Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Di Bawah Bimbingan
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
PANITIA UJIAN
ii
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
Jakarta.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah swt., yang telah memberikan rahmat dan
Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun tidak dapat menafikan motivasi dan
bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MH., Ketua Program Studi Peradilan Agama
3. Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan
iv
5. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya.
6. Orang tua tercinta Bapak H. Hifzy Anshori dan ibu Lastini Kunyadi yang
penuh keikhlasan, membantu penulis baik moril maupun materil, adik dan
penulis Wa Titi, Wa Mpi yang tulus telah mendukung dengan segenap kasih
ini, kakek tercinta Kunyadi, Seluruh sepupu penulis Mba Erlyn, Mas Ari, Mas
mo’moi), teteh Ade Uswatul Jamiliyah, juga Sari Eka Lestari Putri (Tamara)
motivasi.
kelas B.
10. Anih Robbani, kekasih hati pelipur lara, ia selalalu ku cinta, motivasi dan
kasih yang terpancar bak cahaya, keindahan cintamu ku percaya, terima kasih
v
Akhirnya penulis sangat menyadari bahwa karya ini masih terlamapau jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima
Harapan penulis semoga karya yang sederhana ini dapat memberikan manfaat
yang besar bagi para pihak dan penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik
Penulis
vi
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Saran ................................................................................................ 77
viii
BAB I
PENDAHULUAN
Muhammad saw. yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan alam dan hubungan dengan Allah. Islam sangat memperhatikan dan
satu dari ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu mengenai ikatan kekeluargaan dari
proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena pada saat mereka
lahir sampai tahap kedewasaan akan muncul untuk menjalin ikatan dengan lawan
pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhan untuk mentaati
tertuang dalam pasal 3 yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
1
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan), Pasal 2
Pengertian Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 2.
1
2
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
Dengan melihat maksud utama dari pernikahan itu sendiri, maka haruslah ada
aturan main yang harus dijaga dan difahami akan makna dari pernikahan dan menjaga
suatu hubungan yang dapat berimbas dan berpengaruh pada suatu hubungan yang
perbuatan dengan tentram, aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari
pihak manapun, maka perlu ada suatu tata (orde, ordenung) yaitu aturan yang menjadi
pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya. Dengan demikian,
Adapun yang termasuk macam-macam norma ialah norma agama, hukum dan
kesusilaan. Norma yang dimaksud dalam hal ini adalah norma hukum yang
syarak yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang dan
2
Mufti Wiriadihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, cet.Pertama, (Yogyakarta:
Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1972), h. 6.
3
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), h. 44.
3
untuk selama-lamanya sampai matinya salah seorang suami atau istri, namun dalam
keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya pernikahan itu dalam
arti bila hubungan pernikahan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi.
Dalam hal ini, Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir
dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan atau perceraian dengan
dipertahankan dan segala usaha harus dilakukan untuk menjaga agar keutuhan rumah
tangga dapat dipertahankan. Namun, apabila semua harapan kasih sayang telah
membenci, saling tidak mempercayai, dan saling tidak menyukai, maka untuk
dihindarkan.6
ketentuan yang berlaku bagi kedua pasangan tersebut, dalam hal ini, konsekuensi
yang berlaku bagi seorang istri berupa idah, istilah idah itu sendiri berasal dari kata
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, cet.II (Jakarta: Kencana, 2007), h. 190.
5
Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 5.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 190.
4
kerja ‘adda ya’uddu yang artinya kurang lebih al-ihshâ`, hitungan, perhitungan atau
sesuatu yang dihitung.7 Dari sudut bahasa, kata idah biasanya dipakai untuk
perempuan yang beridah karena ditinggal mati oleh suaminya. Kedua, perempuan
yang beridah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya, untuk lebih jelas dan
terperinci, pembahasan mengenai hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya dalam
Mengenai idah, aturan tersebut telah diatur dalam Alquran. Idah merupakan
suatu perbuatan yang wajib di jalani oleh seorang istri ketika telah putus hubungan
Ketentuan Alquran tentang idah ini adalah suatu ketentuan yang mutlak harus
diikuti, karena inilah syariat yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan
mereka di dunia dan keselamatan mereka di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu
Praktek idah yang diatur dalam Islam sebenarnya dilakukan dan dikenal sejak
masa jahiliah, pada saat itu, mereka hampir tidak pernah meninggalkannya, lalu
7
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, jilid.VII (Damaskus: Dar al-Fikr,
1996), h. 624.
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h.304.
5
ketika Islam datang, Islam mengakui dan menerapkan idah ini, melihat banyaknya
Mengenai idah yang berarti waktu menunggu bagi mantan istri yang telah
diceraikan oleh mantan suaminya, baik itu karena talak atau diceraikannya. Ataupun
karena suaminya meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum
suatu kewajiban bagi perempuan dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Hal
tersebut telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang termaktub pada pasal 153
yaitu “Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku masa idah, kecuali
pemikiran yang dapat dikatakan baru, yaitu perlunya ada idah bagi laki-laki, hal ini
lahir karena tujuan demi keadilan. Bukti nyata dari pemikiran tersebut yaitu dengan
lahirnya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang merupakan
9
Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid III. Penerjemah: M.Ali Nursydi, Hunainah
dan M thohir Makmun. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), h. 7.
10
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.III (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 1997), h. 125.
11
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan ), Pasal 153,
hal. 47.
6
tentu harus memiliki suatu peraturan yang dapat memberikan kenyamanan bagi
rakyatnya, oleh karena itu, maka tidak salah perkembangan pemikiran tentang hukum
berkembang pesat sehingga terjadi suatu reformasi hukum dari masa ke masa, hal ini
dapat dilihat dari upaya pembaharuan hukum keluarga yang sudah dimulai sejak
kembali pada tahun 1960-an yang berujung dengan lahirnya Undang-Undang RI No.
mengalami perubahan dengan disahkannya KHI yang menjadi pedoman bagi umat
perwakafan. Hal tersebut sesuai dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 dan digunakan
sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan
12
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h.
141.
7
2. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang
Perlu diingat bahwa perubahan hukum itu sendiri tidak terlepas dari adanya
perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu, perubahan ini sejalan dengan teori qaul
qadim dan qaul jadid yang dibuat oleh Imam Syafi’i. Dari hal ini, maka tidak heran
belakangan ini reformasi hukum di Indonesia sesuai dengan waktu dan keadaan dapat
saat ini yang berusaha untuk mengamandemen KHI karena dalam KHI secara
perempuan.14
yang baru dengan ditandai lahirnya gagasan untuk mengamandemen KHI sampai
akhirnya lahirlah Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sebagai
bentuk pembaharuan hukum keluarga yang mengangkat hak dan martabat kaum
13
Ibid., h. 155.
14
Siti Musdah Mulia. Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan
Indonesia dalam Sulistiawati Irianto (ed), Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 132.
8
perempuan. Dengan lahirnya CLD-KHI, maka hal tersebut menjadi satu titik
perubahan hukum dalam tatanan hukum keluarga Islam yang kemudian pengaruh dari
hal tersebut menjadi cita-cita untuk bisa dijadikan Undang-undang yang digunakan.
tatanan hukum keluarga, dalam hal ini adalah Siti Musdah Mulia yang berperan aktif
memperjuangkan pembenahan hukum keluarga itu sendiri, hal ini terlihat dari
banyak tawaran dalam aturan tersebut, namun dalam skripsi ini hanya membahas
yang berkaitan dengan idah bagi laki-laki yang dalam CLD-KHI diatur dalam pasal
88 yang dalam peraturan mengenai idah dijelaskan bahwasanya (1) bagi suami atau
istri yang yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh pengadilan agama berlaku
Dari penjelasan di atas, maka penulis akan membahas lebih dalam lagi
mengenai pemikiran idah bagi laki-laki serta apakah pemikiran tersebut dapat
khususnya hukum keluarga yang berlaku bagi setiap masyarakat muslim di Indonesia
yang merupakan penduduk mayoritas di negara ini. Berdasarkan hal tersebut, maka
penulis tuangkan pembahasan tersebut dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk
15
Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan
Indonesia, dalam Sulistiawati Irianto Ed, Sulistiawati Irianto, Perempuan Dan Hukum. Menuju
Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. h. 170.
9
Indonesia”.
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan tentang idah sangatlah luas, oleh karena itu pembahasan yang
akan dibahas dalam penulisan skripsi ini terfokus hanya dalam pembahasan idah bagi
laki-laki.
2. Rumusan Masalah
Idah yang di tetapkan bagi wanita tentunya telah diatur dalam undang-undang
pergeseran pemikiran. Dalam hal ini, pemikiran tentang kewajiban idah bagi laki-laki
tentunya merupakan pemikiran yang baru dan sangat menarik untuk dibahas, oleh
karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis akan mengangkat hal tersebut dan
keluarga di Indonesia?
10
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
baru.
D. METODE PENELITIAN
normatif, yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan mengacu kepada
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu Kompilasi
Hukum Islam dan referensi terkait dengan pembahasan, yaitu Menuju Hukum
Irianto (ed) Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berpersfektif kesetaraan dan
keadilan.. Penulis juga mendapatkan data melalui studi kepustakaan dengan cara
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dan terakhir penulis juga
menggunakan data tersier, yaitu pengumpulan data yang didapat dari internet.
Agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan variabel yang akan diteliti, maka
pustaka). Data-data yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini didapat dari
4. Pedoman Penelitian
16
Lexy Maelong J, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet.Pertama (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2002), h. 3.
