur dan tidak diskriminatif hal ini
disebutkan dalam huruf g.

Jika ditinjau secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar


konsumen dari sebagian President Kennedy’s Bill Of Rights, yaitu:

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety)


b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
c. Hak untuk memilih (the rught ti choose)
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)
Empat landasan hak ini diakui secara internasional. Dalam
perkembangannya, organisasi konsumen yang bergantung pada The
internasional Organization of Consumers Union (IOCU) telah
meningkatkan beberapa hak konsumen, seperti hak atas pendidikan
konsumen, hak atas kompensasi, dan hak untuk menikmati lingkungan
hidup yang baik dan sehat.81

Untuk memastikan penggunaan barang dan/atau jasa yang aman dan


nyaman atau tidak membahayakan bagi konsumen, maka konsumen berhak
memilih barang dan/atau jasa yang diinginkan berdasarkan keterbukaan
informasi yang benar, jujur dan jelas. Terdapat pula penyimpangan yang
tidak menguntungkan konsumen memiliki hak untuk mendapatkan

81
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Gransindo, 2006), h. 19.
58

perlindungan hukum, didengarkan pendapatnya, mendapatkan advokasi,


bimbingan, perlakuan yang adil, dan kompensasi.82

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Financial technology adalah produk dan layanan jasa keuangan
melalui kombinasi platform teknologi dan model bisnis yang inovatif.
Kegiatan usaha dari bisnis fintech adalah Layanan Jasa Keuangan (LJK)
secara elektronik. Dengan demikian, fintech adalah suatu model bisnis yang
menyediakan LJK dengan memanfaatkan teknologi informasi. Jadi apabila
dilihat dari sistem kegiatan usaha yang dijalankan, maka bisnis fintech ini
menjalankan sistem elektronik untuk menjalankan sistem LJK kepada
konsumennya. Sehingga Fintech P2P Lending terikat pada peraturan
perundang-undangan tentang sistem elektronik dan peraturan tentang LJK.
Maka dari itu, Fintech P2P Lending harus tunduk pada aturan dan
mengawasi sistem elektronik yaitu Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI). Kemkominfo RI
mengatur dan mengawasi penyelenggaraan bisnis fintech di Indonesia
melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Pasal yang secara langsung berkaitan dengan penyelenggaraan
bisnis fintech adalah Pasal 1 ayat (17) dan Pasal 18 yang mengatur
mengenai kontrak elektronik “Kontrak elektronik adalah perjanjian para
pihak yang dibuat melalui sistem elektronik”. Dalam Undang-Undang ITE
ini juga mengatur perbuatan yang dilarang salah satunya tercantum pada
pada Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

82
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 30.
59

Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”, Pasal 29


yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
berisi ancaman kekerasaan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi”, pada Pasal 32 ayat (2) juga menyatakan bahwa “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun
memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak”.
Undang-undang ini juga memuat unsur perlindungan data pribadi, seperti
Pasal 26 ayat (1) yang mengatakan “Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan
Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas
persetujuan orang yang bersangkutan”.

Semua pasal-pasal di atas akan dikenakan sanksi bila dilanggar,


sebagaimana yang telah disebutkan pada Pasal 45 ayat (3) bahwa “Setiap
orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Kemudian
Pasal 48 ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) akan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Sebagai upaya penyelesaian sengketa jalur perdata sebagaimana


yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2) bahwa “Setiap orang dapat
mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem
Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan
kerugian.” Lalu masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan
terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Penyelesaian
60

sengketa gugatan perdata dapat juga diselesaikan melalui jalur arbitrase,


atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya tentunya harus sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, yang sebagaimana ini
tercantum dalam Pasal 39 ayat (2).

3. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.


20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem
Elektronik
Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
(Permenkominfo) No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi
dalam Sistem Elektronik, Pasal 1 ayat (1) definisi dari Data Pribadi ialah
data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran
serta dilindungi kerahasiaannya.83 Perlindungan data pribadi dalam sistem
elektronik ini mencakup perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan,
pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman,
pengiriman, penyebarluasaan dan pemusnahan data pribadi.84 Dalam
pelaksanaan perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik harus
berdasarkan pada asas penghormatan terhadap data pribadi sebagai privasi.
Maka, setiap pemilik data pribadi memiliki hak atas datanya dalam sistem
elektronik. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 26 Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 20 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, yaitu:

a. Berhak atas kerahasiaan data pribadinya;


b. Mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian
sengketa data pribadi atas kegagalan perlindungan
kerahasiaan data pribadinya oleh penyelenggara sistem
elektronik kepada Menteri;

83
Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 20
Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
84
Pasal 3 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 20 Tahun
2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
61

c. Mendapatkan akses atau kesempatan untuk mengubah atau


memperbarui data pribadinya tanpa mengganggu sistem
pengelolaaan data pribadi, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan;
d. Mendapatkan akses atau kesempatan untuk memperoleh
historis data pribadinya yang pernah diserahkan kepada
penyelenggara sistem elektronik sepanjang masih sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Meminta pemusnahan data perseorangan tertentu miliknya
dalam sistem elektronik yang dikelola oleh penyelenggara
sistem elektronik, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan sanksi terkait penyalahgunaan data pribadi, secara
normatif diatur dalam BAB IX Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika (Permenkominfo) No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan
Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, bagi setiap orang yg melakukan
kegiatan berupa melawan hukum berdasarkan Pasal 36 Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 20 Tahun 2016
dikenakan Sanksi dalam ayat (1) berupa:85

a. Peringatan lisan;
b. Peringatan tertulis;
c. Penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. Pengumuman di situs dalam jaringan (website online).

85
Pasal 36 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.
20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
62

4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016


tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (LPMUBTI)
POJK ini mengatur berbagai regulasi yang harus diikuti oleh pelaku
usaha, perkreditan dari pengguna ke pengguna, atau biasa disebut fintech
peer to peer lending (P2P lending). Intinya, POJK Nomor 77/POJK.01/2016
bertujuan untuk melindungi dana konsumen, dan keamanan data, mencegah
pencucian uang dan pembiayaan teroris, stabilitas sistem keuangan, hingga
pengelola perusahaan teknologi keuangan. Klausul tersebut membatasi
kepemilikan saham, modal minimum, batasan pinjaman dan bunga
maksimum, pembuatan escrow account, dan beberapa prinsip yang harus
diterapkan oleh operator fintech. POJK Nomor 77/POJK.01/2016
merupakan kerangka hukum fintech jenis peer to peer lending yang
merupakan model fintech yang lebih spesifik.

Ketentuan Sanksi terkait pelanggaran kewajiban dan larangan


sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 47 ayat (1)86 bahwa atas
pelanggaran kewajiban dan larangan dalam peraturan OJK ini, OJK
berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap Penyelenggara
berupa:

a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha; dan
d. Pencabutan izin.

86
Pasal 47 Ayat (1) Peraturan Jasa Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77.
63

5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 13/POJK.02/2018


tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
Sejak POJK Nomor 77/POJK.01/2016 dirilis sebelum POJK Nomor
13/POJK.02/2018, pemberi pinjaman peer to peer lending tidak memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi dalam regulatory sandbox, oleh karena itu
harus segera mematuhi POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Regulatory
sandbox merupakan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan untuk mengevaluasi keandalan proses bisnis, model bisnis,
alat keuangan, dan tata kelola. Melalui regulatory sandbox, Otoritas Jasa
keuangan akan memantau peserta fintech baru yang tidak tercakup dalam
kerangka hukum apapun, misalnya teknologi asuransi atau kontrak pintar.
Jika ada peraturan khusus yang harus diatur, peserta fintech akan
meninggalkan sandbox dan harus mematuhi kerangka hukum yang lebih
spesifik.

Dalam Fintech P2P Lending, pemberi pinjaman juga dapat


kehilangan semua atau sebagian dana karena debitur default (melanggar
komitmennya), yang mengakibatkan default. Penerima dana pada dasarnya
tidak memberikan jaminan kredit yang dikendalikan oleh pemberi dana atau
penyelenggara financial technology. Investor perlu menyadari bahwa sejak
dini bahwa risiko gagal bayar akan sepenuhnya ditanggung oleh investor
tersebut. Jika pengelola Fintech P2P Lending tidak mengalami kerugian
jika hutang menunggak. Jika terjadi penunggakan hutang dari borrower
maka investor harus siap menerima risiko kehilangan dana mereka.
64

6. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang


Penyelenggaraan Teknologi Finansial
Peraturan Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial bertujuan untuk mendukung terciptanya stabilitas mata
uang, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran yang efisien,
stabil, aman, dan andal dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen
dan risiko untuk mendukung pengelolaan pertumbuhan ekonomi nasional
yang berkelanjutan dan inklusif, kebijaksanaan. Perkembangan fintech di
Indonesia sangat pesat, dan masyarakat dikhawatirkan akan berdampak
negatif pada penerapannya. Oleh karena itu, Bank Indonesia menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial sebagai payung hukum untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Penyelenggaraan fintech ini sudah diatur dalam Pasal 3 ayat (1)


penyelenggaraan ini terdapat 5 (lima) kategori, ialah:87

a. Sistem pembayaran (digital payment) yang mencakup


otorisasi, kliring, penyelesaian akhir, dan pelaksanaan
pembayaran. Contohnya pengunanaan teknologi block-chain
atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer dana
uang elektronik dompet elektronik dan mobile payments.
b. Pendukung pasar, merupakan fintech yang menggunakan
teknologi informasi dan/atau teknologi elektronik untuk
memfasilitasi pemberian informasi yang lebih cepat dan
lebih murah terkait dengan produk dan/atau LJK kepada
masyarakat. Contohnya penyediaan data perbandingan
informasi produk atau LJK.
c. Manajemen investasi dan manajemen risiko. Contohnya
penyediaan produk investasi online dan asuransi online.

87
Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017.
65

d. Pinjaman, pembiayaan dan penyediaan modal. Contohnya


layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (peer to peer lending) serta pembiyaan atau
penggalangan dana berbasis teknologi informasi (crowd-
funding).
e. Jasa finansial lainnya selain keempat hal yang sudah
disebutkan sebelumnya.
f. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

B. Kasus-Kasus Financial Technology Peer To Peer Lending

Pelanggaran yang seringkali dilakukan penyelenggara Fintech P2P


Lending ilegal. Kebanyakan Fintech P2P Lending ilegal seringkali
membuat kegiatan tagihan utang dengan melakukan intimidasi dan
melanggar hak privasi dari nasabah selaku konsumen. Selagi, penerima
pinjaman tidak dapat melunasi utangnya yang telah jatuh tempo, biasanya
pemberi pinjaman akan melakukan penagihan dengan cara mengancam,
intimidasi, bahkan melakukan tindakan fisik bahkan tidak hanya penerima
pinjaman yang diancam dan diintimidasi, tetapi juga pada temannya, hingga
keluarga penerima pinjaman yang dianggap sebagai penanggung jawab
pembayaran utang penerima pinjaman. Berikut beberapa kasus Fintech P2P
Lending:

1. Kasus PT Vcard Technology Indonesia (Vloan)


Salah satu kasus mengenai pelanggaran yang dilakukan
penyelenggara peer to peer lending ilegal adalah kasus PT VCard
Technology Indonesia (Vloan), dimana debt collector perusahaan tersebut
menagih utang penerima pinjaman dengan cara menyebarkan konten porno
untuk menakut-nakuti penerima pinjaman.88 Akan tetapi, permasalahan

88
Selfie Miftahul Jannah, Cara P2P Lending Ilegal Asal Cina Tagih Utang: Sebar Konten
Porno, https://tirto.id/cara-p2p-lending-ilegal-asal-cina-tagih-utang-sebar-konten-porno-ddMe
pada 22 April 2021, h. 1.
66

tersebut tidak hanya ditemukan dalam penyelenggara fintech P2P lending


ilegal saja, terdapat pula di perusahaan yang telah terdaftarkan serta
memiliki izin Otoritas Jasa Keuangan juga.

