SKRIPSI
Oleh :
iv
menyikapi klausula tersebut. Hal itu semata-mata demi terwujudnya tujuan hukum
itu sendiri.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
vii
dosen yang memberikan semangat kepada mahasiswa dengan cara yang
selalu menghibur dan selalu memberi kemudahan.
4. Mustolih Siradj, S.H.I, M.H., CLA., selaku dosen pembimbing skripsi
yang sangat memberikan inspirasi sejak awal bimbingan hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini. Beliau memiliki sikap yang sangat rendah hati
dan sabar sehingga bimbingan skripsi yang telah dijalani selama ini tidak
terasa berat atas arahan dan motivasi dari beliau. Semoga Bapak
senantiasa selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Seluruh staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis dan telah menginspirasi penulis untuk selalu belajar.
6. Yayuk Alfiyanah, S. Ag., M.A., selaku Hakim Pengadilan Agama
Tangerang yang memutus perkara yang penulis jadikan bahan penelitian,
dan senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan
memberi bimbingan, arahan, nasihat, serta saran selama penulis
melakukan wawancara.
7. Saimin, selaku Manager KSPPS IKMI Al- Fath yang telah memberikan
izin dan meluangkan waktunya untuk memperoleh informasi terkait judul
skripsi ini.
8. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama, terutama yang telah
membantu penulis dalam pengadaan refrensi-refrensi sebagai bahan
rujukan skripsi.
9. Firdaus, Badya Fachriansyah, Anugrah Dwicahyatna Putra, Fathur
Rahman Al- Aziz, Muhammad Dzikri Azka, Reno Lintang Pamungkas.
Terima kasih sudah selalu mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi,
memberikan support, hiburan, dan saran keilmuan selama penulisan
skripsi ini. Semoga hubungan persahabatan ini bisa selalu terjalin
dengannya.
viii
10. Sahabat-sahabat New Forward yang selalu memberikan motivasi, diskusi
dan saran keilmuan kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat yang selalu ada sejak awal perkuliahan khususnya di
Kelas B dan umumnya angkatan 2014 Hukum Ekonomi Syariah. Sahabat
yang selalu menemani, selalu berbagi suka dan duka, sahabat yang selalu
setia, serta kenangan indah lainnya yang penulis tidak dapat lupakan
bersama kalian semua.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukukannya,
hanya do’a dan semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempatan skripsi ini.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iii
ABSTRAK……………………………………………………………………….iv
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………..vi
KATA PENGANTAR………………………………………………………......vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...x
BAB I PENDAHULUAN
x
B. Hukum Materiil dan Formil Di Peradilan Agama Dalam
Bidang Ekonomi Syariah…………………………………….50
C. Hubungan Pengadilan Agama Dengan Arbitrase Syariah…...55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..75
B. Saran………………………………………………………....76
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
2006), h. 33. Amanah hakim harus melakukan penemuan hukum tertera dalam Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
4
Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, Hasanudin Law Review, Vol. 1, Issue. 2, (Agustus 2015),
h., 128-129.
10 Muhammad Noor, dkk, “Quo Vadis Penemuan Hukum”, h., 5
5
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
13 Artinya berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum biasa yang dapat
Penyelesaian Sengketa.
7
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan wawasan bagi akademisi, praktisi, serta para penegak hukum,
khususnya hakim lingkup peradilan agama yang menangani perkara
ekonomi syariah dan umumnya seluruh Hakim Pengadilan Agama.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,
dan konsisten.15 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya.16 Inti daripada metodologi dalam setiap penelitian hukum
adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu
harus dilakukan.17
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan hukum normatif. Penelitian hukum
normatif dapat disebut dengan penelitian hukum doktriner dan disebut
juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut
penelitian hukum doktriner, karna penelitian ini dilakukan atau ditujukan
hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.
Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian
ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder. 18
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif yakni penelitian yang
mendasarkan data-data penelitiannya pada data kualitatif. Data kualitatif
dapat berupa dokumentasi tertulis, foto/gambar, dan hasil wawancara.19
Sifat deskriptif yang dimaksud adalah memberikan gambaran atau
15 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet. Kelima),
h., 17.
16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986, Cet.
Ketiga), h. 43.
17 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
20 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.,183. Menurut Moh. Nazir, Metode deskriptif
adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki, Lihat,
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h., 54.
21 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi nantinya, diperlukan adanya uraian mengenai
susunan penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada
pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu, penulis merencanakan
penulisan ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, yaitu:
BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, studi (review) terdahulu,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian penemuan hukum,
sebab penemuan hukum, sistem penemuan hukum, metode
penemuan hukum, prosedur dan teknik pengambilan
putusan dalam penemuan hukum, peran hakim dalam
peneman hukum.
