Anda di halaman 1dari 86

HUKUM POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA

DI INDONESIA

(STUDI ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

SITI KHODIJAH
NIM : 1110045100038

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM


PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436/2015 M
ABSTRAK

SITI KHODIJAH, NIM 1110045100038, Judul Skripsi: “HUKUMAN


POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUAN DI INDONESIA (STUDI
ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU)” Konsentrasi
Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hukuman untuk tindak pidana pencurian dalam Islam ialah hukuman
potong tangan, sedangkan dalam KUHP ialah hukuman penjara dan denda. Dalam
Islam harta merupakan salah satu dari lima hal yang harus dijaga, untuk dapat
terpeliharanya harta dalam Islam maka akan dapat terwujud melalui hukuman
yang setimpal, yaitu hukuman potong tangan.
Pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah perbandingan
pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan
pemberlakuannya di Indonesia, yang bertujuan untuk membandingkan pandangan
ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan bagi pencuri dan
pemberlakuannnya di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif, sedangkan sumber data yang digunakan yaitu sumber data
primer dari hasil wawancara dengan Ulama Muhammadiyah, dan NU; dan sumber
sekunder yang dihasilkan dari studi kepustakaan. Adapun teknik analisis yang
digunakan adalah analisis perbandingan pandangan ulama Muhammadiyah dan
NU tentang hukuman potong tangan bagi pencuri dan pemberlakuannya di
Indonesia.
Penulis menyimpulkan bahwasanya menurut ulama Muhammadiyah dan
NU, hukuman potong tangan adalah hukuman hudud yang telah ditetapkan oleh
Allah untuk tindak pidana pencurian yang tertulis dalam Qs. Al-Maidah ayat 38.
Ulama Muhammadiyah dan NU menyetuji hukuman potong tangan diberlakukan
di Indonesia, karena hal itu dapat mengurangi tindak kejahatan terutama
pencurian. Menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman potong tangan jika
diberlakukan di Indonesia tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Karena
menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman potong tangan jauh lebih
efektif dibandingkan dengan hukuman penjara, karena efek jera dari hukuman
potong tangan dapat dirasakan langsung oleh pelaku maupun orang lain.

i
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmannirrahim

Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan yang

selalu melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada seluruh mahluk. Dengan kuasa

dan rahmat-Nya kita senantiasa selalu diberikan kesehatan dan keselamatan serta

nikmat yang tak terkira. Dengan penuh keikhlasan dan kebahagiaan, penulis

bersyukur atas nikmat yang telah diberi Allah SWT.

Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah

SAW. Nabi terakhir yang telah membawa perubahan kepada umatnya dari zaman

jahiliya ke zaman Islamiyah. Keselamatan dan kesejahteraan semoga selalu

dilimpahkan kepada para keluarga, seluruh sahabat, dan pengikutnya hingga akhir

zaman.

Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tiadalah

kemampuan daya dan upaya melainkan atas kehendak dan ridho-Nya, sehinggga

penulis dapat menyelesaikan studi dan mencapai gelar (S1) Sarjana Strata Satu di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan menghasilkan

sebuah katya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang penulis angkat dengan tema “

HUKUMAN POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA DI

INDONESIA (STUDI ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH

DAN NU)”.

Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan kendala yang

dialami penulis, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan

(data) maupun soal pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat kesungguhan

ii
hati dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari semua pihak, maka semua

kesulitan dan kendala itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,

seyogyanyalah penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya

kehadirat Allah Yang Maha Kuasa. Dan meengucapkan terima kasih yang tiada

terhingga serta menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang ikut terlibat

atas terselesaikannya skripsi ini.

Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Yth:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para pembantu Dekan.

2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M. Ag., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah

Jurusan Kepidanaan Islam, dan kepada Ibu Rosdiana, MA Sekertaris

program Studi Jinayah Siyasah.

3. Bapak Dr. Khamami Zada, MA dan bapak Afwan Faizin, M. Ag., sebagai

dosen pembimbing penulisan skripsi, yang telah banyak memberikan

ilmunya dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan

penuh kesabaran dan keikhlasan.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, dan seluruh karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah

Jakrta.

5. Kepada kedua orang tua penulis, Abah yakni Alm. H. Amirudin yang telah

berjuang membesarkan, mendidik dengan penuh kasih sayang sampai

akhir hayatnya yang sangat penulis cintai dan sayangi sampai saat ini.

Dan kepada Ibu Hj. Hamdah yang telah berjuang mengasuh, mendidik

iii
dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa keluh kesah apapun

dalam membesarkan anaknya yang sangat penulis cintai dan sayangi

sampai saat ini. Sehingga tanpa hal tersebut sulit kiranya penulis dapat

mencapai apa yang diperoleh saat ini, pengorbanan Abah dan Ibu tak

mungkin bisa penulis balas dengan apapun. Terima kasih Abah dan Ibu ku

tercinta kalian adalah cahaya dan penyemangat ku.

6. Kepada keluarga tercinta kakak-kakak ku dan adikku yaitu: ka Hanafi, ka

Amin, Ka Amanah, ka Hilmi, ka Syarif dan adiku Hambali terima kasih

atas dukungan kalian. kalian adalah penyemangat penulis dalam

menyelesaiakan skripsi ini.

7. Kepada saudara penulis yaitu Fauziyah Tasya yang telah membantu

menemani penulis dalam menyelesaikan penulisan ini, dan juga kepada

teman-teman jurusan Kepidanaan Islam angkatan 2010, Amanah, Azizah,

Izzatulailah, Ika Wahyuni Ayu Safitri, Luthfiah Rahmah, Siska Novrianti,

Reniati Sumanta, Maslahatunnisa, Luluk Husnawati (SS), dan semuanya

yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebaikan kalian

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada perwakilan PP Muhammadiyah Jakarta Pusat yaitu bapak Ma;rifat

Iman, bapak Fahmi Salim, dan bapak Risman Muchtar. dan perwakilan

PBNU Jakarta Pusat yaitu bapak Masdar Fuadi Mas’ud, bapak Arwani

Faisal, dan bapak Cholil Nafis yang telah meluangkan waktunya untuk

penulis wawancarai dan kepada staf-staf PP Muhammadiyah dan PBNU

yang telah membantu penulis dalam wawancara.

iv
Segala puji dan rasa syukur yang sedalam-dalamnya selalu penulis

panjatkan kepada Allah SWT, serta diiringi doa semoga amal baik tersebut

di atas diterima oleh Allah SWT dan dibalas dengan pembalasan yang

berlipat ganda. Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan

yang terbaik dalam penulisan ini. Penulis sangat menyadari keterbatasan

kemampuan penulis, dan mungkin masih banyak kekurangan dan

kesalahan. Saran dan masukan dari para pembaca sangat diharapkan demi

pembenaran dan kessempurnaan skripsi ini dan semoga membawa manfaat

khususnya bagi penulis dan para pembaca semua.

Jakarta, 8 April 2015


Penulis

Siti Khodijah
NIM: 1110045100038

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah ............................... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 4

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu ............................. 5

E. Metode Penelitian .............................................................. 6

F. Sistimatika Pembahasan .................................................... 7

BAB II HUKUMAN POTONG TANGAN DALAM HUKUM PIDANA

ISLAM

A. Pengertian Potong Tangan ................................................. 10

B. Dasar Hukum Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian 10

C. Hukuman Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian Menurut

Ulama Fiqih ....................................................................... 15

D. Teknis Eksekusi Hukuman Potong Tangan ....................... 17

E. Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong Tangan ................. 22

vi
BAB III KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM DI

INDONESIA

A. Sejarah Hukum Islam di Indonesia.................................... 28

B. Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia ........................ 32

C. Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia .............. 35

D. Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam ................... 37

BAB IV PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU

TENTANG HUKUMAN POTONG TANGAN DAN

PEMBERLAKUANNYA DI INDONESIA

A. Pandangan Ulama Muhammadiyah Tentang Hukuman

Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia .......... 46

B. Pandangan Ulama NU Tentang Hukuman Potong Tangan

dan Pemberlakuannya di Indonesia ................................... 53

C. Perbandingan Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU

Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya

di Indonesia ....................................................................... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................... 68

B. Saran .................................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 71

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam adalah hukum yang paling sempurna, mencakup

semua aspek kehidupan baik mencakup hubungan antara manusia maupun

hubungan antara manusia dan tuhan. Hukum Islam juga memberikan

perlindungan kepada manusia dengan memberikan larangan dan perintah

yang mengatur manusia. Hal ini dapat dilihat dari maksud-maksud hukum

(al-makasid syariah) yang terdapat dalam lima tujuan syariat yaitu:

memelihara nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan, memelihara

kehormatan, dan memelihara harta benda.1

Hukum Islam juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman

dengan mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Islam dan asas-

asas hukum yang dapat berlaku umum dan dapat diterima oleh masyarakat.

Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kejahatan pun

semakin berkembang dengan bertambahnya angka kejahatan dan

bertambahnya macam-macam jenis kejahatan. Sedangkan hukum yang ada di

Indonesia adalah hukum peninggalan Belanda yang sudah dapat dikatakan

usang. Kalaupun ada hukum-hukum baru yang ditetapkan pemerintah

merupakan hukum yang bersifat khusus tidak bersifat global. Hal ini

mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan mana yang layak digunakan

1
Muhammad Ibn Muhammad Abu Syubhah, Al-Hudud Fi Al-Islam, (Kairo: Amieriyyah-
Kuwait, Dar Al-Qalam, 1990), h. 198.

1
2

yang khusus (lek speciale) dan global (lex generele).2 Hal ini berakibat pada

pemberian sanksi pidana pada kejahatan.

Pada tahun-tahun terakhir semakin banyak terjadi kejahatan terhadap

harta atau pencurian. Hal ini mungkin disebabkan oleh sanksi hukuman yang

terlalu ringan. Sanksi tindak pidana terhadap harta khususnya dalam hal

tindak pidana pencurian dapat dilihat dalam KUHP.

Dalam hukum Islam,pencurian termasuk salah satu jarimah hudud,

karena secara tegas dan teknisnya sudah diatur dalam nash-nash al-Qur’an

dan hadits.3 Pencurian termasuk cara yang tidak sah dalam mengambil harta

orang ain.4 Untuk itu pencurian dalam hukum pidana Islam diancam dengan

hukuman potong tangan.

Hukuman potong tangan didasarkan atas penyelidikan mental dan

kejiwaan manusia. Oleh karena itu hukuman tersebut adalah hukuman yang

sesuai dengan perseorangan maupun untuk masyarakat, dan oleh karena itu

merupakan hukuman yang paling baik, sebab bisa mengurangi bilangan

jarimah dan bisa menjamin ketentraman masyarakat.5

Namun, hukum potong tangan bagi pencuri yang telah ditulis dalam

syariat Islam tidak diberlakukan di Indonesia, karena Indonesia mengadopsi

hukum Barat dengan menggunakan KUHP dimana pelaku pencurian tidak

dihukum potong tangan, melainkan dipenjara dan denda.

2
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 2005), h. 193.
3
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 14.
4
Abdurahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h. 62
5
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Indhill CO, t.th), h. 135.
3

Dengan kaitan inilah, peranan para ulama tidak dapat diragukan lagi

karena sangat penting, baik dalam soal agama maupun dalam soal

politik.6Ulama Indonesia menyadari, kemajemukan dan keragaman umat

Islam dalam pikiran dan paham keagamaan merupakan rahmat bagi umat

yang diterima sebagai pelangi dinamika untuk mencapai kebenaran hakiki.7

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai dua organisasi Islam

terbesar dan tertua di Indonesia telah berusaha, bahkan sejak sebelum

kemerdekaan, untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum yang

berhubungan dengan Islam, terutama menyangkut kepentingan masyarakat

umum.8 Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud menggali

pandangan Muhammadiyah dan NU tentang pemberlakuan hukuman potong

tangan di Indonesia. Karena itu penulis tertarik membahas permasalahan di

atas dengan judul “Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di

Indonesia (Studi atas Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok masalah dalam studi ini adalah perbandingan pandangan

Ulama Muhammadiyahdan NU tentang hukuman potong tangan dan

pemberlakuannya di Indonesia. Pokok masalah tersebut di atas diuraikan

dalam beberapa pertanyaan berikut ini:

6
Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h. 53.
7
www.mui.or.id
8
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU,(Jakarta:
Universitas Yarsi, 1998), h. 2-3.
4

1. Bagaimana pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang

hukuman potong tangan?

2. Bagaimana pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang

pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia?

3. Bagaimana perbandingan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU

tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia?

Perbandingan pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU yang

dijadikan fokus kajian dalam studi ini dibatasi pada hukum potong tangan

bagi pencuri (hudud) dan pemberlakuannya di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, menjelaskan tentang

syariat Islam di Indonesia; kedua,menjelaskan pandangan ulama

Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan

pemberlakuannya di Indonesia. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan:

a. Menjelaskan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU

tentang hukuman potong tangan;

b. Menjelaskan pandangan ulam Muhammadiyah dan NU

tentang pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia;

c. Menjelaskan perbandingan pandangan ulama

Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan

pemberlakuannya di Indonesia.
5

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi penulis, penulisan ini akan berguna dalam menambah

wawasan tentang hukuman potong tangan dalam hukum

pidana Islam.

b. Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang

hukuam potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia.

c. Sebagai penambah bahan bacaan dalam kepustakaan dan

sebagai referensi.

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu

Sejauh ini peneliti belum menemukan secara spesifik penelitian yang

membahas tentang hukuman potong tangan, namun banyak penelitian yang

menyinggung tentang hukuman potong tangan, baik mengenai sanksi

potong tangan untuk tindak pidana pencurian maupun hanya

menyinggungnya secara umum mengenai penelitian tersebut. Berikut ini

paparan tinjauan umum tentang karya penelitian tersebut.

Mardani dalam bukunyaKejahatan Pencurian Dalam Hukum

Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan Di Nanggroe

Aceh Darussalam,menjelaskan bahwa hukuman potong tangan merupakan

hukuman yang sangat asas (mendasar) dalam pencurian. Oleh karena itu,

hukuman potong tangan tidak bisa dibatalkan walaupun adanya pemaafan

baik dari korban maupun dari penguasa, dan hukuman ini tidak boleh
6

diganti dengan hukuman lain yang lebih ringan dari hukuman potong

tangan.

Siti Katijah Binti Salleh menulis skripsi yang berjudul Pelaksanaan

Hukum Pidana Pencurian Enakmen Kesalahan Jinayah Syariah Di

Terengganu. Inti dari kesimpulan skripsi tersebutialah bahwa hukuman

pidana potong tangan tidak dapat dilaksanakan di Terengganu karena

halangan yang dihadapi dari pihak Pemerintah Federal yang tidak bisa

menerima hukum hudud.

Hidayatullah menulis skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam

dan Hukum Positif Terhadap Pencurian Uang Melalui Internet Banking. Isi

dari skripsi tersebut tidak terlalu menyinggung tentang hukuman potong

tangan namun dapat diambil kesimpulan bahwa hukuman potong tangan

diperintahkan Allah SWT, sebagai hukuman kepada pencuri, baik laki-laki

maupun perempuan.

Penelitian di atas baru sebatas mengkaji hukum potong tangan di

Aceh dan Terengganu. Karena itu penulis bermaksud membahas pandangan

ulama Muhammadiyah dan NU teetntang pemberlakukan hukuman potong

tangan bagi pidana pencurian di Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang berdasarkan data-data wawancara yang berkaitan

dengan penelitian yang ditulis. Adapun bentuk dari penelitian ini adalah
7

bersifat deskriptif yaitu menggambarkan masalah, menyusun,

mengumpulkan data penelitian.

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber yang digunakan adalah sumber primer yaitu hasil

wawancara dengan Ulama Muhammadiyah, dan NU; dan sumber

sekunder yaitu literatur/karya ilmiah dan data-data yang diperoleh dari

buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah yang akan diteliti.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis perbandingan,yaitu

membandingkan pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU tentang

hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia.

Adapun mengenai teknik penulisan, penulis menggunakkan

buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2012.

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika yang disajikan untuk mempermudah pembaca dalam

memahami materi yang dibahas dalam penelitian ini, penulis membagi

dalam 4 (empat) bab. Bab pertama bertajuk “Pendahuluan”. Di dalam bab

ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini,

yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) Latar Belakang

Masalah, (2) Pembatasan dan Perumusan Masalah, (3) Tujuan dan Manfaat
8

Penelitian, (4) Tinjauan Pustaka, (5) Metode Penelitian, dan (6) Sistematika

Pembahasan.

Bab kedua berjudul“Hukuman Potong Tangan dalam Hukum Pidana

Islam”. Di dalam bab ini menyajikan uraian tentang hukuman potong tangan

bagi pencuri dalam hukum pidana Islam. Bab ini terdiri atas 5 (lima) sub-

bab utama, yaitu (1) Pengertian Potong Tangan, (2) Dasar Hukum Potong

Tangan bagi Tindak Pidana Pencurian, (3) Hukuman Potong Tangan bagi

Tindak Pidana Pencurian Menurut Ulama Fiqih, (4) Teknis Eksekusi

Hukuman Potong Tangan, dan (5) Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong

Tangan.

Bab ketiga berjudul “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem

Hukum di Indonesia”. Bab ini menyajikan bagaimana kedudukan hukum

Islam dalam hukum positif di Indonesia. Bab ini terdiri atas empat (4) sub-

bab utama, yaitu (1) Sejarah Hukum Islam di Indonesia, (2) Hukum Islam

dalam Konstitusi Indonesia, (3) Hukum Islam dalam Undang-Undang

Indonesia, dan (4) Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Bab keempat yaitu “Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU

Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia”.

Dalam bab ini diuraikan analisis perbandingan pandangan para ulama

tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia. Bab ini

menyajikan tiga (3) sub-bab utama yaitu: (1). Pandangan Ulama

Muhammadiyah tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di

Indonesia (2). Pandangan UlamaNU tentang Hukuman Potong Tangan dan


9

Pemberlakuannya di Indonesia (3). Perbandingan Pandangan Ulama

Muhammadiyah dan NU tentang Hukuman Potong Tangan dan

Pemberlakuannya di Indonesia.

Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan

rekomendasi. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok/ inti temuan penelitian

yang dihasilkan. Selain itu, dimuat juga saran terkait tindak lanjut atas

temuan penelitian.
BAB II

HUKUMAN POTONG TANGAN DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM

A. Pengertian Potong Tangan

Secara bahasa, potong tangan dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata,

yaitu ‫ قَطع‬dan ‫ذ‬ٛ‫ان‬. Kata ‫ قَطع‬merupakan isim masdar dari lafadz‫قطع‬-‫قطع‬ٚ-‫قطع‬

yang berarti (memotong atau memutuskan),1sedangkan kata‫ذ‬ٛ‫ ان‬merupakan

isim dari lafadh ‫ع‬


ُ ‫ ان َكفُٕان ِزسَا‬: )ٍ‫ْذ‬َٚ‫َ ُذ (ا‬ٛ‫ ان‬yang berarti (tangan, lengan).2Secara

istilah potong tangan berarti memotong atau memutuskan tangan mulai dari

telapak tangan sampai pergelangan.

Definisi di atas sama dengan definisi menurutempat Imam Madzhab,

Ulama Zahiriyah, dan Syi‟ah Zaidiyah, yang mendefinisikan hukuman potong

tangan yaitu memotong tangan pelaku pencurian mulai dari telapak tangan

sampai pergelangan tangan.3 Karena menurut mereka batas minimal dari

tangan ialah mulai dari jari sampai pergelangan tangan.

B. Dasar Hukum Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian

Potong tangan adalahhukuman yang sangat asasi dalam pencurian.

Oleh karenanya tidak hapus dengan adanya pemaafan, baik dari korban

maupun dari penguasa. Hukuman ini tidak boleh diganti dengan hukuman

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, t.t), h. 348.
2
Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, h. 1697
3
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid V, (Bogor: Kharisma Ilmu,
t.th), h. 179

10
11

lain atau yang lebih ringan dari padanya.4 Allah berfirman di dalam al-Qur‟an

surah al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:

.ٌ‫ْى‬ِٛ‫حك‬
َ ‫ ٌز‬ْٚ ‫هلل عَ ِز‬
ُ ‫هلل َٔا‬
ِ ‫ٍا‬َ ِ‫ال ي‬
ً ‫جزَاءً ِبًَب كَّسَبَب َكَب‬
َ ‫ ًَُٓب‬َٚ ِ‫ْذ‬َٚ‫ط ُعْٕا أ‬
َ ‫ق َٔانّسَبسِقَ ُت فَب ْق‬
ُ ‫َٔانّسَب ِس‬

(ٖ3 :‫(انًبئذة‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya (sebagai) pembalasan bagiapa yang mereka kerjakan dan
sebagaisiksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana”.5
Asbab Al-Nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat ini disebutkan

dalamsebuah riwayat dalam sebuah peristiwa pencurian pada masa Nabi

SAW. Seorang laki-laki mencuri sekarung gandum milik tetangganya,

mengambil dan menyimpannya di rumah seseorang. Karena karung itu sobek,

maka ia dapat dilacak. Sementara itu, si empunya mengadu kepada Nabi

SAW tentang barangnya yang dicuri serta mencurigai tetangganya yang

ternyata benar. Nabi SAW tak menyukai hal ini bahwa ia mencurigai

tetangganya yang muslim melakukan pencurian. Namun tatkala benar-benar

terbukti bahwa karung tersebut dicuri oleh tetangganya itu, maka ia lari ke

4
Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam (Jakarta: Indhill CO, t.th),h. 119.
5
Lihat Tafsir Al-Mishbah Juz 3 halaman 93. Dijelaskan tentang peletakan kata pada Qs.
Al-Maidah ayat 38 dan Qs. An-Nur ayat 2. Pada Qs. Al-Maidah ayat 38, kata (ُ‫ )انّسَب ِسق‬as-sariqu/
pencuri laki-laki disebutkan terlebih dahulu atas kata (ُ‫ )انّسَب ِس َقت‬as-sariqatu/ pencuri perempuan.
Mengisyaratkan bahwa laki-laki lebih berani mencuri dari pada perempuan, di samping itu laki-
laki mempunyai kewajiban mencari nafkah. Sedangkan pada Qs. An-Nur ayat 2, menyebutkan
kata (ُ‫ت‬َٛ َِ‫ )ان َز‬az-zaniyah/ perempuan pezina terlebih dahulu atas (َِٙ‫ )ان َز‬az-zani/ laki-laki pezina. Ini
disebabkan karena bukti perzinahan dapat nampak dengan jelas pada perempuan akibat
kehamilannya, atau dampak negatif yang diakibatkan oleh perempuan ketimbang lelaki.
Kebanyakan dari perempuan itu menampakan hiasan mereka, yang dapat merangsang terjadinya
perzinahan. Lihat Tafsir Al-Mishbah Juz 3 halaman 93.
12

semak belukar dan mati. Ayat Al-Qur‟an di atas diturunkan setelah peristiwa

ini terjadi.6

Firman Allah dalam Qs. Al-Maidah pada lafadz ‫فَب ْقطَ ُعْٕا‬

“potonglah”,bermakna al-ibanah (penjelasan) dan al-izaalah (penghilangan).

Penghilangan atau pemotongan ini tidak diwajibkan kecuali dengan

terpenuhinya beberapa syarat yang perlu diperhitungkan keberadaannya, pada

orang yang melakukan pencurian, sesuatu yang dicuri, maupun tempat yang

dicuri.7 Pada lafadz ‫ ًَُٓب‬َٚ ِ‫ْذ‬َٚ‫“أ‬tangan keduanya”, Allah tidak berfirman ‫ًَِٓب‬ْٚ ‫َ َذ‬ٚ

(harfiyah: kedua tangan mereka berdua).Terjadi perbedaan pendapat oleh para

pakar bahasa Arab membahas masalah tersebut.

Ibnu Al-Arabi berkata, “para fukaha memperkuat apa yang

dikemukakan oleh para pakar bahasa Arab itu, karena sangkaan baik terhadap

mereka. Al- Khalil bin Ahmad dan Al-Farra‟ berkata, “setiap sesuatu yang

ada pada tubuh manusia, apabila sesuatu itu disebutkan untuk dua orang,

maka sesuatu itu harus dijamakkan”. Oleh karena itu Allah berfirman, ‫طعُْٕا‬
َ ‫فَب ْق‬

‫ ًَُٓب‬َٚ ِ‫ْذ‬َٚ‫(أ‬harfiyah: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,

potonglah tangan-tangan keduanya), dan tidak berfirman: ‫ًَِٓب‬ْٚ َ‫َذ‬ٚ ‫طعُْٕا‬


َ ‫فَب ْق‬

(harfiyah: potonglah kedua tangan keduanya). Maksudnya adalah, potonglah

tangan kanan si ini dan tangan kanan si itu. Namun demikian, menurut aturan

bahasa Arab, diperbolehkan mengungkapkan ‫ ًَِٓب‬ْٚ َ‫َذ‬ٚ ‫طعُْٕا‬


َ ‫( فَب ْق‬harfiyah:

potonglah kedua tangan keduanya), sebab kalimat ini merupakan asal.

6
Abdurahman I Doi. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakrta: Rineka Cipta, 1992),
h. 63.
7
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 400.
13

Ibnu Al-Arabi berkata, “ini berdasarkan (pendapat yang menyatakan)

bahwa yang boleh dipotong hanyalah tangan kanan, padahal tidak demikian.

Akan tetapi, yang boleh dipotong itu tangan-tangan dan kaki-kaki. Dengan

demikian, firman Allah: ‫ ًَُٓب‬َٚ ِ‫ْذ‬ٚ‫ َأ‬itu kembali kepada empat perkara, yang

terhimpun pada dua perkara (yaitu tangan dan kaki). Sebab lafadzh ‫ًَْب‬
ُ adalah

tatsniah. Dengan demikian pula, firman Allah itu dikemukakan secara fasih.8

Rasulullah sendiri, seperti yang telah dikemukakan oleh Ibnu

Abdulbar, pernah mengeksekusi potong tangan terhadap seorang wanita yang

bernama Fatimah binti al-Aswad bin Abdul „Asadal-Makhzumi yang mencuri

harta seseorang. Seperti ditegaskan Awdah, hukuman potong tangan yang

seperti ditegaskan dalam Al-Qur‟an tidak boleh ditukar dengan bentuk

hukuman lain yang lebih ringan.9

Sejak zaman para sahabat, hukuman potong tangan telah ditetapkan

untuk tindak pidana pencurian. Orang pertama yang memberi keputusan

hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah

memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini dalam Islam. Laki-laki

pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah SAW karena mencuri

adalah Al-Khiyar bin Abdi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pertama

yang dihukum potong tangan karena mencuri adalah Murrah binti sufyan bin

Abdi Al-Asad dari bani Mahzum. Abu Bakar pernah memotong tangan kanan

seorang pencuri kalung dan umar memotong tangan Ibnu Samurah, saudara

8
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, h. 415-416.
9
Muhammad Amin Suma dkk, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek, dan
Tantangan, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h, 124.
14

Abdurrahman bin Samurah. Hal ini telah disepakati bersama. Sepintas ayat

ini bersifat umum, setiap pencuri harus dihukum potong tangan. Akan tetapi

ternyata tidak demikian, sebab terdapat sabda Rasulullah SAW, tangan

pencuri akan dipotong jika mencuri sesuatu yang harganya seperempat dinar

atau lebih. Jadi jelaslah hukumanini hanya berlaku pada sebagian pencuri,

bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena

hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin

Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits,Al-Syafi‟i, dan

Abu Saur. Imam Malik berkata,”tangan pencuri dipotong juga karena mencuri

seperempat dinar atau tiga dirham. Kalau mencuri sesuatu seharga dua dirham

yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya, tangan pencuri

tersebut tidak boleh dipotong”.10 Dengan demikian, ayat tentang potong

tangan harus dihubungkan dengan hadis Nabi. Berikut ini versi lengkap dari

hadis tersebut.

