Anda di halaman 1dari 66

PENEGAKAN HUKUM PIDANA ILLEGAL LOGGING PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DAN HUKUM ISLAM

(Analisis Putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

NASIR WIRAWAN SINAGA

NIM: 11180454000008

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2022 M
II
III
IV
ABSTRAK
Nasir Wirawan Sinaga. NIM 11180454000008. "PENEGAKAN HUKUM
PIDANA ILLEGAL LOGGING PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM. (Analisis Putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk)". Program Studi Hukum
Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1443 H / 2022 M.
Skripsi ini membahas tentang bagaimana penerapan sanksi yang tepat terhadap
pelaku illegal logging, bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku illegal logging, bagaimana analisis putusan terhadap pelaku illegal
logging, dan bagaimana perspektif hukum pidana dan hukum pidana islam terhadap pelaku
illegal logging. Tentunya hal itu berdasarkan UU. No. 41/1999 tentang kehutanan dan UU.
No. 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Serta tidak lupa
juga berdasarkan Al Quran dan Hadits.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, sumber data terdiri
dari data primer yaitu putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk terhadap pelaku illegal
logging, UU. No. 41/1999 tentang kehutanan dan UU. No. 18/2013, tentang pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan. Serta data sekunder berupa data pustaka yang
dihimpun dari sejumlah buku, jurnal, surat, kabar, media internet, dan sumber bacaan
lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
studi kepustakaan.
Hasil dari penelitian ini adalah menjawab mengenai putusan tindak pidana illegal
logging melalui peraturan perundang-undangan, dan analisa penulis terhadap putusan
perkara No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk.
Kata kunci : Tindak Pidana, Illegal Logging, Maqashid Syariah.
Pembimbing : Ali Mansur, M.A. dan Fathudin, S.Hi., S.H., MA.Hum., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d. Tahun 2018

V
KATA PENGANTAR

ِ‫ِِالر ِحي ِْم‬


َّ ‫ِِالرحْ َم ِن‬
َّ ‫للا‬
ِ ِِ‫ْــــــــــــــــــم‬
ِ ‫ِبس‬
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, inayah dan taufik Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas akhir dalam menempuh studi di jurusan Hukum Pidana Islam (Jinayah), program
studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat manusia di
seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial kehidupan kita yang kita
harapkan syafaat nya kelak di akhirat.
Selanjutnya penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada
semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik dalam bentuk
dorongan moril maupun materiil. Karena penulis tanpa dukungan serta bantuan tersebut,
sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu atas terselesaikan nya penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1. Kedua orang tua tercinta penulis, Ayah Najamuddin Sinaga, Ibu Ervi Suraida
Tumanggor yang selalu berjuang keras dalam memberikan support baik moril
maupun materil, memberikan semangat serta tak lupa mendoakan penulis dalam
setiap shalatnya agar penulis mampu menyelesaikan kuliah starata satu ini. Semoga
kedua orang tua penulis di berikan umur yang panjang, murah rezeki dan diberikan
kesehatan oleh Allah SWT serta kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Kepada orang tua angkat penulis selama mengenyam pendidikan di Ciputat, yang
dengan tulus mengajari penulis dari pertama masuk kuliah hingga menyelesaikan
studi strata satu, yaitu Abah Fahmi Muhammad Ahmadi. M,Si dan Umi Ida
Widiawati yang tidak pernah bosan membimbing penulis, dan yang selalu support
dengan berbagai masakan enaknya, sehingga penulis bisa merasakan masakan yang
enak khas masakan ibu, walaupun penulis jauh berada dari rumah.

VI
3. Kepada Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Kepada Bapak H. Qosim Arsadani, M.A. selaku Ketua Program Studi Hukum
Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Yang mana selalu mendorong penulis dengan nasihat, motivasi dan bantuannya lah
penulis selalu semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada Bapak M. Mujibur Rohman, M.A. selaku Sekertaris Program Studi Hukum
Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam
keperluan berkas-berkas persyaratan untuk untuk menyelesaikan skripsi ini,
sekaligus memberi arahan kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi penulis
hingga tuntas.
6. Kepada dosen pembimbing akademik penulis yaitu Bapak Dr. Mu'Min Roup, M.A.
yang senantiasa membantu proses akademik penulis selama berkuliah di awal
semester hingga tuntas.
7. Kepada Bapak Ali Mansur, M.A selaku Dosen Pembimbing I yang selalu
meluangkan waktu membantu dengan memberi masukan, nasihat dan saran yang
tak kenal lelah dalam proses penyusunan tulisan ini dari awal hingga akhir, hingga
dapat terselesaikan seperti sekarang ini.
8. Kepada Bapak Fathudin, S.Hi., S.H., MA.Hum., M.H. selaku Dosen Pembimbing
II yang selalu meluangkan waktu membantu dengan memberi masukan, nasihat dan
saran yang tak kenal lelah dalam proses penyusunan tulisan ini dari awal hingga
akhir, hingga dapat terselesaikan seperti sekarang ini.
9. Kepada keluarga penulis yaitu adik kandung penulis yaitu Ajlan Najib, Khairuddin,
dan Najril Arba, serta sanak family penulis.
10. Kepada Mutiara Kemala yang selalu support penulis, memberi semangat dan selalu
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan studi.

VII
11. Kepada teman-teman sejawat penulis yaitu: Aji, Sukma, Arif, Rifqi, Taufik, Amin,
Samsul, Udin, Luqman, Bimas, Sulhan, Adil, Alfan, Hafis, Wahid, Fandi, Istofa,
Dermawan, Agung, Anwar, dll
12. Kepada para senior ciputat yaitu bang Hafis, Heri Mukhtar, Syukrian, Dhika, Jijay,
Herman, Ibong, Enday, Adnan, Mail, Baginda, Try, Dimas, Eka, Ucok, Dani,
Santo, Irfan, dan bang Maman, dll
13. Keluarga Besar LKBHMI Cabang Ciputat, yang selalu support penulis dan menjadi
tempat berdialektika penulis dan tempat ter-istimewa penulis selama di ciputat
sehingga penulis bisa menjadi sebagaimana diri penulis hari ini.
14. Keluarga Besar Pemuda Muhammadiyah Cabang Barus Mudik yang menjadi
tempat berproses penulis selama berada di Barus.
15. Para senior dan guru-guru yang telah memberi arahan, support, dan motivasi
kepada penulis sehingga bisa terselesaikannya tugas akhir ini.

Terakhir, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga pada pihak-


pihak yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang turut andil dalam
mendukung dan men-support secara lahir maupun batin. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan kalian semua. Aamiin.

Jakarta, 14 Juli 2022

Nasir Wirawan Sinaga

VIII
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... II
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................... III
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... IV
ABSTRAK ........................................................................................................................V
KATA PENGANTAR .................................................................................................... VI
DAFTAR ISI ................................................................................................................... IX
BAB I. PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................................1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................................5
C. Pembatasan Masalah ...............................................................................................5
D. Perumusan Masalah .................................................................................................5
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................................6
F. Manfaat Penelitian ..................................................................................................6
G. Metode Penelitian ...................................................................................................7
H. Sistematika Pembahasan .........................................................................................9
BAB II. ILLEGAL LOGGING PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
A. Kerangka Teori ......................................................................................................10
1. Teori Maqashid Syar’iah..................................................................................10
2. Teori Pemidanaan ............................................................................................12
3. Teori Penegakan Hukum..................................................................................13
4. Teori Pertanggungjawaban Pidana ..................................................................14
B. Kerangka Konseptual
1. Illegal Logging .................................................................................................15
2. Illegal Logging Menurut Undang-Undang ......................................................16
3. Illegal Logging Menurut Fikih Jinayah ...........................................................17
C. Studi Terdahulu ......................................................................................................18
BAB III. DESKRIPSI KASUS ILLEGAL LOGGING.
A. Illegal Logging didalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 .............................22
IX
B. Duduk Perkara .......................................................................................................26
1. Identitas Terdakwa ...........................................................................................26
2. Kronologis Kasus .............................................................................................27
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum .....................................................................28
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ......................................................................28
5. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara ..............................................29
6. Amar Putusan ...................................................................................................29
C. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara ....................................................30
BAB IV. ANALISISIS HUKUM PUTUSAN NO. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk.
A. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Illegal Logging Dalam Perspektif
Hukum Pidana ........................................................................................................32
B. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Illegal Logging Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam ..............................................................................................39
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................51
B. Saran-Saran ............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... XI
LAMPIRAN

X
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Di dalam undang-undang perlindungan hutan Nomor 41 Tahun
1999, bahwasanya perlindungan hutan, dan sejumlah larangan tegas
(ketentuan pidana) yang ditunjukkan untuk setiap orang untuk diberikan
izin usaha dalam pemanfaatan hasil hutan agar tidak melakukan perbuatan
yang dapat merusak hutan. Illegal logging atau penebangan hutan yang
secara liar dilakukan adalah merupakan tindak kejahatan dengan cara
menebang pohon atau memanen dan memungut hasil hutan tanpa hak atau
izin dari pejabat yang berwenang. 1 Sehingga dipandang sebagai suatu
perbuatan yang dapat merusak hutan di negara Indonesia yang harus
dicegah dan diberantas. Dalam pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar
1945, yaitu “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Terjadinya kejahatan illegal logging telah menimbulkan banyak
dampak negatif terhadap kerusakan ekosistem (habitat), banjir, tanah
longsor, dan punahnya hewan dan tumbuhan. Penebangan pohon yang
meningkat ini berkaitan dengan:
1. Kebutuhan kayu semakin meningkat.
2. Ekspor hasil hutan yang semakin meningkat.
3. Industri yang semakin maju yang menggunakan hasil hutan sebagai
bahan bakunya.2
Dengan ini, Negara Indonesia membuat pemerintahan dengan
menyelenggarakan pembangunan yang pada dasarnya mengarah pada
perubahan positif dan sangat mengantisipasi pada kerusakan hutan.

1
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet-4), hlm.,
27.
2
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, (Jakarta:
Erlangga, 1995, Cet-1), hlm., 1.

1
2

Perubahan ini dilakukan dan didorong oleh pandangan optimis berorientasi


masa depan yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat.
Dengan kata lain pembangunan merupakan suatu proses yang
dibutuhkan dan terus berkesinambungan untuk meningkat kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu pemerintah Indonesia menyusun peraturan
demi menjaga keselamatan hutan dari pihak tidak bertanggung jawab yang
melakukan penebangan liar (illegal logging) tepatnya diatur dalam Undang-
Undang sebagai berikut:
1. UU Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hutan, Undang-
Undang ini mengatur bahwa setiap orang yang mengangkut, menguasai
atau memiliki hutan harus memiliki sertifikat izin yang sah, baik secara
izin menguasai maupun untuk mendapatkan hasil hutan.3
2. UU Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Kawasan Hutan,
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dihindari tanpa mengubah
fungsi pokok kawasan hutan. Kepentingan pembangunan diluar
kegiatan kehutanan yaitu terdapat dalam pasal 4 ayat 2 meliputi
kegiatan: agama, instalasi pembangkit tenaga listrik, pembangunan
jaringan telekomunikasi dan fasilitas umum lainnya.4
3. UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Perusakan Hutan. Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa illegal logging
adalah proses atau aktivitas perusakan hutan oleh pembalakan liar,
penggunaan lahan hutan tanpa izin, atau pengguna izin ilegal yang tidak
sah. Kemudian, pasal 1 ayat 7 kita membaca bahwa mencegah

