Anda di halaman 1dari 87

PROSES PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah Parung Benying)

Oleh:

ZAKIA AL FARHANI
106043201358

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432/2011
PROSES PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah Parung Benying)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:

ZAKIA AL FARHANI
NIM: 106043201358

Dibawah Bimbingan,
Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag Dr. Euis Nurlaelawati, MA


NIP. 196511191998031002 NIP. 197007041996032002

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PROSES PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) DALAM


PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah
Parung Benying)“. Telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 7 April 2011. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
pada program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH).

Jakarta, 7 April 2011

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM


NIP.195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, MAg


NIP: 196511191998031002

Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi MSi


NIP: 197412132003121002

Pembimbing I : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag


NIP. 196511191998031002

Pembimbing II : Dr. Euis Nurlaelawati, MA


NIP. 197007041996032002

Penguji I : Prof. Dr. Muhammad Abduh Malik )


NIP. 150094391

Penguji II : Afwan Faizin, MA


NIP. 197210262003121001
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 7 April 2011

Zakia Al Farhani
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الر حمن الر حيم‬

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin tiada

henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat seiring salam

semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan Muhammad SAW.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh

dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang

maksimal dari penulis. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis

didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri

karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tersusun bukan sematamata

hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi dari semua pihak. Oleh

karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag Selaku Ketua Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum dan bapak Fahmi Muhammad Ahmadi,

S.Ag, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan

Hukum;

i
3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag dan Ibu Euis nurlaelawati, SH

selaku dosen pembimbing skripsi;

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Abduh Malik dan Bapak Afwan Faizin, MA

selaku dosen penguji sidang munaqasyah;

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta;

6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta;

7. Pimpinan Yayasan Siran Malik Pesantren Al Falah Parung Benying beserta

seluruh pengurus yang telah memberi informasi dalam penulisan skripsi ini;

8. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Djasiman Sastra Atmadja, SH. dan

Ibunda Hj. Widaningsih Ruslan, SH. yang telah mencintai saya dengan

segenap jiwa dan raga, memberikan segala yang mereka bisa, baik doa

maupun dukungan sehingga dengan ridha mereka saya bisa sampai seperti ini;

9. Kedua adikku, calon Dokter Aulia dan Dethia calon Maestro, dan juga seluruh

keluarga besar yang terus menerus memberikan semangat luar biasa;

10. Sahabat seperjuangan, khususnya merlie, halimah dan semuanya yang telah

sarjana terlebih dahulu. Teman-teman Perbandingan Mazhab dan Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2006;

11. Serta semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

ii
Sebagai akhir kata semoga Allah SWT memberikan balasan atas

bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan menjadi berkah

dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 7 April 2011

Zakia Al Farhani

iii
DAFTAR ISI

KAT PENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 6

D. Kajian Pustaka Terdahulu ............................................................ 6

E. Metode Penelitian ........................................................................ 10

F. Sistematika Penulisan .................................................................. 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Pengangkatan Anak .................................................. 14

B. Sejarah Pengangkatan Anak ........................................................ 17

C. Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam ................................... 21

1. Syarat Pengangkatan Anak ................................................... 22

2. Tujuan Pengangkatan Anak .................................................. 24

3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ..................................... 25

D. Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat .................................... 30

1. Praktik di Beberapa Daerah .................................................. 31

2. Kedudukan dalam Hukum ................................................... 33

iv
BAB III YAYASAN SIRAN MALIK PESANTREN AL-FALAH

PARUNG BENYING

A. Profile Yayasan Siran Malik ........................................................ 37

1. Sejarah Berdirinya Yayasan Siran Malik ............................... 37

2. Struktur Organisasi ................................................................. 40

B. Kegiatan-Kegiatan ....................................................................... 41

1. Pengurusan Anak.................................................................... 42

2. Pengangkatan Anak ................................................................ 44

BAB IV PROSES PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) PADA

YAYASAN SIRAN MALIK

A. Peraturan Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia ............... 46

1. UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ...... 47

2. PP RI No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan anak ................................................................ 51

B. Praktik Pengangkatan Anak Pada Yayasan Siran Malik ............ 57

1. Faktor Pengangkatan Anak ................................................... 61

2. Jumlah Kasus ......................................................................... 62

3. Gambaran Kasus.................................................................... 63

C. Pengangkatan Anak Menurut Aturan Hukum Positif .................. 65

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ............................................. 69

v
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................. 72

B. Saran ............................................................................................ 73

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 75

LAMPIRAN

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Salah satu tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah untuk

memperoleh keturunan bagi kedua pasangan suami istri. Begitu pentingnya

keturunan dalam kehidupan keluarga maka keluarga yang tidak atau belum

dikaruniai anak akan berusaha untuk mendapatkan keturunan. Pengangkatan anak

merupakan salah satu peristiwa hukum didalam memperoleh keturunan.

Adapun alasan dilakukannya pengangkatan anak adalah mempertahankan

keutuhan ikatan perkawinan dan untuk kemanusiaan dan juga untuk melestarikan

keturunan. Pengangkatan anak dilakukan karena adanya kekhawatiran akan

terjadinya ketidak harmonisan suatu perkawinan dan suatu keluarga karena tidak

adanya keturunan.

Tingginya frekuensi perceraian, poligami dan pengangkatan anak yang

dilakukan di dalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan yang

tidak menghasilkan keturunan. Jadi, seolah-olah apabila suatu perkawinan tidak

memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. Dengan

1
2

demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada keturunan (anak), maka

tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat

berjalan.1

Kadang kala sebuah keluarga dikatakan harmonis dan lengkap jika

anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Anak pada hakikatnya merupakan

anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan buah hati dari orang tuanya yang tiada

ternilai harganya, dan menjadi generasi penerus orang tuanya. Pada umumnya

perkawinan tidak akan puas bilamana tidak mempunyai anak, sehingga berbagai

usaha dilakukan untuk memperolehnya. Pengangkatan anak adalah salah satu

usaha untuk memiliki anak, mengambil serta mengasuh anak hingga menjadi

orang dewasa yang mandiri sehingga terjalinlah hubungan rumah tangga antara

bapak dan ibu angkat disatu pihak dan anak angkat di lain pihak.

Mahmud Syaltut, ulama dan pemikir Islam dari Mesir menyatakan bahwa

pengangkatan anak dalam konteks mengangkat anak orang lain yang diperlakukan

seperti memperlakukan anak sendiri dalam hal kasih sayang, nafkah sehari hari,

pendidikan dan lain-lain, tanpa harus menyamakannya sebagai anak kandung,

maka pengangkatan seperti ini dalam Islam dibenarkan.2

Sebelum Islam datang, pengangkatan anak dikalangan bangsa Arab telah

menjadi tradisi turun menurun yang dikenal dengan Tabanni 3 yang artinya

1
Soeryono Soekanto, Hukum Adat indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), h. 251.
2
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Mesir: Dar al Syuruk, 1991), h.321.
3
Muderis Zaini, “Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), Cet Ke-4, h. 53.
3

mengambil anak. 4 Atau mengambil anak orang lain untuk diberi status anak

kandung, sehingga ia berhak memakai nasab orangtua angkatnya dan mewarisi

harta peninggalan dan hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orangtua.

Pengangkatan anak secara umum dilakukan dengan motif yang berbeda-

beda, diantaranya adalah keiginanan untuk mempunyai anak, adanya harapan atau

kepercayaan akan mendapatkan anak, adanya keinginan memiliki anak lagi yang

diharapkan dapat menjadi teman bagi anak yang telah dimilikinya, sebagai rasa

belas kasihan terhadap anak terlantar, dan juga terhadap anak yatim piatu. 5

Pengangkatan anak biasanya dilakukan karena kekhawatiran akan terjadinya

keretakan hubungan yang telah dibinanya. Selain itu juga untuk mempertahankan

keutuhan ikatan perkawinan dan untuk mendapatkan keturunan.

Seperti di daerah Minahasa, alasan pengangkatan anak selain untuk

meneruskan keturunan juga ada maksud lain yaitu untuk memperoleh tenaga kerja

di rumah. Di daerah Nias, Gayo, Kalimantan dan Lampung alasan pengangkatan

anak di luar dan pada umumnya karena khawatir akan habis mati kerabatnya. 6

Lain halnya dengan daerah Jakarta, umumnya pengangkatan anak dilakukan

karena tidak mempunyai keturunan, ada juga yang mengangkat anak sebagai

pancingan agar dapat mempunyai keturunan sendiri.7

4
Ibrahim Anis dan Abd.halim muntasir et al., Al-Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: majma’ al-
lughah al-arabiah, 1392h/1972m), jilid II, h. 72.
5
M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1985), h. 10.
6
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, h.9.
7
B. Bastian Tafal S.H., Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya Di Kemudian Hari, (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), Ed.1, Cet.ke-2, h .54.
4

Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebudayaan masyarakat

dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut

kepentingan orang per orang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga

pengangkatan anak yang telah menjadi bagian budaya masyarakat, akan

mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan

serta perkembangan masyarakat itu sendiri.

Hal penting yang perlu digaris bawahi bahwa pengangkatan anak harus

dilakukan dengan proses hukum dengan produk penetapan pengadilan. Jika

hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka

pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut

merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang

hidup di tengah–tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu di

kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi

orang tua angkat. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan

tersebut, telah berkembang baik di lingkungan Pengadilan Negeri maupun dalam

lingkungan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. 8

Dari apa yang dikemukakan sebelumnya, maka jelaslah bahwa

pengangkatan anak yang sesuai dengan aturan di Indonesia adalah pengangkatan

anak yang di tetapkan di pengadilan, baik di pengadilan negeri maupun

pengadilan agama. Namun masih banyak orang tua angkat yang tidak

8
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 12.
5

mengindahkan aturan tersebut, mereka mengangkat anak atas dasar suka sama

suka antara orang tua kandung dengan orang tua angkat seperti yang dilakukan

oleh orang tua angkat pada yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah. Oleh karena

itu, berdasarkan pengamatan penulis mengenai permasalahan yang telah

dipaparkan di atas, penulis ingin sekali membahas bagaimana proses dari

pengangkatan anak tersebut mengingat maraknya pengangkatan anak yang terjadi

di Indonesia. Dan di sini penulis ingin mengambil contoh pengangkatan anak

yang dilakukan pada suatu yayasan yaitu yayasan Siran Malik. Maka dari itu

penulis tertarik untuk menerangkannya dalam penelitian ini, dengan judul:

“PROSES PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) MENURUT HUKUM

ISLAM (Studi Kasus Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah Parung

Benying).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini penulis hanya membatasi masalah yang

berkaitan pada proses pengangkatan yang ada di Yayasan Siran Malik Pondok

Persantren Al- Falah, maka dari itu untuk memahami masalah yang akan dibahas

dalam skripsi ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pelaksanaan pengangkatan anak (adopsi) pada yayasan

Siran Malik ?

2. Apa akibat hukum dari proses pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan

aturan hukum di Indonesia ?


6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana proses pengangkatan anak di Indonesia

khususnya pada yayasan Siran Malik.

2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari proses pengangkatan anak

yang tidak sesuai dengan aturan hukum di Indonesia

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain

adalah:

1. Agar masyarakat tahu bagaimana proses pengangkatan anak menurut hukum

di Indonesia

2. Agar masyarakat tahu apa akibat hukum dari pengangkatan anak yang tidak

sesuai dengan aturan hukum di Indonesia.

D. Kajian Pustaka Terdahulu

Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang adopsi yang dikaitkan

dengan perlindungan anak. penelitian tersebut misalnya adalah penelitian yang

dilakukan oleh Husnul Aulia dalam skripsinya yang berjudul Adopsi Menurut

Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak (Studi Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Positif).9 Penulis

menyimpulkan bahwa antara hukum Islam dan Undang-Undang tidak

9
Husnul Aulia, “Adopsi Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (Studi Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Positif),”
(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007).
7

membenarkan orang yang mengangkat itu berbeda agama dengan anak yang

diangkat. Adapun perbedaan antara keduanya, bahwa hukum Islam tidak ada tata

cara khusus untuk melakukan pengangkatan anak. Yang terpenting adalah

mengumumkannya kepada masyarakat banyak. Sedangkan dalam Undang-

Undang pengangkatan anak diatur dalam suatu aturan tertentu.

Kemudian penelitian lain menyangkut pengangkatan anak adalah

Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3 Tahun 2006 dan Akibat Hukumnya yang

ditulis oleh Reyza Amalia. 10 Penulis membahas prosedur pengangkatan anak

sebelum dan sesudah UU No. 3 Tahun 2006. Di sini juga penulis menyimpulkan

bahwa setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 adanya perbedaan

kewenangan, adopsi anak sebelum berlakunya Undang-Undang Tahun 2006

merupakan kewenangan Pengadilan Negeri sedangkan setelah berlakunya

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, adopsi anak bagi yang beragama Islam

merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Adapun akibat hukum pengangkatan

anak setelah berlakunya undang-undang adalah tidak adanya akibat hukum dalam

hal hubungan darah, hubungan wali-mewali, dan hubungan waris-mewaris dengan

orang tua angkatnya, tetapi masih mempunyai hubungan dengan orang tua

kandungnya.

Penelitian selanjutnya berjudul Adopsi dalam Perspektif Hukum Islam

Dan Adat Betawi Serta Implikasinya Terhadap Kewarisan yang ditulis oleh

10
Reyza Amelia, “Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3 Tahun 2006 dan Akibat
Hukumnya,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007).
8

Lenni.11 Penulis menyimpulkan bahwa antar hukum Islam dan adat Betawi dalam

kewarisan memiliki kesamaan, diantara anak angkat tidak mendapat bagian waris

dari orang tua angkatnya tapi biasanya anak angkat diberi bagian dalam bentuk

hibah atau wasiat. Adapun nasab anak angkat menurut adat Betawi tetap

mengikuti orang tua aslinya.

Skripsi lain tentang adopsi adalah Adopsi Antar Negara dalam

Hubungannya Dengan Sema No. 4 Tahun 1989 dan Hukum Islam (Analisis

Putusan No. 213/Pdt/P/2006/PN-JAKSEL) yang ditulis oleh Ani Khoironi. 12

Penulis mengangkat masalah adopsi antara negara hubungannya dengan SEMA

No. 4 Tahun 1989, dimana penulis memaparkan tata cara adopsi antara negara

dan akibat hukumnya dan menganalisa putusan hakim serta mengaitkannya

dengan Sema dengan Undang-Undang yang berkaitan.

Kemudian dalam skripsi yang ditulis oleh suwandi berjudul Tinjauan

Hukum Islam dan Hukum Adat Tentang Adopsi dan Akibat Hukumnya (Studi

Kasus Kampung Sidakaton Kecamatan Dukuhteri Kabupaten Tegal), 13 penulis

menyimpulkan bahwa adopsi dalam hukum Islam membawa kontroversi pada

hukum Adat di Kampung Sidakaton Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal yang

11
Lenni, “Adopsi dalam Perspektif Hukum Islam Dan Adat Betawi Serta Implikasinya
Terhadap Kewarisan,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2006).
12
Ani khoironi, “Adopsi Antar Negara dalam Hubungannya Dengan Sema No. 4 Tahun 1989
dan Hukum Islam (Analisis Putusan No. 213/Pdt/P/2006/PN-JAKSEL),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009).
13
Suwandi, “Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Adat Tentang Adopsi dan Akibat
Hukumnya (Studi Kasus Kampung Sidakaton Kecamatan Dukuhteri Kabupaten Tegal),” (Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008).
9

mana anak adopsi memiliki hubungan muhrim bukan mahrom yang berdampak

pada adanya larangan kawin antara anak adopsi dengan orangtua angkatnya dan

juga menyangkut masalah nasab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.

Selanjutnya skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Adopsi Anak Di Luar Nikah yang ditulis oleh M. Firmansyah14 menyimpulkan

bahwa anak adopsi di luar nikah sama-sama tidak menisbatkan pada orang tua

angkatnya, sama layaknya anak adopsi dan anak sah orang lain. Anak adopsi

diluar nikah tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Mengenai

nasab anak adopsi diluar nikah menurut Islam hanya menisbatkan kepada ibu

kandungnya saja bukan pada ayahnya. Dan dalam masalah kewarisan hanya

mendapat warisan dari ibu kandungnya saja dan keluarga dari ibu kandungnya.

Dan juga disini, Islam membolehkan pengangkatan anak sah maupun anak luar

nikah apabila akibat hukumnya tidak menyalahi prinsp-prinsip Syari’ah.

Kemudian penelitian lain tentang adopsi adalah Status Hukum Anak

Angkat Dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917 Menurut Hukum Islam dan

Hukum Adat Betawi yang ditulis oleh Ridwan.15 Penulis menyimpulkan bahwa

dalam praktek adopsi yang diatur dalam Staatsblad adalah bahwa anak angkat

dijadikan anak yang dilahirkan dari orang tua angkatnya dan juga anak angkat

menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya karena dalam Staatsblad hukum

14
M. Firmansyah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adopsi Anak Di Luar Nikah,” (Skripsi
S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006).
15
Ridwan, “Status Hukum Anak Angkat Dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917 Menurut
Hukum Islam Dan Hukum Adat Betawi,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2006).
10

pengangkatan anak terputus segala hubungan perdata dan pengangkatan anak

dikenal dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917 mempunyai akibat hukum yang

bertentangan dengan hukum Islam karena menyalahi aturan Al-Qur’an.

Sedangkan dalam skripsi yang penulis buat, berbeda dari skripsi yang di

paparkan sebelumnya, penulis akan menjelaskan bagaimana proses dari

pelaksanaan pengangkatan anak tersebut khususnya menurut yayasan Siran Malik.

Dan juga di sini penulis tidak lupa menyantumkan praktek pengangkatan anak di

berbagai daerah di Indonesia. Kemudian penulis juga membahas pandangan

hukum positif mengenai pengangkatan anak yang ada di yayasan Siran Malik.

Dan juga penulis membahas apa akibat hukum pengangkatan anak yang tidak

sesuai dengan aturan pengangkatan anak di Indonesia.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Untuk membahas masalah dalam penyusunan skripsi ini, penulis perlu

melakukan penelitian guna memperoleh data yang berhubungan dengan masalah

yang akan dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas dan akurat.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis metode penelitian

yaitu metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode penelitian

lapangan (field reseach).

Melalui penelitian pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan

dengan penulisan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan,

tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.


11

Melalui penelitian lapangan ini didapatkan data-data mengenai

pelaksanaan pengangkatan anak (adopsi) serta melakukan wawancara dengan

pihak-pihak yang mengerti dan menguasai proses pengangkatan anak (adopsi)

pada yayasan Siran Malik yaitu para pengurus yayasan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif yaitu dengan melakukan analisis isi, menganalisis dengan cara

menguraikan dan mendeskripsikan isi dari penetapan yang penulis dapatkan

tersebut kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga

ditemukan kesimpulan yang sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam

penulisan skripsi ini.

Adapun jenis-jenis sumber data dalam penulisan skripsi ini terbagi

menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang

diperoleh melalui penelitian lapangan dengan wawancara langsung kepada pihak-

pihak yang terkait dengan judul penelitian. Selanjutnya jenis data sekunder

didapat dari peraturan perundang-undangan, 16 buku-buku literatur, karangan

ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.

Analisis dan pengolahan data, dilakukan dengan cara membandingkan

hasil studi pustaka dengan penelitian lapangan, kemudian dilakukan analisis yang

dituangkan dalam pembahasan masalah, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan dan

diberikan saran-saran untuk perbaikan.

16
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan,
karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian. Lihat Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi
Revisi, Cet.4 (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.302.
12

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman

penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari’ah dan Hukum

2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang

terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab I, bab ini memuat tentang pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, serta kajian pustaka terdaulu, metodelogi penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II, dalam bab ini akan dikemukakan secara umum tinjauan mengenai

pengangkatan anak yang meliputi pengertian Pengangkatan anak, kemudian

mengenai sejarah pengangkatan anak. Lalu mengenai pengangkatan anak dalam

islam, dan juga pengangkatan anak menurut hukum adat.

Bab III, pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci tentang

gambaran umum Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah, mulai dari sejarah

didirikannya yayasan, tujuan didirikannya yayasan tersebut, tak lupa pula

membahas tentang kegiatan apa saja yang ada pada yayasan tersebut, mulai dari

pengurusan anak sampai pengangkatan anak di yayasan tersebut.


13

Bab IV, bab ini merupakan bab inti yang ada dalam skripsi ini, karena

dalam bab ini akan membahas secara terperinci tentang peraturan atau undang-

undang yang berlaku di indonesia tentang pengangkatan anak, juga bagaimana

praktek pengangkatan anak yang ada di yayasan siran malik, dan juga bagaimana

hukum islam memandang praktek pengangkatan anak yang ada di yayasan siran

malik tersebut.

Bab V, bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya ilmiah lazim

dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa persoalan yang

dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian pengangkatan anak

Secara etimologis istilah pengangkatan anak atau adopsi berkembang di

Indonesia sebagai terjemahan bahasa Inggris Adoption 1 atau dalam bahasa

Belanda Adoptie 2 dan juga Adoptio 3 dalam bahasa latin yang memiliki arti

pengangkatan. Maksud dari pengangkatan anak di sini adalah mengangkat anak

untuk dijadikan anak kandung sendiri. Dalam kamus populer, adopsi memiliki arti

mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri sehingga memutuskan

hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya, serta segala urusan

perwalian dan waris jatuh kepada orang tua angkat tersebut.4

Dalam kamus bahasa Arab, adopsi berasal dari kata ( َ‫ تَبَنَى‬-‫) بَنى‬5 atau bisa

disebut juga ( ً‫ ) اتَخذه ابنا‬yang artinya mengambil anak orang lain untuk diangkat.6

Dari pengertian menurut bahasa, dapat diambil kesimpulan bahwa anak angkat

adalah anak orang lain yang diangkat menjadi anak sendiri. Jadi penekanannya

pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatannya sebagai anak

kandung.

1
Jhon. M. Echols dan Hasan Sadly, Kamus Ingris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004), cet.XXV, h. 13.
2
Subekti dan Tjorosudibio, Kamus hukum, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1970), h. 6.
3
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Ghalia, 1986), h. 28.
4
Chuzaimah Tahido Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), cet. Ke-1, h. 130.
5
Maktabah Syarkiyah, Kamus Munjid, (Beirut: Daar El- Machreq Sarl, 2000), h. 50.
6
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hadikarya Agung, tth), h. 73.

14
15

Secara terminologis ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian

pengangkatan anak atau adopsi, antara lain adalah sebagai berikut:

Menurut Wahbah Al-Zuhaidi Tabanni adalah pengambilan anak yang

dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu

dinasabkan kepada dirinya. 7 Dalam pengertian lain Tabanni adalah seseorang

laki-laki atau perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak kepada

dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua

kandungnya.8 Pengertian anak seperti demikian jelas bertentangan dengan hukum

islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang lain yang bukan

nasab-nya harus dibatalkan.

Selanjutnya menurut Busyar Muhammad, pengertian adopsi, ambil anak,

ataupun anak angkat adalah suatu perbuatan hukum dalam hukum adat, dimana

seseorang diangkat atau didudukkan dan diterima dalam suatu posisi, baik

biologis maupun sosial, yang semula hal tersebut tidak ada padanya.9

Kemudian menurut Mahmud Syaltut. Beliau berpendapat bahwa

pengangkatan anak setidaknya memiliki dua pengertian. Pengertian pertama,

pengangkatan anak adalah tindakan seseorang untuk mengangkat anak yang

diketahui bahwa anak itu termasuk anak orang lain, kemudian ia perlakukan anak

tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari kasih sayang maupun biaya

hidup, tanpa merubah status anak tersebut. Pengertian kedua, pengangkatan anak

7
Wahbah al-Zuhaidi , Al Fiqih Al-Islami Wa Al- Adilathu, Juz 9, (Bairut, Dar al Fikr al-
Ma’ashir), h. 271.
8
Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid, Al- Ahwal Al- Syahsyiyah Fi Al-Syariah Al-
Islamiyah, (Mesir: Maktabah Muhammad Ali Shobih, 1966), h. 386
9
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), h. 33.
16

adalah perbuatan seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan anak

orang lain sebagai anaknya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak

kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak sah dengan merubah status anak

tersebut menjadi anak kandung dan antara keduanya dapat saling mewarisi.10

Sedangkan Muhammad Ali al-Syais mengemukakan pendapat

bahwasannya pengangkatan anak adalah seseorang mengangkat anak orang lain

untuk dijadikan anak sendiri, dengan mengubah statusnya menjadi anak kandung

sehingga berlakulah seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung

terhadap anak tersebut.11

Kemudian pendapat selanjutnya menurut Hilman Adikusuma, S.H., dalam

bukunya Hukum Perkawinan Adat mengatakan bahwa pengangkatan anak adalah

mengangkat anak orang lain yang dilakukan oleh orang tua angkat resmi menurut

aturan hukum adat setempat dikarenakan tujuan yang positif, untuk

kelangsunggan keturunan atau pemeliharaan harta kekayaan rumah tangga.12

Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Prof. Imam Sudiyat, S.H., ia

mengatakan bahwa pengangkatan anak atau adopsi adalah perbuatan memungut

seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang

sama dengan ikatan kewangsaan biologis.13

10
Mahmud Syaltut, Al- Fatawa, (Mesir: Dar al-Syuruk, 1991), h. 321.
11
Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Mesir; Matba’ah Ali Shabih wa Awadin,
1372 H/1953 M), jilid 14, h.7.
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Jakarta: Fajar Agung, 1987) h. 149.
13
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: LIBERTI Yogyakarta, 1981), cet.II,
h. 102.
17

Kemudian dalam buku Kamus Hukum adat oleh DR. Soerjono Soekanto

menyatakan bahwa adopsi atau pengangkatan anak merupakan suatu proses di

mana seseorang diangkat untuk menduduki status tertentu misalnya seseorang

mengangkat anak untuk dijadikan anggota suku atau seseorang mengangkat selir

untuk dijadikan istri yang sederajat dengan suami dan seterusnya.14

Berdasarkan dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas

disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah tindakan mengambil anak orang

lain untuk dipelihara, dididik, disayangi, dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya,

agar tumbuh menjadi pribadi yang berguna bagi bangsa dan negara.

