Anda di halaman 1dari 82

KEJAHATAN PEMALSUAN MEREK DALAM PERDAGANGAN

KOSMETIK
(Ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Syahra Husniyyah
NIM : 11140450000089

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/1439H

i
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 8 Februari 2018

Materai 6000

Syahra Husniyyah

iv
ABSTRAK

SYAHRA HUSNIYYAH 1114045000089, KEJAHATAN PEMALSUAN


MEREK DALAM PERDAGANGAN KOSMETIK (Ditinjau dari Hukum Positif
dan Hukum Islam) Jurusan Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2018 M/ 1439
H, 65 Halaman. Skripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana
tindak pidana kejahatan pemalsuan merek dalam perdagangan kosmetik serta
bagaimana hukum positif dan hukum Islam memandang tentang hal tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berupa kajian
kepustakaan (Library Research). Spesifikasi yang digunakan pada penelitian ini
adalah Deskriptif Analitis, data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer
dan sekunder. Data primer pada penelitian ini adalah undang undang no. 20 tahun
2016 tentang merek dan indikasi geografis, undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
wawancara, al-Qur’an, hadist dan sebagai data sekunder pada penilitian ini diperoleh
dari buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan skripsi
ini kemudian dari data-data yang diperoleh dirangkai dengan metode deduktif. Hasil
dari penelitian memberikan kesimpulan bahwa kejahatan pemalsuan merek dalam
perdagangan kosmetik merupakan perbuatan yang melawan hukum pidana seperti
yang tertuang dalam undang-undang nomor 20 tahun 2016, undang-undang nomor 36
tahun 2009, undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Hukum Islam memandang kejahatan pemalsuan merek dalam perdagangan kosmetik
merupakan perbuatan yang dilarang karena perbuatan tersebut dapat menimbulkan
kerugian terhadap hak-hak manusia sebagaimana tercantum di dalam al-Qur’an dan
Hadist. Senada dengan kesimpulan diatas, maka diharapkan kepada pemerintah,
konsumen, dan pelaku usaha agar dapat bekerja sama memberantas kejahatan
perdagangan kosmetik palsu supaya tercipta dunia bisnis yang lebih sehat.

Kata Kunci : Kejahatan, Kosmetik palsu


Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H, M.Hum.

v
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagai salah satu syarat
menyelesaikan studi pada tingkat Universitas. Shalawat beriring Salam penulis
curahkan kepada Nabi kita Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyyah hingga zaman keilmuan seperti sekarang ini. Tak lupa pula
kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya
hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “KEJAHATAN PEMALSUAN MEREK DALAM


PERDAGANGAN KOSMETIK (Ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum
Islam)” merupakan karya tulis penutup di tingkatan Strata 1 dari semua pembelajaran
yang sudah penulis dapatkan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
selama 3,5 tahun ini. Semoga dengan lahirnya karya tulis ini dapat menambah
khazanah keilmuan khususnya bagi penulis umumnya bagi siapa saja yang membaca
skripsi ini.

Penghargaan dan Terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan untuk


Ayahanda Edi Sumarsono dan Ibunda Pajriah yang telah mencurahkan segalanya
baik itu yang bersifat dukungan moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu
memberikan Keberkahan, Kesehatan dan Kemulian di dunia maupun di akhirat atas
segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Dalam penulisan Skripsi ini, saya sebagai penulis sangat menyadari akan
pentingnya keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi
dukungan secara keilmuan, pemikiran maupun materi serta dukungan lain baik secara
moril maupun spiritual sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Dukungan mereka sangatlah berarti karena dukungan mereka segala halangan dan

vi
hambatan yang ada dapat teratasi dengan mudah dan terarah. Untuk itu penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang amat dalam kepada yang terhormat :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam dan Nur Rohim Yunus, LL.M, Selaku Sekertasris Prodi yang telah
membantu segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga
motivasinya dalam menyelesaikan Skripsi ini.
3. Dr. Burhanudin, S.H, M.H. Selaku dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktunya bagi penulis
sehingga skripsi ini lebih terarah dan menjadi lebih baik.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas memberikan
ilmu yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyambung ilmu baik
dalam dunia pekerjaan maupun akademik ditingkat lebih tinggi.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan ini berupa buku
dan literature lainnya seingga penulis memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.
6. Untuk orang tua tercinta Ibunda Pajriah dan Ayahanda Edi Sumarsono,
serta ketiga adik tercinta penulis Saroja Husnaini, Waldi Hasan, dan Syakila
Arruby Hana yang senantiasa memberikan motivasi, do’a, serta bantuan
moril maupun materiil pada penulis.
7. Untuk para sahabat penulis Ananda Annisa Putri, Sita Sarah Aisyiyah,
Nurfeby Yanti, Gavrila Piranti, Rizki Wirid Diniah, Annisa Lutfi, Mita
Oktaviani, Iis Safitri, Ivone Adriana Souhoka, Hana Hanifah, Woro Nurul
Fitri Qomariyah, Rizky Amrulloh Syahputra, Bahrul Ulum, Indah Fajriyah,
Agnes Fitriantica yang selalu mensupport penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini kapanpun dan dimanapun.
8. Untuk teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 025 TIME terima kasih
atas pengalamannya, canda, tawa, suka dan dukanya semoga kita bisa

vii
bertemu dilain waktu dan tetap support satu sama lain menjadi orang sukses
dan berguna.
9. Ucapan terkahir penulis tujukan kepada semua pihak terutama teman
seperjuangan konsentrasi Hukum Pidana Islam angkatan 2014 yang tidak
dapat saya sebut satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih
penulis atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada
kekuasaan Allah SWT yang maha segalanya. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya dan menjadi amalan baik yang akan dicatat oleh
malaikat sebagai bekal kita di akhirat nanti. Amin.

Jakarta, 8 Februari 2018

Penulis

Syahra Husniyyah

viii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................ iv

ABSTRAK ....................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Batasan Masalah ............................................................................ 6

C. Rumusan Masalah.......................................................................... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7

E. Studi Review Terdahulu ................................................................ 8

F. Metode Penelitian .......................................................................... 9

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 11

BAB II PANDANGAN UMUM KEJAHATAN PEMALSUAN MEREK DALAM


PERDAGANGAN KOSMETIK
A. Tindak Pidana ............................................................................... 12

1. Tindak pidana menurut hukum positif ...................................... 12

2. Tindak Pidana menurut hukum Islam ....................................... 17

B. Kesalahan ....................................................................................... 22

1. Pengertian Kesalahan ................................................................ 22

2. Unsur-unsur Kesalahan.............................................................. 22

ix
3. Macam- macam Kesalahan ........................................................ 23

C. Kejahatan ....................................................................................... 24

1. Pengertian kejahatan .................................................................. 24

2. Unsur-unsur kejahatan ............................................................... 25

3. Macam-macam kejahatan .......................................................... 25

D. Pemalsuan ...................................................................................... 26

1. Pengertian pemalsuan ................................................................ 26

2. Bentuk-bentuk pemalsuan ......................................................... 27

E. Kosmetika ...................................................................................... 31

1. Pengertian kosmetik .................................................................. 31

2. Manfaat kosmetik ...................................................................... 32

3. Jenis-jenis kosmetik ................................................................... 34

BAB III PEMALSUAN MEREK DALAM PERDAGANGAN KOSMETIK


MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Sejarah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang

Merek & Indikasi Geografis ..................................................... 40

B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ................................................................................. 44

C. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan ................................................................................. 50

D. Kejahatan Pemalsuan Merek Menurut Hukum

Islam………….....………………………………………........ 56

BAB IV ANALISIS KEJAHATAN PEMALSUAN MEREK DALAM


PERDAGANGAN KOSMETIK

x
A. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Pemalsuan dalam
Perdagangan Kosmetik............................................................. 60

B. Analisis Upaya Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Merek Dalam


Perdagangan Kosmetik………………………………………. 66
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 71

B. Saran ......................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakangMasalah
Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan hasil pemikiran dan
kecerdasan manusia yang dapat berbentuk penemuan, desain, seni, karya tulis
atau penerapan praktis suatu ide. Penciptaan Hak Kekayaan Intelektual
membutuhkan waktu, bakat, dan uang maka apabila tidak ada perlindungan
atas kreativitas intelektual yang dibuat, tiap orang dapat meniru dan mengopi
secara bebas hak milik orang lain tanpa batas yang mengakibatkan tidak
adanya insentif bagi penemu untuk mengembangkan kreasi-kreasi baru.1
Merek (trademark) sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual pada
dasarnya ialah tanda untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an
indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa
perusahaan lain.2 Merek merupakan ujung tombak perdagangan barang dan
jasa. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan akan
kualitas (a guarantee of quality) barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan
mencegah tindakan persaingan (konkurensi) yang tidak jujur dari pengusaha
lain yang beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.3
OK Saidin, dalam bukunya yang berjudul Aspek Hukum Hak
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) menjelaskan, peraturan
akan perlindungan hukum terhadap merek di Indonesia telah ada sejak masa
kolonial Belanda yaitu Reglement Industriele Eigendom (RIE) kemudian
diganti pada tahun 1961 yaitu dengan Undang-Undang No.21 Tahun 1961
tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan dan bertahan selama 31
tahun.

1
Dwi Rezki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, (Bandung: Alumni, 2009),
h. 2
2
Rahmi Jened, Implikasi Persetujuan TRIPs Bagi Perlindungan Merek di Indonesia,
(Surabaya: Yuridika, 2000), h 1
3
Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global & Integrasi
Ekonomi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 3.

1
2

Peraturan tentang merek kembali diganti dengan Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 1992 dan diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1997 hingga akhirnya berlaku Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001. Saat ini telah berlaku undang-undang baru yaitu UU Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meskipun peraturan tentang
merek telah mengalami beberapa kali perubahan untuk mengikuti
perkembangan zaman dalam melindungi hak merek tetapi pada kenyataannya
penegakan hukum mengenai masalah merek dirasa masih kurang tegas
ditandai dengan masih maraknya permasalahan dibidang merek yang terjadi
di Indonesia khususnya tentang pemalsuan merek.
Pelanggaran terhadap merek motivasinya adalah untuk mendapatkan
keuntungan pribadi secara mudah dengan mencoba atau melakukan tindakan,
meniru atau memalsukan merek-merek yang sudah terkenal di masyarakat
tanpa memikirkan hak-hak orang lain yang hak-haknya telah dilindungi
sebelumnya. Tentu saja hal-hal demikian itu akan sangat mengacaukan roda
perekonomian dalam skala nasional dan skala lokal.4
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Masyarakat Indonesia Anti
Pemalsuan (MIAP) produk palsu yang beredar telah merugikan negara hingga
43 Triliun rupiah di tahun 2010 dan terus mengalami peningkatan hingga 65,1
Triliun rupiah di tahun 2014. Studi yang bekerjasama dengan Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia itu menyebutkan tujuh komoditas yang
produknya banyak dipalsukan, yakni tinta printer, software, pakaian, barang
berbahan kulit, makanan dan minuman serta obat-obatan dan kosmetika.
Penelitian tersebut mengungkapkan presentase produk kosmetika palsu yang
beredar mencapai 12,60%.5
Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan, Setiap Orang yang dengan tanpa
hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek

4
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 356-357.
5
http://industri.bisnis.com/, diakses 28 Oktober 2017 Pukul 16:32
3

terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 220/MenKes/Per/X/1976 tanggal
6 september 1976 yang menyatakan bahwa kosmetika adalah bahan atau
campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan, atau
disemprotkan pada, dimasukkan kedalam, dipergunakan pada badan atau
bagian badan manusia dengan maksud untuk membersihkan, memelihara,
menambah daya tarik atau mengubah rupa, dan tidak termasuk golongan obat.
Ada banyak cerita seputar sejarah kosmetik dan wanita. Konon,
manusia mulai mengenal manfaat warna-warni pada hewan dan tumbuhan
bisa memberikan efek positif bagi kecantikan berawal dari coba-coba dan
karena ketidaksengajaan. Misalnya, perona pipi (pemerah pipi) pertama kali
ditemukan karena kebetulan. Konon ceritanya, seorang wanita tanpa sengaja
menumpahkan minuman anggurnya hingga mengenai daerah pipi. Tumpahan
anggur yang mengenai pipi tersebut menyebabkan pipinya berwarna
kemerah-merahan. Ternyata efek semu merah tersebut justru membuat si
wanita terlihat lebih cantik. Sejak saat itu, orang-orang mulai berusaha untuk
membuat kedua pipi kanan dan kiri tersapu warna lembut dari bahan-bahan
alam yang mereka ketahui.6
Kosmetik berasal dari kata kosmetikos (Yunani) yang artinya
keterampilan menghias, mengatur. Jadi, kosmetik pada dasarnya adalah
campuran bahan yang diaplikasikan pada anggota tubuh bagian luar seperti
epidermis kulit, kuku, rambut, bibir, gigi, dan sebagainya dengan tujuan
menambah daya tarik, melindungi, memperbaiki, sehingga penampilannya
lebih cantik dari semula.7

6
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 2
7
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 1
4

Kosmetik mulai dikenal manusia sejak berabad-abad silam. Manusia


mengenal kosmetik berdasarkan naluri alamiahnya yang senantiasa ingin
tampil cantik, sehingga mereka senantiasa bereksperimen menemukan cara
yang tepat untuk menonjolkan kecantikan tubuhnya. Warna-warna alami yang
terdapat pada hewan dan tumbuhan pada awalnya menjadi pilihan kaum
wanita untuk mempercantik penampilannya.8
Wanita secara alami memiliki keinginan untuk selalu terlihat cantik.
Sejarah mengungkapkan berbagai ritual kecantikan yang dilakukan para
wanita sejak berabad-abad yang lalu dari berbagai belahan dunia baik hanya
berupa perawatan untuk mempertahankan kecantikan alaminya hingga yang
bisa merubah penampilan mereka seperti kosmetika.
Pada era modern saat ini kosmetik merupakan serangkaian produk
kecantikan yang wajib dimiliki oleh setiap wanita demi memiliki penampilan
yang menarik baik untuk tuntutan karir maupun dalam kehidupan sehari-hari,
ditambah lagi dengan adanya media sosial saat ini membuat para wanita
seakan berlomba menunjukan eksistensinya. Selain itu, fakta membuktikan
bahwa prduk kosmetik sangat diperlukan oleh manusia, baik perempuan
maupun laki-laki sejak lahir hingga meninggal dunia.
Produk-produk ini dipakai secara berulang setiap hari dan di seluruh
tubuh, mulai dari rambut hingga kaki sehingga produk-produk tersebut harus
memenuhi strandar keamanan yang berlaku. Berbagai perusahaan bersaing
menciptakan produk kosmetika dengan formula dan tampilan yang menarik
untuk memenuhi kebutuhan para wanita. Sayangnya, tingginya permintaan
akan produk kecantikan saat ini dimanfaatkan oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab dengan memproduksi berbagai jenis kosmetika palsu
menggunakan merek terkenal untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya. Kurangnya pengawasan dari pihak yang berwenang ditambah
rendahnya pengetahuan masyarakat dalam membedakan produk asli dan
palsu membuat beredarnya kosmetik palsu ini semakin merajalela dipasaran.

8
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 1
5

Mawardah Nur Hanifiyani menulis sebuah berita online dalam


www.Tempo.co yang mengungkapkan bahwa Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) menemukan 977 jenis kosmetik ilegal yang merupakan
produk kecantikan merek terkemuka yang dipalsukan dalam operasi di tujuh
wilayah di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Semarang,
Serang, dan Makassar. Beberapa diantara produk-produk yang dipalsukan
adalah pemutih wajah merek Pond’s, pensil alis merek Revlon, sabun merek
Citra, dan lipgloss merek Maybelline.
Kepala BPOM Roy Sparringa menyatakan, produk-produk tersebut
berbahaya karena mengandung merkuri dan bahan kimia berbahaya lainnya
seperti Hidroquinon, Asam Retinoat, Resorsinol, bahan pewarna k3,
diethylene glycol, dan timbal yang sangat berbahaya bagi kulit dan dapat
menyebabkan diare, hiperpigmentasi, kulit kering, rasa terbakar, dapat
menyebabkan kecacatan janin bagi ibu hamil, kerusakan hati hingga kanker.9
Praktik pemalsuan merek kosmetik tersebut tentu saja merupakan
kejahatan yang akan merugikan berbagai pihak, diantaranya yaitu pemilik
merek karena dengan begitu mereka tidak perlu lagi bersusah payah
menciptakan sebuah merek bagi produk kosmetik mereka, dan juga tidak
perlu melalui proses pendaftaran merek dan mengeluarkan biaya yang banyak
untuk membangun image atas produk mereka melalui iklan dan berbagai
kegiatan pemasaran lainnya karena merek tersebut telah dikenal oleh
masyarakat atas image yang telah dibangun oleh pemilik merek tersebut. Hal
ini dapat mengakibatkan turunnya keuntungan penjualan bagi pemilik merek,
bahkan kepercayaan masyarakat atas merek tersebut juga dapat menurun
akibat anggapan konsumen atas kurang baiknya kualitas dari merek tersebut.
Produk yang palsu biasanya memiliki kualitas yang lebih rendah dari
produk aslinya, bahan yang digunakan dan juga cara pembuatan produk
kosmetik palsu tersebut tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan
dapat memberikan dampak yang berbahaya bagi kesehatan, bahkan jiwa

9
https://bisnis.tempo.co/ diakses 5 Oktober 2017 Pukul 19:30
6

konsumen dan menjadi korban dari kejahatan perdagangan kosmetik palsu


tersebut.
Dalam Pasal 8 ayat (1) butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009
tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari uraian latar belakang masalah
diatas maka peneliti mengangkat suatu penelitian dengan judul: “Kejahatan
Pemalsuan Merek Dalam Perdagangan Kosmetik (Ditinjau dari Hukum
Positif dan Hukum Islam)”

B. Batasan Masalah
Merujuk kepada pembahasan diatas, penulis membatasi permasalahan
yang akan dituangkan dalam penulisan skripsi ini agar tidak terlalu luas
didalam pembahasannya. Penulis akan membahas mengenai kejahatan
perdagangan kosmetik palsu dalam pandangan hukum positif dan hukum
Islam.

C. Rumusan Masalah
Peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang berhubungan
dengan judul skripsi ini guna dijadikan pedoman dalam membahas obyek
penelitian sehingga mencapai sasaran yang dimaksudkan. Adapun perumusan
masalah yang akan penulis kemukakan adalah sebagai berikut :
1. Apa faktor penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan merek dalam
perdagangan kosmetik?
2. Bagaimana upaya penanggulangan terhadap kejahatan pemalsuan merek
dalam perdagangan kosmetik?
7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan
merek dalam perdagangan kosmetik.
b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan kerjahatan pemalsuan merek
dalam perdagangan kosmetik.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini terdiri dari
manfaat teoritis dan manfaat praktis, dan kedua manfaat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangsih pengetahuan mengenai hukum pidana
khususnya dalam hal pemalsuan merek dan memperkaya dunia
pendidikan dengan menjadi rujukan akademis bagi penulisan karya
ilmiah lainnya di masa depan.
b. Manfaat Praktis
Memberikan masukan kepada pemerintah, penegak hukum dan
masyarakat mengenai kosmetik palsu yang menggunakan merek
terkenal dan dapat merugikan baik konsumen, pemilik merek, dan juga
negara agar nanti peredarannya bisa semakin sedikit bahkan dapat
hilang sepenuhnya dalam mewujudkan dunia usaha yang sehat di
Indonesia.

E. Studi Review Terdahulu


Sejumlah studi mengenai topik pemalsuan merek telah dilakukan
sebelumnya, baik yang membahas secara spesifik mengenai pemalsuan
kosmetik maupun yang hanya membahas pemalsuan merek secara umum.
Berikut pemaparannya:
8

No. Nama Judul Hasil Temuan


1 Dara Tursina Tindak Pidana Tindakan-tindakan yang
Siregar (2009) Pemalsuan Merek Kaca termasuk pemalsuan,
Film Llumar dan Upaya upaya penanggulangan
Penanggulangannya tindak pidana pemalsuan
(Studi Kasus di merek dan analisis
Pengadilan Negeri putusan hakim PN
Medan Perkara Medan dengan nomor
No.1454/Pid.B/2006/PN. perkara
Medan) No.1454/Pid.B/2006/PN.
Medan berdasarkan
analisis penulis, hakim
telah menjatuhkan
putusan dengan tepat.
2 Sekar Hayu Perlindungan Hukum Perlindungan hukum
Ediningtyas Terhadap Pemalsuan terhadap pemalsuan
(2015) Merek Dagang Terkenal derek dagang terkenal
Asing di indonesia asing di Pasar Johar
Ditinjau dari UU Nomor Semarang dan hambatan
15 Tahun 2001 tentang pelaksanaan
Merek (Studi Di Pasar perlindungan hukum
Johar Semarang) merek dagang terkenal
asing di Pasar Johar
Semarang.
3 Cahaya Setia Perlindungan Hukum Cara Pembuatan
Nuarida Triana Bagi Konsumen Kosmetik Yang Baik,
(2015) Terhadap Peredaran Persyaratan untuk
Kosmetik Yang menjamin mutu,
Mengandung Bahan keamanan, dan
Berbahaya di Kabupaten kemanfaatan kosmetik,
9

Banyumas Izin produksi kosmetik,


serta perlindungan
kosmen dan hak-hak
yang harus didapatkan
konsumen.

Ketiga skripsi di atas, meskipun memiliki tema yang serupa dengan


skripsi ini namun berbeda secara prinsip dan pembahasannya. Skripsi ini
membahas tentang bagaimana sanksi pidana bagi pelaku peredaran kosmetik
palsu yang dikaji dari hukum positif dan hukum islam beserta faktor dan
upaya penanggulangan kejahatan tersebut.

F. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode
penelitian berfungsi untuk mengemukakan secara teknis tentang metode-
metode yang digunakan dalam sebuah penelitian. Berikut adalah metode
penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis
penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.10 Normatif/ yuridis yaitu hukum diidentifikasikan
sebagai norma peraturan atau undang-undang (UU). Metode pendekatan
yuridis normatif dalam penelitian ini adalah meneliti bahan-bahan
kepustakaan seperti buku, jurnal, surat kabar, internet dan bahan
kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini dan juga

10
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1990, hlm. 13.
10

melihat kasus-kasus yang berkembang di masyarakat sebagai bahan


pelengkap.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan
teknik studi pustaka (Library Research). Berupa jurnal, buku, peraturan
perundang-perundangan, internet dan sumber lainnya yang berhubungan
dengan skripsi ini.
3. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan dua jenis sumber data yaitu primer dan skunder:
a. Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan, Al-qur’an, hadits dan wawancara yang
berhubungan dengan skripsi ini.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya berupa buku, kitab, jurnal, surat kabar, dan internet dan
sumber lain yang berhubungan dengan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan penulis
adalah analisis kualitatif untuk menemukan jawaban secara ilmiah.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik dalam penulisan ini, sesuai pedoman penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017.

G. Sistematika Penulisan
Penulis menyusun dan membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab yang
kelimanya memiliki beberapa sub bab agar mempermudah pembaca dalam
memahami isi skripsi ini . Adapun sistematika penulisan dari skripsi ini adalah
sebagai berikut:
11

Bab pertama, yang berjudul pendahuluan, bab ini meliputi latar


belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, review kajian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan
Bab kedua yang berjudul Pandangan Umum Kejahatan Pemalsuan
Merek Dalam Perdagangan Kosmetik, bab ini membahas teori Tindak Pidana
menurut hukum positif dan hukum islam, teori Kejahatan, dan juga teori
Kosmetika.
Bab ketiga yang berjudul Pemalsuan Merek Dalam Perdagangan
Kosmetik Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, bab ini akan membahas
tentang sejarah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, pasal-pasal didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang berhubungan dengan kejahatan perdagangan
kosmetik palsu atau materi didalam skripsi ini, serta pandangan hukum Islam
mengenai kejahatan ini.
Bab keempat yang berjudul Analisis Kejahatan Pemalsuan Merek
dalam Perdagangan Kosmetik yang berisi analisis faktor penyebab terjadinya
kejahatan pemalsuan merek dalam perdagangan kosmetik dan upaya
penanggulangan kejahatan pemalsuan merek dalam perdagangan kosmetik.
Bab kelima adalah Penutup yang merupakan kesimpulan dari
penelitian ini sekaligus saran-saran yang mendukung terkait kasus tindak
pidana kejahatan pemalsuan merek dalam perdagangan kosmetik.
12

BAB II
PANDANGAN UMUM KEJAHATAN PEMALSUAN MEREK DALAM
PERDAGANGAN KOSMETIK

A. Tindak Pidana
1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana di dalam Hukum Pidana Belanda memakai
istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delik yang berasal dari
bahasa latin delictum yang berarti peristiwa pidana, namun Moeljatno
menolak istilah peristiwa pidana karena menurutnya peristiwa adalah
pengertian yang konkrit yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian
yang tertentu saja, misalnya matinya orang.11
Walaupun terdapat perbedaan dalam menggunakan istilah atau
menerjemahkan “strafbaar feit”, akan tetapi pada intinya adalah sama
yaitu merujuk kepada perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman,
yaitu yang biasa disebut dengan istilah tindak pidana, yang dalam
bahasa inggris disebut dengan “delic”.12
Menurut Kansil perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana
atau delik) ialah perbuatan yang melanggar undang-undang dan oleh
karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.13
Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat

11
Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Renika Cipta, 2008), edisi
revisi, cet. Ke-2. h. 27
12
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, cet. Ke-3, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 206
13
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2003), cet. Ke-11, h. 116

12
13

melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang


dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.14
R. Soesilo juga berpendapat bahwa delik adalah suatu
perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang
yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.15
Menurut Hakristuti Hakrisnowo, tindak pidana merupakan
suatu bentuk perilaku tindakan yang membawa konsekuensi sanksi
hukuman pidana pada siapapun yang melakukannya. Oleh karena itu,
tidak sulit dipahami bahwa tindakan semacam ini layaknya dikaitkan
dengan nilai-nilai mendasar yang dipercaya dan dianut oleh suatu
kelompok masyarakat pada suatu perbedaan tempat dan waktu
tertentu. Tidak mengherankan bahwa perbedaan ruang tempat dan
waktu juga akan memberikan perbedaan pada perumusan sejumlah
tindak pidana.16
Sedangkan Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno
berpendapat “straatbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum,
yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan
kesalahan”.17
Dari pengertian-pengertian Strafbaar Feit yang dilakukan oleh
para pakar hukum pidana, diperoleh makna bahwa strafbaar feit sama
dengan delik, sama dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah
lain salinannya. Namun dari segi materi Strafbaar feit terdapat dua (2)
pendapat yakni: ada pendapat yang menyatukan unsur perbuatan dan
unsur tanggung jawab strafbaar feit dalam satu golongan dan pendapat

14
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada), h. 58
15
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus, (Bogor: Politeia), h. 26
16
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pandangan Muhammad Amin Suma, dkk, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), h. 179
17
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 56
14

lain yang memisahkan unsur tanggung jawab straatbaar feit dalam dua
golongan, atau dengan kata lain ada beda pandangan mengenai materi
strafbaar feit sehingga ada garis pemisah antara dua aliran, yaitu:18
1) Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar
Feit sebagai eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in
verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person
(suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah
dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya).
Menurut aliran ini unsur strafbaar feit meliputi unsur-unsur
perbuatan (lazim disebut unsur objektif) yaitu unsur mampu
bertanggung jawab, unsur kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur
tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena menunggalnya unsur
perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa, strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat pemberian
pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi strafbaar
feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana.
2) Aliran Dualisme, antara lain Moelyanto, yang merumuskan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar
larangan tersebut. Menurut aliran ini perbuatan pidana menurut
wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan perbuatan
yang merugikan dalam arti bertentangan dengan menghambat
terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap
baik dan adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan (lazim
disebut golongan subjektif), yang meliputi unsur melawan hukum,
unsur tidak ada alasan pembenar, dan dari si pembuat, (lazim
disebut golongan subjektif) meliputi unsur mampu bertanggung

18
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), Cet. Ke-1, h. 18
15

jawab, unsur kesalahan: sengaja dan atau alpa dan unsur tidak ada
alasan pemaaf.

b. Macam-macam Tindak Pidana


Penggolongan tindak pidana di dalam KUHP terdiri atas
kejahatan dan pelanggaran.
Di dalam teorinya, macam-macam tindak pidana adalah sebagai
berikut:
1) Delik Formil dan Materil
a) Delik formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan
kepada perbuatan yang dilarang.
b) Delik materil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan
kepada akibat yang tidak dikehendaki.19
2) Delik Dolus dan Culpa
Delik dolus adalah delik yang memuat dengan cara
kesengajaan, sedangkan delik culpa adalah delik yang mengatur
unsur kealpaan.20
3) Delik Tunggal dan Berganda
Delik tunggal adalah delik yang dilakukan dengan
perbuatan satu kali. Sedangkan delik berganda adalah delik dengan
melakukan perbuatan dua atau lebih.
4) Delik aduan dan delik murni
Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya bisa
dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak korban. Delik murni
adalah delik yang penentuannya tidak perlu dilakukan pengaduan
dari pihak korban.21

19
R. Soedarto, Ilmu Hukum, (Semarang: UNDIP, 1989), h. 35
20
Wirdjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, (Bulan Bintang, Jakarta.
1993), cet 5, h. 20
21
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet.
Ke-5, h. 50
16

c. Unsur-unsur Tindak Pidana


Unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pengertian strafbaar feit
menurut Moeljatno adalah:22
1) Unsur-unsur formil:
a) Perbuatan (manusia);
b) Perbuatan itu dilarang oleh suatu aturan hukum;
c) Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu;
d) Larangan itu dilanggar manusia.
2) Unsur-unsur materiil:
Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus
betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan
yang tidak boleh atau tak patut dilakukan.
Menurut Simons, unsur- unsur tindak pidana adalah:
1) Unsur subjektif yaitu :
a) Orang yang mampu bertanggung jawab
b) Kesalahan (dolus atau culpa) artinya perbuatan harus
dilakukan dengan kesalahan.
2) Unsur objektif yaitu :
a) Perbuatan orang
b) Akibat yang kelihatan
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu.23

2. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam


a. Pengetian Jarimah
Istilah tindak pidana, didalam hukum pidana islam sendiri ada
dua kata yang cukup mewakili kata tersebut yaitu jinayah dan jarimah.
Jinayah istilah adalah hasil perbuatan seseorang yang terbatas pada

22
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 165
23
Sudarto, Hukum Pidana, (Purwokerto: Universitas Soedirman, 1990), h. 50
17

perbuatan yang dilarang pada umumnya, para fuqaha menggunakan


istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang diancam
keselamatan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Selain itu para
fuqaha memakai istilah tersebut pada pebuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman hudud dan qishash.24
Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-kata jinayah
ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai
(merugikan) jiwa atau harta benda, ataupun lain-lainnya.25
Menururt Al-mawardi sebagaimana yang dikutip oleh Abdul
Qadir Audah, tindak pidana dairtikan sebagai jarimah yaitu perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam oleh Allah Swt.
Dengan hukuman hudud atau ta’zir.26
Jarimah adalah perbuatan yang dilarang syara’ dan pelakunya
diancam oleh Allah Swt. Dengan hukuman had (bentuk tertentu) atau
ta’zir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannnya di delegasikan
syara’ kepada hakim atau penguasa). Yang dimaksud dengan larangan
syara’ adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman
oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan
diancam hukuman oleh syara’ bagi yang meninggalkannya.27
b. Unsur-unsur Jarimah
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah, objek utama kajian fiqh
jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Al-rukn al-syar’I atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan
bahwa bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika
ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan
sanksi kepada pelaku tindak pidana.

24
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 1
25
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet.
Ke-2, h. 9-10
26
Alie, Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam I, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu), h.
87
27
Abdul Aziz Dahlan, et.al., (ed), Jarimah Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,
(jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 806
18

2) Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan


bahwa sesorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti
melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam
melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif dalam
melakukan sesuatu).
3) Al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah
umur, atau sedang brada dibawah ancaman.28
Ahmad Dzajuli dalam bukunya juga menyebutkan bahwa terdapat
beberapa unsur yang harus terdapat dalam suatu tindak pidana sehingga
perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu jarimah menurut
para ulama fiqih. Diantaranya adalah:
1) Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang
disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatannya. Unsur ini
dikenal dengan istilah “unsur formal” (al-rukn al-syar’i).
2) Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa
melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan
yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material”
(al-rukn al-maddi).
3) Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab atau
dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah
mukalaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang
mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan isltilah “unsur moral”.29
Suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah jarimah
apabila tidak mengandung tiga unsur tersebut. Disamping ketiga unsur di
atas, setiap jarimah (tindak pidana) mempunyai unsur khusus atau
tersendiri pula yang antara satu bentuk tindak pidana dan tindak pidana
lainnya berbeda-beda. Misalnya, dalam tindak pidana perzinahan, unsur
senggama dalam pengertian sebenarnya harus terpenuhi. Dalam tindak

28
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm. 2-3
29
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h.3
19

pidana pencurian, barang yang dicuri itu mencapai satu nisab dan barang
yang dicuri diambil dari tempatnya secara diam-diam.30
c. Macam-macam Jarimah
Terdapat beberapa macam jarimah di dalam hukum islam, diantaranya:
1) Jarimah Qishash:
Qishash secara bahasa berarti sama rata, sepadan. Kata ini
diambil dari qashsh yang artinya pemotongan, atau dari kata
iqtishash al-atsar (mengikuti jejak). Definisi kisas secara istilah yaitu
menindak pelaku kejahatan; pembunuhan, pemotongan anggota
tubuh, atau melukai anggota tubuh, dengan hal yang sepadan.31
Jarimah kisas terbagi menjadi dua, yakni karena melakukan
pembunuhan dan penganiayaan.
2) Jarimah hudud:
Menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas
perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan
ukurannya didalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak
Allah maupun merugikan hak manusia.32
Jarimah hudud terbagi menjadi tujuh bagian, yaitu: jarimah zina,
jarimah Qadzf (menuduh muslimah baik-baik berbuat zina), Syurb al-
khamr (meminum minuman keras), Al-baghyu (pemberontakan), Al-
riddah (murtad), Al-sariqah (pencurian), Al-hirabah (perampokan).33
3) Jarimah ta’zir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas
diatur oleh Alqur’an dan hadis. Aturan teknis, jenis, dan
pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini
sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan kejahatan yang
dilakukan akibat godaan setan dalam diri manusia.34

30
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, h.3
31
Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’I Al-Muyassar, (Beirut: Darul fikr, 2008), h.
155
32
Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’I Al-Muyassar, hlm. 259
33
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 3
34
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 4.
20

B. Kesalahan
1. Pengertian Kesalahan
Kesalahan dalam bahasa Belanda disebut dengan “schuld” juga
merupakan unsur utama, yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
pelaku terhadap perbuatannya, termasuk perbuatan pidana atau tindak
pidana/delik.35
Berikut beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang
kesalahan (schuld) yang pada hakikatnya adalah pertanggung jawaban
pidana.
Menurut Simons, kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis
tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yng
sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan
perbuatan tadi. Berdasarkan pedapat ini dapat disimpulkan adanya dua hal
di samping melakukan tindak pidana, yaitu:36
1) Keadaan psikis tertentu;
2) Hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang
dilakukan hingga menimbulkan celaan.
Menurut Moeljanto, orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan,
jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan
yang merugikan masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna
(jelek) perbuatan tersebut. Dan karenanya dapat dan bahkan harus
menghindari untuk berbuat demikian. Tentunya perbuatan tersebut
memang sengaja dilakukan, dan celaannya berupa: mengapa melakukan
perbuatan, sedangkan dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan
masyarakat. Kecuali itu, orang dapat dicela karena melakukan perbuatan
pidana, meskipuntak sengaja, tetapi dengan alpa atau lalai terhadap

35
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 77
36
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, h. 79
21

kewajiban yang oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya)


dijalankan olehnya.37

2. Unsur-Unsur Kesalahan
Roeslan Saleh di dalam bukunya Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) unsur
kesalahan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya,
karena yang satu tergantung pada yang lain berturut-turut. Unsur-unsur
tersebut diantaranya:
1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti
jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal;
2) Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perubuatannya, baik
yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa);
3) Tidak adanya pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.

3. Macam-Macam Kesalahan
Dalam ilmu hukum pidana, terdapat 2 (dua) bentuk kesalahan,
yakni kesengajaan dan kealpaan:
a. Kesengajaan (dolus)
Kesengajaan adalah “willens en watens” yang artinya adalah
”menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui” atau seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang
mungkin akan terjadi karena perbuatannya.38
Kesengajaan memiliki beberapa corak, diantaranya:
1) Kesengajaan Sebagai Maksud (Dolus Directus)
Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu
perbuatan pelaku memang dikehendaki dan ia juga menghendaki
atau membayangkan akibatnya yang dilarang.

37
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, hlm. 80
38
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, hlm. 95
22

2) Kesengajaan dengan Sadar Kepastian


Corak kesengajaan dengan sadar kepastian bersandar kepada
akibatnya. Akibat itu dapat merupakan delik tersendiri ataupun
tidak. Tetapi akibat tersebut ada akibat lain yang tidak dikehendaki
yang pasti akan terjadi.
3) Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (Dolus Eventualis)
Corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan ini kadang-kadang
disebut sebagai “kesengajaan dengan syarat” atau dolus eventualis.
Pelaku berbuat dengan menghendaki/membayangkan akibat
tertentu-sampai di sini hal itu merupakan kesengajaan sebagai
maksud-tetapi di samping itu mungkin sekali terjadi akibat lain
yang dilarang yang tidak dikehendaki atau dibayangkan.
b. Kealpaan (culpa)
Mengenai kealpaan, hanya sekedar dijelaskan bahwa kealpaan
atau culpa adalah “kebalikan dari dolus di satu pihak dan kebalikan
dari kebetulan di pihak lain”. Keterangan resmi pembentuk KUHP
mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam dengan pidana,
walaupun lebih ringan, adalah bahwa berbeda dengan kesengajaan atau
dolus yang sifatnya “menentang larangan justru dengan melakukan
perbuatan yang dilarang”. Dalam hal kealpaan atau culpa si pelaku
“tidak begitu mengindahkan adanya larangan”.39

C. Kejahatan
1. Pengertian Kejahatan
Kejahatan adalah suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam
melanggar hukum pidana (hukum yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi), dilakukan bukan untuk

39
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, h. 107
23

pembelaan diri dan tanpa pembenaran, dan ditetapkan oleh Negara sebagai
kejahatan serius (felony) atau kejahatan ringan (misdemeanor).40
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.41
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk
menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan
demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat.pengertian tersebut
bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat
relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu.
Jadi, apa yag disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh
pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua
anggota dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.42

2. Unsur-Unsur Kejahatan
Unsur-unsur kejahatan, diantaranya:
1) Harus ada sesuatu perbuatan manusia
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam
ketentuan pidana.
3) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.
4) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman di dalam
undang-undang.

3. Macam-macam Kejahatan
1) White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih)
Kejahatan ini mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh
orang yang terpandang atau berstatus tinggi dalam hal pekerjaannya.

40
Frank E.Hagan, Pengantar Kriminologi, (Jakarta: Kencana, 2013), Edisi Ketujuh,
h.15
41
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta-Bandung:
Eresco, 1981), cetakan ke-3, h.50
42
Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas), (Bandung: Armco, 1984), h. 58
24

Contohnya penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan,


manipulasi data keuangan sebuah perusahaan (korupsi), dan lain
sebagainya.
2) Crime Without Victim (Kejahatan Tanpa Korban)
Kejahatan tidak menimbulkan penderitaan pada korban secara
langsung akibat tindak pidana yang dilakukan. Contohnya berjudi,
mabuk, dan hubungan seks yang tidak sah tetapi dilakukan secara
sukarela.
3) Organized Crime (Kejahatan Terorganisir)
Kejahatan ini dilakukan secara terorganisir dan
berkesinambungan dengan menggunakan berbagai cara untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan (biasaya lebih ke materiil)
dengan jalan menghindari hukum. Contohnya penyedia jasa pelacuran,
penadah barang curian, perdagangan perempuan ke luar negeri untuk
komoditas seksual, dan lain sebagainya.
4) Corporate Crime (Kejahatan Korporasi)
Kejahatan ini dilakukan atas nama organisasi formal dengan
tujuan menaikkan keuntungan dan menekan kerugian. Lebih lanjut
Light, Keller, dan Callhoun membagi tipe kejahatan korporasi ini
menjadi empat, yaitu kejahatan terhadap konsumen, kejahatan terhadap
publik, kejahatan terhadap pemilik perusahaan, dan kejahatan terhadap
karyawan.

D. Pemalsuan
1. Pengertian Pemalsuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemalsuan menurut bahasa
berarti proses, perbuatan atau cara memalsukan.43
Kejahatan mengenai pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya
mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu

43
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 639.
25

(obyek), yang sesuatu itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya
padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.44

2. Macam-Macam Pemalsuan
a) Sumpah palsu
Sumpah palsu diatur dalam pasal 242 KUHP. Keterangan di
bawah sumpah dapat diberikan dengan lisan atau tulisan. Keterangan
dengan lisan berarti bahwa seseorang mengucapkan keterangan
dimuka seorang pejabat dengan disertai sumpah, memohon kesaksian
Tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang
saksi di dalam siding pengadilan.45
Adapun unsur-unsur sumpah palsu, diantaranya:46
1) Suatu ketentuan undang-undang yang menghendaki suatu
keterangan di bawah sumpah atau yang mempunyai akibat-akibat
hukum;
2) Pemberian keterangan palsu dan kesengajaannya ditujukan kepada
kepalsuannya itu.
b) Pemalsuan mata uang dan uang kertas
Pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244
KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun bagi siapapun yang meniru atau memalsu mata uang dan uang
kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas
itu sebagai asli dan tidak palsu.47
Selain memalsukan uang, mengedarkannya juga diancam
dengan ancaman pidana yang sama sebagaimana tertera dalam Pasal

44
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001)
45
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:
PT.Refika Aditama, 2008), h. 174
46
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), h.
144
47
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, h. 145
26

245 KUHP bahwa, barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata


uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank
sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padalah
ditiru atau dipalsu olehnya sendiri atau waktu diterima diketahuinya
bahwa tidak asli atau palsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau
memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian,
dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan
sebagai uang asli atau tidak palsu, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.48
c) Pemalsuan materai
Materai memiliki arti penting dalam masyarakat, yaitu dengan
adanya materai maka surat yang diberi materai yang ditentukan oleh
UU menjadi suatu surat yang sah, artinya tanpa materai berbagai surat
keterangan, misalnya surat kuasa, tidak dapat diterima sebagai
pemberian kuasa yang sah. Demikian juga dalam pemeriksaan perkara
dimuka pengadilan, surat-surat baru dapat dipergunakan berbagai alat
pembuktian apabila dibubuhi materai yang ditentukan oleh UU.49
Kejahatan pemalsuan materai diatur dalam Pasal 253 KUHP
bahwa, barangsiapa meniru atau memalsu materai yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Indonesia, atau jika diperlukan tanda tangan untuk
sahnya materai itu, barang siapa meniru atau memalsu tanda tangan,
dengan maksud untuk memakai dan menyuruh orng lain memakai
materai itu sebagai materai yang asli dan tidak palsu atau yang sah
diancam dngan pidana penjara paling lama tujuh tahun.50

48
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, h. 146
49
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, h. 182
50
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP, h. 148
27

d) Pemalsuan cap (merek)


Tindak pemalsuan cap atau merek dibagi berbagai macam:51
1) Pemalsuan cap Negara
Pasal 254 ke-1 memuat tindak pidana berupa mengecap
barang-barang itu dengan stempel palsu atau memalsukan cap asli
yang sudah ada pada barang-barang itu dengan tujuan untuk
memakai atau menyuruh memakai oleh orang lain barang-barang
itu seolah-olah cap yang ada pada barang-barang itu adalah asli dan
tidak palsu. Pasal 254 ke-2 memuat tindak pidana seperti pasal 253
ke-2, yaitu secara melanggar hukum mengecap barang-barang
emas atau perak tadi dengan stempel yang asli.
Jadi, yang berwenang menggunakan stempel yang asli tadi
adalah orang lain bukan pelaku tindak pidana ini, atau pelaku yang
pada umumnya berwenang, tetapi in casu mengecap barang-barang
itu secara menyeleweng, tidak menurut semestinya, misalnya
barang-barang itu seharusnya tidak boleh diberi cap-cap itu karena
kurang kemurniannya. Pasal 254 ke-3 mengenai barang-barang
emas dan perak yang sudah diberi cap Negara atau cap orang-orang
ahli dengan semestinya, tetapi ada seseorang dengan
mempergunakan stempel asli mengecap, menambahkan, atau
memindahkan cap itu kebarang-barang lain (dari emas dan perak)
dengan tujuan memakai atau menyuruh memakai oleh orang lain,
barang-barang itu, seolah-olah barang itu sudah sejak semula dan
dengan semestinya diberi cap-cap tadi. Ketiga tindak pidana diatas
diancam hukuman maksimum penjara enam tahun.
2) Pemalsuan cap tera
Pasal 255 memuat tindak-tindak pidana seperti pasal 254,
tetapi mengenai cap tera yang diwajibkan atau diadakan atas
permohonan orang-orang yang berkepentingan pada barang-barang
tertentu, misalnya alat-alat untuk menimbang atau

51
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, h. 183-184
28

mengukur.Hukumannya lebih ringan lagi, yaitu maksimum empat


tahun penjara.
3) Pemalsuan cap-cap pada barang-barang atau alat-alat pembungkus
barang-barang itu
Pasal 256 memuat tindak-tindak pidana seperti pasal 254,
tetapi mengenai cap-cap lin daripada cap negara atau cap orang
ahli atau cap tera yang menurut peraturan undang-undang harus
atau dapat diadakan pada barang-barang tertentu. Hukumannya
diringankan lagi sampai maksimum hukuman penjara tiga tahun.
e) Pemalsuan surat
Pemalsuan surat diatur didalam Pasal 263 KHUP yang berbunyi:
1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang,
atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan
surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

E. Kosmetika
1. Pengertian Kosmetik
Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk
digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir
dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut
terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan
29

atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik.52
Kosmetik berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti
“berhias”.53 Sejak semula kosmetika merupakan salah satu segi ilmu
pengobatan atau ilmu kesehatan, sehingga para pakar kosmetika dahulu
adalah juga pakar kesehatan; seperti para tabib, dukun, bahkan penasihat
keluarga istana. Oleh karean itu tidak mengherankan bila antara kosmetika
dan obat sejak dahulu sampai sekarang pun sangat sukar untuk ditarik
garis batasnya.54
Kadang-kadang kosmetika dicampur dengan bahan-bahan yang
berasal dari obat topikal yang dapat mempengaruhi struktur dan faal sel
kulit. Bahan-bahan tersebut, missal: anti jerawat (sulfur,resorsin) antijasad
renik (heksaklorofen), anti pengeluaran keringat (alumunium klorida),
plasenta, atau hormone (estrogen). Bahan-bahan inilah yang kemudian
dikenal sebagai kosmedik atau kosmeto-medik.55

2. Manfaat Kosmetik
Pemakaian kosmetik yang tepat dapat mendatangkan berbagai
manfaat bagi kesehatan dan kecantikan kulit, diantaranya:
a. Pemeliharaan dan Perawatan Kulit
Pemeliharaan berarti usaha pencegahan terhadap timbulnya kelainan-
kelainan atau penyebab dari kelainan tersebut. Usaha perawatan berarti
mempertahankan keadaan yang sekarang baik agar tidak berubah
menjadi buruk. Kosmetik pemeliharaan dan perawatan terdiri atas:56

52
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika.
53
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, (Jakarta: UI Press, 1997)
h. 26
54
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, h. 26
55
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, h. 27
56
Syarif M. Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, h. 63
30

1) Pembersih
Kulit harus dibersihkan karena sebagai organ tubuh yang
berada paling luar (pembungkus), kulit terpapar pada setiap unsur
yang ada dilingkungan luar yag dapat merusak kulit, misalnya
debu, sinar matahari, suhu panas atau dingin, rudapaksa mekanis,
atau zat kimia yang menempel pada kulit. Selain itu kulit juga
mengeluarkan bahan sisa metabolism tubuh seperti keringat dan
minyak kulit. Kotoran yang menempel pada kulit ini perlu
dibersihkan agar kulit tetap sehat dan mampu melakukan fungsinya
dengan baik. Kosmetik dapat melakukan fungsi pembersih kulit ini
dengan baik.
2) Pelembab
Pada kuit kering yang terjadi pada keadaan kelembaban
udara sangat rendah, penguapan air dari kulit sangat tinggi, kulit
orang tua, atau kelainan kulit tertentu yang menyebabkan kulit
menjadi kering dan kasar, kosmetik pelembab dapat mengurangi
kekeringan kulit dan mengurangi penguapan kulit dengan cara
menutupinya.
3) Pelindung
Pada keadaan tertentu, kulit memerlukan perlindungan
tambahan. Pertama, pada polusi yang bersifat iritan sangat kuat.
Kedua, pada paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultra
violet secara langsung dan lama, perlindungan kulit dapar
dilakukan dengan menggunakan kosmetik tabir surya.
4) Penipisan Kulit
Penipisan kulit kadang-kadang perlu dilakukan pada
keadaan kulit menebal dan agak kasar, misalnya, pada gangguan
keratinisasi kulit, pada keadaan kulit kotor dan berbinyak sehingga
lapisan tanduk tidak mudah terlepas, atau pada tempat terjadi
gesekan kulit sehingga keratinisasi kulit bertambah cepat.
31

Penipisan kulit dapat dilakukan oleh penipis yang biasanya


mengandung zat dengan partikel kasar.

b. Rias dan Dekoratif


Kosmetika rias bermanfaat untuk memperbaiki penampilan
sesorang. Kulit yang hitam dapat dirias menjadi lebih putih, kulit yang
terlalu terang dapat dirias menjadi agak gelap. Kulit yang belang atau
cacat dapat ditutup, kulit yang bolong-bolong dapat didempul, hidung
yang pesek dapat dipoles agar kelihatan mancung, mata yang sipit dapat
diukir agar terlihat lebih lebar. Semua itu untuk penampilan yang sangat
berarti bagi seorang wanita apalagi bagi artis, peragawati, public
relation, atau penyiar radio atau TV.
c. Wangi-wangian (Parfum)
Parfum diperlukan untuk menambah penampilan dan menutupi
bau badan yang mungkin kurang sedap untuk orang lain.
d. Kosmetik Medik
Untuk menambah kegunaan kosmetika dibuatlah berbagai
kosmetik yang mengandung zat yang dapat bekerja lebih dalam dan
biasa digunakan sebagai obat, misalnya sulfur, heksaklorofen, hormon,
merkuri.

3. Jenis-jenis Kosmetik
a. Jenis Kosmetik Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI, kosmetik dibedakan atas
13 (tiga belas) jenis, yaitu:
1) Kosmetik bayi
Kosmetik yang termasuk kategori ini contohnya adalah minyak
bayi, bedak bayi, sampo bayi, dan lain-lain. Kosmetik ini dirancang
dengan forula khusus yang aman bagi kulit bayi yang sensitif.
32

2) Kosmetik untuk mandi


Kosmetik ini berfungsi untuk membersihkan dan mengangkat sel-
sel kulit mati saat mandi. Contohnya, sabun, lulur mandi, shower
gel, dan lain-lain.
3) Kosmetik untuk mata
Kosmetik ini meliputi berbagai macam kosmetik yang digunakan
untuk memperindah mata, contohnya maskara, eye shadow, eye
liner, dan lain-lain.
4) Kosmetik wangi-wangian
Kosmetik yang termasuk dalam kelompok ini adalah berbagai jenis
parfum, cologne, dan body mist.
5) Kosmetik untuk rambut
Kosmetik rambut adalah berbagai jenis kosmetik yang berfungsi
untuk membersihkan, melindungi, dan menjaga kehatan rambut,
contohnya sampo, conditioner, hair spray, dan sebagainya.
6) Kosmetik untuk pewarna rambut
Salah satu kosmetik yang termasuk dalam kelompok ini adalah cat
rambut.
7) Kosmetik untuk make up (kecuali mata)
Kelompok ini meliputi berbagai macam produk kosmetik yang
berfungsi mempertegas kecantikan dan menutupi
ketidaksempurnaan pada wajah, contohnya bedak, foundation, lip
stick, perona pipi, lip gloss, dan sebagainya.
8) Kosmetik untuk kebersihan mulut
Kosmetik kelompok ini adalah pasta gigi, obat kumur, dan
sejenisnya.
9) Kosmetik untuk kebersihan badan
Yaitu kosmetik yang berfungsi untuk menjaga kebersihan badan
seperti deodorant, lulur, body cream, dan sebagainya.
10) Kosmetik untuk kuku
Contoh kosmetik ini adalah kutek, lotion kuku, dan sebagainya.
33

11) Kosmetik untuk perawatan kulit


Yaitu jenis kosmetik yang berfungsi untuk merawat dan
melindungi kesehatan kulit, yang termasuk dalam kelompok ini,
yaitu pembersih, pelembab, penyegar, dan lain-lain.
12) Kosmetik untuk cukur
Kosmetik ini biasanya digunakan oleh kaum laki-laki untuk
membersihkan rambut yang tumbuh di wajah, contohnya sabun
cukur dan after shave cologne.
13) Kosmetik untuk perlindungan dari sinar UV
Yaitu kosmetik yang berfungsi melindungi kulit dari radiasi sinar
ultra violet, contohnya sun screen (tabir surya).57
b. Jenis Kosmetik Menurut Sifat dan Cara Pembuatannya
Berdasarkan sifat dan cara pembuatannya, kosmetik dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu:
1) Kosmetik modern
Kosmetik modern yaitu jenis kosmetik yang diramu dari bahan-
bahan kimia, lalu diolah dengan cara modern. Kosmetik yang
banyak ditemui dipasaran, toko farmasi, supermarket, dan salon-
salon kecantikan saat ini adalah jenis kosmetik modern. Diantara
kosmetik yang termasuk pada jenis ini adalah kosmetik medic
(cosmedics).
2) Kosmetik tradisional
Kosmetik tradisional dibedakan lagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
a) Murni tradisional
Kosmetik yang benar-benar dibuat dari bahan alami dan diolah
menururt resep dan cara yang dikenal secara turun-temurun.
Kosmetik yang termasuk dalam jenis ini adalah mangir dan
lulur.

57
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 134-136
34

b) Semi tradisional
Kosmetik yang resepnya diambil dari resep nenek moyang,
bahan yang digunakan adalah bahan-bahan alami, namun diolah
dengan cara-cara yang lebih modern. Kosmetik tersebut
dikemas secara modern dan diberi bahan pengawet.
c) Hanya menempel nama yang tradisional. Sementara komponen
yang digunakan sudah tidak benar-benar tradisional lagi.58
c. Jenis Kosmetik Menurut Kegunaannya Bagi Kulit
Berdasarkan kegunaannya bagi kulit, kosmetik dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Kosmetik Perawatan (skin care cosmetics)
Kosmetik jenis ini berfungsi untuk membersihkan dan merawat
kulit dari faktor lingkungan yang dapat merusak kebersihan dan
kemulusannya, yang termasuk dalam kenis kosmetik ini adalah:
a) Cleanser
Kosmetik yang berfungsi untuk membersihkan kulit. Misalnya
sabun, cleansing cream, cleansing milk, toner, dan sebagainya.
b) Moisturaizer
Kosmetik yang berfungsi untuk melembabkan kulit. Misalnya
moisturizing cream, night cream, dan sebagainya.
c) Kosmetik untuk melindungi kulit. Misalnya sun screen cream,
sun screen foundation, dan sun block cream.
d) Peeling
Kosmetik yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan sel
kulit baru dan mengangkat sel-sel kulit mati, sehingga kulit
tampak lebih cerah. Misalnya scrub cream berupa butiran
halus.

58
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, hlm. 136
35

2) Kosmetik Riasan (make up)


Kosmetik jenis ini adalah kosmeti yang paling popular di
masyarakat. Kosmetik ini diperlukan untuk merias dan menutupi
ketidaksempurnaan pada kulit, sehingga penampilan jadi lebih
menarik. Kosmetik riasan menjadi sesuatu yang banyak dibutuhkan
manusia dewasa ini. Mengingat ia memberikan efek psikologis
yang positif bagi penggunaannya seperti meningkatkan rasa
percaya diri.59

59
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, h. 137
36

BAB III
PEMALSUAN MEREK DALAM PERDAGANGAN KOSMETIK
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Sejarah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan


indikasi Geografis
Peraturan akan perlindungan hukum terhadap merek di Indonesia telah
ada sejak masa kolonial Belanda yaitu Reglement Industriele Eigendom (RIE)
yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 Jo. Stb. 1913 No.214. Setelah Indonesia
merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku, berdasarkan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan tersebut masih terus berlaku, hingga
akhirnya diganti pada tahun 1961 yaitu dengan Undang-Undang No.21 Tahun
1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan pada tanggal 11
Oktober 1961 yang dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 290 dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No.2341 yang
mulai berlaku pada bulan November 1961.60
Undang-undang Merek tahun 1961 ini ternyata mampu bertahan
selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian undang-undang ini dengan
berbagai pertimbangan harus dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang
No. 19 Tahun 1992 tentang “Merek” yang diundangkan dalam Lembaran
Negara RI. Tahun 1992 No. 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara No. 3490, pada tanggal 28 Agustus 1992. Undang-Undang
tersebut berlaku sejak 1 April 1993.61
Adapun alasan dicabutnya UU Merek Tahun 1961 itu adalah karena
UU Merek No. 21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Memang jika dilihat UU
Merek Tahun 1992 ini ternyata memang banyak mengalami perubahan-
perubahan yang sangat berarti jika disbanding dengan UU Merek No. 21

60
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 331
61
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 332

36
37

Tahun 1961. Antara lain adalah mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek
kolektif, dan sebagainya.62
Alasan lain dapat juga kita lihat dalam penjelasan Undang-Undang
Merek Tahun 1992 yang antara lain mengatakan:
Pertama, materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 bertolak dari
konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II. Sebagai
akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma
dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1961 tertinggal jauh. Hal ini semakin terasa pada
saat komunikasi semakin maju dan pola perdagangan antar bangsa sudah tidak
lagi terikat pada batas-batas Negara. Keadaan ini menimbulkan saling
ketergantungan anatar bangsa baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun
kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia
sebagai pasar bagi produk-produk.63
Kedua, perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah
menimbulkan persoalan baru yang memerlukan antisipasi yang harus diatur
dalam undang-undang ini.64
Selanjutnya tahun 1997 UU Merek Tahun 1992 tersebut juga
diperbaharui lagi dengan UU No. 14 Tahun 1997. Kemudian pada tahun 2001
UU Tahun 1997 tentang “Merek” diganti dengan UU Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek. Saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagai Undang-Undang terbaru yang
mengatur persoalan merek di Indonesia.
Definisi merek berdasarkan perspektif hukum yang disepakati secara
internasional adalah: “tanda atau serangkaian tanda yang menyatakan asal
produk atau jasa dan membedakannya dari para pesaing” (Kapferer, 2008).65

62
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 332
63
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 332-333
64
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), h. 333
38

Menurut Iur Soeryatin suatu merek dipergunakan untuk membedakan


barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya oleh karena itu, barang
yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama,
jaminan terhadap mutunya.66
Menurut M. Hadjon, perlindungan hukum merupakan perlindungan
harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki
oleh subyek hukum dalam Negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku di Negara tersebut guna mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk
suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan
mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang
melanggarnya.67
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa, Merek adalah tanda yang
dapat ditampilkan secara gratis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara,
hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan
hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Bentuk-bentuk merek yang dapat dipergunakan oleh seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum adalah:68
a. Berupa gambar/lukisan. Bentuk ini harus bisa membedakan dalam wujud
gambar atau lukisan antara barang yang satu dengan barang yang
diproduksi oleh perusahaan lain. Contoh, Cat Kuda Terbang. Gambar kuda
terbang tersebut misalnya harus punya sayap yang menunjukkan kuda

65
Casavera, 8 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009), h. 8.
66
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h. 84.
67
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1987), h. 205.
68
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia,(Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 219
39

tersebut terbang sehingga dapat membedakannya dengan cat/barang lain


yang bermerek Kuda.
b. Merek perkataan. Misalnya, Rexona, Tancho, Bodrek, dan sebagainya.
c. Huruf atau angka. Misalnya, Sirup ABC, Minyak Rambut 4711.
d. Merek kombinasi. Misalnya, kombinasi nama dengan gambar, Jamu
Nyonya Meneer.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis ini, ada
beberapa jenis merek yang dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 2, 3, dan 4,
sebagai berikut:
a. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.
b. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
c. Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa
dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dn mutu
barang atau jasa serta pengawasannya yakan diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barangdan/atau jasa sejenis lainnya.
Undang-Undang ini juga mengatur mengenai syarat dan tata cara
pendaftaran merek bagi para pelaku usaha yang ingin mendaftarkan merek
dari produknya, yakni terdapat dalam Pasal 4, 5, 6, 7, dan 8 Undang-Undang
Merek dan Indikasi Geografis.
Pendaftaran Merek merupakan hal yang penting untuk dilakukan bagi
pelaku usaha demi mempertahankan hak-haknya terhadap Merek dari
Produknya. Fungsi pendaftaran merek, diantaranya :
a. Sebagai alat bukti kepemilikan hak atas merek yang didaftarkan.
40

b. Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama pada keseluruhannya


atau sama pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang lain
untuk barang dan jasa sejenisnya.
c. Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama pada
keseluruhannya atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang
dan jasa sejenisnya.
Fungsi pendaftaran merek di atas menunjukkan hak eksklusif yang
timbul karena adanya pendaftaran merek. Hak eksklusif penggunaan merek
tersebut berfungsi seperti suatu monopoli, hanya berlaku untuk barang atau
jasa tertentu. Oleh karena suatu merek memberi hak eksklusif pada yang
bersangkutan, maka hak itu dapat dipertahankan terhadap siapa pun.69
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis ini mengatur ketentuan pidana bagi pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap merek. Dalam Pasal 100 ayat (1) disebutkan bahwa,
setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda palig
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).70

B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen disahkan pada tanggal 20 April 1999. Konsumen yang
dimaksudkan dalam bagian ini adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk
kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk
memproduksi barang atau jasa lain atau memperdagangkannya kembali.71

69
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedilah, Hak Milik Intelektual,(Jakarta: Citra
Aditya Abadi, 1997), h. 232
70
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
71
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 269
41

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk


menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen itu sendiri.72 Hal ini dikarenakan hak-hak konsumen
seringkali diabaikan bahkan dilanggar oleh pelaku usaha yang masih
menganggap konsumen sebagai pihak yang lemah.
Undang-undang tentang Perlindungan Komsumen ini memiliki asas
dan tujuan tertentu dalam pembuatannya. Dalam pasal 2 UU No.8 Tahun 1999
yang berbunyi “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”
penjelasan dari kelima asas tersebut adalah sebagai berikut:73
a. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
b. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
anatara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

72
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2006), h. 9
73
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h. 25-26
42

menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin


kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagi manjadi 3 (tiga) asas, yaitu
a. Asas kemanfaatan, yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan kosnumen,
b. Asas keadilan, yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
c. Asas kepastian hukum.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas-asas
tersebut menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-
undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan
gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat didalamnya.
Tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ini disebutkan dalam Pasal 3 yang berbunyi,
“Perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
kemampuan konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat konsumen
dengan menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang atau jasa,
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan kesadaran
pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha dan meningkatkan
kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.” Tujuan
dari dibentuknya Undang-Undang ini merupakan sasaran yang harus dicapai
dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Perkembangan dunia industri dan perdagangan menghasilkan berbagai


macam barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Di tambah lagi dengan
globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi
semakin memperluas ruang gerak jual-beli barang dan jasa. Di satu sisi, hal
43

ini bermanfaat bagi konsumen karena konsumen dapat semakin bebas dan
mudah dalam memilih dan membeli barang/jasa yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan mereka. Namun, di sisi lain hal tersebut dapat
menempatkan konsumen di posisi yang lemah dan menjadi objek dari
aktivitas bisnis demi mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya oleh
pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan
perjanjian baku yang merugikan konsumen. Untuk itu perlu adanya peraturan
yang menjamin hak-hak kosumen agar konsumen tidak menjadi objek yang
lemah dalam dunia perdagangan barang dan jasa. Seperti yang telah
tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Hak konsumen, adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.74

74
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
44

Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak


konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah
maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan
melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek.
Selain mengatur masalah konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 juga mengatur mengenai pelaku usaha, yaitu di dalam Bab IV mengenai
peruatan yang dilarang bagi pelaku usaha, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan:
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di persyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, tindakan, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagimana
pernyataan "halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
45

tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha


serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/ dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.75
Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8 diatas, dapat
dijerat dengan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang berbunyi, pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal
17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

C. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Mengenai


Kejahatan Pemalsuan Merek Dalam Perdagangan Kosmetik
Kosmetik merupakan bagian dari sediaan farmasi, untuk itu pembuatan
hingga pengedarannya harus sesuai standar dan mematuhi berbagai peraturan
yang berlaku. Salah satu peraturan yang mengatur mengenai permasalahan
kosmetik adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
yang menggolongkan kosmetik ke dalam golongan sediaan farmasi yang
peredarannya harus memenuhi standar keamanan tertentu.
Pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa ayat (1) “sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.” Kemudian ayat (2)
menyebutkan, “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan
mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.” Selanjutnya ayat (3)
menyebutkan, “ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi

75
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
46

standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan


Pemerintah.” Dan ayat (4) menyebutkan, “pemerintah berkewajiban membina,
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi,
dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga
mengatur mengenai sanksi pidana bagi siapa pun yang melanggar pasal 98.
Aturan tersebut disebutkan di dalam Pasal 196 yang berbunyi “setiap orang
yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Selain Pasal yang telah disebutkan diatas, Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengatur mengenai sediaan farmasi dan
juga sanksi pidana bagi yang melanggar, yakni di dalam Pasal 106 dan Pasal
197.
Pasal 106:
1. Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
mendapat izin edar.
2. Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak
menyesatkan.
3. Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan
dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh
izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan dan/atau
keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 197:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
47

Kosmetik merupakan serangkaian produk yang digunakan oleh


manusia secara terus-menerus untuk jangka waktu yang panjang. Oleh karena
itu, keamanan dari setiap produk kosmetik yang digunakan merupakan hal
yang paling utama harus diperhatikan oleh masyarakat sebagai konsumen
sebelum membeli sebuah produk kosmetik. Aman disini berarti sesuai dengan
kebutuhan dan jenis kulit konsumen dan juga tidak mengandung bahan-bahan
yang berbahaya.
Bahan berbahaya adalah bahan-bahan aktif yang menimbulkan reaksi
negatif dan berbahaya bagi kesehatan kulit khususnya dan tubuh umumnya
ketika diaplikasikan, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.76
Berikut adalah daftar bahan-bahan yang berbahaya dalam kosmetik
dan berbagai akibat negatif dari penggunaannya:
1. Merkuri (Hg)/air raksa
Merkuri pernah direkomendasikan sebagai salah satu bahan
pemutih kulit, karena merkuri diketahui berpotensi sebagai bahan
pereduksi (pemucat) warna kulit. Kemudian, ditemukan fakta bahwa
merkuri bersifat toksik (racun). Pengaruh kosmetik berbahan merkuri
yang dioleskan pada kulit, bahkan bisa meracuni ginjal dan merusak
jaringan saraf. Adapun reaksi negatif yang terlihat pada penggunaan
merkuri adalah:
a. Irtasi (kemerahan dan pembengkakan kulit).
b. Alergi, gejala tampak berupa perubahan warna kulit menjadi keabu-
abuan hingga kehitam-hitaman setempat dan tidak merata.
c. Kulit menjadi sangat sensitive terhadap sinar matahari, kosmetik
berwarna, dan bau parfum.
d. Terkadang bisa juga memicu tumbuhnya jerawat.
e. Menyebabkan kerusakan permanen pada otak, kulit, susunan saraf,
ginjal, serat gangguan perkembangan janin dalam Rahim pada
pemakaian jangka panjang.

76
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 38
48

f. Penggunaan merkuri dalam dosis tinggi pada jangka pendek dapat


menyebabkan penggunanya mengalami kerusakan ginjal, diare, dan
muntah-muntah.
2. Hidrokinon
Hidrokinon dalam kulit menghambat kerja enzim tirosinose dalam
memproduksi melanin. Melanin adalah pigmen penentu warna kulit (putih
atau tidaknya). Semakin gelap pigmen kulit seseorang, maka kadar
melanin dalam kulitnya semakin tinggi. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada awalnya hidrokinon memang efektif
menghilangkan flek hitam atau warna tidak merata pada kulit melalui
mekanisme kerja tersebut. Namun, pada jangka panjang penggunaan
hidrokinon ini dampaknya menghancurkan produksi melanin. Rusaknya
melanin menyebabkan kulit kehilangan fungsinya sebagai pelindung kulit
dari radiasi sinar matahari dan pengaruh eksternal lainnya. Reaksi negatif
yang ditimbulkan oleh penggunaan hidrokinon di atas ambang toleransi,
antara lain:
 Iritasi kulit
 Kulit menjadi merah dan terasa panas seperti terbakar
 Black spot (bercak-bercak hitam)
 Pada penggunaan jangka panjang, hidrokinon dapat menyebabkan
kelainan pada ginjal, kanker darah, dan kanker sel hati.
3. Asam retinoat/tretinoin/retinoic acid
Asam retinoat adalah bentuk aktif dari vitamin A. Asam retinoat
banyak ditemukan pada produk kosmetik, terutama produk anti-acne dan
produk pemutih wajah. Seperti bahan pemutih lain, asam retinoat bekerja
menghambat pembentukan melanin pada kulit. Berkurangnya produksi
melanian pada kulit menyebabkan pigmen kulit menjadi lebih terang.
Reaksi negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan asam retinoat:
a. Kulit menjadi kering
b. Rasa terbakar
c. Teratogenik (cacat pada janin).
49

4. Bahan pewarna merah K.3 (CI 15585), merah K.10 (Rhodamin B), dan
jingga K.1 (CI 12075)
Bahan pewarna merah K.3 (CI 15585), merah K.10 (Rhodamin B),
dan jingga K.1 (CI 12075) bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan
kanker. Ketiga bahan pewarna ini pada dasarnya adalah zat pewarna
sintetis yang lazim digunakan pada perusahaan kertas, tekstil, dan tinta.
Reaksi negatif yang dapat ditimbulkan pada penggunaan bahan pewarna
sintetis ini adalah:
a. Kanker, zat warna sintetis ini bersifat karsinogenik yang sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia.
b. Rhodamin B pada konsentrasi tinggi berpotensi menimbulkan
kerusakan hati.
Reaksi negatif yang ditimbulkan oleh bahan berbahaya yang
terkandung dalam kosmetik beragam, mulai dari iritasi ringan hingga
berat, alergi, penyumbatan fisik di pori-pori, keracunan lokal atau
sistemik. Reaksi negatif ini ternyata tidak hanya berdampak pada jaringan
kulit, akan tetapi dampaknya bisa lebih luas lagi. Bahkan berpengaruh
pada sistem jaringan dan organ-organ penting lainnya. Bahan berbahaya
merupakan racun atau toxin. Racun yang dioleskan pada kulit melalui
produk kosmetik akan diserap oleh kulit dan masuk kedalam tubuh melalui
aliran darah dan akhirnya tersimpan dalam sel-sel di seluruh tubuh, bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi. Racun tersebut bisa saja menyebabkan
berbagai macam efek negatif, seperti mutasi DNA, kanker, menyebabkan
kemandulan, kerusakan pada sistem saraf, dan berbagai masalah kesehatan
lainnya.77

77
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 39
50

Gejala-gejala yang biasanya tampak dan terasa akibat penggunaan


kosmetik yang mengandung bahan berbahaya:
1. Kulit terasa panas dan pedih
Kosmetik yang tidak aman bagi kulit dan kesehatan, akan memberikan
reaksi negatif pada kulit. Selanjutnya reaksi negatif tersebut akan
menimbulkan gejala-gejala tertentu pada kulit. Gejala-gejala yang
umum terasa pada kulit adalah panas dan pedih. Gejala ini
menunjukkan bahwa kulit mengalami iritasi atau peradangan.
2. Perubahan warna kulit secara ekstrem (cepat)
Perubahan waran kulit yang ekstrem dan terlalu cepat merupakan salah
satu ciri bahwa formula bahan aktif yang terkandung dalam kosmetik
tersebut sangat keras atau bahkan menggunakan zat-zat berbahaya
yang sebenarnya dilarang penggunaannya dalam kosmetika.
3. Terjadi pembengkakan atau peradangan
Kosmetik yang mengandung bahan-bahan berbahaya dapat merusak
kulit. Salah satu gejala kerusakan yang ditimbulkannya adalah
pembengakakan dan peradangan pada daerah yang diaplikasikan
dengan kosmetik tersebut.
4. Membuat kulit belang
Beberapa kosmetik ada yang mengandung zat warna berbahaya.
Biasanya aplikasi kosmetik ini meninggalkan bekas tapak yang tidak
rata, sehingga kulit terlihat seperti bayangan gelap yang tidak rata.
Gejala ini merupakan salah satu indikasi bahwa kosmetik yang
digunakan mengandung bahan aktif keras yang tidak aman bagi kulit.
5. Pori-pori menjadi lebar dan berkomedo
Gejala ini memang tidak terlalu bebahaya. Namun demikian,
penggunaan produk kosmetik sebaiknya tetap dihentikan. Karen jika
diteruskan justru menyebabkan kulit semakin bermasalah, berjerawat,
dan muncul komedo. Gejala ini timbul sebagai salah satu efek dari
penggunaan kosmetik yang mengandung cream pelembab yang
berminyak. Penumpukan minyak dan debu yang ditangkapnya,
51

menyumbat pori-pori, dan menimbulkan komedo. Akibatnya, wajah


menjadi rentan jerawat dan komedo.

D. Kejahatan Pemalsuan Merek Kosmetik Menurut Hukum Islam


Islam adalah agama yang sempurna. Agama Islam telah mengatur
segala macam tata cara dan solusi dari setiap permasalahan dalam menjalani
kehidupan manusia di dunia sejak lahir hingga meninggal dunia. Begitu juga
mengenai masalah dunia perdagangan atau jual-beli yang tidak luput dari
pandangan Islam.
Merek merupakan harta berupa hak dan tidak berwujud atau dapat di
sebut harta immateril. Pemalsuan merek jelas merupakan perbuatan yang
merugikan si pemilik merek karena untuk menciptakan sebuah merek, pemilik
telah mencurahkan pikiran, tenaga, waktu, bahkan uang yang tidak sedikit
sehingga hak-haknya atas manfaat dari merek tersebut harus dilindungi.
Meskipun Islam tidak mengatur secara eksplisit mengenai pemalsuan
merek. Namun, perbuatan curang seperti ini didalam hukum Islam termasuk
perbuatan yang sangat dilarang, karena dapat merugikan orang lain, dalam hal
ini pemilik merek dan juga konsumen yang menggunakan barang yang
dipalsukan tersebut bahkan negara. Allah SWT berfirman dalam surat As-
syu’ara ayat 183:

         

Artinya: Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya


dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;

Dalam al-Qur’an disebutkan juga mengenai perdagangan yang adil


dan jujur yaitu perdagangan yang antara pedagang dan pembeli tidak saling
menzalimi dan tidak pula dizalimi. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-
Baqarah ayat (279).
52

            

     


Artinya: ”Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS Al-Baqarah ayat 279).
Sepintas ayat ini memang berbicara tentang riba, tetapi secara implisit
mengandung pesan-pesan perlindungan konsumen. Di akhir ayat disebutkan
tidak menganiaya dan tidak dianiaya (tidak menzalimi dan tidak pula
dizalimi). Dalam konteks bisnis, potongan pada akhir ayat tersebut
mengandung perintah bahwa antara pelaku usaha dan konsumen dilarang
untuk saling menzalimi atau merugikan satu dengan yang lainnya. Hal ini
berkaitan dengan hak-hak konsumen dan juga hak-hak pelaku usaha
(produsen).78
Selain ayat al-Qur’an diatas, Islam juga mengatur mengenai
perdagangan yang jujur dalam sebuah hadis Nabi Saw, yaitu:
“Hakim bin Hizam Ra. Dari Nabi Saw, ia bekata: Dua orang yang
berjual-beli apabila keduanya jujur dan memberi nasehat maka keduanya
diberkahi dalam jual belinya. Dan apabila keduanya menyembunyikan dan
berdusta maka di cabut jual belinya.”79
Meskipun tidak disebutkan secara terperinci, dari hadis diatas dapat
dipahami bahwa antara pelaku usaha dan pembeli memiliki kewajiban untuk
saling berlaku jujur dalam melakukan transaksi jual-beli agar dapat
mendatangkan kebaikan kepada keduanya. Selain itu hadis tersebut juga
menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan juga konsumen,
yakni menyembunyikan dan berdusta dalam melakukan jual beli karena akan

78
Nurhalis, “Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999” Institut Agama Islam Hamzanwadi, III, 9, (Desember, 2015)
h. 526
79
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-fikri, 1994), jilid
1, h. 85
53

mendatangkan keburukan seperti kerugian baik dari pihak pelaku usaha


maupun konsumen itu sendiri.
Dalam sejarah Islam, Rasulullah Saw sangat dikenal akan
kejujurannya dalam berdagang, begitu pun saat menjadi pemimpin, beliau
sangat memperhatikan masalah perlindungan konsumen, yakni dengan cara
melarang perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan konsumen di dalam
dunia perdagangan.
Praktek-praktek dalam berbisnis yang dilarang oleh Rasulullah ketika
beliau memerintah di Madinah antara lain:80
a. Talaqqi Rukban, adalah mencegat pedagang yang membawa barang dari
tempat produksi sebelum sampai ke pasar. Rasulullah SAW bersabda
“Jangan kamu mencegat para pedagang ditengah jalan. Pemilik barang
berhak memilih setelah sampai pasar, apakah ia menjual kepada mereka
yang mencegat atau kepada orang yang ada di pasar”. (Muttafakun alaih)
b. Melipat gandakan harga, menurut Imam Ghazali, dilarang melipat
gandakan harga dari kebiasaan yang berlaku.
c. Bai’al-gharar, bisnis yang mengandung unsur penipuan karena tidak
adanya kepastian.
d. Gisyah, adalah menyembunyikan cacat barang yang dijual, bisa juga
dengan mencampur produk cacat ke dalam produk yang berkualitas baik.
e. Bisnis Najasy, adalah peraktik berbisnis di mana seseorang berpura-pura
sebagai pembeli yang menawar dengan tawaran tinggi yang disertai
dengan pujian kualitas secara tidak wajar, dengan tujuan untuk
menaikkan harga barang.
f. Produk haram, adalah memperdagangkan barang-barang yang telah
dilarang dan diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
g. Riba, adalah pengambilan tambahan dalam transaksi bisnis.

80
Nurhalis, “Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999” Institut Agama Islam Hamzanwadi, III, 9, (Desember, 2015)
h. 527
54

Tathfif, adalah mengurangi timbangan atau takaran barang yang akan dijual.
Dari praktik-praktik bisnis yang dilarang tersebut, kejahatan
perdagangan kosmetik palsu termasuk kedalam praktek perdagangan gisyah
yakni menyembunyikan cacat barang yang dijual. Dalam hal ini, hukuman
yang dapat dikenakan kepada pelaku gisyah adalah ta’zir karena bentuk dan
ukurannya tidak diatur secara tegas oleh syariat.
Islam sangat melarang umatnya untuk menggunakan atau melakukan
hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri seperti halnya menggunakan
kosmetik palsu karena kandungan zat-zatnya yang berbahaya bagi kesehatan
bahkan jiwa penggunanya. Allah swt berfirman:

               

 

Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam


kebinasaan” (Qs. Al-Baqarah [2]: 195).

          

              



Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah


adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Qs. An-Nisa’ [4]: 29).
Dua ayat di atas menunjukkan akan haramnya merusak diri sendiri
atau membinasakan diri sendiri. Penggunaan kosmetik palsu dapat
mengakibatkan berbagai efek buruk pada penggunanya baik dalam jangka
pendek maupun panjang karena bahan-bahan dan cara yang digunakan dalam
pembuatannya tidak sesuai dengan standar keamanan sebagai mana mestinya.
Oleh karena itu, umat Islam harus senantiasa berhati-hati dan waspada
55

terhadap apa yang akan ia konsumsi atau gunakan jangan sampai hal tersebut
merugikan dirinya sendiri.
Pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan
asas dalam perlindungan konsumen, salah satunya adalah asas keamanan dan
keselamatan konsumen. Asas Keamanan dan Keselamatan, dalam hukum
Islam ada lima hal yang wajib dijaga dan dipelihara (al-dharuriyyat
alkhamsah), yaitu:
a. memeliharaan agama (hifdh al-din),
b. memelihara jiwa (hifdh al-nafs),
c. memelihara akal (hifdh al-aql),
d. memelihara keturunan (hifdh nasl),
e. memelihara harta (hifdh al-maal).
Di dalam Islam, kelima hal tersebut merupakan hal-hal yang wajib di
pelihara dalam setiap permasalahan kehidupan, begitu juga dalam dunia
perdagangan mengenai perlindungan konsumen. Misalnya, untuk menjaga
agama atau keimanan, konsumen muslim harus terlindung dari produk
makanan yang mengandung babi. Kemudian untuk menjaga jiwa, konsumen
harus terlindung dari produk makanan atau kosmetika yang mengandung
bahan-bahan berbahaya yang dapat mengancam keselamatan jiwanya dan
begitu seterusnya.
56

BAB IV
ANALISIS PEMALSUAN MEREK DALAM PERDAGANGAN
KOSMETIK

A. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Pemalsuan Merek dalam


Perdagangan Kosmetik
Kejahatan perdagangan kosmetik palsu yang marak terjadi di dalam
dunia perdagangan Indonesia sangat meresahkan banyak kalangan terutama
wanita sebagai konsumen utama dari produk-produk kosmetika. Beredarnya
kosmetik palsu di pasaran di sebabkan oleh banyak faktor. Dalam skripsi ini,
penulis membagi faktor-faktor penyebab tersebut kedalam dua bagian, yakni
faktor penyebab dari korban dan faktor penyebab dari pelaku usaha.

1. Faktor Korban
Kejahatan dan korban merupakan 2 (dua) hal yang memiliki
keterkaitan antara satu dengan yang lain. Terjadinya sebuah kejahatan
pasti akan menimbulkan korban. Sebaliknya, korban juga berperan dalam
menimbulkan kejahatan. Peran yang dimaksud adalah keadaan diri korban
yang memicu timbulnya sebuah kejahatan.
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya
suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin
timbul suatu kejahatan kalau tidak ada korban kejahatan, yang merupakan
peserta utama dari penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal
pemenuhan kepentingan si penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan
dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan
korban.81 Jadi, walaupun korban merupakan pihak yang dirugikan dalam

81
Rena Yulia, Viktimologi: Perindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 75

56
57

terjadinya kejahatan perdagangan kosmetik palsu, tidak dapat dipungkiri


bahwa korban juga memiliki peran terhadap terjadinya kejahatan ini.
Di dalam skripsi ini, penulis memperoleh data primer berupa
wawancara. Penulis melakukan wawancara terhadap 3 orang responden
yang pernah menjadi korban penggunaan kosmetik palsu. Berikut adalah
hasil wawancara yang telah di lakukan penulis:
1) Wawancara terhadap Hana Hanifah
Responden pertama bernama Hana Hanifah sesorang
mahasiswa, berusia 21 tahun. Hana mengaku pernah menjadi korban
perdagangan kosmetik palsu saat 2 tahun yang lalu sekitar tahun 2015.
Saat itu Hana melihat sebuah produk kosmetik eye shadow merek
terkenal dalam sebuah video di YouTube, dalam video tersebut
sesorang youtuber mengulas tentang produk eye shadow tersebut yang
merupakan merek terkenal asal Amerika Serikat dan membuat Hana
tertarik untuk membelinya.
Tanpa pikir panjang, hana langsung mencari produk tersebut di
online shop melalui media sosial Instagram, setelah produk tersebut
sampai di tangannya, Hana langsung mencoba dan ternyata hasilnya
jauh berbeda dari apa yang Hana saksikan di YouTube, mulai dari
teksturnya, pigmentasi warna ketika di aplikasikan, hingga ketahanan
produk saat menempel dikulit yang di rasa Hana sangat
mengecewakan, kemudian hana mengetahui bahwa produk yang ia beli
adalah produk palsu dengan tampilan yang sama persis dengan produk
aslinya, hana mengetahui bahwa ternyata produk aslinya di jual dengan
harga Rp879.000,00-, sedangkan produk yang hana beli di online shop
tersebut harganya hanya Rp130.000,00-, tentu perbandingan harga
antara keduanya sangat jauh berbeda.82
2) Wawancara terhadap Meilina Sari
Responden kedua bernama Meilina Sari, seorang ibu rumah
tangga, berusia 40 tahun. Meilina menceritakan pengalamannya

82
Wawancara pribadi pada tanggal 20 Desember 2017.
58

menggunakan produk kosmetik palsu ketika direkomendasikan oleh


teman arisannya yang menjual dan menggunakan serangakian produk
pemutih wajah dengan merek yang sudah terkenal, produk tersebut
terdiri dari krim pagi, krim malam, toner dan sabun.
Awalnya Meilina ragu untuk membeli karena khawatir produk
tersebut merupakan produk pemutih yang mengandung bahan
berbahaya yang memang sedang marak terjadi pada saat itu.
Namun temannya meyakinkan bahwa merek tersebut aman
karena telah mencobanya sendiri. Tergiur dengan efek yang cepat dan
bagus yang di rasakan oleh temannya, akhirnya Meilina memutuskan
untuk membeli produk tersebut sesuai dengan yang dikatakan
temannya, hanya dalam dua minggu pemakaian, Meilina sudah
mendapatkan kulit wajah yang jauh lebih putih dari sebelumnya persis
seperti yang ia idamkan.
Anehnya, lama kelamaan Meilina mulai merasakan efek negatif
dari pemakaian produk tersebut diantaranya adalah kulitnya menjadi
sangat merah setiap terpapar sinar matahari, kemudian terjadi
pengelupasan dibeberapa area di wajahnya. Akhirnya Meilina mencari
informasi mengenai ciri-ciri produk pemutih yang mengandung bahan
berbahaya seperti merkuri dan hidrokinon di internet, dan ternyata ciri-
ciri yang ia baca di internet sama dengan produk yang ia gunakan,
setelah itu Meilina menghentikan pemakaian produk tersebut. Lama
kelamaan kulitnya berangsur membaik, namun tidak lagi putih seperti
sebelumnya dan timbul beberapa bercak hitam kecil yang sulit untuk
hilang.83
3) Wawancara terhadap Mita Oktaviani
Responden ketiga bernama Mita Oktaviani, seorang karyawati
swasta, berusia 22 tahun. Pengalaman Mita menjadi Korban
perdagangan kosmetik palsu adalah ketika ia telah beberapa kali
menggunakan produk pelembab dengan merek Citra yang memang

83
Wawancara pribadi pada tanggal 22 Desember 2017
59

merupakan produk terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Selama


beberapa bulan Mita menggunakan produk pelembab tersebut Mita
merasa cocok dan sudah 3 kali membeli produk yang sama secara terus
menerus di supermarket dekat rumahnya.
Hingga suatu saat ia pergi kepasar dan menemukan produk yang
sama namun dengan harga yang jauh lebih murah, tanpa pikir panjang
Mita membeli produk tersebut karena kebetulan pelembab yang biasa ia
gunakan sudah habis, setelah beberapa hari pemakaian, Mita mulai
merasakan efek yang tidak biasa dari pemakaian produk tersebut, yakni
dengan timbulnya jerawat dan sedikit rasa gatal diwajahnya setelah
memakai produk tersebut. Akhirnya mita memutuskan untuk membeli
produk pelembab tersebut di supermarket dimana ia biasa membeli.
Mita membedakan antara produk yang ia beli di supermarket
dengan produk yang ia beli di pasar. Menurutnya, jika diperhatikan
secara sekilas memang tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun,
jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka akan terlihat beberapa
perbedaan antara kedua produk tersebut.
Produk yang Mita beli di pasar memiliki aroma yang jauh lebih
harum dan agak menyengat, sedangkan produk yang dibeli di
supermarket memiliki aroma harum yang lembut. Selain itu, produk
yang ia beli di pasar akan terasa agak lengket dan tidak mudah
menyerap ketika di aplikasikan ke kulit. Sedangkan produk yang ia beli
di supermarket ketika di aplikasikan ke kulit sama sekali tidak lengket
dan juga mudah menyerap ke dalam kulit. Setelah itu Mita memutuskan
untuk membuang produk yang ia beli di pasar dan menggunakan
produk yang ia beli di supermarket seperti biasanya.84
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa
peran korban yang menjadi faktor terjadinya kejahatan perdagangan
kosmetik palsu adalah sebagai berikut:
a. Ketidaktahuan untuk membedakan antara produk kosmetik asli dan

84
Wawancara pribadi pada tanggal 28 Desember 2017.
60

palsu.

Ketidaktahuan konsumen dalam membedakan antara produk


kosmetik asli dan produk kosmetik palsu adalah salah satu hal yang
menjadi tujuan produsen kosmetik palsu untuk meraup keuntungan.
Karena dalam hal ini, konsumen akan mengira bahwa suatu produk
memiliki kualitas baik karena merupakan produk dengan merek
yang telah terkenal, padahal produk tersebut hanyalah produk palsu
yang sengaja dibuat sangat mirip dengan produk dari merek
tersebut. Konsumen mungkin baru akan menyadari ketika
merasakan langsung kualitas dari produk palsu tersebut yang
berbeda dari produk aslinya, atau bahkan tidak menyadarinya sama
sekali sehingga akan membeli lagi dikemudian hari.
b. Keinginan untuk tampil cantik dengan harga yang murah.
Produk palsu biasanya memiliki harga yang jauh lebih murah
dibandingkan dengan produk aslinya. Inilah salah satu hal yang
dapat menarik minat konsumen untuk membeli produk kosmetik
palsu tersebut. Tidak jarang wanita yang ingin tampil cantik, namun
enggan mengeluarkan biaya yang banyak hanya untuk membeli
produk kosmetik.
c. Mudah percaya.
Produk kosmetik palsu yang telah dilabeli dengan merek terkenal
biasanya akan terlihat sangat mirip dengan produk aslinya, namun
dijual dengan harga yang jauh lebih murah. Banyak konsumen yang
dengan mudahnya percaya dan tidak merasa curiga sedikit pun
bahwa produk kosmetik tersebut adalah produk palsu yang
menyerupai produk dengan merek terkenal.

2. Faktor Pelaku Usaha


61

Faktor usaha yang dimaksud adalah berbagai keadaan baik dari


dalam maupun luar diri pelaku usaha yang dapat menjadi penyebab ia
melakukan kejahatan perdagangan kosmetik palsu.
BPOM selama tahun 2016 telah melakukan sampling dan
pengujian laboratorium terhadap 21.765 sampel kosmetika. Hasil
pengujian laboratorium menunjukkan bahwa 235 (1,08%) sampel tidak
memenuhi syarat mutu, meliputi: mengandung bahan aktif melebihi batas
41 (0,19%) sampel, cemaran mikroba 90 (0,41%) sampel dan mengandung
bahan dilarang 98 (0,45%).85
Dari hasil pengujian diatas menunjukan bahwa banyak pelaku
usaha yang memproduksi produk kosmetik tanpa mengikuti standar
keamanan yang berlaku terbukti dengan adanya bahan-bahan berbahaya
yang di temukan terkandung di dalam produk-produk kosmetik tersebut.
Begitu pula dengan para pelaku usaha kosmetik palsu yang memproduksi
produk kosmetik tanpa mengikuti standar yang berlaku. Berikut adalah
beberapa penyebab yang menjadi pendorong pelaku usaha untuk
melakukan kejahatan perdaganagn kosmetik palsu:
a. Kesulitan ekonomi.
Sulitnya mencari pekerjaan merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan banyak orang mengalami kesulitan ekonomi, di tambah
lagi dengan semakin meningkatnya tuntuan ekonomi membuat
sebagian orang terpaksa menghalalkan segala cara demi dapat bertahan
hidup, salah satunya dengan melakukan kejahatan berupa memalsukan
produk kosmetik dengan merek yang sudah terkenal.
b. Mudahnya memproduksi kosmetik palsu.
Bahan-bahan dasar pembuatan kosmetik yang mudah di
dapatkan di pasaran, membuat banyak orang memilih untuk menjalani
usaha memproduksi kosmetik, walaupun tanpa memiliki pengetahuan
yang mumpuni di bidang ini. Selain itu, dengan menjiplak atau
memalsukan kosmetik mereka dengan merek kosmetik terkenal,

85
Badan POM, laporan Tahunan 2016, (www.pom.go.id), h. 106
62

mereka tidak akan kehabisan ide mengenai bagaimana cara agar


produk yang mereka jual tampak menarik karena mereka hanya perlu
mengemas produk mereka semirip mungkin dengan produk dari merek
terkenal.
c. Ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tingginya permintaan produk kosmetik dalam dunia
perdagangan Indonesia dimanfaatkan oleh para pelaku
usaha nakal ini untuk meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya.

B. Analisis Upaya Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Merek dalam


Perdagangan Kosmetik
Terdapat dua upaya penanggulangan terhadap kejahatan perdagangan
kosmetik palsu, yakni upaya penanggulangan preventif dan upaya
penanggulangan represif, berikut penjelasannya:
1. Upaya Penanggulangan Preventif
Upaya penanggulangan preventif adalah upaya pencegahan
sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Untuk mencegah terjadinya
kejahatan perdagangan kosmetik palsu, penulis menjabarkannya sebagai
berikut:
a. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai
kosmetik palsu beserta dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari
penggunaannya. Upaya ini dapat dilakukan:
1) Oleh Pemerintah
Ada banyak cara yang bisa di lakukan oleh pemerintah
dalam meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
mengenai kosmetik palsu, yaitu dengan menyampaikan melalui
berbagai sosialisasi baik secara langsung maupun melalui iklan
layanan masyarakat.
2) Oleh Masyarakat
63

Berdirinya komunitas seperti Masyarakat Indonesia Anti


Pemalsuan (MIAP) merupakan salah satu upaya dalam mencegah
kejahatan perdagangan kosmetik palsu. Dimana komunitas ini
mempunyai misi dan rencana strategis dalam mengurangi dampak
negatif praktek pemalsuan melalui kerjasama dengan pihak
berwenang yang terkait, serta meningkatkan kesadaran masyarakat,
perlindungan konsumen, dan penegakan hukum.
Langkah-langkah ini di harapkan dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat sehingga masyarakat akan berhenti menjadi
konsumen dari produk kosmetik palsu, karena apabila masyarakat
sadar terhadap dampak kosmetik palsu tersebut maka peredaran
kosmetik palsu akan menurun bahkan lama kelamaan akan
menghilang.
Selain itu, di dalam Islam kita dianjurkan untuk bersikap
hati-hati sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis ''Sikap
berhati-hati itu dari Allah dan sikap tergesa-gesa itu dari syaitan''
(HR. Baihaqi dari Anas Bin Malik ra) dari hadis tersebut kita
dianjurkan untuk senantiasa bersikap hati-hati dan waspada dalam
segala urusan, melakukan pengamatan yang seksama dan
pertimbangan yang tepat sebelum memutuskan berbagai perkara,
dan melakukan perencanaan yang matang sebelum melaksanakan
apa yang menjadi keinginan kita. Seperti halnya keinginan untuk
mempercantik diri dengan membeli berbagai produk kosmetik
yang juga harus disertai dengan kehati-hatian. Hati-hati dalam
memilih produk yang sesuai dengan kebutuhan dan memastikan
bahwa produk tersebut memenuhi standar keamanan sebagai mana
mestinya. Jangan sampai kita mengambil keputusan dengan
tergesa-gesa berdasarkan nafsu belaka sehingga hasilnya kurang
maksimal dan bahkan menimbulkan dampak buruk yang sangat
fatal. Sikap hati-hati dan waspada datangnya dari Allah, sebagai
64

isyarat bahwa sikap berhati-hati merupakan kebaikan, dan akan


mendatangkan hasil yang baik pula.

b. Pengawasan oleh pihak yang berwenang.


BPOM adalah badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah
Republik Indonesia untuk mengawasi peredaran produk obat dan
makanan, termasuk kosmetik di wilayah kesatuan Republik Indonesia.86
Pengawasan disini dapat berupa pemeriksaan langsung yang di lakukan
oleh BPOM maupun Kepolisian ke toko-toko yang menjual produk-
produk kosmetik untuk memastikan ada atau tidaknya produk kosmetik
yang tidak memenuhi standar kelayakan seperti kosmetik palsu yang
beredar di pasaran.

2. Upaya Penanggulangan Represif


Upaya penanggulangan represif adalah upaya berupa tindakan
setelah terjadinya suatu tindak pidana. Mengenai upaya penanggulangan
represif terhadap kejahatan perdagangan kosmetik palsu ini, penulis
menjabarkannya sebagai berikut:
a. Penarikan dan pemusnahan produk kosmetik palsu.
BPOM dan pihak berwenang yang terkait lainnya, dapat
melakukan penarikan dan pemusnahan terhadap peredaran produk
kosmetik yang tidak memenuhi standar kelayakan seperti halnya
kosmetik palsu sebagai salah satu upaya penanggulangan represif
terhadap kejahatan ini.
b. Penegakan hukum.
Upaya terakhir dalam penanggulangan kejahatan perdagangan
kosmetik palsu ini adalah penegakan hukum (law enforcement), yaitu
berupa tindakan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku kejahatan.

86
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013) h. 57
65

Menurut analisa penulis, pelaku usaha kosmetik palsu


melanggar:
1) Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis bahwa, setiap orang yang dengan
tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya
dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda
palig banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2) Pasal 8 ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen bahwa, pelaku usaha dilarang
memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di
persyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; yang
sanksinya tertera dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang berbunyi, pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
3) Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan bahwa, Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar; Penandaan dan informasi
sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan
objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan; Pemerintah
berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah
memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita
66

dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan.
Bagi yang melanggar ketentuan tersebut dapat dijerat dengan
Pasal 197 Undang-Undang Kesehatan yang berbunyi, Setiap orang yang
dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Selanjutnya, apabila ditinjau dari hukum Islam, kejahatan
pemalsuan merek dalam perdagangan kosmetik dikategorikan sebagai
Gisyah atau menyembunyikan cacat pada barang yang dijual dan
termasuk kedalam jarimah ta’zir karena baik bentuk maupun ukurannya
tidak diatur secara tegas oleh syariat. Penegakan hukum pada jarimah
ini dapat berupa hukuman ganti rugi, denda, atau hukuman lain
tergantung kebijakan dari hakim yang menangani perkara tersebut.
67

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Faktor Penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan merek dalam
perdagangan kosmetik diantaranya adalah faktor korban dan faktor pelaku
usaha. Faktor korban yang dimaksud adalah keadaan diri korban yang
dapat menjadi penyebab terjadinya kejahatan ini seperti, ketidaktahuan
korban dalam membedakan antara produk kosmetik asli dan palsu,
keinginan korban untuk tampil cantik namun tidak dibarengi dengan
kemampuan ekonomi yang mencukupi sehingga korban cenderung
memilih untuk membeli produk kosmetik dengan harga yang murah, dan
mudah percaya. Sedangkan faktor pelaku usaha adalah faktor yang ada
didalam ataupun diluar diri pelaku usaha yang menyebabkan ia
melakukan kejahatan pemalsuan merek kosmetik seperti, kesulitan
ekonomi, mudahnya memproduksi kosmetik palsu, dan juga keinginan
untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
2. Upaya penanggulangan terhadap kejahatan pemalsuan merek dalam
perdagangan kosmetik diantaranya berupa upaya preventif dan upaya
represif. Upaya preventif atau upaya pencegahan ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai
kosmetik palsu beserta dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari
penggunaannya serta dengan melakukan pengawasan oleh pihak yang
berwenang seperti Badan POM dan kepolisian. Selanjutnya, upaya
represif atau upaya yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan dapat
68

dengan melakukan penarikan dan pemusnahan terhadap produk kosmetik


palsu yang beredar dipasaran dan juga melakukan penegakan hukum
terhadap pelaku usaha yang melakukan kejahatan ini.

B. Saran
1. Badan Pengawas Obat dan Makanan diharapkan lebih meningkatkan
67
pengawasan dan sosialisasi secara lebih intensif mengenai kejahatan
perdagangan kosmetik palsu karena kejahatan ini dapat mengakibatkan
kerugian terhadap banyak pihak, selain konsumen, pemilik merek bahkan
negara dapat menjadi pihak yang dirugikan oleh kejahatan ini.
2. Pemilik merek sebaiknya mengajukan gugatan secara hukum terhadap
pelaku usaha kosmetik palsu apabila menemukan merek kosmetik
miliknya menjadi produk yang dipalsukan agar dapat memberikan efek
jera dan terciptanya penegakan hukum.
3. Konsumen dalam hal ini merupakan pihak yang paling dirugikan, karena
terdapatnya kemungkinan bahwa produk kosmetik palsu yang digunakan
mengandung bahan-bahan berbahaya yang dapat memberikan efek negatif
kepada diri konsumen. Untuk itu, konsumen harus lebih cerdas dalam
memilih kosmetik dan tidak mudah tergiur dengan harga yang murah dan
efek yang cepat, tetapi juga memastikan keamanan dari produk kosmetik
tersebut.
Daftar Pustaka

Buku
Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Astarini, Dwi Rezki Sri. Penghapusan Merek Terdaftar. Bandung: Alumni. 2009.
Casavera. 8 Kasus Sengketa Merek di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Djumhana, Muhammad dan Djubaedilah, R. Hak Milik Intelektual. Jakarta: Citra
Aditya Abadi. 1997.
Djazuli, A. Fiqh Jinayah Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 1997.
Dahlan, Abdul Aziz et.al. Jarimah Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996.
Hamzah, Andi. Azas-Azas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Renika Cipta.
2008.
Hakrisnowo, Hakristuti. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pandangan Muhammad Amin Suma, dkk.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001.
Hanafi, A. Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Hagan, Frank E. Edisi Ketujuh. Pengantar Kriminologi. Jakarta: Kencana. 2013.
Irfan, Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH. 2015.
Jened, Rahmi. Implikasi Persetujuan TRIPs Bagi Perlindungan Merek di
Indonesia. Surabaya: Yuridika. 2000.
Jened, Rahmi. Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global & Integrasi
Ekonomi. Jakarta: Prenadamedia Group. 2015.
Kusumah, Mulyana W. Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar
Ringkas). Bandung: Armco. 1984.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2003.
Kanter, E. Y. dan Sianturi, S. R. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika. 2002.
Muliyawan, Dewi dan Suriana, Neti. A-Z Tentang Kosmetik. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo. 2013.
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2013.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 2002.
Muhammad, Abu Abdillah bin Ismail. Al-Bukhari, Jilid 1. Beirut: Dar al-fikri.
1994.
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Rajawali Pers.
Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 1993.
Prodjohamidjojo, Martiman. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Jakarta: Pradnya Paramita. 1997.
Prodjodikoro, Wirdjono. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung:
PT.Refika Aditama. 2008.
Prodjodikoro, Wirdjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta-
Bandung: Eresco. 1981.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
R. Soenarto Soedibroto, KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rajawali Press, 2016.
Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights). Jakarta: Rajawali Press. 2015.
Soesilo, R. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus, Bogor: Politeia. 1979.
Suryatin. Hukum Dagang I dan II. Jakarta: Pradnya Paramita. 1980.
Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2003.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. 2006.
Soedarto, R. Ilmu Hukum Semarang: UNDIP. 1989.
Sudarto. Hukum Pidana, Purwokerto: Universitas Soedirman. 1990.
Wasitaatmaja, Syarif M. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press. 1997.
Yafie, Alie. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam I. Jakarta: PT Kharisma Ilmu. 2010.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu As-Syafi’I Al-Muyassar. Beirut: Darul fikr. 2008.

Perundang-undangan
KUHP
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/MenKes/PER/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika.

Jurnal
Nurhalis. Desember 2015. III. 9. “Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999”. Institut Agama Islam
Hamzanwadi

Internet
http://industri.bisnis.com/, diakses 28 Oktober 2017 Pukul 16:32
https://bisnis.tempo.co/ diakses 5 Oktober 2017 Pukul 19:30

Anda mungkin juga menyukai