3
UU No. 60 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Hutan.
4
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafik, 2012, Cet-2), hlm., 300.
3

perusakan hutan berarti segala upaya yang dilakukan untuk


menghilangkan kemungkinan terjadinya perusakan hutan. 5
Dengan adanya regulasi yang mengatur tentang perlindungan
kawasan hutan, tidak mungkin untuk menghilangkan kemungkinan tidak
terjadi tindak pidana illegal logging karena tingginya permintaan kayu
untuk pembangunan rumah dan barang-barang lainnya.6
Pada dasarnya setiap manusia juga mempunyai hak untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang ada, tetapi mereka juga dihimbau
dan diharapkan oleh pemerintah untuk mempunyai kesadaran terhadap
lingkungannya dan dampak buruk yang ditimbulkan dari tindak pidana
tersebut. Oleh karena itu sumber daya alam sangat penting dijaga bagi
kelangsungan hidup manusia, sehingga manusia mempunyai kewajiban
untuk mempertahankan ketersediaan sumber-sumber daya alam melalui
pengelolaan.7
Berkaitan alam dan lingkungan hidup ini, Allah SWT telah
menciptakan alam semesta dengan segala isi nya dalam susunan yang
seimbang dan teratur.
Alam semesta yang luas ini mempunyai artistik yang sangat tinggi
yang secara garis besar dikelompokkan kedalam alam macrocosmos dan
microcosmos. Macrocosmos termasuk segala makhluk dalam skala besar,
seperti matahari dan segenap tata suryanya. Microcosmos termasuk
mencakup benda-benda baik yang mati maupun yang hidup dalam skala
kecil. Di dalam alam microcosmos antara lain jasad repik dan juga struktur
yang tak bisa di amati dengan mata kepala. 8
Dalam konsep fiqh lingkungan konteks ini sesuai dengan Maqashid
Al-Syariah yang di dalam konteks lingkungan hidup ini berkaitan dengan

5
UU RI No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan
Hutan.
6
Dyes Supardi. Pembebasan Hak yang Tersandera, (Yogyakarta: Penerbit BP Arupa,
2006), hlm., 2.
7
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013,
Cet-3), hlm., 163.
8
Sahrul Amin, Sains Tekhnologi dan Islam, (Jakarta: Dinamika, 1996), hlm., 134.
4

konsep mashlahah, karena dalam pengertian sederhana, mashlahah


merupakan sarana untuk merawat maqasahid syariah. Contoh konkritnya
adalah dari mashlahah ini adalah pemeliharaan atau perlindungan terhadap
lima kebutuhan primer (Ushul al-khamsah), 1. Perlindungan terhadap
agama (Hifzh al-Din), 2. Perlindungan Jiwa (Hifzh al-Nafs), 3. Perlindungan
Akal (Hifzh al-Aql), 4. Perlindungan keturunan (Hifzh al-Nasl), 5.
Perlindungan harta benda (Hifzh al-Mal). Kelima hal tersebut merupakan
tujuan syariah (Maqashid Al-Syariah) yang harus di rawat. Di dalam
lingkungan hidup sudah jelas termasuk dalam Maqashid Al-Syariah yang
dimana lingkungan hidup ini harus kita jaga kelestariannya untuk
kesejahteraan beraneka ragam makhluk hidup lainnya.9 Menjaga kelestarian
lingkungan hidup, merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan
syariat tersebut. Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada
pengrusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam
jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, menjaga lingkungan hidup sama
dengan menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta.
Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek jiwa, akal, keturunan, dan
harta rusak, maka eksistensi manusia dalam lingkungan menjadi ternoda.
Dalam konsep fiqh lingkungan yang dirumuskan oleh para cendekiawan
muslim mencerminkan dinamika fiqh terkait dengan adanya perubahan
konteks dan situasi. Ada dua rumusan metode yang digunakan dalam fiqh
lingkungan, yakni mashlahah dan maqasahid syariah.10
. Pengelolaan hutan adalah usaha untuk mencegah kerusakan hutan.
Hal itu sangat diperlukan, karena hutan merupakan kekayaan milik bangsa
dan negara yang tak ternilai. Sehingga hak negara atas hutan dan hasilnya
perlu dijaga, dipertahankan, dan dilindungi agar hutan dapat berfungsi
dengan baik.

9
Ahmad Syafi’i. Fiqh Lingkungan: Revitalisasi Ushul al-Fiqh Untuk Konservasi dan
Restorasi Kosmos, hlm., 3.
10
Yusuf Al Qardhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terjemahan Abdullah Hakim
Shah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar: 2001, Cet-1), hlm., 46.
5

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat penulis


simpulkan bahwasannya perlindungan terhadap lingkungan hutan harus
terus ditegakkan karena pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang
dirugikan terutama dari adanya tindakan illegal logging yang marak terjadi
di Indonesia. Untuk permasalahan tersebut maka penulis tertarik membuat
penelitian dan hasil penelitian dituangkan dalam judul.
“Penegakan Hukum Pidana Illegal Logging Perspektif Hukum
Positif Dan Hukum Islam” (Analisis Putusan No.
139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk)

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas,
maka identifikasi beberapa permasalahan yang timbul dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Ketentuan Hukum Positif tentang Penegakan Hukum Pidana illegal
logging.
2. Ketentuan Hukum Islam tentang Penegakan hukum pidana illegal
logging.
3. Penegakan hukum pidana illegal logging di wilayah hukum Sidikalang.
4. Kurangnya tindakan yang tegas dari aparat yang berwenang.

C. Pembatasan Masalah
Merujuk pada pembahasan diatas, penulis membatasi permasalahan
yang akan dituangkan dalam penulisan skripsi agar tidak terlalu luas di
dalam pembahasannya. Penulis akan membahas mengenai penegakan
hukum pidana illegal logging perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam"
(analisis putusan no. 139/pid.b/lh/2020/pn sdk)

D. Perumusan Masalah
Setelah dipaparkan identifikasi masalah dan batasan masalah, dalam
hal ini peneliti akan merumuskan beberapa permasalahan yang berhubungan
6

dengan judul skripsi ini yang akan dijadikan pedoman dalam membahas
obyek penelitian sehingga hasilnya mencapai sasaran yang dimaksudkan.
Maka, rumusan masalahnya yaitu:
1. Bagaimana perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam
tentang illegal logging?
2. Bagaimana penerapan hokum dalam putusan no. 139/pid.b/lh/2020/pn
sdk dalam penegakan illegal logging?

E. Tujuan Penelitian
Setelah dipaparkan rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan
dari penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan akademik dan tujuan umum, dua
tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan gambaran maupun penjelasan serta pandangan
hukum pidana dan hukum Islam terhadap putusan no.
139/pid.b/lh/2020/pn sdk.
2. Untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam memutus perkara
dalam penegakan hukum pidana Illegal Logging pada putusan
no.139/pid.b/lh/2020/pn sdk.

F. Manfaat Penelitian
Adapun mengenai manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi
ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, dua manfaat tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Menambah keilmuan mengenai hukum pidana Islam dan hukum
pidana positif khususnya penegakan hukum pidana Illegal Logging
dalam melestarikan lingkungan dan memperkaya dunia pendidikan
dengan menjadi acuan akademisi Indonesia dalam penulisan karya
ilmiah lainnya di masa sekarang ataupun di masa depan.
7

2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan
masukan kepada pemerintah, penegak hukum serta masyarakat
mengenai pentingnya melestraikan fungsi lingkugan. Sehingga nantinya
negara akan lebih memperhatikan hal seperti ini agar kedepannya Illegal
Loging bisa lebih dimaksimalkan penegakannya dan berbuah pada
lingkungan yang baik dan terjaga.

G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.11 Dalam pendekatan penelitian ini
penulis menggambarkan pengaturan penerapan hukuman tindak pidana
hasil hutan yang tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan senantiasa berpijak pada landasan hukum positif dan
syara', yaitu Al-Quran dan as- Sunnah, undang-undang tentang
kehutanan, undang-undang perlindungan hutan, serta kaidah-kaidah
hukum baik untuk pembenarannya maupun norma atas masalah yang
ada.
2. Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan jenis penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu metode penelitian yang lebih
menekankan pada aspek pemahaman yang mendalam terhadap suatu
masalah sesuai yang diteliti. Penelitian kualitatif ini ditujukan untuk
memahami segala fenomena sosial dari sudut pandang masyarakat.
Penelitian kualitatif yakni penelitian yang digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek alamiah dimana peneliti serta masyarakat menjadi
instrumen penting. Serta data kualitatif yaitu data yang berbentuk

11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm., 35.
8

pendapat atau sebuah pernyataan sehingga tidak berupa angka, akan


tetapi berupa kata atau kalimat.
3. Teknik dan Sumber Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder
maka pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan
penelitian kepustakaan (library research).12 Analisis terhadap peraturan
perundang-undangan, yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penulisan skripsi ini adalah peraturan
perundang-undangan, dan di dalam Undang-Undang No. 41 Tahun
1999, Undang-Undang No. 18 Tahun 2013, Al-Qur’an, Hadist, dan
Kaidah Fiqih yang berhubungan dengan skripsi ini.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari berupa
buku, jurnal, surat kabar, internet dan sumber lainnya yang
berhubungan dengan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Setelah penulis melakukan berbagai proses pengumpulan data.
Maka kemudian penulis akan mengolah data-data yang sudah penulis
peroleh menggunakan teknik analisis secara kualitatif, yakni analisis
data dengan cara menguraikan data secara bermutu dalam bentuk
kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif,
sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman dari hasil
analisis.13
Pada penelitian ini, menurut Miles dan Huberman menyatakan serta
memaparkan bahwa analisis kualitatif ini terdiri dari tiga jalur perolehan

12
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Ciputat, 2010, Cet-1), hlm., 12.
13
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet-5),
hlm., 176.
9

data yakni: reduksi data, pengajian data dan penarikan kesimpulan. 14


Tujuan dari dilakukannya analisis kualitatif ini tak lain untuk
menemukan jawaban secara ilmiah.

G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah memahami isi skripsi dan mencapai sasaran
seperti yang diharapkan, maka penulis membagi isi skripsi ke dalam lima
bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab. Secara teknis penulisan
skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.
Adapun sistematika pembahasannya sebagai berikut:
Bab I Bab ini memuat latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, sistematika pembahasan.
Bab II Bab ini memuat deskripsi umum tentang hukum
pidana, tindak pidana, dan kerangka teori serta
kerangka konseptual illegal logging.
BAB III Bab ini memuat deskripsi kasus putusan Mahkamah
Agung, meliputi kronologis perkara dan putusan
hakim terhadap pelaku illegal logging.
Bab IV Bab ini membahas analisa putusan dalam perspektif
hukum pidana dan hukum pidana islam, serta
persamaan hukum islam dan hukum pidana terhadap
pelaku tindak pidana illegal logging.
Bab V Bab ini merupakan bab penutup yang memuat
kesimpulan dan saran yang diambil berdasarkan hasil
dari penelitian yang dilakukan.

14
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: CV
Jejak, 2018, Cet-1), hlm., 237.
BAB II
ILLEGAL LOGGING PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.

