Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana
Hukum (S.H.) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Nur Afni
11170453000022
2021/1443
POLITIK HUKUM KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI
NEGARA SINGAPURA DAN INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana
Hukum (S.H.) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
Nur Afni
11170453000022
Di Bawah Bimbingan
2021/1443
LEMBAR PERNYATAN
1. Skripsi ini hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana Hukum (S.H) pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Nur Afni
NIM: 11170453000022
Abstrak
NUR AFNI NIM 11170453000022 POLITIK HUKUM KEBIJAKAN
PEMBERANTASAN KORUPSI DI NEGARA SINGAPURA DAN
INDONESIA PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH Jakarta 2021/1442. 74 Halaman.
Tujuan dari penulisan penelitian ini untuk memberikan pemahaman dengan
menjelaskan bagaimana proses kinerja pemerintah Indonesia dan Singapura dalam
mengesahkan kebijakan pemberantasan korupsi di negara masing-masing. Dengan
konsentrasi penelitian pada korupsi sebagai latar gagasan pokok dari masalah
yang masif penulis memberikan poin-poin ini yang dalam hal ini adalah sistem
hukum penanganan korupsi secara keseluruhan baik dari bagian yang substantif
seperti hukum positif yakni undang-undang, struktural yakni para pihak dan
aparat yang berkaitan dengan kebijakan penindakan kasus korupsi, serta kultural
dalam masyarakat yang memiliki pengaruh besar akan budaya korupsi ini.
Penelitian ini menggunakan jenis yuridis normatif dan library research, yakni
mengkaji data-data terkait kebijakan korupsi dari berbagai sumber yang telah
dipustakakan dalam berbagai literatur sejarah pembentukan kebijakan, serta
undang-undang hukum positif itu sendiri.
Dalam memahami hasil dari perbedaan dan persamaan terkait bagaimana
Indonesia dan Singapura menerapkan idealisme politik hukum kebijakan
pemberantasan korupsi terdapat beberapa poin yang dapat di simpulkan.
Singapura memusatkan identifikasi kasus korupsi pada tindakan yang dilakukan
pelaku korupsi secara umum, dan memproses tindak kejahatan korupsi tersebut
sesuai dengan undang-undang yang berlaku, Indonesia dengan ekosistem wilayah
yang lebih luas memiliki beberapa point tambahan terkait kategori tindakan
korupsi dan hukuman yang pantas dijatuhkan kepada pelaku, Singapura
memanfaatkan kontribusi masyarakat secara adil dan serius dengan pembangunan
lembaga penyokong agar mempermudah masyarakat melaporkan tindakan
penyelewengan pegawai publik yang disaksikan masyarakat, dalam hal ini
Indonesia belum sampai pada tahap pemanfaatan kontribusi masyarakat
melainkan masih dalam edukasi masyarakat, Singapura memperhatikan detail
regulasi keuangan yang berjalan tidak hanya pada lembaga-lembaga publik milik
negara melainkan juga pada lembaga-lembaga milik swasta yang tidak lepas dari
pengawasan yang belum dapat dijangkau Indonesia, Indonesia merumuskan
kebijakan konstitutif terkait substansi penindakan kasus korupsi dengan
mengambil sudut pandang tidak hanya pada tindakan pelaku akan tetapi juga pada
dampak yang ditimbulkan pelaku korupsi tersebut.
Kata Kunci: Politik Hukum, Korupsi, Undang-Undang Korupsi, KPK, CPIB
Pembimbing: Fathudin,S.H.I, S.H, M.H, MA
Daftar Pustaka: 1967 s.d 2020
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya berupa nikmat Iman dan Islam yang diberikan kepada penulis sehingga bisa
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah kepada
sang pembawa risalah ketauhidan Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “POLITIK HUKUM KEBIJAKAN
PEMBERANTASAN KORUPSI DI NEGARA SINGAPURA DAN
INDONESIA”. Peneliti sadari skripsi ini tidak akan selesai tanpa doa, dukungan
dan dorongan dari berbagai pihak. Adapun dalam kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
6. Dr. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag., dan Nurlaili Rahmawati, SHI, MHI
Sebagai penguji Skripsi saya.
ii
iii
8. Ayahanda Joni Adi dan Ibunda Safrida tercinta, orang yang paling hebat
didunia ini, orang yang selalu tidak pantang menyerah dalam memberikan
doa, bantuan, dukungan, kasih sayang. Serta kepada adikku tercinta Hafiz
Muhammad Rahman yang selalu mampu menjadi tempat beristirahat dan
melepas penat yang luar biasa.
10. Sahabat Ilfah Luthfiah tersabar dan terbaik yang membantu proses penulisan
skripsi ini dari awal hingga akhir.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
segalanya.
13. Semoga skripsi ini dapat menjadi manfaat untuk penulis dan pembaca,
Aamiin.
Nur Afni
NIM 11170453000022
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 5
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 5
B. Identifikasi Masalah danPembatasan Masalah ............................................ 6
C. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 7
E. Review Kajian Terdahulu ........................................................................... 8
F. Metode penelitian ....................................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 11
BAB II PENGERTIAN DAN DEFINISI POLITIK HUKUM........................ 13
A. Pengertian Politik Hukum ......................................................................... 13
B. Efektivitas Penegakan Hukum .................................................................. 21
BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
DAN SINGAPURA. ............................................................................. 26
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................................ 26
B. Berbagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi .................................................. 27
C. Berbagai Bentuk Upaya Pemberantasan Korupsi. ..................................... 43
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KEBIJAKAN
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DAN
SINGAPURA ....................................................................................... 55
A. Instrumen Kebijakan Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi .................. 55
B. Lembaga Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi ................................... 58
C. Persamaan dan Perbedaan Dalam Kebijakan Pemberantasan Korupsi ...... 73
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 76
A. Kesimpulan ............................................................................................... 76
B. Saran ......................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 78
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi menjadi fenomena ironi dan tantangan besar yang dihadapi oleh
masyarakat internasional pada saat ini. Korupsi tidak hanya mengancam
pemenuhan hak-hak dasar manusia dan menyebabkan macetnya demokrasi dan
proses demokratisasi, namun juga mengancam pemenuhan hak asasi manusia,
merusak lingkungan hidup, menghambat pembangunan dan meningkatkan angka
kemiskinan jutaan orang di seluruh dunia1.
Korupsi adalah pelanggaran aturan perilaku dalam urusan publik yang
berlaku di suatu masyarakat pada periode tertentu yang dilakukan seorang atau
sekelompok orang yang memiliki tanggung jawab serta kewajiban publik demi
keuntungan finansial atau politik pribadi maupun kelompok.2 Permasalahan
korupsi ini sudah menjadi sesuatu yang marak terjadi di berbagai negara di
belahan dunia. Memberantasnya hingga ke akar doktrin dalam masyarakat adalah
visi dan harapan bagi seluruh negara di dunia.
