Anda di halaman 1dari 68

AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY

THRESHOLD) DALAM PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019


DITINJAU DARI TEORI KEDAULATAN RAKYAT

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
YUSUF AGUNG PURNAMA
NIM: 11160480000025

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H /2021 M
AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY
THRESHOLD) DALAM PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019
DITINJAU DARI TEORI KEDAULATAN RAKYAT

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
YUSUF AGUNG PURNAMA
NIM: 11160480000025

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H /2021 M

i
AMBANG BATAS PARLEMEN (PARLIAMENTARY
THRESHOLD) DALAM PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019
DITINJAU DARI TEORI KEDAULATAN RAKYAT

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

YUSUF AGUNG PURNAMA


NIM: 11160480000025

Pembimbing

Dr. Sodikin, S.H., M.H.


NIDN: 0310056801

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442H /2021 M

ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Yusuf Agung Purnama
NIM : 11160480000025
Program Studi : Ilmu Hukum
Tempat dan Tanggal Lahir : Indramayu, 21 April 1998
Alamat : Blok Tirtamulya, Desa Margamulya, Kecamatan
Bongas, Kabupaten Indramayu
Kontak : 081221149457
Email : yusufagungpurnama@gmail.com
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan ke Fakultas
Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh
gelar strata satu, yakni sarjana hukum, di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta 10 Januari 2021

Yusuf Agung Purnama

iv
ABSTRAK
Yusuf Agung Purnama. NIM 11160480000025. AMBANG BATAS
PARLEMEN (PARLIAMENTARY THRESHOLD) DALAM PEMILU
LEGISLATIF TAHUN 2019 DITINJAU DARI TEORI KEDAULATAN
RAKYAT. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.
Studi ini bertujuan untuk untuk memecahkan permasalahan penelitian
terkait penerapan parliamentary threshold dalam pemilu legislatif di Indonesia jika
ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan normatif empiris
atau pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-
undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang
dihadapi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 macam: pertama,
data primer dalam penelitian ini adalah Undang-undang Dasar 1945 dan Undang
undang Nomor 7 Tahun 2017. kedua, data sekunder dalam penelitian ini adalah
Undang-undang, buku-buku, jurnal hasil penelitian, dan pendapat pakar hukum
yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Analisis data yang dilakukan adalah secara
induktif, yakni data dikaji melalui proses yang berlangsung dari fakta, yang pada
akhirnya diketahui bagaimana penerepan parliamentary threshold dalam pemilu
legislatif di Indonesia jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.
Hasil penelitian ini bahwa dalam pemerintahan di suatu negara yang
sebenarnya berkuasa adalah rakyatnya, yang mana rakyat melalui perwakilannya
yang dipilih melalui pemilihan umum menjalankan pemerintahan di suatu negara
dengan cita menuju kesejahteraan rakyatnya berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dalam penerapan
parliamentary threshold demokrasi akan senantiasa tumbuh dan berkembang
sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Sedangkan pemilihan
umum adalah sarana untuk mewujudkan demokrasi harus menjalankan ide politik
tersebut dalam pelaksanaannya, sehingga pemilu yang demokrasi itu tidak semata
mata menentukan siapa yang duduk di parlemen melainkan pemilihan umum yang
dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat. Implementasi penerapan
parliamentary threshold menurut Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017
dalam penerapannya lembaga legislatif belum mempunyai design yang jelas dalam
penentuan besaran ambang batas parlemen, yang mengakibatkan banyak suara
rakyat yang terbuang dengan adanya ketentuan tentang ambang batas parlemen
Kata Kunci: Parliamentary Threshold, Pemilu, Kedaulatan Rakyat.

Pembimbing Skripsi : Dr. Sodikin, S.H., M.H. M. Si.


Daftar Pustaka : Tahun 2001 sampai 2020

v
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan karunia nikmat iman, islam dan nikmat kesehatan sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ambang Batas Parlemen
(Parliamentary Threshold) Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 Ditinjau Dari
Teori Kedaulatan Rakyat” Sholawat serta semoga tercurahkan kepada Rasulallah
SAW keluarga dan sahabatnya. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyusunan skripsi, peneliti banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, baik berupa dorongan moril maupun material, karena peneliti
yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini, selain itu tidak lupa juga peneliti mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian. S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Pebimbing Skripsi yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna bagi
penulis dalam menyusun skripsi ini.
4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk pengadaan studi
pustaka.
5. Ali Mansur. M.A. Penasihat Akademik yang telah banyak meluangkan
waktunya dalam memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna
selama peneliti menempuh perkuliahan

vi
6. Kedua orang tua tercinta Bapak Sanusi dan Ibu Dewi Kartini, yang telah
membesarkan, membimbing dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Serta
segenap keluarga besar tercinta.
7. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi
ini.
Tiada cita yang akan terwujud dengan sendirinya melainkan dengan
pertolongan Allah SWT, sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya
dalam ilmu pengetahuan. Seperti kata pepatah bahwa sebuah proses tidak akan
menghianati hasil yang kan diperoleh kelak. Penulis berharap skripsi ini
bermanfaat untuk penulis khususnya dan untuk para pembaca pada umumnya
serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT, dan terakhir semoga setiap bantuan,
doa, motivasi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin.

Jakarta, 10 Januari 2021

Yusuf Agung Purnama

vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............................. 4
1. Identifikasi Masalah ........................................................................ 4
2. Pembatasan Masalah ....................................................................... 4
3. Perumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 5
D. Metode Penelitian ................................................................................. 6
E. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 9
BAB II: AMBANG BATAS PARLEMEN
A. Kerangka Konseptual ....................................................................... 11
1. Parliamentary Threshold ............................................................ 11
2. Lembaga Legislatif.......................................................................12
3. Pemilu di Indonesia ..................................................................... 12
B. Kerangka Konseptual ........................................................................13
1. Negara Hukum .............................................................................13
2. Teori Kedaulatan Rakyat............................................................. 16
3. Teori Demokrasi...........................................................................19
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................21
BAB III PENERAPAN AMBANG BATAS PARLEMEN
A. Sejarah Penerapan Ambang Batas Parlemen ................................... 24
B. Dinamika Pengaturan Parliamentary Threshold ............................. 25

viii
C. Kelebihan dan Kekurangan dalam Penerapan Parliamentary
Threshold ....................................................................................... 29
BAB IV IMPLEMETASI AMBANG BATAS PARLEMEN
A. Penerapan Parliamentary Threshold Ditinjau dari Teori Kedaulatan
Rakyat ..............................................................................................33
B. Implementasi Parliamentary Threshold Menurut Undang-Undang
Pemilu Nomor 7 Tahun 2017........................................................... 40
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................54
B. Rekomendasi .....................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56

ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia menyelenggarakan pemilu pertama di tahun 1955. Setelah pemilu
tahun 1955, Indonesia menyenggarakan beberapa kali pemilu, yaitu pemilu
tahun 1971, 1977, 1982, 1992, 1999, 2004, 2009 , 2014 dan 2019. Selama dua
periode pemilu legislatif dan terakhir kemarin pada tanggal 17 April 2019 telah
dilangsungkan pemilu Presiden, sekaligus pemilu legislatif, telah diberlakukan
mengenai kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen merupakan besaran
angka suara sah partai politik agar bisa mengirimkan wakilnya di parlemen.
Pemberlakuan tentang parliamentary threshold merupakan sebuah kebijakan
pembentuk Undang-Undang (legal policy) yang dibuat untuk mewujudkan
sistem multipartai sederhana. Sistem multipartai sederhana akan memberikan
efektivitas kinerja bagi para wakil rakyat yang bekerja di parlemen. 1
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang demokratis, oleh
karenanya landasan berpijak mengenai pemilu yang mendasar adalah
demokrasi Pancasila yang secara tersirat dan tersurat ditemukan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, paragraf ke empat. Sila keempat
Pancasila menyatakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”. Ketentuan konstitusional dalam
Pancasila, Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memberikan isyarat adanya proses atau mekanisme
kegiatan nasional 5 (lima) tahunan. Dalam siklus kegiatan nasional lima
tahunan pemilu merupakan salah satu kegiatan atau program yang harus
dilaksanakan, berapa pun mahalnya harga pemilu itu. 2
Adapun salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan ketika
menjelang pemilu 2019 kemarin adalah terkait penaikan parliamentary

1
Teta Anisah ”Dinamika pengaturan parliamentary threshold dalam sistem ketatanegaraan
republik indonesia” skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Lampung 2019
2
Ni’matul Huda dan Imam Nasef. Penataan Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia Pasca
Reformasi. (Jakarta: Kencana 2017), h.42.

1
2

threshold. Parliamentary threshold adalah ketentuan batas minimal perolehan


suara yang harus dipenuhi partai politik peserta pemilu untuk bisa
menempatkan calon anggota legislatifnya di parlemen. Hal ini berarti partai
politik yang tidak memenuhi Parliamentary Threshold tidak berhak
mempunyai wakilnya di parlemen sehingga suara yang telah diperoleh oleh
partai politik tersebut dianggap hangus.3
Pada tahun 2009 diterapkan ambang batas pemilu yaitu sebanyak 2,5% hal
ini sesuai dengan ketentuan pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian pada
tahun 2014 dinaikkan ambang batas pemilu sebanyak 3,5% hal ini berdasarkan
ketentuan pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya pada pemilihan umum
tahun 2019 ambang batas parlemen ditingkatkan menjadi 4%, hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Kasus ini menyebabkan banyak reaksi pada masyarakat
terutama pada kalangan para ahli dan cendekiawan lainnya. Beberapa di
antaranya ada yang menyetujui, sedangkan di sisi yang lain menolak wacana
tersebut. Alasan dari keduanya juga berbeda namun secara umum alasan
tersebut cukup masuk akal.4
Berdasarkan konteks logika politik pemerintahan, sebenarnya bukan jumlah
parpol peserta pemilu yang harus dibatasi, tetapi jumlah ideal kekuatan parpol
yang perlu di berdayakan dan dirampingkan di parlemen. Pemerintah
berhadapan dengan parpol yang berada di parlemen, bukan seluruh partai
peserta Pemilu. Oleh karena itu, penerapan aturan ambang batas parlemen jauh
lebih efektif ketimbang penerapan electoral threshold. Hal ini dapat dilihat dari
gelaran Pemilu 2009, di mana dari 38 partai politik yang menjadi peserta pemilu
hanya sembilan yang lolos ketentuan ambang batas parlemen 2,5 persen, yaitu:

3
Abdul Rokhim “Pemilihan Umum Dengan Model “Parliamentary Threshold” Menuju
Pemerintahan Yang Demokratis Di Indonesia” DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7, No. 14, 2011. h.89-
91.
4
Teta Anisah ”Dinamika pengaturan parliamentary threshold dalam sistem ketatanegaraan
republik indonesia” skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Lampung 2019
3

Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Hal ini
juga terjadi pada Pemilu 2014 yang diikuti oleh 12 partai, dan yang lolos aturan
ambang batas parlemen 3,5 persen hanya sepuluh partai.5 Pada pemilu 2019
diikuti oleh 16 partai dan partai yang lolos aturan ambang batas parlemen 4
persen yaitu sebanyak 9 partai : PDI-P, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PKS,
Demokrat, PAN dan PPP. Sedangkan partai yang tidak lolos ambang batas 4
persen yaitu sebanyak 7 partai : Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, Garuda
dan PKPI.6
Dalam negara modern yang demokratis bahwa suara rakyat adalah suara
tuhan dan harus terwakili. Tetapi dalam sistem kepartaian, rakyat tidak bisa
menyuarakannya sendiri. Maka dibuatlah institusi jalur partai sebagai wadah
masyarakat dalam menyuarakan keperluannya itulah yang menjadi perdebatan
para pakar politis dan pakar demokrasi. Hal itu tidak mungkin bagi partai yang
mempunyai suara kecil satu kursi mempunyai fraksi di parlemen, oleh sebab itu
perlu adanya penyederhanaan dibuatlah aturan partai apa saja yang mempunyai
akses untuk bisa masuk ke parlemen. Akhirnya pada pemilu 2009 telah
disepakati dalam teori demokrasi ada batas yang harus dibuat. Beragam
prosedurnya mulai dari membatasi partai yang tidak laku ikut dalam parlemen.
Tetapi hal itu tidak efektif karena di Indonesia jika partainya tidak lulus maka
membuat partai baru. Pada kenyataannya, setiap partai yang ingin mengikuti
pemilu itu ada anggaran negara untuk pengelolaannya. Akhirnya karena melihat
kondisi yang ada di Indonesia pemikir demokrasi dan tata negara Indonesia
mencoba menawarkan adanya pengaturan sistem kepartaian untuk mengatur
fraksi parlemen. Itu ada kaitannya dengan penyederhanaan jumlah partai yang
banyak di parlemen.
Terlepas dari perdebatan tadi, berapa batas suara yang harus dipenuhi untuk
bisa mendapatkan kursi di parlemen. maka di luar dari perdebatan itu, anggota
dewan melalui kewenangannya di sebuah aturan membuat ketentuan di setiap

5
Markus H. Simarmata “Mencari Solusi Terhadap Keraguan Sistem Pemilihan Umum Yang
Tepat Di Indonesia” Jurnal Legilasi Indonesia Vol. 14, No. 03, 2017 h. 291-295
6
https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/05/21/03483081/penetapan-kpu-9-parpol-
lolos-parlemen-pdi-p-unggul di akses pada 25 Oktober 2019, pukul 19.15 WIB
4

pemilu legislatif itu batasnya bervariasi dengan nama yang berbeda juga yaitu
ada electoral threshold dan parliamentary threshold. Namun, ketika dalam
praktek proses pemilu legislatif di Indonesia banyak menuai permasalahan,
dengan adanya parliamentary threshold suara rakyat tidak terwakilkan melalui
partai politik sebagai peserta dalam pemilihan umum yang tidak mencukupi
besaran ambang batas 4% itu apakah masih bisa disebut dengan kedaulatan ada
di tangan rakyat? tentu masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan
kajian yang mendalam dalam dengan judul “Ambang Batas Parlemen
(Parliamentary Threshold) Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 Ditinjau
Dari Teori Kedaulatan Rakyat”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut:
a. Pemberlakuan parliamantery threshold dalam pemilu legislatif di
Indonesia.
b. Dinamika pengaturan parliamentary threshold dalam pemilu legislatif
di Indonesia.
c. Parliamentary threshold dalam pemilu legislatif di indonesia jika
ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.
d. Suara rakyat yang diwakilkan melalui partai politik, tetapi partai politik
itu tidak masuk dalam ambang batas parlemen.
2. Pembatasan Masalah
Supaya pembahasan ini tidak melebar dan meluas maka penelitian ini
difokuskan pada penerapan parliamentary threshold dalam pemilu
legislatif di Indonesia jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka peneliti
merumuskan masalah yaitu: penerapan parliamentary threshold dalam
5

pemilu legislatif di Indonesia jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.


Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka pertanyaan penelitiannya
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana penerapan parliamentary threshold dalam pemilu
legislatif di Indonesia jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat?
b. Bagaimana implementasi parliamentary threshold menurut Undang-
Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis penerapan parliamentary threshold dalam pemilu
legislatif di Indonesia jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.
b. Untuk menganalisis implementasi parliamentary threshold menurut
Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis.
Manfaat teoritis penelitian ini adalah:
1) Hasil Penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
Parliamentary threshold terhadap sistem kedaulatan rakyat.
2) Memberikan informasi terkait dengan apakah parliamentary
threshold mempunyai relevansi kepada pemilu legislatif di
Indonesia jika ditinjau dari sistem kedaulatan rakyat.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan
untuk lebih meningkatkan terkait efektivitas sistem parliamentary
threshold yang di terapkan dalam pemilu legislatif yang dalam hal
ini bagaimana aspirasi masyarakat yang tidak tersalurkan melalui
partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen.
6

2) Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui


terkait penerapan sistem parliamantery threshold dalam pemilu
legislatif di Indonesia.
3) Bagi mahasiswa Program Studi Ilmu hukum hasil penelitian ini
dapat menjadi bahan dasar kajian untuk penelitian lebih lanjut dan
lebih mendalam tentang permasalahan ini..

D. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.
Dalam upaya pengumpulan data maka perlu diterapkan metode pengumpulan
data sebagai berikut.
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan perundang-undangan. pendekatan perundang-undangan
adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan dalam
penelitian ini dilakukan dengan mempelajari konsistensi atau kesesuaian
antara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dengan Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dan
Undang-Undang yang lain.7 Metode penelitian yang peneliti gunakan
adalah metode penelitian hukum Normatif yaitu penelitian hukum yang
melihat penerapan hukum oleh aparat yang berwenang.
2. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman baru yang lebih kompleks, lebih mendetail dan
lebih komprehensif dari suatu hal yang di teliti. Dalam penelitian skripsi
ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

7
Johni Ibrahim. Teori dan Metodologi Hukum Normatif. (Malang: Bayu Media Publishing,
2007), h.321.
7

penelitian yang mendasarkan data-data penelitiannya pada data kualitatif.


Data kualitatif dapat berupa dokumentasi tertulis, foto atau gambar, hasil
rekaman, verbatim (hasil wawancara).8
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber hukum dalam penelitian hukum normatif adalah sebagai sumber
datanya hanyalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.9 Adapun penjelasannya sebagi berikut :
a. Bahan Hukum Primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari:
1) Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
“Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima persen)
dari jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan
perolehan kursi DPR. "
2) Pasal 208 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
”Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang
batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima
persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.”
3) Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
“Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas
Perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah
suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan
Perolehan suara kursi anggota DPR”
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, berikut adalah bahan hukum sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini:
1) Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor
1409/PL.01.9-kpt/06/KPU/X/2019 tentang penetapan ambang
batas Perolehan suara sah secara nasional dan penetapan partai
politik peserta pemilihan umum tahun 2019 yang memenuhi dan
tidak memenuhi ambang batas Perolehan suara sah secara nasional

8
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jenal Aripin. Metode Penelitian Hukum...h.9.
9
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h.118.
8

dalam penentuan Perolehan kursi anggota dewan perwakilan


rakyat dalam pemilihan umum tahun 2019.
2) Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor
412/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang penetapan partai politik
peserta pemilihan umum secara nasional dalam pemilihan umum
anggota dewan perwakilan rakyat tahun 2014.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
hasil penerapan dari peraturan KPU.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum


Metode pengumpulan data penelitian ini, peneliti menggunakan studi
dokumentasi sedangkan alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan atau studi dokumen terhadap bahan pustaka.
Pencarian data dilakukan dengan cara membaca bahan-bahan berupa buku-
buku atau dokumen hukum yang terkait, baik dengan penelusuran
kepustakaan maupun melalui penelusuran internet.

5. Metode Pengolahan Bahan Hukum


Metode pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan secara
deskriptif komparatif. Metode deskriptif peneliti menjabarkan sesuai
dengan fakta-fakta secara rinci mengenai ambang batas parlemen dalam
pemilu legislatif di Indonesia, metode deskriptif ini digunakan pada bab 2
dan bab 4, sedangkan metode komparatif adalah metode yang
membandingkan fenomena-fenomena serta Undang-Undang terkait dengan
ambang batas parlemen dalam pemilu legislatif di Indonesia, metode ini
peneliti gunakan pada bab 3 skripsi ini.

6. Teknis Analisis Data


Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagaui berikut:
9

a. Reduksi Data, adalah teknik analisis yang menajamkan,


menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
diambil. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, serta dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya
b. Penyajian data, merupakan salah satu dari teknik analisis ketika
sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan
adanya penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data pada skripsi ini
berupa teks naratif dan bagan-bagan.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi.
7. Metode Penulisan
Acuan metode penulisan peneliti merujuk pada “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”. Berdasarkan kaidah-
kaidah dan teknik penulisan yang telah ditentukan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum.

E. Sistematika Pembahasan
Rancangan pembahasan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub yang secara logis saling berkorelasi yang menjadi objek
masalah untuk di teliti. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub bab
guna memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II AMBANG BATAS PARLEMEN
Pada bab ini peneliti akan membahas kerangka konseptual yaitu
Parliamentary Threshold, lembaga legislatif dan pemilu di Indonesia.
10

Peneliti juga akan membahas kerangka teoritis yaitu negara hukum, teori
kedaulatan rakyat dan teori demokrasi.
BAB III PENERAPAN AMBANG BATAS PARLEMEN
Merupakan bab penyajian data dan penelitian. Dalam penelitian ini
peneliti mendeskripsikan analisis data dan hasil penelitian. Peneliti
menjabarkan tentang sistem penerapan parliamentary threshold, pemilu
legislatif di Indonesia ditinjau dengan teori kedaulatan rakyat merujuk pada
pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, kemudian peneliti
mendeskripsikan penerapan pengaturan parliamentary threshold yang
meliputi sejarah penerapan parliamentary threshold, dinamika pengaturan
parliamentary threshold dan kelebihan serta kekurangan dalam penerapan
parliamentary theshold
BAB IV IMPLEMETASI AMBANG BATAS PARLEMEN
Merupakan bab analisis pembahasan yang membahas dan menjawab
permasalahan pada penelitian skripsi ini. Dalam bab ini peneliti
menjabarkan analisis penerapan parliamentary Threshold dalam pemilu
legislatif di Indonesia jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat, dan
Implementasi Parliamentary Threshold Menurut Undang-undang Pemilu
Nomor 7 Tahun 2017.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab yang menjelaskan kesimpulan dan rekomendasi
mengenai penelitian skripsi ini. Kesimpulan merupakan penyederhanaan
dari hasil analisis atau jawaban terhadap ini masalah penelitian berdasarkan
data yang diperoleh. Rekomendasi merupakan masukan atau saran yang
dijabarkan oleh peneliti.
BAB II
AMBANG BATAS PARLEMEN
A. Kerangka Konseptual
1. Parliamentary Treshould
Secara konseptual, ambang batas parlemen (parliamentary threshold)
adalah besaran angka suara sah yang harus dilampaui oleh partai politik.
Ambang batas parlemen merupakan salah satu instrumen teknis pemilihan
umum dalam negara-negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional,
termasuk diantaranya adalah negara Indonesia. threshold, electoral
threshold, maupun parliamentary threshold pada dasarnya adalah sama,
yaitu ambang batas yang harus dilampaui oleh partai politik, untuk dapat
mengirimkan perwakilannya. Threshold, electoral threshold, presidential
threshold ataupun parliamentary threshold biasanya dapat diartikan dengan
persentase perolehan suara sah atau perolehan minimal kursi.1
Parliamentary threshold adalah ketentuan batas minimal perolehan suara
yang harus dipenuhi partai politik peserta pemilu agar bisa menempatkan
calon anggota legislatifnya di parlemen. Hal ini dapat diartikan bahwa partai
politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen tidak berhak
menempatkan perwakilannya di parlemen sehingga suara yang telah
diperoleh akan dianggap hangus.2
Letak dasar adanya parliamentary threshold adalah untuk
memaksimalkan perwakilan suara rakyat di parlemen, bukan untuk
membatasi hak rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen. Di Indonesia
parliamentary threshold merupakan syarat ambang batas perolehan suara
partai politik untuk bisa masuk di parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara
masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, kemudian dibagi dengan
jumlah suara secara nasional.3

1
Sholahuddin Al-Fatih “Implementasi Parliamentary Threshold Dalam Pemilihan Anggota
Dprd Provinsi Dan Dprd Kabupaten/Kota”, ... h.376.
2
Abdul Rokhim “Pemilihan Umum Dengan Model “Parliamentary Threshold” Menuju
Pemerintahan Yang Demokratis Di Indonesia” DIH, Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 7, No. 14, 2011, h.89.
3
Sunny Ummul Firdaus, “Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan Pemilu
yang Demokratis”, ... h.94.
11
12

2. Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif adalah lembaga yang mempunyai tugas dan
wewenang untuk membuat atau merumuskan Undang-Undang Dasar yang
ada pada suatu negara. Dalam negara Indonesia, lembaga legislatif dapat
diartikan juga sebagai lembaga legislator, yang dijalankan oleh DPD
(Dewan Perwakilan Daerah) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat).
DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu lembaga
legislatif yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga negara. adapun
anggota DPR adalah mereka yang berasal dari anggota partai politik peserta
pemilu yang sudah terpilih saat pemilu. DPR mempunyai kedudukan di
pusat, sedangkan untuk tingkat provinsi disebut dengan DPRD Provinsi dan
untuk tingkat kota/kabupaten disebut dengan DPRD kabupaten/kota.
Anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatannya
selama 5 tahun.
DPD (Dewan Perwakilan Daerah) merupakan salah satu lembaga
legislatif perwakilan daerah yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga
negara. Anggota DPD berasal dari perwakilan setiap provinsi dalam negara
yang sudah terpilih pada pemilu. Adapun jumlah anggotanya tidak sama
dalam setiap provinsi, namun sudah ditetapkan paling banyak adalah 4
orang. Masa jabatan anggota DPD adalah selama 5 tahun.
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) adalah lembaga legislatif
yang terdiri dari anggota DPR dan DPD yang sudah terpilih dalam pemilu.
Adapun masa jabatannya adalah selama 5 tahun.

3. Pemilu di Indonesia
Pengertian pemilihan umum adalah suatu proses untuk memilih orang-
orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan umum ini
diadakan untuk mewujudkan negara yang demokrasi, di mana para
pemimpinnya dipilih berdasarkan suara mayoritas terbanyak. Menurut Ali
Moertopo pengertian Pemilu sebagai berikut: “Pada hakikatnya, pemilu
adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya
13

sesuai dengan asas yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas-asas yang digunakan dalam pelaksanaan pemilu adalah sebagai
berikut:
a. Langsung: yaitu dalam pemilihan umum masyarakat memiliki hak
memilih secara langsung sesuai dengan keinginan diri sendiri.
b. Umum: pemilihan umum bersifat umum berlaku untuk seluruh warga
negara yang memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama,
suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status
sosial yang lain.
c. Bebas: dalam pemilihan umum seluruh warga negara yang memenuhi
persyaratan sebagai pemilih, bebas menentukan siapa saja yang akan
dipilih untuk membawa pendapatnya tanpa ada tekanan dan paksaan
dari siapa pun.
d. Rahasia: dalam pemilihan umum masyarakat yang telah memilih
kemudian memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat
diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
e. Jujur: semua pihak yang terkait dengan pemilihan umum harus
bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
f. Adil: dalam pelaksanaan pemilu setiap masyarakat yang menjadi
pemilih dan peserta pemilihan umum lainnya mendapat perlakuan yang
sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.4

B. Kerangka Teori
1. Negara Hukum
Konsep Rechstaat atau negara hukum merupakan konsep yang sering
diidentikkan dengan Rule of Law. Namun, terdapat perbedaan yang sangat
jelas dari kedua konsep ini. “Negara Hukum” terdiri dari dua suku kata,

4
Andika Mei Mulyana “Peran Pemilihan Umum Dalam Membangun kesadaran
Berorganisasi Mahasiswa” skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Pasundan Bandung, 2016, h.21.
14

negara dan hukum, yang jika dimaknai secara terpisah tentunya memiliki
arti yang berbeda pula. Negara biasanya diasumsikan sebagai bentuk
diplomatik dari suatu entitas nyata (masyarakat) yang memiliki hukum
untuk menjaga keteraturan. Sedangkan hukum selalu dipahami sebagai
produk dari suatu negara yang bertujuan untuk memelihara ketertiban
hukum (recht-order).
Melihat pernyataan di atas, maka tampak jelas bahwa Hans Kelsen
menolak dikotomi antara Hukum dan Negara. Komunitas yang eksis
menurutnya hanyalah merupakan simbol yang tidak berarti. Hubungan
timbal balik yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan adanya suatu
tatanan sistem norma, sehingga tatanan hukum secara konkret adalah
negara. Keteraturan sosial harus dianggap identik dengan hukum atau
setidaknya terpusat pada kepada hukum. Teori hukum murni oleh Hans
Kelsen, pada dasarnya menghilangkan perbedaan antara hukum dan
keadilan sekaligus menepis perbedaan antara hukum secara objektif dan
hukum yang bersifat subjektif. Sebab kerinduan akan keadilan merupakan
kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan. Kerinduan inilah yang tidak
dapat ditemukan oleh manusia sebagai seorang individu yang terisolir dan
hanya dapat ditemukan dalam masyarakat, sehingga keadilan adalah
kebahagiaan sosial.5
Keadilan tidak dapat diukur dalam pengertian yang asli yaitu tentang
memberikan kebahagiaan kepada setiap orang, yang nantinya pasti akan
bertentangan dengan kebahagiaan orang lain, sehingga kebahagiaan hanya
bisa dijamin oleh suatu tatanan sosial dalam arti kebahagiaan dalam satu
kelompok, dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh
penguasa masyarakat, yakni pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan
yang harus dipenuhi. Perbedaan antara liberalisme dan sosialisme, sebagian
besar bukan merupakan tujuan masyarakat melainkan persoalan tentang
cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang-orang.