12
tahun 2008” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
b. Terjemahan Alquran dan Hadis ditulis 1/2 spasi walaupun kurang dari
enam baris.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
sebagai berikut:
sistematika pembahasan.
bab ini memuat tentang pengertian idah, dasar hukum idah, macam-
BAB Keempat Berisi penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga berisi kesimpulan
A. Pengertian Idah
Idah merupakan keharusan menunggu bagi seorang istri yang diakibatkan oleh
putusnya suatu hubungan perkawinan dengan suaminya atau karena ditalak dan
karena ditinggal mati oleh suaminya. Keharusan idah bagi wanita yang telah ditalak
atau ditinggal mati oleh suami merupakan perintah Allah yang wajib dijalani oleh
para wanita.
penulis mencoba mengungkapkan dan menyajikan dari dua segi, yaitu segi bahasa
Sebelum membahas lebih jauh mengenai idah tersebut, maka terlebih dahulu
penulis mengemukakan pengertian idah ditinjau dari segi bahasa, secara bahasa idah
merupakan jamak dari (ٌ )عَدَدyang mempunyai arti jumlah atau sejumlah.1
1
Ahmad Warson Munawir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia, cet.XXV (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002), h. 903.
14
15
Dalam Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus, idah berasal dari
kata (ّ )عدyang berarti menghitung.2 Dengan demikian, jika ditinjau dari segi bahasa,
maka kata idah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci
pada wanita.3
Mengenai pengertian idah dari segi istilah, para ulama telah mendefinisikan
Menurut Utsman bin Muhammad Satta dalam kitabnya Hasiyat i’anat al-
“ Idah menurut istilah ialah sesuatu yang maknanya tidak bisa di logikakan, apakah
sebagai ibadah atau yang lain dan karena kedukacitaan istri atas suami yang
meninggal”
Sayyid Sabiq mendefinisikan idah secara istilah dalam kitab Fiqh Sunnah,
sebagai berikut:
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzuriyah,1989), h.
256.
3
Chuzaemah Tahido Yanggo, dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.Pertama
(Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), h. 149.
4
Utsman bin Muhammad Satta, Hasiyat I’anat al-Thalibin, cet.III (Lebanon: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2007), h. 60.
5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet.Pertama, (Mesir, Dar al-Fath lil i’lam al-Arabi, jilid III,
2000), h. 209.
16
“ Nama untuk masa wanita untuk menunggu dan terlarang untuk menikah setelah
Setelah membahas masalah idah dari segi pengertian, maka di bawah ini
penulis akan membahas dasar hukum idah yang mengacu pada dalil naqli guna
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al Baqarah (2): 228)
Kewajiban beridah selain telah diatur dalam Alquran, dalam hadis Nabi juga
Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Saibah telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu
Umar ia berkata : aku mentalak isteriku dalam keadaan haid kemudian Umar
menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda
“Perintahkan kepadanya (Ibnu Umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga
suci kemudian haid kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin mentalaknya
hendaklah ia mentalak sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin
bersamanya, maka hendaklah bersamanya. Itulah idah yang diperintahkan oleh
Allah”. (HR Ibn Majah).
Dasar hukum yang bersumber dari hadis Rasul saw. tentang idah bagi wanita
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata : aku
membacakan hadis dihadapan Malik dari Abdullah bin Abi bakr dari Humaid bin
Nafi’ dari Zainab binti Abi Salamah bahwa Zainab telah meriwayatkan hadis ini.
Humaid bin Nafi’ berkata bahwa Zainab pernah berkata “aku bertemu dengan Umi
6
Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
juz.I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 651.
7
Nawawi, Shahih Muslim, juz.V, (Kairo: Daar al-Hadist, 2005), h. 368.
18
Haibah isteri Nabi ketika ayahnya meninggal ayahnya (Abu Tsufyan)dst. Kemudian
Umi Habibah berkata “aku mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar “tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir meratapi mayit
lebi dari tiga hari kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. (HR
Muslim)
Artinya : Telah bercerita kepada kami Yahya ibn Khaza’ah: telah bercerita kepada
kami Malik dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya, dari Miswar putera Makhramah:
“Bahwasanya Subai’ah Aslamiyah ra. melahirkan setelah suaminya meninggal dunia
beberapa malam, kemudian ia menghadap Rasulullah dan minta izin untuk kawin,
maka Rasulullah mengizinkannya, kemudian ia kawin.” (HR. Bukhari).
Dari beberapa dasar diwajibkannya idah di atas menjadi suatu pijakan dalam
memahami dan menjalankan aturan sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Indonesia
sendiri aturan mengenai idah tersebut telah diatur dalam suatu peraturan formal yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dan tentunya aturan tersebut bersumber dari dalil-
dalil Alquran ataupun Hadis, peraturan tersebut penulis akan bahas lebih lanjut pada
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah
8
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah al-
Bukhoriyyu al-Zu’fiyyu. Shahih al-Bukhori, cet. IV (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), h.
1000.
19
tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan.9 Selanjutnya atas dasar pasal 11
sebagai berikut:
Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu
akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.10
mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39. Pada pasal 153
sebagai berikut :
Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau idah kecuali qobla dhukhul dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.
9
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet.IV, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1978), h.
20.
10
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, (Jakarta. PT Pradya
Paramita,1987), h. 10.
20
Sama halnya dengan yang di atur dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi
Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu idah. Sementara itu, apabila
perkawinan putus karena khulu, fasakh, atau li’an11, maka waktu tunggu seperti idah
talak. Sedangkan apabila seorang istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani
masa idahnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 153 ayat (2) huruf b, ayat (5) dan
ayat (6) ditinggal mati oleh suaminya, maka idahnya berubah menjadi empat bulan
sepuluh hari atau 130 hari yang mulai penghitungannya pada pada saat matinya
mantan suaminya tersebut. Adapun masa idah yang telah berjalan pada saat suaminya
masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung pada saat kematian. Karena hal
tersebut dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak
merujuknya selama masih dalam masa idah. Karakteristik masa idah tersebut,
merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa idah dalam
Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syarak. Hukum syarak yang
dimaksud disini adalah pengertian hukum syarak menurut istilah fuqaha, yaitu:
11
Khulu adalah cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri. Sedangkan fasakh adalah
putus karena salah satu dari salah satu istri atau suami murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak
dibenarkan kawin dan li’an yaitu menuduh istri melakukan perzinaan.
12
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.Pertama (Jakarta: Sinar Grafika
2006), h. 89.
21
13
.
Artinya: Adapun hukum syarak menurut istilah fuqaha ialah pengaruh yang
dikehendaki oleh kitab Syari' (Tuhan) terhadap suatu perbuatan seperti kewajiban,
Bertolak dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas dapat dirumuskan
bahwa idah menurut pengertian dalam hukum Islam adalah masa tunggu yang
ditetapkan oleh hukum syarak bagi wanita (istri) untuk tidak melakukan akad nikah
baru dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, dengan tujuan untuk membersihkan
diri dari pengaruh akibat hubungan antara mantan suaminya itu serta sebagai nilai
peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan kita
ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi
waktu tunggu idah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas.
Idah yang berarti tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh
kawin bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk
menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil. Dan juga sebagai masa
berkabung bila suami yang meninggal dunia dan untuk menentukan masa rujuk bagi
13
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet.VIIII (Jakarta: Majlis al-A'la al-Indonesia Li
al-Dakwah al-Islamiyah, 1972), h. 100.
22
suami bila talak itu berupa talak raj’i.14 Pemahaman ini diinspirasikan secara implisit
oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah idah itu sendiri, yaitu pasal 11
Tahun 1975. Dengan demikian, pengertian idah adalah masa tenggang waktu atau
tunggu sesudah jatuhnnya talak. Di dalam waktu idah itu, bekas suami diperbolehkan
untuk merujuk kepada bekas istrinya. Atas dasar inilah istri tidak diperbolehkan
C. Macam-macam Idah
Jika perempuannya bisa haid, maka idahnya tiga kali quru. Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 228. Secara zahir, ayat tersebut dengan
tegas mengatur tentang idah bagi istri yang diceraikan oleh suaminya. Sedangkan
bagi istri yang belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaknya, maka bagi
istri tersebut tidak mempunyai masa idah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan
pernah bersetubuh, maka ia harus beridah seperti idah orang yang disetubuhi, hal ini
14
Arso Sostroatmodjo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.III (Jakarta: Bulan Bintang
1981), h. 80.
15
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet.Pertama
(Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 120.
23
suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut : istri
yang ditinggal karena kematian suaminya wajib idah sekalipun belum pernah
disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami
yang meninggal dunia.16 Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus
menjalani idah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila di harikan minimal
90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 peraturan
Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggal mati
oleh suaminya, maka mereka (istri) beridah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku
bagi perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak
berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid
16
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Penerjemah: M.Ali Nursydi, Hunainah dan M thohir Makmun,
h. 80.
24
akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi
sebagai berikut :
istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga
bagi wanita yang tidak haid, maka idah yang harus dijalani bagi wanita tersebut (istri)
masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 153
Kompilasi Hukum Islam bagian kedua mengenai pengaturan masa tunggu ayat (2)
“Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu yang masih haid
ditetapkan tiga (3) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilanpuluh) hari,
dan bagi yang tidak haid di tetapkan 90 (sembilanpuluh) hari ”.17
Idah istri yang telah disetubuhi masih haid dan ada kalanya tidak berhaid lagi.
Masa idah yang masih haid adalah selama 3 kali quru sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 228 yang telah disebutkan di atas.
17
Kompilasi Hukum Islam, (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), h. 47.
25
sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat at-Talaq ayat
4 sebagaimana yang telah ditulis di atas. Istri tersebut harus menjalani masa tunggu
yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam
pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut :
Idah wanita yang ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil,
maka lama idahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini berdasarkan pada firman Allah dalam
Jika seorang istri yang ditinggal pergi oleh suaminya dan tidak pernah
kembali serta tidak pula ada kabar yang jelas mengenai keberadaan suaminya, maka
wanita itu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sampai wanita tersebut benar-
benar meyakini kematian suaminya tersebut, atau meyakini bahwa talak telah
suami hilang yang dalam istilah fikih disebut dengan suami mafqud.