Menurut CPI (Corruption Perception Index) Skor Indeks Persepsi Korupsi
Indonesia perlahat tapi pasti mengalami kenaikan. Dapat diartikan bahwa sistem
penanggulangan tindak pidana korupsi semakin baik dari tahun ke tahun, namun
masih belum jadi yang terbaik. KPK dalam hal ini telah menghentikan 36 kasus
korupsi selama 5 (lima) tahun terakhir. Secara global, rata-rata skor CPI dunia
berada pada 43 poin. Sebanyak 60% atau 120 dari 180 negara yang diukur CPI
memiliki skor di bawah 50 termasuk Indonesia dengan skor 37. Selain Indonesia,
terdapat lima negara lain yang memiliki skor sama seperti Indonesia, yaitu
Burkina Faso, Guyana, Lesotho, Trinidad and Tobago, serta Kuwait. Indonesia
1
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 105
2
Robert Neild, Public Corruption: The Dark Side of Social Evolution (London Anthem
Press, 2002) H. 202
5
berada di peringkat ke-4 di antara negara ASEAN, setelah Singapura, Brunei
Darussalam, dan Malaysia. Di tahun 2019, Denmark dan New Zealand berada di
tingkat pertama dengan perolehan skor 873.
Indeks Persepsi Korupsi di Singapura sendiri berada stabil dalam skor rata-
rata 85 sejak tahun 20124. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
banyak ketertinggalan dalam penanganan tindak pidana korupsi dibandingkan
Singapura. Lantas apa yang menjadi faktor dari perbedaan dua negara ini? dalam
pencatatan hukum positif Singapura memiliki Cap. 241: Prevention of Corruption
Act sebagai pedoman dalam pemberantasan korupsi di Negaranya, Indonesia
memiliki UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang dicabut dengan penetapan UU Nomor 31 Tahun 1999.
Berbagai cara pemerintah membuat, mempelajari hingga memodifikasi
berbagai kebijakan yang ada di dunia tapi hingga kini masih belum ada yang
berhasil memberantas secara tuntas korupsi dari budaya pemerintahan itu sendiri.
Singapura dan Indonesia memiliki dua ekosistem ketimpangan penegakan hukum
mengenai korupsi ini yang menjadi sangat menarik untuk di ulas apa sebenarnya
yang mendasari kedua negara serumpun memiliki presensi yang berbeda dalam
skor pemberantasan korupsi yang masih marak hingga saat ini.
Maka dari itu atas disusunnya latar belakang ini. Penulis tertarik untuk
melakukan kajian mendalam terkait bagaimana Singapura dan Indonesia
memberantas kasus Tindak Pidana Korupsi di negaranya masing-masing. Dengan
tinjauan dari perspektif Politik hukum serta analisis Undang-undang kajian ini
dibuat dengan judul “Politik Hukum Kebijakan Pemberantasan Korupsi Di
Negara Singapura Dan Indonesia”
3
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1462-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-
membaik diakses pada 11 Juli 2021 pukul 12.14
4
https:// Singapore: Corruption Perceptions Index 2020 | Statista diakses pada 11 Juli 2021
pukul 12.35
7
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dengan bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
1. Bagaimana kebijakan politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia dan
siangapura?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan kebijakan pemberantasan korupsi di
Indonesia dan Singapura?
5
Miss Notchanee Suksrinuan, Perbandingan Sanksi Pidana Korupsi Dalam Hukum Pidana
Indonesia dan Thailand (Yogyakarta: Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2017) H. 5
9
gratifikasi, bahkan hingga menyentuh tindak pidana korupsi secara utuh sesuai
dengan undang-undang tindak pidana korupsi untuk mempercepat proses
mekanisme birokrasi suatu urusan6.
F. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan konsep penelitian normatif yang dimaksudkan
untuk menelaah ketentuan-ketentuan hukum positif, dan perangkat hukum
positif yang akan digunakan secara normatif akan digunakan sebagai sumber
bahan hukum7. Pada penelitian ini hukum dikonsepsikan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law In Book) atau hukum yang
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas. Penelitian ini mengacu pada
data-data yang bersifat referensif dan tertulis.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan
(Statutory Approach), Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach), Dan
Pendekatan Historis (Historical Approach) 8.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian normatif pengumpulan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dilakukan melalui prosedur inventarisasi, identifikasi dengan
menggunakan sistem kartu yang terbagi dalam: Kartu ikhtisar, kartu kutipan
dan kartu analisis. Bahan-bahan Hukum (Legal Materials) yang diperoleh
6
Putra perdana dan Purbayu Budi Santosa, Efektivitas Lembaga Birokrasi Dan Tingkat
Korupsi Terhadap Investasi Pada Enam Negara Asean (Filipina, Indonesia, Malaysia, Myanmar,
Singapura, Dan Thailand) Tahun 2004-2010 (Semarang: Universitas Diponegoro, 2012) H. 2.
7
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
(Jakarta: Kencana, 2016) H. 176
8
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
(Jakarta: Kencana, 2016) H. 128
diolah dengan melakukan kategorisasi sebagai langkah mengklasifikasikan
bahan hukum secara selektif.9
4. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer adalah sumber data inti yang penulis dapatkan dari
berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, yakni : Prevention
Of Corruption Act, Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes
(Confiscation of Benefits) Act10, UU No 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun
2001, UU No. 30 Tahun 2002, UU Nomor 10 Tahun 2015, UU No. 8 tahun
201011, serta buku literatur mengenai kajian Korupsi.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami
bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, jurnal, hasil penelitian
terdahulu yakni: Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Politik
hukum di Indonesia, Dasar-dasar Politik Hukum, Korupsi: Melacak Arti,
Menyimak Implikasi. Serta literatur lain yang berkesinambungan dengan
pokok penelitian penulis.
c. Bahan hukum tersier, yang akan menjelaskan mengenai bahan sumber data
premier dan sekunder, yang didapatkan dari ensiklopedia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia serta Kamus Bahasa Inggris dan penunjang lain yang
berkaitan dengan pembahasan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan
masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data
bertujuan untuk menginterpretasikan data yang sudah disusun secara sistematis
yaitu dengan memberi penjelasan. Dalam menyusun dan mengalisa data
9
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
(Jakarta: Kencana, 2016) H. 178-179
10
https://sso.agc.gov.sg/Browse/Act-Rev/ diakses pada 11 Juli 2021 pukul 11.20 WIB
11
https://peraturan.bpk.go.id/ diakses pada 11 Juli 2021 pada pukul 01.15 WIB
11
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (Lima) pembahasan, dengan
sistematika sebagai berikut :
BAB I: Pendahuluan. Terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
review kajian terdahulu, metode penelitian dan rancangan sistematika
penulisan.
BAB II: Politik Hukum, menjelaskan kajian meliputi, pengertian Politik hukum,
ruang lingkup Politik Hukum, serta dampak dan pengaruh yang menjadi
faktor terbentuknya dan terlaksananya suatu produk hukum
BAB III: Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan Perundang-
Undangan Di Indonesia Dan Singapura, dalam bab ini penulis akan
menjelaskan mengenai Pengertian Korupsi, Jenis yang dikategorikan ke
dalam tindak pidana korupsi, Berbegai Bentuk Tindak Pidana Korupsi
12
Jujun S. Suriasumatri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2001) H. 49
13
Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghia Indonesia, 2005) H 53
Perbagai Bentuk Upaya Pemberantasan Korupsi. Instrumen Kebijakan
Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi.
BAB IV: Analisis perbandingan kebijakan pemberantasan korupsi berdasarkan
Undang-Undang negara Singapura dan Indonesia. Meliputi, penerapan
Undang-Undang terkait kebijakan pemberantasan pidana Korupsi di
Singapura dan Indonesia, Perbedaan dan kesamaan sistem hukum,
budaya hukum dan substansi hukum dari Singapura dan Indonesia.