5
Jeffry Alexsander, “Memaknai Hukum Negara dalam Bingkai Negara Hukum”, Jurnal
Hasanuddin Law Review, Vol. 1 No. 1, 2015. h.78
15

Penentuan inilah yang tidak dapat ditentukan secara ilmiah. Sebab ide
tentang keadilan merupakan fenomena sosial, produk masyarakat, dan oleh
sebab itu berbeda sesuai dengan kondisi masyarakat itu, banyaknya individu
yang memiliki kesamaan pertimbangan nilai bukanlah bukti bahwa
pertimbangan itu benar.
Kriteria keadilan, seperti juga kriteria kebenaran tidak bergantung pada
banyaknya pertimbangan tentang realitas atau pertimbangan nilai yang
dibuat. Sehingga teori hukum dan teori tentang negara harus dianggap sama,
dan merupakan postulat dari kesatuan hukum nasional dan internasional,
dengan sistem hukum yang terdiri dari semua perintah hukum positif.
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka negara hukum (rechtstaat)
sebenarnya menitik beratkan pada sistem hukum yang ada pada suatu
negara. Sistem hukum tersebut berasal dari Eropa kontinental yang biasa
disebut civil law atau modern roman law yang proses kelahirannya dimulai
dari suatu perjuangan yang bersifat revolusioner. Aristoteles merumuskan
Negara sebagai Negara Hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah warga
negara yang ikut serta dalam permusyawaratan Negara. Yang dimaksudkan
dengan Negara Hukum di sini menur Aristoteles adalah Negara yang berdiri
di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara
dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada
setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Peraturan yang
sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan
keadilan bagi pergaulan antara warganegaranya. Maka menurutnya yang
memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil
yang tertuang dalam peraturan hukum sedangkan penguasa hanya
memegang hukum dan keseimbangan saja.
Negara Hukum menurut Eropa Kontinetal dipelopori oleh Imanuel Kant.
Pada masa Kant ini yang berpengaruh di Eropa adalah paham ”laissez faire
aller” yang artinya biarlah setiap anggota masyarakat menyelenggarakan
sendiri kemakmurannya jangan Negara ikut campur tangan. Dalam bidang
hukum dan kenegaraan aliran ini berpendapat bahwa negara harus bersifat
16

pasif, ia hanya mengawasi dan bertindak apabila terjadi perselisihan antara


anggota masyarakat dalam menyelenggarakan kepentingnnya.
Menurut Kant untuk dapat disebut Negara Hukum harus memiliki dua
unsur pokok :
1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
2. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara. Dengan demikian
munculnya tipe Negara Hukum yang pertama yang hanya bertindak
memisah kalau menjadi perselisihan di antara warganegaranya dalam
menyelenggarakan kepentingannya yang disebut sebagai : ”Negara
Jaga Malam” atau Nacht wachter Staf” atau “ Negara Polisi” atau “Letat
Gendarme”.6

2. Teori Kedaulatan Rakyat


Istilah kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara dua kata “
kedaulatan” dan kata “rakyat”, dan masing-masing kata memiliki arti yang
berbeda. Kata “ kedaulatan” merupakan terjemahan dari sovereignity
(bahasa Inggris), souverainete (bahas Prancis), sovranus ( bahasa Italia ),
souvereiniteit ( bahasa Belanda ), superanus ( bahasa Latin ), yang berarti
supremasi = di atas dan menguasai segala-galanya.7
Secara etimologi, kata “kedaulatan” berarti superioritas belaka, tetapi
ketika ditetapkan kepada negara, kata tersebut berarti superioritas dalam arti
khusus, yaitu superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk
membuat hukum (law-making power). Paling ekstrem dalam perkembangan
historis kedaulatan ini adalah di mana dimaksudkan secara sederhana untuk
menunjuk kepada suatu “ kekuasaan tertinggi”.
Kamus besar bahasa Indonesia dan juga kamus Hukum yang ditulis oleh
Sudarsono mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi atas
pemerintahan negara, daerah dan sebagainya. Sedangkan Jimly Assiddiqi
mendefinisikan kedaulatan sebagai konsep mengenai kekuasaan tertinggi

6
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015)
h.131.
7
Khairul Ilmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
h.17-22.
17

mengenai negara dari uraian di atas, terang bahwa kedaulatan merupakan


kekuasaan tertinggi dalam negara dan menjadi atribut bagi negara sebagai
organisasi masyarakat paling besar. Apabila dikaitkan dengan kata “rakyat”
maka rakyat merupakan tempat yang melahirkan kekuasaan tertinggi.
Dengan demikian kedaulatan rakyat dapat di definisikan sebagai kekuasaan
tertinggi dalam negara yang dipegang atau terletak di tangan rakyat. Pada
tataran pelaksanaan, kedaulatan rakyat merupakan gabungan keseluruhan
dari kemauan masing-masing pribadi, yang jumlahnya dalam masyarakat
tersebut ditentukan oleh suara terbanyak.
Kedaulatan rakyat juga diagungkan dengan istilah “demokrasi” ( demos=
rakyat = people ; kratos = kratein = pemerintahan/ kekuasaan = rule ). Istilah
demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua perkataan, yaitu
demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti pemerintah.
Secara sederhana, demokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan
dengan mengikutsertakan rakyat, di mana setiap warga negara mempunyai
suara dalam pelaksanaan kekuasaan dan ikut ambil bagian secara nyata.
Lebih jauh dari itu, demokrasi dikatakan sebagai sepirit (ide) dan
institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dengan
segala derivatifnya menuju persetujuan politik melalu kedaulatan suara
mayoritas yang di masukan dalam kerangka yuridis.
Dalam sistem politik demokrasi kedaulatan rakyat diakui. Sehingga tidak
salah bila dikatakan sistem politik demokrasi adalah sistem di mana semua
orang berkuasa atau berdaulat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami
bahwa kedaulatan rakyat merupakan istilah falsafati, sedangkan demokrasi
merupakan istilah bagi salah satu sistem politik yang jiwanya adalah
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, apabila berbicara tentang kedaulatan
rakyat, maka demokrasi termasuk di dalamnya. Begitu juga sebaliknya,
menggunakan istilah demokrasi maka secara bersamaan juga
memperbincangkan kedaulatan rakyat. Dua istilah itu tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.
Kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang menggambarkan suatu
sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki kekuasaan
18

tertinggi dipegang oleh rakyat. Kedaulatan rakyat merupakan cara untuk


memecahkan masalah berdasarkan sistem tertentu yang memenuhi
kehendak umum yang tidak hanya ditunjukkan kepada hal terkait
penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dan peradilan, tetapi juga
kekuasaan dalam pembentukan peraturan.8 Kemudian dalam Pasal 1 ayat
(2) Batang Tubuh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat”. Dari dua
dasar konstitusional dan fundamental tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Indonesia merupakan negara demokrasi yang tidak dapat dibantah. Kata
”Kerakyatan” dan “Kedaulatan di tangan rakyat” itulah yang menunjukkan
asas demokrasi, artinya kekuasaan sepenuhnya ada pada rakyat. Sekalipun
kedaulatan rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, bukan berarti
setiap rakyat berhak turut andil dalam pemerintahan, peradilan dan bahkan
pembentukan peraturan, melainkan kedaulatan rakyat yang menghendaki
agar setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kemauan rakyat.9
Kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara. dalam hal siapa yang berdaulat maka dikenal lima teori atau ajaran
yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu : teori kedaulatan Tuhan, teori
kedaulatan Raja, teori kedaulatan negara dan teori kedaulatan rakyat. pada
konteks Indonesia sebagai penjelmaan dari pada republik, maka kedaulatan
tertinggi adalah ada di tangan rakyat, sehingga rakyatlah sebagai pemilik
kedaulatan tertinggi dan kedaulatan tersebut di wakili oleh legislatif, maka
pada kesimpulannya bahwa “kedaulatan tertinggi adalah ada di tangan
legislatif, sebagai penjelmaan dari rakyat secara umum ”. Dalam fenomena
ketatanegaraan Indonesia justru bukan kedaulatan tertinggi ada di tangan
rakyat, namun kedaulatan tertinggi ada di tangan Partai Politik. Dalilnya
bahwa, hampir semua kebijakan pemerintahan di tentukan oleh kekuatan

8
Mohamad Faisal Ridho, “Kedaulatan Rakyat Sebagai Perwujudan Demokrasi Indonesia”
ADALAH, Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 1, No. 8e, 2017. h.79
9
Mohamad Faisal Ridho, “Kedaulatan Rakyat Sebagai Perwujudan Demokrasi
Indonesia”,....h.80
19

partai politik yang berkuasa dalam pemerintahan. Dan nyaris kepentingan


tersebut tidak bermuara untuk kepentingan rakyat secara umum.10

3. Teori Demokrasi
Teori Demokrasi Versi Hans Kelsen Mengutip teori Jean Jaques
Rousseau, demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus
dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Pernyataan
Rousseau ini seakan mengatakan, bahwa demokrasi bagi sebuah negara
adalah sebuah pembelajaran menuju ke arah perkembangan ketatanegaraan
yang sempurna. Padahal disadari oleh Rousseau, bahwa kesempurnaan
bukanlah milik manusia. Oleh karenanya, yang menjadi ukuran ada
tidaknya sebuah demokrasi dalam sebuah negara bukan ditentukan oleh
tujuan akhir, melainkan lebih melihat pada fakta tahapan yang ada.
Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan
sangat dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. Dengan begitu
Rousseau seolah ingin mengatakan bahwa jika menempatkan demokrasi
secara kaku dan ideal, tidak akan pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak
akan pernah ada demokrasi. Hal inilah yang juga disadari oleh Hans Kelsen.
Uraiannya tentang demokrasi menjadi lebih tertata dan terstruktur. Ini untuk
membuktikan,bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang berkelanjutan
menuju kesempurnaan. Awal dari datangnya ide demokrasi menurut Hans
Kelsen adalah adanya ide kebebasan yang berada dalam benak manusia.
Pertama kali, kosakata “kebebasan” dinilai sebagai sesuatu yang negatif.
Pengertian “kebebasan” semula dianggap bebas dari ikatan-ikatan atau
ketiadaan terhadap segala ikatan, ketiadaan terhadap segala kewajiban.
Namun, hal inilah yang ditolak oleh Hans Kelsen. Pasalnya, ketika manusia
berada dalam konstruksi kemasyarakatan, maka ide “kebebasan” tidak bisa
lagi dinilai secara sederhana, tidak lagi semata-mata bebas dari ikatan,
namun ide “kebebasan” dianalogikan menjadi prinsip penentuan kehendak
sendiri.