BAB III Penulis membahas mengenai kompetensi peradilan agama
dalam menangani perkara ekonomi syariah yang terdiri dari
kedudukan dan kewenangan peradilan agama, hukum
materiil dan formil di Pengadilan Agama dalam perkara
ekonomi syariah, dan hubungan Pengadilan Agama dengan
arbitrase syariah.
14
24 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008, Edisi
Revisi), h., 282. Sudikno Mertokusumo memberikan 5 istilah yang sering dikaitkan dalam
kegiatan penemuan hukum, yaitu Pembentukan Hukum (rechtsvorming), Penerapan Hukum
(rechtstoepassing), Pelaksanaan Hukum (rechtshandhaving), Penciptaan Hukum (rechtschepping),
Penemuan Hukum (rechtsvinding). Lihat, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar, h., 47-48. Yang dimaksud penemuan hukum bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi
hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan untuk diterapkan dalam
peristiwa konkret. Lihat, Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press,
2012), h., 53.
25 Aliran begriffsjurisprudenz merupakan aliran yang memperbaiki aliran Legisme. Aliran
ini mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang tidak lengkap, tetapi undang-undang masih bisa
menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas.
Penggunaan hukum logika yang dinamakan silogisme menjadi dasar aliran ini, tujuan dari aliran
ini ialah bagimana kepastian hukum dapat terwujud. Lihat, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h.,
155.
15
16
yang terjadi akibat undang-undang yang cepat atau lambat akan tertinggal oleh
fakta seiring berubahnya tananan sosial tempat hukum itu hidup di dalam alam
kenyataan. Legal gap yang dimaksud antara hukum di atas kertas (law in the
books), dan hukum yang hidup dalam kenyataan (law in action).30
Dari pengertian penemuan hukum di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum
oleh hakim, yang dimana hakim tersebut tidak hanya melihat pada konteks
tekstual atau dalam arti hanya dari undang-undang saja, namun dapat juga dari
sumber hukum yang lain. Pada penemuan hukum pula, hakim harus melihat
apakah undang-undang tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau
tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Jika terjadi demikian, maka hakim
dapat melakukan penemuan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan
hukum yang konkrit dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Disisi lain, penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh
subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan
hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode
tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum, seperti interpretasi,
penalaran, kontruksi hukum dan lain-lain.31 Menurut Amir Syamsudin
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifa’i, kaidah-kaidah atau metode-metode
tertentu yang digunakan oleh hakim dalam pembentukan hukum bertujuan
agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara
tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses
itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. 32
Penemuan hukum nampaknya tidak hanya persoalan yang khas dalam
sistem hukum eropa kontinentel yang berpedoman pada hukum tertulis berupa
perundang-undangan33 , namun sistem hukum Islam juga mengenal adanya
penemuan hukum (rechtvinding). Dalam sistem hukum Islam penemuan
hukum dikenal dengan istilah “Ijtihad”.
Ijtihad menurut istilah ulama ushul, yaitu mencurahkan daya kemamuan
untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terinci.
Adapun lapangan ijtihad ini meliputi dua hal, yaitu: (1) sesuatu yang tidak ada
nashnya sama sekali, dan (2) sesuatu yang ada nashnya yang tidak pasti.
Kedua lapangan ijtihad inilah merupakan objek yang sangat luas untuk
melakukan ijtihad. Karena seorang mujtahid itu meneliti agar sampai kepada
mengetahui hukumnya dengan cara qiyas (analogi), atau istishan
(menganggap baik), atau istishab (menganggap berhubungan), atau
memelihara ‘Urf (kebiasaan), atau maslahah mursalah (kepentingan umum).34
32 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespek tif Hukum Progresif, h.,
23.
33 Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem civil law berupa
peraturan-perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka
menemukan keadilan, para yuris lembaga-lembaga yudisial maupun quas i-judisial merujuk kepada
sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber itu, yang jadi rujukan pertama dalam tradisi sistem civil
law adalah peraturan perundang-undangan. Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: Kencana, Edisi Revisi, 2008), h.,259. Selain itu, Menurut Bagir Manan
sebagaimana dikutip oleh Herowati Poesko, sesuai dengan tradisi hukum yang berlaku, hukum
wajib mengutamakan penerapan hukum tertulis, kecuali kalau akan menimbulkan ketidakadilan,
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Lihat, Herowati Poesko, “Penemuan
Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata, Jurnal Hukum Acara Perdata
ADHAPER, Vol. 1, No. 2 (Juli-Desember 2015), h., 229.