BAB V: Penutup yang meliputi kesimpulan dari penelitian dan saran yang
diajukan oleh penulis berdasarkan hasil tinjauan yang diharapkan
menjadi sebuah masukan bagi pihak – pihak terkait.
BAB II
1
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hal. 19
2
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hal. 20
13
Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.3
Dari perspektif terminologi, politik hukum dapat ditelaah menjadi dua
konsep pendekatan.
1. Politik hukum dapat dipahami dengan pendekatan memberikan masing-
masing pengertian kata “politik” dan “hukum’ (Divergen) lalu
menggabungkan kedua istilah itu (Konvergen).
2. Pendekatan yang langsung mengartikan dalam satu nafas (satu kesatuan)
sebagai suatu frase yang mempunyai pengertian yang utuh. Frase politik
hukum mengandung makna lebih luas dari kebijakan hukum, pembentukan
hukum dan penegakan hukum. Artinya, sebagai suatu frase, pengertian
politik hukum merupakan keseluruhan aktivitas sebagaimana dimaksud.4
Menurut Moh. Mahfud MD politik hukum adalah legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
negara.5
3
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hal. 21
4
Otong Rosadi dan Andi Desmon, 2012, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum,
Yogyakarta: Thafa Media, H. 3
5
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009,
hal. 2
15
Menurut Sajipto Rahardjo politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu
dalam masyarakat7
6
Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973,
hal. 4.
7
Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1991) H. 352.
8
Padmo Wahjono, Menyelisik proses terbentuknya Perundang-Undangan forum keadilan,
No. 29/april, H. 65.
9
LJ. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1981) H. 390
10
F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali , Politik Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), H. 6
Control, Dispute Settlement And Social Engeneering bahkan inovasi untuk
kelangsungan negara. Fungsi politik sendiri adalah sebagai pemelihara sistem dan
mengadaptasikannya (Socialization Dan Recruitment), konversi (Rule Making,
Rule Aplication, Rule Adjudication, Interesttarticulation And Aggregation) dan
fungsi kapabilitas (Regulatif Extractif, Distributif And Responsif).
Dari segi keilmuan yang mendasari politik hukum tidak terlepas dari subjek
yang juga mendasari banyak ilmu yakni filsafat terutama filsafat hukum. Filsafat
hukum sendiri adalah bagian dari proses pemikiran ilmu yang mengarahkan
(Memusatkan) refleksinya pada kajian hukum atau pun gejala-gejala hukum.
Filsafat hukum sendiri tidak bertujuan untuk mempersoalkan terkait kebijakan
hukum positif tertentu melainkan merefleksi suatu hukum menjadi suatu hal yang
umum atau hukum sebagai demikian (Law as such).
Formula yang membuat hukum dapat dipandang menjadi dua pertanyaan
fundamental yang saling berkaitan. Yakni, apa yang menjadi landasan kekuatan
mengikat dari hukum? Dan atas dasar (kriteria) apa hukum dapat dinilai
keadilan?11 Yang dengan kata lain filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai
dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Berkaitan dengan proses pembentukan hukum (Rechtsvorming) dan
penemuan hukum (Rechtsvinding) baik ilmu filsafat dan ilmu hukum akan sulit
diterapkan apabila dipergunakan secara terpisah, kedua prinsip keilmuan ini akan
menghasilkan sesuatu yang setengah-setengah apabila dipergunakan dan
diterapkan masing-masing paham. Apabila hanya mengandalkan kearifan filsafat
hukum maka hasil dari metode tersebut hanya akan menimbulkan produk hukum
yang mengawang-awang dan tidak memiliki tujuan yang jelas dan tetap.
Sebaliknya apabila metode yang dipergunakan hanya menggunakan dasar ilmu
hukum saja maka produk hukum akan cenderung kering dan kaku serta sulit
11
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia. (Bandung: Mandar Maju, 2001), H 119.
17
12
Imam Syaukani dan A, Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum. (Depok: Rajawali
Pers, 2019) H. 39-40
13
Purnadi Purbacaraka, dalam Soerjono Soekanto dan R Otje salman, Disiplin Hukum dan
Disiplin Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1988), H. 175-176
dapat diterima, dilaksanakan, dan dipatuhi sesuai harapan aparat pembentuk
hukum.
Melalui perspektif politik, hukum dipandang sebagai produk atau output
dari proses politik atau hasil pertimbangan dan perumusan kebijakan publik.
Namun di samping hukum sebagai produk pertimbangan politik, terdapat politik
hukum yang merupakan garis atau dasar kebijakan untuk menentukan hukum
yang seharusnya berlaku dalam negara. Di negara demokrasi, masukan (inputs)
yang menjadi bahan pertimbangan untuk penentuan hukum bersumber dari dan
merupakan aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang
kemudian diproses sehingga muncul sebagai outputs dalam bentuk peraturan
hukum.14
Dan hal tersebut yang menjadikan politik hukum sebuah dasar serta acuan
dalam hal pembentukan serta penemuan hukum yang akan menghasilkan produk
hukum yang nantinya akan dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Politik
hukum memberikan dasar serta acuan faktor-faktor yang akan menjadi bahan
pertimbangan sebuah kebijakan dari berbagai sisi dan faktor mendasar yang
diharapkan membuat produk hukum menjadi hasil yang memiliki struktur
mendalam serta keragaman sudut pandang sehingga hukum dapat dipakai dan
ditegakkan sebagai mana mestinya dan berdasarkan tujuannya.
Dalam bukunya Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari mengeluarkan tiga
pertanyaan dasar yang membahas mengenai ruang lingkup politik hukum. Yakni,
di antara tiga lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif badan negara apa yang
berwenang dalam proses penentuan politik hukum di suatu negara? Di bagian
mana saja dalam undang-undang politik hukum dapat ditemukan dan
dipergunakan sebuah negara? Serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
proses penentuan politik hukum sebuah negara terebut?
Dari tiga pertanyaan di atas maka gambaran terkait ruang lingkup politik
hukum mejadi aspek para lembaga kenegaraan pembuat hukum, letak politik
14
Mia Kusuma Fitriana, Jurnal: Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara (Kalimantan
Timur:2015) H. 10
19
hukum juga dapat ditempatkan sebagai kajian yang akan menemukan faktor baik
internal maupun eksternal yang akan mempengaruhi pembentukan alur kebijakan
hukum suatu negara. Meskipun demikian tiga pertanyaan di atas hanya akan
menjelaskan ruang lingkup politik hukum dalam proses pembentukan suatu
produk hukum atau kebijakan saja, hal tersebut belum menjelaskan bagaimana
kegunaan politik hukum pada tataran penerapan dalam bentuk pelaksanaan
produk hukum yang mana merupakan akibat politis dari sebuah produk hukum
yang didasari oleh kajian politik hukum.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam pengertiannya, politik hukum dalam
kajian ini memiliki arti kebijakan. Maka dari itu ruang lingkup dari politik hukum
tidak hanya sebatas dalam proses pembentukan produk hukum saja. Maka dari itu
politik hukum dalam perspektif akademis tidak hanya membahas mengenai politik
hukum secara an sich (Bawaan) melainkan juga dapat mengkritik produk-produk
hukum yang telah dibentuk dan disahkan. Dengan demikian ruang lingkup politik
hukum tidak terbatas kerangka pikir dalam pembentukan ataupun perumusan
suatu produk di bidang hukum yang digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang.
Melainkan juga dapat dipergunakan untuk mengkritisi produk-produk hukum
yang telah disahkan berdasarkan Legal Policy sebagaimana terlah didefinisikan.
Dengan demikian menurut Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari dalam buku
Dasar-dasar Politik Hukum menunjukkan beberapa pokok dari ruang lingkup
kajian politik hukum.
Ruang lingkup politik hukum pertama, dimulai dari proses penggalian nilai-
nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat yang dilakukan oleh
penyelenggara negara dalam merumuskan produk hukum. Para peneliti maupun
para akademisi harus bisa menelaah dari ruang lingkup pertama politik hukum ini
karena dari kajian ini dapat menjadi sebuah awal serta gambaran apa yang
mengakibatkan terjadinya proses pembentukan hukum, dalam mengkaji nilai-nilai
yang ada di masyarakat tidak terlepas dari tradisi, kebiasaan, keadaan sosial, serta
keadaan ekonomi dalam masyarakat tersebut. Hal ini juga menjadi salah satu
pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang akan ada dalam produk hukum.
Ruang lingkup yang kedua adalah proses perdebatan yang dilakukan pihak
berwenang dengan menelaah serta mengkritisi nilai-nilai dan aspirasi sehingga
dapat menjadi bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Dalam
hal ini data yang telah dikumpulkan dari nilai-nilai serta aspirasi di masyarakat
diperdebatkan dan dirundingkan oleh para pihak yang berwenang dalam
merumuskan kebijakan hukum tersebut, namun dalam Legal Framework berisi
kerangka umum yang di dalamnya terdapat bentuk dan isi dari sketsa hukum suatu
negara di dalamnya memiliki kemungkinan untuk diubah oleh pihak yang
berwenang tersebut dikarenakan ketika prosesnya pihak-pihak tersebut yang
bertugas di lembaga-lembaga negara berkumpul dari berbagai kelompok
berkepentingan yang terkadang aspirasinya tidak sama dengan masyarakat secara
umum.
Ruang lingkup yang ketiga terletak pada penelusuran faktor-faktor yang
mempengaruhi dan menentukan suatu kebijakan sebuah hukum, baik yang akan,
sedang, dan telah ditetapkan. Penelusuran faktor ini tidak lepas dari pengaruh
politik yang ada di dalam ruang lingkup pihak yang berwenang saat merumuskan
sebuah hukum, tak jarang politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar
dari subsistem hukum dikarenakan pihak-pihak yang berwenang dapat
memasukkan atau menambahkan kepentingan-kepentingan kelompoknya saat
merumuskan kebijakan hukum. Maka selain faktor aspirasi masyarakat, sosiologis
masyarakat, budaya, serta nilai-nilai yang berada di masyarakat kebijakan hukum
juga dapat berisi kepentingan suatu kelompok maka dari itu hukum tidaklah boleh
diterima begitu saja tanpa melalui proses kajian terus menerus meski hukum
tersebut telah disahkan dan ditetapkan. Ruang lingkup yang keempat mengkaji
bagaimana pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang sudah melalui
proses pelaksanaan politik hukum dari awal pembentukan konsep kebijakan
hukum. Dalam hal ini politik hukum mengkaji sejauh mana sebuah kebijakan
hukum dapat memenuhi unsur-unsur kepatuhan yang layak diterapkan serta
memenuhi praktis-fungsional. Dalam hal ini pula otokritik digunakan terhadap
kebijakan hukum yang telah disahkan dan telah diterapkan di masyarakat otokritik
ini dapat mengevaluasi sebuah produk hukum dengan mengkaji kembali nilai-
21
Efektivitas sendiri berasal dari kata effective yang dalam Bahasa Inggris
artinya berhasil atau suatu tindakan yang dilakukan berhasil dengan baik. Juga
secara umum efektivitas dapat diartikan sebagai sesuatu yang menunjukkan
tingkat keberhasilan atau pencapaian suatu tujuan yang diukur dengan kualitas,
kuantitas dan waktu sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya.
Menurut Cambel J.P pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling
menonjol adalah. Pertama, Keberhasilan program. Kedua, Keberhasilan sasaran.
Ketiga, Kepuasan terhadap program. Keempat, tingkat input dan output. Kelima,
Pencapaian tujuan menyeluruh15.
15
Cambel J.P, Riset dalam Efektivitas Organisasi, Diterjemahkan oleh : Salut Simamora
(Jakarta: Erlangga. 1989) H. 121.
16
Soerjono Soekanto. Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi. Bandung. CV. Ramadja
Karya. 1988. Hal. 80.
hukum, apabila masyarakat berlaku sebagaimana diharapkan dan sesuai dengan
perundang-undagan maka hukum tersebut dapat disimpulkan berjalan efektif di
masyarakat. Soerjono Soekanto menyebutkan terdapat lima faktor yang
menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum, yaitu.
Hal ini selaras dengan pendapat Achmaad Ali terntang sejauh mana tingkat
efektivitas dari hukum dapat diketahui dengan beberapa cara, pertama-tama harus
dapat mengukur sejauh mana aturan hukum tersebut ditaati atau tidak ditaati.
Dalam proses pengukuran efektivitas ini tidak jarang banyak faktor yang
mempengaruhi suatu peraturan perundang-undangan antara lain profesionalitas
dan skala optimal dalam pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para
pelaku penegak hukum. Dalam hal ini para penegak hukum berada dalam lingkup
berperan sebagai pihak yang dapat menjelaskan tugas yang diberikan dan
dibebankan terhadap diri masing-masing maupun dalam tugasnya sebagai pelaku
penegak perundang-undangan tersebut18. Dalam pemahaman soal efektivitas
hukum tidak hanya identik dengan paksaan maupun tuntutan dari pihak lain
namun hukum juga dapat berjalan dengan efektif dengan adanya proses peradilan
yang terkandung dalam kaidah-kaidahnya. Namun kembali lagi kepada hakikat
hukum yang bersifat mutlak dan kaku hal ini berdampak pada unsur pemaksaan
17
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008) H. 8.
18
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1 ( Jakarta: Kencana,
2010), H 375.
23
yang memiliki kaitan erat terhadap seberapa efektif suatu hukum diterapkan
sebagai kebijakan. Jika suatu kebijakan hukum tidak berjalan secara efektif, maka
akan muncul pertanyaan terkait ancaman hukum tersebut, apa yang terjadi dengan
ancaman paksaannya? Mungkinkah hukum tersebut tidak berjalan efektif karena
ancaman paksaannya kurang berat; atau mungkin ancaman yang bersifat memaksa
dari kebijakan hukum tersebut tidak terkomunikasikan secara memadai pada
warga masyarakat yang menjadi sasarannya19.
Dalam konsep lain terkait tingkat efektivitas sebuah produk hukum dapat
dilihat dari tiga komponen pokok menurut Lawrence M. Friedman. Dalam
bukunya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective Friedman
mengatakan bahwa efektifitas suatu kebijakan hukum akan terlaksana apabila
terpenuhinya tiga unsur yang terdapat dalam sistem hukum. Ketiga unsur tersebut
adalah Legal Substance (Substansi Hukum), Legal Structure (Struktur hukum)
dan Legal Culture (Budaya Hukum)20.
19
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif Watampone,
1998) H. 186.
20
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York:
Russerl Sage Fondation, 1969) H. 16
21
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York:
Russerl Sage Fondation, 1969) H. 27
bahkan norma yang digunakan oleh institusi dan yang mengikat struktur bersama-
sama22.
22
Benny Simon Tabalujan, Legal Development In Developing Countries – The Role Of
Legal Culture (Singapore: Associate Professor, Division of Business Law Nanyang Business
School, 2001) H. 11
23
Lawrance M. Friedman, On Legal Development (New Jersey: Rutgers Law Riviews Vol.
24, 1969) H. 27
24
Lawrence M Friedman, Is There a Modern Legal Culture?, (RATIO JURIS Vol. 7, 1994)
H 117-118.
25
berhubungan dengan sistem hukum atau pelaksanaan aturan. Tingkah laku dan
nilai-nilai kebiasaan ini bersama-sama memiliki dampak yang bisa dianggap
sebagai hukum dan berjalannya sebuah prosedur institusi, baik positif maupun
negatif.
Dari banyak aspek yang telah dipaparkan dan dalam garis besar bahwa suatu
kebijakan atau produk hukum akan mencapai tingkat efektif dalam
keberlakuannya saat pelaksanaan dan pembuatan produk hukum tersebut tidak
melepas dari persepsi ideal yang tertanam sejak awal. Namun tidak dipungkiri
praktik dan realita dari sebuah gagasan ideal tentang hukum banyak yang berakhir
jauh dari hipotesa saat hukum itu dirumuskan. Maka mengumpulkan faktor demu
faktor, dasar demi dasar lalu menganalisa seperti apa, bagaimana, dan untuk apa
produk hukum tersebut dibuat akan meningkatkan efektivitas hukum sebagai
kebijakan yang tepat sasaran dan adil.
25
Lawrence M. Friedman; The Legal System; A Social Scince Prespective, (New York:
Russel Sage Foundation, , 1975) H. 13
BAB III
1
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 22
Moh. Masyhuri Ni‟am dkk, NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih (Jakarta: TK
2
26
27
3
Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston, Political Corruption: Concept and
Contexts (New Brunswick: Transaction Publisher, 2007) H. 6-7
4
J. S. Nye, Corruption and political development: A Cost-Benefit Analysis (American
Political Science Review, 1967) H. 419
5
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 46
dilakukan antara pelaku bisnis dan pejabat publik, dan tindakan korupsi yang
dilakukan pejabat publik kepada sesama pejabat publik, berikut penjelasannya:
1. Korupsi dalam bisnis
Jenis korupsi ini terjadi ketika pemerintah dan bisnis berinteraksi. Misalnya,
dalam konflik bisnis, para pihak dapat menggunakan bantuan hakim untuk
memutuskan yang menguntungkan mereka. Berikut beberapa kasus yang
cukup awam terjadi dalam lingkup hubungan pejabat publik dan bisnis
tersebut.
Suap, Dalam memaknai suap secara bahasa terdapat beberapa arti.
Kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang
artinya adalah begging (mengemis) . Dalam bahasa Arab Suap diibaratkan
seperti Risywah berasal dari kata Rasya, Yarsyu, Rasywan, yang berarti
“sogokan” atau “bujukan”. Istilah lain yang searti di kalangan masyarakat
ialah “suap” dan “uang tempel”, “uang semir”, “pelicin”6. Menurut
terminologi suap dijelaskan sebagai sesuatu yang diberikan dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka
memberikan yang salah atau menyalahkan yang benar7.
Contoh tindakan suap yang sering kali terjadi hingga saat ini ada
pemberian sejumlah uang kepada pejabat publik baik berupa uang ataupun
jabatan dan barang simbolis lainnya yang bertujuan untuk meloloskan suatu
rencana proyek tertentu ataupun membungkam pihak agak tidak meloloskan
suatu perkara kepada publik8. Tindakan suap ini menjadi salah satu kategori
tindak pidana korupsi karena menyalah gunakan wewenang jabatan tertentu
demi meloloskan tindak kejahatan melanggar hukum dan keuntungan
pribadi tanpa mempertimbangkan maslahat yang seharusnya dilaksanakan
sesuai kode etik wewenang tersebut.
6
Suap: Korupsi Tanpa Akhir (viva.co.id) diakses pada 16 Juli 2021
7
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2003), H. 1506.
8
Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: AMZAH, 2011), H 89.
29
9
W.J.S. Poerwadarminta, Prent C.M., J. Adisubrata, Kamus Latin-Indonesia (Yogyakarta :
Kanisius, tth.) H. 96
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 2001) H 109
11
M. Dawam Rahardjo, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) : Kajian Konseptual dan
Sosio-Kultural, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.), Menyingkap Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia (Yogyakarta : Aditya Media, 1999) H. 2
12
https://news.detik.com/kolom/d-4264194/skandal-meikarta-dan-fenomena-state-capture
diakses 18 juli 2021
Contoh yang banyak terjadi adalah pengusaha yang memiliki
kedekatan ataupun berkerabat dengan tokoh politik atau pejabat publik
melakukan kompromi atas peraturan resmi atau rancangan undang-undang
bagi kepentingan perusahaan tersebut13, keuntungan yang akan didapatkan
bisa beragam seperti keringanan pajak ataupun kebijakan terkait sewa lahan
maupun perizinannya.
2. Korupsi dalam kekuasaan tinggi
Jenis korupsi ini mencakup kepemimpinan politik dan mahkamah agung
dalam sistem demokrasi. Ini adalah perilaku kebijakan sekelompok orang
yang tidak bermoral, yang telah menetap di kekuasaan, mengejar
kepentingan mereka dan merugikan kepentingan pemilih14. Praktik korupsi
yang banyak dilakukan di lingkup pemerintahan dan pejabat publik
dijelaskan sebagai berikut.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik15. Gratifikasi masuk ke dalam kategori korupsi apabila tindakan
tersebu memiliki maksud dan tujuan yang menguntungkan suatu pihak dan
berdampak pada kerugian besar yang akan dialami masyarakat luas.
Tindakan gratifikasi ini biasanya berupa hadiah dan pembagian sebagian
aset dari pemberi kepada pihak pejabat publik. Meski tindakan gratifikasi
tidak secara lugas tersirat sebagai sebuah tindakan korupsi namun terdapat
beberapa contoh seperti pemberian hadiah kepada pejabat publik sebagai
13
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 27
14
Khidirov Khosim Ibodullaevich dan Usamanova Gulbahor Kholmomin Kizi, Type, Form
of Corruption, Cause and Consequences, (Uzbekistan: Jizzakh Polytechnic Institute, 2021) H. 4
15
Doni Muhardiansyah, Dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi Cet.I, (Jakarta: Komisis
pemberantasan Korupsi, 2010) H. 3
31
16
https://lektur.id/arti-nepotisme/ diakses pada 18 juli 2021
17
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/arti-nepotisme.html diakses pada 18 juli 2021
oleh partai politik maupun perseorangan yang bersangkutan. Contohnya
seperti ketika sebuah partai politik memenangkan pemilihan umum
kemudian memerintah dan mencopot semua pegawai yang mendukung
oposisi dan menggantinya dengan orang yang mendukung partai tersebut
tanpa melihat dan menganalisis secara objektif terkait siapa dan bagaimana
pekerja tersebut melaksanakan tugasnya18.
