Anda di halaman 1dari 101

PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)

OLEH HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH DI


PENGADILAN AGAMA

(Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor


2107/Pdt.G/2016/PA.Tng)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

KHOLID ABDUL AZIZ


NIM. 11140460000088

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ABSTRAK

Kholid Abdul Aziz. NIM 111140460000088. Penerapan Metode


Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam Perkara Ekonomi
Syariah di Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang
Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018 M. xi + 82 halaman + 57 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah hakim Pengadilan Agama
Tangerang menggunakan metode penemuan hukum sehingga berhak memeriksa
perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng, serta mengetahui
bagaimana hakim Pengadilan Agama Tangerang menerapkan metode penemuan
hukum dalam menangani perkara ekonomi syariah Nomor
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, jika para pihak telah menunjuk badan arbitrase sebagai tempat
penyelesaian perselisihan yang dituangkan dalam kontrak perjanjian, maka
Pengadilan Agama tidak berwenang menangani perkara yang timbul dari
perselisihan yang terjadi. Namun, ketentuan tentang tempat penyelesaian
perselisihan ekonomi syariah yang terjadi pada kontrak tersebut oleh majelis
hakim dinilai bahwa Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara
ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku, wawancara dan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan judul skripsi
ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hakim Pengadilan Agama
Tangerang yang memeriksa perkara ekonomi syariah dengan nomor perkara
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng melakukan penemuan hukum dengan metode
interpretasi kompeherensif dengan alasan: (1) Dengan menyatakan Pengadilan
Agama berwenang mengadili perkara ekonomi syariah setelah adanya putusan
sela memberikan arti bahwa kebutuhan masyarakat akan hukum telah dipenuhi
oleh majelis hakim sehingga terciptanya kepastian hukum, (2) Hukum yang
terjadi antara penggugat dan tergugat merupakan realitas dan mempunyai dampak
yang besar. Jika tidak segera dipastikan lembaga mana yang berwenang
mengadili, maka sengketa ekonomi syariah akan terus berlarut-larut dan tidak
memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi para pencari keadilan, (3) Majelis
hakim mencari maksud dibalik klausula dengan melihat alamat yang tertera dan
meminta keterangan penggugat atas hadirnya kalusula tersebut. Artinya majelis
hakim dalam hal ini melakukan interpretasi dengan menyelami makna dengan
sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terjadi, (4)
Dalam memeriksa perkara ini hakim terlihat tidak bersifat too legal terhadap
permasalahan yang terjadi. Namun, hakim menggunakan penalaran logis yang
sejalan dengan hati nuraninya dalam menyelesaikan perkara ini termasuk

iv
menyikapi klausula tersebut. Hal itu semata-mata demi terwujudnya tujuan hukum
itu sendiri.

Kata Kunci : Penerapan Penemuan Hukum, Penyelesaian Sengketa


Ekonomi Syariah Nomor Perkara: 2107/Pdt.G/2016/
PA.Tng

Pembimbing : Mustolih Siradj, S.H.I., M.H., C.L.A


Daftar Pustaka : Tahun 1970 s.d. 2017

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala


yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Penerapan Metode Penemuan Hukum (rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam
Perkara Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama”. Shalawat serta salam tak lupa
tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini penulis persembahkan seutuhnya untuk motivator terbesar dan
terindah sepanjang perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta,
Ayahanda (Alm) H. Hidayat Syarif dan Ibunda Hj. Farhatun Aeniyah beserta
kakak-kakakku terkasih dan tercinta Syarifah Aeni, Suryani Atikah, Lia Karmila,
Asep Hidayat, Badru Tamam, dan Shodiq Nurcholis yang tiada lelahnya selalu
memberikan semangat, motivasi, bimbingan, dukungan, kasih sayangnya, do’a,
begitu juga keluangan waktu dan senyumannya. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka
semua.
Selama proses penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, atas berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan demikian, sudah sepatutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu, khususnya:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah yang telah
memberikan arahan dan saran yang terbaik bagi mahasiswanya. Sosok

vii
dosen yang memberikan semangat kepada mahasiswa dengan cara yang
selalu menghibur dan selalu memberi kemudahan.
4. Mustolih Siradj, S.H.I, M.H., CLA., selaku dosen pembimbing skripsi
yang sangat memberikan inspirasi sejak awal bimbingan hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini. Beliau memiliki sikap yang sangat rendah hati
dan sabar sehingga bimbingan skripsi yang telah dijalani selama ini tidak
terasa berat atas arahan dan motivasi dari beliau. Semoga Bapak
senantiasa selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Seluruh staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis dan telah menginspirasi penulis untuk selalu belajar.
6. Yayuk Alfiyanah, S. Ag., M.A., selaku Hakim Pengadilan Agama
Tangerang yang memutus perkara yang penulis jadikan bahan penelitian,
dan senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan
memberi bimbingan, arahan, nasihat, serta saran selama penulis
melakukan wawancara.
7. Saimin, selaku Manager KSPPS IKMI Al- Fath yang telah memberikan
izin dan meluangkan waktunya untuk memperoleh informasi terkait judul
skripsi ini.
8. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama, terutama yang telah
membantu penulis dalam pengadaan refrensi-refrensi sebagai bahan
rujukan skripsi.
9. Firdaus, Badya Fachriansyah, Anugrah Dwicahyatna Putra, Fathur
Rahman Al- Aziz, Muhammad Dzikri Azka, Reno Lintang Pamungkas.
Terima kasih sudah selalu mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi,
memberikan support, hiburan, dan saran keilmuan selama penulisan
skripsi ini. Semoga hubungan persahabatan ini bisa selalu terjalin
dengannya.

viii
10. Sahabat-sahabat New Forward yang selalu memberikan motivasi, diskusi
dan saran keilmuan kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat yang selalu ada sejak awal perkuliahan khususnya di
Kelas B dan umumnya angkatan 2014 Hukum Ekonomi Syariah. Sahabat
yang selalu menemani, selalu berbagi suka dan duka, sahabat yang selalu
setia, serta kenangan indah lainnya yang penulis tidak dapat lupakan
bersama kalian semua.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukukannya,
hanya do’a dan semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempatan skripsi ini.

Tangerang, 25 Mei 2018

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………ii

LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iii

ABSTRAK……………………………………………………………………….iv

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..vi

KATA PENGANTAR………………………………………………………......vii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………….1


B. Identifikasi, Batasan, dan Perumusan Masalah…….………….6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………………...7
D. Review Studi Terdahulu……………………………………….8
E. Metode Penelitian…………………………………………….10
F. Sistematika Penulisan………………………………………...13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM

A. Pengertian Penemuan Hukum………………………………..15


B. Sebab Penemuan Hukum…………………………………….20
C. Sistem Penemuan Hukum……………………………………24
D. Metode Penemuan Hukum…………………………………...25
E. Prosedur dan Teknik Pengambilan Putusan dalam Penemuan
Hukum………………………………………………………..36
F. Peran Hakim dalam Penemuan Hukum……………………...39

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI


PENGADILAN AGAMA DAN ARBITRASE SYARIAH

A. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama……………..46

x
B. Hukum Materiil dan Formil Di Peradilan Agama Dalam
Bidang Ekonomi Syariah…………………………………….50
C. Hubungan Pengadilan Agama Dengan Arbitrase Syariah…...55

BAB IV PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM


(RECHTSVINDING) OLEH HAKIM DALAM PERKARA
EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng)

A. Penerapan Metode Penemuan Hukum (Recthvinding)………62


1. Duduk Perkara…………………………………………....62
2. Pertimbangan Hukum…………………………………….64
3. Amar Putusan…………………………………………….64
B. Analisis Penulis………………………………………………65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………..75
B. Saran………………………………………………………....76

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...77

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Tangerang


2. Surat Permohonan Data Wawancara Ke BMT IKMI Al- Fath
3. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Tangerang
4. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Tangerang
5. Putusan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng
6. Akad Kerjasama Musyarakah BMT Al Fath IKMI
7. Dokumentasi Gambar Melakukan Wawancara

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pasal 10 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksanya. Oleh karena itu, hakim didorong agar selalu memiliki sikap
professional dan berintergritas, karna hakim selalu dianggap tahu akan hukum
(ius curia novit).
Sebagai instansi pemerintah, pengadilan bertugas memeriksa , mengadili
dan memutus suatu perkara. 1 Dalam tahap menerima hingga memutus suatu
perkara, seorang hakim tidak selalu disuguhkan pada suatu keadaan
permasalahan yang sudah mempunyai aturan tertulis atau mempunyai aturan
tertulis namun kurang jelas. Jika terjadi demikian, sikap hakim tidak boleh
tinggal diam, ia harus menyelesaikan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman untuk menegakan hukum dan keadilan. Adapun cara yang dapat
dilakukan oleh hakim ialah dengan melakukan penemuan hukum.
Dalam praktik hukum di pengadilan, biasanya terdapat 3 (tiga) istilah yang
sering digunakan oleh hakim, yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum,
dan penerapan hukum. Akan tetapi, istilah penemuan hukum lebih populer
digunakan oleh para hakim, dan pembentukan hukum biasanya digunakan
oleh lembaga pembentuk undang-undang. 2

Istilah penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan


hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap

1 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


2 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.,10.

1
2

peristiwa hukum yang konkrit.3 Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh


Achmad Ali, menyatakan bahwa penemuan hukum adalah sesuatu yang lain
daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana
kadang-kadang atau sering terjadi bahwa peraturannya harus diketemukan,
baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun
penghalusan/pengkonkretan hukum.4 Oleh karena itu, hakim identik dituntut
untuk melakukan penemuan hukum terhadap hukum materill saja.
Menurut Bagir Manan, hakim tidak saja dituntut untuk menemukan hukum
materiil, namun juga dapat diberikan peluang untuk menemukan hukum
formil yang senyatanya Indonesia masih menganut paham HIR/RBG. Dalam
melakukan penemuan hukum formil, hakim dapat menggunakan metode
penafsiran. Karena, kualitas suatu putusan tidak hanya dilihat dari aspek
kualitas subtantif atau ilmiah, namun juga dilihat dari aspek prosedural.5
Undang –Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
telah menegaskan mengenai peran kekuasaan kehakiman dan bagaimana
hakim dapat menciptakan putusan yang dapat memberikan nilai-nilai hukum
dan keadilan yang ada dalam masyarakat. Hal itu semata-mata guna
memenuhi tujuan hukum yang selalu harus diperhatikan yaitu keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Dalam menegakkan hukum diharapkan adanya kompromi antara ketiga
unsur tersebut. Ketiga unsur itu haruslah mendapat perhatian secara
proporsional dan seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah
mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur
tersebut. Diakui bahwa tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa
yang harus diperbuatnya yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.
Akan tetapi, terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat
mentaati peraturan hukum akibatnya akan kaku serta tidak menutup

3 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya


Atma Pustaka, 2014, Edisi Revisi), h., 49
4 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum¸ (Jakarta: Kencana, 2015, Edisi Kedua), h., 154
5 Muhammad Noor, dkk, “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang”, Quo Vadis

Penemuan Hukum; Majalah Peradilan Agama, Edisi 2, (September-November 2013), h., 7


3

kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang


terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan
kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara
ketat (lex dura sed tamen scripta).6
Sebagai negara yang mengantut sistem hukum eropa kontinentel,
Indonesia berdasar pada hukum tertulis. Artinya, tindak pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan sudah tertera dan diatur dalam perundang-undangan
yang mengaturnya. Namun, keberagaman permasalahan manusia yang seiring
perkembangan zaman semakin hari semakin kontemporer, sehingga tidak
mungkin tercangkup dalam suatu peraturan perundang-undangan secara
menyeluruh dan jelas. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk
ciptaan Tuhan mempunyai kemampuan yang terbatas sehingga undang-
undang yang dibuatnya tidaklah lengkap dan tidak sempurna untuk
mencangkup keseluruhan permasalahan manusia dalam kehidupannya. Untuk
itu, tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-
lengkapnya atau sejelas-jelasnya untuk mengatur permasalahan yang ada
dalam masyarakat.
Setiap undang-undang bersifat statis dan terkadang tidak selalu mengikuti
perkembangan kemasyarakatan sehingga menimbulkan ruang kosong yang
perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah dibebankan kepada para hakim
dengan melakukan penemuan hukum dengan syarat bahwa dalam
menjalankan tugasnya tersebut, tidak boleh mendistorsi maksud dan jiwa
undang-undang atau tidak boleh bersikap sewenang-wenang.7 Dikarenakan
dalam undang-undang tidak lengkap, maka dari itu harus dicari dan

6Nur Muliadi. "Rechtvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode


Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam)", Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, Vol 2.1 (2016), h.,
2.
7 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni,

2006), h. 33. Amanah hakim harus melakukan penemuan hukum tertera dalam Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
4

diketemukan hukumnya dengan memberikan penjelasan, penafsiran atau


melengkapi peraturan perundang-undangannya.8
Seorang hakim bukanlah corong dari undang-undang dan bukanlah robot
yang selalu mengikuti undang-undang yang bersifat statis tanpa melihat akan
dinamika masyarakat. Perundang-undangan pun terkadang sudah tertinggal
dan dirasa sudah tidak cocok akan perkembangan zaman. Maka penting
dinyatakan bahwa hukum itu dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk
hukum. Suatu putusan yang dikeluarkan oleh hakim selalu dipersembahkan
untuk manusia sebagai pencari keadilan. Namun, tidak mengherankan apabila
terhadap suatu putusan hakim, selalu ada yang menyatakan adil dan di lain
pihak menyatakan tidak adil. Hakim haruslah menerima itu sebagai suatu
kenyataan.9
Putusan yang dirasa tidak adil, tidak menutup kemungkinan ditemukan di
lingkungan peradilan agama. Putusan hakim atas perkara dengan tingkat
kerumitan yang kompleks, seperti gugatan harta bersama, hadlanah, kewarisan
ekonomi syariah, dan sebagainya, dipastikan mengandung reaksi
ketidakpuasan dari masyarakat manakala tidak disertai penalaran dan
argumentasi hukum yang memadai. Terlebih kerja professional hakim
bertumpu pada kreativitas dalam menginterpretasi undang-undang dan
melakukan penemuan hukum lainnya. Karena itu, hakim agama harus piawai
dan berani melakukan judicial activism. Kompetensi judicial activism tersebut
meliputi serangkaian pengetahuan, keterampilan dan ciri kepribadian yang
mendorong hakim untuk menggali dan menemukan nilai-nilai hukum tidak
tertulis yang hidup di masyarakat sesuai dengan prinsip dan aturan hukum. 10
Sikap hakim peradilan agama dalam melakukan judicial activism atau
penemuan hukum juga tidak luput dalam perkara ekonomi syariah. Ekonomi
syariah merupakan salah satu bidang baru sejak diundangkannya Undang-

8 Pontang Moerad, B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, (Bandung:


Alumni, 2006), h., 86
9 Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh

Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, Hasanudin Law Review, Vol. 1, Issue. 2, (Agustus 2015),
h., 128-129.
10 Muhammad Noor, dkk, “Quo Vadis Penemuan Hukum”, h., 5
5

Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menambah


kompetensi Pengadilan Agama dalam hal kewenangan mengadili.11 Dalam
kewenangannya itu justru menjadi tantangan baru bagi para hakim Pengadilan
Agama dalam menangani perkara yang selama ini tidak bersentuhan dengan
perkara bisnis syariah. Tantangan lain bagi para hakim yakni kebutuhan akan
hukum materiil dan formil untuk perkara ekonomi syariah.
Namun, tantangan itu tidak menghambat hakim Pengadilan Agama untuk
mengadili perkara ekonomi syariah. Dengan pengetahuan yang dimilikinya,
sudah dapat ditemui beberapa putusan-putusan ekonomi syariah yang telah
ditangani oleh Pengadilan Agama, termasuk di Pengadilan Agama Tangerang.
Perkara dengan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. merupakan perkara
ekonomi syariah perdana yang telah diputus oleh Pengadilan Agama
Tangerang sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
sebagai bentuk kompetensi absolutnya. Perkara tersebut merupakan perkara
wanprestasi atas kontrak kerjasama akad musyarakah antara Koperasi BMT
dengan nasabahnya.
Perkara tersebut menarik penulis untuk melakukan penelitian dikarenakan
terdapat pencantuman klausula “badan arbitrase pada Pengadilan Agama
Tangerang” pada kontrak perjanjian musyarakah dan surat gugatan
penggunggat yang ditujukan ke Pengadilan Agama Tangerang.12 Pengadilan
tetap menerima hingga memutus perkara tersebut. Tidak ada upaya banding
dan sudah dinyatakan In Kracht.13 Padahal, terdapat pasal dalam undang-
undang yang menyatakan pengadilan tidak berwenang untuk mengadili

11 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjelaskan bahwa Pengadilan Agama


bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara -perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syariah.
12 Dapat juga dilihat dalam putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor

2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
13 Artinya berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum biasa yang dapat

ditempuh lagi. Lihat, https://kamushukum.web.id/arti-kata/inkracht/, diakses pada 1 Februari 2018.