18
Ibid., h. 47.
19
Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, cet.V (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 435.
26
terputus (hubungan dengan istri) sama sekali, artinya suami tersebut diketahui
tempatnya dan masih diketahui kabar beritanya. Dalam hal ini, seluruh ulama mazhab
sepakat bagi wanita tidak boleh menikah dengan lelaki lain. Kedua, suami tidak
diketahui kabar beritanya dan tidak diketahui tempat tinggalnya. Mengenai pendapat
yang kedua, para ulama berbeda pendapat dalam kaitannya dengan istri, pendapat-
Imam Abu Hanifah mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar beritanya
tersebut tidak halal kawin lagi sampai ia melewati waktu yang lazimnya
suaminya dinyatakan tidak mungkin masih hidup yang dibatasi dengan waktu
seratus dua puluh tahun lagi. Apabila suaminya muncul kembali, sedangkan
wanita tersebut sudah bersuami lagi, maka perkawinannya dengan suami yang
kedua menjadi batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang
pertama.
Imam Malik mengatakan wanita itu harus menahan diri selama empat tahun,
kemudian beridah selama empat bulan sepuluh hari, dan sesudah itu dia halal
kawin dengan laki-laki lain. Apabila suami yang pertama datang sebelum
suaminya yang pertama. Sedangkan bila sudah dicampuri, maka tetaplah dia
menjadi istri suami yang kedua, tapi suami yang kedua ini wajib membayar
27
mahar pada suami pertama. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang
20
Artinya: “Dari Umar r.a. tentang seorang istri yang kehilangan suaminya “ia harus
menunggu selama empat tahun, kemudian ia menjalani masa idah selama empat
Sementara itu menurut Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya mengatakan, istri
laki-laki yang tidak ada kabar beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai
masih hidup, dalam hal ini Imam Syafi’i membatasi dalam hitungan waktu
sudah bersuami lagi, maka perkawinan dengan suami yang kedua menjadi
batal dan statusnya kembali menjadi istri dari suami yang pertama. Pendapat
Imam Syafi’i ini sesuai dengan sabda Rasullulluah saw. sebagai berikut:
21
.
Artinya: “Istri orang yang hilang adalah istrinya sehingga datang penjelasan
tentangnya”.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan istri laki-laki yang tidak ada kabar
beritanya tersebut tidak halal kawin lagi sampai dia melewati waktu yang
20
Ibnu Hajar al-Asqalani. Terjemah lengkap Bulugul Maram, cet.Pertama. Penerjemah:
Abdul Rosyad Siddiq (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007), h. 511.
21
Hadis dari Mughirah bin Syu’bah r.a. hadist ini diriwayatkan oleh ad-Daruqutnhni dengan
sanad yang dhaif. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani. Terjemah lengkap Bulugul Maram,h.511.
28
lazim yang dinyatakan suaminya masih hidup, Imam Ahmad bin Hambal
dicampuri oleh suami barunya, maka ia masih tetap istri suaminya yang
suaminya. Bila suami pertama mau dia dapat mengambilnya dari suami
barunya, tapi dia dapat mengambil mahar dari suami baru itu.22
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai suami mafkud atau hilang, hal tersebut
diatur pula dalam peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum
Islam mengatur dan menjelaskan apabila hal tersebut terjadi, maka wanita dapat
menggugat cerai suaminya, sebagaimana yang tertera dalam pasal 116 huruf (b)
yaitu:
“Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.”23
sesuatu tentu ada manfaat dan ada hikmah dibalik aturan tersebut, begitu juga dengan
idah, kewajiban bagi wanita (istri) untuk beridah didalamnya terkandung manfaat dan
hikmah bagi wanita tersebut, berikut adalah manfaat dan hikmah idah:
22
Muhammad Jawad Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. XV (Jakarta: Lentera, 2005), h.
474.
23
Kompilasi Hukum Islam, (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), h. 36.
29
Salah satu tujuan dalam beridah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim
perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suamiya. Pendapat ini telah
disepakati oleh para ulama. Para ulama berpendapat demikian berdasarkan dua alur
pikir yaiyu:
1. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang
perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan tentang anak yang akan
itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa sebelum perempuan itu kawin
2. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah
dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali
Tujuan idah yang kedua yaitu memberikan kesempatan kepada kedua suami
istri untuk membangun rumah tangga kembali (rujuk), bila menurut mereka hal itu
lebih baik.25
24
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 305.
25
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, juz. III. Penerjemah: M.Ali Nursydi, dkk, h. 79.
30
kebiasaan-kebiasaan itu tidak didapatkan atau ditemukannya lagi, begitu pula bagi
perempuan yang dicerai oleh suaminya. Sehingga saat-saat inilah yang dapat
Seorang janda dapat lebih leluasa menyatakan kemauannya untuk bisa kawin
lagi, karena dalam hal ini janda lebih berhak atas dirinya sendiri terhadap adanya
perceraian, janda juga perlu memikirkan positif dan negatifnya rujuk kembali. Baik
Hikmah dari adanya idah merupakan kesempatan untuk berpikir lebih jauh,
serta diharapkan dengan masa itu, pasangan suami istri yang bercerai akan
tujuan idah untuk memastikan kekosongan rahim dan untuk membuka peluang agar
dapat rujuk kembali, lebih dari itu idah mempunyai tujuan yang bernilai ibadah26
Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai
hidup atau mati. Di sana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi
26
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 305.
31
dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beridah inilah yang merupakan
gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai
ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat
beridah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati
LAKI-LAKI
menafsirkan ayat tentang idah, hal ini bertujuan untuk memahami lebih dalam apakah
konsep idah bagi laki-laki menjadi suatu yang dibolehkan atau sesuatu yang tidak
dibenarkan atau bertentangan dengan nash, berdasarkan hal tersebut, maka penulis
akan memaparkan padangan mufasir dengan merujuk dan memahami penafsiran ayat
terlebih dahulu penulis akan mengemukakan asbabun nuzul surat al-Baqarah, hal ini
dinilai penting, seperti halnya pendapat Manna Khalil al-Qattan, bahwa untuk
menafsirkan Alquran, ilmu asbabun nuzul di perlukan sekali. Baginya, asbabun nuzul
1
Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabahis fi „Ulum al-Qur‟an (Riyad: Mansurat al-„Asr al-Hadis,
t.th), h.75.
32
33
membicarakan hal tersebut, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu atau
membahas asbabun nuzul surat al-Baqoroh (2) ayat 228 yang menjadi dalil akan
Ayat tersebut turun bahwasanya Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Asma binti Yazid ibnu Sakan al-Anshariyyah, dia berkata, “Saya
dicerai pada zaman Rasulullah dan ketika itu belum ditetapkan idah untuk para
wanita yang dicerai”. Maka Allah menurunkan idah untuk wanita-wanita yang
dicerai, yaitu firman-Nya,“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri
menceraikan istrinya, Qatilah, dan dia tidak tahu bahwa istrinya sedang hamil.
Kemudian setelah beberapa waktu dia baru tahu bahwa istrinya sedang hamil, maka
dia pun merujuknya kembali. Lalu istrinya tersebut melahirkan, namun anaknya
2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantara Ilmu Al-Qur‟an Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 69.
3
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1987), h. 93.
34
meninggal dunia. Maka turunlah firman Allah, “dan para istri yang diceraikan (wajib)
Penafsiran ayat 228 surat al-Baqoroh, dalam menafsirkan ayat ini Al-Imam
Muhammad Usman Abdullah Al-Mirgani dalam bukunya yang berjudul Tajut Tafasir
sebelumnya dari kalangan wanita yang berhaid, ( يتر بصن بانفسهنhendaklah menahan
diri) menunggu dan tidak boleh bersetubuh ( ثلثة قروءtiga kali quru‟) yang dijalaninya
sejak talak dijatuhkan atas dirinya. Adapun wanita yang belum disetubuhi, maka
tidak ada mada idah baginya karena Allah swt. Telah berfirman dalam ayat lainnya:
Dan masa idah bagi wanita yang tidak berhaid lagi dan wanita yang belum
baligh adalah tiga bulan, karena ada firman Allah swt. dalam surat at-Thalaq (65) ayat
4
Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 9.
35
Sebelum ayat ini diturunkan ) QS.At-Talaq (65): 4), idah bagi semua wanita
yang diceraikan oleh suaminya adalah tiga kali quru‟, termasuk di dalamnya idah bagi
wanita hamil mutlak atau wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi setelah
turunnya ayat ini, maka ditentukan bahwa wanita yang tidak mengalami haid lagi
baik karena tua (menopouse) atau wanita yang belum berhaid adalah tiga bulan
Baqoroh (2) ayat 228, dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan
kalimat “quru”, dalam menafsirkan kalimat quru tersebut para ulama ada yang
mengartikannya dengan “suci” dan ada pula yang mengartikannya dengan “haid”.
Sehingga dengan pengertian yang berbeda itu dapat mengakibatkan perbedaan lama
beridah. Quru dengan pengertian suci akan mengakibatkan masa idah lebih pendek
dari quru dengan pengertian haid. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan
membahas mengenai hal tersebut dengan pendekatan tafsir ayat dan merujuk kepada
Pendapat para ulama yang mengartikan kata quru dengan makana haid,
5
Usia menopause menurut al-Maraghi adalah 55 tahun (al-khamisah wa al-khamsin), Lihat
Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974), Juz 28, h. 142-143.
36
Artinya: Tinggalkan salat di hari engkau quru yaitu diwaktu engkau haid.