1. Bentuk praktik pidana korupsi di Indonesia dan Singapura
Dalam praktik pemberantasan korupsi dari berbagai lapisan masyarakat
bernegara di Indonesia kebijakan terkait mengelompokkan suatu undakan ke
dalam perbuatan melanggar hukum. Konstitusi Indonesia tujuh ketentuan
sekaligus pokok gagasan akan tuduhan yang dijatuhkan kepada tersangka
pelaku korupsi, tujuh ketentuan tersebut adalah:
a. Kerugian keuangan negara
Hal ini dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Setiap orang dalam pasal ini adalah orang perseorangan atau termasuk
korporasi, yang secara melawan hukum memiliki pengertian meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
18
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 27
33
19
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 11
20
Penjelasan Umum Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
lebih besar dari yang seharusnya, hilangnya atau terkurasnya hak negara
yang seharusnya dimilik.21
b. Suap-menyuap
Perbuatan ini disebutkan dalam pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Hal yang perlu diperhatikan terkai pasal ini adalah pada bagian
“Memberi atau menjanjikan sesuatu”. Menurut S.R Sianturi dalam
bukunya Tindak Pidana di luar KUHP beliau menyatakan memberikan
suatu pemberian berarti bahwa tindakan memberikan terjadi sebelum
atau sementara (ketika) pegawai negeri itu menyeleweng. Sedangkan
memberikan janji berarti, tindakan tersebut masih akan ada kelanjutan
dari janji itu. Tindakan pemberian barang atau pun janji ini tetap
terhitung secara sempurna ke dalam delik hukum apabila pemberi telah
21
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 22
35
22
S.R Sianturi, Tindak Pidana diluar KUHP, (Jakarta : Alumni, 1983) H, 76
23
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 74
pembuat, tidak dengan jalan kejahatan. Penggelapan dalam jabatan dalam
undang-undang diatas merujuk kepada penggelapan dengan pemberatan,
yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu
berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya (beroep) atau karena
ia mendapat upah24.
d. Pemerasan
Berkaitan dengan pemerasan ini disebutkan dalam pasal 12 e, f dan h
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yaitu:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;
2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
3) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
24
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 2013) H 258-259
37
e. Perbuatan curang
perbuatan ini menjadi bagian yang dikategorikan kepada tindakan pidana
korupsi menurut pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
1) Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;
2) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud di atas;
3) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
25
Adam Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia cet 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2016), H. 224
26
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 132
4) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud di atas.
Dalam pasal ini pengertian gratifikasi memiliki arti luas yang mana
pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan, wisata, pengobatan Cuma-
cua, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi dalam pasal ini juga termasuk
pemberian yang diterima di luat negeri baik menggunakan sarana
elektronik maupun tanpa sarana elektronik27. Dalam Putusan Mahkamah
Agung RI No. 77K/Kr./1973, 19-11-1974 memperjelas pernyataan ini
bahwa “Tidaklah perlu bahwa pemberian atau janji yang bersangkutan
harus diterima secara langsung oleh pelaku sebagai seorang pegawai
negeri, melainkan juga dapat dilakukan oleh istri pelaku atau anak-anak
pelaku”28. Pasal ini terutama diberlakukan pada kepala pegawai negeri
yang menerima bentuk gratifikasi apa pun dengan alasan apa pun. Pada
dasarnya di dalam tindak pidana korupsi penerima gratifikasi ini tidak
cukup hanya memenuhi unsur adanya pemberian kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara semata, namun suatu gratifikasi tersebut
barulah dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan
dan berlawanan dengan kewajiban tugas dari pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut29.
27
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 144
28
Mahkamah Agung RI No. 77K/Kr./1973, 19-11-1974
29
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 147
41
30
https://www.accaglobal.com/pk/en/student/exam-support-resources/fundamentals-exams-
study-resources/f4/technical-articles/sgp-corruption.html diakses 18 September 2021
section 5 PCA mengartikan "gratifikasi" dapat memiliki definisi luas
yang mencakup manfaat moneter dan non-moneter. Manfaat moneter
termasuk "setiap hadiah, pinjaman, biaya, hadiah, komisi, keamanan
berharga atau properti atau kepentingan lainnya dalam properti dengan
deskripsi apa pun, baik bergerak maupun tidak bergerak". Manfaat non-
moneter termasuk "layanan lain, bantuan atau keuntungan dari deskripsi
apa pun"31.
31
https://www.legal500.com/guides/chapter/singapore-bribery- corruption/ diakses 18
September 2021
43
32
Prevention of Corruption Act (CAP. 241) Part I Preliminary Interpretation section 2 1993
Ed.
33
https://www.legal500.com/guides/chapter/singapore-bribery- corruption/ diakses 18
September 2021
2. Upaya pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat.
3. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi.
4. Kerja sama Internasional34.
34
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 94-100
35
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 95
45
a. pejabat publik tidak boleh meminjam uang dari orang yang memiliki
hubungan resmi dengannya;
b. hutang dan kewajiban pejabat publik yang tidak dijamin setiap saat tidak
boleh lebih dari tiga kali gaji bulanannya;
c. seorang pejabat publik tidak dapat menggunakan informasi resmi apa pun
untuk memajukan kepentingan pribadinya;
36
Pemerintah Indonesia – Perpres No 55 Tahun 2012 Lampiran Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012-2014 dan 2012-2025 (Jakarta: UNODC Indonesia,
2012) H 24
d. seorang pejabat publik diharuskan untuk menyatakan kekayaannya pada
penunjukan pertamanya dan juga setiap tahun;
e. pejabat publik tidak boleh terlibat dalam perdagangan atau bisnis atau
melakukan pekerjaan paruh waktu tanpa persetujuan; dan
f. seorang pejabat publik tidak boleh menerima hiburan atau hadiah dalam
bentuk apa pun dari anggota masyarakat.
Komitmen para menteri dan kepala departemen pemerintah juga
menghasilkan penetapan langkah-langkah administratif untuk mengurangi
kemungkinan pejabat publik terlibat dalam korupsi dan kesalahan. Langkah-
langkah ini meliputi:
a. mengidentifikasi dan menghilangkan peluang korupsi dalam prosedur kerja
Pemerintah;
b. merampingkan prosedur administrasi yang rumit dan memangkas birokrasi
untuk menyediakan layanan sipil yang efisien dan transparan sehingga tidak
ada yang perlu meminta bantuan pegawai negeri yang korup untuk
menyelesaikan sesuatu;
c. meninjau gaji pejabat publik secara teratur untuk memastikan bahwa mereka
dibayar secara memadai dan sebanding dengan bahwa dari sektor swasta;
d. mengingatkan kontraktor Pemerintah pada saat kontrak ditandatangani
bahwa menyuap pejabat publik yang menyelenggarakan kontrak dapat
membuat kontrak mereka dihentikan. Sebuah klausul untuk efek ini
merupakan bagian dari kondisi kontrak standar37.
37
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB) H. 127
47
38
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 96
39
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 61
40
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 63
c. Kampanye anti korupsi yang komprehensif dan terencana41.
Pemerintah Singapura melakukan upaya sosialisasi masyarakat dengan
menggunakan efisiensi aspirasi publik dengan membentuk “Public Service in the
21st Century” (PS21) untuk mencapai tata kelola administrasi yang baik,
keunggulan organisasi, dan berorientasi layanan. Peningkatan efisiensi dan
efektivitas dalam pemberian layanan publik tersebut dapat bertindak melawan
korupsi dan mengurangi peluangnya. Hal ini karena layanan yang diberikan
dengan cepat dan tanpa kerumitan menyisakan lebih sedikit ruang untuk korupsi
dibandingkan dengan layanan yang memakan waktu lama dan memiliki tahapan
pemrosesan yang membosankan. Tujuan utama Pemerintah Singapura melakukan
inisiatif PS21 adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam
penyediaan layanan publiknya. Meskipun demikian, ia memiliki manfaat
sampingan penting dari pencegahan korupsi.
a. dengan pemberdayaan dan pelibatan petugas untuk perbaikan terus-
menerus, kami berharap para pelayan publik menjadi lebih terlibat. Seorang
petugas yang terlibat bangga dengan pekerjaannya dan kecil
kemungkinannya untuk menyerah pada korupsi.
b. dengan memotong birokrasi, membuat layanan lebih mudah dan lebih
mudah diakses, memberikan sedikit kesempatan bagi pejabat publik untuk
meminta suap untuk melicinkan transaksi. Dengan mencari umpan balik
dari publik dan bersikap transparan dalam kebijakan dan standar
layanannya, hal itu menyisakan sedikit ruang bagi pejabat publik untuk
meminta suap. Langkah paralel untuk meningkatkan layanan sipil dan
memposisikan, pemerintah untuk melayani bangsa dengan lebih baik di era
digital juga dimulai melalui e-Government Action Plans (eGAP).
c. Pembuatan iGov2010, berjalan dari tahun 2006 - 2010. iGov bertujuan
untuk memberikan layanan publik yang sangat baik serta menghubungkan
warga dengan pemerintah . Layanan elektronik yang sudah ada atau yang
41
Pemerintah Indonesia – Perpres No 55 Tahun 2012 Lampiran Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012-2014 dan 2012-2025 (Jakarta: UNODC Indonesia,
2012) H 25
49
42
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB ) H. 128
awalnya, fungsi penuntutan; fungsi peningkatan kesadaran; analisis, pembuatan
kebijakan, dan fungsi legislatif; dan fungsi pencegahan. Unit ini membahas ruang
lingkup dan implikasi dari masing-masing43.
43
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 51
44
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB ) H. 125
51
45
https://web.archive.org/web/20141113105945/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/sekilas-kpk diakses tanggal 22 September 2021
46
Lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 6 – pasal 9
negara-negara berkembang, diperlukan sumber daya serta modal yang sangat
besar. Modal ini dapat diperoleh dengan pengembalian kekayaan negara yang
diperoleh dari hasil korupsi47.
47
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 112
48
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB ) H. 130
53
49
Darmono, Ekstradisi Terpidana Kasus Korupsi dalam Rangka Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi. Lex Jurnalica Volume 9 Nomor 3, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik
Indonesia2012) H. 138
50
Pemerintah Indonesia – Perpres No 55 Tahun 2012 Lampiran Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012-2014 dan 2012-2025 (Jakarta: UNODC Indonesia,
2012) H 29
c. Harmonisasi peraturan perundang-undangan, menyelaraskan peraturan
perundang-undangan baik dari sektor daerah maupun sentral negara.
d. Kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi.
e. Pendidikan dan budaya anti-korupsi kepada generasi muda dan para calon
pejabat publik.
f. Membuat mekanisme pelaporan51.
51
https://www.unodc.org/documents/brussels/UN_Convention_Against_Corruption diakses
pada 19 juli 2021
BAB IV
55
Ada juga beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan ketika
memperkenalkan hukum
1
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H. 488
57
9. Tindakan pemberantasan korupsi akan lebih cepat. Sumber daya khusus tugas
akan digunakan dan pejabat tidak akan tunduk pada prioritas yang bersaing
dari penegakan hukum umum, audit, dan lembaga serupa.2;
2
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H. 99
3
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 102
4
Robert Klitgaard, International Cooperation Against Corruption, (Santa Monica,
California: The RAND Graduate School, 1998) artikel
https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1998/03/pdf/klitgaar.pdf diakses pada 24 Septermber
2021
demikian juga upaya terbaik negara lain untuk membantu mereka dalam upaya
ini. Korupsi, kejahatan terorganisir dan masalah terkait juga cenderung menyebar
dari negara-negara di mana mereka endemik di sepanjang hubungan ekonomi atau
lainnya ke negara-negara di mana mereka tidak endemik. Globalisasi
perdagangan, struktur ekonomi dan sosial juga telah meningkatkan prevalensi
kasus korupsi individu yang memiliki unsur transnasional. Kerja sama
internasional mencakup perjanjian serta tindakan berikut:
1. Ekstradisi;
2. Bantuan Hukum Bersama (model MLA);
3. Transfer Proses;
4. Transfer Putusan;
5. Pemindahan Putusan, khususnya Pemindahan Terpidana;
6. Pemulihan dana ilegal (penelusuran, pembekuan dan penyitaan)5.
5
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H.
6
https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas diakses tanggal 23 September 2021
59
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 6
8
https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas diakses tanggal 24 September 2021
1) Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai
terjadinya tindak pidana korupsi;
2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau
memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan
hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
3) Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada presiden
republik indonesia, dewan perwakilan rakyat republik indonesia, dan
badan pemeriksa keuangan;
4) Menegakkan sumpah jabatan;
5) Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenang9.
Poto 1 https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi
9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 15
61
Bagian yang kedua dalam struktur tubuh lembaga KPK adalah Dewan
pengawas, terdapat dalam Pasal 37B Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang KPK tugas Dewan Pengawas KPK adalah:
10
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk diakses pada 25 September 2021
4. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai
adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK
atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.
5. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran
kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK.
6. Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK secara berkala 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun11.
11
https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/20/164700665/resmi-dilantik-apa-saja-
tugas-dewan-pengawas-kpk. Diakses pada 25 September 2021
63
12
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan diakses
tanggal 25 September 2021
65
a. Direktorat Penyelidikan;
b. Direktorat Penyidikan;
c. Direktorat Penuntutan;
d. Direktorat Labuksi; dan
e. Sekretariat Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi13.
13
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-penindakan diakses
tanggal 25 september 2021
koordinasi dan supervisi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi menyelenggarakan fungsi:
Deputi selanjutnya yakni Deputi Bidang Informasi dan Data, bagian ini
bertugas menyiapkan dan melaksanakan rumusan kebijakan pada bidang
informasi dan data dalam rangka pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi, Deputi Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:
14
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-koordinasi-dan-
supervisi diakses tanggal 25 September 2021
6. Pengumpulan serta pengolahan data dan informasi, termasuk analisis
informasi untuk kepentingan pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi, kepentingan manajerial maupun dalam rangka deteksi indikasi
tindak pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah
penyebab korupsi;
15
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-koordinasi-dan-
supervisi diakses tanggal 25 September 2021
69
Selanjutnya adalah Deputi Bidang Informasi dan Data, bagian ini bertugas
menyiapkan dan melaksanakan rumusan kebijakan pada bidang informasi dan
data dalam rangka pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Deputi
Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:
Poto 2https://www.cpib.gov.sg/
Departemen kedua, yakni Departemen Operasi terdiri dari tiga divisi: Operasi
Intelijen, Analisis Intelijen dan Urusan Internasional, dan Sains dan
Teknologi / Proyek Khusus.
16
https://www.cpib.gov.sg/who-we-are/our-work/organisational-structure diakses pada 25
September 2021
17
Lihat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
mengalami perubahan dan amandemen hingga tahun 200218. Istilah “korup” di
bawah CPA mensyaratkan bahwa pengadilan bertindak dengan cara yang benar-
benar memuaskan, pertama ada unsur korupsi dalam transaksi dan, kedua, bahwa
orang yang memberi atau menerima manfaat memiliki niat korup. Syarat pertama
penetapan “unsur korupsi” adalah kepastian niat tersangka untuk memperoleh
kepuasan, syarat kedua adalah ukuran objektif untuk menentukan apakah niat
yang menyertai transaksi itu merupakan unsur. Korupsi atau tidak. Syarat ketiga
dari "niat korupsi" dipenuhi dengan menentukan apakah terdakwa tahu atau sadar
bahwa tindakannya korup menurut standar umum dan subjektif19.
Struktur Hukum, Dalam menganalisa struktur hukum Indonesia sudah memiliki
organisasi antikorupsi seperti Komisi (KPK) yang gencar memburu penjahat
hingga dihukum secara hukum, sementara Singapura memberantas korupsi
melalui CPIB atau Kantor Inspeksi Korupsi. Struktur organisasi CPIB terbagi
menjadi tiga cabang. Cabang terpenting adalah Divisi Investigasi yang terdiri dari
empat unit, yang masing-masing dipimpin oleh Wakil Direktur Senior atau Wakil
Direktur, yang bertanggung jawab untuk mengarahkan dan memantau upaya
investigasi agen, pejabat bawahan. Surat Penyelidikan dibuat oleh penyidik dan
diserahkan kepada Direktur, yang menerima bukti dan membuat rekomendasi
yang sesuai kepada jaksa, di mana persetujuan diperlukan untuk penuntutan di
bawah kebijakan Negara PCA20.
Budaya Hukum, Ketika mengamati budaya hukum Indonesia tidak hanya
menerapkan kinerja mutlak KPK dalam menyelidiki setiap kasus korupsi yang
ada, Kerja sama dengan Mahkamah kehakiman juga menjadi acuan prosedur
pelaksanaan pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini menjadikan KPK bukan
lembaga tunggal yang harus menyelesaikan visi bebas korupsi di Indonesia.
18
Abd. Rachman Assegaf, Policy Analysis And Educational Strategy For Anti Corruption
In Indonesia And Singapore, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) H. 618
19
Abd. Rachman Assegaf, Policy Analysis And Educational Strategy For Anti Corruption
In Indonesia And Singapore, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) H. 620
20
Abd. Rachman Assegaf, Policy Analysis And Educational Strategy For Anti Corruption
In Indonesia And Singapore, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) H. 621
75
Singapura di lain sisi juga melakukan Kerja sama antar divisi dan bagian dengan
tenaga penegak hukum lain seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam
menindak dan memidana para pelaku korupsi21.
21
M.Syamsudi, Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum (Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 2007) H. 190
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil rumusan pembahasan penelitian kebijakan pemberantasan
korupsi di Negara Indonesia dan Singapura dapat disimpulkan bahwa:
76
77
B. Saran
DPR sebagai badan legislatif Indonesia masih perlu mengevaluasi dan
memperbaiki banyak aspek dari kebijakan pemberantasan korupsi ini.
memperhatikan tidak hanya pada aspek tata cara kerja badan khusus saja akan
tetapi juga dapat memperhatikan kinerja badan lain yang bekerja sama dalam
membantu proses pelaksanaan kebijakan positif dalam undang-undang.
Kepolisian juga masih harus belajar dan mengetahui terkait kategori dan delik
hukum secara keseluruhan dalam kebijakan yang sudah dibuat oleh badan
legislatif, karena sebagai salah satu badan pelaksana hukum kepolisian yang
bekerja sama dengan badan khusus pemberantasan korupsi dapat membuat
proses peradilan yang lebih optimal dan cepat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1 ( Jakarta:
Kencana, 2010), Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum Jakarta:
Yarsif Watampone, 1998
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2003
Friedman Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective New
York: Russerl Sage Fondation, 1969
Irfan Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam Jakarta: AMZAH, 2011
Istanto F. Sugeng dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali , Politik Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010
J.P Cambel, Riset dalam Efektivitas Organisasi, Diterjemahkan oleh : Salut
Simamora Jakarta: Erlangga. 1989
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan
Empiris. Jakarta: Kencana, 2016
Neild Robert, Public Corruption: The Dark Side of Social Evolution London
Anthem Press, 2002
Ni’am Moh. Masyhuri dkk, NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih Jakarta:
TK GNPK NU, 2006
Rachman Assegaf Abd., Policy Analysis And Educational Strategy For Anti
Corruption In Indonesia And Singapore, Yogyakarta: Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2015
Rahardjo Sajipto, Ilmu Hukum, Cet. III, Bandung: Citra Aditya bakti, 1991,
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) : Kajian Konseptual dan Sosio-
Kultural, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.),
Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia Yogyakarta :
Aditya Media, 1999
Rosadi Otong dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum,
Yogyakarta: Thafa Media, 2012
Jurnal
Muhammad Radhie Teuku dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Prisma:
1973
Perdana Putra dan Purbayu Budi Santosa, Efektivitas Lembaga Birokrasi Dan
Tingkat Korupsi Terhadap Investasi Pada Enam Negara Asean (Filipina,
Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapura, Dan Thailand) Tahun 2004-
2010 Semarang: Universitas Diponegoro, 2012
Sidharta Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Hukum Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung:
Mandar Maju, 2001
Tabalujan Benny Simon, Legal Development In Developing Countries – The Role
Of Legal Culture, Singapore: Associate Professor, Division of Business Law
Nanyang Business School, 2001
Website
https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1998/03/pdf/klitgaar.pdf
https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas
https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk
https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/20/164700665/resmi-dilantik-apa-
saja-tugas-dewan-pengawas-kpk.
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-penindakan
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-
koordinasi-dan-supervisi
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-
koordinasi-dan-supervisi
https://www.cpib.gov.sg/who-we-are/our-work/organisational-structure
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1462-indeks-persepsi-korupsi-
indonesia-membaik
83
https://sso.agc.gov.sg/Browse/Act-Rev/
https://peraturan.bpk.go.id/
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/arti-
nepotisme.html#:~:text=Secara%20umum%2C%20arti%20nepotisme%20a
dalah%20suatu%20tindakan%20seseorang,kemampuannya%20tetapi%20at
as%20dasar%20hubungan%20keluarga%20atau%20kedekatan.
https://www.unodc.org/documents/brussels/UN_Convention_Against_Corruption
https://cyberleninka.ru/article/n/types-forms-of-corruption-causes-and-
consequences
https://sso.agc.gov.sg/
https://en.wikipedia.org/
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/