KOSMETIK
(Ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam)
Skripsi
Oleh :
Syahra Husniyyah
NIM : 11140450000089
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1439H
i
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Materai 6000
Syahra Husniyyah
iv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagai salah satu syarat
menyelesaikan studi pada tingkat Universitas. Shalawat beriring Salam penulis
curahkan kepada Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyyah hingga zaman keilmuan seperti sekarang ini. Tak lupa pula
kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya
hingga akhir zaman.
Dalam penulisan Skripsi ini, saya sebagai penulis sangat menyadari akan
pentingnya keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi
dukungan secara keilmuan, pemikiran maupun materi serta dukungan lain baik secara
moril maupun spiritual sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Dukungan mereka sangatlah berarti karena dukungan mereka segala halangan dan
vi
hambatan yang ada dapat teratasi dengan mudah dan terarah. Untuk itu penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang amat dalam kepada yang terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam dan Nur Rohim Yunus, LL.M, Selaku Sekertasris Prodi yang telah
membantu segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga
motivasinya dalam menyelesaikan Skripsi ini.
3. Dr. Burhanudin, S.H, M.H. Selaku dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktunya bagi penulis
sehingga skripsi ini lebih terarah dan menjadi lebih baik.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas memberikan
ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyambung ilmu baik
dalam dunia pekerjaan maupun akademik ditingkat lebih tinggi.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan ini berupa buku
dan literature lainnya seingga penulis memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.
6. Untuk orang tua tercinta Ibunda Pajriah dan Ayahanda Edi Sumarsono,
serta ketiga adik tercinta penulis Saroja Husnaini, Waldi Hasan, dan Syakila
Arruby Hana yang senantiasa memberikan motivasi, do’a, serta bantuan
moril maupun materiil pada penulis.
7. Untuk para sahabat penulis Ananda Annisa Putri, Sita Sarah Aisyiyah,
Nurfeby Yanti, Gavrila Piranti, Rizki Wirid Diniah, Annisa Lutfi, Mita
Oktaviani, Iis Safitri, Ivone Adriana Souhoka, Hana Hanifah, Woro Nurul
Fitri Qomariyah, Rizky Amrulloh Syahputra, Bahrul Ulum, Indah Fajriyah,
Agnes Fitriantica yang selalu mensupport penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini kapanpun dan dimanapun.
8. Untuk teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 025 TIME terima kasih
atas pengalamannya, canda, tawa, suka dan dukanya semoga kita bisa
vii
bertemu dilain waktu dan tetap support satu sama lain menjadi orang sukses
dan berguna.
9. Ucapan terkahir penulis tujukan kepada semua pihak terutama teman
seperjuangan konsentrasi Hukum Pidana Islam angkatan 2014 yang tidak
dapat saya sebut satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih
penulis atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada
kekuasaan Allah SWT yang maha segalanya. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya dan menjadi amalan baik yang akan dicatat oleh
malaikat sebagai bekal kita di akhirat nanti. Amin.
Penulis
Syahra Husniyyah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................ iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
C. Rumusan Masalah.......................................................................... 6
B. Kesalahan ....................................................................................... 22
2. Unsur-unsur Kesalahan.............................................................. 22
ix
3. Macam- macam Kesalahan ........................................................ 23
C. Kejahatan ....................................................................................... 24
D. Pemalsuan ...................................................................................... 26
E. Kosmetika ...................................................................................... 31
Konsumen ................................................................................. 44
Kesehatan ................................................................................. 50
Islam………….....………………………………………........ 56
x
A. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Pemalsuan dalam
Perdagangan Kosmetik............................................................. 60
A. Kesimpulan ............................................................................... 71
B. Saran ......................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah
Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan hasil pemikiran dan
kecerdasan manusia yang dapat berbentuk penemuan, desain, seni, karya tulis
atau penerapan praktis suatu ide. Penciptaan Hak Kekayaan Intelektual
membutuhkan waktu, bakat, dan uang maka apabila tidak ada perlindungan
atas kreativitas intelektual yang dibuat, tiap orang dapat meniru dan mengopi
secara bebas hak milik orang lain tanpa batas yang mengakibatkan tidak
adanya insentif bagi penemu untuk mengembangkan kreasi-kreasi baru.1
Merek (trademark) sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual pada
dasarnya ialah tanda untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an
indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa
perusahaan lain.2 Merek merupakan ujung tombak perdagangan barang dan
jasa. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan akan
kualitas (a guarantee of quality) barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan
mencegah tindakan persaingan (konkurensi) yang tidak jujur dari pengusaha
lain yang beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.3
OK Saidin, dalam bukunya yang berjudul Aspek Hukum Hak
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) menjelaskan, peraturan
akan perlindungan hukum terhadap merek di Indonesia telah ada sejak masa
kolonial Belanda yaitu Reglement Industriele Eigendom (RIE) kemudian
diganti pada tahun 1961 yaitu dengan Undang-Undang No.21 Tahun 1961
tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan dan bertahan selama 31
tahun.