A. Kerangka Teori
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat
yang telah dikemukakan sebagai suatu keterangan tentang suatu peristiwa
atau kejadian dan asas-asas, hukum-hukum umum yang menjadi dasar dari
suatu kesenian atau ilmu pengetahuan serta adanya cara-cara dan aturan-
aturan untuk melakukan sesuatu.
Analisis penelitian dalam skripsi ini dapat direalisasikan dengan
rinci dan sistematis serta menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan
keinginan, maka dalam hal ini dibutuhkan teori yang mendukung yang dapat
digunakan serta dapat membantu dalam menganalisis masalah yang dibahas
dalam penelitian ini.
1. Teori Maqashid Syar’iah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu
Maqashid dan Syariah. Maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan,
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari Maqsud yang berasal dari suku
kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Dalam hal
ini yang dimaksud dengan Maqashid adalah hal-hal yang di kehendaki
dan dimaksudkan. Sedangkan Syariah secara bahasa berarti artinya
jalan menuju sumber air, jalan menuju air juga diartikan berjalan
menuju kehidupan.1
Maqashid Al-Syariah adalah maksud dan tujuan yang di
syariatkannya hukum Islam. Secara umum bisa juga dikatakan bahwa
Maqashid Al-Syariah adalah konsep untuk mengetahui nilai-nilai dan
sasaran yang mengandung syara’ yang tersurat dan tersirat dalam al-
Qur’an dan Hadist. Allah SWT menetapkannya terhadap manusia dan

1
Ahmad Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progresif; 1997, Cet-14), hlm., 712.

10
11

tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan
dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Untuk
mencapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan
Dahrurriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat
(sekunder) dan Tahsiniat (tersier). Dalam kemaslahatan tersebut dengan
sinkronisasi dalam Maqashid Al-Syariah bisa di kategorikan juga
menjadi dua pokok baik yang pencapaiannya dengan cara menarik
kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudharatan.
Kemaslahatan inilah yang menjadi dasar dalam Maqashid Al-
Syariah sebagai tujuan Syariah, seperti yang telah dihitung juga oleh
ulama dengan nama al-Kulliyat alKhams (lima hal inti/pokok) yang
mereka anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan syariat yang harus dijaga.
Ada 5 hal inti yang harus dijaga dan di lindungi dalam Maqashid Al-
Syariah yaitu: 1) Menjaga Agama (Hifdz ad-Din), 2) Menjaga Jiwa
(Hifdz an-Nafs), 3) Menjaga Akal (Hifdz al-Aql), 4) Menjaga Harta
(Hifdz al-Mal), 5) Menjaga Keturunan (Hifdz an-Nasl). Dengan
demikian inilah yang menjadi pokok inti dalam Maqashid Al-Syariah
yang harus di perhatikan untuk tetap berjalan sesuai dengan syariat
Islam.2
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid al-Syariah adalah suatu alat
bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits,
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum
terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan
Maqasid Al-Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetap
merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode
pengambilan hukum.

2
Ahmad Al-Mursi H.J, Maqashid Syariah (Jakarta: AMZAH, 2013, Cet-3), hlm., 25.
12

2. Teori Pemidanaan

Menurut Sudarto, pengertian pidana ialah penderitaan yang sengaja


dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri
sebagai berikut:3
a. Pada dasarnya pidana merupakan suatu penderitaan atau nestapa
atau akibat-akibat dan pengenaan yang tidak disengaja.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang).
c. Pidana diberikan terhadap orang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
d. Pidana merupakan kata-kata pencelaan oleh Negara atas diri
seseorang karena telah melanggar hukum.
Berdasarkan unsur diatas, dapat diartikan bahwa penjatuhan pidana
adalah suatu penderitaan yang diberikan terhadap orang yang melanggar
suatu perbuatan yang telah dilarang dan dirumuskan oleh undang-
undang. Penjatuhan pidana juga berhubungan dengan Stelsel pidana.
Stelsel pidana berisi tentang jenis pidana, cara penjatuhan pidana, begitu
pula mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan
pidana. Stelsel Pidana Indonesia diatur dalam buku I KUHP dalam bab
2 dari pasal 10 sampai dengan 43.
Menurut Stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok,
antara pidana pokok dan pidana tambahan, Pidana pokok terdiri dari;
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana
tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari; pidana pencabutan
hak-hak tertentu, pidana perampasan barang-barang tertentu, pidana
pengumuman keputusan hakim.
Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP telah mengelompokan
jenis-jenis pidana kedalam pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun

3
Bambang Waluyo, pidana dan Pemidanaan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2004), hlm.,
135-137
13

perbedaan antara jenis pidana pokok dan jenis pidana tambahan ialah
sebagai berikut;
a. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok memiliki sifat keharusan,
sedangkan penjatuhan pidana tambahan memiliki sifat fakulatif.
b. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan adanya
penjatuhan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan
menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tidak ada
penjatuhan pokok.
c. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, apabila telah mempunyai
kekuatan hukum tetap diperlukan suatu tindakan pelaksanaa.

3. Teori Penegakan Hukum


Penegakan hukum merupakan suatu proses yang mana dapat
menjamin suatu kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum
dengan menjaga keselarasan, keseimbangan, dan keserasian antara
moralitas sipil yang juga didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam
masyarakat beradab.4
Penegakan hukum sejatinya mencerminkan sistem bekerja atau
sistem berfungsinya aparat penegak hukum dalam menjalankan
fungsinya masing-masing dalam bidang penegakan hukum. Dengan
demikian secara struktural, penegakan hukum merupakan sistem
operasional dari berbagai profesi penegak hukum. Menurut Lawrence
M. Friedman yang menjelaskan bahwa efektif dan berhasil tidaknya
penegakan hukum dilihat dari tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur
hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law), dan
budaya hukum (legal culture). Struktur hukum yang berkaitan dengan
aparat penegak hukum, substansi hukum yang meliputi perangkat
perundang-undangan, dan budaya hukum berkaitan dengan hukum yang
hidup (living law) di masyarakat.

4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996), hlm., 75.
14

4. Teori Pertanggungjawaban Pidana


Menurut Roeslan Saleh pertanggungjawaban pidana merupakan
sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap
seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana. 5
Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing sering
disebut sebagai toerekenbaarheid, criminal responsibility, dan criminal
liabilitiy. Dalam hal itu pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggung
jawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.
Dengan kata lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika
seseorang dipidana, maka tindakan yang dilakukan itu harus bersifat
melawan hukum dan mampu bertanggungjawab. 6
Maka berdasarkan hal tersebut, Andi Hamzah menjelaskan tentang
pembuat (dader) seyogyanya harus terdapat unsur kesalahan dan
bersalah, yaitu7:
a. Kemampuan bertanggungjawab atau dipertanggungjawabkan oleh
pelaku.
b. Adanya kaitan psikis antara pelaku dan perbuatan, yaitu adanya
sengaja atau kesalahan (culpa).
c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pelaku. Maka
dari itu dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana
memiliki makna setiap orang yang melakukan tindak pidana atau
melawan hukum, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam
undang-undang yang sejatinya orang tersebut harus
mempertanggungjawabkan sesuai dengan kesalahannya.

5
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta:
Aksara Baru, 1990), hlm., 80.
6
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia
Grafika, 1996), hlm., 245.
7
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm., 130.
15

B. Kerangka Konseptual
1. Illegal Logging
Illegal Logging menurut Undang- Undang No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh setiap orang atau kelompok orang atau badan hukum dalam bidang
kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau
memungut hasil hutan kayu (HHK) dari kawasan hutan tanpa izin,
menerima atau membeli HHK yang diduga dipungut secara tidak sah,
serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat
Keterangan Sahnya.
Illegal logging (pembalakan liar) berdasarkan Inpres No. 5 Tahun
2001, tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal
Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan Ekosistem
Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting adalah penebangan kayu
dikawasan hutan dengan tidak sah.
Tindak pidana illegal logging menurut undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan
ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Yang menjadi dasar adanya
perbuatan illegal logging adalah karena adanya kerusakan hutan.
Dapat dikatakan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum
untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan illegal logging yaitu
sebagai berikut:
a. Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha.
b. Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun
karena kealpaannya.
c. Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni:
1) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
2) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak
hutan.
3) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang
ditentukan Undang-undang.
16

4) Menebang pohon tanpa izin.


5) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui
atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.
6) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa
SKSHH.
7) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil
hutan tanpa izin
2. Illegal Logging Menurut Undang-Undang
Illegal logging merupakan istilah yuridis, biasa disebut dengan
kejahatan terhadap hutan melalui dari kejahatan penebangan hutan
secara liar, pencurian hasil hutan, penjarahan dan perbuatan-perbuatan
lainya yang bersifat merusak kelestarian dalam hutan itu sendiri maupun
lingkungan masyarakat secara global.
Illegal Logging adalah salah satu bentuk perbuatan pidana. Hal ini
dikarenakan bersifat melawan hukum dan dapat dicela. 8 Bersifat
melawan hukum artinya suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur
delik tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat
dipidana jika tidak dapat dicela pelakunya. Illegal logging merupakan
perbuatan pidana yang memiliki lingkup pengertian yang luas dalam
kejahatan kehutanan. Dalam hal ini termasuk tindakan atau perbuatan
perusak terhadap lingkungan pasal 1 ayat 914) Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan menjelaskan sebagai
berikut; “Hidup, dikatakan bahwa perusakan lingkungan hidup adalah
tindakan yang menimbulkan, perbuatan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan
hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan”.

8
J.E Sahetapy, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hlm., 27.
17

Bentuk perusakan yang dimaksud seperti illegal logging dimana


cakupanya bisa berupa penerbangan liar, pencurian hasil hutan negara,
pengangkutan hasil hutan negara tidak disertai dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan (SKSHH), jual beli hasil hutan dalam hal ini adalah
kayu tanpa dokumen yang sah.
3. Illegal Logging Menurut Fiqih Jinayah
Prespektif hukum Islam illegal logging dapat dikategorikan sebagai
kejahatan. Kejahatan dalam hukum pidana islam disebut dengan istilah
jarimah yang ditafsirkan menurut Abdul Qodir Audah sebagai suatu
larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah dengan had at-ta’zir.9
Perbuatan tersebut ada kalanya berupa mengerjakan perbuatan dilarang
atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dalam pengertian
lain disebutkan bahwa kejahatan sebagai perbuatan atau tindakan anti
sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan di dalam
masyarakat, negara harus menjatuhkan sanksi kepada pelaku
kejahatan.10
Sedangkan mengenai akibat hukuman dari pencurian atau
perampokan Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh-us Sunnah menerangkan
bahwa hukuman dari perampokan atau pencurian adalah dibunuh,
disalib, dipotong tangan dan kaki mereka berselang-seling, diusir dari
negerinya.11
Dalam merealisasikan kemaslahatan tersebut berdasarkan pendapat
ahli Ushul Fiqih terdapat lima unsur pokok yang harus dipelihara dan
disujudkan. Kelima unsur itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Seorang Mukalaf akan memperoleh kemaslahatan ketika ia dapat
memelihara kelima aspek tersebut, sebaliknya ia akan merasakan
adanya mafsadat manakala ia tidak memeliharanya dengan baik.

9
Abdul Qodir Audah, Tasyri Al-Jina’i, hlm. 66.
10
Hanafi Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: 2005), hlm, 12.
11
Sayid Sabiq, Fiqh-us Sunnah, Terj. Muzakir A. S (Bandung: Al – Maa’rif, 1987),
hlm., IX: 177-181
18

C. Studi Terdahulu
Penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang terdapat tema yang
berkaitan dengan penelitian yang penulis teliti sekalipun arah dan tujuan
yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa
sumber kajian lain yang telah terlebih dahulu membahas terkait dengan
penegakan hukum pidana illegal logging, yaitu:
1. Skripsi yang pertama berjudul Tindak Pidana Illegal Logging Dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam (Analisis Pasal 82 Undang-Undang
No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan). Diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Gunung Djati Bandung. Masalah kejahatan illegal logging yang
diteliti adalah kejahatan terhadap perusakan hutan. Penebangan liar
termasuk penebangan di kawasan hutan secara ilegal atau tanpa izin dari
pemerintah atau pihak yang berwenang. Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
mengatur tentang tindak pidana pembalakan liar. 12
2. Fathin Teguh Saputra, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakart, Tahun 2017. Judul skripsi “Penerapan Hukum
Pidana Serta Fiqih Lingkungan Terhadap Pelaku Penebangan Liar yang
Bermukim di Sekitar Kawasan Hutan Milik Negara (perkara no: 2615
K/ Pid.Sus/2015)”. Dalam skripsi tersebut menjelaskan pelaku tindak
pidana penebangan liar di kawan hutan yang tempat tinggalnya dalam
kawan hutan milik negara.
3. Jurnal ketiga dengan judul Penerapan Sanksi Tindak Pidana Illegal
Logging di Kawasan Hutan Lindung Ditinjau dari Uu N0. 18 Tahun
2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Studi
Kasus Kecamatan Bener Kelipah Kabupaten Bener Meriah) Diterbitkan
oleh Fakulktas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-raniry. Permasalahan yang