Terjadi kekosongan hukum dalam pertanggungjawaban data


pengguna fintech peer to peer lending dimana sering dimanfaatkan oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk menciptakan teror agar
nasabah merasa tertekan dan segera melunasi utangnya dapat dibuktikan
dengan kasus PT VCard Technology Indonesia (Vloan) merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang usaha Fintech P2P Lending. Pada
kasus PT Vloan pihak kepolisian menangkap empat orang tersangka yang
berprofesi sebagai debt collector dari PT Vloan. Saat itu debitur hanya
terlambat membayar dari jangka waktu 7-14 hari, desk collector kemudian
meneror debitur setiap saat. Pada debitur yang terlambat membayar dalam
tenggang 15-30 hari, desk collector akan menghubungi nomor rekan dan
kerabat debitur bahkan tidak segan untuk menghubungi atasan debitur yang
di kantor dan kemudian menceritakan bahwa karyawan mereka mempunyai
utang yang sudah masuk jatuh tempo. Disaat debitur yang terlambat
membayar lebih dari 30 hari, desk collector akan membuatkan grup
Whatsapp yang anggotanya adalah rekan-rekan dan kerabat terdekat debitur
kemudian mengirimkan foto debitur, dokumen-dokumen yang diperlukan
untuk melakukan pendaftaran serta foto, video dan pesan yang berbau
ponografi.89 Sudah sangat jelas bahwa tindakan yang dilakukan oleh desk
collector tersebut tidak sesuai dengan etika penagihan kolektor serta
perbuatannya sudah melanggar aturan Undang-undang yang sudah ada.
PT Vcard Technology Indonesia (Vloan) menjaring calon konsumen
dengan memasang iklan di laman pencarian google. Dengan kata kunci
“pinjaman online”, para pengguna internet di Indonesia akan tertarik pada
situs-situs yang menjelaskan pinjaman Vloan dan terhubung ke aplikasi

89
Berkaca Dari Kasus Vloan, Masyarakat Diminta Waspada Lakukan Pinjaman Online
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c389ac751125/berkaca-dari-kasus-vloan--
masyarakat-diminta-waspada-lakukan-pinjaman-online diakses pada 25 Mei 2021.
67

mereka. Vloan tidak hanya satu jenis.90 Vloan juga mempunyai nama lain,
antara lain: Supercash, Rupiah Cash, Super Dana, Pinjaman Plus, Super
Dompet, dan Super Pinjaman.91 Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen
Forum Komunikasi Korban Rentenir Online, pembekuan aplikasi Fintech
P2P Lending tidak selalu efektif. Aplikasi yang dibekukan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) akan muncul kembali dengan nama yang berbeda. Ketika
debitur log-in di aplikasi lama, di aplikasi baru debitur akan dinyatakan
sudah terdaftar. Maka pada kasus perbuatan desk collector PT Vcard
Technology Indonesia (Vloan) terdapat unsur kesalahan yang meliputi
muatan asusila dengan menggunakan sarana media elektronik, jadi
perbuatan mereka dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Gejala penagihan utang oleh desk collector pada pinjaman online


ilegal saat ini hampir terjadi pada seluruh penjuru kota di Indonesia serta
dampak dari perbuatan desk collector ini dapat sangat dirasakan dengan
baik secara psikis maupun fisik bahkan ada beberapa korban yang frustasi
dan mengakhiri hidupnya karena cara penagihan tidak beretika yang
dilakukan oleh desk collector tersebut, sehingga korban wajib memiliki hak
untuk memperoleh perlindungan hukum.
2. Kasus RupiahPlus
Salah satu fintech yang mempunyai basis P2P lending ilegal yang
bermasalah ialah RupiahPlus. RupiahPlus merupakan jenis platform kredit
tanpa anggunan di Indonesia dimana masyarakat pengguna dapat
mengakses atau menggunakan platform tersebut melalui aplikasi ponsel.
RupiahPlus terdapat slogan “Cash Cepat, Tanpa Lambat”, RupiahPlus juga
memiliki misi memberikan pinjaman yang tentunya aman serta nyaman
pada pengguna. RupiahPlus sendiri dioperasikan oleh PT Digital Synergy
Technology. Perusahaan tersebut memberi pernyataan bahwa platform atau

90
Ali Noor Hidayat, Jerat Rentenir Online, https://investigasi.tempo.co/jerat-rentenir-
online/index.html diakses pada 10 Februari 2021.
91
Jannah, Cara P2P Lending Ilegal Asal Cina Tagih Utang, https://tirto.id/cara-p2p-
lending-ilegal-asal-cina-tagih-utang-sebar-konten-porno-ddMe diakses pada 11 Februari 2021.
68

aplikasi RupiahPlus ini memiliki 3 (tiga) keunggulan yaitu: pinjaman cepat,


dimana proses permohonan hanya membutuhkan waktu 5 (lima) menit dan
proses pencairan dana hanya membutuhkan waktu 20 (duapuluh) menit,
keunggulan kedua dari platform ini adalah nyaman dan tanpa jaminan
dimana pemohon pinjaman hanya perlu melakukan autentifikasi identitas
dan tidak perlu adanya jaminan, lalu keunggulan ketiga adalah perlindungan
keseluruhan, RupiahPlus menjamin keamanan seluruh informasi pribadi
para penggunannya. Platform RupiahPlus ini hanya dapat diunduh melalui
aplikasi ponsel berbasis android. RupiahPlus menawarkan pinjaman tunai
mulai Rp. 800.000 (delapan ratus ribu rupiah) atau Rp.1.500.000 (satu juta
lima ratus rupiah) dengan pilihan jangka waktu pembayaran 7 (tujuh) hari
atau 14 (empat belas) hari. RupiahPlus juga tidak membuat ketentuan rumit
mengenai syarat pengajuan pinjaman yang diajukan oleh para calon
peminjam syarat pengajuan pinjaman RupiahPlus hanya berupa:

1. Pemohon pinjaman merupakan Warga Negara Indonesia (WNI);


2. Pemohon pinjaman minimal umur 21 (dua puluh satu) tahun;
3. Pemohon pinjaman memiliki pekerjaan tetap; atau
4. Pemohon pinjaman memiliki penghasilan yang tetap.

Selain persyaratan di atas tersebut, pemohon pinjaman juga harus


mengisi formulir yang berisikan informasi pribadi seperti nama lengkap,
tanggal lahir, alamat atau domisili tempat tinggal, nomor telepon pemohon
yang aktif dan dapat dihubungi, informasi tempat bekerja pemohon, gaji
atau pemasukan pemohon selama satu bulan, pemohon juga haruslah
mengisi nomor kontak darurat atau emergency contact serta pemohon wajib
memberitahu keterkaitan dengan pemilik kontak darurat atau emergency
contact tersebut. Kontak darurat atau emergency contact fungsinya adalah
ketika pihak penerima pinjaman mengalami keterlambatan pembayaran
pinjaman dan tidak bisa dihubungi, maka pihak RupiahPlus akan langsung
menghubungi kontak darurat atau bisa disebut juga emergency contact yang
telah diisi pihak penerima pinjaman. Sebelum pihak RupiahPlus
69

menghubungi kontak darurat, RupiahPlus memberikan peringatan kepada


penerima pinjaman yang gagal melunasi pembayaran utangnya melalui
pesan singkat berupa SMS atau aplikasi whatsapp, jika penerima pinjaman
tidak dapat dihubungi atau tidak memberikan respon kepada pihak
RupiahPlus maka RupiahPlus akan terus menghubungi pihak penerima
pinjaman lalu apabila masih belum mendapatkan respon dari pihak
penerima pinjaman maka RupiahPlus akan langsung menghubungi kontak
darurat atau emergency contact yang telah dicantumkan pihak penerima
pinjaman sebelum melakukan pinjam meminjam online tersebut. Setelah
mengisi data pribadi dan kontak darurat atau emergency contact maka pihak
RupiahPlus meminta para pemohon pinjaman untuk mengambil foto Kartu
Identitas Penduduk (KTP) pemohon pinjaman, dan foto wajah pemohon
pinjaman, serta foto pemohon dengan memperlihatkan Kartu Identitas
Penduduk (KTP) pemohon pinjaman tersebut. RepuahPlus yang
dioperasikan oleh PT Digital Synergy Technology yang sudah tercantum di
dalam Otoritas Jasa Keuangan sejak 26 Februari 2018 serta Surat Tanda Izin
Daftar S-59/NB.213/2018.
Kasus RupiahPlus terjadi pada tahun 2018 dimana seorang teman
penerima pinjaman terkejut saat mendapatkan pesan singkat dengan kata
kasar dan menyiratkan ancaman pada aplikasi whatsapp yang meminta
temennya tersebut untuk melunasi utang yang dipinjam dari Fintech P2P
Lending RupiahPlus.92 Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan sudah melarang
tidak boleh adanya penagihan dengan menggunakan kata-kata kasar,
mengancam, serta memberikan informasi, serta data kepada pihak ketiga.93
Kehadiran pinjaman online ini mengakibatkan banyaknya masalah terutama
dari sisi perlindungan hukum konsumen, dimana konsumen atau penerima
pinjaman merasa sedikitnya informasi yang diberikan terkait dengan proses

92
Dea Chadiza Syafina, Kasus RupiahPlus, Saat Urusan Utang Meneror Data Pribadi,
https://tirto.id/kasus-rupiahplus-saat-urusan-utang-meneror-data-pribadi-cNVl diakses pada 22
April 2021, h. 1.
93
Republik Indonesia, POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Lembaran Negara RI tahun 2016 Nomor 324
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6005), Pasal 39.
70

pinjam meminjam, besaran bunga, dan proses penagihan yang biasanya


terdapat perbuatan yang melanggar hukum, bahkan mengarah kepada
tindakan kriminal seperti pengancaman, pengambilan data pribadi hingga
sampai pada pelecehan seksual.
3. Kasus PT Barracuda dan PT Vega Data
Lalu, pada awal tahun 2020 polisi berhasil menemukan tindak
kejahatan fintech ilegal yang dilakukan oleh PT Barracuda dan PT Vega
Data, dari kasus ini polisi menetapkan lima orang tersangka. Kedua
perusahaan ilegal ini merupakan pengelola dua aplikasi fintech ilegal Toko
Tunai dari KasCash. Dalam aksinya PT Barrucada fintech bertindak sebagai
pembuat aplikasi sedangkan Vega Data sebagai penagih utang dari
peminjam dalam platform. Korban dari fintech ilegal ini hanya rakyat kecil
dengan rata-rata pinjaman Rp. 500 ribu hingga Rp. 2,5 juta. PT Barrucada
dan PT Vega Data yang kemudian menekan dan mengancam korban serta
kerabat korban melalui telepon.94
Kehadiran pinjaman online ini mengakibatkan banyaknya masalah
terutama dari sisi perlindungan hukum konsumen, dimana konsumen atau
penerima pinjaman merasa sedikitnya informasi yang diberikan terkait
dengan proses pinjam meminjam, besaran bunga, dan proses penagihan
yang biasanya terdapat perbuatan yang melanggar hukum, bahkan
mengarah kepada tindakan kriminal seperti pengancaman, pengambilan
data pribadi hingga sampai pada pelecehan seksual.

94
Praktik Fintech Ilegal Ternyata Bosnya Orang Asing, Parah!
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20191227104104-37-125955/praktik-fintech-ilegal-ternyata-
bosnya-orang-asing-parah diakses pada 9 April 2021.
71

BAB IV

PERMASALAHAN DAN URGENSI PENGUATAN REGULASI


FINANCIAL TECHNOLOGY PEER TO PEER LENDING SEBAGAI
UPAYA PENANGGULANGAN DI INDONESIA

A. Penanggulangan Permasalahan Financial Technology Peer To Peer


Lending di Indonesia

Penyelenggaraan Financial technology berbasis P2P Lending atau


yang biasa dikenal dengan Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis
teknologi informasi pada pelaksanaannya banyak mengalami masalah.
Akhirnya terhadap hal tersebut Pengguna layanan Fintech P2P Lending
berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melakukan praktek
layanan ini, dengan kata lain pemerintah harus menjamin kepastian hukum
dalam penyelenggaraan praktek Fintech P2P Lending.