Artinya: Dari Ibnu Umar ra, Talak sahaya perempuan (amah) adalah duakali dan
Golongan yang kedua yang mengartikan kata quru dengan arti suci, pendapat
Artinya: …Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu merka dapat
hendaklah di waktu sucinya. Lagi pula Nabi Muhammad telah berkata kepada Umar
bin Khattab:
6
Hadis dari ibnu Umar, yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani,
Terjemah Lengkap Bhulugul Maram, (Jakarta: Akbar, 2007). h. 510.
37
Maksudnya ialah supaya perempuan itu ditalak ketika ia suci. Jangan ketika
sedang membawa kotoran. Abu Bakar bin Abd. Rahman menjelaskan, “tidak kami
dapatkan seorangpun dari fukaha kami, melainkan semuanya berkata bahwa quru‟ itu
bermakana suci.” Selain hadis di atas sebagai alasan terkuat, mereka juga mengatakan
bahwa quru‟ adalah bentuk jama‟ khusus untuk kata qur‟un yang berarti suci karena
kata qur‟un yang berarti haid dijama‟kan menjadi aqra‟, bentuk jama‟ ini
Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya di waktu perempuan itu suci dan
belum lagi di campurinya pada waktu sucinya itu, maka terhitunglah itu satu kali
suci, walaupun waktu suci itu hanya sesaat atau sekejap saja. Kemudian datang suci
yang kedua sesudah ia membawa haid. Apabila ia melihat darah pada haidnya yang
Di antara sahabat yang menyebutkan quru itu dengan makna haid ialah, Umar,
Ali, Ibnu Mas‟ud, Abu Musa, Ubidah bin Shamir dan Abu Darda. Sedangkan dari
kalangan tabiin ialah Ikrimah, Dhahhaq, Suddi, Auza‟i, Sufyan Tsauri dan Abu
Hanifah. Ahmad bin Hambal berkata, “pada mulanya kusebutkan quru dengan makna
7
Al-imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Barzabah al-
Bukhoriyyu al-Zu‟fiyyu, Shahih al-Bukhori, cet. IV (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 2004), h.
1000.
38
suci, dan hari ini kusebutkan dengan makna haid.”8 Alasan yang paling kuat bagi
golongan ini adalah bahwa idah di adakan untuk mengetahui kosongnya rahim
wanita, sedang kosongnya rahim ini hanya dapat diketahui dengan haid bukan dengan
masa suci.
Sedangkan pendapat yang mengartikan quru sebagai masa suci (tidak haid)
mereka adalah Syafi‟i, Maliki dan Imamiyah menginterpretasikan quru dengan masa
suci, sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka
masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa idah, yang kemudian disempurnakan
Dari kedua perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa menurut golongan
yang memaknai quru adalah masa suci, maka suami tidak boleh merujuk istrinya pada
haid yang ketiga dan istri halal bagi lelaki lain. Sedangkan golongan yang memaknai
quru‟ adalah haid, maka istri baru menjadi halal bagi pria lain setelah lewat masa haid
yang ketiga.
Kemudian penjelasan lain mengenai idah yang termaktub dalam surah al-
Baqoroh (2) ayat 234 secara zahir ayat, ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban
idah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya dengan menjalankan idahnya
selama empat bulan sepuluh hari. Dalam menafsirka ayat tersebut, Sayyid Quthb
8
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, cet. Pertama (Jakarta: Kencana, 2006), h. 107.
9
Muhammad Jawd Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, cet. XV (Jakarta: Penerbit Lentera,
2005), h.466.
39
dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan, sebelum Islam datang, tradisi bangsa
Arab dalam memperlakukan wanita yang ditinggal mati suaminya, wanita tersebut
harus masuk pada tempat yang hina, harus menggunakan pakaian yang sangat buruk,
tidak boleh memakai parfum dan sebagainya selama satu tahun. Setelah itu ia boleh
kerendahan jahiliah, seperti mengambil dan membuang kotoran binatang, serta naik
keledai atau kambing. Ketika Islam datang diringankanlah penderitaan itu, bahkan
dan ditutupnya semua jalan baginya untuk hidup yang terhormat dan kehidupan
idah selama empat bulan sepuluh hari, kecuali idah wanita yang hamil yang idahnya
sampai melahirkan yang lebih panjang daripada idah wanita yang ditalak. Dalam
masa idah ini, dia membersihkan rahimnya. Keluarga suami tidak boleh menyakiti
Dalam menafsirkan surat al-Baqarah (2) ayat 234 yang artinya “orang-orang
isteri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.”( QS. al-
Baqarah (2) :234) dan surat at-Thalaq (65) ayat 4 yang artinya “perempuan-
perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai ia melahirkan
40
pembahasan ta‟arudh al a‟main (bertentangan dua keumuman), dan secara teori usul
fikih harus dilakukan tarjih (mencari yang lebih kuat) antara keduanya. Dan yang
rajih (yang kuat) adalah yang bersifat khusus diantara keduanya, sedangkan yang
Berdasarkan hadist Nabi saw. yang shahih, bahwa firman Allah, “ Dan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu).”( QS. al-Baqoroh (2): 234). Hal
ini diperkuat dengan pendapat ulama usul fikih yang berpendapat bahwa jama yang
Dalam menetapakan idah bagi wanita yang di tinggal mati oleh suaminya
menurut Ibnu Abbas apabila seorang wanita yang berada dalam posisi demikian,
hendaknya ia memilih antara dua waktu yang paling lama antara sampai melahirkan,
atau empat bulan sepuluh hari. Hal ini merupakan jalan tengah untuk mensinkronkan
10
Syaikh Asy-Syanqithti, Adhwaul Bayan, cet.Pertama. Penerjemah Fathurazi (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), h.439.
11
Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, cet.Pertama. Penerjemah Samson Rahman
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 204.
41
mendapatkan kesimpulan bahwa ketentuan idah yang telah ditetapkan dalam Alquran
Hukum Islam secara garis besar mengenal dua macam sumber hukum,
pertama, sumber hukum yang bersifat “naqli” dan sumber hukum yang bersifat
“aqli”. Sumber hukum naqli ialah Alquran dan sunah, sedangkan sumber hukum aqli
ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah pikir dengan beragam
metodenya.12
Fikih merupakan hasil olah pikir (ijtihad) ulama dengan menggali lebih dalam
tentang hukum Islam (syariah) dalam memahami teks-teks keagamaan (nash) untuk
syariah secara harfiah berarti jalan, maksudnya yaitu suatu norma yang di syariatkan
oleh Allah agar manusia mendapatkan kebaikan dalam hubungan dirinya dengan
Allah, hubungan dengan sesama muslim, hubungan dengan sesama manusia, dan
hubungan dengan kehidupan.13 Fikih dan syariah mempunyai keterkaitan yang sangat
kuat, syariah merupakan ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku
manusia untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di Akhirat. Semua
tindakan manusia di dunia harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul,
sementara itu untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah tentang tingkah
12
Abdu Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
cet.Pertama (Jakarta: Kencana, 2010), h.34.
13
Ahmad Rofiq, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, ed. Muammar
Ramadan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 3.
42
laku manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syariah sehingga secara
amaliah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi bagaimanapun. Hasil pemahaman
itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci tentang tingkah
laku manusia atau mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil
agar setiap muslim dapat membangun pribadi dan prilakunya berdasarkan akidah,
syariah dan akhlak, juga dalam kehidupan sosial dengan dimotori oleh pemimpin
(imamah) dapat mewujudkan suatu kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati
diri keadilan, persamaan dan kemitraan. Maka, dalam pembidangan fikih pun, terbagi
Pembidangan itu seperti Fikih Ibadah, Fikih Muamalah, Fikih Siyasah, Fikih Jinayah,
Fikih Dauliyah, Fikih Munakahat, dan lain-lain. Yang menjadi persoalan disini
adalah artikulasi dan aplikasi fikih tersebut ketika berhadapan dengan sistem hukum
yang beragam di Indonesia, hukum Barat dan hukum adat, rambu-rambu fikih
mengalami marginalisasi. Selain itu, disatu sisi, adanya sikap yang cenderung apriori
dari sebagian masyarakat terhadap fikih yang dianggap selalu ketinggalan zaman
14
Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, jilid I, Cet.III (Jakarta: Kencana, 2008), h.5.
15
Ahmad Rofiq, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, h.5.
43
Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa salah satu disiplin kajian fikih adalah
tentang munakahat, oleh karena itu dalam penulisan skripsi ini akan membahas
tentang pandangan ulama fikih klasik dan kontemporer tentang bidang munakahat,
mewajibkan pelaksanaan mengenai hal itu kepada wanita baik yang ditinggal mati
oleh suaminya, karena talak, fasakh (pembatalan nikah), pisah setelah pernikahan
yang rusak atau setelah terjadi hubungan badan secara syubhat.16 dalam penentuan
idah, para ulama berlandaskan pada dalil al-Quran seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya. Tak ada perbedaan yang begitu signifikan dalam penetapan tentang
Dalam kaitannya dengan ketentuan idah bagi wanita, salah satu dalil yang
menunjukan kewajiban idah tersebut yaitu ketetapan yang telah diatur dalam hadist
17
pada wanita, adapun idah bagi laki-laki pembahasan mengenai hal tersebut memang
16
Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 126.
17
Hadis dari Nafi, lihat Al-imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
Mugirah bin Barzabah al-Bukhoriyyu al-Zu‟fiyyu. Shahih al-Bukhori, Cet.IV (Lebanon, Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2004), h. 1001.
44
sempat menjadi perdebatan dikalangan ulama fikih klasik waktu itu, sekalipun hanya
terbatas pada dua kondisi. Pertama, jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan
talak raj‟i. Kemudian dia ingin menikahi seorang yang tidak boleh dikumpulinya,
seperti saudara perempuan, maka dia tidak diperkenankan sehingga idah istri pertama
yang termasuk dalam ikatan mahram dengan calon istri yang kedua selesai. Kondisi
kedua, jika seorang suami mempunyai empat istri, dan dia mentalak raj‟i salah
satunya untuk menikah yang kelima, maka dia tidak diperkenankan menikah dengan
harus dijalani seorang laki-laki dalam dua kondisi di atas. Ulama dari kalangan
Hanafiyah berpendapat bahwa penantian tersebut tidak dikatakan idah secara syar‟i, 19
pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-
penantian tersebut hanyalah penantian wajib yang harus dilalui di sebabkan ada mani‟
syar‟i.20 Dua pendapat ini senada dengan sebagian ulama Malikiyah dengan dalih
bahwa idah adalah masa sebagai indikator terhadap bersihnya rahim.21 Ini dapat
18
Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati, I‟anah al-Tholibin, juz IV ( Libanon: Darul Ihya
al-Turas al-Arabi, t. th), h. 59.
19
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV(Libanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 452.
20
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Libanon: Darl Fikr, 2006), h. 71.
Maksud dari mani‟ syar‟i tersebut karena ada ketetapan hukum yang melarang menikahi saudara atau
mahram dan juga tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat, sebagaimana surat an-Nisa ayat 3, 22,
dan 23.
21
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV, h. 453.
45
difahami secara pasti bahwa laki-laki tidak mempunyai rahim, sehingga tidak ada
idah baginya.
dikutip oleh al-Jaziri, bahwa penantian seorang laki-laki tersebut dikatakan idah. Ini
senada dengan pendapat yang dikeluarkan al-Syafi‟iyah yang dikutip oleh al-Dimyati
perempuan yaitu perempuan yang tertalak tiga kali sebelum adanya tahlil23 atau
sebelum adanya laki-laki lain yang menikahinya yang dikenal dengan sebutan
muhalllil.24
penantian laki-laki dikatakan idah atau-pun tidak, setidaknya ini sebagai pijakan awal
yang membuka cakrawala berpikir hadirnya penerapan idah bagi laki-laki. Idah bagi
laki-laki yang diperkenalkan oleh ulama-ulama salaf adalah sebagai bentuk kemajuan
dikembangkan oleh mereka bahwa idah hanya berlaku untuk perempuan. Alasan
pemberlakuan idah bagi laki-laki tersebut yang dikemukakan oleh para pemikir salaf
22
Mengenai masalah idah yang harus dijalani oleh seorang laki-laki dianggap idah wajib atau
tidak, ini masih terjadi khilaf, secara pasti ia harus menunggu sampai masa penantian yang dilakukan
oleh istri selesai: Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati. I‟anah al-Tholibin, juz IV, h. 45.
23
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 68.
24
Imam Shihabuddin al-Qatalani, Irsadu al-Shari lisarhi Shahih al-Bukhari, juz XII,
(Libanon: Darl al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 93.
46
adalah adanya mani‟ syar‟i, yaitu tidak boleh menikahi mahram dan memberi batasan
menikahi perempuan dengan empat orang saja, sebagaimana disebut dalam Q.S. al-
Nisa (4): 22-23 dan 3). Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh kalangan
Hanafiyah yang dikutip oleh al-Jaziri mengenai wajibnya menunggu bagi suami yang
ingin menikahi saudara perempuan yang tertalak adalah untuk menenangkan gejolak
Pembahasan mengenai idah bagi laki-laki tidak hanya terjadi pada masa
ulama salaf, dewasa ini pemikiran tersebut hadir kembali, ketentuan idah dibebankan
tidak hanya kepada perempuan saja, bagi sekelompok ilmuan muslim berpendapat
bahwa ketentuan mengenai idah harus dibebankan pada laki-laki juga, sebagaimana
pendapat Muhammad Zain dan Mukhtar al-Shodiq26 yang termasuk dalam kalangan
yang menghendaki idah bagi laki-laki, mengatakan bahwa idah adalah masa transisi
bagi mantan suami dan mantan istri akibat perceraian, baik cerai mati maupun talak
dan telah mempunyai kekuatan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Gagasan ini
tidak hanya terbatas pada tiga ketentuan yang telah diwacanakan oleh ulama-ulama
salaf, akan tetapi juga ada wacana pemberlakuan idah bagi suami secara general.
Gagasan semacam ini tidak lepas dari konteks sosial yang telah berubah. Perubahan
25
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ala al-Madhahibul al-Arba‟, juz IV, h. 452.
26
Muhammad Zain dan Mukhtar Al-Shadiq, Membangun Keluarga Humanis, CLD
Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu, (Jakarta: Graha cipta, 2005), h. 67.
47
ini juga berimbas pada perubahan tatanan hukum semisal hadis yang berbunyi
Mengenai idah bagi laki-laki, Siti Musdah Mulia berpendapat idah sejatinya
mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan selain seksualitas dan kehamilan,
juga mempertimbangkan soal psikologis, tenggang rasa, solidaritas pada anak dan
keluarga pasangan. Lebih lanjut menurutnya, idah merupakan masa transisi di mana
salah satu pasangan (idah karena cerai mati) atau kedua pasangan (idah karena cerai
hidup) dapat berpikir jernih dan bijaksana untuk mengambil keputusan selanjutnya.
Dalam kajian ilmu fikih, idah ditetapkan bagi perempuan salah satunya yaitu
untuk mengetahui apakah dalam janin si istri terdapat bibit bayi yang dikandungnya
untuk itu dalam fikih idah bertujuan untuk menentukan bersih atau tidaknya janin
tersebut. Alasan seperti ini memang untuk masa sekarang yang diiringi oleh
kemajuan teknologi yang semakin modern tentunya hal tersebut dapat ditentukan
dalam waktu beberapa jam saja atau mungkin dalam hitungan menit kondisi janin si
27
Derajat hadis ini marfu‟ bunyi hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Amirul
Mu‟minin Ali radiya alllah anhu. Lihat Muhammad bin Ali Assaukani, Nailu al-Awthar Jilid IV,
(Libanon: Darl al- Fikr, 2000), h. 87.
28
Siti Musdah Mulia, Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia
dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan
dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 170.
48
istri dapat diketahui bersih atau tidaknya maka dengan adanya teknologi seperti ini
Penetapan mengenai idah bagi laki-laki yang tidak ada landasan hukum secara
jelas yang termaktub dalam Alquran atau hadis, sehingga konsep tersebut tidak
sedikit yang menentangnya dari umat Islam dan ilmuan muslim Indonesia.
Berdasarkan hal itu, maka pendapat yang dikeluarkan oleh kalangan yang
membenarkan idah bagi laki-laki mereka beralasan bahwa dalam upaya untuk
yuridis formal saja, tetapi harus juga dengan pendekatan filosofis dengan melakukan
pengkajian lebih dalam tentang maqasid syariah dari adanya masa idah.30
Latar belakang terjadinya pemikiran idah bagi laki-laki tidak terlepas dari
maraknya kritikan tentang Kompilasi Hukum Islam, sejak dikeluarkan pada tahun
1991, kritik terhadap isi dan status Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dibendung.
(BPPHI) untuk melaksanakan agenda yang bertujuan untuk meningkatkan status KHI
29
Isna Wahyudi, Fiqih Idah Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 141.
30
Ibid., h. 183.
49
Perkawinan.
Gender akhirnya membuat draf tandingan, yang disebut Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Pokja ini adalah kelompok kerja yang terdiri
dari pakar hukum Islam dan bekerja untuk membuat draf hukum alternatif sebagai
bawah otoritas Menteri Agama. Pokja ini terdiri dari 10 anggota, yaitu Marzuki
Moqsith Ghazali, Anik Farida, Saleh Partaonan, Ahmad Suaedy, Marzani Anwar,
Taufik Akbar. Sebagian besar anggota Pokja ini adalah intelektual muda lulusan
pesantren.
aturan yang terdapat dalam KHI tidak relevan lagi untuk digunakan, menurut
Musdah, perlunya revisi terhadap KHI setidaknya ada tujuh alasan untuk pembaruan
aturan tersebut.
Pertama, sebahagian besar isinya tidak sesuai dengan sebagian besar isinya
yang egaliter, pluralis dan demokratis. Kedua, KHI tidak sepenuhnya digali dari
50
kenyataan empiris Indonesia, melainkan lebih banyak digali dari penjelasan normatif
dari tafsir-tafsir ajaran keagamaan klasik dan sangat kurang mempertimbangkan bagi
HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap
hak asasi perempuan. Tak hanya dalam hal yang telah disebutkan di atas, KHI
daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh
masyarakat dengan tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, lebih khusus lagi
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966), konvenan Intenasional tentang
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (1966), CEDAW (The Convention on the
(1990), dan Deklarasi Program Aksi Wina (1993). KHI harus menyelaraskan diri
Keenam,sebagian besar isinya tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial yang
51
ada, kenyataan budaya masyarakat Indonesia, dan gagasan dasar bagi pembentukan
adalah perlunya membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family law) yang
ada diberbagai Negara muslim yang lain. Seperti Tunisia, Suriah, Yordania, Mesir
dan Irak.31
Menurut Siti Musdah Mulia, CLD-KHI ini dirumuskan dalam dua situasi.
Pormalisasi syariat Islam tersebut terkesan belum memiliki konsep yang jelas
31
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung:
Mizan, 2005), h. 383-384.
32
Muhammad Latif Fauzi, “ Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum
Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada 10 Februari 2011 dari
http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
52
Indonesia dan sebagai respon terhadap kebutuhan untuk menegakkan nilai demokrasi
Pokja percaya bahwa terdapat sejumlah artikel dalam Kompilasi yang tidak
adil gender. Satu contoh, menurut Musdah Mulia, adalah terkait dengan posisi suami
dan istri, sebagaimana pasal 79 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah
tangga. Pasal ini telah membentuk norma sosial yang melegitimasi peran domestik
seorang istri dalam keluarga. Musdah Mulia menganjurkan pasal seperti ini dihapus
sehingga segala bentuk aktifitas yang mengarah kepada peminggiran dan diskriminasi
Mengutip dari jurnal Counter Legal Draft, juru bicara Pokja, Abdul Moqsith
ketidakrelevanan fikih klasik karena ia disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial
berbeda. Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya,
dipahami sebagai mengetahui hukum syarak yang bersifat praktis yang diperoleh dari
dalil Alquran dan sunah. Mengacu pada definisi tersebut, kebenaran fikih menjadi
sangat normatif. Kebenaran fikih bukan dimatriks dari seberapa jauh ia memantulkan
kemaslahatan bagi manusia, melainkan pada seberapa jauh ia benar dari aspek
Pandangan semacam ini yang dihindarkan oleh tim kelompok penggagas CLD
KHI, oleh karena itu untuk menghindari itu, CLD-KHI bergerak dalam kerangka
metodologi, yaitu mengungkap dan merevitalisasi kaidah usul yang tidak tersentuh
dan jarang digunakan. Kendati kerap muncul dalam kitab-kitab usul fikih, kaidah
Tidak hanya kaidah diatas yang jarang digunakan kaidah lain yang jarang
Lebih jauh lagi, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk
Pokja ini juga mengundang sejumlah pakar hukum Islam (seperti tersebut di atas)
untuk menyusun argumen dalam beberapa aspek, yakni aspek teologis, sosiologis dan
perubahan terhadap Kompilasi tidak hanya diperlukan tetapi sangat mendesak. Selain
studi literatur, Pokja juga mengadakan penelitian lapangan. Penelitian ini berguna
untuk melihat tradisi-tradisi lokal yang belum diatur dalam Kompilasi. Pokja juga
mewawancarai para hakim dan pemuka agama di beberapa provinsi, seperti Sumatra
35
Tim Pengarusutamaan Gender, Pembaruan Hukum Islam, h. 23.
54
Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Hasil wawancara
juga merasa bahwa substansi dalam Kompilasi selayaknya diuji ulang agar mampu
mendapat porsi revisi paling besar. CLD-KHI menawarkan idah berlaku baik untuk
suami maupun istri. Artinya, kedua pihak tidak boleh melangsungkan perkawinan
selama masa menunggu. Di dalam Kompilasi, hanya suami yang berhak merujuk
mantan istri yang masih berada pada masa idah, sedangkan menurut CLD-KHI, hak
Konsep mengenai idah bagi laki-laki termaktub dalam pasal 88 Conter Legal
Pasal 88: (1) bagi suami dan istri yang perkawinannya telah dinyatakan putus
oleh Pengadilan Agama berlaku masa transisi atau idah. (2) selama dalam
masa transisi mantan suami atau mantan istri dibolehkan rujuk.
termaktub pada pasal 88 ayat 7 yang isi dari pasal tersebut adalah:
Pasal 88: (7) masa idah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut a.
apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan
36
Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia
dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan
dan Keadilan, h. 146-147.
55
pemikiran idah bagi laki-laki merupakan suatu bukti akan tidak puasnya suatu
pada wanita, aturan tersebut dituntut untuk direvisi sesuai dengan kondisi dan
Keluarga di Indonesia
Sebelum membahas lebih jauh mengenai penjelasan ini, perlu kiranya penulis
kemukakan makna dari istilah reformasi terlebih dahulu. Istilah atau kata reformasi
berasal dari bahasa Inggris yaitu reformation (merupakan kata kerja to reform) yang
berarti membentuk kembali, dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah reformasi
diartikan dengan perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau
agama) dari suatu masyarakat atau negara.38 Jika dikaitkan dengan hukum menurut
Thompson yang dikutip oleh Jaenal Aripin, reformasi hukum berarti proses
37
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga
Islam, cet. pertama (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005), h. 182-183.
38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. II (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 735.
39
Jaenal Aripin, Reformasi Hukum dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Peradilan Agama
di Indonesia, h. 3. Artikel diakses dalam http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-01.pdf.
tanggal 27 Maret 2011
56
Sejarah era reformasi lahir sejak tahun 1998 yaitu dengan jatuhnya rezim
pemerintahan orde baru yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sejak
jatuhnya rezim pemerintahan orde baru tersebut, terjadi perubahan yang sangat besar
dalam diri bangsa Indonesia. Pada era reformasi, isu hukum menjadi salah satu isu
yang sangat penting hingga terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian berpengaruh besar terhadap kebijakan politik dan hukum Indonesia sampai
sekarang ini.
Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur dalam
GBHN Tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN Tahun 1999 ini, hukum Islam
mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk berperan sebagai bahan baku
elemen sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang, yaitu
hukum adat, Barat dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan
pemaksaan.41
hukum keluarga tidak begitu signifikan, akan tetapi akibat dari reformasi menjadikan
posisi Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman menjadi
peradilan yang berada pada satu atap di bawah Mahkamah Agung RI, hal ini sesuai
40
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan
Hukum Umum, cet. II (Yogyakarta: Gama Media Offset, 2004), h.169.
41
Ibid, h. 172.
57
posisi Pengadilan Agama semakin kuat, sebab telah ditetapkan dalam Undang-
lembaga yang memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur segala ketentuan
mengenai hal ikhwal penegakan hukum harus senantiasa disesuaikan dengan kondisi
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan menyesuaikan diri dengan segala
aturan pertama mengenai perkawinan yang berlaku secara nasional, isi dari Undang-
Undang ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, sementara peraturan pelaksanaannya
terdiri dari 10 bab dalam 49 pasal.44 Mayoritas masyarakat Indonesia yang menganut
42
Abdul Manan, Hakim dalam Penyelenggraan Peradilan (Suatu Sistem dalam Kajian
Peradilan Islam), cet. I (Jakarta: Kencana, 2007), h. 226.
43
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),cet. I
(Jakarta: Rajawali Pers,1997), h. 223.
44
Ibid, h. 25.
58
agama, hal ini tentu tidak bersifat hanya pada satu aturan saja, akan tetapi dalam
segala bidang.
Hukum Islam yang universal dapat sesuai dengan konteks perubahan dan
kemajuan zaman, Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa
diingkari, Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal
untuk berubah secara sahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan
efektif.46
Sementara itu, di sisi lain upaya pembangunan hukum Islam akan melibatkan
tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, komponen-
komponen itu biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1) komponen
45
Ridwan. Membongkar Fikih Negara Wacana Keadilan Gender dalam Hukum Keluarga
Islam,h.101.
46
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama (Jakarta: Departemen Agama R.I.,
1985), h. 2.
59
perangkat hukum, (2) komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran
hukum.47
agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu pengetahuan, dan (5) teknologi.
Fauzi bahwa manusia dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-
menginterpretasikan makna-makna agama.49 Ciri khas dari hukum Islam itu sendiri
harus menjunjung tinggi kemaslahatan. Menurut Wahbah Zuhaili, jika hukum tidak
dan ini juga berimbas ketidakefektifan hukum dalam perbedaan situasi dan kondisi.
Jika sedemikian, maka bertentangan dengan maksud diterapkannya hukum itu, karena
salah satu tujuan diterapkannya hukum Islam adalah menjaga kemaslahatan manusia
dan mewujudkannya.50
47
Ibid. h.2.
48
Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis Pendidikan.
No.02, Tahun ke-IV (1983), h. 37.
49
Muhammad Fauzi, Agama dan Realitas Sosial: Renungan dan Jalan Menuju Kebahagiaan
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 84.
50
Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, (Libanon: Darl al-Fikr, 1995), h. 94.
60
hukum keluarga Islam, dalam kaitannya dengan hal ini tidak terlepas dari semangat
ijtihad para ulama, para ulama mujtahid telah berhasil memahami dan merumuskan
hukum syarak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan di dunia, baik yang
manusia dengan sesamanya, yang kemudian disebut dengan fikih, fikih yang telah
dihasilkan oleh mujtahid pada masa itu merupakan suatu karya agung yang dapat
memandu kehidupan umat dalam segala bidangnya, fikih lama secara tekstual sulit
dijadikan panduan kehidupan beragama secara utuh pada saat ini, karenanya fikih
lama sulit diterapkan pada saat ini, sedangkan umat sangat membutuhkannya.51
Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam Alquran dan
hadis, maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak pada tujuan
tersebut. Semua metode itu yang digunakan untuk menemukan hukum, bermuara
pada upaya penemuan maslahat.52 Upaya penemuan maslahat ini juga yang
dikehendaki oleh maqasid syariah (tujuan penetapan hukum). Maqasid syariah perlu
difahami dalam rangka mengetahui apakah terhadap satu kasus hukum masih dapat
51
Abdul Halim, ed., Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, cet.II (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 76.
52
Ibid., h 47-48.
61
diterapkan satu ketentuan hukum atau karena adanya perubahan struktur sosial,
perjalanannya, dapat dilihat dari dua periode, yaitu: (a) Periode penerimaan hukum
Islam sepenuhnya; (b) Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat.53
membawa misi untuk menegakkan hukum-hukum Islam itu sendiri. Penyebaran Islam
yang disampaikan dengan penuh kearifan dan memberikan nilai-nilai Islam pada
kebiasaan atau adat yang dianut oleh masyarakat menjadikan ajaran Islam mudah
diterima. Sampai saat ini hal tersebut masih berlangsung, bahkan menjadi sangat
pemerintah dalam memberikan aturan khusus bagi masyarakat muslim yaitu dengan
dirancangnya aturan mengenai perkawinan yang bersumber pada ajaran agama Islam,
1991 tanggal 10 Juni 1991, dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri
Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dan disebarluaskan melalui
53
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. Pertama (Jakarta:
Penamadani, 2004) h. 11.
62
yang dikhususkan bagi umat muslim Indonesia hemat penulis ini merupakan titik
awal diakui syariat Islam di Indonesia secara menyeluruh oleh umat Islam, aturan
dalam KHI menjadi bagian penting bagi kesuksesan para ilmuan muslim untuk
muamalah.
dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang
digagas oleh Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang melibatkan berbagai
Perlu dicatat, bahwa berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi
umat Islam Indonesia yang merupakan jumlah mayoritas di negeri ini dilandasi oleh
nilai filosofis, yuridis dan sosiologis bangsa Indonesia. Oleh karena itu, negara
berkewajiban untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam
Indonesia. Karena pada dasarnya cara berpikir, pandangan hidup, dan karakter semua
54
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 26.
55
A. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata
Hukum di Indonesia, cet. Pertama ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 103-104.
56
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, cet. Pertama (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h.160.
63
Reformasi hukum keluarga dalam catatan sejarah yang ada pada masa pasca
dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti
hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di
masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi.
Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional,
merupakan hasil ijtihad yang dilakukan oleh kalangan ilmuan muslim Indonesia,
maka tidak berlebihan jika KHI dapat disebut juga dengan Fikih Indonesia. Dalam
merumuskan aturan KHI, para ahli hukum Islam menggali lebih dalam mengenai
dalil-dalil yang terdapat dalam hukum Islam, dalil hukum Islam yang telah disepakati
oleh jumhur ulama antara lain Alquran, sunah Rasul, ijma dan qiyas, kemudian para
mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat lagi meskipun KHI hanya sebatas
Inpres, kendati demikian, KHI dapat menjawab segala permasalahan hukum keluarga
dan masih relevan jika KHI masih berlaku secara nasional. Menghadapi tantangan
zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk konteks era reformasi, tidak
64
sedikit dari para ilmuan muslim yang mengkritik KHI sudah tidak relevan lagi, wajar
saja bila kritikan itu dilontarkan untuk merevisi KHI karena kebutuhan
hukum. Imbas dari paham ini mengakibatkan kritikan terhadap hukum keluarga yang
pada perempuan dan isi dalam KHI tidak sesuai dengan kearifan lokal Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu kiranya penulis utarakan makna dari
gender. Gender yang berarti suatu konsep yang kultural yang berupaya membuat
pembedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan
perempuan.58 Walaupun kata “gender” telah digunakan sejak tahun 1960, namun
57
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, cet.II (Jakarta: Kibar Press,
2007), h. 55.
58
Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri
Negara Urusan Perempuan, 1992), h. 2.
65
pengertian yang tepat mengenai kata “gender” tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris gender yang diberi arti “jenis kelamin”.59
Eropa dan Amerika, paham tersebut lahir karena adanya diskriminasi terhadap kaum
perempuan yang dibedakan dalam sistem yang patriarkhi. Paham tersebut tentu
bersebrangan jauh dengan paham kesetaraan dalam ajaran Islam yang secara ideal-
atau dengan kata lain Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang berbau gender.
Islam sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan bagi seluruh alam (rahmatan
lil„alamin) menempatkan derajat dan posisi wanita pada kedudukan yang mulia.60
Wanita sebagai kenyataan sosial masyarakat Arab pada masa Nabi, menjadi salah
concren yang ingin dibela Alquran, di samping kelompok budak, kaum fakir miskin,
anak-anak miskin, dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan Alquran secara khusus
Aturan yang berlaku saat ini dalam menjalankan idah, segala ketentuannya
diwajibkan bagi wanita yang putus perkawinannya dari suaminya, baik yang putus
karena kematian, perceraian maupun yang putus karena keputusan pengadilan dan
masa idah tersebut berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri,
59
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XII (Jakarta: Gramedia,
1983), h. 265.
60
Masdar F. Mas„udi, Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syari„ah,Ulumul
Qur„an, Vol. 4, (1995), h. 94.
61
Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, cet.
Pertama (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 5.
66
aturan seperti ini sesuai dengan ayat Alquran yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika
istri tersebut belum melakukan hubungan suami istri, maka baginya tidak diwajibkan
beridah dengan berdasarkan firman Allah surat al-Ahzab (33) ayat 49 yang telah
ditulis di atas.
Ayat ini pula yang menjadi landasan hukum dalam Undang-Undang RI No.1
Tahun 1974 pasal 11 dan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam. Aturan dalam KHI
mewajibkan beridah hanya bagi perempuan dan tidak ditetapkan bagi laki-laki, hal
inilah yang oleh sebagian kalangan pemerhati gender dianggap tidak memberikan
keadilan.
terhadap aturan-aturan mengenai hukum keluarga yang berlaku seperti yang telah
kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan, menyuarakan
atas berlawanan dengan aturan-aturan yang berlaku dan bertentangan dengan Alquran
dan sunah Nabi. Ketentuan idah yang telah jelas diatur dalam Alquran dan dijadikan
62
Siti Musdah Mulia, Musdah Mulia. Menuju Perkawinan yang Adil: Memberdayakan
Perempuan Indonesia dalam Sulistiowati Irianti (ed) Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang
Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, h.144.
67
rujukan hukum yang berlaku seharusnya tidak berlawanan dengan aturan yang telah
ada nashnya. Aturan yang dibuat dalam merumuskan hukum Islam yang selama ini
menjadi pedoman adalah Alquran, karena Alquran sebagai sumber utama dalam
menentukan hukum, maka hal yang paling utama mencari jawabannya adalah dalam
Alquran. Selama hukumnya dapat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
dalam Alquran, maka tidak boleh mencari jawabannya di tempat lain, namun apabila
akan menggunakan sumber hukum Islam di luar Alquran, maka kaidah yang
digunakan harus sesuai dengan petunjuk Alquran dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Alquran.63 Konsep mengenai idah telah ditentukan dalam
Alquran, dengan adanya ketentuan tegas itu, maka konsep idah bagi laki-laki tidak
sesuai dengan prinsip yang digunakan dalam merumuskan suatu aturan mengenai
tidak sesuai dengan prinsip pembentukan hukum Islam, dalam merumuskan suatu
aturan yang selama ini berlaku, peran aktif ahli hukum Islam dalam menentukan
suatu ketentuan hukum, mereka menggunakan sunah Nabi sebagai sumber hukum
yang kedua, hal ini berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 32 yang menyatakan:
Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kalian berpaling sesungguhnya Allah tidak
An-Nisa ayat 80 yang arti dari ayat tersebut yaitu: Barang siapa yang mentaati Rasul
63
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h.70.
68
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dari kedua ayat tersebut, jelas bahwa posisi
sunah Nabi menjadi salah satu prinsip yang paling kuat dalam menentukan suatu
hukum. Fungsi dari sunah Nabi itu sendiri untuk menjelaskan ayat Alquran yang
Selain Alquran dan sunah yang menjadi sumber hukum sumber hukum yang
dapat digunakan ketika tidak ditentukan dalam Alquran maupun sunah Nabi, metode
lain yang dapat dipergunakan yaitu dengan menggunakan ijma para ulama. Apabila
para ulama telah menetapkan keputusan secara kolektif berdasarkan ijma, maka
keputusan tersebut adalah benar dan terpelihara dari kesalahan, oleh karena itu
apabila hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma yang sharih, maka hukum
tersebut dapat dijadikan hukum yang qat‟i, sedangkan apabila ditetapkan berdasarkan
ijma sukuti, menurut sebagian ahli hukum Islam kekuatannya dhanni, sejajar dengan
produk fatwa individual. Di samping hukum Islam yang bersumber pada Alquran dan
sunah, pertimbangan yang dapat digunakan dalam menggali hukum teori yang dapat
(pertimbangan suatu hukum yang baik), istishab (persangkaan hukum), sadz dzari‟ah
dalam menentukan dan merumuskan suatu peraturan. Jika melihat dari teori-teori
tersebut, maka dapat disimpulkan konsep mengenai idah bagi laki-laki tidak relevan
dengan perkembangan hukum keluarga di Indonesia. Hal ini di sebabkan teori yang
69
mereka gunakan bersebrangan dengan yang ditetapkan dalam Alquran yang menjadi
tersebut tidak benar, ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan
bagi semesta alam. Aturan yang telah ditetapkan dalam Alquran merupakan bentuk
keadilan bagi manusia itu sendiri yang di dalamnya mempunyai nilai yang sangat
mulia dan memberikan nilai kebaikan di dunia terlebih lagi di akhirat yang oleh
seluruh umat Islam diyakini merupakan kehidupan yang kekal di mana amal-amal
baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal-amal buruk dibalas dengan siksaan.
Oleh karena itu, sepatutnya dalam membuat dan merancang suatu aturan seharusnya
itu berimbas pada perkembangan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Ketika
perubahan itu menawarkan suatu pemikiran yang berbeda dengan pemahaman umum
masyarakat yang sudah mapan, pasti akan menuai suatu perdebatan yang
kontroversial, ada yang mendukung, ada yang menolak, bahkan ada yang mendukung
dengan revisi. Sebagai contoh mengenai perubahan terhadap hukum keluarga yang
ditawarkan oleh sekelompok ilmuan muslim yang tergabung dalam Kelompok Kerja
satunya mengenai keharusan idah bagi laki-laki (suami). Sejak konsep tersebut
dipublikasikan pada tahun 2004, tidak sedikit dari pakar hukum Islam mengkritisi dan
Dalam Alquran surat al-Baqoroh (2) ayat 228 yang menunjukan bahwa
ketentuan idah diperuntukkan bagi wanita (istri), ayat ini juga yang dijadikan dasar
bagi penetapan beridah dalam peraturan mengenai hukum keluarga yang berlaku di
Indonesia. Dalil-dalil yang sudah ada dalam Alquran mengenai idah nampaknya tidak
digunakan oleh kalangan pembaharu hukum Islam, sehingga konsep yang mereka
ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka
dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat patrikuler seperti idah, poligami dan
lain-lain. Oleh karena itu, menurut tim tersebut “mengubah gaya berfikir deduktif ke
71
induktif” merupakan hal penting bagi KHI untuk menimba sebanyak-banyaknya dari
kearifan lokal.