34 Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h.,
148-149. Metode Ijtihad kini semakin diperlukan karena pengaruh era globalisasi. Menurut Yusuf
al-Qardhawi sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, untuk menghadapi era globalisasi saat ini
terdapat dua metode yang tepat dalam berijthad, yaitu pertama: Ijtihad intiqa’i (tarjin) yakni
memilih satu pendapat dari pendapat terkuat yang ada dalam warisan fikih Islam, kemudian
menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan relevan dengan kondisi saat ini sehingga dapat
diterima. Kedua: Ijtihad Insya’I yakni pengambilan kesimpulan baru dari suatu persoalan, dimana
persoalan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik berupa persoalan lama
maupun baru. Dalam metode ijtihad insya’i diperlukan pemahaman yang baik tentang metode
pnentuan hukum yang dikemukakan oleh para ahli ushul fikih yaitu qiyas, istishan, istislah,
maslahah mursalah, dan sadduz zari’ah, serta maqashidusy syariah. Lihat, Abdul Manan, Aspek -
Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Ketiga), h., 242-243.
19
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid
wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’
dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan
pasti.35 Adapun sandaran diperbolehkannya melakukan ijtihad berdasar pada :
1. Surat al- Hasyr (59): 2:
أَنَّه ُ َس ِم َع َرسُو َل هللاِ صلَّى هللا ُ َعلَيْ ِه: ُ ض َي هللا ُ َعنْه ِ ث َع ْم ِر و بْ ِن الْ َع
ِ اص َر ُ َْح ِد ي
35 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), Jilid 2, h., 227.
20
Firman Allah dalam Al- Qur’an dan Hadis Nabi tersebut di atas menjadi
dalil adanya ijtihad dalam menetapkan hukum, terutama jika dalam masalah
yang dihadapi ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam Al- Quran dan As-
Sunnah. Ijthad dapat dilakukan bukan hanya oleh fuqaha atau ushuliyyin.
Seorang hakim di pengadilan pun, jika menemukan masalah yang
membutuhkan pemikiran mendalam, dapat melakukan ijtihad dalam memutus
perkara yang dihadapi. Hal itulah yang dalam lingkungan peradilan disebut
dengan penemuan hukum.36
36 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), h., 185.
21
39
“Profil Jurnal Rechtsvinding ”, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil.
23
40 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Ketujuh), h.,
96. Disisi lain, menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara, yaitu: karena
wetgeving (pembentukan undang-undang); karena administrasi (TUN); karena rechspraak atau
peradilan ; karena kebiasaan/tradisi yang sudah mengikat masyarakat ; karena ilmu (wetenschap).
Lihat, “Profil Jurnal Rechtsvinding”, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil.
41 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 55.
42 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan -
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan ke adilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
43 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
44 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam mas yarakat.”
24
45 Lihat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
46 Bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan ses uai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang -undang.
47 Bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang -undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
49 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 62.
25
penemuan hukum oleh hakim harus dilakukan sangat hati-hati, karena sering
dalam praktik penemuan hukum itu disalah gunakan, yaitu sekedar mencari
dasar pembenaran untuk keuntungan pihak-pihak yang berperkara (karena
keberpihakan).51
Dalam usaha menemukan hukum, hakim dapat mencarinya dalam sumber-
sumber penemuan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan
(hukum tertullis), hukum tidak tertulis (kebiasaan), yurisprudensi, perjanjian
internasional, doktrin (pendapat ahli hukum), dan perilaku manusia. Dalam hal
ini, hakim memiliki metode yang digunakan dalam melakukan penemuan
hukum yakni metode interpretasi dan kontruksi.
Dalam metode tersebut, terdapat perbedaan pandangan tentang metode
yang digunakan, yaitu pandangan yang tidak memisahkan dan yang
memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi. 52
Interpretasi memiliki arti pemberian kesan, pendapat, pandangan teoritis
terhadap sesuatu atau biasa dikenal dengan sebutan tafsiran. 53 Menurut
Soeroso, metode interpretasi atau penafsiran ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai
dengan yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. 54
Penafisran juga merupakan salah satu cara mencapai penemuan hukum yang
diperlukan untuk menegakan keadilan.55 Sedangkan metode kontruksi,
memiliki arti bahwa hakim membuat suatu pengertian hukum yang
Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, Hasanudin Law Review, Vol. 1, Issue. 2, (Agustus 2015),
h., 131.
52 Ada perbedaan pandangan tentang metode penemuan hukum oleh hakim menurut yuris
Eropa Kontinentel dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya, yuris Eropa
Kontinentel tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode kontruksi.