12
Siti Sarah Raudah, yang berjudul Tindak Pidana illegal logging Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam (Analisis Pasal 82 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan), Diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2018.
19

diteliti adalah bahwa hutan lindung Paya Rebol merupakan kawasan


hutan yang berfungsi sebagai sistem penyangga air bagi masyarakat
untuk beberapa kecamatan di sekitar kawasan hutan (seperti kawasan
induk Bener Kelipah, Bandar dan Syah Utama), perambahan dan
perusakan hutan (illegal logging). Hasil penelitian menujukan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh Dinas lingkungan Hidup dan
kehutanan Aceh belum efektif sehingga tindak pidana illegal logging
masih terjadi yang disebabkan oleh kebutuhan ekonomi, kurangnya
Personel aparat pengawas hutan, kebiasaan masyarakat adat,
ketidakjelasan tapal batas kawasan hutan. 13
4. Zahrotun Nazia, Fakultas Hukum Universitas Jember, Tahun 2013,
Judul “Kajian Yuridis Mengenai Illegal Logging Di Kawasan Hutan
(Studi Kasus Illegal Logging Di Balai Taman Nasional Meru Betiri
Kabupaten Jember)”. Dalam skripsi tersebut menjelaskan dari awal
mula penebangan liar (illegal logging) ini di Taman Nasional Meru
Betiri di jember serta membahas perekonomian di sekitanya serta
penanggulangan terhadap masyarakat di sekitanya, sedangkan yang
penulis jelaskan mengenai sanksi terhadap pembelian kayu yang berasal
dari hutan tanpa di lengkapi surat. Dilihat dalam undang- undang nomor
41 tahun 1999.
5. Helena Verawati Manalu, Fakultas Hukum Universitas Lampung, tahun
2016, berjudul “Peran Polisi Kehutanan Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana ILLEGAL LOGGING Di Kawasan Hutan Provinsi Lampung”.
Dalam skripsi tersebut membahas mengenai peran seorang polisi hutan
dalam pencegahan penebangan liar serta penindakan terhadap pelaku
penebangan liar sedang dalam skripsi yang penulis tulis ini membahas
hanya membahas tindakan dan sanksi yang di berikan hakim terhadap
penebangan liar serta pandangan hukum Islam.

13
Reza Maulana, yang berjudul Penerapan Sanksi Tindak Pidana Illegal Logging di
Kawasan Hutan Lindung Ditinjau dari Uu N0. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (Studi Kasus Kecamatan Bener Kelipah Kabupaten Bener
Meriah), Diterbitkan oleh Fakulktas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-raniry, 2018.
20

6. Skripsi Kedua Berjudul “Pencegahan Serta Penanggulangan


Penebangan Hutan Secara Liar (Illegal Logging) Oleh Polisi
Kehutanan (Studi Di Kabupaten Sumbawa)”, diterbitkan oleh Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam penulisan skripsi
ini membahas tentang pencegahan serta penanggulangan penebangan
hutan secara liar (illegal logging) oleh polisi kehutanan. Permasalahan
yang diangkat dalam skripsi ini adalah:
a. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya praktek illegal
logging,
b. Bagaimana pencegahan serta penanggulangan yang dilakukan oleh
polisi kehutanan terkait praktek illegal logging yang terjadi di dodo
jaran pusang, kabupaten sumbawa.
Hasil penelitian yaitu Faktor yang menyebabkan terjadinya praktek
illegal logging adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
pelestarian hutan, selain itu faktor ekonomi lebih dominan yang
menyebabkan masyarakat melakukan illegal logging. Bentuk
pencegahan serta penanggulangan yang dilakukan oleh polisi kehutanan
adalah dengan cara penyuluhan terhadap masyarakat dengan cara
memberikan materi maupun penjelasan mengenai sanksi-sanksi hukum
apabila melakukan praktek illegal logging.14

7. Skripsi karya Hari Wibowo, yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana


Islam Terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung tentang Ilegal
Logging”. Bila dalam skripsi ini menitik beratkan kepada pemidanaan
ilegal logging menurut hukum pidana Islam, berbeda dengan apa yang
akan penulis teliti yaitu menggabungkan antara konsep tindak pidana
pelaku penebangan liar menurut hukum positif dengan hukum islam dari
segi fiqih yaitu fiqih lingkungan.

14
Tri Cahyadiputra, Pencegahan Serta Penanggulangan Penebangan Hutan Secara
Liar (Illegal Logging) Oleh Polisi Kehutanan (Studi Di Kabupaten Sumbawa)”, Diterbitkan
Oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. 2013.
21

8. Artikel yang berjudul “Sisi Kriminologi Pembalakan Hutan Illegal”.


karya Josias Simon Runturambi dari Jurnal Kriminologi Indonesia.
Jurnal ini membahas tentang deskripsi pembalakan hutan secara illegal
dipandang dari sisi prilaku kriminal pelaku pembalakan hutan. Berbeda
dengan karya yang penulis teliti yaitu penebangan liar dipandang dari
sisi tindak pidana serta hukum fiqih lingkungan.
BAB III
DESKRIPSI KASUS ILLEGAL LOGGING

A. Illegal Logging didalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013


Illegal logging merupakan perbuatan/kegiatan penebangan hutan secara
tidak sah. Didalam UU No. 18 Tahun 2013 pelaku illegal logging dapat
dihukum dengan pasal-pasal sebagai berikut:

1. Pasal 82 ayat (1) UU No 13 tahun 2013, Orang perseorangan yang


dengan sengaja:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak
sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf a;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah).

2. Pasal 82 ayat (2) UU No 13 tahun 2013


Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

22
23

3. Pasal 82 ayat (3) UU No 13 tahun 2013, Korporasi yang:


a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak
sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf a;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau c
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

4. Pasal 83 ayat (1) UU No 13 tahun 2013, Orang perseorangan yang


dengan sengaja:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai,
dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
24

5. Pasal 83 ayat (2) UU No 13 tahun 2013, Orang perseorangan yang


karena kelalaiannya:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai,
dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
b. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan
paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

6. Pasal 83 ayat (3) UU No 13 tahun 2013


Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dan ayat (2) huruf c dilakukan oleh orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Pada pembahasan skripsi ini lebih difokuskan pada pasal 83 ayat (1)
huruf (a) jo pasal 12 huruf (d) UU RI No. 18 Tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan di dalam penerapan
putusan Pengadilan Negeri Sidikalang.

Undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut


adalah Undang-Undang No.18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan
pemberantasan Perusakan Hutan yang merupakan perubahan atas Undang-
25

Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Pasal 1 angka 3 Undang-


Undang No. 18 Tahun 2013 dijelaskan apa arti dari perusakan hutan yang
berbunyi “perusakan hutan adalah proses, cara atau perbuatan merusak
hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa
izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberian izin di dalam kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin
yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin dalam hutan
yang di tetapkan, yang telah ditujuk, ataupun yang sedang diproses
penetapanya oleh pemerintah”. Pada pengertian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa segala sesuatu yang dilakukan secara ilegal baik dapat
berimbas kepada keadaan hutan sekarang atau kedepanya dapat
dikategorikan pada kegiatan perusakan hutan. Karena kejahatan
menyangkut kehutanan sudah dianggap mulai berkembang dari tahun ke
tahun. Maka dengan ini perlu adanya pembaruan dari undang-undang
tersebut.

Berikut adalah peraturan yang mengatur tentang kehutanan di Indonesia


Peraturan perundang-undangan N0. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan
pemberantasan kerusakan hutan. Undang-undang ini telah menjelaskan
terkait pencegahan dan perusakan hutan adalah segala upaya yang
dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan.
Sedangkan peberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang
dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap pelaku perusakan hutan
baik langsung, tidak langsung maupun yang terkait lainya. 1

Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan


pemberantasan perusakan berisi tentang perkara perusakan hutan harus
didahului dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna
penyelesaian cepat. Dalam pasal 29 diatur juga bahwa selain penyidik
pejabat polisi negara Republik Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang Acara

1
Irwan, Efektivitas penyelesaian perkara Tindak Pidana Kehutanan di Kantor
Kejaksaan Negeri Sinjai, UMM Vol. 1 hlm., 51.
26

Pidana (KUHAP). Pejabat penyidik pegawai negeri sipil, adalah pejabat


pegawai negeri sipil yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus
dalam penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.

Tindak pidana terhadap kehutanan merupakan tindak pidana khusus


yang diatur dengang ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat
menunjukan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau
subyeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus
seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer. Kedua,
hukum pidana yang perbuatanya yang khusus maksudnya adalah perbuatan
pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal
yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan illegal logging merupakan
tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatanya
khusus, yaitu delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil
kayu. Pada dasarnya kejahatan illegal logging secara umum kaitanya
dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat
dikelompokan dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum. 2

B. Duduk Perkara.
Sebelum penulis melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah
Agung No. 139/Pid.B/LH/2020/ Pengadilan Negeri Sidikalang, maka
sebelumnya penulis akan menuliskan identitas lengkap terdakwa, kasus
posisi, dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa, tuntutan yang diajukan
oleh penuntut umum, pertimbangan-pertimbangan hakim terhadap fakta-
fakta hukum yang terungkap di persidangan dan amar putusan yang di
jatuhkan oleh hakim kepada terdakwa.
1. Identitas Terdakwa.
Nama lengkap terdakwa adalah Irpan Napitupulu, lahir di Siboras,
umur 23 tahun, 20 Desember 1997, jenis kelamin laki-laki,

2
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: BP UNDIP, 1995),
hlm., 45.
27

kewarganegaraan Indonesia, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi, ia


beragama Kristen Protestan, bekerja sebagai petani. Terdakwa ditahan
oleh penyidik, penuntut umum dan hakim Pengadilan Negeri Sidikalang
sejak tanggal 5 September 2020 sampai dengan tanggal 24 September
2020. Di dalam kasus ini terdakwa tidak didampingi oleh penasihat
hukum.3
2. Kronologis Kasus.
Bahwa pada hari selasa tanggal 01 September 2020 sekira pukul
11.00 wib saksi Ruddy Anggoro yang merupakan anggota Polres Dairi
menerima informasi dari seseorang yang menyatakan bahwa ada terjadi
tindak pidana penebangan hutan di kawasan hutan di Dusun Gupa Baru
Desa Pandiangan Kec.Lae Parira Kab.Dairi. lalu saksi Ruddy Anggoro
bersama dengan saksi Andil Arianta Ginting dan saksi Irjon Sihombing
yang juga merupakan anggota Polres Dairi melakukan penyelidikan ke
lokasi dimaksud. Lalu sekira pukul 13.00 Wib saksi Ruddy Anggoro,
Andil Arianta Ginting dan saksi Irjon Sihombing tiba di lokasi tersebut
dan menemukan tumpukan kayu olahan yakni 18 (delapan belas) batang
papan tebal dengan ukuran 5 cm x 15 cm x 1.5 m, 42 (empat puluh dua)
batang papan tebal dengan ukuran 5 cm x 15 cm x 2 m, 2 (dua) lembar
papan lebar dengan ukuran 4 cm x 22 cm x 2.1 m, 2 (dua) lembar papan
lebar dengan ukuran 2 cm x 20 cm x 4 m, 13 (tiga belas) batang broti
dengan ukuran 4 cm x 6 cm x 4 m, 10 (sepuluh) batang broti dengan
ukuran 4 cm x 4 cm x 4 m serta mengamankan dua orang laki-laki
dewasa yakni saksi Pukka Siregar dan terdakwa Irpan Napitupulu.4
Bahwa lokasi titik koordinat tersebut berada di dalam Kawasan
Hutan Provinsi Sumatera Utara dengan fungsi Hutan Lindung sesuai
dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.579/Menhut-II/2014.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tidak pernah menerbitkan

3
Dalam Salinan, Putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk tentang lingkungan hidup,
(Sidikalang: Pengadilan Negeri Sidikalang, 2020), hlm., 1.
4
Dalam Salinan, Putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk tentang lingkungan hidup,
hlm., 3.
28

izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) kepada terdakwa


dan saksi Irpan Napitupulu.
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Menyatakan terdakwa Irpan Napitupulu telah terbukti secara sah
dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukantindak pidana
“Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan
atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa ijin”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 83 Ayat (1) huruf
(a) Jo Pasal 12 Huruf (d) UU RI No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Irpan Napitupulu dengan
pidana penjara selama: 1 (satu) tahun dikurangi masa penahanan
terdakwa dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda
sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan
kurungan.5
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Terdakwa Irpan Napitupulu telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
“Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai,
dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa ijin”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 83 Ayat (1) huruf
(a) Jo Pasal 12 Huruf (d) UU RI No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Irpan Napitupulu dengan
pidana penjara selama: 1 (satu) tahun dikurangi masa penahanan
terdakwa dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda
sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsider 2 (dua) bulan
kurungan.