Dari beberapa kaidah dan alasan yang mereka kemukakan sangat jelas bahwa
menolak ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang dinilai tidak sesuai dengan
akal dan ketentuan publik. Bila kita cermati dengan seksama, konsep tersebut
merupakan buah dari pemikiran kalangan feminis yang memperjuangkan hak dan
mngenai hukum keluarga, menjadi barometer dalam menentukan suatu hukum yang
termaktub di dalam perumusan peraturan tersebut. Sekilas, ini adalah prinsip yang
indah dan terkesan sangat sederhana. Tetapi pada dasarnya ini adalah suatu
pengaburan belaka dari suatu yang sudah jelas. Apalagi jika melihat ukuran-ukuran
HAM dan kesetaraan yang tidak tunggal, penulis menyebut prinsip ini sebagai
Hal lain yang dijadikan sebagai teori hukum dalam penetapan aturan CLD-
KHI yaitu kearifan lokal, hal ini menandakan bahwa teori yang mereka anut yaitu
pembentukan suatu aturan yang berlandaskan teori hukum tersebut jelas sangat
72
mengingkari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang qat‟i sebagai hak Allah
yang bertentangan dengan akal, terutama akal publik , juga menolak metode deduktif
menjadi salah kaprah dan bertentangan dengan syariat. Mengutip dari kritik yang
dilontarkan oleh Huzaemah Tahido Yanggo dalam Kontroversi Revisi Hukum Islam,
penyimpangan, perusakan, dan perubahan dari hukum Islam yang asli dan hanya
sebagai pembaharuan liberal yang tidak mengikuti cara-cara dan kaidah-kaidah yang
hukum Islam merupakan orang-orang yang berpaham liberal yang berprinsip bukan
untuk ketaatan pada Allah, tetapi hanya penghambaan terhadap demokrasi dan nilai-
nilai sekular.64
Sementara itu, lebih tegas lagi Huzaemah menilai bahwa aturan dalam CLD-
KHI dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Alquran dan hadis serta fikih yang dianut
64
Huzaemah Tahido Yanggo, Kontroversi Revisi Hukum Islam (Jakarta: Adelina, 2005), h. 1-
2.
73
Sudut pandang visi dan misi yang dibawa adalah pluralisme, demokrasi,
dilakukan oleh tim perumus CLD adalah gender, pluralisme, hak asasi
hukum Islam, yang disebutkan sendiri oleh tim perumus CLD tersebut,
Sudut pandang masalah yang dibahas dan digugat adalah: 1. Alquran dan
Karya para ulama klasik dituding sangat Arabis dan sudah purba, tidak
sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Oleh sebab itu
agama, antara lain nikah beda agama, nikah kontrak, waris beda agama,
dalam tentang hukum Islam, yang bila dipahami dan dikaji lebih dalam, maka
sebenarnya hukum Islam menjunjung tinggi demokrasi, hak asasi manusia, dan
terlebih lagi hukum Islam memberikan suatu keadilan yang sama, walau memang
kadang manusia tidak memahami akan arti di balik ketentuan yang telah Allah
tetapkan bagi kemaslahatan manusia itu sendiri. Konsep idah bagi laki-laki
merupakan hal yang bertentangan dengan syariat yang seharusnya menjadi pedoman
bagi setiap ahli hukum, khususnya hukum Islam. Perbedaan pendapat merupakan hal
yang wajar karena hal yang demikian merupakan rahmat dari Allah selaku pembuat
perempuan, idah yang memiliki nilai luhur yaitu ketundukan seorang hamba pada
65
Ibid., h. 7-9.
75
penciptanya yang jika dijalankan merupakan ibadah, nilai ibadah ini tidak dianggap
oleh penggagas konsep idah bagi laki-laki. Nash yang jelas dalam Alquran sudah
tidak dapat dirubah lagi, kendati ilmu pengetahuan berkembang pesat sehingga
menutup kemungkinan untuk menutup segala hikmah dalam beridah tidak lantas
Artinya: Tidak ada celah ijtihad dalam permasalahan yang telah ada nashnya.
Kaidah tersebut menunjukan bahwa konsep idah bagi laki-laki tidak benar,
segala bentuk peraturan tentang idah telah ditetapkan dalam Alquran secara jelas dan
Segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah seharusnya diikuti oleh
segala waktu dan tempat hal yang demikian itu tidak lantas disalahgunakan dengan
PENUTUP
A. Kesimpulan
beberapa hal penting yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dibahas
1. Idah merupakan masa tunggu yang wajib dijalani oleh wanita ketika ditinggal
surat Al-Baqoroh ayat 228, kemudian telah diatur pula dalam Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 11, serta Kompilasi Hukum Islam pasal
baru. Idah bagi laki-laki merupakan suatu jawaban dari perkembangan zaman
keluarga. Aturan yang berlaku selama ini dianggap sudah tidak relevan lagi,
oleh karena itu aturan yang berlaku harus direvisi dengan aturan baru
76
77
hukum baru tersebut dapat diterima dan dijalankan secara efektif oleh
B. Saran-saran
Dari semua penjelasan yang telah penulis kemukakan, menurut penulis ada
semua pihak terutama kaum intelektual hendaknya lebih selektif dan kritis
positif, tetapi dampak dari globalisasi merupakan gaya penjajahan baru bagi
paradigma. Oleh sebab itu, peran aktif para ahli ilmu dan ulama lebih ekstra
2. Ketentuan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, hendaknya dipatuhi oleh
Demikianlah kesimpulan yang dapat dicapai dari studi ini. Penyusun sangat
menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh
Al-Quran Al-Karim.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
Jakarta: Rajawali Pers, 1997, Cet. Ke-I.
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet.
Ke-I.
Asqalani, Al, Ibnu Hajar. Terjemah Lengkap Bulugul Maram, Penerjemah Abdul
Rosyad Siddiq, Jakarta: Akbar Media Sarana, 2007, Cet. Ke-I.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.
Ayyub, Syekh Hasan. Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet. Ke-V.
Azizy, A. Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam Dan
Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media Offset, 2004, Cet. Ke- II.
Barudi, Al, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita, Penerjemah Samson Rahman, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2004, Cet. Ke-I.
Binjai, Abdul Halim Hasan. Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-I.
79
80
Dimyati, Al, Abu Bakar bin Muhammad, I’anah al-Tholibin, Libanon: Darul Ihyal al-
Turas al-Arabi, t. th, Juz IV.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1983, Cet. Ke-XII.
Fauzi, Muhammad Agama dan Realitas Sosial: Renungan dan Jalan Menuju
Kebahagiaan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Halim, Abdul, ed. Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, Cet. Ke-II.
Jaziri, Al, Abd. Al-Rahman. al-Fiqh ala al-Mazahibal-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,
al-Araby, 2004, Juz IV.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1976.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Manshur, Abd al-Qadir. Buku Pintar Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2009.
Majah, Al-hafiz abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwini Ibnu. Sunan Ibnu
Majah, Beirut, Dar al-Fikr, t.th, Juz I.
81
Mughiyah, Muhammad Jawd, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Penerbit Lentera, 2005,
Cet. Ke-XV.
Mulia, Siti Musdah, Sulistiawati Irianto (ed). Perempuan dan Hukum. Menuju Hukum
yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006.
Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Jakarta: Kibar Press, 2007, Cet.
Ke- II.
Munawar, Al, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2004, Cet. Ke-I.
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Sinar Grafika, 2009,
Cet. Ke-I.
Qatalani, Al, Imam Shihabuddin. Irsadu al-Shari lisarhi Shahih al-Bukhari, Libanon:
Darl al-Kutub al-Ilmiyah, 1996, Juz XII.
Qattan, Al, Manna’ Khalil. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyad: Mansurat al-‘Asr al-
Hadis, t.th.
Rofiq, Ahmad, Fiqih Konstektual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, ed. Muammar
Ramadan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
82
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Mesir, Dar al-Fath lil i’Lam al-Arabi, jilid 3, 2000, Cet.
Ke-I.
Satta, Utsman bin Muhammad. Hasiyat I’anat al-Thalibin, Lebanon: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2007. Cet. Ke-III.
Shadiq, Al, Muhammad Zain dan Mukhtar, Membangun Keluarga Humanis, CLD
Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu, Jakarta: Grahacipta: 2005.
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2010, Cet. Ke-I.
Syatibi, Al, Abu Ishak. al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at. Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989, Cet. Ke-II.
Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender. Jakarta: Kantor Menteri
Negara Urusan Perempuan, 1992.
Wahab, Khalaf Abdul. Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Majlis al-A'la al-Indonesia Li al-
Dakwah al-Islamiyah, 1972, Cet. Ke-IX.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah,
1989.
Zahrah, Muhammad Abu. Ahwal al-Syakhsiyyah. Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 2002.
Zu’fiyyu, Al, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah
bin Barzabah al-Bukhoriyyu. Shahih al-Bukhori. Lebanon, Dar Al-Kotob
Al-Ilmiah, 2004, Cet. Ke-IV.