6

sengketa para pihak yang telah mencantumkan klausula arbitrase pada


perjanjiannya.14
Berdasarakan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka penelitian ini penulis fokuskan pada penerapan penemuan hukum dalam
putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor Register Perkara
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng., dan memberi judul penelitian “Penerapan Metode
Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam Perkara Ekonomi
Syariah Di Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA. Tng)”

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu permasalahan terkait dengan
judul yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah tertuang pada
sub bab latar belakang diatas akan penulis paparkan kembali beberapa
permasalahan yang ditemukan sesuai dengan bagian latar belakang
penelitian ini, antara lain:
a. Bagaimana kontribusi metode penemuan hukum dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama Tangerang?
b. Bagaimana penerapan metode penemuan hukum oleh hakim di
Pengadilan Agama Tangerang dalam suatu putusan perkara ekonomi
syariah?
c. Apa yang dijadikan pertimbangan bagi hakim sehingga dapat
mengadili perkara nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.?
d. Apakah putusan nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. sudah memenuhi
nilai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan?
2. Batasan Masalah
Dalam hal ini penulis membatasi penelitian, agar masalah yang
diteliti lebih terfokus dan spesifik, diantaranya pada:

14 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.
7

a. Penemuan hukum dibatasi pada metode yang digunakan oleh hakim


terhadap perkara Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng., baik penafsiran
maupun kontruksi.
b. Pengadilan Agama dibatasi pada Pengadilan Agama Tangerang.
c. Perkara Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng., dibatasi dengan
permasalahan mengenai hadirnya “klausula badan arbitrase pada
Pengadilan Agama Tangerang” pada kontrak perjanjian dan surat
gugatan yang ditujukan ke Pengadilan Agama Tangerang.
3. Rumusan Masalah
a. Apakah hakim Pengadilan Agama Tangerang menggunakan metode
penemuan hukum sehingga berhak memeriksa perkara ekonomi
syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng ?
b. Bagaimana hakim Pengadilan Agama Tangerang menerapkan metode
penemuan hukum dalam menangani perkara ekonomi syariah Nomor
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Peneliatian
Penelitian ini adalah kegiatan ilmiah yang mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang hendak dicapai oleh peneliti yang tidak terlepas dari
perumusan masalah yang telah di tentukan. Adapun tujuan penulisan ini
secara umum untuk mengetahui metode penemuan hukum oleh hakim di
Pengadilan Agama dalam perkara ekonomi syariah. Sedangkan secara
khususnya, penelitian ini bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui apakah hakim Pengadilan Agama Tangerang
menggunakan metode penemuan hukum sehingga berhak memeriksa
perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
b. Untuk mengetahui penerapan metode penemuan hukum oleh hakim
Pengadilan Agama Tangerang dalam menangani perkara ekonomi
syariah Nomor 2117/Pdt.G/2016/PA.Tng.
8

2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan wawasan bagi akademisi, praktisi, serta para penegak hukum,
khususnya hakim lingkup peradilan agama yang menangani perkara
ekonomi syariah dan umumnya seluruh Hakim Pengadilan Agama.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan
menyertakan beberapa penelitian terdahulu yang diperoleh baik melalui
perpustkaan maupun dunia maya yang membahas mengenai penerapan
metode penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim di Pengadilan Agama,
tulisan tersebut antara lain:
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Fitriawan Sidiq, “Analisis Terhadap
Putusan Hakim Dalam Kasus Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan
Agama Bantul, Skrispi, Yogyakarta: Muamalat, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. Dalam skripsi ini mengkaji penemuan
hukum oleh hakim menanggapi perkara ekonomi syariah yang merupakan
kasus baru di Pengadilan Agama Bantul. Selain itu, pembahas juga menitik
beratkan dasar hukum yang dipakai hakim dalam melihat perkara ekonomi
syraiah ini. Sedangkan dalam penelitian yang saya tulis, terdapat kesamaan
mengenai pembahasan penemuan hukum dalam lingkup Pengadilan Agama,
namun pembedanya adalah penulis menggunakan putusan Pengadilan Agama
Tangerang.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Safira Maharani, “Penerapan
Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa,
(Stusi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta bersama)”,
skripsi, Jakarta 2015: Kosentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum
Keluarga, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi
ini mengkaji penerapan konsep hermeneutika hukum pada putusan harta
bersama, serta mencari tahu alasan hakim dalam memutus harta bersama tanpa
merujuk pada Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan dalam penelitian yang
9

saya tulis, membahas mengenai penemuan hukum (rechtvinding) dengan


metode interpretasi maupun kontruksi dalam sengketa ekonomi syariah. Selain
itu, penelitian ini juga membahas penemuan hukum formil pada putusan
Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan
Agama Tangerang dengan mengetahui nilai kepastian hukum, kemanfaatan,
dan keadilan.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Nurus Sa’adah, “Analisis Putusan Hakim
Dalam Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Surakarta Tahun
2013-2017 (Berbasis Nilai Keadilan), skripsi, Surakarta 2017: Jurusan Hukum
Ekonomi Syariah (Muamalah), Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dalam
skripsi ini mengkaji tentang pertimbangan hakim yang digunakan dalam
menjatuhkan putusan dan dianalisis menggunakan asas keadilan. Sedangkan
dalam penelitian yang saya tulis, membahas mengenai metode penemuan
hukum (rechtvinding) dalam sengketa ekonomi syariah. Selain itu, penelitian
ini mengkaji putusan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng yang dijatuhkan oleh
hakim di Pengadilan Agama Tangerang dengan mengetahui nilai kepastian
hukum, kemanfaatan , dan keadilan. Tidak hanya keadilan.
Keempat, artikel yang ditulis oleh Nafi’ Mubarok, “Penemuan Hukum
Sebagai Pertimbangan Sosiologis Hakim Agama Dalam Menerapkan
Hukum”, Jurnal Al-Qanun, Vol. 17, No. 2, Desember 2014, Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Tulisan tersebut
mengkaji metode penemuan hukum dengan penerapan sosiologi hukum untuk
hakim agama dalam memutus perkara. Sedangkan dalam penelitian yang saya
tulis, fokus membahas mengenai metode penemuan hukum dalam sengketa
ekonomi syariah. Selain itu, penelitian ini juga membahas penemuan hukum
formil pada putusan Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng yang dijatuhkan oleh
hakim di Pengadilan Agama Tangerang sebagai kompetensi dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
10

E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,
dan konsisten.15 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya.16 Inti daripada metodologi dalam setiap penelitian hukum
adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu
harus dilakukan.17
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan hukum normatif. Penelitian hukum
normatif dapat disebut dengan penelitian hukum doktriner dan disebut
juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut
penelitian hukum doktriner, karna penelitian ini dilakukan atau ditujukan
hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.
Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian
ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder. 18
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif yakni penelitian yang
mendasarkan data-data penelitiannya pada data kualitatif. Data kualitatif
dapat berupa dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan hasil wawancara.19
Sifat deskriptif yang dimaksud adalah memberikan gambaran atau

15 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet. Kelima),
h., 17.
16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986, Cet.
Ketiga), h. 43.
17 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008,

Cet. Keempat), h., 17.


18 Ibid. h., 13.
19 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h., 9.


11

pemaparan atas realita yang terjadi20 dalam putusan Pengadilan Agama


Tangerang Nomor 2107/Pdt.G/2016/Tng, kemudian menghubungkannya
dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang
objektif, logis, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikhendaki.
3. Data Penelitian
Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dan terbagi
menjadi dua, yaitu:
a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan
melakukan wawancara langsung terhadap pihak-pihak terkait dengan
penelitian ini terutama hakim-hakim yang menerima, memeriksa, dan
mengadili perkara Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data mengenai atau yang berkaitan dengan
objek penelitian yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber
data.21 Data sekunder berisikan informasi tentang bahan primer yang
dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, Al- Qur’an, Hadis, data-data resmi dari instansi
pemerintah yang berwenang, buku-buku, internet, karangan ilmiah,
jurnal, dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Dokumentasi
Melalui studi ini dapat menelaah bahan-bahan atau data-data yang
diambil dari dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang

20 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.,183. Menurut Moh. Nazir, Metode deskriptif
adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki, Lihat,
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h., 54.
21 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas

Atma Jaya, 2007), h.,71.


12

pemeriksaan yang terkait perkara ekonomi syariah pada putusan


Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
b. Studi Pustaka (Library Research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini yaitu Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES), PERMA No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian
Perkara Ekonomi Syariah, , Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fatwa DSN-
MUI, dan kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian ini.
Pengolahan data studi pustaka dilakukan dengan cara dibaca, dikaji,
dan dikelompokan sesuai dengan pokok masalah yang akan diteliti.
c. Penelitian Wawancara (Interview)
Wawancara dilakukan kepada majelis hakim yang menerima,
memeriksa, dan mengadili perkara putusan Nomor
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. Wawancara ini menggunakan metode bebas
dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan refrensi
untuk memperkuat data.
5. Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan deskriptif
analisis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
terhadap data primer dan data sekunder. 22 Analisis data ini memberikan
telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah,
atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan
terhadap hasil penelitian.23
Pada penelitian ini, sifat deskriptif analisis dengan pendekatan
kualitatif yang akan digunakan pada putusan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor Register Perkara 2107/Pdt.g/2016/P.A.Tng., dan

22Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h., 107.


23 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris, h., 183.
13

melakukan wawancara terhadap hakim yang memeriksanya, untuk


mengetahui proses dan aturan hukum yang digunakan dalam proses
penemuan hukum dalam putusan ekonomi syariah tersebut.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan
data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, baik data primer maupun
sekunder. Setelah data terkumpul, kemudian dipilih kategori mana yang
relevan dan mana yang tidak relevan terhadap penelitian ini. Setelah itu,
disusun menjadi rancangan yang sistematis untuk ditampilkan sehingga
pada kesimpulan akhir didapatkan suatu simpulan berdasarkan data yang
peroleh secara lengkap.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi nantinya, diperlukan adanya uraian mengenai
susunan penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada
pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu, penulis merencanakan
penulisan ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, yaitu:
BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, studi (review) terdahulu,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian penemuan hukum,
sebab penemuan hukum, sistem penemuan hukum, metode
penemuan hukum, prosedur dan teknik pengambilan
putusan dalam penemuan hukum, peran hakim dalam
peneman hukum.
BAB III Penulis membahas mengenai kompetensi peradilan agama
dalam menangani perkara ekonomi syariah yang terdiri dari
kedudukan dan kewenangan peradilan agama, hukum
materiil dan formil di Pengadilan Agama dalam perkara
ekonomi syariah, dan hubungan Pengadilan Agama dengan
arbitrase syariah.
14

BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan duduk perkara,


pertimbangan hukum beserta amar putusan terkait Perkara
Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng dan menganalisisnya
dengan berpedoman pada aturan yang berlaku dan
berdasarkan pada metode penemuan hukum oleh hakim.
BAB V Pada bab akhir ini, penulis akan memberikan kesimpulan
yang disertai dengan saran-saran.
Demikianlah rancangan sistematika penulisan ini, mudah-mudahan rancangan
ini dapat dimengerti dan bermanfaat.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM

A. Pengertian Penemuan Hukum

Terlepas dari tidak wajibnya mengikuti preseden, diacunya yurisprudensi


kuat bagi penyelesaian sengketa serupa menunjukan bahwa tugas hakim
bukan sekedar menerapkan undang-undang. Melalui putusannya yang menjadi
yurisprudensi kuat, hakim juga membuat hukum. Hal itu dalam praktik
penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala terminologi yang
digunakan oleh undang-undang tidak jelas, undang-undang tidak mengatur
masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan dengan
situasi yang dihadapi. Oleh karena itulah, hakim dalam hal ini lalu melakukan
pembentukan hukum (rechtvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan
hukum (rechtverfijning), atau penafsiran (interpretative). Kegiatan-kegiatan
semacam itu, dalam sistem hukum kontinental disebut sebagai penemuan
hukum (rechtsvinding).24
Kehadiran penemuan hukum dalam dunia hukum memberikan solusi
antara pandangan legisme, begriffsjurisprudenz yang terlalu tajam dalam
menyikapi pandangannya dalam suatu penyelesaian persoalan hukum. 25
Penemuan hukum merupakan aliran yang menyatakan bahwa hakim terikat
pada undang-undang, tetapi tidaklah seketat seperti menurut ajaran legisme,

24 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008, Edisi
Revisi), h., 282. Sudikno Mertokusumo memberikan 5 istilah yang sering dikaitkan dalam
kegiatan penemuan hukum, yaitu Pembentukan Hukum (rechtsvorming), Penerapan Hukum
(rechtstoepassing), Pelaksanaan Hukum (rechtshandhaving), Penciptaan Hukum (rechtschepping),
Penemuan Hukum (rechtsvinding). Lihat, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar, h., 47-48. Yang dimaksud penemuan hukum bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi
hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan untuk diterapkan dalam
peristiwa konkret. Lihat, Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press,
2012), h., 53.
25 Aliran begriffsjurisprudenz merupakan aliran yang memperbaiki aliran Legisme. Aliran

ini mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang tidak lengkap, tetapi undang-undang masih bisa
menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas.
Penggunaan hukum logika yang dinamakan silogisme menjadi dasar aliran ini, tujuan dari aliran
ini ialah bagimana kepastian hukum dapat terwujud. Lihat, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h.,
155.

15
16

karena hakim juga memiliki kebebasan. Namun kebebasan hakim dalam


melaksanakan tugas disebut sebagai kebebasan yang terikat atau keterikatan
yang bebas. Oleh karena itu, tugas hakim disebutkan demikian karena ia
berperan dalam penemuan hukum berdasarkan tuntutan zaman. 26
Berdasarkan hal di atas, eksistensi penemuan hukum begitu mendapatkan
perhatian yang berlebih, karena penemuan hukum dirasa mampu memberikan
suatu putusan yang dinamis dengan memadukan aturan yang tertulis dan
aturan yang tidak tertulis. Penemuan hukum diartikan sebagai wadah ijtihad
hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa tujuan hukum.
Sehingga penemuan hukum dirasa memiliki corak yang indah yang menjelma
menjadi suatu putusan hakim yang didambakan. Berdasarkan hal tersebut, lalu
apa yang dimaksud dengan penemuan hukum oleh hakim itu?
Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, penemuan
hukum diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada hanya penerapan
peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana kadang-kadang atau sering
terjadi bahwa peraturannya harus diketemukan, baik dengan jalan interpretasi
maupun dengan jalan analogi ataupun pengkonkretan hukum. 27 Sependapat
dengan Scholten, Panggabean mengartikan penemuan hukum sebagai proses
konkretisasi terhadap peraturan hukum yang bersifat umum dengan
memperhatikan peristiwa konkret yang terjadi dalam perkara tersebut.28
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkrit.
Jadi, yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan
atau menentukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.29
Menurut Arif Hidayat, penemuan hukum dapat diartikan sebagai tindakan
untuk menyisiasati terjadinya kesenjangan dalam undang-undang (legal gap),

26 Zainuddin Ali, Metode Penemuan Hukum, h.,146.


27 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 154.
28 H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia,

(Bandung: PT. Alumni, 2014), h., 217.


29 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, h., 49.
17

yang terjadi akibat undang-undang yang cepat atau lambat akan tertinggal oleh
fakta seiring berubahnya tananan sosial tempat hukum itu hidup di dalam alam
kenyataan. Legal gap yang dimaksud antara hukum di atas kertas (law in the
books), dan hukum yang hidup dalam kenyataan (law in action).30
Dari pengertian penemuan hukum di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum
oleh hakim, yang dimana hakim tersebut tidak hanya melihat pada konteks
tekstual atau dalam arti hanya dari undang-undang saja, namun dapat juga dari
sumber hukum yang lain. Pada penemuan hukum pula, hakim harus melihat
apakah undang-undang tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau
tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Jika terjadi demikian, maka hakim
dapat melakukan penemuan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan
hukum yang konkrit dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Disisi lain, penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh
subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan
hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode
tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum, seperti interpretasi,
penalaran, kontruksi hukum dan lain-lain.31 Menurut Amir Syamsudin
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifa’i, kaidah-kaidah atau metode-metode
tertentu yang digunakan oleh hakim dalam pembentukan hukum bertujuan
agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara

30 Arif Hidayat, “Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim Dalam Putusan


Pengadilan, Pandecta, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013, h.,154. Penyebab terjadinya Legal Gap
dikarenakan dalam penyusunan peraturan perundang -undangan baik oleh legislatif maupun
eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan
perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal atau keadaan yang khendak diatur oleh
peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu, kekosongan hukum dapat terjadi ketika hal-hal atau
keadaan yang terjadi belum diatur dalam peraturan-perundang-undangan atau sekalipun sudah
diatur namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang
menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan-perundang-undangan senantiasa tertinggal at au
terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat.” Lihat,
Muhammad Syukri Albani Nasution, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta: Kencana,
2016, Cet. Pertama), h., 286.
31 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h.,52-53.
18

tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses
itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. 32
Penemuan hukum nampaknya tidak hanya persoalan yang khas dalam
sistem hukum eropa kontinentel yang berpedoman pada hukum tertulis berupa
perundang-undangan33 , namun sistem hukum Islam juga mengenal adanya
penemuan hukum (rechtvinding). Dalam sistem hukum Islam penemuan
hukum dikenal dengan istilah “Ijtihad”.
Ijtihad menurut istilah ulama ushul, yaitu mencurahkan daya kemamuan
untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terinci.
Adapun lapangan ijtihad ini meliputi dua hal, yaitu: (1) sesuatu yang tidak ada
nashnya sama sekali, dan (2) sesuatu yang ada nashnya yang tidak pasti.
Kedua lapangan ijtihad inilah merupakan objek yang sangat luas untuk
melakukan ijtihad. Karena seorang mujtahid itu meneliti agar sampai kepada
mengetahui hukumnya dengan cara qiyas (analogi), atau istishan
(menganggap baik), atau istishab (menganggap berhubungan), atau
memelihara ‘Urf (kebiasaan), atau maslahah mursalah (kepentingan umum).34

32 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespek tif Hukum Progresif, h.,
23.
33 Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem civil law berupa
peraturan-perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka
menemukan keadilan, para yuris lembaga-lembaga yudisial maupun quas i-judisial merujuk kepada
sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber itu, yang jadi rujukan pertama dalam tradisi sistem civil
law adalah peraturan perundang-undangan. Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: Kencana, Edisi Revisi, 2008), h.,259. Selain itu, Menurut Bagir Manan
sebagaimana dikutip oleh Herowati Poesko, sesuai dengan tradisi hukum yang berlaku, hukum
wajib mengutamakan penerapan hukum tertulis, kecuali kalau akan menimbulkan ketidakadilan,
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Lihat, Herowati Poesko, “Penemuan
Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata, Jurnal Hukum Acara Perdata
ADHAPER, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2015), h., 229.
34 Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h.,

148-149. Metode Ijtihad kini semakin diperlukan karena pengaruh era globalisasi. Menurut Yusuf
al-Qardhawi sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, untuk menghadapi era globalisasi saat ini
terdapat dua metode yang tepat dalam berijthad, yaitu pertama: Ijtihad intiqa’i (tarjin) yakni
memilih satu pendapat dari pendapat terkuat yang ada dalam warisan fikih Islam, kemudian
menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan relevan dengan kondisi saat ini sehingga dapat
diterima. Kedua: Ijtihad Insya’I yakni pengambilan kesimpulan baru dari suatu persoalan, dimana
persoalan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik berupa persoalan lama
maupun baru. Dalam metode ijtihad insya’i diperlukan pemahaman yang baik tentang metode
pnentuan hukum yang dikemukakan oleh para ahli ushul fikih yaitu qiyas, istishan, istislah,
maslahah mursalah, dan sadduz zari’ah, serta maqashidusy syariah. Lihat, Abdul Manan, Aspek -
Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Ketiga), h., 242-243.
19

Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid
wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’
dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan
pasti.35 Adapun sandaran diperbolehkannya melakukan ijtihad berdasar pada :
1. Surat al- Hasyr (59): 2:

ِ ‫فَا ْعتَبِ ُر ْوا يَآ أ ُ ْو‬


َ ْ‫لى ْاْلَ ب‬
‫ص ِار‬
“maka ambillah pelajaran hai orang-orang yang berakal”
2. Surat an- Nahl (16): 43 dan Surat al- Anbiya’ (21): 7:
ِ ‫فَ ْسئَل ُ ْوآ اَ ْه َل‬
َ‫الذ ْك ِر ا ِْن كُنْت ُ ْم َْل تَ ْعلَ ُم ْو ن‬
“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui”
3. Surat an- Nisa (4): 59:
...‫فَا ِْن تَنَا زَ ْعت ُ ْم فِي َشيْ ٍئ فَ ُرد ُّْو ه ُ اِلَى هللاِ َوا ل َّر سُ ْو ِل‬
“maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul.. ”
4. Hadis Riwayat Abu Hurairah

‫ أَنَّه ُ َس ِم َع َرسُو َل هللاِ صلَّى هللا ُ َعلَيْ ِه‬: ُ ‫ض َي هللا ُ َعنْه‬ ِ ‫ث َع ْم ِر و بْ ِن الْ َع‬
ِ ‫اص َر‬ ُ ْ‫َح ِد ي‬

ِ ‫اب فَلَه ُ أَ ْج َر‬


‫ َو ِإذَا َح َك َم فَا ْجتَ َهدَ ث ُ َّم‬, ‫ان‬ َ ‫ص‬َ َ‫ ِإذَا َح َك َم الْ َح ِاك ُم فَا ْجتَ َهدَ ث ُ َّم أ‬:‫َو َسلَّ َم قَا َل‬

.‫طأ َ فَلَه ُ أَ ْج ٌر‬


َ ‫أَ ْخ‬

“Diriwayatkan dari Amr bin Asy radhiyallahu ‘anhu, beliau telah


berkata: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim memutuskan
suatu perkara dengan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
akan mendapatkan dua pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan suatu
perkara dengan berijtihad, tetapi ijtihadnya itu tidak benar, maka ia
akan memperoleh satu pahala”

35 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), Jilid 2, h., 227.
20

Firman Allah dalam Al- Qur’an dan Hadis Nabi tersebut di atas menjadi
dalil adanya ijtihad dalam menetapkan hukum, terutama jika dalam masalah
yang dihadapi ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam Al- Quran dan As-
Sunnah. Ijthad dapat dilakukan bukan hanya oleh fuqaha atau ushuliyyin.
Seorang hakim di pengadilan pun, jika menemukan masalah yang
membutuhkan pemikiran mendalam, dapat melakukan ijtihad dalam memutus
perkara yang dihadapi. Hal itulah yang dalam lingkungan peradilan disebut
dengan penemuan hukum.36

B. Sebab Penemuan Hukum

Kehadiran aliran penemuan hukum tidak langsung terjadi dan tumbuh


dalam perkembangan ilmu hukum, aliran ini terjadi berdasarkan keadaan yang
terus dinamis dalam masyarakat. Penyebab lain yang menjadi inspirasi atas
lahirnya penemuan hukum yaitu kehadiran aliran-aliran hukum yang berasal
dari undang-undang dan putusan hakim yang selama berabad-abad
menimbulkan perdebatan sengit yang tak putus-putusnya. Setidaknya, terdapat
2 aliran yang menjadi lahirnya penemuan hukum yakni aliran Legisme dan
Freirechtslehre.
Aliran legisme merupakan aliran yang menjunjung tinggi undang-undang.
Hakim tidak boleh menyimpang dari undang-undang meskipun teks tersebut
tidak berjiwa manusiawi. Segala perkara yang diterima harus berdasarkan
undang-undang, tidak boleh ansir-ansir non-yuridis masuk ke dalam putusan
hakim. Oleh karena itu, hakim tidak boleh berbuat selain dari tugasnya yakni
menerapkan undang-undang.
Seorang hakim hanya merupakan “corong undang-undang”, sebagaimana
pendapat Montesquieu mengemukakan bahwa: “Hakim-hakim rakyat tidak
lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak
berjiwa manusiawi, maka para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang
kekuataannya maupun keketatannya.” Menurut Achmad Ali, aliran Legisme

36 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), h., 185.
21

muncul disaat hukum kebiasaan mendominasi, saat itu terasa ketidakpastian


berlangsung pada dunia hukum. Akhirnya muncul dimana kepercayaan
sepenuhnya dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian
dari hukum tak tertulis. Kepastian hukum memang mungkin terwujud dengan
undang-undang tetapi pihak lain muncul kelemahan undang-undang,
khususnya sifat yang statis dan kaku. 37

Dalam perkembangannya, aliran legisme ini semakin lama semakin


ditinggalkan. Karena semakin lama semakin disadarai bahwa undang-undang
memiliki kelemahan lagi selain sifatnya statis dan kaku, yakni tidak dapat
mencangkup kebutuhan masyarakat akan suatu permasalahan hukum.
Kehadiran hakim yang hanya merupakan corong undang-undang memberikan
makna bahwa hukum dapat dikatakan berkacamata kuda. 38 Sehingga adagium
lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian
bunyinya) menjadi relevan di dalam aliran ini.
Akibat kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam perjalanan aliran
Legisme, kemudian lahirlah aliran Freie Rechtslehre atau Freie
Rechtsbewegung atau Freie Rechtsschule sebagai penentang aliran legisme
yang memiliki banyak kekurangan.
Aliran Freie Rechtslehre ini bertolak belakang dengan aliran legisme.
Aliran ini lahir karena melihat kekurangan-kekurangan dalam aliran legisme
yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tidak dapat
mengatasi persoalan-persoalan baru. Ciri utama pada aliran ini adalah hukum
tidak dibuat oleh legislatif. Hakim menentukan dan menciptakan hukum
(judge made law), karena keputusannya didasarkan pada keyakinan hakim.
Jurisprudensi adalah sumber hukum primer, sedangkan undang-undang adalah
sekunder. Keputusan hakim lebih dinamis dan up to date karena senantiasa
mengikuti keadaan perkembangan di masyarakat dan bertitik tolak pada
kegunaan sosial (social dolmatigheid). Tujuan utama aliran ini yakni
memberikan kemanfaatan dalam masyarakat. Namun dalam perkembangan

37Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 151


38Yang dimaksud hukum berkacamata kuda ialah hukum yang diproyeksikan untuk tidak
mempertimbangkan hal-hal lain selain yang ada dalam undang-undang.
22

selanjutnya, ternyata ditemukan bahwa solusi menemukan yang pada awalnya


menjadi tujuan utama aliran Freie Rechtslehre justru menimbulkan
ketidakpastian dalam perjalanan selanjutnya. 39
Pandangan Legisme dan Freie Rechtslehre yang ekstream tersebut secara
tegas membedakan hukum yang berasal dari perundang-undangan dan hukum
yang berasal dari peradilan. Pandangan Legisme yang menjunjung tinggi akan
kepastian hukum, sedangkan ajaran Freie Rechtslehre yang menjunjung akan
kemanfaatan bagi masyarakat. Namun, kedua pandangan tersebut ternyata
tidak dapat dipertahankan. Karena pemikiran hukum harus berdasarkan asas
keadilan masyarakat yang terus berkembang. Maka timbullah aliran penemuan
hukum (rechtvinding) yang berdiri di antara Legisme dan Freie Rechtslehre.
Adapun ajaran penemuan hukum ini menyatakan bahwa:
1. Hukum itu terbentuk melalui beberapa cara
2. Pertama-tama karena wetgever (pembentuk undang-undang) yang
membuat aturan umum, hakim harus menerapkan undang-undang.
3. Penerapan undang-undang tidak dapat langsung secara mekanis
melainkan melalui penafsiran (interpretasi) dan karena itu ia sendiri
kreatif.
4. Perundang-undangan tidak dapat lengkap sempurna. Kadang-kadang
digunakan istilah yang kabur yang maknanya harus diberikan lebih
jauh oleh hakim dan kadang-kadang terdapat kekosongan dalam
undang-undang yang harus diisi oleh peradilan.
5. Di samping oleh perundang-undangan dan peradilan, hukum juga
terbentuk karena di dalam pergaulan sosial terbentuk kebiasaan.
6. Peradilan kasasi berfungsi terutama untuk memelihara kesatuan hukum
dalam pembentukan hukum.

39
“Profil Jurnal Rechtsvinding ”, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil.
23

Menurut Soeroso, uraian di atas dengan singkat dapat dikatakan bahwa


hukum itu terbentuk dari kebiasaan, perundang-undangan dan proses
peradilan. 40

Di Indonesia, aliran penemuan hukum juga dikenal terutama dalam


praktik peradilan dan mulai mendapatkan tempatnya dalam peraturan
perundang-undangan terutama yang mengatur tentang kekuasaan
kehakiman yang secara subtansial mengantur mengenai beberapa
ketentuan yang memungkinkan kegiatan penemuan hukum ini dilakukan. 41

Jika dicermati, sebenarnya tertera beberapa ketentuan yang menjadi


dasar terjadinya penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia.
Apabila melihat undang-undang tentang kekuasaan kehakiman mulai dari
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 197042 , Undang-Undang Nomor 4
Tahun 200443 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 200944 , terdapat
pasal yang menegaskan agar hakim wajib menggali mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Pasal-pasal tersebut tentu berkaitan dengan tugas pokok
hakim yakni memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Selain dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, perihal penemuan


hukum pun disinggung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) sebagai urutan pertama dalam hirarki

40 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Ketujuh), h.,
96. Disisi lain, menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara, yaitu: karena
wetgeving (pembentukan undang-undang); karena administrasi (TUN); karena rechspraak atau
peradilan ; karena kebiasaan/tradisi yang sudah mengikat masyarakat ; karena ilmu (wetenschap).
Lihat, “Profil Jurnal Rechtsvinding”, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil.
41 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 55.
42 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan -

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan ke adilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
43 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
44 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam mas yarakat.”
24

peraturan perundang-undangan45 , sebagaimana terlihat dalam Pasal 18B


ayat (2)46 , Pasal 28 I ayat (3)47 dan Pasal 28 J ayat (2)48 .

Hadirnya pasal-pasal yang termuat dalam undang-undang kekuasaan


kehakiman dan UUD 1945 memberikan arti jelas bahwa wajah penemuan
hukum di Indonesia mendapatkan tempatnya dan sekaligus menjadi
pedoman bagi para hakim dalam menjalankan tugas sebagai penegak
hukum untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai yang hidup dan
memberikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

C. Sistem Penemuan Hukum


Pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem
hukum yang ada. Penemuan hukum yang semata-mata mendasarkan pada
undang-undang saja disebut sebagai system oriented, tetapi apabila sistem
tidak memberikan solusi, maka sistem harus dikesampingkan dan menuju
problem oriented.49
Menurut Wiarda sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, sistem
penemuan hukum terbagi menjadi 2 bagian, yaitu penemuan hukum heteron
dan penemuan hukum otonom. Yang dimaksud penemuan hukum heteron
yaitu hakim dalam menangani perkara mendasarkan pada peraturan peraturan-
peraturan diluar dirinya, seorang hakim tidak mandiri karena harus tunduk
pada undang-undang. Dengan demikian, penemuan hukum ini tidak lain
merupakan penerapan undang-undang yang secara logis-terpaksa sebagai
silogisme. Berbeda dengan penemuan hukum heteron, penemuan hukum

45 Lihat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan
46 Bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan ses uai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang -undang.
47 Bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban


48 Menyatakan “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang -undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
49 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 62.
25

otonom, hakim dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri


menurut apresiasi pribadi. Disini hakim menjalankan fungsi yang mandiri
dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkret.
Negara Indonesia yang menganut hukum Kontinental mengenal penemuan
hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang tetapi
penemuan hukum ini mempunyai unsur otonom yang kuat, karena sering kali
hakim harus menjelaskan atau lengkapi undang-undang menurut
pandangannya sendiri. Sedangkan hukum precedent yang dianut negara-
negara Anglo Saxon adalah hasil penemuan hukum otonom sepanjang
pembentukan peraturan dan penerapan peraturan dilakukan oleh hakim, tetapi
sekaligus bersifat heteronom, karena hakim terikat pada putusan-putusan
terdahulu.
Melihat kedua sistem penemuan hukum di atas, rasanya tidak bisa
dipisahkan pada seorang hakim. Karena kedua sistem tersebut sama-sama
membantu hakim dalam melakukan menyelesaikan perkara. Sebagaimana
pendapat Sudikno sendiri “tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum
yang heteronom dan otonom. Kenyataanya di dalam praktik penemuan hukum
mengandung kedua unsur tersebut, yakni heteronom dan otonom”. 50

D. Metode Penemuan Hukum


Peristiwa hukum yang ditemukan oleh hakim dalam memeriksa perkara,
tidak semuanya ditemukan aturan hukum yang pas atau aturan hukum yang
ada tidak relevan pada saat ini, hingga terdapat lebih dari satu aturan hukum
yang saling bertentangan mengatur fakta hukum yang bersangkutan. Sehingga
memerlukan pembaharuan sosial (social engineering). Dalam situasi yang
demikian, hakim diperkenankan menggunakan alat bantu untuk menemukan
dan menentukan hukum yang menguasai fakta itu.
Penggunaan alat bantu dalam penemuan hukum oleh hakim semata-mata
dimaksudkan untuk menegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu,

50 Sudikno Merokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, (Yogyakarta:

Cahaya Atma Pustaka, 2010, Edisi Revisi), h., 212-214.


26

penemuan hukum oleh hakim harus dilakukan sangat hati-hati, karena sering
dalam praktik penemuan hukum itu disalah gunakan, yaitu sekedar mencari
dasar pembenaran untuk keuntungan pihak-pihak yang berperkara (karena
keberpihakan).51
Dalam usaha menemukan hukum, hakim dapat mencarinya dalam sumber-
sumber penemuan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan
(hukum tertullis), hukum tidak tertulis (kebiasaan), yurisprudensi, perjanjian
internasional, doktrin (pendapat ahli hukum), dan perilaku manusia. Dalam hal
ini, hakim memiliki metode yang digunakan dalam melakukan penemuan
hukum yakni metode interpretasi dan kontruksi.
Dalam metode tersebut, terdapat perbedaan pandangan tentang metode
yang digunakan, yaitu pandangan yang tidak memisahkan dan yang
memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi. 52
Interpretasi memiliki arti pemberian kesan, pendapat, pandangan teoritis
terhadap sesuatu atau biasa dikenal dengan sebutan tafsiran. 53 Menurut
Soeroso, metode interpretasi atau penafsiran ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai
dengan yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. 54

Penafisran juga merupakan salah satu cara mencapai penemuan hukum yang
diperlukan untuk menegakan keadilan.55 Sedangkan metode kontruksi,
memiliki arti bahwa hakim membuat suatu pengertian hukum yang

51 Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh

Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, Hasanudin Law Review, Vol. 1, Issue. 2, (Agustus 2015),
h., 131.
52 Ada perbedaan pandangan tentang metode penemuan hukum oleh hakim menurut yuris

Eropa Kontinentel dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya, yuris Eropa
Kontinentel tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode kontruksi.
Hal itu dapat dilihat dari karangan buku-buku karangan Paul Scholten, Pitlo, maupun Sudikno
Mertokusumo di Indonesia. Sebaliknya, penulis yang secara tegas membedakan antara interpretasi
dan kontruksi adalah L.B Curzon, Ahmad Ali, Arif Sidharta, Harifin A Tumpa. Lihat, Ahmad Ali,
Menguak Tabir Hukum, h.,163. Bambang Sutiyoso, Metode Penmuan Hukum, h., 105., dan Harifin
A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus
Suatu Perkara”, h., 131-132
53 https://www.kbbi.web.id/interpretasi , diakses pada 31 Januari 2018.
54 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 97.
55 Muhammad Shiddiq Armia, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradyna

Paramita, 2003), h., 90.


27

mengandung persamaan ketika tidak dijumpai ketentuan yang berlaku dalam


peraturan perundang-undangan meskipun sudah dilakukan penafsiran. 56 Selain
metode interpretasi dan konstruksi hukum sebagai metode dan cara dalam
penemuan hukum, terdapat suatu metode lain yaitu hermeneutika, yakni
metode untuk menafsirkan teks-teks ayat suci akan tetapi belum populer
digunakan untuk menafsirkan teks-teks hukum.57 Metode yang kini masih
popular dan biasa dilakukan dalam praktik peradilan di Indonesia yakni
metode interpretasi dan kontruksi.
Mengenai pengertian interpretasi dan kontruksi, Ahmad Ali membedakan
nya sebagai berikut :58
1. Pada interpretasi, merupakan penafsiran terhadap teks undang-undang
masih tetap berpegang tegus pada bunyi teks itu.
2. Pada kontruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim
tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak
mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Pada metode interpretasi dan kontruski, ternyata tidak sebatas sampai


pengertian saja. Terdapat beberapa jenis atau bagian-bagian yang merupakan
kategori dari metode interpretasi dan kontruksi yang masih dianut dalam dunia

56 Ibid., h.111. Para hakim yang melakukan kontruksi dalam melakukan menemukan dan
pemecahan masalah hukum, harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: (1) kontruksi harus mampu
meliput semua bidang hukum positif yang bersangkutan (meliputi materi hukum positif), (2) tidak
boleh ada pertentangan logis didalamnya (tidak boleh membantah dirinya sendiri), (3) kontruksi
kiranya dapat mengandung faktor keindahan, yaitu bahwa kontruksi tidak merupakan sesuatu yang
dibuat-buat (faktor estetis). Selain itu, tujuan dari kontruksi adalah agar putusan hakim da lam
peristiwa konkret dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.
Lihat, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 201.
57 Alef Musyahdah R, “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan

Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No.
2, (Mei, 2013), h., 298. Penambahan metode hermeneutika dalam metode penemuan hukum tidak
menutup kemungkinan dilakukan oleh para hakim, seperti Abdul Manan yang mencantumkan
hermeneutika sebagai metode penemuan hukum dalam makalah nya pada acara Rakernas
Mahkamah Agung RI tahun 2010 di Balikpapan. Lihat, Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh
Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama." Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2,
No. 2, (Juli, 2013), h. 196.
58 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 176.
28

peradilan di Indonesia dewasa ini. Adapaun jenis-jenisnya akan diuraikan


sebagai berikut:

1. Metode Interpretasi
a. Metode Subsumptif
Maksud dari metode subtantif adalah suatu keadaan di mana hakim
harus menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasus
inconcreto, dengan belum menggunakan penalaran sama sekali,
dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.59
Sebagai contoh ialah seorang hakim yang mengadili perkara
pidana, di mana penuntut umum mendakwakan bahwa terdakwa
melakukan pencurian. Pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP.
Pengertian barang, kriteria pemilikan, dan maksud melawan
hukum semuanya tidak ada penjelasannya dalam Pasal 362 KUHP.
Pengertian masing-masing unsur itu diketahui baik dari doktrin
(ajaran para pakar hukum) dan dari yurisprudensi (putusan
pengadilan terdahulu yang masih diikuti oleh putusan hakim
sesudahnya).
Jika hakim sependapat dengan dengan doktrin atau yurisprudensi
yang telah ada, maka hakim hanya menerapkan dengan
mencocokan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 362 KUHP,
terhadap peristiwa konkrit yang didakwakan pada terdakwa. Proses
pencocokan unsur-unsur undang-undang terhadap peristiwa konkrit
itulah dinamakan metode subsumptif.60
b. Interpretasi Gramatikal
Menurut Harifin A Tumpa, interpretasi ini merupakan penafsiran
yang dilakukan hakim terhadap bunyi undang-undang itu menurut
tata bahasa yang benar dan berlaku.61 Interpretasi gramatikal

59 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, Cet. Kedua),
h.,169.
60
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 184
Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim
61

dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 131.