5
Dalam Salinan, Putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk tentang lingkungan hidup,
hlm., 2.
29

Menghukum Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000.-


(lima ribu rupiah).
5. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara.
Sebelum hakim Pengadilan Negeri Sidikalang memberikan
keputusan terhadap terdakwa Irpan Napitupulu, keputusan hakim
haruslah berdasarkan surat pelimpahan dakwaan atas kesalahan
terdakwa, serta keputusannya itu haruslah berdasarkan hasil
pemeriksaan persidangan dalam ruang lingkup dakwaan tersebut.
Seperti saksi-saksi yang telah dihadirkan di persidangan, barang bukti
dan keterangan dari terdakwa.6
6. Amar Putusan.
Setelah majelis hakim memberikan pertimbangan-
pertimbangannya, maka tibalah majelis hakim memutus perkara, maka
majelis hakim memutuskan:
Berdasarkan pertimbangan majelis hakim, maka Hakim
memutuskan bahwa Terdakwa Irpan Napitupulu terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja,
mengangkut, hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin”
sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu Penuntut Umum.
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Irpan Napitupulu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak
dapat dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu)
bulan.
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
Terdakwa Irpan Napitupulu dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
Menetapkan Terdakwa Irpan Napitupulu tetap ditahan. Menyatakan
barang bukti berupa:

6
A. Hamzah, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987, Cet-
1), hlm., 9.
30

a. 1 (satu) unit chainsaw merk STP.


b. 18 (delapan belas) batang papan tebal dengan ukuran 5 cm x 15 cm
x 1.5 m, 42 (empat puluh dua) batang papan tebal dengan ukuran 5
cm x 15 cm x 2 m, 2 (dua) lembar papan lebar dengan ukuran 4 cm
x 22 cm x 2.1 m, 2 (dua) lembar papan lebar dengan ukuran 2 cm x
20 cm x 4 m, 13 (tiga belas) batang broti dengan ukuran 4 cm x 6
cm x 4 m, 10 (sepuluh) batang broti dengan ukuran 4 cm x 4 cm x 4
m; Digunakan dalam perkara atas nama Terdakwa Pukka Siregar.
Membebankan kepada Terdakwa Irpan Napitupulu membayar biaya
perkara sejumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

C. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara.

Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 12 huruf d Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Perusakan Hutan yang dimaksud dengan ”memuat” adalah
memasukkan ke dalam alat angkut. Bahwa yang dimaksud dengan
“membongkar, mengeluarkan mengangkut, menguasai, dan atau memiliki”
secara khusus tidak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, sehingga Majelis Hakim dalam menafsirkan pengertiannya
menggunakan pengertian yang sama dengan pengertian kata tersebut dalam
Bahasa Indonesia secara umum. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Terdakwa dalam melakukan perbuatan tersebut sejak awal tidak


memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan di atas maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa unsur “dengan sengaja mengangkut hasil penebangan di kawasan
31

hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d” telah


terpenuhi. Bahwa di dalam Pasal 83 Ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pengrusakan Hutan.

Untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu


dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan Terdakwa:

Keadaan yang memberatkan:


1. Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam
upaya Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar;
Keadaan yang meringankan:
1. Terdakwa belum pernah dipidana;
2. Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya

Terdakwa dijatuhi pidana maka haruslah dibebani pula untuk


membayar biaya perkara; Memperhatikan, Pasal 83 Ayat (1) huruf a jo.
Pasal 12 Huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan dan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan.
BAB IV
ANALISIS HUKUM PUTUSAN NO. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk

A. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Illegal Logging Dalam


Perspektif Hukum Pidana.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sidikalang No.
139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk, bahwa terdakwa atas nama Irpan Napitupulu
terbukti secara bersama-sama melakukan penebangan pohon dalam
kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang.
Berdasarkan barang bukti, keterangan para saksi yang memberatkan
berjumlah 3 (tiga) orang yang bernama Rudi Anggoro, Andi Arianta
Ginting, dan Pukka Siregar. Ditetapkannya barang bukti berupa 1 (satu) unit
chainsaw merk STP, 18 (delapan belas) batang papan tebal dengan ukuran
5 cm x 15 cm x 1.5 m, 42 (empat puluh dua) batang papan tebal dengan
ukuran 5 cm x 15 cm x 2 m, 2 (dua) lembar papan lebar dengan ukuran 4
cm x 22 cm x 2.1 m, 2 (dua) lembar papan lebar dengan ukuran 2 cm x 20
cm x 4 m, 13 (tiga belas) batang broti dengan ukuran 4 cm x 6 cm x 4 m, 10
(sepuluh) batang broti dengan ukuran 4 cm x 4 cm x 4 m.1
Perlindungan dan keamanan memang sangat diperlukan agar
kelestarian hutan tetap dapat dipertahankan. Dalam rangka perlindungan
terhadap hutan, sejumlah larangan secara tegas diberlakukan kepada setiap
orang yang melakukan perbuatan melawan hukum seperti melakukan
pencurian kayu tanpa memiliki izin dari pihak yang berwenang. Adapun
ketentuan pidananya diatur dan diancam dalam Pasal 82 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan yang berbunyi:
1. Orang perseorangan yang dengan sengaja.

1
Dalam Salinan, Putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk tentang lingkungan hidup,
(Sidikalang: Pengadilan Negeri Sidikalang, 2020), hlm., 23.

32
33

a. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak


sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf a.
b. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki
izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, sebagaimana
dimaksud Pasal 12 huruf b; dan atau
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00.- (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00.- (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
Hutan memiliki peranan yang sangat penting yakni sebagai sumber
mata pencaharian yang beragam bagi rakyat. Selain itu manfaat hutan tidak
boleh terlepas dari pemeliharaan ekosistem sehingga mendukung
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengelolaan hutan adalah
usaha untuk mencegah kerusakan hutan. Hal itu sangat diperlukan, karena
hutan merupakan kekayaan milik bangsa dan negara yang tak ternilai.
Sehingga hak negara atas hutan dan hasilnya perlu dijaga, dipertahankan,
dan dilindungi agar hutan dapat berfungsi dengan baik.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 2009) Pasal 98
ayat (1), yang berbunyi “bahwa setiap orang yang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
3.000.000.000,00.- (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00.- (sepuluh miliar rupiah)”.2

2
Arif Zulkifli, Dasar-dasar Ilmu Lingkungan, (Jakarta: Salemba Teknika, 2014), hlm.,
62.
34

Berdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap di persidangan.


Penulis berpendapat bahwa peristiwa yang dilakukan oleh Irpan Napitupulu
dikatakan sebagai tindak pidana yang dilarang dan diancam oleh hukum
berupa tindak pidana penebangan liar (illegal logging) yang tidak
mendapatan izin dari pejabat yang berwenang. Perbuatan tersebut
bertentangan dengan Pasal 82 ayat (1) huruf b Jo Pasal 82 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan. Selain itu, perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 2009) Pasal 98 ayat (1).
Dalam hal memutuskan perkara, Hakim harus berdasarkan pada
fakta sebagaimana duduk perkara yang diketahui oleh Hakim dari
keterangan saksi-saksi, dan alat bukti lainnya yang dihadirkan dalam
persidangan. Majelis Hakim menyatakan bahwa Irpan Napitupulu telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana
penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang dilarang menurut hukum karena dapat berdampak buruk
terhadap lingkungan sekitar.
Berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan, maka Majelis
mempertimbangkan mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan
sebagaimana diatur dan diancam dalam memperhatikan fakta-fakta hukum
tersebut diatas memilih langsung dakwaan alternatif kesatu sebagaimana
diatur dalam Pasal 83 Ayat (1) huruf a jo. Pasal 12 huruf d Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut;
1. Orang perseorangan.
2. Dengan sengaja memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai, dan atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d.
35

Bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim


mempertimbangkan sebagai berikut.
1. Unsur “Orang Perseorangan”
Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dibedakan
pengertian subjek hukum antara orang perseorangan dengan korporasi,
dimana hal tersebut terlihat dari pengertian setiap orang yang diatur
dalam Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yaitu orang
perseorangan dan atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan
hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau
berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia, dengan kata lain orang
perseorangan adalah subjek hukum manusia (natuurlijk persoon) yang
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah melakukan
suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam perkara ini Penuntut Umum telah menghadapkan Terdakwa
yang bernama Irpan Napitupulu ke muka persidangan dan telah
membenarkan seluruh identitasnya sesuai yang tercantum dalam surat
dakwaan, dan fakta-fakta hukum dalam persidangan, sehingga tidak
terjadi Error in Persona, dengan demikian berdasarkan pertimbangan
tersebut Majelis Hakim berpendapat unsur “orang perseorangan” telah
terpenuhi.3
2. Unsur “dengan sengaja memuat, membongkar, mengeluarkan,
mengangkut, menguasai, dan atau memiliki hasil penebangan di
kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
d”.

3
Dalam Salinan, Putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk tentang lingkungan hidup,
hlm., 19.
36

Dalam unsur objektif pada pasal ini berbentuk alternatif, dimana


apabila salah satu perbuatan telah terbukti, maka keseluruhan unsur ini
juga telah terbukti.
Bahwa dalam kesengajaan (opzet) sebagai mengetahui dan
menghendaki (willens en wetens) atau dengan kata lain orang yang
melakukan perbuatan sengaja menghendaki perbuatan itu dan
menyadari apa yang dilakukannya.
Berdasarkan penjelasan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan yang dimaksud dengan “memuat”
adalah memasukkan ke dalam alat angkut.
Penjelasan yang dimaksud dengan “membongkar, mengeluarkan
mengangkut, menguasai, dan atau memiliki” secara khusus tidak diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013,
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sehingga
Majelis Hakim dalam menafsirkan pengertiannya menggunakan
pengertian yang sama dengan pengertian kata tersebut dalam Bahasa
Indonesia secara umum.
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan menyebutkan bahwa Kawasan Hutan adalah wilayah
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
Dalam peristiwa tindak pidana Illegal Logging dalam perkara No.
139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa
Terdakwa atas nama Irpan Napitupulu telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana penebangan pohon
dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang dan dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan
denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan
37

apabila tidak dapat dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1
(satu) bulan.
Dengan pertimbangan hukum bahwa, perbuatan terdakwa merusak
kelestarian lingkungan hidup yang diprogram serta dilaksanakan oleh
pemerintah, dan terdakwa melakukan penebangan hutan tanpa memiliki izin
dan membuat pihak lain merasa dirugikan. Dengan penjatuhan 1 tahun
penjara dan denda uang sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah),
dengan ketentuan apabila tidak dapat dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 1 (satu) bulan”.4
Selain itu, perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana illegal logging, yang terdapat dalam Pasal 12 yang berbunyi a)
Melakukan penebangan, memuat, mengangkut, menguasai, dan menjual
hasil hutan b) bertujuan c) kawasan hutan d) tanpa izin pejabat yang
berwenang.5 Maka dikategorikan dalam tindak pidana illegal logging yang
ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang No. 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Adapun hal ini tidak lepas dari fakta bahwa tujuan hukum pidana
adalah untuk memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak
pidana dalam rangka menegakkan tertib hukum demi melindungi
masyarakat.6 Sebab, menurut Ted Honderrich, sanksi pidana dapat menjadi
alat pencegah yang ekonomis (economical detterents) apabila memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
2. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya
atau merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak
dikenakan; dan