B. Sejarah Pengangkatan Anak

Secara historis, adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal jauh

sebelum Islam berkembang. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi

pengangkatan anak sebenarnya di praktikan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa

lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi,

India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Dikalangan bangsa Arab sebelum

Islam (masa Jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-Tabani dan

sudah ditradisikan secara turun temurun.15

Imam Al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian,

Rasulullah SAW sendiri pernah mengangkat Zaid bin Zaid bin Haritsah menjadi

14
Soerjono Soekanto, Kamus Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), cet.I, h.15.
15
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), h.53.
18

anak angkatnya. Bahkan Nabi tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama

ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW dengan nama Zaid Bin

Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan oleh Rasulullah

Muhammad SAW di depan kaum Quraisyi. Nabi Muhammad SAW juga

menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan

dengan Zainab binti Jahsyi, putri Aminah binti Muthallib, bibi nabi Muhammad

SAW. Oleh karena Nabi telah menganggapnya sebagai anak, maka para

sahabatpun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.16

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat al-

Ahzab ayat 4 dan 5 yang berbunyi:


          
 

   


       

          

          

         

          

16
Nasroen Haroen, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), h. 29.
19

Artinya : “ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah


hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar17
itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.
dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang
benar). {4} Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu18 . dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. {5}”(Al-
Ahzab: 4-5)

Surat al-Ahzab tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. “Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia”. Pangkal ayat ini

adalah dasar hidup untuk jadi pegangan bagi orang yang mempunyai aqidah

Tauhid. Dalam ungkapan secara modern ialah bahwa orang yang pecah tujuan

hidupnya atau pecah kumpulan cintanya adalah orang yang sebagai

menghentakkan kayu yang berjupang dua ke dalam bumi, niscaya tidak akan

mau terbenam. Maka tidaklah akan beres berfikir seorang yang dalam hatinya

berkumpul menyembah kepada Allah dengan menyembah kepada benda. Itu

namanya musyrik. Kalau sekali hati telah bulat menyembah kepada Allah,

17
Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti
punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang
Arab Jahiliyah bahwa bila dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya itu haramnya baginya
untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu
dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
18
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang
Telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
20

persembahan kepada kafir dan munafiq atau persembahan kepada benda mesti

ditinggalkan.19

2. “Anak angkatmu bukan anak kandungmu”. Pada zaman jahiliyah orang

memungut anak orang lain lalu dijadikannya anaknya sendiri. Anak yang

diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang yang mengangkatnya

itu. Bahkan hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad saw. sendiri. Seorang

budak, (hamba sahaya) yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah untuk

merawat beliau, bernama Zaid anak Haritsah. Karena sayangnya kepada anak

itu beliau angkat anak dan hal ini diketahui umum.20

3. “Panggilan anak angkatmu menurut nama bapaknya”. Dahulu Zaid budak

yang dimerdekakan dan diangkat anak di zaman jahiliyah oleh Nabi itu

dipanggilkan Zaid bin Muhammad. Dengan ayat ini datanglah ketentuan

supaya dia dipanggil kembai menurut yang sewajarnya , iaitu Zaid bin

Haritsah. Ada juga kejadian seorang anak yang kematian ayah sewaktu dia

masih amat kecil. Lalu ibunya kawin lagi dan dia diasuh dan dibesarkan oIeh

ayah tirinya yang sangat menyayangi dia. Dengan tidak segan-segan si anak

menaruhkan nama ayah tirinya di ujung. namanya, padahal bukan ayah tirinya

itu ayahnya yang sebenarnya. Itu pun salah. Karena walaupun betapa

tingginya nilai kasih sayang dan hutang budi, namun kebenaran tidaklah boleh

diubah dengan mulut. Mengganti nama ayah itu pun satu kedustaan.21

19
Hamka, Tafsir Al Azhar, (Surabaya: Pustaka Islam, 1983), Bab. XXI, h. 226.
20
Ibid., h. 227.
21
Ibid., h. 228.
21

Dari ketentuan diatas sudah jelas, bahwa Allah melarang pengangkatan

anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya

sebagai anak kandung.

Adapun Pengangkatan anak di negara-negara Barat berkembang setelah

berakhirnya Perang Dunia II. Saat itu banyak terdapat anak yatim piatu yang

banyak kehilangan orang tua karena gugur dalam peperangan, di samping banyak

pula yang lahir di luar perkawinan yang sah. Karena sistem hukum Barat yaitu

hukum Belanda berlaku di Indonesia, maka pengangkatan anak di Indonesia

selain berdasarkan kepada BW tersebut, juga diatur dalam Staatsblad (Lembaran

negara) No. 129 Tahun 1917. Dalam lapangan hukum perdata umum,

pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga

anak yang lahir diluar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya).22

C. Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam

Pada hakikatnya Islam mendukung adanya usaha perlindungan anak yang

salah satu caranya adalah dengan melakukan pengangkatan anak. Adapun

pengangkatan anak yang diperbolehkan dalam Islam tentu saja yang memiliki arti

mengangkat anak semata-mata karena ingin membantu dalam hal

mensejahterakan anak tersebut dan juga memberikan perlindungan tanpa

menjadikannya sebagai anak kandung.

22
Nasroen Haroen, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 85.
22

Agama Islam menganjurkan agar umat manusia dapat saling tolong menolong

terhadap sesama manusia. Pengangkatan anak atau disebut juga adopsi merupakan

salah satu cara untuk menolong sesama manusia, karena adopsi dengan pengertian

mengangkat anak orang orang lain untuk diperlakukan sebagai anak sendiri tanpa

mengubah status anak tersebut menjadi anak kandung adalah adopsi yang

diperbolehkan dalam Islam, dan hal itu merupakan perbuatan yang sangat mulia.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak adalah posisi

anak angkat dalam keluarga tidak sama dengan anak kandung. Maka dari itu, tidak

ada hubungan khusus antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat mengenai

masalah keperdataan seperti perwalian dan kewarisan. Karena apabila kita menengok

kembali kepada tujuan dari pengangkatan anak tersebut, maka pengangkatan anak

dilakukan atas dasar tolong menolong sesama manusia.

1. Syarat Pengangkatan Anak

Dalam hal pengangkatan anak, kita harus mengetahui apa saja yang boleh

dan tidak boleh dilakukan oleh orang tua angkat. Untuk menghindari dari hal-hal

yang tidak diinginkan, Islam mengatur tentang syarat-syarat pengangkatan anak

tersebut. Adapun syarat-syarat pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum

Islam adalah sebagai berikut:23

a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang

tua kandung dan keluarganya.


23
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Tiga Sistem Hukum, h. 54.
23

b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,

melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga

orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak angkatnya.

c. Hubungan keharta bendaan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya

hanya diperbolehkan dalam hubungan wasiat dan hibah.

d. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara

langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.

e. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan

terhadap anak angkatnya.

f. Antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya sama-sama

orang yang beragama islam, agar sianak tetap pada agama yang dianutnya.

Sedangkan Yusuf Qardawi berpendapat bahwasannya adopsi dapat

dibenarkan apabila seseorang yang melaksanakannya tidak mempunyai keluarga,

lalu ia bermaksud untuk memelihara anak tersebut dengan memberikannya

perlindungan, pendidikan, kasih sayang, mencukupi kebutuhan sandang dan

pangan layaknya anak kandung sendiri. Adapun dalam hal nasab, anak tersebut

nasabnya tetap pada ayah kandungnya karena antara anak angkat dengan orang

tua angkat tidak ada sama sekali hubungan nasab yang dapat mempunyai hak

seperti anak kandung.24

24
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2005), h.
319.
24

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh,

memelihara, dan mendidik anak-anak terlantar demi kepentingan dan

kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya adalah

perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran agama Islam, bahkan dalam

kondisi tertentu dimana tidak ada orang lain yang memeliharanya maka bagi si

mampu yang menemukan anak terlantar tersebut hukumnya wajib untuk

mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan

orang tua kandungnya.25

2. Tujuan Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh suatu keluaga untuk melanjutkan

dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu lingkungan keluarga yang tidak

mempunyai anak kandung. Disamping itu maksud dari pengangkatan anak disini

adalah untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul

perceraian tetapi saat sekarang dengan adanya perkembangan motivasi dari

pengangkatan anak kini telah berubah yakni demi kesejahteraan anak yang

diangkat.

Seseorang dalam mengangkat anak pasti memiliki tujuan yang ingin

dicapai karena pada dasarnya banyak faktor yang mendukung seseorang

melakukan pengangkatan anak, namun lazimnya latar belakang pengangkatan

25
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 121.
25

anak dilakukan oleh orang yang tidak diberi keturunan. Pengangkatan anak

dilakukan guna memenuhi keinginan manusia untuk menyalurkan kasih

sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.26

Motivasi pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada

memberikan perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada

anak, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan

memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi

hukumnya.

Ajaran Islam mengarahkan kita agar selalu peduli kepada sesama, karena

sikap peduli sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu diamalkan,

terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Tidak hanya itu, Islam

juga mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak

yang tidak mampu, miskin, terlantar, dan sebagainya. Tetapi perbuatan

penyantunan dan pemeliharaan anak-anak tersebut tidak sampai pada pemutusan

hubungan keluarga dan hak-hak orang tua kandungnya. Pemeliharaan tersebut

harus didasarkan pada penyantunan semata.27

3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang pada zaman jahiliyah,

yaitu zaman sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pada zaman tersebut,

26
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: PT Al-
Ma’rif, 1972), h. 19.
27
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Tiga Sistem Hukum, h. 50.
26

apabila seseorang mengangkat anak, maka otomatis nasabnya disambungkan

kepada ayah angkatnya, dan nasab kepada orang tuanya terputus. Bahkan pada

masa itu anak angkat mendapatkan hak waris layaknya anak kandung, dan segala

urusan yang seharusnya menjadi kewajiban ayah kandung, teralihkan kepada ayah

angkatnya.

Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam. Seperti yang

telah penulis sebutkan dalam syarat-syarat pengangkatan anak dalam Islam,

dikemukakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah

antara anak dan orang tua kandung, dan anak angkat tidak berkedududkan sebagai

ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua kandung,

demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak

angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakan nama orang tua

angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau alamatnya, dan juga orang

tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak angkatnya.28

Pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung pada Firman Allah

SWT dalam Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 seperti yang telah ditulis sebelumnya.

Berdasarkan kedua ayat diatas, jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan

antara ayah atau ibu angkat dan anak angkanya tidak lebih dari sekedar hubungan

kasih sayang. Hubungan antara ayah atau ibu dan anak angkatnya tidak

memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab dan tidak saling

28
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Tiga Sistem Hukum, h. 54.
27

mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat meninggal dunia, anak

angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan.

Demikian juga dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa memakai nasab

ayah atau ibu angkatnya. Kasus Zaid bin Harisah yang dinasabkan para sahabat

kepada Rasulullah dengan panggilan Zaid bin Muhammad dan telah dianggap

para sahabat sebagai anak angkat Nabi Muhammad SAW dibantah oleh ayat

diatas, sehingga Zaid tetap dinasabkan kepada ayahnya, Haritsah. Bahkan untuk

membantah anggapan bahwa status anak angkat itu sama dengan anak kandung,

Allah SWT memerintahkan Rasullullah SAW mengawini Zainab binti Jahsy

mantan istri Zaid bin Harisah.29 Pernyataan Allah SWT terdapat dalam surat Al-

Ahzab ayat 37:

         

           

            

           

   

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah
Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,

29
Nasroen Haroen, Ensiklopedi Islam, h. 84
28

dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu
takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia 30 supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya. 31 dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”(Al-Ahzab:
37)

Berdasarkan surat Al-Ahzab diatas, dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip

pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara anak dan

mensejahterakannya. Dalam kasus Zaid bin Haritsah, Nabi SAW memeliharanya

sekaligus membebaskannya dari perbudakan, dan menjadikannya hidup layak

sebagaimana manusia merdeka. Sedangkan tujuan lainnya adalah ingin menolong

sesama manusia. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:

           

       


Artinya: “..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya”.(Al-Maidah: 2)

Dengan tidak diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkat,

mengandung arti bahwa pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk

30
Setelah habis iddahnya
31
Yang dimaksud dengan Orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah
Zaid bin Haritsah. Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam.
nabi Muhammadpun Telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan
mengangkatnya menjadi anak. ayat Ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas
isteri anak angkatnya.
29

memelihara dan melestarikan keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul seseorang

serta dapat memperkuat tali persaudaraan dengan orang tua yang diangkat.