29

terjadi apabila dalam menetapkan pengertian aturan undang-


undang merujuk pada kata-kata yang digunakan atau bagian-bagian
kalimat berdasarkan kata sehari-hari atau yang lazim digunakan.62
Sebagai contoh ialah putusan Mahkamah Agung RI Nomor.
1590K/Pid/1997 tentang pencurian. Pada perkara ini, hakim
menafsirakan yang dimaksud dengan “mencuri” dalam bahasa
sehari-hari mengandung pengertian mengambil barang orang lain
untuk dimilikinya sendiri “tanpa sepengetahuan pemiliknya”.
Dalam bahasa hukum, “tanpa sepengetahuan pemiliknya” dapat
disebut sebagai tindakan melawan hukum.
c. Interpretasi Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran yang didasarkan kepada
sejarah terjadinya suatu undang-undang..63
d. Interpretasi Sistematis
Sebuah model penafsiran memiliki susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu
maupun dengan undang-undang yang lain atau membaca
penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa
yang dimaksud.
Sebagai contoh:
Pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan tidak cakap untuk
membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa.
Bunyi lengkapnya Pasal 1330 KUHPerdata ialah:
“Tidak cakap membuat perjanjian adalah: (a) Orang yang belum
dewasa, (b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, (c) Orang
perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang dan
pada umumnya orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat persetujuan tertentu”.
Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa?

62 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, h., 291.


63 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h., 96.
30

Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat


Pasal 330 KUH Perdata yang memberikan batas belum berumur 21
tahun.64
e. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis
Menurut Chainur Arrasyid, pada hakikatnya suatu penafsiran
undang-undang yang dimulai dengan cara gramatikal atau tata
bahasa selalu harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Kalau
tidak demikian, maka tidak mungkin hakim dapat membuat suatu
putusan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan hukum di
dalam masyarakat.
Penafsiran sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan
dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-
undang di dalam masyarakat. Apabila suatu peraturan perundang-
undangan telah ditetapkan pada waktu pola kehidupan dan aliran-
aliran berlainan sama sekali dengan paham yanga ada dalam
masyarakat sekarang, hal itu harus dilakukan penafsiran secara
sosiologis.65
f. Interpretasi Komparatif
Metode interpretasi komparatif atau metode penafsiran dengan
membandingkan ialah penafsiran dengan jalan membandingkan
antara berbagai sistem hukum.
Contoh dari interpretasi komparatif ini ialah dalam masalah waris.
Masalah waris dapat dibandingkan dengan menurut sistem hukum
adat, hukum islam, maupun perdata barat. 66
g. Interpretasi Futuristis
Interprestasi futuristis adalah penafsiran undang-undang yang
bersifat antisipasi dengan berpedoman kepada undang-undang
yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum).

64 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 102-103.


65 Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet.
Keempat), h., 92.
66 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 117.
31

Misalnya suatu rancangan undang-undang yang masih dalam


proses perundangan, tetapi pasti akan diundangkan. 67
h. Interpretasi Restriktif
Interpretasi ini mempersempit pengertian dari suatu istilah. Seperti
contoh kata kerugian dalam pasal 1407 BW yang mengecualikan
kerugian yang tidak berwujud (batin) seperti cacat, sakit dan lain-
lain.68
i. Interpretasi Ekstentif
Interpretasi ekstensif adalah penafsiran yang lebih luas dari
penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan
khusus menjadi ketentuan umum sesuai kaidah tata bahasanya.
Disini hakim menafsirkan kaidah tata bahasa, karena maksud dan
tujuannya kurang jelas atau terlalu abstrak agar menajdi jelas dan
konkret, perlu diperluas maknanya. Misalnya, kata “pencurian
barang” dalam Pasal 362KUHPidana, diperluas esensi maknanya
terhadap “aliran listrik” sebagai benda yang tidak berwujud.
Dengan demikian, orang yang menggunakan tenaga listrik tanpa
hak dianggap melakukan pencurian barang. Esensi kata “barang”
diperluas maknanya dari ketentuan khusus menjadi ketentuan
umum.69 Contoh lain, seperti perkataan menjual dalam Pasal 1576
KUH Perdata; ditafsirkan bukan hanya jualbeli semata-mata, tetapi
juga "peralihan hak”.70
j. Penafsiran Komprehensif
Menurut Harifin A Tumpa, hakim dapat menggunakan metode ini,
yang dimana penafsiran ini dapat mereduksi teks undang-undang
atau sebaliknya dapat pula menginduksi makna realitas suatu teks.
Metode ini mempunyai tujuan untuk menghasilkan makna sesuai

67 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h., 151.


68 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2011, Cet.
Ketigapuluh Empat), h.,390.
69 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h., 170.
70 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, h.,

70.
32

kebutuhan masyarakat, bersifat kontemporer yaitu realitas dimana


ia muncul, dan bersifat realistis atas kehidupan dengan segala
problemnya. 71

2. Metode Kontruksi
a. Metode Argumentum Per Analogiam (Analogi)
Konstruksi ini juga disebut dengan "analogi" yang dalam hukum
Islam dikenal dengan "qiyas". Konstruksi hukum model ini
dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam
suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu
mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.
Misalnya dalam hal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1756 KUH Perdata yang mengatur tentang mata uang (goldspecie).
Apakah uang kertas termasuk dalam hal yang diatur dalam
peraturan tersebut? Dengan jalan argumentum peranalogian atau
analogi, mata uang tersebut ditafsirkan termasuk juga uang kertas.
Di Indonesia, penggunaan metode argumentum peranalogian, atau
analogi baru terbatas dalam bidang hukum perdata, belum
disepakati oleh pakar hukum untuk dipergunakan dalam bidang
hukum pidana.72
b. Metode Argumentum A’Contrario
Jenis interpretasi ini merupakan cara penafsiran undang-undang
yang berdasarkan perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi
dan dipermasalahkan yang diatur dalam sebuah pasal undang-
undang. Dengan bertitik tolak dari perlawanan pengingkaran
(pengertian) itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
permasalahan yang dihadapi itu tidak termuat dalam pasal yang
dimaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut. 73

71 Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim

Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 131.


72 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di

Peradilan Agama”, h., 8.


73 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 115.
33

Menurut Zaenal Asikin, argumentum a contrario berarti


menggunakan penalaran terhadap undang-undang yang didasarkan
pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi. 74
Contoh sederhana yang lain apa yang dimaksud “causa yang halal
atau sebab yang diperbolehkan” di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Untuk menafsirkan hal itu, maka perlu dicari pengertian yang
sebaliknya. Pengertian yang sebaliknya atas “sebab yang halal” itu
dijumpai dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur “sebab
yang terlarang”, yaitu sebab yang bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
c. Rechtsservijnings (Penghalusan Hukum)
Kadang kala peraturan perundang-undangan mempunyai
cangkupan ruang lingup yang terlalu umum atau sangat luas. Itulah
sebabnya perlu dilakukan penghalusan hukum agar dapat
diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penghalusan
hukum, dibentuklah pngecualian-pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang
bersifat umum. Dalam hal ini peraturan yang sifatnya umum
diterapkan pada peristiwa hukum yang khusus atau sesuai dengan
kenyataan sosial. Dengan demikian peristiwa itu dapat diselesaikan
secara adil dan sesuai dengan kondisi kenyataan yanga da dalam
masyarakat.75
Sebagai contoh, ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tentang
maksud “perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad”
yang pengertiannya masih abstrak dan hanya perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang yang masuk ke dalam
kategori perbuatan melawan hukum kala itu. Namun berdasarkan

74Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, h.,112.


75 Chainur Arrasyid, Dasa-Dasar Ilmu Hukum, h., 95. Dalam istilah rechtsservijnings
banyak pakar hukum yang berbeda dalam pengartian istilah tersebut. Ada yang mengatakan
pengkonkretan hukum, dan ada yang mengatakan penghalusan hukum. Namun, secara materi
muatan perihal metode kontruksi pada rechtsservijnings mengandung arti yang sama.
34

Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda pada tahun 1919,


bahwa perbuatan melawan hukum itu diperluas atau dikonkretkan
atau dihaluskan, yaitu dengan kriteria melanggar hak subjek
hukum lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, serta
bertentangan dengan kepatutan subjek hukum lain yang diakui
dalam kehidupan masyarakat.76
d. Fiksi Hukum
Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu
hukum (presumption iures de iure). Dalam sebuah fiksi hukum,
siapapun tanpa kecuali dianggap tahu hukum. Dalam bahasa Latin
dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat artinya
ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa
menghindar dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak
mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan
tertentu.77
Menurut Ahmad Rifai, fiksi hukum dapat dijelaskan lebih lanjut
dengan teori kebijkasanaan, di mana fiksi hukum berangkat dari
pemahaman bahwa setiap orang dianggap tahu akan hukum. Dalam
praktik peradilan, hakim harus bijaksana dalam mengambil
keputusan terhadap seorang pelaku tindak pidana, karena memang
ada kalanya si pelaku benar-benar tidak tahu akan adanya suatu
ketentuan hukum tertentu yang telah diberlakukan oleh negara.
Hakim perlu menjatuhkan putusan yang bijaksana sehingga
bermanfaat dan berkeadilan bagi para pihak.78
Menurut Ahmad Ali, fiksi yang sudah tertuang dalam wujud
putusan hakim bukan lagi fiksi, melainkan telah menjadi judge
made law, telah menjadi kenyataan dan telah menjadi hukum. Fiksi

76 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h., 174


77 Nurhasanah dan Hotnidah Nasution, “Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, Jurnal Ahkam, Vol. XVI, No. 2, (Juli, 2016), h., 275.
78 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, h.,

86.
35

berfungsi pada saat-saat perlihan, manakala peralihan usai,


berakhir pula fungsi fiksi tersebut. 79
Teori fiksi sangat mendapat tempat dalam hukum pada abad-abad
sebelumnya, tetapi di abad ke 20 sudah mulai dilupakan orang. 80
Meskipun fiksi hukum sudah lama ditinggalkan, tetapi faktanya
pandangan ini dianut dunia peradilan, baik Mahkamah Agung
(MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MA No.
645K/Sip/1970 dan putusan MK No. 001/PUU-V/2007 memuat
prinsip yang sama yaitu ketidaktahuan seseorang akan undang-
undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf. Putusan MA No. 77
K/ Kr/1961 menegaskan bahwa tiap-tiap orang dianggap
mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu
diundangkan dalam lembaran negara
Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan suatu
peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya.
untuk memilih metode penemuan mana yang paling cocok dan relevan Untuk
diterapkan dalam suatu perkara. Hakim harus jeli dan memiliki
profesionalisme tinggi dalam menerapkan metode penemuan hukum
sebagaimana tersebut di atas. Apabila seorang hakim dapat mempergunakan
metode hukum yang relevan dan sesuai dengan yang diharapkan dalam kasus
yang sedang diperiksanya, maka putusan yang dilahirkan akan mempunyai
nilai keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. 81

79 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h.,311.


80 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.,12.
81 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di

Peradilan Agama." h., 11.


36

E. Prosedur dan Teknik Pengambilan Putusan dalam Penemuan Hukum

Dalam melakukan penemuan hukum, seorang hakim tidak langsung


melakukannya tanpa memperhatikan hal-hal yang secara prosedural harus
dilakukan dalam dunia peradilan. Seorang hakim harus selektif dan ekstra
hati-hati. Proses selektif dan sikap hati-hati oleh hakim memberikan pengaruh
yang besar dalam proses penemuan hukum sehingga terciptanya putusan yang
berjiwa tujuan hukum.
Untuk melakukan penemuan hukum oleh hakim, maka pertama-tama
hakim harus melihat kepada undang-undang yang tersedia yang mengatur
tentang perkara yang ditanganinya, apabila dalam undang-undang tersebut
tidak jelas, maka hakim melakukan penafsiran subtantif, sistematis, historis
ataupun sosiologis. Sedangkan, apabila undang-undang tidak mengaturnya,
maka hakim melakukan penemuan hukum dengan penalaran argumentum
contrario, argumentum peranalogian, ataupun penyempitan/penghalusan
hukum. Dan apabila undang-undang belum mengatur tentang permasalahan
perkara tersebut, maka hakim dengan cara menggali nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan bantuan metode di atas.82
Proses penemuan hukum oleh para hakim dibedakan dalam 2 (dua) tahap.
Pertama, tahap sebelum pengambilan keputusan (ex ante/didasarkan pada
asumsi dan prediksi). Dalam teori penemuan hukum modern disebut dengan
heuristika, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan
pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro kontra
terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan
yang lain untuk ditemukan yang paling tepat. Kedua, tahap setelah
pengambilan keputusan. Dalam teori penemuan hukum modern disebut
dengan legitimasi, yaitu pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan)

82 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan

Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)" , Jurnal


Konstitusi, Vol. 1, No. 1, November, 2012), h., 54-55.
37

dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran


yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. 83
Menurut Panggabean, proses penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim memerlukan beberapa faktor, antara lain : (1) tahapan pemeriksaan
sesuai anatomi putusan, (2) sistem penemuan hukum, (3) sumber penemuan
hukum, dan (4) berbagai antinomi untuk pengambilan keputusan. 84
Adapun Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali
memberikan tiga tahap tugas hakim sebagai berikut :85
1. Tahap Konstatir
Pada tahap ini, hakim mengkonstituir benar atau tidaknya peristiwa yang
diajukan. Misalnya, benarkah si A telah memecahkan jendela rumah B
sehingga si B menderita kerugian? Disini para pihak (dalam perkara
perdata) dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk
membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Dalam tahap konstatir
ini, kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi
hakim sangat dibutuhkan dalam tahap ini.
2. Tahap Kualifikasi
Disini hakim mengkualifikasi, termasuk hubungan hukum apakah tindakan
si A tadi? Dalam hal ini dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan
hukum (Pasal 1365 BW)
3. Tahap Konstituir
Disini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan (para
pihak atau terdakwa), hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu
simpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya (dalam contoh Pasal
365 BW) dan premis minor berupa tindakan si memecahkan kaca jendela
si B.

Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai dari pada tahap kualifikasi
dan berakhir pada tahap konstituir.

83 Alef Musyahadah R, “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan

Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”, h., 300.


84 H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia , h., 218.
85 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 173
38

Adapun teknik pengambilan putusan,dapat memilih 3 (tiga) jenis teknik


pengambilan putusan dan penerapan hukum yakni :86

1. Teknik Analitik
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim
mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai Hukum Acara
secara lengkap. Tehnik Analitik paling cocok di pergunakan pada perkara-
perkara yang berskala besar dan biasanya dalam hukum kebendaan (Zaken
Rech). Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat khusus, lalu ditarik
kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan deduktif). Dalam
pertimbangan hukum, Hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih
dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan
dengan pokok masalah tersebut, misalnya dalam bidang kewarisan, hakim
harus memulai dengan pernyataan siapa pewaris, lalu siapa ahli warisnya,
barang-barang waris apa saja, berapa bagianmasing-masing, dan
bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja analisa dari pertanyaan tersebut
sekaligus mempertimbangkan alat-alat bukti dan menjawab petitum dari
gugatan.
Jika penjelasan tentang Hukum Acara belum begitu lengkap, sebaiknya
jangan pakai metode ini, sebab sangat sulit dalam hal analisa masalah dan
pengambilan keputusan
2. Teknik Equatable
Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan dari
prinsip keadilan. Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat
bukti yang diajukan penggugat dan tergugat. Apabila alat-alat bukti itu
telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam
peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).
3. Teknik Silogisme
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan
dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnis ini disebut juga dengan

86 Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama." h., 16.
39

metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini umum
kepada hal-hal yang bersifat khusus. Penggunaan hukum logika yang
dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim
mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan
hukumnya, dan primesse minor, yaitu peristiwanya. Sebagai contoh, siapa
mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio
dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-
undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika
dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio. Kritik
terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar
persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani
maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat
irrasional.

F. Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum


Seorang hakim merupakan organ utama peradilan yang mempunyai tugas
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Ia
berperan sebagai pemberi keadian atas permasalahan yang terjadi. Seorang
hakim dipercaya oleh para pencari keadilan agar memberikan putusan yang
berkeadilan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, bahkan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Agus Sudaryanto, dalam
pelaksanaan tugas dan perannya, hakim berkewajiban menemukan hukum
didorong oleh beberapa faktor: Pertama, karena hampir semua peristiwa
hukum konkrit tidak sepenuhnya terlukis secara tepat dalam suatu undang-
undang atau peraturan perundang-undangan ; Kedua, karena ketentuan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan tidak jelas atau
bertentangan dengan ketentuan lain, yang memerlukan “pilihan” agar dapat
diterapkan secara tepat, benar, dan adil; Ketiga, akibat dinamika masyarakat,
terjadi beberapa peristiwa hukum yang baru yang tidak terlukis dalam undang-
40

undang atau peraturan perundang-undangan; Keempat, kewajiban menemukan


hukum juga timbul karena ketentuan atau asas hukum yang melarang hakim
menolak memutus suatu perkara atau permohonan atas alasan ketentuan tidak
jelas atau undang-undang kurang mengatur. 87

Selain beberapa faktor yang telah disebutkan diatas, Ahmad Ali


mengemukakan kapan penemuan hukum harus dilakukan oleh hakim yang
terbagi ke dalam 2 pendapat. Pertama, pendapat dari penganut doktrin seins-
clair yang menyatakan penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan ketika:
1) tidak ditemukan peraturan untuk suatu kasus yang konkrit, dan 2) peraturan
yang ada belum/tidak jelas. Kedua, pendapat yang menyatakan hakim selalu
dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. 88

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah


mengkonstatasi peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan
peristiwa konkrit, mengkualifikasi peristwa konkrit yang berarti menetapkan
peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit, dan mengkonstitusi atau memberi
hukum atau hukumannya. Semua itu pada dasrnya sama dengan kegiatan
seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan

87 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan


Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)” h., 54. Harus
diingat bahwa tugas hakim hanyalah menegakan hukum dan keadilan. Ia bukanlah pembuat
undang-undang, sehingga penerapan konsep rechtsvinding hanya boleh dilakukan hakim apabila:
Pertama, tidak ditemukan aturan hukumnya didalam perundang-undangan yang ada. Kedua, diatur
dalam perundang-undangan yang ada tetapi tidak jelas makna atau mengandung pelbagai
penafsiran, Ketiga, aturan yang ada di dalam perundang-undangan tidak lagi memenuhi rasa
keadilan masa kini (out of date). Keempat, didasarkan pada suatu yurisprudensi atau pendapat ahli.
Lihat pula, Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh
Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 138.
88 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 164. Menurut Abdul Manan, sekarang doktrin

Sens Clair sudah banyak ditinggalkan, sebab sekarang muncul doktrin baru yang menganggap
bahwa hakim dalam setiap putusannya selalu melakukan penemuan hukum, karena bahasa hukum
senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Dalam arus globalisasi
seperti sekarang ini banyak hal terus berkembang dan memerlukan interpretasi, sedangkan
peraturan perundang-undangan banyak yang statis dan lamban dalam menyesuaikan diri dengan
kondisi perubahan zaman. Lihat, Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek
Hukum Acara Di Peradilan Agama”, h., 5.
41

harus memecahkannya , yaitu meliputu : (1) legal problem identification, (2)


legal problem solving, dan (3) decision making.89
Dalam menjalankan tugasnya di persidangan, hakim harus senantiasa
mengikuti perkembangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar
terciptanya suatu putusan yang berkeadilan. Menurut Bagir Manan, nilai-nilai
hukum sudah tumbuh dalam masyarakat meskipun undang-undang belum
mengaturnya. Hal itu dapat dilihat dari wujud adat istiadat dan keyakinan.
Sebenarnya bukanlah hukumnya yang tidak ada, namun belum ada undang-
undangnya, karena hukum selalu hidup dalam masyarakat, sebagaimana
ungkapan populernya Cicero yang mengatakan “ubi socities ibi ius” (di mana
ada masyarakat disitu ada hukum). Disini terlihat nyata tugas hakim sebagai
organ utama peradilan memikul tanggung jawab dalam melakukan penemuan
hukum melalui hukum tak tertulis.90
Namun, hadirnya paradigma “hakim sekedar terompet atau corong
undang-undang” menegaskan bahwa seorang hakim hanya terpaku pada
aturan dogmatis dalam menerapkan hukum. Dimana ungkapan Montesquieu
itu masih dirasakan saat ini. Hakim tidak memiliki kreativitas-kreativitas atau
memberikan argumentasi yang logis dalam suatu putusan. Menurut Ahmad
Ali, paradigma tersebut harus dihapuskan dari praktik peradilan kita di
Indonesia, jika kita menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang lebih
responsif.
Berkaitan dengan peran hakim, pada dasarnya peran utama hakim adalah
dalam perisdangan. Karena menjadi penentu penyelesaian kasus yang
dihadapinya melalui putusan hakim.91 Dalam hal memberikan suatu putusan,
seorang hakim tidak boleh terlibat oleh campur tangan orang lain, karena
sebagaimana ungkapan Hans Kelsen menyatakan dengan tegas bahwa salah
satu syarat untuk adanya negara hukum adalah keberadaan peradilan yang

89 Siti Malikhatun Badriyah, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum


(Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum,
Vol. 40, No. 3, (2011), h., 388.
90 Muhammad Noor, dkk, “Quo Vadis Penemuan Hukum”, h., 8.
91 Siti Malikhatun Badriyah, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum

(Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”, h., 389


42

bebas, termasuk bebas dari tekanan opini publik ketika menjatuhkan


putusan.92
Oleh karena itu, seorang hakim mempunyai peran sangat penting dalam
menegakan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para
pencari keadilan selalu berharap perkara yang diajukannya dapat diputus oleh
hakim yang professional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga
putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum)
tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice
(keadilan masyarakat).93
Seorang hakim kadang-kadang dihadapkan pada persoalan seolah antara
hukum yang dipakai tidak sinkron dengan keadilan yang dicapai. Tidaklah
mudah bagi seorang hakim untuk memadukan antara “hukum” dengan
“keadilan” dalam putusannya. Apalagi jika kita melihat kondisi sekarang yang
sudah dikatakan zaman modern, hukum pun harus senada dengan tuntutan
zaman dan lingkup sosial. Hakim tidak boleh mengabaikan hukum yang ada,
dan tidak boleh pula meninggalkan keadilan yang tumbuh di masyarakat.
Penemuan hukum dapat juga disebut sebagai upaya kreatifitas hakim
dalam menanganai perkara. Hakim berperan mencari hukumnya agar
terciptanya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dalam putusanyang
dihasilkan. Dalam hal ini, kerap kali putusan hakim dapat menjadi
yurisprudensi atau berfungsi sebagai a tool of social engineering.94

Harifin A Tumpa memberikan pengertian penemuan hukum oleh hakim,


yang pada dasarnya memberi suatu pengertian konkrit atas suatu peraturan,
dapat dipandang sebagai “landmark decision” yang bila kemuadian diikuti

92 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h., 480.
93 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan

Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)" , h.,56.


94 Hadirnya Yurisprudensi merupakan hal yang penting, karena di dalam yurisprudensi

terdapat banyak garis hukum yang berlaku dalam masyarakat, tetapi tidak terbaca di dalam
undang-undang. Menurut Rechtsvinding, hukum terbentuk karena undang-undang, kebiasaan, dan
peradilan. Peradilan inilah yang menelurkan hukum yang apabila dipergunakan oleh hakim-hakim
lain menjadi yurisprudensi. Lihat, R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2
Tentang Pihak -Pihak Dalam Perkara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kedua), h., xl.
43

hakim-hakim lainnya akan terbentuk yurispridensi sebagai sumber hukum.


Putusan-putusan hakim yang merupakan hasil dari penemuan hukum, bisa
membawa perubahan, penegasan atau pengkonkritan norma yang sudah ada
dalam undang-undang.95

Menurut Arpani, undang-undang memang menuntut hakim untuk


menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang secara filosofis
berarti menuntut hakim untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan
hukum. Namun, dengan dalih kebebasan hakim atau dengan dalih hakim harus
memutus atas alasan keyakinannya hakim tidak boleh sekehendak hatinya
melakukan penyimpangan terhadap undang-undang (contra legem) atau
memberi interpretasi atau penafsiran terhadap undang-undang. Karena hal itu
akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. Dalam upaya
penemuan dan penciptaan hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-
prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini UUD tahun 1945 dan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.96

Bustanul Arifin sebagaimana dikutip oleh A Salman Manggalatung,


mengatakan bahwa, seorang hakim haruslah learned in law (ahli dalam ilmu
hukum), hakim selain harus memahami substansi dan arti hukum, juga harus
skilled in law (terampil dalam melaksanakan atau menerapkan hukum). Di
tangan hakim, ilmu hukum menjadi pengetahuan yang praktis (applied
science). Para hakimlah yang memberi nyawa dan hidup kepada pasal-pasal
undang-undang dan peraturan yang terdiri dari huruf-huruf mati itu.97

95 Harifin A Tumpa, Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan


Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 133-134.

96 Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam
Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”., Artikel, h., 9, diakses pada tanggal 25 Maret 2018 dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-dalam-penemuan-
hukum-dan-penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan-oleh-drs-h-arpani-sh-
mh-64.
97 A Salman Manggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin

Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, Jurnal Cita Hukum, Vol. II, No. 2, (Desember,
2014), h., 190.
44

Disamping itu, seorang hakim harus mempertimbangkan hukum dengan


nalar yang baik karena salahs atu kualitas putusan hakim dinilai dari bobot
alasan dan pertimbangan hukum yang digunakan. 98 Suatu putusan hakim
menurut JR Spencer sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap dikatakan
sama dengan putusan Tuhan.99

Menurut Arif Sidharta sebagaimana dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis,


para hakim dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggung
jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawabnya itu, sebab
keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh dari kehidupan para
yustiabel dan/atau orang-orang lain yang terkena jangkauan keputusan
tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan
penderitaan lahir dan batin yang dapat membekas dalam batin para yustiabel
yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.100

Untuk mewujudkan perilaku hakim yang bijaksana, selain mengubah


mental para hakim, juga diperlukan adanya penataan lembaga peradilan yang
bersih dan berwibawa melalui good governance, seperti pengadilan harus
bersih dari bentuk KKN, pengadilan khususnya majelis hakim harus bebas
dari segala bentuk campur tangan dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial
atau politik yang meresahkan dan menggiring majelis hakim pada arah
tertentu. Membangun sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan
majelis hakim, sebagai suatu bentuk keikutsertaan membangun pengadilan
yang berwibawa, dan kehadiran sistem pengelolaan (manajemen) yang
menjamin efisiensi, efektifitas, dan produktifitas putusan-putusan yang
bermutu.101

98 Fence M. Wantu, “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam


Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 3, (September,
2010), h., 487-488.
99 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2008), h., 11.
100 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ketiga,

2002), h., 25.


101 A Salman Manggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin

Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, h., 191


45

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hukum adalah untuk manusia,


bukan manusia untuk hukum. Oleh karena itu, hakim harus senantiasa
mengedepankan nilai keadilan dalam masyarakat sehingga dan selalu
mengikuti dinamika perubahan yang ada demi terwujudnya putusan yang
selalu memberikan dampak positif bagi nama baik hakim dan peradilan yang
mandiri dan bebas dari campur tangan pihak manapun khususnya, dan
umumya bagi perkembangan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia
tercinta ini.
BAB III
KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA DALAM
MENANGANI PERKARA EKONOMI SYARIAH

A. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama


Peradian Agama merupakan salah satu badan peradilan sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berada di bawah lingkungan
Mahkamah Agung untuk menegakan hukum dan dan keadilan bagi orang-
orang yang beragama Islam dalam perkara tertentu. Menurut Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama bertugas, berwenang, memeriksa,
memutus, dan menyelesaiakan perkara di bidang perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Namun, perkembangan zaman membuat
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan. Sehingga
lahir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menggantikan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menandai lahirnya
paradigma baru peradilan agama. Paradigma baru tersebut menyangkut
yuridiksinya tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi
Pengadilan Agama, termasuk pelanggaran atas undang-udang perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah
Syariah dalam melaksanakan kewenanganya di bidang jinayah berdasarkan
qanun. Selain itu dengan adanya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini
landasan hukum Islam semakin kokoh. Seperti terjadinya perubahan yang
fundamental menyangkut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara
peradilan agama dengan peradilan umum , khususnya menyangkut hak opsi
dan sengketa kepemilikan.102

102 Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2008), h., 343.

46
47

Disisi lain, dari lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006


memberikan penambahan kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk
menangani perkara di bidang ekonomi syariah. 103 Arti dari ekonomi syariah
sendiri merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip-prinsip syariah.104 Sebagaimana Muhamamad Syauqi Al Fanjari yang
dikutip oleh Neni Sri Imaniyati mendefinisikan ekonomi syariah sebagai ilmu
yang mengarahkan kegiatan ekonomi dan mengaturnya sesuati dengan dasar-
dasar dan siasat ekonomi Islam.105
Dengan sebutan “perbuatan atau kegiatan usaha” maka yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama adalah transaksi yang menggunakan akad
syari’ah, walau pelakunya bukan muslim. Ukuran personalitas keislaman
dalam sengketa ekonomi syariah adalah akad yang mendasari sebuah
transaksi, apabila menggunakan akad syariah, maka menjadi kewenangan
peradilan agama. Dalam konteks ini pelaku non muslim yang menggunakan
akad syariah berarti menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga oleh
karenanya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa
sengketanya harus diselesaikan di Pengadilan Agama.106
Peradilan Agama dalam perjalanannya banyak menghadapi jalan terjal.
Salah satunya ketika Peradilan Agama memiliki wewenang baru mengadili
sengketa ekonomi syariah. Sebagian praktisi perbankan menyangsikan
kemampuan hakim agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Seolah-olah ekonomi syariah menjadi makhluk langka yang jarang ditekuni

103 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjelaskan bahwa Pengadilan


Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara -perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syariah. Yang dimaksud dengan ekonomi syariah
berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf i disebutkan bahwa perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuanga n
mikro syariah, asuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana
pension lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
104 http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-peradilan-agama-
1/kewenangan-pengadilan-agama, diakses pada 19 Februari 2018.
105 Neni Sri Imaniyati, “Pengaruh Perbankan Syariah Terhadap Hukum Perbankan

Nasional”, Syiar Hukum, Vol. XIII, No. 3, (November, 2011), h. 204.


106 Muhammad Karsayuda, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai
Kewenangan Baru Pengadilan Agama”, www. badilag. net, (2009) h., 4.
48

oleh hakim Peradilan Agama. Padahal, kendatipun sebagai kewenangan baru,


secara filosofis hukum-hukum keuangan dan perbankan syariah bukan sesuatu
yang asing karena muatan substantif serta terminologi yang digunakan justru
familiar bagi hakim Peradilan Agama. Apalagi, pasal-pasal yang berkaitan
dengan sengketa syariah telah diatur secara organik dalam undang-undang
peradilan agama.107
Selain jalan terjal yang disebutkan di atas, jalan terjal kembali dirasakan
oleh peradilan agama ketika lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah. Undang-undang tersebut banyak dikritik oleh
kalangangan akademisi maupun praktisi ekonomi syariah menyangkut forum
penyelesaian sengketa, karna dalam undang-undang perbankan syariah
peradilan agama bukan satu-satunya lembaga peradilan yang mempunyai
kewenangan abosulut menangani perkara perbankan syariah. Hal itu tertuang
pada penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: (a) musyawarah, (b)
mediasi perbankan, (c) melaui Basyarnas atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
(d) melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Kehadiran penjelesan pasal 55 ayat (2) tersebut menunjukan bahwa para
pihak boleh menunjuk lembaga peradilan umum dalam menyelesaikan perkara
perbankan syariah. Disini terjadi dualisme antara Pengadilan Agama dan
pengadilan umum. Persoalan dualisme akhirnya hilang ketika adanya uji
materiil terhadap Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ke
Mahkamah Konstitusi. Hasil dari uji materiil ini berupa Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 93 /PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa penjelasan
pasal 55 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,dan Pengadilan
Agama menjadi satu-satunya lembaga litigasi yang mempunyai kewenangan
abosolut menyelesaikan perkara ekonomi syariah.108

107 Ahmad Fauzi, “Mencari Akar Masalah”, Sengketa Ekonomi Syariah Publik Percaya

Peradilan Agama; Majalah Peradilan Agama, Edisi 4, (Juli, 2014), h., 16-17.
108 Sengketa Perbankan Syariah diselesaikan Sesuai Akad, diakses pada 19 Februari 2018

dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt521f32b33267f/sengketa-perbankan-syariah-
49

Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 memang sudah mengatur


tentang kompetensi absolut (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh
karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip
syariah tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di pengadilan
lain.109 Karena yang dimaksud kompetensi absolut ialah kewenangan badan
pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak
dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Selain kompetensi absolut, dalam
hal kewenangan pengadilan, terdapat juga kompetensi relatif atau kewenangan
nisbi yang berarti kewenangan pengadilan ditempat tergugat tinggal. 110
Kehadiran Pengadilan Agama sebagai bentuk kekuasaan kehakiman
disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai peradilan yang menegakan hukum dan keadilan. Sebagai kekuasaan
kehakiman, Pengadilan Agama wajib menyelesaiakan perkara yang berada
dalam kewenangannya. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa “Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.111
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut,
Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan absolutnya sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 berikut
penjelasannya, wajib memeriksa dan mengadili terhadap perkara ekonomi
syariah yang diajukan kepadanya sekalipun hukum materiil dan formil yang

diselesaikan-sesuai-akad. Lihat juga, Gala Perdana Putra Lubis, “Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 93/PUU-X/ 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia”, Premise Law Jurnal, Vol 6, (2015), h., 6.
109 Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum: Prespektif Hukum Perdata dan

Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, Cet. Kesatu, 2016), h., 467.
110 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,

(Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2011), h., 8-9.


111 Meskipun Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 merupakan perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989, akan tetapi status peraturan perundang -undangan yang lama tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang -undang ini. Lihat, Jaenal Aripin, Peradilan
Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h., 343.
50

berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang ditanganinya tidak ada atau


kurang jelas.112
Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang, hakim peradilan agama
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang ada dalam masyarakat. seorang hakim senantiasa dipandang
piawai menyelesaiakan perkara dan Pengadilan Agama sebagai jalur litigasi
merupakan tempat yang dipercaya pencari keadilan dalam menangani perkara
di bidang ekonomi syariah. Kehadiran asas-asas umum yang terdapat dalam
Undang-Undang Peradilan Agama berupa asas personalitas keislaman, asas
kebebasan, asas wajib mendamaikan, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan,
asas persidangan terbuka untuk umum, asas legalitas, asas equity, dan asas
aktif memberi bantuan, menjadikan fundamentum umum dan pedoman umum
bagi Pengadilan Agama dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan
semangat undang-undang peradilan agama.113

B. Hukum Materiil dan Formil Dalam Bidang Ekonomi Syariah


1. Hukum Materiil
Hukum materiil merupakan hukum yang mengatur beberapa
kebutuhan serta hubungan-hubungan yang berwujud perintah serta
larangan. Sumber hukum materiil ini diambil dari beberpa faktor yang
membantu pembentukan hukum misalnya hubungan sosial, kekuatan
politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan
kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan nasional dan
internasional, dan keadaan geografis. 114

112 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h., 174.