Landasan dasar dalam perlindungan seorang pengguna Layanan


Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi ialah maka penyelengara
wajib melakukan prinsip-prinsip dasar berupa transparansi, perlakuan yang
adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, dan penyelesaian sengketa
pengguna secara cepat, sederhana, dan biaya terjangkau. Penyelenggara
wajib untuk memberikan informasi yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan. Apabila ada penerimaan, penundaan, atau penolakan
permohonan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi penyelenggara wajib untuk menyampaikan informasi tersebut
kepada penerima pinjaman.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta agar Otoritas


Jasa Keuangan (OJK) segera ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan
hukum yang menimpa nasabah pinjaman online. Seperti yang telah
diamanatkan, OJK memiliki peran dalam melakukan edukasi dan
72

perlindungan kepada konsumen.95 Sementara itu Asosiasi Fintech


Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatatkan data yang mereka
terima dari aduan masyarakat sebanyak 3.726 laporan pengaduan konsumen
Fintech P2P lending data tersebut pada periode Januari hingga November
2020.96 Kurang mendalamnya OJK dalam perlindungan dan pengawasan,
yang mengakibatkan masalah tersebut sehingga menimbulkan beberapa
kasus berpengaruh terhadap inklusif keuangan. Permasalahan pertama,
maraknya Fintech P2P Lending ilegal yang tidak terdaftar/berizin di OJK.
Kedua, belom adanya penetapan suku bunga sehingga mengakibatkan suku
bunga menjadi tinggi. Ketiga, adanya penagihan yang tidak beretika dan
intimidasi yang merupakan lemahnya perlindungan terhadap konsumen.

Berikut adalah rincian identifikasi problematika Fintech P2P


Lending di Indonesia.97

1. Fintech ilegal, dari sisi struktur terdapat problematika


kekosongan hukum terhadap fintech ilegal pemangku
kepentingan tidak cekatan dalam menemukan langkah strategis
dan saling lempar wewenang, tidak adanya Satuan Tugas
(Satgas) yang secara khusus menangani fintech, hanya ada
Satgas Waspada Investasi (SWI), sehingga perlu pengoptimalan
dalam menangani fintech. Kemudian dari sisi substansi,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) hanya mengatur
fintech yang berizin, dan tidak adanya sanksi pidana terhadap
fintech ilegal (tidak adanya peraturan yang setingkat Undang-
undang). Selain itu dari kultur, kurang waspadanya masyarakat
terhadap fintech ilegal, dan selau ada penyelenggaraan fintech

95
Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Otoritas Jasa Keuangan.
96
Portal Perlindungan Konsumen Fintech, https://lokadata.id/artikel/ojk-segera-luncurkan-
portal-perlindungan-konsumen-fintech diakses pada 4 Mei 2021.
97
Nabila Aulia Rahma, Adi Fauzanto, Keri Pranata, Responsive Law System Of Financial
Technology: Upaya Rekonstruksi Konsep Penyelesaian Sengketa Peer To Peer Lending”, Jurnal
Legislatif, Vol. 3, 2, (2019), h. 120.
73

yang tidak patuh terhadap ketentuan peraturan otoritas jasa


keuangan.
2. Suku bunga, dilihat dari sisi struktur terdapat problematika
pengawasan dan pengaturan terhadap suku bunga yang belum
dibahas, dan saling lempar wewenang. Kemudian dari sisi
substansi peraturan otoritas jasa keuangan tidak mengatur
besarnya suku bunga, namun Asosiasi Fintech Pendananaan
Bersama Indonesia (AFPI) yang mengatur suku bunga, akan
tetapi hanya yang ikut AFPI/berizin. Selain itu dari sisi kultur,
terlalu mudahnya masyarakat dalam mengikat persetujuan
terkait besaran bunga karena kurangnya sosialisasi dan edukasi,
adanya penagihan intimidatif terhadap konsumen, bahkan
disertai penyebaran data pribadi dan kekerasan verbal, dan
penyelenggaraan fintech ilegal menaikkan suku bunga tanpa
batasan.
3. Penagihan intimidatif, dilihat dari sisi struktur terdapat
permasalahan adanya kelalaian pengawasan terhadap
penyelesaian sengketa berkaitan tindakan intimidatif dari pihak
fintech, dan belum adanya infrastruktur yang memadai.
Kemudian dari sisi substansi, terdapat problematika regulasi
penyelesaian sengketa masih terpisah-pisah dan belum terpadu,
semisal, pencampuran ranah pidana dan perdata. Sesuai dengan
kasus yang terjadi wanprestasi, penipuan, pemerasan dan
pengancaman juga bisa dimasukkan, dan belum adanya satgas
khusus dalam penyelenggaraan fintech. Selain itu dari sisi kultur
terdapat problematika, wanprestasinya konsumen penyebab
penagihan intimidatif oleh pihak fintech, dan penyebaran data
konsumen ialah akibat ketidakmampuan untuk membayar
(konsumen mengalami kredit macet).
74

Menurut Teori Lawrence M Friedmen dengan menggunakan tiga


unsur tersebut Struktur, Substansi, Kultur bahwa efektif atau tidaknya
efektifnya penegakan hukum bergantung pada tiga unsur sistem hukum,
yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),
dan kultur hukum (legal culture) yang ketiganya saling berhubungan satu
sama lain.98

Pertama, fintech ilegal merupakan problematika yang menjadi dasar


kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Secara substansi, bahwa layanan jasa
keuangan termasuk fintech P2P lending harus terdaftar dalam Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), akan tetapi kenyataan dalam kasus fintech ilegal lebih
mendominasi terhadap pelanggaran, yang artinya presentase jumlah fintech
berizin lebih sedikit dibandingkan dengan fintech ilegal. Sayangnya, dalam
peraturan otoritas jasa keuangan tidak diaturnya pengawasan dan
pengaturan fintech ilegal. Terutama, sanksi yang diterapkan Otoritas Jasa
Keuangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hanya
dikenakan sanksi administratif yakni pencabutan beroperasi yang artinya
tidak adanya sanksi pidana untuk menjerahkan pelaku penyelenggara
fintech ilegal. Sedangkan, sedikitnya pengetahuan masyarakat fintech
sehingga membuat masyarakat tidak bisa membedakan namanya fintech
yang terdaftar/berizin dan fintech ilegal karena keduanya sangat mirip.
Sementara itu, otoritas jasa keuangan saling lempar wewenang dalam
menangani kasus fintech ilegal. Terdapat pula kurangnya infrastruktur
seperti halnya teknologi analisis fintech ilegal pun belum ada, dikarenakan
kondisi dari tugas satgas waspada investasi belum maksimal.

Kedua, adanya suku bunga tinggi yang dimana problem ini


merupakan dampak dari adanya fintech ilegal. Secara substansi, suku bunga

98
Chusnus, Tsuroyya, dkk, RI-MA Integrated: Analysis of Justice and Legal Certain by
Using Three Legal of System’s Role dalam Membangun Infrastruktur Guna Mensejahterakan
Masyarakat Pebatasan (Studi Kasus di Kalimantan), Fakultas Hukum Brawijaya, (2018).
75

tinggi tidak diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan, hanya terdapat
dalam peraturan asosiasi fintech (AFPI). Sementara itu, peraturan asosiasi
fintech hanya berlaku terhadap anggota saja yang artinya fintech ilegal
masih memiliki celah dalam menentukan berapa besar bunga yang
diinginkan. Alhasil masyarakat menjadi konsumen yang sangat rentan dari
ketidakmampuan untuk membayar kredit. Sedangkan, otoritas jasa
keuangan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
menegakkan hukum.

Ketiga, ialah penagihan secara intimidatif, penagihan intimidatif


merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara fintech ilegal
dalam menarik kredit melalui cara kekerasan verbal, teror, dan lain
sebagainya. Perihal ini dikarenakan banyaknya konsumen yang wanprestasi
terhadap prestasi yang harus dibayar. Kemudian ini akan mengacu terhadap
proses hukum perdata dan pidana sebagai bentuk penyelesaiannya.
Tindakan intimidatif, secara substansi belum ada regulasi yang sistematis
atas penyelesaian sengketa dalam fintech ilegal. Penyelesaian sengketa
hanya diatur oleh fintech terdaftar/berizin. Lalu, otoritas jasa keuangan
menyerahkan penyelesaian sengketa tersebut terhadap POLRI dan
Bareskrim yang pada akhirnya saling melempar wewenang kembali.

Dilihat dari faktanya kasus pencurian data pribadi Penerima


Pinjaman Fintech P2P Lending kerap kali dilakukan oleh penyelenggara
Fintech P2P Lending yang tidak terdaftar di OJK atau Fintech P2P Lending
ilegal. Kasus yang baru terjadi pada tahun ini, sang korban yang bernama
Arief saat itu mendapati uang senilai Rp. 800.000 (delapan ratus ribu rupiah)
di rekeningnya, kemudian disusul email dari satu perusahaan pinjaman
online untuk mengembalikan uang tersebut dengan bunganya dalam waktu
tujuh hari. Sayangnya, Arief tidak pernah mengajukan pinjaman ke
perusahaan tersebut. Pria yang berusia 36 tahun itu memang pernah
meminjam dari beberapa perusahaan pinjol ketika mengalami kesulitan
76

pada tahun 2019, namun Arief sendiri mengatakan sudah membereskan


semuanya.99

Perusahaan yang tiba-tiba mentransfer uang ke rekening Arief,


TunaiCPT, hanya mencantumkan alamat email di laman aplikasinya
Playstore. Arief pun menghubungi mereka untuk mengklarifikasi, namun
mereka bersikeras itu kewajiban Arief. Akhirnya Arief membayar “utang”
tersebut ditambah bunganya, total 1,2 juta. Tetapi masalahnya tidak
berakhir disana. Bulan Maret lalu, hal itu terjadi lagi. Arief mendapat
tagihan dari alamat email yang sama, namun nama perusahaan telah diganti
menjadi TunaiGesit. Perushaaan tersebut tidak terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) alias ilegal, dan di laman aplikasinya di Playstore, yang
sekarang sudah dihapus, Arief menemukan banyak orang yang mengeluh
karena mengalami hal yang sama. Arief mengatakan kali ini ia ditelepon
oleh penagih utang yang mengancam akan menjual data pribadinya jika ia
tidak membayar. Arief pun khawatir akan keselamatan dirinya dan
keluarganya.100

Permasalahan ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan fintech


P2P lending ilegal saja, akan tetapi yang telah terdaftar dan memiliki izin
beroperasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melakukan. Salah satu
platform fintech P2P lending yang bermasalah tersebut yaitu RupiahPlus
yang saat ini telah berganti nama menjadi “Perdana”, yang diluncurkan oleh
PT Digital Synergy Technology. Seseorang yang bernama Ali Akbar
tercengang saat mendapat pesan pada aplikasi Whatsapp. Berisi pesan yang
meminta Ali untuk menyampaikan pesan kepada teman semasa SMP
bernama Satria agar melunasi utang yang dipinjam dari platform aplikasi
kredit online RupiahPlus. Pesan tersebut menggunakan kata kasar dan
terdapat nada ancaman. Ali menjadi pihak yang dihubungi oleh RupiahPlus

99
Pijar Anugerah, Pinjaman Online: ‘Bagaimana Saya Menjadi Korban Penyalahgunaan
Data Pribadi’, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-57046585 diakses pada 21 Agustus 2021.
100
Pijar Anugerah, Pinjaman Online: ‘Bagaimana Saya Menjadi Korban Penyalahgunaan
Data Pribadi’, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-57046585 diakses pada 21 Agustus 2021.
77

lantaran namanya dicantumkan, sebagai emergency contact atau kontak


darurat yang bisa dihubungi untuk transaksi pinjam meminjam uang online
ini. Sementara itu, ketika Ali mengkonfirmasi langsung kepada Satria,
namanya tersebut tidak pernah dicantumkan sebagai kontak darurat.101

Pada bulan Juli 2018, RupiahPlus mengakui beberapa oknum desk


collector melakukan pelanggaraan-pelanggaraan dalam Standar Prosedur
Operasional (SOP). Direktur RupiahPlus Bimo Adhiprabowo menyatakan
salah satu penyebab pelanggaran SOP oleh para kolektor adalah bonus yang
dijanjikan oleh Direktur Utama (CEO) RupiahPlus Rebecca Wang yang
memberikan bonus lebaran. Bonus lebaran ini bagi kolektor yang berhasil
menagih peminjaman dari pihak Penerima Pinjaman. Sebagian oknum
akhirnya melakukan berbagai cara untuk melakukan penagihan, yang
diantaranya yaitu mengakses kontak di luar kontak yang sudah didaftarkan
peminjam, kemudian juga melakukan ancaman dan makian.102