Kemudian jika dilihat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf

(h) dinyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk

hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggu jawabnya

dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan

pengadilan. 32 Adapun dalam hal masalah pewarisan, anak angkat hanya berhak

menerima wasiat yang ada kaitannya dengan harta peninggalan orang tua

angkatnya, sebagaimana diatur dalam pasal 209 ayat (2) yang berbunyi :

“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.33

Hal ini dilakukan karena atas dasar rasa kasih sayang orang tua terhadap

anak, dan juga rasa terima kasih karena semasa hidup orang tua angkatnya, sianak

telah berbuat baik menemani orang tua angkatnya. Maka Islam sama sekali tidak

menutup kemungkinan anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang

tua nagkatnya.

Dengan demikian jelas bahwa anak angkat hanya dalam hal

pemeliharaannya dan pendidikannya saja yang beralih dari orang tua kandung

kepada orang tua angkat. Akan tetapi untuk masalah perwalian dalam pernikahan

dan masalah waris, anak angkat tetap saja berhubungan dengan orang tua
32
Mustofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana Preda
Media Group: 2008), h. 21.
33
Roihan A Rasyid, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu: 1999), h. 82.
30

kandungnya. Tetapi apabila orang tua angkatnya ingin memberikan warisan

kepada anak angkatnya tersebut, maka yang dapat dilakukan orang tua angkat

adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya

semasa hidupnya.34

D. Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

Masalah pengangkatan anak bukanlah masalah baru di setiap negara,

termasuk di Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah dilakukan

pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, semua itu sesuai

dengan sistem hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Pengangkatan anak menurut hukum Adat sering dikenal sebagai usaha untuk

mengambil anak bukan keturunan sendiri dengan maksud untuk memelihari dan

memperlakukannya sebagai anak sendiri.

Menurut Busar Muhammad dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Adat,

Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan tunai.35

Terang ialah suatu prinsip legalitas yang berarti bahwa perbuatan hukum itu

dilakukan dihadapan dan diumumkan di depan orang banyak, dengan resmi secara

formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan kata tunai

berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin

ditarik kembali.

34
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, h.
102.
35
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, h. 29.
31

1. Praktik Pengangkatan Anak di Beberapa Daerah

Ada berbagai macam tata cara pengangkatan anak atau adopsi yang

ada di berbagai daerah. Semua itu sesuai dengan keanekaragaman sistem

pengangkatan anak pada daerah tersebut, apakah langsung atau tidak

langsung, sekalipun secara alami tetap mempunyai titik persamaan dari sisi

upacara yaitu hal-hal yang bernuansa magis.

Di Lampung misalnya, adopsi dilakukan dengan mengadakan upacara

pemotongan kerbau yang dihadiri oleh anggota keluarga. Kemudian di Lahat

(Palembang), pengangkatan anak dilakukan dengan dihadiri oleh Keiro,

khotib, dan keluarga sedusun. Adopsi adakalnya dilakukan secara tertulis dan

adapula yang tidak, sesuai dengan permintaan keluarga, asalkan semua itu

diumumkan kepada masyarakat sekitar dan dilanjutkan dengan diadakannya

sedekahan. Begitu pula di kecamatan Lebung Utara dan Selatan, Kepahiyang

dan Curup (Sumatra Selatan), pengangkatan anak dilakukan dengan

mengadakan suatu penjamuan dengan mengundang Kutai, yaitu ketua adat di

marga yang bersangkutan (pasirah) dengan cara memotong kambing dan

memasak Serawa, yaitu beras ketan yang dicampur dengan kelapa dan gula

merah.36

Untuk Kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan) pengangkatan

anak dilakukan dengan cara Selamatan Sekadarnya, dengan mengundang

orang-orang tua sekitarnya. Sedangkan untuk satu daerah di kabupaten Goa,


36
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, h. 46.
32

tidak ada cara tententu dalam hal adopsi ini. Lain halnya dengan masyarakat

daerah Kepulauan Tidore (Ambon) bagi mereka hal yang terpenting dalam

pengangkatan anak adalah kata sepakat antara pihak orang tua kandung

dengan pihak orang tua angkat, hal itu dilakukan agar antara keduanya sama-

sama ikhlas. Kemudian di Kecamatan Kalela (Ambon) bisa pula terjadi adopsi

sebelum anak dilahirkan.

Selanjutnya pengangkatan anak di beberapa desa di Kecamatan Duduk

Kabupaten Gresik, tidak ada ketentuan khusus untuk mengangkat anak, dalam

pengertian tidak ada keharusan untuk mengadakan selamatan. Jadi begitu

mengangkat anak, orang tua angkat langsung melaporkan kepada Kepala Desa

dan selanjutnya ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. 37

Kemudian pengangkatan anak di desa Gunung Putri (Kabupaten

Bogor), di Kota Bandung, dan di Singanjati (Kabupaten Sumedang)

pengangkatan anak dilaksanakan dengan dihadiri oleh sanak saudara yang

tinggal dekat orang tua anak itu dan diundang untuk menyaksikan penyerahan

anak tersebut. Di Kota Jatinegara dan Bandung dan juga di Desa Cimacan

(Kabupaten Cianjur) seorang yang mengangkat anak melaporkan

pengangkatan anak itu berturut-turut kepada kepala kampung dan lurah desa

di tempat tinggal anak itu. Tetapi laporan itu tidak dicatat.38

37
Ibid., h. 47.
38
Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, (Jakarta: PT. Djaya Pirusa, 1982), cet.II, h.
24.
33

Hanya di beberapa tempat, penyerahan anak angkat kepada yang

mengangkatnya dilaksanakan dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang khusus

atau dengan pemberitahuan kepada pejabat desa yang bersangkutan atau surat

yang dibuat oleh pejabat itu. Tetapi di tempat-tempat itu terjadi pula

pengangkatan anak tanpa bentuk tertentu, dan tanpa pengumuman yang

khusus mengenai pengangkatan anak tersebut. Maka kesimpulannya, bahwa

menurut hukum adat Jawa Barat tidak ada syarat yang ditetapkan untuk

sahnya pengangkatan anak.39

Demikianlah pengangkatan anak yang terjadi dalam masyarakat

hukum kita, meskipun masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang

berbedabeda akan tetapi masih mempunyai sifat yang kebersamaan antar

berbagai daerah hukum dan ini tentunya akan mewarnai kebhinekaan kultural

suku bangsa Indonesia.40

2. Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Islam

R. Supomo, menjelaskan perihal kedudukan dan akibat hukum

pengangkatan anak yang dilakukan menurut hukum adat, terutama yang

terjadi dibeberapa daerah di Pulau Jawa dan Sunda. Dalam penjelasannya, R.

Supomo mengatakan bahwa kedudukan anak angkat dalam hukum Islam

berbeda dengan kedudukan anak angkat yang dilakukan di daerah-daerah di

39
Ibid., h. 25.
40
M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Tiga Segi Hukum, (Jakarta: AKAPRES,
1991), cet.II, h. 15.
34

mana sistem keluarga berdasarkan keturunan dari pihak lelaki. Seperti di Bali

misalnya, di daerah ini perbuatan pengangkatan anak adalah perbuatan hukum

yang melepaskan anak angkat dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya

sendiri dengan memasukkan anak angkat tersebut kedalam keluarga angkat

bapak angkatnya, sehingga anak itu berkedudukan sebagai anak kandung

untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.41

Praktek pengangkatan anak di Bali berbeda dengan praktek

pengangkatan anak di Jawa. Di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan

hubungan pertalian darah dengan orang tua kandung anak angkat itu. Namun

anak angkat didudukkan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan

bapak angkatnya, dan sama sekali tidak memutuskan hak-haknya dengan

orang tua kandungnya sehingga hukum adat Jawa memberikan pepatah bagi

anak angkat dalam hal hak waris di kemudian hari dengan istilah “anak angkat

memperoleh warisan dari dua sumber air sumur”. Maksudnya anak angkat

tetap memperoleh harta warisan dari orang tua kandung, juga dari harta

warisan orang tua angkatnya.42

Muderis Zaini,43 meyakini bahwa sebetulnya banyak daerah-daerah di

Indonesia yang hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah

sebagai ahli waris. Seperti halnya di daerah Lahat (Palembang), Pasema,

kabupaten Batanghari, kecamatan Bontomaranu Kabupaten Goa Daerah

41
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1976), h. 118.
42
Ibid ., h.118.
43
Muderis Zaini, Adopsi Menurut Tinjauan Tiga Sistem Hukum, h. 50.
35

kepulauan Tidore (Ambon), daerah Takengon Kabupaten Aceh Tengah,

Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut, Kecamatan Sambas Kalimantan Barat,

dan beberapa daerah lainnya. Beberapa daerah tersebut secara umum

menyatakan bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua angkatnya,

anak angkat adalah ahli waris dari orang tuanya sendiri. Anak angkat

memperoleh harta warisan dari peninggalan orang tua angkatnya melalui

hibah atau pemberian atau wasiat yang ditulis sebelum orang tua angkatnya

meninggal dunia.

Secara adat kebiasaan masyarakat yang mengakui adanya hukum adat

anak angkat, bagi mereka adalah suatu hal yang termasuk tidak etis dan akan

mendapatkan celaan dari masyarakat apabila anak angkat yang telah diketahui

masyarakat tersebut kemudian dibatalkan oleh anak atau keluarga orang tua

angkat. Kecuali anak angkat tersebut nyata-nyata telah melakukan suatu

penghianatan, pembunuhan, percobaan pembunuhan, percobaan pembunuhan

terhadap orang tua angkatnya. 44

Kesadaran masyarakat muslim tentang kewajibannya untuk

menjalankan hukum Islam secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan

bermasyarakat semakin menguat. Penguatan kesadaran pelaksanaan hukum

Islam tersebut telah secara riil terjadi di tengah-tengah masyarakat, di lembaga

legislatif, eksekutif, dan di kalangan akademik, kesemuanya bermuara pada

44
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, h.
46.
36

menguatnya desakan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang

bernuansa Islami. Hukum adat yang telah sesuai dengan semangat dan

prinsip-prinsip hukum Islam dikembangkan sebagai bagian bahan hukum

yang diakui eksistensinya oleh hukum Islam, tetapi bentuk-bentuk praktik adat

yang menyimpang akan diluruskan secara politis dan bertahap melalui proses

pembentukan hukum Indonesia yang islami.45

45
Ibid., h. 47.
BAB III

YAYASAN SIRAN MALIK PESANTREN AL-FALAH PARUNG BENYING

A. Profile Yayasan Siran Malik

1. Sejarah Berdirinya Yayasan Siran Malik

Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah atau disebut juga Pondok

Yatim Al-Falah merupakan pondok pesantren yang juga berperan sebagai

lembaga sosial kemanusiaan guna mendidik dan menanggulangi masalah

kesejahteraan sosial seperti memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak

masyarakat sekitar yang kurang mampu, merawat dan memelihara anak-anak

yang terlantar, dan juga memberikan pengarahan keagamaan dengan

mengadakan pengajian bagi masyarakat sekitar.

Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah didirikan pada tanggal 10

mei 1987 di Kampung Maruga Desa Serua Kecamatan Ciputan Tangerang

Selatan oleh tokoh terkemuka Dr. Siran Malik (Alm) sebagai pemberi wakaf

dan Makhroz Faisal sebagai pengemban amanat. 1 Tujuan Yayasan Siran

Malik Pesantren Al-Falah sebagai sebuah lembaga adalah:

a. Membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cinta agama,

bangsa dan negara.

b. Meningkatkan perkembangan pendidikan dan perkembangan Islam seluas-

luasnya.
1
Profile Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah, h. 2.

37
38

c. Melaksanakan amal sosial, serta mengurus dan juga memelihara anak

yatim piatu dan fakir miskin.

d. Dan yang terakhir mencetak generasi muslim yang mampu bersaing dan

berperan di masyarakat.

Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah dilegalkan oleh Akta Notaris

Masruroh, S. H. Nomor. 3 tanggal 9 Februari 2008. Juga dengan mendapatkan

Surat Ketetapan dari Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: AHU-1467. AH.

01. 02. Tahun 2008. Dan juga dengan Surat Izin Dinas Sosial Tangerang

Selatan Nomor: 460/860.1-/2010. Dengan Nomor Statistik Pondok Pesantren

512280406721. 2

Dinamakan Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah karena tanah

wakaf yang diberikan oleh tokoh masyarakat yang bernama Dr. Siran Malik,

dan memang merupakan amanat dari pemberi wakaf untuk menamakan

yayasan tersebut dengan nama Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah.3

Untuk mewujudkan tujuan dan menyelenggarakan usahanya, Yayasan

Siran Malik Pesantren Al-Falah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana

terbesar diperoleh dari sumbangan masyarakat atau keluarga juga handai

taulan yang ingin berbagi rizki. Dan juga perolehan dana didapat dari Infaq,

Shodaqoh, dan Zakat juga dari hasil usaha pondok yang sah. Selain itu juga

2
Ibid., h. 3.
3
Wawancara pribadi dengan Yuda Abdul Jabar. Parung benying, 17 Desember 2010
39

diperoleh bantuan dana rutin dari Pemerintah Pusat (Departemen Sosial),

Pemerintah Daerah (Dinas Sosial), dan perusahaan-perusahaan umum lainnya.

Selain dana, juga diperolah sumbangan langsung dari masyarakat

berupa materi, bahan makanan, dan juga barang. Seluruh bantuan yang

diperoleh digunakan untuk membiayai yayasan. Pembiayaan terbesar Yayasan

adalah untuk biaya hidup anak, perawatan kesehatan dan biaya operasional

pengurus dan staf.4

Semakin lama Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah semakin

berkembang, saat ini selain mendidik, mengurus dan mengasuh anak yatim

piatu atau kurang mampu dan para duafa, Yayasan Siran Malik Pesantren Al-

Falah juga telah mendirikan asrama yatim piatu di Tasikmalaya, dan tidak

hanya itu, yayasan juga mendirikan lembaga pendidikan formal. 5 Adapun

lembaga pendidikan formal tersebut adalah:

a. Taman Kanak-kanak (TK) Al-Falah, didirikan pada tahun 2007.

b. Sekolah Dasar Islam (SDI) Al-Falah, didirikan pada tahun 1987.

c. Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) al-Falah, didirikan pada tahun

1988.

d. Sekolah menengah Kejuruan (SMK) Al-Falah, didirikan pada tahun 2006.

4
Ibid
5
Profile Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah, h. 2.
40

Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah juga memiliki program

jangka pendek dan juga program jangka panjang. Adapun program jangka

pendeknya adalah, yayasan ingin membangun asrama putra, yayasan ingin

mengadakan balai usaha sendiri, dan juga yayasan ingin mengadakan kursus

keterampilan untuk santri seperti bercocok tanam, menjahit dan juga

komputer. Selain program jangka pendek yang telah disebutkan, program

jangka panjang Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah adalah, yayasan

ingin mendirikan balai pelatihan dan keterampilan, kemudian mendirikan

balai pengobatan masyarakat atau rumah sakit, selanjutnya yayasan ingin

mendirikan koperasi pondok peantren, dan yang terakhir yayasan ingin

mendirikan perguruan tinggi agar para siswa yang telah lulus pada tingkat

SMK dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan berguna bagi agama,

bangsa dan negara.

2. Struktur Organisasi

Organisasi Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah adalah suatu

organisasi yang mempunyai struktur dan perencanaan yang dilakukan dengan

penuh kesabaran oleh sekumpulan orang-orang yang saling berpengaruh satu

sama lain dengan baik di dalamnya dan semua itu dilakukan guna mencapai

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Adapun struktur organisasi Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah

terdiri dari Pendiri yaitu bapak Dr. Siran Malik (Alm), Penasehat yaitu bapak
41

al-Fakir Mahdi al-Qudratillah, bapak Drs. Mahraz Faisal, dan bapak Drs.

Arsyad Bone Putra. Selain pendiri dan penasihat, ada juga Dewan Pembina

yaitu Yani Maryani. Kemudian Ketua yayasan yaitu Siti Sarah, S.I.Kom, dan

Pimpinan Pondok bapak Yuda Abdul Jabar. Selain itu juga ada Sekertaris

yaitu ibu Ira Rahmawati, S.Pd, Bendahara bapak Aas Asrullah, dan yang

terakhir bagian pelayanan dan perberdayaan yaitu bapak Ali Ardinata, S.E.

Kemudian, untuk menangani kegiatan-kegiatan yang terselenggara

pada Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah, yayasan memberikan

kepercayaan bapak Imam A Gozali untuk menangani Wakaf, kemudian yang

bertindak sebagai Manager Area adalah Ibnu Abdul Aziz, Dasa Widiantara,

dan Bambang Hermanto. Setelah itu yang menjadi ketua bidang kesenian

yaitu Rahmat dan Ibnu Abdullah dan yang terakhir Ketua Bidang

Perbengkelan yaitu Umar said.

B. Kegiatan-kegiatan

Untuk mewujudkan tujuan untuk mencetak generasi muslim yang mampu

bersaing dan berperan di masyarakat, yayasan mengadakan berbagai kegiatan

yaitu pengurusan anak dan juga pengangkatan anak.6 Dalam hal pengurusan anak,

yayasan memberikan berbagai pendidikan, baik pendidikan agama, pendidikan

formal dan juga pendidikan keterampilan. Semua itu diadakan untuk membentuk

6
Ibid.,h.4.
42

akidah yang shaleh dan keimanan yang kokoh, dan juga untuk menggali bakat

siswa agar dapat bermanfaat di kemudian hari.

1. Pengurusan Anak

Guna menciptakan generasi penerus bangsa yang berilmu dan

berakhlak mulia, yayasan mengadakan banyak kegiatan yang menyangkut

pengurusan anak. Diantaranya kegiatan ini adalah memberikan pendidikan

moril, materil dan juga keterampilan. Kegiatan dalam bidang pendidikan dan

ketrampilan yang diberikan kepada anak-anak akan menjadi usaha untuk

menciptakan pribadi yang mandiri dan mempunyai kecakapan hidup sesuai

dengan tujuan yayasan. Sehingga nantinya anak-anak diharapkan sudah

memiliki bekal pengetahuan dan ketrampilan guna untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya dan mampu melanjutkan hidup tanpa bergantung dengan

orang lain setelah keluar dari yayasan.

Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak didasarkan pada

pedoman pendidikan anak yang ada dalam ajaran agama Islam, hal ini

disebabkan agar anak-anak didik kelak menjadi individu yang memiliki

kepribadian yang baik sebagai seorang muslim. Adapun ketrampilan-

ketrampilan yang diberikan kepada anak-anak didik bertujuan agar anak-anak

dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang mereka miliki dan juga

mendidik anak agar memiliki kecakapan hidup dan keterampilan.

Dalam hal pendidikan, yayasan memberikan pendidikan agama dan

pendidikan formal, selain itu juga, yayasan memberikan pendidikan formal


43

untuk melengkapi hidup mereka dikemudian hari. Adapun dari segi

pendidikan agama, anak-anak dididik untuk selalu ta’at beribadah, mereka

diwajibkan untuk slalu shalat fardlu berjamaah di masjid. Kemudian setelah

shalat berjama’ah, tak lupa pula diiringi dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an.

Terkadang anak-anak juga mengadakan tawasulan bersama-sama, dan setiap

malam jua’at, para guru membimbing anak-anak untuk mebaca Yasin

bersama-sama.

Kemudian tidak hanya itu, para guru juga sering mengadakan qiyamul

lail untuk meningkatkan ibadah anak-anak di malam hari. Dan bukan itu saja,

yayasan juga mengadakan majlis ta’lim untuk ibu-ibu yang ada di sekitar

yayasan untuk mempererat silaturahmi kepada masyarakat. Kemudian

yayasan juga memberikan pengkajian al-Qur’an dan Hadits agar anak-anak

dapat menjalankan hidup sesuai dengan petunjuk dan pedoman hidup umat

muslim yaitu al-Qur’an, dan juga dapat mencontoh tauladan yang baik yaitu

Rasulullah Saw.

Kemudian pendidikan selanjutnya yang diberikan kepada anak-anak

yaitu pendidikan formal yang merupakan pendidikan sekolah. Diadakannya

pendidikan formal bertujuan untuk mencetak generasi penerus bangsa yang

mampu bersaing dengan anak-anak bangsa lainnya. Dan juga agar anak-anak

mampu untuk memahami dan menguasai ilmu-ilmu umum, serta memberikan

rasa percaya diri terhadap anak-anak tersebut dan agar anak-anak tidak mudah

untuk dibodohi dan terjerumus kepada hal-hal negatif.


44

Selain pendidikan agama dan juga pendidikan sekolah yang diberikan,

yayasan juga memberikan pendidikan keterampilan untuk anak-anak didik

mereka. Adapun keterampilan yang mereka berikan untuk anak-anak

diantaranya memberikan kursus-kursus seperti kursus bahasa Arab, bahasa

Inggris, perbengkelan, marawis dan dan kesenian lainnya. Itu semua

dilakukan di luar jam sekolah. Dengan kecakapan yang dimiliki anak asuh

diharapkan mereka akan dapat hidup mandiri dengan bekerja sesuai dengan

ketrampilan dan bakat yang mereka miliki setelah keluar dari panti asuhan.

Anak asuh sangat senang dengan berbagai ketrampilan yang diberikan karena

mereka bisa merasakan manfaatnya sebagai bekal masa depan mereka.

2. Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk

kepentingan yang terbaik bagi anak demi memenuhi kebutuhan dan

kesejahteraan juga pendidikan si anak. Karena terkadang banyak anak yang

terlantar dan tidak terpenuhi segala kebutuhannya. Selain itu masih banyak

para orang tua yang belum mempunyai anak yang mengharapkan kehadiran

seorang anak dalam kehidupan rumah tangga yang mereka jalani. Dalam

mewujudkan keinginan tersebut, yayasan menyelenggarakan pengangkatan

anak yang diperuntukan bagi mereka yang ingin mengangkat anak dengan

tujuan mengasuh anak tersebut agar seorang anak angkat tidak sampai

terlantar menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dan tidak


45

memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua

kandungnya.

Dalam hal pengangkatan anak disini, yayasan hanya sebagai

penghubung antara calon orang tua angkat dengan calon anak angkatnya

tersebut. Yayasan akan mempertemukan calon orang tua angkat kepada orang

tua kandung dari sianak yang akan diangkat untuk melakukan suatu

persetujuan guna memperlancar pengangkatan anak. Dan yayasan juga akan

menghimbau kepada calon orang tua angkat tersebut agar tetap saling menjaga

hubungan baik antara calon anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Adapun bagi anak yang orang tuanya tidak ada atau anak yang memang

terlantar dan di asuh oleh yayasan, maka calon orang tua angkat hanya

berhubungan dengan yayasan saja karena yayasan juga merupakan orang tua

bagi mereka.7

7
Wawancara Pribadi dengan Yuda Abdul Jabar, Parung Benying 17 Desember 2010.
BAB IV

PROSES PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI)

PADA YAYASAN SIRAN MALIK

A. Peraturan Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia

Praktek pengangkatan anak telah banyak dilakukan dan menjadi suatu

kebutuhan dalam masyarakat khususnya untuk pasangan suami istri yang telah

lama menikah tetapi belum mempunyai keturunan juga. 1 Masyarakat Indonesia

terdiri dari bermacam-macam suku, agama dan etnis yang menyebabkan

bermacam-macam pula motivasi, tata cara pengangkatan anak yang dilakukan

oleh masing-masing suku, agama dan etnis tersebut.

Pemerintah melihat keanekaragaman penduduk di Indonesia dan berusaha

untuk memberi peraturan yang jelas mengenai perbuatan hukum pengangkatan

anak ini dengan mengeluarkan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung

mengenai Pengangkatan Anak, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 mengenai

Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 mengenai

Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Peraturan-peraturan ini dimaksudkan untuk

memberikan pemahaman bagi masyarakat yang akan melakukan perbuatan

hukum pengangkatan anak. Masyarakat diharapkan dapat mengetahui prosedur

pengangkatan anak agar mendapat kepastian hukum dari perbuatan pengangkatan

anak yang dilakukannya tersebut.

1
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 3.