10
Patawari “Hakikat Kedaulatan Rakyat Dalam Pemilihan Umum Legislatif di Indonesia “
Vol. 9, 2014, h.8.
20

Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Hans Kelsen mengenai


demokrasi. Pendapat Hans Kelsen mengenai ide “kebebasan” dalam
konteks kehidupan bermasyarakat ini sejalan dengan pemikiran
cendekiawan muslim, Abu Nashar bin Mohammad bin Mohammad bin
Tharkam bin Unzalagh, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Farabi. Bagi
Farabi,kehidupan manusia tidak bisa lepas dari masyarakat karena pada
hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Hakikat ini merupakan sebuah
kecenderungan yang alami.11
Adapun kecenderungan untuk hidup bermasyarakat tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan pokok,akan tetapi juga menghasilkan
kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan,
tidak saja secara material, namun juga spiritual. Salah satu kelengkapan
hidup adalah timbulnya bermacam pemikiran atau ide. Ini bisa diartikan
bahwa ide kebebasan dalam versi Farabi merupakan sebuah kecenderungan
alami, dengan tujuan kebahagiaan hidup. Dalam masyarakat, sudah barang
tentu akan terbentuk pemilahan- pemilahan ide atau kehendak. Berbagai
pendapat mengenai sebuah persoalan akan muncul secara acak. Dari titik
inilah munculnya pola kepentingan yang berujung pada adanya suara
mayoritas dan suara minoritas, yang masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban. Dalam pandangan Hans Kelsen, suara mayoritas tidak
melahirkan dominasi absolut atau dengan kata lain, dalam bahasa Hans
Kelsen, adalah kediktatoran mayoritas atas minoritas. Prinsip mayoritas
dalam masyarakat demokratis, hanya dapat dijalankan jika segenap warga
masyarakat dalam sebuah negara diperbolehkan turut serta dalam
pembentukan tatanan hukum. Inilah yang kemudian melahirkan istilah
kompromi.12
Teori demokrasi sendiri sebagian besar juga belum disentuh oleh
argumentasi feminis. Walaupun terori feminis dianggap telah berkembang
sejak abad ke tujuh belas, namun literatur para feminis selalu di marginalkan

11
HM. Thalhah “Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans
Kelsen”, Vol. 16, No. 3, 2009. h.415.
12
HM. Thalhah “Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran
Hans Kelsen ”, ... h.416.
21

dari kanon studi tekstual terutama di dalam teori politik. Hal itu juga saling
berkaitan, karena pada dasarnya.13
Teori demokrasi menurut David Held, perkembangan pemikiran
demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin
kompleks, ditambah dengan munculnya negara-negara bangsa dan
pertarungan ideologis yang melahirkan blok barat dan blok timur,
kapitalisme dan sosialisme atau komunisme. Demokrasi menjadi jargon
bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad
kedua puluh, kendatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan
satu dengan yang lainnya. Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para
penguasa, baik totaliter maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara
barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah
kepada aspek prosedural, khususnya dalam tata kelola pemerintahan.
Pengertian demokrasi sebagai teori umum atau komprehensif di berikan
oleh David Held dalam bukunya Models of Democracy ( 1987 ). Held
menggabungkan pemahaman pandangan liberal dan tradisi Marxis untuk
sampai pada arti demokrasi yang mendukung satu prinsip ekonomi.14
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul yang peneliti ajukan dalam skripsi ini perlu
kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan
pertimbangan, antara lain :
1. Skripsi yang ditulis oleh Teta Anisah15 Hasil dari penelitian tersebut adalah
penerapan ambang batas parlemen yang di tetapkan pada pemilu 2009
sebesar 2,5 %, pemilu 2014 sebesar 3,5 % dan pemilu 2019 di naikkan
menjadi 4% juga tidak berhasil melakukan penyederhanaan partai politik
dikarenakan kurangnya pendidikan politik dan pengetahuan terkait pemilu
yang disalurkan kepada masyarakat Indonesia secara luas.

13
Sularto. Masyarakar Warga dan Pergulatan Demokrasi (Jakarta: Buku Kompas, 2001)
h.101.
14
I Wayan Gede Suacana. Budaya Demokrasi dalam Pemerintahan Desa di Bali (Jawa
Timur: Qiara Media, 2020) h.35-36.
15
Teta Anisah ”Dinamika pengaturan parliamentary threshold dalam sistem ketatanegaraan
republik indonesia” Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Lampung 2019.
22

Perbedaan penelitian yang ditulis oleh Teta Anisah16 lebih


membahas tentang dinamika pengaturan Parliamentary Threshold.
Sedangkan penelitian penulis lebih membahas tentang implementasi
Parliamentary Threshold dalam pemilu legislatif di Indonesia jika ditinjau
dari teori kedaulatan rakyat.
2. Skripsi yang ditulis oleh Mohammad Ibrahim Salim17. Hasil penelitian
bahwa dalam pelaksanaan penerapan parliamentary threshold baik tingkat
pusat maupun daerah masih rancu, dan pemberlakuan parliamentary
threshold hanya menguntungkan partai besar dan pemberlakuan ambang
batas parlemen dapat diterapkan dalam sistem pemilihan umum ketika
pemberlakuannya juga sampai ke tingkat daerah dengan begitu konsep
Negara Presidensil yang salah satunya merampingkan partai politik di
parlemen akan tercapai.
Perbedaan penelitian yang ditulis oleh Mohammad Ibrahim Salim18
lebih membahas pemberlakuan parliamentary threshold Dalam Sistem Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Di Indonesia. Sedangkan penelitian yang ditulis oleh penulis lebih membahas
implementasi Parliamentary threshold dalam pemilu legislatif di Indonesia
jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.
3. Artikel yang ditulis oleh Sunni Ummul Firdaus19. Hasil penelitian bahwa
pembentuk Undang-Undang dalam memformulasikan tentang
Parliamentary threshold harus menentukan parameter atau alat ukur secara
terbuka perihal:
a. Pembahasan hak warga negara terhadap keterwakilannya di parlemen.
b. Manfaat dari beban atas hak dibatasi.

16
Teta Anisah ”Dinamika pengaturan parliamentary threshold dalam sistem ketatanegaraan
republik indonesia” skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Lampung 2019
17
Moh. Ibrahim Salim “Pemberlakuan Parliamentary Threshold Dalam Sistem Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Di Indonesia”
skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2013.
18
Moh. Ibrahim Salim “Pemberlakuan Parliamentary Threshold Dalam Sistem Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Di Indonesia”
skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2013.
19
Sunni Ummul Firdaus “Relevansi Parliamentary Threshold Terhadap Pelaksanaan
Pemilihan Demokratis” Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No 2 2010.
23

c. Terwujudnya tujuan hukum yang hendak dicapai dari pembatasan hak


tersebut.
Perbedaan penelitian yang ditulis oleh Sunni Ummul Firdaus20 lebih
membahas relevansi parliamentary threshold terhadap pelaksanaan pemilihan
demokratis, sedangkan penelitian yang ditulis oleh penulis adalah lebih
membahas implementasi parliamentary threshold dalam pemilu legislatif
di Indonesia jika ditinjau dari teori kedaulatan rakyat.

20
Sunni Ummul irdaus “Relevansi Parliamentary Threshold Terhadap Pelaksanaan
Pemilihan Demokratis”.
BAB III
PENERAPAN AMBANG BATAS PARLEMEN
A. Sejarah Penerapan Ambang Batas Parlemen
Upaya penyederhanaan partai politik di Indonesia akhirnya terealisasi
setelah lahirnya Undang-Undang pemilu. Penyederhanaan partai politik
memang sempat menjadi isu yang sangat kontroversial karena realitas politik
Indonesia pasca reformasi, sistem pemilihan umum menggunakan sistem Multi
partai. oleh sebab itu, ketika pembahasan Undang-Undang pemilu tahun 2008
di Senayan sempat memicu perdebatan alot. Terlepas dari semua perdebatan
dan perbedaan pandangan yang berkembang di masing-masing elit partai
politik ketika itu, pada akhirnya penyederhanaan partai politik pun
terformulasikan melalui Undang-Undang pemilu tahun 2008 yang secara
kontekstual menjadikan Parliamentary Threshold ( PT ) dan Electoral
Threshold ( ET ) sebagai ketentuan mencapai ambang batas.
Sejauh ini sejumlah rekayasa institusi telah dilakukan di antaranya adalah
pemberlakuan mekanisme electoral threshold ( ET ) yang membatasi parpol
dengan perolehan suara minimum tertentu untuk mengikuti pemilu berikutnya.
Disadari kemudian ternyata mekanisme ET yang diberlakukan untuk Pemilu
2004 dianggap tidak begitu efektif dalam mengurangi jumlah parpol efektif di
parlemen, sehingga diganti dengan mekanisme parliamentary threshold (PT).
Berbeda dengan ET yang membatasi parpol ikut pemilu berikutnya,
mekanisme PT justru untuk membatasi jumlah parpol efektif di parlemen
melalui persyaratan perolehan suara minimal secara nasional bagi semua
parpol peserta pemilu 2009. 1
Sistem Pemilu DPR pada tahun 2009 menerapkan sistem 2,5% PT. Artinya
hanya parpol yang mencapai perolehan suara nasional sebesar 2,5% dari
jumlah seluruh suara sah nasionallah yang akan berhak mendapatkan kursi di
DPR. Selanjutnya, parpol yang tidak mencapai ambang batas parlemen sebesar

1
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu dan Parlemen Era Reformasi )Jakarta: Yayasan pustaka
obor Indonesia, 2014), h.64.

24
25

2,5% tersebut, suaranya akan hilang alias hangus dan tidak punya kursi DPR
di Senayan.
Ambang batas parlemen ( Parliamentary Threshold ) adalah ketentuan
batas minimal yang harus dipenuhi oleh partai politik peserta pemilu 2009
untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang
diatur dalam pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota sebesar 2,5%
dari total jumlah suara sah dalam pemilu legislatif.
Materi ketentuan dalam pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
sebagai berikut: Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% ( dua koma lima persen ) dari
jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi
DPR. Dengan ketentuan ini, maka partai politik yang tidak memperoleh suara
minimal 2,5% tidak berhak memiliki perwakilan di parlemen dan suaranya
tidak dihitung alias hangus. Akan tetapi, ketentuan parliamentary threshold
atau ambang batas parlemen 2,5% pada pemilu 2009 tidak berlaku dalam
penentuan perolehan kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jadi
parliamentary threshold hanya berlaku untuk legislator di DPR RI saja.2

B. Dinamika Penerapan Parliamentary Threshold


Aturan tentang perlunya PT untuk pertama kalinya dilakukan pada pemilu
2009, yaitu di rumuskan pada pasal 22 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
Sebesar 2,5%. aturan ini semula diberlakukan bukan saja untuk menghitung
perolehan suara sah partai politik untuk diikutsertakan dalam perhitungan
perolehan kursi di DPR-RI tetapi juga untuk DPRD. Namun demikian ambang
batas tersebut hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan
tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, kemudian
besaran PT untuk DPR tersebut dari waktu ke waktu dinaikkan terus.

2
Nur Hidayat Sardini Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia )Yogyakarta, Fajar
media press, 2011 ), h.67
26

Pada pemilu tahun 2014 ambang batas parlemen naik menjadi 3,5% hal ini
tertuang dalam pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan
” Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.” Ketentuan tersebut adalah
penerapan kebijakan penyederhanaan partai politik dengan membatasi
kehadirannya di parlemen berdasarkan besaran presentase ambang batas
tertentu perolehan suara dalam pemilu yang dikenal dengan konsep
parliamentary threshold ketentuan tersebut berlaku terhadap perolehan suara
partai politik pada pemilu 2014.3
Pada Pemilu 2019 diterapkan ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) sebesar 4% (empat persen) hal ini tertuang dalam pasal 414 dan 415
Undang-Undang No.7 Tahun 2017. Jika mengacu pada hasil pemilu 2009
maupun 2014 maka prospek keberadaan parpol di DPR-RI tampaknya masih
akan cukup banyak. karena itu pula maksud dan tujuan PT untuk
menyederhanakan multi partai dan mengefektifkan proses pengambil
keputusan di parlemen akan sangat sulit dicapai. Kecuali itu, maksud dan
tujuan menaikan PT untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensil.
Berikut Tabel jumlah parpol peserta Pileg yang lolos ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) dari tahun ke tahun :
Tabel 3.1
Prosentase (%) PT, Jumlah Parpol Peserta Pileg dan Parpol Lolos PT
Jumlah Jumlah Jumlah
Pileg %
Pengaturan Parpol Parpol Fraksi di
Tahun PT
Peserta Pileg Lolos PT DPR
Pasal 202 UU
2009 2,5 34 9 9 Fraksi
No.10/2008.

3
Kuswanto. Konstitusionalitas Penyederhanaan Partai Politik (Malang: Setara Press,
2016), h.221
27

Pasal 208 UU
2014 3,50 12 10 10 Fraksi
No.8/2012
Pasal 414 dan
2019 4 415 UU 16 9 9 Fraksi
No.7/2017

Keterangan:
1. Pada Pileg 2009 dengan PT sebesar 2,5%, yang diikuti sebanyak 34 Parpol
yaitu: Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bintang Reformasi (PBR),
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrasi Kebangsaan
(PDK), Partai Demokrat, Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Karya
Peduli Bangsa (PKPB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI),
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), PNI
Marhaenisme, Partai Pelopor, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Barisan Nasional (BARNAS),
Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Gerakan Indonesia Raya
(GERINDRA), Partai Hati Nurani Rakyat(HANURA), Partai Indonesia
Sejahtera (PIS), Partai Karya Perjuangan (PKP), Partai Kasih Demokrasi
Indonesia (PKDI), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai
Kedaulatan, Partai Matahari Bangsa (PMB), Partai Nasional Banteng
Kerakyatan Indonesia (PNBK INDONESIA), Partai Patriot, Partai Peduli
Rakyat Nasional (PPRN), Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Pengusaha
dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB),
Partai Persatuan Daerah (PPD) , dan Partai Republik Nusantara (PRN).
Kemudian Parpol yang memenuhi PT hanya ada 9, yaitu: Partai Golongan
Karya (GOLKAR), Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), Partai Keadilan Sejahtera )PKS), Partai Amanat
Nasional( PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), dan
28

partai Hati Nurani Rakyat (HANURA). Sisanya sebanyak 25 Parpol tidak


lolos PT. Akibatnya mereka tidak berhasil mendudukkan kadernya di DPR.
2. Pada Pileg 2014 dengan PT 3,5% yang diikuti sebanyak 12 Parpol yaitu
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya
(GOLKAR), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai
Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat
(NASDEM), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani
Rakyat )HANURA), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI). Kemudian terdapat 10 Parpol yang memenuhi
PT, yaitu: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan
Karya (GOLKAR), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai
Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat
(NASDEM), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Hati Nurani
Rakyat )HANURA).
3. Pada Pileg 2019 dengan PT sebesar 4% yang diikuti sebanyak 16 Parpol
yaitu: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan
Karya (GOLKAR), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (NASDEM), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Indonesia
(PERINDO), Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai
Hati Nurani Rakyat (HANURA), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai
Gerakan Perubahan Indonesia (GARUDA), Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia )PKPI). Kemudian 9 Parpol yang memenuhi PT yaitu: Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya
(GOLKAR), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (NASDEM), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional
(PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
29

C. Kelebihan dan Kekurangan dalam Penerapan Parliamentary Threshold


Kelebihan ataupun efektivitas dalam penerapan parliamentary threshold
adalah untuk menyederhanakan partai politik yang akan duduk di kursi
parlemen dan hal itu tanpa membatasi kepesertaan partai politik dalam pemilu
seperti halnya penerepan dari electoral threshold (ET) yang membatasi peserta
parpol dengan perolehan suara minimum tertentu untuk mengikuti pemilu
berikutnya. Hanta Yudha menyatakan : Pemberlakuan PT juga terbukti
berpotensi besar mengubah jumlah kekuatan politik di DPR yang bermula pada
tahun 2009. Jika pemilu sebelumnya Pemilu 2004 mengantarkan 16 partai
politik ke DPR, dan pada Periode 2009-2014 berkurang menjadi hanya 9 partai
politik yaitu Partai Demokrat, Golkar, PDIP Perjuangan, PKS, PAN, PPP,
PKB, GERINDRA dan HANURA. karena itu meskipun peserta pemilu 2009
lebih banyak dari pada pemilu 2004, jumlah partai politik yang berhasil ke
parlemen lebih sedikit pada pemilu 2009, itu artinya sistem kepartaian akan
mengalami penyederhanaan.
Kedua, syarat konstitusionalitas, Kebijakan pembentukan Undang-
Undang untuk melakukan penyederhanaan partai politik pada hakikatnya
tergantung pada syarat konstitusionalitas yang pada analisis akhir ditegakkan
oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan itu maka hal prinsip yang harus
diperhatikan adalah sebagai kebijakan pembentuk Undang-Undang yang
dikaitkan dengan pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 maka Mahkamah Konstitusi telah memberikan jaminan bahwa hal
itu adalah ranah kebebasan dari pembentuk Undang-Undang sepanjang
dilakukan tidak melanggar HAM atau bertentangan dengan prinsip kedaulatan
rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan dan prinsip non diskriminasi.
Artinya untuk menaikan secara sah ambang batas yang dikehendaki oleh
pembentuk Undang-Undang dalam penerapan parliamentary threshold masih
terbuka.
Secara teoritis tidak ada referensi yang menjelaskan tentang rasio atau
alasan dalam penentuan besaran parliamentary threshold. Hal ini sepenuhnya
30

merupakan politik hukum di mana praktek masing-masing Negara berbeda.


Dengan kata lain penentuan parliamentary threshold bukan masalah teoritis.
Meskipun demikian, secara logis tetap dapat dirumuskan suatu pengertian
bahwa semakin tinggi besaran parliamentary threshold maka semakin besar
pula dampak penyederhanaan partai politik yang dapat ditimbulkannya. Sesuai
pengertian ini maka supaya jumlah partai politik yang hadir di parlemen dapat
semakin dibatasi maka hal itu tentunya bergantung pada besaran parliamentary
threshold yang hendak ditetapkan.4
Adapun kekurangan dalam penerapan parliamentary threshold menurut
peneliti adalah sebagai berikut:
1. Kepentingan Partai Politik Parlemen Masih Mendominasi
Indonesia merupakan negara demokrasi yang mana pelaksanaan
demokrasi tersebut berdasarkan atas hukum. Artinya bahwa demokrasi yang
dimaknai sebagai sebuah kebebasan atau kemerdekaan masyarakat tetap
berjalan dalam kontrol hukum yang dibuat oleh para legislator. Demokrasi
tidak dimaknai sebagai kebebasan yang seluas-luasnya melainkan
kebebasan yang selalu memiliki batas dan aturan tertentu. Hal ini
dimaksudkan agar kebebasan atau kemerdekaan tersebut tidak berbenturan
dengan kemerdekaan atau kebebasan orang lain. Pengaturan sebuah
ketentuan hukum, dengan demikian menjadi penting dan menjadi sebuah
keniscayaan demi terwujudnya sebuah ketertiban dan ketenteraman dalam
sebuah negara demokrasi. Pengaturan sebuah ketentuan hukum tersebut
secara khusus diberikan kepada para legislator untuk merumuskannya. Para
legislator yang merupakan wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam
sebuah pemilihan umum sebenarnya dan seharusnya mampu
memperjuangkan kepentingan rakyat dan bukannya kepentingan partai atau
golongan tertentu. Prinsip ini sebenarnya tidak boleh dilepaskan dalam
perumusan sebuah aturan hukum. Aturan hukum yang dibentuk oleh para

4
Kuswanto Konstitusionalitas Penyederhanaan Partai Politik, h.223.
31

legislator sebenarnya mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi


oleh masyarakat.
Perumusan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah khususnya berkaitan dengan ketentuan
ambang batas parlemen (parliamentary threshold) menemui jalan buntu
karena masing-masing fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat
mempertahankan kepentingan fraksi (partainya) sendiri. Kesepakatan
mengenai pemberlakuan ambang batas ini akhirnya ditempuh melalui
mekanisme voting. Tarik-menarik kepentingan tersebut kemudian
dimenangkan oleh fraksi yang mendukung pemberlakuan ambang batas
secara nasional.
2. Penentuan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) masih
Bersifat Eksperimentatif
Ide dasar untuk menaikan besaran ambang batas parlemen
(parliamentary threshold) dari 2,5% ke 3,5% atau naik 1% adalah hasil yang
diperoleh dalam pemilihan umum tahun 2009. Pemilihan umum tahun 2009
dengan jumlah partai politik peserta pemilihan umum sebanyak 34
menghasilkan partai yang masuk parlemen hanya berjumlah 9 partai.
Jumlah partai politik yang ada di parlemen hasil pemilihan umum tahun
2009 dianggap masih terlalu banyak sehingga perlu disederhanakan lagi.
Penentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk
pemilihan umum tahun 2014 sebesar 3,5% diharapkan mampu mengurangi
jumlah partai di parlemen, namun nyatanya bahwa harapan tersebut tidak
terealisasi. Pemilihan umum tahun 2014 walaupun dengan jumlah partai
yang lebih sedikit dari pemilihan umum tahun 2009, menghasilkan 10 partai
masuk parlemen. Dengan demikian maksud penyederhanaan partai di
parlemen tidak berjalan efektif. Artinya bahwa para pembentuk Undang-
Undang (legislator) belum memiliki grand design dalam perumusan
mengenai ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Kekhawatiran yang bisa terjadi adalah setiap kali menjelang pemilihan
32

umum, angka persentase ambang batas terus dinaikkan sesuai dengan


kepentingan politik masing-masing partai. Anggapan ini bisa saja terjadi
karena desain awal menaikan besaran ambang batas dari 2,5% menjadi
3,5% dan menjadi 4% untuk menghasilkan sedikit partai yang masuk
parlemen tidak terealisasi. Para pembentuk Undang-Undang masih
tersandera oleh kepentingan partai yang mengakibatkan kualitas Undang-
undang sangat memprihatinkan.
BAB IV
IMPLEMENTASI AMBANG BATAS PARLEMEN
A. Penerapan Parliamentary Threshold Ditinjau dari Teori Kedaulatan
Rakyat
Ketentuan tentang parliamentary threshold di masing-masing negara
umumnya dipengaruhi oleh keberadaan kultural dan historis negara tersebut
berdiri. Tidak ada besaran resmi bagi suatu negara mengenai penerapan
parliamentary threshold. Beberapa referensi mengenai parliamentary
threshold di beberapa negara menunjukkan variabel yang berbeda. Negara-
negara di dunia yang menerapkan parliamentary threshold, tidak ada batas
mutlak bagi setiap negara. Batas mutlak ini tidak membutuhkan adanya suatu
keharusan bagi setiap negara untuk menerapkannya. Hal yang lazim adalah
terdapat pengecualian dari mekanisme parliamentary threshold.1
Jika di Indonesia sendiri parliamentary threshold merupakan syarat
ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen.
Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui
seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional ketentuan
tersebut diterapkan dalam Pemilihan umum tahun 2019, bahkan bukan hanya
pada pemilu legislatif 2019 saja melainkan berawal dari pemilu legislatif tahun
2009, 2014 dan 2019 ketentuan terbaru tersebut dirumuskan secara implisit
dalam pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Adapun bunyi pasal tersebut adalah :
1. Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas parolehan
suara paling sedikit 4% ( empat persen ) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
2. Ketentuan Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam
penentuan perolehan suara DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

1
Sunny Ummul Firdaus “ Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan Pemilu
yang Demokratis”, h.95

33
34

Ketentuan tentang parliamentary threshold atau ambang batas bagi partai


politik untuk bisa mendudukan anggotanya di parlemen sendiri menuai pro dan
kontra. Memang pada umumnya, baik DPR maupun pengamat berpandangan
bahwa parliamentary threshold secara teoritis baik. Namun dari dinamika yang
berkembang terkait dengan tingkat kesadaran budaya politik masyarakat
tampaknya gagasan ini mengalami kendala. Penerapan parliamentary
threshold juga dinilai tidak mengakomodasi kepentingan seluruh komponen
potensi politik bangsa dan juga kurang menyerap aspirasi dari rakyat itu
sendiri. Menurut pengamat politik dari Institute Develoment for Local
Parliament (IDELP) Agustinus Tamo Mbapa, di Jakarta, dikhawatirkan
penerapan parliamentary threshold pada pemilihan umum akan membawa
implikasi buruk terhadap proses demokrasi .
Penerapan parliamentary threshold di tingkat bawah mempunyai potensi
konflik horizontal karena ketika ada calon yang terpilih tetapi karena tidak
memenuhi parliamentary threshold, akhirnya calon terpilih itu tidak bisa
duduk di parlemen.2
Misalnya Jumlah Pemilih Terdaftar (DPT) untuk pemilu DPR sebanyak
100.000.000 orang pemilih dan dari DPT ini (misalkan saja, yang
menggunakan hak suara/yang datang ke TPS serta cara mencentang surat suara
secara benar adalah 70 % dari DPT), sehingga suara sah nasional menjadi
70.000.000 suara (pemilih). Berdasarkan data tersebut, bila suatu partai politik
tidak mencapai perolehan suara minimal 4 % dari suara sah nasional atau sebesar
1.750.000 suara, maka parpol tersebut tidak akan memperoleh kursi DPR untuk
daerah pemilihan (dapil) manapun. Karena memang parpol tersebut tidak akan
dilibatkan lagi dalam penghitungan kursi DPR. Walaupun mereka mempunyai
calon terpilih dengan suara terbanyak bahkan dengan jumlah suara melebihi
bilangan pembagi pemilik, calon tersebut tetap tidak bisa duduk di parlemen.
Parliamentary threshold secara teoritik itu bagus karena bertujuan untuk

2
Sunny Ummul Firdaus “ Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan Pemilu
yang Demokratis”, h.94
35

menyederhanakan partai politik di parlemen dan memastikan suara yang


diperoleh partai politik hasil Pemilihan Umum. Namun, kondisi masyarakat
Indonesia yang masih pluralistik dan tingkat kesadaran politik masyarakat
yang masih sedang berkembang perlu mendapatkan perhatian yang serius. dan
jika kita analisis permasalahan ini dari teori kedaulatan rakyat tentu dari adanya
ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% banyak suara dari masyarakat
yang hangus begitu saja, kenapa tidak ketika suara yang mereka aspirasikan
kepada salah satu partai politik atau calon legislatif itu tidak masuk ambang
batas parlemen maka suara mereka hangus dan tak di anggap, banyak juga dari
peserta calon legislatif yang sudah memiliki banyak suaranya dalam pemilu
namun hangus begitu saja ketika partai politiknya tersebut tidak memenuhi dari
ambang batas parlemen itu sendiri, tentu hal ini terdapat kerugian yang sangat
besar, bukan hanya pada masyarakat yang suaranya hilang, melainkan para
peserta calon legislatif yang sudah mengeluarkan uang yang yang tidak sedikit
jumlahnya, namun mereka gagal karena adanya ambang batas parlemen
tersebut.
Menyikapi hal tersebut bagaimanakah pemilu yang menurut penulis
demokratis, mari kita melihat salah satu asas dalam negara hukum yaitu asas
legalitas. Asas legalitas bahwa tanpa adanya dasar aturan (Undang-Undang)
yang mengatur lebih dulu tentang suatu hal maka dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah tidak berwenang untuk melakukan
tugas dan wewenangnya bahkan menyalahi aturan yang ada. Asas legalitas
berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum, gagasan
demokrasi menuntut agar setiap bentuk Undang-Undang dan berbagai
keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan lebih banyak
memperhatikan kepentingan rakyatnya.
Negara hukum sendiri menuntut agar penyelenggaraan negara oleh
pemerintah harus didasarkan atas Undang-Undang sekaligus dengan
memberikan jaminan terhadap hak dasar rakyat yang tertuang dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Menurut Sjchran
Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis
36

antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan


prinsip monodualitas selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya konstitutif.
Dalam pemerintahan di suatu negara yang sebenarnya berkuasa adalah
rakyatnya, yang mana rakyat melalui perwakilannya yang dipilih melalui
pemilihan umum menjalankan pemerintahan di suatu negara dengan cita
menuju kesejahteraan rakyatnya, sehingga pantas kalau model pemerintahan
ini disebut sebagai pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Dari berbagai
kesimpulan yang muncul dalam studi istilah demokrasi dapat disimpulkan
bahwa demokrasi akan senantiasa tumbuh dan berkembang sejalan dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat
kompleksitas kehidupan masyarakat maka semakin rumit dan tidak sederhana
pula demokrasi di definisikan.
Salah satu hasil akomodasi pendefinisian demokrasi terhadap tingkat
perkembangan masyarakat adalah semakin tergesernya kriteria partisipasi
langsung rakyat dalam formulasi kebijakan oleh model perwakilan. Secara
fungsional, posisi dan peran penguasa atau negara juga mengalami pergeseran
ke arah posisi dan peran serta yang lebih besar dan menentukan, sedangkan
pemilihan umum adalah sarana untuk mewujudkan demokrasi harus
menjalankan ide politik tersebut dalam pelaksanaannya. Sehingga pemilu yang
demokrasi itu tidak semata mata menentukan siapa yang duduk di parlemen
melainkan pemilihan umum yang dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu pemilihan umum harus dilaksanakan secara efektif dan efesien
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang. Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum
pada prinsipnya adalah untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, melaksanakan
hak warga negara dan menjadikan peralihan kepemimpinan pemerintah
berjalan dengan tertib, aman dan damai.
Peneliti menawarkan alternatif pemilu legislatif mendatang berbagai
persoalan dan ketidakkonsistenan pemaknaan kedaulatan rakyat dalam
penentuan sistem pemilu pada peraturan perundang-undangan tentang
pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana telah diuraikan di atas
37

mengharuskan adanya perbaikan terhadap sistem pemilu anggota legislatif


yang akan digunakan di masa mendatang. Perbaikan tersebut dilakukan
dengan menata kembali sistem pemilihan umum anggota legislatif yang selama
ini telah digunakan. Dalam perspektif pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat,
penataan sistem pemilihan umum anggota legislatif mestilah diarahkan pada
penerapan prinsip esensial dan prosedural kedaulatan rakyat.
Supaya pemilihan umum menjadi lebih dekat dan bermanfaat bagi rakyat,
maka secara teknis pelaksanaan, pembenahan sistem pemilihan umum mesti
diarahkan menjadi sistem pemilu yang sederhana secara administratif dan
murah secara pembiayaan. Dua sistem pemilu yang akan dijelaskan berikut
ini patut dipertimbangkan untuk pemilu legislatif yang akan datang.
1. Sistem Proporsional Murni
Sistem ini diterapkan pada Pemilu 2009 berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, tanggal
19 Desember 2008. Untuk aspek representasi, sistem ini cukup bagus
dalam menerjemahkan suara ke dalam kursi sehingga mengatasi
disproporsionalitas dalam pemilu. Sistem ini juga dapat mendorong
terciptanya efektivitas pengambilan keputusan di lembaga perwakilan
dengan adanya pelembagaan parliamentary threshold. Sistem ini juga
dapat menghormati hak setiap orang untuk mendirikan partai politik dan
ikut dalam pemilihan umum, sekalipun tidak selalu akan mendapatkan
kursi di lembaga perwakilan rakyat.
Namun sistem ini belum dapat menjamin terciptanya
akuntabilitas wakil rakyat terpilih disebabkan lemahnya hubungan antara
wakil rakyat terpilih dan konstituen yang mereka wakili. Padahal dalam
konteks Indonesia, problem pertanggungjawaban (akuntabilitas)
sebenarnya lebih mengemuka, terbukti dengan diadilinya beberapa orang
anggota DPR karena dugaan suap. Suara-suara masyarakat yang biasa
terlontar seperti “wakil rakyat hanya ingat rakyat pada saat pemilu, setelah
terpilih mereka tidak ingat lagi”, menunjukkan bahwa hubungan antara
38

wakil rakyat dan pemilih sangat renggang. Sehingga pertanggungjawaban


wakil rakyat terpilih pun menjadi lemah. Sekalipun penetapan calon
terpilih berdasarkan suara terbanyak, namun variabel-variabel lain yang
dapat mendorong adanya akuntabilitas wakil rakyat terpilih belum
dimiliki.
Selain itu, sistem ini juga belum mampu mendorong terciptanya
efektivitas pemerintahan, karena partai pendukung pemerintah merupakan
partai minoritas di DPR. Pemerintah didukung oleh partai koalisi yang
rapuh sehingga Presiden selaku kepala pemerintahan akan sulit
mengendalikan DPR. Pemerintahan yang kuat dan efisien hanya dapat
diwujudkan dengan dwi partai. Dwi partai yang dimaksudnya berupa
partai dengan ideologi nasionalis dan Islam. Secara lebih teknis
pemerintahan yang kuat dan efisien harus didukung 50 % lebih anggota
parlemen.
2. Sistem Mixed Member Proposional (MMP)
Secara teoretik, sistem MMP merupakan sistem campuran antara
sistem distrik (FPTP) dengan sistem proporsional. Sebagian anggota
lembaga perwakilan dipilih melalui sistem distrik dan sebagian lain dipilih
dengan menggunakan sistem proporsional. Bisa saja 50 persen wakil
rakyat dipilih melalui sistem distrik dan 50% lainnya dipilih dengan
menggunakan sistem proporsional. Bagi partai politik yang tidak
mendapatkan kursi dalam sistem distrik akan memperoleh kursi dari
pemilihan sistem proporsional.
Pada aspek keterwakilan berbagai kelompok dalam lembaga
perwakilan, sistem ini cukup baik, karena disproporsionalitas yang
dikandung sistem distrik diatasi sistem ini dengan mengambil hal positif
dari sistem proporsional. Setiap kelompok akan tetap dapat terwakili di
lembaga perwakilan melalui wakil rakyat yang dipilih dengan sistem
proporsional apabila kelompok tersebut tidak terwakili melalui sistem
distrik. Di bawah sistem MMP, kursi proporsional diberikan untuk
mengkompensasi disproporsionalitas yang dihasilkan kursi distrik.
39

Begitu juga aspek dapat menciptakan pemerintahan kuat dan efisien.


Sistem distrik yang dikandung sistem MMP akan mendorong terciptanya
penyederhanaan partai politik yang akan berujung dengan terciptanya
pemerintahan yang kuat dan efisien.
Selain itu, sistem ini juga dapat mendorong akuntabilitas wakil rakyat
terpilih, setidak-tidaknya untuk wakil rakyat yang menduduki kursi
distrik. Pertanggung jawaban wakil rakyat terpilih untuk kursi distrik akan
menimbulkan efek dominan terhadap wakil rakyat terpilih untuk kursi
proporsional dalam mempertanggungjawabkan kerjanya kepada rakyat.
Dengan sistem MMP, setiap anggota legislatif akan bertanggung jawab
kepada rakyat dan pada saat bersamaan juga bertanggung jawab kepada
partai politik yang mengusungnya.
Hanya saja, sistem ini akan menimbulkan kategorisasi wakil rakyat di
lembaga perwakilan antara kursi distrik dan proporsional. Namun
demikian, masalah ini bukan masalah pokok yang saat ini mesti dijawab
melalui perbaikan sistem pemilu. Kategorisasi wakil rakyat akan dapat
hilang bila semuanya konsisten terhadap mekanisme pertanggungjawaban
wakil rakyat kepada rakyat.
3. Menyediakan Mekanisme Recall Oleh Rakyat
Lemahnya akuntabilitas wakil rakyat terpilih tidak terlepas dari
ketiadaan mekanisme kontrol yang lebih ketat oleh rakyat terhadap wakilnya
yang duduk di lembaga perwakilan. Ketiadaan mekanisme kontrol
disebabkan tidak terbangunnya ikatan institusional antara anggota DPR
dengan pemilih pasca pemilu. Apabila prinsip akuntabilitas akan
diperkuat, maka ikatan institusional tersebut semestinya disediakan. Yaitu
melalui mekanisme pemberhentian anggota legislatif atas usul rakyat atau
recall. Melalui mekanisme recall, pemilih yang tidak puas terhadap
wakilnya diberikan hak untuk mengusulkan agar wakilnya
diberhentikan dan diganti dengan wakil lain menurut kehendak rakyat.
Recall merupakan mekanisme politis yang disediakan bagi masyarakat
pemilih untuk menghukum anggota DPR yang abai dan lalai terhadap
40

mereka. Philipina merupakan salah satu negara yang memberikan hak recall
bagi masyarakat. Dalam pelaksanaan recall di Philipina, seorang anggota
legislatif dapat di recall apabila didukung oleh 25% pemilih.3

B. Implementasi Parliamentary Threshold Menurut Undang-Undang Pemilu


Nomor 7 Tahun 2017
Pemilu di Indonesia pertama kali diadakan pada tahun 1955 untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden saat itu. Dalam kurun waktu pasca pemilu
pertama tahun 1955, Indonesia tercatat menyelenggarakan pemilu sebanyak 9
kali hingga pada tahun 2014. Begitu pula pada tahun 2019 juga
diselenggarakan pemilu serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
sekaligus juga anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah.
Pengaturan tentang pemilu serentak mulai diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 347, Pemungutan suara
Pemilu diselenggarakan secara serentak menurut hari, tanggal, dan waktu
yang ditetapkan KPU. Dengan demikian artinya pemilu akan diselenggarakan
secara serentak di seluruh daerah baik pemilihan eksekutif maupun legislatif di
tingkat pusat maupun daerah.
Satu ketentuan yang baru juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 yakni pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara
(parliamentary threshold) bagi partai politik peserta pemilu. Adapun dalam
ketentuan Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
menyatakan bahwa,
“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan
suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara kursi anggota
DPR”.
Berdasarkan ketentuan tersebut untuk dapat memperoleh kursi
keanggotaan DPR RI partai politik peserta pemilu harus mencapai 4% secara
sah suara nasional. Parliamentary threshold berbeda dengan konsep electoral

3
Khairul Fahmi “Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum
Anggota Legislatif ” Jurnal Konstitusi, Vol. 7. 2010, h.148-154
41

threshold di mana perolehan minimum kursi untuk duduk di lembaga parlemen


dan juga secara otomatis dapat mengikuti pemilu berikutnya, sedangkan
parliamentary threshold lebih kepada jumlah dukungan suara dalam batasan
tertentu untuk diikutsertakan dalam perhitungan suara partai politik di
parlemen. Hal ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk
membuat partai politik peserta pemilu lebih berusaha mencari dukungan dari
konstituen sehingga legitimasi dari rakyat juga lebih bisa
dipertanggungjawabkan dan pada akhirnya akan terlihat dari kinerja parlemen
nantinya ketika sudah menduduki kursi legislatif pusat.4
Pemberlakuan parliamentary threshold sudah mulai diterapkan pertama
kali pada pemilu 2009 dengan ketentuan ambang batas 2,5% dan terdapat
sembilan partai politik yang lolos pada saat itu. Penentuan ambang batas pada
tahun 2009 sebesar 2,5% dipandang kurang efektif maka kemudian pada
pemilu tahun 2014 pemerintah menaikkan ambang batas menjadi 3,5% yang
diatur dalam Pasal 208 Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya, pada tahun 2017
diberlakukan kembali Undang-Undang tentang Pemilu yang menaikkan
kembali angka ambang batas parlemen untuk diterapkan pada pemilu 2019
yakni sebesar 4% berdasarkan Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017.
Pengaturan parliamentary threshold sejak awal ditetapkan memperoleh
banyak penolakan terutama oleh partai-partai baru peserta pemilu karena
pemerintah dan DPR yang mengesahkan Undang-Undang dianggap
melakukan diskriminasi. Sejumlah partai politik kemudian mengajukan
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan ketentuan terkait
parliamentary threshold. Akan tetapi berdasarkan Putusan MK No. 20/PUU-
XVI/2018 tetap menganggap aturan parliamentary threshold pada dasarnya
bersifat konstitusional dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

4
I Gusti Ayu Apsari Hadi dan Desak Laksmi Brata ”Pengaruh Penentuan Parliamentary
Threshold dalam Pemilu Legislatif dan Sistem Presidensial di Indonesia” Jurnal Kertha Patrika,
Vol. 42, h.36
42

1945. Merujuk pada Putusan MK No. 20/PUU-XVI/2018 Permohonan Judicial


Review ke Mahkamah Konstitusi dalam hal ini Mahkamah Konstitusi
menjelaskan dalam putusannya bahwa permohonan tidak dapat di terima, dan
dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yaitu permohonan Ne bis in
indem .
Mahkamah juga sudah berulang kali dalam menimbang dan memutuskan,
bahwa ketentuan ambang batas parlemen merupakan kebijakan yang
konstitusional, sebagai upaya untuk menyederhanakan partai politik, selain itu
mahkamah juga mengatakan bahwa adanya ketentuan ambang batas parlemen
merupakan kewenangan dari pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat
dicampuri oleh Mahkamah Konstritusi. Akan tetapi jika kita melihat hal ini dari
kacamata hukum jelas dalam hal ini juga penerapan ambang batas pemilu juga
sangat bertentangan dengan asas dalam pemilu yang mana di dalamnya
menganut asas “adil”. jika melihat asas keadilan tentu hal ini ada beberapa
calon yang sangat di rugikan dikarenakan adanya penerapan ambang batas
pemilu, suara yang mereka kumpulkan hangus seketika partai politiknya tidak
masuk dalam penghitungan ambang batas parlemen sebesar 4%.
Melihat hal ini peneliti dengan adanya ambang batas parlemen banyak
pihak yang di rugikan, yaitu dari partai politiknya itu sendiri, bahkan yang lebih
jelasnya adalah calon legislatif yang sudah banyak mengumpulkan suara rakyat
yang diwakilkan olehnya, kemudian menutup kemungkinan untuk partai
politik yang masih baru untuk duduk di parlemen, peneliti meyakini bahwa
dalam partai politik yang kecil tentu juga mempunyai potensi yang besar dalam
merumuskan dan membuat peraturan yang seadil-adilnya. Melihat dari teori
kedaulatan rakyat yang telah penulis jelaskan dalam kajian teori, tentu hal
tersebut terkait ambang batas pemilu banyak aspirasi atau suara rakyat yang
tidak bisa di sampaikan melalui calon legislatif yang gagal dikarenakan
partainya tidak masuk dalam penghitungan ambang batas.
Dengan adanya ambang batas parlemen yang sangat diuntungkan adalah
hanya partai-partai yang besar, yang sudah mempunyai nama, dan sangat kecil
kemungkinannya jika partai yang baru bisa lolos ambang batas parlemen.
43

melihat hal ini tentu lembaga legislatif hanya dikuasai oleh beberapa partai
besar saja. dan di dalam proses pemilu legislatif dengan adanya sistem
parliamentary threshold ada inkonsistensi peraturan, serta hasil pemilu yang
tidak proporsional sebagai akibat adanya peraturan parliamentary threshold
yang tidak dilakukan dengan cara yang jujur, adil jelas bertentangan dengan
pasal 22E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dalam penyelenggaraan pemilu legislatif menyebutkan bahwa politik
hukum terkait pembatasan jumlah partai adalah sebuah kewajaran. Kewajaran
ini dikarenakan banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara efektif
mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak
bisa menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan. Selain itu Mahkamah
Konstitusi juga memberikan pertimbangan bahwa dalam rangka menguatkan
sistem pemerintahan presidensial sehingga dibutuhkan sistem multipartai yang
sederhana.5
Letak dasar adanya parliamentary threshold adalah untuk mengefektifkan
representasi suara rakyat di parlemen, bukan membatasi hak rakyat untuk
memilih wakilnya di parlemen. Penerapan parliamentary threshold ditujukan
untuk penyederhanaan sistem kepartaian dan menciptakan sistem presidensial
yang kuat dengan lembaga perwakilan yang efektif. Efektivitas lembaga
perwakilan tidak terlepas dari banyak atau sedikitnya faksi-faksi kekuatan
politik yang ada di DPR. Semakin sedikit partai politik yang ada di lembaga
perwakilan maka efektivitas pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga perwakilan
akan berjalan lebih baik.
Kecenderungan banyak lahirnya partai politik memang merupakan
cerminan nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Partai politik
dianggap sebagai wadah sekaligus alat bagi penguasa untuk melaksanakan
fungsi-fungsi kekuasaannya untuk mencapai tujuan bernegara.6 Selain itu,
sebagai jaminan Hak Asasi Manusia terhadap warga negara berdasarkan Pasal

5
I Gusti Ayu Apsari Hadi dan Desak Laksmi Brata ” Pengaruh Penentuan Parliamentary
Threshold dalam Pemilu Legislatif dan Sistem Presidensial di Indonesia”, h.37.
6
Erfandi Parliamentary Threshold dan HAM dalam Hukum Tata Negara Indonesia
(Setara Press, Malang 2014) h. 126.
44

28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang


menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan bagi warga negara untuk
berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapatnya secara lisan
maupun tulisan.
Dengan adanya kebebasan untuk mendirikan sebuah partai politik, maka
dibutuhkan regulasi untuk mengontrol partai-partai politik yang ada. Upaya
untuk menyederhanakan jumlah partai mulai nampak dari panjangnya proses
verifikasi yang harus dilalui oleh sebuah partai politik agar bisa menjadi peserta
pemilu. Selain itu, upaya menyederhanakan partai juga diwujudkan dengan
adanya kebijakan parliamentary threshold.
Parliamentary threshold pertama kali diterapkan pada pemilu 2009. Saat
pemilu 2009, ketentuan yang berlaku untuk pemberlakuan parliamentary
threshold ini adalah Pasal 202 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, yang
menetapkan bahwa ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 % dari
jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan kursi
DPR dan tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
Namun, pada Pemilu 2009, partai politik yang sebelumnya tidak mendapat
kursi di parlemen pada Pemilu 2004 dan seharusnya tidak diperbolehkan
menjadi peserta pemilu dapat menjadi peserta pemilu dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008. Hal ini mengakibatkan
banyaknya partai politik peserta pemilu 2009, yakni 44 parpol (7 partai lokal
Aceh), di mana 28 parpol tidak lolos ambang batas dan hanya membawa 9
(Sembilan) partai politik menuju kursi parlemen di DPR RI.7
Undang-Undang Pemilu kembali direvisi menjadi Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 yang menetapkan ambang batas parlemen sebesar 3,5%
dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Namun, kemudian
aturan tersebut digugat oleh 14 partai politik ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan partai politik atas
uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Pasal 208 Undang-Undang

7
I Gusti Ayu Apsari Hadi dan Desak Laksmi Brata ”Pengaruh Penentuan Parliamentary
Threshold dalam Pemilu Legislatif dan Sistem Presidensial di Indonesia”, h.40.
45

Nomor 8 Tahun 2012, sepanjang frasa, DPRD Provinsi dan DPRD


Kabupaten/Kota bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam pertimbangan putusan, dijelaskan bahwa
pemberlakuan parliamentary threshold 3,5% dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, akan menghilangkan suara parpol
yang tidak mencapai 3,5% di tingkat nasional tersebut. Pada akhirnya,
Mahkamah Konstitusi menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku
untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD. Pada pemilu 2014 sebanyak 15 partai
politik ikut serta (3 partai politik lokal Aceh) dan dua partai tidak lolos ke
parlemen.
Selanjutnya, untuk pemilu tahun 2019, Undang-Undang Pemilu kembali
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang menaikkan
ambang batas parlemen sebesar 4% dari suara sah nasional dan berlaku
nasional untuk semua anggota DPR. Jadi seperti yang terdapat di Pasal 415
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, apabila partai tidak memenuhi 4%,
maka tidak diikutkan dalam penghitungan suara untuk kursi DPR. Ketentuan
kedua juga terdapat dalam Pasal 414 yang mengatakan semua partai politik itu
diikutsertakan dalam penghitungan suara untuk DPRD Kabupaten/Kota. Dari
rumusan pasal tersebut, jelas mengatakan bahwa tidak ada ketentuan yang
menyatakan perhitungan bagi partai politik yang tidak memenuhi 4% tidak
diikutkan dalam perhitungan di DPRD Kabupaten/Kota.8
Melihat dari beberapa perubahan terkait peraturan tersebut tentu dari
lembaga legislatif itu sendiri belum mempunyai desain peraturan yang jelas
dalam penentuan ambang batas parlemen. Dari beberapa perubahan tentang
ambang batas parlemen tersebut menjadi banyak kerugian yang dialami
masyarakat begitu juga partai politik yang tidak masuk ambang batas parlemen.
Adapun implementasi penerapan parliamentary threshold menurut Undang-
undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 yang telah dijelaskan dalam uraian di atas

8
I Gusti Ayu Apsari Hadi dan Desak Laksmi Brata ”Pengaruh Penentuan Parliamentary
Threshold dalam Pemilu Legislatif dan Sistem Presidensial di Indonesia”, h.42
46

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa


pemberlakuan parliamentary threshold secara nasional tidak mengakomodasi
semangat persatuan dalam keberagaman, berpotensi menghalangi aspirasi
politik di tingkat daerah serta bertentangan dengan kebhinekaan dan kekhasan
aspirasi politik yang beragam di setiap daerah. Dengan diberlakukannya
parliamentary threshold secara nasional, maka dapat mengurangi, membatasi,
dan menghilangkan hak berpolitik masyarakat di daerah. Karena bisa jadi suatu
partai politik tidak lolos parliamentary threshold secara nasional, namun di
beberapa daerah partai politik tersebut memperoleh suara cukup signifikan atau
bahkan menjadi peraih suara mayoritas. Tentunya, hal ini bertentangan dengan
prinsip kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas.
Argumen tersebut sejalan dengan amanat yang tertuang dalam Pasal 22E
ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa: “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Meskipun
diselenggarakan secara bersamaan dalam satu waktu, namun pemilihan umum
legislatif pada dasarnya adalah untuk memilih objek dan sasaran yang berbeda.
Objek tersebut terbagi menjadi Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Perbedaan ini seharusnya dapat dijadikan
sebagai landasan untuk memberlakukan kebijakan yang berbeda pula dalam
penentuan parliamentary threshold. Dan penyelenggaraan pemilu sangat
terkait dengan persoalan hak asasi manusia. Pemilu sebagai mekanisme
demokrasi modern adalah wujud dari prinsip kedaulatan rakyat yang
menempatkan manusia dalam derajat yang sama. Pemilu adalah wujud nyata
pengakuan hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,
pemilu yang demokratis hanya mungkin diselenggarakan jika ada perlindungan
hak asasi manusia. Pemilu membutuhkan jaminan hak-hak politik antara lain
kebebasan berkeyakinan, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak persamaan
di depan hukum.
47

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan beberapa alasan yang melandasi


sifat inkonstitusional pemberlakuan parliamentary threshold secara nasional di
antaranya adalah:
1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat berbeda dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat bersifat nasional dan
menjalankan fungsi penyeimbang kekuasaan presiden dalam sistem checks
and balances. Sedangkan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
termasuk bagian dari pemerintahan daerah.
2. Pemberlakuan parliamentary threshold secara nasional tidak
mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman, bertentangan
dengan kebhinekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap
daerah;
3. Parliamentary threshold yang diberlakukan secara nasional berpotensi
menghalangi aspirasi politik di tingkat daerah. Bahkan, bisa menciptakan
suatu kondisi di mana anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terpilih
tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya karena parpol
pengusung tidak lolos parliamentary threshold secara nasional;
4. Pemberlakuan parliamentary threshold secara nasional bertentangan
dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas, sehingga
bertentangan pula dengan tujuan pemilu itu sendiri yaitu untuk memilih
wakil rakyat dari tingkat pusat hingga daerah. Artinya, pemilihan wakil
rakyat dari tingkat pusat hingga daerah seharusnya dilakukan berdasarkan
prinsip kedaulatan rakyat.
Berikut penentuan jumlah kursi partai politik:
1. Pemilu 2009
Penentuan jumlah kursi partai politik pada pemilu 2009 diatur dalam
Pasal 205 dan 206 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah.
Berikut rekapitulasi jumlah perolehan kursi pada pemilihan umum
2009:
48

Jumlah Presentase
No Nama Partai Politik Perolehan Perolehan
Kursi Kursi
1 Partai Demokrat 148 26,43
2 Partai Golongan Karya 106 18,93%
3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 94 16,79%
4 Partai Keadilan Sejahtera 57 10,18%
5 Partai Amanat Nasional 46 8,21%
6 Partai Persatuan Pembangunan 38 6,79%
7 Partai Kebangkitan Bangsa 28 5,00%
8 Partai Gerakan Indonesia Raya 26 4,64%
9 Partai Hati Nurani Rakyat 17 3,04%
Jumlah Seluruh Kursi 560 100%

2. Pemilu 2014
Penentuan jumlah kursi partai politik pada pemilu legislatif tahun
2014 diatur dalam pasal 211 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berikut
rekapitulasi jumlah perolehan kursi partai politik pada pemilu 2014:
Jumlah Presentase
No Nama Partai Politik Perolehan Perolehan
Kursi Kursi
1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 109 19,46%
2 Partai Golongan Karya 91 16,25%
3 Partai Gerakan Indonesia Raya 73 13,04%
4 Partai Demokrat 61 10,89%
5 Partai Kebangkitan Bangsa 47 8,39%
6 Partai Amanat Nasional 49 8,75%
7 Partai Keadilan Sejahtera 40 7,14%
49

8 Partai Nasional Demokrat 35 6,25%


9 Partai Persatuan Pembangunan 39 6,96%
10 Partai Hati Nurani Rakyat 16 2,86%
Jumlah Seluruh Kursi 560 100%

3. Pemilu 2019
Penentuan jumlah kursi partai politik pada pemilu legislatif tahun
2019 diatur dalam pasal 186 dan 187 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum. Berikut rekapitulasi jumlah perolehan
kursi partai politik pada pemilu 2014:
Jumlah Presentase
No Nama Partai Politik Perolehan Perolehan
Kursi Kursi
1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 128 22,30
2 Partai Gerakan Indonesia Raya 78 13,59
3 Partai Golongan Karya 85 14,81
4 Partai Kebangkitan Bangsa 58 10,10
5 Partai Nasional Demokrat 59 10,28
6 Partai Keadilan Sejahtera 49 8,54
7 Partai Demokrat 54 9,41
8 Partai Amanat Nasional 44 7,67
9 Partai Persatuan Pembangunan 19 4,52
Jumlah Seluruh Kursi 574 100%

Berikut rekapitulasi hasil perhitungan dan perolehan suara pada pemilu:


1. Pemilu 2009
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan rekapitulasi hasil
perhitungan dan perolehan suara tingkat nasional pada pemilu legislatif
2009. Berikut hasil lengkap rekapitulasi perolehan suara nasional:
PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN UMUM YANG
MEMENUHI DAN TIDAK MEMENUHI AMBANG BATAS
50

PEROLEHAN SUARA SAH SECARA NASIONAL PADA


PEMILIHAN UMUM 2014
Jumlah Suara Sah Seluruh Partai Politik : 104.048.118
Ambang Batas : 2,5%
Jumlah Presentase Status
No Nama Partai Politik Perolehan Perolehan Ambang
Suara Sah Suara Sah Batas
1 Partai Demokrat 21 655 295 26,43% Memenuhi
2 Partai Golongan Karya 15 031 497 14,45% Memenuhi
3 PDI Perjuangan 14 576 388 14,01% Memenuhi
4 Partai Keadilan Sejahtera 8 204 946 7,89% Memenuhi
5 Partai Amanat Nasional 6 273 462 6,03% Memenuhi
6 Partai Persatuan Pembangunan 5 544 332 5,33% Memenuhi
7 Partai Kebangkitan Bangsa 5 146 302 4,95% Memenuhi
8 Partai Gerakan Indonesia Raya 4 642 795 4,46% Memenuhi
9 Partai Hati Nurani Rakyat 3 925 620 3,77% Memenuhi
10 Partai Bulan Bintang 1 864 642 1,79% Tidak Memenuhi
11 PKNU 1 527 509 1,47% Tidak Memenuhi
12 Partai Damai Sejahtera 1 522 032 1,46% Tidak Memenuhi
13 Partai Karya Peduli Bangsa 1 461 375 1,40% Tidak Memenuhi
14 Partai Bintang Reformasi 1 264 150 1,21% Tidak Memenuhi
15 Partai Peduli Rakyat Nasional 1 260 950 1,21% Tidak Memenuhi
16 PKPI 936 133 0,90% Tidak Memenuhi
17 PDP 896 959 0,86% Tidak Memenuhi
18 Partai Barisan Nasional 760 712 0,73% Tidak Memenuhi
19 PPPI 745 965 0,72% Tidak Memenuhi
20 Partai Demokrasi Kebangsaan 671 356 0,65% Tidak Memenuhi
21 Partai Republika Nusantara 631 814 0,61% Tidak Memenuhi
22 Partai Persatuan Daerah 553 299 0,53% Tidak Memenuhi
23 Partai Patriot 547 798 0,53% Tidak Memenuhi
51

24 PNBKI 468 856 0,45% Tidak Memenuhi


25 Partai Kedaulatan 438 030 0,42% Tidak Memenuhi
26 Partai Pemuda Indonesia 415 563 0,40% Tidak Memenuhi
27 Partai Matahari Bangsa 415 294 0,40% Tidak Memenuhi
28 Partai Karya Perjuangan 351 571 0,34% Tidak Memenuhi
29 Partai Pelopor 345 092 0,33% Tidak Memenuhi
30 PKDI 325 771 0,31% Tidak Memenuhi
31 Partai Indonesia Sejahtera 321 019 0,31% Tidak Memenuhi
32 PNIM 317 433 0,31% Tidak Memenuhi
33 Partai Buruh 265 369 0,26% Tidak Memenuhi
34 Partai Persatuan Indonesia Baru 198 803 0,19% Tidak Memenuhi
35 PPNUI 146 831 0,14% Tidak Memenuhi
36 Partai Sarikat Indonesia 141 558 0,14% Tidak Memenuhi
37 PPDI 139 988 0,13% Tidak Memenuhi
38 Partai Merdeka 111 609 0,11% Tidak Memenuhi
Jumlah Seluruh Suara Sah
104.048.118 100%
Partai Politik
Suara Terbuang 19.047.481 18,31%

2. Pemilu 2014
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan rekapitulasi hasil
perhitungan dan perolehan suara tingkat nasional pada pemilu legislatif
2014. Berikut hasil lengkap rekapitulasi perolehan suara nasional:
PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN UMUM YANG
MEMENUHI DAN TIDAK MEMENUHI AMBANG BATAS
PEROLEHAN SUARA SAH SECARA NASIONAL PADA
PEMILIHAN UMUM 2014
Jumlah Suara Sah Seluruh Partai Politik : 124.972.491
Ambang Batas : 3,5%
52

Jumlah Presentase Status


No Nama Partai Politik Perolehan Perolehan Ambang
Suara Sah Suara Sah Batas
1 Partai Nasdem 8.4012.812 6,72% Memenuhi
2 Partai Kebangkitan Bangsa 11.298.957 9,04% Memenuhi
3 Partai Keadilan Sejahtera 8.480.204 6,79% Memenuhi
4 PDI Perjuangan 23.681.471 18,95% Memenuhi
5 Partai Golongan Karya 18.432.312 14,75% Memenuhi
6 Partai Gerindra 14.760.371 11,81% Memenuhi
7 Partai Demokrat 12.728.913 10,19% Memenuhi
8 Partai Amanat Nasional 9.481.621 7,59% Memenuhi
9 Partai Persatuan Pembangunan 8.157.488 6,53% Memenuhi
10 Partai Hati Nurani Rakyat 6.579.498 5,26% Memenuhi
11 Partai Bulan Bintang 1.825.750 1,46% Tidak Memenuhi
12 PKPI 1.143.094 0,91% Tidak Memenuhi
Jumlah Seluruh Suara Sah
124.972.491 100%
Partai Politik
Suara Terbuang 2.968.844 2,37%

3. Pemilu 2019
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan rekapitulasi hasil
perhitungan dan perolehan suara tingkat nasional. Rekapitulasi meliputi
34 provinsi dan 130 wilayah luar negeri.
Hasil rekapitulasi ini ditetapkan pada selasa 21 Mei 2019 pukul 01.46
WIB melalui Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019
tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019.
Berikut Perolehan suara partai-partai pada pemilu legislatif 2019:
PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN UMUM YANG
MEMENUHI DAN TIDAK MEMENUHI AMBANG BATAS
53

PEROLEHAN SUARA SAH SECARA NASIONAL PADA


PEMILIHAN UMUM 2019

Jumlah Suara Sah Seluruh Partai Politik : 139.971.260


Ambang Batas 4% : 5.598.850,40
Jumlah Presentase Status
No Nama Partai Politik Perolehan Perolehan Ambang
Suara Sah Suara Sah Batas
1 Partai Kebangkitan Bangsa 13.570.097 9,69% Memenuhi
2 Partai Gerindra 17.594.839 12,57% Memenuhi
3 PDI Perjuangan 27.053.961 19,33% Memenuhi
4 Partai Golkar 17.229.789 12,31% Memenuhi
5 Partai NasDem 12.661.792 9,05% Memenuhi
6 Partai Garuda 702.536 0,50% Tidak Memenuhi
7 Partai Berkarya 2.929.495 2,09% Tidak Memenuhi
8 Partai Keadilan sejahtera 11.493.663 8,21% Memenuhi
9 Partai Persatuan Indonesia 3.738.320 2,67% Tidak Memenuhi
10 Partai Persatuan Pembangunan 6.323.147 4,52% Memenuhi
11 Partai Solidaritas Indonesia 2.650.361 1,89% Tidak Memenuhi
12 Partai Amanat Nasional 9.572.623 6,84% Memenuhi
13 Partai Hanura 2.161.507 1,54% Tidak Memenuhi
14 Partai Demokrat 10.876.507 7,77% Memenuhi
15 Partai Bulan Bintang 1.099.848 0,79% Tidak Memenuhi
16 PKPI 312.775 0,22% Tidak Memenuhi
Jumlah Seluruh Suara Sah
139.971.260 100%
Partai Politik
Suara Terbuang 13.594.842 9,7%
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan
bahwa
1. Penerapan parliamentary threshold menurut teori kedaulatan rakyat masih
belum maksimal karena hasil analisis dari teori kedaulatan rakyat merujuk
pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) tentu dari adanya
ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% banyak suara dari
masyarakat yang hangus begitu saja, kenapa tidak ketika suara yang mereka
aspirasikan kepada salah satu partai politik atau calon legislatif itu tidak
masuk ambang batas parlemen maka suara mereka hangus dan tak di
anggap. Dengan mekanisme ini, tidak dapat disesalkan bila seorang wakil
rakyat terpilih lebih loyal kepada partai dibandingkan kepentingan rakyat
yang memilihnya. Persoalan ini yang akhirnya berdampak terhadap
lemahnya pertanggungjawaban anggota legislatif terhadap pemilihnya.
2. Implementasi penerapan parliamentary threshold menurut Undang-undang
Pemilu Nomor 7 tahun 2017 yang mana Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa pemberlakuan parliamentary
threshold secara nasional tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam
keberagaman, berpotensi menghalangi aspirasi politik di tingkat daerah
serta bertentangan dengan kebhinekaan dan kekhasan aspirasi politik yang
beragam di setiap daerah. Dengan diberlakukannya parliamentary
threshold secara nasional, maka dapat mengurangi, membatasi, dan
menghilangkan hak berpolitik masyarakat di daerah. Karena bisa jadi suatu
partai politik tidak lolos parliamentary threshold secara nasional, namun di
beberapa daerah partai politik tersebut memperoleh suara cukup signifikan
atau bahkan menjadi peraih suara mayoritas. Tentunya, hal ini bertentangan
dengan prinsip kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas.

54
55

B. Rekomendasi
Menurut pembahasan yang sudah dilakukan, penulis bisa memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Kepada Partai Politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan
agar melakukan kajian mengenai ambang batas parlemen (parlementary
threshold) agar sesuai dengan teori kedaulatan rakyat, dan hal ini sangat
penting agar benar-benar dikaji ulang, mengkaji bukan hanya untuk
kepentingan partai politik dan para anggota DPR yang duduk di parlemen,
melainkan untuk kepentingan rakyat.
2. Kepada Lembaga Legislatif diharapkan harus mempunyai Grand design,
dalam penentuan ambang batas parlemen, agar tidak banyak orang yang
dirugikan dan bukan hanya menguntungkan partainya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rujukan Buku
Ahmadi, Muhammad Fahmi dan Aripin, Jenal. Metode Penelitian Hukum. Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010.
Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 2004.
Erfandi Parliamentary Threshold dan HAM dalam Hukum Tata Negara Indonesia.
Setara Press, Malang, 2014.
Fahmi, Khairul. Pemilihan Umum Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Raja Grafindo,
2011.
Huda, Ni’matul dan Nasef, Imam. Penataan Demokrasi Dan Pemilu DiIndonesia
Pasca Reformasi. Jakarta: Kencana, 2017.
I Wayan Gede Suacana. Budaya Demokrasi dalam Pemerintahan Desa di Bali.
Jawa Timur: Qiara Media, 2020.
Ibrahim, Johni. Teori dan Metodologi Hukum Normatif . Malang: Bayu Media
Publishing, 2007.
Ilmi, Khairul. Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta, Rajawali Pers,
2012.
Kuswanto. Konstitusionalitas Penyederhanaan Partai Politik Malang: Setara
Press, 2016.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2015.
Sardini, Nur Hidayat. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Yogyakarta: Fajar media Press, 2011.
Sularto. Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi . Jakarta, Buku Kompas,
2001.
Syamsuddin Haris. Partai, Pemilu dan Parlemen Era Reformasi Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Wiratama, I made Leo. dkk. Panduan Lengkap Pemilu 2019. Jakarta: Formappi,
2018.

56
57

Rujukan Jurnal
Alexsander, Jeffry, “Memaknai Hukum Negara dalam Bingkai Negara Hukum ”,
Volume 1 Nomor 1, 2015.
Fahmi, Khairul. “Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan Sistem Pemilihan
Umum Anggota Legislatif ” Jurnal Konstitusi, Vol. 7. 2010
Firdaus, Sunni Ummul, “Relevansi Parliamentary Threshold Terhadap Pelaksanaan
Pemilihan Demokratis” Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No 2, 2010.
Hadi, I Gusti Ayu Apsari dan Desak Laksmi Brata, ” Pengaruh Penentuan
Parliamentary Threshold dalam Pemilu Legislatif dan Sistem Presidensial di
Indonesia” Jurnal Kertha Patrika, Vol. 42, No. 1, 2020.
Patawari “Hakikat Kedaulatan Rakyat Dalam Pemilihan Umum Legislatif di
Indonesia “ Vol. 9, 2014.
Ridho, Faisal, Mohamad “Kedaulatan Rakyat Sebagai Perwujudan Demokrasi
Indonesia’ ADALAH, Buletin Hukum dan Keadilan, Vol. 1, No. 8e, 2017.
Rokhim, Abdul “Pemilihan Umum Dengan Model “Parliamentary Threshold”
Menuju Pemerintahan Yang Demokratis Di Indonesia” DIH, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 7, No. 14, 2011.
Sholahuddin Al-Fatih “Implementasi Parliamentary Threshold Dalam Pemilihan
Anggota Dprd Provinsi Dan Dprd Kabupaten/Kota” Jurnal Ahkam, Vol. 6,
No. 2, 2018.
Simarmata, Markus H. “Mencari Solusi Terhadap Keraguan Sistem Pemilihan
Umum Yang Tepat Di Indonesia” Jurnal Legilasi Indonesia, Vol. 14, No. 03,
2017.
Sodikin, “Kedaulatan Rakyat dan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konteks
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Cita
Hukum, Vol. 2, No. 1, 2014.
Thalhah, HM. “Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif
Pemikiran Hans Kelsen ”, Vol. 16. No. 3, 2009.
58

Rujukan Skripsi
Anisah, Teta. “Dinamika Pengaturan Parliamentary Threshold Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Skripsi S1 Fakultas Hukum
Universitas Lampung 2019.
Mulyana, Andika Mei “Peran Pemilihan Umum Dalam Membangunkesadaran
Berorganisasi Mahasiswa” skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Pasundan Bandung 2016.
Salim, Moh Ibrahim “Pemberlakuan Parliamentary Threshold Dalam Sistem
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Di Indonesia” skripsi S1 Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang, 2013.
Andika Mei Mulyana “Peran Pemilihan Umum Dalam Membangun kesadaran
Berorganisasi Mahasiswa” skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Pasundan Bandung, 2016.

Rujukan Internet
https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/05/21/03483081/penetapan-kpu-9-
parpol-lolos-parlemen-pdi-p-unggul di akses pada jam 19.15 wib 25 oktober
2019
https://salamadian.com/lembaga-legislatif-yudikatif-eksekutif/ di akses pada jam
16.18 wib 2 november 2019

Anda mungkin juga menyukai