1
Dwi Rezki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, (Bandung: Alumni, 2009),
h. 2
2
Rahmi Jened, Implikasi Persetujuan TRIPs Bagi Perlindungan Merek di Indonesia,
(Surabaya: Yuridika, 2000), h 1
3
Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global & Integrasi
Ekonomi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 3.
1
2
4
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 356-357.
5
http://industri.bisnis.com/, diakses 28 Oktober 2017 Pukul 16:32
3
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 220/MenKes/Per/X/1976 tanggal
6 september 1976 yang menyatakan bahwa kosmetika adalah bahan atau
campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau
disemprotkan pada, dimasukkan kedalam, dipergunakan pada badan atau
bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara,
menambah daya tarik atau mengubah rupa, dan tidak termasuk golongan obat.
Ada banyak cerita seputar sejarah kosmetik dan wanita. Konon,
manusia mulai mengenal manfaat warna-warni pada hewan dan tumbuhan
bisa memberikan efek positif bagi kecantikan berawal dari coba-coba dan
karena ketidaksengajaan. Misalnya, perona pipi (pemerah pipi) pertama kali
ditemukan karena kebetulan. Konon ceritanya, seorang wanita tanpa sengaja
menumpahkan minuman anggurnya hingga mengenai daerah pipi. Tumpahan
anggur yang mengenai pipi tersebut menyebabkan pipinya berwarna
kemerah-merahan. Ternyata efek semu merah tersebut justru membuat si
wanita terlihat lebih cantik. Sejak saat itu, orang-orang mulai berusaha untuk
membuat kedua pipi kanan dan kiri tersapu warna lembut dari bahan-bahan
alam yang mereka ketahui.6
Kosmetik berasal dari kata kosmetikos (Yunani) yang artinya
keterampilan menghias, mengatur. Jadi, kosmetik pada dasarnya adalah
campuran bahan yang diaplikasikan pada anggota tubuh bagian luar seperti
epidermis kulit, kuku, rambut, bibir, gigi, dan sebagainya dengan tujuan
menambah daya tarik, melindungi, memperbaiki, sehingga penampilannya
lebih cantik dari semula.7
6
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 2
7
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 1
4
8
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 1
5
9
https://bisnis.tempo.co/ diakses 5 Oktober 2017 Pukul 19:30
6
B. Batasan Masalah
Merujuk kepada pembahasan diatas, penulis membatasi permasalahan
yang akan dituangkan dalam penulisan skripsi ini agar tidak terlalu luas
didalam pembahasannya. Penulis akan membahas mengenai kejahatan
perdagangan kosmetik palsu dalam pandangan hukum positif dan hukum
Islam.
C. Rumusan Masalah
Peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang berhubungan
dengan judul skripsi ini guna dijadikan pedoman dalam membahas obyek
penelitian sehingga mencapai sasaran yang dimaksudkan. Adapun perumusan
masalah yang akan penulis kemukakan adalah sebagai berikut :
1. Apa faktor penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan merek dalam
perdagangan kosmetik?
2. Bagaimana upaya penanggulangan terhadap kejahatan pemalsuan merek
dalam perdagangan kosmetik?
7
F. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode
penelitian berfungsi untuk mengemukakan secara teknis tentang metode-
metode yang digunakan dalam sebuah penelitian. Berikut adalah metode
penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis
penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.10 Normatif/ yuridis yaitu hukum diidentifikasikan
sebagai norma peraturan atau undang-undang (UU). Metode pendekatan
yuridis normatif dalam penelitian ini adalah meneliti bahan-bahan
kepustakaan seperti buku, jurnal, surat kabar, internet dan bahan
kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini dan juga
10
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1990, hlm. 13.