ِٗ‫ قَبلَ ابٍُْ َأب‬-َْٗٛ‫َح‬ٛ‫ ٔانّهفظ ِن‬-َ‫ع ًَش‬


ُ ِٗ‫ْ ُى َٔابٍُْ َأب‬ِْٛ‫ٍ إِبْشا‬
ُ ْ‫ق ب‬
ُ ‫َٗ بٍُْ َِٔإسْحَب‬ْٛ‫َح‬ٚ ‫حَذَثََُب‬

ٍ
ْ َ‫ ع‬,َ‫ع ًْشَة‬
َ ٍْ‫ع‬
َ ,ِ٘‫َُْ َت عَُِبنزٌ ْْ ِش‬َٛٛ‫ع‬
ُ ٍُْ‫ٌ ب‬
ُ ‫َب‬ْٛ‫سف‬
ُ ‫ َاخْ َبشَََب‬:ٌِ‫خشَا‬
َ ‫ َٔقَبلَ اال‬,‫حذَ َثَُب‬
َ :َ‫ع ًَش‬
ُ

‫َُْب ٍس‬ٚ‫ ُسبُعِ ِد‬ِٙ‫ق ف‬


ُ ‫ ْقطَ ُع انّسَب ِس‬َٚ ‫ّ ٔسهى‬ٛ‫ٌ َسسُٕنُبنهَِّ صهٗ اهلل عه‬
َ ‫ كَب‬:ْ‫عَب ِئشَتَ قَبَنج‬
ٔٔ
.‫َفصَبعِذًا‬

Artinya: Diceritakan dari Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, dan
Ibnu Abu Umar menyampaikan kepada kami dengan lafadz milik Yahya-
Ibnu Abu Umar menggunakan lafadz haddatsana, sedangakan dua perawi
yang lain menggunakan lafadz akhbarana-dari az-Zuhri, dari Amrah

10
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 103.
11
Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hijjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shohih Muslim,
(Bairut-Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1972), h. 667.
15

bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah saw memotong tangan pencuri yang


mencuri seperempat dinar atau lebih”.

ٍ
ِ ْ‫ْ َذ بٍِْ عَبْذِاهللِ ب‬ٚ‫ ِز‬َٚ ٍْ‫ع‬
َ ,ٍ‫ز بٍُ يحًّذ‬ٚ‫ حذّثُب عبذانعز‬:ُ٘‫ح َكىِ ان َعبْ َذ‬
َ ْ‫ششُبٍُْ ان‬
ْ ‫ ِب‬ُٙ‫حذّث‬

ّٛ‫ صهٗ اهلل عه‬ٙ


ِ ِ‫س ًِعَجِ انَُب‬
َ ‫عٍْ عَبئِشَتَ أَََٓب‬
َ ,َ‫ع ًْشَة‬
َ ٍَْ‫ ع‬,ٍ‫حًَذ‬
َ ‫ َب ْكشِبٍِْ ُي‬ِٙ‫عٍْ أب‬
َ ,‫ا ْنَٓبد‬
ٕٔ
.‫َُْب ٍس فَصَبعِذًا‬ِٚ‫ْ ُسبُ ِع د‬ِٙ‫ق إنَبف‬
ِ ِ‫َ ُذ سَبس‬ٚ ‫ الَحُقْطَ ُع‬:ُ‫َ ُقْٕل‬ٚ ‫ٔسهى‬

Artinya: Diceritakan dari Bisyr bin al-Hakim al-Abddi

menyampaikan kepadaku dari Abdul Aziz bin Muhammad, dari Yazid bin

Abdullah bin al- Had, dari Abu Bakar bin Muhammad, dari Amrah, dari

Aisyah yang mendengar Nabi saw bersabda, “tangan pencuri tidak

dipotong kecuali jika dia mencuri sebanyak seperempat dinar atau lebih”.

C. Hukuman Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian Menurut

Ulama Fiqih

Ulama Syafi‟iyah menyatakan bahwa hukuman potong tangan

dijatuhkan untuk pencurian yang sempurna.13Hukuman potong tangan, yang

sering dipandang sebagai tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau

sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung

literaturnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks.14

Pada dasarnya hukuman potong tangan tidak dijatuhkan dalam tidak

pidana pencurian jika pencuri tidak berhasil mengeluarkan barang curian dari

12
Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hijjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shohih Muslim,h. 667.
13
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2008),
h. 91.
14
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 82.
16

tempat penyimpanannnya.15 Ada beberapa pendapat madzhab mengenai

penjatuhan hukuman potong tangan bagi pencuri yang hanya ikut membantu

mengawasi dalam hal pencurian.

Pertama,menurut Imam Malik, hukuman potong tangan tidak dapat

dijatuhkan kepada seseorang yang hanya ikut membantu mengawasi dalam

pencurian baik dari dalam maupun dari luar rumah.

Kedua,menurut Imam Abu Hanifah, orang yang membantu tidak

wajib dijatuhi hukuman potong tangan, kecuali jika barang yang diambil

masing-masinng pencuri dan yang membantu mencapai satu nisab. Jika

setelah dibagi dua nilai barang masing-masing tidak mencapai satu nisab,

keduanya tidak dikenakan hukuman potong tangan.

Ketiga,menurut Imam Ahmad bin Hanbal, hukuman potong tangan

harus dijatuhkan bagi mereka yang melakukan pencurian atau hanya ikut

membantu dalam pencurian jika nilai yang ia keluarkan mencapai satu nisab,

hukuman potong tangan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan atau yang

membantu dalam pencurian.

Keempat,menurut Imam Syafi‟i, hukuman potong tangan atas orang

yang membantu pencurian hanya berlaku dengan dua syarat. Pertama,

membantu pencuri mengeluarkan barang-barang curian dari rumah. Kedua,

setelah barang curian ditotal dan dibagi rata, setiap pencuri mendapat satu

nisab. Mazhab Syi‟ah Zaidiyah sepakat dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

15
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 92.
17

Hukuman potong tangan harus dijatuhkan kepada mereka yang membantu

pencurian, baik dari dalam maupun dari luar rumah.16

Pada dasarnya hukuman potong tangan akan tetap diberlakukan

kepada siapa saja, baik oleh si pelaku langsung maupun oleh mereka yang

hanya ikut membantu dalam pencurian. Namun, dalam hal ini hukuman

potong tangan tersebut dijatuhkan apabila barang yang dicuri mencapai satu

nisab.Apabila barang yang dicuri tidak mencapai satu nisab, maka

hukumannya bukanlah hukuman potong tangan tetapi hukuman ta‟zir.

D. Teknis Eksekusi Hukuman Potong Tangan

Ulama al-Mazahib al-Arba‟ah berbeda pendapat dalam menetapkan

teknis eksekusi potong tangan pada diri pencuri.Menurut Hanafiyah dan

Hanabilah, yang dipotong tangan itu tangan kanan dan kaki kiri. Dipotong

tangan kanan pada pencurian yang pertama dan kaki kiri pada pencurian

yang kedua kali. Jika terjadi pencurian yang ketiga kalinya, maka tidak

dipotong tapi dipenjara selama waktu tidak ditentukan, sampai meninggal

dunia atau sampai nampak taubatnya.17 Mereka berargumentasi pada amal

sahabat Ali bin Abi Thalib R.A:

ٙ
َ ِ‫عه‬
َ ‫ث‬
ُ ْ‫ضش‬
َ َ‫ ح‬:َ‫ِّْ قَبل‬ٛ‫ْ ِذ ا ْنًَقْ ُب ْٕسِٖ عٍَْ أَ ِب‬ِٛ‫سع‬
َ ِْٙ‫ْ ِذبٍِْ َأب‬ٛ‫س ِع‬
َ ٍَْ‫ششٍ ع‬
ِ ‫حَذَ َثَُب َأ ُبْٕ ُي ْع‬

َ‫سشَقَ فَقَبلَ فَقَبل‬


َ ْ‫جمِ قَذ‬
ُ َ‫ ِذ َٔانش‬َٛ ‫جمٍ يَقْطُْٕعَتِ ان‬
ُ ‫َ اهللُ عَُُّْ أَحَٗ ِب َش‬ِٙ‫ب سَض‬
ٍ ‫طَبِن‬ْٛ ‫بٍْ أَ ِب‬

٘
ِ َ‫بِأ‬،ُ‫ْ ِّ انْقَ ْخم‬ٛ‫عَه‬
َ ‫ فَقَ َخهَ ُّ ِإرَايَب‬.ٍَُِِْٛ‫شَا ْنًُؤْي‬ْٛ ‫َبَأ ِي‬ٚ ُّ ْ‫طع‬
َ ‫ٌ فِٗ َْزَا؟ قَبنُْٕ ِا ْق‬
َ َْٔ‫نِبَصْحَببِ ِّ يَبحَش‬

16
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 95-96.
17
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 132
18

٘
َ ‫ بَِب‬،ِ‫جَُببَت‬
َ ٍْ‫م ِي‬
ُ ‫ّس‬
ِ ‫غْ َخ‬َٚ ‫ ٍء‬ٙ
ْ َ‫ بِبََ٘ ش‬،َ‫صالَة‬
َ ‫َخََٕانضَأُ ان‬ٚ ‫ ٍء‬ٙ
ْ َ‫٘ ش‬
ِ ‫ بَِأ‬،َ‫طعَبو‬
َ ‫َ ْأ ُكمُ ان‬ٚ ‫ ٍء‬ٙ
ْ َ‫ش‬
ٔ3
)ٗ‫ٓق‬ٛ‫)سٔاِ انب‬.ُّ َ‫خ َشج‬
ُ َ‫َبيًب فَأ‬ٚ‫ٍ َأ‬
ِ ْ‫ّسج‬
َ ‫جخِ ِّ َف َشدَ ُِ ِإنَٗ ان‬
َ ‫عهَٗ حَب‬
َ ُ‫قُْٕو‬َٚ ‫ ٍء‬ٙ
ْ َ‫ش‬

Artinya:

Telah menceritakan kepada Abu Mu’syir dari Said bin Abi Said Al
Maqbiri dari ayahnya, ia berkata: “ Aku telah menghadiri Ali bin Abi
Thalib membawa seorang laki-laki yang putus sebelah tangan dan
kakinya, yang pernah mencuri. Ia (Ali) bertanya kepada sahabatnya,
bagaimana pendapat kalian tentang hal ini. Mereka menjawab, potong ya
Amirul Mu’minin. Ali R.A. berkata: “Aku bunuh dia jika kudapati dia
membunuh. Sebab dengan apa dia memakan makanan, dengan apa dia
berwudhu untuk shalat, dengan apa bersuci dari junub, dengan apa ia
berdiri untuk keperluannya. Maka Ali R.A. memasukan dia ke penjara
selama beberapa hari, kemudian mengeluarkannya.

Sedangkan menurut Imam yang lainnya, yaitu Imam Malik, Imam

Syafi‟i dan Imam Ahmad, pencuri yang mencuri untuk ketiga kalinya yaitu

dikenai hukuman potong tangan kirinya. Apabila ia mencuri untuk ke empat

kalinya maka dipotong kaki kanannya. Apabila ia masih mencuri untuk

kelima kalinya maka ia dikenai hukuman ta‟zir dan dipenjara seumur hidup

(sampai ia mati) atau sampai ia bertobat.19 Sebagaimana hadits di bawah ini:

‫ج‬
ِ ِ‫صعَبِ بٍِْ ثَبب‬
ْ ُ‫ح َذثََُبجَذِ٘ عٍَْ ي‬
َ :ِِٙ‫الن‬
َ ِٓ ‫م ا ْن‬
ٍ ْٛ ‫ْذِ بٍِْ عَ ِق‬َٛ‫عب‬
ُ ٍ
ِ ْ‫عبْذِانهَِّ ب‬
َ ٍُْ‫ح َذثََُب ُيحَ ًَ ُذب‬
َ

‫ َء‬ِٙ‫ ج‬:َ‫ٍ عَبْذِانهَ ِّ قَبل‬


ِ ْ‫عٍْ جَب ِبشِ ب‬
َ ,ِ‫ٍ ا ْن ًُ ُْكَ ِذس‬
ِ ْ‫حًَذِ ب‬
َ ُ‫ عٍَْ ي‬,ٍِْ‫ْ ِشب‬ٛ‫ٍ انزُ َب‬
ِ ْ‫عبْذِانهَِّ ب‬
َ ٍِْ‫ب‬

‫َب َسسُ ْٕلَ انهَِّ! ِإًََب‬ٚ :‫ فَقَبنُٕا‬,))ُُِٕ‫ ((اقْ ُخه‬:َ‫ّ ٔسهى فَقَبل‬ٛ‫ صهٗ اهلل عه‬ٙ
ِ ِ‫ِبّسَب ِسقٍ ِإنَٗ انَُب‬
18
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus as-Salam,juz 2, (Bandung: Dahlan, tt), h.
29.
19
Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam, h. 91.
19

:‫ فَقَبنُٕا‬:))ُُِٕ‫ ((اقْ ُخه‬:َ‫َتَ فَقَبل‬َِٛ‫ءَ بِِّ انّثَب‬ِٙ‫ ُث َى ج‬,َ‫ فَ ُقطِع‬:َ‫ قَبل‬,))ُِْٕ‫ط ُع‬
َ ‫ ((ا ْق‬:َ‫ فَقَبل‬,َ‫س َشق‬
َ

:َ‫ءَ بِِّ انّثّبنِّثَ َت فَقَبل‬ِٙ‫ ثُ َى ج‬,َ‫قَبلَ فَ ُقطِع‬,))ُِْٕ‫ط ُع‬


َ ‫ ((ا ْق‬:َ‫ فَقَبل‬,َ‫س َشق‬
َ ‫ل انهَِّ! إًََِب‬
َ ْٕ ‫س‬
ُ ‫َب َس‬ٚ

ِّ ِ‫َ ب‬ِٙ‫ ثُىَ ُأح‬,َ‫قَبلَ فَ ُقطِع‬,))ُِْٕ‫ط ُع‬


َ ْ‫ ((اق‬:َ‫ فَقَبل‬,َ‫س َشق‬
َ ‫ل انهَِّ! ِإًََب‬
َ ْٕ ‫س‬
ُ َ‫َبس‬ٚ :‫ فَقَبنُٕا‬:))ُُِٕ‫((اقْ ُخه‬

ٙ
َ ِ‫ فَأُح‬,))ُِْٕ‫ط ُع‬
َ ‫ ((ا ْق‬:َ‫ فَقَبل‬,َ‫س َشق‬
َ ‫َب َسسُ ْٕلَ انهَِّ! ِإ ًََب‬ٚ :‫ فَقَبنُٕا‬:))ُُِٕ‫ ((اقْ ُخه‬:َ‫انشَا ِبعَتَ فَقَبل‬

ِٙ‫َُْب ُِ ف‬ٛ‫ ُثىَ اجْ َخ َشسََْبُِ فََأنْ َق‬,ُِ‫طهَقَُْب بِِّ فَقَ َخهَُْب‬
َ َْ ‫ فَب‬:ٌ‫ قَبلَ جَب ِبش‬,))ُُِٕ‫ ((اقْ ُخه‬:َ‫بِِّ انْخَب ِيّسَتَ فَقَبل‬
ٕٓ
.َ‫ْ ِّ انْحِجَبسَة‬ٛ‫عَه‬
َ ‫َُْب‬َٛ‫بِ ْئ ٍش َٔسَي‬

Artinya: Muhammad binAbdullah bin Ubaid bin Aqil al-Hilali


menyampaikan kepada kami dari kakeknya, dari Mush’ab bin Tsabit bin
Abdullah bin az-Zubair, dari Muhammad bin al-Munkadir bahwa Jabir
bin Abdullah berkata, “seorang pencuri dihadapkan kepada Nabi saw,
lantas beliau bersabda, bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah,
dia hanya mencuri, Rasulullah saw menjawab, potonglah (tangan
kanannya). Lalu, tangan laki-laki itu dipotong. Beberapa waktu kemudian
laki-laki itu dihadapkan untuk kedua kalinya, belaiu bersabda , bunuhlah
dia. Mereka berkata wahai Rasulullah dia hanya mencuri. Beliau
bersabda, potonglah (kaki kirinya). Kaki laki-laki itu ppun dipotong.
Kemudian laki-laki itu dihadapkan untuk ketiga kalinya. Beliau bersabda,
bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah dia hanya mencuri.
Rasulullah menjawab, potonglah (tangan kirinya). Lalu tangan laki-laki
itu dipotong. Lalu laki-laki itu dihadapkan untuk keempat kalinya. Beliau
bersabda, bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah dia hanya
mencuri. Beliau menjawab, potonglah (kaki kanannya). Kaki laki-laki itu
pun dipotong. Kemudian laki-laki itu dihadapkan untuk kelima kalinya.
Beliau bersabda, bunuhlah dia. “Jabir melanjutkan, “lalu kami membawa
laki-laki itu dan membunuhnya. Kami melemparkannya ke sumur dan
melemparinya dengan batu”.(4410)

20
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (t.tk-Darul
Fikr, tt), h. 142.
20

Adapun batas pemotongan menurut ulama yang empat, yaitu Imam

Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad adalah dari

pergelangan tangan. Sedangkan menurut Khawarij pemotongan dari pundak.