Hal itu dapat dilihat dari karangan buku-buku karangan Paul Scholten, Pitlo, maupun Sudikno
Mertokusumo di Indonesia. Sebaliknya, penulis yang secara tegas membedakan antara interpretasi
dan kontruksi adalah L.B Curzon, Ahmad Ali, Arif Sidharta, Harifin A Tumpa. Lihat, Ahmad Ali,
Menguak Tabir Hukum, h.,163. Bambang Sutiyoso, Metode Penmuan Hukum, h., 105., dan Harifin
A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus
Suatu Perkara”, h., 131-132
53 https://www.kbbi.web.id/interpretasi , diakses pada 31 Januari 2018.
54 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 97.
55 Muhammad Shiddiq Armia, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradyna
56 Ibid., h.111. Para hakim yang melakukan kontruksi dalam melakukan menemukan dan
pemecahan masalah hukum, harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: (1) kontruksi harus mampu
meliput semua bidang hukum positif yang bersangkutan (meliputi materi hukum positif), (2) tidak
boleh ada pertentangan logis didalamnya (tidak boleh membantah dirinya sendiri), (3) kontruksi
kiranya dapat mengandung faktor keindahan, yaitu bahwa kontruksi tidak merupakan sesuatu yang
dibuat-buat (faktor estetis). Selain itu, tujuan dari kontruksi adalah agar putusan hakim da lam
peristiwa konkret dapat memenuhi tuntutan keadilan dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.
Lihat, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 201.
57 Alef Musyahdah R, “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan
Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No.
2, (Mei, 2013), h., 298. Penambahan metode hermeneutika dalam metode penemuan hukum tidak
menutup kemungkinan dilakukan oleh para hakim, seperti Abdul Manan yang mencantumkan
hermeneutika sebagai metode penemuan hukum dalam makalah nya pada acara Rakernas
Mahkamah Agung RI tahun 2010 di Balikpapan. Lihat, Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh
Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama." Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2,
No. 2, (Juli, 2013), h. 196.
58 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 176.
28
1. Metode Interpretasi
a. Metode Subsumptif
Maksud dari metode subtantif adalah suatu keadaan di mana hakim
harus menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasus
inconcreto, dengan belum menggunakan penalaran sama sekali,
dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut.59
Sebagai contoh ialah seorang hakim yang mengadili perkara
pidana, di mana penuntut umum mendakwakan bahwa terdakwa
melakukan pencurian. Pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP.
Pengertian barang, kriteria pemilikan, dan maksud melawan
hukum semuanya tidak ada penjelasannya dalam Pasal 362 KUHP.
Pengertian masing-masing unsur itu diketahui baik dari doktrin
(ajaran para pakar hukum) dan dari yurisprudensi (putusan
pengadilan terdahulu yang masih diikuti oleh putusan hakim
sesudahnya).
Jika hakim sependapat dengan dengan doktrin atau yurisprudensi
yang telah ada, maka hakim hanya menerapkan dengan
mencocokan unsur-unsur yang ada dalam Pasal 362 KUHP,
terhadap peristiwa konkrit yang didakwakan pada terdakwa. Proses
pencocokan unsur-unsur undang-undang terhadap peristiwa konkrit
itulah dinamakan metode subsumptif.60
b. Interpretasi Gramatikal
Menurut Harifin A Tumpa, interpretasi ini merupakan penafsiran
yang dilakukan hakim terhadap bunyi undang-undang itu menurut
tata bahasa yang benar dan berlaku.61 Interpretasi gramatikal
59 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, Cet. Kedua),
h.,169.
60
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 184
Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim
61
70.
32
2. Metode Kontruksi
a. Metode Argumentum Per Analogiam (Analogi)
Konstruksi ini juga disebut dengan "analogi" yang dalam hukum
Islam dikenal dengan "qiyas". Konstruksi hukum model ini
dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam
suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu
mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.
Misalnya dalam hal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1756 KUH Perdata yang mengatur tentang mata uang (goldspecie).
Apakah uang kertas termasuk dalam hal yang diatur dalam
peraturan tersebut? Dengan jalan argumentum peranalogian atau
analogi, mata uang tersebut ditafsirkan termasuk juga uang kertas.
Di Indonesia, penggunaan metode argumentum peranalogian, atau
analogi baru terbatas dalam bidang hukum perdata, belum
disepakati oleh pakar hukum untuk dipergunakan dalam bidang
hukum pidana.72
b. Metode Argumentum A’Contrario
Jenis interpretasi ini merupakan cara penafsiran undang-undang
yang berdasarkan perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi
dan dipermasalahkan yang diatur dalam sebuah pasal undang-
undang. Dengan bertitik tolak dari perlawanan pengingkaran
(pengertian) itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
permasalahan yang dihadapi itu tidak termuat dalam pasal yang
dimaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut. 73
86.
35
Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai dari pada tahap kualifikasi
dan berakhir pada tahap konstituir.
