Anda di halaman 1dari 79

BATASAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM MEDIA SOSIAL

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh

Bimas Zulfikri

11180430000077

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2023 M/1444 H
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
BATASAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM MEDIA SOSIAL
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:

Bimas Zulfikri
NIM: 11180430000077

Dosen Pembimbing

Mufidah, S.H.I,. M.H.


NIDN. 2101018604

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444 H/ 2023 M
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Bimas Zulfikrin

NIM : 11180430000077

Program Studi :Perbandingan Madzhab

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan asli hasil karya saya sendiri yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar starata (satu) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku.

Jakarta, 22 Mei 2023

Bimas Zulfikri
11180430000077
ABSTRAK
Bimas Zulfikri. NIM 11180430000077. BATASAN KEBEBASAN
BEREKSPRESI DALAM MEDIA SOSIAL PERSPEKTIF UNDANG-
UNDANG DAN HUKUM ISLAM. Program Studi Perbandingan Madzhab,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1444 H/2023 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan Batasan kebebasan berekspresi
dalam media social yang diatur dalam undang-undang dan hukum islam. Sehingga
peneliti merumuskan masalah terhadap penelitian ini sebagai berikut: 1)
Bagaimana undang-undang dan hukum islam dalam mengatur kebebasan
berekspresi dalam media social? 2) Bagaimana Batasan kebebasan berekspresi
dalam menurut yang diatur dalam undang-undang dan hukum islam.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu metode
penelitian hukum terhadap aturan hukum yang tertulis, yaitu melalui kajian
informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan
dipublikasikan secara luas, dan dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan, buku-buku, jurnal, dokumen, dan kitab-kitab fikih yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi memiliki
payung hukum konstitusi tepatnya dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 28E ayat (3), namun dari kebebasan berekspresi
tersebut tentunya memiliki Batasan Batasan, Rescou Pond mengatakan bahwa
setiap orang itu memiliki kehendak dan kebebasan, namun bila kebebasannya itu
sampai menggangu orang lain, maka kebebasannya pun harus dibatasi. UU No 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mengatur pembatasan tersebut
yang diperkuat dalam UU No 12 Tahun 2005 Tentang ICCPR (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dalam pasal 19 ayat (3) dan pasal
20 dikatakan bahwa pembatasan kebebasan itu diberikan kepada dua perkara yaitu
demi menjaga reputasi orang lain dan demi ketertiban nasional, ketertiban umum,
dan juga Kesehatan atau moral public. Negara juga tidak diperbolehkan
melanggar hak itu sendiri. Serta dipertegas oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui media
digital, yang menegaskan sikap seorang muslim yang seharusnya serta memiliki-
memiliki Batasan yang sebagaimana ditentukan dalam syariat.

Kata Kunci : Batasan, Kebebasan Bekespresi, Media Sosial


Pembimbing : Mufidah, S. H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d 2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam
Allah SWT atas kehendakNya penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini
menjadi sebuah skripsi yang berjudul Batasan Kebebasan Berekspresi Dalam
Media Sosial Perspektif Undang-Undang dan Hukum Islam. Shalawat
berbingkiskan salam selalu tercurahkan kepada baginda agung nabi Muhammad
SAW, beserta keluaga, para sahabat serta seluruh pengikutnya yang senantiasa
menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun sehingga dapat berguna baik untuk penulis sendiri dan
masyarakat pada umumnya. Disamping itu, tidak sedikit hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, namun selalu ada jalan keluar dan kemudahan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan meskipun bukan di waktu yang tepat, tentunya hal
ini tidak terlepas dari orang-orang yang membantu dan memberikan motivasi dan
bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikian dengan kesempatan yang berharga ini, penulis ingin


menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Zulrahman Batubara dan Ibunda


Tiorba Sari Harahap yang telah merawat, mendidik dan menyayangi
sepenuh hati, serta kedua adik tercinta Muhammad Faisal Batubara dan
Adelia Putri Sari Batubara.
2. Ibu Mufidah, S.H.I., M.H. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
3. Ibu Ummu Hanah Yusuf Saumin, M.A. selaku dosen penasehat akademik
yang telah membimbing penulis dalam menimba ilmu di Fakultas Syariah
dan Hukum.
4. Ibu Siti Hana, Lc., M.A. selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab.
5. Bapak Dr. Muhammad Maksum, M.A., M.D.C. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta seluruh staf Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidk,
membimbing dan memberikan ilmu yang tak ternilai harganya kepada
penulis selama masa perkuliahan yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persaty, namun tidak mengurangi rasa hormat penulis.
7. Kepala dan Staf Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Kepala Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan fasilitas dan mengizinkan penulis untuk mencari dan
meminjam buku-buku referensi dan sumber lain yang diperlukan.
8. Teman-teman penulis yang berasal dari berbagai daerah yang tinggal
Bersama dalam LKBHMI Cabang Ciputat, yang menjadi teman
berdiskusi, demo dan belajar mengaktualisasikan diri.
9. Keluaga besar Perbandingan Madzhab khususnya Angkatan 2018.
10. Teruntuk teman-teman, sahabat, dan seluruh pihak yang telah membantu
dan menemani penulis selama penyusunan skripsi.
Semoga bantuan, dukungan, arahan dan do’a yang diberikan dibalas oleh
Allah SWT dan menjadi amal kebaikan. Semoga karya penulis ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Jakarta, 22 Mei 2023

Bimas Zulfikri
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI......................................2

LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................4

ABSTRAK..............................................................................................................5

KATA PENGANTAR............................................................................................6

BAB I.....................................................................................................................11

PENDAHULUAN.................................................................................................11

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................11

B. Identifikasi Masalah.................................................................................16

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................................16

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................................17

E. Metode Penelitian......................................................................................18

F. Review Studi Terdahulu...........................................................................19

G. Sistematika Penulisan...........................................................................23

BAB II...................................................................................................................24

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................24

A. Kerangka Teori.........................................................................................24

1. Aspek Dalam Kebebasan Berekspresi.....................................................24

2. Teori Hak Asasi Manusia........................................................................27

3. Sumber Hukum Islam..............................................................................35

B. Teori Konseptual.......................................................................................41

1. Kebebasan Berekspresi............................................................................41

2. Media Sosial................................................................................................42

BAB III..................................................................................................................45

FENOMENA KEBEBASAN BEREKSPRESI DI MEDIA SOSIAL..............45


A. Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Demokrasi.................................45

B. Pengaruh Globalisasi dengan Pemanfaatan Media Sosial....................48

C. Media Sosial dengan Fenomena Masyarakat.........................................51

BAB IV..................................................................................................................58

PANDANGAN UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM TERHADAP


KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM MEDIA SOSIAL...........................58

A. Regulasi Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dalam Undang-


Undang..............................................................................................................58

B. Kebebasan Berekspresi Menurut Hukum Islam....................................59

C. Analisis Kebebasan Berekspresi dalam Media Sosial...........................69

BAB V....................................................................................................................75

PENUTUP.............................................................................................................75

A. Kesimpulan................................................................................................75

B. Saran..........................................................................................................76

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................78
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, democratia. Plato
sering disebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah
democratia tersebut. Demos berarti rakyat, dan kratos berarti
pemerintahan. Demokrasi menurut Plato kala itu adalah adanya sistem
pemerintahan yang dikelola oleh para filosof. Hanya para filosoflah yang
mampu melahirkan gagasan dan mengetahui bagaimana memilih antara
yang baik dan yang buruk untuk masyarakat. Belakangan diketahui
sebetulnya yang diinginkan oleh Plato adalah sebuah aristokrasi. 1 Secara
sederhana demokrasi merupakan sebuah sistem yang menempatkan rakyat
pada pemegang kekuasaan tertinggi. KBBI mendefinisikan bahwa
demokrasi adalah (bentuk atau system) pemerintahan yang seluruh
rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya;
pemerintahan rakyat. Sedangkan para tokoh beragam pendapat, Abraham
Lincoln mantan presiden amerika serikat berpendapat bahwa demokrasi
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan di Eropa Barat pada


permulaan abad ke-16 muncul negara-negara nasional (national state)
dalam bentuk yang modern, maka Eropa Barat mengalami beberapa
perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki
zaman yang lebih modern dimana akal dapat memerdekakan diri dari
pembatasan pembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissance2 (1350-
1650) yang sangat berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, praktik
demokrasi mula mula yang terjadi di sini kira-kira sama waktunya dengan
yang terjadi di Yunani. Kalau orang Yunani mengatakannya sebagai polis
atau negara-kota, orang Romawi menyebut sistem pemerintahan mereka
1
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 228
2
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi h. 22
sebagai republik. Maknanya, res dalam bahasa Latin berarti kejadian atau
peristiwa, dan publicus berarti publik atau masyarakat. Jika dimaknai
secara bahasa maka kata republik itu adalah sesuatu yang menjadi milik
rakyat.3

Sistem demokrasi adalah suatu system, cara atau metode mengatur


kekuasaan negara yang tidak mudah disalahgunakan dalam
pelaksanaannya, dimana garis besar daripada sistem tersebut ialah adanya
pembagian dan pembatasan wewenang kekuasaan pada setiap pejabat
penguasanya selaku penguasa negara, dengan mengadakan pembagian
kekuasaan negara atas beberapa bidang kekuasaan, guna mencegah adanya
dominasi atau monopoli kekuasaan yang dapat membuat pejabat
penguasanya itu berubah menjadi absolut dan kemudian bersikap otoriter,
karena sistem kekuasaan absolutlah yang merupakan sistem kekuasaan
negara yang memudahkan para pejabat penguasanya untuk melakukan
penyalahgunaan jabatan seperti korupsi, manipulasi, kolusi, dan nepotisme
serta untuk bertindak zhalim terhadap masyarakat atau rakyat.4

Pilar dalam demokrasi yang menjadi tolak ukur system yang


diterapkan berbentuk demokrasi atau tidak, ialah terletak pada
penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat
maupun berekspresi yang dijamin oleh pemerintah, serta menjadi
penyeimbang atau kritik terhadap rakyat atas perilaku pejabat yang
membuat kebijakan secara sewenang-wenang.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan kebutuhan


akan aktualisasi diri. Keinginan untuk mengekspresikan diri muncul
sebagai konsekuensi logis dari hakikat manusia sebagai zoon politicon
(makhluk sosial) yang mana dalam menjalin komunikasi dengan
sesamanya pasti berdasar pada bentuk ekspresi personalnya. Menurut

3
Saiful Arif dan Heri Setiyono, Sejarah & Budaya Demokrasi, Manusia Berstatus Warga
dalam Kehidupan Beberapa Negara, (Malang: Averroes Press, 2013), h. 4
4
P. Sharma, Sistem Demokrasi yang hakiki, (Jakarta: Yayasan Menara Ilmu, 2004), h. 217
Abraham Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan yang puncaknya
adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri atau dengan kata lain
menampilkan ekspresinya dimuka umum.5 Terkait kebebasan, ada
ungkapan John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke-17 yang gigih
memperjuangkan kebebasan dan menegaskannya dalam kehidupan
bermasyarakat, ia mengakatakan “Semakin luas kebebasan berekspresi
dibuka dalam sebuah masyarakat atau peradaban maka masyarakat atau
peradaban tersebut semakin maju dan berkembang.6

Kebebasan berekspresi dapat diartikan sebagai pandangan bahwa


setiap orang memiliki hak alami untuk mengekspresikan diri mereka
termasuk kebebasan berpendapat tanpa intervensi, mencari, menerima dan
berbagi informasi serta ide melalui media apapun dan tanpa takut
memandang batas negara serta tanpa rasa takut terhadap pembalasan. 7
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak asasi manusia
yang menjadi ciri negara demokrasi, namun demikian, hak tersebut harus
dibatasi dengan kepentingan hukum orang lain.

Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa substansi dari demokrasi


sejaran dengan prinsip-prinsip islam, sehingga antara islam dan
demokrasi tidak perlu dipertentangkan. Baginya, inilah demokrasi yang
sesungguhnya karena memberikan bentuk dan praktek yang bervariasi
sesuai kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti, pemilihan umum,
menjamin kebebasan pers, rakyat diberi kesempatan dan kebebasan untuk
memilih dan mengkritik pemimpinnya, dan mereka juga dapat menolak
penguasa yang menyimpang dengan konstitusi mereka. Demokrasi
semacam ini yang menurut Yusuf Qordhawi sejalan dengan islam. 8 Tokoh
yang termasuk dalam pandangan ini di antaranya: Muhammad Abduh
5
C.George Boeree, 2008, General Psychology, Prismasophie, Yogyakarta, h.133
6
Hamid Basyaib, 2006, Membela Kebebasan, Freedom Institute, Jakarta, h. 147
7
UNESCO, Glosarium Toolkit Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi tentang
kebebasan berekspresi, h.77.
8
Yusuf Qardhawi, Fiqih Negara: Ijtihad Baru seputar Sistem Demokrasi Multipartai,
Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan, Partisipasi dalam Pemerintahan Sekular, terj. Syarif
Halim (Jakarta: Rabbani Press, 1999), hlm. 167
(1845-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), Syaikh Muhammad Syaltut, Ali
Abd Al-Razzaq (1888-1966), Khalid Muhammad Khalid, Muhammad
Husain Haikal, Toha Husain (1891), Zakaria Abd Mun’im Ibrahim Al-
Khatib Mahmud Aqqad, Muhammad Imarah dari Mesir, Sadek Jawad
Sulaiman dari Oman, Mahmoud Mohamed Taha dan Abdullahi Ahmad
Al-Na’im dari Sudan, Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran, Abbasi
Madani dari Aljazair, dan Hasan Al-Hakim dari Uni Emirat Arab, Fazlur
Rahman-pemikir Pakistan yang menetap di Amerika Serikat, dan
beberapa pemikir dari Indonesia, seperti Abdurrahman Wahid dan
Nurcholis Madjid.9

Hak atas kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak yang


sesuai dengan prinsip demokrasi dan hukum islam, dimana mencakup
kebebasan untuk menyampaikan opini/ pendapat, pandangan atau gagasan
tanpa adanya intervensi/campur tangan, hak untuk mencari, menerima dan
menyampikan informasi, melalui media apapun, tanpa memandang batas-
batas wilayah. Kebebasan ini dilakukan baik secara lisan, tulisan/cetak,
dalam bentuk seni/budaya, atau melalui media lain yang dipilihnya.10

Salah satu media berekspresi yang paling banyak digunakan


manusia modern adalah internet. Media ekspresi di internet berupa blog
pribadi, akun jejaring sosial, forum diskusi, dan lain-lain. Lahirnya
internet memudahkan kita semua untuk bekerja, berkomunikasi,
menghasilkan uang, mempelajari hal baru, mendapatkan berita dunia,
mempererat silaturrahmi, hingga mencari teman. Semua orangpun lantas
bebas mengemukakan pendapatnya di internet, termasuk keluh kesah
mereka terhadap sesuatu hal. Bertukar pikiran melalui internet relatif
lebih mudah dilakukan karena setiap orang bebas untuk menampilkan
identitas dirinya. Informasi yang berkembang di internet saat ini menjadi

9
Idris Thaha, Demokrasi Religius, hlm. 44
10
Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan Berekspresi
di internet, (Jakarta: ELSAM, 2013), h. 17.
salah satu tolak ukur kemajuan berpikir manusia modern yang perlu
mendapatkan perhatian.

Dewasa ini kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah
hoax, drama, penipuan, ataupun fenomena sejenis lainnya. Meningkatnya
aktivitas berselancar ria di dunia maya memungkinkan viralnya informasi
yang belum tentu kebenarannya. Berdasarkan laporan We Are Social,
pengguna aktif media sosial di Indonesia telah mencapai 73,7% dari total
penduduk per Januari 2022 atau sekitar 201,57 juta penduduk.
Peningkatan jumlah pengguna aktif media sosial seiring dengan
pertumbuhan penduduk yang telah mengadopsi internet di Indonesia yang
telah mencapai 68,9% pada tahun 2022.

Pengguna media sosial cenderung mudah terpengaruh oleh


informasi yang beredar. Entah terpancing untuk ikut berdebat hal yang
tidak jelas, kontroversi, teori-teori konspirasi antah berantah, hingga hate
speech. Sebut saja perdebatan kaum bumi datar dan bentuk-bentuk
lainnya, kelompok anti vaksinasi, perdebatan urusan rumah tangga artis,
hingga informasi khas dari whatsapp group keluarga. Semua orang
memang punya pendapat dan sudut pandang masing-masing. Tetapi apa
jadinya jika pendapat itu benar-benar salah dan malah menyesatkan orang
lain? Kebanyakan pengguna media sosial merasa sah-sah saja untuk
menyampaikan kebenaran versi mereka. Toh sah-sah saja kan, lagipula ada
tameng “kebebasan berpendapat” yang bisa melindungi. Dalam hal ini,
tiap orang bisa saja merasa paling ahli dalam segala hal bermodalkan
searching pada laman yang belum tentu valid juga. Mereka cenderung
menolak untuk menerima pendapat lain yang menyalahi pendapatnya.
Apalagi saat mereka merasa telah merasa melakukan research yang
biasanya hanya mengandalkan berita atau tulisan di blog pribadi.

Maka dari latar belakang yang telah penulis paparkan, maka


penulis mengangkat judul skripsi penulis mengenai BATASAN
KEBEBASAN BER-EKSPRESI DI MEDIA SOSIAL PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, telah teridentifikasi
permasalahan bahwa pada hakikatnya kebebasan merupakan salah satu
prinsip dari demokrasi dan hukum islam. Fenomena yang terjadi di
Indonesia adalah banyak kebebasan berekspresi yang sesuai dengan
demokrasi yang dikebiri oleh oknum apparat penegak hukum. Sehubung
dengan masalah diatas, maka penulis merumuskan identifikasi masalah
sebagai berikut:
a. Bahwa demokrasi melalui instrument undang-undang memuat tentang
nilai-nilai kebebasan, yang menjadi sebab untuk kebebasan berekspresi
harus di lindungi oleh instrument undang-undang. Faktanya, banyak
orang yang mengutarakan ekspresinya di media social justru di
kriminalisasi dalam negara demokrasi
b. Bahwa dalam islam terdapat nilai-nilai etik tentang kebebasan
berekspresi, yang menjadi landasan seorang muslim bebas berekspresi.
c. Bahwa belum ada regulasi yang menyebutkan secara khusus
pembatasan yang spesifik mengenai kebebasan berekspresi yang
menjadi ruh demokrasi.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang telah disebutkan diatas, maka
dibutuhkan pembatasan masalah supaya penelitian ini lebih terarah,
sempurna, dan lebih mendalam, maka penulis disini memandang
bahwa permasalahan penelitian yang diangkat ini harus dibatasi. Oleh
sebab itu penulis disini membatasi hanya berkaitan dengan batasan
kebebasan berkespresi perspektif undang-undang dan hukum islam.
2. Perumusan Masalah
Setelah mengidentifikasi masalah dan membatasi masalah, maka
rumusan dari masalah ini adalah:
a. Bagaimana undang-undang dan hukum islam dalam mengatur
kebebasan berekspresi dalam media social?
b. Bagaimana Batasan kebebasan berekspresi dalam media social
menurut undang-undang dan hukum islam?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui undang-undang dan hukum islam dalam mengatur
kebebasan berekspresi di media social.
b. Mengetahui Batasan kebebasan berekspresi dalam media social
menurut undang-undang dan hukum islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Adanya penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan
manfaat berupa:
1. Memperkaya khazanah keilmuan hukum terkait kasus
kebebasan berekspresi dalam media social menurut undang-
undang dan hukum islam.
2. Memperkaya pengetahuan dan informasi terkhusus akademisi
Syari’ah dan Hukum mengenai pembatasan kebebasan
berekspresi dalam media social menurut undang-undang dan
hukum islam.
b. Manfaat Masyarakat
Adanya penelitian ini secara praktis diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai bahan pertimbangan serta sumbangan
pemikiran untuk dijadikan sebagai sumber referensi bagi
masyarakat umum yang masih minim pengetahuan dalam
khazanah keislaman, khususnya tentang ketentuan hukum
mengenai pembatasan kebebasan berekspresi dalam media social
menurut undang-undang dan hukum islam.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian ini merupakan kreativitas peneliti dalam
mengumpulkan data secara ilmiah tanpa keluar dari prinsip-prinsip yang
telah ditentukan dalam sebuah penelitian untuk tujuan dan kegunaan
tertentu
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan kualitatif. Jenis penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang tidak diperoleh melalui prosedur
statistic atau bentuk hitungan lainnya.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan model
normative atau pendekatan doktrinal, yaitu penelitian terhadap hukum
yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut oleh
pembuat konsep, dengan menggunakan dokumen atau bacaan. Penelitian
normatif dilakukan dengan cara meneliti kepustakaan.11
1. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data primer, yang
dilakukan dengan mencari, menginventarisasi, mencatat, dan
mempelajari perundang-undangan serta hukum yang berkaitan dengan
obyek penelitian penulis.
b. Dokumentasi
Metode ini merupakan menelaah bahan-bahan yang diambil dari
dokumentasi dan berkas.
2. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu data-data
yang ada disusun menjadi suatu kalimat. Metode ini bertujuan untuk
memberi gambaran secara sistematis fakta dan karakteristik obyek dan
subyek yang diteliti secara tepat.

11
Soerjono dan Sri Muadji, penlitian hukum normatif, Cet.II, (Jawa timur: Baymedia
publishing,2006) hlm.321
3. Sumber Data
1) Data Hukum Primer
Data primer adalah dokumen asli penelitian yang dikumpulkan dari
kondisi aktual dimana Ketika peristiwa itu terjadi, maka dinamakan data
primer.
2) Data Hukum Sekunder
Data sekunder adalah buku-buku lain yang menunjang materi yang
dibahas. Data ini diperoleh dengan menggunakan studi literatur yang
dilakukan terhadap banyak buku yang berupa buku referensi, jurnal-jurnal,
dan sumber-sumber lain yang akurat untuk dijadikan referensi.
3) Data Hukum Tersier
Data tersier adalah data yang digunakan untuk melengkapi bahan
hukum primer dan sekunder, diantaranya Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), internet dan informasi lainnya.
F. Review Studi Terdahulu
Penelitian terkadang memiliki kesamaan terhadap penelitian
lainnya, sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitiaan
ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah terlebih
dahulu membahas terkait kebebasan berekspresi, yaitu:
Pertama, penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan
dengan tema yang penulis teliti yaitu berjudul Kebebasan Berpendapat
dan Berekspresi di Media Sosial dalam Perspektif Yuridis dan Fikih
Siyasah, skripsi karya Sumiati, Program Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin pada
tahun 2022. Dalam penelitian ini Menurut perspektif yuridis dan fikih
siyasah kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial merupakan
hak yang dimiliki setiap individu yang tidak bisa dihilangkan. Kebebasan
yang dimiliki harus digunakan untuk menyuarakan kebaikan tidak untuk
menebarkan kejahatan seperti penghinaan, penyebar ujaran kebencian,
pencemaran nama baik dan kejahatan lainnya.12
Kedua, penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan
dengan tema yang penulis teliti yaitu berjudul PERLINDUNGAN
KEBEBASAN BERPENDAPAT MELALUI MEDIA SOSIAL
DALAM UNDANG-UNDANG NO. 19 TAHUN 2016 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA, skripsi karya Haris Muabas,
Program Studi Hukum Tata Negara, Universitas Islam Negeri Sultan
Maulana Hasanudin Banten pada tahun 2018. Dalam penelitian ini
mebahas mengenai Perlindungan atas kebebasan berpendapat yang diatur
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19
Tahun 2016. Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan
berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi informsi dan komunikasi termasuk media sosial
ditunjukan untuk memajukan kesejahtraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian
hukum bagi pengguna dan penyelenggara Sistem elektronik. Dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan
melalui pemanfaatan Teknologi informasi termasuk media sosial
dilakukan dengan mempertimbangan pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatanatas hak dan kebebasan orang lain dalam suatu
masyarakat demokratis.13
Ketiga, penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan
dengan tema yang penulis teliti yaitu berjudul Fenomena Kebebasan
Berekspresi di Instagram, penelitian yang dilakukan oleh Andhika Febi
12
Sumiati, Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Media Sosial dalam Perspektif
Yuridis dan Fikih Siyasah, Skripsi Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin, Tahun 2022.
13
Haris Muabas, Perlindungan Kebebasan Berpendapat Melalui Media Sosial Dalam
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Ditinjau Dari
Persprektif Hak Asasi Manusia, Skripsi Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sultan Maulana
Hasanudin Banten, Tahun 2018.
Hardina dan Firman Kurniawan pada tahun 2021. Dalam penelitian
tersebut membahas mengenai Kebebasan berekspresi merupakan sebuah
hak masing- masing indvidu yang lahir. Namun dalam pelaksanaannya
kebebasan berekspresi bukan semata-mata bebas tanpa batasan. Segala
sesuatu tindakan baik secara lisan, mapun tulisan harus sesuai dengan
peraturan etika berkomunikasi dan norma-norma yang berlaku. Kebebasan
ekspresi yang melewati batas secara etika dan norma seakan membuat rasa
hilang kendali dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Karena
mereka lupa, pada hakikatnya manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan
yang memiliki akal dan pikiran sudah seharusnya mengedepankan akhlak
Ketika mengekspresikan gagasan dan perasaan.14
Keempat, penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan
dengan tema yang penulis teliti yaitu berjudul Analisis Tentang
Pencemaran Nama Baik dan Penyalahgunaan Hak Kebebasan
Berpendapat di Media Sosial, penelitian yang dilakukan oleh I Made
Vidi Jayananda, I Nyoman Gede Sugiartha, dan Made Minggu Widiantara
tahun 2021. Dalam penelitian tersebut membahas Pengaturan Mengenai
tindak pidana atas penyalahgunaan dari hak kebebasan berpendapat di
media sosial diatur dalam UU No, 11 Thn 2008. Yang dimana dalam UU
tersebut memaparkan mengenai hak dan kebebasan melalui penggunaan
dan pemanfaatan teknologi itu sendiri harus dilakukan dengan
mempertimbangkan pembatasan dari ketentuan Undang-Undang dan
memperhatikan kepentingan orang dalam penyampaian pendapar di media
sosial. Undang -Undang ini diharapkan agar dapat menjamin pengakuan
dan penghormatan dari setiap warga negaea atas Batasan terhadap
kebebasan dalam berekspresi di media sosial agar tidak merugikan
individu tertentu ataupun kelopok dan organisasi tertentu. Sanksi pidana
terhadap tindak pidana pencemaran nama baik telah ditetapkan dalam
KUHP terutama dalam pasal 310 ayat (1) yang dimana didalamnya

14
Andhika Febi Hardina dan Firman Kurniawan, Fenomena Kebebasan Berekspresi di
Instagram, Jurnal Komunikasi & Bahasa Volume 2, Nomor 1, Juli 2021
berisikan ketentuan hukum bagi para pelaku tindak pidana pencemaran
nama baik, hukumannya berupa kurungan penjara selama 9 bulan dan
denda yang harus dibayarkan sebesar empat ribu lima ratus rupiah. Dan
jika tindak pidana pencemaran nama baik tersebut dilakukan di media
sosial maka dapat dituntut melalui Undang-Undang No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada pasal 45 ayat (3) dengan
ancaman kurungan selama 6 tahun penjara dan denda sebesar satu miliar
rupiah. Sebaiknya UU No. 11 Thn 2008 perlu dilakukan revisi atau
perbaikan terutama dalam pasal-pasal yang menyangkut mengenai
penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial, dikarenakan
banyak pasal yang memiliki makna ganda didalamnya.15
Kelima, penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan
dengan tema yang penulis teliti yaitu berjudul Kebebasan Berekspresi di
Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia, penelitian
karya Della Luysky Selian dan Cairin Melina pada tahun 2018. Penelitian
tersebut menjelaskan Dalam sistem politik demokratis watak hukum yang
dihasilkan bersifat responsif dan akomodatif. Substansi hukum yang
tertuang di dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu ukuran
penegakan hukum. Dalam sistem tersebut terjalin komunikasi serasi antara
opini publik lewat wakil-wakilnya, juga media massa, agamawan,
cendekiawan, dan LSM dengan pemerintah. Semua warga negara
mempunyai kedudukaan yang sama di depan hukum.
Penguasa/Pemerintah di dalam menjalankan roda pemerintahannya lewat
keputusan dan kebijakan yang ditempuh, memiliki kekuasaan,
kewenangan, kekuatan, serta fasilitas yang dipakai sebagai alat/sarana,
baik dalam menjalankan tugas maupun menyelesaikan konflik yang ada.
Politik hukum yang dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar suatu
negara merupakan pedoman utama serta pilihan yang harus dilaksanakan
15
I Made Vidi Jayananda, I Nyoman Gede Sugiartha, dan Made Minggu Widiantara,
Analisis Tentang Pencemaran Nama Baik dan Penyalahgunaan Hak Kebebasan Berpendapat di
Media Sosial, Jurnal Analogi Hukum, Vol. 3 No. 2, September 2021
oleh para pejabat negara. Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah
atau prinsip-prinsip demokrasi pada setiap kegiatan politik kenegaraan.
Tujuanya adalah terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan
demokrasi.16
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah permasalahan secara sistematis dan terarah dalam
penulisan skiripsi ini, maka akan diurauikan sistematika penulisannya,
yaitu pembahasannya dibentuk dalam bab-bab dimana setiap bab
mengandung sub bab, sehingga dengan jelas dipahami keterkaitannya.
Adapun pembahasannya sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat penjelasan
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka
teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Bab ini merupakan kerangka teoritik mengenai tinjauan umum
tentang teori kebebasan berekspresi, undang-undang, dan hukum islam.
BAB III: Bab ini membahas kaitan hukum mengenai kebebasan
berekspresi dalam media social menurut undang-undang dan hukum islam.
BAB IV: Bab ini merupakan pembahasan inti, yaitu Batasan kebebasan
berekspresi dalam media social menurut undang-undang dan hukum islam.
BAB V: Bab ini membahas tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran

16
Della Luysky Selian dan Cairin Melina, Kebebasan Berekspresi di Era Demokrasi:
Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia, Lex Scientia Law Riview, Vol. 2 No. 2, November 2018,
h 189-198.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Aspek Dalam Kebebasan Berekspresi
Sejarah modern dari kebebasan berekspresi di mulai pada abad ke-
14 dimana percetakan mulai berkembang di Eropa. Perlindungan
pertama di dunia terhadap hak untuk bebas berekspresi diberikan oleh
amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat pada abad ke-18.
Perjuangan selanjutnya setelah amandemen pertama adalah kesulitan
untuk mendefinisikan arti dari kebebasan berekspresi, yang
menyebabkan munculnya berbagai masalah. Tiga topik utama dalam
setiap perdebatan mengenai kebebasan berekspresi adalah
bagaimanakah wewenang pemerintah dalam membatasi kritik atau
serangan dari masyarakat. Wewenang pemerintah untuk memberi
klasifikasi terhadap terbitan pers, dan wewenang pemerintah untuk
melarang publikasi mengenai ide atau informasi yang diyakini
memberi dampak buruk bagi masyarakat.
Terdapat dua konsepsi kebebasan yang nantinya menjadi dasar
berkembangnya gagasan mengenai demokrasi yakni sebagai berikut:
a. Kebebasan dapat didefinisikan sebagai kebebasan sebagai individu
untuk melakukan apapun yang ingin dilakukann dan tidak ada
bentuk pembatasan.
b. Kebebasan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, untuk
mengembangkan diri dan realisasi diri dan untuk memiliki peran
dalam pemerintahan.17
Amien Rais sendiri menyatakan bahwa terdapat 10 kriteria
demokrasi yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Salah satunya
adalah pemenuhan terhadap empat macam kebebasan, yakni:
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan
17
Aidul Fitriciada Azhari, 2005 Menemukan Demokrasi, UMS PRESS, Surakarta, h.66-67
berkumpul, dan kebebasan beragama. jikalau rakyat sudah tidak boleh
berbicara atau mengeluarkan pendapat, maka itu pertanda tiadanya
demokrasi.18 Menurut Melvin I. Urofsky, terdapat prinsip-prinsip dasar
yang harus ada dalam setiap bentuk demokrasi. Prinsip-prinsip yang
telah dikenali dan diyakini sebagai kunci untuk memahami bagaimana
demokrasi bertumbuh kembang antara lain sebagai berikut:
1. Prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
2. Pemilihan umum yang demokratis.
3. Federalisme, pemerintahan negara bagian dan local.
4. Pembuatan undang-undang.
5. Sistem peradilan yang independen.
6. Kekuasaan lembaga kepresidenan.
7. Peran media yang bebas.
8. Peran kelompok-kelompok kepentingan.
9. Hak masyarakat untuk tahu.
10. Melindungi hak-hak minoritas.
11. Kontrol sipil atas militer.19
Suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya
dapat menilai kinerja pemerintahannya. Dalam memenuhi kebutuhan
kontrol dan penilaian itulah warga semestinya memiliki semua
informasi yang diperlukan tentang pemerintahnya. Tidak sebatas itu,
syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan informasi tersebut,
dan kemudian mendiskusikan antara satu dengan yang lainnya.
Kebebasan untuk menyampaikan pendapat mencakup hak untuk
mencari, menerima dan menyebarkan gagasan serta informasi sudah
direfleksikan oleh Pasal 19 International Covenant on Civil and
Political Rights. Kebebasan ini merupakan suatu hak yang memiliki
banyak sisi yang menunjukan keluasan dan cakupan hukum hak asasi
manusia internasional kontemporer. Penyampaian pendapat di lindungi
18
Krisna Harahap, 2003, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia. Grafiti
Kuntjoro,Bandung, h.73
19
Larry Alexander, 2005, Is There A Right to Freedom of Expression, New York, h. 136.
dalam bentuk verbal maupun tertulis di berbagai medium seperti seni,
kertas (buku) dan internet.20
Indonesia telah meratifikasi ketentuan tersebut sehingga
perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi
merupakan tanggung jawab negara. Pengakuan, perlindungan dan
pemenuhan kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur secara
konstitusional dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (2) UUD 1945
menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya.21 ”Dalam ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pada pasal 28F
UUD 1945, menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Ketentuan mengenai kebebasan ini diatur pula dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum dan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
menyatakan “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap
warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan
sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” di muka
umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga
di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang. Pasal 23
ayat (2) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

20
Suparman Marzuki, Eko Riyadi (ed), 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM
UII,Yogyakarta, h. 101.
21
UUD NKRI 1945
Manusia menyatakan “Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya,
secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
2. Teori Hak Asasi Manusia

Konsepsi hak asasi manusia lahir dari sejarah panjang umat


manusia, yang terlahir dari banyak penindasan dan kesewenang-
wenangan sehingga menjadi cikal bakal terlahirnya konsep hak asasi
manusia. Perkembangan hak asasi manusia tidak akan pernah selesai
karena muara tersebut terdapat peradaban manusia itu sendiri.

Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat secara inherent


pada diri manusia karena ia manusia dan menjadi satu satunya alasan
seseorang memiliki hak asasi karena ia manusia. Fokus dari hak asasi
manusia adalah martabat dan kehidupan manusia. Martabat manusia
akan terganggu Ketika mereka menjadi korban pelecehan seksual,
penyiksaan, perbudakan, termasuk jika hidup tanpa kecukupan
sandang, pangan dan papan.

Gagasan hak asasi manusia dapat ditelisik sampai jauh ke belakang


dari zaman kuno dengan filsafat stoika hingga ke zaman modern.
Kalangan ahli hukum mengatakan bahwa terdapat tiga teori utama
yang menjadi asal muasal lahirnya pemikiran hak asasi manusia, yaitu
teori hukum kodrati, positivism, dan non utilitarian.

a. Teori Hukum Kodrati

Pemikiran yang kemudian melahirkan teori hukum kodrati tidak


lepas dari pengaruh tu lisan-tulian santo Thomas Aquinas. Menurut
Aquinas, hukum kodrati merupakan bagian dari hukum Tuhan yang
dapat diketahui melalui penalaran manusia. Gagasan Aquinas
meletakan dasar-dasar mengenai hak individu yang bersifat otonom.
Setiap manusia dianugrahi identitas individual yang unik oleh Tuhan,
dan hal ini terpisah oleh Negara. Namun gagasan Aquinas menuai
banyak kritik karena tidak empiris, bagaimana kita tahu Tuhan telah
memberikan hak tertentu pada semua orang.

Hugo de Groot, atau dekenal dengan Grotius, mengembangkan


lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus asal-usulnya
yang theistic dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang
rasional. Menurut Grotius eksistensi hukum kodtrat dapat diketahui
dengan menggunakan penalaran yang benar, dan derajat kesahihannya
tidak bergantung pada Tuhan. Hukum kodrati yang merupakan
landasan hukum positif atau hukum tertulis, dapat dirasionalkan
dengan menggunakan aksional logika dan ilmu ukur. Sepanjang Abad
17, pandangan Grotius terus disempurnakan. Melalui teori ini hak-hak
individu yang subyekstif diterima dan diakui.22

Tokoh yang dianggap paling berjasa dalam meletakan dasar-dasar


teori hukum kodrati ialah John Locke dan JJ Rousseau. Dalam buku
klasiknya: “The Second Trities of Civil Government and a Letter
Concerning Toleration”, John Locke mengajukan sebuah postulasi
pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang
melekat atas hidup, kebebasasan dan kepemilikan, yang merupakan
milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh
Negara. Melalui suatu ―kontrak social‖ (social contract), perlindungan
atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan pada Negara. Apabila
penguasa Negara mengabaikan kontrak social itu dengan melanggar
hak-hak kodrati individu, maka rakyat di Negara itu bebas menurunkan
sang penguasa dan menggantinya dengan suatu pemerintah yang
bersedia menghormati hak-hak tersebut.23

22
J. A, Denny, Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, ctk. Pertama (Jakarta: Gramedia,
2013), hlm. 8
Rousseau mengikuti teori kontrak social. Tetapi berbeda dengan
Locke, Rousseau mengatakan bahwa hukum kodrati tidak menciptakan
hak-hak kodrati individu, melainkan hak kedaulatan warga Negara
sebagai suatu kesatuan. Setiap hak yang diturunkan dari suatu hukum
kodrati aka nada pada warga Negara sebagai satu kesatuan yang bisa
diidentifikasi melalui kehendak umum (general will).24 Gagasan Locke
mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi
hak dalam revolusi Inggris Amerika Serikat, dan Prancis pada Abad
ke-17 dan ke-18. Teori hukum kodrtati melihat hak asasi lahir dari
Tuhan sebagai bagian dari kodrat manusia. Ketika manusia lahir sudah
melekat alam dirinya sejumlah hak yang tidak dapat diganti apalagi
dihilangkan, apapun latar belakang agama, etnis, kelas social, dan
orientasi seksual mereka.

b. Teori Positivisme
Gagasan hak asasi manusia yang mendasarkan pada pandangan
hukum kodrati mendapat tantangan serius pada Abad ke-19. Ialah
Edmund Burke, seorang kebangsaan Irlandia yang resah akan Revolusi
Perancis, yang memberikan propaganda rekaan yang menakutkan
mengenai persamaan manusia‖. Burke menuduh bahwa penyusun
“Declaration of the Rihght of Man and of the Citizen” merupakan ide-
ide yang tidak benar dan harapan yang sia-sia pada manusia yang
sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah
payah.25

Jeremy Bentham menentang teori hukum kodrati habis-habisan.


Kritik terbesarnya mendasarkan bahwa teori hukum kodrati tidak bisa

23
Rhona K.M Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, ctk. Pertama (Yogyakarta: Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008), hlm 12

24
J. A, Denny, Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, ctk. Pertama (Jakarta: Gramedia,
2013), hlm. 9
25
J. A, Denny, Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, ctk. Pertama (Jakarta: Gramedia,
2013), hlm. 10
dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagi Bentham, hak
kodrati adalah anak yang tidak memiliki ayah. Karena hak barulah ada
apabila ada hukum yang mengaturnya terlebih dahulu. Menurut
Bentham, eksistensi manusia ditentukan oleh tujuan (utilitas) mencapai
kebahagiaan bagi sebagian besar orang. Penerapan suatu hak atau
hukum ditentukan oleh apakah hak atau hukum tersebut memberikan
kebahagiaan terbesar bagi sejumlah manusia yang paling banyak. 26
Setiap orang memiliki hak, tetapi hak tersebut bisa hilang apabila
bertentangan dengan kebahagiaan dari mayoritas banyak orang.
Kepentingan individu harus berada di bawah kepentingan masyarakat.
Karena pandangan yang mengutamakan banyak orang tersebut, teori
positivisme dikenal juga sebagai teori utilitarian.

John Austin mengenbangkan gagasan yang sistematis mengenai


teori positivism. Menurut Austin, satu-satunya hukum yang shahih
adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dengan disertai
aturan dan sanksi yang tegas. Dengan cara inilah suatu system yang
rasional yang terdiri dari aturan-aturan yang saling berkaitan dapat
dikonfirmasi. Dalam pandangan Austin hak barulah muncul jika ada
aturan dari penguasa yang melindungi individu dan harta benda
mereka. Dalam pandangan teori positivisme hak barulah ada jika ada
hukum yang telah mengaturnya. Moralitas juga harus dipisah secara
tegas dalam dimensi hukum. Adapun kepemilikan hak dari tiap
individui bisa dinikmati apabila diberikan secara resmi oleh penguasa
atau Negara. Dan yang paling menonjol dalam pandangan ini ialah
mempriorotaskan kesejahteraan mayoritas. Sedangkan kelompok
minoritas yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas bisa
diabaikan dan kehilangan hak-haknya.

c. Teori Keadilan

26
J. A, Denny, Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, ctk. Pertama (Jakarta: Gramedia,
2013), hlm. 10
Teori keadilan merupakan antithesis terhadap teori positivism.
Tokoh yang akan dibahas dalam teori ini adalah John Rawls, yang
terkenal dengan konsep keadilan distributive. Ada dua hal penting
dalam hal ini, yakni keadilan (fairness) dan kesamaan. Pertama, setiap
orang mepunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,
seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan
ekonomi dan social mesti diatur sedemikian rupa agar menghasilkan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka yang paling kurang
beruntung dan menyediakan suatu system akses yang sama dan
peluang yang sama. Menurut Rawls, didalam masyarakat, setiap
individu mempunyai hak dan kebebasan yang sama. Tetapi hak dan
kebebasan tersebut kerap tidak dinikmati secara sama. Sebagaimana
hak bagi setiap orang untuk memperoleh pendidikan, tetapi hak ini
tidak dapat dinikmati oleh setiap orang karena kemiskinan. Untuk
mengatasi hal tersebut, Rawls memperkenalkan asas perbedaan
(difference principle). Asas ini menyatakan bahwa distribusi
sumberdaya yang merata hendaknya diutamakan, kecuali jika dapat
dibuktikan bahwa distribusi yang timpang akan membuat keadaan
orang yang kurang beruntung menjadi lebih baik.27

Dalam pandangan Rawls, tiap orang memiliki hak yang di


dasarkan pada konsep keadilan yang tidak bisa di tawar-tawar, pun hal
tersebut terkait dengan isu kesejahteraan masyarakat secara umum.
Untuk itu, keadilan akan terwujud apabila didasarkan pada prinsi-
prinsip “posisi asali” nya masing-masing. Dalam keadaan ini tiap
orang akan diasumsikan memilih dua prinsip keadilan pokok. Prinsip
pertama, tiap orang akan diberikan hak yang sama luasnya. Prinsip
kedua adalah kesetaraan yang di dasarkan pada kompetisi yang adil
dan hanya dijustifikasi bila ia menguntungkan bagi pihak yang paling
di rugikan. Bila di antara keduanya mengalami pertentangan maka
27
John Rawls, Teori Keadilan, ctk. Pertama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 72-
77
kebebasan yang setara harus dimenangkan dari kesempatan yang
setara. Pilihan atas kedua prinsip ini, menurut Rawls, akan mengemuka
karena para pihak yang mengadakan kontrak berada dalam keadaan
tanpa pengetahuan‖ atau tidak tahu berbagai fakta yang akan
menempatkan posisi kita di suatu masyarakat.

Ketiga teori tersebut tidak memiliki perbedaan yang


signifikan,hanya pada pandangan mengenai asal muasal lahirnya hak
yang paling mendasar tersebut, namun memiliki persamaan dalam hal
pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Karena pada dasarnya konsepsi hak asasi manusia merupakan
standar minimal yang diperlukan oleh manusia agar hidup bermartabat.

Titik perkembangan paling penting dalam perlindungan dan


pengakuan hak asasi manusia ialah Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Selain sebagai
tonggak sejarah pergulatan bangsa-bangsa dalam menjamin
pemenuhan hak asasi manusia. Konsepsi hak asasi manusia yang
dituliskan dalam deklarasi tersebut mencerminkan pemikiran modern
mengenai hakikat keadilan. Dunia pada akhirnya tidak dapat berpaling
dari gagasan hak asasi manusia. Terutama di akhir Perang Dunia II,
ketika potret kemanusiaan secara vulgar tercabik-cabik mulai dari
agresi militer, kolonialisme dan tragedi kemanusiaan Holocaust, oleh
Nazi di Jerman. Dunia tersadar bahwa kekejaman terhadap
kemanusiaan tidak perlu terjadi dan tidak boleh terulang lagi dimasa
yang akan dating. Deklarasi tersebut telah mendorong lahirnya
kesadaran dan kewajiban bagi miliyaran penduduk bumi.

Prinsip Hak Asasi Manusia

a. Prinsip Universal (Universality)


Prinsip ini mengatakan bahwa semua orang, di seluruh
belahan dunia manapun, agamannya apapun, warga Negara
manapun, berbahasa apapun, etnis manapun, tanpa memandang
identitas politik dan antropologis apapun, dan terlepas dari status
disabilitasnya, memiliki hak yang sama. Penegasan akan prinsip ini
dilakukan melalui Pasal 5 Deklarasi Wina tentang Program Aksi
yang berbunyi “semua hak asasi manusia adalah universal, tak
terbagi, saling bergantung, saling terkait (all human rights are
universal, indivisibile, interdependent and interrelated).28
b. Prinsip Tak Terbagi
Prinsip ini dimaknai dengan semua hak asasi manusia
adalah sama-sama penting dan oleh karenanya tidak diperbolehkan
mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari
bagiannya‖. Setiap orang memiliki seluruh kategori hak yang tidak
dapat dibagi-bagi. Sebagai analogi, seseorang tidak bisa hanya
menerima hak politik tanpa menerima hak-hak social dan budaya.
c. Prinsip Saling Bergantung
Prinsip ini diartikan dengan jenis hak tertentu akan selalu
bergantung dengan hak yang lain. Seperti hal nya hak atas
pekerjaan akan bergantung pada terpenuhinya hak atas Pendidikan.
d. Prinsip Saling Terkait
Prinsip ini dipahami bahwa satu hak akan selalu terkait
dengan hak yang lain. Entah itu hak untuk hidup, menyatakan
pendapat, memilih agama dan kepercayaan, dan hak-hak lainnya,
adalah hak-hak yang mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya
dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia secara
keseluruhan. Dengan kata lain, tiap hak asasi terhubung dalam satu
mata rantai. Apabila satu mata rantai putus, maka hak-hak yang
lain akan terlanggar. Prinsip saling terkait mempunyai dua unsur,
yaitu saling membutuhkan (interdependence) dan saling terhubung
(interrelatedness).