4
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011, Cet-2),
hlm., 67.
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013, hlm., 9-10.
6
Remmelink, J. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia (Tristam Pascal Moeliono, Penerjemah). (Gramedia Pustaka Utama,
2014), Hlm., 14.
38

3. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan
bahaya atau kerugian yang lebih kecil.
Pandangan Ted Honderich diatas menunjukkan bahwa sanksi
pidana pada dasarnya adalah sama seperti konsep obat dalam ilmu
kedokteran, baik dalam definisinya yang secara terminologis diartikan
sebagai “bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit atau
menyembuhkan seseorang dari penyakit” maupun dalam konteks obat yang
diartikan sebagai zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa
sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Hanya saja, jika sanksi pidana adalah obat, maka hakim adalah dokter yang
menulis preskripsi resep melalui putusannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsepsi keadilan
didalam putusan tersebut sejak awal berada dalam ranah keadilan korektif
yang fokus utamanya ada pada pembetulan sesuatu yang salah manakala
kesalahan dilakukan. Sayangnya, hingga saat ini belum ada suatu pedoman
pemidanaan yang dapat digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana guna menjamin nilai keadilan, kepastian maupun kemanfaatan
hukum dimasyarakat sehingga seringkali putusan yang dihasilkan oleh
hakim dianggap tidak berkualitas, kurang adil dan kurang
bertanggungjawab meskipun asas res judicata pro varitate habetur
“putusan hakim harus dianggap benar” tetap berlaku bagi semua pihak yang
terlibat dalam suatu peradilan pidana.
Menurut penulis dalam konstruksi hukum Majelis Hakim dan Jaksa
Penuntut Umum dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu
perkara harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan. Semestinya
Hakim jangan mengabaikan fakta-fakta yang di ungkapkan para saksi dan
terdakwa yaitu kayu yang sudah di olah 1.5 Ton, dan hal-hal yang
memberatkan lainnya. Penjatuhan pidana melalui putusan hakim agar
dilaksanakan secara sepadan dengan nilai perbuatan terdakwa. Putusan
Pengadilan Negeri Sidikalang dalam menjatuhkan hukuman terhadap
terdakwa belum maksimal. Selain itu, dalam hukum pidana berlaku teori
39

absolute yang artinya bahwa pertimbangan untuk memberatkan seharusnya


dapat dilakukan.

B. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Illegal Logging Dalam


Perspektif Hukum Pidana Islam
Pada dasarnya hukum diciptakan dan diundangkan memiliki tujuan
untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan manfaat dan
menghindari kemadaratan bagi manusia. Hakekat atau tujuan awal
pemberlakuan syari’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan itu dapat terwujud jika lima unsur pokok dapat diwujudkan
dan dipelihara.7
Berdasarkan penelitian ahli ushul, dalam merealisir kemaslahatan
tersebut terdapat lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan.
Kelima unsur itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sebagaimana kaidah fiqh bahwa kemadharatan harus hilangkan. Menjaga
lingkungan sudah menjadi hal yang primer. Ketika tidak ada yang
menjaganya maka bumi akan hancur. Seorang mukallaf akan memperoleh
kemaslahatan ketika ia dapat memelihara kelima aspek tersebut, sebaliknya
ia akan merasakan adanya mafsadat manakala ia tidak memeliharanya
dengan baik.8
Bentuk kejahatan penebangan liar (illegal logging) belum ada dalam
nash, sehingga masuk dalam kategori jarimah ta’zir. Dalam hal
menjatuhkan atau memvonis kejahatan penebangan liar (illegal logging)
menjadi kewenangan penguasa dalam menentukan kadar hukumannya.
Dalam hal ini, penguasa diberikan kebebasan penuh bisa memperberat
hukuman kepada pelaku tindak pidana penebangan liar (illegal logging).
Tindak pidana penebangan liar (Illegal logging) dikategorikan
sebagai jarimah. Suatu perbuatan dipandang sebagai jarimah (delict) dan

7
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari’ah Menurut As-Syatibi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996, Cet-1), hlm., 7.
8
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logios Wacana Ilmu, 1997,
Cet-1), hlm., 125.
40

pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, apabila telah


memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur formil yaitu adanya nash atau peraturan yang menunjukkan
larangan terhadap suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman.
Dalam hukum positif disebut dengan istilah asas legalitas.
2. Unsur materiil yaitu adanya tingkah laku seseorang yang membentuk
jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Dalam
hukum pidana positif disebut dengan sifat melawan hukum.
3. Unsur moriil yaitu pelaku jarimah adalah orang mukallaf, berakal, bebas
berkehendak dalam arti terlepas dari unsur paksaan dan dalam
kesadaran penuh, sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
terhadap jarimah yang dilakukannya.
Perbuatan tersebut dalam hukum Islam maupun hukum positif
dilarang karena dapat merusak kelestarian lingkungan hidup yang
diprogram serta dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam hukum Islam
perbuatan tindak pidana penebangan liar (illegal logging) dikategorikan
merusak lingkungan karena dapat berdampak sangat berbahaya terhadap
kelestarian lingkungan.
Dalam konsep fiqh lingkungan konteks ini sangat berkesandingan
dengan Maqashid Al-Syariah dimana di dalam nya konteks lingkungan
hidup ini berkaitan dengan konsep mashlahah, karena dalam pengertian
sederhana. Mashlahah merupakan sarana untuk merawat maqasahid
syariah. Contoh konkritnya adalah dari mashlahah ini adalah pemeliharaan
atau perlindungan total terhadap lima kebutuhan primer (ushul al-khamsah),
1. Perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), 2. Perlindungan Jiwa (hifzh
al-nafs), 3. Perlindungan akal (hifzh al-aql), 4. Perlindungan keturunan
(hifzh al-nasl), 5. Perlindungan harta benda (hifzh al-mal). Kelima hal
tersebut merupakan tujuan syariah (Maqashid Al-Syariah) yang harus di
rawat. Dimana lingkungan hidup sudah jelas termasuk dalam Maqashid
41

Alsyariah yang dimana lingkung hidup ini harus kita jaga kelestariannya
untuk kesejahteraan beraneka ragam makhluk hidup lainnya. 9
Menurut Yusuf al-Qardhawi, menjaga lingkungan hidup sama
dengan menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta.
Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek jiwa, akal, keturunan, dan
harta rusak, maka eksistensi manusia dalam lingkungan menjadi ternoda.
Dalam konsep fiqh lingungan yang dirumuskan oleh para cendekiawan
Muslim mencerminkan dinamika fiqh terkait dengan adanya perubahan
konteks dan situasi. Ada dua rumusan metode yang digunakan dalam fiqh
lingkungan, yakni mashlahah dan maqasahid syariah. Olehnya itu
penulisan ini lebih mencondongkan lingkungan hidup dalam pandangan
hukum Islam terkhusus kepada metode Maqashid Al-Syariah.10
Keserasian antara menjaga lima hal inti dalam syari’ah ini
mencakup juga dengan menjaga lingkungan hidup yang ada di muka bumi
ini. Keselarasan di setiap point dalam Maqashid Al-Syariah dengan
lingkungan demi kemaslahatan adalah:
1. Menjaga lingkungan dalam point menjaga agama.
Keselarasan dalam konsep ini merupakan sama hal-nya dengan
menjaga agama, maka dari itu landasan pokok ini merupakan hal yang
paling penting atau paling vital dalam point ini. Mencemari lingkungan
yang hidup di bumi ini maka pada dasarnya akan menodai dari substansi
keberagamaan yang benar dan secara tidak langsung meniadakan tujuan
eksistensi manusia di muka bumi ini dan sekaligus menyimpang dari
perintah secara konteks horizontal. Disisi lain perbuatan yang
sewenang-wenang akan menghilangkan sikap yang adil dan ihsan yang
diperintahkan oleh Allah. Kegiatan yang di kategorikan menodai fungsi
manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini adalah merusak alam dan
lingkungan karena alam ini bukan milik manusia namun milik Allah

9
Ahmad Syafi’i, Fiqh Lingkungan: Revitalisasi Ushul al-Fiqh Untuk Konservasi Dan
Restorasi Kosmos, hlm., 3.
10
Sahrul Amin. Sains Tekhnologi Dan Islam, (Jakarta; Dinamika, 1996), hlm., 134.
42

SWT.11 Demikian juga dengan sikap perilaku yang sewenang-wenang


dalam perlakuan lingkungan termasuk juga dalam larangan Allah SWT.
2. Menjaga lingkungan dalam point menjaga jiwa.
Menjaga lingkungan dalam menjaga jiwa ini juga merupakan hal
yang saling berinteraksi, dalam hal ini adalah perlindungan terhadap
psikis kehidupan manusia dan keselamatan mereka. Rusaknya
lingkungan, pencemaran, pengurasan sumber daya alam serta
mengabaikan prinsip-prinsip keseimbangannya, akan membahayakan
kehidupan manusia kedepannya. Semakin ter-eksploitasi secara besar
hal ini maka akan semakin besar ancaman yang terjadi bagi jiwa
manusia di muka bumi ini. Dalam hal ini menjadikan kasus yang besar,
pembunuhan manusia terhadap manusia itu sendiri sebagai dosa yang
besar terhadap Allah. Melihat betapa pentingnya persoalan harga diri
dan jiwa seorang manusia.
3. Menjaga lingkungan dalam point menjaga keturunan.
Menjaga keturunan juga termasuk dalam menjaga lingkungan, yaitu
menjaga keturunan umat manusia di atas bumi ini, maka menjaga
keturunan mempunyai juga makna menjaga generasi yang akan datang.
Karena penyimpangan terhadap pengrusakan lingkungan akan
menghasilkan ancaman bagi generasi masa depan. Meskipun kita
ketahui bahwa dampak teknologi yang sudah maju di zaman sekarang
ini, namun generasi selanjutnya yang akan merasakan akibat dampak
teknologi yang merusak lingkungan hidup di muka bumi ini. Jika hal ini
terjadi maka kita akan meninggalkan warisan-warisan kerusakan dan
tidak keseimbangan pada alam. Menurut Yusuf Al-Qardhawi
lingkungan terbagi dua, yaitu dinamis (hidup), yang meliputi wilayah
manusia, hewan dan dan tumbuhan serta lingkungan statis (mati), yaitu
meliputi dua kategori pokok. Pertama bahwa seluruh alam ini diciptakan
untuk kemaslahatan manusia, dan membantu memenuhi kebutuhan

11
Yusuf Al-Qardhawi, Agama Ramah Lingkungan (Jakarta: Pustaka Kautsar; 2002),
hlm., 3.
43

manusia. Kedua adalah bahwa lingkungan dan seisinya, satu sama lain
akan mendukung dan saling menyempurnakan serta saling tolong
menolong sesuai dengan sunnah-sunnah Allah yang berlaku di jagad
raya ini.12 Sehingga dengan terbentuk nya susunan lingkungan yang
tertata rapi sesuai dengan hukum alam Allah tersebut, antara lingkungan
dengan satu dan yang lain (manusia) akan saling melengkapi dan
menyempurnakan. Dari peran yang dilakukan oleh manusia terhadap
lingkungan yang mana setelah Allah menundukkan alam beserta isi-
isinya dan semua ruang melingkupinya, maka tahap selanjutnya adalah
tuntutan untuk berinteraksi dengan baik sesuai dengan garis perintah
Allah dan melaksanakan serta memelihara hukum-hukum tersebut
dalam pengaplikasian yang nyata.
4. Menjaga lingkungan dalam point menjaga akal.
Pemberian akal oleh Allah kepada manusia adalah karunia yang
sangat unggul, olehnya itu manusia dianggap sebagai tingkatan
makhluk hidup yang paling tinggi dengan adanya akal tersebut. Dan
adanya akal ini maka manusia diberlakukan taklif. Yaitu suatu beban
untuk menjalankan Syari’at agama dan segala amal perbuatannya nanti.
Akan tetapi apabila jika akal manusia tidak berjalan dan tidak bisa
membedakan mana yang dikatakan hak atau batil maka manusia tidak
ada bedanya dengan hewan dan pada hakekatnya upaya ubntuk menjaga
kelangsungan hidup manusia tidak akan berjalan. Olehnya itu Al-
Qur’an sering menyindir perilaku manusia dengan menggunakan
analogi: “Apakah kamu tidak berfikir?”, hal tersebut karena kebanyakan
hasrat manusia ingin merusak lingkungan, sehingga dengan sindiran
tersebut diharapkan akan sadar dan menggunakan akalnya untuk
berfikir serta menjaga lingkungan dengan baik dan dirinya sesuai
dengan yang telah di gariskan oleh agama.
5. Menjaga lingkungan dalam point menjaga harta.