Alasan jumhur ulama adalah karena pengertian minimal dari tangan itu

adalah telapak tangan dan jari. Alasan Khawarij adalah karena pengertian

tangan itu mencakup keseluruhan dari sejak ujung jari sampai batas pundak.21

Perbedaan pendapat tentang batasan tangan ini terjadi karena semua batasan

yang mereka sebutkan termasuk ke dalam cakupan makna ٘‫ذ‬ٚ‫ اال‬tangan; baik

jari, pergelangan, siku, maupun sampai bagian pundak.22

Setelah dipotong, tangan pencuri harus mendapatkan tindakan medis.

Yaitu bisa dengan ditempelkan pada besi yang sudah dipanaskan dengan api

atau cara-cara lainnya agar darahnya berhenti. Dengan demikian, orang yang

dipotong tangannya tidak mengalami kondisi kritis yang bisa berakibat pada

kehilangan nyawa dan kematian. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW,

mendapat ajuan seorang pencuri yang telah mencuri mantel. Mereka berkata,

wahai Rasulullah, orang ini telah mencuri. Rasulullah SAW, bertanya, “aku

menduga dia tidak mencuri?” pencuri berkata, benar, aku telah mencuri,

wahai Rasulullah. Beliau bersabda, sabda beliau merupakan hadits yang

diriwayatkan oleh Hakim dari hadits Abu Hurairah.

21
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. h. 92.
22
M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 111.
21

،ًِ‫ ( اذٌَْبُوا ِب‬:ًِ‫ وَقَا َل فِي‬،ُ‫ َفسَا َق ًُ ِبمَعْىَاي‬،َ‫ث أَبِي ٌُرَيْ َرة‬
ِ ‫حدِي‬
َ ْ‫َأخْ َرجًَُ ا ْلحَا ِك ُم ِمه‬
ٕٖ
ِ‫ش بِِإسْىَا ِدي‬
َ ‫ لَا بَ ْأ‬:َ‫ وَقَال‬،‫سمُو ُي ) وَأَخْ َرجَ ًُ الْبَسَا ُر أَ ْيضًا‬
ِ ‫ح‬
ْ ‫ ُث َم ا‬،ُ‫طعُوي‬
َ ‫فَا ْق‬

“Hakim meriwayatkannya dari hadits Abu Hurairah ra, ia


meriwayatkan hadits tersebut dengan makna yang sama, (bawalah dia dan
potonglah tangannya, kemudian bakarlah (bekas potongan
tangannya))”.24 Al-Bazzar juga meriwayatkan dan ia berkata sanadnya
tidak ada yang berkomentar.

Setelah dilaksanakan hukuman potong tangan, orang itu dibawa

menghadap beliau lantas bersabda, “bertaubatlah kepada Allah.” Dia

menjawab, aku telah bertaubat kepada Allah. Beliau bersabda, “ ya Allah

berilah taubat taubat kepadanya.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga

kali (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Nasa‟i).25

Sebagai pelajaran bagi pencuri dan tindakan untuk menimbulkan efek

jera bagi yang lainnya, syariat memerintahkan agar tangan pencuri yang telah

dipotong digantungkan dilehernya. Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi

meriwayatkan, serta mengatakan hasan gharib, dari Abdullah bin Mahiriz,

bahwa dia mengatakan, aku bertanya kepada Fudhalah tentang

penggantungan tangan pencuri di lehernya, apakan tindakan ini termasuk

sunnah? Dia menjawab, seorang pencuri dihadapkan kepada Rasulullah

23
Al-Hafidz Ahmad Bin Hajr Al-Atskolani, Bulughul Maram, (Surabaya: Sarikat
Bengkulu Indah, tt), h. 277.
24
Maksud dari membakar bekas potongan tangan tersebut yaitu dilakukan tindakan medis
kepada pelaku agar darahnnya berhenti mengalir.
25
Al-Hafidz Ahmad Bin Hajr Al-Atskolani, Bulughul Maram, h. 277.
22

SAW, lantas tangannya dipotong. Setelah itu beliau menyuruh agar tangan

pencuri itu digantungkan di lehernya. 26

E. Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong Tangan

Salah satu yang dibanggakan oleh manusia adalah harta. Ajaran Islam

bukan matereialisme, melainkan Islam mengajarkan kepada umat Islam

untuk berusaha sekuat tenaga sesuai kemampuan untuk mencari harta. Syariat

Islam yang ditetapkan oleh Allah swt, dan Muhammad Rasulullah saw

memuat seperangkat aturan dalam hal memperoleh harta. Memperoleh harta

dengan cara yang haram seperti berbuat curang, merugikan orang lain,

mencari keuntungan yang berlebihan, dan lain-lain harus dihindari oleh umat

Islam. Mengganggu dan merusak sistem nilai yang berkaitan dengan bidang

ekonomi. Asas-asas pembinaan dan pengembangan perekonomian yang

ditetapkan oleh syariat Islam berlandaskan atas prinsip suka sama suka, tidak

merugikan sepihak, jujur, transparan, dan lain-lain. Sebagai konsekuensi dari

sistem tata aturan tentang bagaimana cara memperoleh dan/atau mendapatkan

harta, maka syariat Islam menetapkan aturannya.

Mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak. Ketentuan

potong tangan bagi para pencuri, menunjukan bahwa pencuri dikenai sanksi

hukum potong tangan adalah pencuri yang profesional, bukan pencuri iseng,

atau bukan karena keterpaksaan. Sanksi potong tangan atas hukuman bagi

pencuri bertujuan antara lain sebagai berikut:

26
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Bandung: Alma‟arif, 1977), h. 377.
23

1. Tindakan preventif yaitu menakut-nakuti, agar tidak terjadipencurian,

mengingat hukumannya yang berat.

2. Membuat para pencuri timbul rasa jera, sehingga ia tidak melakukan

untuk kali berikutnya.

3. Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghargai dan

menghormati hasil jerih payah orang lain.

4. Menumbuhkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.27

Hikmah dan tujuan pemberian hukuman potong tangan bagi pencuri

dilaksanakan dalam rangka mencegah agar ia tidak melakukan pencurian,

sebagai balasan atas tindak pidana yang ia lakukan, dan gambaran bagi orang

lain agar tidak mengikuti perbuatan itu.28 Hukuman potong tangan didasarkan

atas penyelidikan mental dan kejiwaan manusia. Oleh karena itu hukum

tersebut adalah hukuman yang sesuai untuk perseorangan maupun untuk

masyarakat, dan oleh karena itumerupakan hukuman yang paling baik, sebab

bisa mengurangi bilangan jarimah dan bisa menjamin ketentraman

masyarakat.29

Akan tetapi keadaan tersebut tidak diterima oleh mereka yang

mengatakan bahwa hukuman potong tangan adalah hukuman yang kejam.

Pandangan ini tidak tepat, karena kalau tidak berisi kekejaman dan hanya

berisi kelemahan serta kelunakan, maka namanya bukanhukuman lagi. Dalam

hukum positif itu sendiri beberapa macam pencurian dihukum dengan kerja

27
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam. (Jakarta: sinar Grafika, 2009), h. 67-68.
28
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 117.
29
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 135.
24

berat seumur hidup atau hukuman kerja berat sementara. Tentunya hukuman

pemotongan tangan membuat lebih ringan daripada kalau ia diletakan dalam

selnya selama umurnya, bagaikan hewan dalam kandangnya atau bagaikan

mayat dalam kuburnya, dengan terampas kemerdekaannya dan jauh pula dari

keluarga serta sanak saudaranya. Kalau hukuman mati berakibat hilangnya

nyawa dan hancurnya seluruh badan, sedang hukuman mati diterima oleh

hampir seluruh negara di dunia, maka tentunya hukuman potong tangan

terlebih-lebih dapat diterima, kalau ia hanya berakibat hilangnya sebagian

anggota badan.30

Pada prinsipnya, tujuan ditetapkannya syariat adalah untuk

mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, baik kemaslahatan jangka pendek

maupun jangka panjang. Objek perwujudan kemaslahatan tersebut terdapat

dalam lima perkara pokok, yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.31

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di mana

manusia tidak akan bisa terpisah darinya.

‫ااَلْمَا لُ وَالْبَىُ ْونَ زِيْىَ ُت ا ْلحَيَوةِالدُوْيَا‬

Artinya:

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-


Kahfi (18): 46).32

30
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 135-136.
31
Abdul Mughits, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta : Artha Rivera, t.t), h. 118-119.
32
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 167.
25

Al-Maziri mengatakan, Allah menjaga harta benda dengan

menetapkan hukum potong tangan dan potong kaki bagi pencuri. Allah

mengkhususkan hukum untuk pencurian, karena jika dibandingkan tingkat

kriminal lain yang hampir sejenis dengan pencurian sangat kecil dan mudah

didatangkan atau didapatkan buktinya, seperti merampas dan meng-ghasab.

Amanah yang mulia adalah yang paling mahal


Sedang amanah termurah adalah hinanya khianat
Maka pahamilah hikmah sang maha pencipta.33

Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat

Islam adalah:

a. Pencegahan (ُ‫جش‬
ْ ‫ع َٔان َز‬
ُ ْ‫)اَن َشد‬

Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar

ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-

menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku,

pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku

agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia juga bisa

mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan

dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang

sama.

Oleh karenanya tujuan hukuman adalah pencegahan maka

besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan

tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang

33
Ibid., h. 195.
26

diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam

menjatuhkan hukuman. Tujuan yang pertama ini sangat jelas efeknya

adalah untuk kepentingan masyarakat, sebab dengan tercegahnya

pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman,

tentram, dan damai. Meskipun demikian, tujuan yang pertama ini ada

juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya

jarimah maka pelaku akan selamat dan ia terhindar dari penderitaan

akibat dari hukuman itu.34

b. Perbaikan dan pendidikan (ُ‫ْب‬ِٚ‫ح َٔان َخْٓذ‬


ُ َ‫صال‬
ْ ِ‫)َانْئ‬

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik

pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari

kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syariat Islam

terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan

timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah

bukan karena takut akan hukuman, melainkan akan kesadaran diri dan

kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida

dari Allah swt.35

Hukuman yang diberikan ditujukan untuk memberikan efek

jera dan dapat mengurangi tindakan kejahatan, terutama kejahatan

pencurian. Karena pada akhir-akhir ini kejahatan pencurian marak

terjadi, sehingga membuat masyarakat menjadi resah dan terancam.

34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h. 137-138.
35
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 138.
27

Dengan adanya hukuman potong tangan diharapkan dapat mencegah

tindakan kejahatan dan membuat pelaku atau orang lain tidak

melakukan tindakan-tindakan kejahatan selanjutnya.


BAB III

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM

DI INDONESIA

A. Sejarah Hukum Islam di Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Islam masuk ke

Indonesia dalam waktu yang tidak serentak. Perkembangan agama Islam di

Indonesia makin luas penyebarannya melalui jalan perdagangan dan

pelayaran.1 Proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan melalui

jalur perdagangan dan perkawinan, secara tidak langsung memberikan andil

bagi tersosialisasinya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.2

Sebelum kedatangan Belanda, hukum Islam sebenarnya telah

mempunyai kedudukan tersendiri di Indonesia. Hal ini terbukti dari beberapa

fakta. Misalnya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah salah

seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV

Masehi. Melalui kerajaan ini, hukum Islam madzhab Syafi‟i disebarkan ke

kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan nusantara.3

Islam tetap memiliki eksistensinya di Indonesia sampai datangnya

para penjajah di bumi Indonesia. Sebelum kedatangan orang-orang Belanda

pada tahun 1596 di Indonesia, hukum-hukum yang berlaku di daerah-daerah

Indonesia pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis yang disebut

1
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998). h. 7-8.
2
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005). h. 45.
3
Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1998), h. 69

28
29

hukum adat. Dalam sistem hukum adat tidak dikenal pemisahan hukum

pidana dan hukum privat. Di berbagai daerah hukum adat tersebut

dipengaruhi oleh agama Islam (Aceh, Palembang, ujung pandang) dan agama

Hindu.4

Pemerintah kolonial Belanda, yang menghadapi rakyat Indonesia

dengan mayoritasnya sebagai pemeluk agama Islam, perlu memusatkan

perhatian terhadap agama Islam.5 Melihat keberadaan hukum Islam di masa

kerajaan Islam, yang telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh

pemeluknya sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai

agama yang diyakininya telah mendorong pihak kolonial Belanda untuk

mengakui eksistensi hukum Islam. Kemudian pada tanggal 25 Mei 1760

dikeluarkanlah Resolutie der Indische Regeering yang berisi ketentuan

diberlakukannya sekumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum

kewarisan menurut hukum Islam untuk dipergunakan pada pengadilan VOC

bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan Compendium Freijer dan

sekaligus dapatlah dikatakan sebagai legislasi hukum Islam pertama di

Indonesia.6

Kemudian muncul teori Receptie In Complexu, yang berarti bahwa

orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam

keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan, atau dengan kata lain hukum

4
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta:
Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1986). h. 43.
5
Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Zaman
Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda -cet.3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009). h.56
6
Mohammad Idris Ramulyo, Azaz-Azaz Hukum Islam Sejarah Timbul dan
Berkembangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997). h. 49
30

mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama

Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.7 Bahkan pemberlakuan hukum

Islam semakin luas, yaitu melalui pasal 78 RR dalam Stbl Hindia Belanda

1855 : 2 ayat (2). 8

Karena kolonial Belanda takut akan berkembangnya hukum Islam,

maka Belanda melakukan penyempitan dengan teori Receptie. Pemerintah

Belanda melakukan upaya penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam.

Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat

mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku bagi umat Islam apabila

telah diresepsi oleh hukum adat. Hukum adatlah yang menentukan ada

tidaknya hukum Islam.9 Hukum Islam mempunyai peran dalam kehidupan

masyarakat pada waktu itu, meskipun hanya masalah perdata dan

pemberlakuannya yang dipersempit pada waktu itu.

Setelah kolonial Belanda hengkang dari Indonesia dan disusul dengan

kedatangan bangsa Jepang, bangsa Indonesia tetap dapat melakukan kegiatan

keislamannya. Meskipun tujuan utama Jepang adalah politik, namun Jepang

tetap melakukan pendekatan dengan Islam karena melihat masyarakat

Indonesia yang patuh terhadap Islam. 10

7
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 219.
8
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).h. 39.
9
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. h. 20
10
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985). h. 99.
31

Secara berangsur-angsur Jepang mengakui organisasi-organisasi Islam

yang dibentuk oleh bangsa Indonesia.11 Terbentuknya pengajian-pengajian

baik di langgar, masjid, maupun di lapangan, biasanya mendatangkan kiai

terkenal. Pelaksanaan pengajian-pengajian itu tanpa ada pengawassan yang

ketat dari pihak Jepang, karena Jepang memberikan kebebasan kepada rakyat

Indonesia meskipun itu merupakan salah satu siasat Jepang agar mendapat

dukungan dari rakyat Indonesia untuk melawan sekutu. 12 Hukum Islam pada

masa Jepang mendapatkan ruang yang terbuka bagi masyarakat Indonesia

untuk melakukan kegiatan keislamannya.

Setelah Jepang kalah, Jepang memberikan janji kepada bangsa

Indonesia yaitu memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Kemudian Jepang membentuk BPUPKI, dalam sidang BPUPKI yang

membicarakan tentang dasar negara, di mana para tokoh muslim dan tokoh

nasionalis memperdebatkan masalah dasar negara. Kubu muslim

menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, namun kaum

nasionalis menginginkan Indonesia tidak berdasarkan Islam.

Setelah melalui perdebatan yang cukup lama akhirnya para kubu

muslim dan nasional sepakat merumuskan lima dasar yang menjadi dasar

negara dengan nama Pancasila. Sila pertama dirumuskan “Ketuhanan Yang

Maha Esa” walaupun rumusan tersebut awalnya adalah “Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Demi

11
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1987). h. 23
12
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia. h. 83-84.
32

menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, keberadaan hukum Islam

tetap diperhatikan dan mendapat ruang di hati bangsa Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, dan dipimpin oleh Soekarno dan Moh

Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, hukum Islam kurang mendapat

perhatian khusus dari pemerintah atau hukum Islam mengalami masa suram

pada waktu itu. 13

Begitupun pada masa pemerintahan Soeharto atau Orde Baru,

kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru sungguh sangat

tidak memihak kepada aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk

negara Indonesia, yang juga berjasa besar dalam setiap perjuangan bangsa.

Islam tidak mendapatkan ruang yang luas seperti yang diharapkan kaum

muslimin di Indonesia. Ini sama halnya seperti mendaur ulang apa yang

dilakukan pemerintah Orde Lama terhadap Islam. 14

B. Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia

Indonesia dikenal dengan negeri muslim terbesar di dunia.15 Sebagai

negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945.16 Konstitusi menjadi konsep dan kajian utama

ilmu-ilmu kenegaraan (ilmu administrasi negara, politik, pemerintahan,

13
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, h. 108.
14
M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai
Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan ”Islam politik” di Indonesia Era 1970-an
dan 1980-an, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya (Anggota IKAPI), 1999), h. 119.
15
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 97.
16
Ibid., h. 63.
33

hukum tata negara dan ilmu negara sendiri).17 Indonesia sebagai negara

dengan jumlah muslim terbesar tentu mempunyai hubungan erat dengan

agama. Agama sebagai refleksi atas iman tidak hanya terbukti dalam ucapan,

keyakinan dan iman saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana iman

itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini. Kesadaran akan iman atas ajaran

agama (Islam) yang dipeluknya di dalam jaringan realitas dunia yang

menyangkut seantero hidup dan kehidupan pribadi dan masyarakat.18

Eksistensi hukum Islam termanifestasi di dalam Konstitusi Negara

Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI 1945). UUD ini merupakan hukum dasar yang mengatur

kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan

yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan

bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana

tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,

“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam

UUD 1945 merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. 19

Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap

eksistensi agama Islam sebagai agama resmi dan hukum Islam sebagai hukum

yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pembukaan, pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, serta penafsiran Hazairin

17
Inu Kencana Syafi‟i, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2003), h. 97.
18
Muhammad Said, Peranan Islam Dalam Penghayatan, Pengamalan dan Pengamanan
Pancasila, ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), h. 46.
19
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Segi tentang Prinsip-Prinsip dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 150-152.
34

atas pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber

pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut

penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan

terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan

dengan hukum Islam. Peraturan perundang-undangan tidak boleh

bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi

umat masing-masing agama bersangkutan.20 Selanjutnya mengenai Islam

dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional, UUD 1945

memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama

Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam.

Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada

Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang

Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al-Ikhlas ayat (1) yaitu

“Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”.

Lebih lanjut pada pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga dapat

disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang tinggi yang

berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara di Indonesia. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan

sifat bangsa yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti

setelah kehidupan di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar

nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan

20
M. Sularno, “Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, Al-
Mawardi, XVI, (2006), h. 211-212.
35

yang baik di masa nanti. Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat

keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama

sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam,

terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.21

C. Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia

Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia

merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya. Sebagaimana

halnya dengan agama Islam yang universal sifat-sifatnya itu. Hukum Islam

berlaku bagi orang Islam dimana pun ia berada, apapun nasionalitasnya.

Agama Islam misalnya, adalah agama yang mengandung hukum yang

mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam

masyarakat. Dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas

penduduknya beragam Islam seperti Indonesia, unsur hukum agama harus

benar-benar diperhatikan. Tentang kedudukan hukum Islam dalam

pembangunan hukum nasional, menurut Menteri Kehakiman Ali Said (1981-

1983) pada upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata

Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, di samping hukum adat

dan hukum eks-Barat, hukum Islam merupakan salah satu komponen tata

hukum Indonesia, menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan

hukum nasional.22

21
Al-Yasa‟ Abu Bakar, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), h. 84.
22
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 266-268.
36

Hukum Islam amat pantas menjadi sumber pembentukan hukum

nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika

masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Hukum Islam

mengandung dua dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nash

qat’i, yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang

berakar pada nash zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan

kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni oleh

umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor

sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda-beda.

Upaya membentuk hukum positif dengan bersumberkan hukum Islam,

sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia, namun masih bersifat

parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan, perwakafan, penyelenggaraan

haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan pembentukan hukum

positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras dengan

tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang

berkesinambungan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta

komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang berkompeten.23

Karena Indonesia adalah mayoritas penduduk beragama Islam maka

perlunya dibentuk perundang-undangan yang berdasarkan asas-asas Islam,

dimana undang-undang tersebut memiliki tempat yang diakui oleh

masyarakat, seperti Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang

23
M. Sularno, “Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, Al-
Mawardi, XVI, (2006), h. 211-212.
37

Penyelenggaraan Ibadah Haji24 yang merupakan perubahan atas Undang-

Undang No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat25 merupakan

perubahan atas Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan

Zakat, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-undang

No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,26 dan Instruksi Presiden RI

No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.27

Baik dalam Undang-Undang tersebut diatas atau dalam Kompilasi

Hukum Islam, terdapat eksistensi hukum Islam di Indonesia. Karena dilihat

banyaknya hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam menangani

sesuatu yang khusus terutama masalah hukum perdata Islam, maka

pemerintah perlu membuat undang-undang tersebut. Kompilasi hukum Islam

sendiri merupakan kumpulan dari hukum-hukum Islam. Dengan demikian,

keberadaan hukum Islam di Indonesia ikut mewarnai berlakunya hukum

positif di Indonesia.

D. Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam

Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia

yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Legitimasi ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan

masyarakat Aceh yang menginginkan daerah ini berlaku hukum syariat

sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh. Akhirnya pemerintah


24
Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
25
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
26
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
27
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
38

pusat menyetujui dengan membuat UU No. 44 tahun 1999 yang antara lain

mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selanjutnya untuk mengatur tentang

pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5 tahun 2000.

Perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

menyatakan bahwa seluruh aspek syariat akan diterapkan, termasuk yang

berhubungan dengan „aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan

dan dakwah agama; baitu al-mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana

bagi Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur

peradilan, peradilan pidana dan warisan, membentuk wilayatu al-hisbah

(WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan syariat, tetapi tidak ada

perincian mengenai bagaimana ia berfungsi.

UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU

PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal

25 – 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar‟iyah NAD yang

merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan

nasional. Mahkamah Syar‟iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari

pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk

agama Islam.

Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang

lain tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir

sekali disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

Dalam pasal 125 ayat (1) undang-undang ini diatur bahwa syariat Islam yang
39

dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat

Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga),

mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan),

tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.

Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk

pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama

hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang

sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga

kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli;

permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam;

penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan;

pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam

bentuk infaq dan sedekah.28

Aceh juga mengatur kehidupan masyarakat dalam bidang jinayah

yang diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan

Sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun

No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).29

Dalam qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar dan sejenisnya, di

dalamnya mengatur larangan tentang mengkonsumsi minuman khamar dan

sejenisnya. Minuman khamar (minuman keras) dalam hukum Islam sangat

dilarang bahkan diharamkan, karena sifatnya yang dapat merusak akal dan

28
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos,
2003), Cet. I, h. 152.
29
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13
Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
40

merusak kesehatan manusia dan menggannggu kemaslahatan dan ketertiban

masyarakat.30 Bagi yang melanggar peraturan tersebut maka akan dikenakan

hukuman sebagaimana yang tertera pada pasal Pasal 26

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 5, diancam dengan „uqubat hudud 40 (empat

puluh) kali cambuk.

2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud

dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan „uqubat ta‟zir

berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3

(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,-

(tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,-

(dua puluh lima juta rupiah).

3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 adalah jarimah hudud.

4) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah ta‟zir. 31

Pelarangan mengkonsumsi minuman khamar ini terdapat pada pasal 3

yang bertujuan melindungi masyarakat dari perbuatan yang merusak akal,

mencegah masyarakat dari perbuatan-perbuatan negatif akibat dari

mengkonsumsi minuman khamar, dan meningkatkan peran serta masyarakat

dalam mencegah dan memberantas perbuatan minuman khamar.

30
Lihat Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003
No. 25 Seri D No. 12
31
Lihat Bab VII Ketentuan Uqubat Pasal 26 Qanun No. 12 tahun 20003 tentang
Minuman Khamar dan sejenisnya.
41

Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), qanun ini

mengatur tentang larangan berjudi. Pada Bab I Pasal 1 angka 20 disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan maisir adalah kegiatan dan/atau perbuatan

yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang

mendapatkan bayaran.32 Adapun ketentuan meteriil tentang larangan maisir

tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pasal 4: Maisir hukumnya haram.

2) Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan maisir.

3) Pasal 6:

(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang

menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang

yang akan melakukan perbuatan maisir;

(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang

menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.

4) Pasal 7 : Instansi pemerintah dilarang member izin usaha

penyelenggaraan maisir.

5) Pasal 8 : Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat

berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan maisir.

Ruang lingkup larangan maisir dalam qanun ini adalah segala bentuk

kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan

32
Bab I Pasal I angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir.
42

dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan

orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.33

Pelarangan terhadap segala bentuk aktifitas yang berhubungan dengan

maisir ini ditujukan agar:34

a. Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan;

b. Mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang

mengarah kepada maisir;

c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat

kegiatan dan/atau perbuatan maisir;

d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan

dan pemberantasan perbuatan maisir.

Pelarangan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan

kegiatan maisir (judi) menimbulkan konsekwensi berupa sanksi terhadap

setiap pelanggaran. Adapun ancaman pidana perbuatan maisir adalah:

Pasal 23:35

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 diancam dengan ‟uqubat cambuk di depan umum paling

banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.

2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha non instansi

pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 dan Pasal 7, diancam dengan ‟uqubat atau denda paling

33
Pasal 2 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir.
34
Pasal 3 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir
35
Pasal 23 Qanun No. 13Tahun 2003 Tentang Maisir
43

banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit

Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).

3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 adalah jarimah ta’zir.

Hukuman yang diberikan terhadap pelaku yang terbukti melakukan

tindak pidana perjudian akan dipidana dengan pidana cambuk di depan umum

paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.

Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum), mengatur

tentang larangan perbuatan berdua-buaan dengan lawan jenis yang belum

mahram. Pasal 4 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat ( Mesum)

menjelaskan bahwa Khalwat/Mesum hukumnya haram. Dalam Pasal 5 Setiap

orang dilarang melakukan khalwat/mesum. Selanjutnya dijelaskan dalam

Pasal 6 bahwa Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur

pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan kemudahan dan/atau

melindungi orang melakukan khalwat/mesum.

Ketentuan pidana khalwat diatur dalam Pasal 22 Qanun Nomor 14

Tahun 2003 Tentang Khalwat ( Mesum), yaitu:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 diancam dengan „uqubat ta‟zir berupa dicambuk

paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali

dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta Lima ratus ribu

rupiah).
44

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksu

dalam Pasal 5 diancam dengan „uqubat ta‟zir berupa kurungan

paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau

denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah),

paling sedikit Rp 5.000.000,- (Lima juta rupiah).

(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta‟zir.

Tujuan dilarangnya khalwat/mesum yang diatur dalam Qanun No. 14

Tahun 2003 Tentang Khalwat, terdapat dalam pasal 3:

a. menegakkan Syari‟at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam

masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

b. melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau

perbuatan yang merusak kehormatan;

c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan

perbuatan yang mengarah kepada zina;

d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan

memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum;

e. menutup peluang terjadinya kerusakan moral.

Peraturan yang dibuat pemerintah Aceh yang berkaitan dengan Qanun

No 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13

Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun No. 14 Tahun 2003

tentang Khalwat, dibuat dalang rangka melindungi kehidupan manusia dari

perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan masyarakat. Qanun-qanun


45

tersebut diatas berkaitan dengan lima hal yang sangat dijaga dalam syariat

Islam yang disebut dengan maqashid syariah (melindungi agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta). Peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Aceh

dimaksudkan dalam rangka menjalankan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001

Tentang OTSUS NAD yang diberikan khusus oleh pemerintah pusat kepada

Aceh sebagai daerah Istimewa.


BAB IV

PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU TENTANG

HUKUMAN POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA

DI INDONESIA

A. Pandangan Ulama Muhammadiyah Tentang Hukuman Potong Tangan

dan Pemberlakuannya di Indonesia

Hudud adalah hukum Allah yang tidak berdiri sendiri bahkan berada

dalam satu sistem hukum Islam yang komprehensif, saling melengkapi antara

satu komponen dengan komponen yang lain. Hudud merupakan salah satu

komponen dari Islam, kaedah pelaksanaan dan tujuan pencegahannya dibuat

karena Allah dan bukan dengan tujuan-tujuan lain.1Hukuman potong tangan

merupakan bagian dari hukuman hudud terhadap tindak pidana pencurian, di

mana hukuman potong tangan tersebut merupakan hukuman yang sangat

mendasar dalam syariat Islam.

Ada beberapa pandangan mengenai hukuman potong tangan dalam

syariat Islam menurut para ulama Muhammadiyah di Indonesia. Menurut

Ma’rifat Iman (Sekertaris Majlis Tarjih Muhammadiyah), hukuman potong

tangan dalam syariat Islam yaitu hukuman untuk pencuri baik laki-laki

maupun perempuanyang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 38, dan

hukuman potong tangan tersebut adalah hukuman yang paling maksimal dan

1
Wahbah Zuhaili, Fikih Imam Syafi’i, (Terbitan Al-Mahira, Cet 1, 2010), h. 259.

46
48

tentunya hukuman tersebut memberikan efek jera terhadap pelaku dan orang

lain agar tidak melakukan pencurian atau kejahatan lagi.2

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, FahmiSalim (Anggota

Malis Tarjih Muhammmadiyah) berpendapat, hukuman potong tangan

merupakan bagian dari sistem hukum pidana Islam yanng diatur oleh syariat

berdasarkan nash-nash al-Qur’an, hadits dan ijma ulama. Menurutnya

hukuman potong tangan dalam Islam termasuk jenis sanksi yang qath’i,

karena telah diatur di dalam nash-nash al-Quran, hadits dan ijma ulama.

Hukuman ini memilki dua unsur, pertama; sebagai efek jera (zawajir), dan

kedua; sebagai jawabir. Jawabir ini adalah konsep dalam Islam di mana jika

hukuman pidana itu ditegakan di dunia, maka akan menghapus siksaan di

akhirat nanti.3

Risman Muchtar(Anggota PP Muhammadiyah) juga berpendapat,

hukuman potong tangan termasuk ke dalam hukum syariat yang ditetapkan

Allah swt. Hukuman potong tangan merupakan hukuman yang terbaik untuk

manusia. Oleh karena itu hukuman tersebut sangat efektif diberikan untuk

tindak pidana pencurian, karena Allah yang menciptakan manusia dan Allah

lebih mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya4.

Mengenai pernah atau tidaknya hukuman potong tangan diberlakukan

Indonesia, ketiga ulama tersebut diatas menyatakan bahwa hukuman potong

tangan tidak pernah diberlakukan di Indonesia. Menurut Ma’rifat, hukuman

potong tangan tersebut tidak pernah diberlakukan dan bahkan tidak akan
2
Wawancara dengan Ma’rifat Iman, pada 23 Desember 2014 di Jakarta.
3
Wawancara dengan Fahmi Salim, pada 07 Januari 2015 di Jakarta.
4
Wawancara dengan Risman Muchtar, pada 03 Desember 2014 di Jakarta.
49

mungkin bisa diberlakukan sampai saat ini. Karena undang-undang potong

tangan tidak ada di Indonesia.5Apalagi Fahmi berpendapat bahwa, hukum

pidana Indonesia mengacu kepada KUHP. Dalam KUHP sendiri tidak

menempatkan hukum pidana Islam dan tidak ada hukuman potong tangan,

karena memang tidak ada di dalam undang-undang pidana.6

Adapun Risman berpendapat, di Indonesia hukum yang berlaku

adalah hukum nasional, bukan hukum Islam. Pemberlakuan hukuman potong

tangan, sejauh ini belum pernah dipraktikan di Indonesia, karena memang

Indonesia bukanlah negara yang memberlakukan hukum Islam.7

Untuk pemberlakuan hukuman potong tangan, Fahmi dan Risman

menyatakan setuju jika hukuman tersebut diberlakukan di Indonesia. Menurut

Fahmi jika hukuman potong tangan tersebut disepakati untuk diberlakukan,

maka ia menyetujui hukuman tersebut diberlakukan asalkan negara yang

menjalankan bukan individual, dan harus memenuhi syarat-syaratnya dan

harus melihat kondisi si pencuri tersebut.Apabila terdapat syubhat, maka

tidak bisa dijalankan hukuman potong tangan tersebut.8

Menurut Risman,jika hukuman potong tangan tersebut diberlakukan di

Indonesia, maka Indonesia akan terhindar dari berbagai musibah yang dapat

merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena ketika hukuman bagi

pencurian atau sejenisnya hanya diberikan hukuman yang ringan seperti

dipenjara maka tidak akan membuat si pelaku merasa takut dan jera, malah

5
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
6
Wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
7
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta.
8
Wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
50

sebaliknya mereka merasa termotivasi untuk melakukan tindak pidana

kejahatan tersebut. Apabila hukuman potong tangan itu diberlakukan, maka

akan mengurangi tindak pidana kejahatan dan mencegah perbuatan-perbuatan

yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.9

Namun menurut Ma’rifat, bukan masalah setuju atau tidak hukuman

potong tangan diberlakukan di Indonesia, akan tetapi kita harus melihat ada

atau tidaknya undang-undang yang menetapkan hukuman potong tangan.

Apabila undang-undang potong tangan tersebut ada, ia menyatakan setuju,

sebaliknya jika undang-undang tersebut tidak ada, maka harus dibuatkan

terlebih dahulu undang-undang tentang potong tangan.10

Hukuman potong tangan jika diberlakukan di Indonesia menurut

ketiga ulama Muhammmadiyahtidaklah bertentangan dengan ideologi negara,

UUD dan KUHP. Menurut ketiganya, dalam Pancasila yaitu pada sila

pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” terdapat nilai-nilai agama yang sangat

mendukung dalam kehidupan bernegara, bahkan dalam pembentukan hukum

nasional sendiri harus mengacu pada hukum Islam. Begitupun di dalam

KUHP, hukuman potong tangan tidaklah bertentangan. Karena di dalam

KUHP, hukuman untuk tindak pidana kejahatan kurang adanya penegasan,

karena KUHP dianggap sangat multi tafsir.11 Namun dalam hal ini Ma’rifat

9
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta.
10
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
11
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta, wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
51

menegaskan, setiap hukuman itu harus ada undang-undang yang berlaku agar

semuanya menjadi lebih jelas dalam pelaksanaannya.12

Indonesia adalah negara hukum, di mana semua perkara yang

berkaitan dengan hukum haruslah diserahkan kepada yang berwenang. Ketiga

ulama tersebut (Ma’rifat, Fahmi dan Risman) menyatakan bahwa yang berhak

menjatuhkan hukuman potong tangan adalah pemerintah melalui lembaga

kehakiman, dan tentunya harus berdasarkan undang-undang yang berlaku.13

Cara pemberlakuan hukuman potong tangan, ketiga ulama sepakat

bahwa hukuman tersebut harus melalui lembaga peradilan. Lembaga

peradilanlah yang berhak mengadili, dan tentunya harus sesuai dengan apa

yang telah diperbuat oleh si pelaku.14

Dalam penjatuhan hukuman, tidaklah melihat hukuman tersebut berat

atau tidaknya. Dalam hal ini, hukuman potong tangan bukanlah termasuk

hukuman pribadi, tetapi termasuk hukum publik. Menurut Fahmi dan Risman,

hukuman tersebut tidaklah berat, berat bagi pelaku kriminal karena dia yang

akan merasakan mudaratnya. Menurut keduanya, hukuman potong tangan

bukanlah hukuman yang berat dibandingkan hukuman penjara yang

kebanyakan tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku kriminal. Hukuman

potong tangan membawa kemaslahatan.Salah satunya ialah efek jera dan

mencegah dari tindakan kejahatan selanjutnya, dan hukuman potong tangan

12
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
13
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta, wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
14
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta, wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
52

ini sifatnya dapat menghilangkan anggota badan.15 Hal ini sejalan dengan

pendapat Ma’rifat, menurutnya, berat atau tidaknya hukuman itu bukanlah

persoalan, karena semua hukuman itu sifatnya memberikan efek jera.16

Mengenai perlindungan terhadap pelaku yang dijatuhi hukuman

potong tangan, menurut Fahmi dan Risman, orang tersebut berhak

mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang adil. Begitupun terhadap si

pelaku yang dijatuhi hukuman potong tangan, mereka semua berhak

mendapatkan perlindungan dari pemerintah.17 Begitupun dengan Ma’rifat,

menurutnya juga setiap orang berhak mendapatkan perlindungan. Karena

bagaimana pun juga pelaku tersebut adalah warga negara yang berhak

mendapatkan perlindungan dari pemerintah.18

Indonesia adalah negara yang penduduknya beragama Islam. Di

samping itu, ada juga agama lain yang diakui kedudukannya. Hukuman

potong tangan adalah salah satu hukuman hudud dalam syariat Islam. Jika

hukuman potong tangan telah diadopsi menjadi hukum negara,maka hukuman

tersebut mengikat bagi siapa saja yang ada di dalamnya. Begitupun menurut

Ma’rifat dan Risman, hukuman potong tangan akan tetap berlaku untuk siapa

saja, baik orang muslim maupun non muslim. Karena hukum pidana itu

menyangkut hukum publik. Jadi, bagi siapa saja yang berada dalam wilayah

15
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta.
16
Wawancara dengan Ma’rifat Imandi Jakarta.
17
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta
18
Wawancara dengan Ma’rifat Imandi Jakarta.
53

tertentu,mereka akan terikat oleh hukum yang telah disepakati.19Namun

dalam hal ini, Fahmi lebih menekankan hukuman potong tangan kepada

orang muslim, karena hukuman potong tangan ini merupakan ajaran bagi

orang muslim.20

Karena Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim,

maka menurut ketiga ulama Muhammadiyah, ada kemungkinan hukuman

potong tangan dapat diberlakukan di daerah tertentu seperti Aceh.21 Hukum

potong tangan bisa diberlakukan di daerah Aceh, sesuai dengan UU No 18

tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

Sebagai Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam22 yang telah diberikan

kebebasan dalam melaksanakan peraturan daerahnya sendiri.

Untuk menghindari kekeliruan dalam pelaksanaan hukuman potong

tangan, menurut ketiga ulama Muhammadiyah perlu adanya penafsiran

kembali tentang hukuman potong tangan, meskipun di daerah Aceh. Hal ini

dilakukan untuk lebih mempertegas pelaksaan hukuman tersebut. Karena

tidak semua kejahatan pencurian dapat di hukum potong tangan, dan

hukuman tersebut bisa disesuaikan dengan kondisi yang terjadi.23

Menurut ketiga ulama Muhammadiyah juga, hukuman potong tangan

tidak bisa diganti dengan hukuman lain seperti penjara. Karena hukuman

19
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta.
20
Wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
21
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
22
UU No 18 Tahun 2001 Tentang OTSUSNAD
23
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
54

penjara tidak terlalu memberikan efek jera kepada pelaku, bahkan hukuman

penjara dianggap membebani pengeluaran negara untuk menghidupi banyak

orang di dalam penjara.24

Setiap hukuman tentu akan ada hikmah dan tujuannya, begitupun

hukuman potong tangan yang merupakan hukuman yang telah ditetapkan oleh

Allah swt. Menurut ketiganya, hikmah dan tujuan dari hukuman potong

tangan ialah untuk kemaslahatan masyarakat, agar masyarakat merasa tentram

dan terlindungi dari tindak kejahatan, dan dapat meringankan dosa si pelaku

kelak di akhirat nanti.25

B. Pandangan Ulama NU Tentang Hukuman Potong Tangan dan

Pemberlakuannnya di Indonesia

Seperti halnya ulama Muhammadiyah, ulama NU pun mempunyai

pandangan tersendiri mengenai hukuman potong tangan dan

pemberlakuannya di Indonesia.Masdar Fuadi Mas’ud (Rois Suriah Nahdlatul

Ulama) berpendapat, hukuman potong tangan adalah hukuman untuk tindak

pidana pencurian yang telah diatur dalam Qs. Al-Maidah ayat 38 yaitu pada

kalimat ‫ط ُعوْا َأيْدِ َي ُهمَا‬


َ ‫ فَا ْق‬yang diartikan potonglah tangan keduanya, memotong

tangan keduanya yaitu memotong potensi untuk mengambil atau mencuri

kepunyaan orang lain agar pencuri merasa jera, sehingga orang tersebut tidak

lagi perlu untuk mengambil kepunyaan orang lain secara tidak sah.

24
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
25
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
55

Menurutnya, hukuman tersebut merupakan hukuman preventif agar pelaku

dan orang-orang yang akan melakukan hal yang sama merasa takut dan tidak

akan melakukan hal yang serupa.26

Sependapat dengan pemikiran di atas,Muhammad Cholil Nafis (Wakil

Ketua Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama) berpendapat, hukuman

potong tangan adalah langkah untuk memberikan rasa takut atau efek jera

dan membuat orang antisipasi untuk tidak melakukan kejahatan pencurian.

Menurutnya, hukuman itu bukan untuk menyakiti, tetapi hukuman itu bersifat

preventif atau pencegahan.27 Dengan adanya hukuman potong tangan

tersebut, membuat si pelaku atau calon pelaku kejahatan akan ketakutan

untuk melakukan hal yang diancamkan dengan hukuman potong tangan

tersebut.

Arwani Faisal (Wakil Lajnah Bahtsaul Masail Nahdlatul Ulama)juga

berpendapat, hukuman potong tangan itu adalah hukuman yang jelas (sharih),

dan hukuman potong tangan itu ialah memotong tangan mulai dari jari sampai

siku. Menurutnya lafad Qat’u/Faqta’u itu tidak mutlak harus memotong

tangan, tetapi bisa juga diartikan memutus atau menutup perbuatan jahat

tersebut, dan hukuman potong tangan itu adalah hukuman yang efektif untuk

tindak pidana pencurian. Pencurian yang dijatuhi hukuman potong tangan

dalam hal ini terdapat tiga klasifikasi pencurian, pertama, pencurian karena

profesi atau pekerjaan. Untuk pencurian ini, maka si pelaku mutlak dijatuhi

hukuman potong tangan. Kedua, pencurian karena kebiasaan atau karena ada

26
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud, pada 19 Desember 2014 di Jakarta.
27
Wawancara dengan Cholil Nafis padal 03 Desember 2014 di Jakarta.
56

kesempatan, pencurian seperti ini juga harus dipotong tangan. Ketiga,

pencurian sesekali atau karena ada faktor yang mendesak, untuk pencurian

yang ketiga ini hukuman bisa diringankan, karena pada masa Umar ra, ketika

terjadi pencurian karena faktor mendesak, maka pelaku tersebut hanya

mendapat hukuman pukulan dengan pelepah kurma. 28

Mengenai pernah atau tidaknya hukuman potong tangan diberlakukan

di Indonesia, ketiga ulama NU di atas menyatakan bahwa sejauh ini

hukuman potong tangan belum pernah diberlakukan di Indonesia, karena

hukum Islam belum pernah menguasai hukum di Indonesia, dan Indonesia

bukan lah negara Islam tetapi negara yang berdasarkan kesatuan.29

Untuk pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia, Masdar

menyetujui jika hukuman potong tangan diberlakukan, apalagi untuk tindak

pidana pencurian dengan kekerasan. Namun jika hanya mencuri dan barang

yang dicuri tidak mencapai nisab yang ditentukan, maka itu harus dilakukan

peninjauan kembali. Menurutnya juga, hukuman potong tangan dianggap

sangat tepat dan tidak terlalu membuang biaya dibandingkan dengan pidana

penjara.30Begitupun dengan Cholil, yang menyetujui jika hukuman potong

tangan diberlakukan di Indonesia,karena menurutnya hukuman tersebut dapat

memberikan efek jera terhadap si pelaku.31 Namun tidak dengan Arwani,

Arwani menyatakan tidak setuju. Karena menurutnya, jika hukuman potong

tangan diberlakukan di Indonesia itu akan menimbulkan mafsadat yang

28
Wawancara dengan Arwani Faisal, pada 11 Desember 2014 di Jakarta.
29
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
30
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta.
31
Wawancara dengan Cholil Nafisdi Jakarta.
57

sangat besar, dan apabila hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia

tentu itu akan memakan waktu yang sangat lama untuk mensosialisasikannya

ke masyarakat.32

Menurut ketiga ulama NU di atas, hukuman itu tidak ada yang

bertentangan, baik dengan ideologi negara, maupun dengan UUD. Karena

pada prinsipnya hukuman itu bagaimana membuat si pelaku jera dan orang

lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Begitupun dengan KUHP,

hukuman potong tangan tidaklah bertentangan. Karena hukuman yang

terdapat di dalam KUHP itu bersifat sementara yaitu hanya penjara dan denda

saja, sedangkan kebanyakan para pelaku tidak merasa takut dan jera dengan

hukuman penjara.33

Untuk pelaksanaan hukuman potong tangan tersebut, tentunya harus

ada pihak-pihak yang berwenang untuk menjatuhkan hukuman tersebut.

Dalam hal ini ketiga ulama NU di atas menyatakan bahwa yang berhak untuk

menjatuhkan hukuman potong tangan adalah pemerintah yaitu hakim, karena

memang hakim lah yang mempunyai wewenang dalam menjatuhkan setiap

perkara. Namun, tentunya hal tersebut harus berdasarkan ketentuan-ketentuan

yang berlaku.34

Mengenai cara pemberlakuanhukuman potong tangan, ketiga ulama

NU di atas menyatakan haruslah melalui lembaga peradilan. Karena lembaga

peradilanlah yang akan memproses setiap perkara, dan hukuman itu bukan

32
Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
33
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
34
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
58

semata-mata bebas diberlakukan oleh siapa saja, tetapi harus ada penanganan

khusus dalam tata cara pemberlakukannya.35

Untuk berat atau tidaknya hukuman potong tangan diberlakukan di

Indonesia, menurut Cholil hukuman potong tangan tidaklah berat jika

hukuman tersebut dipilih menjadi hukum nasional. Karena sesuai dengan apa

yang mereka perbuat dan sesuai dengan syariat, apalagi hukuman tersebut

tidak bertentangan dengan semangat berbangsa dan bernegara. Karena itu

adalah nilai-nilai Islam yang menjadi hukum nasional.36

Menurut Masdar bukan persoalan berat atau tidaknya, akan tetapi

harus dilihat dari perbuatan itu sendiri. Jika memang perbuatan itu

mengharuskan hukuman potong tangan, maka hukuman potong tangan

tidaklah berat. Tetapi jika sebaliknya, maka tentunya hukuman itu dianggap

terlalu berat.37

Menurut Arwani juga bukan karena hukuman itu berat, Arwani setuju

dengan hukuman berat. Akan tetapi yang menjadi persoalan Arwani adalah

umat Islam berada diantara umat yang lain, dan mereka merasa keberatan

dengan hukuman itu, khawatir umat Islam akan pindah dari Islam karena

menganggap hukuman potong tangan terlalu berat jika diberlakukan di

Indonesia.38

Mengenai perlindungan terhadap pelaku yang dijatuhi hukuman

potong tangan, menurut Masdar dan Cholil orang tersebut berhak

35
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
36
Wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta.
37
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta.
38
Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
59

mendapatkan perlindungan dari pemerintah, bahkan sebelum dihukum pun

masyarakat tidak boleh menghakiminya atau menganiaya si pelaku tersebut.39

Namun pendapat keduanya dibantah oleh Arwani, menurut Arwani seorang

pelaku tindak kejahatan tidak dianggap mendapat perlindungan dari

pemerintah.40

Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbanyak, namun

di samping itu ada juga agama lain yang diakui kedudukannya. Hukuman

potong tangan adalah salah satu hukuman hudud dalam syariat Islam. Jika

hukuman potong tangan telah diadopsi menjadi hukum negara, maka

hukuman tersebut mengikat bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Ketiga

ulama NU di atas menyatakan bahwa jika hukuman itu telah disepakati

menjadi hukum yang berlaku di Indonesia, maka hukuman itu harus mengikat

kepada siapa saja tanpa terkecuali baik muslim maupun non muslim, karena

setiap hukuman yang telah dibuat adalah untuk kemaslahatan bersama.41

Menurut ketiga ulama NU juga, kemungkinan besar hukuman potong

tangan dapat diberlakukan di daerah Aceh. Karena kita ketahui bahwa Aceh

adalah daerah istimewa yang mendapatkan otonomi khusus untuk

menjalankan peraturannya sendiri. Karena ketentuan yang belum ada secara

tekstual maka tidak dianggap bertentangan, tetapi jika ketentuan hukuman itu

telah ada secara tekstual barulah hukuman itu dianggap bertentangan.

39
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis
di Jakarta.
40
Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
41
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis
di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
60

Apabila hukum itu belum termaktub di Indonesia, kemungkinan ada cela

untuk dilegalisasikan.42

Menurut ketiganya juga, meskipun hukuman itu diberlakukan di

daerah Aceh tetap perlu diadakan penafsiran kembali. Dari penafsiran itu,

maka akan diketahui ketentuan batas minimal dan maksimal serta alasan

seseorang itu melakukan perbuatan yang diancamkan hukuman potong

tangan.43

Hukuman potong tangan merupakan hukuman hudud yang

ketentuannya sudah diatur di dalam al-Qur’an. Menurut ulama NU jika

hukuman itu sudah tertera di dalam al-Quran dan telah ada batas-batasnya

serta ada yang melaksanakannya, maka hukuman potong tangan harus

dilaksanakan dan tidak bisa diganti dengan hukuman yang lain seperti

penjara.44

Setiap hukuman tentu akan ada hikmah dan tujuannya, begitupun

hukuman potong tangan yang merupakan hukuman yang telah ditetapkan oleh

Allah swt. Menurut ketiga ulama NU di atas, hikmah dan tujuan hukuman

potong tangan yaitu untuk kemaslahatan umum dan memberikan efek jera

dan rasa takut kepada si pelaku atau kepada orang lain, dan masyarakat akan

merasa terlindungi dengan adanya hukuman yang pasti.45

42
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
43
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
44
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis
di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
45
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancaradengan Arwani Faisal di Jakarta.
61

C. Perbandingan Pandangan Ulama Muhammadiyah Dan Nu Tentang

Hukuman Potong Dan Pemberlakuannya Di Indonesia

Di atas telah dipaparkan masing-masing pandangan ulama

Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan

pemberlakuannya di Indonesia. Pada bagian ini penulis akan membandingan

kedua pendapat ulama Muhammadiyah dan NU, sebagai berikut:

Pertama, hukuman potong tangan dalam syariat Islam. Ulama

Muhammadiyah dan NU menyatakan bahwa hukuman potong tangan adalah

hukuman bagi tindak pidana pencurian yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah

ayat 38. Menurut ulama Muhammadiyah dan NU hukuman potong tangan

sangat tepat diberikan kepada tindak pidana pencurian.

Pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong

tangan di atas, merujuk pada konsep fiqih yang menyebutkan bahwa hukum

potong tangan diberlakukan bagi pelaku pencurian yang telah terpenuhi

syarat-syaratnya.Dalam kitab Kifayatul Akhyar dikemukakan enam syarat

untuk dapat diberlakukan hukuman potong tangan, yaitu sebagai berikut:46

(1) Baligh,

(2) Berakal,

(3) Mencapai satu nisab, yaitu seperempat dinar,

(4) Harta itu milik orang lain,

(5) Harta tersebut tidak terdapat kesyubhatan,

46
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz I, (Semarang:
Maktabah Wamutba’ah Putra Semarang, tt), h. 188-192.
62

(6) Tangan kanan pencuri dipotong dibatas pergelangan. Kalau ia

mencuri yang kedua kalinya, kaki kirinya dipotong. Kalau ia

mencuri ketiga kalinya, tangan kirinya dipotong. Kalau ia

mencuri yang keempat kalinya, kaki kanannya dipotong. Kalau

ia mencuri lagi setelah itu, maka ia ditakzir.

Dalam Islam, pencurian merupakan salah satu jarimah hudud, di mana

hudud ialah hukuman yang didalamnya terdapat hak Allah yang disyariatkan

untuk kemaslahatan masyarakat. Jika hukuman yang di dalamnya terdapat

hak Allah, maka hukuman tersebut harus dilaksanakan sesuai yang

diperintahkan.47

Meskipun hukuman potong tangan dianggap sangat tidak manusiawi

bagi mereka yang menentangnya, hal itu tidaklah seperti yang mereka

fikirkan. Karena pada perakteknya hukuman potong tangan dilaksanakan

berdasarkan konteks yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah ayat 38.48 Hukuman

potong tangan lebih efektif dibandingkan dengan hukuman lain seperti

penjara, karena hukuman potong tangan dampaknya dapat dirasakan lagsung

baik oleh pelaku maupun orang lain.

Kedua, tujuan hukuman potong tangan menurut ulama

Muhammadiyah dan NU ialah sebagai efek jera terhadap pelaku atau

terhadap orang lain. Efek jera yang dimaksud ialah agar mereka merasa takut

terhadap hukuman yang diancamkan dan dapat mengurangi tindak kejahatan.

47
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam,(Jakarta:Indhil CO, t.th), h. 19.
48
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 82
63

Tujuan hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan

NU diatas tidak berbeda jauh dengan salah satu teori pemidanaan, yaitu teori

penjeraan (Detterence, afschrikking). Menurut teori penjeraan ini ditujukan

terhadap pelanggar hukum yang diwujudkan dalam bentuk pemidanaan.

Alasan teori ini dilandasi oleh pemikiran yang menyatakan bahwa ancaman

pidana yang dibuat oleh pemerintah akan mencegah atau membatasi


49
terjadinya kejahatan. Dari teori penjeraan tersebut maka dengan sendiri

akan timbul tujuan pencegahan dan perbaikan terhadap pelaku dan orang lain.

Pencegahan yang dimaksud dalam hal ini ialah menahan pelaku dan orang

lain agar tidak melakukan perbuatan jarimah. sedangkan perbaikan ditujukan

agar pelaku menjadi orang yang lebih baik dan menyadari kesalahannya.50

Dari teori pemidanaan di atas, jelas sekali bahwa pemidanaan yang

diberikan kepada pelaku tindak kejahatan bukan untuk menyakiti, tetapi

semata-mata dilakukan agar pelaku tindak kejahatan dan masyarakat umum

tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan orang lain.

Dengan demikian, akan terwujudlah rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh

seluruh masyarakat.

Ketiga, dalam pelaksanaan hukuman potong tangan, ulama

Muhammadiyah dan NU menyatakan hal yang sama yaitu pelaksanaannya

dilakukan oleh hakim melalui lembaga peradilan. Karena menurut keduanya,

hakim ialah orang yang mempunyai wewenang dalam menjatuhkan setiap

49
S.R. Sianutri dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penetensia di Indonesia, (Jakarta:
Alumni AHAEM –PETEHAEM, 1996), h. 25.
50
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h. 137-138.
64

hukuman, dan lembaga peradilan dalam tugasnya ialah mengadili setiap

perkara berdasarkan keputusan hakim.

Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah, bahwa yang

berhak melaksanakan hukuman hudud adalah penguasa atau para hakim yang

diberi kekuasaan oleh penguasa.51 Begitupun dalam perundang-undangan

Indonesia, hakim mempunyai wewenang dalam pelaksanaannya berdasarkan

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Negara Republik

Indonesia yang terdapat pada BAB IX pasal 24 yang terdiri dari dua ayat

sebagai berikut:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan lain-lain badan Kehakiman menurut undang-undang.

(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur

dengan undang-undang.52

Menurut UUD 1945, setiap instansi atau lembaga atau jawatan yang

disebut pengadilan adalah aparat atau bagian pelaksanaan dari kekuasaan

kehakiman.53 Hakim dan lembaga peradilan merupakan dua elemen yang

saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Karena semua ketentuan yang

telah diatur di dalam undang-undang maka dalam pelaksanaannya tidak bisa

dilakukan oleh perorangan dan di luar ketentuan yang berlaku.

Keempat, ulama Muhammadiyah dan NU setuju jika hukuman potong

tangan diberlakukan di Indonesia. Menurut keduanya ada kemungkinan besar

51
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma Ilmu, t.th),h.
180
52
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
53
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 50.
65

hukuman potong tangan dapat diberlakukan di Aceh, mengingat Aceh adalah

daerah istimewa yang diberi wewenang dalam melaksanakan peraturan

daerahnya sendiri.

Indonesia memang bukan negara muslim, tetapi Indonesia adalah

negara yang beragama. Dasar keagamaan Indonesia terdapat pada Pancasila,

dan dalam pembentukan hukum nasional di Indonesia nilai-nilai keagamaan

sangat diperlukan di dalam undang-undang. Untuk itu para ulama diatas

sangat menyetujui jika hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia.

Meskipun hukum pidana Islam tidak secara utuh diberlakukan di

Indonesia, namun dalam hal ini pemerintah memberikan wewenang kepada

Aceh untuk menjalankan peraturan daerahnya sendiri, begitupun dalam

penegakan syariat Islam. Seperti yang disampaikan oleh para ulama

Muhammadiyah dan NU, bahwa daerah Aceh adalah daerah istimewa yang

dipercayai oleh pemerintah pusat untuk menjalankan peraturan daerahnya

sendiri. Keistimewaan daerah Aceh terdapat pada Undang-Undang No. 18

tahun 2001 tentang OTSUS NAD.54 Dalam undang-undang tersebut

sebagaimana pada Bab III pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Kewenangan

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini

adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus”.55 Di daerah

Aceh sudah dibuat qanun-qanun yang memberlakukan hukum pidana Islam,

seperti:Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya,

Qanun No. 13 tahun 2003 tentang maisir, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang

54
Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang OTSUS NAD
55
Lihat BAB III Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang OTSUSNAD
66

khalwat.56Qanun-qanun tersebut dibuat untuk menjalankan undang-undang

otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah. Untuk itu, Aceh mempunyai

potensi untuk memberlakukan hukum potong tangan di daerahnya,

berdasarkan otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh.

Kelima, dalam hubungannya hukuman potong tangan dengan ideologi

negara, UUD 1945 dan KUHP menurut ulama Muhammadiyah dan NU

tidaklah bertentangan. Menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman

potong tangan dengan ideologi dan UUD 1945 ada kaitannya. Karena dalam

Pancasila yang menjadi dasar negara terkandung nilai-nilai keagamaan, yaitu

pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Begitu pun dengan UUD

1945 di mana pada Bab XI yang berjudul “AGAMA” pasal 29 ayat (1) yang

menyatakan, “kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha

Esa”.57

Adapun dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan negara

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan merupakan sendi pokok

dari agama. Dalam hal ini, secara konstitusional, beragama dan beriman

dijamin oleh negara.58 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila merupakan

dasar negara yang tidak menganut sekulerisme, sehingga dimungkinkan

hukum pidana Islam diberlakukan di Indonesia, karena nilai-nilai agama

termasuk agama Islam sangat dibutuhkan dalam pembentukan hukum

nasional.

56
Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya,Qanun No. 13
tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat.
57
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
58
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), h. 215.
67

Namun dalam kaitannya dengan KUHP, hukuman potong tangan

sesungguhnya bertentangan dengan KUHP. Karena di dalam KUHP hukuman

untuk tindak pidana pencurian bukanlah hukuman potong tangan, tetapi

hukuman penjara dan hukuman denda. Dalam KUHP jenis perumusan sanksi

pidananya menggunakan dua pilihan yaitu “penjara” dan “denda” yang

merupakan rumusan pokok, adapun hukuman mati dan lainnya merupakan

hukuman alternatif.59 Meskipun memang dalam pelaksanaannya hukuman

berdasarkan KUHP tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan, tetapi KUHP

telah menjadi undang-undang yang berlaku pada saat ini.

Keenam, dalam sistem pemberlakuan hukuman potong tangan,

menurut ulama Muhammadiyah dan NU hukuman potong tangan tersebut

harus berlaku bagi siapa saja baik muslim maupun non muslim yang berada

di dalam lingkungan yang telah menjadikan hukuman potong tangan menjadi

hukum nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama (Imam

Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) dan Imam Abu Yusuf, bahwa hukum

Islam berlaku atas jarimah yang dilakukan di negeri yang memberlakukan

hukum pidana Islam baik oleh penduduk muslim maupun non muslim yang

menetap yang terikat dalam perjanjian dan peraturan yang berlaku di wilayah

tertentu.60

Dalam KUHP pun dinyatakan ketentuan yang sama, yaitu pada Pasal

2 yang berbunyi: Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Republik

Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia
59
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
& Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 189.
60
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 55.
68

melakukan suatu tindak pidana.61Menurut pasal ini, setiap orang yang

melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia, baik ia penduduk

Indonesia maupun orang asing, maka harus dikenakan hukuman yang berlaku

di Indonesia. Begitupun jika hukuman potong tangan telah diadopsi menjadi

hukum nasional maka kedudukan semua warga negara disamakan, namun

sangat disayangkan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum

nasional bukan hukum Islam.

Dari perbandingan ulama Muhammadiyah dan NU di atas, penulis

tidak menemukan perbedaan pendapat dari keduanya. Menurut penulis ulama

Muhammadiyah dan NU sangat mendukung jika hukuman potong tangan

diberlakukan di Indonesia.

61
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hukuman potong tangan merupakan hukuman yang sangat mendasar

dalam hukum Islam, sebagaimana telah tertulis dalam Qs. Al-Maidah

ayat 38. Hukuman potong tangan dijatuhkan untuk pencurian yang telah

mencapai nisab tertentu dan terpenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan. Hukuman potong tangan tersebut dijatuhkan bukan semata-

mata untuk kepentingan pribadi, tetapi hukuman tersebut dijatuhkan

untuk kemaslahatan bersama.

2. Hukuman potong tangan menurut pandangan ulama Muhammadiyah dan

NU ialah hukuman untuk tindak pidana pencurian sebagaimana yang

telah diatur di dalam al-Quran, hadits dan ijma para ulama. Hukuman

potongan tangan dijatuhkan bagi tindak pidana pencurian yang semata-

mata bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memberikan pencegahan

dan efek jera kepada pelaku atau orang lain.

3. Sejauh ini hukuman potong tangan belum pernah diberlakukan di

Indonesia, tetapi ulama Muhammadiyah dan NU menyatakan setuju jika

hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia. Hukuman potong

tangan dianggap lebih efektifdibandingkan dengan hukuman penjara,

karena hukuman potong tangan dapat memberikan efek langsung baik

69
70

kepada pelaku maupun kepada orang lain, dan hukuman potong tangan

diyakini dapat mengurangi tindak kejahatan terutama pencurian.

4. Khusus di Aceh, menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman

potong tangan ada potensi besar dapat diberlakukan di Aceh, mengingat

Aceh adalah daerah yang mempunyai keistimewaan khusus dalam

menjalankan peraturan daerahnya sendiri. Meskipun hukuman potong

tangan tersebut diberlakukan di Aceh, namun tetap perlu dilakukan

penafsiran kembali guna menghindari kekeliruan dalam pelaksanaan

hukuman potong tangan. Tetapi dalam hal ini, hukuman potong tangan

tidak bisa diganti dengan hukuman lain seperti penjara. Karena memang

hukuman potong tangan adalah hukuman yang sangat mendasar dan

sudah diatur di dalam al-Qur’an, maka hukuman potong tangan harus

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ada.

5. Hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan NU tidak

bertentangan dengan ideologi negara, UUD dan KUHP. Karena hukum

Islam merupakan salah satu sumber dalam pembentukan hukum nasional,

dan nilai-nilai agama sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan hukuman

yang salah satunya terdapat dalam pancasila sila yang pertama

“Ketuhanan yang Maha Esa”.

6. Hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan NU

tidaklah dianggap berat jika diberlakukan di Indonesia, karena pada

prinsipnya setiap hukuman adalah untuk memberikan efek jera dan

memberikan kemaslahatan bagi semuanya. Hukuman potong tangan akan


71

mengikat kepada semuanya tanpa terkecuali, jika hukuman tersebut telah

disepakati bersama menjadi hukum nasional.

B. Saran

1. Kepada Pemerintah dan DPR diharapkan agar meninjau kembali

hukuman yang ada pada KUHP, karena jika dilihat dari hukuman yang

terdapat dalam pasal-pasal KUHP hukuman-hukuman tersebut tidak

menimbulkan efek jera kepada pelaku kejahatan taupun masyarakat

umum.

2. Kepada pemerintah dan DPR diharapkan untuk segera melegalisasikan

hukuman potong tangan menjadi undang-undang. Mengingat akhir-akhir

ini angka kriminalitas semakin tinggi, hal itu disebabkan kurang adanya

pengaturan hukum yang tegas. Untuk itu hukuman potong tangan lebih

efektif dalam mencegah tindak kejahatan terutama pencurian.

3. Kepada Intelektual dan Sarja Muslim Indonesia diharapkan untuk lebih

mengembangkan ilmu hukum pidana Islam di Indonesia, agar masyarakat

lebih mengenal dan memahami bahwa hukum pidana Islam sangatlah

tepat jika diterapkan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an.
Abu Bakar, Al-Yasa’, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005.

Abu Syubhah, Muhammad Ibn Muhammad, Al-Hudud Fi Al-Islam, Kairo:


Amieriyyah-Kuwait, Dar Al-Qalam, 1990.

Al-Atskolani, Al-Hafidz Ahmad bin Hajr, Bulughul Marom, Surabaya: Sarikat


Bengkulu indah, tt.

Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar, juz I, Semarang:


Maktabah Wamutba’ah Putra Semarang, tt

Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Subulus as-Salam,juz 2, Bandung: Dahlan, tt

Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia.

Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

An-Nisaburi, Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hijjaj al-Qusyairi, Shohih


Muslim, Bairut-Libanon: Dar Al-Kitab Al-ilmiyah, 1972.

Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar sejarah,


Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

As-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi, Sunan Abu Dawud, t.tk-
Darul Fikr, tt

Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid I, Bogor: Kharisma
Ilmu, 2008.

Audah, Abdul Qodir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid III, Bogor: Kharisma
Ilmu, 2008.

72
73

Audah, Abdul Qadir, Ensik Lopedi Hukum Pidana Islam, jilid IV, Bogor:
Kharisma Ilmu, 2008.

Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid V, Bogor: Kharisma
Ilmu, 2008.

Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Segi tentang Prinsip-Prinsip


dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah
dan Masa Kini, Jakarta: Kencana, 2007.

Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005.

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang 2005.

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Hidayatullah, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pencurian


Uang Melalui Internet Banking, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. Skripsi (tidak diterbitkan).

I Doi, Abdurahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
1992.

Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Irfan, Muhammad Nurul, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah,
2013.

Irfan, Muhammad Nurul dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah, Jakarta: Amzah, 2009.

Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU,


Jakarta: Universitas Yarsi, 1998.

Karim, M Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik: suatu Kajian Mengenai
Implikasi Kebijakan pembangunan Bagi Keberadaan ”Islam politik” di
Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
(Anggota IKAPI), 1999.

Kutoyo, Sutrisno, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah,


Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.

Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan


Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta: Indhill
CO, t.t.
74

Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi


Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Inis, 1993.

Mughits, Abdul, Ushul Fikih Bagi Pemula, Jakarta : Artha Rivera, tt.

Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam, Jakarta: Logos, 2003.

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.

Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1987.

Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho, Sejarah Nasional Zaman


Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda -cet.3, Jakarta: Balai
Pustaka, 2009.

Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya.

Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).

Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).

Ramulyo, Mohammad Idris, Azaz-Azaz Hukum Islam Sejarah Timbul dan


Berkembangnya, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 4, Bandung: Alma’arif, 1977.

Said, Muhammad, Peranan Islam Dalam Penghayatan, Pengamalan dan


Pengamanan Pancasila, Jakarta: Departemen Agama RI, 1985.

Salleh, Siti Katijah Binti, Pelaksanaan Hukum Pidana Pencurian Enakmen


Kesalahan Jinayah Syariah Di Terengganu, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010. Skripsi (tidak diterbitkan).

Sholehuddin, M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System & Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya.


Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1986.

Sianutri, S.R. dan Panggabean, Mompang L., Hukum Penetensia di Indonesia,


Jakarta: Alumni AHAEM –PETEHAEM, 1996.
75

Sularno, M., “Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di


Indonesia”, Al-Mawardi, XVI, (2006).

Suma, Muhammad Amin, dkk, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek, dan
Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial


Politik di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2005.

Syafi’i, Inu Kencana, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Bandung: Refika


Aditama, 2003.

Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic


Education) Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Prenada Media Group, 2010.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang OTSUS NAD.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

Wawancara pribadi dengan Arwani Faisal, pada 11 Desember 2014 pukul 16: 00
di Jakarta.

Wawancara pribadi dengan Cholil Nafis padal 03 Desember 2014 pukul 14:30 di
Jakarta.

Wawancara pribadi dengan Fahmi Salim, pada 07 Januari 2015 pukul 11:30 WIB
di Jakarta.

Wawancara pribadi dengan Ma’rifat Iman, pada 23 Desember 2014 pukul 12:30
WIB di Jakarta.

Wawancara pribadi dengan Masdar Fuadi Mas’ud, pada 19 Desember 2014 pukul
15: 30 di Jakarta.

Wawancara Pribadi dengan Risman Muchtar, pada 03 Desember 2014 pukul


15:30 WIB di Jakarta.
76

www.mui.or.id

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, tt.


Zuhaili, Wahbah, Fikih Imam Syafi’i, Terbitan Al-Mahira, Cet 1, 2010.

Anda mungkin juga menyukai