28
Hari Kurniawan, et., al., Aksesibilitas Peradilan bagi Penyandang Disabilitas, ctk.
Pertama (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2015), hlm. 21
e. Prinsip Kesetaraan
Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara,
dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama,
dan dimana pada situasi berbeda dengan sedikit perdebatan maka
diperlakukan secara berbeda. Kesetaraan juga dianggap sebagai
prasyarat mutlak dalam negara demokrasi. Kesetaraan di depan
hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan akses dalam
pendidikan, kesetaraan dalam mengakses peradilan yang fair dan
lain-lain merupakan hal penting dalam hak asasi manusia. Masalah
muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi
diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama terus
diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus
walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan. Karenya
penting untuk mengambil langkah untuk mencapai kesetaraan.
Tindakan afirmatif mengizinkan Negara untuk
memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak
terwakili. misalnya, ketentuan mengenai kuota 30% keterwakilan
perempuan di parlemen. Contoh lain,dapat berupa mengizinkan
perempuan untuk diterima dibanding laki-laki dengan kualifikasi
dan pengalaman yang sama melamar, hanya dengan alasan lebih
banyak laki-laki yang melamar dilowongan pekerjaan tersebut.
Beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses
pendidikan yang lebih tinggi dengan kebijakan-kebijakan yang
membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable)
dibandingkan dengan orang-orang non-adat lainnyadalam rangka
untuk mencapai kesetaraan. Pasal 4 CEDAW dan 2 CERD adalah
contohnya. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa tindakan afirmatif
hanya dapat digunakan dalam suatu ukuran tertentu hingga
kesetaraan itu dicapai. Namun, ketika kesetaraan telah tercapai.
Maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan lagi.29
f. Tanggung Jawab Negara (state responsibility)
Prinsip ini dimaknai bahwa aktor utama yang dibebani
tanggungjawab untuk memenuhi, melindungi dan menghormati
hak asasi manusia adalah Negara melalui aparatusnya. Prinsip ini
ditulis di seluruh kovenan dan konvensi hak asasi manusia
internasional maupun peraturan domestik. Pasal 71 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 secara tegas mengatakan bahwa :
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang
diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan
lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia”.
Hak asasi manusia merupakan sistem norma internasional
yang menuntut dan merupakan standar minimal (minimum
standard) bagi negara. Standar minimal inilah yang akan digunakan
oleh komunitas internassional untuk melakukan evaluasi sekaligus
skoring terhadap sejauh mana negara tersebut telah menjalankan
kewajiban hak asasi mausia internasionalnya. Hukum hak asasi
manusia merumuskan 3 (tiga) bentuk kewajiban Negara yaitu (1)
kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) (2)
kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill) dan (3) kewajiban
untuk melindungi (obligation to protect).
3. Sumber Hukum Islam
Sumber Hukum Islam merupakan bentuk terjemahan dari lafaz
Masadir al- Ahkam yang diterjemahkan oleh ulama sekarang yang
bermaksud dalil-dalil hukum syara’ yang diambil untuk menemukan
hukum. Ulama-ulama fikh dan usul fiqh klasik menyebutnya dengan

29
Rhona K.M Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, ctk. Pertama (Yogyakarta: Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008), hlm 40
al-adillah as-Syariyyah. Sumber hukum dalam islam ada yang
disepakati ulama dan ada juga yang masih diperselisihkan. Sumber
hukum islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al-Quran, Hadis,
Ijma’ dan Qiyas.
Hukum Islam merupakan istilah dari kata “hukum” dan “islam”.
Kedua kata tersebut memiliki makna dalam Bahasa arab dan juga
Indonesia. Dalam Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ menurut Amir
Syarifudin adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yangdiberi
wewenang oleh masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya.30 Maka hukum islam akan berarti seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang tingkah laku
manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua
yang beragama Islam.31
Sedangkan hukum dalam pengertian hukum syara’ menurut
ulama usul adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan atau ketetapan. Para ahli ushul
memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum taklifi, dan
hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk
ketetapan dengan hukum wadh’i.32 kata “sumber” dalam istilah ini
hanya dapat digunakan untuk al-Quran dan sunah, karena keduanya
merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’ tetapi tidak
mungkin kata tersebut digunakan untuk ijma’ dan qiyas, ijma’ dan
qiyas merupakan cara untuk menemukan hukum. ‘Dalil” dapat
digunakan untuk al- Quran dan sunah, juga untuk ijma’ dan qiyas,
karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah.
a. Al-Quran

30
Amir Syaririfudin. Ushul Fiqh jilid 1. (Jakarta: Kencana, 2011) hlm 6.
31
Amir Syaririfudin. Ushul Fiqh jilid 1. (Jakarta: Kencana, 2011) hlm 6.
32
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih,(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 136
Kata Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata Qara'a artinya
' membaca. Bentuk mashdarnya artinya ' bacaan' dan 'apa yang tertulis
padanya'. Seperti tertuang dalam ayat Al-Qur'an : - Secara istilah
Alqur'an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai
kepada kita dengan jalan mutawatir, bila membacanya mengandung
nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas Al-Jurjani mendefinisikan Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah
(Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah tertulis dalam
mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan tidak
diragukan.

Hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an, meliputi (a)


Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan
keimanan kepada Allah swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para
Rasul Allah dan kepada hari akhirat. (b). Hukum-hukum Khuluqiyyah,
yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. manusia wajib
berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk. (c) Hukum-
hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan
manusia. Hukum amaliyah ini ada dua; mengenai Ibadah dan
mengenai muamalah dalam arti yang luas. Hukum dalam Alqur'an
yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal al-
Syakhsyiyah / ihwal perorangan atau keluarga. disebut lebih terperinci
dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa manusia memerlukan bimbingan lebih banyak dari
Allah swt dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Banyak
manusia yang menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan dan teguran,
sedang keluarga merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan
memberi warna terhadap yang lainnya.

Bidang lainnya yang bersifat umum, memberi peluang kepada


manusia untuk berpikir, tentu ini sangat bermanfaat, karena dengan
pengaturan yang bersifat umum itu Alqur'an dapat digunakan dalam
berbagai lapisan masyarakat, dan berbagai kasus dalam sepanjang
jaman. Hukum Islam memberi peluang kepada masyarakat dan
manusia untuk berubah, maju dan dinamis. Namun kemajuan dan
kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas perinsip umum Al
qur'an. Perinsip umum itu adalah Tauhidullah, persaudaraan, persatuan
dan keadilan.

b. As-Sunah

Sunnah secara bahasa berarti cara yang dibiasakan atau cara


yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai
beberapa arti: dekat, baru, berita. Dari arti-arti di atas maka yang
sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar, seperti
dalam firman Allah secara istilah menurut ulama ushul fiqh adalah
semua yang bersumber dari Nabi SAW, selain Al-Qur'an baik berupa
perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Hubungan as-sunnah dengan al qur'an dilihat dari sisi materi


hukum yang terkandung di dalamnya sebagai berikut: a. Muaqqid yaitu
menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Al-Qur'an
dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang
Shalat, zakat terdapat dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh Al-sunnah.
b. Bayan Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an
yang belum jelas, dalam hal ini ada tiga hal : (1).Memberikan
perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih mujmal, misalnya
perintah shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal, diperjelas dengan
Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan puasa. Dalam Shalat
misalnya. (2) Membatasi kemutlakan (taqyid al-muthlaq) Misalnya:
Al-Qur'an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi
berapa jumlahnya. Kemudian Al-Sunnah membatasinya. (3).
Mentakhshishkan keumuman, Misalnya: Al-Qur’an mengharamkan
tentang bangkai, darah dan daging babi, kemudian al-Sunnah
mengkhususkan dengan memberikan pengecualian kepada bangkai
ikan laut, belalang, hati dan limpa. (4) menciptakan hukum baru.
Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat, dan
burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam Al-
Qur'an.

c. Sumber Hukum Islam dan Hierarkinya

Berdasarkan penelitian menurut Abdul Wahab Khalaf telah


ditetapkan bahwa dalil syara’ yang menjadi dasar pengambilan hukum
yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-
Qur’an, as-sunah, ijma dan qiyas. Dan jumhur ulama telah sepakat
bahwa empat hal ini dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa
urutan penggunaan dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama
al-Quran, kedua as-sunah, ketiga ijma, dan keempat qiyas. Yakni bila
ditemukan suatu kejadian, pertama kali dicari hukumnya dalam al-
Quran, dan bila hukumnya ditemukan maka harus dilaksanakan. Bila
dalam al-Quran tidak ditemukan maka harus dicari ke dalam sunah.
Bila dalam sunah juga tidak ditemukan maka harus dilihat, apakah para
mujtahid telah sepakat tentang hukum dari kejadian tersebut, dan bila
tidak ditemukan juga, maka harus berijtihad mengenai hukum atas
kejadian itu dengan mengkiaskan kepada hukum yang memiliki nash. 33
Adapun dalil yang menunjukan urutan dalam menggunakan empat
dalil di atas antara lain Qs. An-Nisa: 59

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّرُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْمِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َتَناَز ْع ُتْم ِفْي َش ْي ٍء‬
‫َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّرُسْو ِل ِان ُك ْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخ ْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِوْياًل‬

Artinya: hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-


Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
33
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih,(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 14
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa:59)

Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah


tentang tingkah laku manusia mukalaf, maka dapat dikatakan bahwa
pembuat hukum adalah Allah Swt. Dengan demikian, ditetapkan
bahwa Al-qur’an itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga
sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan
petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam
sebagian ayat-ayatnya. Dalil yang diperselisihkan pemakaiannnya itu
ada enam: al-istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, madzhab
shahabiy dan syara’ manqoblana. Sehingga keseluruhan dalil syara’
ada sepuluh, empat telah disepakati penggunaannya oleh mayoritas
umat Islam, sedang enam masih diperselisihkan.

Asy-Syatibi berpendapat bahwa di dalam melakukan istinbath


hukum, tidak hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja,
tanpa memperhatikan penjabaran (syarah) dan penjelasan (bayan),
yaitu Sunnah. Sebab dalam Al-Qur’an terdapat banyak hal-hal yang
masih global, seperti keterangan tentang shalat, zakat, haji, puasa dan
lain sebagainya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok
keterangan dari sunnah.34 Adapun ijma sebagai urutan sumber hukum
selanjutnya, merupakan salah satu dalil syara yang memiliki tingkat
kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (Al-Qur’an
dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits,
yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara.35

Selanjutnya sebagai sumber hukum keempat adalah qiyas,


jumhur ulama mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-
hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an, hadits, pendapat
sahabat maupun ijma ulama. Hal itu dilakukan dengan tidak berlebihan

34
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2010) H, 151
35
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2010) h. 307
dan melampaui batas. Imam al-Muzani, salah seorang sahabat Imam
Syafi’i menyimpulkan pandangannya tentang qiyas dalam
ungkapannya: “para ahli hukum dari masa Rasulullah hingga sekarang
selalu mempergunakan qiyas dalam setiap masalah hukum agama. Dan
mereka sepakat bahwa, sesuatu yang setara dengan hak adalah hak,
dan yang setara dengan bathil, bathil pula. Maka tidakdibenarkan
seseorang mengingkari kebenaran qiyas, sebab ia merupakan upaya
mempersamakan (menganalogikan) masalah dan membandingkannya.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Ibnul Qayim mengatakan,bahwa
lintas pengambilan hukum itu seluruhnya bertitik tolak pada prinsip
persamaan antara dua hal serupa dan prinsip perbedaan antara dua hal
yang berbeda. Apabila dibalik prinsip tersebut tidak mempersamakan
antara dua hal serupa, niscaya pengambilan hukum menjadi tertutup.36

B. Teori Konseptual
1. Kebebasan Berekspresi
Dalam sejarah kebebasan berekspresi dimulai Ketika terlahirnya
Magna Carta pada 12 Juni 1215 sebagai akibat dari rasa tertekan rakyat
Inggis terhadap pemerintahan raja yang sewenang-wenang dan sama
sekali tidak memperdulikan rakyat. Hak kodrati yang berada dalam
deklarasi ini bersifat universal. Artinya, setiap individu berhak untuk
bebas dan mempunyai hak yang sama, serta perbedaan sosial hanya
akan dilakukan demi kepentingan umum, hak tersebut juga termasuk
didalamnya yakni hak atas kepemilikan, hak kebebasan, dan hak hidup
Kebebasan berekspresi dalam pandangan John Locke adalah cara
untuk pencarian kebenaran. kebebasan berekspresi ditempatkan
sebagai kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima
informasi serta kemudian memperbincangkannya apakah mendukung
atau mengkritiknya sebagai sebuah proses untuk menghapus
miskonsepsi kita atas fakta dan nilai.37 John Stuart Mill mengatakan,
kebebasan berekspresi sangat dibutuhkan demi melindungi warga dari
36
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2010) h. 339-340
penguasa yang korup dan tiran. Pemerintahan yang demokratis
mensyaratkan warganya untuk menilai kinerja pemerintahannya.
Dalam memenuhi kebutuhan control dan penilaian itulah warga
seharusnya memiliki segala informasi yang dibutuhkan tentang
pemerintahnya. Tidak hanya itu, warga dapat menyebarluaskan
informasi tersebut, dan kemudian mendiskusikan dengan yang lainnya.
Kebebasan berekspresi dengan demokrasi kemudian diakui dalam
hukum internasional hak asasi manusia yang menyatakan bahwa
kebebasan berekspresi merupakan pra-syarat terwujudnya prinsip
transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi
pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi
juga menjadi gerbang utama untuk menikmati kebebasan berkumpul,
berserikat dan pelaksanaan untuk memilih.
2. Media Sosial
Media sosial merupakan sebuah media online dimana para
penggunanya bisa dengan mudah dalam berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia
virtual blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial
yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Andreas Kaplan dan Mizhael Haenlain mendefinisikan bahwa media
sosial sebagai sebuah kelompok apabila berbasis internet yang
membangun diatas dasar ideologi dan teknologi web 2.0, dan yang
memungkinkan penciptanya untuk pertukaran user-generated content.
Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang dapat
membuat web pribadi, lalu terhubung dengan teman-teman untuk
berkomunikasi dan berbagi informasi. Jejaring sosial terbesar antara
lain yaitu Facebook, dan Twitter. Media tradisional menggunakan
media cetak dan broadcast, maka media sosial menggunakan internet.
Media sosial mengajak siapapun yang tertarik untuk berpartisipasi

37
Rusli Nasrullah, Komunikasi antar budaya di era budaya siber, (Jakarta: Kencana
Perdana Media Group, 2012), h. 4.
dengan memberikontribusi dan feedback secara terbuka, memberi
komentar, serta memberi informasi dalam waktu yang cepat dan tak
terbatas.
Van Dijk dalam Nasrullah (2015) menyatakan bahwa media sosial
adalah sebuah platform media yang memfokuskan pada eksistensi
pengguna yang memfasilitasi mereka dalam berkolaborasi serta
beraktifitas. Karena itu media sosial dilihat sebagai fasilitator online
yang menguatkan hubungan antara pengguna serta sebuah ikatan
sosial.
Media sosial dalam konvergensi antara komunikasi personal,
dalam arti saling berbagi diantara individu dan media public untuk
berbagi kepada siapa saja tanpa kekhususan individu (Melke dan
Young dalam Nasrullah, 2015).
Media sosial merupakan bentuk yang sedikit berbeda dengan
keberadaan dan cara kerja computer. Tiga bentuk bersosial seperti
pengenalan, komunikasi dan Kerjasama bisa dilakukan. Media sosial
mengalami perkembangan yang pesat dikarenakan semua orang dapat
memiliki media sendiri. Untuk memiliki media tradisional seperti
televisi, koran, atau radio membutuhkan modal yang cukup besar dan
tenaga kerja yang banyak, maka beda halnya dengan media. Pengguna
media sosial dapat mengakses media sosial dengan jaringan internet
bahkan sekalipun aksesnya lambat, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal
dan dilakukan sendiri tanpa membutuhkan karyawan.
Karjaluoto (2010) menyatakan bahwa terdapat 6 macam media
sosial:
1. Blog (Blogs or web blogs), website yang dapat digunakan untuk
memasang tulisan, baik oleh satu orang ataupun kelompok, dan
juga menyediakan ruang sehingga pembaca dapat memberikan
komentar. Banyak macam-macam blog di dunia, dan blog menjadi
popular karena menyediakan perspektif yang utuh dan asli
mengenai topik-topik tertentu.
2. Forum (Forums), sebuah situs dimana beberapa pengguna (users)
dapat menyusun topik dan mengomentari topik yang dibuat. Semua
orang yang mengunjungi situs tersebut dapat memberikan
komentar. Dan selain itu juga biasanya forum ini dijadikan rujukan
bagi mereka yang tertarik pada suatu topik. Contoh dari forum
yang cukup popular yaitu kaskus.
3. Komunitas konten (Content communities), situs yang
memungkinkan pengguna (user) untuk memasang atau
menyebarkan konten. Konten yang disebarkan dan dipasang
biasanya berupa video atau foto untuk bercerita dan berbagi.
4. Dunia virtual (Virtual worlds), sebuah situs yang menyediakan
dunia virtual untuk para pengunjungnya. Yaitu dunia yang seolah-
olah nyata, dikarenakan pengunjung bisa saling berinteraksi
dengan pengunjung lainnya, tetapi ternyata dunia tersebut
hanyaada di dalam internet. Contoh yang cukup popular dari dunia
virtual adalah situs game online.
5. Wikis, situs penghasilan data-data atau dokumen-dokumen. Di
dalam situ ini, pengunjung yang telah diterima sebagai pengguna
(users) resmi dapat mengganti atau menambah konten yang ada
dalam situs dengan sunber yang lebih baik. Contoh yang termasuk
dalam situs wikis yaitu wikipedia.
6. Jejaring Sosial (Social networks), komunitas virtual yang
memungkinkan pengguna (users) untuk berkoneksi dengan
pengguna (users) yang lainnya. Beberapa situs jejaring sosial
dibuat untuk memperluas jaringan kelompok (contohnya
Facebook, Pinterest, Instagram, WhatsApp).
BAB III

FENOMENA KEBEBASAN BEREKSPRESI DI MEDIA SOSIAL


A. Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Demokrasi
Bagian terpenting dalam system demokrasi adalah kebebasan
berpendapat dan berekspresi, dalam negara demokrasi, masyarakat
memiliki kesamaan hak untuk mngeluarkan pendapat sebagai sarana untuk
mengontrol jalannya pemerintahan.38 Kebebasan berpendapat dan
berekspresi merupakan hak seseorang untuk mengeluarkan ide atau
gagasan, baik dalam bentuk kritik, komentar, opini maupun saran kepada
pemerintah, masyarakat dan Lembaga negara baik melalui lisan atau
tulisan.
Singapura, negara tetangga yang juga menerapkan system
demokrasi yang secara konstitusional pasal 14 ayat (1) huruf a konstitusi
Singapura dengan judul freedom of speech, Assembly and Association
dikatakan bahwa setiap warga negara Singapura berhak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi.39 Singapura memuat beragam aturan untuk
membatasi konten sekaligus cara berekspresi yang dibolehkan untuk
dilakukan. Pembatasan tersebut didasarkan pada kepentingan moralitas
public. Undang-Undang melakukan penyensoran terhadap film, buku,
music, iklan maupun poster yang bersifat cabul. 40 Kemudian terdapat pula
undang-undang yang menjadikan kegiatan terkait perkumpulan umum dan
yang mengganggu ketertiban umum sebagai sebuah pelanggaran.
Undang-undang yang dibuat parlemen Singapura untuk
memberikan Batasan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi
dilakukan dengan menggunakan delapan landasan yang terdapat dalam 14
ayat (2) huruf a; yaitu demi keamanan Singapura, hubungan baik dengan

38
Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 70
39
Constitution of the Republic of Singapore: “every citizen of Singapore has the right to
freedom of speech and expression” diakses dari
https://constituteproject.org/constitution/Singapore_2%20016?lang=en pada 22 Januari 2023
40
Adrienne Stone et.al., “The Comparative Constitutional Law of Freedom of Expression
in Asia”, dalam Rosalind Dixon dan Tom Ginsburg (eds.), Comparative Constitutional Law in
Asia, Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2014, hlm. 237.
negara lain, ketertiban umum, moralitas public, melindungi kepentingan
parlemen, pencemaran nama baik, penghinaan terhadap pengadilan, dan
hasutan untuk melakukan tindak pidana.41
Indonesia merupakan negara yang menggunakan system
demokrasi, salah satu bagian terpenting dalam demokrasi dalam konstitusi
Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatakan bahwa
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” 42
Serta kemerdekaaan dalam berfikir dan mengeluarkan pendapat diatur
dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yaitu dalam pasal 28E ayat (3) berbunyi “setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.” Aktualisasi amanat dari konstitusi yang sebagai komitmen
penjaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat secara normative,
dapat dilihat dalam undang-undang sebagai peraturan organik, kemudian
pada peraturan pelaksana dibawahnya yang bersifat tekhnis.
Komitmen Indonesia dalam mengakomodir hak untuk
menyampaikan pendapat dan berekspresi dapat dilihat dari fakta bahwa
dari peraturan perundang-undangan, tidak ada intervensi dari secara
mendalam dari negara untuk mengatur materi apa saja yang diperbolehkan
atau tidak ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Bahkan sampai
tatanan SOP dan prasyarat untuk memberikan notifikasi (surat
pemberitahuan) untuk menyampaikan pendapat di muka umum, tidak ada
aturan mengenai muatan yang akan disampaikan, bahkan tempat untuk
menyampaikan pendapat bisa dikatakan bebas untuk dilakukan
dimanapun, kecuali beberapa larangan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

41
Li-ann Thio, “Singapore: Regulating Political Speech and the Commitment ‘to Build a
Democratic Society’”, International Journal of Constitutional Law, Vol. 1, No. 3, 2003, hlm. 516
42
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, h. 14
Intervensi negara sangatlah minim, pemerintah hanya berperan
sebagai penjaga ketertiban dan menjamin keamanan saja, tidak mengurusi
substansi dari kegiatan menyampaikan pendapat yang dilakukan oleh
kalangan masyarakat. Namun dalam tatanan produk perundang-undangan
organik Indonesia terdapat ketimpangan, beberapa peraturan perundang-
undangan dianggap mengancam jaminan konstitusional dari kebebasan
berpendapat dan berekspresi tersebut. Mulai dari beberapa pasal karet
hingga materi muatan perundang-undangan yang secara jelas berimplikasi
pada tergerusnya kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.
Institute for Criminal Justice Reform mencatat bahwa kebebasan
berekspresi dan berpendapat di Indonesia masih menunjukkan masa
suram, setelah terjadinya peristiwa reformasi pada tahun 1998.43
Fakta yang terjadi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat
di negara demokrasi sebagaimana di negara Indonesia adalah kasus yang
menimpa Ahmad Dhani dan Robertus Robet44 beberapa waktu silam.
Kemudian diakhir September hingga Oktober 2019 terjadi demonstrasi
besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat terutama
Mahasiswa, buruh, pelajar, serta LSM. Demonstran tersebut mengangkat
sebuah tema #ReformasiDikorupsi yang ditujukan kepada DPR dengan
berbagai tuntutan, diantaranya penolakan terhadap RKUHP, pembatalan
UU KPK, pengesahan terhadap UU TPKS. Demonstrasi terbesar ini
sayangnya direspon oleh Polri sangat represif dan bertentangan dengan
hukum yang ada, mulai dari represifitas kepada demonstran, wartawan,
buruh, bahkan sampai mengakibatkan meninggalnya dua mahasiswa di
Kendari akibat terkena senja api oleh oknum Polri. 45 Pada fakta-fakta

43
Institute for Criminal Justice Reform, “Kebebasan Berkumpul, Berekspresi,
Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam Ancaman”, http://icjr.or.id/kebebasan-berkumpul-
berekspresi-berpendapat-dan-hak-informasi-masih-dalam-ancaman/, diakses pada 24 Januari 2023
44
Lihat KontraS, “Penangkapan Terhadap Refleksi Akademis Mencederai Negara Hukum
dan Demokrasi”, https://kontras.org/2019/03/07/penangkapanterhadap-refleksi-akademis-
mencederai-egara-hukum-dan-demokrasi/, diakses pada 24 maret 2023
45
Lihat The Jakarta Post, “Police’s reputation at risk”,
https://www.thejakartapost.com/academia/2019/10/0 3/polices-reputation-at-risk.html, diakses
pada 22 Januari 2023
diatas terlihat bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat diberangus
oleh penegak hukum.
Peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui kebebasan
berpendapat sebagai hak asasi yang perlu dijaga dan tercermin dalam
peraturan perundang-undangan yang ada, namun adanya UU ITE menjadi
suatu permasalahan, pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang
tersebut seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi kejadian yang
aktual dari kebebasan berpendapat. Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia
Tenggara dan Amnesty International menunjukkan bahwa dalam
pemerintahan Jokowi, kasus terkait UU ITE mengenai kebebasan
berekspresi meningkat hingga tiga kali lipat sejak pemerintahan SBY
menjadi 233 kasus.46
B. Pengaruh Globalisasi dengan Pemanfaatan Media Sosial
Seiring berkembangnya zaman dan pengaruh globalisasi,
semuanya mengalami peningkatan dalam segala hal, terlebih dalam
tekhnologi yang semakin canggih, memudahkan seseorang untuk
mendapatkan informasi yang positif, namun hal yang negatifpun tidak bisa
dinafikan. Dalam bidang informasi dan komunikasi. Berkembangnya
tekhnologi tersebut maka semakin besar peluang untuk memanfaatkan
media sosial untuk mengemukakan pendapat dan berekspresi.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah media social memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seseorang. Seseorang yang
tadinya kecil bisa menjadi besar dengan media social, atau bahkan
sebaliknya. Bagi masyarakat di kalangan remaja khususnya, media social
menjadi candu yang membuat penggunanya membuka media social setiap
hari. Media social yang muncul seiring perkembangan tekhnologi
informasi dan inovasi si internet. Selain sebagai media baru dalam
berinteraksi dan bersosialisasi, media social juga sangat berpengaruh
terhadap berbagai aspek, seperti jurnalisme, public relations, serta
46
Usman Hamid, “UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia”,
https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnyakebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-
126043, diakses pada 22 Januari 2023
pemasaran.47 Penggunaan media social jauh lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah penduduk sebuah negara.
Tekhnologi dan informasi semakin berkembang seiring berjalannya
waktu dan pengaruh globalisasi, penggunaan internet pun semakin
berkembang dan meningkat. Pertumbuhan tersebut didukung oleh
berkembangnya penggunaan perangkat seperti smartphone. Perkembangan
tekhnologi tersebut tidak hanya terjadi dan berkembang di kota-kota besar,
melainkan sudah sampai pada kota-kota kecil bahkan pedesaan yang
terjangkau jaringan yang baik. Pengguna media social lebih dominan
terjadi di kalangan remaja. Remaja dengan secara bebas mengakses media
social yang mereka inginkan.
Negara Indonesia, pengguna internet mencapai 150 juta jiwa
dengan penetrasi 56% yang tersebar diseluruh wilayah. Menurut Mappiare
masa remaja berlangsung antara umur 12 sampai 21 tahun bagi wanita,
dan 13 tsampai 22 tahun bagi pria. Masa remaja sudah tidak termasuk
golongan anak-anak, namun belum dapat diterima sepenuhnya sebagai
orang dewasa. Remaja ada diantara anak-anak dan orang dewasa.48
Aktivitas penggunaan internet yang diakibatkan pengaruh
globalisasi adalah membuka jejaring social dan mengirim atau menerima
email/ pesan, bukan hanya hal tersebut, aktivitas komunikasi dengan
menulis di dinding, update status, update coment, upload foto dan video
maupun bermain game online. Media social yang paling familiar
digunakan antara lain: Facebook, Twitter, Youtube, dan Instagram.
Masing-masing media social tersebut yang timbul akibat pengaruh
globalisasi memiliki keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna
media social yang mereka miliki.
Media social yang berpengaruh di Indonesia adalah Facebook.
Situs jejaring social popular yang dibuat pada 4 Februari 2004 oleh

47
Rulli Nasrullah, Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi
(Jakarta: Simbiosa Rekatama Media, 2016), h. 1.
48
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja (Cet. VI; Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2010), h. 9.
seorang mahasiswa Harvard yang lahir di Ardsley High School yaitu Mark
Zuckerbeg, membuat pergeseran budaya, dari media tradisional berubah
menjadi media digital. Perkembangan zaman yang semakin pesat membuat
beberapa fitur semakin berkembang. Selain Facebook, YouTube yang
diluncurkan pada bulan Mei 2005 telah memudahkan miliaran orang untuk
menemukan, menonton, dan membagikan beragam video. YouTube
merupakan salah satu perusahaan milik Google. Media YouTube
diciptakan oleh 3 orang mantan karyawan Paypal (website online
komersial), Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim pada Februari
2005.
Kehadiran media social dikalangan remaja, membuat ruang privat
seseorang melebur dengan ruang public. Terjadi pergeseran budaya
dikalangan remaja khususnya, mereka tidak segan-segan mengupload
segala kegiatan untuk disampaikan kepada teman-temannya melalui akun
media social. Penggunaan media social siapapun dapat dengan bebas
berkomentar serta menyalurkan pendapatnya tanpa rasa khawatir dan
bersalah, tanpa memikirkan perasaan oranglain yang dapat tersakiti dengan
perkataan mereka.
Media social dapat membawa dampak yang positif maupun negatif
tergantung siapa penggunanya. Salah satu akibat dari media social yang
timbul dikalangaan remaja adalah adalah mereka jarang sekali berkumpul
bersama dan melakukan kegiatan Bersama, seakan dunia mereka sudah
berubah dengan adanya media social ini. Kalangan remaja yang sangat
aktif di media social dengan memposting kegiatan sehari-hari mereka yang
seakan menggambarkan gaya hidup mereka yang seakan-akan mengikuti
perkembangan zaman, padahal yang mereka posting di media social belum
tentu menggambarkan keadaan social life mereka yang sebenernya. Ketika
mereka memposting sisi hidupnya yang Bahagia, namun tidak jarang
kenyataan dalam hidup mereka merasa sedih. Bukan hanya dikalangan
remaja, ini sudah menjadi fenomena umum yang terjadi dikalangan
masyarakat. Manusia sebagai actor yang sangat kreatif mampu
menciptakan berbagai hal, salah satunya ialah interaksi dalam dunia maya.
Setiap individu mampu menampilkan karakter diri yang berbeda Ketika
berada di dunia maya dengan dunia nyata.
C. Media Sosial dengan Fenomena Masyarakat
Teknologi informasi membawa perubahan dalam sebuah
perubahan dan perkembangan dalam masyarakat. Sehingga lahirlah media
sosial dan menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran
budaya, norma dan etika. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar
dalam berbagai kultur suku, ras dan agama yang beraneka ragam memiliki
banyak sekali potensi perubahan sosial. Dari berbagi kalangan dan usia
hampir semua masyarakat di Indonesia memiliki dan menggunakan
medsos sebagai salah satu sarana untuk memperoleh dan menyampaikan
informasi.
Media sosial merupakan salah satu media instan yang saat ini
memang memiliki berbagai fungsi dalam perannya. Selain berfungsi
sebagai alat untuk berkomunikasi, media massa juga menjadi sarana untuk
penggunanya dalam menggali berbagai informasi. Definisi media sosial
tidak serta merta merupakan gagasan yang tidak berdasar yang
dikemukakan oleh para ahli tersebut. media sosial memiliki peran dan
dampak bagi kehidupan masyarakat yang harus didesain sedemikian rupa
agar media sosial tetap pada fungsi dan tujuan media sosial itu sendiri dan
memiliki manfaat dalam kehidupan setiap individu. Seperti yang
dikemukakan oleh Henderi, bahwa pengertian media sosial adalah situs
jaringan sosial berbasis web yang memungkinkan bagi setiap individu
untuk membangun profil publik ataupun semi publik dalam sistem
terbatasi, daftar pengguna lain dengan siapa mereka terhubung, dan
melihat serta menjelajahi daftar koneksi mereka yang dibuat oleh orang
lain dengan suatu sistem (Henderi, 2007: 3) Pada perannya saat ini, media
sosial telah membangun sebuah kekuatan besar dalam membentuk pola
perilaku dan berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat. hal ini yang
membuat fungsi media sosial sangat besar. Adapaun fungsi media sosial
diantaranya sebagai berikut:
1. Media sosial mendukung demokratisasi pengetahuan dan informasi.
Mentransformasi manusia dari pengguna isi pesan menjadi pembuat
pesan itu sendiri.
2. Media sosial adalah media yang didesain untuk memperluas interaksi
sosial manusia dengan menggunakan internet dan teknologi web.
3. Media sosial berhasil mentransformasi praktik komunikasi searah
media siaran dari dari satu institusi media ke banyak audience ke
dalam praktik komunikasi dialogis antara banyak audience.
Media sosial telah menjadi salah satu media untuk edukasi 49
dimulai dari banyaknya informasi dan peluang terjadinya interaksi
serta arahan untuk menuju pengembangan informasi ke dalam tautan
lain. Hal tersebut menandakan bahwa selain keterkaitannya sebagai
media hiburan, media sosial dapat dijadikan sebagai alternatif sumber
jawaban untuk pertanyaan keseharian.
Internet dan budaya secara signifikan telah mendapat manfaat dari
kolaborasi atas keduanya. Mengenali dampak internet terhadap
masyarakat dan budaya sangat penting, di mana jelas bahwa internet
dapat memengaruhi budaya melalui kebebasan dan fleksibilitasnya.
Efeknya bahkan dapat dianggap sebagai budaya sendiri. Jika dipelajari
hasilnya, kolaborasi internet dan budaya di Indonesia dapat membantu
menjadikan internet lebih bermanfaat dengan berfokus pada
keakuratan informasi dengan menyadari keterbatasannya.
Internet dan budaya di Indonesia memiliki konsekuensi di mana
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diterapkan sepenuhnya.
Internet secara signifikan mempengaruhi cara orang hidup dengan

49
Mehmet Kaya et al., eds., Putting Social Media and Networking Data in Practice for
Education, Planning, Prediction and Recommendation (Singapore: Springer, 2020),
http://link.springer.com/10.1007/978-3- 030-33698-1; Daniel Miller et al., eds., “Education and
Young People,” in How the World Changed Social Media (United Kingdom: UCL Press, 2016),
70–84.
berubah karena teknologinya.50 Misalnya, individu telah mengubah
topik dan cara komunikasi, frekuensi, dan kebiasaan mereka sebagai
akibat dari ketersediaan dan aksesibilitas alat komunikasi online.
Perkembangan teknologi informasi komunikasi dan efek globalisasi
yang luas mengubah cara suatu masyarakat hidup, berinteraksi, belajar,
dan mendefinisikan kembali ide identitas budaya. Konsep ruang,
waktu, dan jarak kehilangan makna konvensionalnya. Sayangnya,
manfaat ini juga bisa dipandang sebagai kelemahannya di mana
terdapat globalisasi budaya dan gerakan global dari proses budaya
yang sedang berlangsung.
Untuk memahami sepenuhnya pengaruh media sosial pada
masyarakat, perlu mengingat bahwa teknologi adalah budaya material.
Budaya ini diproduksi dalam proses sosial dalam lingkungan
kelembagaan tertentu berdasarkan ide, nilai, minat, dan pengetahuan
produsen mereka, baik produsen awal dan produsen berikutnya. Dalam
proses ini harus mengelompokkan para pengguna teknologi, yang
sesuai dan mengadaptasi teknologi daripada mengadopsinya, dan
dengan demikian mereka memodifikasinya dan memproduksinya
dalam proses interaksi berkelanjutan antara produksi teknologi dan
penggunaan sosial.
Perkembangan teknologi digital memberi pengaruh terhadap
perubahan pola komunikasi masyarakat karena mampu menciptakan
medium baru bagi masifikasi informasi. Media baru sebagai bagian
dari hasil pengembangan kemajuan teknologi ini menggeser pola gaya
hidup masyarakat yang kini beralih ke serba digital termasuk dalam
mengkonsumsi informasi. Arus informasi yang sangat deras melalui
media baru sebagai medium membuat masyarakat kini masuk ke
dalam era masyarakat informasi. Masifikasi informasi dan masyarakat
informasi ini tidak terlepas dari adanya infrastruktur digital atau

50
James Reveley, “The Exploitative Web: Misuses of Marx in Critical Social Media
Studies,” Science and Society 77, no. 4 (2013): 512–535.
Information and Communication Technology (ICT) sehingga
pemerintah pun terus melakukan penyediaan akses bagi seluruh
masyarakat. Akses yang memadai terhadap informasi pada akhirnya
meningkatkan peran masyarakat dalam membuat perubahan seiring
dengan adanya peluang yang sangat luas dalam melakukan komunikasi
umpan balik.
Generasi milenial adalah sebuah generasi yang lahir antara tahun
1980an sampai sekarang. Generasi ini amat akrab dengan dunia
teknologi berbasis digital. Penggunaan gadget merupakan bahagian
dari lifestyle mereka. Pemanfaatan teknologi yang instan telah
memudahkan beragam aktivitas generasi milenial ini. penggunaan
media, khsusunya media sosial dikalangan generasi milenial sering
menjadi perhatian dan sorotan dari beragam kalangan mulai dari
kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, juga sejumlah elemen
masyarakat seperti para guru, dosen, pemerhati pendidikan dan
tentunya tidak ketinggalan para orang tua. Jumlah pengguna media
sosial dikalangan milenial ini cukup besar yakni mencapai 93%,
karena itu perlu dicermati bagaimana pemanfaatannya agar lebih bisa
mengarah ke hal yang positif diantaranya untuk lebih mengoptimalkan
sumber daya generasi milenial dalam ikhtiar perbaikan ekonomi
bangsa dengan mengoptimalkan beragam industri kreatif berbasis
online. Tulisan ini dilakukan dengan pendekatan Library Research
dengan menggunakan teori media sosial dari Henry Jenkins yaitu teori
Participatory Media Culture. Jenkins dalam teorinya menguraikan
sejumlah pendekatan dan mekanisme yang dilakukan individu ataupun
khalayak tertentu yang secara bersama-sama mengambil peran sebagai
konsumen media sekaligus pula berperan sebagai produsen informasi
tertentu dari media yang ada tersebut. Kajian ini diharapkan dapat
memberi kontribusi bagi semua pemangku kepentingan yang ada.
Media sosial dewasa ini menjadi medium yang sudah sangat
familiar digunakan sebahagian masyarakat Indonesia, khususnya
dikalangan generasi milenial. Media sosial yang berbasis internet
mengalami revolusi dalam peran dan kerja penyebaran dan menerima
informasi. Media sosial juga sering digunakan untuk memudahkan
interaksi antar individu dan kelompok secara efisien. Pendekatan teori
yang terkait dengan media sosial menunjukkan bahwa media sosial
dapat mengubah agenda pemberitaan yang ada di masyarakat bahkan
menjadi pemberitaan itu sendiri (David & Young, 2009) Media sosial
memang memiliki peran dalam membangun dan mengubah opini
dalam masyarakat. Media sosial telah menjadi alternatif medium yang
digunakan selain dari media TV, radio, koran, dan majalah yang
selama digunakan masyarakat secara massif. Media sosial tumbuh
demikian pesatnya menjadi media public relation (kehumasan) baru
dalam masyarakat dan mengubah berbagai hal. Media sosial menjadi
medium persuasi yang dapat mengubah persepsi ataupun perilaku
publik. Komunikasi melalui media sosial dapat menambah ataupun
mengkonsolidasikan reputasi dan kepercayaan, baik untuk individu
maupun untuk sebuah institusi.
Pemahaman terhadap penggunaan media sosial ini secara efektif
menjadi tuntutan zaman untuk dapat bekerja secara efektif dan saling
bertukar pengaruh antara pemberi informasi dan penerima informasi
dalam masyarakat. Setiap individu saat ini hampir mengakses internet
untuk menjangkau informasi global dengan berbagai cara. Tidak ada
lagi yang dapat membendung pengaruh perkembangan internet dan
media sosial dalam kehidupan keseharian. Media sosial telah
digunakan oleh 1 dari 10 orang pekerja, pelanggan, stakeholder
(mitra), politisi, masyarakat lokal dengan berbagam jaringan sosial
seperti facebook, tweeter dan sebagainya. Karena itu, media sosial
menjadi sarana untuk menciptakan sebuah wacana dalam bentuk luas
serta dapat menjadi bahagian kontrol terhadap sebuah isu. William
(1980) dalam Martin.et.all menyatakan bahwa adanya tiga peran
teknologi komunikasi, melalui kehadiran internet dengan berbagai
aplikasi yang dihadirkannya, yaitu pertama, amplifikasi, yang
memungkinkan penyebaran informasi dan pembicaraan jarak jauh;
kedua, durative, ada durasi waktu yang memungkinkan penyimpanan
informasinya; dan ketiga, adanya alternatif informasi yang terdiri dari
penggunaan beragam tanda, yaitu metode alternatif untuk penggunaan
ucapan untuk menyampaikan makna baik berupa tulisan, grafik, dan
sebagainya. Industri teknologi komunikasi memungkinkan hadirnya
produk budaya dan industrial yang berbasis pada komersial, sosial,
legal, dan politik yang saling berpengaruh satu sama lain.
Mark Poster dalam bukunya The Second Media Age menyatakan
bahwa yang menandai era media baru adalah lahirnya teknologi
interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya dunia maya yang akan
mengubah masyarakat. Media baru ini berbasis pada interaksi sosial
(social interaction) dan integrasi sosial (social integration). Dalam
pendekatan interaksi sosial, media baru lebih interaktif dan
menciptakan sebuah pemahaman tentang komunikasi yang lebih
bersifat personal. Pandangan ini didukung Pierre Levy dengan istilah
cyberculture yang memandang world wide web sebagai lingkungan
informasi terbuka, fleksibel, dinamis, namun interaktif. Selanjutnya
dari sisi integrasi sosial, media baru bukan hanya menjadi tempat
memperoleh informasi ataupun interaksi, namun telah menjadi ritual
dan sarana membentuk masyarakat tersendiri dalam satu ikatan
kelompok yang saling memiliki. Pandangan ini didukung oleh teori
persamaan media (media equation theory) yang menyatakan bahwa
manusia memperlakukan media (komputer ataupun hp) seperti
manusia dalam artian nyata. Pendekatan ini melihat bagaimana new
media dapat mempengaruhi individu dan struktur sosial masyarakat.51

51
A.Foss, Stephen W. Littlejohn dan Karen. 2009. Theoris Of Human Communication
Terjemahan oleh Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba humanik
BAB IV

PANDANGAN UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM TERHADAP


KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM MEDIA SOSIAL
A. Regulasi Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dalam Undang-
Undang
Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
menjadi semakin pesat serta tebukti sudah memberikan kemanfaatan bagi
para penggunanya. Setiap individu dapat mengakses infomasi hanya
dengan ponsel atau alat komunikasi lain yang terkoneksi dengan internet.
Masyarakat yang berasal dari berbagai usia dan berbagai golongan dapat
dengan mudah mengakses internet sebagai sarana komunikasi dan berbagi
informasi tanpa batasan waktu, salah satu medianya ialah melalui media
sosial. Dilihat dari satu sisi, adanya media sosial dapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat dapat
mengakses media sosial untuk mengekspresikan diri, salah satunya dengan
berpendapat dalam bentuk kritik terhadap pemerintah.
Indonesia yang menganut system demokrasi salah satu tujuannya
adalah membuat situasi perlindungan dan penegakan terhadap hak asasi
manusia, terutama dalam hal kebebasan berekspresi yang tercermin dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Konstitusi Indonesia mengatur
kebebasan berekspresi dan berpendapat yang tertuang dalam pasal 28E
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat”.52 Tiap individu memiliki kebebasan untuk
berpendapat, yang merupakan hak asasi yang melekat pada setiap manusia
yang termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UndangUndang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.53 Yang menjadi aturan turunan daripada
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Dengan adanya dasar hukum

52
Undang-Undang Dasar NKRI 1945
53
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mengenai kebebasan berpendapat tersebut, masyarakat beranggapan untuk
bebas mengeluarkan pikiran dan gagasannya, salah satunya dengan
melakukan kritik terhadap pemerintah. Akan tetapi, dalam prakteknya,
timbul permasalahan terkait dengan penyampaian kritik oleh masyarakat
terhadap pemerintah melalui media sosial tersebut
Indonesia merupakan Negara hukum dimana setiap tindakan warga
negaranya diatur secara yuridis dalam peraturan perundang-undangan,
begitu pula dengan pengaturan mengenai etika penyampaian kritik melalui
media sosial. Instrumen hukum yang mengatur dalam bidang teknologi
informasi, terutama berkaitan dengan etika dalam penyampaian kritik yaitu
diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik54 mengatur mengenai
penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam penggunaan teknologi
informasi, salah satunya bagi individu yang menggunakan media teknologi
infomasi seperti media sosial sebagai media penyampaian kritik terhadap
pemerintah. Ketentuan yang mengatur terkait hal tersebut antara lain, Pasal
27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 45A ayat (2), Pasal 45 ayat (3) UU
Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Sosial media dalam hal ini secara
tidak langsung memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk bebas
berpendapat, namun di sisi lain juga menjadi ancaman bagi pengguna
media sosial karena terdapat aturan dalam UU ITE yang dianggap
membatasi kebebasan berpendapat tersebut.
B. Kebebasan Berekspresi Menurut Hukum Islam
Kebebasan berekspresi menurut hukum islam, menurut islam.
Kebebasan dalam arti luas telah disebutkan dalam kitab suci al-qur’an
sebagai hakikat manusia yang diberi potensi oleh Allah untuk
mengarahkan dirinya secara bebas untuk memilih kebaikan atau kejahatan,
karena dalam diri manusia memiliki potensi tersebut. Sifat memilih
tersebut disebut ikhtiariyyah. Perbuatan yang diberikan kepada manusia

54
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan menjadi tanggung jawabnya, karena kemampuan yang dimilikinya
untuk melakukan atau meninggalkannya.55 Ikhtiariyyah dalam islam
diberikan sandaran syariat agar cenderung memilih pada kebajikan.
Dengan perkembangan zaman dan islam telah menyebar kepenjuru dunia
terutama di dunia barat, selanjutnya term kebebasan tidak hanya dalam
ikhtiyarriyyah (Persoalan ikhtiar dan takdir) tetapi juga mencakup
kebebasan ekspresi, ekonomi ataupun kebebasan berpolitik.
Oleh karenanya berbicara masalah kebebasan 56, oleh Norman P.
Barry, diartikan sebagai “tidak adanya suatu paksaan atau rintangan”, dan
oleh Werner Becker didefinisikan sebagai “orang yang dalam batas-batas
tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang dia inginkan”, tidak
bisa terlepas dengan konteks demokrasi, teologi, pemikiran, politik
ataupun sikap dalam (menentukan) agama.
Kebebasan dalam Islam, sangatlah kompleks, tergantung dari sudut
mana kita memandang. Tasawuf mengatakan bahwa kebebasan dapat
diartikan dengan terbebasnya seseorang dari dominasi dan jebakan materi
kebendaan. Dengan dzawq-nya, ia mampu menyaksikan hakekat
kebenaran.57 Atau dari teologi Islam, seseorang akan mendapatkan bahasan
tentang kebebasan berkehendak (free will anda free act) sebagai lawan
dari predestinasi (taqdir). Kebebasan yang lebih dalam dan sering
diperdebatkan adalah kebebasan berpendapat dan berekpresi, kebebasan
berekspresi menurut penulis adalah cara seseorang atau kelompok
mengemukakan pendapat dan perasaannya dengan cara dan melalui media
tertentu. Salah satu tempat mengemukakan ekspresi adalah media sosial.
Media sosial adalah media online yang dimanfaatkan sebagai
sarana pergaulan sosial secara online di internet, dalam media sosial, para
penggunanya dapat saling berkomunikasi, berinteraksi, berbagi,

55
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 1996,
hlm. 30-31
56
Mu. In‟amuzzahidin, Konsep Kebebasan dalam Islam, (Jurnal, Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora Universitas Negeri Islam Walisongo) . 260
57
Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan (Sebuah Esai
Pemikiran Imam al-Ghazali), (Jakarta: Bumi Akasara, cet. I, 1992), hlm. 122
networking, dan berbagi kegiatan lainnya. Media sosial sebagaimana
Fatwa MUI Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang hukum dan
pedoman bermuamalah melalui media sosial menyatakan bahwa: “Media
sosial adalah media elektronik, yang digunakan untuk berpartisipasi,
berbagi, dan menciptakan isi dalam bentuk blog, jejaring sosial, forum,
dunia virtual, dan bentuk lain”.58 Media sosial memberikan ruang kepada
pengguna untuk menyuarakan pikiran dan opininya dalam proses
demokratisasi. Perangkat di media sosial seolah-olah memberikan
panggung kepada pengguna sebagai warga Negara untuk turut serta
menyampaikan apa yang menjadi perhatian mereka yang selama ini tidak
terdengar. Media sosial hadir membawa nilai-nilai baru di tengah
penggunanya. Tidak hanya digunakan untuk menceritakan diri (self
disclosure) tetapi juga telah meningkat menjadi media aspirasi warga
secara online. Namun cara menyampaikan isi otak di media-media sosial
maupun di ruang publik nyata yang lainnya seringkali kurang etis. Semua
memang memiliki hak berargumen atau menanggapi semua hal. Tidak ada
yang salah dengan menyampaikan pendapat atau menyampaikan usulan.
Tapi yang salah adalah jika pendapat itu disampaikan dengan tidak layak
atau kurang etis.
Pengguna media social tidak kalah sengit melakukan kritik
terhadap regulasi yang di ambil oleh pemerintah, melakukan aksi virtual
terhadap kasus-kasus hukum, bahkan mampu mengerakkan massa dari
online ke offline. Contoh nyata bagaimana kekuatan media sosial ini,
seperti ditunjukkan dalam dukungan terhadap KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi). Beberapa kasus yang terkait lembaga antikorupsi
ini, misalnya cicak versus buaya, mendapat perhatian yang luar biasa di
media sosial. Menjadi topik populer yang diperbincangkan antar pengguna
media sosial, memunculkan petisi online, dan bahkan dapat menggerakkan

58
Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui
Media Sosial
massa secara offline. Ini merupakan contoh bagaimana kekuatan media
sosial dalam proses demokratisasi yang ada di Indonesia.
Kebebasan berekspresi dimulai sejak orde reformasi yang ketika
itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Gusdur dan Wakil Presiden
Megawati, kemudian dengan perkembangan media sosial saat ini adalah
salah satu ajang bereskpresi paling tepat dan paling banyak dikunjungi,
media sosial sangat berpengaruh sekali dalam mengeskpresikan diri, yang
banyak digunakan untuk mencurahkan pikiran, pendapat dan ekspresi,
sejatinya media sosial digunakan untuk mengakses informasi, tapi dalam
perkembangannya media sosial sering disalah gunakan sehingga terjadi
penyimpangan, seperti ujaran kebencian dan informasi-informasi yang
tidak benar (hoaxs), yang semua itu dapat mengacaukan tatanan sosial
yang ada pada masyarakat. Sehingga untuk menyikapi hal demikian MUI
mengeluarkan fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang hukum dan pedoman
bermuamalah melalui media digital, dalam fatwa itu disebutkan bahwa
media digital dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi,
menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan
positif di bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya.59
Fatwa MUI tersebut sebagai berikut: “Dalam bermuamalah
dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap
muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan
(mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwah), saling wasiat akan
kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf)
dan mencegah kemungkaran (al-nahyu ‘an al-munkar)”.
Fatwa MUI tersebut memberikan aturan dalam menggunakan
media digital yang berkembang penggunaan jejaring sosial, dimana
muamalah memiliki hukum dasar “Ibahah” (boleh) kecuali ada dalil-dalil
syar’i yang mengharamkannya. Ini berdasarkan pada kaedah ushul fiqh
berikut: “hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada

59
Lihat Pedoman Umum angka 1 fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan
Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial
dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)”.
Fatwa tersebut ulama membolehkan muamalah baik secara rill atau
media sosial (digital). Namun mengingat terdapat penyimpangan dalam
muamalah di media digital sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
maka ulama memberikan syarat-syarat tetap berdasarkan pada keimanan
dan ketakwaan, kebajikan, persaudaraan, saling wasiat akan kebenaran
serta mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Penggunaan secara positif media digital untuk kebajikan seperti
memberikan informasi yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan,
saling menolong pada saudara, serta menjaga ukhwah. Memberikan wasiat
mengenai kebenaran, kesabaran dan mencegah kemungkaran juga
merupakan perintah Allah swt sebagaimana firman Allah dalam surah al-
Ashr berikut ini:
Artinya: “demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” Dengan landasan firman
Allah pada surah Al- Ashr diatas, ada perintah Allah pada setiap muslim
untuk selalu melakukan kebajikan, saling menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran. Sesuai dengan fatwa dari majelis ulama diatas, setiap muslim
dalam menggunakan media digital yang terkait hubungan sesama
(muamalah) baiknya dengan bahasa sopan, bermanfaat untuk sesama.
Selain itu pada ketentuan hukum angka 2 Fatwa MUI Nomor 24 tahun
2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah di media dan
memperhatikan beberapa point berikut:
(a)Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidakan
mendorong kekufuran dan kemaksiatan, (b) Mempererat persaudaraan
(ukhuwah), baik persaudaraan ke-Islaman (ukhuwah Islamiyyah),
persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah), maupun
persaudaraan Kemanusiaan (ukhuwah insaniyyah), (c) Memperkokoh
kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun
antar umat beragama dengan pemerintah.
Fatwa tersebut, ulama sebagai rujukan hukum dalam kententuan-
ketentuan yang perlu diperhatikan bagi setiap masyarakat dalam
berekspresi di media sosial. Poin-poin tersebut menunjukkan bahwa
berekspresi tidak dilarang dalam agama namun terdapat norma-norma
yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, jika seorang muslim tidak mematuhi
norma-norma agama tersebut sama saja dengan menciderai ketentuan yang
telah di tetapkan oleh syariat Islam. Dilihat dari prakteknya kebebasan
berekspresi dalam media digital diberikan tanpa batas, hingga
menimbulkan berbagai fitnah dan informasi palsu atau sering dikenal
dengan hoax.
Agama (islam) telah mengatur permasalahan sosial, baik itu diatur
dalam al-qur’an dan juga al- hadist. Islam juga telah mengatur secara utuh
tatanan sosial kemasyarakatan, ancaman terhadap pelaku fitnah secara
tegas termaktub dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah swt dalam
surah al-Baqarah ayat 191 berikut ini: Artinya: “dan fitnah itu lebih kejam
dari pembunuhan” 60
Ayat ini menjadi salah satu rujukan untuk dijadikannya Batasan
batasan kebebasan berekspresi di media sosial. Fatwa MUI Nomor 24
tahun 2017 sebagai pengaturan kebebasan bereskpresi melalui media
sosial dalam Hukum Islam, fatwa tersebut juga memberikan batasan-
batasan untuk bermuamalah di media sosial. Dalam ketentuan umum
anggka 3 menyatakan bahwa:
“Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan
untuk : (a) Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran
permusuhan, (b) Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan
atas dasar suku, agama, ras atau antar golongan, (c) Menyebarkan hoaks
serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang
kematian orang yang masih hidup, (d) Menyebarkan materi pornografi,

60
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (02) : 191
kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i, (e)
menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau
waktunya.”
Dari fatwa MUI diatas dapat dijelaskan mengenai batasanbatasan
kebebasan berekspresi di media sosial sebagai berikut:
1. Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, kebajikan
(mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwah), tidak mendorong
kekufuran dan kemaksiatan,.
2. Saling wasiat akan kebenaran (al-haqq)
3. Serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah
kemungkaran (al-nahyu ‘an al-munkar).
4. Mempererat persaudaraan, baik persaudaraan ke Islaman (ukhuwah
Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah),
maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyyah)
5. Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat
beragama, maupun antar umat beragama dengan pemerintah.
Selain Fatwa MUI yang telah dijelaskan diatas, banyak ayat ayat
al-Qur’an yang relevan dengan kebebasan berekspresi di media sosial,
sebagaimana berikut:
a. Ayat-ayat al-Qur’an dan batasan kebebasan berekspresi di media
sosial. Artinya: “celakalah bagi Setiap pengumpat lagi pencela,”
Secara tegas Allah swt mencelakakan pencela, disini jelas
bahwa perilaku mencela hukumnya haram, dengan adanya
penggunaan media sosial yang tanpa batas akan membuat
perbuatan mencela orang lain dengan mudahnya. Bagi kaum
muslimin, sebaiknya menjauhkan diri dari perbuatan mencela
dalam berekspresi di media sosial sehingga tercipta ukhwah antar
sesama, bahkan juga ukhwah bernegara. Allah juga menegaskan
dalam Firmannya pada Surah al-Qolam ayat 10-11 berikut:
Artinya: “dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak
bersumpah lagi hina (10) yang banyak mencela, yang kian kemari
menghambur fitnah (11)”61
Menggunakan media sosial untuk menyakiti orang lain juga
dilarang.
b. Batasan-batasan kebebasan berekspresi dalam HaditsHadits Nabi
Muhammad SAW.
Selain Al-Qur’an sebagai rujukan utama kaum muslimin,
hadits Nabi SAW juga menjadi rujukan dan untuk kebebasan
berekspresi di media sosial ada beberapa hadist yang relevan
dengan permasalahn tersebut. Diantaranya hadits larangan terburu-
buru dalam memutuskan seuatu
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Ketenangan itu datang dari Allah SWT dan ketergesaan itu dari
Setan" (HR. Al-Baihaki)
Hadits ini menerangkan bahwa Rasul SAW melarang untuk
tergesa-gesa dalam setiap hal, termasuk dalam menerima informasi
dalam hal ini berkaitan dengan kebebasan berekpresi di media
sosial, ketika menerima informasi sebaiknya tidak tergesa-gesa dan
membenarkan informasi tersebut malainkan tenang dan mencari
kebenarannya.
Nabi Muhammad SAW sebagai teladan telah memberikan
solusi terbaik bagi umatnya untuk berekspresi menyampaikan
argumen, kritik maupun saran terhadap orang lain. Sebagai umat
Muhammad kita selayaknya mengikuti dan mempraktikkan
keindahan akhlak yang telah dicontohkan oleh beliau. Keindahan
akhlak beliau tentang etika menyampaikan pendapat bisa kita
temukan dalam beberapa literatur hadits. Salah satunya dalam
sebuah hadits yang terdapat dalam Kitab Sahih Muslim karya Al-
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi anNaisaburi.

61
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Surah Al-Qalam (068) : 10-11
Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas ibn Malik
diatas dikisahkan seperti biasa, Nabi Muhammad SAW berjalan-
jalan bersama para sahabat berkeliling Madinah. Di tengah
perjalanan, Nabi bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang
mengawinkan pohon kurma. Seketika melihat hal itu, Nabi
memberikan tanggapan kepada para penduduk tersebut.Saat
memberikan tanggapan, Nabi tidak menggunakan kata-kata yang
menyebutkan kepastian. Nabi menyampaikan: “Sekiranya mereka
tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu juga akan tumbuh baik”.
Karena yang mengatakan hal itu adalah seorang Nabi, maka
masyarakat Madinah pun menaatinya dan akhirnya meninggalkan
kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Sampai
beberapa waktu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh
bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan. Hingga
akhirnya Nabi pun mengetahui bahwa usulannya kepada
masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak
dan tidak tumbuh seperti biasanya. Dengan segala kerendahan hati,
Nabi pun berkata kepada para kaum di Madinah tersebut. “Antum
a’lamu bi amri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan
tersebut).”62
Kisah Nabi Muhammad dan kaum Madinah tersebut ada
beberapa poin yang bisa dijadikan pelajaran dan contoh agar kita
bisa menyampaikan pendapat secara etis. Berikut hikmah dari
hadits tersebut mengenai kebebasan berpendapat:
Pertama, berikanlah kritik, saran dan tanggapan dengan
cara yang baik. Sebaik dan sebagus apapun kritik atau saran yang
akan disampaikan akan jadi tidak berguna karena tidak
disampaikan dengan cara yang baik. Kritik dan saran yang tidak

62
M. Alvin Nur Choironi, Etika Berpendapat Ala Raulullah, diakses dari
https://islam.nu.or.id pada 02 April 2023
disampaikan dengan cara yang baik itu akhirnya malah menyakiti
orang yang diberi kritik, saran maupun tanggapan.
Kedua, berpendapatlah sesuai kapasitas anda. Jika suatu
permasalahan yang anda tanggapi tidak merupakan bidang yang
anda kuasai, maka diam adalah hal yang terbaik. Fenomena saat
ini, banyak orang yang asal berpendapat bahkan sampai menghina
orang yang berbeda pemikiran dengannya. Jika kapasitas orang
tersebut setara bahkan lebih tinggi dengan orang dan bidang yang
sedang dikomentari, maka hal ini tak masalah. Namun kenyataanya
berbanding terbalik. Banyak orang yang tidak sadar bahwa
tanggapan atau komentar yang diberikan tidak lebih baik dengan
pendapat orang yang sedang dikomentari. Fenomena saat ini,
banyak orang awam dengan perpolitikan mencoba ikut adu
gagasan tentang carut marutnya perpolitikan. Contoh lain muallaf
yang baru saja beberapa hari lalu belajar islam mengomentari hal
yang disampaikan oleh orang yang belajar Islam bertahun-tahun.
Bahkan, ada pula dari mereka yang menghukumi kafir ulama
hanya karena pendapat ulama tersebut tidak selaras dengan
pendapatnya. Kejadian tersebut bisa terjadi karena beberapa hal.
Salah satunya adalah karena bahan bacaan muallaf tersebut tidak
lebih banyak bahkan kurang dari bacaan orang yang dikritik
bahkan dikafirkannya. Atau muallaf tersebut sebenarnya pernah
membaca refrensi yang sama akan tetapi kurang memahami
dengan baik karena terbatasnya keilmuan yang seharusnya
dipelajari terlebih dahulu sebelum melahap materi dalam sebuah
referensi, Sehingga menimbulkan kesalahan pemahaman dan
interpretasi.
Ketiga, sadarlah dan segera minta maaf apabila pendapat
atau saran ternyata tidak sesuai dengan permasalahan yang ada.
Hal ini malah lebih sering terbalik. Orang yang jelas-jelas
pendapatnya salah terkadang masih mempertahankan dengan
pendapatnya. Bahkan mati-matian membuat apologi dan legitimasi
agar pendapat tersebut terlihat benar.Saat sudah terjadi seperti ini
maka selesailah diskusi ataupun pertukaran gagasan, karena yang
terjadi adalah diskusi yang kurang sehat yang melahirkan debat
kusir, salah satu peserta diskusi hanya untuk memenangkan
pendapatnya atau pendapat golongan yang diwakilinya. Demikian
terjadi diskusi di media seosial, sering terjadi perdebatan tanpa
ujungya, bahkan merusak hubungan silaturahim. Selayaknya harus
difahami bahwa dalam diskusi bukan mencari siapa yang menang
dan siapa yang kalah. Namun yang terpenting adalah sejauh mana
argumen dan pendapat yang disampaikan bisa tepat dengan
masalah dan bisa dibuktikan sebagai argumen yang solutif dan
konstruktif.
Seseorang yang ingin berpendapat tidak bisa berperilaku
dengan tiga poin di atas alias tidak sesuai dengan etika berpendapat
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, maka niscaya fungsi dan
esensi pendapat yang disampaikan tidak akan bermanfaat bahkan
bisa jadi menyakiti orang yang diberi pendapat. Karena
berpendapat tidak hanya sekadar untuk gagah gagahan atau
dianggap hebat oleh orang lain. Esensi dari pendapat adalah
bagaimana bisa mengubah suatu hal menjadi lebih baik. Tidak
berguna pendapat jika tidak memberikan pengaruh terhadap suatu
permasalahan. Sebab berpendapat adalah semata melaksanakan
sunnatullah yang termaktub dalam surat alAshr: “wa tawaashau
bil haqqi wa tawaashau bis shabri”.
Dari penjelasan melalui fatwa MUI, penjelasan dari al-
Qur’an dan hadits Rasullullah saw, diketahui bahwa hukum
berekspresi dimedia sosial boleh, tapi terbatas oleh aturan syariat
yang menjaga kemaslahatan ummat. Permasalahan saat ini adalah
terjadi penyimpangan dalam kebebasan berekspresi, seperti dusta,
fitnah dan lain-lain yang mebuat terjadinya perpecahan ummat.
sehiingga MUI memberika fatwa untuk memberikan batasan-
batasan–batasan dalam penggunaan media sosial.

C. Analisis Kebebasan Berekspresi dalam Media Sosial


Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah
satu hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstisusi Undang_Undang
dasar RI, membahas menganai pembatasan, maka yang diperkenankan
adalah Batasan dalam hak berekspresi, yang dibuat dengan mekanisme
yang tidak diskriminatif dan sangat ketat.
Pembatasan diperlukan dalam masyarakat demokratis, demi
melindungi ketertiban umum, Kesehatan public, moral public, keamanan
nasional, keselamatan public, dan melindungi hak serta kebasan orang
lain. Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Rativikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik dikatakan bahwa kebebasan
berpendapat dan berekspresi itu dibatasi dan ada dua batasannya yaitu
untuk keamanan nasional dan untuk melindungi harkat dan martabat orang
lain.63
Kebebasan Berekspresi dalam media social merupakan salah satu
pilar negara demokrasi, yang dalam konstitusi diatur melalui pasal 28 ayat
(3) dijelaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat” yang menjadi payung hukum
Ketika seseorang ingin mengemukakan pendapat dan ekspresinya. Dalam
penyampaian pendapat dan ekspresi dalam media social memang di
bolehkan namun kebebasan yang kita miliki pun terbatas atas kebebasan
yang dimiliki orang lain. Kebebasan berekspresi dalam media social
memiliki Batasan sebagaimana yang diatur daalam pasal 27 ayat (3)
Undang-Undang ITE berbunyi “ setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektrinik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan

63
Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan International Tentang Hak-hak
Sipil dan Politik
penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.” Kemudian dalam
Undang-Undang yang sama pasal 28 ayat (2) berbunyi “setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA)” yang kemudian mengalami perubahan ditambahi
hukuman pidananya sebagaimana Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016
pasal 45A ayat (2) yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Pasal 45 ayat (3) menyatakan,
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan
atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp750.000.000,- (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah)”.
Kasus yang akan diangkat adalah kasus seorang pemuda lampung
yang mengkritik infrastruktur tempat kelahirannya yang kemudian
dilaporkan dengan kasus pencemaran nama baik, kasus kedua adalah kasus
seorang dokter yang aktif mengkritisi instansi rumah sakit tempat ia
bekerja yang berujung pemecatan atas kritikan yang dibangun melalui
sebuah tulisan.
Pada 7 April 2023 anak muda Bernama Bima Yudho Saputra
pemilik akun Tiktok @awbimaxreborn mengunggah video berdurasi 3
menit 28 detik, mengkritik pemerintah daerah lampung itupun menjadi
viral, video viral tersebut diberi judul “Alasan Lampung Gak Maju-Maju”.
Ada empat point penting dalam video yang berdurasi 3 menit 28 detik
tersebut. Pertama, mengenai infrastruktur yang terbatas. “ini banyak
banget di Lampung proyek-proyek pemerintah yang mangkrak. Contohnya
Kota Baru, kak. Itu dari zaman gue SD sampai sekarang, gue ga pernah
denger kabarnya lagi,” kata Bima. Menurutnya pemerintah pusat
sebenarnya sudah mengucurkan dana ratusan miliar untuk membangun
kota Baru. Namun sampai saat ini proyek tersebut terbengkalai. Kemudian
Bima juga menyorot banyak jalan di Lampung yang rusak. “Gue sering
bahas jalan karena jalan itu kayak infrastruktur yang paling umum dan
untuk mobilisasi ekonomi di Lampung. Tapi jalan-jalan di Lampung tuh
kayak 1 Kilometer bagus, 1 kilometer rusak, terus jalan di tempel-tempel
doang,” ujar Bima.64
Point kedua, Bima menyinggung tentang masalah Pendidikan,
terkhusus penyaringan peserta didik yang Bima pandang banyak
kecurangan. “bahkan yang berkontribusi itu orang-orang yang bekerja di
sector Pendidikan, kayak dosen nitipin anaknya, rektor nitipin
keponakannya, ini apa sih?” ungkap Bima. Dalam hal Pendidikan ini,
Bima juga mengkritik soal kunci jawaban ujian nasional (UN) yang
tersebar sebelum ujian berlangsung.
Poin ketiga, Bima membahas tata Kelola yang lemah, seperti
korupsi, birokrasi tidak efisien, hukum tidak ditegakkan, dan adanya
praktik suap menyuap. Paparan terakhir Bima membicarakan tentang
Lampung yang terlalu bergantung pada sektor pertanian. “Tidak bisa
dipungkiri, Lampung itu salah satu provinsi yang memproduksi banyak
banget hasil pertanian, kayak jagung, beras ketan, dan lain-lain. Dan
kontribusinya bisa mencapai 40% lebih. Kalian bisa cek di website-nya BI
(Bank Indonesia), disitu ada statistiknya dan lain-lain.” Tutur Bima. Bima
menilai, pertanian merupakan sektor yang rentan “kayak fluktuatif gitu,

64
https://regional.kompas.com/read/2023/04/17/224347478/kronologi-tiktokter-bima-dipolisikan-
usai-bikin-video-alasan-kenapa-lampung
engga bisa stabil dan yang set harga kan yang di pusat juga gitu. Kadang-
kadang anjlok, kadang-kadang naik gitu.” Jelas Bima.
Senin, 10 April 2023 pengacara bernama Gindha Ansori Wayka
melaporkan Bima ke Kapolda Lampung Irjen Helmy Santika dengan
alasan pada menit ke 00.12, Bima menyebut Provinsi lampung dengan
sebutan “Dajjal” yang berpotensi menyesatkan public. Selain pada menit
ke 00.12, narasi tentang “banyak proyek mangkrak di Provinsi Lampung”
menurut Gindha Ansori tidak didukung data valid. Selain itu, Ghinda
menggaris bawahi juga pernyataan Bima yang menyebut “aliran dana dari
pemerintah pusat berjumlah ratusan miliar dan tidak tahu kota baru
sekarang telah menjadi tempat buang jin anak atau tidak” menurut Gindha,
pernyataan tersebut menggiring opini public tanpa adanya data yang kuat,
ketidaktahuan Bima menghasilkan konten yang tidak sesuai fakta,
sehingga asal bicara tanpa adanya data konkret.65
Kasus pemecatan Prof Zainal Muttaqin yang dilakukan pihak RS
Kariadi. Berawal dari salah satu tulisan kritikan Prof Zainal Muttaqin
kepada Kementerian Kesehatan yang menjadi pemicu atas pemecatan Prof
Zainal Muttaqin. Kemudian RS Kariadi mengkonfirmasi salah satu alasan
pemecatannya ialah kritiksnnya kepada Kemenkes.
Berawal dari tulisan Prof Zaenal yang berjudul Pentingnya
Menjaga Etika Profesi Kedokteran yang terbit pada 26 Maret 2023,
kemudian pada tanggal 27 Maret 2023 Prof Zainal dipanggil ke RS
Karyadi, pemanggilan Prof Zainal diperintah oleh salah satu Dirjen
Kemenkes yang mempermasalahkan tiga Alinea tulisannya, yang pada
akhirnya Prof Zainal harus menghadapi siding etik oleh manjemen RS
yang digelar 1 April 2023.
Prof Zainal heran karena yang dibahas pada siding tersebut adalah
mengenai tulisan kritikannya kepada Kementerian Kesehatan. Dalam
siding etik kedokteran menurutnya, hal yang dibahas lebih kepada teknis
medis atau adanya keluhan pasien. “di forum siding etik oleh komisi etik

65
https://tirto.id/kronologi-kasus-bima-tiktok-kritik-lampung-hingga-dipolisikan-gER5
itu dipertanyakan adalah persoalan tulisan saya. Saya jelaskan semua
tentang tulisan saya dan keputusan dari sidang sama sekali tidak melihat
adanya sesuatu di dalam tulisan itu yang melanggar etika” jelas Prof
Zaenal.
Sidang etik ini semestinya terkait kegiatannya sebagai dokter
dalam melayani pasien, bukan dalam hal tulis menulis, padahal kelemahan
selama ini terkait pelayanan Kesehatan soal distribusi dokter dan
sebagainya itu diketahui dan dipahami betul oleh jajaran Kementerian
Kesehatan, sehingga perlu dilakukan sebuah kritik demi membangun
system Kesehatan Indonesia yang lebih baik.
Pada tanggal 4 April 2023 seorang pejabat Dirjen Kemenkes
datang langsung ke Semarang dan mengancam semua staf termasuk Dirut
RS Kariadi agar mengeluarkan Zainal dari rumah sakit, jika tidak, staf dan
Dirut akan dipecat oleh pejabat yang ternyata ada dalam surat arahan
Kemenkes.
Pada 5 April 2023, Dirut RSUP Kariadi mengadakan pertemuan
pribadi dengan prof Zainal, Dirut tersebut sudah tidak bisa berbuat apa-apa
dan terpaksa harus memecat Prof Zainal sebagai dokter mitra di RSUP
Kariadi. Dan pada 6 April 2023 Dirut RSUP Kariadi memberikan Surat
pemberhentian kepada Prof Zainal. “karena posisinya adalah memang
bawahan dari Dirjen, dia menyampaikan surat pemberhentian saya ya yang
ditulis tanpa konsideran apapun. Jadi itu ya saya terima surat
pemberhentian sebagai mitra kerja.” Ujar Zainal66

66
https://www.youtube.com/watch?v=v1Mvr9px7FU
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kebebasan berekspresi dalam media social sudah diatur dalam regulasi
perundang-undangan baik dari Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 28E ayat (3) yang berbunyi bahwa
“setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat” yang diperkuat dengan aturan turunan yang
mengatakan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak asasi yang
melekat pada setiap manusia sebagaimana dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asassi Manusia pasal 23 ayat (2)
yang berbunyi “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan
dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan
atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa.” Kebebasan berekspresi dalam media
social menurut hukum islam layaknya bermualah berkehidupan social
sesame umat muslim, dimana hukum asal muamalah ini merupakan
sesuatu yang di bolehkan dengan qaedah fiqhiyyah yang berbunyi
“hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil
yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)”.
Sehingga atas dasar qaedah tersebut ulama membolehkan kebebasan
berekspresi baik dalam dunia nyata maupun dunia sosial. Diperkuat
dengan adanya fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia
Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah
Melalui Media Digital yang berbunyi “Dalam bermuamalah dengan
sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap
muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan
(mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwah), saling wasiat akan
kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-
ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (al-nahyu ‘an al-munkar)”.
2. Kebebasan berekspresi dalam Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 itu tidak mengatur
batasan kebebasan berekspresi dalam media sosial. Regulasi yang
terkait dalam pembatasan kebebasan berekspresi diatur dalam Undang-
Undang Nomor. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang
mengatur pembatasan-pembatasan dalam hal penyampaian pendapat.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Convenant On Civil and Political Rights (ICCPR)
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 19
ayat (3) dan Pasal 20 juga mengatur mengenai batasan kebebasan
berekspresi dan berpendapat, dimana pembatasan kebebasan
berekspresi diperbolehkan pada dua perkara, yaitu selama dilakukan
untuk menjaga reputasi orang lain, dan demi ketertiban nasional,
ketertiban umum, dan juga kesehatan public. Negara memberikan
batasan terhadap hak kebebasan berekspresi, maka negara juga tidak
diperbolehkan melanggar hak itu sendiri. Hukum islam juga memberi
batasan atas suatu kebolehan kebebasan berekspresi dalam media
sosial. fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 yang
menganalogikan kebebasan berekspresi seperti halnya muamalah serta
membolehkan kebebasan berekspresi di media sosial, namun Majelis
Ulama Indonesia juga memberi batasan terhadap kebebasan
berekspresi dalam media sosil. Majelis Ulama Indonesia dalam
fatwanya setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial
diharamkan untuk melakukan ghibah, fitnah, adu domba, dan
penyebaran permusuhan, melakukan bullying, ujaran kebencian dan
permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan,
menyebarkan hoaks, menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan dan
segala hal yang terlarang secara syar’i.
B. Saran
1. Pemerintah atau pejabat dibawah pemerintah agar tidak terlalu sensitif
atas sebuah kritikan apalagi berdasarkan fakta. Justru harus menjadi
suatu acuan untuk melakukan introspeksi atas kinerja yang telah
dilakukan karena negara kita menganut sistem demokrasi.
2. Penegak hukum untuk memahami kembali hal apa saja yang bisa
dijadikan suatu delik atas suatu perkara, tidak asal memproses setiap
perkara tanpa mencermati terlebih dahulu, bahkan menerapkan sistem
restorative justice terlebih dahulu, agar tindak pidana yang bisa
diselesaikan secara kekeluargaan menjadi yang utama.
3. Masyarakat dihimbau untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan
media sosial, jangan jadikan kebebasan berekspresi yang telah diatur
dalam konstitusi dan undang-undang menjadi tameng untuk
pembenaran semata, sehingga melanggar hak-hak orang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Saeful dan Setiyono, Heri, Sejarah & Budaya Demokrasi, Manusia
Berstatus Warga dalam Kehidupan Beberapa Negara, (Malang: Averroes
Press, 2013).
Azhari, Aidul Fitriciada, 2005, Menemukan Demokrasi, UMS PRESS, Surakarta.
Ali, Mohammad dan Asrori, Mohammad, Psikologi Remaja (Cet. VI; Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010).
A.Foss, Stephen W. Littlejohn dan Karen. 2009. Theoris Of Human
Communication Terjemahan oleh Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta:
Salemba humanik.
Boeree, C. George, 2008, General Psychology, Prismasophie, Yogyakarta.
Basyaib, Hamid, 2006, Membela Kebebasan, Freedom Institute, Jakarta.
Denny, J.A, Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, ctk. Pertama (Jakarta:
Gramedia, 2013).

Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I,


1996.
Muinamuzzahidin, Konsep Kebebasan dalam Islam, (Jurnal, Fakultas Ushuluddin
dan Humaniora Universitas Negeri Islam Walisongo).
Mulkhan, Abdul Munir, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan (Esai
Pemikiran Imam al-Ghazali), (Jakarta: Bumi Akasara, cet. I, 1992).
Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah
melalui Media Sosial
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
Huda, Ni’matul, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi.
Sharma, P., Sistem Demokrasi yang hakiki, (Jakarta: Yayasan Menara Ilmu,
2004).

UNESCO, Glosarium Toolkit Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi


tentang kebebasan berekspresi.
Qardhawi, Yusuf, Fiqih Negara: Ijtihad Baru seputar Sistem Demokrasi
Multipartai, Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan, Partisipasi dalam
Pemerintahan Sekular, terj. Syarif Halim (Jakarta: Rabbani Press, 1999).
Thaha, Idris, Demokrasi Religius.
Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan
Berekspresi di internet, (Jakarta: ELSAM, 2013).
Soerjono dan Muadji, Sri, penlitian hukum normatif, Cet.II, (Jawa timur:
Baymedia publishing,2006).
Sumiati, Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Media Sosial dalam
Perspektif Yuridis dan Fikih Siyasah, Skripsi Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Tahun 2022.
Muabas, Haris, Perlindungan Kebebasan Berpendapat Melalui Media Sosial
Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik Ditinjau Dari Persprektif Hak Asasi Manusia,
Skripsi Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sultan Maulana
Hasanudin Banten, Tahun 2018.
Larry Alexander, Larry, 2005, Is There A Right to Freedom of Expression, New
York.
Marzuki, Suparman dan Riyadi, Eko (ed), 2008, Hukum Hak Asasi Manusia,
PUSHAM UII,Yogyakarta.

Smith, Rhona K.M, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, ctk. Pertama (Yogyakarta:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008).

Rawls, John, Teori Keadilan, ctk. Pertama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Kurniawan, Hari, et., al., Aksesibilitas Peradilan bagi Penyandang Disabilitas,


ctk. Pertama (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia, 2015).

Syaririfudin, Amir, Ushul Fiqh jilid 1. (Jakarta: Kencana, 2011).


Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003)
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2010)
Nasrullah, Rusli, Komunikasi antar budaya di era budaya siber, (Jakarta:
Kencana Perdana Media Group, 2012).
Rais, Amin, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986).
Stone, Adrienne, et.al., The Comparative Constitutional Law of Freedom of
Expression in Asia, dalam Rosalind Dixon dan Tom Ginsburg (eds.),
Comparative Constitutional Law in Asia, Cheltenham: Edward Elgar
Publishing Limited, 2014.
Li-ann Thio, Li-ann, Singapore: Regulating Political Speech and the Commitment
‘to Build a Democratic Society, International Journal of Constitutional
Law, Vol. 1, No. 3, 2003.
Nasrullah, Rulli, Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya dan
Sosioteknologi (Jakarta: Simbiosa Rekatama Media, 2016).
Harahap, Krisna, 2003, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia. Grafiti
Kuntjoro,Bandung.
Mehmet Kaya et al., eds., Putting Social Media and Networking Data in Practice
for Education, Planning, Prediction and Recommendation (Singapore:
Springer, 2020), http://link.springer.com/10.1007/978-3- 030-33698-1;
Daniel Miller et al., eds., “Education and Young People,” in How the
World Changed Social Media (United Kingdom: UCL Press, 2016).
Reveley, James, The Exploitative Web: Misuses of Marx in Critical Social Media
Studies, Science and Society 77, no. 4 (2013).

Internet:
https://regional.kompas.com/read/2023/04/17/224347478/kronologi-tiktokter-
bima-dipolisikan-usai-bikin-video-alasan-kenapa-lampung
https://tirto.id/kronologi-kasus-bima-tiktok-kritik-lampung-hingga-dipolisikan-
gER5
https://www.youtube.com/watch?v=v1Mvr9px7FU
M. Alvin Nur Choironi, Etika Berpendapat Ala Raulullah, diakses dari
https://islam.nu.or.id pada 02 April 2023
The Jakarta Post, “Police’s reputation at risk”,
https://www.thejakartapost.com/academia/2019/10/0 3/polices-reputation-
atrisk.html
“Penangkapan Terhadap Refleksi Akademis Mencederai Negara Hukum dan
Demokrasi”, https://kontras.org/2019/03/07/penangkapanterhadap-
refleksi-akademis-mencederai-egara-hukum-dan-demokrasi/
Institute for Criminal Justice Reform, “Kebebasan Berkumpul, Berekspresi,
Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam Ancaman”,
http://icjr.or.id/kebebasan-berkumpul-berekspresi-berpendapat-dan-hak-
informasi-masih-dalam-ancaman/
Constitution of the Republic of Singapore: “every citizen of Singapore has the
right to freedom of speech and expression” diakses dari
https://constituteproject.org/constitution/Singapore_2%20016?lang=en
Usman Hamid, “UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di
Indonesia”, https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnyakebebasan-
berekspresi-individu-di-indonesia-126043.

Jurnal
Andhika Febi Hardina dan Firman Kurniawan, Fenomena Kebebasan Berekspresi
di Instagram, Jurnal Komunikasi & Bahasa Volume 2, Nomor 1, Juli 2021
I Made Vidi Jayananda, I Nyoman Gede Sugiartha, dan Made Minggu
Widiantara, Analisis Tentang Pencemaran Nama Baik dan
Penyalahgunaan Hak Kebebasan Berpendapat di Media Sosial, Jurnal
Analogi Hukum, Vol. 3 No. 2, September 2021
Della Luysky Selian dan Cairin Melina, Kebebasan Berekspresi di Era
Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia, Lex Scientia Law
Riview, Vol. 2 No. 2, November 2018.

Peraturan perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang No 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan International Tentang Hak-
hak Sipil dan Politik

Anda mungkin juga menyukai