1. Teknik Analitik
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim
mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai Hukum Acara
secara lengkap. Tehnik Analitik paling cocok di pergunakan pada perkara-
perkara yang berskala besar dan biasanya dalam hukum kebendaan (Zaken
Rech). Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat khusus, lalu ditarik
kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan deduktif). Dalam
pertimbangan hukum, Hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih
dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan
dengan pokok masalah tersebut, misalnya dalam bidang kewarisan, hakim
harus memulai dengan pernyataan siapa pewaris, lalu siapa ahli warisnya,
barang-barang waris apa saja, berapa bagianmasing-masing, dan
bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja analisa dari pertanyaan tersebut
sekaligus mempertimbangkan alat-alat bukti dan menjawab petitum dari
gugatan.
Jika penjelasan tentang Hukum Acara belum begitu lengkap, sebaiknya
jangan pakai metode ini, sebab sangat sulit dalam hal analisa masalah dan
pengambilan keputusan
2. Teknik Equatable
Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan dari
prinsip keadilan. Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat
bukti yang diajukan penggugat dan tergugat. Apabila alat-alat bukti itu
telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam
peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).
3. Teknik Silogisme
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan
dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnis ini disebut juga dengan
86 Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama." h., 16.
39
metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini umum
kepada hal-hal yang bersifat khusus. Penggunaan hukum logika yang
dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim
mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan
hukumnya, dan primesse minor, yaitu peristiwanya. Sebagai contoh, siapa
mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio
dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-
undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika
dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio. Kritik
terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar
persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani
maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat
irrasional.
Sens Clair sudah banyak ditinggalkan, sebab sekarang muncul doktrin baru yang menganggap
bahwa hakim dalam setiap putusannya selalu melakukan penemuan hukum, karena bahasa hukum
senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Dalam arus globalisasi
seperti sekarang ini banyak hal terus berkembang dan memerlukan interpretasi, sedangkan
peraturan perundang-undangan banyak yang statis dan lamban dalam menyesuaikan diri dengan
kondisi perubahan zaman. Lihat, Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek
Hukum Acara Di Peradilan Agama”, h., 5.
41
92 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h., 480.
93 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan
terdapat banyak garis hukum yang berlaku dalam masyarakat, tetapi tidak terbaca di dalam
undang-undang. Menurut Rechtsvinding, hukum terbentuk karena undang-undang, kebiasaan, dan
peradilan. Peradilan inilah yang menelurkan hukum yang apabila dipergunakan oleh hakim-hakim
lain menjadi yurisprudensi. Lihat, R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2
Tentang Pihak -Pihak Dalam Perkara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kedua), h., xl.
43
96 Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam
Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”., Artikel, h., 9, diakses pada tanggal 25 Maret 2018 dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-dalam-penemuan-
hukum-dan-penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan-oleh-drs-h-arpani-sh-
mh-64.
97 A Salman Manggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, Jurnal Cita Hukum, Vol. II, No. 2, (Desember,
2014), h., 190.
44
Kembali Perkara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2008), h., 11.
100 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ketiga,
102 Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,
46
47
107 Ahmad Fauzi, “Mencari Akar Masalah”, Sengketa Ekonomi Syariah Publik Percaya
Peradilan Agama; Majalah Peradilan Agama, Edisi 4, (Juli, 2014), h., 16-17.
108 Sengketa Perbankan Syariah diselesaikan Sesuai Akad, diakses pada 19 Februari 2018
dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt521f32b33267f/sengketa-perbankan-syariah-
49
diselesaikan-sesuai-akad. Lihat juga, Gala Perdana Putra Lubis, “Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 93/PUU-X/ 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia”, Premise Law Jurnal, Vol 6, (2015), h., 6.
109 Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum: Prespektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, Cet. Kesatu, 2016), h., 467.
110 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
Undang Nomor 7 tahun 1989, akan tetapi status peraturan perundang -undangan yang lama tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang -undang ini. Lihat, Jaenal Aripin, Peradilan
Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h., 343.
50
Grafika, Cet. Keempat, 2006), h., 15. Menurut Abdul Manan, hukum materiil tidak saja
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan peraturan perundang -undangan, tetapi juga doktrin-
doktrin, teori-teori hukum dan kebiasaan masyarakat yang sudah dianggap sebagai hukum yang
harus dipatuhi. Lihat, Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000), h., 5.
51
115 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet.
Kesatu, 2013), h., 79.
116 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, Cet. Kedua,
176.
52
118 Mardani, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.
Kesatu), h., 271.
119 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) memiliki memiliki isi IV (empat) buku,
yakni buku I tentang subjek hukum dan amwal, buku II tentang akad, buku III tentang zakat dan
hibah, dan buku IV tentang akuntansi syariah.