113 Sulaikan Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, Cet. Ketiga, 2008), h., 65.


114 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

Grafika, Cet. Keempat, 2006), h., 15. Menurut Abdul Manan, hukum materiil tidak saja
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan peraturan perundang -undangan, tetapi juga doktrin-
doktrin, teori-teori hukum dan kebiasaan masyarakat yang sudah dianggap sebagai hukum yang
harus dipatuhi. Lihat, Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000), h., 5.
51

Menurut Jaenal Aripin, hukum materiil di peradilan agama kini


sudah meninggalkan kitab kuning ke dalam kitab putih sebagai bentuk
pengakuan akan eksistensi hukum Islam di Indonesia. Karena itu,
membicarakan tentang hukum materiil peradilan agama tidak lepas dari
perbincangan tentang perjalanan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.
Bila dipertakan, hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi
menajdi 2 (dua). Pertama hukum Islam yang berlaku secara Normatif
(kategori ibadah), dan kedua hukum Islam yang berlaku secara yuridis
formal (hubungan manusia dengan manusia/muamalah). 115
Jika dikaitkan dengan ekonomi syariah, maka kegiatan ekonomi
syariah merupakan masuk kedalam kategori hukum Islam yang berlaku
secara yuridis formal karena kegiatan ekonomi dilakukan antara manusia
dengan manusia atau biasa disebut dengan kegiatan muamalah. Persoalan
muamalah tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Ia mengikuti perkembangan
zaman dengan segala jenis dan bentuk muamalah didasarkan atas kreasi
manusia yang diciptakan sesuai dengan perubahan sosial.116 Dalam hal
terjadi sengketa ekonomi syariah, maka untuk menyelesaikannya
diperlukan Sumber Daya Manusia yang kompeten dan didukung oleh
hukum materiil yang memadai yang bisa dijadikan pedoman oleh para
hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Fathurrahman Djamil menyebutkan beberapa hukum materiil yang
dapat menjadi dasar untuk digunakan dalam memutus perkara ekonomi
syariah di pengadilan, antara lain : (a) akad, (b) Nash al-Qur’an dan Hadis,
(c) Peraturan Perundang-Undangan, (d) Fatwa-fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN), (e) Fiqh dan Ushul Fiqh, (f) Adat Kebiasaan, dan (g)
Yurisprudensi.117 Adapun menurut Mardani sebagai berikut : (a) Isi
Perjanjian atau Akad yang dibuat para pihak, (b) Peraturan perundang-

115 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet.
Kesatu, 2013), h., 79.
116 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, Cet. Kedua,

2013), H., 6-7


117 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, h.,

176.
52

undangan di Bidang Ekonomi Syariah, (c) Kebiasaan-kebiasaan di Bidang


Ekonomi Syariah, (d) Fatwa Dewan Syariah Nasional, (e) Yurisprudensi,
dan (d) Dokrtin.118 Selain itu, dapat kita ketahui bahwa saat ini yang
menjadi hukum materiil yang paling mencolok ialah Kompilasi Hukum
Ekonomi Syraiah (KHES). KHES dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
berupa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.119
Dari macam-macam hukum materiil yang telah disebutkan di atas,
dapat diketahui bahwa urutan pertama yang menajdi dasar hukum materiil
untuk digunakan dalam menangani perkara ekonomi syariah yaitu Akad
atau isi perjanjian. Karena akad tersebut merupakan pacta sunt servanda
(undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian). Dari akad
tersebut dapat diketahui hak, kewajiban, larangan, dan segala macam yang
diatur dalam perjanjian para pihak, sehingga kehadiran dan kedudukan
akad dalam urutan awal hukum materiil dalam menangani perkara
ekonomi syariah merupakan langkah yang tepat. Setelah akad atau isi
perjanjian, barulah aturan-aturan lain yang selaras dengan permasalahan
yang sedang terjadi. Apabila dalam dalam aturan tidak diketemukan atau
terdapat suatu ketidakjelasan, maka Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, harus diterapkan
secara bijaksana oleh hakim Pengadilan Agama. Karena hakim Pengadilan
Agama mempunyai tanggung jawab yang besar, selain menegakan hukum
dan keadilan, ia juga menegakan syariat Islam.

118 Mardani, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.
Kesatu), h., 271.
119 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) memiliki memiliki isi IV (empat) buku,

yakni buku I tentang subjek hukum dan amwal, buku II tentang akad, buku III tentang zakat dan
hibah, dan buku IV tentang akuntansi syariah.
53

2. Hukum Formil
Undang-Undang Peradilan Agama tidak menjelaskan secara
khusus mengenai hukum acara untuk tata cara penyelesaian sengketa
ekonomi syariah. Yang diketemukan dalam undang-undang hanya hukum
acara yang berlaku pada umumnya untuk digunakan di peradilan agama.
Sebagaimana bunyi Pasal 54 : “Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus oleh undang-undang
ini”.120
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat hukum acara
perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum dan peradilan agama, dan ada pula hukum acara yang
berlaku hanya pada Pengadilan Agama. Hal terakhir merupakan suatu
kekecualian (istisna) dan kekhususan (takhisis).121
Menurut Abdul Kadir Muhammad, hukum acara perdata
dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan
sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. 122 Sejalan dengan itu, Abdul
Manan mendefinisikan hukum acara perdata merupakan hukum yang
mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan,
bagaimanapun pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan
penggugat, bagaimanpun para hakim bertindak baik sebelum dan sedang
pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara
yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan
putusan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan

120 Undang—Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


121 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cet. Keempat, 2003), h.,241.
122 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2000), h., 15.


54

kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata dapat


berjalan semestinya.123
Berkaitan dengan masih digunakannya hukum acara perdata yang
yang berlaku pada peradilan umum, penyelesaian sengketa ekonomi
syariah juga masih mengikuti hukum acara yang berlaku pada peradilan
umum. Adapun sumber hukum acara yang berlaku meliputi : Reglement
op de Bugerlijke Rechtsvordering (B.Rv), Het Herzience Indonesia
Reglement (HIR) atau disebut juga dengan Reglement Indonesia yang
diperbaharui (RIB, Rechsreglement Voor de Buitengewesten (R.Bg),
Bugerlijke Wetbook voor Indonesia (BW), Wetboek van Koophandel
(WvK), Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, Yurisprudensi,
Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Doktrin atau ilmu pengetahuan. 124

Begitupun dengan upaya hukum yang berlaku, tunduk pada tata cara
upaya hukum Peradilan Umum. Dalam upaya banding merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan
(Banding) di Jawa dan Madura. Dalam upaya kasasi tunduk pada Pasal 43-
65 Undang-Undang Mahkamah Agung. Begitu pula dalam upaya
Peninjauan Kembali (PK) tunduk pada Pasal 66-79 Undang-Undang
Mahkamah Agung.125
Perkembangan hubungan hukum di masyarakat dalam bidang ekonomi
yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengalami perkembangan
yang signifikan sehingga kemungkinan menimbulkan sengketa diantara
para pelaku ekonomi syariah. Hadirnya sengketa ekonomi syariah sudah
terbukti dengan adanya perkara ekonomi syariah yang diselesaikan di
Pengadilan Agama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dalam hal ini para hakim dan masyarakat membutuhkan kepastian hukum
terkait hukum acara yang digunakan dalam perkara ekonomi syariah. Pada

123 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, Cet. Kelima, 2008), h., 2.
124 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000), h., 5-8.


125 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah, h.,

168.
55

tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung


(PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah. Peraturan tersebut memberikan kategori ruang lingkup
perkara ekonomi syariah yang dapat diajukan ke dalam 2 bentuk , yakni
gugatan sederhana atau gugatan secara biasa.126
Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah memberikan jawaban atas
problematika yang dihadapi para hakim dalam menyelesaiakan perkara
ekonomi syariah sekaligus untuk masyarakat sebagai pencari keadilan.
Dalam hal ini Mahkamah Agung melengkapi hal-hal yang belum cukup
diatur dalam undang-undang atau terjadi kekosongan hukum acara
perdata. Hal itu bertujuan untuk memberikan kelancaran bagi
penyelenggaraan peradilan yang dilaksanakan dengan asas sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Meskipun tentang tata cara penyelesaian perkara
ekonomi syariah ini sudah ada, namun ketentuan hukum acara perdata
tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan
Mahkamah Agung tersebut.

C. Hubungan Pengadilan Agama Dengan Arbitrase Syariah


Pada umumnya, apabila terjadi sengketa dalam ekonomi syariah, terdapat
beberapa cara penyelesaian yang dapat ditempuh oleh para pihak yang
berperkara, yang mencangkup :127
1. Proses perdamaian antara para pihak
2. Lembaga peradilan agama sesuai dengan hukum yang mengaturnya, baik
hukum materiil maupun hukum formil

126 Yang dimaksud dengan pemeriksaan perkara ekonomi syariah d engan acara sederhana

adalah pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah yang nilainya paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan mengacu kepada PERMA No. 2 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal yang diatur secara khusus
dalam PERMA No. 14 Tahun 2016. Penyelesaian perkara dengan gugatan sederhana diselesaikan
paling lama 25 hari. Sedangkan pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara biasa adalah
pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah dengan b erpedoman pada hukum acara yang
berlaku kecuali telah diatur secara khusus dalam PERMA ini.
127 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,

(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h., 369


56

3. Melalui lembaga arbitrase syariah atau alternatif penyelesaian sengketa


(penyelesaian diluar peradilan)

Adapun jika melihat mengenai tentang pilihan forum penyelesaian


sengketa yang ada dalam Fatwa DSN-MUI, maka urutan yang disajikan dalam
menyelesaikan sengketa ialah dilakukannya musyawarah. Apabila tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah, maka langkah yang bisa ditempuh
melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan prinsip syariah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana disebutkan di atas, diketahui bahwa terdapat 2 sebutan kata


“lembaga” yang dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yakni
lembaga peradilan dan lembaga arbitrase. Lembaga peradilan masuk ke dalam
kategori penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan
negara (lembaga negara) yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna mengakan hukum dan keadilan. 128 Sedangkan arbitase merupakan salah
satu alternatif dari beberapa cara penyelelesaian sengketa diluar peengadilan
berdasarkan suatu kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh para pihak. 129
Dan yang dimaksud dengan lembaga arbitrase disini merupakan badan yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan suatu putusan
tertentu.130

128 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
129 Cicut Sutarsi, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), H., 21.
130 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, secara teoritis maupun praktek mempunyai

dua bentuk, yakni arbitrase ad hoc (ad hock arbitration) dan arbitrase institusional (institutional
arbitration). Arbitrase ad hoc, yaitu badan arbitrase yang tidak permanen atau juga disebut
arbitrase volunteer. Badan arbitrase ini bersifat sementara, setelah selesai tugasnya, maka badan ini
bubar dengan sendirinya. Sedangkan arbitase institusinal merupakan lembaga arbitase yang
bersifat permanen yang diselenggarakan di bawah supervise suatu lembaga yang sifatnya
permenen pula. Adapun arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah: BANI, BAPMI,
BASYARNAS, dll. Lihat, Parman Komarudin, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui
Jalur Non Litigasi”, Al- Iqtishadiyah; Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah , Vol.
1, Issues I , (Desember, 2014), h., 91. Atang Abd Hakim dan Sofwan Al- Hakim, “Kerangka
Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, At- Taradhi ; Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, No.1,
(Juni ,2015), h., 45. Rahmadi Indra Tektona, “Arbitrase Sebagai Alternatif Solusi Penyelesaian
Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”, Pandecta, Vol. 6, No.1 (Januari, 2011), h.,92.
57

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa lembaga peradilan


merupakan lembaga negara yang berdiri atas kewenangannya dibidang
yudikatif yang ditugaskan untuk menegakan hukum dan keadilan. Sedangkan
arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang
didasarkan atas suatu kesepakatan bersama oleh para pihak. Maka dari itu,
dapat diketahui lebih lanjut beberapa perbedaan prinsip antara pengadilan
dengan arbitrase, yaitu :131

1. Pengadilan memfungsikan suatu lembaga kontrol dalam persidangannya


melalui sifat terbuka untuk umum (open baar). Kedua belah pihak harus
didengar keterangannya di depan persidangan. Sebaliknya, di dalam
persidangan arbitrase meskipun asas bahwa kedua belah pihak harus
didengar keterangannya, namun persidangan arbitrase bersifat tertutup
untuk umum, sehingga kerahasiaan (confidential) para pihak dapat terjaga.
2. Tuntutan perkara ke arbitrase hanya bisa dilakukan jika di antara para
pihak yang bersengketa terdapat perjanjian (klausul) arbitrase, sedangkan
tuntutan perkara ke pengadilan bisa diajukan tanpa syarat dan oleh
siapapun.
3. Proses beracara di pengadilan lebih bersifat formal dan sangat kaku,
sedangkan proses beracara di arbitrase lebih bersifat informal sehingga
terbuka untuk memperoleh cara penyelesaian secara kekeluargaan dan
damai (amicable) serta memberi kesempatan luas untuk meneruskan
hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya
proses penyelesaian sengketa.

Pada kenyataannya, pengadilan dengan arbitrase mempunyai beberapa


keterkaitan yang ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan
beberapa peranan pengadilan di Indonesia untuk memperkuat proses arbitrase

131 Cut Memi, “Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase Dan

Pengadilan”, Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 2 (Agustus, 2017), h., 120.
58

dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksaan putusan arbitrase


tersebut.132

Hubungan pertama yang dapat diketahui antara Pengadilan Agama dengan


arbitrse syariah diawali dengan adanya pencantuman klausul arbitrase pada
kontrak perjanjian. Pencantuman klausul tersebut merupakan choice of forum
menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal itu berimplikasi terhadap
kewenangan pengadilan yang tidak menjangkau sengketa yang terjadi dalam
perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Karena perjanjian
arbitrase dibuat atas dasar kesepakatan bersama para pihak. Dalam hal terjadi
sengketa ekonomi syariah, fatwa DSN juga memerintahkan agar dapat
diselesaikan di lembaga arbitrase syariah, dalam hal ini ialah BASYARNAS.
Ketidaan hak peradilan untuk memeriksa perkara yang didalamnya tercantum
klausula arbitrase berdasar pada Pasal 3, Pasal 6, Pasal 11 ayat (1) dan (2).
Sedangkan pengakuan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan jalur
arbitrase didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 58
dan 59 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dan Fatwa DSN-MUI.

Aturan hukum sebagaimana disebutkan di atas telah berjalan sebagaimana


perintah undang-undang. Namun dalam perjalanannya, ada saja pengadilan
yang tetap menerima hingga memutus perkara tersebut mesikupun terdapat
pencantuman klausula arbitrase. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip
oleh Cik Bisri, jika terdapat perkara yang diajukan ke pengadilan dan terdapat
klausula arbitrase didalam perjanjian syariah yang mereka buat, maka
pengadilan harus menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Sikap yang tepat bagi hakim Pengadilan Agama dalam hal ini adalah dengan
menjatuhkan putusan negatif berupa pernyataan hukum yang menyatakan
bahwa Pengadilan Agama secara absolut tidak berwenang memeriksa dan
mengadili perkara tersebut.133

132 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia

dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 65.


133 Cik Bisri, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama dan

Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h., 108-109.


59

Hubungan yang kedua adalah perihal syarat pengangkatan arbiter oleh


pengadilan. Dalam Pasal 13, 14, dan 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 memberikan wewenang kepada pengadilan untuk menunjuk arbiter atau
majelis arbitrase jika para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai
pemelihan arbiter serta tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai
pengengkatan arbiter. Pengadilan juga dapat mengangkat arbiter ketiga jika
para pihak tidak bisa memilih arbiter ketiga dalam kurun waktu 14 hari.
Menurut penulis, jika lembaga arbitrase sudah memiliki ketentuan-ketentuan
yang dianggap sebagai prosedur dalam lembaga arbitrase tersebut, maka para
pihak wajib tunduk pada aturan pada lembaga arbitrase serta meaksanakan
putusan yang diambil oleh majelis arbiter berdasarkan peraturan dan prosedur
dalam lembaga arbitrase tersebut.

Hubungan yang ketiga adalah mengenai hak ingkar. Hak ingkar diartikan
sebagai tuntutan ingkar apabila cukup alasan dan cukup bukti autentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya secara tidak
bebas dan independen, serta akan menimbulkan keberpihakan dalam
mengambil keputusan. Dalam keterkaitannya dengan pengadilan, arbiter yang
diangkat oleh pengadilan maka dapat mengajukan hak ingkar kepada
pengadilan yang bersangkutan.134 Selain itu, dalam hak ingkar, pengadilan
dapat memberikan putusan yang mengikat dan tidak dapat diajukan
perlawanan, mengganti arbiter atas hak ingkar, dan menolak tuntutan ingkar.
Persoalan hak ingkar diatur dalam pasal 22, 23, dan 25 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.

Hubungan yang terakhir ialah mengenai pelaksanaan putusan arbitrase


dalam hal ini putusan BASYARNAS. Merujuk kepada ketentuan dalam Pasal
60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak.
Namun dalam rangka melaksanakan putusan tersebut, lagi-lagi pengadilan

134 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan

Internasional, h., 67.


60

berperan. Putusan arbitrase sejak tanggal putusan diucapkan, lembaran asli


putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya ke
pengadilan. Penyerahan putusan arbitrase tersebut untuk dilakukan pencatatan
dan ditandatangani pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera
pengadilan.