12
Yusuf Al-Qardhawi, Agama Ramah Lingkungan (Jakarta: Pustaka Kautsar; 2002),
hlm., 6-7
44

Menjaga lingkungan sama juga dengan menjaga kebutuhan pokok


bagi manusia, yaitu menjaga harta. Perbuatan untuk menjaga
lingkungan adalah keseharusan bagi semua manusia di bumi ini untuk
melestarikan dan tidak melakukan eksploitasi dengan tujuan yang tidak
jelas dan mengakibatkan lingkungan ini menjadi rusak. Bentuk
ekspolitasi ini lah yang membuat peluang lebih besar dalam
pengrusakan lingkungan yang akan mengusik regenerasi mendatang,
olehnya itu hal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dilarang dan
mengakibatkan eksistensi dalam melindungi harta menjadi terganggu. 13
Menjaga lingkungan dalam metode Maqashid Al-Syariah ini telah
dibagi dan disandingkan dalam sinkronisasi ke-lima point inti dari
Maqashid Al-Syariah itu sendiri dan fiqih lingkungan.
Perilaku pengerusakan terhadap lingkungan hidup dan membuat
kemudharatan bagi orang lain bertentangan dengan kaedah-kaedah yang
telah dirumuskan oleh para fuqaha (al-Qawaid al-Fiqhiyyah), antara lain: 14
1. Kaedah “Kerusakan tidak bisa dihilangkan dengan kerusakan.”
Kaedah ini melarang untuk berbuat bahaya atau merusak.
Maksudnya, prilaku penebangan liar adalah prilaku yang dilarang
karena merusak tatanan lingkungan hidup sehingga membahayakan
kehidupan. Bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan ini seperti banjir
tanah longsor sangat merugikan orang bayak. Oleh karena itu prilaku
penebangan liar dalam kaedah ini tidak dapat dibenarkan.
2. Kaedah "Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka maslahat
yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan"
Kaedah ini memilik arti yaitu menghilangkan kerusakan lebih
didahulukan atas menarik kemaslahatan. Maksudnya, eksploitasi besar-
besaran terhadap hutan memang telah gencar-gencarnya dilakukan dari
awal tahun 90an, dengan tujuan untuk mendapatkan peningkatan

13
Yusuf Al-Qardhawi, Agama Ramah Lingkungan (Jakarta: Pustaka Kautsar; 2002),
hlm., 45.
14
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004, Cet. Ke-1), hlm., 125.
45

pendapatan negara. Memang benar peningkatan pendapatan negara


diperlukan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Tetapi, kerusakan
yang di timbulkan dari eksploitasi besar-besaran menimbulkan dampak
kerusakan hutan yang kian hari makin luas. Sehingga menciptakan
ketidak seimbangan ekosistem. Berdasarkan kaedah ini pencegahan
kerusakan hutan harus lebih diutamakan dibandingkan dengan
kemaslahatan yang didapat dari eksploitasi hutan tersebut. Sehingga
terciptanya kelestarian lingkungan yang berkesinambungan.
Stabilitas dalam lingkungan itu sebenarnya adalah suatu bentuk
keseimbangan dinamis yang penuh dengan proses-proses irrevable (tak
terbalikan) atau keadaan mantap. Berangkat dari hal ini, kreatifitas manusia
sangat hebat berkat ketekunan mereka dalam belajar dan menemukan
pengetahuan-pengetahuan baru yang diaplikasikan melalui teknologi.
Manusia dengan ilmunya serta teknologi yang dia miliki mulai
mendapatkan ide-ide untuk memelihara, memanfaatkan, dan menjaga alam
semesta ini. Sebaliknya, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia
mulai mengekploitasi isi alam dan membuat kerusakan-kerusakan demi
kepentingan individu.
Dalam kehidupan modern seperti ini kerusakan lingkungan hidup
sudah banyak terjadi di beberapa daerah di belahan dunia ini namun akibat
kerusakan itu tidak bisa merubah pola fikir manusia betapa pentingnya
menjaga kelestarian lingkungan hidup bagi keanekaragaman makhluk
hidup di dunia ini.
Di dalam pandangan Islam, bencana adalah suatu yang menimpa
atau membinasakan, kemalangan dan kejadian, yang tidak di inginkan
bencana juga lazim disebut musibah. Dua kata itu memiliki makna yang
sama.15 Namun, sebelum bencana itu terjadi sudah selayaknya manusia
sebagai salah satu penghuni muka bumi ini untuk senantiasa merawat,

15
Hasan Muafif Ambary; dkk, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1999, Cet-1), hlm., 308.
46

melestarikan serta menjaga bumi ini dari hal-hal yang negatif yang dapat
merusak alam semesta.
Berkaitan alam dan lingkungan hidup ini, Allah SWT telah
menciptakan alam semesta dengan segala isinya dalam susunan yang
seimbang dan teratur. Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Al-Hijr (15):
19:
ْۢ ِ
َ‫اس ََيَ َواَنابَ ات نَاَفِاي َهاَ ِم اَنَ ُك َِلَ َش ايءََ َّم اوُزاون‬
‫ضَ َم َد اد هٰنَاَ َواَلا َقاي نَاَفِاي َهاَ َرَو‬
ََ ‫َو ااْلَار‬

Artinya: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya


gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut
ukuran.”
Alam semesta yang luas ini mempunyai artistik yang sangat tinggi
yang secara garis besar dikelompokkan kedalam alam Macrocosmos dan
Microcosmos. Macrocosmos termasuk segala makhluk dalam skala besar,
seperti matahari dan segenap tata suryanya. Microcosmos termasuk
mencakup benda-benda baik yang mati maupun yang hidup dalam skala
kecil. Yang termasuk di dalam alam Microcosmos antara lain jasad repik
dan juga struktur yang tak bisa di amati dengan mata kepala. 16
Lingkungan hidup sebagai karunia Allah SWT merupakan sistem
dari ruang waktu, materi, keanekaragaman, dan alam fikiran serta prilaku
manusia dan seluruh makhluk lainnya. Islam merupakan agama yang berisi
dan petunjuk serta pedoman bagi para pemeluknya tentang bagaimana
manusia harus bersikap dan berperilaku dalam kehidupan. Petunjuk dan
pedoman ini secara sempurna telah digariskan oleh ajaran Islam dalam kitab
sucinya, Al-Qur’an dan Hadist-Hadist Nabi SAW. Petunjuk ini mengatur
manusia bagaimana harus hidup bahagia dan sejahtera, di dunia dan akhirat.
Disamping itu petunjuk ini juga mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT, sang penciptanya.

16
Sahrul Amin, Sains Tekhnologi Dan Islam, (Jakarta: Dinamika; 1996), hlm., 134.
47

Hubungan manusia dan manusia lainnya dan manusia dengan alam


semesta termasuk bumi yang di anugerahkan oleh tuhan yang maha
pemurah dan pengasih bagi kesejahteraan hidupnya. Karenanya Islam,
secara jelas mengajarkan tanggung jawab manusia bagi kelangsungan hidup
dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya. Dalam firman Allah SWT Q.S.
Al-Araf (7): 56:
ِ ِ ۗ ِ ِ‫ضَب ع َدَا‬
ََ‫ب َِم َنَاَلا ُم اح ِسنِ ا‬
‫ي‬ ِ ‫ه‬
‫َاّلل‬ ‫ت‬‫ْح‬‫َر‬ َّ
ٌ ‫اَوطَ َم ًع َ ا َ َ َ ا‬
‫ي‬‫ر‬ ‫ق‬َ ‫ن‬ ‫َا‬‫ا‬ َّ ً‫َخ اوف‬
َ ُ‫اَو اادعُ اوه‬ ‫َاْلَار ِ َ ا ا‬
َ ‫ص ََلح َه‬
ِ ‫وَْلَتُ اف ِس ُد او‬
‫اَِف ا‬ َ
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat
Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”
Ayat diatas merupakan dasar hukum tindak pidana illegal logging.
Ayat diatas menjelaskan bahwa janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi. Selain itu, ayat-ayat tersebut belum ada ketentuan sanksi-
sanksinya, hanya saja menjelaskan pesan moral untuk tidak berbuat
kerusakan di muka bumi.
Menurut Daud Effendy menjelaskan bahwa bertauhid sebagai
epistemologi merupakan tolak ukur di dalam menilai berbagai aktifitas
manusia, termasuk dalam hal ini tentang hubungannya dengan lingkungan.
Manusia bisa sebagai pemelihara lingkungan dan juga bisa sebagai perusak
lingkungan. Oleh karena itu, Tuhan bukan hanya berlaku di akhirat, tetapi
juga ketika manusia hidup di dunia. Misalnya bila terjadi illegal logging
disertai dengan pembakaran hutan, dampak langsungnya adalah hancurnya
ekosistem hutan, menipisnya oksigen, banjir, tanah manjadi tandus,
terjadinya sedimentasi, hilangnya flora dan fauna langka dan sebagainya.
Sebaliknya jika manusia bersahabat dengan lingkungan hidup yang
ditampakkan melalui pemeliharaan dan pengelolaan alam dengan baik
sebagai amal shaleh, maka keberkahan dan kesejahteraan dari alam pun
48

akan dirasakan manusia beserta makhluk hidup lainnya sehingga dapat


terwujud keseimbangan hidup sesama makhluk ciptaan Allah SWT. 17
Kita sebagai manusia yang hidup di bumi ini mempunyai hak atau
diperbolehkan memanfaatkan apa saja yang ada di bumi (sumber daya
alam), akan tetapi tidak berlebihan dan melampaui batas. Allah SWT
berfirman dalam Q.S. Al-An’am (6): 141:

َّ ‫عَُمُاتَلِ ًفاَأُ ُكلَُهَُ َو‬


َ‫الزياتُو َن‬ ََ ‫الزار‬
َّ ‫َّخ ََلَ َو‬
‫اتَ َوالن ا‬
َ ‫وش‬ َ ‫َو ُه ََوَالَّ ِذيَأَنا َشَأََ َجنَّاتََ َم اع ُر‬
َ ‫وشاتََ َوغَ اََيَ َم اع ُر‬
ِ ‫َّهَي وَمَحص‬
َ‫ادَهَََِۚ َوََْلَتُ اس ِرفُوا‬ ِ ِ
َ َ َ ‫الرَّما َنَ ُمتَ َشاِبًاَ َوغَ اََيَ ُمتَ َشابِهََََۚ ُكلُواَم اَنَََثَِرَهَِإِذَاَأَاَثَََرَ َوآتُواَ َحق َُ َ ا‬
ُّ ‫َو‬
ِ َُّ ‫ََۚإِنََّهَُ ََْلَ ُُِي‬
َ ‫بَالا ُم اس ِرف‬
َ‫ي‬

