Anda di halaman 1dari 88

POLITIK HUKUM KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI

NEGARA SINGAPURA DAN INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana
Hukum (S.H.) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Nur Afni

11170453000022

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021/1443
POLITIK HUKUM KEBIJAKAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI
NEGARA SINGAPURA DAN INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana
Hukum (S.H.) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh

Nur Afni

11170453000022

Di Bawah Bimbingan

Fathudin, S,H.I., S.H, M.A.Hum., M H

NIP. 19850610 2019031007

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021/1443
LEMBAR PERNYATAN

Saya bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana Hukum (S.H) pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Desember 2021

Nur Afni

NIM: 11170453000022
Abstrak
NUR AFNI NIM 11170453000022 POLITIK HUKUM KEBIJAKAN
PEMBERANTASAN KORUPSI DI NEGARA SINGAPURA DAN
INDONESIA PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH Jakarta 2021/1442. 74 Halaman.
Tujuan dari penulisan penelitian ini untuk memberikan pemahaman dengan
menjelaskan bagaimana proses kinerja pemerintah Indonesia dan Singapura dalam
mengesahkan kebijakan pemberantasan korupsi di negara masing-masing. Dengan
konsentrasi penelitian pada korupsi sebagai latar gagasan pokok dari masalah
yang masif penulis memberikan poin-poin ini yang dalam hal ini adalah sistem
hukum penanganan korupsi secara keseluruhan baik dari bagian yang substantif
seperti hukum positif yakni undang-undang, struktural yakni para pihak dan
aparat yang berkaitan dengan kebijakan penindakan kasus korupsi, serta kultural
dalam masyarakat yang memiliki pengaruh besar akan budaya korupsi ini.
Penelitian ini menggunakan jenis yuridis normatif dan library research, yakni
mengkaji data-data terkait kebijakan korupsi dari berbagai sumber yang telah
dipustakakan dalam berbagai literatur sejarah pembentukan kebijakan, serta
undang-undang hukum positif itu sendiri.
Dalam memahami hasil dari perbedaan dan persamaan terkait bagaimana
Indonesia dan Singapura menerapkan idealisme politik hukum kebijakan
pemberantasan korupsi terdapat beberapa poin yang dapat di simpulkan.
Singapura memusatkan identifikasi kasus korupsi pada tindakan yang dilakukan
pelaku korupsi secara umum, dan memproses tindak kejahatan korupsi tersebut
sesuai dengan undang-undang yang berlaku, Indonesia dengan ekosistem wilayah
yang lebih luas memiliki beberapa point tambahan terkait kategori tindakan
korupsi dan hukuman yang pantas dijatuhkan kepada pelaku, Singapura
memanfaatkan kontribusi masyarakat secara adil dan serius dengan pembangunan
lembaga penyokong agar mempermudah masyarakat melaporkan tindakan
penyelewengan pegawai publik yang disaksikan masyarakat, dalam hal ini
Indonesia belum sampai pada tahap pemanfaatan kontribusi masyarakat
melainkan masih dalam edukasi masyarakat, Singapura memperhatikan detail
regulasi keuangan yang berjalan tidak hanya pada lembaga-lembaga publik milik
negara melainkan juga pada lembaga-lembaga milik swasta yang tidak lepas dari
pengawasan yang belum dapat dijangkau Indonesia, Indonesia merumuskan
kebijakan konstitutif terkait substansi penindakan kasus korupsi dengan
mengambil sudut pandang tidak hanya pada tindakan pelaku akan tetapi juga pada
dampak yang ditimbulkan pelaku korupsi tersebut.
Kata Kunci: Politik Hukum, Korupsi, Undang-Undang Korupsi, KPK, CPIB
Pembimbing: Fathudin,S.H.I, S.H, M.H, MA
Daftar Pustaka: 1967 s.d 2020

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya berupa nikmat Iman dan Islam yang diberikan kepada penulis sehingga bisa
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah kepada
sang pembawa risalah ketauhidan Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “POLITIK HUKUM KEBIJAKAN
PEMBERANTASAN KORUPSI DI NEGARA SINGAPURA DAN
INDONESIA”. Peneliti sadari skripsi ini tidak akan selesai tanpa doa, dukungan
dan dorongan dari berbagai pihak. Adapun dalam kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

4. Masyrofah, M.A., Sekertaris Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas


Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Atep Abdurofiq, M. Si., dosen pembimbing akademik saya selama


belajar di Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Dr. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag., dan Nurlaili Rahmawati, SHI, MHI
Sebagai penguji Skripsi saya.

7. Fathudin, S,H.I., S.H, M.A.Hum., M H. Dosen pembimbing I yang telah


memberikan arahan juga motivasi dalam bimbingan kepada penulis dalam
menyusun skripsi ini.

ii
iii

8. Ayahanda Joni Adi dan Ibunda Safrida tercinta, orang yang paling hebat
didunia ini, orang yang selalu tidak pantang menyerah dalam memberikan
doa, bantuan, dukungan, kasih sayang. Serta kepada adikku tercinta Hafiz
Muhammad Rahman yang selalu mampu menjadi tempat beristirahat dan
melepas penat yang luar biasa.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan bimbingan Annisa Desiana, Chacha


Khoirunisa dan bang Fauzan Yudistira Ramadhan orang yang tidak pernah
mengeluh dan sama-sama berjuang demi mendapatkan hasil terbaik dalam
penulisan skripsi.

10. Sahabat Ilfah Luthfiah tersabar dan terbaik yang membantu proses penulisan
skripsi ini dari awal hingga akhir.

11. Sahabat-sahabat terbaikku, Nurul Octavia Rahayu, Rena Nastasia, Ai


Sukmawati Dan Zaqia Azqia yang telah memberikan semangat dan
dorongan untuk tidak menyerah dalam penulisan skripsi.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
segalanya.

13. Semoga skripsi ini dapat menjadi manfaat untuk penulis dan pembaca,
Aamiin.

Bogor, 28 Oktober 2021

Nur Afni
NIM 11170453000022
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 5
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 5
B. Identifikasi Masalah danPembatasan Masalah ............................................ 6
C. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 7
E. Review Kajian Terdahulu ........................................................................... 8
F. Metode penelitian ....................................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 11
BAB II PENGERTIAN DAN DEFINISI POLITIK HUKUM........................ 13
A. Pengertian Politik Hukum ......................................................................... 13
B. Efektivitas Penegakan Hukum .................................................................. 21
BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
DAN SINGAPURA. ............................................................................. 26
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................................ 26
B. Berbagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi .................................................. 27
C. Berbagai Bentuk Upaya Pemberantasan Korupsi. ..................................... 43
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KEBIJAKAN
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DAN
SINGAPURA ....................................................................................... 55
A. Instrumen Kebijakan Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi .................. 55
B. Lembaga Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi ................................... 58
C. Persamaan dan Perbedaan Dalam Kebijakan Pemberantasan Korupsi ...... 73
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 76
A. Kesimpulan ............................................................................................... 76
B. Saran ......................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 78

iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi menjadi fenomena ironi dan tantangan besar yang dihadapi oleh
masyarakat internasional pada saat ini. Korupsi tidak hanya mengancam
pemenuhan hak-hak dasar manusia dan menyebabkan macetnya demokrasi dan
proses demokratisasi, namun juga mengancam pemenuhan hak asasi manusia,
merusak lingkungan hidup, menghambat pembangunan dan meningkatkan angka
kemiskinan jutaan orang di seluruh dunia1.
Korupsi adalah pelanggaran aturan perilaku dalam urusan publik yang
berlaku di suatu masyarakat pada periode tertentu yang dilakukan seorang atau
sekelompok orang yang memiliki tanggung jawab serta kewajiban publik demi
keuntungan finansial atau politik pribadi maupun kelompok.2 Permasalahan
korupsi ini sudah menjadi sesuatu yang marak terjadi di berbagai negara di
belahan dunia. Memberantasnya hingga ke akar doktrin dalam masyarakat adalah
visi dan harapan bagi seluruh negara di dunia.
Menurut CPI (Corruption Perception Index) Skor Indeks Persepsi Korupsi
Indonesia perlahat tapi pasti mengalami kenaikan. Dapat diartikan bahwa sistem
penanggulangan tindak pidana korupsi semakin baik dari tahun ke tahun, namun
masih belum jadi yang terbaik. KPK dalam hal ini telah menghentikan 36 kasus
korupsi selama 5 (lima) tahun terakhir. Secara global, rata-rata skor CPI dunia
berada pada 43 poin. Sebanyak 60% atau 120 dari 180 negara yang diukur CPI
memiliki skor di bawah 50 termasuk Indonesia dengan skor 37. Selain Indonesia,
terdapat lima negara lain yang memiliki skor sama seperti Indonesia, yaitu
Burkina Faso, Guyana, Lesotho, Trinidad and Tobago, serta Kuwait. Indonesia

1
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 105
2
Robert Neild, Public Corruption: The Dark Side of Social Evolution (London Anthem
Press, 2002) H. 202

5
berada di peringkat ke-4 di antara negara ASEAN, setelah Singapura, Brunei
Darussalam, dan Malaysia. Di tahun 2019, Denmark dan New Zealand berada di
tingkat pertama dengan perolehan skor 873.
Indeks Persepsi Korupsi di Singapura sendiri berada stabil dalam skor rata-
rata 85 sejak tahun 20124. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
banyak ketertinggalan dalam penanganan tindak pidana korupsi dibandingkan
Singapura. Lantas apa yang menjadi faktor dari perbedaan dua negara ini? dalam
pencatatan hukum positif Singapura memiliki Cap. 241: Prevention of Corruption
Act sebagai pedoman dalam pemberantasan korupsi di Negaranya, Indonesia
memiliki UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang dicabut dengan penetapan UU Nomor 31 Tahun 1999.
Berbagai cara pemerintah membuat, mempelajari hingga memodifikasi
berbagai kebijakan yang ada di dunia tapi hingga kini masih belum ada yang
berhasil memberantas secara tuntas korupsi dari budaya pemerintahan itu sendiri.
Singapura dan Indonesia memiliki dua ekosistem ketimpangan penegakan hukum
mengenai korupsi ini yang menjadi sangat menarik untuk di ulas apa sebenarnya
yang mendasari kedua negara serumpun memiliki presensi yang berbeda dalam
skor pemberantasan korupsi yang masih marak hingga saat ini.
Maka dari itu atas disusunnya latar belakang ini. Penulis tertarik untuk
melakukan kajian mendalam terkait bagaimana Singapura dan Indonesia
memberantas kasus Tindak Pidana Korupsi di negaranya masing-masing. Dengan
tinjauan dari perspektif Politik hukum serta analisis Undang-undang kajian ini
dibuat dengan judul “Politik Hukum Kebijakan Pemberantasan Korupsi Di
Negara Singapura Dan Indonesia”

B. Identifikasi Masalah danPembatasan Masalah


1. Identifikasi Masalah

3
https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1462-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-
membaik diakses pada 11 Juli 2021 pukul 12.14
4
https:// Singapore: Corruption Perceptions Index 2020 | Statista diakses pada 11 Juli 2021
pukul 12.35
7

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa


permasalahan sebagai berikut :
a. Kebijakan pemerintah dalam merumuskan undang-undang penanganan
tindak pidana kasus korupsi di Singapura dan Indonesia
b. Perbandingan cara implementasi hukum diantara kedua negara Singapura
dan Indonesia
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah penelitian ini, penulis membatasi masalah yang akan di
bahas, yaitu sistem pelaksanaan serta penerapan undang-undang kebijakan
terkait kasus korupsi pada Cap. 241: Prevention of Corruption Act dan Cap.
65A: Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation
of Benefits) Act di Singapura dan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun
2001 tentang tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia dengan
menggunakan perspektif Politik Hukum.

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dengan bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
1. Bagaimana kebijakan politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia dan
siangapura?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan kebijakan pemberantasan korupsi di
Indonesia dan Singapura?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini menimbulkan beberapa manfaat, yakni:
1. Bagi Akademik
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian lebih lanjut
mengenai implementasi kebijakan pidana korupsi antara Singapura dan
Indonesia.
2. Bagi Peneliti
Mengharapkan bahwa hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan atau
diterapkan dalam menambah wawasan peneliti terkait kebijakan pemerintah
Singapura dan Indonesia mengenai persoalan kebijakan tindak pidana korupsi
berdasarkan idealisme hukum tata negara.

E. Review Kajian Terdahulu


Beberapa penelitian terkait dengan topik ini sudah banyak dilakukan secara umum
dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Berikut adalah kajian-kajian terdahulu
yang terkait korupsi dan perbandingan kebijakan antara Singapura dan Indonesia:
1. Skripsi Miss Notchanee Suksrinuan yang berjudul “Perbandingan Sanksi
Pidana Korupsi Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Thailand.” Skripsi ini
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negri Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini sama-sama bertujuan untuk menjelaskan
proses penerapan sanksi hukuman terhadap para pelaku tindak pidana korupsi
dengan berfokus pada sanksi dan pihak-pihak yang berwenang dalam waktu
itu. Yang membedakan penelitian ini terdapat pada kultur sosial dari negara
yang dikaji dan di paparkan. Memfokuskan penelitian pada Negara Thailand
yang banyak di dasari oleh polemik politik di negara tersebut5.
2. Jurnal Putra perdana dan Purbayu Budi Santosa dengan judul “Efektivitas
Lembaga Birokrasi Dan Tingkat Korupsi Terhadap Investasi Pada Enam
Negara Asean (Filipina, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapura, Dan
Thailand) Tahun 2004-2010”. Dalam penelitian ini sistematika penjelasan
terhadap gagasan efektivitas dari lembaga yang bertanggung jawab dalam
mengatur, menindak, mengawasi, dan memberantas korupsi dijelaskan dalam
bentuk analisis index menggunakan variable-variable statis dari data jumlah
hipotesa negara-negara yang menjadi sasaran penelitian. Penelitian ini berpusat
pada hipotesa bahwa efisiensi birokrasi negara yang cenderung rendah akan
berbenturan dengan kebutuhan untuk melakukan pelayanan publik, sehingga
mau tidak mau, orang perorang atau badan hukum yang hendak melakukan
hubungan dengan birokrasi, seperti melakukan perijinan atau melakukan
investasi di beberapa negara-negara di ASEAN harus membayar suap,

5
Miss Notchanee Suksrinuan, Perbandingan Sanksi Pidana Korupsi Dalam Hukum Pidana
Indonesia dan Thailand (Yogyakarta: Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2017) H. 5
9

gratifikasi, bahkan hingga menyentuh tindak pidana korupsi secara utuh sesuai
dengan undang-undang tindak pidana korupsi untuk mempercepat proses
mekanisme birokrasi suatu urusan6.

F. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan konsep penelitian normatif yang dimaksudkan
untuk menelaah ketentuan-ketentuan hukum positif, dan perangkat hukum
positif yang akan digunakan secara normatif akan digunakan sebagai sumber
bahan hukum7. Pada penelitian ini hukum dikonsepsikan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law In Book) atau hukum yang
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas. Penelitian ini mengacu pada
data-data yang bersifat referensif dan tertulis.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan
(Statutory Approach), Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach), Dan
Pendekatan Historis (Historical Approach) 8.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian normatif pengumpulan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dilakukan melalui prosedur inventarisasi, identifikasi dengan
menggunakan sistem kartu yang terbagi dalam: Kartu ikhtisar, kartu kutipan
dan kartu analisis. Bahan-bahan Hukum (Legal Materials) yang diperoleh

6
Putra perdana dan Purbayu Budi Santosa, Efektivitas Lembaga Birokrasi Dan Tingkat
Korupsi Terhadap Investasi Pada Enam Negara Asean (Filipina, Indonesia, Malaysia, Myanmar,
Singapura, Dan Thailand) Tahun 2004-2010 (Semarang: Universitas Diponegoro, 2012) H. 2.
7
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
(Jakarta: Kencana, 2016) H. 176
8
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
(Jakarta: Kencana, 2016) H. 128
diolah dengan melakukan kategorisasi sebagai langkah mengklasifikasikan
bahan hukum secara selektif.9
4. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer adalah sumber data inti yang penulis dapatkan dari
berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, yakni : Prevention
Of Corruption Act, Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes
(Confiscation of Benefits) Act10, UU No 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun
2001, UU No. 30 Tahun 2002, UU Nomor 10 Tahun 2015, UU No. 8 tahun
201011, serta buku literatur mengenai kajian Korupsi.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami
bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, jurnal, hasil penelitian
terdahulu yakni: Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Politik
hukum di Indonesia, Dasar-dasar Politik Hukum, Korupsi: Melacak Arti,
Menyimak Implikasi. Serta literatur lain yang berkesinambungan dengan
pokok penelitian penulis.
c. Bahan hukum tersier, yang akan menjelaskan mengenai bahan sumber data
premier dan sekunder, yang didapatkan dari ensiklopedia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia serta Kamus Bahasa Inggris dan penunjang lain yang
berkaitan dengan pembahasan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan
masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data
bertujuan untuk menginterpretasikan data yang sudah disusun secara sistematis
yaitu dengan memberi penjelasan. Dalam menyusun dan mengalisa data

9
Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
(Jakarta: Kencana, 2016) H. 178-179
10
https://sso.agc.gov.sg/Browse/Act-Rev/ diakses pada 11 Juli 2021 pukul 11.20 WIB
11
https://peraturan.bpk.go.id/ diakses pada 11 Juli 2021 pada pukul 01.15 WIB
11

penulis menggunakan penalaran deduktif12. Penalaran deduktif merupakan


langkah berpikir dengan mengumpulkan pernyataan yang bersifat umum untuk
selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, dengan metode Deskriptif
Analitis.13 Metode Deskripsi analitis adalah metode yang digunakan untuk
mempelajari permasalahan yang ada di masyarakat, serta tata cara yang berlaku
dalam masyarakat sehari-hari serta situasi tertentu. Setelah proses analisis,
dilakukan proses sintesis dengan menarik dan menghubungkan rumusan
masalah, tujuan penulisan, serta pembahasan yang dilakukan. Berikutnya ditari
kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal
sebagai upaya transfer gagasan yang diakhiri dengan kesimpulan hasil analisis.
6. Teknik Penulisan Data
Adapun teknik penulisan data dalam skripsi ini menggunakan “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017”

G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (Lima) pembahasan, dengan
sistematika sebagai berikut :
BAB I: Pendahuluan. Terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
review kajian terdahulu, metode penelitian dan rancangan sistematika
penulisan.
BAB II: Politik Hukum, menjelaskan kajian meliputi, pengertian Politik hukum,
ruang lingkup Politik Hukum, serta dampak dan pengaruh yang menjadi
faktor terbentuknya dan terlaksananya suatu produk hukum
BAB III: Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Peraturan Perundang-
Undangan Di Indonesia Dan Singapura, dalam bab ini penulis akan
menjelaskan mengenai Pengertian Korupsi, Jenis yang dikategorikan ke
dalam tindak pidana korupsi, Berbegai Bentuk Tindak Pidana Korupsi

12
Jujun S. Suriasumatri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2001) H. 49
13
Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghia Indonesia, 2005) H 53
Perbagai Bentuk Upaya Pemberantasan Korupsi. Instrumen Kebijakan
Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi.
BAB IV: Analisis perbandingan kebijakan pemberantasan korupsi berdasarkan
Undang-Undang negara Singapura dan Indonesia. Meliputi, penerapan
Undang-Undang terkait kebijakan pemberantasan pidana Korupsi di
Singapura dan Indonesia, Perbedaan dan kesamaan sistem hukum,
budaya hukum dan substansi hukum dari Singapura dan Indonesia.
BAB V: Penutup yang meliputi kesimpulan dari penelitian dan saran yang
diajukan oleh penulis berdasarkan hasil tinjauan yang diharapkan
menjadi sebuah masukan bagi pihak – pihak terkait.
BAB II

PENGERTIAN DAN DEFINISI POLITIK HUKUM


A. Pengertian Politik Hukum
Berdasarkan pengertian etimologis, politik hukum jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah hukum Belanda yakni rechtspolitiek,
yang merupakan bentukan dari dua kata rech dan politiek. Dalam bahasa
Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum berasal dari bahasa Arab hukm
(kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement, verdict, decision),
ketetapan (provision), perintah (command), pemerintahan (government),
kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence) dan lain-lain.1 Perbedaan
pendapat terjadi mengenai ketetapan arti yang mutlak bagi kata tersebut karena
sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang
para ahli dalam memandang dan memahami apa yang disebut sebagai hukum
tersebut. Akan tetapi sebagai pedoman, secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa hukum adalah seperangakat aturan tingkah laku yang berlaku dalam
masyarakat.
Begitu pula dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh van der Tas, kata
politiek berarti belied. Kata belied, dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan
(policy). Dengan demikian politik hukum berarti kebijakan hukum. Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak.2

1
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hal. 19
2
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hal. 20

13
Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.3
Dari perspektif terminologi, politik hukum dapat ditelaah menjadi dua
konsep pendekatan.
1. Politik hukum dapat dipahami dengan pendekatan memberikan masing-
masing pengertian kata “politik” dan “hukum’ (Divergen) lalu
menggabungkan kedua istilah itu (Konvergen).
2. Pendekatan yang langsung mengartikan dalam satu nafas (satu kesatuan)
sebagai suatu frase yang mempunyai pengertian yang utuh. Frase politik
hukum mengandung makna lebih luas dari kebijakan hukum, pembentukan
hukum dan penegakan hukum. Artinya, sebagai suatu frase, pengertian
politik hukum merupakan keseluruhan aktivitas sebagaimana dimaksud.4

Selain berdasarkan kedua sudut pandang ilmu di atas, terkait pemahaman


definisi politik hukum berdasarkan bahasa dan makna secara umum. Beberapa
ahli politik dan ahli hukum juga berpendapat mengenai definisi ideal dari politik
hukum ini.

Menurut Moh. Mahfud MD politik hukum adalah legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
negara.5

3
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1999, hal. 21
4
Otong Rosadi dan Andi Desmon, 2012, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum,
Yogyakarta: Thafa Media, H. 3
5
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009,
hal. 2
15

Menurut Teuku Muhammad Radhie konsep dari politik hukum adalah


sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayah suatu negara, dan mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan.6

Menurut Sajipto Rahardjo politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu
dalam masyarakat7

Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan


negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam
hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan
hukum, dan penegakkan hukum itu sendiri.8

Menurut LJ. Van Apeldoorn Politik hukum adalah bentuk politik


perundang-undangan, yang mana Politik Hukum digunakan untuk menetapkan
tujuan dan isi peraturan perundang – undangan9.

Menurut F. Sugeng Istanto, politik hukum merupakan bagian dari ilmu


hukum dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu politik hukum sebagai
terjemahan dari Rechts Politik, politik hukum bukan terjemahan dari Rechts
politik dan politik hukum yang membahas tentang public policy.10

Politik hukum dapat menjadi sebuah subsistem dalam sistem


kemasyarakatan. Masing-masing dapat dilaksanakan dengan fungsi-fungsi
tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Jika
disimpulkan secara garis besar, hukum yang berfungsi melaksanakan Social

6
Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973,
hal. 4.
7
Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1991) H. 352.
8
Padmo Wahjono, Menyelisik proses terbentuknya Perundang-Undangan forum keadilan,
No. 29/april, H. 65.
9
LJ. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1981) H. 390
10
F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali , Politik Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), H. 6
Control, Dispute Settlement And Social Engeneering bahkan inovasi untuk
kelangsungan negara. Fungsi politik sendiri adalah sebagai pemelihara sistem dan
mengadaptasikannya (Socialization Dan Recruitment), konversi (Rule Making,
Rule Aplication, Rule Adjudication, Interesttarticulation And Aggregation) dan
fungsi kapabilitas (Regulatif Extractif, Distributif And Responsif).

Dari segi keilmuan yang mendasari politik hukum tidak terlepas dari subjek
yang juga mendasari banyak ilmu yakni filsafat terutama filsafat hukum. Filsafat
hukum sendiri adalah bagian dari proses pemikiran ilmu yang mengarahkan
(Memusatkan) refleksinya pada kajian hukum atau pun gejala-gejala hukum.
Filsafat hukum sendiri tidak bertujuan untuk mempersoalkan terkait kebijakan
hukum positif tertentu melainkan merefleksi suatu hukum menjadi suatu hal yang
umum atau hukum sebagai demikian (Law as such).
Formula yang membuat hukum dapat dipandang menjadi dua pertanyaan
fundamental yang saling berkaitan. Yakni, apa yang menjadi landasan kekuatan
mengikat dari hukum? Dan atas dasar (kriteria) apa hukum dapat dinilai
keadilan?11 Yang dengan kata lain filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai
dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Berkaitan dengan proses pembentukan hukum (Rechtsvorming) dan
penemuan hukum (Rechtsvinding) baik ilmu filsafat dan ilmu hukum akan sulit
diterapkan apabila dipergunakan secara terpisah, kedua prinsip keilmuan ini akan
menghasilkan sesuatu yang setengah-setengah apabila dipergunakan dan
diterapkan masing-masing paham. Apabila hanya mengandalkan kearifan filsafat
hukum maka hasil dari metode tersebut hanya akan menimbulkan produk hukum
yang mengawang-awang dan tidak memiliki tujuan yang jelas dan tetap.
Sebaliknya apabila metode yang dipergunakan hanya menggunakan dasar ilmu
hukum saja maka produk hukum akan cenderung kering dan kaku serta sulit

11
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia. (Bandung: Mandar Maju, 2001), H 119.
17

berubah sesuai dinamika masyarakat dan lingkungan tempat hukum tersebut


diberlakukan.12
Maka proses yang berpengaruh antara, “cara untuk mencapai tujuan” serta
“Melihat tujuan yang diinginkan” itulah yang melahirkan politik hukum. Akan
tetapi dalam hal ini kata politik yang dipergunakan dipahami dengan pengertian
policy. Yang mana pengertian tersebut bukan diartikan kepada cara mendapatkan
kekuasaan, dalam hal ini yang dimaksud adalah kebijakan hukum (Legal Policy).
Hal ini mendapatkan paham yang sama dari Purnadi Purbacaraka yang
mengatakan bahwa politik hukum dalam disiplin hukum bergerak pada tataran
etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan hukum.13
Politik hukum dalam pengertian etik dan teknik kegiatan pembentukan
hukum dan penemuan hukum, lebih diarahkan untuk melihat sejauh mana hukum
yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses transformasi
masyarakat yang diinginkan. Hal ini bertujuan agar produk hukum yang
dihasilkan sesuai dengan apa yang diinginkan bersama. Proses pembentukan yang
harus memperhatikan unsur-unsur yang akan terkandung dalam produk hukum
termasuk unsur ideologi atau ajaran-ajaran dasar politik harus menjadi perhatian
karena dapat berpengaruh pada produk hukum yang dibuat.
Dengan demikian politik hukum memiliki hubungan yang erat dalam proses
pembentukan hukum dan penemuan hukum, karena politik hukum bersifat
praktis-fungsional dengan cara penguraian yang teologis-konstruktif. Yang
berarti, sebagai sebuah disiplin hukum, politik hukum memberikan landasan
akademis terhadap proses pembentukan dan penemuan hukum yang lebih sesuai
dengan konteks sejarah, situasi dan kondisi, tradisi, nilai-nilai yang tersebar dan
berkembang di masyarakat, serta memperhatikan kebutuhan masyarakat tentang
hukum itu sendiri. Dengan mempertimbangkan hal-hal seperti ini produk hukum
diharapkan akan lebih mudah untuk diimplementasikan kepada masyarakat dan

12
Imam Syaukani dan A, Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum. (Depok: Rajawali
Pers, 2019) H. 39-40
13
Purnadi Purbacaraka, dalam Soerjono Soekanto dan R Otje salman, Disiplin Hukum dan
Disiplin Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1988), H. 175-176
dapat diterima, dilaksanakan, dan dipatuhi sesuai harapan aparat pembentuk
hukum.
Melalui perspektif politik, hukum dipandang sebagai produk atau output
dari proses politik atau hasil pertimbangan dan perumusan kebijakan publik.
Namun di samping hukum sebagai produk pertimbangan politik, terdapat politik
hukum yang merupakan garis atau dasar kebijakan untuk menentukan hukum
yang seharusnya berlaku dalam negara. Di negara demokrasi, masukan (inputs)
yang menjadi bahan pertimbangan untuk penentuan hukum bersumber dari dan
merupakan aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang
kemudian diproses sehingga muncul sebagai outputs dalam bentuk peraturan
hukum.14
Dan hal tersebut yang menjadikan politik hukum sebuah dasar serta acuan
dalam hal pembentukan serta penemuan hukum yang akan menghasilkan produk
hukum yang nantinya akan dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Politik
hukum memberikan dasar serta acuan faktor-faktor yang akan menjadi bahan
pertimbangan sebuah kebijakan dari berbagai sisi dan faktor mendasar yang
diharapkan membuat produk hukum menjadi hasil yang memiliki struktur
mendalam serta keragaman sudut pandang sehingga hukum dapat dipakai dan
ditegakkan sebagai mana mestinya dan berdasarkan tujuannya.
Dalam bukunya Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari mengeluarkan tiga
pertanyaan dasar yang membahas mengenai ruang lingkup politik hukum. Yakni,
di antara tiga lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif badan negara apa yang
berwenang dalam proses penentuan politik hukum di suatu negara? Di bagian
mana saja dalam undang-undang politik hukum dapat ditemukan dan
dipergunakan sebuah negara? Serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
proses penentuan politik hukum sebuah negara terebut?
Dari tiga pertanyaan di atas maka gambaran terkait ruang lingkup politik
hukum mejadi aspek para lembaga kenegaraan pembuat hukum, letak politik