Jike melihat hubungan antara Pengadilan Agama dan basyaranas maka


akan diketahui keduanya memiliki jalur yang panjang untuk mencapai
keharmonisan. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, badan
penyelesaian sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah yaitu Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang
kini berganti menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Saat itu, pada putusan arbitase syariah yang tidak melaksanakan putusan
tersebut secara sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Hal
itu tentu menimbulkan ketidakharmonisan tentang pelaksanaan putusan
arbitrase syariah yang dimintakan ke Pengadilan Negeri. Ketika Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 lahir, maka Pengadilan Agama menjadi
pengadilan yang memiliki kewenangan absolut menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah. Pengadilan Agama juga berwenang untuk mengeksekusi
putusan badan arbitrase syariah sebagaimana lahirnya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah. Disinilah terjadi keharmonisan antara badan arbitrase
syariah dengan Pengadilan Agama, karena sama-sama dapat menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah yang merupakan kompetensinya.

Ternyata keharmonisan antara Pengadilan Agama dan badan arbitrase


syariah tidak berlangsung lama. pada tahun 2009, lahir Undang- Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tenang Kekuasaan Kehakiman. Dalam undang-undang
tersebut terdapat pasal 59 ayat (3) yang menyatakan jika salah satu pihak yang
bersengketa tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Satu
61

tahun kemudian, lahir Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 tahun 2010
tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
8 Tahun 2008.135 Isi SEMA tersebut pada intinya adalah dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah),
putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri.
Disini terlihat bagaimana badan arbitrase syariah mendapatkan tempat yang
tidak konsisten dan tidak harmonis. Sampai pada terjadinya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang membawa Pengadilan
Agama menjadi satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang dalam
menangani perkara ekonomi syariah. Hal ini pun berimplikasi pada pelaksaan
dan pembatalan putusan badan arbitrase syariah.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama dan badan
arbitrase mempunyai hubungan meskipun kedua lembaga penyelesaian
sengketa ekonomi syariah tersebut berbeda. Keterkaitan arbitrase syariah
dengan Pengadilan Agama rasanya tidak bisa dipisahkan, meskipun para pihak
menaati putusan arbitrase. Karena putusan arbitrase tetap harus didaftarkan ke
Pengadilan Agama. Menurut penulis, inti dari adanya keterkaitan antara
Pengadilan Agama dan badan arbitrase ialah pada hal terciptanya
keharmonisan. Harmonisasi harus tercipta dalam suatu hubungan, termasuk
hubungan hukum. Hal itu tentu harus didukung oleh lembaga-lembaga negara
yang berkaitan, seperti pembentuk undang-undang maupun pelaksana undang-
undang.

135 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012), h., 422.


BAB IV

PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)


OLEH HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH DI
PENGADILAN AGAMA (Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang
Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng)

A. Penerapan Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dalam Perkara


Ekonomi Syariah
1. Duduk Perkara
Perkara yang terjadi antara Penggugat berkedudukan sebagai
Pengurus Koperasi berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Nomor:
022/SK/BMT-AF/VI/2003 Tanggal 1 Juni 2003 beralamat di Tangerang
Selatan. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada Febi Firmansyah, S.H.,
Advokat pada Kantor Hukum Fisherman & Co. Melawan Tergugat,
Tergugat I, dan Tergugat II. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada NM
Wahyu Kuncoro, S.H., Rama Atyanto Gama, S.H., dan Riyan Priyanto
Wibowo, S.H., Para Advokat pada Wahyu Mitra Advocate, yang
selanjutnya disebut Para Tergugat.
Penggugat dan Tergugat telah membuat, menandatangani dan
menyepakati beberapa kesepakatan sebagaimana dalam “Akad Kerjasama
Musyarakah” Nomor: 6 Tanggal 12 September 2014, yang dibuat di
hadapan Retno Ima Astuti, S.H., Notaris di Kota Tangerang Selatan.
Dalam akta perjanjian tersebut ditentukan bahwa Penggugat dan Tergugat
sepakat bekerjasama untuk pembelian bibit Sapi Qurban dan
penggemukannya untuk kebutuhan Idul Qurban 1435H. Kerjasama
tersebut berlangsung selama 1 bulan dengan masing-masing kontribusi
permodalan sebesar Rp 818. 400.00,- (delapan ratus delapan belas juta
empat ratus ribu rupiah) untuk Tergugat, dan Rp 500.000,00,- (lima ratus
juta rupiah) untuk Penggugat yang memberikan permodalan kepada
Tergugat . Adapaun nisbah bagi hasil yang disepakati sebesar 30% untuk

62
63

Penggugat dan 70% untuk Tergugat. Dalam hal ini Tergugat memberikan
jaminan berupa tanah.
Ketika sudah jatuh tempo, ternyata Tergugat hanya
mengembalikan utang pokok sebesar Rp 305.000,00, -(tiga ratus lima juta
rupiah) saja, sehingga utang pokkok yang belum dikembalikan adalah Rp
195.000.000, - (seratus Sembilan puluh lima juta rupiah), ditambah dengan
bagi hasil (30%) atas keuntungan yang diperoleh dan harus diterima
Penggugat sebesar Rp 43.080.000, - (empat puluh tiga juta delapan ribu
rupiah). Secara keseluruhan adalah sebesar 238.080.000, - (dua ratus tiga
puluh delapan juta delapan puluh ribu rupiah).
Berdasarkan hal tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi atas perjanjian yang
dilakukan. Dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan kepada Tergugat
ke Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama Tangerang.
Setelah Penggugat melakukan gugatan, Tergugat melakukan
eksepsi terhadap gugatan Penggugat. Adapun inti eksepsi tersebut ialah
mengenai kompetensi, dan mengenai kurang subyek hukum tergugat.
Masalah kompetensi karena ketidakjelasan perkara tersebut ditujukan,
apakah ke Badan Arbitrase atau ke Pengadilan Agama, karena masing-
masing lembaga memiliki kompetensi absolut yang berbeda. Selain itu,
dalam pokok perkara, Tergugat menyatakan bahwa kelalaiannya dalam
mengembalikan utang pokok kepada Penggugat dikarenakan potensi
keuntungan usahanya tidak tercapai seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal
itu dikarenakan pelanggan besar yang sekalian lama rutin membeli, pada
tahun tersebut tidak membeli sapi qurban pada Tergugat. Maka kerugian
yang terjadi menurut Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/XI/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah harus dibagi antara mitra secara proporsional
menurut saham masing- masing modal.
Untuk menguatkan dalail-dalil nya, Penggugat telah mengajukan
bukti-bukti berupa bukti tertulis dan bukti saksi-saksi. Sedangkan
Tergugat tidak mengajukan bukti-bukti baik tertulis maupun para saksi
64

selain yang telah diajukan tersebut. Hingga pada kesimpulannya, masing-


masing Penggugat tetap dengan dalil gugatannya dan Tergugat serta turut
Tergugat I dan Tergugat II tetap dengan dalil-dalil sebagaimana dalam
jawaban dan dupliknya.
2. Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hakim dalam memutus perkara ekonomi syariah ini
dimulai dari tahap awal sampai akhir persidangan. Hal itu meliputi
gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian,
kesimpulan. Berkaitan dengan penelitian ini, penulis tidak akan memuat
pertimbangan hakim secara keseluruhan, mengingat penulis hanya
membahas mengenai hadirnya pencantuman badan arbitrase yang
tercantum dalam surat gugatan dan isi perjanjian musyarakah. Yang mana
pertimbangan hukum oleh hakim mengenai hadirnya klausula tersebut
hanya dijelaskan pada bagian ekspespi menyangkut kewenangan absolut
dan tidak menyangkut kepada pokok perkara. Adapun dasar pertimbangan
hakim dalam menyikapi kewenangan absolut berbunyi: “Bahwa Tergugat,
Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II selain telah mengajukan tangkisan
(eksepsi) diantaranya mengenai kompetensi absolut dan eksepsi prosesuil.
Yang mana dalam hal ini sesuai ketentuan pasal 136 HIR sejauh mengenai
eksepsi kompetensi absolut, majelis hakim telah menjatuhkan putusan sela
Nomor 2107/Pdt.G/PA. Tng tanggal 8 Mei 2017 yang pada prinsipnya
menolak ekspespi Tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II dan
menyatakan Pengadilan Agama Tangerang berwenang memeriksa dan
mengadili perkara a quo”.
3. Amar Putusan
a. Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi Tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II.
b. Dalam Pokok Perkara
1) Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian.
2) Menyatakan sah dan benar menurut hukum Akad Kerjasama
Musyarokah Nomor 6 tanggal 12 September 2014.
65

3) Menyatakan Tergugat telah melakukan tindakan wanprestasi atau


cedera janji atas perjanjian yang telah dibuat antara Penggugat dan
Tergugat sebagaimana amar poin 2.
4) Menghukum Tergugat untuk membayar kewajibannya kepada
Penggugat, pengembalian sisa modal ditambah hasil keuntungan
(nisbah) seluruhnya sejumlah Rp. 238.080.00, - (dua ratus tiga
puluh delapan juta delapan puluh ribu rupiah)
5) Menghukum Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II untuk menaati
isi putusan ini
6) Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.
7) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp
1.446.000, - (satu juga empat ratus empat puluh enam ribu rupiah).
B. Analisis Penulis
Berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tangerang dengan nomor perkara
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng diketahui bahwa hakim mengabulkan gugatan
penggugat sebagain. Dalam putusan tersebut majelis hakim menilai bahwa,
tergugat tidak bisa membuktikan kesalahannya, baik bukti tertulis maupun
bukti saksi-saksi sehingga dianggap sebagai wanprestasi. Selain itu, perihal
kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara ekonomi syariah
yang diajukan oleh penggugat meskipun terdapat klausula “Badan Arbitrase
pada Pengadilan Agama” dinyatakan berwenang memeriksa dan mengadili
perkara berdasarkan putusan sela nomor 2107/Pdt.G/PA.Tng tanggal 8 mei
2017.
Hadirnya pencantuman “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama
Tangerang” dalam klausul perjanjian dan surat gugatan memberikan gambaran
bahwa masih ada segelintir masyarakat yang kurang mengetahui betul akan
kompetensi absolut dalam menyelesaiakan perkara ekonomi syariah. Padahal,
Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase adalah lembaga yang berbeda.
Pengadilan Agama merupakan jalur litigasi sedangkan arbitrase merupakan
jalur nonlitigasi. Ketidaktahuan masyarakat akan tempat penyelesaian
66

sengketa ekonomi syariah dimungkinkan oleh faktor kurangnya informasi


yang up to date terhadap permasalahan ekonomi syariah.
Apabila diteliti kembali, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Agama Tangerang dalam hal terdapat klausula “badan arbitrase pada
Pengadilan Agama Tangerang” tentu memberikan pertanyaan bagi aparatur
Pengadilan Agama Tangerang. Sejak kapan di Pengadilan Agama Tangerang
memiliki badan arbitrase? Tentunya tidak ada. Sebagaimana yang telah
dibahas pada BAB III, bahwa hubungan Pengadilan dan Badan Arbitrase
umumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, selain itu tidak ada aturan
yang menunjukan bahwa badan arbitrase terdapat di lingkungan lembaga
peradilan.
Menurut penulis, asal diterimanya gugatan penggugat adalah berdasar
pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan dilarang menolak, memeriksa
perkara yang diajukan kepadanya meskipun hukumnya belum ada atau kurang
jelas. Dalam hal ini Pengadilan Agama harus patuh, karena Pengadilan Agama
merupakan bentuk kekuasaan kehakiman yang turut juga tunduk pada
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Selain itu, asas ius curia novit yang
menjadi julukan hakim untuk mengetahui segala hukum, tidak bisa dipisahkan
dalam paradigma pencari keadilan. Sehingga ketidakjelasan hukum atau
hukum yang belum diatur selalu dapat diselesaikan oleh hakim.
Dengan diterimanya perkara nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng, majelis
hakim tidak langsung menyatakan kewenangannya menyelesaikan perkara
ekonomi syariah, karena terdapat ketidakjelasan mengenai kompetensi
absolut. Oleh karena itu, majelis hakim harus mengeluarkan putusan sela
sesuai Pasal 136 HIR tentang pemeriksaan kompetensi absolut. Menurut
Syarif Mappiase, mengenai kompetensi absolut, dapat dengan eksepsi dan
juga tanpa eksepsi karena hakim secara ex oficio dapat menyatakan diri tidak
67

berwenang. Apabila melampaui batas wewenang yang ditentukan undang-


undang maka wajib diputus sebelum masuk pada tahap pembuktian.136
Dalam merumuskan putusan sela, terlihat majelis hakim telah berpedoman
sesuai dengan aturan hukum formil yang berlaku. Disisi lain, dalam
perumusan putusan sela, majelis hakim mencurahkan kemampuannya untuk
menemukan maksud dari klausula tersebut dengan melakukan penemuan
hukum menggunakan metode penafsiran. Penemuan hukum dengan metode
penafsiran memudahkan bagi hakim untuk memahami tujuan dari klausula
yang dimaksud oleh pihak penggugat. Penafsiran juga memberikan ruang bagi
hakim untuk memahami arti dibalik teks yang ada. Sebagaimana Sudikno
Mertokusumo menyatakan bahwa menafsirkan ialah untuk mengetahui pikiran
yang ada dibelakang kata-kata itu.137
Menurut Yayuk Alfiyanah, bahwa dalam memutus perkara tersebut
majelis hakim menerapkan metode penemuan hukum yakni metode
penafsiran. Majelis hakim menafsirkan bahwa maksud dari surat gugatan dan
perjanjian kedua belah pihak jika terjadi sengketa ialah menuju Pengadilan
Agama Tangerang. Karena di dalam Pengadilan Agama tidak ada Badan
Arbitrase. Selain itu, majelis hakim juga menafsirkan alamat yang tertera pada
surat gugatan. Menurut majelis hakim, bahwa alamat yang tertera pada surat
gugatan penggugat hanya dimiliki oleh Pengadilan Agama Tangerang, dan
tidak ada badan arbitrase pada alamat tersebut. Untuk memperkuat keyakinan
hakim, majelis hakim juga menanyakan kepada penggugat maksud dari
penulisan klausula itu dan berujung pada Pengadilan Agama Tangerang yang
dimaksud.138
Menurut penulis, alasan majelis hakim mengenai kompetensi absolut
Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara ekonomi syariah sudah tepat
adanya. Majelis hakim menggunakan metode penafsiran dikarenakan

136 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Kencana,
2015), h., 38.
137 Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab Penemuan Hukum, (PT Citra Aditya

Bakri, Cet. Kedua, 2013), h., 56


138 Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Interview Pribadi,

Tangerang, 16 Maret 2018.


68

hukumnya tidak jelas. Metode penafsiran dalam ilmu hukum umumnya


digunakan untuk memberikan arti dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas
dengan cara menggali makna dibalik ketidakjelasan teks. Penulis juga
berpendapat bahwa maksud dari klausula tersebut ialah menunjuk Pengadilan
Agama sebagai wadah penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Hal itu dapat
dilihat dalam klausula yang berbunyi “Badan Arbitrase pada Pengadilan
Agama Tangerang”. Dalam klausula tersebut dicantumkan nama pengadilan
mana yang akan dituju, dalam hal ini ialah Pengadilan Agama Tangerang
sebagai kompetensi relatifnya. Sedangkan penyebutan badan arbitrase pada
klausula tersebut tidak memberikan kespesifikan apakah melalui arbitrase
institusional atau ad hoc. Namun disisi lain, adanya pencantuman badan
arbitrase dapat membuat kewenangan Pengadilan Agama bergeser dan tidak
mempunyai kewenangan sebagaimana Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tetapi hal itu
dapat terjadi jika para pihak yang bersengketa mengikatkan dirinya kepada
arbitrase melalui perjanjian dan berjanji meniadakan hak untuk menempuh
jalur pengadilan.
Persoalan demikian ternyata tidak hanya terjadi di Pengadilan Agama
Tangerang saja. Berdasarkan penelitian Ahmad139 , perihal mencantumkan
klausula arbitrase dalam akad perjanjian pernah dialami oleh Pengadilan
Agama Bandung dengan Nomor Perkara 3066/Pdt.G/2009/PA.Bdg dan
Pengadilan Agama Yogyakarta dengan Nomor Perkara
0303/Pdt.G/2012/PA.Yk. Dalam proses pemeriksaannya, salah satu pihak dari
kedua perkara tersebut tidak mengajukan eksepsi. Akan tetapi dalam
memberikan putusan berbeda, di mana putusan Pengadilan Agama Bandung
menerima dan memeriksa perkara tersebut kerena merupakan kewenangan
Pengadilan Agama, sementara Pengadilan Agama Yogyakarta menyatakan
pemeriksaan perkara nomor 0303/Pdt.G/2012/PA.Yk., diputus dengan
menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang. Menurut Ahmad, bahwa

139 Ahmad, “Penyeelsaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama”, Jurnal

IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. II, Nomor 6, (Desember, 2014), h., 436
69

terjadinya perbedaan dalam menjatuhkan putusan antara Pengadilan Agama


Bandung dan Pengadilan Agama Yogyakarta terhadap perkara ekonomi
syariah yang sama-sama mencantumkan klausul arbitrase adalah
dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami dan
menerapkan klausul arbitrase.
Jika melihat putusan Pengadilan Agama Tangerang dengan nomor perkara
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng, menurut analisis penulis, putusan Pengadilan
Agama Tangerang memiliki kemiripan dengan Pengadilan Agama Bandung
dalam hal menyatakan kewenangannya, yakni sama-sama menggunakan
metode penafsiran dalam menyikapi perkara ekonomi syariah yang terdapat
klausula arbitrase. Namun, majelis hakim Pengadilan Agama Bandung, dan
Pengadilan Agama Tangerang dalam melakukan penemuan hukum masing-
masing menggunakan metode penafsiran yang berbeda. Perbedaan jenis
penafsiran bukanlah untuk dipersoalkan, justru menambah khazanah keilmuan
hukum karena hakim memiliki dasar dan alasan tersendiri dalam memutus
perkara. Penafsiran yang dilakukan oleh hakim dalam suatu kontrak perjanjian
dapat merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tercantum
dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.
Penulis berpendapat bahwa putusan Pengadilan Agama Tangerang dalam
melakukan penemuan hukum terhadap surat gugatan dan isi klausul perjanjian
yang berdapat kata badan arbitrase merupakan suatu metode interpretasi yang
bersifat komperehensif. Yang dimana penafsiran ini dapat mereduksi teks
undang-undang atau sebaliknya dapat pula menginduksi makna realitas suatu
teks. Metode ini mempunyai tujuan untuk menghasilkan makna sesuai
kebutuhan masyarakat, bersifat kontemporer yaitu realitas dimana ia muncul,
dan bersifat realistis atas kehidupan dengan segala problemnya.140
Lebih lanjut, menurut hemat penulis dengan menyatakan kewenangannya
dalam memeriksa perkara ekonomi syariah, hakim Pengadilan Agama
Tangerang telah mengesamingkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

140 Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh

Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 131.