10
G. Sistematika Penulisan
Penulis menyusun dan membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab yang
kelimanya memiliki beberapa sub bab agar mempermudah pembaca dalam
memahami isi skripsi ini . Adapun sistematika penulisan dari skripsi ini adalah
sebagai berikut:
11
BAB II
PANDANGAN UMUM KEJAHATAN PEMALSUAN MEREK DALAM
PERDAGANGAN KOSMETIK
A. Tindak Pidana
1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana di dalam Hukum Pidana Belanda memakai
istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delik yang berasal dari
bahasa latin delictum yang berarti peristiwa pidana, namun Moeljatno
menolak istilah peristiwa pidana karena menurutnya peristiwa adalah
pengertian yang konkrit yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian
yang tertentu saja, misalnya matinya orang.11
Walaupun terdapat perbedaan dalam menggunakan istilah atau
menerjemahkan “strafbaar feit”, akan tetapi pada intinya adalah sama
yaitu merujuk kepada perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman,
yaitu yang biasa disebut dengan istilah tindak pidana, yang dalam
bahasa inggris disebut dengan “delic”.12
Menurut Kansil perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana
atau delik) ialah perbuatan yang melanggar undang-undang dan oleh
karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.13
Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat
11
Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Renika Cipta, 2008), edisi
revisi, cet. Ke-2. h. 27
12
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, cet. Ke-3, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 206
13
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2003), cet. Ke-11, h. 116
12
13
14
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada), h. 58
15
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus, (Bogor: Politeia), h. 26
16
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pandangan Muhammad Amin Suma, dkk, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), h. 179
17
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 56
14
lain yang memisahkan unsur tanggung jawab straatbaar feit dalam dua
golongan, atau dengan kata lain ada beda pandangan mengenai materi
strafbaar feit sehingga ada garis pemisah antara dua aliran, yaitu:18
1) Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar
Feit sebagai eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in
verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person
(suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah
dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya).
Menurut aliran ini unsur strafbaar feit meliputi unsur-unsur
perbuatan (lazim disebut unsur objektif) yaitu unsur mampu
bertanggung jawab, unsur kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur
tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena menunggalnya unsur
perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa, strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat pemberian
pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi strafbaar
feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana.
2) Aliran Dualisme, antara lain Moelyanto, yang merumuskan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar
larangan tersebut. Menurut aliran ini perbuatan pidana menurut
wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan perbuatan
yang merugikan dalam arti bertentangan dengan menghambat
terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap
baik dan adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan (lazim
disebut golongan subjektif), yang meliputi unsur melawan hukum,
unsur tidak ada alasan pembenar, dan dari si pembuat, (lazim
disebut golongan subjektif) meliputi unsur mampu bertanggung
18
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), Cet. Ke-1, h. 18
15
jawab, unsur kesalahan: sengaja dan atau alpa dan unsur tidak ada
alasan pemaaf.
19
R. Soedarto, Ilmu Hukum, (Semarang: UNDIP, 1989), h. 35
20
Wirdjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, (Bulan Bintang, Jakarta.
1993), cet 5, h. 20
21
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet.
Ke-5, h. 50
16
22
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 165
23
Sudarto, Hukum Pidana, (Purwokerto: Universitas Soedirman, 1990), h. 50
17
24
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 1
25
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet.
Ke-2, h. 9-10
26
Alie, Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam I, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu), h.
87
27
Abdul Aziz Dahlan, et.al., (ed), Jarimah Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,
(jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 806
18
28
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm. 2-3
29
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h.3
19
pidana pencurian, barang yang dicuri itu mencapai satu nisab dan barang
yang dicuri diambil dari tempatnya secara diam-diam.30
c. Macam-macam Jarimah
Terdapat beberapa macam jarimah di dalam hukum islam, diantaranya:
1) Jarimah Qishash:
Qishash secara bahasa berarti sama rata, sepadan. Kata ini
diambil dari qashsh yang artinya pemotongan, atau dari kata
iqtishash al-atsar (mengikuti jejak). Definisi kisas secara istilah yaitu
menindak pelaku kejahatan; pembunuhan, pemotongan anggota
tubuh, atau melukai anggota tubuh, dengan hal yang sepadan.31
Jarimah kisas terbagi menjadi dua, yakni karena melakukan
pembunuhan dan penganiayaan.
2) Jarimah hudud:
Menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas
perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan
ukurannya didalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak
Allah maupun merugikan hak manusia.32
Jarimah hudud terbagi menjadi tujuh bagian, yaitu: jarimah zina,
jarimah Qadzf (menuduh muslimah baik-baik berbuat zina), Syurb al-
khamr (meminum minuman keras), Al-baghyu (pemberontakan), Al-
riddah (murtad), Al-sariqah (pencurian), Al-hirabah (perampokan).33
3) Jarimah ta’zir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas
diatur oleh Alqur’an dan hadis. Aturan teknis, jenis, dan
pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini
sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan kejahatan yang
dilakukan akibat godaan setan dalam diri manusia.34
30
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h.3
31
Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’I Al-Muyassar, (Beirut: Darul fikr, 2008), h.
155
32
Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’I Al-Muyassar, hlm. 259
33
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 3
34
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 4.
20
B. Kesalahan
1. Pengertian Kesalahan
Kesalahan dalam bahasa Belanda disebut dengan “schuld” juga
merupakan unsur utama, yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
pelaku terhadap perbuatannya, termasuk perbuatan pidana atau tindak
pidana/delik.35
Berikut beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang
kesalahan (schuld) yang pada hakikatnya adalah pertanggung jawaban
pidana.
Menurut Simons, kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis
tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yng
sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan
perbuatan tadi. Berdasarkan pedapat ini dapat disimpulkan adanya dua hal
di samping melakukan tindak pidana, yaitu:36
1) Keadaan psikis tertentu;
2) Hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang
dilakukan hingga menimbulkan celaan.
Menurut Moeljanto, orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan,
jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan
yang merugikan masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna
(jelek) perbuatan tersebut. Dan karenanya dapat dan bahkan harus
menghindari untuk berbuat demikian. Tentunya perbuatan tersebut
memang sengaja dilakukan, dan celaannya berupa: mengapa melakukan
perbuatan, sedangkan dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan
masyarakat. Kecuali itu, orang dapat dicela karena melakukan perbuatan
pidana, meskipuntak sengaja, tetapi dengan alpa atau lalai terhadap
35
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 77
36
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, h. 79
21
2. Unsur-Unsur Kesalahan
Roeslan Saleh di dalam bukunya Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) unsur
kesalahan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya,
karena yang satu tergantung pada yang lain berturut-turut. Unsur-unsur
tersebut diantaranya:
1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti
jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal;
2) Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perubuatannya, baik
yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa);
3) Tidak adanya pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.
3. Macam-Macam Kesalahan
Dalam ilmu hukum pidana, terdapat 2 (dua) bentuk kesalahan,
yakni kesengajaan dan kealpaan:
a. Kesengajaan (dolus)
Kesengajaan adalah “willens en watens” yang artinya adalah
”menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui” atau seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang
mungkin akan terjadi karena perbuatannya.38
Kesengajaan memiliki beberapa corak, diantaranya:
1) Kesengajaan Sebagai Maksud (Dolus Directus)
Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu
perbuatan pelaku memang dikehendaki dan ia juga menghendaki
atau membayangkan akibatnya yang dilarang.
37
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, hlm. 80
38
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, hlm. 95
22
C. Kejahatan
1. Pengertian Kejahatan
Kejahatan adalah suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam
melanggar hukum pidana (hukum yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi), dilakukan bukan untuk
39
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, h. 107
23
pembelaan diri dan tanpa pembenaran, dan ditetapkan oleh Negara sebagai
kejahatan serius (felony) atau kejahatan ringan (misdemeanor).40
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.41
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk
menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan
demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat.pengertian tersebut
bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat
relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu.
Jadi, apa yag disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh
pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua
anggota dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.42
2. Unsur-Unsur Kejahatan
Unsur-unsur kejahatan, diantaranya:
1) Harus ada sesuatu perbuatan manusia
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam
ketentuan pidana.
3) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.
4) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman di dalam
undang-undang.
3. Macam-macam Kejahatan
1) White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih)
Kejahatan ini mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh
orang yang terpandang atau berstatus tinggi dalam hal pekerjaannya.
40
Frank E.Hagan, Pengantar Kriminologi, (Jakarta: Kencana, 2013), Edisi Ketujuh,
h.15
41
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta-Bandung:
Eresco, 1981), cetakan ke-3, h.50
42
Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas), (Bandung: Armco, 1984), h. 58
24
D. Pemalsuan
1. Pengertian Pemalsuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemalsuan menurut bahasa
berarti proses, perbuatan atau cara memalsukan.43
Kejahatan mengenai pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya
mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu
43
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 639.
25
(obyek), yang sesuatu itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya
padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.44
2. Macam-Macam Pemalsuan
a) Sumpah palsu
Sumpah palsu diatur dalam pasal 242 KUHP. Keterangan di
bawah sumpah dapat diberikan dengan lisan atau tulisan. Keterangan
dengan lisan berarti bahwa seseorang mengucapkan keterangan
dimuka seorang pejabat dengan disertai sumpah, memohon kesaksian
Tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang
saksi di dalam siding pengadilan.45
Adapun unsur-unsur sumpah palsu, diantaranya:46
1) Suatu ketentuan undang-undang yang menghendaki suatu
keterangan di bawah sumpah atau yang mempunyai akibat-akibat
hukum;
2) Pemberian keterangan palsu dan kesengajaannya ditujukan kepada
kepalsuannya itu.
b) Pemalsuan mata uang dan uang kertas
Pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244
KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun bagi siapapun yang meniru atau memalsu mata uang dan uang
kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas
itu sebagai asli dan tidak palsu.47
Selain memalsukan uang, mengedarkannya juga diancam
dengan ancaman pidana yang sama sebagaimana tertera dalam Pasal
44
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001)
45
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:
PT.Refika Aditama, 2008), h. 174
46
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), h.
144
47
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, h. 145
26
48
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, h. 146
49
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, h. 182
50
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, h. 148
27
51
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, h. 183-184
28
E. Kosmetika
1. Pengertian Kosmetik
Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk
digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir
dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut
terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan
29
atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik.52
Kosmetik berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti
“berhias”.53 Sejak semula kosmetika merupakan salah satu segi ilmu
pengobatan atau ilmu kesehatan, sehingga para pakar kosmetika dahulu
adalah juga pakar kesehatan; seperti para tabib, dukun, bahkan penasihat
keluarga istana. Oleh karean itu tidak mengherankan bila antara kosmetika
dan obat sejak dahulu sampai sekarang pun sangat sukar untuk ditarik
garis batasnya.54
Kadang-kadang kosmetika dicampur dengan bahan-bahan yang
berasal dari obat topikal yang dapat mempengaruhi struktur dan faal sel
kulit. Bahan-bahan tersebut, missal: anti jerawat (sulfur,resorsin) antijasad
renik (heksaklorofen), anti pengeluaran keringat (alumunium klorida),
plasenta, atau hormone (estrogen). Bahan-bahan inilah yang kemudian
dikenal sebagai kosmedik atau kosmeto-medik.55
2. Manfaat Kosmetik
Pemakaian kosmetik yang tepat dapat mendatangkan berbagai
manfaat bagi kesehatan dan kecantikan kulit, diantaranya:
a. Pemeliharaan dan Perawatan Kulit
Pemeliharaan berarti usaha pencegahan terhadap timbulnya kelainan-
kelainan atau penyebab dari kelainan tersebut. Usaha perawatan berarti
mempertahankan keadaan yang sekarang baik agar tidak berubah
menjadi buruk. Kosmetik pemeliharaan dan perawatan terdiri atas:56
52
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika.
53
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, (Jakarta: UI Press, 1997)
h. 26
54
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, h. 26
55
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, h. 27
56
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, h. 63
30
1) Pembersih
Kulit harus dibersihkan karena sebagai organ tubuh yang
berada paling luar (pembungkus), kulit terpapar pada setiap unsur
yang ada dilingkungan luar yag dapat merusak kulit, misalnya
debu, sinar matahari, suhu panas atau dingin, rudapaksa mekanis,
atau zat kimia yang menempel pada kulit. Selain itu kulit juga
mengeluarkan bahan sisa metabolism tubuh seperti keringat dan
minyak kulit. Kotoran yang menempel pada kulit ini perlu
dibersihkan agar kulit tetap sehat dan mampu melakukan fungsinya
dengan baik. Kosmetik dapat melakukan fungsi pembersih kulit ini
dengan baik.
2) Pelembab
Pada kuit kering yang terjadi pada keadaan kelembaban
udara sangat rendah, penguapan air dari kulit sangat tinggi, kulit
orang tua, atau kelainan kulit tertentu yang menyebabkan kulit
menjadi kering dan kasar, kosmetik pelembab dapat mengurangi
kekeringan kulit dan mengurangi penguapan kulit dengan cara
menutupinya.
3) Pelindung
Pada keadaan tertentu, kulit memerlukan perlindungan
tambahan. Pertama, pada polusi yang bersifat iritan sangat kuat.
Kedua, pada paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultra
violet secara langsung dan lama, perlindungan kulit dapar
dilakukan dengan menggunakan kosmetik tabir surya.
4) Penipisan Kulit
Penipisan kulit kadang-kadang perlu dilakukan pada
keadaan kulit menebal dan agak kasar, misalnya, pada gangguan
keratinisasi kulit, pada keadaan kulit kotor dan berbinyak sehingga
lapisan tanduk tidak mudah terlepas, atau pada tempat terjadi
gesekan kulit sehingga keratinisasi kulit bertambah cepat.
31
3. Jenis-jenis Kosmetik
a. Jenis Kosmetik Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI, kosmetik dibedakan atas
13 (tiga belas) jenis, yaitu:
1) Kosmetik bayi
Kosmetik yang termasuk kategori ini contohnya adalah minyak
bayi, bedak bayi, sampo bayi, dan lain-lain. Kosmetik ini dirancang
dengan forula khusus yang aman bagi kulit bayi yang sensitif.
32
57
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 134-136
34
b) Semi tradisional
Kosmetik yang resepnya diambil dari resep nenek moyang,
bahan yang digunakan adalah bahan-bahan alami, namun diolah
dengan cara-cara yang lebih modern. Kosmetik tersebut
dikemas secara modern dan diberi bahan pengawet.
c) Hanya menempel nama yang tradisional. Sementara komponen
yang digunakan sudah tidak benar-benar tradisional lagi.58
c. Jenis Kosmetik Menurut Kegunaannya Bagi Kulit
Berdasarkan kegunaannya bagi kulit, kosmetik dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Kosmetik Perawatan (skin care cosmetics)
Kosmetik jenis ini berfungsi untuk membersihkan dan merawat
kulit dari faktor lingkungan yang dapat merusak kebersihan dan
kemulusannya, yang termasuk dalam kenis kosmetik ini adalah:
a) Cleanser
Kosmetik yang berfungsi untuk membersihkan kulit. Misalnya
sabun, cleansing cream, cleansing milk, toner, dan sebagainya.
b) Moisturaizer
Kosmetik yang berfungsi untuk melembabkan kulit. Misalnya
moisturizing cream, night cream, dan sebagainya.
c) Kosmetik untuk melindungi kulit. Misalnya sun screen cream,
sun screen foundation, dan sun block cream.
d) Peeling
Kosmetik yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan sel
kulit baru dan mengangkat sel-sel kulit mati, sehingga kulit
tampak lebih cerah. Misalnya scrub cream berupa butiran
halus.
58
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, hlm. 136
35
59
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, h. 137
36
BAB III
PEMALSUAN MEREK DALAM PERDAGANGAN KOSMETIK
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
60
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 331
61
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 332
36
37
Tahun 1961. Antara lain adalah mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek
kolektif, dan sebagainya.62
Alasan lain dapat juga kita lihat dalam penjelasan Undang-Undang
Merek Tahun 1992 yang antara lain mengatakan:
Pertama, materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 bertolak dari
konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II. Sebagai
akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma
dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1961 tertinggal jauh. Hal ini semakin terasa pada
saat komunikasi semakin maju dan pola perdagangan antar bangsa sudah tidak
lagi terikat pada batas-batas Negara. Keadaan ini menimbulkan saling
ketergantungan anatar bangsa baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun
kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia
sebagai pasar bagi produk-produk.63
Kedua, perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah
menimbulkan persoalan baru yang memerlukan antisipasi yang harus diatur
dalam undang-undang ini.64
Selanjutnya tahun 1997 UU Merek Tahun 1992 tersebut juga
diperbaharui lagi dengan UU No. 14 Tahun 1997. Kemudian pada tahun 2001
UU Tahun 1997 tentang “Merek” diganti dengan UU Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek. Saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagai Undang-Undang terbaru yang
mengatur persoalan merek di Indonesia.
Definisi merek berdasarkan perspektif hukum yang disepakati secara
internasional adalah: “tanda atau serangkaian tanda yang menyatakan asal
produk atau jasa dan membedakannya dari para pesaing” (Kapferer, 2008).65
62
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 332
63
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 332-333
64
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 333
38
65
Casavera, 8 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009), h. 8.
66
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h. 84.
67
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1987), h. 205.
68
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia,(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 219
39
69
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedilah, Hak Milik Intelektual,(Jakarta: Citra
Aditya Abadi, 1997), h. 232
70
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
71
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 269
41
72
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2006), h. 9
73
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h. 25-26
42
ini bermanfaat bagi konsumen karena konsumen dapat semakin bebas dan
mudah dalam memilih dan membeli barang/jasa yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan mereka. Namun, di sisi lain hal tersebut dapat
menempatkan konsumen di posisi yang lemah dan menjadi objek dari
aktivitas bisnis demi mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya oleh
pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan
perjanjian baku yang merugikan konsumen. Untuk itu perlu adanya peraturan
yang menjamin hak-hak kosumen agar konsumen tidak menjadi objek yang
lemah dalam dunia perdagangan barang dan jasa. Seperti yang telah
tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Hak konsumen, adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.74
74
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
44
75
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
46
Pasal 197:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
47
76
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 38
48
4. Bahan pewarna merah K.3 (CI 15585), merah K.10 (Rhodamin B), dan
jingga K.1 (CI 12075)
Bahan pewarna merah K.3 (CI 15585), merah K.10 (Rhodamin B),
dan jingga K.1 (CI 12075) bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan
kanker. Ketiga bahan pewarna ini pada dasarnya adalah zat pewarna
sintetis yang lazim digunakan pada perusahaan kertas, tekstil, dan tinta.
Reaksi negatif yang dapat ditimbulkan pada penggunaan bahan pewarna
sintetis ini adalah:
a. Kanker, zat warna sintetis ini bersifat karsinogenik yang sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia.
b. Rhodamin B pada konsentrasi tinggi berpotensi menimbulkan
kerusakan hati.
Reaksi negatif yang ditimbulkan oleh bahan berbahaya yang
terkandung dalam kosmetik beragam, mulai dari iritasi ringan hingga
berat, alergi, penyumbatan fisik di pori-pori, keracunan lokal atau
sistemik. Reaksi negatif ini ternyata tidak hanya berdampak pada jaringan
kulit, akan tetapi dampaknya bisa lebih luas lagi. Bahkan berpengaruh
pada sistem jaringan dan organ-organ penting lainnya. Bahan berbahaya
merupakan racun atau toxin. Racun yang dioleskan pada kulit melalui
produk kosmetik akan diserap oleh kulit dan masuk kedalam tubuh melalui
aliran darah dan akhirnya tersimpan dalam sel-sel di seluruh tubuh, bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi. Racun tersebut bisa saja menyebabkan
berbagai macam efek negatif, seperti mutasi DNA, kanker, menyebabkan
kemandulan, kerusakan pada sistem saraf, dan berbagai masalah kesehatan
lainnya.77
77
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 39
50
78
Nurhalis, “Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999” Institut Agama Islam Hamzanwadi, III, 9, (Desember, 2015)
h. 526
79
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-fikri, 1994), jilid
1, h. 85
53
80
Nurhalis, “Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999” Institut Agama Islam Hamzanwadi, III, 9, (Desember, 2015)
h. 527
54
Tathfif, adalah mengurangi timbangan atau takaran barang yang akan dijual.
Dari praktik-praktik bisnis yang dilarang tersebut, kejahatan
perdagangan kosmetik palsu termasuk kedalam praktek perdagangan gisyah
yakni menyembunyikan cacat barang yang dijual. Dalam hal ini, hukuman
yang dapat dikenakan kepada pelaku gisyah adalah ta’zir karena bentuk dan
ukurannya tidak diatur secara tegas oleh syariat.
Islam sangat melarang umatnya untuk menggunakan atau melakukan
hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri seperti halnya menggunakan
kosmetik palsu karena kandungan zat-zatnya yang berbahaya bagi kesehatan
bahkan jiwa penggunanya. Allah swt berfirman:
terhadap apa yang akan ia konsumsi atau gunakan jangan sampai hal tersebut
merugikan dirinya sendiri.
Pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan
asas dalam perlindungan konsumen, salah satunya adalah asas keamanan dan
keselamatan konsumen. Asas Keamanan dan Keselamatan, dalam hukum
Islam ada lima hal yang wajib dijaga dan dipelihara (al-dharuriyyat
alkhamsah), yaitu:
a. memeliharaan agama (hifdh al-din),
b. memelihara jiwa (hifdh al-nafs),
c. memelihara akal (hifdh al-aql),
d. memelihara keturunan (hifdh nasl),
e. memelihara harta (hifdh al-maal).
Di dalam Islam, kelima hal tersebut merupakan hal-hal yang wajib di
pelihara dalam setiap permasalahan kehidupan, begitu juga dalam dunia
perdagangan mengenai perlindungan konsumen. Misalnya, untuk menjaga
agama atau keimanan, konsumen muslim harus terlindung dari produk
makanan yang mengandung babi. Kemudian untuk menjaga jiwa, konsumen
harus terlindung dari produk makanan atau kosmetika yang mengandung
bahan-bahan berbahaya yang dapat mengancam keselamatan jiwanya dan
begitu seterusnya.
56
BAB IV
ANALISIS PEMALSUAN MEREK DALAM PERDAGANGAN
KOSMETIK
1. Faktor Korban
Kejahatan dan korban merupakan 2 (dua) hal yang memiliki
keterkaitan antara satu dengan yang lain. Terjadinya sebuah kejahatan
pasti akan menimbulkan korban. Sebaliknya, korban juga berperan dalam
menimbulkan kejahatan. Peran yang dimaksud adalah keadaan diri korban
yang memicu timbulnya sebuah kejahatan.
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya
suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin
timbul suatu kejahatan kalau tidak ada korban kejahatan, yang merupakan
peserta utama dari penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal
pemenuhan kepentingan si penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan
dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan
korban.81 Jadi, walaupun korban merupakan pihak yang dirugikan dalam
81
Rena Yulia, Viktimologi: Perindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 75
56
57
82
Wawancara pribadi pada tanggal 20 Desember 2017.
58
83
Wawancara pribadi pada tanggal 22 Desember 2017
59
84
Wawancara pribadi pada tanggal 28 Desember 2017.
60
palsu.
85
Badan POM, laporan Tahunan 2016, (www.pom.go.id), h. 106
62
86
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 57
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Faktor Penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan merek dalam
perdagangan kosmetik diantaranya adalah faktor korban dan faktor pelaku
usaha. Faktor korban yang dimaksud adalah keadaan diri korban yang
dapat menjadi penyebab terjadinya kejahatan ini seperti, ketidaktahuan
korban dalam membedakan antara produk kosmetik asli dan palsu,
keinginan korban untuk tampil cantik namun tidak dibarengi dengan
kemampuan ekonomi yang mencukupi sehingga korban cenderung
memilih untuk membeli produk kosmetik dengan harga yang murah, dan
mudah percaya. Sedangkan faktor pelaku usaha adalah faktor yang ada
didalam ataupun diluar diri pelaku usaha yang menyebabkan ia
melakukan kejahatan pemalsuan merek kosmetik seperti, kesulitan
ekonomi, mudahnya memproduksi kosmetik palsu, dan juga keinginan
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
2. Upaya penanggulangan terhadap kejahatan pemalsuan merek dalam
perdagangan kosmetik diantaranya berupa upaya preventif dan upaya
represif. Upaya preventif atau upaya pencegahan ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai
kosmetik palsu beserta dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari
penggunaannya serta dengan melakukan pengawasan oleh pihak yang
berwenang seperti Badan POM dan kepolisian. Selanjutnya, upaya
represif atau upaya yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan dapat
68
B. Saran
1. Badan Pengawas Obat dan Makanan diharapkan lebih meningkatkan
67
pengawasan dan sosialisasi secara lebih intensif mengenai kejahatan
perdagangan kosmetik palsu karena kejahatan ini dapat mengakibatkan
kerugian terhadap banyak pihak, selain konsumen, pemilik merek bahkan
negara dapat menjadi pihak yang dirugikan oleh kejahatan ini.
2. Pemilik merek sebaiknya mengajukan gugatan secara hukum terhadap
pelaku usaha kosmetik palsu apabila menemukan merek kosmetik
miliknya menjadi produk yang dipalsukan agar dapat memberikan efek
jera dan terciptanya penegakan hukum.
3. Konsumen dalam hal ini merupakan pihak yang paling dirugikan, karena
terdapatnya kemungkinan bahwa produk kosmetik palsu yang digunakan
mengandung bahan-bahan berbahaya yang dapat memberikan efek negatif
kepada diri konsumen. Untuk itu, konsumen harus lebih cerdas dalam
memilih kosmetik dan tidak mudah tergiur dengan harga yang murah dan
efek yang cepat, tetapi juga memastikan keamanan dari produk kosmetik
tersebut.
Daftar Pustaka
Buku
Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Astarini, Dwi Rezki Sri. Penghapusan Merek Terdaftar. Bandung: Alumni. 2009.
Casavera. 8 Kasus Sengketa Merek di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Djumhana, Muhammad dan Djubaedilah, R. Hak Milik Intelektual. Jakarta: Citra
Aditya Abadi. 1997.
Djazuli, A. Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 1997.
Dahlan, Abdul Aziz et.al. Jarimah Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996.
Hamzah, Andi. Azas-Azas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Renika Cipta.
2008.
Hakrisnowo, Hakristuti. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pandangan Muhammad Amin Suma, dkk.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001.
Hanafi, A. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Hagan, Frank E. Edisi Ketujuh. Pengantar Kriminologi. Jakarta: Kencana. 2013.
Irfan, Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH. 2015.
Jened, Rahmi. Implikasi Persetujuan TRIPs Bagi Perlindungan Merek di
Indonesia. Surabaya: Yuridika. 2000.
Jened, Rahmi. Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global & Integrasi
Ekonomi. Jakarta: Prenadamedia Group. 2015.
Kusumah, Mulyana W. Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas). Bandung: Armco. 1984.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2003.
Kanter, E. Y. dan Sianturi, S. R. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika. 2002.
Muliyawan, Dewi dan Suriana, Neti. A-Z Tentang Kosmetik. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo. 2013.
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2013.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 2002.
Muhammad, Abu Abdillah bin Ismail. Al-Bukhari, Jilid 1. Beirut: Dar al-fikri.
1994.
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Rajawali Pers.
Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 1993.
Prodjohamidjojo, Martiman. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Jakarta: Pradnya Paramita. 1997.
Prodjodikoro, Wirdjono. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung:
PT.Refika Aditama. 2008.
Prodjodikoro, Wirdjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta-
Bandung: Eresco. 1981.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights). Jakarta: Rajawali Press. 2015.
Soesilo, R. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus, Bogor: Politeia. 1979.
Suryatin. Hukum Dagang I dan II. Jakarta: Pradnya Paramita. 1980.
Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2003.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. 2006.
Soedarto, R. Ilmu Hukum Semarang: UNDIP. 1989.
Sudarto. Hukum Pidana, Purwokerto: Universitas Soedirman. 1990.
Wasitaatmaja, Syarif M. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press. 1997.
Yafie, Alie. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam I. Jakarta: PT Kharisma Ilmu. 2010.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu As-Syafi’I Al-Muyassar. Beirut: Darul fikr. 2008.
Perundang-undangan
KUHP
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/MenKes/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika.
Jurnal
Nurhalis. Desember 2015. III. 9. “Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999”. Institut Agama Islam
Hamzanwadi
Internet
http://industri.bisnis.com/, diakses 28 Oktober 2017 Pukul 16:32
https://bisnis.tempo.co/ diakses 5 Oktober 2017 Pukul 19:30