53
2. Hukum Formil
Undang-Undang Peradilan Agama tidak menjelaskan secara
khusus mengenai hukum acara untuk tata cara penyelesaian sengketa
ekonomi syariah. Yang diketemukan dalam undang-undang hanya hukum
acara yang berlaku pada umumnya untuk digunakan di peradilan agama.
Sebagaimana bunyi Pasal 54 : “Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus oleh undang-undang
ini”.120
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat hukum acara
perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum dan peradilan agama, dan ada pula hukum acara yang
berlaku hanya pada Pengadilan Agama. Hal terakhir merupakan suatu
kekecualian (istisna) dan kekhususan (takhisis).121
Menurut Abdul Kadir Muhammad, hukum acara perdata
dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan
sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. 122 Sejalan dengan itu, Abdul
Manan mendefinisikan hukum acara perdata merupakan hukum yang
mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan,
bagaimanapun pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan
penggugat, bagaimanpun para hakim bertindak baik sebelum dan sedang
pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara
yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan
putusan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan
Begitupun dengan upaya hukum yang berlaku, tunduk pada tata cara
upaya hukum Peradilan Umum. Dalam upaya banding merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan
(Banding) di Jawa dan Madura. Dalam upaya kasasi tunduk pada Pasal 43-
65 Undang-Undang Mahkamah Agung. Begitu pula dalam upaya
Peninjauan Kembali (PK) tunduk pada Pasal 66-79 Undang-Undang
Mahkamah Agung.125
Perkembangan hubungan hukum di masyarakat dalam bidang ekonomi
yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengalami perkembangan
yang signifikan sehingga kemungkinan menimbulkan sengketa diantara
para pelaku ekonomi syariah. Hadirnya sengketa ekonomi syariah sudah
terbukti dengan adanya perkara ekonomi syariah yang diselesaikan di
Pengadilan Agama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dalam hal ini para hakim dan masyarakat membutuhkan kepastian hukum
terkait hukum acara yang digunakan dalam perkara ekonomi syariah. Pada
123 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, Cet. Kelima, 2008), h., 2.
124 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
168.
55
126 Yang dimaksud dengan pemeriksaan perkara ekonomi syariah d engan acara sederhana
adalah pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah yang nilainya paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan mengacu kepada PERMA No. 2 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal yang diatur secara khusus
dalam PERMA No. 14 Tahun 2016. Penyelesaian perkara dengan gugatan sederhana diselesaikan
paling lama 25 hari. Sedangkan pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara biasa adalah
pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah dengan b erpedoman pada hukum acara yang
berlaku kecuali telah diatur secara khusus dalam PERMA ini.
127 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
128 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
129 Cicut Sutarsi, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), H., 21.
130 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, secara teoritis maupun praktek mempunyai
dua bentuk, yakni arbitrase ad hoc (ad hock arbitration) dan arbitrase institusional (institutional
arbitration). Arbitrase ad hoc, yaitu badan arbitrase yang tidak permanen atau juga disebut
arbitrase volunteer. Badan arbitrase ini bersifat sementara, setelah selesai tugasnya, maka badan ini
bubar dengan sendirinya. Sedangkan arbitase institusinal merupakan lembaga arbitase yang
bersifat permanen yang diselenggarakan di bawah supervise suatu lembaga yang sifatnya
permenen pula. Adapun arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah: BANI, BAPMI,
BASYARNAS, dll. Lihat, Parman Komarudin, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui
Jalur Non Litigasi”, Al- Iqtishadiyah; Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah , Vol.
1, Issues I , (Desember, 2014), h., 91. Atang Abd Hakim dan Sofwan Al- Hakim, “Kerangka
Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”, At- Taradhi ; Jurnal Studi Ekonomi, Volume 6, No.1,
(Juni ,2015), h., 45. Rahmadi Indra Tektona, “Arbitrase Sebagai Alternatif Solusi Penyelesaian
Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”, Pandecta, Vol. 6, No.1 (Januari, 2011), h.,92.
57
131 Cut Memi, “Penyelesaian Sengketa Kompetensi Absolut Antara Arbitrase Dan
Pengadilan”, Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 2 (Agustus, 2017), h., 120.
58
132 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia
Hubungan yang ketiga adalah mengenai hak ingkar. Hak ingkar diartikan
sebagai tuntutan ingkar apabila cukup alasan dan cukup bukti autentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya secara tidak
bebas dan independen, serta akan menimbulkan keberpihakan dalam
mengambil keputusan. Dalam keterkaitannya dengan pengadilan, arbiter yang
diangkat oleh pengadilan maka dapat mengajukan hak ingkar kepada
pengadilan yang bersangkutan.134 Selain itu, dalam hak ingkar, pengadilan
dapat memberikan putusan yang mengikat dan tidak dapat diajukan
perlawanan, mengganti arbiter atas hak ingkar, dan menolak tuntutan ingkar.
Persoalan hak ingkar diatur dalam pasal 22, 23, dan 25 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.
134 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan
tahun kemudian, lahir Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 tahun 2010
tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
8 Tahun 2008.135 Isi SEMA tersebut pada intinya adalah dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah),
putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri.
Disini terlihat bagaimana badan arbitrase syariah mendapatkan tempat yang
tidak konsisten dan tidak harmonis. Sampai pada terjadinya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang membawa Pengadilan
Agama menjadi satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang dalam
menangani perkara ekonomi syariah. Hal ini pun berimplikasi pada pelaksaan
dan pembatalan putusan badan arbitrase syariah.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama dan badan
arbitrase mempunyai hubungan meskipun kedua lembaga penyelesaian
sengketa ekonomi syariah tersebut berbeda. Keterkaitan arbitrase syariah
dengan Pengadilan Agama rasanya tidak bisa dipisahkan, meskipun para pihak
menaati putusan arbitrase. Karena putusan arbitrase tetap harus didaftarkan ke
Pengadilan Agama. Menurut penulis, inti dari adanya keterkaitan antara
Pengadilan Agama dan badan arbitrase ialah pada hal terciptanya
keharmonisan. Harmonisasi harus tercipta dalam suatu hubungan, termasuk
hubungan hukum. Hal itu tentu harus didukung oleh lembaga-lembaga negara
yang berkaitan, seperti pembentuk undang-undang maupun pelaksana undang-
undang.
135 Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar
62
63
Penggugat dan 70% untuk Tergugat. Dalam hal ini Tergugat memberikan
jaminan berupa tanah.
Ketika sudah jatuh tempo, ternyata Tergugat hanya
mengembalikan utang pokok sebesar Rp 305.000,00, -(tiga ratus lima juta
rupiah) saja, sehingga utang pokkok yang belum dikembalikan adalah Rp
195.000.000, - (seratus Sembilan puluh lima juta rupiah), ditambah dengan
bagi hasil (30%) atas keuntungan yang diperoleh dan harus diterima
Penggugat sebesar Rp 43.080.000, - (empat puluh tiga juta delapan ribu
rupiah). Secara keseluruhan adalah sebesar 238.080.000, - (dua ratus tiga
puluh delapan juta delapan puluh ribu rupiah).
Berdasarkan hal tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi atas perjanjian yang
dilakukan. Dalam hal ini Penggugat mengajukan gugatan kepada Tergugat
ke Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama Tangerang.
Setelah Penggugat melakukan gugatan, Tergugat melakukan
eksepsi terhadap gugatan Penggugat. Adapun inti eksepsi tersebut ialah
mengenai kompetensi, dan mengenai kurang subyek hukum tergugat.
Masalah kompetensi karena ketidakjelasan perkara tersebut ditujukan,
apakah ke Badan Arbitrase atau ke Pengadilan Agama, karena masing-
masing lembaga memiliki kompetensi absolut yang berbeda. Selain itu,
dalam pokok perkara, Tergugat menyatakan bahwa kelalaiannya dalam
mengembalikan utang pokok kepada Penggugat dikarenakan potensi
keuntungan usahanya tidak tercapai seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal
itu dikarenakan pelanggan besar yang sekalian lama rutin membeli, pada
tahun tersebut tidak membeli sapi qurban pada Tergugat. Maka kerugian
yang terjadi menurut Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/XI/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah harus dibagi antara mitra secara proporsional
menurut saham masing- masing modal.
Untuk menguatkan dalail-dalil nya, Penggugat telah mengajukan
bukti-bukti berupa bukti tertulis dan bukti saksi-saksi. Sedangkan
Tergugat tidak mengajukan bukti-bukti baik tertulis maupun para saksi
64
136 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Kencana,
2015), h., 38.