70

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan menggunakan


metode interpretasi sebagai metode penemuan hukum. Hal itu semata-mata
untuk mewejudkan dari tujuan hukum itu sendiri yakni, kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan.
Penemuan hukum dengan metode interpretasi kompeherensif layak
disandang untuk memberikan pengertian dari arti penafsiran yang dilakukan
oleh majelis hakim yang memeriksa perkara ekonomi syariah dengan alasan:
1. Dengan menyatakan Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara
ekonomi syariah setelah adanya putusan sela memberikan arti bahwa
kebutuhan masyarakat akan hukum telah dipenuhi oleh majelis hakim,
sehingga terciptanya kepastian hukum.
2. Hukum yang terjadi antara penggugat dan tergugat merupakan realitas dan
mempunyai dampak yang besar. Jika tidak segera dipastikan lembaga
mana yang berwenang mengadili, maka sengketa ekonomi syariah akan
terus berlarut-larut dan tidak memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi
para pencari keadilan.
3. Majelis hakim mencari maksud dibalik klausula dengan melihat alamat
yang tertera dan meminta keterangan penggugat atas hadirnya kalusula
tersebut. Artinya majelis hakim dalam hal ini melakukan interpretasi
dengan menyelami makna dengan sungguh-sungguh sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat yang terjadi.
4. Dalam memeriksa perkara ini hakim terlihat tidak bersifat too legal
terhadap permasalahan yang terjadi. Namun hakim menggunakan
penalaran logis yang sejalan dengan hati nuraninya dalam menyelesaikan
perkara ini, termasuk menyikapi klausula tersebut. Hal itu semata-mata
demi terwujudnya tujuan hukum itu sendiri.

Keempat alasan itu merupakan perwujudan bahwa hakim majelis hakim


tidak melihat pada satu kata saja yakni “badan arbitrase” namun melakukan
penemuan hukum dengan cara mencari arti dibalik kalimat itu secara
keseluruhan dan menggali nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
71

Pada umumnya, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim berupa


persoalan hukum materiil. Tetapi penulis berpendapat bahwa majelis hakim
disini melakukan penemuan hukum formil. Karena, jika kita lihat kembali
bahwa yang terjadi dalam putusan tersebut mengandung ketidakjelasan tempat
penyelesaian sengketa atau kewenangan absolut. Mengenai kewenangan,
aturannya sudah diatur secara prosedural dalam hukum acara yang berlaku,
yang mana hukum acara ekonomi syariah masih menganut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata, sepanjang tidak diatur dalam PERMA Nomor
14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.
Seorang hakim boleh saja melakukan penemuan hukum formiil, karena hakim
didorong untuk selalu melakukan kreatifitas-kreatifitas dalam menangani
perkara, tetapi harus sesuai dengan koridor-koridor yang berlaku.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yakni Bagir Manan
juga berpendapat bahwa hakim tidak saja dituntut untuk menemukan hukum
materiil, namun juga dapat diberikan peluang untuk menemukan hukum
formil yang senyatanya Indonesia masih menganut paham HIR/RBG. Dalam
melakukan penemuan hukum formil, hakim dapat menggunakan metode
penafsiran.141 Hakim yang melakukan penemuan hukum formil harus
memberikan argumen yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan.
Persoalan penemuan hukum kini tidak lagi dipandang sebagai bentuk cara
hakim untuk menemukan hukum atas suatu peraturan yang belum jelas atau
tidak ada peraturan yang mengaturnya. Namun di era saat ini, ajaran yang
menyatakan bahwa hakim selalu menemukan hukum ialah pandangan yang
dapat dibenarkan. Karena pada hakikatnya, hakim selalu dihadapkan oleh
permasalahan konkret di masyarakat dan hakim memerlukan pijakan hukum
yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi untuk mengambil sebuah
putusan. Dalam praktik persidangan, permasalahan tersebut oleh hakim
diperiksa dan diberikan pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum tersebut
merupakan buah pikir hakim dari hasil penemuan hukum terhadap

141 Muhammad Noor, dkk, “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang” Quo Vadis

Penemuan Hukum; Majalah Peradilan Agama, Edisi 2, (September-November 2013), h., 7


72

permasalahan yang terjadi, sehingga dalam putusan hakim tidak ada yang
tidak mengandung penemuan hukum. Hal itu selaras seperti yang dikatakan
oleh Yayuk Alfiyanah bahwa hakim selalu melakukan penemuan hukum
setiap saat ketika memeriksa perkara. 142
Putusan yang dihasilkan hakim atas penemuan hukumnya tidak menutup
kemungkinan dapat menjadi yurisprudensi jika putusan tersebut merupakan
suatu terobosan-terbosoan baru yang bersifat landmark decision. Apalagi
putusan tersebut disertai pertimbangan-pertimbangan hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penerapan penemuan hukum memang sangat penting dilakukan oleh
hakim Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Karena, persoalan ekonomi syariah merupakan bidang muamalah yang tidak
bersifat statis, ia selalu berubah seiring perkembangan zaman. Berbagai jenis
transaksi dan bisnis terus berkembang dinamis karena persoalan muamalah
selalu boleh dilakukan kecuali terdapat dalil yang melarangnya, sebagimana
kaidah fiqh:

َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ‫َا َل‬
‫احةَ ِإّلَ أ ْ َن َيدَ ََل َد ِل ْي َل َعلى ت ْح ِر ْي ِم َها‬ ‫اْلب‬
ِ ‫ت‬َ ِ ‫صلَ ِفي اْلعامال‬
“pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”

Seorang hakim harus berani melakukan penemuan hukum dalam bidang


ekonomi syariah. Meskipun ekonomi syariah merupakan bidang baru bagi
para hakim peradilan agama, namun hakim peradilan agama harus memiliki
kreatifitas-kreatifitas berupa hasil penemuan hukumnya yang dapat
memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Dengan dilakukannya penemuan hukum, seorang hakim tidak boleh asal-
asalan dan menganggap perkara ekonomi syariah layaknya seperti ekonomi
yang bersifat konvensional. Tetapi, hakim harus memiliki pemahamannya

142 Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Interview Pribadi,

Tangerang, 16 Maret 2018.


73

terhadap persoalan ekonomi syariah, baik dengan cara pendidikan maupun


pelatihan.
Pada dasarnya, hukum Islam telah memberikan ruang untuk melakukan
Ijtihad atau menemukan hukum di bidang ekonomi syariah dengan merujuk
kepada al- Qur’an, Sunnah, dan sumber hukum Islam lainnya. Hukum Islam
yang merupakan pemberian dari Allah SWT yang harus dilestarikan dalam
formulasi baru sesuai dengan konteks zaman, tempat, dan keadaan di mana
masyarakat berinterkasi.143 Hakim yang melakukan penemuan hukum juga
diagungkan sebagai bentuk pencurahan tenaga untuk mengambil kesimpulan
hukum dan dasarnya dengan penelitian yang dapat menyampaikan kepada
tujuan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi.144 Seorang hakim harus
berlaku adil dan bersungguh-sungguh berijtihad dalam mencari kebenaran.
Meskipun hasil penemuan hukumnya salah, hakim tetap mendapatkan
kebaikan, seperti yang tercantum dalam Hadis Riwayat Abu Hurairah:145

‫ أَنَّه ُ َس ِم َع َرسُو َل هللاِ صلَّى هللا ُ َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم‬: ُ ‫ض َي هللا ُ َعنْه‬ ِ ‫اص َر‬ ِ َ‫ث َع ْم ِر و بْ ِن الْع‬ ُ ْ‫َح ِد ي‬
.‫طأ َ فَلَه ُ أَ ْج ٌر‬ َ ‫ان َوإِذَا َح َك َم فَا ْجتَ َهدَ ث ُ َّم أَ ْخ‬
ِ ‫اب فَلَه ُ أَ ْج َر‬
َ ‫ص‬َ َ‫ إِذَا َح َك َم الْ َح ِاكمُ فَا ْجتَ َهدَ ث ُ َّم أ‬:‫قَا َل‬

Diriwayatkan dari Amr bin Asy radhiyallahu ‘anhu, beliau telah berkata:
Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan
berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua
pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan suatu perkara dengan berijtihad,
tetapi ijtihadnya itu tidak benar, maka ia akan memperoleh satu pahala”
Dorongan untuk melakukan penemuan hukum dalam praktik peradilan di
Indonesia juga memiliki dasar yang kuat. Apabila melihat undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman mulai dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun

143 Munawir Haris, “Metodologi Penemuan Hukum Islam”, Ulumuna Jurnal Studi

Keislaman, Vol. 16, No. 1, (Juni, 2012), h., 19


144 Abdul Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 81.
145 Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih, (Jakarta:

Kencana, 2004), h., 78.


74

1970146 , Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004147 dan Undang-Undang


Nomor 48 Tahun 2009148 , terdapat pasal yang menegaskan agar hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Maksud dari isi pasal tersebut memberikan arti
bahwa hakim harus menyadari betul nilai-nilai hukum terhadap permasalahan
yang terjadi, sehingga dalam memutus perkara hakim memiliki dasar hukum
yang kuat sekaligus memberikan rasa keadilan di dalam putusannya.
Kesemuanya itu dapat dilakukan dengan cara menerapkan metode penemuan
hukum dalam setiap perkara yang sedang ditanganinya.
Demikian atas putusan Pengadilan Agama Tangerang tentang ekonomi
syariah yang memberikan putusan dengan menggunakan penemuan hukum
dengan metode interpretasi komprehensif. Langkah tersebut dapat dijadikan
contoh bagi hakim-hakim lain yang memeriksa perkara ekonomi syariah
dikarenakan dalam menemukan permasalahan pada ketidakjelasan hukum
harus diinterpretasikan secara menyeleluruh dan lengkap, baik dilakukan
terhadap hukum materiil maupun hukum formiil. Alhasil, kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan dapat dirasakan oleh para pihak.

146 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan -
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
147 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
148 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hakim Pengadilan Agama Tangerang yang memeriksa perkara ekonomi
syariah dengan nomor perkara 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng menggunakan
metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang digunakan oleh
hakim ialah metode penafsiran komprehensif. Dalam hal ini, majelis
hakim menginterpretasi secara keseluruhan dan lengkap dalam menyikapi
hadirnya pencantuman klausla “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama
Tangerang” pada surat gugatan penggugat dan isi perjanjian musyarakah
antara penggugat dan tergugat. Metode penemuan hukum itu membantu
majelis hakim dalam menyikapi kalusula tersebut hingga pada kesimpulan
yang menyatakan kewenangannya dan berhak memeriksa perkara ekonomi
syariah meskipun terdapat kata badan arbitrase. Hal itu berdasar pada
interpretasinya yang menyatakan tidak adanya badan arbitrase yang
menangani perkara ekonomi syariah pada wilayah Tangerang dan alamat
yang tertera dalam surat gugatan penggugat hanya dimiliki oleh
Pengadilan Agama Tangerang dan tidak termasuk didalamnya terdapat
badan arbitrase.
2. Dalam menerapkan metode penemuan hukum terhadap perkara ekonomi
syariah ini, majelis hakim menerapkannya berdasarkan permasalahan yang
terjadi. Dimana permasalahan yang terjadi pada perkara ini ialah berupa
pencantuman klausula “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama” dalam
surat gugatan penggugat dan isi perjanjian para pihak. Yang mana dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ditemukan badan
arbitrase masuk ke dalam peradilan agama. Atas permaslahan tersebut
majelis hakim menerapkan metode penemuan hukum sesuai dengan
permasalahan dengan dikaitkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku,

75
76

ekonomi syariah dan dalil-dalil kesyariahaan. Kesemuanya itu dilakukan


demi terciptanya tujuan hukum bagi para pihak.
B. Saran
Bagi hakim yang memeriksa perkara ekonomi syariah hendaknya
memeriksa dan memperhatikan terlebih dahulu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak meskipun perjanjian itu sudah dibuat sesempurna mungkin.
Karena, kalimat-kalimat dalam perjanjian tidaklah selalu sama dalam hal
menafsirkannya.
Selain itu, hakim juga harus piawai dalam memeriksa perkara ekonomi
syariah dikarenakan kegiatan ekonomi syariah tidak bersifat statis tetapi
dinamis, yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat
cepat, sehingga hakim harus selalu mengikuti perkembangan ekonomi syariah
dan selalu melakukan penemuan hukum untuk memberikan suatu putusan
yang sesuai dengan permasalahan, nilai-nilai hukum dan keadilan dalam suatu
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung:


Alumni, 2006.
AF, Hasanuddin, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum¸Jakarta: Kencana, 2015.
______________, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), Jakarta: Kencana, 2009.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Cet. 5, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Aripin, Jaenal, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2013.
______________, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.
Armia, Muhammad Shiddiq, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum, Jakarta:
Pradyna Paramita, 2003.
Arrasyid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cet. 4, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Asikin, Zainal, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. 4, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
______________, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan
Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.
Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Djalil, Abdul Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012.
Djamil, Fathurrahman, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Fuady, Munir, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 4,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

77
78

Harahap, Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan


Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cet. 2, Jakarta, Sinar Grafika,
2008.
Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Lubis, Sulaikan, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Cet.
3, Jakarta: Kencana, 2008.
Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet. 3, Jakarta: Kencana, 2009.
______________, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Cet. 5, Jakarta: Kencana, 2008.
______________, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000.
Mappiase, Syarif, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Kencana, 2015.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2013.
______________, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.2, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Merokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2010.
______________ dan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab Penemuan Hukum, Cet. 2, PT Citra
Aditya Bakri, 2013.
______________, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2014.
Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, Bandung:
Alumni, 2006.
Mudjab, Ahmad dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih,
Jakarta: Kencana, 2004.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2000.
Nasution, Muhammad Syukri Albani, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat,
Jakarta: Kencana, 2016
Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Panggabean, H.P., Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia,
Bandung: PT. Alumni, 2014.
79

Purwaka, Tommy Hendra, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit


Universitas Atma Jaya, 2007.
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum
Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Saebani, Beni Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: UI Press, 1986.
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 7, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
______________, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses
Persidangan, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
______________, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2 Tentang Pihak -
Pihak Dalam Perkara, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Suadi, Amran dan Mardi Candra, Politik Hukum: Prespektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2016.
Sutarsi, Cicut, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2012.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Usman, Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Van Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.34, Jakarta: Pradnya Paramita,
2011.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Cet. 4, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di
Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.

Jurnal dan Majalah


Ahmad, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama”, Jurnal
IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. II, Nomor 6, Desember, 2014.
Badriyah, Siti Malikhatun, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan
Hukum (Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Vol. 40, No. 3, 2011.
80

Fauzi, Ahmad. “Mencari Akar Masalah”. Sengketa Ekonomi Syariah Publik


Percaya Peradilan Agama; Majalah Peradilan Agama. Edisi 4, Juli, 2014.
Hakim, Atang Abd dan Sofwan Al- Hakim. “Kerangka Penyelesaian Sengketa
Bisnis Syariah”. At- Taradhi; Jurnal Studi Ekonomi, Vol. 6, No.1, Juni,
2015.
Haris, Munawir. “Metodologi Penemuan Hukum Islam”, Ulumuna Jurnal Studi
Kislaman. Vol. 16, No. 1, Juni-2012.
Hidayat, Arif. “Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim Dalam Putusan
Pengadilan. Pandecta. Vol. 8, No. 2, Juli, 2013.
Imaniyati, Neni Sri. “Pengaruh Perbankan Syariah Terhadap Hukum Perbankan
Nasional”. Syiar Hukum. Vol. XIII, No. 3, November, 2011.
Komarudin, Parman, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Jalur Non
Litigasi”. Al- Iqtishadiyah; Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi
Syariah. Vol. 1, Issues I, Desember, 2014.
Lubis, Gala Perdana Putra. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-
X/ 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia”. Premise Law Jurnal, Vol 6, 2015.
Manan, Abdul. "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama." Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 2, No. 2, Juli, 2013.
Manggalatung, A Salman. “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”. Jurnal Cita Hukum. Vol.
II, No. 2, Desember, 2014.
Muliadi, Nur. "Rechtvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode
Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam)". Jurnal Ilmiah Al-
Syir'ah. Vol 2.1, 2016
Musyahdah R, Alef. “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan
Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”. Jurnal
Dinamika Hukum. Vol. 13 No. 2, Mei, 2013.
Noor, Muhammad, dkk. “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang”. Quo
Vadis Penemuan Hukum; Majalah Peradilan Agama. Edisi 2, September-
November, 2013.
Nurhasanah dan Hotnidah Nasution. “Kecenderungan Masyarakat Memilih
Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”. Ahkam. Vol. XVI,
No. 2, Juli, 2016.
Poesko, Herowati. “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara
Perdata”. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER. Vol. 1, No. 2, Juli-
Desember, 2015.
81

Sudaryanto, Agus. “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan


Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan
Hukum)". Jurnal Konstitusi. Vol. 1, No. 1, November, 2012.
Tektona, Rahmadi Indra. “Arbitrase Sebagai Alternatif Solusi Penyelesaian
Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”. Pandecta. Vol. 6, No.1, Januari,
2011.
Tumpa, Harifin A. “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh
Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”. Hasanudin Law Review. Vol. 1,
Issue. 2, Agustus 2015.
Wantu, Fence M. “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan
Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”. Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 12, No. 3, September, 2010.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

Internet
Profil Jurnal Rechtsvinding, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil
82

Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama, diakses pada 19 Februari 2018 dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-peradilan-
agama-1/kewenangan-pengadilan-agama.
Sengketa Perbankan Syariah diselesaikan Sesuai Akad, diakses pada 19 Februari
2018 dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt521f32b33267f/sengketa-
perbankan-syariah-diselesaikan-sesuai-akad.
Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam
Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”. Artikel, diakses pada tanggal 25
Maret 2018 dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-
dalam-penemuan-hukum-dan-penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-
perkara-di-pengadilan-oleh-drs-h-arpani-sh- mh-64.

Wawancara
Interview Pribadi dengan Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang,
Tangerang, 16 Maret 2018.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Foto bersama Hj. Yayuk Alfiyanah, S. Ag., M.A. Selaku Hakim Pengadilan
Agama Tangerang, tanggal 16 Maret 2018.

Anda mungkin juga menyukai