14
Mia Kusuma Fitriana, Jurnal: Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara (Kalimantan
Timur:2015) H. 10
19

hukum juga dapat ditempatkan sebagai kajian yang akan menemukan faktor baik
internal maupun eksternal yang akan mempengaruhi pembentukan alur kebijakan
hukum suatu negara. Meskipun demikian tiga pertanyaan di atas hanya akan
menjelaskan ruang lingkup politik hukum dalam proses pembentukan suatu
produk hukum atau kebijakan saja, hal tersebut belum menjelaskan bagaimana
kegunaan politik hukum pada tataran penerapan dalam bentuk pelaksanaan
produk hukum yang mana merupakan akibat politis dari sebuah produk hukum
yang didasari oleh kajian politik hukum.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam pengertiannya, politik hukum dalam
kajian ini memiliki arti kebijakan. Maka dari itu ruang lingkup dari politik hukum
tidak hanya sebatas dalam proses pembentukan produk hukum saja. Maka dari itu
politik hukum dalam perspektif akademis tidak hanya membahas mengenai politik
hukum secara an sich (Bawaan) melainkan juga dapat mengkritik produk-produk
hukum yang telah dibentuk dan disahkan. Dengan demikian ruang lingkup politik
hukum tidak terbatas kerangka pikir dalam pembentukan ataupun perumusan
suatu produk di bidang hukum yang digunakan oleh pihak-pihak yang berwenang.
Melainkan juga dapat dipergunakan untuk mengkritisi produk-produk hukum
yang telah disahkan berdasarkan Legal Policy sebagaimana terlah didefinisikan.
Dengan demikian menurut Imam Syaukani dan A.Ahsin Thohari dalam buku
Dasar-dasar Politik Hukum menunjukkan beberapa pokok dari ruang lingkup
kajian politik hukum.
Ruang lingkup politik hukum pertama, dimulai dari proses penggalian nilai-
nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat yang dilakukan oleh
penyelenggara negara dalam merumuskan produk hukum. Para peneliti maupun
para akademisi harus bisa menelaah dari ruang lingkup pertama politik hukum ini
karena dari kajian ini dapat menjadi sebuah awal serta gambaran apa yang
mengakibatkan terjadinya proses pembentukan hukum, dalam mengkaji nilai-nilai
yang ada di masyarakat tidak terlepas dari tradisi, kebiasaan, keadaan sosial, serta
keadaan ekonomi dalam masyarakat tersebut. Hal ini juga menjadi salah satu
pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang akan ada dalam produk hukum.
Ruang lingkup yang kedua adalah proses perdebatan yang dilakukan pihak
berwenang dengan menelaah serta mengkritisi nilai-nilai dan aspirasi sehingga
dapat menjadi bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Dalam
hal ini data yang telah dikumpulkan dari nilai-nilai serta aspirasi di masyarakat
diperdebatkan dan dirundingkan oleh para pihak yang berwenang dalam
merumuskan kebijakan hukum tersebut, namun dalam Legal Framework berisi
kerangka umum yang di dalamnya terdapat bentuk dan isi dari sketsa hukum suatu
negara di dalamnya memiliki kemungkinan untuk diubah oleh pihak yang
berwenang tersebut dikarenakan ketika prosesnya pihak-pihak tersebut yang
bertugas di lembaga-lembaga negara berkumpul dari berbagai kelompok
berkepentingan yang terkadang aspirasinya tidak sama dengan masyarakat secara
umum.
Ruang lingkup yang ketiga terletak pada penelusuran faktor-faktor yang
mempengaruhi dan menentukan suatu kebijakan sebuah hukum, baik yang akan,
sedang, dan telah ditetapkan. Penelusuran faktor ini tidak lepas dari pengaruh
politik yang ada di dalam ruang lingkup pihak yang berwenang saat merumuskan
sebuah hukum, tak jarang politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar
dari subsistem hukum dikarenakan pihak-pihak yang berwenang dapat
memasukkan atau menambahkan kepentingan-kepentingan kelompoknya saat
merumuskan kebijakan hukum. Maka selain faktor aspirasi masyarakat, sosiologis
masyarakat, budaya, serta nilai-nilai yang berada di masyarakat kebijakan hukum
juga dapat berisi kepentingan suatu kelompok maka dari itu hukum tidaklah boleh
diterima begitu saja tanpa melalui proses kajian terus menerus meski hukum
tersebut telah disahkan dan ditetapkan. Ruang lingkup yang keempat mengkaji
bagaimana pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang sudah melalui
proses pelaksanaan politik hukum dari awal pembentukan konsep kebijakan
hukum. Dalam hal ini politik hukum mengkaji sejauh mana sebuah kebijakan
hukum dapat memenuhi unsur-unsur kepatuhan yang layak diterapkan serta
memenuhi praktis-fungsional. Dalam hal ini pula otokritik digunakan terhadap
kebijakan hukum yang telah disahkan dan telah diterapkan di masyarakat otokritik
ini dapat mengevaluasi sebuah produk hukum dengan mengkaji kembali nilai-
21

nilai politik hukum di dalam peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan


dan di implementasikan di masyarakat.

B. Efektivitas Penegakan Hukum


Apabila berbicara mengenai pengaruh dalam sebuah kajian ilmu, dampak
penerapan serta penyebaran ilmu tersebut memiliki struktur efektivitas bagi yang
mempelajari dan menerapkannya. Hal tersebut dijelaskan dalam kajian teori
efektivitas.

Efektivitas sendiri berasal dari kata effective yang dalam Bahasa Inggris
artinya berhasil atau suatu tindakan yang dilakukan berhasil dengan baik. Juga
secara umum efektivitas dapat diartikan sebagai sesuatu yang menunjukkan
tingkat keberhasilan atau pencapaian suatu tujuan yang diukur dengan kualitas,
kuantitas dan waktu sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya.

Menurut Cambel J.P pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling
menonjol adalah. Pertama, Keberhasilan program. Kedua, Keberhasilan sasaran.
Ketiga, Kepuasan terhadap program. Keempat, tingkat input dan output. Kelima,
Pencapaian tujuan menyeluruh15.

Dalam segi penerapan serta penegakkan kebijakan hukum Soerjono


Soekanto dalam bukunya Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi mengatakan
bahwa efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai
tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang
positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun
mengubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum16. Hal ini dapat
diartikan bahwa hukum dapat berjalan efektif apabila dasar-dasar yang
mempengaruhi hukum tersebut bekerja secara optimal. Tidak terlepas dari prilaku
sosial masyarakat yang menjadi objek serta sasaran utama dari sebuah kebijakan

15
Cambel J.P, Riset dalam Efektivitas Organisasi, Diterjemahkan oleh : Salut Simamora
(Jakarta: Erlangga. 1989) H. 121.
16
Soerjono Soekanto. Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi. Bandung. CV. Ramadja
Karya. 1988. Hal. 80.
hukum, apabila masyarakat berlaku sebagaimana diharapkan dan sesuai dengan
perundang-undagan maka hukum tersebut dapat disimpulkan berjalan efektif di
masyarakat. Soerjono Soekanto menyebutkan terdapat lima faktor yang
menentukan efektif atau tidaknya suatu hukum, yaitu.

1. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)


2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana, prasarana dan fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yaitu cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup17

Hal ini selaras dengan pendapat Achmaad Ali terntang sejauh mana tingkat
efektivitas dari hukum dapat diketahui dengan beberapa cara, pertama-tama harus
dapat mengukur sejauh mana aturan hukum tersebut ditaati atau tidak ditaati.
Dalam proses pengukuran efektivitas ini tidak jarang banyak faktor yang
mempengaruhi suatu peraturan perundang-undangan antara lain profesionalitas
dan skala optimal dalam pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para
pelaku penegak hukum. Dalam hal ini para penegak hukum berada dalam lingkup
berperan sebagai pihak yang dapat menjelaskan tugas yang diberikan dan
dibebankan terhadap diri masing-masing maupun dalam tugasnya sebagai pelaku
penegak perundang-undangan tersebut18. Dalam pemahaman soal efektivitas
hukum tidak hanya identik dengan paksaan maupun tuntutan dari pihak lain
namun hukum juga dapat berjalan dengan efektif dengan adanya proses peradilan
yang terkandung dalam kaidah-kaidahnya. Namun kembali lagi kepada hakikat
hukum yang bersifat mutlak dan kaku hal ini berdampak pada unsur pemaksaan

17
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008) H. 8.
18
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1 ( Jakarta: Kencana,
2010), H 375.
23

yang memiliki kaitan erat terhadap seberapa efektif suatu hukum diterapkan
sebagai kebijakan. Jika suatu kebijakan hukum tidak berjalan secara efektif, maka
akan muncul pertanyaan terkait ancaman hukum tersebut, apa yang terjadi dengan
ancaman paksaannya? Mungkinkah hukum tersebut tidak berjalan efektif karena
ancaman paksaannya kurang berat; atau mungkin ancaman yang bersifat memaksa
dari kebijakan hukum tersebut tidak terkomunikasikan secara memadai pada
warga masyarakat yang menjadi sasarannya19.

Dalam konsep lain terkait tingkat efektivitas sebuah produk hukum dapat
dilihat dari tiga komponen pokok menurut Lawrence M. Friedman. Dalam
bukunya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective Friedman
mengatakan bahwa efektifitas suatu kebijakan hukum akan terlaksana apabila
terpenuhinya tiga unsur yang terdapat dalam sistem hukum. Ketiga unsur tersebut
adalah Legal Substance (Substansi Hukum), Legal Structure (Struktur hukum)
dan Legal Culture (Budaya Hukum)20.

Substansi hukum (Legal Substance), komponen ini berisikan aturan dan


norma, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik hukum material
maupun hukum formal. Friedman sendiri menyebut substansi hukum sebagai
“...The actual product of the legal system.”21 Hasil dari pembentukan hukum akan
menghadirkan paparan substantif yang mengacu pada idealnya suatu kebijakan
hukum, baik secara jelas dan asli maupun dalam bentuk aturan prosedural, atau

19
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif Watampone,
1998) H. 186.
20
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York:
Russerl Sage Fondation, 1969) H. 16
21
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York:
Russerl Sage Fondation, 1969) H. 27
bahkan norma yang digunakan oleh institusi dan yang mengikat struktur bersama-
sama22.

Struktur hukum (Legal Structure), komponen ini dapat diartikan sebagai


institusi atau badan yang tercipta di dalam sistem hukum. Dengan fungsi dan
tugas sebagai pendukung berjalannya sebuah sistem hukum. Friedman
menyebutkan bahwa “Many features of a working legal system can be called
structural – The moving part. So to speak of the machine. Courts are simple and
obvious example.”23 Artinya Banyak bagian dari sistem hukum yang berjalan
dapat disebut struktur yakni bagian yang bergerak. Seperti pergerakan roda
mekanik dalam komponen mesin. Komponen ini diisi Pranata hukum, Aparatur
hukum dan sistem penegakkan hukum yang menjadi esensi penggerak dari
substansi hukum yang telah dijelaskan. Struktur hukum erat kaitannya dengan
sistem peradilan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dalam sistem
peradilan pidana, aplikasi penegakan hukum dilakukan oleh penyidik, penuntut,
hakim dan advokat.

Budaya hukum (Legal culture) komponen ini mengacu pada pandangan


kebiasaan dan keadaan sosial lingkungan dari sebuah sistem hukum yang antara
satu dan lain hal menjadi pertimbangan tokoh yang berwenang menentukan
kategori sistem seperti apa yang akan berjalan dan tidak akan berjalan secara
optimal dan efektif saat telah disahkan nantinya. Friedman mendefinisikan legal
culture sebagai “... attitude and values that related to law and legal system,
together with those attitudes and values effecting behaviour related to law and
institusions, either positively or negatively.”24 Dapat dimaknai bahwa budaya
hukum adalah kumpulan kebiasaan, sikap, tingkah laku penduduk yang

22
Benny Simon Tabalujan, Legal Development In Developing Countries – The Role Of
Legal Culture (Singapore: Associate Professor, Division of Business Law Nanyang Business
School, 2001) H. 11
23
Lawrance M. Friedman, On Legal Development (New Jersey: Rutgers Law Riviews Vol.
24, 1969) H. 27
24
Lawrence M Friedman, Is There a Modern Legal Culture?, (RATIO JURIS Vol. 7, 1994)
H 117-118.
25

berhubungan dengan sistem hukum atau pelaksanaan aturan. Tingkah laku dan
nilai-nilai kebiasaan ini bersama-sama memiliki dampak yang bisa dianggap
sebagai hukum dan berjalannya sebuah prosedur institusi, baik positif maupun
negatif.

Friedman menjabarkan sistem hukum sebagai suatu proses yang dimulai


dengan sebuah input yang berasal dari bahan-bahan mentah yaitu berupa
lembaran-lembaran kertas dalam sebuah konsep gugatan yang diajukan dalam
suatu pengadilan, kemudian hakim mengelolah bahan-bahan mentah tersebut
hingga menghasilkan output berupa putusan25.

Dari banyak aspek yang telah dipaparkan dan dalam garis besar bahwa suatu
kebijakan atau produk hukum akan mencapai tingkat efektif dalam
keberlakuannya saat pelaksanaan dan pembuatan produk hukum tersebut tidak
melepas dari persepsi ideal yang tertanam sejak awal. Namun tidak dipungkiri
praktik dan realita dari sebuah gagasan ideal tentang hukum banyak yang berakhir
jauh dari hipotesa saat hukum itu dirumuskan. Maka mengumpulkan faktor demu
faktor, dasar demi dasar lalu menganalisa seperti apa, bagaimana, dan untuk apa
produk hukum tersebut dibuat akan meningkatkan efektivitas hukum sebagai
kebijakan yang tepat sasaran dan adil.

25
Lawrence M. Friedman; The Legal System; A Social Scince Prespective, (New York:
Russel Sage Foundation, , 1975) H. 13
BAB III

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA DAN SINGAPURA.
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian Korupsi memiliki banyak bentuk Corruptio yakni merupakan
kata benda yang berarti hal merusak, hal membuat busuk, pembusukan,
penyuapan kerusakan, kebusukan dan kemerosotan. Korupsi sebagai kata kerja
dalam bahasa latin disebut Corrumpere yang berarti menghancurkan, merusak
bentuk, mencemarkan, memerdayakan, memutar balikkan. Sebagai pelaku disebut
Corruptor yang dapat diartikan sebagai perusak, penyuap, penipu dan pelanggar.
Tidak sampai di situ dalam bentuk kata sifat Korupsi disebut Corruptus-a-un yang
berarti merusak, membusuk, hancur, tidak utuh atau tidak murni, palsu1.
Berdasarkan The Oxford Unbridged Dictionary korupsi didefinisikan sebagai
penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik
dengan penyuapan atau balasan jasa2.
Dari definisi kata tersebut korupsi dapat diartikan sebagai kerusakan yang
terjadi akibat pelanggaran dan penyelewengan integritas yang mengakibatkan
sesuatu yang murni rusak. Hal ini menjadikan korupsi sebagai kata yang cukup
kuat namun masih sangat umum dan belum terperinci, untuk memahami korupsi
secara lebih jelas terdapat definisi istilah dari korupsi. Dalam menjelaskan arti
terminologi dari korupsi Arnold Heidenheimer dan Michael Johnston menyatakan
bahwa pengertian korupsi secara moral didefinisikan sebagai penyelewengan atau
penghancuran integritas dalam pelaksanaan kewajiban publik melalui suap dan

1
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 22

Moh. Masyhuri Ni‟am dkk, NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih (Jakarta: TK
2

GNPK NU, 2006), H. 23

26
27

hadiah, keberadaan dan pelaksanaan praktik-praktik curang, terutama dalam suatu


negara, badan/usaha publik dan semacamnya3.
Menurut Joseph S. Nye seorang ilmuan politik memaparkan bahwa korupsi
adalah perbuatan yang menyimpang dari kewajiban formal suatu peran publik
karena kepentingan pribadi (personal, keluarga, kelompok dekat. Entah
kepentingan itu berupa uang atau status: atau juga pelanggaran aturan yang
melarang dilakukannya jenis-jenis tertentu demi kepentingan pribadi. Hal tersebut
mencakup tindakan seperti suap, nepotisme, dan atau mendapatkan sesuatu
melalui penyelewengan4. Definisi yang tertuang berdasarkan pada pandangan
perilaku para pejabat publik. Pengertian ini menjadi salah-satu rujukan paling
dominan dalam mendefinisikan apa itu korupsi. Karena korupsi menjadi suatu
tindakan umum yang dilakukan oleh pejabat publik, hingga saat ini pun banyak
sekali kasus terpidana korupsi dilakukan oleh para pemangku wewenang dan
tanggung jawab yang diselewengkan demi kepentingan pribadi bahkan suatu
kelompok dengan tujuan yang beragam dari memperkaya hingga meloloskan
tindakan ilegal yang merugikan masyarakat.
Selain itu ada pula definisi korupsi yang didasari oleh sudut pandang
kepentingan publik hal ini sedikit banyak sama dengan sudut pandang jabatan
publik akan tetapi sudut pandang ini menitik beratkan pada dampak dari korupsi
mengakibatkan penyelewengan kepentingan publik dan perusakan tubuh politik
sebagai pengatur kebijakan5.

B. Berbagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi


Terdapat dua kategori umum dari tindakan korupsi yang patut secara hukum
positif di berbagai negara dan sah dalam hukum positifnya, tindakan korupsi yang

3
Arnold J. Heidenheimer dan Michael Johnston, Political Corruption: Concept and
Contexts (New Brunswick: Transaction Publisher, 2007) H. 6-7
4
J. S. Nye, Corruption and political development: A Cost-Benefit Analysis (American
Political Science Review, 1967) H. 419
5
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 46
dilakukan antara pelaku bisnis dan pejabat publik, dan tindakan korupsi yang
dilakukan pejabat publik kepada sesama pejabat publik, berikut penjelasannya:
1. Korupsi dalam bisnis
Jenis korupsi ini terjadi ketika pemerintah dan bisnis berinteraksi. Misalnya,
dalam konflik bisnis, para pihak dapat menggunakan bantuan hakim untuk
memutuskan yang menguntungkan mereka. Berikut beberapa kasus yang
cukup awam terjadi dalam lingkup hubungan pejabat publik dan bisnis
tersebut.
Suap, Dalam memaknai suap secara bahasa terdapat beberapa arti.
Kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang
artinya adalah begging (mengemis) . Dalam bahasa Arab Suap diibaratkan
seperti Risywah berasal dari kata Rasya, Yarsyu, Rasywan, yang berarti
“sogokan” atau “bujukan”. Istilah lain yang searti di kalangan masyarakat
ialah “suap” dan “uang tempel”, “uang semir”, “pelicin”6. Menurut
terminologi suap dijelaskan sebagai sesuatu yang diberikan dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka
memberikan yang salah atau menyalahkan yang benar7.
Contoh tindakan suap yang sering kali terjadi hingga saat ini ada
pemberian sejumlah uang kepada pejabat publik baik berupa uang ataupun
jabatan dan barang simbolis lainnya yang bertujuan untuk meloloskan suatu
rencana proyek tertentu ataupun membungkam pihak agak tidak meloloskan
suatu perkara kepada publik8. Tindakan suap ini menjadi salah satu kategori
tindak pidana korupsi karena menyalah gunakan wewenang jabatan tertentu
demi meloloskan tindak kejahatan melanggar hukum dan keuntungan
pribadi tanpa mempertimbangkan maslahat yang seharusnya dilaksanakan
sesuai kode etik wewenang tersebut.

6
Suap: Korupsi Tanpa Akhir (viva.co.id) diakses pada 16 Juli 2021
7
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2003), H. 1506.
8
Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: AMZAH, 2011), H 89.
29

Kolusi berasal dari bahasa latin Collusio yang artinya kesepakatan


rahasia; persekongkolan untuk melakukan perbuatan yang tidak baik . Kata
ini juga diartikan menjadi suatu bentuk kerja sama untuk maksud tidak
terpuji; persekongkolan atau sebuah hambatan usaha pemerataan yang
dilakukan oleh pejabat publik dan pengusaha9. Menurut pengertian
terminologi kolusi merupakan perjanjian antara Pejabat publik dan
perusahaan untuk bekerja sama dalam menaikkan harga atau membagi pasar
yang berakibat membatasi persaingan bebas10.
Contoh kasus kolusi yang sering terjadi adalah persekongkolan
pejabat publik yang memegang wewenang besar dalam kebijakan wilayah
maupun perekonomian dengan perusahaan asing maupun lokal. Seperti
tindakan manipulasi pasar impor atau mempengaruhi arus pasar saham
sehingga perusahaan yang bersangkutan mendapatkan untung lebih besar
dari yang lain. Tindakan ini tentu merugikan banyak pihak dan merusak laju
optimal pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan budaya kerja dalam
masyarakat umum11.
State capture, dalam pengertiannya hal ini adalah kondisi di mana
kekuatan privat-swasta secara signifikan mampu mempengaruhi proses
pengambilan keputusan pemerintah agar menguntungkan kepentingan pihak
tertentu. State capture tidak lain merupakan sebuah aktivitas mengintervensi
dan mendominasi kebijakan negara melalui suap dan tekanan12.

9
W.J.S. Poerwadarminta, Prent C.M., J. Adisubrata, Kamus Latin-Indonesia (Yogyakarta :

Kanisius, tth.) H. 96
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 2001) H 109
11
M. Dawam Rahardjo, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) : Kajian Konseptual dan
Sosio-Kultural, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.), Menyingkap Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia (Yogyakarta : Aditya Media, 1999) H. 2
12
https://news.detik.com/kolom/d-4264194/skandal-meikarta-dan-fenomena-state-capture
diakses 18 juli 2021
Contoh yang banyak terjadi adalah pengusaha yang memiliki
kedekatan ataupun berkerabat dengan tokoh politik atau pejabat publik
melakukan kompromi atas peraturan resmi atau rancangan undang-undang
bagi kepentingan perusahaan tersebut13, keuntungan yang akan didapatkan
bisa beragam seperti keringanan pajak ataupun kebijakan terkait sewa lahan
maupun perizinannya.
2. Korupsi dalam kekuasaan tinggi
Jenis korupsi ini mencakup kepemimpinan politik dan mahkamah agung
dalam sistem demokrasi. Ini adalah perilaku kebijakan sekelompok orang
yang tidak bermoral, yang telah menetap di kekuasaan, mengejar
kepentingan mereka dan merugikan kepentingan pemilih14. Praktik korupsi
yang banyak dilakukan di lingkup pemerintahan dan pejabat publik
dijelaskan sebagai berikut.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik15. Gratifikasi masuk ke dalam kategori korupsi apabila tindakan
tersebu memiliki maksud dan tujuan yang menguntungkan suatu pihak dan
berdampak pada kerugian besar yang akan dialami masyarakat luas.
Tindakan gratifikasi ini biasanya berupa hadiah dan pembagian sebagian
aset dari pemberi kepada pihak pejabat publik. Meski tindakan gratifikasi
tidak secara lugas tersirat sebagai sebuah tindakan korupsi namun terdapat
beberapa contoh seperti pemberian hadiah kepada pejabat publik sebagai

13
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 27
14
Khidirov Khosim Ibodullaevich dan Usamanova Gulbahor Kholmomin Kizi, Type, Form
of Corruption, Cause and Consequences, (Uzbekistan: Jizzakh Polytechnic Institute, 2021) H. 4
15
Doni Muhardiansyah, Dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi Cet.I, (Jakarta: Komisis
pemberantasan Korupsi, 2010) H. 3
31

tanda loyalitas atau kesetiaan bahkan hingga tingkatan melanggar suatu


hukum dapat masuk ke dalam kategori korupsi. Karena batasan loyalitas
seorang aparatur publik tetap tidak boleh melanggar prosedur sistem dari
kebijakan yang sudah ditetapkan.
Nepotisme, menurut kamus besar adalah perilaku yang
memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat;
kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah;
tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan: proses perekrutan pegawai yang transparan dapat
menghindari praktik di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah16. secara
istilah nepotisme diartikan sebagai tindakan seseorang yang memanfaatkan
jabatan atau posisi untuk mengutamakan kepentingan keluarga atau kerabat
di atas kepentingan umum dengan memilih orang bukan atas dasar
kemampuannya tetapi atas dasar hubungan keluarga atau kedekatan17. Dari
maknanya sudah tergambar bagaimana contoh praktik dari tindakan
nepotisme dalam perekrutan pegawai di instansi pegawai publik hingga
jajaran pejabatnya. Tindakan ini dapat dikategorikan kepada kejahatan
korupsi karena pemilihan dan penunjukan suatu jabatan dalam pemerintahan
tidak lagi murni dan bersih, hal ini dikarenakan dalam penggunaan
nepotisme penilaian terkait objektivitas aparatur publik luntur dan
digantikan penunjukan berdasarkan garis keturunan sanak saudara dari
pihak perekrut suatu jabatan publik.
Patronasi, adalah Penggunaan sumber daya negara untuk memberikan
imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektorat.
Beberapa jenis sistem patronasi tidak dilarang, seperti pengangkatan menteri
dari kalangan anggota partai. Namun tindakan patronasi dapat menjadi
golongan tindakan korupsi apabila kuasa elektorat tersebut disalah gunakan

16
https://lektur.id/arti-nepotisme/ diakses pada 18 juli 2021
17
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/arti-nepotisme.html diakses pada 18 juli 2021
oleh partai politik maupun perseorangan yang bersangkutan. Contohnya
seperti ketika sebuah partai politik memenangkan pemilihan umum
kemudian memerintah dan mencopot semua pegawai yang mendukung
oposisi dan menggantinya dengan orang yang mendukung partai tersebut
tanpa melihat dan menganalisis secara objektif terkait siapa dan bagaimana
pekerja tersebut melaksanakan tugasnya18.
1. Bentuk praktik pidana korupsi di Indonesia dan Singapura
Dalam praktik pemberantasan korupsi dari berbagai lapisan masyarakat
bernegara di Indonesia kebijakan terkait mengelompokkan suatu undakan ke
dalam perbuatan melanggar hukum. Konstitusi Indonesia tujuh ketentuan
sekaligus pokok gagasan akan tuduhan yang dijatuhkan kepada tersangka
pelaku korupsi, tujuh ketentuan tersebut adalah:
a. Kerugian keuangan negara
Hal ini dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Setiap orang dalam pasal ini adalah orang perseorangan atau termasuk
korporasi, yang secara melawan hukum memiliki pengertian meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

18
B Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2018) H. 27
33

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana19. Berdasarkan


penjelasan dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 konteks
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat negara baik ditingkat pusat maupun daerah;
2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
Badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara20.

Harta tersebut apabila terdapat sindikat kehilangan maupun kecurangan


dari pihak-pihak yang bersangkutan di dalamnya dapat merugikan negara
seperti pengeluaran kekayaan negara berupa barang maupun uang yang
seharusnya tidak dikeluarkan, pengeluaran kekayaan negara yang lebih
besar dari yang seharusnya, hilangnya kekayaan negara dengan tidak
sampainya uang atau barang kepada pihak yang dituju dengan
mengirimkan barang palsu ataupun fiktif, penerimaan kekayaan negara
yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima
termasuk barang rusak atau kualitas tidak sesuai dengan spesifikasi
kriteria, timbulnya kewajiban negara yang seharusnya tidak ada atau

19
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 11
20
Penjelasan Umum Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
lebih besar dari yang seharusnya, hilangnya atau terkurasnya hak negara
yang seharusnya dimilik.21

b. Suap-menyuap
Perbuatan ini disebutkan dalam pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Hal yang perlu diperhatikan terkai pasal ini adalah pada bagian
“Memberi atau menjanjikan sesuatu”. Menurut S.R Sianturi dalam
bukunya Tindak Pidana di luar KUHP beliau menyatakan memberikan
suatu pemberian berarti bahwa tindakan memberikan terjadi sebelum
atau sementara (ketika) pegawai negeri itu menyeleweng. Sedangkan
memberikan janji berarti, tindakan tersebut masih akan ada kelanjutan
dari janji itu. Tindakan pemberian barang atau pun janji ini tetap
terhitung secara sempurna ke dalam delik hukum apabila pemberi telah

21
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 22
35

mengirimkan barang atau janji kepada pegawai negeri yang bersangkutan


meski pegawai tersebut tidak menerimanya22.
c. Penggelapan dalam jabatan
Penjelasan dari tindakan ini terdapat dalam pasal 8 No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah),
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”
Hal yang perlu diperhatikan terkait pasal ini adalah pada pernyataan
“dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut” Dengan sengaja berarti terdakwa telah
menyadari sepenuhnya tentang kemungkinan yang akan terjadi sebagai
akibat dari perbuatannya, namun demikian perbuatan tersebut tetap
dilakukan23. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan
pencurian. Bedanya ialah pada pencurian, barang yang dimiliki itu belum
berada di tangan pencuri dan masih harus ‘diambilnya’. Sedangkan pada
penggelapan, waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si

22
S.R Sianturi, Tindak Pidana diluar KUHP, (Jakarta : Alumni, 1983) H, 76
23
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 74
pembuat, tidak dengan jalan kejahatan. Penggelapan dalam jabatan dalam
undang-undang diatas merujuk kepada penggelapan dengan pemberatan,
yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu
berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya (beroep) atau karena
ia mendapat upah24.
d. Pemerasan
Berkaitan dengan pemerasan ini disebutkan dalam pasal 12 e, f dan h
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yaitu:
1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;
2) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
3) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;

24
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 2013) H 258-259
37

Penjelasan terkait konsentrasi yang digari bawahi “memaksa seseorang


memberikan sesuatu” menurut Adami Chazawi adalah perbuatan dengan
menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang
yang ditekan itu sendiri25. Praktik juga dapat diartikan sebagai
memerintahkan orang untuk melakukan perbuatan yang berlawanan
dengan kehendaknya sendiri. Pemaksaan dilakukan dengan memakai
cara kekerasan atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan, bukan
hanya itu melontarkan ancaman kekerasan atau pun ancaman lain agar
pihak pemaksa dapat mencapai kesepakatan yang diinginkan masuk ke
dalam kategori ini26.

e. Perbuatan curang
perbuatan ini menjadi bagian yang dikategorikan kepada tindakan pidana
korupsi menurut pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
1) Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,
atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;
2) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud di atas;
3) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

25
Adam Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia cet 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2016), H. 224
26
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 132
4) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud di atas.

Perbuatan curang yang di jabarkan pasal di atas jelas tertulis mengenai


tindakan memanipulasi dalam pembangunan infrastruktur dan alat-alat
kepolisian serta militer. Tindakan korupsi ini berhubungan dengan
penggelapan dalam jabatan yang sudah di jelaskan bahwa pihak yang
berwenang dalam membelanjakan anggaran kepada barang-barang yang
dibutuhkan dalam kinerja pembangunan tidak disalurkan sebagaimana
mestinya. Perbuatan tersebut dapat berupa memanipulasi jumlah
anggaran yang seharusnya keluar dengan melipat gandakan jumlah
anggaran pada laporan, menyimpan sebagian dan atau seluruh barang
yang harus dikirimkan sehingga dapat dipergunakan untuk keuntungan
pribadi. Dalam pasal 7 tersebut tidak hanya memberikan pidana pada
pelaku yang melakukan langsung tindak kecurangan sehingga merugikan
orang banyak akan tetapi hukuman dapat dijatuhkan pada mandor dan
pengawas lapangan yang ditugaskan apabila pengawas tersebut lalai
dengan sengaja tidak menegur atau melakukan tindakan tegas saat
terjadinya tindakan kecurangan.

f. Berbenturan kepentingan dalam perdagangan


Perkara ini terjustifikasi dalam pasal 12 bagian i Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.”
39

Bagian ini menjelaskan bahwa apabila pegawai negeri atau pejabat


publik ikut andil secara langsung menggunakan kekuasaan atau pun tidak
secara langsung dengan mengutus seseorang atau menggunakan kuasa
orang lain untuk memborong yakni melakukan kegiatan jasa untuk
layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang
perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan pengguna barang/jasa
dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh pengguna, melakukan
pengadaan dalam arti tindakan memperoleh barang/jasa oleh lembaga
atau satuan kerja yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan
sampai selesai seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa, atau
persewaan. Dengan tujuan untuk mendagangkan atau menguntungkan
pihak pribadi maupun kelompok akan tetapi seharusnya pegawai negeri
atau pejabat tersebut hanya ditugaskan dan diperuntukkan dalam
mengawasi berlangsungnya proses kinerja barang/jasa.
g. Gratifikasi
Ketentuan gratifikasi dapat menjadi sebuah tindakan pidana korupsi
terdapat dalam pasal 12A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.

Dalam pasal ini pengertian gratifikasi memiliki arti luas yang mana
pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan, wisata, pengobatan Cuma-
cua, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi dalam pasal ini juga termasuk
pemberian yang diterima di luat negeri baik menggunakan sarana
elektronik maupun tanpa sarana elektronik27. Dalam Putusan Mahkamah
Agung RI No. 77K/Kr./1973, 19-11-1974 memperjelas pernyataan ini
bahwa “Tidaklah perlu bahwa pemberian atau janji yang bersangkutan
harus diterima secara langsung oleh pelaku sebagai seorang pegawai
negeri, melainkan juga dapat dilakukan oleh istri pelaku atau anak-anak
pelaku”28. Pasal ini terutama diberlakukan pada kepala pegawai negeri
yang menerima bentuk gratifikasi apa pun dengan alasan apa pun. Pada
dasarnya di dalam tindak pidana korupsi penerima gratifikasi ini tidak
cukup hanya memenuhi unsur adanya pemberian kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara semata, namun suatu gratifikasi tersebut
barulah dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan
dan berlawanan dengan kewajiban tugas dari pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut29.