46
47

1. UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah

menegaskan bahwa negara telah menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga

negaranya, juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak

asasi manusia. Hal ini mengingat karena anak merupakan amanah dan karunia

Tuhan Yang Maha Esa, dimana dalam dirinya terdapat harkat dan martabat

sebagai manusia seutuhnya, dan juga anak merupakan tunas, potensi, dan generasi

muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran penting dalam

perkembangan negara dimasa yang akan datang.2

Dan perlu kita perhatikan, dikarenakan bahwa anak kelak akan memikul

tanggung jawab yang besar dikemudian hari, maka ia perlu mendapat kesempatan

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental,

spiritual, maupun sosial. Maka dari itu perlu adanya upaya perlindungan, semua

itu dilakukan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan

sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang

dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga

kesatuan dan persatuan bangsa.3

Masalah pengangkatan anak erat kaitannya dengan perlindungan anak, 4

perlindungan terhadap anak di Indonesia termasuk anak angkat bertujuan untuk

2
Ibid., h1.
3
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 78.
4
Adrianus Khatib, Kedudukan Anak Asuh Ditinjau Dari Hukum Islam, Problematika Hukum
Islam Kontenporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 158.
48

menjamin terpenuhnya hak-hak anak. Seperti disebutkan dalam UU No. 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 4 menyatakan bahwa: “setiap anak

berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi”. Ayat diatas menjelaskan bahwa perlindungan

anak adalah mengusahakan agar anak dapat terpenuhi hak-haknya untuk tumbuh

dan berkembang secara wajar, karena setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.5

Yang berkewajiban pertama kali untuk melakukan perlindungan anak

adalah orang tua kandung dari anak tersebut,6 kerena di lingkungan keluargalah

seorang anak pertama kali mengenal dunia dan lingkungan sekitarnya, namun

yang terjadi sekarang ini justru lingkungan keluargalah yang tidak dapat

memberikan perlindungan bagi seorang anak.

Semua itu mungkin dikarenakan suatu sebab orang tuanya tidak dapat

menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak

tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh

orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pernyataan tersebut memberikan jalan bagi orang tua yang tidak mampu

5
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, 218
6
Muhammad Husain Zahabi, al-Syariah al-Islamiyah: Dirasat Muqaranah baina Mazahiib
Ahl Sunnah wal al-Mazahab al-Ja’fariah. (Mesir: Dar al-Qutub al-Hadits. Tth), h.170.
49

menjamin tumbuh kembang anak untuk membiarkan anaknya diasuh oleh orang

lain.

Kemudian dalam pasal 14 dikatakan bahwa: “setiap anak berhak untuk

diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum

yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik

bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”. Jadi jelas bahwa pengangkatan

anak dan pengasuhan anak kepada orang lain bukan satu-satunya jalan akan tetapi

merupakan pertimbangan terakhir, dan pemisahan yang dimaksud dalam

ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan nasab anak dengan orang tuanya.

Di atas telah diuraikan bahwa hubungan nasab anak angkat dengan orang

tua kandungnya tidak terputus dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk

menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu

orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal

usulnya dan orang tua kandungnya. Adapun pemberitahuan asal usul dan orang

tua kandungnya dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang

bersangkutan agar kelak tidak mengganggu kejiwaan anak tersebut.7

Dalam praktiknya, pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia

mempunyai beberapa tujuan antara lain adalah untuk meneruskan keturunan,

apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh beberapa keturunan, motivasi

7
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, h.
67.
50

ini sangat kuat terhadap pasangan yang belum mempunyai anak dan

mendambakan kehadiran anak di tengah keluarga. 8

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

dengan jelas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan

untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat

kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tentu saja pengangkatan anak sebagaimana dimaksud, tidak memutuskan

hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandung. Hal ini

dijelaskan bahwa hubungan antara orang tua dan anak angkat hanya hubungan

pemeliharaan saja.9

Dalam hal agama antara orang tua angkat dengan anak yang diangkat

sebaiknya calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh

calon anak angkat. Hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama

orang tua angkat terhadap anak angkat hanya memiliki satu arus arah dari orang

tua angkat terhadap anak angkat, dan jika hal ini terjadi maka akan melukai hati

nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat itu.10

Pengangkatan anak juga mungkin terjadi dilakukan oleh Warga Negara

Asing terhadap anak-anak Indonesia, hal ini memerlukan adanya ketentuan

hukum yang jelas terhadap pengangkatan anak antar warga negara. Pasal 39 ayat

8
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 216.
9
Mufidah Saggaf al-Jufri, al-Laqit dan Tabqnni, Makalah, tp. 2004, h.10
10
Fauzan, Pengangkatan Anak Bagi Keluarga Muslim Wewenang Absolut Peradilan Agama,
Majalah Mimbar Hukum, Edisi Desember 1999, No. X, h. 56.
51

(4) UU No.23 Tahun 2002 menyatakan bahwa pengangkatan anak oleh Warga

Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Hal ini sudah jelas

jika memang tidak ada lagi yang mau mengadopsi atau tidak layak untuk

mengadopsi maka pengangkatan anak oleh warga negara asing baru dapat

dilakukan karena hal ini merupakan upaya terakhir. 11

Perlu diperhatikan dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama

anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat, ketentuan ini

berlaku bagi anak yang belum berakal dan bertanggung jawab, dan penyesuaian

agamanya dilakukan oleh mayoritas penduduk setempat secara musyawarah, dan

telah diadakan penelitian yang sungguh-sungguh.12

2. PP RI No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

Dalam undang-undang tentang perlindungan anak dijelaskan mengenai

aturan-aturan pengangkatan anak secara umum. Namun untuk melaksanakan

ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlu adanya

penetapan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Maka

dari itu pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dimana dalam

peraturan ini menjelaskan secara terperinci bagaimana pelaksanaan pengangkatan

anak tersebut.

11
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 217.
12
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), h. 72.
52

Dalam ketentuan umum dinyatakan bahwa pengertian pengangkatan anak

adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan

kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas

parawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan

keluarga orang tua angkat. 13 Pengalihan tersebut tentu saja tidak merubah

hubungan nasab antara orang tua kandung dengan anak kandungnya tersebut

walaupun anak tersebut sudah masuk dalam lingkungan kekuasaan orang tua

angkatnya tersebut.14

Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang

dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.15 Hal ini merupakan tujuan yang positif karena disamping

membantu si anak guna masa depannya, juga membantu beban orang tua kandung

si anak, asalkan didasari dengan kesepakatan yang ikhlas antara orang tua angkat

dengan orang tua kandung sendiri.

Berdasarkan jenis pengangkatan anak, ada dua jenis pengangkatan anak di

Indonesia yang terlampir dalam PP RI No.54 tahun2007, yaitu pengangkatan anak

antar Warga Negara Indonesia dan pengangkatan antara Warga Negara Indonesia

dengan Warga Negara Asing. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia
13
Fuad Muhammad Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1991), h.41.
14
M. Fauzan, Perbedaan Mendasar Akibat Hukum Penetapan Pengangkatana Anak
Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Agama, Varia Peradilan No 256 maret 2007, MA RI, Jakarta,
h.43.
15
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, h. 19.
53

meliputi: pengangkatan anak berdasarkan adat istiadat setempat dan juga

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Maksud dari pengangkatan anak berdasarkan adat setempat yaitu

pengangkatan anak yang dilakukan dengan terang dan tunai, artinya waib

dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat 16 dan juga

pengangkatan anak ini dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih

melakukan adat kebiasaan dalam kehidupan masyarakat, dan pengangkatan anak

berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan ada yang

langsung maupun melalui lembaga pengasuhan anak. Maksud dari langsung yaitu

dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada

langsung dalam pengasuhan orang tua kandung, sedangkan apabila melalui

lembaga pengasuhan anak maka pengangkatan anak yang dilakukan calon orang

tua angkat terhadap calon anak angkat berada dalam lembaga pengasuhan anak

yang ditunjuk oleh Menteri.

Kemudian pengangkatan antara Warga Negara Asing dengan Warga

Negara Indonesia, di mana pengangkatan anak dimaksud meliputi pengangkatan

anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dan pengangkatan anak

Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia. Dalam hal ini

pengangkatan anak dimaksud dilakukan melalui keputusan pengadilan.

16
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramitha, 1981, h 29.
54

Syarat-syarat pengangkatan anak sesuai dengan PP RI No. 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak meliputi calon anak angkat dan calon

orang tua angkat. Adapun syarat anak yang akan diangkat yaitu, umur anak harus

maksimal 18 tahun dengan ketentuan:

a. Usia dibawah 6 tahun merupakan prioritas utama.

b. Usia 6 tahun sampai dengan 12 tahun sepanjang ada alasan mendesak, yaitu

misalnya anak merupakan korban bencana, anak pengungsian, dan sebagainya.

Semua ini dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak.

c. Usia 12 tahun sampai dengan 18 tahun sepanjang anak tersebut memerlukan

perlindungan, yaitu misalnya anak dalam situasi darurat, anak yang

berhadapan dengan hukum, anak yang diperdagangkan, anak korban

penculikan, anak penyandang cacat, dan juga anak korban perlakuan salah dan

penelantaran.

Perlu dikemukakan, terdapat beberapa syarat bagi calon orang tua angkat

tersebut yang harus dipenuhi. Adapun syarat-syarat tersebut mencakup syarat fisik,

syarat agama, syarat moral dan syarat ekonomi. Yang termasuk ke dalam syarat

fisik adalah calon orang tua diharapkan sehat jasmani dan rohani, berumur paling

rendah tiga puluh tahun dan paling tinggi lima puluh lima tahun. Kemudian yang

termasuk syarat agama adalah calon orang tua angkat harus seagama dengan anak

angkatnya karena apabila berbeda akan mempengaruhi tumbuh kembang anak

angkatnya tersebut. Selanjutnya yang perlu diperhatikan juga adalah syarat moral

di mana calon orang tua juga harus berkelakuan baik dan tidak pernah melakukan
55

tindak kejahatan dan juga harus berstatus menikah palin singkat lima tahun dan

tidak merupakan pasangan sejenis. Kemudian yang terakhir adalah syarat

ekonomi. Diharapkan calon orang tua angkat dalam keadaan mampu ekonomi dan

sosial.

Selain syarat-syarat yang telah disebutkan, calon orang tua juga harus

memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak, dan juga

membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan

terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak. Kemudian calon orang

tua angkat juga mempunyai laporan sosial dari petugas sosial setempat. Dan telah

mengasuh calon anak angkat paling singkat enam bulan sejak izin pengasuhan

diberikan. Serta mempeoleh izin Menteri atau kepala instansi sosial.

PP RI No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak juga

mengatur tentang tata cara pengangkatan anak baik pengangkatan anak antar

Warga Negara Indonesia maupun pengangkatan anak antara Warga Negara Asing

dengan Warga Negara Indonesia. Dalam hal pengangkatan anak antar Warga

Negara Indonesia biasanya mereka menggunakan tata cara adat setempat, dimana

segala ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak sudah

diatur oleh nenek moyang mereka sebelumnya.

Calon orang tua angkat dapat mengajukan permohonan pengangkatan

anak yang telah memenuhi persyaratan ke pengadilan untuk mendapatkan

penetapan pengadilan. Pengadilan kemudian menyampaikan salinan penetapan

pengangkatan anak ke instansi terkait, adapun instansi terkait adalah Mahkamah


56

Agung melalui Panitera Mahkamah Agung, Departemen Sosial, Departemen

Hukum dan HAM melalui Direktorat Jendral Imigrasi, Kejaksaan Agung dan

Kepolisian Republik Indonesia.

Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak dua kali dengan jarak

dua tahu, hal demikian bertujuan agar orang tua lebih fokus untuk mendidik anak

mereka, karena memang idealnya jarak umur pada anak adalah dua tahun. Adapun

dalam hal calon anak angkat adalah kembar, maka pengangkatan anak dapat

dilaksanakan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh orang tua angkat.

Dalam pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua angkat kepada anak

angkat tersebut, perlu adanya bimbingan yang dilakukan oleh Pemerintah dan

masyarakat melalui kegiatan: penyuluhan, konsultasi, konseling, pendampingan

dan pelatihan. Kegiatan dimaksudkan agar orang tua dapat memahami tentang

pelaksanaan pengangkatan anak, mempunyai kesiapan dalam pelaksanaan

pengangkatan anak, dapat mengatasi permasalahan dalam pengangkatan anak, dan

membantu kelancaran pelaksanaan pengangkatan anak tersebut.

Setelah mendapatkan bimbingan, pemerintah dari dinas sosial dan

masyarakat juga mengadakan pengawasan agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak

diinginkan seperti halnya pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan, dan kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran

pengangkatan anak tersebut.

Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran

terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, masyarakat dapat melakukan


57

pengaduan kepada aparat penegak hukum dan/atau Komisi Perlindungan Anak

Indonesia, instansi sosial setempat atau Menteri. Pengaduan diajukan secara

tertulis disertai dengan identitas diri pengadu dan data awal tentang adanya

dugaan penyimpangan atau pelanggaran .

B. Praktik Pengangkatan Anak Pada Yayasan Siran Malik

Sebelumnya telah penulis terangkan bahwa Yayasan Siran Malik al-Falah

mengadakan beberapa kegiatan yaitu pengurusan anak dan pengangkatan anak.

Pada pengurusan anak, yayasan mementingkan tumbuh kembang anak dengan

memberikan pendidikan baik ilmu umum maupun ilmu agama, mengajarkan

tentang kedisiplinan, keterampilan agar anak menjadi pribadi yang berguna bagi

bangsa dan agama serta berilmu dan berakhlak mulia.

Kegiatan selanjutnya yaitu pengangkatan anak. Seperti yang kita ketahui

dalam PP RI Nomor 54 Tahun 2007, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan

hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua,

wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang

tua angkat.

Seperti dijelaskan diatas, dalam hal pengangkatan anak, yayasan

memberikan peluang bagi calon orang tua angkat untuk mengangkat anak dari

Yayasan Siran Malik al-Falah, karena menurut Wahbah az-Zuhairi seorang tokoh

Islam di Mesir mengadopsi anak merupakan perbuatan terpuji dalam Islam,


58

apalagi anak yang diadopsi itu anak kecil yang tidak diketahui sama sekali orang

tuanya. Perbuatan adopsi itu terpuji karena mengasuh, memelihara, dan mendidik

anak kecil yang tidak mempunyai orang tua ini seperti memelihara dan mendidik

anak sendiri, merupakan perwujudan rasa tanggung jawab antara sesama muslim

yang sangat dianjurkan Islam.17

Seperti dalam surat al-Maidah ayat 32 yang berbunyi:

          

          

          

         

Artinya: Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu
(membunuh) orang lain18, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi,
Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya19. dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang
kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu 20 sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

17
Nasrun Haroen, Ensiklopedi Islam, Jilid I, (Jakarta: PT. ICHTIAR BARU VAN HOUVE,
2005), h. 85.
18
Yakni: membunuh orang bukan Karena qishaash.
19
Hukum Ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya.
Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya,
Karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan Karena membunuh seseorang berarti juga
membunuh keturunannya.
20
Ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata.
59

Dari terjemahan ayat di atas dijelaskan bahwa barang siapa yang

membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau

bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka ia seakan-akan telah

membunuh manusia seluruhnya. Seperti halnya apabila seseorang telah

memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara

kehidupan manusia seluruhnya.21 Sesuai dengan pernyataan dalam surat tersebut,

kita memang diharuskan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, berbuat

baik dalam hal pengankatan anak, pengangkatan yang sesuai dengan budaya dan

akidah masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara yang

diangkat dengan orang tua kandungnya.

Agar terwujudnya keinginan para calon orang tua angkat dalam hal

pengangkatan anak, Yayasan Siran Malik memberi kebebasan kepada calon orang

tua angkat untuk terlebih dahulu memilih calon anak angkat yang sesuai dengan

kriteria yang mereka inginkan, karena dengan adanya keserasian antara calon

anak angkat dengan calon orang tua angkat akan tumbuh rasa kasih sayang calon

orang tua angkat dengan calon anak angkatnya tersebut.

Setelah adanya kecocokan antara calon orang tua angkat dengan calon

anak angkatnya, calon orang tua angkat juga harus memperhatikan langkah apa

saja yang harus dilakukan antara pihak orang tua kandung apabila masih ada

21
Ahmad Hatta, Tafsir al-Qur’an Per Kata Dilengkapi Dengan Ashabun Nuzul dan
Terjemahnya, Cet.IV, (Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2009), h.113.
60

dengan pihak calon orang tua angkat, yaitu adanya kesepakatan dan juga adanya

serah terima dari pihak orang tua kandung kepada pihak orang tua angkat.22

Terkait dengan kesepakatan. Sebelum dilakukan pengangkatan anak, akan

diadakan kesepakatan terlebih dahulu diantara kedua belah pihak, yaitu pasangan

suami istri yang akan melakukan pengangkatan anak dengan orang tua dari anak

yang bersangkutan. Kesepakatan ini biasanya dilakukan hanya secara lisan yang

disaksikan oleh para keluarga dari masing-masing pihak, yaitu dengan cara

pasangan suami istri yang akan mengangkat anak mendatangi keluarga dari orang

tau dari anak yang bersangkutan untuk mendapat kesepakatan pengangkatan anak

tersebut.

Selanjutnya adanya serah terima yang dilakukan terjadi kesepakatan antara

pasangan suami istri yang akan melakukan pengangkatan anak dengan orang tua

anak yang akan diangkat. Serah terima adalah penyerahan anak yang diangkat

dari orang tuanya kepada pasangan suami istri yang akan melakukan

pengangkatan anak dan juga penyerahan segala tanggung jawab yang seharusnya

dilakukan orang tua kandung karena ketidak mampuan orang tua kandung, kepada

orang tua angkat sesuai dengan tujuan untuk mensejahterakan kehidupan anak

tersebut juga disaksikan oleh para keluarga.

Setelah semuanya sepakat, barulah orang tua angkat melakukan kewajiban

layaknya orang tua kandung anak tersebut dengan memberikan mereka

pendidikan yang layak, baik pendidikan jasmani dan rohani, memenuhi segala
22
Wawancara pribadi dengan Yuda Abdul Jabar. Parung Benying, 17 Desember 2010.
61

kebutuhan mereka yang sebelumnya mereka belum dapatkan dari orang tua

kandung mereka karena keterbatasan orang tua kandung mereka, memberikan

kasih sayang, bimbingan moril ataupun materil yang tentu saja tidak keluar dari

aturan-aturan agama.

1. Faktor Pengangkatan Anak

Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan panti Bapak Yuda Abdul

Jabar, seseorang mengangkat anak tentu saja karena ada faktor yang melatar

belakanginya. 23 Adapun pengangkatan anak yang sering terjadi berdasarkan

alasan karena seseorang itu benar-benar belum dikaruniai keturunan, mereka

mengharapkan memperoleh keturunan sendiri, sehingga mereka tidak khawatir

jika kelak sudah tua tidak ada yang merawatnya dan mengurus harta benda yang

ditinggalkan, maka langkah yang diambil adalah mengangkat seorang anak. Ada

juga karena para orang tua angkat ingin membantu anak-anak yang kurang

beruntung dalam hal pendidikan, pembiayaan kehidupannya sehari-hari, juga

memberikan kasih sayang layaknya orang tua kandung. Semua itu dilakukan atas

dasar demi kepentingan anak-anak tersebut, karena pengangkatan anak harus

dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan

agar masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat. 24 Perlu diingat

bahwa anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

23
Ibid.
24
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, h.
66.
62

harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak terletak harkat,

martabat dan hak-hak manusia yang harus dijunjung tinggi, dan Yayasan Siran

Malik menjunjung tinggi amanah tersebut.

2. Jumlah kasus

Adapun kasus pengangkatan anak pada Yayasan Siran Malik Pesantren al-

Falah sementara ini baru ada tiga kasus. Sedikitnya jumlah kasus tersebut

dikarenakan beraneka ragam keinginan calon orang tua angkat dalam masalah

pemilihan calon anak angkat. Misalnya di saat datang calon orang tua angkat yang

hendak mengangkat anak, anak yang dikehendaki oleh calon orang tua angkat

bukan dari salah satu dari anak didik di yayasan tersebut.

Hal itu juga disebabkan karena adanya ketidak cocokan antara calon anak

anak angkat dengan calon orang tua angkat. Ketidak cocokan itu terjadi karena

dari salah satu pihak misalnya anak merasa tidak nyaman dengan calon orang tua

angkatnya, mungkin karena anak tersebut malu atau takut. Selain itu juga karena

dari pihak calon orang tua angkat datang hanya untuk melihat-lihat saja, setelah

itu karena merasa tidak sesuai dengan yang mereka inginkan maka mereka

membatalkan niatnya untuk mengangkat anak.25

Beragam persoalan itulah yang merupakan hambatan terlaksananya

pengangkatan anak pada Yayasan Siran Malik al-Falah. Namun, meskipun

25
Wawancara Pribadi Dengan Pimpinan Yuda Abdul Jabar. Parung Benying, 17 Desember
2010.
63

demikian, yayasan tetap memberi peluang bagi siapa saja calon orang tua angkat

yang ingin mengangkat anak untuk datang pada yayasan tersebut.

3. Gambaran kasus

Sebelumnya telah penulis jelaskan bahwa baru ada tiga kasus

pengangkatan anak yang terjadi pada Yayasan Siran Malik al-Falah. Dan beragam

persoalan menjadi hambatan terlaksanannya pengangkatan anak pada yayasan

tersebut. Untuk memperjelas bagaimana pengangkatan anak pada Yayasan Siran

Malik al-Falah maka penulis akan memberikan beberapa gambaran pengangkatan

anak pada Yayasan Siran Malik al-Falah.

Kasus pertama dilakukan oleh seorang ibu bernama Husnaini. Ia adalah

seorang bidan di daerahnya. Dalam usia perkawinannya yang sudah cukup lama,

ibu Husnaini belum dikaruniai seorang bayi. Karena pekerjaannya yang selalu

melihat bayi, Ibu Husnaini ingin sekali mengadopsi anak. Setelah sepakat dengan

suaminya, ibu Husnaini lalu datang ke yayasan untuk melihat-lihat apakah ada

yang cocok untuk dijadikan anak angkatnya kelak. Setelah itu ibu Husnaini

merasa cocok dengan Marlina 15 tahun, dan Nuraini 17 tahun, dua orang anak

yang kebetulan adik kakak. Ibu Husnaini menyukai anak tersebut karena ternyata

kedua anak itu merupakan anak cerdas disekolahnya, mereka merupakan anak

berprestasi dengan nilai dalam pelajaran yang memuaskan, dan lagi mereka

merupakan anak yatim dengan kehidupan yang kurang mampu, hanya mempunyai

seorang ibu yang hidupnya sungguh memprihatinkan, karena prestasinya tadi ibu
64

Husnaini mengangkat kedua anak tersebut agar kedua anak tersebut dapat

melanjutkan pendidikan serta terpenuhi semua kebutuhan mereka.

Tetapi pengangkatan yang mereka tidak melalui proses pengadilan, hanya

secara lisan saja dengan kesepakatan kedua belah pihak yang disaksikan oleh

pihak yayasan dan keluarga saja. Pengangkatan anak dengan cara itu mereka

lakukan karena bagi mereka khususnya ibu Husnaini, pengangkatan seperti itu

telah sesuai dengan ajaran Islam, yang tidak memutuskan hubungan nasab antara

orang tua kandung dengan anak tersebut.

Kasus selanjutnya yaitu pengangkatan anak oleh ibu-ibu pengajian al-

Makmur Serua. Sebenarnya ini bukan murni pengangkatan anak, tetapi lebih

condong pada pengasuhan anak, karena ibu-ibu disini merupakan ibu asuh

mereka, yang sebenarnya kedudukan mereka seperti orang tua kandung dari anak

asuhnya tersebut. Ibu-ibu pengajian al-Makmur datang ke Yayasan Siran Malik

al-Falah untuk mengangkat anak yang tujuannya mereka ingin membantu anak-

anak didik di Yayasan siran Malik al-Falah yang kebetulan orang tua mereka

kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Ibu-ibu pengajian al-Makmur mengangkat Supri 13 tahun, Heriyanto 16

tahun, Ayub 16 tahun, dan Sarah 16 tahun, mereka adalah anak yang kurang

mampu, dengan semangat hidup yang luar biasa. Segala kebutuhan untuk

pendidikan, dan keperluan hidup lainnya ditanggung oleh ibu-ibu dari pengajian

al-Makmur Sarua. Dengan berbekal keterampilan yang mereka miliki, diharapkan

agar setelah mereka lulus sekolah bisa membantu pengajian al-Makmur untuk
65

menyalurkan ilmu-ilmu yang mereka miliki. Walaupun pengangkatan anak pada

kasus ini berbeda dengan pengangkatan pada umumnya yang dilakukan oleh

pasangan suami istri, tapi tetap saja tujuan mereka untuk membantu anak-anak

yang kurang mampu yang perlu diberi perhatian, kasih sayang, sehingga mereka

dapat melangsungkan kehidupan dengan baik.

C. Pengangkatan Anak Menurut Aturan Hukum Positif

Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian dari hukum

perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan

berkembang di masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-

beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah,

walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara

khusus dalam undang-undang tersendiri.

Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan

menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan

orang per orang dalam keluarga. Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak

telah menjadi bagian dari adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia dan

telah merambah dalam praktik melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum

terbentuknya undang-undang yang mengatur secara khusus, pemerintah

mengeluarkan Instruksi Presiden no. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluaskan

Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 171 huruf h disebutkan bahwa “anak angkat

adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
66

pendidikan dan lain sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal

kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan.”26

Pengertian pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut,

jika dibandingkan dengan pengertian anak angkat dalam undang-undang No. 23

Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1

angka 9 dinyatakan bahwa “anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan pembesaran anak tersebut, ke

dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan

pengadilan.”27

Hal penting yang perlu digarisbawahi bahwa pengangkatan anak harus

dilakukan dengan proses hukum dengan prosuk penetapan pengadilan. Jika

hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan rekayasa sosial, maka

pengangkatan anak harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut

merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang

hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak di

kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi

orang tua angkat. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan

tersebut, telah berkembang baik di lingkungan pengadilan negeri maupun

pengadilan agama bagi yang beragama Islam.

26
Republik Indonesia, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, tentang Penyebarluasan
Konpilasi Hukum Islam, Pasal 171 huruf h.
27
Republik Indonesia, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 , tentang Perlindungan Anak,
pasal 1 angka 9.
67

Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, sebagaimana salah satu

lembaga kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan bagi yang beragama

Islam, selama ini telah menangani perkara permohonan pengangkatan anak yang

diajukan oleh orang-orang Islam berdasarkan hukum Islam. Pengadilan agama

terikat dengan suatu asas pokok hukum kekuasaan kehakiman bahwa “Pengadilan

tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa

hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.”28

Oleh karena itu, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
29
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka

pengangkatan anak dalam kontek saling tolong-menolong dan semangat

penelusuran hukum sesuai dengan asas komitmen akidah sebagian besar bangsa

Indonesia sebagai salah satu unsur dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat menjadi salah satu poin penting yang dijadikan dasar pertimbangan

hukum oleh hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara permohonan

pengangkatan anak.

Mahmud Syaltut menyatakan bahwa pengangkatan anak dalam konteks

mengangkat anak orang lain yang diperlakukan seperti memperlakukan anak

sendiri dalam hal kasih sayang, nafkah sehari-hari, pendidikan dan lain-lain, tanpa

28
Lihat Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
29
Lihat Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
68

harus menyamakannya sebagai anak kandung, maka pengangkatan anak seperti

itu dalam Islam dibenarkan.30

Pengangkatan anak dalam Islam pada zaman sekarang sebenarnya

merupakan pemeliharaan dan pengasuhan anak, bukan hanya bagi orang tua

kandung saja, namun pengasuhan oleh orang tua lain yang bukan orang tua

kandungnya dengan tidak sama sekali merubah hubungan nasab, mahram,

hubungan wali mewali dan hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkat,

karena pada hakikatnya anak angkat tetap memakai nama dari bapak kandung dan

tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandung.31 Perubahan yang terjadi hanya

perpindahan tanggung jawab pemeliharaan, pengawasan, dan pendidikan dari

orang tua asli kepada orang tua angkat.

Agama Islam tidak memungkiri adanya anak angkat sejauh untuk memberi

kesejahteraan dan pendidikan kepada si anak, yang tidak diperkenankan oleh

agama Islam adalah memutuskan hubungan darah antara si anak kandung dengan

orang tua kandungnya sehingga segala akibat sebagai anak kandung tidaklah

terhapus oleh pengangkatan anak. Ayah angkat tidak akan dapat menjadi wali

nikah dari anak angkat yang perempuan yang tetap menjadi hak daripada ayah

kandung.32

30
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Kairo: Daar Al- syuruk, 1991), h. 321.
31
M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, h. 28
32
B. Bastian Tafal, Pengangkatan anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya
di Kemudian Hari, hal. 155
69

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Suatu perbuatan hukum akan selalu menimbulkan akibat hukum pula di

kemudian hari. Seperti halnya dalam perbuatan hukum berupa pengangkatan

anak, perlu adanya suatu bukti tertulis berupa penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak dengan tanpa suatu bukti tertulis akan menimbulkan

permasalahan terutama mengenai beban pembuktian di hari kemudian apabila

terjadi suatu sengketa.

Seperti yang sudah di paparkan sebelumnya bahwa pengangkatan anak

harus dilakukan dengan proses hukum melalui penetapan pengadilan. Karena jika

hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan rekayasa sosial, maka

pengangkatan anak harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut

merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang

hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak di

kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi

orang tua angkat.

Sesuai dengan pernyataan di atas, seorang anak yang diangkat oleh orang

tua angkat apabila dalam proses pengangkatan anak tidak melalui proses

penetapan pengadilan maka anak tersebut tidak mendapatkan kepastian hukum

dan akan menimbulkan masalah apabila terjadi suatu sengketa di kemudian hari.

Dan perlu diketahui bahwa pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan

tersebut tidak terjadi akibat hukum di kemudian hari, baik dalam hal nasab,

perwalian, hubungan mahrom, dan juga dalam hal waris.


70

Dan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan tidak sah menurut

negara, namun dalam hukum Islam pengangkatan seperti ini sah karena pada

dasarnya pengangkatan anak dalam hukum Islam menggariskan bahwa hubungan

hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan

antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas,33 dan sama sekali tidak

menciptakan nasab.

Akibat hukum dari pengangkatan anak dalam Islam hanyalah terciptanya

hubungan kasih dan sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama

manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi hukum lainnya

adalah orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram, dan tidak

ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan pernikahan.

Rasulullah SAW diperintahkan untuk menikahi seorang janda Zaid bin Haritsah

anak angkatnya, hal ini menunjukkan bahwa antara Nabi Muhammad dan Zaid

bin Haritsah tidak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang

sebagai orang tua angkat dengan orang tua angkatnya.34

Seperti halnya pengangkatan anak di Yayasan Siran Malik, proses

pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan secara lisan saja dengan disaksikan

kedua belah pihak keluarga baik dari keluarga yang mengangkat dan keluarga

yang diangkat tanpa adanya penetapan pengadilan. Sebenarnya penetapan

33
Pengangkatan anak dalam Islam konteksnya lebih tepat disebut anak asuh yang diperluas.
Rifyal Ka’bah menyebutkannya dengan istilah hadlanah yang diperluas. Anak asuh yang diperluas,
karena dalam pengangkatan anak harus melalui proses penetapan pengadilan, sedangkan pengasuhan
anak tidak memerlukan suatu proses penetapan pengadilan.
34
Mahjuddin, Masailul Fikhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 87
71

pengangkatan anak dari pengadilan tidak diperlukan lagi apabila keluarga orang

tua angkat masing-masing mempunyai itikad yang baik terhadap kehadiran anak

angkat, sehingga pengangkatan anak yang sudah sah dilakukan meskipun hanya

secara adat saja sudah cukup untuk menjamin kedudukan anak angkat tersebut.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka

penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses pengangkatan anak di Yayasan Siran Malik Pesantren Al Falah pada

umumnya tidak ditetapkan di pengadilan, tapi cukup dilihat dan disaksikan

oleh pihak keluarga. Sistem yang dipakai adalah tidak terang dan tidak tunai,

dimana dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang dilakukan secara diam-

diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya, hanya keluarga tertentu saja,

tidak dihadiri oleh pemuka desa dan tidak dengan pembayaran uang adat.

Karena pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak angkat

tersebut tidak putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya walaupun

bertempat tinggal dan dipelihara keluarga orang tua angkatnya serta mewaris

dari orang tua asalnya.

2. Masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa pengangkatan anak merupakan

pengalihan hak seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua atau wali

yang sah kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan

keputusan pengadilan. Tapi masih banyak orang tua yang tidak mengindahkan

pernyataan tersebut dengan tidak mencatatkan anak angkatnya di pengadilan.

Pengangkatan anak yang dilakukan secara lisan dan tidak ditetapkan di

72
73

pengadilan merupakan pengangkatan anak yang sah menurut agama

sepanjang tidak melenceng dari syariat Islam. Namun memang pengangkatan

anak yang tidak ditetapkan di pengadilan dianggap tidak sah tidak mempunyai

ketetapan hukum dan bukti-bukti yang sah menurut aturan hukum yang

berlaku.

B. Saran

Saran – saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini,

yaitu :

1. Pengangkatan anak atau adopsi bukanlah satu-satunya jalan untuk melakukan

perlindungan anak karena pada dasarnya yang berkewajiban melakukan

perlindungan anak adalah orang tua kandung si anak. Maka dari itu para orang

tua perlu diberikan pemahaman mengenai perlindungan anak dan Komnas

perlindungan anak juga perlu mensosialisasikan undang-undang perlindungan

anak tersebut.

2. Masyarakat hendaknya lebih peduli terhadap sesama dengan tidak

membiarkan anak yatim atau anak-anak terlantar berkeliaran di jalan.

Masyarakat diwajibkan mengangkat anak tersebut dengan tujuan untuk

menolong si anak agar tidak terlantar, dan melindungi dirinya dari kesusahan

dan kelaparan. Hal semacam ini dianjurkan karena salah satu kewajiban

sesama muslim agar saling tolong- menolong terhadap sesama manusia.


74

3. Orang tua angkat yang hendak mengangkat anak diharapkan terlebih dahulu

mengetahui hakekat pengangkatan anak dalam konsep Islam sehingga

dikemudian hari tidak akan menimbulkan dampak hukum bagi anak yang

diadopsi dan orang tua serta keluarganya. Dan bagi orang tua yang melakukan

adopsi hendaknya memelihara anak tersebut dengan sebaik-baiknya, penuh

kasih sayang layaknya anak sendiri, diberikan pendidikan agar menjadi anak

yang berguna bagi nusa dan bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 2004

Anis, Ibrahim dan abd.halim muntasir et al. Al-Mu’jam Al-Wasith, Jilid.II. Mesir:
Majma’ Al-Lughah Al-Arabiah, 1392h/1972m.

Basyir, Ahmad Azhar. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Bandung: PT
Al-Ma’rif, 1972.

Budiarto, M. pengangkatan anak ditinjau dari segi hukum. Jakarta: Akademika


Pressindo, 1985.

Bushar, Muhammad. Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai


Pustaka, 2005.

Echols , Jhon. M. dan Hasan Sadly. Kamus Ingris Indonesia, cet.XXV, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Fauzan, M. Perbedaan Mendasar Akibat Hukum Penetapan Pengangkatana Anak


Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Agama, Varia Peradilan no 256, MA RI,
Jakarta Maret 2007.

Fauzan, Pengangkatan Anak Bagi Keluarga Muslim Wewenang Absolut Peradilan


Agama, Majalah Mimbar Hukum, No. X, Edisi Desember 1999.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Jakarta: Fajar Agung, 1987.

Hamzah, Andi. Kamus Hukum, Jakarta: PT. Ghalia, 1986.

Haroen, Nasroen. Ensiklopedi Hukum Islam, cet.III. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van
Houve, 1999.

Haroen, Nasroen. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Hatta, Ahmad. Tafsir al-Qur’an Per Kata Dilengkapi Dengan Ashabun Nuzul dan
Terjemahnya, cet.IV, Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2009.

Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV. Edisi
Revisi. Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

70
71

Jufri, Mufidah Saggaf. al-Laqit dan Tabqnni, Makalah, tp. 2004

Kamil, Achmad dan Fauzan, H.M.. Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak
Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Martosedono, Amir, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya,cet.II.


Semarang: Effhar Offset Semarang, 1990.

Moch Fachruddin, Fuad. Masalah Anak Dalam Hukum Islam Anak Kandung, Anak
Tiri, Anak Angkat, Dan Zina, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991.

Mujib, Abdul. Kamus Istilah Fiqih, cet.I, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.

Profile Yayasan Siran Malik Pesantren Al-Falah

Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram Dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2005.

Rasyid, Raihan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama, Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 1999.

Sayis, Muhammad Ali. Tafsir Ayat al-Ahkam, jilid 14, Mesir: Matba’ah Ali Shabih
wa Awadin, 1372 H/1953 M.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001.

Soekanto, Soerjono. Kamus Hukum Adat, cet.I, Bandung: Alumni, 1978.

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1976.

Soepomo, Rd. Hukum Perdata Adat Jawa Barat, cet.II, Jakarta: Penerbit Djambatan,
1982.

Soeroso, R. Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Subekti dan Tjorosudibio, Kamus hukum, Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1970.

Sudiyat, Imam. Hukum Adat Sketsa Asas, cet.II, Yogyakarta: LIBERTI Yogyakarta,
1981.

SY, Mustofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, cet.II, Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2008.

Syaltut, Mahmud. Al-Fatawa, Mesir: Dar al Syuruk, 1991.


72

Syamsu Alam, Andi dan Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Tafal, B. Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat


Hukumnya Di Kemudian Hari, cet.II, edisi.I, Jakarta: CV. Rajawali, 1989.

Warsen Munawwir, Achmad. Kamus Al- Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif,


1997.

Yanggo, Chuzaimah Tahido. Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet-I, Jakarta:


Pustaka Firdaus, 1996.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT Hadi Karya Agung.

Zahabi, Muhammad Husain. al-Syariah al-Islamiyah: Dirasat Muqaranah baina


Mazahiib Ahl Sunnah wal al-Mazahab al-Ja’fariah. Mesir: Dar al-Qutub al-
Hadits.

Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, cet.IV, Jakarta:
Sinar Grafika, 2002.

Anda mungkin juga menyukai