137 Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Bab-Bab Penemuan Hukum, (PT Citra Aditya
IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. II, Nomor 6, (Desember, 2014), h., 436
69
141 Muhammad Noor, dkk, “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang” Quo Vadis
permasalahan yang terjadi, sehingga dalam putusan hakim tidak ada yang
tidak mengandung penemuan hukum. Hal itu selaras seperti yang dikatakan
oleh Yayuk Alfiyanah bahwa hakim selalu melakukan penemuan hukum
setiap saat ketika memeriksa perkara. 142
Putusan yang dihasilkan hakim atas penemuan hukumnya tidak menutup
kemungkinan dapat menjadi yurisprudensi jika putusan tersebut merupakan
suatu terobosan-terbosoan baru yang bersifat landmark decision. Apalagi
putusan tersebut disertai pertimbangan-pertimbangan hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penerapan penemuan hukum memang sangat penting dilakukan oleh
hakim Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Karena, persoalan ekonomi syariah merupakan bidang muamalah yang tidak
bersifat statis, ia selalu berubah seiring perkembangan zaman. Berbagai jenis
transaksi dan bisnis terus berkembang dinamis karena persoalan muamalah
selalu boleh dilakukan kecuali terdapat dalil yang melarangnya, sebagimana
kaidah fiqh:
َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ ََا َل
احةَ ِإّلَ أ ْ َن َيدَ ََل َد ِل ْي َل َعلى ت ْح ِر ْي ِم َها اْلب
ِ تَ ِ صلَ ِفي اْلعامال
“pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
أَنَّه ُ َس ِم َع َرسُو َل هللاِ صلَّى هللا ُ َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم: ُ ض َي هللا ُ َعنْه ِ اص َر ِ َث َع ْم ِر و بْ ِن الْع ُ َْح ِد ي
.طأ َ فَلَه ُ أَ ْج ٌر َ ان َوإِذَا َح َك َم فَا ْجتَ َهدَ ث ُ َّم أَ ْخ
ِ اب فَلَه ُ أَ ْج َر
َ صَ َ إِذَا َح َك َم الْ َح ِاكمُ فَا ْجتَ َهدَ ث ُ َّم أ:قَا َل
Diriwayatkan dari Amr bin Asy radhiyallahu ‘anhu, beliau telah berkata:
Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan
berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua
pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan suatu perkara dengan berijtihad,
tetapi ijtihadnya itu tidak benar, maka ia akan memperoleh satu pahala”
Dorongan untuk melakukan penemuan hukum dalam praktik peradilan di
Indonesia juga memiliki dasar yang kuat. Apabila melihat undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman mulai dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun
143 Munawir Haris, “Metodologi Penemuan Hukum Islam”, Ulumuna Jurnal Studi
146 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan -
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
147 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
148 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim Pengadilan Agama Tangerang yang memeriksa perkara ekonomi
syariah dengan nomor perkara 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng menggunakan
metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang digunakan oleh
hakim ialah metode penafsiran komprehensif. Dalam hal ini, majelis
hakim menginterpretasi secara keseluruhan dan lengkap dalam menyikapi
hadirnya pencantuman klausla “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama
Tangerang” pada surat gugatan penggugat dan isi perjanjian musyarakah
antara penggugat dan tergugat. Metode penemuan hukum itu membantu
majelis hakim dalam menyikapi kalusula tersebut hingga pada kesimpulan
yang menyatakan kewenangannya dan berhak memeriksa perkara ekonomi
syariah meskipun terdapat kata badan arbitrase. Hal itu berdasar pada
interpretasinya yang menyatakan tidak adanya badan arbitrase yang
menangani perkara ekonomi syariah pada wilayah Tangerang dan alamat
yang tertera dalam surat gugatan penggugat hanya dimiliki oleh
Pengadilan Agama Tangerang dan tidak termasuk didalamnya terdapat
badan arbitrase.
2. Dalam menerapkan metode penemuan hukum terhadap perkara ekonomi
syariah ini, majelis hakim menerapkannya berdasarkan permasalahan yang
terjadi. Dimana permasalahan yang terjadi pada perkara ini ialah berupa
pencantuman klausula “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama” dalam
surat gugatan penggugat dan isi perjanjian para pihak. Yang mana dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ditemukan badan
arbitrase masuk ke dalam peradilan agama. Atas permaslahan tersebut
majelis hakim menerapkan metode penemuan hukum sesuai dengan
permasalahan dengan dikaitkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku,
75
76
77
78
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Internet
Profil Jurnal Rechtsvinding, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil
82
Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama, diakses pada 19 Februari 2018 dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-peradilan-
agama-1/kewenangan-pengadilan-agama.
Sengketa Perbankan Syariah diselesaikan Sesuai Akad, diakses pada 19 Februari
2018 dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt521f32b33267f/sengketa-
perbankan-syariah-diselesaikan-sesuai-akad.
Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam
Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”. Artikel, diakses pada tanggal 25
Maret 2018 dari
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-
dalam-penemuan-hukum-dan-penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-
perkara-di-pengadilan-oleh-drs-h-arpani-sh- mh-64.
Wawancara
Interview Pribadi dengan Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang,
Tangerang, 16 Maret 2018.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Foto bersama Hj. Yayuk Alfiyanah, S. Ag., M.A. Selaku Hakim Pengadilan
Agama Tangerang, tanggal 16 Maret 2018.