Hal yang sama juga terjadi pada kasus seorang warga Surabaya yang
bernama Melia salah satu debitur pinjaman online. Melia yang awalnya
hanya meminjam uang ke salah satu aplikator dengan nilai pinjaman 1,5
juta. Melia melapor ke Polda Jatim lalu mengaku berutang kepada lebih 30
perusahaan aplikasi fintech. Melia juga mengeluhkan teror yang disebarkan
oleh penagih utang melalui pesan pendek kepada telepon seluler teman-
temannya dikarenakan belum membayar utang. Terdapat pula intimidasi
dari debt collector yang membuat Melia harus menanggung malu dan
akhirnya memutuskan keluar dari tempat kerjanya.103

101
Dea Chadiza Syafina, Kasus RupiahPlus, Saat Urusan Utang Meneror Data Pribadi,
https://tirto.id/kasus-rupiahplus-saat-urusan-utang-meneror-data-pribadi-cNVl diakses pada 01
Januari 2021.
102
CNN Indonesia, RupiahPlus Akui Pelanggaran Penagihan Utang ke Peminjam,
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180723202907-185-316410/rupiahplus-akui-
pelanggaran-penagihan-utang-ke-peminjam diakses pada 01 Januari 2021.
103
Tempo.Co, Kisah Melia Terbelit Utang Rp. 30-an Juta di 37 Pinjaman Online
https://bisnis.tempo.co/read/1240280/kisah-melia-terbelit-utang-rp-30-an-juta-di-37-pinjaman-
online?page_num=2 diakses pada 01 Januari 2021.
78

Pada bulan Juli 2021, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri


menangkap delapan tersangka terkait sindikat pinjaman online pada
perusahaan PT SCA yang meneror peminjamnya dengan tuduhan palsu.
Dalam kasus ini, terdapat korban yang difitnah sebagai bandar narkoba oleh
debt collector melalui media sosial. Mereka membuat pesan-pesan yang
seolah-olah bahwa korban adalah bandar sabu, bandar narkoba, hal ini
sifatnya sudah mencemarkan nama baik. Selain itu, pelaku juga mengedit
foto-foto dari korban untuk kemudian ditempelkan pada gambar yang tidak
senonoh yang kemudian disebarkan ke media sosial. Kemudian, perusahaan
tersebut diduga mengakses data-data pribadi milik korban secara ilegal.
Dalam kasus ini, polisi turut mengamankan beberapa barang bukti seperti
ribuan SIM card, modem pool untuk mengirim SMS blasting, handphone,
serta laptop yang berfungsi untuk melihat alur transaksi komunikasi dari
pada pelaku. Atas perbuatan ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 45 Ayat
(3) UU ITE, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, serta Pasal 311 KUHP, yang terancam hukuman 5 tahun
penjara.104

Pada kasus lainnya seorang dua guru perempuan di tempat berbeda


yakni di Salatiga, Jawa Tengah dan Sukabumi, Jawa Barat. Kedua guru itu
mendapat teror hingga ancaman penyebaran foto bugil editan.105 Kasus
terbaru yang menimpa seorang guru wanita honorer di Salatiga yang
berinisial Afifah. Awalnya Afifah melihat iklan dari aplikasi yang
menawarkan pinjaman uang Rp. 5 juta dengan tenor 91 hari dan bunga 0,04
persen. Afifah pun menjadi tertarik untuk meminjam dan kemudian dipandu
oleh aplikasi itu untuk foto bersama KTP miliknya. Kemudian tak sampai
lima menit, rekeningnya mendapat transferan dari tiga lembaga sebesar Rp.

104
CNN Indonesia, Korban Pinjol Dituduh Jadi Bandar Narkoba Agar Bayar Utang,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210729162510-12-673895/korban-pinjol-dituduh-jadi-
bandar-narkoba-agar-bayar-utang diakses pada 21 Agustus 2021.
105
Farid Assifa, Sebar Foto Bugil Jadi Alat Teror Pinjol Pada 2 Korbannya Guru Wanita,
https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/06/074500565/sebar-foto-bugil-jadi-alat-teror-pinjol-
pada-2-korbannya-guru-wanita-?page=all diakses pada 28 Juli 2021.
79

3,7 juta. Afifah tidak merasa ada yang aneh dengan transferan dalam waktu
singkat, sehingga Afifah pun enggan menarik pinjaman tersebut. Pada hari
kelima setelah mendapat pinjaman, yakni pada 25 Maret masalah mulai
muncul. Afifah mendapat pesan Whatsapp untuk melunasi pinjaman,
padahal tenornya belum termasuk hari ke-91. Selanjutnya pada ke hari
ketujuh, Afifah mulai mendapat teror Whatsapp ke rekan-rekannya. Sekitar
200 kontak ponselnya, sekitar 50 diantaranya mendapat Whatsapp
penagihan. Afifah pun berupaya membayar tagihan pinjaman online
tersebut. Apikasi tersebut menyebutkan tagihan sebesar Rp. 5,5 juta dari
pinjaman Rp. 3,7 juta. Namun tak lama kemudian, utang Afifah pun
membengkak menjadi ratusan juta rupiah. Afifah pun tidak hanya
mendapatkan ancaman penyebaran foto bugil editan yang disebar di kontak
Whatsapp yang ada, tapi juga mendapatkan kata-kata kotor dan juga kata-
kata penuh ancaman, fitnah, dan mencemarkan nama baik. Serangkaian
teror yang dialami Afifah membuat dirinya merasa trauma dan ketakutan,
hingga tak berani lagi memegang ponsel dan pekerjaannya sebagai guru
terganggu. Apalagi sebagian teror sampai juga ke rekan-rekannya. Dapat
dilihat kasus tersebut sudah melanggar Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik.

Sementara guru yang di Sukabumi, guru wanita berinisial RN yang


berumur 43 (empat puluh tiga) tahun mendapat teror serupa dari pinjaman
online. Anehnya, guru itu tidak pernah meminjam uang sama sekali ke
aplikasi pinjaman online tetapi mendapat teror bertubi-tubi. RN diancam
seseorang melalui aplikasi Whatsapp. Orang misterius itu meminta korban
membayar utang pinjaman online sebesar Rp. 2 juta dengan ancaman foto
korban yang diedit bugil akan disebarkan. Atas kejadian ini korban yang
didampingi suaminya melapor ke Polsek Nagrak, Sukabumi. Selain ke
80

polisi, korban juga sudah mengadu ke bank dan perusahaan provider nomor
teleponnya.106

Perbuatan perusahaan-perusahaan Fintech P2P Lending, baik yang


legal maupun yang ilegal pada saat penagihan pinjaman uang kepada
konsumen dengan cara penagihan pinjaman uang kepada konsumen dengan
cara mengintimidasi dan melakukan pengancaman berserta menyebarkan
data pribadi konsumen ke media sosial menurut penulis hal ini tidak
memperhatikan asas-asas perlindungan konsumen, khususnya asas
keamanan dan keselamatan konsumen sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan
dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.107

Dari semua kasus-kasus tersebut, penulis mencoba mengaitkannya


kedalam beberapa teori. Jika dianalisis dari Teori Kepastian Hukum, maka
kasus-kasus tersebut dirasa mencederai asas kepastian hukum, karena
menurut faham kepastian hukum, Undang-undang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.
Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian
hukum.108

Selain itu Kepastian Hukum secara normatif adalah ketika suatu


peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas
dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-

106
Farid Assifa, Sebar Foto Bugil Jadi Alat Teror Pinjol Pada 2 Korbannya Guru Wanita,
https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/06/074500565/sebar-foto-bugil-jadi-alat-teror-pinjol-
pada-2-korbannya-guru-wanita-?page=all diakses pada 28 Juli 2021.
107
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006), h. 97.
108
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 158.
81

tafsir) dan logis. Tetapi dalam kasus yang penulis sebutkan di atas, beberapa
kali Fintech P2P Lending ilegal melakukan pelanggaran-pelanggaran,
dimana salah satu penyebab dari hal itu adalah tidak adanya aturan sanksi
yang tegas dalam bentuk Undang-undang, yang seharusnya mengandung
upaya preventif dan refresif berupa sanksi, sehingga kejadian-kejadian di
atas tidak terjadi atau dapat diminimalisir.

Adapun dari sisi Perlindungan hukum, penulis menilai bahwa masih


dalam kasus yang telah penulis paparkan, sisi perlindungan hukum bagi
konsumen juga tidak terlaksanakan dengan baik, dikarenakan masih banyak
konsumen menjadi korban dan serta mendapatkan kerugian dari Fintech
P2P Lending. Tujuan perlindungan hukum sendiri yaitu memberikan suatu
perlindungan kepada manusia serta memberikan pengayoman atau
mengayomi terhadap manusia sesuai dengan hak asasi manusia yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Maka konsumen berhak
mendapatkan perlindungan hukum agar mendapatkan hak-hak semestinya
yang diberikan oleh hukum atas kerugian yang dialaminya.

Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang


Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang berbunyi “Perlindungan konsumen adalah segala upaya
untuk yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen.” Maka dari itu konsumen berhak untuk
mendapatkan hak kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, serta
dilindunginya data pribadi konsumen, lalu konsumen berhak untuk
mendapatkan keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
tentang Fintech P2P Lending.

Akan tetapi jika penulis analisis dalam kasus di atas, penulis menilai
bahwa aspek perlindungan konsumen tidak terlaksana dengan baik, sebagai
contoh bahwa perlindungan seperti kenyamanan konsumen terenggut
karena konsumen banyak diteror oleh fintech ilegal, selain itu aspek
82

keamanan juga dinilai tidak terlaksana karena banyak data-data konsumen


yang bocor ke tangan fintech ilegal.

Kemudian kasus ini juga dapat dianalisis dari sisi Keabsahan


Perjanjian Elektronik. Dimana dalam menjalankan Fintech P2P Lending
tentunya menggunakan perjanjian/kontrak elektronik. Perjanjian elektronik
dapat dianggap sah sebagai bentuk perjanjian apabila memenuhi ketentuan
1320 KUHPerdata sebagaimana yang memuat beberapa syarat-syarat dalam
membuat suatu kontrak, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
disini terjadilah kesapakatan para pihak, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Lebih mendalam lagi
aturan mengenai perjanjiian elektronik (e-contract) yang diatur dalam Pasal
47 dan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Transaksi elektronik
dapat dilakukan berdasarkan perjanjian elektronik atau bentuk kontraktual
lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Syarat
sahnya perjanjian elektronik hampir sama dengan yang dipersyaratkan pada
Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu apabila:109

1. Terdapat kesapakatan para pihak

Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus


mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri pada
perjanjian tersebut. Kemauan tersebut merupakan penyesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya.110 Bahwa sebuah kesepakatan diawali dengan adanya
persamaan kehendak atau persamaan keinginan dari para pihak
yang melakukan perjanjian. Kemauan itu harus dinyatakan

109
Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik.
110
Salim H.S, Hukum Kontrak, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), h. 33.
83

secara tegas karena dalam hal pinjam meminjam uang berbasis


teknologi informasi kemauan itu merupakan bentuk persetujuan
(agreement) para pihak untuk tunduk pada kontrak tersebut.

2. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang


mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk


bertindak sendiri. Beberapa golongan orang oleh undang-
undangan dinyatakan “tidak cakap” untuk melakukan sendiri
perbuatan-perbuatan hukum. Mereka adalah orang yang
dibawah umur, orang yang dibawah pengawasan (curatele) dan
perempuan yang telah kawin.111 Dalam perjanjian elektronik
khususnya pada layanan Fintech P2P Lending, kecakapan pihak
yang mengakses platform penyelenggara dapat dibuktikan
dengan data diri dan bukti foto Kartu Tanda Penduduk (KTP)
yang harus di upload ke platform tersebut. Dalam hal ini
menunjukkan bahwa platform penyelenggara Fintech P2P
Lending hanya dapat memverifikasi kecakapan seseorang
melalui KTPnya. Dimana Kartu Tanda Penduduk ini merupakan
salah satu bukti bahwa seseorang telah sah menjadi seorang
warga Negara Indonesia dan berusia minimal 17 tahun. Dengan
kata lain, batasan usia seseorang dianggap cakap menurut
penyelenggara Fintech P2P Lending adalah 17 tahun.

3. Terdapat hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya


suatu hal tertentu. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu
atau mengenai suatu hal tertentu agar dapat dilaksanakan. Suatu

111
Pasal 1130 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
84

hal tertentu yang dimaksud dalam hal pinjam meminjam uang


online adalah hak dan kewajiban debitur dan kreditur. Ini berarti
bahwa hal tersebut itu adalah hal yang diperjanjikan, yakni hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Suatu hal tertentu yang
dijadikan objek dalam transaksi atau dalam perjanjian
merupakan barang yang harus jelas status dan spesifikasinya.
Dalam perjanjian elektornik platform penyelenggara Fintech
P2P Lending harus jelas menerangkan terms and conditions
yang akan dihadapi dan harus dipenuhi oleh para pihak yang
akan mengakses platform-nya, yaitu pemberi pinjaman
(investor) dan penerima pinjaman (debitur) berkaitan dengan
hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian elektronik
tersebut. Pada perjanjian elektronik antara penyelenggara
dengan pemberi pinjaman minimal harus menerangkan
mengenai jumlah pinjaman, suku bunga pinjaman, jangka
waktu, rincian biaya terkait, dan ketentuan mengenai denda jika
ada. Kemudian pada perjanjian elektronik antara pemberi
pinjaman dengan penerima pinjaman minimal harus
menerangkan mengenai jumlah pinjaman, suku bunga pinjaman,
nilai angsuran, jangka waktu, objek jaminan jika ada, rincian
biaya terkait, dan ketentuan mengenai denda jika ada.

4. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya


objek transaksi yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Maka
perlu dilihat kembali apabila dalam hal layanan kredit online
yang menajadi objek transaksi adalah pinjaman, maka jelas hal
ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Karena pinjaman bukanlah
85

suatu hal yang diharamkan atau dilarang. Namun perlu


ditekankan, pihak-pihak yang terlibat dalam pinjaman ini harus
didasarkan pada itikad baik. Sesuai dengan Pasal 1338
KUHPerdata yaitu persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Norma tersebut dapat diartikan bahwa selain mewajibkan
objek yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, setiap perjanjian sebelum terjadinya peristiwa
konsensualisme masing-masing pihak wajib didasari dengan
tujuan yang baik atas hasil dari perjanjian tersebut. Jika objek
dalam perjanjian itu ilegal, atau bertentangan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal.112

Dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian elektronik sebagaimana


kontrak konvensional juga memiliki kekuatan hukum layaknya Undang-
Undang bagi para pihak yang membuatnya.113 Dengan dipenuhinya 4
(empat) syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian elektronik
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.114 Sifat perjanjian elektronik yang tidak tertulis tidak
menyebabkan kontrak tersebut menjadi tidak sah karena di dalam
KUHPerdata memang tidak ada ketentuan bahwa suatu kontrak harus dibuat
secara tertulis. Dalam suatu perjanjian elektronik, isinya tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, undang-undang dan kebiasaan dalam bisnis juga harus
diperhatikan.115 Dalam hal ini karena perjanjian elektronik telah menjadi hal

112
Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), h.
80.
113
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
114
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2004), h.1.
115
I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (contract drafting): Teori dan Praktek,
(Jakarta: Kesaint Blanc, 2002), cetakan pertama, h. 135.
86

yang sering terjadi dalam dunia bisnis, maka kontrak elektronik dianggap
sah.

Dampak dari adanya suatu kekosongan hukum, atas legalitas pun


tidak bisa diterapkan dalam penegakkan hukum. Selain itu, rendahnya
Sumber Daya Manusia (SDM) mengenai pelaksanaan fintech menjadi
kerugian masyarakat sendiri, kendati pemerintah sudah berdalih hal tersebut
telah disampaikan dalam beberapa seminar, sosialisasi sebagai bentuk
pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi asas Fiksi Hukum
tetaplah berlaku, maka masyarakat dianggap tahu hukum. Akhirnya,
penyelesaian sengketa yang ditimbulkan fintech ilegal, yang berdampak
terhadap suku bunga dan penarikan kredit secara intimidatif pun tidak dapat
dihindari. Atas landasan inilah, perlu adanya konsep khusus untuk merespon
problematika yakni lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan fintech. Maka dengan ini, pemerintah beserta otoritas jasa
keuangan harus berkerja sama untuk menyelesaikan permasalahan ini,
dengan merekonstruksi regulasi yang menjadi kebutuhan.

Berdasarkan beberapa kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa


pemerintah perlu membentuk regulasi khusus bagi Fintech P2P Lending di
Indonesia dengan adanya satu regulasi atau payung hukum (umbrella act)
yang lebih komperhensif khususnya yang berkaitan dengan perlindungan
data pribadi. Urgensi untuk membentuk regulasi khusus bagi Fintech P2P
Lending bukan hanya untuk melindungi kepastian hukum belaka, akan
tetapi lebih dari itu regulasi khusus nantinya diharapkan menjadi jalan bagi
tumbuh dan berkembangnya Fintech P2P Lending di Indonesia.

B. Penguatan Regulasi Financial Technology Peer To Peer Lending

Setelah melihat beberapa problematika yang telah penulis paparkan


di atas, maka penulis mencoba untuk menganalisis lebih dalam mengenai
urgensi penguatan regulasi fintech sebagai upaya penanggulangannya di
Indonesia.
87

Kasus-kasus dalam tindakan penagihan pinjaman uang seperti yang


dilakukan oleh perusahaan-perusahaan seperti Vloan dan RupiahPlus
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tidak sesuai dengan asas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Asas ini berkaitan
dengan permasalahan jaminan kerahasiaan data-data konsumen yang
dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Fintech P2P Lending dalam
tindakan penagihan pinjaman uang kepada konsumen.

Tindakan-tindakan penagihan pinjaman uang kepada konsumen


dengan cara menyebarkan data-data pribadi seperti nomor telepon, foto,
video, dan lain-lain yang terdapat di smartphone milik konsumen tanpa
seizin dari konsumen merupakan sebuah fakta-fakta bahwa hak-hak yang
dimiliki konsumen harus dilindungi oleh perusahaan-perusahaan Fintech
P2P Lending tersebut sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 4 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, yang diantaranya hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,
dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.

Otoritas Jasa Keuangan selaku pembuat peraturan dan pengawas di


sektor jasa keuangan yang telah membentuk payung hukum mengenai
keberadaan perusahaan Fintech P2P Lending yang sebelumnya telah
dijelaskan, yaitu POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang secara khusus
membahas mengenai perusahaan Fintech P2P Lending, dan POJK Nomor
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa
Keuangan yang membahas fintech secara keseluruhan dan P2P lending
termasuk di dalamnya. Kemudian, untuk melindungi kepentingan
konsumen di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan juga membentuk
88

POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor


Jasa Keuangan.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1) POJK Nomor


1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
menyebutkan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara
apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya
kepada pihak ketiga. Lalu, isi yang sama juga diatur dalam Pasal 39 POJK
Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi. Artinya, kerahasiaan data konsumen menjadi
aspek penting dalam perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.
Sebagian besar masalah dari Fintech P2P Lending ini karena minimnya
perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Data
pribadi dari konsumen kerapkali disebarkan secara luas oleh perusahaan-
perusahaan Fintech P2P Lending tanpa seizin dari konsumen.

Data pribadi ialah data yang berkenan dengan ciri seseorang, nama,
umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, dan kedudukan dalam keluarga.116
Pengertian lain dari “data pribadi” menurut Rosalinda Latumahina yang
mengartikan data pribadi sebagai data yang berupa identitas.117 Sedangkan
menurut Jerry Kang, data pribadi terdiri atas fakta-fakta, komunikasi, atau
pendapat yang berkaitan dengan individu yang merupakan keterangan
sangat pribadi atau sensitif sehingga orang yang bersangkutan ingin
menyimpan atau membatasi orang lain untuk mengoleksi, menggunakan,
atau menyebarkannya pada pihak lain. Dari semua pengertian tersebut,
dapat kita pahami pula bahwa data pribadi mewakili suatu informasi yang
akan membedakan keistimewaan masing-masing individu.118 Berdasarkan

116
Kamus Bahasa Indonesia Online,
http://kamusbahasaindonesia.org/data%2520pribadi/mirip diakses pada 01 Juli 2021.
117
Rosalinda Elsina Latumahina, Aspek Hukum Perlindungan Data Pribadi di Dunia
Maya, Jurnal Gema Aktualita, Vol. 3, 2, (Desember 2014), h. 16.
118
Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transaction dalam Stanford Law
Review, Vol. 50, 1998, h. 5.
89

fungsinya yang unik inilah maka data pribadi merupakan suatu hal yang
sangat berharga bagi seorang individu.

Penguatan regulasi fintech di Indonesia yang paling mencolok untuk


diperbaharui dan dikuatkan adalah perlindungan data pribadi, karena pada
saat ini, regulasi perlindungan data pribadi sendiri tertuang dalam Pasal 2
ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun
2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik yang
mengatakan bahwa perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik
mencakup perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,
penyebarluasan, dan pemusnahan data pribadi.119

Perlindungan data pribadi di Indonesia telah diatur di dalam


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pada Pasal 28 G
ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, data juga berhubungan dengan konsep hak keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Akan tetapi walaupun
Indonesia sudah mengatur mengenai data pribadi, namun sampai saat ini
belum ada aturan setingkat Undang-undang perihal perlindungan data
pribadi, padahal aturan setingkat Undang-undang dapat dijadikan landasan
untuk penanganan kasus data pribadi di Indonesia, sehingga dapat dijadikan
upaya prefentif dan represif dalam kasus tersebut.

Kemudian ini juga sejalan dengan konsepsi privasi yang pertama


kali dikembangkan oleh Warren dan Brandheis yang menulis sebuah artikel
di dalam jurnal ilmiah Sekolah Hukum Universitas Harvard yang berjudul
“The Rights to Privacy” atau hak untuk tidak diganggu.120 Di dalam jurnal

119
Indonesia, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016.
120
Shinta Dewi, CyberLaw: Perlindungan Privasi atas Informasi Pribadi dalam E-
Commerce Menurut Hukum Internasional, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h. 7.
90

tersebut, dengan adanya perkembangan dan kemajuan teknologi, hingga


timbul suatu kesadaran masyarakat bahwa ada hak seseorang untuk
menikmati hidup. Hak tersebut diartikan sebagai hak seseorang untuk tidak
diganggu kehidupan pribadinya oleh orang lain atau oleh negara.

Pada buku Kompilasi Hukum Telematika, Edmon Makarim


mengutip adanya tiga aspek dari privasi sebagai berikut:121

1. Privacy of a Person’s Persona


Yang dimaksud dengan hak atas privasi ini berdasarkan
dengan prinsip umum bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
dibiarkan sendiri (the right to be left alone). Pada biasanya, terdapat
empat jenis pelanggaran terhadap privasi atas pribadi seseorang,
ialah:

a. Publikasi yang menempatkan seseorang pada tempat yang salah,


semisalnya menggunakan foto seseorang perempuan sebagai
ilustrasi suatu artikel yang menelantarkan anaknya;
b. Penggunaan yang tidak tepat nama atau kesukaan seseorang
untuk tujuan komersial;
c. Pembukaan fakta-fakta pribadi yang memalukan kepada publik;
dan
d. Menggangu kesunyian atau kesendirian seseorang.
2. Privacy of Data about a Person
Hak privasi ini mampu mengikat suatu informasi mengenai
seseorang yang dikumpulkan dan digunakan oleh orang lain.
Termasuk di dalamnya, sebagai contoh informasi tentang kebiasaan
seseorang, catatan medis, agama dan keanggotaan dalam partai
politik, catatan pajak, data-data karyawan, catatan asuransi, catatan
tindak pidana dan lain sebagainya. Penyalahangunaan informasi-

121
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), h. 46.
91

informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu


organisasi/lembaga atau atas pelanggan-pelanggan dari suatu
perusahaan termasuk dalam pelanggaran hak privasi seseorang.

3. Privacy of a Person’s Communication


Di dalam situasi tertentu, hak privasi ini dapat juga
mencakup komunikasi secara online. Dalam hal-hal tertentu,
pengawasan dan penyingkapan isi dari komunikasi elektronik oleh
orang lain bukan oleh pengirim atau orang yang dikirim dapat
merupakan pelanggaran dari privasi seseorang.

Jika dilihat dari negara lain seperti Inggris dan Malaysia. Hukum di
Inggris aturan yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi terdapat di
dalam Undang-Undang Perlindungan Data 1998 (The Data Protection Act
1998). Dalam undang-undang tersebut disebutkannya ada suatu badan
pelaksana yaitu The Data Protection Commisioneer yang berwenang untuk
mengawasi semua pengguna data yang menguasai data pribadi. Sementara
itu di Indonesia badan komisioner ini tidak disebutkan dalam aturan
manapun. Badan komisioner ini dianggap yang sangat penting sebagai
pihak yang melakukan pengawasan terhadap data atau informasi yang
digunakan saat berbagai transaksi yang berlangsung di media online. Selain
itu, perlindungan terhadap hak privasi individual juga disebutkan dalam
ketentuan Data Proctection Act 1998 yang memungkinkan subjek data
untuk mendapatkan informasi tentang pengolahan data pribadinya dan
untuk mencegah beberapa jenis pengolahan data yang berlangsung bila
dianggap akan membahayakan kepentingannya.122 Perlindungan terhadap
data pribadi di Inggris bersifat tegas dan kuat, Data Protection Act 1998 ini
bahkan melarang data pribadi ditransfer ke negara luar Eropa kecuali
apabila negara yang bersangkutan dapat menjamin perlindungan data yang

122
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kompilasi Kajian), Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003), h. 46.
92

sama. Berkaitan dengan hal ini pemerintah Indonesia juga belum


menjadikan poin transfer data ke negara lain menjadi salah satu hal yang
sangat penting untuk dibicarakan, padahal hal tersebut sangat penting dalam
menjawab tantangan dan kesempatan dalam era ekonomi digital saat ini
yang cakupannya bahkan luas sampai pada level transaksi internasional.
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan Data Protection Act 1998, ialah:

a. The Data Protection Commisioner


Yang dimaksud dengan ini semua pengguna data yang menguasai
data pribadi harus mendaftar pada badan ini
b. Data Subject (Subjek Data)
Artinya setiap individu yang menjadi subjek dari data pribadi
tersebut
c. Data Controller (Pengguna data)
Artinya setiap orang/individu yang menentukan tujuan dan cara
mengolah data pribadi

d. Data Processor
Artinya yang dipersamakan dengan computer bureau (biro
computer), yaitu orang (di luar pengawai data controller) yang
memproses data atas nama data controller.

Terdapat juga beberapa prinsip penting dari Data Proctection Act


ialah sebagai berikut:

1. Personal data shall be obtained only for one or more specified


and lawful purposes, and shall not be further processed in any
manner incompatible with that purpose or those purposes. Yang
dimana maksudnya ialah data pribadi harus diperoleh hanya
untuk satu atau lebih tujuan yang spesifik dan sah dan tidak
boleh diproses lebih lanjut dengan cara apapun yang tidak sesuai
dengan tujuan-tujuan tersebut.
93

2. Personal data processed for any purpose or purposes shall no


be kept for longer than is necessary for that purposes or those
purposes. Yang dimana maksudnya ialah data pribadi yang
diproses untuk tujuan apapun tidak boleh disimpan lebih lama
dari yang diperlukan untuk tujuan-tujuan tersebut.
3. Personal data shall be processed in accordance with the rights
of data subjects under this act. Yang dimana maksudnya ialah
data pribadi harus diproses sesuai dengan hak dari subjek data
berdasarkan aturan undang-undang.
4. Appropriate technical and organisational measures shall be
taken aginst unauthorised or unlawful processing of personal
data and against accidental loss or destruction of, or damage to
personal data. Yang dimana tindakan teknis dan organisasi yang
sesuai harus diambil terhadap pihak yang tidak berwenang dan
tidak sah untuk memproses data pribadi dan terhadap kerugian
dan kerusakan yang tidak terduga atau kerusakan terhadap data
pribadi.
5. Personal data shall not be transferred to a country or territory
outside the European Economic Area unless that country or
territory ensures an adequate level of protection for the rights
and freedoms of data subjects in relation to the processing of
personal data. Yang dimana maksudnya adalah data pribadi
tidak boleh ditransfer ke negara atau ke wilayah luar area
ekonomi Eropa kecuali negara atau wilayah itu menjamin
adanya perlindungan yang sama terhadap hak dan kebebasan
dari subjek data berkaitan dengan proses data pribadi.

Menurut Pasal 14 dari Data Protection Act 1998 menjelaskan bahwa


apabila pengadilan menemukan bahwa data pribadi diproses oleh
pengontrol data tidak akurat, pengadilan dapat memerintahkan perbaikan,
menghalangi, penghapusan atau kerusakan dari data tersebut. Bagi mereka
94

sedang terkena dampak langsung dari pengolahan data pribadi dapat


meminta Badan Komisaris untuk mengevaluasi proses untuk menentukan
jika memenuhi ketentuan Data Protection Act 1998. Data subyek berhak
untuk mengklaim kompensasi untuk setiap kerugian yang diderita sebagai
akibat dari pelanggaran Data Protection Act oleh pengontrol data dan
mungkin juga mengklaim kompensasi untuk bahaya yang ditimbulkan.

Terdapat pula Negara tetangga Malaysia yang dimana mereka sudah


terlebih dahulu daripada Indonesia mengatur mengenai perlindungan data
pribadi dalam undang-undang tersendiri.123 Negara Malaysia ini mengatur
dalam Personal Data Protection Act (PDPA) 2010. Malaysia Personal Data
Protection Act (PDPA) 2010 yang akhirnya telah disahkan oleh parlemen
Malaysia pada awal Mei 2010. Dengan berlakunya Undang-undang
tersebut, lalu Malaysia untuk pertama kalinya memiliki Undang-undang
yang mengatur secara spesifik mengenai privasi dan memberikan
perlindungan terkait data pribadi.124 Aturan dari PDPA ini bertujuan untuk
mengatur pengolahan data pribadi oleh pengguna data dalam konteks
transaksi komersial, dengan tujuan untuk menjaga kepentingan subjek data
tersebut. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan bahwa persetujuan dari
subjek data diperoleh sebelum pengolahan data pribadi serta memberikan
data dengan subjek hak untuk mengakses dengan benar, dan juga
mengontrol pengelohan data pribadi mereka. Hal ini sama halnya dengan
apa yang disebutkan di dalam Pasal 26 Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik Indonesia. Selain PDPA, terdapat aturan lain yang
berkaitan dengan perlindungan data pribadi yang berlaku di Negara
Malaysia ialah:

a. Communication and Multimedia Act 1998

123
Zuryati Mohamed Yusoff, The Malaysian Personal Data Protection Act 2010: A
Legislation Note, New Zealand Journal of Publik and International Law, Vol. 9, No. 1, (2011), h. 6
124
New Data Privacy Law in Malaysia,
https://www.bakermckenzie.com/en/rrsingaporenewdataprivacylawaug10 diakses pada 03 Juli
2021.
95

b. Computer Crimes Act 1997


c. Copyright Act 1987
d. Digital Signature Act 1997
e. Electronic Commerce Act 2006
f. Electronic Government Activities Act 2007
g. Payment System Act 2003
h. Credit Reporting Agencies Act 2010
i. Telemedicine Act 1997
j. Penal Code
k. Communication and Multimedia Content Code

Pada tahun 2010 PDP ini dirancang sebagai Undang-undang untuk


melindungi data pribadi dengan mematahi beberapa prinsip perlindungan
data pribadi dengan beberapa modifikasi dan perubahan yang kemudian
disesuaikan dengan kebutuhan dan mengikuti keadaan di Negara
Malaysia. 125

Dengan berlakunya PDPA 2010 ini, setiap individu akan mendapat


hak-hak baru seperti hak untuk diinformasikan mengenai data pribadinya
serta hak untuk mengakses, mengkoreksi dan juga mengontrol pengolahan
atau penggunaan data pribadi mereka oleh pihak lain. Transfer data pribadi
lintas batas (cross border transfer) juga diatur dalam aturan tersebut. Di
Negara Inggris pun juga mengatur tentang transfer data antar negara. Aturan
PDPA ini menetapkan bahwa tidak ada transfer data pribadi di luar Negara
Malaysia dan dapat terjadi kecuali pada tempat yang telah ditetapkan oleh
Menteri Informasi, Kebudayaan dan Komunikasi. Lalu negara tujuan
tempat data pribadi ditransfer wajib memiliki perlindungan yang memadai

125
Radian Adi Nugraha, Analisis Yuridis Mengenai Perlindungan Data Pribadi dalam
Cloud Computing System Ditinjau dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Universitas Indonesia, (2012), h. 6.
96

yang setidaknya setara dengan tingkat perlindungan yang diberikan oleh


aturan PDPA Malaysia.126

Berhubungan dengan hal tersebut, Indonesia pun belum terdapat


aturan yang mengatur tentang transfer data antar negara. Sangat
disayangkan hal ini belum ada aturan yang mengatur, hal ini sangatlah
penting untuk segera diatur sehingga Indonesia dapat bersaing di level
Internasional dalam kegiatan ekonomi dan bisnis digital dengan memiliki
aturan yang akomodatif berkaitan dengan data pribadi.

Aturan PDPA 2010 ini mempunyai prinsip hukum pada setiap


pengguna data dan mengharuskan para pengguna data untuk menyesuaikan
dengan beberapa prinsip antara lain, prinsip umum, justifikasi untuk
pemrosesan data seperti persetujuan, prinsip pemberitahuan dan pilihan.
Hak untuk mendapatkan informasi tentang tujuan pemrosesan data, prinsip
keterbukaan. Tidak bersifat tertutup kecuali berkaitan dengan tujuan,
prinsip keamanan. Menjamin data tersebut akurat dan update, prinsip akses,
hak individu untuk mengakses ke data pribadinya. Kewajiban untuk
mengambil langkah yang praktis untuk perlindungan data, prinsip retensi,
tidak menyimpan data lebih lama dari yang diperlukan, prinsip intergritas
data.127

Ketujuh prinsip tersebut mengatur secara komprehensif mengenai


perlindungan data pribadi. Seperti di dalam Retention Principle, data pribadi
yang diproses untuk tujuan apapun harus tidak disimpan lebih lama dari
diperlukan untuk pemenuhan tujuan perlindungan data pribadi. Dalam hal
tersebut akan menjadi tugas dari pengguna data untuk mengambil semua
langkah-langkah yang wajar agar dapat memastikan bahwa semua data
pribadi dihancurkan atau dihapus secara permanen. Dengan adanya aturan

126
Lia Sautunnida, Urgensi of Personal Data Protection Law in Indonesia: Comparative
Study of English and Malaysia Law, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20, 2, (2018), h. 379.
127
Abu Bakar Munir, The Malaysian Persona IData Protection Bill,
http://profabm.blogspot.com/20-09/12/malaysian-personal-data-protection-bill.html diakses pada
03 Juli 2021.
97

PDPA 2010 ini, jaminan keamanan bagi data pribadi pengguna media
elektronik di Negara Malaysia pun meningkat.

Setelah mengkomparasikannya, patut kiranya Indonesia segera


mengatur perlindungan data pribadi dengan cara mengeluarkan suatu
Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi yang sebenarnya
regulasi ini masih menjadi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data
Pribadi (RUU PDP) namun hingga kini belom adanya kejelasan kapan
disahkannya Rancangan Undang-Undang tersebut. Rancangan Undang-
Undang ini terdapat aturan yang mengatur hak pemilik data pribadi yang
dijelaskan dalam Pasal 4 dimana pemilik data pribadi berhak untuk meminta
informasi tentang kejelasan identitas dasar kepentingan hukum, tujuan
permintaan dan penggunaan data pribadi, dan akuntabilitas pihak yang
meminta data pribadi. Pada pasal 8 juga menyebutkan bahwa pemilik data
pribadi berhak untuk mengakhiri pemrosesan, menghapus, dan/atau
memusnahkan data pribadi miliknya. Pasal 9 juga menyebutkan bahwa
pemilik data pribadi berhak menarik kembali persetujuan pemrosesan data
pribadi miliknya yang telah diberikan kepada pengendali data pribadi.

Pada Pasal 13 juga menyebutkan bahwa sang pemilik data pribadi


berhak menuntut dan menerima ganti rugi atas pelanggaran data pribadi
miliknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian pada BAB V pada BAB ini dijelaskan Kewajiban Pengendali
Data Pribadi Dan Prosesor Data Pribadi Dalam Pemrosesan Data Pribadi,
dimana pada Pasal 28 yang menyebutkan bahwa pengendali data pribadi
wajib melakukan pengawasan terhadap setiap pihak yang terlibat dalam
pemrosesan data pribadi dibawah kendali pengendali data pribadi. Pada
Pasal 29 dijelaskan bahwa pengendali data pribadi wajib memastikan
perlindungan data pribadi dari pemrosesan data pribadi yang tidak sah. Pasal
30 ayat (1) menjelaskan bahwa pengendali data pribadi wajib mencegah
data pribadi diakses secara tidak sah. Dalam Pasal 38 ayat (1) huruf d yang
menjelaskan jika si pemegang kendali data pribadi ini memperoleh datanya
98

dari perbuatannya yang melawan hukum maka ia wajib menghapus data


tersebut.

Pada ketentuan Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa penghapusan


data pribadi harus sesuai dilakukan dengan ketentuan ayat (1) peraturan
perundang-undangan. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) jika terjadinya hal
kegagalan perlindungan data pribadi, pemegang kendali data pribadi wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis dalam waktu paling lambat
3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam kepada pemilik data pribadi, dan
Menteri. Yang dimaksud pemberitahuan tertulis pada ayat (1) perihal, data
pribadi yang terungkap, kapan dan bagaimana data pribadi terungkap, dan
upaya penanganan dan pemulihan atas terungkapnya data pribadi oleh
pemegang data pribadi. Pasal 41 juga menyebutkan bahwa pemegang data
pribadi wajib bertanggung jawab atas pemrosesan data pribadi dan
menunjukkan pertanggungjawabannya dalam pemenuhan kewajiban
melaksanakan prinsip perlindungan data pribadi.

Lalu pada BAB VII ini mengatur Sanksi Administratif yang


sebagaimana disebutkan pada Pasal 50 ayat (2) yang menjelaskan sanksi
administratif dengan ketentuan ayat (1) yang berupa peringatan tertulis,
kemudian penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi, adanya
penghapusan atau pemusnahan data pribadi, harus mengganti kerugian
dan/atau denda administratif. Bagian bab VIII ini akan mengatur Larangan
Dalam Penggunaan Data Pribadi sebagaimana yang dijelaskan Pasal 51 ayat
(1), (2) dan (3) bahwa setiap orang dilarang memperoleh atau
mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan tujuan untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dapat mengakibatkan kerugian pemilik data pribadi. Ayat (2) yang
menjelaskan bahwa setiap orang dilarang secara melawan hukum
mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya. Ayat (3) yang
menjelaskan bahwa setiap orang dilarang secara melawan hukum
menggunakan data pribadi yang bukan miliknya.
99

Pasal 53 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang secara melawan


hukum menggunakan alat pemroses atau pengolah data visual yang
dipasang di tempat umum dan/atau fasilitas pelayanan publik yang
digunakan untuk mengindentifikasi seseorang. Lalu disebutkan pula pada
Pasal 54 ayat (2) bahwa setiap orang dilarang menjual atau membeli data
pribadi. Bagian BAB X mengatur Penyelesaian Sengketa Dan Hukum
Acara, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 56 ayat (1) bahwa
penyelesaian sengketa perlindungan data pribadi dilakukan melalui
arbitrase, pengadilan, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIII yang mengatur Ketentuan Pidana, sebagaimana bunyi


pada Pasal 61 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), bahwa setiap orang yang
dengan sengaja memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan
miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum atau dapat mengakibatkan kerugian Pemilik Data
Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) hal ini tertera pada ayat
(1). Pada ayat (2) bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah). Penjelasan pada ayat (3) bahwa setiap orang yang
dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang
bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).

Pasal 62 juga menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja


dan melawan hukum memasang dan/atau mengoperasikan alat pemroses
atau pengolah data visual di tempat umum atau fasilitas pelayanan publik
100

yang dapat mengancam atau melanggar perlindungan Data Pribadi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 63 juga menyebutkan
bahwa setiap yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan alat
pemroses atau pengolah data visual yang dipasang di tempat umum dan/atau
fasilitas pelayanan publik yang digunakan untuk mengidentifikasi
seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliah rupiah).

Dijelaskan juga pada Pasal 64 ayat (2) bahwa setiap orang yang
dengan sengaja menjual atau membeli Data Pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah). Pasal 65 juga menyebutkan bahwa selain dijatuhi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 64 terhadap
terdakwa juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan
keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak
pidana dan pembayaran ganti kerugian.

Dilihat dari isinya yang telah dipaparkan sebelumnya, maka patut


kiranya untuk didorong segera mengesahkan Undang-Undang Data Pribadi,
karena upaya ini merupakan hal yang sangat urgent untuk diterapkan di
Indonesia. Diperlukan adanya penguatan regulasi dalam hal ini Undang-
Undang Perlindungan Data ialah untuk menjamin bahwa setiap individu
mempunyai kemampuan untuk mengawasi dan mengakses informasi
pribadi mereka yang dikumpulkan oleh pihak lain serta untuk dapat
memberikan perbaikan jika diperlukan. Perihal ini dimaksudkan untuk
menjamin bahwa setiap individu mengetahui informasi mengenai mereka
yang ada pada pihak lain, serta untuk mendorong pengumpul data (data
collector) untuk lebih menjaga privasi informasi pribadi yang mereka
101

kumpulkan tersebut, sehingga dengan adanya regulasi tersebut diharapkan


dapat menjadi upaya represif dan prefentif untung menangani masalah
fintech ilegal yang ada di Indonesia.

BAB V

PENUUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah Penulis


paparkan pada Bab-bab sebelumnya, untuk menjawab pokok permasalahan
yang telah penulis rinci, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Keberadaan Fintech P2P Lending selain membawa manfaat juga terlalu


banyak menimbulkan beberapa problematika, yaitu maraknya Fintech
P2P Lending ilegal, suku bunga yang tinggi, dan perlakuan intimidasi
serta penagihan dengan cara mengancam. Fintech P2P lending ilegal
yang menjadi dasar kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, kenyataannya
dalam kasus Fintech P2P Lending ilegal yang lebih mendominasi
terhadap pelanggaran terhadap pelanggaran. Fintech P2P Lending ilegal
yang selalu melanggar dengan melakukan hal-hal melawan hukum
seperti penagihan intimidasi, mengirimkan foto-foto debitur, video dan
102

pesan berbau pornografi, memprovokasi dengan kalimat-kalimat


pelecehan serta mengancam. Kegiatan Fintech P2P Lending di
Indonesia saat ini telah memiliki payung hukum dengan dikeluarkannya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi serta
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Meskipun OJK telah
mengeluarkan mekanisme pendaftaran dan perizinan bagi layanan
penyedia pinjaman berbasis teknologi informasi yang diatur dalam
ketentuan POJK 77/2016 tersebut, namun dalam faktanya masih
terdapat praktek Fintech P2P Lending yang tidak berizin OJK atau
ilegal di Indonesia saat ini. Bercermin pada masih banyaknya praktek
Fintech P2P Lending yang tidak berizin OJK meski telah dilakukan
upaya melalui edukasi maupun pemblokiran akses, hal ini menegaskan
bahwa pelaksanaan penanggulangan Fintech P2P Lending ilegal di
Indonesia saat ini dianggap kurang efektif.
2. Upaya penguatan regulasi Fintech P2P Lending di Indonesia adalah
dengan cara segera mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data
Pribadi, dikarenakan dalam Undang-undang tersebut terdapat
mekanisme sanksi dan hukuman bagi para Fintech P2P Lending ilegal
yang melakukan tindakan intimidatif, sehingga itu merupakan upaya
preventif dan represif.

B. Rekomendasi

1. Konsep regulasi Fintech P2P Lending ini harus diperkuat, karena masih
memunculkan masalah masalah yang beragam, dengan memberikan
sanksi yang tegas dalam regulasi setingkat undang-undang.
2. Otoritas Jasa Keuangan harus lebih memperkenalkan atau memberikan
informasi penting mengenai edukasi layanan Fintech P2P Lending agar
dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar agar terhindar dari hal-hal
103

yang merugikan yang dilakukan oleh perusahaan Fintech P2P Lending


ilegal.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Adi Nugraha, Radian. Analisis Yuridis Mengenai Perlindungan Data Pribadi

dalam Cloud Computing System Ditinjau dari Undang-Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik, Universitas Indonesia, (2012).

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).

Jakarta: Toko Gunung Agung, 2002.

Achmad Ali, Achmad. Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta:

Yarsif Watampone, 1998.

Andreae, S. J Fockema. Rechtsgeleerd Handwoordenboek. Groningen/Batavia: J.B.

Wolters, 1948.

Asshiddiqqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi

Press, 2006.

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.


104

Dewi, Shinta. CyberLaw: Perlindungan Privasi atas Informasi Pribadi dalam E-

Commerce Menurut Hukum Internasiona. Bandung: Widya Padjajaran,

2009.

Dorfleitner, dkk. Fintech in Germany. German: Springer International Publishing,

2017.

Gazali, Djoni. S dan Usman, Rachmadi. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika,

2012.

Gautama, Sudargo. Indonesian Business Law. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina

Ilmu, 1987.

H.S, Salim. Hukum Kontrak. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005.

Iman, Nofie. Financial Technology dan Lembaga Keuangan. Yogyakarta:

Gathering Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri, 2016.

Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,

2008.

Kansil, Cst, dkk. Kamus Istilah Hukum. Jakarta, 2009.

Kantaatmadja, Micke Komar. CyberLaw: Suatu Pengantar. Bandung: ELIPS,

Cetakan Pertama, 2001.

Kusnadi, Moh, dan Ibrahim Harmaily. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta:

Sinar Bakti, 1998.

Margaretha, Farah. Dampak Elektronik Banking Terhadap Kinerja Perbankan

Indonesia Keuangan dan Perbankan. Jakarta, 2015.


105

Marzuki, Mahmud Peter. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2008.

Marzuki, Mahmud Peter. Penelitian Hukum edisi revisi. Jakarta: Prenademedia

Group, 2016.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty,

2003.

Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kompilasi Kajian),

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, Kuntana. Beberapa Masalah Hukum Tata

Negara Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 1997.

Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Ind-Hill,

1992.

Maskun. Kejahatan Siber Cyber Crime. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,

2013.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2004.

Muljadi, Kartini, Widjaja, Gunawan. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.

Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2002.

Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Satrio, J. Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya). Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 1992.

Sihombing, Jonker. Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan. Bandung: PT

Alumni, 2010.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Gransindo, 2006.


106

Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2006.

Syahrani, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti,

1999.

S, Burhannudin. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal.

Malang: UIN Maliki Press, 2011.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Gratika, Cetakan Ketiga, 2000.

Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Soeprapto, Maria Farida Indrat. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: Kanisius,

2007.

Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2004.

Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Widjaya, I.G. Rai. Merancang Suatu Kontrak (contract drafting): Teori dan

Praktek. Jakarta: Kesaint Blanc, Cetakan Pertama, 2002.

Skripsi, Jurnal, dan Artikel

Aaron, M. dkk. Fintech : Is this time different? A framework for assessing risks and

opportunities for Central Banks. Bank of Canada Staff Discussion Paper,

July 10, 2017. Canada : Bank of Canada.

Agarwal, Sumit, dan Zhang, Jian. Fintech Lending and Payment Innovation: A

Review, Asia Pasific. (Journal of Studies). (2020).


107

Ardela, Fransiska. Klasifikasi Fintech, http://www.finansialku.com/klafisikasi-

fintech-menurut-bank-indonesia/. diakses pada 9 Februari 2021.