Artinya: "Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan


yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-
macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu)
bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan''.
Quraish Shihab di dalam tafsir nya menjelaskan tentang surat Al-
An’am ayat 141 bahwa manusia tidak boleh melakukan pemborosan
walaupun dalam hal apapun. Hal ini menekankan bahwa pemborosan itu
tidak dibenarkan karena tidak ada kebajikan di dalam pemborosan itu. Kata
idza mengandung makna waktu, yang menunjukkan bahwa buah yang
ditanam tidak selalu ada sepanjang tahun. Untuk mengisyaratkan bolehnya
memakan buah itu sebelum ia (manusia) menunaikan haknya. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa adanya hak harta orang lain pada harta yang dimiliki

17
Daud Effendy, Manusia, Lingkungan, dan Pembangunan (Prospektus Islami),
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hlm., 7.
49

seseorang. Jadi pada intinya manusia diperintahkan untuk berbuat sosial


bagi harta benda kepada orang lain yang membutuhkan.18
Allah SWT menurunkan syariat (hukum) Islam untuk mengatur
kehidupan manusia. Dengan demikian Islam adalah agama yang memberi
pedoman kehidupan manusia secara menyeluruh, mleliputi segala aspek
kehidupan menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik
dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat. Hukum Islam telah
melarang perbuatan yang pada dasarnya merusak kehidupan manusia. 19
Mayoritas bentuk hukuman yang terdapat dalam Undang-Undang
hukum positif adalah masuk kategori hukuman ta’zir. Karena Undang-
Undang hukum positif tersebut hanya semata sebuah bentuk pengaturan dan
rumusan yang didalamnya dipertimbangkan hal-hal yang sesuai dengan
bentuk dan tingkat kejahatan serta kondisi pelaku kejahatan, dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan manusia, memberikan efek jera dan
perehabilitasian serta menciptakan suasana yang aman, nyaman, dan
tenteram sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan.20
Bila ditinjau dari hukum pidana Islam tindak pidana illegal logging
merupakan suatu jarimah yang harus diberlakukan hukuman terhadap
pelaku tindak pidana. Illegal logging dikatakan sebagai jarimah karena
perbuatannya merupakan perbuatan yang zalim, merugikan orang lain serta
merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Hukuman yang tepat
untuk tindak pidana illegal logging bila ditinjau dari hukum pidana Islam
diterapkan hukuman ta’zir. Sanksi hukuman ta’zir diberlakukan karena
tidak terdapat ketentuan di dalam nash Al-Quran dan Hadist yang mengatur
mengenai tindak pidana illegal logging. Hukuman ta’zir diserahkan
sepenuhnya kepada waliyyul amri atau hakim untuk penerapan hukuman
yang tepat terhadap pelaku kejahatan illegal logging.

18
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol-4, hlm.,
405.
19
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm., 65.
20
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet-1),
hlm., 202.
50

Menurut Wahbah al-Zuhailî bentuk hukuman ta’zir sangat banyak


dan beragam dan semuanya menjadi kompetensi penguasa setempat atau
hakim. Hukuman ta’zir diterapkan sesuai dengan kondisi suatu masyarakat
atau bangsa. Jadi hukuman ta’zir yang diterapkan untuk tindak pidana
illegal logging di Indonesia dapat berbentuk penjara, denda, serta
perampasan benda. Hukuman ta’zir diterapkan untuk mewujudkan
kedamaian, kesejahteraan, ketertiban, serta kemaslahatan umum. 21
Dapat dikatakan bahwa bentuk pidana ta’zir ini merupakan
pengembangan lebih lanjut dari gagasan-gagasan pemidanaan dalam Al-
Quran dan as-Sunnah, khususnya terhadap bentuk-bentuk tindak pidana
yang tidak atau belum diatur dalam kedua sumber hukum yaitu Al-Quran
dan as-Sunnah seperti illegal logging. Hal ini dimungkinkan karena
ketentuan pidana yang secara tegas diatur dalam Al-Quran dan Hadits,
memang masih terbatas pada empiris di jaman Nabi.22

21
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-fikr, 1997, Cet-
4, Jilid-7), hlm., 5300.
22
Jimly ash-Shidiqie, Pembaharuan hukum Pidana Islam: Studi Bentuk-bentuk Pidana
dalam Tradisi Hukum Fiqh. (Bandung: Angkasa, 1996), hlm, 144.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum Pidana Islam memandang putusan Mahkamah Agung tentang
Illegal Logging sudah tepat hal ini didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1. Praktik Illegal Logging dapat berakibat buruk terhadap masalah ekonomi
tetapi juga terdampak pada ekologi, sosial, dan budaya, sehingga Illegal
Logging bukan merupakan kejahatan yang biasa. Baik hukum pidana Islam
maupun hukum positif meninjau Illegal Logging sebagai suatu tindak
pidana. Hukum pidana Islam dan hukum positif sama-sama mengancam
pelaku tindak pidana Illegal Logging dengan hukuman pidana. Dalam hal
ini hukum positif mengancam pelakunya dengan 3 (tiga) alternatif hukuman
yaitu penjara, denda dan perampasan benda. Sedangkan hukum pidana
Islam diserahkan kepada hakim sebab dalam hukum pidana Islam tidak
terdapat ketentuan secara bersifat eksplisit yang diatur dalam nash Al-
Quran maupun Hadits.
2. Pandangan hukum terhadap putusan No. 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk,
terhadap pelaku penebangan liar belum cukup memenuhi rasa keadilan
kepada masyarakat karena penerapan hukum yang didapat dari putusan
terebut masih terkesan sepotong-sepotong. Dalam pandangan fiqih
lingkugan pelaku penebangan liar tidak dapat dibenarkan, karena
menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran
udara, dan lain sebagainya. Perilaku tersebut adalah prilaku yang zhalim
sehingga merugikan mahluk hidup lainnya. Yusuf Qardhawi bahkan
menegaskan penerapan hukuman sanksi berupa kurungan (at-tazir) bagi
pelaku pengrusakan lingkungan hidup.

51
52

B. Saran-Saran
1. Jika ditinjau dari segi subtansinya UU No.41 Tahun 1999 dan UU No. 18
Tahun 2013 sudah cukup baik, kelemahan utama pencegahan Illegal
Logging adalah penerapan beserta aparat pemerintah dalam hal polisi,
kejaksan, hendaknya secara konsisten dapat menindak dengan tegas pelaku
tindak pidana Illegal Logging.
2. Masyarakat diharapkan dapat menjaga kelesatarian hutan dengan tidak
menebang pohon secara berlebihan dan tidak digunakan untuk kepentingan
pribadi. Masyarakat juga tidak membakar hutan hanya untuk membuka
lahan baru karena akan mengakibatkan banyak kerugian serta bencana alam
yang merugikan masyakat itu sendiri seperti; banjir, tanah longsor, serta
kebakaran dan lain-lain. Bahwa dalam tindakan tersebut perlu adanya
bantuan dari semua elemen dalam sehingga akademi atau mahasiswa di
pandang perlu untuk dapat memberikan pengetahuan, pendidikan serta
teguran jika terdapat perbuatan tindak pidana tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqihiyyah Dalam Prespektif Fiqh, Cet. 1; Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2004.
Ahmad, Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: 2005.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode penelitian Hukum. Cet. 1;
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Cet. 5; Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Ali. Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafik, 2012.
Al-Mursi, Ahmad, Maqashid Syariah, Cet. 3; Jakarta: AMZAH; 2013.
Al-Qardhawi, Yusuf. Agama Ramah Lingkungan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.
Al-Qardhawi, Yusuf. di Terjemahan Abdullah Hakim Shah. Agama Ramah
Lingkungan. Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Al-Zuhailî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Cet. 2; Beirut: Dâr al- Fikr, 1997.
Anggito, Albi dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet.1; Sukabumi:
CV. Jejak, 2018.
ash-Shidiqie, Jimly, Pembaharuan hukum Pidana Islam: Studi Bentuk-bentuk Pidana
Dalam Tradisi Hukum Fiqh. Bandung: Angkasa, 1996.
Audah, Abdul Qodir, Tasyri Al-Jina’i, Kairo, 2005.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid Syari’ah Menurut As-Syatibi. Cet. 2; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Cahyadiputra, Try, Pencegahan Serta Penanggulangan Penebangan Hutan Secara
Liar Illegal Logging Oleh Polisi Kehutanan (Studi Di Kabupaten Sumbawa),
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. 2013.
Dahlan, Abdul Aziz. “Jarimah” Ensiklopedi Hukum Islam. Cet. 2; Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996.

XI
XII

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Cet. 1; Jakarta: Logios Wacana Ilmu.
1997.
Djazuli. Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Cet. 2;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Effendy, Daud, Manusia, Lingkungan, dan Pembangunan (Prospektus Islami), Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Hamzah, Andi. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Cet. 1; Jakarta: Bina Aksara,
1987.
Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Cet. 2; Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Irwan, Efektivitas penyelesaian perkara Tindak Pidana Kehutanan di Kantor
Kejaksaan Negeri Sinjai, Vol. 1, UMM.
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1. Jakarta: Balai
Lektur Mahasiswa, 1995.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Citra Aditya Bakti,
1997.
Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa. Cet. 1;
Jakarta: Erlangga, 1995.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.
Maulana, Reza. yang berjudul Penerapan Sanksi Tindak Pidana Illegal Logging di
Kawasan Hutan Lindung Ditinjau Dari Uu N0. 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Studi Kasus Kecamatan
Bener Kelipah Kabupaten Bener Meriah), Diterbitkan oleh Fakulktas Syari’ah
dan Hukum UIN Ar-raniry, 2018.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1993.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: BP UNDIP, 1995.
Munawwir, Ahmad, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. 14; Surabaya: Penerbit
Pustaka Progresif; 1997.
XIII

Nawawi, Arief Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996.
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Prodjohamidjojo Martiman. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Cet.
2; Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 139/Pid.B/LH/2020/PN Sdk.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Cet. 3; Jakarta: PT Raja Grafindo,
2013.
Raudah, Siti Sarah. Yang berjudul Tindak Pidana Illegal Logging Dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam (Analisis Pasal 82 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan), Diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2018.
Remmelink, J, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Tristam Pascal Moeliono,
Penerjemah). Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Sabiq, Sayid, Fiqhus Sunnah, Terjemahan. Muzakir A. S, Bandung: Al-Maa’rif, 1987.
Sahetapy, J.E, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 2005.
Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara
Baru, 1990.
Salim, Kamus Indonesia Inggris, Jakarta: Modern English Press, 1987.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam, Cet. 2; Bandung: Asy Syaamil &
Grafika, 2001.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia
Grafika, 1996.
Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Cet. 4; Jakarta:
Alumni ahaem petehaem, 1996.
XIV

Suarga, Risa, Pemberantasan Illegal Logging, Tanggerang: Wana Aksara, 2005.


Supardi, Dyes. Pembebasan Hak Yang Tersandera. Yogyakarta: BP Arupa, 2006.
Supriadi. Hukum Kehutanan Dan Hukum Perkebunan Di Indonesia. Cet. 2; Jakarta:
Sinar Grafik, 2012.
Syafi’i, Ahmad. Fiqh Lingkungan: Revitalisasi Ushul al-Fiqh Untuk Konservasi Dan
Restorasi Kosmos.
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus, Cet. 4; Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 60 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Hutan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Perusakan Hutan.
Usman. Suparman, Hukum Islam. Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta; Sinar Grafika, 2004.
Zulkifli. Arif. Dasar-dasar Ilmu Lingkungan. Jakarta: Salemba Teknika, 2014.

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai