Anda di halaman 1dari 92

KONSEP PEMIKIRAN IDAH BAGI LAKI-LAKI SERTA

RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN


REFORMASI HUKUM KELUARGA
DI INDONESIA

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Andini Hafizhotin Nida


NIM : 107044102645

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H /2011 M
KONSEP PEMIKIRAN IDAH BAGI LAKI-LAKI SERTA
RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN
REFORMASI HUKUM KELUARGA
DI INDONESIA

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Andini Hafizhotin Nida


NIM : 107044102645

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM


NIP 195505051982031012

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H /2011 M

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KONSEP PEMIKIRAN IDAH BAGI LAKI-LAKI SERTA


RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN REFORMASI HUKUM
KELUARGA DI INDONESIA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan
Agama.

Jakarta, 21 Juni 2011


Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM


NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA


NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA


NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM


NIP. 195505051982031012

4. Penguji I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., MA


NIP. 19760807200312001

5. Penguji II : Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag


NIP. 197308022003121001

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta,1 Juni 2011

Andini Hafizhotin Nida


NIM: 107044102645

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt., yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Konsep Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki Serta Relevansinya dengan

Perkembangan Reformasi Hukum Keluarga di Indonesia ". Salawat dan salam

semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah

membimbing pada jalan kebenaran.

Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun tidak dapat menafikan motivasi dan

bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sekaligus

sebagai dosen pembimbing skripsi.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MH., Ketua Program Studi Peradilan Agama

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang sekaligus sebagai dosen penasehat Akademis.

3. Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan

pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.

iv
5. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya.

6. Orang tua tercinta Bapak H. Hifzy Anshori dan ibu Lastini Kunyadi yang

telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan

penuh keikhlasan, membantu penulis baik moril maupun materil, adik dan

kakak tercinta Noviyan Fajri dan Andika Irhamy, S.sos.I.

7. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi motivasi dan dukungan kepada

penulis Wa Titi, Wa Mpi yang tulus telah mendukung dengan segenap kasih

sayang dan bantuan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

ini, kakek tercinta Kunyadi, Seluruh sepupu penulis Mba Erlyn, Mas Ari, Mas

Erwyn, Mas Deny, Mba Nur, Ka Ipu, dan seluruh keponakan-keponakanku

yang telah menghibur dengan senyuman manis dan canda tawanya.

8. Sahabat-sahabat penulis, Nurul Hikmah alias Ocet, Yossi Febrina (tante

mo’moi), teteh Ade Uswatul Jamiliyah, juga Sari Eka Lestari Putri (Tamara)

dan segenap teman-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan

motivasi.

9. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya kelas A, dan juga

kelas B.

10. Anih Robbani, kekasih hati pelipur lara, ia selalalu ku cinta, motivasi dan

kasih yang terpancar bak cahaya, keindahan cintamu ku percaya, terima kasih

sayang, kau anugerah terindah dalam hidup.

v
Akhirnya penulis sangat menyadari bahwa karya ini masih terlamapau jauh

dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima

dengan besar hati.

Harapan penulis semoga karya yang sederhana ini dapat memberikan manfaat

yang besar bagi para pihak dan penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik

mereka diterima oleh Allah swt. Amin.

Billahi taufik wal hidayah

Wallahu a’lam bish-shawwab

Jakarta, 1 Juni 2011

Penulis

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv

DAFTAR ISI .................................................................................................... ......... vii

BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10

D. Metode Penelitian ............................................................................. 10

F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG IDAH ............................................. 14


A. Pengertian Idah ................................................................................. 14

B. Dasar Hukum Idah ............................................................................ 16

C. Macam-macam Idah ......................................................................... 22

D. Tujuan dan Hikmah Idah .................................................................. 28

BAB III : BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KEMUNGKINAN IDAH


BAGI LAKI-LAKI ............................................................................... 32
A. Pendapat Ulama Tafsir dan Fikih Tentang Idah.............................. 32

B. Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki ....................................................... 48

C. Relevansi Idah Laki-Laki Dengan Reformasi Perkembangan Hukum

Keluarga di Indonesia ..................................................................... 55

D. Penolakan Terhadap Gagasan Idah Bagi Laki-Laki ........................ 69


vii
BAB IV : PENUTUP ............................................................................................ 76
A. Kesimpulan ..................................................................................... 76

B. Saran ................................................................................................ 77

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 79

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan perangkat aturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi

Muhammad saw. yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur hubungan manusia

dengan alam dan hubungan dengan Allah. Islam sangat memperhatikan dan

menghargai kedudukan sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Salah

satu dari ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu mengenai ikatan kekeluargaan dari

awal terbentuknya sampai kepada tujuan ikatan pernikahan. Pernikahan merupakan

proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena pada saat mereka

lahir sampai tahap kedewasaan akan muncul untuk menjalin ikatan dengan lawan

jenisnya sebagai tujuan dari keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 2 menyatakan bahwa

pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,1 dan tujuan pernikahan

tertuang dalam pasal 3 yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawadah, dan rahmah. UU perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan

perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

1
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan), Pasal 2
Pengertian Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 2.

1
2

istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Dengan melihat maksud utama dari pernikahan itu sendiri, maka haruslah ada

aturan main yang harus dijaga dan difahami akan makna dari pernikahan dan menjaga

suatu hubungan yang dapat berimbas dan berpengaruh pada suatu hubungan yang

telah dijaga atas nama cinta.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu

perbuatan dengan tentram, aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari

pihak manapun, maka perlu ada suatu tata (orde, ordenung) yaitu aturan yang menjadi

pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya. Dengan demikian,

kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, setiap anggota

masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata atau aturan-aturan

yang demikian itu lazim juga disebut kaidah atau norma.2

Adapun yang termasuk macam-macam norma ialah norma agama, hukum dan

kesusilaan. Norma yang dimaksud dalam hal ini adalah norma hukum yang

bersumber kepada: a). Undang-undang, b). Kebiasaan (custom), c). Keputusan-

keputusan (yurisprudensi), d) Traktat (treaty).3

Dalam hal perkawinan, seorang muslim wajib berpedoman kepada hukum

syarak yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang dan

2
Mufti Wiriadihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, cet.Pertama, (Yogyakarta:
Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1972), h. 6.
3
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), h. 44.
3

dibolehkan. Pernikahan yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya dilakukan

untuk selama-lamanya sampai matinya salah seorang suami atau istri, namun dalam

keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya pernikahan itu dalam

arti bila hubungan pernikahan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi.

Dalam hal ini, Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir

dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan atau perceraian dengan

begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.4

Ajaran agama Islam mengajarkan bahwa ikatan perkawinan harus

dipertahankan dan segala usaha harus dilakukan untuk menjaga agar keutuhan rumah

tangga dapat dipertahankan. Namun, apabila semua harapan kasih sayang telah

musnah, perkawinan menjadi suatu yang membahayakan sehingga timbul saling

membenci, saling tidak mempercayai, dan saling tidak menyukai, maka untuk

kepentingan kemaslahatan5 suami istri dan masyarakat disyariatkan adanya

perceraian. Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan

menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin

dihindarkan.6

Konsekuensi dari putusnya suatu hubungan perkawinan tentunya mempunyai

ketentuan yang berlaku bagi kedua pasangan tersebut, dalam hal ini, konsekuensi

yang berlaku bagi seorang istri berupa idah, istilah idah itu sendiri berasal dari kata
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, cet.II (Jakarta: Kencana, 2007), h. 190.
5
Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 5.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 190.
4

kerja ‘adda ya’uddu yang artinya kurang lebih al-ihshâ`, hitungan, perhitungan atau

sesuatu yang dihitung.7 Dari sudut bahasa, kata idah biasanya dipakai untuk

menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan.

Perempuan yang beridah dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama,

perempuan yang beridah karena ditinggal mati oleh suaminya. Kedua, perempuan

yang beridah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya, untuk lebih jelas dan

terperinci, pembahasan mengenai hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya dalam

penulisan skripsi ini.

Mengenai idah, aturan tersebut telah diatur dalam Alquran. Idah merupakan

suatu perbuatan yang wajib di jalani oleh seorang istri ketika telah putus hubungan

pernikahannya, baik di sebabkan perceraian ataupun kematian.8

Ketentuan Alquran tentang idah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus

diikuti, karena inilah syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan

mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu

saja tidak dapat diubah.

Praktek idah yang diatur dalam Islam sebenarnya dilakukan dan dikenal sejak

masa jahiliah, pada saat itu, mereka hampir tidak pernah meninggalkannya, lalu

7
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, jilid.VII (Damaskus: Dar al-Fikr,
1996), h. 624.
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h.304.
5

ketika Islam datang, Islam mengakui dan menerapkan idah ini, melihat banyaknya

maslahat yang tesimpan dalam pensyariatan idah itu sendiri.9

Mengenai idah yang berarti waktu menunggu bagi mantan istri yang telah

diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena talak atau diceraikannya. Ataupun

karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum

boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain,10 idah merupakan

suatu kewajiban bagi perempuan dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Hal

tersebut telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang termaktub pada pasal 153

yaitu “Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku masa idah, kecuali

qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”.11

Dalam perkembangan zaman yang terus berkembang dan ilmu

pengetahuanpun begitu pesat perkembangannya, ternyata dewasa ini timbul suatu

pemikiran yang dapat dikatakan baru, yaitu perlunya ada idah bagi laki-laki, hal ini

lahir karena tujuan demi keadilan. Bukti nyata dari pemikiran tersebut yaitu dengan

lahirnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang merupakan

tandingan Kompilasi Hukum Islam (KHI), di dalamnya membahas tentang hukum

perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan.

9
Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid III. Penerjemah: M.Ali Nursydi, Hunainah
dan M thohir Makmun. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), h. 7.
10
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.III (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 1997), h. 125.
11
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan ), Pasal 153,
hal. 47.
6

Perkembangan pemikiran tersebut tentunya hal yang wajar mengingat

Indonesia yang merupakan negara mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia,

tentu harus memiliki suatu peraturan yang dapat memberikan kenyamanan bagi

rakyatnya, oleh karena itu, maka tidak salah perkembangan pemikiran tentang hukum

berkembang pesat sehingga terjadi suatu reformasi hukum dari masa ke masa, hal ini

dapat dilihat dari upaya pembaharuan hukum keluarga yang sudah dimulai sejak

1950-an. Namun upaya kongkrit pembaharuan hukum keluarga di Indonesia dimulai

kembali pada tahun 1960-an yang berujung dengan lahirnya Undang-Undang RI No.

1 Tahun 1974 tentang perkawinan, inilah UU pertama yang mengatur tentang

perkawinan secara nasional. Pembaharuan hukum tentang keluarga kemudian

mengalami perubahan dengan disahkannya KHI yang menjadi pedoman bagi umat

Islam di Indonesia yang materinya mencakup perkawinan, kewarisan dan

perwakafan. Hal tersebut sesuai dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 dan digunakan

sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan

Peradilan Agama di seluruh Indonesia.12

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan timbulnya pembaharuan hukum di

Indonesia, antara lain:

1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam

kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap

masalah yang baru terjadi sangat mendesak untuk diterapkan.

12
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h.
141.
7

2. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang

mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya.

3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang pada

hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.

4. Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh para

mujtahid baik tingkat nasional maupun tingkat Internasional.13

Perlu diingat bahwa perubahan hukum itu sendiri tidak terlepas dari adanya

perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu, perubahan ini sejalan dengan teori qaul

qadim dan qaul jadid yang dibuat oleh Imam Syafi’i. Dari hal ini, maka tidak heran

belakangan ini reformasi hukum di Indonesia sesuai dengan waktu dan keadaan dapat

berubah, tentunya pandangan tersebut dikuatkan dengan faktor sosial yang

membutuhkan perubahan tersebut, maka tak heran berkembang pemikir-pemikir baru

saat ini yang berusaha untuk mengamandemen KHI karena dalam KHI secara

eksplisit menempatkan perempuan hanya objek seksual dan meneguhkan subortasi

perempuan.14

Terjadinya pemikiran seperti itu mengakibatkan lahirnya suatu pemikiran

yang baru dengan ditandai lahirnya gagasan untuk mengamandemen KHI sampai

akhirnya lahirlah Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebagai

bentuk pembaharuan hukum keluarga yang mengangkat hak dan martabat kaum

13
Ibid., h. 155.
14
Siti Musdah Mulia. Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan
Indonesia dalam Sulistiawati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 132.
8

perempuan. Dengan lahirnya CLD-KHI, maka hal tersebut menjadi satu titik

perubahan hukum dalam tatanan hukum keluarga Islam yang kemudian pengaruh dari

hal tersebut menjadi cita-cita untuk bisa dijadikan Undang-undang yang digunakan.

Di Indonesia sendiri tercatat salah satu ilmuan yang mengharapkan perubahan

tatanan hukum keluarga, dalam hal ini adalah Siti Musdah Mulia yang berperan aktif

memperjuangkan pembenahan hukum keluarga itu sendiri, hal ini terlihat dari

usahanya membuat peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam CLD-KHI, tentu

banyak tawaran dalam aturan tersebut, namun dalam skripsi ini hanya membahas

yang berkaitan dengan idah bagi laki-laki yang dalam CLD-KHI diatur dalam pasal

88 yang dalam peraturan mengenai idah dijelaskan bahwasanya (1) bagi suami atau

istri yang yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh pengadilan agama berlaku

masa transisi atau idah.15

Dari penjelasan di atas, maka penulis akan membahas lebih dalam lagi

mengenai pemikiran idah bagi laki-laki serta apakah pemikiran tersebut dapat

mempengaruhi perkembangan hukum yang semakin mengalami kemajuan,

khususnya hukum keluarga yang berlaku bagi setiap masyarakat muslim di Indonesia

yang merupakan penduduk mayoritas di negara ini. Berdasarkan hal tersebut, maka

penulis tuangkan pembahasan tersebut dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk

skripsi yang berjudul “Konsep Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki Serta

15
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan
Indonesia, dalam Sulistiawati Irianto Ed, Sulistiawati Irianto, Perempuan Dan Hukum. Menuju
Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. h. 170.
9

Relevansinya Dengan Perkembangan Reformasi Hukum Keluarga Di

Indonesia”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan tentang idah sangatlah luas, oleh karena itu pembahasan yang

akan dibahas dalam penulisan skripsi ini terfokus hanya dalam pembahasan idah bagi

laki-laki.

2. Rumusan Masalah

Idah yang di tetapkan bagi wanita tentunya telah diatur dalam undang-undang

yang berlaku, khususnya di Indonesia yang termaktub dalam KHI, namun

perkembangan pemikir dan ilmuan-ilmuan yang eksis di bidang hukum mengalami

pergeseran pemikiran. Dalam hal ini, pemikiran tentang kewajiban idah bagi laki-laki

tentunya merupakan pemikiran yang baru dan sangat menarik untuk dibahas, oleh

karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis akan mengangkat hal tersebut dan

menggali lebih dalam akan permasalahan tersebut. Untuk memperjelas pemasalahan,

penulis merincinya dengan mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah konsep idah bagi laki-laki?

b. Apakah konsep idah tersebut relevan dengan perkembangan reformasi hukum

keluarga di Indonesia?
10

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Untuk mendeskripsikan konsep idah bagi laki-laki

b. Untuk memberikan gambaran relevansi pemikiran idah bagi laki-laki

dengan perkembangan reformasi hukum keluarga di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah wawasan keilmuan dan lebih kritis dalam menerima ide-ide

baru.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca,

terutama para ahli hukum, terutama hukum Islam.

D. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

normatif, yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan mengacu kepada

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan dalam penulisan skripsi ini


11

diaplikasikan model pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif analitis.16

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu Kompilasi

Hukum Islam dan referensi terkait dengan pembahasan, yaitu Menuju Hukum

Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indoneis. Dalam Sulistyowati

Irianto (ed) Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berpersfektif kesetaraan dan

keadilan.. Penulis juga mendapatkan data melalui studi kepustakaan dengan cara

membaca kitab-kitab, buku-buku, dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dan terakhir penulis juga

menggunakan data tersier, yaitu pengumpulan data yang didapat dari internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan variabel yang akan diteliti, maka

teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research (penelitian

pustaka). Data-data yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini didapat dari

sumber-sumber yang terdapat di perpustakaan, penulis juga memperolehnya melalui

data-data di internet, serta jurnal yang membahas penelitian terkait.

4. Pedoman Penelitian

16
Lexy Maelong J, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet.Pertama (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2002), h. 3.
12

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi

tahun 2008” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:

a. Dalam daftar pustaka, Alquran ditempatkan pada urutan pertama

b. Terjemahan Alquran dan Hadis ditulis 1/2 spasi walaupun kurang dari

enam baris.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah pembahasan skripsi dan agar lebih sistematis dan

konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan

sebagai berikut:

BAB Pertama Berisi pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan

pembahasan. Memuat latar belakang masalah, batasan dan rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

BAB Kedua Berisi arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya penulis

mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada

bab ini memuat tentang pengertian idah, dasar hukum idah, macam-

macam idah serta hikmah dari idah itu sendiri.

BAB Ketiga Berisi pembahasan mengenai beberapa pandangan tentang

kemungkinan idah bagi laki-laki, dalam bab ini dibahas mengenai

pendapat para ulama tafsir dan fikih mengenai idah, dilanjutkan


13

dengan membahas mengenai pemikiran idah bagi laki-laki,

relevansi idah bagi laki-laki dengan reformasi perkembangan

hukum keluarga di Indonesia dan diakhiri dengan penolakan

terhadap gagasan idah bagi laki-laki.

BAB Keempat Berisi penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga berisi kesimpulan

pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran serta

kritik yang mungkin dapat berguna bagi perkembangan hukum

Islam di masa depan.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG IDAH

A. Pengertian Idah

Idah merupakan keharusan menunggu bagi seorang istri yang diakibatkan oleh

putusnya suatu hubungan perkawinan dengan suaminya atau karena ditalak dan

karena ditinggal mati oleh suaminya. Keharusan idah bagi wanita yang telah ditalak

atau ditinggal mati oleh suami merupakan perintah Allah yang wajib dijalani oleh

para wanita.

Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai pengertian idah ini, maka

penulis mencoba mengungkapkan dan menyajikan dari dua segi, yaitu segi bahasa

dan segi istilah.

1. Dari Segi Bahasa

Sebelum membahas lebih jauh mengenai idah tersebut, maka terlebih dahulu

penulis mengemukakan pengertian idah ditinjau dari segi bahasa, secara bahasa idah

merupakan jamak dari (ٌ‫ )عَدَد‬yang mempunyai arti jumlah atau sejumlah.1

1
Ahmad Warson Munawir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia, cet.XXV (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002), h. 903.

14
15

Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, idah berasal dari

kata (ّ‫ )عد‬yang berarti menghitung.2 Dengan demikian, jika ditinjau dari segi bahasa,

maka kata idah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci

pada wanita.3

2. Dari Segi Istilah

Mengenai pengertian idah dari segi istilah, para ulama telah mendefinisikan

hal tersebut ke dalam beberapa definisi, antara lain:

Menurut Utsman bin Muhammad Satta dalam kitabnya Hasiyat i’anat al-

talibin mendefinisikan pengertian idah secara istilah sebagai berikut:

“ Idah menurut istilah ialah sesuatu yang maknanya tidak bisa di logikakan, apakah

sebagai ibadah atau yang lain dan karena kedukacitaan istri atas suami yang

meninggal”

Sayyid Sabiq mendefinisikan idah secara istilah dalam kitab Fiqh Sunnah,

sebagai berikut:

2
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzuriyah,1989), h.
256.
3
Chuzaemah Tahido Yanggo, dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.Pertama
(Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), h. 149.
4
Utsman bin Muhammad Satta, Hasiyat I’anat al-Thalibin, cet.III (Lebanon: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2007), h. 60.
5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet.Pertama, (Mesir, Dar al-Fath lil i’lam al-Arabi, jilid III,
2000), h. 209.
16

“ Nama untuk masa wanita untuk menunggu dan terlarang untuk menikah setelah

suaminya meninggal atau bercerai”

B. Dasar Hukum Idah

Setelah membahas masalah idah dari segi pengertian, maka di bawah ini

penulis akan membahas dasar hukum idah yang mengacu pada dalil naqli guna

memperjelas tentang idah itu sendiri.

1. Dasar dari Al Qur'an

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al Baqarah (2): 228)

2. Dasar dari Hadis

Kewajiban beridah selain telah diatur dalam Alquran, dalam hadis Nabi juga

mengatur dan memperjelas permasalahan tersebut, berikut adalah beberapa hadis

Nabi yang menjelaskan tentang kewajiban bagi istri untuk beridah.


17

Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Saibah telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu
Umar ia berkata : aku mentalak isteriku dalam keadaan haid kemudian Umar
menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda
“Perintahkan kepadanya (Ibnu Umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga
suci kemudian haid kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin mentalaknya
hendaklah ia mentalak sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin
bersamanya, maka hendaklah bersamanya. Itulah idah yang diperintahkan oleh
Allah”. (HR Ibn Majah).

Dasar hukum yang bersumber dari hadis Rasul saw. tentang idah bagi wanita

yang ditinggal wafat oleh suaminya yaitu:

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata : aku
membacakan hadis dihadapan Malik dari Abdullah bin Abi bakr dari Humaid bin
Nafi’ dari Zainab binti Abi Salamah bahwa Zainab telah meriwayatkan hadis ini.
Humaid bin Nafi’ berkata bahwa Zainab pernah berkata “aku bertemu dengan Umi

6
Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
juz.I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 651.
7
Nawawi, Shahih Muslim, juz.V, (Kairo: Daar al-Hadist, 2005), h. 368.
18

Haibah isteri Nabi ketika ayahnya meninggal ayahnya (Abu Tsufyan)dst. Kemudian
Umi Habibah berkata “aku mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar “tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir meratapi mayit
lebi dari tiga hari kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. (HR
Muslim)

Artinya : Telah bercerita kepada kami Yahya ibn Khaza’ah: telah bercerita kepada
kami Malik dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya, dari Miswar putera Makhramah:
“Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra. melahirkan setelah suaminya meninggal dunia
beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin,
maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (HR. Bukhari).

Dari beberapa dasar diwajibkannya idah di atas menjadi suatu pijakan dalam

memahami dan menjalankan aturan sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Indonesia

sendiri aturan mengenai idah tersebut telah diatur dalam suatu peraturan formal yang

mempunyai kekuatan hukum tetap dan tentunya aturan tersebut bersumber dari dalil-

dalil Alquran ataupun Hadis, peraturan tersebut penulis akan bahas lebih lanjut pada

bahasan di bawah ini.

3. Dasar Hukum Positif

Perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang RI

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah

8
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah al-
Bukhoriyyu al-Zu’fiyyu. Shahih al-Bukhori, cet. IV (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), h.
1000.
19

memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang

dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undang-undang

perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang diambil dari

norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh aturan-aturan yang

digariskan dalam syariat Islam.

Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu

tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan.9 Selanjutnya atas dasar pasal 11

Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu

sebagai berikut:

Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu
akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.10

Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39. Pada pasal 153

Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan dalam menentukan waktu tunggu

sebagai berikut :

Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau idah kecuali qobla dhukhul dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.

9
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.IV, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1978), h.
20.
10
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta. PT Pradya
Paramita,1987), h. 10.
20

Sama halnya dengan yang di atur dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi

Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu idah. Sementara itu, apabila

perkawinan putus karena khulu, fasakh, atau li’an11, maka waktu tunggu seperti idah

talak. Sedangkan apabila seorang istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani

masa idahnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 153 ayat (2) huruf b, ayat (5) dan

ayat (6) ditinggal mati oleh suaminya, maka idahnya berubah menjadi empat bulan

sepuluh hari atau 130 hari yang mulai penghitungannya pada pada saat matinya

mantan suaminya tersebut. Adapun masa idah yang telah berjalan pada saat suaminya

masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung pada saat kematian. Karena hal

tersebut dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak

merujuknya selama masih dalam masa idah. Karakteristik masa idah tersebut,

merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa idah dalam

hukum perkawinan Islam.12

4. Keharaman Untuk Melakukan Perkawinan Selama Masa Idah

Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim

Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa idah menurut pengertian hukum

Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak. Hukum syarak yang

dimaksud disini adalah pengertian hukum syarak menurut istilah fuqaha, yaitu:

11
Khulu adalah cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri. Sedangkan fasakh adalah
putus karena salah satu dari salah satu istri atau suami murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak
dibenarkan kawin dan li’an yaitu menuduh istri melakukan perzinaan.
12
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.Pertama (Jakarta: Sinar Grafika
2006), h. 89.
21

13
.

Artinya: Adapun hukum syarak menurut istilah fuqaha ialah pengaruh yang

dikehendaki oleh kitab Syari' (Tuhan) terhadap suatu perbuatan seperti kewajiban,

larangan dan kebolehan.

Bertolak dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas dapat dirumuskan

bahwa idah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang

ditetapkan oleh hukum syarak bagi wanita (istri) untuk tidak melakukan akad nikah

baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan

diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai nilai

ibadah kepada Allah swt.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan

peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan kita

ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi

waktu tunggu idah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas.

Idah yang berarti tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh

kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk

menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga sebagai masa

berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk menentukan masa rujuk bagi

13
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet.VIIII (Jakarta: Majlis al-A'la al-Indonesia Li
al-Dakwah al-Islamiyah, 1972), h. 100.
22

suami bila talak itu berupa talak raj’i.14 Pemahaman ini diinspirasikan secara implisit

oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah idah itu sendiri, yaitu pasal 11

Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975. Dengan demikian, pengertian idah adalah masa tenggang waktu atau

tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di dalam waktu idah itu, bekas suami diperbolehkan

untuk merujuk kepada bekas istrinya. Atas dasar inilah istri tidak diperbolehkan

melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.15

C. Macam-macam Idah

Mengenai macam-macam idah atau waktu tunggu secara spesifikasi, maka

macam-macam idah itu antara lain ialah :

1. Idah Perempuan yang Haid

Jika perempuannya bisa haid, maka idahnya tiga kali quru. Sebagaimana

firman Allah dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 228. Secara zahir, ayat tersebut dengan

tegas mengatur tentang idah bagi istri yang diceraikan oleh suaminya. Sedangkan

bagi istri yang belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaknya, maka bagi

istri tersebut tidak mempunyai masa idah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan

pernah bersetubuh, maka ia harus beridah seperti idah orang yang disetubuhi, hal ini

berdasar firman Allah swt. yang berbunyi sebagai berikut :

14
Arso Sostroatmodjo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.III (Jakarta: Bulan Bintang
1981), h. 80.
15
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet.Pertama
(Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 120.
23

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al Baqarah (2): 234)

Wajib idah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati bekas

suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut : istri

yang ditinggal karena kematian suaminya wajib idah sekalipun belum pernah

disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami

yang meninggal dunia.16 Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus

menjalani idah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila di harikan minimal

90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 peraturan

pemerintah No. 9 tahun 1975.

2. Idah istri yang tidak berhaid

Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggal mati

oleh suaminya, maka mereka (istri) beridah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku

bagi perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak

berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid

16
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Penerjemah: M.Ali Nursydi, Hunainah dan M thohir Makmun,
h. 80.
24

akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi

sebagai berikut :

Artinya: Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara istri-

istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga

bulan; dan begitu juga perempuan-perempuan yang tidak haid.(QS:at-Talaq (45): 4)

Sedangkan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, aturan idah

bagi wanita yang tidak haid, maka idah yang harus dijalani bagi wanita tersebut (istri)

masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 153

Kompilasi Hukum Islam bagian kedua mengenai pengaturan masa tunggu ayat (2)

sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu yang masih haid
ditetapkan tiga (3) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilanpuluh) hari,
dan bagi yang tidak haid di tetapkan 90 (sembilanpuluh) hari ”.17

3. Idah istri yang telah disetubuhi

Idah istri yang telah disetubuhi masih haid dan ada kalanya tidak berhaid lagi.

Masa idah yang masih haid adalah selama 3 kali quru sebagaimana disebutkan dalam

firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 228 yang telah disebutkan di atas.

17
Kompilasi Hukum Islam, (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), h. 47.
25

4. Idah perempuan hamil


Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil, idahnya

sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat at-Talaq ayat

4 sebagaimana yang telah ditulis di atas. Istri tersebut harus menjalani masa tunggu

yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam

pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut :

“Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam


keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”.18

5. Idah perempuan yang suaminya meninggal dunia

Idah wanita yang ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil,

maka lama idahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini berdasarkan pada firman Allah dalam

surat al-Baqoroh (2) ayat 234 yang telah disebutkan di atas.

6. Idah Perempuan Yang Suaminya Hilang

Jika seorang istri yang ditinggal pergi oleh suaminya dan tidak pernah

kembali serta tidak pula ada kabar yang jelas mengenai keberadaan suaminya, maka

wanita itu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sampai wanita tersebut benar-

benar meyakini kematian suaminya tersebut, atau meyakini bahwa talak telah

dijatuhkan oleh suaminya.19

Mengenai pembahasan tentang masalah ini, para ulama mazhab berbeda

pendapat. Berikut penulis uraikan beberapa perbedaan mengenai penjelasan tentang

suami hilang yang dalam istilah fikih disebut dengan suami mafqud.

18
Ibid., h. 47.
19
Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, cet.V (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 435.
26

Ada dua macam hilangnya suami. Pertama, ketidak beradaannya tidak

terputus (hubungan dengan istri) sama sekali, artinya suami tersebut diketahui

tempatnya dan masih diketahui kabar beritanya. Dalam hal ini, seluruh ulama mazhab

sepakat bagi wanita tidak boleh menikah dengan lelaki lain. Kedua, suami tidak

diketahui kabar beritanya dan tidak diketahui tempat tinggalnya. Mengenai pendapat

yang kedua, para ulama berbeda pendapat dalam kaitannya dengan istri, pendapat-

pendapat para Imam Mazhab mengenai hal tersebut antara lain:

 Imam Abu Hanifah mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar beritanya

tersebut tidak halal kawin lagi sampai ia melewati waktu yang lazimnya

suaminya dinyatakan tidak mungkin masih hidup yang dibatasi dengan waktu

seratus dua puluh tahun lagi. Apabila suaminya muncul kembali, sedangkan

wanita tersebut sudah bersuami lagi, maka perkawinannya dengan suami yang

kedua menjadi batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang

pertama.

 Imam Malik mengatakan wanita itu harus menahan diri selama empat tahun,

kemudian beridah selama empat bulan sepuluh hari, dan sesudah itu dia halal

kawin dengan laki-laki lain. Apabila suami yang pertama datang sebelum

suami yang kedua mencampurinya, maka wanita tersebut (tetap) istri

suaminya yang pertama. Sedangkan bila sudah dicampuri, maka tetaplah dia

menjadi istri suami yang kedua, tapi suami yang kedua ini wajib membayar
27

mahar pada suami pertama. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang

diriwayatkan oleh Imam Malik yaitu:

20

Artinya: “Dari Umar r.a. tentang seorang istri yang kehilangan suaminya “ia harus

menunggu selama empat tahun, kemudian ia menjalani masa idah selama empat

bulan sepuluh hari.” (HR.Malik dan asy-Syafi’i)

 Sementara itu menurut Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya mengatakan, istri

laki-laki yang tidak ada kabar beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai

dia melewati waktu yang lazimnya suaminya dinyatakan tidak mungkin

masih hidup, dalam hal ini Imam Syafi’i membatasi dalam hitungan waktu

sepuluh tahun. Apabila suaminya muncul kembali, sedangkan wanita tersebut

sudah bersuami lagi, maka perkawinan dengan suami yang kedua menjadi

batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang pertama. Pendapat

Imam Syafi’i ini sesuai dengan sabda Rasullulluah saw. sebagai berikut:

21
.
Artinya: “Istri orang yang hilang adalah istrinya sehingga datang penjelasan

tentangnya”.

 Imam Ahmad bin Hambal mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar

beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai dia melewati waktu yang

20
Ibnu Hajar al-Asqalani. Terjemah lengkap Bulugul Maram, cet.Pertama. Penerjemah:
Abdul Rosyad Siddiq (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007), h. 511.
21
Hadis dari Mughirah bin Syu’bah r.a. hadist ini diriwayatkan oleh ad-Daruqutnhni dengan
sanad yang dhaif. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani. Terjemah lengkap Bulugul Maram,h.511.
28

lazim yang dinyatakan suaminya masih hidup, Imam Ahmad bin Hambal

memberikan batasan waktu sepuluh tahun. Apabila wanita itu belum

dicampuri oleh suami barunya, maka ia masih tetap istri suaminya yang

pertama, tapi apabila sudah dicampuri maka persoalannya berada ditangan

suaminya. Bila suami pertama mau dia dapat mengambilnya dari suami

barunya, tapi dia dapat mengambil mahar dari suami baru itu.22

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai suami mafkud atau hilang, hal tersebut

diatur pula dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum

Islam mengatur dan menjelaskan apabila hal tersebut terjadi, maka wanita dapat

menggugat cerai suaminya, sebagaimana yang tertera dalam pasal 116 huruf (b)

yaitu:

“Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.”23

D. TUJUAN DAN HIKMAH IDAH

Dalam menetapkan suatu aturan bagi manusia, Allah menciptakan segala

sesuatu tentu ada manfaat dan ada hikmah dibalik aturan tersebut, begitu juga dengan

idah, kewajiban bagi wanita (istri) untuk beridah didalamnya terkandung manfaat dan

hikmah bagi wanita tersebut, berikut adalah manfaat dan hikmah idah:

22
Muhammad Jawad Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. XV (Jakarta: Lentera, 2005), h.
474.
23
Kompilasi Hukum Islam, (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), h. 36.
29

Salah satu tujuan dalam beridah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim

perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suamiya. Pendapat ini telah

disepakati oleh para ulama. Para ulama berpendapat demikian berdasarkan dua alur

pikir yaiyu:

1. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang

yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut

perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan tentang anak yang akan

dikandung oleh wanita tersebut (istri), untuk menghindarkan pembauran bibit

itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin

lagi rahimnya bersih dari peninggalan suaminya.

2. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah

dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali

haid dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.24

Tujuan idah yang kedua yaitu memberikan kesempatan kepada kedua suami

istri untuk membangun rumah tangga kembali (rujuk), bila menurut mereka hal itu

lebih baik.25

Apabila seseorang bercerai dengan suami atau istrinya, maka ia akan

merasakan adanya berbagai perubahan dalam kebiasaan hidupnya. Sebelumnya

24
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 305.
25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, juz. III. Penerjemah: M.Ali Nursydi, dkk, h. 79.
30

seorang laki-laki senantiasa dilayani, tetapi ketika ia berpisah dengan istrinya,

kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya lagi, begitu pula bagi

perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat inilah yang dapat

digunakan untuk berpikir keras, menimbang-nimbang buruk baiknya bercerai itu.

Seorang janda dapat lebih leluasa menyatakan kemauannya untuk bisa kawin

lagi, karena dalam hal ini janda lebih berhak atas dirinya sendiri terhadap adanya

perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya rujuk kembali. Baik

pengaruhnya terhadap dirinya sendiri, anak-anak, keluarga, kerabat, handai-taulan,

dan lain-lain. Dampak negatif tentunya perlu ditekan semaksimal mungkin.

Hikmah dari adanya idah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh,

serta diharapkan dengan masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan

menemukan jalan yang terbaik untuk kehidupan mereka selanjutnya. Di samping

tujuan idah untuk memastikan kekosongan rahim dan untuk membuka peluang agar

dapat rujuk kembali, lebih dari itu idah mempunyai tujuan yang bernilai ibadah26

Pelaksanaan beridah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada

aturan Khaliknya, yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan

kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya.

Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai

hidup atau mati. Di sana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi

26
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 305.
31

dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beridah inilah yang merupakan

gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai

ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat

beridah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati

dan berdosa bila dilanggar dari Allah swt.


BAB III

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KEMUNGKINAN IDAH BAGI

LAKI-LAKI

A. Pendapat Ulama Tafsir dan Fikih Tentang Idah

Dalam pembahasan ini akan dibahas beberapa pandangan mufasirin dalam

menafsirkan ayat tentang idah, hal ini bertujuan untuk memahami lebih dalam apakah

konsep idah bagi laki-laki menjadi suatu yang dibolehkan atau sesuatu yang tidak

dibenarkan atau bertentangan dengan nash, berdasarkan hal tersebut, maka penulis

akan memaparkan padangan mufasir dengan merujuk dan memahami penafsiran ayat

tersebut, untuk lebih lanjut penulis akan mengemukakan beberapa pandangan

mufasirin dalam menafsirkan ayat tentang idah.

Sebelum membahas pandangan mufasir dalam menafsirkan ayat tentang idah,

terlebih dahulu penulis akan mengemukakan asbabun nuzul surat al-Baqarah, hal ini

dinilai penting, seperti halnya pendapat Manna Khalil al-Qattan, bahwa untuk

menafsirkan Alquran, ilmu asbabun nuzul di perlukan sekali. Baginya, asbabun nuzul

merupakan sebab diturunkannya Alquran.1 Termasuk juga Hasbi Ashiddieqy, ia

secara terminologis mengartikan asbabun nuzul sebagai kejadian yang karenanya

diturunkan Alquran untuk menerangkan hukum-hukumnya di hari munculnya

1
Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabahis fi „Ulum al-Qur‟an (Riyad: Mansurat al-„Asr al-Hadis,
t.th), h.75.

32
33

kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya Alquran diturunkan serta

membicarakan hal tersebut, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu atau

kemudian, lantaran suatu hikmah.2 Bahkan, Al-Wahidi memandang bahwa

memahami ayat tanpa asbabun nuzul adalah tidak mungkin.3

Berdasarkan pendapat dari beberapa ulama tersebut, maka penulis akan

membahas asbabun nuzul surat al-Baqoroh (2) ayat 228 yang menjadi dalil akan

keharusan beridah bagi wanita.

Ayat tersebut turun bahwasanya Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim

meriwayatkan dari Asma binti Yazid ibnu Sakan al-Anshariyyah, dia berkata, “Saya

dicerai pada zaman Rasulullah dan ketika itu belum ditetapkan idah untuk para

wanita yang dicerai”. Maka Allah menurunkan idah untuk wanita-wanita yang

dicerai, yaitu firman-Nya,“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri

mereka (menunggu) tiga kali quru”.

Ats-Tsa‟labi, Hibbatullah bin Salamah dalam kitab an-Naasikh dan Muqatil

meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah, Ismail bin Abdullah al-Ghifari

menceraikan istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil.

Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka

dia pun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut melahirkan, namun anaknya

2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantara Ilmu Al-Qur‟an Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 69.
3
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1987), h. 93.
34

meninggal dunia. Maka turunlah firman Allah, “dan para istri yang diceraikan (wajib)

menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru.”4

Penafsiran ayat 228 surat al-Baqoroh, dalam menafsirkan ayat ini Al-Imam

Muhammad Usman Abdullah Al-Mirgani dalam bukunya yang berjudul Tajut Tafasir

menafsirkan ‫( والمطلقت‬Wanita-wanita yang ditalak) yang telah disetubuhi

sebelumnya dari kalangan wanita yang berhaid, ‫( يتر بصن بانفسهن‬hendaklah menahan

diri) menunggu dan tidak boleh bersetubuh ‫( ثلثة قروء‬tiga kali quru‟) yang dijalaninya

sejak talak dijatuhkan atas dirinya. Adapun wanita yang belum disetubuhi, maka

tidak ada mada idah baginya karena Allah swt. Telah berfirman dalam ayat lainnya:

Artinya:“wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-


perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu
perhitungkan. Namun berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya.” (Al-Ahzab (33): 49)

Dan masa idah bagi wanita yang tidak berhaid lagi dan wanita yang belum

baligh adalah tiga bulan, karena ada firman Allah swt. dalam surat at-Thalaq (65) ayat

4 yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

4
Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 9.
35

Sebelum ayat ini diturunkan ) QS.At-Talaq (65): 4), idah bagi semua wanita

yang diceraikan oleh suaminya adalah tiga kali quru‟, termasuk di dalamnya idah bagi

wanita hamil mutlak atau wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi setelah

turunnya ayat ini, maka ditentukan bahwa wanita yang tidak mengalami haid lagi

baik karena tua (menopouse) atau wanita yang belum berhaid adalah tiga bulan

sedang bagi wanita hamil iddahnya adalah setelah melahirkan .5

Kembali pada pembahasan surat al-Baqoroh, dalam menafsirkan surah al-

Baqoroh (2) ayat 228, dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan

kalimat “quru”, dalam menafsirkan kalimat quru tersebut para ulama ada yang

mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya dengan “haid”.

Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat mengakibatkan perbedaan lama

beridah. Quru dengan pengertian suci akan mengakibatkan masa idah lebih pendek

dari quru dengan pengertian haid. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan

membahas mengenai hal tersebut dengan pendekatan tafsir ayat dan merujuk kepada

beberapa pendapat tentang perbedaan tersebut.

Pendapat para ulama yang mengartikan kata quru dengan makana haid,

pendapat tersebut bersumber pada sabda Nabi Muhammad saw.

5
Usia menopause menurut al-Maraghi adalah 55 tahun (al-khamisah wa al-khamsin), Lihat
Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974), Juz 28, h. 142-143.
36

Artinya: Tinggalkan salat di hari engkau quru yaitu diwaktu engkau haid.

Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Talak sahaya perempuan (amah) adalah duakali dan

idahnya adalah dua kali.

Golongan yang kedua yang mengartikan kata quru dengan arti suci, pendapat

tersebut berdasarkan firman Allah,

Artinya: …Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu merka dapat

(menghadapi) idahnya yang wajar….”

Sekalian ulama telah sepakat menerangkan bahwa mentalak perempuan itu

hendaklah di waktu sucinya. Lagi pula Nabi Muhammad telah berkata kepada Umar

bin Khattab:

6
Hadis dari ibnu Umar, yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani,
Terjemah Lengkap Bhulugul Maram, (Jakarta: Akbar, 2007). h. 510.
37

Maksudnya ialah supaya perempuan itu ditalak ketika ia suci. Jangan ketika

sedang membawa kotoran. Abu Bakar bin Abd. Rahman menjelaskan, “tidak kami

dapatkan seorangpun dari fukaha kami, melainkan semuanya berkata bahwa quru‟ itu

bermakana suci.” Selain hadis di atas sebagai alasan terkuat, mereka juga mengatakan

bahwa quru‟ adalah bentuk jama‟ khusus untuk kata qur‟un yang berarti suci karena

kata qur‟un yang berarti haid dijama‟kan menjadi aqra‟, bentuk jama‟ ini

diriwayatkan oleh Ibnu al Anbari.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya di waktu perempuan itu suci dan

belum lagi di campurinya pada waktu sucinya itu, maka terhitunglah itu satu kali

suci, walaupun waktu suci itu hanya sesaat atau sekejap saja. Kemudian datang suci

yang kedua sesudah ia membawa haid. Apabila ia melihat darah pada haidnya yang

ketiga, maka keluarlah ia dari masa idah.

Di antara sahabat yang menyebutkan quru itu dengan makna haid ialah, Umar,

Ali, Ibnu Mas‟ud, Abu Musa, Ubidah bin Shamir dan Abu Darda. Sedangkan dari

kalangan tabiin ialah Ikrimah, Dhahhaq, Suddi, Auza‟i, Sufyan Tsauri dan Abu

Hanifah. Ahmad bin Hambal berkata, “pada mulanya kusebutkan quru dengan makna

7
Al-imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah al-
Bukhoriyyu al-Zu‟fiyyu, Shahih al-Bukhori, cet. IV (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), h.
1000.
38

suci, dan hari ini kusebutkan dengan makna haid.”8 Alasan yang paling kuat bagi

golongan ini adalah bahwa idah di adakan untuk mengetahui kosongnya rahim

wanita, sedang kosongnya rahim ini hanya dapat diketahui dengan haid bukan dengan

masa suci.

Sedangkan pendapat yang mengartikan quru sebagai masa suci (tidak haid)

mereka adalah Syafi‟i, Maliki dan Imamiyah menginterpretasikan quru dengan masa

suci, sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka

masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang kemudian disempurnakan

dua masa suci sesudahnya.9

Dari kedua perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa menurut golongan

yang memaknai quru adalah masa suci, maka suami tidak boleh merujuk istrinya pada

haid yang ketiga dan istri halal bagi lelaki lain. Sedangkan golongan yang memaknai

quru‟ adalah haid, maka istri baru menjadi halal bagi pria lain setelah lewat masa haid

yang ketiga.

Kemudian penjelasan lain mengenai idah yang termaktub dalam surah al-

Baqoroh (2) ayat 234 secara zahir ayat, ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban

idah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya dengan menjalankan idahnya

selama empat bulan sepuluh hari. Dalam menafsirka ayat tersebut, Sayyid Quthb

8
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, cet. Pertama (Jakarta: Kencana, 2006), h. 107.
9
Muhammad Jawd Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. XV (Jakarta: Penerbit Lentera,
2005), h.466.
39

dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan, sebelum Islam datang, tradisi bangsa

Arab dalam memperlakukan wanita yang ditinggal mati suaminya, wanita tersebut

harus masuk pada tempat yang hina, harus menggunakan pakaian yang sangat buruk,

tidak boleh memakai parfum dan sebagainya selama satu tahun. Setelah itu ia boleh

keluar dengan menggunakan lambang-lambang jahiliah yang hina sesuai denga

kerendahan jahiliah, seperti mengambil dan membuang kotoran binatang, serta naik

keledai atau kambing. Ketika Islam datang diringankanlah penderitaan itu, bahkan

dihilangkan dari pundaknya. Tidak boleh dilipatgandakan kesusahannya yang berupa

kehilangan (kematian) suami dengan kesewenang-wenangan keluarga, sesudah itu

dan ditutupnya semua jalan baginya untuk hidup yang terhormat dan kehidupan

keluarga yang tentram.

Islam menetapkan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya menjalankan

idah selama empat bulan sepuluh hari, kecuali idah wanita yang hamil yang idahnya

sampai melahirkan yang lebih panjang daripada idah wanita yang ditalak. Dalam

masa idah ini, dia membersihkan rahimnya. Keluarga suami tidak boleh menyakiti

perasaannya dan mengusirnya.

Dalam menafsirkan surat al-Baqarah (2) ayat 234 yang artinya “orang-orang

yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para

isteri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.”( QS. al-

Baqarah (2) :234) dan surat at-Thalaq (65) ayat 4 yang artinya “perempuan-

perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai ia melahirkan
40

kandungannya.”(QS.Ath-Thalaq (65): 4). Dua ayat tersebut termasuk ke dalam

pembahasan ta‟arudh al a‟main (bertentangan dua keumuman), dan secara teori usul

fikih harus dilakukan tarjih (mencari yang lebih kuat) antara keduanya. Dan yang

rajih (yang kuat) adalah yang bersifat khusus diantara keduanya, sedangkan yang

keduanya itu marjuh (dikalahkan).

Berdasarkan hadist Nabi saw. yang shahih, bahwa firman Allah, “ Dan

perempuan-perempuan yang hamil.” (QS.Ath-Thalaq (65): 4) mengkhususkan

(takhshish) firman Allah, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan

meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu).”( QS. al-Baqoroh (2): 234). Hal

ini diperkuat dengan pendapat ulama usul fikih yang berpendapat bahwa jama yang

nakirah seperti al-ahmaal tidak bersifat umum.10

Dalam menetapakan idah bagi wanita yang di tinggal mati oleh suaminya

menurut Ibnu Abbas apabila seorang wanita yang berada dalam posisi demikian,

hendaknya ia memilih antara dua waktu yang paling lama antara sampai melahirkan,

atau empat bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan jalan tengah untuk mensinkronkan

dua ayat di atas.11

10
Syaikh Asy-Syanqithti, Adhwaul Bayan, cet.Pertama. Penerjemah Fathurazi (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), h.439.
11
Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, cet.Pertama. Penerjemah Samson Rahman
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 204.
41

Setelah menelusuri beberapa referensi dari berbagai tafsir, penulis

mendapatkan kesimpulan bahwa ketentuan idah yang telah ditetapkan dalam Alquran

merupakan suatu kewajiban yang harus dijalani oleh wanita.

Hukum Islam secara garis besar mengenal dua macam sumber hukum,

pertama, sumber hukum yang bersifat “naqli” dan sumber hukum yang bersifat

“aqli”. Sumber hukum naqli ialah Alquran dan sunah, sedangkan sumber hukum aqli

ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah pikir dengan beragam

metodenya.12

Fikih merupakan hasil olah pikir (ijtihad) ulama dengan menggali lebih dalam

tentang hukum Islam (syariah) dalam memahami teks-teks keagamaan (nash) untuk

menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Yang dimaksud dengan

syariah secara harfiah berarti jalan, maksudnya yaitu suatu norma yang di syariatkan

oleh Allah agar manusia mendapatkan kebaikan dalam hubungan dirinya dengan

Allah, hubungan dengan sesama muslim, hubungan dengan sesama manusia, dan

hubungan dengan kehidupan.13 Fikih dan syariah mempunyai keterkaitan yang sangat

kuat, syariah merupakan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku

manusia untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di Akhirat. Semua

tindakan manusia di dunia harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul,

sementara itu untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah tentang tingkah

12
Abdu Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
cet.Pertama (Jakarta: Kencana, 2010), h.34.
13
Ahmad Rofiq, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, ed. Muammar
Ramadan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 3.
42

laku manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah sehingga secara

amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi bagaimanapun. Hasil pemahaman

itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci tentang tingkah

laku manusia atau mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil

pemahaman terhadap syariah itu disebut fikih.14

Fikih sebagai formulasi pemahaman terhadap syariah, selain dimaksudkan

agar setiap muslim dapat membangun pribadi dan prilakunya berdasarkan akidah,

syariah dan akhlak, juga dalam kehidupan sosial dengan dimotori oleh pemimpin

(imamah) dapat mewujudkan suatu kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati

diri keadilan, persamaan dan kemitraan. Maka, dalam pembidangan fikih pun, terbagi

menjadi kedalam beberapa disiplin pembahasan mengenai ketentuan hukum.

Pembidangan itu seperti Fikih Ibadah, Fikih Muamalah, Fikih Siyasah, Fikih Jinayah,

Fikih Dauliyah, Fikih Munakahat, dan lain-lain. Yang menjadi persoalan disini

adalah artikulasi dan aplikasi fikih tersebut ketika berhadapan dengan sistem hukum

yang beragam di Indonesia, hukum Barat dan hukum adat, rambu-rambu fikih

mengalami marginalisasi. Selain itu, disatu sisi, adanya sikap yang cenderung apriori

dari sebagian masyarakat terhadap fikih yang dianggap selalu ketinggalan zaman

yang menjadi kendala tersendiri.15

14
Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, jilid I, Cet.III (Jakarta: Kencana, 2008), h.5.
15
Ahmad Rofiq, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, h.5.
43

Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa salah satu disiplin kajian fikih adalah

tentang munakahat, oleh karena itu dalam penulisan skripsi ini akan membahas

tentang pandangan ulama fikih klasik dan kontemporer tentang bidang munakahat,

pembahasan difokuskan mengenai idah.

Pembahasan mengenai idah, umumnya ulama-ulama terdahulu (klasik) lebih

mewajibkan pelaksanaan mengenai hal itu kepada wanita baik yang ditinggal mati

oleh suaminya, karena talak, fasakh (pembatalan nikah), pisah setelah pernikahan

yang rusak atau setelah terjadi hubungan badan secara syubhat.16 dalam penentuan

idah, para ulama berlandaskan pada dalil al-Quran seperti yang telah dijelaskan pada

bab sebelumnya. Tak ada perbedaan yang begitu signifikan dalam penetapan tentang

pelaksanaan idah, mayoritas ulama menetapkannya pada wanita.

Dalam kaitannya dengan ketentuan idah bagi wanita, salah satu dalil yang

menunjukan kewajiban idah tersebut yaitu ketetapan yang telah diatur dalam hadist

Nabi saw. yaitu:

17

Artinya: Itulah idah yang diperintahkan Allah kepada perempuan-perempuan

Redaksi hadis ini memberikan gambaran bahwa ketentuan idah diwajibkan

pada wanita, adapun idah bagi laki-laki pembahasan mengenai hal tersebut memang

16
Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 126.
17
Hadis dari Nafi, lihat Al-imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
Mugirah bin Barzabah al-Bukhoriyyu al-Zu‟fiyyu. Shahih al-Bukhori, Cet.IV (Lebanon, Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2004), h. 1001.
44

sempat menjadi perdebatan dikalangan ulama fikih klasik waktu itu, sekalipun hanya

terbatas pada dua kondisi. Pertama, jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan

talak raj‟i. Kemudian dia ingin menikahi seorang yang tidak boleh dikumpulinya,

seperti saudara perempuan, maka dia tidak diperkenankan sehingga idah istri pertama

yang termasuk dalam ikatan mahram dengan calon istri yang kedua selesai. Kondisi

kedua, jika seorang suami mempunyai empat istri, dan dia mentalak raj‟i salah

satunya untuk menikah yang kelima, maka dia tidak diperkenankan menikah dengan

yang kelima sehingga idah istri yang ditalak selesai.18

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan masa penantian yang

harus dijalani seorang laki-laki dalam dua kondisi di atas. Ulama dari kalangan

Hanafiyah berpendapat bahwa penantian tersebut tidak dikatakan idah secara syar‟i, 19

pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-

Islami wa Adillatuhu bahwasanya seorang laki-laki tidak mempunyai masa idah,

penantian tersebut hanyalah penantian wajib yang harus dilalui di sebabkan ada mani‟

syar‟i.20 Dua pendapat ini senada dengan sebagian ulama Malikiyah dengan dalih

bahwa idah adalah masa sebagai indikator terhadap bersihnya rahim.21 Ini dapat

18
Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati, I‟anah al-Tholibin, juz IV ( Libanon: Darul Ihya
al-Turas al-Arabi, t. th), h. 59.
19
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV(Libanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 452.
20
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Libanon: Darl Fikr, 2006), h. 71.
Maksud dari mani‟ syar‟i tersebut karena ada ketetapan hukum yang melarang menikahi saudara atau
mahram dan juga tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat, sebagaimana surat an-Nisa ayat 3, 22,
dan 23.
21
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV, h. 453.
45

difahami secara pasti bahwa laki-laki tidak mempunyai rahim, sehingga tidak ada

idah baginya.

Sedangkan sebagian ulama kalangan Malikiyah yang lain, sebagaimana

dikutip oleh al-Jaziri, bahwa penantian seorang laki-laki tersebut dikatakan idah. Ini

senada dengan pendapat yang dikeluarkan al-Syafi‟iyah yang dikutip oleh al-Dimyati

dalam “I‟anatu al-Thalibin”. Argumentasi pengakuan idah bagi suami yang

diungkapkan al-Dimyati dengan memakai kalimat eksepsi )‫(اال‬. 22 Wahbah Zuhaili

menambahkan satu kondisi seorang laki-laki tidak boleh langsung menikahi

perempuan yaitu perempuan yang tertalak tiga kali sebelum adanya tahlil23 atau

sebelum adanya laki-laki lain yang menikahinya yang dikenal dengan sebutan

muhalllil.24

Terlepas dari pendapat kontradiktif di kalangan ulama mengenai masa

penantian laki-laki dikatakan idah atau-pun tidak, setidaknya ini sebagai pijakan awal

yang membuka cakrawala berpikir hadirnya penerapan idah bagi laki-laki. Idah bagi

laki-laki yang diperkenalkan oleh ulama-ulama salaf adalah sebagai bentuk kemajuan

dan elastisitas hukum Islam. Padahal secara terminologis, definisi yang

dikembangkan oleh mereka bahwa idah hanya berlaku untuk perempuan. Alasan

pemberlakuan idah bagi laki-laki tersebut yang dikemukakan oleh para pemikir salaf

22
Mengenai masalah idah yang harus dijalani oleh seorang laki-laki dianggap idah wajib atau
tidak, ini masih terjadi khilaf, secara pasti ia harus menunggu sampai masa penantian yang dilakukan
oleh istri selesai: Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati. I‟anah al-Tholibin, juz IV, h. 45.
23
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 68.
24
Imam Shihabuddin al-Qatalani, Irsadu al-Shari lisarhi Shahih al-Bukhari, juz XII,
(Libanon: Darl al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 93.
46

adalah adanya mani‟ syar‟i, yaitu tidak boleh menikahi mahram dan memberi batasan

menikahi perempuan dengan empat orang saja, sebagaimana disebut dalam Q.S. al-

Nisa (4): 22-23 dan 3). Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh kalangan

Hanafiyah yang dikutip oleh al-Jaziri mengenai wajibnya menunggu bagi suami yang

ingin menikahi saudara perempuan yang tertalak adalah untuk menenangkan gejolak

cemburu yang dialaminya.25

Pembahasan mengenai idah bagi laki-laki tidak hanya terjadi pada masa

ulama salaf, dewasa ini pemikiran tersebut hadir kembali, ketentuan idah dibebankan

tidak hanya kepada perempuan saja, bagi sekelompok ilmuan muslim berpendapat

bahwa ketentuan mengenai idah harus dibebankan pada laki-laki juga, sebagaimana

pendapat Muhammad Zain dan Mukhtar al-Shodiq26 yang termasuk dalam kalangan

yang menghendaki idah bagi laki-laki, mengatakan bahwa idah adalah masa transisi

bagi mantan suami dan mantan istri akibat perceraian, baik cerai mati maupun talak

dan telah mempunyai kekuatan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Gagasan ini

tidak hanya terbatas pada tiga ketentuan yang telah diwacanakan oleh ulama-ulama

salaf, akan tetapi juga ada wacana pemberlakuan idah bagi suami secara general.

Gagasan semacam ini tidak lepas dari konteks sosial yang telah berubah. Perubahan

25
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV, h. 452.
26
Muhammad Zain dan Mukhtar Al-Shadiq, Membangun Keluarga Humanis, CLD
Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu, (Jakarta: Graha cipta, 2005), h. 67.
47

ini juga berimbas pada perubahan tatanan hukum semisal hadis yang berbunyi

Mengenai idah bagi laki-laki, Siti Musdah Mulia berpendapat idah sejatinya

mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan selain seksualitas dan kehamilan,

juga mempertimbangkan soal psikologis, tenggang rasa, solidaritas pada anak dan

keluarga pasangan. Lebih lanjut menurutnya, idah merupakan masa transisi di mana

salah satu pasangan (idah karena cerai mati) atau kedua pasangan (idah karena cerai

hidup) dapat berpikir jernih dan bijaksana untuk mengambil keputusan selanjutnya.

Berdasarkan hal tersebut suami pun harus mempunyai masa idah.28

Dalam kajian ilmu fikih, idah ditetapkan bagi perempuan salah satunya yaitu

untuk mengetahui apakah dalam janin si istri terdapat bibit bayi yang dikandungnya

untuk itu dalam fikih idah bertujuan untuk menentukan bersih atau tidaknya janin

tersebut. Alasan seperti ini memang untuk masa sekarang yang diiringi oleh

kemajuan teknologi yang semakin modern tentunya hal tersebut dapat ditentukan

dalam waktu beberapa jam saja atau mungkin dalam hitungan menit kondisi janin si

27
Derajat hadis ini marfu‟ bunyi hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Amirul
Mu‟minin Ali radiya alllah anhu. Lihat Muhammad bin Ali Assaukani, Nailu al-Awthar Jilid IV,
(Libanon: Darl al- Fikr, 2000), h. 87.
28
Siti Musdah Mulia, Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia
dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan
dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 170.
48

istri dapat diketahui bersih atau tidaknya maka dengan adanya teknologi seperti ini

idah tidak berlaku lagi.29

Penetapan mengenai idah bagi laki-laki yang tidak ada landasan hukum secara

jelas yang termaktub dalam Alquran atau hadis, sehingga konsep tersebut tidak

sedikit yang menentangnya dari umat Islam dan ilmuan muslim Indonesia.

Berdasarkan hal itu, maka pendapat yang dikeluarkan oleh kalangan yang

membenarkan idah bagi laki-laki mereka beralasan bahwa dalam upaya untuk

memahami konsep tersebut tidak hanya menggunakan pendekatan teologis dan

yuridis formal saja, tetapi harus juga dengan pendekatan filosofis dengan melakukan

pengkajian lebih dalam tentang maqasid syariah dari adanya masa idah.30

B. Pemikiran Idah Bagi Laki-Laki

Latar belakang terjadinya pemikiran idah bagi laki-laki tidak terlepas dari

maraknya kritikan tentang Kompilasi Hukum Islam, sejak dikeluarkan pada tahun

1991, kritik terhadap isi dan status Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dibendung.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama pada 19 September 2002 membentuk

sebuah lembaga bernama Badan Pengkajian dan Pengembangan Hukum Islam

(BPPHI) untuk melaksanakan agenda yang bertujuan untuk meningkatkan status KHI

menjadi Undang-undang. Untuk mengembangkan Kompilasi, BPPHI membuat

29
Isna Wahyudi, Fiqih Idah Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 141.
30
Ibid., h. 183.
49

Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang

Perkawinan.

Perubahan ini ternyata tidak mampu memuaskan sejumlah intelektual

Muslim. Sebuah kelompok mengatasnamakan Kelompok Kerja Pengarusutamaan

Gender akhirnya membuat draf tandingan, yang disebut Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Pokja ini adalah kelompok kerja yang terdiri

dari pakar hukum Islam dan bekerja untuk membuat draf hukum alternatif sebagai

pertimbangan legislatif. Draf tersebut, sebagaimana klaim mereka, dipersiapkan di

bawah otoritas Menteri Agama. Pokja ini terdiri dari 10 anggota, yaitu Marzuki

Wahid yang merupakan lulusan pesantren al-Munawwir, Krapyak, kemudian Abdul

Moqsith Ghazali, Anik Farida, Saleh Partaonan, Ahmad Suaedy, Marzani Anwar,

Abdurrahman Abdullah, K.H. Ahmad Mubarok, Amirsyah Tambunan dan Asep

Taufik Akbar. Sebagian besar anggota Pokja ini adalah intelektual muda lulusan

pesantren.

Dalam pembentukan CLD-KHI sebagai tandingan KHI, hal ini di sebabkan

aturan yang terdapat dalam KHI tidak relevan lagi untuk digunakan, menurut

Musdah, perlunya revisi terhadap KHI setidaknya ada tujuh alasan untuk pembaruan

aturan tersebut.

Pertama, sebahagian besar isinya tidak sesuai dengan sebagian besar isinya

tidak mengakomodasikan kepentingan publik untuk membangun tatanan masyarakat

yang egaliter, pluralis dan demokratis. Kedua, KHI tidak sepenuhnya digali dari
50

kenyataan empiris Indonesia, melainkan lebih banyak digali dari penjelasan normatif

dari tafsir-tafsir ajaran keagamaan klasik dan sangat kurang mempertimbangkan bagi

kemaslahatan umat Islam di Indonesia. Ketiga, sejumlah pasal KHI bertentangan

dengan prinsip-prinsip dasar Islam, antara lain prinsip keadilan, kemaslahatan,

kerahmatan, kebijaksanaan,dan kesetaraan. Keempat, sebagian pasal-pasal dalam KHI

bersebrangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti amandemen

Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang penghapusan

segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU RI No 39 Tahun 1999 tentang

HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap

hak asasi perempuan. Tak hanya dalam hal yang telah disebutkan di atas, KHI

menurut Musdah bersebrangan dengan UU RI No 22 Tahun 1999 tentang pemerintah

daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh

masyarakat dengan tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, lebih khusus lagi

bertentangan dengan UU RI No 23 Tahun 2004 tentang KDRT. Kelima, sebagian

isinya bersebrangan dengan instrumen hukum Internasional bagi penegakan dan

perlindungan HAM, antara lain deklarasi universal HAM (1948), konvenan

Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966), konvenan Intenasional tentang

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (1966), CEDAW (The Convention on the

Elemation of all from of Discrimination Againts Women) (1979), Deklarasi Kairo

(1990), dan Deklarasi Program Aksi Wina (1993). KHI harus menyelaraskan diri

dengan berbagai ketentuan Internasional tersebut jika akan bertahan lama.

Keenam,sebagian besar isinya tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial yang
51

ada, kenyataan budaya masyarakat Indonesia, dan gagasan dasar bagi pembentukan

masyarakat berdasarkan berkeadaban (civil society). Ketujuh, sebagai hukum Islam

adalah perlunya membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family law) yang

ada diberbagai Negara muslim yang lain. Seperti Tunisia, Suriah, Yordania, Mesir

dan Irak.31

Menurut Siti Musdah Mulia, CLD-KHI ini dirumuskan dalam dua situasi.

Pertama adalah kebijakan zero tolerance (tak menerima) terhadap kekerasan

perempuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan di tahun

2001. Kebijakan ini menekankan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap

perempuan pada level sosio-kultural. Kedua adalah rencana pemerintah

meningkatkan status Kompilasi yang sejumlah ketentuannya masih mengukuhkan

sikap sosial yang mendukung ketidakadilan gender.32

Di samping itu, CLD-KHI dimaksudkan untuk menjadi rujukan alternatif

yang dapat merespon kebijakan otonomi daerah, khususnya fenomena formalisasi

syariat Islam di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Cianjur,Madura.upaya

Pormalisasi syariat Islam tersebut terkesan belum memiliki konsep yang jelas

mengenai syariat Islam yang akan digunakan. Dengan dibuatnya CLD-KHI

dimaksudkan sebagai hukum baru yang disesuaikan dengan karakter masyarakat

31
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung:
Mizan, 2005), h. 383-384.
32
Muhammad Latif Fauzi, “ Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum
Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada 10 Februari 2011 dari
http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
52

Indonesia dan sebagai respon terhadap kebutuhan untuk menegakkan nilai demokrasi

dan pluralisme di Indonesia.33

Pokja percaya bahwa terdapat sejumlah artikel dalam Kompilasi yang tidak

adil gender. Satu contoh, menurut Musdah Mulia, adalah terkait dengan posisi suami

dan istri, sebagaimana pasal 79 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah

tangga. Pasal ini telah membentuk norma sosial yang melegitimasi peran domestik

seorang istri dalam keluarga. Musdah Mulia menganjurkan pasal seperti ini dihapus

sehingga segala bentuk aktifitas yang mengarah kepada peminggiran dan diskriminasi

perempuan tidak terinstitusionalisasi oleh peraturan hukum.34

Mengutip dari jurnal Counter Legal Draft, juru bicara Pokja, Abdul Moqsith

Ghazali, menjelaskan bahwa sejumlah pemikir Islam menilai beberapa sisi

ketidakrelevanan fikih klasik karena ia disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial

berbeda. Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya,

melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya. Misalnya, fikih selalu

dipahami sebagai mengetahui hukum syarak yang bersifat praktis yang diperoleh dari

dalil Alquran dan sunah. Mengacu pada definisi tersebut, kebenaran fikih menjadi

sangat normatif. Kebenaran fikih bukan dimatriks dari seberapa jauh ia memantulkan

kemaslahatan bagi manusia, melainkan pada seberapa jauh ia benar dari aspek

perujukannya pada aksara Alquran dan sunah.


33
Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia
dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan
dan Keadilan, h.148.
34
Muhammad Latif Fauzi, “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum
Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada tanggal Februari 2011 dari
http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
53

Pandangan semacam ini yang dihindarkan oleh tim kelompok penggagas CLD

KHI, oleh karena itu untuk menghindari itu, CLD-KHI bergerak dalam kerangka

metodologi, yaitu mengungkap dan merevitalisasi kaidah usul yang tidak tersentuh

dan jarang digunakan. Kendati kerap muncul dalam kitab-kitab usul fikih, kaidah

tersebut belum digunakan secara optimal, seperti kaidah:

Tidak hanya kaidah diatas yang jarang digunakan kaidah lain yang jarang

sekali digunakan secara optimal diantaranya yaitu kaidah,.

Lebih jauh lagi, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk

menyelesaikan problem kemanusiaan, upaya selanjutnya adalah membongkar

bangunan paradigma usul fikih lama.35

Selain mengkaji laporan penelitian dan kajian ilmiah tentang Kompilasi,

Pokja ini juga mengundang sejumlah pakar hukum Islam (seperti tersebut di atas)

untuk menyusun argumen dalam beberapa aspek, yakni aspek teologis, sosiologis dan

politis. Rangkaian diskusi yang diselenggarakan merekomendasikan bahwa

perubahan terhadap Kompilasi tidak hanya diperlukan tetapi sangat mendesak. Selain

studi literatur, Pokja juga mengadakan penelitian lapangan. Penelitian ini berguna

untuk melihat tradisi-tradisi lokal yang belum diatur dalam Kompilasi. Pokja juga

mewawancarai para hakim dan pemuka agama di beberapa provinsi, seperti Sumatra

35
Tim Pengarusutamaan Gender, Pembaruan Hukum Islam, h. 23.
54

Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Hasil wawancara

menemukan bahwa mereka sepakat dengan perubahan Kompilasi. Para responden

juga merasa bahwa substansi dalam Kompilasi selayaknya diuji ulang agar mampu

menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia.

Di antara tiga bidang dalam Kompilasi yang ditelaah, hukum perkawinan

mendapat porsi revisi paling besar. CLD-KHI menawarkan idah berlaku baik untuk

suami maupun istri. Artinya, kedua pihak tidak boleh melangsungkan perkawinan

selama masa menunggu. Di dalam Kompilasi, hanya suami yang berhak merujuk

mantan istri yang masih berada pada masa idah, sedangkan menurut CLD-KHI, hak

melakukan rujuk berlaku bagi kedua pihak.36

Konsep mengenai idah bagi laki-laki termaktub dalam pasal 88 Conter Legal

Draft yang isinya yaitu:

Pasal 88: (1) bagi suami dan istri yang perkawinannya telah dinyatakan putus
oleh Pengadilan Agama berlaku masa transisi atau idah. (2) selama dalam
masa transisi mantan suami atau mantan istri dibolehkan rujuk.

Penjelasan mengenai lamanya masa tunggu bagi suami, dalam CLD-KHI

termaktub pada pasal 88 ayat 7 yang isi dari pasal tersebut adalah:

Pasal 88: (7) masa idah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut a.
apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan

36
Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia
dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan
dan Keadilan, h. 146-147.
55

seratus tigapuluh hari. b. apabila perkawinan putus karena perceraian, maka


masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi istrinya. 37
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa lahirnya

pemikiran idah bagi laki-laki merupakan suatu bukti akan tidak puasnya suatu

kelompok terhadap aturan yang berlaku di Indonesia, dengan alasan ketidakadilan

pada wanita, aturan tersebut dituntut untuk direvisi sesuai dengan kondisi dan

perkembangan hukum Internasional.

C. Relevansi Idah Laki-Laki Dengan Perkembangan Reformasi Hukum

Keluarga di Indonesia

Sebelum membahas lebih jauh mengenai penjelasan ini, perlu kiranya penulis

kemukakan makna dari istilah reformasi terlebih dahulu. Istilah atau kata reformasi

berasal dari bahasa Inggris yaitu reformation (merupakan kata kerja to reform) yang

berarti membentuk kembali, dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah reformasi

diartikan dengan perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau

agama) dari suatu masyarakat atau negara.38 Jika dikaitkan dengan hukum menurut

Thompson yang dikutip oleh Jaenal Aripin, reformasi hukum berarti proses

perubahan tatanan hukum (contitutisional reform).39

37
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga
Islam, cet. pertama (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005), h. 182-183.
38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. II (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 735.
39
Jaenal Aripin, Reformasi Hukum dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Peradilan Agama
di Indonesia, h. 3. Artikel diakses dalam http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-01.pdf.
tanggal 27 Maret 2011
56

Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu dengan jatuhnya rezim

pemerintahan orde baru yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak

jatuhnya rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar

dalam diri bangsa Indonesia. Pada era reformasi, isu hukum menjadi salah satu isu

yang sangat penting hingga terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang

kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik dan hukum Indonesia sampai

sekarang ini.

Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam

GBHN Tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN Tahun 1999 ini, hukum Islam

mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku

hukum nasional.40 Perkembangan hukum nasional pasca reformasi mencakup tiga

elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang, yaitu

hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan

pemaksaan.41

Semenjak berlangsungnya reformasi, sampai saat ini perkembangan mengenai

hukum keluarga tidak begitu signifikan, akan tetapi akibat dari reformasi menjadikan

posisi Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman menjadi

peradilan yang berada pada satu atap di bawah Mahkamah Agung RI, hal ini sesuai

dengan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 1999. Dengan adanya ketentuan ini,

40
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan
Hukum Umum, cet. II (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2004), h.169.
41
Ibid, h. 172.
57

posisi Pengadilan Agama semakin kuat, sebab telah ditetapkan dalam Undang-

Undang Dasar sejajar dengan peradilan yang lain.42

Untuk merealisasikan tujuan reformasi di bidang hukum, maka lembaga-

lembaga yang memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur segala ketentuan

mengenai hal ikhwal penegakan hukum harus senantiasa disesuaikan dengan kondisi

yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan menyesuaikan diri dengan segala

perkembangan yang terjadi. Tak terkecuali lembaga peradilan agama sebagai

pengadilan khusus yang dapat mengadili perkara-perkara tertentu yang telah

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.43

Reformasi yang berlangsung selama kurun waktu 1998-2010 tidak

memberikan suatu gebrakan khusus dalam hukum materil mengenai perkawinan

dalam lingkungan peradilan agama. aturan mengenai perkawinan No 1 Tahun 1974

pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 yang merupakan

aturan pertama mengenai perkawinan yang berlaku secara nasional, isi dari Undang-

Undang ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, sementara peraturan pelaksanaannya

terdiri dari 10 bab dalam 49 pasal.44 Mayoritas masyarakat Indonesia yang menganut

agama Islam tentunya mereka membutuhkan peraturan yang berdasarkan ajaran

42
Abdul Manan, Hakim dalam Penyelenggraan Peradilan (Suatu Sistem dalam Kajian
Peradilan Islam), cet. I (Jakarta: Kencana, 2007), h. 226.
43
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),cet. I
(Jakarta: Rajawali Pers,1997), h. 223.
44
Ibid, h. 25.
58

agama, hal ini tentu tidak bersifat hanya pada satu aturan saja, akan tetapi dalam

segala bidang.

Hukum Islam yang universal dapat sesuai dengan konteks perubahan dan

kemajuan zaman, Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa

diingkari, Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal

untuk berubah secara sahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan

lanjutnya kehidupan,tugas agama adalah mengawali perubahan secara benar untuk

kemaslahatan manusia.45 Untuk konteks ke Indonesiaan, pembangunan Hukum Islam

di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam sistem hukum Indonesia.

2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.

3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan

efektif.46

Sementara itu, di sisi lain upaya pembangunan hukum Islam akan melibatkan

tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, komponen-

komponen itu biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1) komponen

45
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga
Islam,h.101.
46
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama (Jakarta: Departemen Agama R.I.,
1985), h. 2.
59

perangkat hukum, (2) komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran

hukum.47

Perkembangan hukum Islam tidak terlepas dari perubahan dalam dasar-dasar

kemasyarakatan, baik bersifat struktural maupun kultural. Dasar-dasar

kemasyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,48 paling sedikit mencakup: (1)

agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu pengetahuan, dan (5) teknologi.

Abu A‟la al-Maududi berpendapat sebagaimana dikutip oleh Muhammad

Fauzi bahwa manusia dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-

hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pemahamannya tentang

menginterpretasikan makna-makna agama.49 Ciri khas dari hukum Islam itu sendiri

harus menjunjung tinggi kemaslahatan. Menurut Wahbah Zuhaili, jika hukum tidak

sejalan dengan kemaslahatan manusia, niscaya mereka akan mengalami kemelaratan

dan ini juga berimbas ketidakefektifan hukum dalam perbedaan situasi dan kondisi.

Jika sedemikian, maka bertentangan dengan maksud diterapkannya hukum itu, karena

salah satu tujuan diterapkannya hukum Islam adalah menjaga kemaslahatan manusia

dan mewujudkannya.50

47
Ibid. h.2.
48
Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis Pendidikan.
No.02, Tahun ke-IV (1983), h. 37.
49
Muhammad Fauzi, Agama dan Realitas Sosial: Renungan dan Jalan Menuju Kebahagiaan
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 84.
50
Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, (Libanon: Darl al-Fikr, 1995), h. 94.
60

Berbicara mengenai perkembangan hukum, terlebih berbicara perkembangan

hukum keluarga Islam, dalam kaitannya dengan hal ini tidak terlepas dari semangat

ijtihad para ulama, para ulama mujtahid telah berhasil memahami dan merumuskan

hukum syarak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan di dunia, baik yang

menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun yang menyangkut hubungan

manusia dengan sesamanya, yang kemudian disebut dengan fikih, fikih yang telah

dihasilkan oleh mujtahid pada masa itu merupakan suatu karya agung yang dapat

memandu kehidupan umat dalam segala bidangnya, fikih lama secara tekstual sulit

dijadikan panduan kehidupan beragama secara utuh pada saat ini, karenanya fikih

lama sulit diterapkan pada saat ini, sedangkan umat sangat membutuhkannya.51

Pada dasarnya, tujuan diberlakukannya suatu hukum adalah untuk memelihara

kemaslahatan dan sekaligus menghindari kerusakan baik di dunia maupun di akhirat.

Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam Alquran dan

hadis, maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak pada tujuan

tersebut. Semua metode itu yang digunakan untuk menemukan hukum, bermuara

pada upaya penemuan maslahat.52 Upaya penemuan maslahat ini juga yang

dikehendaki oleh maqasid syariah (tujuan penetapan hukum). Maqasid syariah perlu

difahami dalam rangka mengetahui apakah terhadap satu kasus hukum masih dapat

51
Abdul Halim, ed., Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, cet.II (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 76.
52
Ibid., h 47-48.
61

diterapkan satu ketentuan hukum atau karena adanya perubahan struktur sosial,

hukum tersebut tidak lagi dapat diterapkan.

Perkembangan mengenai hukum Islam di Indonesia dalam konteks sejarah

perjalanannya, dapat dilihat dari dua periode, yaitu: (a) Periode penerimaan hukum

Islam sepenuhnya; (b) Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat.53

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hukum Islam telah diakui semenjak

kedatangan Islam. Penyebaran Islam yang berlangsung selama kedatangannya

membawa misi untuk menegakkan hukum-hukum Islam itu sendiri. Penyebaran Islam

yang disampaikan dengan penuh kearifan dan memberikan nilai-nilai Islam pada

kebiasaan atau adat yang dianut oleh masyarakat menjadikan ajaran Islam mudah

diterima. Sampai saat ini hal tersebut masih berlangsung, bahkan menjadi sangat

terorganisir dan tersusun dengan cukup rapi.

Dalam menegakkan hukum-hukum Islam, langkah yang ditempuh oleh

pemerintah dalam memberikan aturan khusus bagi masyarakat muslim yaitu dengan

dirancangnya aturan mengenai perkawinan yang bersumber pada ajaran agama Islam,

realisasi pemerintah tersebut ditandai dengan dibuatnya Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun

1991 tanggal 10 Juni 1991, dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri

Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dan disebarluaskan melalui

53
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. Pertama (Jakarta:
Penamadani, 2004) h. 11.
62

Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor

3694/EV/HK.003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991,54 yang isinya meliputi berbagai aturan

yang dikhususkan bagi umat muslim Indonesia hemat penulis ini merupakan titik

awal diakui syariat Islam di Indonesia secara menyeluruh oleh umat Islam, aturan

dalam KHI menjadi bagian penting bagi kesuksesan para ilmuan muslim untuk

memberlakukan aturan secara islami walau hanya sebatas mengenai urusan

muamalah.

Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi Dewan

Perwakilan Rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang

dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang

digagas oleh Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang melibatkan berbagai

perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.55

Perlu dicatat, bahwa berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi

umat Islam Indonesia yang merupakan jumlah mayoritas di negeri ini dilandasi oleh

nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, negara

berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam

Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup, dan karakter semua

bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.56

54
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 26.
55
A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum di Indonesia, cet. Pertama ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 103-104.
56
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, cet. Pertama (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h.160.
63

Reformasi hukum keluarga dalam catatan sejarah yang ada pada masa pasca

kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh

dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti

hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di

masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi.

Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional,

bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif.

Aturan mengenai hukum keluarga yang berlaku selama ini khususnya

mengenai hukum keluarga Islam, segala ketentuan yang termaktub di dalamnya

merupakan hasil ijtihad yang dilakukan oleh kalangan ilmuan muslim Indonesia,

maka tidak berlebihan jika KHI dapat disebut juga dengan Fikih Indonesia. Dalam

merumuskan aturan KHI, para ahli hukum Islam menggali lebih dalam mengenai

dalil-dalil yang terdapat dalam hukum Islam, dalil hukum Islam yang telah disepakati

oleh jumhur ulama antara lain Alquran, sunah Rasul, ijma dan qiyas, kemudian para

ulama menyepakati bahwa penggunaan dalil tersebut harus berurutan.

Dengan diakuinya Peradilan Agama berada dalam satu atap di bawah

Mahkamah Agung RI tentunya menjadikan KHI sebagai hukum meteril yang

mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat lagi meskipun KHI hanya sebatas

Inpres, kendati demikian, KHI dapat menjawab segala permasalahan hukum keluarga

dan masih relevan jika KHI masih berlaku secara nasional. Menghadapi tantangan

zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk konteks era reformasi, tidak
64

sedikit dari para ilmuan muslim yang mengkritik KHI sudah tidak relevan lagi, wajar

saja bila kritikan itu dilontarkan untuk merevisi KHI karena kebutuhan

masyarakatpun semakin berbeda sesuai dengan perkembangan saat ini.

Perkembangan yang marak diteriakkan pada era reformasi yaitu

perkembangan mengenai kesetaraan gender, paham yang diangkat yaitu wanita

menjadi korban dalam segala bidang termasuk di dalamnya diskriminasi dalam

hukum. Imbas dari paham ini mengakibatkan kritikan terhadap hukum keluarga yang

berlaku di Indonesia, mereka beranggapan bahwa KHI tidak memberikan keadilan

pada perempuan dan isi dalam KHI tidak sesuai dengan kearifan lokal Indonesia.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu kiranya penulis utarakan makna dari

gender. Gender yang berarti suatu konsep yang kultural yang berupaya membuat

pembedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara

laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.57 Istilah gender di

Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan “jender”, diartikan dengan

interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan

perempuan.58 Walaupun kata “gender” telah digunakan sejak tahun 1960, namun

57
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, cet.II (Jakarta: Kibar Press,
2007), h. 55.
58
Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri
Negara Urusan Perempuan, 1992), h. 2.
65

pengertian yang tepat mengenai kata “gender” tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris gender yang diberi arti “jenis kelamin”.59

Paham mengenai kesetaraan gender yang awal mulanya berkembang di daerah

Eropa dan Amerika, paham tersebut lahir karena adanya diskriminasi terhadap kaum

perempuan yang dibedakan dalam sistem yang patriarkhi. Paham tersebut tentu

bersebrangan jauh dengan paham kesetaraan dalam ajaran Islam yang secara ideal-

normatif, Islam sesungguhnya tidak membedakan antara laki-laki dengan perempuan,

atau dengan kata lain Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang berbau gender.

Islam sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan bagi seluruh alam (rahmatan

lil„alamin) menempatkan derajat dan posisi wanita pada kedudukan yang mulia.60

Wanita sebagai kenyataan sosial masyarakat Arab pada masa Nabi, menjadi salah

concren yang ingin dibela Alquran, di samping kelompok budak, kaum fakir miskin,

anak-anak miskin, dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan Alquran secara khusus

mendokumentasikannya dalam satu surat khusus yang bernama an-Nisa„.61

Aturan yang berlaku saat ini dalam menjalankan idah, segala ketentuannya

diwajibkan bagi wanita yang putus perkawinannya dari suaminya, baik yang putus

karena kematian, perceraian maupun yang putus karena keputusan pengadilan dan

masa idah tersebut berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri,

59
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XII (Jakarta: Gramedia,
1983), h. 265.
60
Masdar F. Mas„udi, Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syari„ah,Ulumul
Qur„an, Vol. 4, (1995), h. 94.
61
Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, cet.
Pertama (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 5.
66

aturan seperti ini sesuai dengan ayat Alquran yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika

istri tersebut belum melakukan hubungan suami istri, maka baginya tidak diwajibkan

beridah dengan berdasarkan firman Allah surat al-Ahzab (33) ayat 49 yang telah

ditulis di atas.

Ayat ini pula yang menjadi landasan hukum dalam Undang-Undang RI No.1

Tahun 1974 pasal 11 dan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam. Aturan dalam KHI

mewajibkan beridah hanya bagi perempuan dan tidak ditetapkan bagi laki-laki, hal

inilah yang oleh sebagian kalangan pemerhati gender dianggap tidak memberikan

keadilan.

Bentuk kongkrit dari usaha mereka dalam mengkritisi aturan-aturan yang

mereka anggap diskriminatif yaitu dengan membuat suatu peraturan tandingan

terhadap aturan-aturan mengenai hukum keluarga yang berlaku seperti yang telah

dijelaskan di atas. Dalam menentukan dan menetapkan peraturan-peraturan yang

mereka buat berdasarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, mengadvokasikan

kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan, menyuarakan

pandangan yang humanis, pluralis dan demokratis.62

Peraturan-peraturan yang mereka buat dengan berdasarkan prinsip-prinsip di

atas berlawanan dengan aturan-aturan yang berlaku dan bertentangan dengan Alquran

dan sunah Nabi. Ketentuan idah yang telah jelas diatur dalam Alquran dan dijadikan

62
Siti Musdah Mulia, Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan
Perempuan Indonesia dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang
Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, h.144.
67

rujukan hukum yang berlaku seharusnya tidak berlawanan dengan aturan yang telah

ada nashnya. Aturan yang dibuat dalam merumuskan hukum Islam yang selama ini

menjadi pedoman adalah Alquran, karena Alquran sebagai sumber utama dalam

menentukan hukum, maka hal yang paling utama mencari jawabannya adalah dalam

Alquran. Selama hukumnya dapat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

dalam Alquran, maka tidak boleh mencari jawabannya di tempat lain, namun apabila

akan menggunakan sumber hukum Islam di luar Alquran, maka kaidah yang

digunakan harus sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh melakukan sesuatu

yang bertentangan dengan Alquran.63 Konsep mengenai idah telah ditentukan dalam

Alquran, dengan adanya ketentuan tegas itu, maka konsep idah bagi laki-laki tidak

sesuai dengan prinsip yang digunakan dalam merumuskan suatu aturan mengenai

hukum keluarga di Indonesia.

Kalangan yang merumuskan idah bagi laki-laki menggunakan prinsip yang

tidak sesuai dengan prinsip pembentukan hukum Islam, dalam merumuskan suatu

aturan yang selama ini berlaku, peran aktif ahli hukum Islam dalam menentukan

suatu ketentuan hukum, mereka menggunakan sunah Nabi sebagai sumber hukum

yang kedua, hal ini berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 32 yang menyatakan:

Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kalian berpaling sesungguhnya Allah tidak

menyukai…kemudian penegasan mengenai hal tersebut ditegaskan pula dalam surat

An-Nisa ayat 80 yang arti dari ayat tersebut yaitu: Barang siapa yang mentaati Rasul

63
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h.70.
68

sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dari kedua ayat tersebut, jelas bahwa posisi

sunah Nabi menjadi salah satu prinsip yang paling kuat dalam menentukan suatu

hukum. Fungsi dari sunah Nabi itu sendiri untuk menjelaskan ayat Alquran yang

masih bersifat global agar dapat dilaksanakan dengan kehidupan sehari-hari.

Selain Alquran dan sunah yang menjadi sumber hukum sumber hukum yang

dapat digunakan ketika tidak ditentukan dalam Alquran maupun sunah Nabi, metode

lain yang dapat dipergunakan yaitu dengan menggunakan ijma para ulama. Apabila

para ulama telah menetapkan keputusan secara kolektif berdasarkan ijma, maka

keputusan tersebut adalah benar dan terpelihara dari kesalahan, oleh karena itu

apabila hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma yang sharih, maka hukum

tersebut dapat dijadikan hukum yang qat‟i, sedangkan apabila ditetapkan berdasarkan

ijma sukuti, menurut sebagian ahli hukum Islam kekuatannya dhanni, sejajar dengan

produk fatwa individual. Di samping hukum Islam yang bersumber pada Alquran dan

sunah, pertimbangan yang dapat digunakan dalam menggali hukum teori yang dapat

dijadikan pegangan yaitu dengan cara qiyas (deduksi analogis), istihsan

(pertimbangan suatu hukum yang baik), istishab (persangkaan hukum), sadz dzari‟ah

(menutup jalan kerusakan), istishlah, dan urf (adat kebiasaan).

Ketentuan-ketentuan di atas digunakan pula oleh para ahli hukum di Indonesia

dalam menentukan dan merumuskan suatu peraturan. Jika melihat dari teori-teori

tersebut, maka dapat disimpulkan konsep mengenai idah bagi laki-laki tidak relevan

dengan perkembangan hukum keluarga di Indonesia. Hal ini di sebabkan teori yang
69

mereka gunakan bersebrangan dengan yang ditetapkan dalam Alquran yang menjadi

sumber utama dalam menetapkan hukum Islam.

Tentang prinsip demokrasi, pluralis, humanis dan kesetaraan gender, hal

tersebut tidak benar, ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan

perempuan, ajaran Islam sangat memuliakan perempuan dan memberikan keadilan

bagi semesta alam. Aturan yang telah ditetapkan dalam Alquran merupakan bentuk

keadilan bagi manusia itu sendiri yang di dalamnya mempunyai nilai yang sangat

mulia dan memberikan nilai kebaikan di dunia terlebih lagi di akhirat yang oleh

seluruh umat Islam diyakini merupakan kehidupan yang kekal di mana amal-amal

baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal-amal buruk dibalas dengan siksaan.

Oleh karena itu, sepatutnya dalam membuat dan merancang suatu aturan seharusnya

berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam Islam.

D. Penolakan Terhadap Konsep Idah Bagi Laki-Laki

Perubahan dan perkembangan zaman merupakan suatu sunatullah. Perubahan

itu berimbas pada perkembangan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Ketika

perubahan itu menawarkan suatu pemikiran yang berbeda dengan pemahaman umum

masyarakat yang sudah mapan, pasti akan menuai suatu perdebatan yang

kontroversial, ada yang mendukung, ada yang menolak, bahkan ada yang mendukung

dengan revisi. Sebagai contoh mengenai perubahan terhadap hukum keluarga yang

ditawarkan oleh sekelompok ilmuan muslim yang tergabung dalam Kelompok Kerja

Pengarusutamaan Gender, pembaharuan hukum Islam yang mereka tawarkan salah


70

satunya mengenai keharusan idah bagi laki-laki (suami). Sejak konsep tersebut

dipublikasikan pada tahun 2004, tidak sedikit dari pakar hukum Islam mengkritisi dan

menolak konsep-konsep yang mereka tawarkan.

Dalam Alquran surat al-Baqoroh (2) ayat 228 yang menunjukan bahwa

ketentuan idah diperuntukkan bagi wanita (istri), ayat ini juga yang dijadikan dasar

bagi penetapan beridah dalam peraturan mengenai hukum keluarga yang berlaku di

Indonesia. Dalil-dalil yang sudah ada dalam Alquran mengenai idah nampaknya tidak

digunakan oleh kalangan pembaharu hukum Islam, sehingga konsep yang mereka

tawarkan tidak berdasarkan ketentuan dalam Alquran.

Penentuan segala aturan dalam CLD-KHI yang dijadikan pendekatan dalam

merumuskan aturan-aturannya mengguanakan kaidah “

(menganulir ketentuan-ketentuan ajaran dengan menggunakan logika kemaslahatan

adalah diperbolehkan), selain itu mereka menggunakan kaidah yang menyatakan

bahwa,..”akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen

sejumlah ketentuan “dogmatik” agama menyangkut perkara-perkara publik. Sehingga

ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka

akal publik berotoritas untuk mengedit,menyempurnakan dan memodifikasinya”.

Modifikasi ini menurut tim perumus pembaharuan hukum keluarga sangat

dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat patrikuler seperti idah, poligami dan

lain-lain. Oleh karena itu, menurut tim tersebut “mengubah gaya berfikir deduktif ke
71

induktif” merupakan hal penting bagi KHI untuk menimba sebanyak-banyaknya dari

kearifan lokal.

Dari beberapa kaidah dan alasan yang mereka kemukakan sangat jelas bahwa

mereka menggunakan antroposentrisme dan mengutamakan asas kemanusiaan,

menolak ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang dinilai tidak sesuai dengan

akal dan ketentuan publik. Bila kita cermati dengan seksama, konsep tersebut

merupakan buah dari pemikiran kalangan feminis yang memperjuangkan hak dan

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Rumusan dalam CLD-KHI yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,

pluralis, demokratis dan humanis sebagai prinsip dasar penetapan aturan-atuaran

mngenai hukum keluarga, menjadi barometer dalam menentukan suatu hukum yang

termaktub di dalam perumusan peraturan tersebut. Sekilas, ini adalah prinsip yang

indah dan terkesan sangat sederhana. Tetapi pada dasarnya ini adalah suatu

pengaburan belaka dari suatu yang sudah jelas. Apalagi jika melihat ukuran-ukuran

HAM dan kesetaraan yang tidak tunggal, penulis menyebut prinsip ini sebagai

“apologi dibawah alam sadar.”

Hal lain yang dijadikan sebagai teori hukum dalam penetapan aturan CLD-

KHI yaitu kearifan lokal, hal ini menandakan bahwa teori yang mereka anut yaitu

teori receptie yang terkandung di dalamnya penyimpangan (inkonsisten),

pembentukan suatu aturan yang berlandaskan teori hukum tersebut jelas sangat
72

menyimpang, selain berorientasi ke Barat dan dalam penetapan peraturannya

mengingkari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang qat‟i sebagai hak Allah

yang bertentangan dengan akal, terutama akal publik , juga menolak metode deduktif

dan mengutamakan metode induktif.

Prinsip yang mereka gunakan telah mengalami ketidak sinkronan akibatnya

menjadi salah kaprah dan bertentangan dengan syariat. Mengutip dari kritik yang

dilontarkan oleh Huzaemah Tahido Yanggo dalam Kontroversi Revisi Hukum Islam,

menurutnya bahwa rumusan dalam CLD-KHI merupakan bid‟ah yang menyesatkan,

penyimpangan, perusakan, dan perubahan dari hukum Islam yang asli dan hanya

sebagai pembaharuan liberal yang tidak mengikuti cara-cara dan kaidah-kaidah yang

dicanangkan dalam penetapan hukum Islam, menurutnya penggagas pembaharuan

hukum Islam merupakan orang-orang yang berpaham liberal yang berprinsip bukan

untuk ketaatan pada Allah, tetapi hanya penghambaan terhadap demokrasi dan nilai-

nilai sekular.64

Sementara itu, lebih tegas lagi Huzaemah menilai bahwa aturan dalam CLD-

KHI dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Alquran dan hadis serta fikih yang dianut

mayoritas muslim. Berikut catatan Huzaemah atas CLD-KHI:

 Sudut pandang yang digunakan subyektif, sesuai dengan karakter dan

kecenderungan para penulisnya.

64
Huzaemah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Hukum Islam (Jakarta: Adelina, 2005), h. 1-
2.
73

 Sudut pandang gaya bahasa dan ungkapan yang dipakainya terkesan

sentimentil, sinis, menggugat, arogan, dan inkonsisten.

 Sudut pandang visi dan misi yang dibawa adalah pluralisme, demokrasi,

dan HAM, keseteraan gender, emansipatoris, humanis, inklusif, dan

dekonstruksi syariat Islam, dan lain-lain. Pendekatan utama yang

dilakukan oleh tim perumus CLD adalah gender, pluralisme, hak asasi

manusia, dan demokrasi, tidak melakukan pendekatan metodologi istinbat

hukum Islam, yang disebutkan sendiri oleh tim perumus CLD tersebut,

yaitu berdasarkan maqashid syariah. Tetapi perumusan CLD-KHI justru

bertentangan dengan maqashid syariah tersebut.

 Sudut pandang masalah yang dibahas dan digugat adalah: 1. Alquran dan

hadis di sesuaikan dengan rasio dan adat serta kondisi sosial di

masyarakat, Alquran dan hadis harus dipahami dari sudut maqashidnya

(tujuannya) untuk kemaslahatan, tidak hanya melihat harfiyahnya; 2.

Karya para ulama klasik dituding sangat Arabis dan sudah purba, tidak

sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Oleh sebab itu

harus ditinggalkan; 3. Paradigma dan orientasi keberagamaan (dari

teosentris ke antroposentris); 4. Problem kemanusiaan dan hubungan antar

agama, antara lain nikah beda agama, nikah kontrak, waris beda agama,

perwalian anak dari perkawinan beda agama.


74

 Kaidah-kaidah yang digunakan: ”Yang menjadi perhatian mujtahid (dalam

mengistinbatkan hukum dari Alquran dan hadis) adalah pada maqashid

yang dikandung nash, bukan pada lafaz atau aksaranya.” ”Boleh

menganulir ketentuan-ketentuan nash (ajaran agama Islam) dengan

menggunakan logika kemaslahatan, serta “Mengamandemen nash-nash

(sejumlah ketentuan dogmatika agama) dengan akal/rasio berkenaan

dengan perkara-perkara publik.”65

Menurut penulis, rancangan dan aturan yang tertera di dalam CLD-KHI

merupakan konsep yang dalam menetapkan aturan-aturannya tidak mengkaji lebih

dalam tentang hukum Islam, yang bila dipahami dan dikaji lebih dalam, maka

sebenarnya hukum Islam menjunjung tinggi demokrasi, hak asasi manusia, dan

terlebih lagi hukum Islam memberikan suatu keadilan yang sama, walau memang

kadang manusia tidak memahami akan arti di balik ketentuan yang telah Allah

tetapkan bagi kemaslahatan manusia itu sendiri. Konsep idah bagi laki-laki

merupakan hal yang bertentangan dengan syariat yang seharusnya menjadi pedoman

bagi setiap ahli hukum, khususnya hukum Islam. Perbedaan pendapat merupakan hal

yang wajar karena hal yang demikian merupakan rahmat dari Allah selaku pembuat

aturan bagi manusia.

Dalam Alquran dengan tegas dijelaskan bahwa idah diwajibkan bagi

perempuan, idah yang memiliki nilai luhur yaitu ketundukan seorang hamba pada

65
Ibid., h. 7-9.
75

penciptanya yang jika dijalankan merupakan ibadah, nilai ibadah ini tidak dianggap

oleh penggagas konsep idah bagi laki-laki. Nash yang jelas dalam Alquran sudah

tidak dapat dirubah lagi, kendati ilmu pengetahuan berkembang pesat sehingga

menutup kemungkinan untuk menutup segala hikmah dalam beridah tidak lantas

ketetapan dalam Alquran diselewengkan dan ditafsirkan secara liberal.

Dalam suatu kaidah usul fikih dijelaskan:

Artinya: Tidak ada celah ijtihad dalam permasalahan yang telah ada nashnya.

Kaidah tersebut menunjukan bahwa konsep idah bagi laki-laki tidak benar,

segala bentuk peraturan tentang idah telah ditetapkan dalam Alquran secara jelas dan

tegas, pemahaman manusia yang terbatas mengharuskan tunduk pada aturan-aturan

yang telah qat‟i yang ditetapkan oleh Allah.

Segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah seharusnya diikuti oleh

manusia selaku ciptaan-Nya, ketentuan dalam Alquran seharusnya disesuaikan

dengan aturan dalam kehidupan manusia bukan Alquran disesuaikan dengan

keinginannya, perintah Allah merupakan ketentuan yang dapat disesuaikan dengan

segala waktu dan tempat hal yang demikian itu tidak lantas disalahgunakan dengan

menentukan sesuatu sekehendak hati.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan dan analisa di atas, penulis dapat menyimpulkan

beberapa hal penting yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dibahas

dalam penelitian ini, antara lain:

1. Idah merupakan masa tunggu yang wajib dijalani oleh wanita ketika ditinggal

mati oleh suaminya atau ketika perkawinannya putus karena perceraian.

Kewajiban menjalankan masa tunggu (idah) tersebut telah terdapat dalam

surat Al-Baqoroh ayat 228, kemudian telah diatur pula dalam Undang-undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 11, serta Kompilasi Hukum Islam pasal

153. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, berkembangnya ilmu

pengetahuan, dan semakin majunya teknologi, menyebabkan hadirnya konsep

baru. Idah bagi laki-laki merupakan suatu jawaban dari perkembangan zaman

dan ilmu pengetahuan yang menuntut reformasi dalam bidang hukum

keluarga. Aturan yang berlaku selama ini dianggap sudah tidak relevan lagi,

oleh karena itu aturan yang berlaku harus direvisi dengan aturan baru

berdasarkan Hak Asasi Manusia, demokrasi, pluralis dan kesetaraan gender.

2. Dalam proses membentuk hukum Islam di Indonesia, ada beberapa prinsip

yang harus diperhatikan. Pertama, harus ada penjabaran hukum Islam ke

76
77

dalam sistem hukum Indonesia. Kedua, harus mengupayakan bagaimana

hukum baru tersebut dapat diterima dan dijalankan secara efektif oleh

masyarakat. Ketiga, harus ada penciptaan dan penyusunan kembali lembaga-

lembaga hukum baru.

3. Konsep idah bagi laki-laki tidak relevan dengan perkembangan reformasi

hukum keluarga di Indonesia. Konsep idah bagi laki-laki bertentangan dengan

Alquran. Selain itu, konsep tersebut tidak memperhatikan dan menggunakan

prinsip-prinsip dalam membentuk hukum Islam di Indonesia serta tidak

memperhatikan kaidah-kaidah dalam menetapkan hukum Islam. Konsep idah

bagi laki-laki bertentangan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia,

masyarakat Indonesia sangat patuh dan tunduk pada aturan-aturan yang

terdapat dalam Alquran.

B. Saran-saran

Dari semua penjelasan yang telah penulis kemukakan, menurut penulis ada

beberapa hal yang pantas dijadikan saran konstruktif antara lain:

1. Di era globalisasi yang marak dengan paham mengenai kesetaraan gender,

semua pihak terutama kaum intelektual hendaknya lebih selektif dan kritis

dalam menerima setiap informasi. Sebab, globalisasi bukan hanya berdampak

positif, tetapi dampak dari globalisasi merupakan gaya penjajahan baru bagi

dunia ketiga, termasuk penjajahan melalui hegemoni cara pikir dan


78

paradigma. Oleh sebab itu, peran aktif para ahli ilmu dan ulama lebih ekstra

dalam menyampaikan sesuatu yang dianggap menyimpang.

2. Ketentuan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, hendaknya dipatuhi oleh

umat Islam di Indonesia, karena Kompilasi Hukum Islam dapat dinyatakan

sebagai ijma Ulama Indonesia. Tentunya para Ulama dalam menyusun

Kompilasi Hukum Islam berpijak pada kemaslahatan umat.

Demikianlah kesimpulan yang dapat dicapai dari studi ini. Penyusun sangat

menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penyusun mempersilakan peneliti berikutnya untuk menfalsifikasi

kesimpulan-kesimpulan yang telah penyusun peroleh saat ini. Karena, "kebenaran

hari ini hanyalah sebuah kealpaan di hari esok".


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
Jakarta: Rajawali Pers, 1997, Cet. Ke-I.

. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo,


Pustaka Pelajar, 1997, Cet. Ke-VI.

Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet.
Ke-I.

Asqalani, Al, Ibnu Hajar. Terjemah Lengkap Bulugul Maram, Penerjemah Abdul
Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007, Cet. Ke-I.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.

As-Suyuthi, Jalaluddin Al-Itqan fi Ulumi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-


‘Ilmiyyah, 1987.

Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, penerjemah Tim Abdul Hayyie. Jakarta:


Gema Insani, 2008.

Asy-Syanqithti, Syaikh. Adhwaul Bayan, penerjemah Fathurazi, Jakarta: Pustaka


Azzam, 2006. Cet. Ke-I.

Ayyub, Syekh Hasan. Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet. Ke-V.

Az-Zuhaily Wahbah. al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr,


1996, Juz VII.

al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, Libanon: Darl al-Fikr, 1995.

Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan
Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media Offset, 2004, Cet. Ke- II.

Barudi, Al, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita, Penerjemah Samson Rahman, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2004, Cet. Ke-I.

Binjai, Abdul Halim Hasan. Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-I.

79
80

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjmemahannya.

Dimyati, Al, Abu Bakar bin Muhammad, I’anah al-Tholibin, Libanon: Darul Ihyal al-
Turas al-Arabi, t. th, Juz IV.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1983, Cet. Ke-XII.

Effendi, Deden, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, Jakarta : Departemen


Agama RI, 1985.

Fauzi, Muhammad Agama dan Realitas Sosial: Renungan dan Jalan Menuju
Kebahagiaan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Halim, Abdul, ed. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, Cet. Ke-II.

Ismail, Nurjanah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran,


Yogyakarta: LKiS, 2003, Cet. Ke-I.

Jaziri, Al, Abd. Al-Rahman. al-Fiqh ala al-Mazahibal-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,
al-Araby, 2004, Juz IV.

J, Moleng Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda


Karya, 2002.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1976.

Kompilasi Hukum Islam. Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan, Bandung:


Nuansa Aulia, 2008.

Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Hakim dalam Penyelenggraan Peradilan (Suatu Sistem dalam Kajian


Peradilan Islam), Jakarta: Kencana, 2007, Cet. Ke-I.

Manshur, Abd al-Qadir. Buku Pintar Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2009.

Majah, Al-hafiz abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu. Sunan Ibnu
Majah, Beirut, Dar al-Fikr, t.th, Juz I.
81

Mirgani, Al, Al-Imam Muhammad Usman Abdullah. Tafsir al-Maraghi. Mesir:


Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974, Juz XXVIII.

Tajut Tafasir, penerjemah Bahrun Abu Bakar. Jakarta: Sinar Baru


Algensindo, 2009, Cet. Ke-I.

Mughiyah, Muhammad Jawd, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Penerbit Lentera, 2005,
Cet. Ke-XV.

Mulia, Siti Musdah, Sulistiawati Irianto (ed). Perempuan dan Hukum. Menuju Hukum
yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006.

Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung: Mizan,


2005.

Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Jakarta: Kibar Press, 2007, Cet.
Ke- II.

Munawar, Al, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2004, Cet. Ke-I.

Munawir, Ahmad Warson. Al Munawir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka


Progresif, 2002, Cet. Ke-XXV.

Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Sinar Grafika, 2009,
Cet. Ke-I.

Nawawi, Shahih Muslim, Kairo, Daar al-Hadits, 2005, Juz V.

Qatalani, Al, Imam Shihabuddin. Irsadu al-Shari lisarhi Shahih al-Bukhari, Libanon:
Darl al-Kutub al-Ilmiyah, 1996, Juz XII.

Qattan, Al, Manna’ Khalil. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyad: Mansurat al-‘Asr al-
Hadis, t.th.

Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum


Keluarga Islam, Yogyakarta, PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi,
2005, Cet. Ke-I.

Rofiq, Ahmad, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, ed. Muammar
Ramadan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
82

. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.


Rosyadi, Rahmad dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006, Cet. Ke-I.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Mesir, Dar al-Fath lil i’Lam al-Arabi, jilid 3, 2000, Cet.
Ke-I.

Saleh, K.Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978,


Cet. Ke-IV.

Satta, Utsman bin Muhammad. Hasiyat I’anat al-Thalibin, Lebanon: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2007. Cet. Ke-III.

Shadiq, Al, Muhammad Zain dan Mukhtar, Membangun Keluarga Humanis, CLD
Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu, Jakarta: Grahacipta: 2005.

Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2010, Cet. Ke-I.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta:


Liberty, 1982, Cet. Ke-I.

Sostroatmodjo, Arso. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,


1981, Cet.Ke-III.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,


2007.

Usul Fiqh Jilid I, Jakarta: Kencana, 2008, Cet. Ke-III.

Syatibi, Al, Abu Ishak. al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at. Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989, Cet. Ke-II.

Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender. Jakarta: Kantor Menteri
Negara Urusan Perempuan, 1992.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta: PT.


Pradya Paramita,1987.
83

Wahab, Khalaf Abdul. Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Majlis al-A'la al-Indonesia Li al-
Dakwah al-Islamiyah, 1972, Cet. Ke-IX.

Wiriadihardja, Mufti. Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Yayasan


Penerbit Gajah Mada, 1972, Cet. Ke-I.

Yanggo, Chuzaimah T. dkk. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT.


Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-I.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah,
1989.

Zahrah, Muhammad Abu. Ahwal al-Syakhsiyyah. Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 2002.

Zu’fiyyu, Al, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah
bin Barzabah al-Bukhoriyyu. Shahih al-Bukhori. Lebanon, Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2004, Cet. Ke-IV.

INTERNET & JURNAL

Aripin, Jaenal. Reformasi Hukum dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Peradilan


Agama di Indonesia, artikel diakses dalam
http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-01.pdf. tanggal 27 Maret 2011.

Latif Fauzi, Muhammad. Sharia di Ruang Publik Indonesia, Melihat Perdebatan


Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada
http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.pada tanggal,10 Februari 2011.

Mas’udi, Masdar F. Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syari‘ah,


Ulumul Qur‘an, Vol. IV, 1995.

Soekanto, Soerjono. Ilmu-Ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum, Analisis


Pendidikan. No.02, Tahun ke-4 (1983).

Anda mungkin juga menyukai