Anggraeni, RR Dewi, dkk. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Melalui Internet (E-

Commerce) Ditinaju Dari Aspek Hukum Perdataan. Jurnal Sosial &

Budaya Syar’I. Vol. 6. No. 3. (2019).

Anugerah, Pijar. Pinjaman Online: ‘Bagaimana Saya Menjadi Korban

Penyalahgunaan Data Pribadi’, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-

57046585. diakses pada 21 Agustus 2021.

Assifa, Farid. Sebar Foto Bugil Jadi Alat Teror Pinjol Pada 2 Korbannya Guru

Wanita,

https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/06/074500565/sebar-foto-

bugil-jadi-alat-teror-pinjol-pada-2-korbannya-guru-wanita-?page=all.

diakses pada 28 Juli 2021.

Batrayudha, Dio. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Financial

Technology Berbasis Peer To Peer Lending Berdasarkan Hukum Positif

Di Indonesia.” Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, 2019.

Budiansyah, Arif. Praktik Fintech Ilegal Ternyata Bosnya Orang Asing, Parah!,

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20191227104104-37-

125955/praktik-fintech-ilegal-ternyata-bosnya-orang-asing-parah. diakses

pada 9 April 2021.


108

Bulletin Assosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia (APJII), edisi-07 tahun

2018, https://www.apjii.or.id/content/read/39/410/Hasil-Survei-Penetrasi-

dan-Perilaku-Pengguna-Internet-Indonesia-2018. diakses pada 18

September 2020.

Brian A. Garner, Brian. A. Black Law Dictionary. USA: West Group, 2009.

CNN Indonesia. RupiahPlus Akui Pelanggaran Penagihan Utang ke Peminjam,

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180723202907-185-

316410/rupiahplus-akui-pelanggaran-penagihan-utang-ke-peminjam.

diakses pada 01 Januari 2021.

CNN Indonesia. Korban Pinjol Dituduh Jadi Bandar Narkoba Agar Bayar Utang,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210729162510-12-

673895/korban-pinjol-dituduh-jadi-bandar-narkoba-agar-bayar-utang.

diakses pada 21 Agustus 2021.

Darman, Financial Technology (Fintech): Karakteristik dan Kualitas Pinjaman pada

Peer to Peer Lending di Indonesia”, Jurnal Manajemen Teknologi. Vol.

18, 2. (2009).

Ernasari, dkk, Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial

Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016), Diponogoro Law Journal, Vol. 6, 2017.

Financial Stability Board, Fintech Credit : Market Structure, Business Models and

Financial Stability Implications. (2017).


109

Franedya, Roy. Empat Jenis Fintech di Indonesia,

http://www.cnbcindonesia.com/fintech/20180110145800-37-1126/ini-

dia-empat-jenis-fintech-di-indonesia. diakses pada 9 Februari 2021.

Habibunnajar, Rizal. “Problematika Regulasi Pinjam Meminjam Secara Online

Berbasis Syariah Di Indonesia.” Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020..

Heriani, Fitri Novia. Berkaca Dari Kasus Vloan, Masyarakat Diminta Waspada

Lakukan Pinjaman Online,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c389ac751125/berkaca-

dari-kasus-vloan--masyarakat-diminta-waspada-lakukan-pinjaman-

online. diakses pada 25 Mei 2021.

Hidayat, Ali Noor. Jerat Rentenir Online, https://www.tempo.co/jerat-rentenir-

online/index.html. diakses pada 10 Februari 2021.

Hidayatullah, Taufiq. Portal Perlindungan Konsumen Fintech,

https://lokadata.id/artikel/ojk-segera-luncurkan-portal-perlindungan-

konsumen-fintech. diakses pada 4 Mei 2021.

Hsueh, Hsiu-Wen. Effect of Fintech on The Productivity in The Taiwan Banking

Industry. International Journal of e-Education, e-Bussiness, e-

Managament and e-Learning. Vol. 7, 4. (2017).


110

Hutabarat, Arbonas. Siaran Pers Bank Indonesia,

https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-

release/Pages/sp_179715.aspx. diakses pada 05 februari 2021.

Investri, https://blog.investree.id. diakses pada 31 Oktober 2020.

Jannah. Cara P2P Lending Ilegal Asal Cina Tagih Utang, https://tirto.id/cara-p2p-

lending-ilegal-asal-cina-tagih-utang-sebar-konten-porno-ddMe. diakses

pada 11 Februari 2021.

Jannah, Selfie Miftahul. Cara P2P Lending Ilegal Asal Cina Tagih Utang: Sebar

Konten Porno, https://tirto.id/cara-p2p-lending-ilegal-asal-cina-tagih-

utang-sebar-konten-porno-ddMe. diakses pada 30 Desember 2020.

Juliyani PR, Ratna H. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending.

Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. Universitas Islam Indonesia, (2018).

Kang, Jerry. Information Privacy in Cyberspace Transaction dalam Stanford Law

Review. Vol. 50. (1998).

Kamus Bahasa Indonesia Online,

http://kamusbahasaindonesia.org/data%2520pribadi/mirip. diakses pada

01 Juli 2021.

Kennedy, Posma Sariguna Johson. Tantangan terhadap Ancaman Disruptif dan

Financial Technology dan Peran Pemerintah dalam Menyikapinya. FKBI,

edisi 6. (2017).
111

Khairandy, Ridwan. Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi

Elektronik Commerce. Artikel Jurnal UII. (2001).

Kuspranigrum, Emilda. Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam UU ITE Ditinjau

dari Pasal 1320 KUHPerdata dan UNCITRAL Model Law On Electrinic

Commerce. Jurnal Risalah. Vol. 7. No. 2. (2011).

Latumahina, Rosalinda Elsina. Aspek Hukum Perlindungan Data Pribadi di Dunia

Maya. Jurnal Gema Aktualita. Vol. 3. No. 2. (2014).

Mandiri Virtual Account, https://www.bankmandiri.co.id/virtual-account. diakses

pada 23 Januari 2021.

Machrusyah, Safira. Dkk. Optimalisasi Penanggulangan Fontech Peer To Peer

Lending Ilegal Melalui Intersectoral Coordinating Protocol Guna

Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Jurnal Gema Keadilan. Vol. 7. Edisi.

I. (2020).

M.A, Muhammad Erieq. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Fintech Lending

Yang Di rugikan Dalam Transaksi Peminjaman Uang Secara Online.”

Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Jember, 2019.

Munir, Abu Bakar. “The Malaysian Persona IData Protection Bill”,

http://profabm.blogspot.com/20-09/12/malaysian-personal-data-

protection-bill.html. diakses pada 03 Juli 2021.


112

Nugrahaningsih, Widi. Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen terhadap Bisnis Online. Jurnal Serambi

Hukum.Vol. 11 No. 01. (2017).

N.A.M Sihombing, Eka. Menyoal Ketentuan Usul Pindah Pegawai Negeri Sipil Di

Lingkungan Pemerintah Daera Kabupaten Nias Barat, Jurnal Penelitian

Hukum De Jure. (2013).

New Data Privacy Law in Malaysia,

https://www.bakermckenzie.com/en/rrsingaporenewdataprivacylawaug10

. diakses pada 03 Juli 2021.

Otoritas Jasa Keuangan, Perkembangan Fintech Lending,

https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-

statistik/fintech/Documents/Perkembangan%20Fintech%20Lending%20Peri

ode%20Juli%202019. pdf . diakes pada 19 Oktober 2020.

Otoritas Jasa Keuangan Departemen Perlindungan Konsumen, Kajian Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech.

Jakarta : Otoritas Jasa Keuangan, 2017.

Prabowo, Haris. Cerita Orang Pinjam Uang Yang Diteror Perusahaan Fintech,

https://tirto.id/cerita-orang-pinjam-uang-yang-diteror-perusahaan-fintech-

c9cU. diakses pada 19 Oktober 2020.


113

Pribadiono, Agus. Transportasi Online vs Transportasi Tradisional Non-Online

Persaingan Tidak Sehat Aspek Pemanfaatan Aplikasi oleh Penyelenggara

Online. Lex Jurnalica (Journal Of Law). (2016).

Porta, Rafael La. Investor Proctection And Corporate Governance. Jurnal Of

Financial Economics. No. 58. 1999.

Peer To Peer Lending: Potensi Crowdfunding yang Belum Tersentuh,

https://www.investree.id/blog/marketplace-lending/peer-to-peer-lending-

potensi-crowdfunding-yang-belum-tersentuh. diakses pada 23 Maret

2021.

Rahma, Nabila Aulia, dkk. Responsive Law System Of Financial Technology:

Upaya Rekonstruksi Konsep Penyelesaian Sengketa Peer To Peer

Lending. Jurnal Legislatif. Vol. 3. No. 2. (2019).

Robert J, Janosik, dkk. Regulations are issued by various federal government

departments and agencies to carry out the intent of legislation enacted by

Congress, Encyclopedia of the American Judicial System, Screebner. Vol.

2, No. 1. (1987).

Santi, Enama, dkk. Pengawasan Otorits Jasa Keuangan Terhadap Financial

Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016). Diponegoro Law Jurnal. Vol. 6. No. 3. (2017).


114

Sautunnida, Lia. Urgensi of Personal Data Protection Law in Indonesia:

Comparative Study of English and Malaysia Law. Kanun Jurnal Ilmu

Hukum. Vol. 20. No. 2. (2018).

Siaran Pers Satgas Waspada Investasi. SP 02/SWI/2020.

Siaran Pers. OJK Minta Masyarakat Berhubungan Dengan Fintech

Terdaftar/Berizin Serta Waspadai Fintech Lending Ilegal,

https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-

pers/Documents/Pages/Siaran-Pers-OJK-Minta-Masyarakat-

Berhubungan-dengan-Fintech-Terdaftar-Berizin-serta-Waspadai-Fintech-

Lending-Ilegal/SIARAN%20PERS%2084%20P2P%20final.pdf. diakses

pada 10 Februari 2021.

Sihombing, Eka N.A.M. Menyoal Ketentuan Usul Pindah Pegawai Negeri Sipil Di

Lingkungan Pemerintah Daera Kabupaten Nias Barat. Jurnal Penelitian

Hukum De Jure. No. 511. (2013).

Sugangga, Rayyan dan Sentoso, Erwin Hari. Perlindungan Hukum Terhadap

Pengguna Pinjaman Online (PINJOL) Ilegal, Jurnal Pajoul. Vol. 1. No. 1.

(2020).

Syafina, Dea Chadiza. Kasus RupiahPlus, Saat Urusan Utang Meneror Data

Pribadi, https://tirto.id/kasus-rupiahplus-saat-urusan-utang-meneror-data-

pribadi-cNVl. diakses pada 01 Januari 2021.


115

Tempo.Co. Kisah Melia Terbelit Utang Rp. 30-an Juta di 37 Pinjaman Online,

https://bisnis.tempo.co/read/1240280/kisah-melia-terbelit-utang-rp-30-

an-juta-di-37-pinjaman-online?page_num=2. diakses pada 01 Januari

2021.

Tsuroyya, Chusnus, dkk. RI-MA Integrated: Analysis of Justice and Legal Certain

by Using Three Legal of System’s Role dalam Membangun Infrastruktur

Guna Mensejahterakan Masyarakat Pebatasan (Studi Kasus di

Kalimantan). Fakultas Hukum Brawijaya. (2018).

Wijayani, Regita. “Perlindungan Hak Konsumen Selaku Debitur dan Kreditur pada

Transaksi Peer to Peer (P2P) Lending Financial Technology.” Tesis

Magister Gadjah Mada. (Yogyakarta, 2017).

Yusuf, Muhammad. “Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pada Layanan

Pinjaman Uang Berbasis Financial Technology.” Skripsi S-1 Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2019.

Yusoff, Zuryati Mohamed. The Malaysian Personal Data Protection Act 2010: A

Legislation Note. New Zealand Journal of Publik and International Law.

Vol. 9. No. 1. (2011).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ps.,1338.


116

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Teknologi

Finansial, PBI No. 19/12/PBI/2017, Ps., 1.

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Teknologi

Finansial, PBI No. 19/12/PBI/2017, Ps., 3.

Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK No.

77/POJK/01/2016, Ps.1.

Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK No.

77/POJK.01/2016, Ps.1.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan

Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro

Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika, Permenkominfo Nomor 20 Tahun

2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik.

Anda mungkin juga menyukai