Dalam kebijakan hukum positif Singapura setiap tersangka atau pelaku


tindak pidana korupsi tidak dikategorikan berdasarkan dampak yang akan
ataupun mungkin terjadi setelah tindakan tersebut sudah dilaksanakan.
Akan tetapi dalam undang-undang anti korupsi Singapura lebih menitik
beratkan pada apa bentuk tindakan tersebut yang melanggar wewenang
dan prosedur kinerja pegawai publik, maka seorang pegawai publik dapat
dikategorikan pada dugaan hingga tuduhan pidana korupsi apabila:

a. Terdapat praktik suap menyuap dengan gratifikasi

27
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 144
28
Mahkamah Agung RI No. 77K/Kr./1973, 19-11-1974
29
K.P Henry Indraguna dan Kayaruddin Hasibuan, Memahami Tafsir Pasal Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta Timur, Tras Media: 2020) H 147
41

5. Any person who shall by himself or by or in conjunction with any


other person —
a) corruptly solicit or receive, or agree to receive for himself, or for
any other person; or
b) corruptly give, promise or offer to any person whether for the
benefit of that person or of another person,
any gratification as an inducement to or reward for, or otherwise on
account of —
i. any person doing or forbearing to do anything in respect of
any matter or transaction whatsoever, actual or proposed; or
ii. any member, officer or servant of a public body doing or
forbearing to do anything in respect of any matter or
transaction whatsoever, actual or proposed, in which such
public body is concerned,

Hal yang perlu di amati lebih dalam mengenai keterangan serta


identifikasi tindakan gratifikasi dapat menjadi sebuah praktik yang
dikategorikan kepada pidana korupsi suap menyuap terdapat pada isi
PCA di atas. Seperti yang sudah digaris bawahi pernyataan “corruptly
solicit or receive” yang berarti setiap orang secara korup meminta atau
menerima, “corruptly give, promise or offer to any person” yang
dimaknai memberikan, menjanjikan, atau menawarkan secara curang
kepada siapa pun. Dilanjutkan dengan pernyataan “any gratification as an
inducement to or reward” yang diartikan kepada setiap gratifikasi sebagai
bujukan atau imbalan. Sudah terdapat gambaran bahwa Prevention of
Corruption Act berkonsentrasi pada pelaku baik pemberi maupun
penerima gratifikasi dengan niat atau maksud agar pegawai publik atau
pejabat publik melakukan atau pun tidak melakukan tindakan yang
berada dalam wewenangnya di luar prosedur yang berlaku sah30. Dalam

30
https://www.accaglobal.com/pk/en/student/exam-support-resources/fundamentals-exams-
study-resources/f4/technical-articles/sgp-corruption.html diakses 18 September 2021
section 5 PCA mengartikan "gratifikasi" dapat memiliki definisi luas
yang mencakup manfaat moneter dan non-moneter. Manfaat moneter
termasuk "setiap hadiah, pinjaman, biaya, hadiah, komisi, keamanan
berharga atau properti atau kepentingan lainnya dalam properti dengan
deskripsi apa pun, baik bergerak maupun tidak bergerak". Manfaat non-
moneter termasuk "layanan lain, bantuan atau keuntungan dari deskripsi
apa pun"31.

b. Menerima gratifikasi menggunakan agen


6. If —
a. Any agent corruptly accepts or obtains, or agrees to accept or
attempts to obtain, from any person, for himself or for any other
person, any gratification as an inducement or reward for doing
or forbearing to do, or for having done or forborne to do, any act
in relation to his principal’s affairs or business, or for showing
or forbearing to show favor or disfavor to any person in relation
to his principal’s affairs or business;
b. Any person corruptly gives or agrees to give or offers any
gratification to any agent as an inducement or reward for doing
or forbearing to do, or for having done or forborne to do any act
in relation to his principal’s affairs or business, or for showing
or forbearing to show favor or disfavor to any person in relation
to his principal’s affairs or business; or
c. Any person knowingly gives to an agent, or if an agent
knowingly uses with intent to deceive his principal, any receipt,
account or other document in respect of which the principal is
interested, and which contains any statement which is false or
erroneous or defective in any material particular, and which to
his knowledge is intended to mislead the principal,

31
https://www.legal500.com/guides/chapter/singapore-bribery- corruption/ diakses 18
September 2021
43

Sebelum mengetahui seperti apa bentuk yang dapat dipidana dalam


section 6 ini. pertama-tama yang harus diketahui adalah makna “Agent”
dalam hal ini dimaksudkan pada siapa? Dalam section 2 PCA dijelaskan
bahwa ““Agent” means any person employed by or acting for
another, and includes a trustee, administrator and executor, and a
person serving the Government or under any corporation or public
body”32 yang dapat didefinisikan bahwa "agen" berarti setiap orang yang
dipekerjakan oleh atau bertindak untuk orang lain, dan termasuk wali
amanat, administrator dan pelaksana, dan orang yang melayani
Pemerintah atau di bawah perusahaan atau badan publik. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa agent adalah karyawan, administrator, atau bawahan
yang menerima gratifikasi agar melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan yang di prosedur kerja. Tidak hanya itu section 6 PCA juga
menyatakan bahwa merupakan pelanggaran bagi agen untuk menerima
atau memperoleh gratifikasi secara korup sehubungan dengan tindakan
atau kinerja prinsipal (atasan). Misalnya, ini mungkin melibatkan seorang
karyawan yang secara korupsi menerima atau memperoleh gratifikasi apa
pun sehubungan dengan tindakan perusahaannya33.

C. Berbagai Bentuk Upaya Pemberantasan Korupsi.


Jika membahas terkait upaya maka fokus utamanya terdapat pada tindakan
seperti apa yang dilakukan agar mencapai tujuan yang dicita-citakan. Berbagai
upaya dilakukan oleh pemerintah hingga masyarakat dapat menimbulkan
efektivitas yang beragam. Dalam proses pemberantasan korupsi tentu banyak
pihak yang berperan sebagai perencana, penindak, hingga pengajar terkait
pemberantasan korupsi. Terdapat beberapa model upaya yang dilakukan beberapa
di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Upaya pencegahan Korupsi di Sektor Publik.

32
Prevention of Corruption Act (CAP. 241) Part I Preliminary Interpretation section 2 1993
Ed.
33
https://www.legal500.com/guides/chapter/singapore-bribery- corruption/ diakses 18
September 2021
2. Upaya pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat.
3. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi.
4. Kerja sama Internasional34.

Upaya pencegahan Korupsi di Sektor Publik, berisikan prosedur tentang


mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah
kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun sesudah menjabat. Dengan
demikian masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah
kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan jumlah kekayaan
setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan
dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada orang lain misalnya
anggota keluarga. Prosedur tersebut dapat mencegah tindakan korup dalam
perekrutan pegawai negeri dan anggota militer baru. Korupsi, kolusi dan
nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem yang transparan dan
akuntabel dalam hal perekruitan pegawai negeri dan anggota militer juga perlu
dikembangkan35.

Di Indonesia upaya preventif yang menyangkut tenaga kerja negara atau


pegawai publik dijelaskan dalam jurnal National Strategy Of Corruption
Prevention & Eradication yang berisikan tentang strategi pemerintah untuk
menangani kasus korupsi di Indonesia, yakni. Peningkatan transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan administrasi dan pelayanan publik, pengelolaan
keuangan negara, penanganan perkara berbasis teknologi informasi (TI), dan
pengadaan barang/jasa berbasis TI di pusat dan daerah, Peningkatan efektivitas
sistem pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan keuangan negara, serta nilai integritas yang termasuk dalam
sistem penilaian kinerja, Peningkatan efektivitas pemberian izin terkait kegiatan

34
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 94-100
35
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 95
45

usaha, ketenagakerjaan, dan pertanahan yang bebas korupsi, Peningkatan


efektivitas pelayanan perpajakan dan kepabeanan yang bebas korupsi, Penguatan
komitmen antikorupsi di seluruh elemen Pemerintah (Eksekutif), yudikatif, dan
legislatif, Penerapan sistem seleksi/penempatan/promosi pejabat publik melalui
penilaian integritas (pembebasan pajak, kliring transaksi keuangan, dll) dan
integritas pakta, Mekanisme pengaduan/pengaduan antikorupsi nasional,
Peningkatan pengawasan internal dan eksternal serta nilai integritas termasuk
dalam sistem penilaian kinerja, Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
dalam pengelolaan dan kinerja keuangan untuk mencapai opini audit Kinerja
Layak Tanpa Pengecualian dengan Premium, Pembenahan/peningkatan sistem
tata kelola melalui reformasi birokrasi, Pelaksanaan e-government36.

Singapura menjelaskan terjkait pencegahan kasus korupsi yang dapat


dilakukan oleh pegawai atau pun pejabat publik dalam artikel paper yang ditulis
oleh Koh Teck Hin selaku Deputy Director (Operations), Corrupt Practices
Investigation Bureau (CPIB) dalam jurnal yang berjudul The 13th International
Training Course On The Criminal Justice Response To Corruption Visiting
Experts upaya pencegahan korupsi dijabarkan oleh pemerintah sebagai berikut.
Pendekatan proaktif untuk memberantas korupsi diadopsi di Pemerintah. Dengan
dukungan penuh dari Parlemen dan Kepala departemen Pemerintah, aturan dan
peraturan yang ketat telah dirumuskan untuk mengatur perilaku pejabat publik.
Standar disiplin yang tinggi dituntut dari petugas-petugas ini seperti:

a. pejabat publik tidak boleh meminjam uang dari orang yang memiliki
hubungan resmi dengannya;
b. hutang dan kewajiban pejabat publik yang tidak dijamin setiap saat tidak
boleh lebih dari tiga kali gaji bulanannya;
c. seorang pejabat publik tidak dapat menggunakan informasi resmi apa pun
untuk memajukan kepentingan pribadinya;

36
Pemerintah Indonesia – Perpres No 55 Tahun 2012 Lampiran Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012-2014 dan 2012-2025 (Jakarta: UNODC Indonesia,
2012) H 24
d. seorang pejabat publik diharuskan untuk menyatakan kekayaannya pada
penunjukan pertamanya dan juga setiap tahun;
e. pejabat publik tidak boleh terlibat dalam perdagangan atau bisnis atau
melakukan pekerjaan paruh waktu tanpa persetujuan; dan
f. seorang pejabat publik tidak boleh menerima hiburan atau hadiah dalam
bentuk apa pun dari anggota masyarakat.
Komitmen para menteri dan kepala departemen pemerintah juga
menghasilkan penetapan langkah-langkah administratif untuk mengurangi
kemungkinan pejabat publik terlibat dalam korupsi dan kesalahan. Langkah-
langkah ini meliputi:
a. mengidentifikasi dan menghilangkan peluang korupsi dalam prosedur kerja
Pemerintah;
b. merampingkan prosedur administrasi yang rumit dan memangkas birokrasi
untuk menyediakan layanan sipil yang efisien dan transparan sehingga tidak
ada yang perlu meminta bantuan pegawai negeri yang korup untuk
menyelesaikan sesuatu;
c. meninjau gaji pejabat publik secara teratur untuk memastikan bahwa mereka
dibayar secara memadai dan sebanding dengan bahwa dari sektor swasta;
d. mengingatkan kontraktor Pemerintah pada saat kontrak ditandatangani
bahwa menyuap pejabat publik yang menyelenggarakan kontrak dapat
membuat kontrak mereka dihentikan. Sebuah klausul untuk efek ini
merupakan bagian dari kondisi kontrak standar37.

Upaya pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, adalah upaya


memberi hak pada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi.
Sebuah sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media)
diberikan hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak ini dapat
meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan

37
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB) H. 127
47

menjalankannya secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan


sosialisasi atau diseminasi berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan38.
Cara yang dapat dilakukan seperti memobilisasi masyarakat sipil melalui
pendidikan publik dan peningkatan kesadaran menetapkan esensi dari program
peningkatan kesadaran dan dampak yang diinginkan. Memberdayakan masyarakat
untuk mengawasi Negara merupakan aspek penting dari program anti korupsi,
seperti membangun kepercayaan pada masing-masing cabang Pemerintah:
eksekutif, legislatif dan yudikatif39. Membuat mekanisme pengaduan publik bagi
semua orang, yang dihadapkan pada praktik korupsi atau maladministrasi, harus
memiliki sarana untuk mengadukannya, tanpa menderita kerugian pribadi40.

Indonesia menggunakan edukasi dan pemberdayaan masyarakat dalam


memberikan pemahaman tentang korupsi dengan gejala serta indikasi yang dapat
dikategorikan dalam korupsi sebagai berikut. Dengan satu kesatuan pandangan
bahwa korupsi sangat merugikan masyarakat dan setiap orang Indonesia,
diharapkan dapat dilakukan perbaikan. Pendidikan dan internalisasi budaya
antikorupsi di seluruh lapisan masyarakat merupakan salah satu cara pemersatu
perspektif. Kegiatan jangka panjang dalam strategi ini difokuskan pada:

a. Pengembangan sistem nilai dan sikap antikorupsi dalam berbagai aktivitas


kehidupan dalam tiga pilar PPK: masyarakat, swasta, dan aparat pemerintah.
b. Pengembangan dan penerapan nilai-nilai antikorupsi, kejujuran,
keterbukaan, dan integritas dalam berbagai kegiatan di sekolah, universitas,
dan lingkungan sosial dalam rangka mengembangkan karakter bangsa yang
berintegritas.

38
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 96
39
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 61
40
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 63
c. Kampanye anti korupsi yang komprehensif dan terencana41.
Pemerintah Singapura melakukan upaya sosialisasi masyarakat dengan
menggunakan efisiensi aspirasi publik dengan membentuk “Public Service in the
21st Century” (PS21) untuk mencapai tata kelola administrasi yang baik,
keunggulan organisasi, dan berorientasi layanan. Peningkatan efisiensi dan
efektivitas dalam pemberian layanan publik tersebut dapat bertindak melawan
korupsi dan mengurangi peluangnya. Hal ini karena layanan yang diberikan
dengan cepat dan tanpa kerumitan menyisakan lebih sedikit ruang untuk korupsi
dibandingkan dengan layanan yang memakan waktu lama dan memiliki tahapan
pemrosesan yang membosankan. Tujuan utama Pemerintah Singapura melakukan
inisiatif PS21 adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam
penyediaan layanan publiknya. Meskipun demikian, ia memiliki manfaat
sampingan penting dari pencegahan korupsi.
a. dengan pemberdayaan dan pelibatan petugas untuk perbaikan terus-
menerus, kami berharap para pelayan publik menjadi lebih terlibat. Seorang
petugas yang terlibat bangga dengan pekerjaannya dan kecil
kemungkinannya untuk menyerah pada korupsi.
b. dengan memotong birokrasi, membuat layanan lebih mudah dan lebih
mudah diakses, memberikan sedikit kesempatan bagi pejabat publik untuk
meminta suap untuk melicinkan transaksi. Dengan mencari umpan balik
dari publik dan bersikap transparan dalam kebijakan dan standar
layanannya, hal itu menyisakan sedikit ruang bagi pejabat publik untuk
meminta suap. Langkah paralel untuk meningkatkan layanan sipil dan
memposisikan, pemerintah untuk melayani bangsa dengan lebih baik di era
digital juga dimulai melalui e-Government Action Plans (eGAP).
c. Pembuatan iGov2010, berjalan dari tahun 2006 - 2010. iGov bertujuan
untuk memberikan layanan publik yang sangat baik serta menghubungkan
warga dengan pemerintah . Layanan elektronik yang sudah ada atau yang

41
Pemerintah Indonesia – Perpres No 55 Tahun 2012 Lampiran Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012-2014 dan 2012-2025 (Jakarta: UNODC Indonesia,
2012) H 25
49

akan dilaksanakan ditujukan untuk memberikan tingkat kemudahan,


efisiensi, dan efektivitas yang lebih tinggi bagi masyarakat. Langkah-
langkah e-governance berfungsi untuk melibatkan warga secara lebih luas
melalui penggunaan teknologi Infocom42.

Pembentukan badan antikorupsi khusus, dimaksudkan untuk digunakan


dalam menilai apakah suatu negara harus membentuk badan antikorupsi khusus,
jika harus menyesuaikan lembaga penegak hukum yang ada untuk memerangi
korupsi atau jika harus menggunakan kombinasi keduanya. Alat ini membahas
topik-topik seperti kemungkinan hubungan badan antikorupsi khusus dengan
lembaga lain, akuntabilitas politik, hukum, dan publiknya, seberapa efisien
lembaga tersebut, dan pentingnya memiliki kredibilitas publik. Banyak
keuntungan dari mendirikan badan terpisah dibahas, seperti "awal baru" yang
akan diberikannya kepada upaya anti-korupsi, spesialisasi dan keahlian tingkat
tinggi yang dapat dicapainya, serta pekerjaan yang lebih cepat dan efisien yang
berdedikasi badan antikorupsi khusus dapat mencapai. Sementara badan
antikorupsi khusus terpisah tidak diragukan lagi akan mengirimkan pesan yang
jelas bahwa Pemerintah "bersungguh-sungguh", Alat ini juga membahas
kemungkinan kerugian, seperti biaya, persaingan, isolasi, dan perusakan lembaga
yang sudah ada yang terlibat dalam pemberantasan korupsi. Untuk mengatasi
masalah tersebut, skenario diajukan di mana unit anti-korupsi khusus dapat
dibentuk di dalam lembaga penegak hukum yang ada, memungkinkan koordinasi
yang lebih besar dari upaya keseluruhan. Namun demikian, di mana diputuskan
untuk membentuk badan yang sepenuhnya terpisah, ia harus diberikan otonomi
tingkat tinggi, sesuatu yang mungkin hanya akan dicapai dengan pengesahan
undang-undang dan bahkan perubahan konstitusi. Kemungkinan mandat dari
badan antikorupsi khusus terpisah juga dibahas. Meskipun bergantung pada
beberapa variabel spesifik negara, mandat tersebut akan memerlukan elemen
substantif tertentu yang telah ditentukan sebelumnya: fungsi investigasi dan, pada

42
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB ) H. 128
awalnya, fungsi penuntutan; fungsi peningkatan kesadaran; analisis, pembuatan
kebijakan, dan fungsi legislatif; dan fungsi pencegahan. Unit ini membahas ruang
lingkup dan implikasi dari masing-masing43.

Singapura memiliki lembaga anti korupsi bernama CPIB adalah lembaga


pemerintah di Singapura di bawah Kantor Perdana Menteri. CPIB memiliki
mandat untuk menyelidiki setiap tindakan atau bentuk korupsi di sektor publik
dan swasta di Singapura, dan dalam perjalanan melakukannya, pelanggaran lain di
bawah hukum tertulis (Prevention of corruption act, chapter 241)44. Hukum
lainnya lembaga penegak hukum yang menemukan atau menerima laporan
tentang korupsi harus menyerahkan kasus tersebut kepada CPIB. CPIB memiliki
independensi tindakan. Kami dapat menyelidiki orang atau perusahaan mana pun
di pemerintahan atau sektor swasta, betapa pun tingginya hierarki mereka. CPIB
melapor langsung kepada Perdana Menteri untuk memblokir campur tangan yang
tidak semestinya dari pihak mana pun dan untuk memastikan bahwa CPIB tidak
memihak kepada individu, departemen, atau lembaga tertentu tetapi beroperasi
tanpa rasa takut atau bantuan, tanpa memandang warna kulit, keyakinan, atau
status sosial. Bahkan, independensi tindakan CPIB dijamin oleh Konstitusi,
dengan ketentuan bagi Presiden terpilih Singapura untuk membuka pintu bagi
penyelidikan untuk dilanjutkan jika pemerintah memblokir CPIB. Slogan Biro
kami "Cepat dan Pasti" adalah pesan kepada semua pelaku korupsi bahwa akan
ada tindakan cepat, kepastian hasil dan keadilan akan berjalan. CPIB selalu
berusaha untuk menjadi agen investigasi retak, didorong oleh tujuan dan
berkomitmen penuh untuk misi kami "memerangi korupsi melalui tindakan cepat
dan pasti". Tindakan cepat menunjukkan ketepatan tindakan, kecepatan dan
ketepatan waktu sementara tindakan pasti menunjukkan kepastian tindakan,
keteguhan dan orientasi pada hasil.

43
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 51
44
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB ) H. 125
51

Indonesia juga memiliki lembaga anti-korupsi yang dibentuk khusus untuk


menangani tindak pidana korupsi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia (biasa disingkat KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk
dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya45.
Lembaga ini memiliki tugas yakni: berkoordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, memiliki hak Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi, bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara46.

Kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi adalah salah


satu hal yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang menandatangani
konvensi ini bersepakat untuk bekerja sama dengan satu sama lain dalam setiap
langkah pemberantasan korupsi, termasuk melakukan pencegahan, investigasi dan
melakukan penuntutan terhadap pelaku korupsi. Negara-negara yang
menandatangani Konvensi juga bersepakat untuk memberikan bantuan hukum
timbal balik dalam mengumpulkan bukti untuk digunakan di pengadilan serta
untuk mengekstradisi pelanggar. Negara-negara juga diharuskan untuk melakukan
langkah-langkah yang akan mendukung penelusuran, penyitaan dan pembekuan
hasil tindak pidana korupsi. Kerja sama dalam pengembalian aset-aset hasil
korupsi terutama yang dilarikan dan disimpan di negara lain. Hal ini merupakan
isu penting bagi negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi.
Kekayaan nasional yang telah dijarah oleh para koruptor harus dapat
dikembalikan karena untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi, terutama di

45
https://web.archive.org/web/20141113105945/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/sekilas-kpk diakses tanggal 22 September 2021
46
Lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 6 – pasal 9
negara-negara berkembang, diperlukan sumber daya serta modal yang sangat
besar. Modal ini dapat diperoleh dengan pengembalian kekayaan negara yang
diperoleh dari hasil korupsi47.

Singapura melalui CPIB aktif terlibat dalam forum dan pertemuan


internasional yang membahas masalah korupsi. Ini adalah anggota pelopor
Inisiatif Anti-Korupsi ADB-OECD, yang bertemu dua kali setahun. Pada tahun
2008, Singapura menjadi tuan rumah pertemuan ke-12 serta Konferensi Anti-
Korupsi Regional ke-6 di mana lebih dari 120 peserta ambil bagian. CPIB telah
bergabung dengan International Association of Anti-Corruption Authorities
(IAACA). Ini adalah anggota APEC Anti-Corruption Task Force (ACT) dan
tahun lalu, kami memimpin diskusi ACT. Di kawasan ASEAN, terdapat MOU
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di antara lembaga-lembaga antikorupsi
di kawasan ASEAN yang melibatkan CPIB. CPIB adalah salah satu dari empat
lembaga pertama yang menandatangani MOU pada Desember 2004 di Jakarta,
bersama dengan lembaga Malaysia, Indonesia dan Brunei. Tujuan dari MOU
adalah untuk meningkatkan saling berbagi, peningkatan kapasitas dan
memperkuat upaya kolaboratif dalam masalah anti-korupsi48.

Kerja sama internasional Indonesia dilakukan dengan metode penyusunan


perangkat hukum dan mekanisme kerja sama (internasional, bilateral, regional),
khususnya terkait dengan pengajuan MLA yakni adalah Bantuan Hukum Timbal
Balik (Mutual legal assistance). Mutual Legal Assistance in Criminal Matters atau
Bantuan Timbal Balik dalam masalah pidana adalah permintaan bantuan
berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan
maupun pelaksanaan putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan

47
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti-Korupsi: Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian, 2011), H 112
48
Koh Teck Hin The 13th International Training Course On The Criminal Justice
Response To Corruption Visiting Experts (Singapore: CPIB ) H. 130
53

perundang-undangan Negara yang Diminta di bidang pidana49, koordinasi intensif


antar lembaga penegak hukum, serta meningkatkan upaya diplomasi dan
kemampuan aparat penegak hukum yaitu.

1. Memastikan dan memperkuat Badan Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai


lembaga pelaksana.
2. Meningkatkan mekanisme MLA dalam rangka pemberantasan korupsi.
3. Memastikan pembentukan unit pengelolaan aset hasil korupsi untuk
mendukung proses penegakan hukum dan transparansi dalam pengelolaan
terkait lainnya harta kekayaan sebagai bentuk pemanfaatan pengelolaan
harta kekayaan yang diperoleh dari Korupsi.
4. Pelatihan dan pendampingan teknis bagi aparat penegak hukum, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi,
antara lain: masalah intelijen keuangan/forensik.
5. Peningkatan Kerja sama dengan lembaga penegak hukum asing dalam
rangka BPK
6. Pembentukan Unit Pemulihan Aset termasuk di masing-masing instansi
terkait50.

Selain itu UNCAC (United Nations Convention Against Corruption)


menetapkan enam strategi sebagai upaya pemberantasan korupsi yang dapat
dilakukan negara, antara lain:

a. Pencegahan, hal ini dapat dilakukan dengan pemberian edukasi dan


penanaman nilai-nilai negara.
b. Penegakan hukum, penindakan terhadap pelaku apabila terjadinya tindak
pidana korupsi

49
Darmono, Ekstradisi Terpidana Kasus Korupsi dalam Rangka Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi. Lex Jurnalica Volume 9 Nomor 3, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik
Indonesia2012) H. 138
50
Pemerintah Indonesia – Perpres No 55 Tahun 2012 Lampiran Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012-2014 dan 2012-2025 (Jakarta: UNODC Indonesia,
2012) H 29
c. Harmonisasi peraturan perundang-undangan, menyelaraskan peraturan
perundang-undangan baik dari sektor daerah maupun sentral negara.
d. Kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi.
e. Pendidikan dan budaya anti-korupsi kepada generasi muda dan para calon
pejabat publik.
f. Membuat mekanisme pelaporan51.

51
https://www.unodc.org/documents/brussels/UN_Convention_Against_Corruption diakses
pada 19 juli 2021
BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN KEBIJAKAN PEMBERANTASAN


KORUPSI DI INDONESIA DAN SINGAPURA
A. Instrumen Kebijakan Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi
Instrumen adalah sebuah alat yang digunakan dengan tujuan mempermudah
dan mempercepat suatu tindakan. Dari sisi pemberantasan korupsi sendiri terdapat
beberapa instrumen yang dipergunakan pemerintahan agar dapat memberantas
tindak pidana secara optimal dan efektif sehingga tujuan dari sebuah hipotesa
kebijakan dapat terlaksana.
Secara umum instrumen atau alat yang digunakan pemerintah sebagai upaya
pemberantasan korupsi yaitu.
1. Undang-undang
2. Lembaga khusus yang menangani kasus korupsi
3. Kerja sama Internasional

Undang-undang, kebijakan konstitutif yang diawasi secara yudisial, yang


melibatkan hak warga negara untuk mendengar, persyaratan pemberitahuan, dan
hak atas pernyataan alasan keputusan pejabat publik, semuanya merupakan
mekanisme yang efektif untuk mencegah dan mengendalikan praktik korupsi
karena memberikan masyarakat sipil alat untuk menantang penyalahgunaan
wewenang. Mereka juga merupakan mekanisme yang efektif bagi warga untuk
menantang pembuatan kebijakan yang tidak transparan. Dengan menciptakan hak
administratif prosedural yang dapat ditegakkan secara hukum, politisi
mendesentralisasikan fungsi pengawasan kepada konstituen mereka, yang dapat
mengajukan tuntutan untuk menempatkan tekanan publik dalam kasus
penyalahgunaan kekuasaan politik atau birokrasi. Dalam kasus seperti itu, hukum
dan prosedur substantif administratif dapat dilihat sebagai sarana untuk
memastikan akuntabilitas dan bertindak sebagai instrumen kontrol politik atas
Negara. Mereka melayani tujuan memantau dan mendisiplinkan pejabat publik.

55
Ada juga beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan ketika
memperkenalkan hukum

administrasi sebagai alat anti-korupsi. Prosedur administrasi yang ekstensif


mungkin memerlukan administrasi yang lebih lambat dan kurang fleksibel. Pada
saat yang sama, hak prosedural yang mencakup penentang politisi dapat
digunakan untuk tujuan politik untuk mendapatkan keuntungan elektoral1.

Lembaga khusus yang menangani korupsi. Strategi anti korupsi biasanya


harus mempertimbangkan apakah akan mendirikan lembaga atau lembaga
tersendiri seperti Anti-Corruption Agency (ACA) untuk menangani masalah
korupsi secara eksklusif, apakah dengan memodifikasi atau mengadaptasi institusi
yang ada, atau kombinasi keduanya. Sejumlah faktor hukum, kebijakan, sumber
daya dan lainnya harus dipertimbangkan dalam hal ini. Dalam pembentukan
lembaga khusus ini negara dapat memperoleh keuntungan dari lembaga anti
korupsi terpisah yakni:

1. Spesialisasi dan keahlian tingkat tinggi dapat dicapai;


2. Otonomi tingkat tinggi dapat dibentuk untuk melindungi lembaga dari
korupsi dan pengaruh-pengaruh lain yang tidak semestinya;
3. Lembaga tersebut akan terpisah dari badan-badan dan departemen-
departemen yang akan menjadi tanggung jawabnya untuk diselidiki;
4. Lembaga yang benar-benar baru menikmati "awal baru", bebas dari korupsi
dan masalah lain yang mungkin ada di lembaga yang ada,
5. Memiliki kredibilitas publik yang lebih besar,
6. Dapat diberikan perlindungan keamanan yang lebih baik;
7. Ini akan memiliki akuntabilitas politik, hukum dan publik yang lebih besar
8. Akan ada kejelasan yang lebih besar dalam penilaian kemajuannya,
keberhasilan dan kegagalan; dan

1
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H. 488
57

9. Tindakan pemberantasan korupsi akan lebih cepat. Sumber daya khusus tugas
akan digunakan dan pejabat tidak akan tunduk pada prioritas yang bersaing
dari penegakan hukum umum, audit, dan lembaga serupa.2;

Dari sudut pandang politik, pembentukan lembaga atau badan khusus


memberikan sinyal bahwa pemerintah serius dalam upaya antikorupsi. Elemen
substantif badan khusus anti korupsi dapat termasuk:

a. Fungsi investigasi dan penuntutan awal.


b. Fungsi pendidikan dan peningkatan kesadaran.
c. Analisis, pembuatan kebijakan dan fungsi legislatif.
d. Fungsi pencegahan3.

Kerja sama internasional dapat membantu menimbulkan keinginan untuk


memerangi korupsi dan kemampuan untuk melakukannya. Terlepas dari kepekaan
yang jelas dalam merancang dan menerapkan strategi untuk memerangi korupsi
sistematis, organisasi internasional dapat dan, memang, telah melakukannya—
membantu dengan memberikan bantuan untuk mendukung reformasi demokratis,
ekonomi yang lebih kompetitif, dan tata kelola yang lebih baik4. Karena
kekhawatiran tentang korupsi telah meningkat, studi tentang masalah tersebut
dengan jelas menunjukkan perlunya kerja sama internasional. Kerja sama dan
berbagai bentuk bantuan teknis dan pembangunan diperlukan karena korupsi di
satu negara dapat mempengaruhi negara-negara lain di kawasan dan negara lain di
mana negara bermasalah memiliki hubungan ekonomi, sosial, politik, imigrasi
atau lainnya yang signifikan. Upaya negara-negara berkembang untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka terhambat,

2
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H. 99
3
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H 102

4
Robert Klitgaard, International Cooperation Against Corruption, (Santa Monica,
California: The RAND Graduate School, 1998) artikel
https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1998/03/pdf/klitgaar.pdf diakses pada 24 Septermber
2021
demikian juga upaya terbaik negara lain untuk membantu mereka dalam upaya
ini. Korupsi, kejahatan terorganisir dan masalah terkait juga cenderung menyebar
dari negara-negara di mana mereka endemik di sepanjang hubungan ekonomi atau
lainnya ke negara-negara di mana mereka tidak endemik. Globalisasi
perdagangan, struktur ekonomi dan sosial juga telah meningkatkan prevalensi
kasus korupsi individu yang memiliki unsur transnasional. Kerja sama
internasional mencakup perjanjian serta tindakan berikut:

1. Ekstradisi;
2. Bantuan Hukum Bersama (model MLA);
3. Transfer Proses;
4. Transfer Putusan;
5. Pemindahan Putusan, khususnya Pemindahan Terpidana;
6. Pemulihan dana ilegal (penelusuran, pembekuan dan penyitaan)5.

B. Lembaga Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi


1. Lembaga hukum tindak pidana korupsi Indonesia
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat
KPK) adalah organisasi publik yang dibentuk dengan tujuan untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi upaya pemberantasan korupsi. KPK
bersifat independen dan tidak berada di bawah pengaruh kekuasaan mana pun
dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya. Memiliki masa jabatan selama
5 (lima) tahun, panitia ini dibentuk berdasarkan undang-undang Republik
Indonesia no. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam
menjalankan fungsinya, KPK dijiwai oleh lima prinsip, yaitu kepastian
hukum, transparansi, akuntabilitas, kepentingan publik, dan
proporsionalitas.6.

5
Antonio Maria Costa, The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption
Toolkit 2nd Edition (Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004), H.
6
https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas diakses tanggal 23 September 2021
59

Dalam pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun


2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan
komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi;
4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara7.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi


berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak


pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi8.

Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban :

7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 6
8
https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas diakses tanggal 24 September 2021
1) Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai
terjadinya tindak pidana korupsi;
2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau
memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan
hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
3) Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada presiden
republik indonesia, dewan perwakilan rakyat republik indonesia, dan
badan pemeriksa keuangan;
4) Menegakkan sumpah jabatan;
5) Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenang9.

Berdasarkan peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia


Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Komisi
Pemberantasan Korupsi Struktur Organisasi KPK sebagai berikut:

Poto 1 https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi

9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 15
61

Bagian pertama, adalah Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik


Indonesia terdiri dari lima orang. bekerja secara kolektif dengan masa
jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali
masa jabatan. Pimpinan KPK menyelenggarakan fungsi:

1. mengambil keputusan strategis dan memimpin pelaksanaan tugas KPK


secara kolegial;

2. menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum tentang


pemberantasan korupsi;

3. membina dan melaksanakan kerja sama dengan instansi dan organisasi


lain dalam pemberantasan korupsi;

4. mengangkat dan memberhentikan seseorang untuk menjadi Penasihat dan


Pegawai KPK;

5. mengangkat dan memberhentikan Pegawai untuk jabatan Deputi,


Direktur, Kepala Biro, Kepala Sekretariat, Kepala Bagian dan
Koordinator Sekretaris Pimpinan; dan

6. mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan


Sekretaris Jenderal10.

Bagian yang kedua dalam struktur tubuh lembaga KPK adalah Dewan
pengawas, terdapat dalam Pasal 37B Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019
tentang KPK tugas Dewan Pengawas KPK adalah:

1. Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK).
2. Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan,
penggeledahan, dan/atau penyitaan.
3. Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai KPK.

10
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk diakses pada 25 September 2021
4. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai
adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK
atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.
5. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran
kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai KPK.
6. Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai KPK secara berkala 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun11.

Bagian Ketiga terdiri dari, Staf khusus, Sekretariat Jenderal, Inspektorat,


Pusat Perencanaan Strategi pemberantasan Korupsi, Juru bicara dan
sekretariat Pimpinan.

Bagian keempat, yakni jajaran bagian yang menanggulangi sebagian besar


kinerja lapangan yakni:

Deputi bidang pendidikan dan peran serta masyarakat mempunyai tugas


menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan dan
peran masyarakat dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Deputi Bidang
Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan teknis pada bidang pendidikan dan peran serta


masyarakat yang meliputi jejaring pendidikan, sosialisasi dan kampanye
antikorupsi, pembinaan peran serta masyarakat, dan pendidikan dan
pelatihan antikorupsi;
2. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan
pelaksanaan tugas di Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta
Masyarakat;
3. Penyelenggaraan program pendidikan antikorupsi pada setiap jejaring
pendidikan;
4. Merencanakan dan melaksanakan program sosialisasi dan kampanye
antikorupsi;

11
https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/20/164700665/resmi-dilantik-apa-saja-
tugas-dewan-pengawas-kpk. Diakses pada 25 September 2021
63

5. Merencanakan dan menyiapkan program sertifikasi antikorupsi;


6. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumber daya
manusia pada Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat;
7. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan
pelaksanaan hubungan kerja antar direktorat pada Deputi Bidang
Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat; dan
8. Pelaksanaan tugas-tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas
perintah Pimpinan
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat membawahkan:
a. Direktorat Jejaring Pendidikan;
b. Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi;
c. Direktorat Pembinaan Peran serta Masyarakat;
d. Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi; dan
e. Sekretariat Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat
Selanjutnya ada Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring, bertugas
menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan di bidang pencegahan
tindak pidana korupsi. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring
menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan kebijakan teknis pada bidang pencegahan dan monitoring
yang meliputi pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan
penyelenggaraan negara, gratifikasi dan pelayanan publik, monitoring,
serta Antikorupsi Badan Usaha;
2. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan
pelaksanaan tugas di Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring;
3. Pelaksanaan pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
4. Penanganan pelaporan dan pengendalian gratifikasi yang diterima oleh
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
5. Pelaksanaan monitoring pemberantasan korupsi;
6. Pelaksanaan Antikorupsi Badan Usaha;
7. Pelaksanaan tugas sebagai sekretariat strategi nasional antikorupsi;
8. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumber daya
manusia pada Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring;
9. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan
pelaksanaan hubungan kerja aNtar unit pada Deputi Bidang Pencegahan
dan Monitoring; dan
10. Pelaksanaan tugas-tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas
perintah Pimpinan.
Deputi Bidang Pencegahan membawahkan:
a. Direktorat LHKPN;
b. Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik;
c. Direktorat Monitoring;
d. Direktorat Antikorupsi Badan Usaha; dan
e. Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring12.

Selanjutnya ada Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi mempunyai tugas


menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan di bidang penindakan dan
eksekusi tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dalam
melaksanakan tugasnya, Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi
menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan teknis pada bidang penindakan dan eksekusi yang


meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pelacakan aset,
pengelolaan barang bukti, dan eksekusi penanganan perkara tindak
pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang;

2. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan


pelaksanaan tugas di Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi;

3. Pelaksanaan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dan bekerja


sama dalam kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum lain;

12
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan diakses
tanggal 25 September 2021
65

4. Pelaksanaan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau tindak


pidana pencucian uang dan bekerja sama dalam kegiatan penyidikan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;

5. Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan


penetapan hakim dan putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan hukum
lainnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan/atau tindak
pidana pencucian uang sesuai peraturan perundang-undangan;

6. Pelacakan aset, pengelolaan barang bukti dan pelaksanaan eksekusi


barang rampasan;

7. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumber daya dan


dukungan operasional pada Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi;

8. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan


pelaksanaan hubungan kerja antar unit pada Deputi Bidang Penindakan
dan Eksekusi; dan

9. Pelaksanaan tugas-tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas


perintah Pimpinan.

Deputi Bidang Penindakan dan eksekusi membawahkan:

a. Direktorat Penyelidikan;
b. Direktorat Penyidikan;
c. Direktorat Penuntutan;
d. Direktorat Labuksi; dan
e. Sekretariat Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi13.

Selanjutnya yakni Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi, bagian ini


bertugas untuk menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan di bidang

13
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-penindakan diakses
tanggal 25 september 2021
koordinasi dan supervisi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan teknis pada bidang koordinasi terhadap


penyelenggaraan pemerintahan negara meliputi pengkajian terhadap
sistem pengelolaan administrasi di pemerintahan daerah;

2. Perumusan kebijakan teknis pada bidang koordinasi dan supervisi


terhadap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi oleh penegak hukum lainnya;

3. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan


pelaksanaan tugas di Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi;

4. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam


pemberantasan tindak pidana korupsi oleh penegak hukum lainnya;

5. Meminta informasi, perkembangan penanganan dan menetapkan sistem


pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh
penegak hukum lainnya;

6. Melakukan ekspose atau gelar perkara bersama terkait dengan


perkembangan penanganan tindak pidana korupsi di tempat instansi yang
menangani perkara tersebut atau tempat lain yang disepakati;

7. Melaksanakan kegiatan pengawasan, penelitian dan/atau penelaahan


terhadap penanganan perkara oleh aparat penegak hukum lainnya;

8. Merekomendasikan kepada Pimpinan untuk melaksanakan


pengambilalihan penanganan perkara pada tahapan penyidikan atau
penuntutan dari aparat penegak hukum lainnya;

9. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan


pelaksanaan hubungan kerja antar unit pada Deputi Koordinasi dan
Supervisi; dan
67

10. Pelaksanaan tugas-tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas


perintah Pimpinan.

Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi membawahkan:

a. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah I;


b. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah II;
c. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah III;
d. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV;
e. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V; dan
f. Sekretariat Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi14

Deputi selanjutnya yakni Deputi Bidang Informasi dan Data, bagian ini
bertugas menyiapkan dan melaksanakan rumusan kebijakan pada bidang
informasi dan data dalam rangka pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi, Deputi Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan teknis pada bidang pelayanan laporan dan


pengaduan masyarakat, manajemen informasi dan data, pembinaan
jaringan kerja antar komisi dan instansi, serta deteksi dan analisis
antikorupsi;

2. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan


pelaksanaan tugas di Deputi Bidang Informasi dan Data;

3. Pelaksanaan pelayanan laporan dan pengaduan masyarakat;

4. Perencanaan, pengembangan dan pemberian dukungan sistem, teknologi


informasi dan komunikasi di Komisi Pemberantasan Korupsi;

5. Pelaksanaan pembinaan jaringan kerja an tar komisi dan instansi dalam


pemberantasan korupsi;

14
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-koordinasi-dan-
supervisi diakses tanggal 25 September 2021
6. Pengumpulan serta pengolahan data dan informasi, termasuk analisis
informasi untuk kepentingan pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi, kepentingan manajerial maupun dalam rangka deteksi indikasi
tindak pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah
penyebab korupsi;

7. Pembangunan pusat analisa deteksi dini indikasi tindak pidana korupsi


dan kerawanan korupsi serta potensi masalah penyebab korupsi;

8. Pelaksanaan analisis data dan informasi untuk mengantisipasi hambatan


dan perlawanan pelaku tindak pidana korupsi;

9. Pengelolaan jaringan nasional dan Internasional dalam pemberantasan


korupsi;

10. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumber daya pada


Deputi Bidang Informasi dan Data;

11. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan


pelaksanaan hubungan kerja antar unit pada Deputi Bidang Informasi dan
Data; dan

12. Pelaksanaan tugas-tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas


perintah Pimpinan.

Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi membawahkan:

a. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah I;


b. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah II;
c. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah III;
d. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV;
e. Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V; dan
f. Sekretariat Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi15.

15
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-koordinasi-dan-
supervisi diakses tanggal 25 September 2021
69

Selanjutnya adalah Deputi Bidang Informasi dan Data, bagian ini bertugas
menyiapkan dan melaksanakan rumusan kebijakan pada bidang informasi dan
data dalam rangka pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Deputi
Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan teknis pada bidang pelayanan laporan dan


pengaduan masyarakat, manajemen informasi dan data, pembinaan
jaringan kerja antar komisi dan instansi, serta deteksi dan analisis
antikorupsi;

2. Pelaksanaan kajian, telaahan dan/atau riset dalam rangka dukungan


pelaksanaan tugas di Deputi Bidang Informasi dan Data;

3. Pelaksanaan pelayanan laporan dan pengaduan masyarakat;

4. Perencanaan, pengembangan dan pemberian dukungan sistem, teknologi


informasi dan komunikasi di Komisi Pemberantasan Korupsi;

5. Pelaksanaan pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi dalam


pemberantasan korupsi;

6. Pengumpulan serta pengolahan data dan informasi, termasuk analisis


informasi untuk kepentingan pencegahan dan penindakan tindak pidana
korupsi, kepentingan manajerial maupun dalam rangka deteksi indikasi
tindak pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah
penyebab korupsi;

7. Pembangunan pusat analisa deteksi dini indikasi tindak pidana korupsi


dan kerawanan korupsi serta potensi masalah penyebab korupsi;

8. Pelaksanaan analisis data dan informasi untuk mengantisipasi hambatan


dan perlawanan pelaku tindak pidana korupsi;

9. Pengelolaan jaringan nasional dan Internasional dalam pemberantasan


korupsi;
10. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumber daya pada
Deputi Bidang Informasi dan Data;

11. Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan


pelaksanaan hubungan kerja antar unit pada Deputi Bidang Informasi dan
Data; dan

12. Pelaksanaan tugas-tugas lain dalam lingkup bidang tugasnya atas


perintah Pimpinan.

Deputi Bidang Informasi dan Data membawahkan:

a. Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat;


b. Direktorat Manajemen Informasi;
c. Direktorat PJKAKI;
d. Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi; dan
e. Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data;
2. Lembaga hukum tindak pidana korupsi Singapura
Dipimpin oleh Direktur CPIB, Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB)
memiliki tiga departemen utama yakni Investigasi, Operasi, dan Urusan
Perusahaan.

Poto 2https://www.cpib.gov.sg/

Departemen pertama adalah Departemen Investigasi menjalankan fungsi


utama Biro dalam menyelidiki pelanggaran di bawah Undang-undang
71

Pencegahan Korupsi. Departemen ini terdiri dari tiga divisi: Operasi


Investigasi, Pengembangan Pelatihan &Kebijakan, dan Operasi Pelatihan.

Divisi Operasi Investigasi yang berisi 6 cabang. Cabang-cabang menyelidiki


semua kasus korupsi di sektor publik dan swasta termasuk kasus korupsi
sehari-hari, dan isu-isu yang berkaitan dengan pencucian uang dan korupsi
transnasional.

Divisi Pengembangan Pelatihan dan Kebijakan, bertugas meninjau kebijakan


pelatihan dan pengembangan Biro dan berusaha untuk meningkatkan tingkat
kompetensi keseluruhan dari semua petugas CPIB. Divisi ini juga
menganalisis tren korupsi dan bertugas menyusun kebijakan investigasi untuk
mengatasi kekurangan yang ditemukan dalam organisasi selama penyelidikan
korupsi.

Divisi Operasi Pelatihan, bertanggung jawab untuk perencanaan kurikulum


dan melakukan kursus in-house dalam penyelidikan korupsi. Divisi ini juga
menekankan keahlian operasional dalam domain wawancara investigasi dan
forensik keuangan melalui Centre of Excellence yang mengakurasi program
khusus untuk pengembangan profesional, dan berkolaborasi dengan lembaga
penegak hukum lokal dan asing, akademisi dan profesional.

Departemen kedua, yakni Departemen Operasi terdiri dari tiga divisi: Operasi
Intelijen, Analisis Intelijen dan Urusan Internasional, dan Sains dan
Teknologi / Proyek Khusus.

Divisi Operasi Intelijen, bertugas mengumpulkan intelijen untuk mendukung


deteksi dan penyelidikan pelanggaran korupsi. Divisi ini juga bertanggung
jawab untuk mendorong upaya manajemen data dan analitik Biro.

Divisi Analisis Intelijen dan Urusan Internasional, bertugas dalam


melakukan analisis intelijen untuk mendukung deteksi dan penyelidikan
pelanggaran korupsi. Ini juga menjadi ujung tombak keterlibatan
internasional Biro, termasuk keterlibatan dalam berbagai platform anti-
korupsi internasional.
Divisi Sains dan Teknologi/Proyek Khusus, bertugas sebagai pendukung
Departemen Investigasi dan Operasi dengan alat investigasi khusus seperti
penilaian kredibilitas dan forensik digital. Ini juga membantu pengembangan
kemampuan dan penggunaan teknologi baru.

Departemen ketiga, adalah Departemen Urusan Perusahaan dan departemen


ini berisi lima divisi yang di bawahinya:

1. Divisi Manajemen dan Pengembangan Orang,


Divisi ini bertanggung jawab atas masalah keuangan, pengadaan dan aset
Biro dan menyediakan berbagai layanan dan dukungan administratif.
Peran mereka juga termasuk menjaga proyek pembangunan infrastruktur
dan fasilitas serta memfasilitasi pemeliharaan Biro.
2. Divisi Keuangan dan Administrasi,
Manajemen Rakyat Dan Pengembangan memiliki tugas untuk
merancang, meninjau, dan menerapkan strategi SDM yang selaras
dengan arah strategis CPIB. Selain itu, mereka bertugas mengembangkan
dan membangun kemampuan untuk memenuhi persyaratan operasional
CPIB dan untuk menangani administrasi dan operasi kepegawaian.
3. Divisi Perencanaan, Penelitian, dan Hubungan Perusahaan,
Bertugas mempelopori perencanaan strategis Biro, pengembangan
organisasi dan keunggulan, dan manajemen perubahan. Sebagai front
publik untuk Biro, Divisi ini juga mendorong upaya pendidikan,
keterlibatan dan penjangkauan anti-korupsi, dan mengelola masalah
hubungan perusahaan. Pusat Studi Anti-Korupsi yang berada di bawah
Divisi ini melakukan penelitian tentang isu-isu anti-korupsi
4. Divisi Teknologi Informasi, dan
Memiliki tugas berusaha untuk menggabungkan dan memanfaatkan TI ke
dalam operasi Biro sehingga dapat mendukung fungsi Biro dan menjadi
digital ke inti.
5. Divisi Kantor Transformasi Digital.
73

Mengemban tugas sebagai pendorong berbagai proyek digitalisasi dan


memastikan kelancaran peluncuran semua upaya digitalisasi sesuai
dengan Cetak Biru Digitalisasi Biro secara keseluruhan16.

C. Persamaan dan Perbedaan Dalam Kebijakan Pemberantasan Korupsi


Visi pemberantasan korupsi di Indonesia dan Singapura berada pada level
yang relatif sama, perbedaan metode dan modus operasi yang digunakan telah
berubah dari waktu ke waktu, namun tidak menghilangkan kepentingan mendasar
dari tindak pidana korupsi itu sendiri, yaitu penipuan. Terdapat tiga bagian yang
esensial dalam mencari persamaan dan perbedaan atas kebijakan Singapura dan
Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi yakni:
Substansi hukum, Berdasarkan substantif hukum Kebijakan pemberantasan
korupsi Indonesia beralasan pada rumusan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat banyak hal, namun
secara khusus masalah korupsi diuraikan dalam Bab II, Pasal 2 dan Pasal 24, serta
Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Sedang Bab IV berisi tentang masalah penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan (Pasal 25 sampai dengan Pasal 40). Bab V berisi tentang
peran masyarakat (Pasal 41 dan Pasal 42). Ketentuan Umum terdapat pada Bab I
yang memuat penjelasan tentang berbagai istilah, sedangkan Bab VI berisi tentang
Ketentuan Lain (Pasal 43), dan Bab VII Ketentuan Akhir (Pasal 44 dan 45)17.
Singapura sendiri substansi hukum dalam undang-undang antikorupsi di
Singapura, kebijakan pemerintah daerah menerapkan aturan yang digariskan
dalam Bab 241 Prevention of Corruption Act (PCA), yang disahkan pada tahun
1960, dicetak ulang pada tahun 1966, dan direvisi pada tahun 1993, terus

16
https://www.cpib.gov.sg/who-we-are/our-work/organisational-structure diakses pada 25
September 2021
17
Lihat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
mengalami perubahan dan amandemen hingga tahun 200218. Istilah “korup” di
bawah CPA mensyaratkan bahwa pengadilan bertindak dengan cara yang benar-
benar memuaskan, pertama ada unsur korupsi dalam transaksi dan, kedua, bahwa
orang yang memberi atau menerima manfaat memiliki niat korup. Syarat pertama
penetapan “unsur korupsi” adalah kepastian niat tersangka untuk memperoleh
kepuasan, syarat kedua adalah ukuran objektif untuk menentukan apakah niat
yang menyertai transaksi itu merupakan unsur. Korupsi atau tidak. Syarat ketiga
dari "niat korupsi" dipenuhi dengan menentukan apakah terdakwa tahu atau sadar
bahwa tindakannya korup menurut standar umum dan subjektif19.
Struktur Hukum, Dalam menganalisa struktur hukum Indonesia sudah memiliki
organisasi antikorupsi seperti Komisi (KPK) yang gencar memburu penjahat
hingga dihukum secara hukum, sementara Singapura memberantas korupsi
melalui CPIB atau Kantor Inspeksi Korupsi. Struktur organisasi CPIB terbagi
menjadi tiga cabang. Cabang terpenting adalah Divisi Investigasi yang terdiri dari
empat unit, yang masing-masing dipimpin oleh Wakil Direktur Senior atau Wakil
Direktur, yang bertanggung jawab untuk mengarahkan dan memantau upaya
investigasi agen, pejabat bawahan. Surat Penyelidikan dibuat oleh penyidik dan
diserahkan kepada Direktur, yang menerima bukti dan membuat rekomendasi
yang sesuai kepada jaksa, di mana persetujuan diperlukan untuk penuntutan di
bawah kebijakan Negara PCA20.
Budaya Hukum, Ketika mengamati budaya hukum Indonesia tidak hanya
menerapkan kinerja mutlak KPK dalam menyelidiki setiap kasus korupsi yang
ada, Kerja sama dengan Mahkamah kehakiman juga menjadi acuan prosedur
pelaksanaan pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini menjadikan KPK bukan
lembaga tunggal yang harus menyelesaikan visi bebas korupsi di Indonesia.

18
Abd. Rachman Assegaf, Policy Analysis And Educational Strategy For Anti Corruption
In Indonesia And Singapore, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) H. 618
19
Abd. Rachman Assegaf, Policy Analysis And Educational Strategy For Anti Corruption
In Indonesia And Singapore, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) H. 620
20
Abd. Rachman Assegaf, Policy Analysis And Educational Strategy For Anti Corruption
In Indonesia And Singapore, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) H. 621
75

Singapura di lain sisi juga melakukan Kerja sama antar divisi dan bagian dengan
tenaga penegak hukum lain seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam
menindak dan memidana para pelaku korupsi21.

21
M.Syamsudi, Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum (Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 2007) H. 190
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil rumusan pembahasan penelitian kebijakan pemberantasan
korupsi di Negara Indonesia dan Singapura dapat disimpulkan bahwa:

1. Indonesia dan singapura sama-sama memiliki sistem penetapan dan


penerapan hukum positif yang sama, terutama dalam bentuk lembaga
khusus anti korupsi. Indonesia dengan menggunakan KPK sebagai
organisasi pemberantasan korupsi khusus menangani berbagai macam
kasus tindak pidana korupsi, Singapura dengan CPIB dengan tujuan dan
cara kerja yang relatif sama sebagai lembaga anti korupsi. Penerapan
idealisme politik hukum dalam Undang-undang pemberantasan korupsi
juga terlihat dalam hukum positif Indonesia dan Singapura, kedua negara
mengerahkan upaya seoptimal mungkin untuk mengadili para pelaku
korupsi dengan mengesahkan Undang-undang anti korupsi yang berisi,
kategori pidana hingga sanksi serta pihak yang berwenang mengadili kasus
korupsi.
2. Dalam memahami perbedaan dan persamaan terkait bagaimana Indonesia
dan Singapura menerapkan idealisme politik hukum kebijakan
pemberantasan korupsi terdapat beberapa poin yang dapat di simpulkan,
a. Singapura memusatkan identifikasi kasus korupsi dengan hanya pada
tindakan yang dilakukan pelaku korupsi secara umum, dan memproses
tindak kejahatan korupsi tersebut sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, Indonesia dengan ekosistem wilayah memiliki beberapa point
tambahan terkait kategori tindakan korupsi dan hukuman yang pantas
dijatuhkan kepada pelaku.
b. Singapura memanfaatkan kontribusi masyarakat secara adil dan serius
dengan pembangunan lembaga penyokong agar mempermudah
masyarakat melaporkan tindakan penyelewengan pegawai publik yang
disaksikan masyarakat, dalam hal ini Indonesia belum sampai pada

76
77

tahap pemanfaatan kontribusi masyarakat melainkan masih dalam


taraf
c. Singapura memperhatikan detail regulasi keuangan yang berjalan
tidak hanya pada lembaga-lembaga publik milik negara melainkan
juga pada lembaga-lembaga milik swasta yang tidak lepas dari
pengawasan yang belum dapat dijangkau Indonesia.
d. Indonesia merumuskan kebijakan konstitutif terkait substansi
penindakan kasus korupsi dengan mengambil sudut pandang tidak
hanya pada tindakan pelaku akan tetapi juga pada dampak yang
ditimbulkan pelaku korupsi tersebut.

B. Saran
DPR sebagai badan legislatif Indonesia masih perlu mengevaluasi dan
memperbaiki banyak aspek dari kebijakan pemberantasan korupsi ini.
memperhatikan tidak hanya pada aspek tata cara kerja badan khusus saja akan
tetapi juga dapat memperhatikan kinerja badan lain yang bekerja sama dalam
membantu proses pelaksanaan kebijakan positif dalam undang-undang.
Kepolisian juga masih harus belajar dan mengetahui terkait kategori dan delik
hukum secara keseluruhan dalam kebijakan yang sudah dibuat oleh badan
legislatif, karena sebagai salah satu badan pelaksana hukum kepolisian yang
bekerja sama dengan badan khusus pemberantasan korupsi dapat membuat
proses peradilan yang lebih optimal dan cepat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol. 1 ( Jakarta:
Kencana, 2010), Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum Jakarta:
Yarsif Watampone, 1998

Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2003

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta : Balai


Pustaka, 2001

Friedman Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective New
York: Russerl Sage Fondation, 1969

Heidenheimer Arnold J. dan Michael Johnston, Political Corruption: Concept and


Contexts New Brunswick: Transaction Publisher, 2007

Irfan Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam Jakarta: AMZAH, 2011

Istanto F. Sugeng dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali , Politik Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010
J.P Cambel, Riset dalam Efektivitas Organisasi, Diterjemahkan oleh : Salut
Simamora Jakarta: Erlangga. 1989

Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan
Empiris. Jakarta: Kencana, 2016

Mahfud Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2009

Nazir Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Ghia Indonesia, 2005


79

Muhardiansyah Doni, Dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi Cet.I, Jakarta:


Komisi pemberantasan Korupsi, 2010

Neild Robert, Public Corruption: The Dark Side of Social Evolution London
Anthem Press, 2002

Ni’am Moh. Masyhuri dkk, NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir & Fiqih Jakarta:
TK GNPK NU, 2006

Poerwadarminta W.J.S., Prent C.M., J. Adisubrata, Kamus Latin-Indonesia


Yogyakarta : Kanisius, tth.

Priyono B Herry, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama, 2018

Purbacaraka Purnadi, dalam Soerjono Soekanto dan R Otje salman, Disiplin


Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta: Rajawali, 1988

Rachman Assegaf Abd., Policy Analysis And Educational Strategy For Anti
Corruption In Indonesia And Singapore, Yogyakarta: Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2015

Rahardjo Sajipto, Ilmu Hukum, Cet. III, Bandung: Citra Aditya bakti, 1991,
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) : Kajian Konseptual dan Sosio-
Kultural, dalam Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.),
Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia Yogyakarta :
Aditya Media, 1999

Rosadi Otong dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum, Suatu Optik Ilmu Hukum,
Yogyakarta: Thafa Media, 2012

Soekanto Soerjono. Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi. Bandung: CV.


Ramadja Karya. 1988
Soekanto Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008

Suriasumatri Jujun, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2001

Syamsudi M., Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum Yogyakarta: Universitas


Islam Indonesia, 2007

Syaukani Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, , 1999

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Wahjono Padmo, Menyelisik proses terbentuknya Perundang-Undangan forum


keadilan, (No. 29/april)

Wahjono Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia


Indonesia

Jurnal

Fitriana Mia Kusuma, Jurnal: Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Sebagai Sarana
Mewujudkan Tujuan Negara Kalimantan Timur:2015

Friedman Lawrance M., On Legal Development (New Jersey: Rutgers Law


Riviews Vol. 24, 1969), Is There a Modern Legal Culture?, RATIO JURIS
Vol. 7, 1994
81

Klitgaard Robert, International Cooperation Against Corruption, Santa Monica,


California: The RAND Graduate School, 1998 artikel Antonio Maria Costa,
The Global Programme Against Corruption Un Anti-Corruption Toolkit 2nd
Edition Vienna: United Nations Office On Drugs And Crime, 2004

Maria Costa Antonio, The Global Programme Against Corruption Un Anti-


Corruption Toolkit 2nd Edition Vienna: United Nations Office On Drugs
And Crime, 2004

Meagher Patrick, Anti-Corruption Agencies: A Review of Experience IRIS Center:


University of Maryland, 2002

Muhammad Radhie Teuku dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Prisma:
1973

Notchanee Suksrinuan Miss, Perbandingan Sanksi Pidana Korupsi Dalam Hukum


Pidana Indonesia dan Thailand, Yogyakarta: Universitas Islam Negri Sunan
Kalijaga, 2017

Nye J. S., Corruption and political development: A Cost-Benefit Analysis


American Political Science Review, 1967

OECD, Specialised Anti-Corruptions Institutions Review Models: Anti


Corruptions Network For Eastern Europe And Central Asia Château de la
Muette, Paris, 2008

Perdana Putra dan Purbayu Budi Santosa, Efektivitas Lembaga Birokrasi Dan
Tingkat Korupsi Terhadap Investasi Pada Enam Negara Asean (Filipina,
Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapura, Dan Thailand) Tahun 2004-
2010 Semarang: Universitas Diponegoro, 2012

Sidharta Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
Tentang Fundasi Kefilsafatan Dan Sifat Keilmuan Hukum Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung:
Mandar Maju, 2001
Tabalujan Benny Simon, Legal Development In Developing Countries – The Role
Of Legal Culture, Singapore: Associate Professor, Division of Business Law
Nanyang Business School, 2001

Website

https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1998/03/pdf/klitgaar.pdf

https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas

https://web.archive.org/web/20150210074716/http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/fungsi-dan-tugas

https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk

https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/20/164700665/resmi-dilantik-apa-
saja-tugas-dewan-pengawas-kpk.

https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan

https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-penindakan

https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-
koordinasi-dan-supervisi

https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-bidang-
koordinasi-dan-supervisi

https://www.cpib.gov.sg/who-we-are/our-work/organisational-structure

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1462-indeks-persepsi-korupsi-
indonesia-membaik
83

https://sso.agc.gov.sg/Browse/Act-Rev/

https://peraturan.bpk.go.id/

https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/arti-
nepotisme.html#:~:text=Secara%20umum%2C%20arti%20nepotisme%20a
dalah%20suatu%20tindakan%20seseorang,kemampuannya%20tetapi%20at
as%20dasar%20hubungan%20keluarga%20atau%20kedekatan.

https://www.unodc.org/documents/brussels/UN_Convention_Against_Corruption

https://cyberleninka.ru/article/n/types-forms-of-corruption-causes-and-
consequences

https://sso.agc.gov.sg/
https://en.wikipedia.org/
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai