Anda di halaman 1dari 69

HUKUM MERENGGANGKAN SHAF SHALAT BERJAMAAH DI

MASA PANDEMI COVID 19

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban Dan Syarat Guna Memperoleh Gelar


Sarjana Hukum

Disusun Oleh :
Idgam Mahamud Sukarman
11170430000068

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIH HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021
i

HUKUM MERENGGANGKAN SHAF SHALAT BERJAMAAH DIMASA


PANDEMI COVID 19

SKRPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
IDGAM MAHMUD SUKARMAN
NIM: 11170430000068

Pembimbing

Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M. Ag.


NIP. 196912011999031003

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIH HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021
iii

ABSTRAK

IDGAM MAHMUD SUKARMAN. NIM 11170430000068. “HUKUM


MERENGGANGKAN SHAF DIMASA PANDEMIC COVID 19”. Program Studi
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1442/2021 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) hukum melaksanakan shalat
berjamaah di masjid dengan saf yang berjarakan dan (2) untuk mengetahui alasan yang
menyebabkan diperbolehkanya shalat di masjid dengan saf yang berjarakan.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif, sumber data


dalam penelitian ini menggunakan jenis dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan
data yang penulis lakukan dalam studi ini adalah riset kepustakaan (library research)
seperti artikel dan buku-buku refrensi yang membahas topik yang berkaitan dengan
penulis angkat.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) Pelaksanaan ibadah shalat


berjamaah dalam masa pandemic covid 19 selalu menerapkan protokol kesehatan yang
berlaku yakni: (a) dalam pelaksanaan shaf dibuat renggang dan berjarak, dengan
menggunakan tanda silang atau himbauan dengan berdasar pada kesadaran jamaah
masing-masing. (b) tidak ada pengaruh dalam kekhususan dalam melaksanakan ibadah
shalat berjamaah di masa pandemic covid. (c) Tidak ada gejolak terkait dengan aturan
protokol kesehatan dalam melaksanakan ibadah shalat berjamaah dalam masa pandemic
covid 19. (2) Persepsi jamaah terhadap pelaksanaan ibadah shalat berjamaah dalam masa
pandemic covid 19 pun beragam; (a) ada yang merasa aman dalam melaksanakan karena
adanya protokol kesehatan, dan ada yang merasa was-was maupun kurang mantap dalam
melaksanakan ibadah shalat berjamaah di masjid dalam masa pandemic covid 19. (b) ada
yang merasa aman dan nyaman dilaksanakan protokol kesehatan. Ada pula yang tidak
nyaman karena terlalu rumit dan tidak luwes padahal hanya untuk pelaksanaan ibadah. (c)
perihal kekhusyukan, kebanyakan jamaah menilai kekhusyukan datang dari pribadi
masing-masing, sehingga tidak mempengaruhi khusyuk dalam pelaksanaan ibadah. (d)
tetapi ada jamaah yang merasa was- was dan mengganggu kekhusyukan karena adanya
jamaah luar yang ikut dalam jamaah tersebut. (e) semua jamaah merasa tidak ada gejolak
yang terjadi terkait dengan pelaksanaan ibadah shalat berjamaah dalam masa pandemic
covid 19.

Kata Kunci: Hukum Merenggangkan Shaf Shalat Berjamaah Dimasa Pandemic


Pembimbing Skripsi: Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M. Ag.
iv

KATA PENGANTAR
‫الرِح ْي ِِم‬
َّ ِ‫حَٰ ِن‬
‫الر ْ م‬ ِِ ِ‫بِ ْس ِِم‬
َّ ِ‫للا‬

Assalamu’alikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“HUKUM MERENGGANGKAN SHAF SHALAT BERJAMAAH DIMASA
PANDEMIC COVID 19”. Penulis skripsi dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjanah
Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak
terlupa shalawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada nabi agung
Muhammad SAW beserta keluarganya, shahabat-shahabatnya, serta orang-orang mukmin
yang senantiasa mengikutinya, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya dalam hari
akhir nanti. Penulisan skripsi ini, dengan kerendahan hati tidak mungkin akan
terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang telah
membantu. Adapun ucapan terima kasih secara khusus penulis persembahkan kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S. H., M. H., M. A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Siti Hanna, M. A. Ketua Prodi Studi Perbandingan Mazhab dan Hidayatullah M.
H. Sekretaris Prodi Studi Perbandingan Mazhab.
3. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M. Ag. Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan
waktunya guna memberi bimbingan atau arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Ibu dan Bapak Dosen Program Studi Perbandingan Mazhab yang telah
memberikan ilmu-ilmunya dan pengelaman yang bermanfaat selama penulis di
masa studi
5. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Sukarman Lakan Sina dan Ibunda Rugaya
Goran Asan yang selama ini tidak pernah berhenti memberi semangat, nasehat,
kasih sayang dan segala bentuk dukungan baik moril maupun materiil mulai awal
perkuliahan hingga terselesaikan nya skripsi ini.
6. Saudara-saudari penulis, Kakak Kamsiya Ema Sukarman, Kakak Hainun
Sukarman, Adik Izman Ben Kero, Adik Ahmad Abubakar Sukarman, Sepupu
Husnul Khotima Maimuna yang selalu memberikan semangat dan doa dalam
menyelesaikan skripsi ini.
v

7. Ibu Yuslidar, Kakak Muhammad Abubakar, Kakak Ana, Rachmad Hidayat


Rhamadani, Mauludanisya Muchtar, Nuryanti, Ariyansah, Abdulallah Saleh,
Cindy, Adik Mey, Nur Inayah, Salman Al Farisi, yang selalu memberi semangat
untuk penulis.
8. Seluruh teman-teman Perbandingan Mazhab 2017, terima kasi atas kebersamaan,
semangat dan segala bentuk dukungan untuk segera wisuda.
9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
dengan tanpa mengurangi rasa hormat yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Untuk itu,
seluruh kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dalam rangka saling
mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan demi kemajuan di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
vi

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah ......................................................................................... 1


B. Identifikasi, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah.................................. 3
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 4
E. Metode Penelitian ................................................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ............................................................................................ 8

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Ibadah ................................................................................................. 10


B. Pengertian Shalat .................................................................................................. 14
C. Sejarah dan anjuran shalat berjamaah................................................................... 16
D. Pengertian berjamaah............................................................................................ 19
Pandemic-19 ............................................................................................................... 22

BAB III FATWA MUI NOMOR 14 TAHUN 2020 TENTANG


PENYELENGGARAAN IBADAH DALAM SITUASI TERJADI WABAH
COVID-19

A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ................................................................ 26


B. Latar Belakang Lahirnya Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 ............................... 27
C. Metode Iztihad Komisi Fatwa MUI ........................................................................ 30
1. Pendekatan Nash Qoti’I .................................................................................... 30
2. Pendekatan Qauli .............................................................................................. 31
3. Pendekatan Manhaji .......................................................................................... 31
D. Analisis Metode Istinbath Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 .............................. 32
1. Ditinjau dari Maqasyid al Syari’ ah .................................................................. 33
2. Ditinjau dari Maslahah Mursalah...................................................................... 34
3. Ditinjau dari kaedah-kaedah fiqih ..................................................................... 35
vii

BAB IV HUKUM SHALAT BERJAMAAH DIMASJID DENGAN SHAF


TERPISA

A. Pelaksanaan Shalat Berjamaah Di Masa Pandemic Covid 19 ................................ 38


B. Pandangan Para Ulama Mengenai Shalat Berjamaah Di Masa Pandemic ............. 40
1. Hukum Merapatkan Dan Melurkan Shaf Dalam Keadaan Normal .................. 45
2. Hukum Merenggangkan Shaf Shalat Dimasa Pandemic .................................. 46

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 54
B. Saran ....................................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 55

LAMPIRAN
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini, Allah ‘Azza wa Jallah sedang menguji umat manusia dengan wabah
virus covid-19 yang telah menjadi pandemic. Wabah yang menyebar dengan cepat dan
dalam lingkup yang sangat luas, dengan sendirinya berubah menjadi ‘umum al-bahwa,
yakni musibah atau kesulitan yang menimpa manusia secara global, termasuk di
dalamnya kaum muslimin di beberapa negara. Virus Corona atau Covid-19 yang sedang
melanda dunia di akhir tahun 2019 hingga saat ini disinyalir berasal dari Wuhan, China.
Korban pun berjatuhan dan diprediksi menyebar ke seluruh penjuru dunia. Jika keadaan
ini tidak ditangani dengan baik dan cepat, maka akan memberikan dampak negatif yang
luar biasa di seluruh belahan bumi ini. Pemerintah China di wilayah Wuhan sebagai
wilayah awal penyebaran virus ini telah melakukan isolasi.

Di China sendiri, dalam tempo singkat perpindahan virus dari orang ke orang sudah
lintas provinsi, yang berlanjut lintas negara dan kini lintas benua. Hingga akhirnya World
Health Organization (WHO) secara resmi pada tanggal 12 Maret 2020 telah menyatakan
bahwa virus Covid-19 sebagai pandemic. Virus Corona di Wuhan merupakan virus jenis
baru yang menular. Coronavirus adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem
pernapasan dan menyebabkan kematian. Secara historis virus Corona pertama kali
diidentifikasi sebagai penyebab flu biasa pada tahun 1960.1 Sedangkan menurut World
Health Organization (WHO), Virus Corona adalah virus yang menyebabkan flu biasa
hingga penyakit yang lebih parah seperti sindrom pernapasan timur tengah (MERS-COV)
dan sindrom pernafasan akut parah (SARS COV). Bahkan terdapat dugaan bahwa virus
Corona awalnya ditularkan dari hewan ke manusia. Namun, kemudian berdasarkan
penelitian yang mutakhir diketahui bahwa virus Corona juga menular dari manusia ke
manusia. Hingga saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah infeksi virus Corona jenis
baru yang muncul di Wuhan yang secara resmi disebut Covid-19.2

1Lihat, Aisha M. al-Osail and Marwan J. Al-Wazzah, The History and Epidemiology of Middle East
Respiratory Syndrome Corona Virus, Multidisciplinary Respiratory Medicine (2017) 12:20. DOI 10.1186/s40248-017-
0101-8.2

2Lihat, Jimmy Whitworth, COVID-19: AFast Evolving Pandemic, Trans R Soc Trop Med Hyg 2020; 00: 1–2.
doi:10.1093/trstmh/traa025.
2

Wabah Covid-19 dinyatakan sebagai darurat kesehatan masyarakat dan menjadi


perhatian dunia oleh World Health Organization (WHO). Untuk mengantisipasi itu semua
otoritas berwenang China telah melakukan langkahlangkah ketat, termasuk menghentikan
penerbangan dan transportasi umum di Wuhan dan kota-kota besar lainnya, menutup
pasar-pasar hewan, memperpanjang periode liburan tahun baru sebagai upaya mencegah
perjalanan massal, mengurangi pergerakan di dalam kota, meminimalisir pertemuan
massal, menutup sekolah, pembatasan jam kerja di kantor dan pabrik serta membatasi
pergerakan di jalanan dan memberlakukan lockdown di Wuhan dan seluruh Provinsi
Hubei serta negara-negara lain telah menerapkan pembatasan penerbangan ke China.3

World Health Organization (WHO) telah menjelaskan beberapa cara untuk


menghindari virus corona, di antaranya dengan menerapkan social distancing atau jaga
jarak minimal1 meter dari orang yang terindikasi terpapar virus Corona. Secara umum,
tak seorang pun dapat mengetahui secara pasti seseorang itu positif terjangkit virus
Corona atau tidak. Olehnya itu sistem jaga jarak dan tidak kontak langsung ini kemudian
diterapkan di manapun, terhadap siapapun, khususnya di tempat umum. Dengan demikian,
upaya social distancing dan segala ikhtiar menjaga diri dari penyebaran virus Corona
tersebut juga terlihat berdampak langsung pada amal ibadah, seperti ibadah haji dan
umrah, salat jemaah, salat Jumat, salat jenazah, dan lain sebagainya.

Berdasarkan permasalah di atas maka, hal yang perlu dikaji secara mendalam yakni
bagaimana tinjauan dalam hukum Islam terhadap seseorang yang melakukan shalat
berjamaah dalam satu masjid dengan keadaan saf yang berjauhan atau tidak rapat dalam
barisannya dengan tujuan untuk menghindari penularan virus covid-19 antara satu dan
yang lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban yang tegas dan ilmiah di
atas dalil yang jelas di atas keraguan bagi masyarakat yang ingin melaksanakan shalat
berjamaah di masjid dengan keadaan demikian. Sementara disaat yang bersamaan telah
ada surat edaran resmi atau imbauan dari pemerintah4

3Lihat, Hien Lau, et.all, The Positive Impact of Lockdown in Wuhan on Containing the COVID 19 Outbreak
in China, Journal of Travel Medicine, taaa037.

4Dokumen Resmi dan Protokol Penanganan Covid-19 oleh Kementerian Kesehatan


RI.https://www.kemkes.go.id/article/view/20031700001/Dokumen-Resmi-dan-Protokol- Penanganan-COVID-19.html
Diakses pada tanggal 7 April 2020.
3

Selaku pemangku kebijakan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)5 mengeluarkan


Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi
Wabah Covid-19 yang juga meniadakan shalat Jumat dan shalat jamaah lima waktu di
masjid-masjid di daerah yang dikategorikan sebagai daerah yang berbahaya atau zona
merah ditiadakan untuk sementara waktu. Edaran terkini juga dikeluarkan oleh Menteri
Agama yang memberikan arahan tentang kondisi beribadah kaum muslimin selama
wabah covid-19 masih melanda Indonesia.6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka, akan mendapatkan suatu batasan
yang tepat sekaligus mencegah pembahasaan meluas yang tidak ada kaitanya dengan
masalah pokok, maka penulis akan membatasi permasalahan pada hukum melaksanakan
shalat di majid dengan saf terpisah atau berjarak dimasa pandemi covid 19.

Adapun rumusan masalahnya:

Apakah diperbolehkan melaksanakan shalat di masjid dengan saf yang terpisah atau
berjarak di masa pandemi covid 19. Untuk memudahkan menjawab pertanyaan pokok
diatas , maka penulis memperinci pertanyaan tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum melaksanakan shalat berjamaah di masjid dengan saf yang


berjarakan?
2. Apa alasan yang menyebabkan diperbolehkanya shalat di masjid dengan saf yang
berjarakan?

5Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
https://mui.or.id/berita/27674/fatwa-penyelenggaraan-ibadah-dalam-situasi-terjadi-wabahcovid-19/ Diakses pada
tanggal 7 April 2020.

6Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE.6 Tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1
Syawal 1441 H di Tengah Pandemic Wabah Covid-19.
4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan bagaimana hukum melaksanakan shalat dengan saf yang berjarak.
b. Menjelaskan pandangan ulama fuqoha terdahulu mengenai beribadah dalam
situasi darurat atau pandemi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi nilai tambahan bagi upaya
penelitian selanjutnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan untuk memberikan wawasan pemikiran kepada
masyarakat khususnya bagi umat islam terkait shalat berjamaah di masjid dengan
saf yang berjahuan.

D. Tinjauan Pustaka Terdahulu


Sebelum masuk lebi jauh mengenai pembahasan penelitian ini, ada penelitian
terdahulu yang hampir sama yakni membahas seputar virus Corona (Covid-19) ini
dari berbagai macam aspek. Ada yang mengkaji berkaitan dengan aspek kebijakan
pemerintah, ada juga yang membahas dari sisi konsep Islam dalam menghadapi
covid-19, namun tentunya ada sudut pandang perbedaan dalam hal pembahasaan
maupun objek kajian dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah:
Dari dimensi agama, Indriya (2020) melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui bagaimana konsep tafakkur dalam al-Qur’an dalam menyikapi
Corona virus (Covid-19). Berdasarkan hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa
tafakur Covid-19 dalam perspektif agama Islam menghasilkan beberapa jalan yaitu
melalui pertama, karantina atau mengisolasi daerah yang terkena wabah adalah
sebuah tindakan yang tepat; kedua, bersabar; ketiga, berbaik sangka dan berikhtiar;
keempat, memperbanyak doa dan tawakal kepada Allah SWT.7

7Indriya, Konsep Tafakkur dalam Alquran dalam Menyikapi Coronavirus Covid-19, Salam: Jurnal
Sosial dan Budaya Syar ’i, Vol. 7, No. 3 (2020), h. 211-216.
5

Dari dimensi psikologi sosial, Dana Riksa Buana (2020) melakukan penelitian
yang bertujuan untuk menganalisis perilaku masyarakat Indonesia dalam menghadapi
Pandemic virus Corona (Covid-19) dan bagaimana kiat menjaga kesejahteraan jiwa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih banyaknya masyarakat
Indonesia yang tidak mematuhi imbauan dari pemerintah untuk menanggulangi Pandemic
virus corona ini, diakibatkan oleh salah satu konsep di dalam psikologi yang dinamakan
bias kognitif.8
Selain itu, untuk tetap menjaga kesehatan mental maka aspek-aspek yang dapat
dilakukan berkenaan dengannya yakni: pertama, orang yang bahagia adalah orang yang
mengerti makna dalam hidupnya: kedua, orang yang menjaga dirinya dalam emosi yang
positif; dan ketiga adalah orang yang terus mengasah diri spiritualnya.9
Dari sisi kebijakan pemerintah, Nur Rohim Yunus dan Annissa Rizki (2020)
melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan
pemberlakuan lockdown sebagai antisipasi penyebaran virus covid-19. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut ditemukan bahwa Indonesia sudah mengalami kondisi yang mana
kekhawatiran masyarakat terhadap virus covid-19 cukup besar, sehingga diperlukan
kebijakan pemerintah untuk melakukan lockdown, sebagai upaya memutus mata rantai
penyebaran virus covid-19.10

8Bias kognitif adalah kesalahan sistematis dalam berpikir yang memengaruhi keputusan dan penilaian yang
dibuat seseorang. Jenis bias kognitif yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini adalah bias optimisme, bias
emosional, dan efek Dunning-Kruger. Untuk dapat mengatasi bias kognitif ini langkah-langkah yang dapat dilakukan
oleh masyarakat Indonesia adalah tidak membuat keputusan dalam waktu yang mendesak, hindari membuat keputusan
ketika seseorang secara kognitif sedang melakukan pekerjaan lebih dari satu, tidak membuat keputusan pada malam
hari jika seseorang adalah orang yang beraktivitas atau bekerja yang di mulai pada pagi hari (begitupun sebaliknya),
hati-hati dalam mengambil keputusan saat sedang berbahagia, dan berpikir berdasarkan data dan fakta.

9Dana Riksa Buana, Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi Pandemic Virus Corona
(Covid-19) dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa, Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’ i, Vol. 7, No. 3 (2020), h.
217-226.
10Nur Rohim Yunus dan Annissa Rizki, Kebijakan Pemberlakuan Lockdown sebagai
Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19, Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’ i, Vol. 7,
No. 3 (2020), h. 227-238.
6

Senada dengannya, Zahrotunnimah (2020) melakukan penelitian yang bertujuan


untuk mengetahui bagaimana langkah taktis pemerintah daerah Dalam pencegahan
penyebaran virus covid-19 di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah banyak melakukan strategi komunikasi
kepada masyarakat wilayahnya masing-masing melalui Teknik koersif, informatif,
canalizing, edukatif, persuasif dan redundancy dalam mengemas pesan berupa instruksi,
imbauan kepada masyarakat untuk mencegah penularan virus covid-19 di wilayahnya
masing-masing. Akan tetapi masih belum melakukan teknik koersif sampai pada tahap
memberikan sanksi untuk efek jera bagi pelanggarannya. Pemerintah pusat juga belum
memaksimalkan perannya dalam menggunakan strategi komunikasi secara komprehensif
bagi seluruh pemerintah daerah. Hal ini karena tidak adanya komando nasional dari
pemerintah pusat yang dikenal lambat dalam mencegah penularan virus covid-19 yang
sudah menjadi bencana global (pandemic).11

Sesuai dengan penelitian di atas, Mukaram dan Havis Agravic (2020) melakukan
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan Nabi Muhammad
SAW dalam menangani wabah penyakit menular dan bagaimana implementasi kebijakan
tersebut dalam konteks menanggulangi virus covid-19. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut memperlihatkan bahwa wabah virus covid-19 tidak jauh beda dengan kondisi di
masa Rasulullah Muhammad SAW dengan adanya wabah pada saat itu. Kebijakan nya
adalah melakukan karantina wilayah baik ke dalam maupun ke luar wilayah, sehingga
tidak menyebar. Dalam konteks saat ini, terkait kasus virus covid-19, lockdown dan
social distancing menjadi solusinya, termasuk segera menemukan anti-virus nya,
sehingga dapat mengobati dan menghentikan penyebarannya.12

11Zahrotunnimah, Langkah Taktis Pemerintah Daerah dalam Pencegahan Penyebaran Virus Corona Covid-19
di Indonesia, Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’ i, Vol. 7, No. 3 (2020), h. 247-260.
12Mukaram dan Havis Agravic, Kebijakan Nabi Muhammad Saw. Menangani Wabah Penyakit Menular dan
Implementasinya dalam Konteks Menanggulangi Coronavirus Covid-19, Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’ i,
Vol. 7, No. 3 (2020), h. 239-246.
7

E. Metode Penelitian
Agar sistematis dan akurat dalam pencapaiyan ini maka ada beberapa metode
yang penulis gunakan antara lain:
1. Jenis Penelitian
Jenih penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif
sebagai upaya dalam memahami berbagai konsep yang ditemukan dalam proses
penelitian, dengan menerapkan teknik content analysis (analisis isi) dan riset
kepustakaan (library research). Teknik content analysis merupakan metode
penelitian yang digunakan untuk mengetahui simpulan dari sebuah
teks/manuskrip. Atau dengan kata lain, analisis isi merupakan metode penelitian
yang ingin mengungkap gagasan penulis yang ter manifestasi maupun yang laten.
Sedangkan riset kepustakaan (library research) pada penelitian ini
menggunakan jenis dan sumber data sekunder yang diperoleh dari hasil
penelitian, artikel dan buku-buku referensi yang membahas topik yang berkaitan
dengan fokus dan masalah penelitian.13
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam studi ini adalah riset
kepustakaan (library research) seperti artikel dan buku-buku refrensi yang
membahas topik yang berkaitan dengan penulis angkat.
3. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, yakni
sebagai upaya dalam memahami berbagai konsep yang ditemukan dalam proses
penelitian, dengan menerapkan teknik content analysis (analisis isi) dan riset
kepustakaan (library research), serta pandangan ulama fuqoha terdahulu
mengenai hukum shalat berjamaah di masjid dengan saf berjarakaan yang
kemudian dianalis dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas yang
dapat dipahami serta dapat dipertangung jawabkan secara ilmiah terhadap
permasalah yang penulis ambil.

13Azwar Iskandar dan Khairul Aqbar, Kedudukan Ilmu Ekonomi Islam di Antara Ilmu Ekonomi dan
Fikih Muamalah: Analisis Problematika Epistemologies, Mukhtarul ‘Ulam: Jurnal Bidang Kajian Islam,

Vol. 5, No. 2 (2019), h. 88-105. https://journal.stiba.ac.id/index.php/nukhbah/article/view/77.


8

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam studi ini adalah
riset kepustakaan (library research) seperti artikel dan buku-buku refrensi
yang membahas topik yang berkaitan dengan penulis angkat.
5. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, yakni
sebagai upaya dalam memahami berbagai konsep yang ditemukan dalam
proses penelitian, dengan menerapkan teknik content analysis (analisis isi) dan
riset kepustakaan (library research), serta pandangan ulama fuqoha terdahulu
mengenai hukum shalat berjamaah di masjid dengan saf berjarakaan yang
kemudian dianalis dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas
yang dapat dipahami serta dapat dipertangung jawabkan secara ilmiah
terhadap permasalah yang penulis ambil.

F. Sistematika Penulisan
Selanjutnya agar pembaca mudah memahami penelitian skripsi ini dan
untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka
penulis menyusun penelitian skripsi ini dalam 5 Bab. Setiap bab dibagi menjadi
sub-sub bab serta bagian yang lebih kecil lagi, secara garis besar dapat disebutkan
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang mendukung untuk penyelesaian
masalah dalam penyusunan skripsi, antara lain mengenai bahaya covid 19,
penyebaran covid 19, serta cara mencegah dan mengatasi penularan covid 19, dan
menjelaskan penelitian terdahulu serta formulasi hipotesis dan kerangka
pemikiran.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan berbagai hal, antara lain adalah jenis penelitian,
populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data,
variabel penelitian dan definisi operasional, metode dan analisis data.
9

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN


Bab ini berisi tentang deskripsi objek penelitian, analisis data, dan
pembahasan dari hasil analisis data penelitian.
BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian,
keterbatasan penelitian, dan saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian
10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Ibadah

Ibadah ialah segala sesuatu yang diridhai dan disenangi oleh Allah SWT
baik berupa perbuatan, perkataan, maupun bisikan dalam hati.14 Ibadah berasal
dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat) yang berarti pengabdian, penghambaan,
ketundukkan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama kita mengenal istilah ‘abd
(hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan, kehinaan, dan kerendahan.
Karena itu, inti ibadah ialah pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan, dan
kerendahan diri dalam bentuk pengagungan, penyucian, dan syukur atas segala
nikmat. Kata ‘abd diterap ke dalam bahasa Indonesia menjadi abdi, seorang yang
mengabdi dengan tunduk dan patuh kepada orang lain. Dengan demikian, segala
bentuk sikap pengabdian dan kepatuhan merupakan ibadah walaupun tidak
dilandasi suatu keyakinan.15

Kata “Ibadah” menurut bahasa berarti “taat, tunduk, merendahkan diri dan
menghambakan diri”. Adapun kata “Ibadah” menurut istilah berarti penghambaan
diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap
pahala-Nya di akhirat.

Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau penghambaan diri


kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan
manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba
hanya kepada Allah.16

14(Abidin, 2020: 8).


15Majid, Nurcholis. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
16Tono, Sidik, dkk. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press.
11

Jadi, semua tindakan mukmin yang dilandasi oleh niat tulus untuk mencapai
ridha Allah dipandang sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung dalam firman
Allah dalam (Q.S : 51 : 56).

‫س ا َِّْل ِل َي ْعبُد ُْو ِن‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku.

Dengan demikian, segenap tindakan mukmin yang dilakukan sepanjang


hari dan malam tidak terlepas dari nilai ibadah, termasuk tindakan yang dianggap
sepele, seperti memberikan senyuman kepada orang lain, atau bahkan tindakan
yang dianggap kotor atau tabu jika dituturkan kepada orang lain, seperti buang
hajat, melakukan hubungan seks, dan sebagainya.
Tujuan diciptakan manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah
kepada-Nya. Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu
kemampuan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan, hakikat
perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan kewajiban
terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya.
Hakikat ibadah itu antara lain dalam firman Allah, (Q. S: 2: 21), yang
berbunyi:

َ‫ي َخلَقَ ُك ْم َوالَّ ِذيْنَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْون‬ ُ ‫ٰٓيا َ ُّي َها ال َّن‬
ْ ‫اس ا ْع ُبد ُْوا َر َّب ُك ُم الَّ ِذ‬
Artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dan orang- orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Ibadah merupakan fitrah manusia. Naluri untuk bertaubat dan beribadah
termasuk salah satu fenomena spiritual manusia yang paling purba, bertahan lama
dan paling mengakar. Kajian terhadap berbagai peninggalan purbakala
menunjukkan dimana saja manusia hidup, disana pasti ditemukan jejak-jejak
praktik peribadatan meskipun satu sama lain berbeda bentuk, cara, dan
obyeknya.17

17 (Muthahhari dan Bayrak, 2007: 9).


12

Bentuk peribadatan setiap kelompok berbeda-beda. Pada awalnya, mungkin


manusia menari-nari dan menggelar ritual rutin secara berjamaah disertai zikir dan
melantunkan puja-puji hingga pada puncaknya mereka larut dalam ketundukan dan
kekhusyukan sakral, tenggelam dalam irama zikir dan pujian suci. Objek peribadatan
mereka pun berkembang; mungkin pada awalnya mereka menyembah batu dan kayu, lalu
akhirnya menyembah Zat Azali Yang Kekal, yang tak terikat batas ruang dan waktu. Para
nabi yang membawa syariat dari Allah tak punya wewenang sedikit pun untuk
menciptakan bentuk dan pola ibadah. Tugas mereka hanyalah menyampaikan dan
mengajarkan kepada manusia cara beribadah – meliputi soal adab dan praktiknya – serta
mencegah mereka agar tidak menyembah selain Allah.18

“Di antara manusia ada yang meyembah binatang, tumbuhan, patung batu,
patung emas, tuhan yang tak kasat mata, atau sebangsa setan. Ada pula yang
menyembah leluhur atau nenek moyang, marga atau sosial, harta, atau prestasi. Di
antara mereka yang sudah mampu memilah antar keyakinan religious dan keyakinan
non-religius, ada pula yang meyakini bahwa seluruh kepercayaan bersumber dari agama.
Dengan demikian, yang menjadi permasalahan bukanlah ada atau tidaknya keyakinan
religious dalam diri manusia, melainkan agama apa yang ia yakini?”.19

Beribadah merupakan naluri untuk mencari sesuatu yang sempurna tanpa cela,
yang indah tanpa noda, karena orang yang menyemabh makhluk sebenarnya telah
memalingkan naluri ini dari garis asasinya. Melalui ibadah, sebenarnya manusia tengah
berupaya melepaskan diri dari keterbatasan dirinya danmenjalin hubungan dengan
Realitas Yang Sempurna dan Abadi. Hal ini sejalan dengan ungkapan Einstein, “Dalam
kondisi seperti ini, seseorang akan menyadari betapa dangkal pengetahuan dan angan-
angan manusia, sementara jauh di relung hatinya ia merasa bahwa dibalik setiap
perkara dan fenomena terdapat sesuatu yang agung dan besar tiada tara.”20

18(Muthahhari dan Bayrak, 2007: 11).

19Erich Fromm dalam Muthahhari dan Bayrak (2007: 10)

20(Muthahhari dan Bayrak, 2007: 12).


13

Iqbal dalam Muthahhari dan Bayrak mengatakan, “Ibadah adalah naluri yang
sangat penting dan memiliki arti yang sangat mendalam bagi kehidupan. Ketika naluri
ini berhasil menyerangi ‘pulau’ kecil kepribadian kita, kita akan mampu merasakan
Wujud Mutlak yang jauh lebih besar dari kehidupan.”.21

Definisi ibadah menurut Muthahhari dan Bayrak (2007: 15), ialah:

1) Ibadah bisa berupa ucapan (lafzhiyyah) atau tindakan (‘amaliyah). Ibadah lafal adalah
rangkaian kalimat dan zikir yang diucapkan dengan lidah, seperti bacaan hamdalah,
Alquran, zikir dalam sujud, rukuk, dan tahiyat Salat; atau membaya talbiyah dalam
ibadah haji. Sedangkan ibadah amal adalah seperti rukuk dan sujud dalam Salat, wukuf di
padang Arafah dan tempat-tempat suci lainnya, dan tawaf. Dan kebanyakan ibadah dalam
Islam merupakan perpaduan antara ibadah lafal dan amal, seperti Salat dan haji.
2) Ada dua macam tindakan manusia. Yang pertama adalah tindakan demi tujuan tertentu
seperti petani yang mengolah Sawahnya agar dapat memetik hasilnya, ia tak punya tujuan
lain selain itu, seorang penjahit, atau seorang pelajar yang pergi ke sekolah hanya dengan
satu tujuan, menuntut ilmu, taka da yang lain. Jenis yang kedua adalah tindakan unuk
menunjukkan sejumlah maksud, sekaligus untuk mengungkapkan suatu perasaan.
Misalnya, anggukan kepala, berarti ungkapan persetujuan. Jika Anda mengalah dan
mempersilahkan orang lain duduk, Anda berarti rendah hati. Tunduknya seseorang di
hadapan orang lain menandakan penghormatan. Kebanyakan tindakan manusia masuk
dalam kategori pertama, hanya segelintir yang masuk kategori kedua. Namun ada
beberapa tindakan yang dilakukan untuk mengungkapkan perasaan tertentu, yang
berfungsi layaknya rangkaian kata-kata yang mengandung niat atau maksud tertentu.22

22Muthahhari dan Bayrak (2007: 15)

21Iqbal dalam Muthahhari dan Bayrak (2007: 13)


14

Dari pengertian diatas, ibadah lafal dan ibadah amal adalah perbuatan yang
dilakukan dengan maksud tertentu. Ibadah lafal dilakukan untuk mengungkapkan satu
atau beberapa hal, sedangkan ibadah amal seperti rukuk, sujud, tawaf, puasa, dilakukan
untuk mengukuhkan apa yang disampaikan lewat zikir dan ucapan.
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan, peneliti dapat mengambil kesimpulan
bahwa ibadah adalah suatu perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan maksud
tertentu, yaitu melakukan yang disenangi dan diridhai oleh Allah SWT dengan
menunjukkan ketundukkan, penghambaan, pemasrahan dan dilakukan dengan niat
menghamba dan mengabdi hanya kepada Allah SWT, yang merupakan fitrah dari seluruh
umat manusia.

B. Pengertian Shalat

Menurut bahasa, shalat adalah doa. Menurut istilah syara’, shalat ialah ibadah
kepada Allah dalam bentuk perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam yang dilakukan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
syara’.23

Dalam literatur lain, shalat menurut bahasa adalah ‫ الدعاء‬yang artinya Doa.
Sedangkan dalam terminologi syari’ah shalat adalah seperti apa yang telah dikatakan
Imam Ar-Rofi’ie ‫اقوال وافعال مفتتحة باالتكير ومختتمة بالتسليم بشر ائط محصوصة‬
yang artinya perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.24

Dengan demikian, mengacu pada definisi di atas salat terdiri dari qauly dan rukun
fi’li yang dimana keduanya bisa sah apabila dilengkapi dengan rukun qalbi yaitu hati.

Shalat adalah jalinan (hubungan) yang kuat antara langit dan bumi, antara Allah
dan hamba-Nya. Salat memiliki kedudukan yang tinggi yaitu sebagai rukun dan tiang
agama. Shalat menempati rukun kedua setelah membaca kedua syahadat, serta menjadi
lambang hubungan yang kokoh antara Allah dan hamba-Nya.25

23El-Fati, Syaifurrahman (Ed.). 2014. Panduan Shalat Praktis dan Lengkap. Jakarta: WahyuQolbu.
24An-Najjar dalam Maryam, 2018: 109
25Maryam, Sitti. 2018. Shalat dalam Perspektif Imam Al-Ghazali (Kajian Sufistik). Al-Fikrah, 1(2): 106-
113.
15

Dalam literatur lain, dijelaskan bahwa shalat secara bahasa bisa bermakna doa,
makna ini tergambar pada Al-Qur’an (Q. S: 9: 103).

ُ ٰ ‫س َك ٌن لَّ ُه ْۗ ْم َو‬
‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه ْۗ ْم ا َِّن‬
َ َ‫صلوتَك‬ َ ُ ‫ص َدقَةً ت‬
َ ‫ط ِه ُر ُه ْم َوتُزَ ِك ْي ِه ْم ِب َها َو‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن ا َ ْم َوا ِل ِه ْم‬
‫ع ِل ْي ٌم‬
َ ‫س ِم ْي ٌع‬
َ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka dan shalatlah (berdoalah) untuk mereka.
Sesungguhnya salat (doa) kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ayat ini menyeru kepada Rasulullah SAW untuk mendoakan orang-orang yang
telah menunaikan zakat. Karena itulah menjadi syariat bagi setiap ‘amil (pengumpul)
zakat untuk mendoakan muzakki (orang yang berzakat).26

Dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari diceritakan:

Abdullah bin Abi ‘Aufa berkata, “Nabi SAW bersabda: “Jika suatu kaum mendatangi
seseorang untuk menyerahkan shadaqah (zakat-nya), maka doakanlah dengan:

‫علَى آ ِل فُ ََل ْن‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬


َ ‫ص ِل‬
“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada keluarga si Fulan (namanya).”
Maka ayahku pernah menyerahkan shadaqah kepada beliau dan beliau bersabda:

‫علَى آ ِل ا َ ِبى أ َ ْوفَى‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬


َ ‫ص ِل‬
“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada keluarga Abi ‘Aufa.”

Ungkapan “salawat” kepada Nabi bermakna mendoakan Nabi SAW Namun


dikatakan juga bahwa salawat dari Allah SWT bermakna “istighfar”(memohon ampunan),
sedangkan dari manusia bermakna “doa”. Sebagaimana tercantum dalam )Q. S : 33: 56).
ٰۤ
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
‫س ِل ُم ْوا تَ ْس ِل ْي ًما‬ َ ‫علَى ال َّن ِب ْۗي ِ ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا‬
َ ‫صلُّ ْوا‬ َ َ‫صلُّ ْون‬ َ ٰ ‫ا َِّن‬
َ ُ‫ّللا َو َمل ِٕى َكتَهُ ي‬
Artinya: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bersalawat kepada Nab. Hai
orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu kepada-Nya dan ucapkanlah salam
dengan penuh penghormatan kepadanya.

26Nurudin (2006: 10)


16

Adapun makna shalat menurut istilah syara’ adalah:

“Ibadah yang mengandung ucapan-ucapan dan amalan-amalan yang khusus, dimulai


dengan mengagungkan Allah Ta’ala (Takbir), diakhiri dengan salam.”27
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa shalat adalah
merupakan ibadah kepada Tuhan, yang berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan rukun dan syarat yang sudah
ditentukan oleh syara’.
C. Sejarah dan Anjuran Shalat Berjamaah

1. Sejarah
Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi'raj Nabi SAW, umat Islam sudah
melakukan shalat jamaah, namun siang hari setelah malamnya beliau mi'raj, datanglah
malaikat Jibril ‘alaihissalam mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah.
Saat itu memang belum ada syariat adzan ataupun iqamah, yang ada baru
panggilan untuk berkumpul dalam rangka shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan
'ash-shalatu jamiah', lalu Jibril alaihissalam shalat menjadi imam buat Nabi SAW,
kemudian Nabi SAW shalat menjadi imam buat para shahabat lainnya.
Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi dijalankan secara
sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau SAW tiba di Madinah dan
membangun masjid.
Setelah di Madinah barulah shalat berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di Masjid
Nabawi dengan ditandai dengan dikumandangkannya adzan. Nabi SAW meminta Bilal
radhiyallahuanhu untuk melantunkan adzan dan iqamah dengan sabda beliau SAW :

Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang diperintahkan Abdullah bin Zaid
dan lakukan sesuai perintahnya. (HR. Bukhari)

27(A. Hassan dalam Nurdin, 2006: 11).


17

2. Anjuran Shalat Berjamaah


Ada begitu banyak dalil tentang anjuran shalat berjamaah, di antaranya adalah
hadits berikut ini :

َ ‫صَلَة َ ْالفَ ِذ ِب‬


ً‫سب ٍْع َو ِع ْش ِريْنَ َد َر َجة‬ َ ‫صَلَة ُ ْال َج َما‬
ُ ‫ع ِة تَ ْف‬
َ ‫ض ُل‬ َ :‫وقال صلى هللا عليه وسلم‬

Nabi saw. bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendirian
dua puluh tujuh derajat.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik, Imam Ahmad, Imam
Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, dan Imam Al-Nasai,
dan sahabat Ibnu Umar r.a.

َ ‫صَلَةِ ْالفَ ِذ ِب‬


ً‫سب ٍْع َو ِع ْش ِريْنَ َد َر َجة‬ َ ‫ض ُل ِم ْن‬ َ ‫صَلَة ُ ْال َج َما‬
َ ‫ع ِة أ َ ْف‬ َ

Shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan dua puluh
tujuh derajat'. (HR Al-Bukhari dan Muslim)28
Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathul Bari, pada kitab Adzan telah menyebutkan
secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang shalat berjamaah dengan
yang shalat sendirian.29
Diantaranya adalah ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera shalat di awal
waktu, berjalannya menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa,
menunggu jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun
dari mereka, kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk beribadah,
adanya pelatihan untuk membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun shalat,
keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya.
Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat dengan cara sendirian
dirumahnya. Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan yang cukup tentang
mengapa shalat berjamaah itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan shalat sendirian

28 Asy Syaikh Abdul Qodir Ar Rahbawi, Shalat Empat Mazhab, ( Cetakan Pertama : Rabi’ul Awal
1437 / Januari 2016 M ), h.308

29Ibnu Hajar Al-Asqalani, FathulBari, jilid 2 hal. 133, dalam sarwat, 2018 : 8)
18

َ‫سا َو ِع ْش ِرين‬ ُ ‫صَلَ ِت ِه فِي َب ْي ِت ِه َوفِ ْى‬


ً ‫س ْوقِ ِه َخ ْم‬ َ ‫لى‬ َ ‫ع‬ َ ‫ف‬ ُ َّ‫ضع‬ َ ُ ‫ع ِة ت‬ َ ‫الر ُج ِل فِي ْال َج َما‬ َّ ُ ‫صَلَة‬ َ
َّ‫ضو َء ث ُ َّم خ ََر َج ِإلَى ْال َمس ِْج ِد َْل يُ ْخ ِر ُجهُ ِإْل‬ ْ
ُ ‫سنَ ال ُو‬ َ
َ ْ‫ضأ فَأح‬ َ َ
َّ ‫ض ْعفًا َوذَلِكَ أ َّنهُ ِإذَا ت ََو‬ ِ
‫صلَّى لَ ْم تَزَ ْل‬ َ ‫َط ْيئَةٌ فَإِذَا‬ ِ ‫ع ْنهُ ِب َها خ‬ َ ‫ط‬ َّ ‫ت لَهُ ِبها َ َد َر َجةٌ َو ُح‬ ْ ‫ط َوة ً ِإْلَّ ُرفِ َع‬ْ ‫ط َخ‬ ُ ‫ص ََلة ُ لَ ْم َي ْخ‬َّ ‫ال‬
‫ار َح ْمهُ َوْلَ َيزَ ا ُل أ َ َح ُد ُك ْم‬ ْ ‫علَ ْي ِه اَللَّ ُه َّم‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫صَلَّهُ اَللَّ ُه َّم‬ َ ‫ام فِي ُم‬ َ ‫علَ ْي ِه َما َد‬ َ ‫ص ِل ْي‬ َ ُ ‫ْال َمَلَ ِئ َكةُ ت‬
.َ‫صَلَة‬ َّ ‫ظ َر ْال‬ َ َ‫ص ََلةٍ َما ا ْنت‬ َ ‫فِي‬
“ Shalatnya seseorang laki-laki berjamaah dibandingkan shalatmya di rumah
atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali
lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya
lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk meleksanakan
shalat berjamaah. Maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan
ditinggikanya satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahanya. Apa bila dia
melaksanakan shalat, maka malaikat akan turun untuk mendoakanya selama dia masi
berada ditempat shalatnya, Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia. Dan
seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti
peleksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).30

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda :

َ‫ فَ َعلَ ْيك‬،‫ان‬
ُ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ َ َ‫صَلَة ُ ِإْلَّ قَ ِد ا ْستَحْ َوذ‬
َّ ‫علَي ِه ُم ال‬ َّ ‫َما ِم ْن ثََلَثَ ٍة ِفي قَ ْر َي ٍة َوْلَ َب ْد ٍو َْل تُقَا ُم ِفي ِه ُم ال‬
.َ‫اص َية‬ِ َ‫ب الق‬ ُ ‫الذ ْئ‬
ِ ‫ع ِة فَإِ َّن َما َيأ ُك ُل‬ َ ‫ِب ْل َج َما‬
"Tidaklah ada tiga orang yang berada di suatu kampung atau pedalaman yang
shalat jamaah tidak ditegakan di dalamnya, kecuali syetan akan menguasai mereka.
Maka hendaklah kalian senantiasa melaksanakan shalat berjamaah karna srigala itu
hanya memakan kambing yang sendirian". (HR Abu Daud dan Al-Nasai)31

ِ ‫علَى ْال ُمنَا ِف ِقيْنَ ِمنَ الفَجْ ِر َو ْال ِعش‬


‫ َولَ ْو َي ْعلَ ُم ْونَ َما ِف ْي ِه َما ََلَت َْو ُه َما َولَ ْو‬،‫َاء‬ َ ‫ص ََلة ٌ أ َ ْثقَ َل‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
‫َحب ًْوا‬
“ Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik melebihi shalat subuh
dan isya. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang terdapat dalam kedua shalat
tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.” (HR. Al-
Bukhari)

30Asy Syaikh Abdul Qodir Ar Rahbawi, Shalat Empat Mazhab, ( Cetakan Pertama : Rabi’ul Awal
1437 / Januari 2016 M ), h.307

31(Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan, dalam Sarwat, 2018: 10)
19

‫عذَّ ٍر‬ َ َ‫س ِم َع ا َ ِلن َدا َء فَلَ ْم َيأ ْ ِت ِه فََل‬


ُ ‫صَلَةَ لَهُ ِإْلَّ ِم ْن‬ َ ‫َم ْن‬
Siapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk shalat, maka
tidak ada shalat baginya, kecuali bagi orang yang uzur". (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim)

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda :

ُ ‫صَلَة‬
َ ‫صَلَة ُ ال ِعشَا ِء َو‬
َ : َ‫لى ال ُمنَا فِقِين‬
َ ‫ع‬ َ ‫ أ َ ْثقَ َل‬: ‫ي ﷺ قَا َل‬
َ ٍ‫صَلَة‬ َّ ‫ع ْن أ َ ِبي ه َُر ْي َرةَ أ َ َّن ال َّن ِب‬
َ
‫الفَجْ ِر‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya
dan Subuh. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)
Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa Jauh
sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat Nabi SAW mi’raj, umat Islam sudah melakukan
shalat jamaah, namun siang hari setelah malamnya beliau mi'raj, datanglah malaikat Jibril
‘alaihissalam mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah.
D. Pengertian Shalat Berjamaah
Secara umum shalat berjamaah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih, dimana salah satunya menjadi imam dan yang lain menjadi makmum dengan
memenuhi semua ketentuan shalat berjamaah. Namun secara khusus, ketika kita
menemukan perintah atau anjuran untuk melakukan shalat berjamaah, sebenarnya tidak
sekedar berjamaah secara minimalis terdiri dari dua orang begitu saja, melainkan ada
beberapa kriteria yang bersumber dari contoh aplikatif di masa Nabi Muhammad SAW
yaitu:
1) Shalat yang dilakukan di Masjid;

2) Shalat yang dilakukan bersama Imam; dan

3) Diawali dengan Adzan.32


Dalam literatur lain, shalat berjamaah terdiri dari dua kata, yaitu shalat dan
berjamaah. shalat menurut bahasa adalah doa, maka secara bahasa orang yang
sedang berdoa itu sedang Shalat dan yang sedang shalat itu sedang berdoa. Oleh
karena itu banyak hadis-hadis yang menggunakan kata shalat padahal maksudnya
sedang berdoa.33

32(Sarwat, 2018: 12)


33(Sholehuddin, 2014: 5)
20

Shalat menurut istilah adalah serangkaian pekerjaan, bacaan, serta doa-doa.


Segala sesuatu yang dilakukan di dalam Shalat harus sesuai dengan aturan dan
berdasarkan dalil artinya mengandung hukum. Apakah itu termasuk rukun, wajib, sunat
atau bahkan bid’ah. Ada hal lain yang mubah (boleh) dilakukan di dalam shalat jika
diperlukan tetapi tidak termasuk pekerjaan shalat. Umpamanya membunuh ular yang
mengganggu atau membahayakan atau menekan tangan ke bumi ketika bangkit dari sujud
dan jalsatul istirahah.34
Sedangkan kata Berjamaah merupakan gabungan dua kata yang terdiri dari bahasa
Indonesia dan bahasa Arab, yaitu ber dan jamaah. Kata ber merupakan awalan yang
memiliki arti mengandung, menggunakan, atau dengan cara atau secara, berjamaah,
artinya dengan cara atau secara berjamaah. Jamaah berasal dari kata jamaa’, jam’an, dan
jama’atan yang artinya mengumpulkan, berkumpul, sekumpulan, atau sekelompok.
Maknanya jumlah yang lebih dari satu orang bahkan pada asalnya berarti dalam jumlah
yang banyak.

Secara syariah, jamaah atau berjamaah adalah shalat bersama-sama lebih dari satu
orang yang seorang menjadi imam dan lainnya menjadi makmum.35

Sabda-sabda Rasulullah SAW

ِ ‫ ِإ ْثن‬: ‫هللا ﷺ‬
‫َان فَ َمافَ ْوقَ ُه َما‬ ِ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع ِن ا ْل َح ِك ِم ب ِْن‬
ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع َمي ٍر الثَّ َما ِلي قَا َل‬ َ
ٌ ‫عة‬
َ ‫َج َما‬
Dari Al-Hakam bin Umair Ats-Tsamili, ia mengatakan “Rasulullah saw telah
bersabda: “Dua orang dan bilangan di atasnya adalah berjamaah.” (Ibnu Majah dalam
Sholehuddin, 2014: 7).36

ْ َ ‫سلَّ َم ِبأ‬
‫ص َحا ِب ِه فَقَا َل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫ا َ َّن َر ُج ًل َد َخ َل ْال َمس ِْج َد َوقَ ْد‬
ُ ‫ص َّل َر‬
ِ َّ ‫س ْو ُل‬
َ ‫ّللا‬
َ‫ام َر ُج ٌل ِمن‬َ َ‫ص ِلى َمعَهُ " فَق‬ َ ُ‫علَى َهذَا فَي‬ َ ‫َّق‬ َ َ‫ " َم ْن َيت‬:‫سلَّ َم‬
ُ ‫صد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫ّللا‬ ِ َّ ‫س ْو ُل‬
ُ ‫َر‬
.ُ‫صلى َم َعه‬َّ َ َ‫ْالقَ ْوم ف‬

34(Sholehuddin, 2014: 6).


35(Sholehuddin, 2014: 7).
36(Ibnu Majah dalam Sholehuddin, 2014: 7).
21

“Ada Seseorang yang datang ke masjid sedangkan rasulallah SAW sudah selesai
shalat bersama para shabat, maka Rasulallah bersabda, “ siyapa yang ingin bersedekah
kepada orang ini dengan shalat bersamanaya?” maka seseorang berdiri dan shalat
bersamanya. ( HR. Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzi )37
Ada begitu banyak dalil tentang anjuran Shalat berjamaah, diantara adalah hadits
berikut ini:
ً‫ص ََلةَ الفَ ِذ ِب َخ ْم ٍس َو ِع ْش ِريْنَ َد َر َجة‬ َ ‫ص ََلة ُ ْال َج َما‬
ُ ‫ع ِة تَ ْف‬
َ ‫ض ُل‬ َ
“Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh
tujuh derajat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).38
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Fathul Bari’, pada kitab Adzan telah
menyebutkan secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang salat
berjamaah dengan yang Shalat sendirian. Diantaranya adalah ketika seseorang menjawab
Adzan, bersegera shalat di awal waktu, berjalannya menuju masjid dengan sakinah,
masuknya ke masjid dengan berdoa, menunggu jamaah, salawat malaikat atas orang yang
shalat, serta permohonan ampun dari mereka, kecewanya syaitan karena berkumpulnya
orang-orang untuk berberibadah, adanya pelatihan untuk membaca Alquran dengan benar,
pengajaran rukun-rukun shalat, keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya. Semua itu
tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat dengan cara sendirian di rumahnya.
Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan yang cukup tetang mengapa shalat
berjamaah itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan shalat sendirian.

َ‫سا َو ِع ْش ِرين‬ ً ‫س ْوقِ ِه َخ ْم‬ ُ ‫صَلَ ِت ِه فِي َب ْي ِت ِه َوفِ ْى‬ َ ‫لى‬ َ ‫ع‬ َ ‫ف‬ ُ ‫ض َّع‬ َ ُ ‫ع ِة ت‬َ ‫الر ُج ِل فِي ْال َج َما‬ َّ ُ ‫صَلَة‬ َ
ْ
َّ‫ضو َء ث ُ َّم خ ََر َج ِإلَى ال َمس ِْج ِد َْل ي ُْخ ِر ُجهُ ِإْل‬ ْ
ُ ‫سنَ ال ُو‬ َ
َ ْ‫ضأ فَأح‬ َ َ
َّ ‫ض ْعفًا َوذَلِكَ أ َّنهُ ِإذَا ت ََو‬ ِ
‫صلى لَ ْم تَزَ ْل‬ َّ ٌ
َ ‫َط ْيئَة فَإِذَا‬
ِ ‫ع ْنهُ ِب َها خ‬ َّ ٌ
َ ‫ت لَهُ ِبها َ َد َر َجة َو ُحط‬ ْ ُ
ْ ‫ص ََلة ُ لَ ْم َي ْخط خَط َوة ً ِإْلَّ ُرفِ َع‬ َّ ‫ال‬
‫ار َح ْمهُ َوْلَ َيزَ ا ُل أ َ َح ُد ُك ْم‬ ْ ‫علَ ْي ِه اَللَّ ُه َّم‬ َ ‫صَلَّهُ اَللَّ ُه َّم‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫ام فِي ُم‬ َ ‫علَ ْي ِه َما َد‬ َ ‫ص ِل ْي‬ َ ُ ‫ْال َمَلَ ِئ َكةُ ت‬
.َ‫صَلَة‬ َّ ‫ظ َر ْال‬ َ َ‫ص ََلةٍ َما ا ْنت‬ َ ‫فِي‬

37Asy Syaikh Abdul Qodir Ar Rahbawi, Shalat Empat Mazhab, ( Cetakan Pertama : Rabi’ul Awal
1437 / Januari 2016 M ), h.308
38Asy Syaikh Abdul Qodir Ar Rahbawi, Shalat Empat Mazhab, ( Cetakan Pertama : Rabi’ul Awal
1437 / Januari 2016 M ), h.307
22

“ Shalatnya seseorang laki-laki berjamaah dibandingkan shalatmya di rumah


atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali
lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya
lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk meleksanakan
shalat berjamaah. Maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan
ditinggikanya satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahanya. Apa bila dia
melaksanakan shalat, maka malaikat akan turun untuk mendoakanya selama dia masi
berada ditempat shalatnya, Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia. Dan
seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti
peleksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).39
Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa
shalat berjamaah adalah serangkaian pekerjaan, bacaan, serta doa-doa, yang dilakukan
bersama-sama lebih dari satu orang, yang seorang menjadi Imam dan lainnya menjadi
makmum.

E. Pandemi COVID-19

Pandemi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti wabah yang
berjangkit serempak dimana-mana yang meliputi daerah geografis yang luas.40 Menurut
WHO, pandemi tidak ada hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit, jumlah korban
atau infeksi, namun pada penyebaran geografisnya. Sementara Center for Disease Control
Prevention (CDC) menyebut pandemi mengacu pada epidemi yang telah menyebar di
beberapa negara atau benua, biasanya mempengaruhi sejumlah besar orang. Pandemic
dinyatakan saat penyakit baru yang orang-orang tidak memiliki kekebalan akan penyakit
itu, menyebar di seluruh dunia di luar dugaan (Nugroho, 2020). WHO memutuskan sebuah
penyakit sebagai pandemi setelah ada gelombang infeksi dari orang ke orang di seluruh
komunitas. Setelah pandemi diumumkan, pemerintah dan sistem kesehatan perlu
memastikan mereka siap untuk kondisi itu.

39 Asy Syaikh Abdul Qodir Ar Rahbawi, Shalat Empat Mazhab, ( Cetakan Pertama : Rabi’ul Awal
1437 / Januari 2016 M ), h.307

40(Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 1116).


23

Tidak ada batasan, seperti jumlah kematian atau infeksi tertentu, atau sejumlah
negara yang terkena dampak untuk menyatakan sebuah penyakit menjadi pandemic.
Sebagai contoh, SARS coronavirus, yang diidentifikasi pada tahun 2003, tidak
dinyatakan sebagai pandemic oleh WHO meskipun menyebar hingga 26 negara. Namun,
penyebarannya terkendali dengan cepat dan hanya beberapa negara yang terpengaruh
secara signifikan, termasuk Cina, Hong Kong, Taiwan, Singapura dan Kanada. Jika
menyatakan pandemic memicu kepanikan global, ini bisa mengalahkan tujuan untuk
mencoba meningkatkan kewaspadaan. Seperti tentang apakah deklarasi H1N1, yang
secara sehari-hari dikenal sebagai “flu babi”, sebagai pandemic pada tahun 2009,
menyebabkan kepanikan yang tidak perlu.41

Menurut Sohrabi, dkk (2020: 74), “COVID-19 disebabkan oleh Sars-Cov-2,


sebuah beta coronavirus. Virus itu adalah terdiri dari sebuah untaian tunggal asam
ribonuclear (RNA) struktur yang termasuk dalam subfamily corona variane, bagian dari
famili corona variane, Urutan analisis Sars-Cov-2 telah menunjukkan struktur khas
dengan yang lain coronavirus, dan genom tersebut telah disamakan dengan yang
sebelumnya diidentifikasi ketegangan coronavirus yang menyebabkan pecahnya SARS
pada tahun 2003. Secara struktural, SARS coronavirus (SARS-CoV) telah yang
terdefinisi jelas komposisinya terdiri dari 14 ikatan residu yang secara langsung
berinteraksi dengan human-angiotensin-converting enzim 2. Dari asam amino, 8 telah
diidentifikasi dalam Sars-CoV-2. Pada manusia, coronaviruses termasuk telah
menyebabkan infeksi saluran pernapasan ringan hingga teridentifikasi SARS-CoV dan
MERS Coronavirus (MERS-CoV).”

41(Nugroho, 2020).
24

Dalam sumber yang lain, Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang
menyebabkan penyakit ringan sampai berat, seperti common cold atau pilek dan penyakit
yang serius seperti MERS (Middle East Respiratory Syndrome) dan SARS (Severe Acute
Respiratory Syndrome). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab
COVID-19 dinamakan Sars-Cov-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara
hewan dan manusia).42

Menurut Lu dkk (2020: 565), “2019-nCoV cukup berbeda dari sars-cov harus
dipertimbangkan yang baru human-infecting betacoronavirus.Meskipun filogenetik kami
analisis menunjukkan bahwa kelelawar mungkin tuannya yang asli virus ini, binatang
yang dijual di makanan laut pasar di Wuhan mungkin mewakili sebuah tuan rumah
memfasilitasi munculnya virus pada manusia. Lebih penting, analisis struktural
menunjukkan bahwa 2019-nCoV mungkin dapat untuk mengikat angiotensin-converting
enzym 2 reseptor pada manusia. Masa depan evolusi, adaptasi, dan penyebaran virus ini
menjamin untu mendesak investigasi.”
Menyatakan suatu wabah sebagai pandemi artinya WHO memberi alarm pada
pemerintah semua negara dunia untuk meningkatkan kesiapsiagaan untuk mencegah
maupun menangani wabah ini dikarenakan saat sebuah pandemi dinyatakan, artinya ada
kemungkinan penyebaran komunitas terjadi.
WHO menekankan bahwa penggunaan istilah pandemic tidak berarti ada anjuran
yang berubah? Semua negara diminta untuk mendeteksi, mengetes, merawat, mengisolasi,
melacak, dan mengawasi pergerakan masyarakatnya. “Perubahan istilah tidak mengubah
apapun secara praktis mengingat beberapa pekan sebelumnya dunia telah diingatkan
untuk mempersiapkan diri menghadapi potensi pandemic,” kata Dr. Natalie MacDermott
dari King’s College London. “Namun penggunaan istilah ini menyoroti pentingnya
negara-negara di seluruh dunia untuk bekerja secara kooperatif dan terbuka satu sama lain
dan bersatu sebagai front persatuan dalam upaya untuk mengendalikan situasi ini.”43

42(Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2020: 11).

43Sebarang, 2020
25

Sementara itu WHO juga memperingatkan agar ditetapkannya wabah


COVID-19 sebagai pandemic tidak dijadikan alasan untuk khawatir berlebihan.
Ini dikarenakan menurut lembaga yang berbasis di Jenewa itu, banyak
pemerintah negara dunia yang telah melakukan upaya untuk menemukan vaksin
atau obat antivirus. Selain itu, gejala coronavirus umumnya ringan dan
kebanyakan orang sembuh dalam enam hari. “Jika menyatakan pandemic
memicu kepanikan global, ini dapat mengalahkan tujuannya yang mencoba
untuk meningkatkan kesadaran.” 44

Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan


bahwa Pandemc adalah sebuah wabah yang berjangkit serempak dimana-mana
yang meliputi daerah geografis yang luas. Penyebaran pandemic covid 19
melalui udara dan menyerang pada sistem pernapasan manusia, sehingga orang
yang terkena wabah ini biasanya mengalami gejalanya sesak nafas, batuk,
meriang dan lain-lain.

44Sebarang, 2020
26

BAB III

FATWA MUI NOMOR 14 TAHUN 2020 TENTANG PENYELENGGARAAN


IBADAH DALAM SITUASI TERJADI WABAH COVID-19

A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H yang
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M.45Dalam sejarah dikatakan bahwa MUI muncul
ketika Indonesia berada pada fase kebangkitan kembali setelah selama tiga puluh tahun
sejak kemerdekaan bangsa Indonesia yang sibuk dalam memperjuangkan politik dalam
Negeri maupun di dalam forum internasional, sehingga kurang memperhatikan dalam hal
pembangunan menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia.

MUI sendiri berdiri karena dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran kolektif


pemimpin Islam bahwa negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi
pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan
organisasi para Ulama dan cendekiawan muslim ini sangat diperlukan dalam rangka
pembangunan bangsa dan terciptanya hubungan masyarakat yang harmonis untuk
mencapai kemaslahatan seluruh rakyat.

Sebelum Majelis Ulama Indonesia resmi berdiri, telah berlangsung beberapa kali
pertemuan para Ulama dan tokoh-tokoh Islam. Dalam pertemuan tersebut telah
mendiskusikan gagasan akan pentingnya suatu majelis Ulama yang menjalankan fungsi
ijtihad dan memberi masukan serta nasehat keagamaan kepada pemerintah maupun
masyarakat.

Pertemuan ini diantaranya pada tanggal 30 September 1970 pusat dakwah islam
menyelenggarakan sebuah konferensi untuk membentuk majelis Ulama yang berfungsi
untuk memberikan fatwa.46

45Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sebuah Studi tentang pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. (Jakarta: INIS, 1993), h.63

46Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sebuah Studi tentang pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. (Jakarta: INIS, 1993), h.54
27

Pada tanggal 24 Mei 1975 Presiden Soeharto menyatakan dengan menekankan


akan pentingnya sebuah majelis ulama setelah menerima kunjungan dari Dewan Majelis
Ulama Indonesia. Akhirnya pada tanggal 21-27 Juli 1975 digelar lah sebuah konferensi
ulama nasional, pesertanya tersusun dari utusan atau wakil ulama majelis Ulama daerah
yang baru berdiri, pengurus pusat Organisasi Islam, sejumlah ulama independen dan
empat wakil dari ABRI.

Dalam konferensi ulama tersebut menghasilkan sebuah deklarasi yang ditanda


tangani oleh seluruh peserta yang hadir yang berjumlah 53 orang, deklarasi tersebut
menyatakan dirinya sebagai organisasi atau kumpulan para ulama dengan sebutan Majelis
Ulama Indonesia MUI). Deklarasi berdirinya Majelis Ulama Indonesia kemudian
diabadikan dalam bentuk penandatanganan piagam berdirinya MUI yang ditandatangani
oleh 53 orang ulama yang terdiri dari 26 Ketua Majelis Ulama tingkat Provinsi se-
Indonesia, 10 Orang Ulama dari unsur Organisasi tingkat pusat, 4 Orang Ulama dari
dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian,
serta 13 Ulama yang hadir sebagai pribadi atau independen.47

Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa


berdirinya MUI dilatar belakangi oleh adanya kesadaran kolektif pemimpin Islam bahwa
negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi pembangunan masyarakat yang
maju dan berakhlak.

B. Latar Belakang Lahirnya Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020

Keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 di latar


belakang situasi yang semakin mencekam akibat yang timbulkan oleh merebak nya
Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah
Covid-19 merupakan respon dari Majelis Ulama Indonesia terhadap penyebaran Covid-
19 yang telah melanda dunia dan telah masuk ke Indonesia kalau tidak segera diantisipasi
akan mengakibatkan semakin meluasnya penyebaran virus tersebut. Majelis Ulama
Indonesia telah menimbang 4 hal sebelum mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020,
yaitu:

47Ma‟ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.7
28

1. Bahwa Covid-19 telah tersebar ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia


2. Bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan Covid-19 sebagai
pandemic
3. Bahwa perlu langkah-langkah keagamaan untuk pencegahan dan
penanggulangan Covid-19 agar tidak meluas

4. Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan Fatwa Tentang


Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 untuk
dijadikan pedoman.
Adapun Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam
Situasi Terjadi Wabah Covid-19 di dalamnya memuat 9 point, yaitu:
1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap
hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian
dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).
2. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar
tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jum’at dapat diganti
dengan shalat dhuhur, karena shalat Jum’at merupakan ibadah wajib yang
melibatkan orang banyak sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara
missal. Baginya haram melalukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka
peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu (rawatib), shalat
tarawih dan shalat id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri
pengajian umum dan tabligh akbar.
3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-
19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularan nya tinggi
atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia
boleh meninggalkan shalat Jum’at dan menggantikan nya dengan shalat
dhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu
(rawatib), tarawih, dan id di masjid atau tempat umum lainnya.

b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularan nya rendah
berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjaga
diri agar tidak terpapar Covid-19, seperti tidak kontak fisik langsung
(bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering
membasuh tangan dengan sabun.
29

4. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang


mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jum’at di
kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib
menggantikannya dengan shalat dhuhur di tempat masing-masing. Demikian
juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang
banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah
shalat lima waktu (rawatib), shalat tarawih dan id di masjid atau tempat umum
lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
5. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib
menyelenggarakan shalat Jum’at dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah
yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu (rawatib),
shalat tarawih dan id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri
pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak
terpapar Covid-19.
6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan
penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam
wajib menaatinya.

7. Pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) yang terpapar Covid-19, terutama dalam


memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol media dan
dilakukan oleh pihak berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan
syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan
sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.
8. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian publik,
seperti memborong dan/atau menimbun bahan kebutuhan pokok serta masker
dan menyebarkan informasi hoax terkait Covid-19 hukumnya haram.
9. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
memperbanyak ibadah, taubat, istigfar, zikir, membaca kunut nazilah di setiap
shalat fardu, memperbanyak salawat, sedekah, serta senantiasa berdoa kepada
Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan
48
marabahaya (daf’u al-bala’), khususnya dari wabah Covid-19.

48
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam
Situasi Terjadi Wabah Covid-19
30

Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa


Keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 merupakan respon dari
Majelis Ulama Indonesia terhadap penyebaran Covid-19 yang telah melanda dunia dan
telah masuk ke Indonesia kalau tidak segera diantisipasi akan mengakibatkan semakin
meluasnya penyebaran virus tersebut.

C. Metode Iztihad Komisi Fatwa MUI


Berkenaan dengan metode ijtihad yang digunakan Komisi Fatwa MUI dalam
mengeluarkan fatwa menggunakan 3 pendekatan yakni; pendekatan Nash Qati’I,
pendekatan Qauli dan pendekatan Manhaji.49

1. Pendekatan Nash Qati’i


Nash qati‟I adalah Nash yang menunjukan kepada arti yang jelas sekali
untuk dipahami, sehingga Nash tersebut tidak bisa di takwilkan dan dipahami
dengan arti yang lain. artinya Nash tersebut sudah memiliki makna yang sangat
jelas sehingga tidak ada peluang untuk merubah, mengembangkan, dan
mengalihkan pada makna yang lain.50
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa semua yang diketahui secara pasti
(qati‟i) dalam agama, tidak ada tempat untuk melakukan ijtihad, dan tidak ada
tempat untuk memperselisihkan nya dan yang benar itu hanya satu tidak ganda.51
Berdasarkan pengertian tersebut, jelas bawa Nash qati‟I tidak mempunyai
peluang untuk berijtihad, untuk kemudian mengalihkan maknanya kecuali
memahaminya sesuai dengan biasa yang terkandung dalam maknanya.52

49Heri Fadli Wahyudi, “Metode Ijtihad Komisi Fatwa Mejelis Ulama Indonesia dan Aplikasinya”,
Cakrawala: Jurnal Studi Islam. htpp://journal.ummgl.ac.id/index.php/cakrawala (23 Agustus 2020)

50Saifuddin sa‟dan,” Ijtihad Terhadap Dalil Qath‟I dalam Kajian Hukum Islam”, Samarah: Jurnal Hukum
Keluarga dan Hukum Islam. http://jurnal.ac.id/index.php/samarah/article/download/2379/1719 (23 Agustus 2020)

51Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta Dan Realita, Kaian Pemikiran Hukum
Syaikh Mahmud Syaltut, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), h. 41

52Abdi Wijaya, “DAYA SERAP LEMBAGA-LEMBAGA FATWA TERHADAP MASALAH-MASALAH


HUKUM KONTEMPORER (Studi Komparatif Lembaga Fatwa MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Bahtsul
Masail NU),” Mazahibuna; Jurnal Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019).
31

2. Pendekatan Qauli
Pendekatan qouli adalah pendekatan yang dalam proses penetapan fatwa
mendasarkannya pada pendapat para Imam Mazhab dalam kitab-kitab fikih terkemuka
(alkutub al-mu’tabarah). Pendekatan ini digunakan apabila jawaban dapat dipenuhi oleh
pendapat yang terdapat dalam kitab-kitab fikih terkemuka (al-kutub al-tabarah) dan hanya
terdapat satu pendapat (qaul).
Kemudian apabila apabila dalam suatu pendapat yang ada dianggap tidak cocok
lagi untuk dijadikan pegangan karena sulit untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur
al-amal atau shu’ubs al-amal), atau karena alasan hukumnya (illah) berubah. Dalam
kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang, sebagai mana yang dilakukan ulama
terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku dengan pendapat para ulama terdahulu
apabila pendapatnya sudah tidak relevan lagi dijadikan pedoman.53
Apabila jawaban atas permasalahan yang telah digali hukumnya tidak dapat
dicukupi oleh nash qath’I, dan juga tidak ditemukan pada qouli atau pada kitab-kitab
fikih terkemuka (al- kutub al-am’tabarah) maka proses yang ditempuh adalah pendekatan
manhaji.
3. Pendekatan Manhaji
Pendekatan manhaji merupakan pendekatan dalam proses menetapkan fatwa
menggunakan kaidah-kaidah pokok (al-qawaid al-ushuliyah) dan metodologi yang
dikembangkan ole Imam Mazhab dalam merumuskan hukum atas suatu masalah.
Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad seara kolektif (ijtiahad jama’i) dengan
menggunakan metode: mempertemukan pendapat yang berbeda (al-am’u wat taufiq)
kemudian memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjih), lalu menganalogkan
permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam
kitab-kitab fikih (ilhaki) dan istinbathi.54

53Ahmad Mukhlishin, dkk. “Metode Penetapan Hukum Dalam Berfatwa”, Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam
Vol.3, no 2, 2018.h. 175-176. http:// Journal.staincurup.ac.id/index.php/alistinbath (Diakses 23 Agustus 2020)

54
Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M. Sc, “Bagaimana Metode Penetapan Fatwa di MUI”, Umma.id.
http://umma.id/article/share/id/1005/252436 (23 Agustus 2020)
32

Ketika dikalangan Imam Mazhab teradi khilafiyah maka usaha yang dilakukan
adalah mencari titik temu diantara pendapat Imam Mazhab dengan metode al-jam’u wa
al-taufiq. Ketika usaha al-jam’u wa al-taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa
dilakukan dengan metode tarjih (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil
dan argumentasinya), metode yang digunakan ialah metode perbandingan mazhab
(muqaran al-mazahib) dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqih perbandingan.
Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa
metode ijtihad yang digunakan Komisi Fatwa MUI dalam mengeluarkan fatwa
menggunakan 3 pendekatan yakni; pendekatan Nash Qati’I, pendekatan Qauli dan
pendekatan Manhaji.

D. Analisis Metode Istinbath Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020

1. Ditinjau dari maqasyid al syari’ah


Maqasyid al-syari‟ah terdiri dari dua kata yaitu al-maqasyid ( ‫ا لوقا صذ‬ ) dan al

syari‟ah55 .(‫عٌت‬ ‫)الشش‬ Kata maqasyid merupakan bentuk jamak dari kata maqsid

( ‫) هقصذ‬ atau maqsad ))‫ )) هقصذ‬yang mempunyai makna kesengajaan atau tujuan.
Sedangkan kata al-syari‟ah dalam literature bahasa arab bermakna jalan menuju sumber
mata air atau diartikan juga sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan yaitu syari‟ah
Tuhan. Sehingga makna maqasyid alsyari‟ ah sejatinya menagandung makna tujuan dan
rahasia yang telah diletakkan oleh syar‟I (Allah) dari setiap hukum yang diturunkannya.56
MUI dalam menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan kontenporer yang
hadir di tengah-tengah masyarakat islam pada kususnya selalu mempertimbang segala
sesuatu. Hal ini tentunya agar ketetapan hukum atau istimbat hukum yang dikelaurkan
sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan hadits serta dapat diterima dan dilaksakan oleh
umat islam.

55Muammar Muhammad Bakry, “Asas Prioritas Dalam Al-Maqashid Al-Syar’iah,” AL-Azhar Islamic Law
Review
1, no. 33 (2019): 1–8.
56Aminah, maqasyid Asy-Syariah Pengertian dan Penerapan Dalam ekonomi Islam, Jurnal: Fitrah, Vol. 03, (Juli

2017), h. 168-169. http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.di/index.php/P/article/download/635/558


33

Sekaitan dengan terbitnya fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang


penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadinya wabah COVID-19 tentunya dalam
istimbat hukum ini pasti didasarkan pada argumentasi atau metode istimbat ukum. oleh
karena itu pada bagian bab ini penulis akan melakukan analisis istimbat hukum yang
menjadi dasar MUI dalam mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang
penyelenggaraan ibadah dalam situasi teradinya waba COVID- 19 Imam al-Syatibi
menjelaskan macam-macam qasdu al-syari’.
Yang pertama ialah qashdu al-syari’ fi wadh’I al-Syari’ah (Tujuan Tuan
meletakkan syariah), yang kedua Qashdu asy-Syari’fi Wadh’I asy-Syariah lil Ifham
(Tujuan Allah dalam menetapkan syariahnya ini adalah agar dapat dipahami), yang ketiga
Qashdu asy-Syari’fi Wadh’I asy- Syariah li al-Taklif bi Muqatadhaha (Tujuan Allah
dalam menetapkan syariah agar ddapat dilaksanakan).
Maksud Allah menetapkan syariah tidak lain untuk kepentingan maslahah amba-
Nya. Kemudian Imam al-Syatibi membagi maslahah menjadi tiga secara berurutan dari
kebutuhan manusia padanya, yaitu: dharuryyah, hajjiyyah, dan tahsiniyyah.57
Fatwa tersebut jika ditinjau dari konsep maqasyid al syari’ah menggunakan asas
dharuriyyat yaitu segala apa yang paling penting bagi tujuan agama dan hidup di dunia.
Dengan menggunakan prinsip Hifdz al-nafs (menjaga jiwa) yang merupakan
pemeliharaan terhadap nyawa atau jiwa yang menjadi prinsip kedua secara berurutan
setelah prinsip hifdz al-din (memelihara atau menjaga agama).
Berdasarkan pengertian dan penjelasan menjaga jiwa maka pelarangan atau
penangguhan pelaksanaan shalat jumat selama pandemi adalah suatu kebolehan karena
kegiatan tersebut melibatkan banyak orang. Sebagaimana pendapat Imam syai‟i dan
imam Hambali yang berpendapat bahwa shalat jumat sah dengan jumla empat puluh
orang.58 Pelaksanaan shalat jumat ini sangat berpotensi untuk terjadinya penularan virus
secara massal yang akan membahayakan jiwa manusia.

57Ahmad Raysuni, Nadhariyyatu al-maqashidi ‘Inda al-Imam al-Syatibi, (Virginia: IIIT, 1995), h. 145-146
58Syaikh al- „Allamah Muhammad, Rahman al Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, terj. „Abdullah Zaki Alkaf,
Fiqih Empat Mazhab (Bandung: Hasymi, 2012), h. 93
34

2. Ditinjau dari maslahah mursalah


Al-maslahah adalah bentuk tunggal (mufrad) yang jama’nya al mashalih.59 Makna
dari kebahasaan ini dipahami bahwa al-maslahah merupakan segala yang mendatangkan
manfaat, baik melalui cara mengambil, melakukan suatu tindakan serta menolak dan
menghindarkan dari segala yang menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.60
Dalam fatwa tersebut MUI mendasarkan fatwanya dengan alasan sebagai berikut.
“setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang
dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga
tujuan pokok beragama (al-Daruriyat al-Khams)” Dalam pertimbangan hukum diatas
tentang alasan di keluarkannya fatwa didasarkan pada tujuan pokok beragama (al-
Daruriyat al-Khams) hal ini dimaksudkan atas dasar pertimbangan metode istinbat
Maslahah Mursalah yang akan penulis uraikan sebagai berikut.
Penyebaran COVID-19 dapat melalui droplet pernapasan, percikan batuk, atau
bersin orang terinfeksi virus corona yang menempel pada permukaan benda atau kulit
manusia. Kemudian virus ini akan berpindah setelah manusia menyentuh benda atau
melakukan kontak fisik dengan orang lain. kemudian manusia akan terinfeksi setelah
virus ini masuk ke mulut, hidung dan mata.
Menurut WHO seseorang yang terkena virus ini akan mengalami gejala seperti flu,
demam, peradangan, sulit bernafas juga menyebabkan infeksi di hidung, sinus dan
tenggorokan bagian atas serta menyebabkan lemas dan batuk kering. Pada kasus yang
lebih parah, infeksi virus ini menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal
ginjal hingga kematian.
Sehingga dalam metode maslahah mursalah yaitu menentukan suatu hukum
dengan cara menimbangan manfaat dan menghindari sesuatu yang akan mendatangkan
kemudaratan seperti pada kasus yang menimpa beberapa daerah yaitu munculnya wabah
COVID-19 yang menyebabkan kematian karena belum ditemukannya vaksin untuk virus
ini. Penyebaran virus ini begitu cepat yang metode penyebarannya dengan cara kontak
fisik.

59Achmad Musyahid, “DISKURSUS MASLAHAT MURSALAH DI ERA MILINEAL (Tinjauan Filosofis


Terhadap
Konsep Maslahat Imam Malik),” Mazahibuna; Jurnal Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019).
60Dr. H. Firdaus, M. Ag, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
(Cet ke-I, Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017), h. 91-92
35

Sehingga kerumunan merupakan salah satu metode yang menyebabkan virus ini
cepat menyebar. Salah satu rutinitas yang menyebabkan masyarakat berkumpul
khususnya umat muslim adalah melaksanakan ibadah fardhu yaitu shalat jumat secara
berjamaah. Shalat jumat merupakan ibadah wajib dua rakaat yang dilakukan secara
berjamaah diwaktu zuhur pada hari jumat dengan diawali dengan khutbah.61
Menimbang manfaat dan mudharat dilaksanakannya kewajiban shalat jumat
secara berjamaah disuatu tempat dengan kondisi terjadinya wabah COVID-19, maka
penangguhan shalat jumat secara berjamaah di masjid sebagaimana fatwa MUI Nomor 14
Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadinya wabah COVID-19
dimana salah satu isinya yaitu pelarangan shalat jumat bagi kawasan yang penyebaran
virusnya tidak terkendali dilarang melakukan shalat berjamaah di masjid termasuk shalat
jumat. Keputusan tersebut sesuai dengan tujuan daripada maslahah mursalah yaitu
addaruriyyat al-khams yaitu menjaga tujuan pokok beragama.
3. Ditinjau dari kaidah-kaidah fikih
Al-qawa’id al-fiqhiyah (kaidah fikih) berasala dari kata al-qawa’id dan al-
fiqhiyah. Al-qawa’id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa’idah yang secara
bahasa berarti dasar, aturan atau patokan umum. Dalam Al-qur‟an kata Al-qawa’id pada
surah al-Baqarah ayat 127 dan an-Nahl ayat 26 berarti tiang, dasar atau fondasi, yang
menopang suatu bangunan.
Sedangkan Al-fiqhiyah berasal dari kata al-fiqh berarti paham atau pemahaman
yang mendalam yang dibubuhi untuk menunjukkan penjenisan, pembangsaan atau
pengkategorian. Sehingga kaidah fikih secara kebahsaan adalah dasar-dasar, aturan-
aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis atau masalah masuk
dalam kategori fikih.62
Dalam menyikapi keadaan dalam situasi terjadinya wabah COVID-19 yang pada
dasarnya shalat jumat adalah ibadah wajib khususnya laki-laki yang sudah balig,
hukumnya boleh jadi berubah menjadi boleh meninggalkan kewajiban tersebut. Beberapa
kaidah fikih yang menjadi dasar atas pendapat ini ialah.

61Asep Maulana dan Abdullah Jinaan, Panduan Lengkap Salat Fardu dan Sunnah, (Jakarta: Grasindo, 2017),
h.40
62Duski Ibrahim, Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), (Palembang: Noerfikri, 2019), h. 13

‫ي‬ ِ ِ َِٰ ُ‫ش َّقة‬


َِْٰ ‫بِالتَِّْيس‬
ُ ‫ِتْل‬ َٰ ‫اِلْ َِٰم‬

“Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan”


36

Imam as-Suyuthi menyebutkan bahwa para ulama berpendapat rukhsah


(keringanan) syara‟ dapat dipakai pada kaidah ini. Menurut beliau ada tujuh perkara yang
dapat mendatangkan
keringanan yaitu bepergian, sakit, keterpaksaan, lupa, ketidaktahuan, kesulitan dan umum
albalwa.
Mengenai perkara keringanan yang dapat yang dapat diperoleh ketika sakit atau
kesulitan, beliau mencontohkan dengan kebolehan tayammum, menjamak dua shalat
fardu,
meninggalkan shalat Jemaah dan shalat jumat.63

‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َ ‫ال‬
“Bahaya harus ditolak”
Makna umum kaidah ini adalah segala kemudaratan harus dihilangkan. Karena
kemudaratan merupakan sebuah kezaliman yang seharusnya tidak terjadi. Kemudian
kaidah yangBerikutnya

‫ار‬ ِ َ‫ض َر َر َوْل‬


َ ‫ض َر‬ َ َ‫ْل‬
“tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”
Antara dharar dengan dhirar menurut pendapat umum (mashur), dharar ialah
memberikan bahaya kepada orang lain secara mutlak, sedangkan dhirar merupakan
memberikan bahaya kepada oang lain dengan cara bertentangan (muqabalah).64

63Shubhan Shodiq, “Penanganan Covid-19 dalam Pendekatan Kaidah Fikih dan Ushul Fikih; Analisis
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Bidang Keagamaan”, Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik

64Shubhan Shodiq, “Penanganan Covid-19 dalam Pendekatan Kaidah Fikih dan Ushul Fikih; Analisis
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Bidang Keagamaan”, Al-Adalah: Jurnal Hukum dan Politik
Islam. Vol. 5, No. 2, (Juli 2020), h. 111. http://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/aladalah/article/view/743 (30
September 2020)
37

Berlandaskan kaidah ini berarti seseorang dilarang membahayakan orang lain.


Dalam hal situasi terjadinya COVID-19 yang penyebarannya akan lebih cepat jika terjadi
kerumunan atau berkumpulnya orang banyak maka dengan peangguhan shalat jumat
untuk semetara merupakan suatu kebolehan dengan menggunakan kaidah ini, karena jika
dilakukan akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ‫صا ِل‬ ِ ‫َد ْر ُء ْال َمفَا ِس ِد أ َ ْولَى ِم ْن َج ْل‬
“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan dari pada mengambil
sebuah kemaslahatan.”
Mengerjakan ibadah secara berjamaah sengat baik, entah itu di masjid maupun
tempat lainnya yang memiliki maslahat. Tetapi melaksanakan ibadah yang melibatkan
orang banyak seperti shalat jumat maupun ibadah lainnya di tengah terjadinya wabah
dapat mendatangkan mafsadah yakni tertular maupun menularkan penyakit kepada orang
lain. sehingga kegiatan ibadah yang melibatkan orang banyak sebaiknya ditangguhkan
selama pandemic berlangsung.
Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa
metode analisis istinbath hukum fatwa MUI menngunaka 3 metode yang pertama
maqasyid al syari’ah, yang mempunyai arti jalan menuju sumber mata air atau diartikan
juga sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan yaitu syari‟ah Tuhan. yang kedua
maslahah mursalah, yang mempunyai arti merupakan segala yang mendatangkan
manfaat, baik melalui cara mengambil, melakukan suatu tindakan serta menolak dan
menghindarkan dari segala yang menimbulkan kemudharatan dan kesulitan. Dan yang ke
tiga kaidah-kaidah fikih, yang mempunya arti dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-
patokan yang bersifat umum mengenai jenis atau masalah masuk dalam kategori fikih.
38

IV
HUKUM SHALAT BERJAMAAH DIMASJID DENGAN SHAF TERPISA

A. Pelaksanaan Ibadah Shalat Berjamaah Di Masa Pandemi COVID-19

Shalat berjamaah adalah shalat yang diperintahkan oleh Allah SWT Hal tersebut
dapat dilihat dalam (Q. S: 2 : 43).

َّ ‫ار َكعُ ْوا َم َع‬


َ‫الرا ِك ِعيْن‬ َّ ‫صلوةَ َواتُوا‬
ْ ‫الزكوةَ َو‬ َّ ‫َوا َ ِق ْي ُموا ال‬

Artinya: Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-


orang yang rukuk.
Adapun ayat yang lain yakni: (Q. S: 4 : 102)

َ ‫طآ ِئفَةٌ ِم ْن ُه ْم َّم َعكَ َو ْل َيأ ْ ُخذُ ْوآ ا َ ْس ِل َحتَ ُه ْم َو ْلتَأ ْ ِت‬
ٌ‫طآ ِئفَة‬ َ ‫صلَ ْوةَ فَ ْلتَقُ ْم‬
َّ ‫َواِذَا ُك ْنتَ فِ ْي ِه ْم فَاَقَ ْمتَ لَ ُه ُم ْال‬
َ‫صلُّ ْوا َمعَكَ َو ْل َيأ ْ ُخذُ ْوا ِح ْذ َر ُه ْم َوا َ ْس ِل َحتَ ُه ْم َو َّد الَّ ِذيْنَ َكفَ ُر ْوا لَ ْو تَ ْغفُلُ ْون‬ َ ُ‫صلُّ ْوا فَ ْلي‬ َ ُ‫ا ُ ْخ َرى لَ ْم ي‬
‫علَ ْي ُك ْم ا ِْن َكانَ ِب ُك ْم اَذًى ِم ْن‬ َ ‫اح َدة ً َوْلَ ُجنَا َح‬ ِ ‫علَ ْي ُك ْم َّم ْيلَةً َّو‬
َ َ‫ع ْن ا َ ْس ِل َح ِت ُك ْم َوا َ ْم ِتعَ ِت ُك ْم فَ َي ِم ْيلُ ْون‬ َ
‫عذَابًا‬ َ َ‫ع َّد ِل ْل َك ِف ِرين‬ َ َّ ‫ضعُ ْوآ ا َ ْس ِل َحتَ ُك ْم َو ُخذُ ْوا ِح ْذ َر ُك ْم ا َِّن‬
َ َ ‫ّللا ا‬ َ َ‫ضى ا َ ْن ت‬ َ ‫ط ٍر ا َ ْو ُك ْنت ُ ْم َّم ْر‬ َ ‫َّم‬
.‫ُّم ِه ْي ًنا‬
Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu)
lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata mereka,
kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu
rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh)
dan hendaklah datang golongan yang lain yang belum shalat, lalu mereka shalat
denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka.
Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu
mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-
senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit,
dan bersiap siagalah kamu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu.
Shalat berjamaah adalah shalat yang dianjurkan oleh Rasulullah saw untuk
umatnya agar melaksanakannya. Hal ini termaktub dalam hadis berikut ini.

َ‫سا َو ِع ْش ِرين‬ ُ ‫صَلَ ِت ِه فِي َب ْي ِت ِه َوفِ ْى‬


ً ‫س ْوقِ ِه َخ ْم‬ َ ‫لى‬ َ ‫ع‬ َ ‫ف‬ ُ َّ‫ضع‬ َ ُ ‫ع ِة ت‬َ ‫الر ُج ِل فِي ْال َج َما‬ َّ ُ ‫صَلَة‬ َ
ُ ‫ص ََلة‬َّ ‫ضو َء ث ُ َّم خ ََر َج إِلَى ْال َمس ِْج ِد َْل ي ُْخ ِر ُجهُ إِْلَّ ْال‬ ُ ‫سنَ ْال ُو‬ َ ْ‫ضأ َ فَأَح‬ َّ ‫ض ْعفًا َوذَلِكَ أ َ َّنهُ إِذَا ت ََو‬ ِ
ُ‫صلَّى لَ ْم تَزَ ْل ْال َمَلَ ِئ َكة‬َ ‫َط ْيئَةٌ فَإِذَا‬
ِ ‫ع ْنهُ ِب َها خ‬ َ ‫ط‬ َّ ‫ت لَهُ ِبها َ َد َر َجةٌ َو ُح‬ ْ ‫طخ‬
ْ َ‫َط َوة ً إِْلَّ ُرفِع‬ ُ ‫لَ ْم َي ْخ‬
‫ص ََلةٍ َما‬ َ ‫ار َح ْمهُ َوْلَ َيزَ ا ُل أ َ َح ُد ُك ْم فِي‬ ْ ‫علَ ْي ِه اَللَّ ُه َّم‬ َ ‫ص ِل‬ َ ‫صَلَّهُ اَللَّ ُه َّم‬
َ ‫ام فِي ُم‬ َ ‫علَ ْي ِه َما َد‬ َ ‫ص ِل ْي‬َ ُ‫ت‬
.َ‫صَلَة‬ َّ ‫ظ َر ْال‬ َ َ‫ا ْنت‬
39

“ Shalatnya seseorang laki-laki berjamaah dibandingkan shalatmya di rumah


atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali
lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya
lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk meleksanakan
shalat berjamaah. Maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan
ditinggikanya satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahanya. Apa bila dia
melaksanakan shalat, maka malaikat akan turun untuk mendoakanya selama dia masi
berada ditempat shalatnya, Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia. Dan
seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti
peleksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).65

َ ‫ص ََلة َ ْالفَ ِذ ِب‬


َ‫سب ٍْع َو ِع ْش ِريْن‬ َ ‫ض ُل‬ َ ‫ص ََلة ُ ْالجْ َما‬
ُ ‫ع ِة تَ ْف‬ َ ‫هللا قَا َل‬ ُ ‫ع َم َر ا َ َّن َر‬
ِ ‫سو َل‬ َ ‫ع ْن‬
ِ ‫ع ْب ِد‬
ُ ‫هللا ب ِْن‬ َ
ً‫َد َر ِجة‬

Berita dari Abdullah bin Umar ra mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Shalat berjamaah lebih utama dari Shalat sendiri-sendiri dua puluh tujuh derajat” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)66

Dan seseorang kamu senantiasa dianggap seperti dalam shalat selama dia
menunggu-nunggu waktu shalat.

‫هللا َمااَع ِْرفُي‬ َ ‫ضبٌ فَقُ ْلتُ َماا َ ْغ‬


ِ ‫ض َبكَ فَقَا َل َو‬ ِ ‫علَّى اَبُوالد َّْر َد‬
ِ ‫اء َوه َُو ُم ْغ‬ ِ ‫ت ا ُ ُّم الد َّْر َد‬
َ ‫اء َد َخ َل‬ ْ َ‫قَل‬
.‫صلُّونَ َج ِم ْيعًا‬
َ ُ‫ش ْيئًا اِْلَّ ا َ َّن ُه ْم ي‬
َ ‫ِم ْن ا ُ َّم ِة ُم َح َّم ٍد ﷺ‬
Ummu Darda’ ra. bercerita, “Abu Darda’ datang kepadaku, ketika itu ia sedang
marah. Lalu kutanyakan, “Mengapa anda marah?”
Jawabnya, “Demi Allah! Tidak ada yang aku ketahui tentang ummat Muhammad sesuatu
yang paling baik, melainkan hanya salat berjamaah.”

65Asy Syaikh Abdul Qodir Ar Rahbawi, Shalat Empat Mazhab, (Cetakan Pertama: Rabi’ul Awal
1437 / Januari 2016 M), h.307
66
Asy Syaikh Abdul Qodir Ar Rahbawi, Shalat Empat Mazhab, (Cetakan Pertama: Rabi’ul Awal
1437 / Januari 2016 M), h.308
40

Dari penjelasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa


Shalat berjamaah adalah shalat yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada hambanya.
dikerjakan lebih dari dua orang, serta dijelaskan mengenai keutamaan orang yang
mengerjakan.

B. Pandangan ulama mengenai pelaksanaan ibadah shalat berjamaah dalam masa


pandemi COVID-19

pemerintah selalu menganjurkan masyarakat untuk menerapkan protokol


kesehatan Hal ini jelas dikarenakan adanyan ancaman terjangkitnya virus COVID-19.
Pada saat ada wabah (bahkan yang bersifat pandemi) di wilayah tertentu, maka
masyarakat harus berdiam diri dan tidak keluar dari rumah, bahkan keluar dari wilayah
yang didiami. Hal ini sesuai dengan hadis yang termaktub pada Shahih Bukhari dan
Muslim sebagai berikut.

‫غ َبلَغَهُ ا َ َّن ْال َو َبا َء قَ ْد َوقَ َع‬


َ ‫س ْر‬ َ ‫شأ ْ ِم َف َل َّما َكانَ ِب‬
َّ ‫ع َم َر خ ََر َج ِا َلى ال‬ ُ ‫ام ٍر ا َ َّن‬ِ ‫ع‬ ِ ‫ع ْب ِد‬
َ ‫هللا ب ِْن‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫ض فَ ََل‬ ٍ ‫س ِم ْعت ُ ْم ِب ِه ِبا َ ْر‬َ ‫هللا صلم قَا َل اِذَا‬ ِ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْوفٍ ا َ َّن َر‬َ ‫الرحْ َم ِن ب ُْن‬ َ ُ‫ش ْل ِم فَأ َ ْخ َب َره‬
َّ ‫ع ْب ُد‬ َّ ‫ِبال‬
.ُ‫ارا ِم ْنه‬ ً ‫ض َو ا َ ْنت ُ ْم ِب َها فَ ََل ت َْخ ُر ُج ْوا فِ َر‬ َ ‫تَ ْق َد ُموا‬
ٍ ‫علَ ْي ِه َواِذَا َوقَ َع ِبا َ ْر‬
Dari Abdullah bin ‘Amir ra, ‘Umar melakukan perjalanan ke Syam. Setelah ia
sampai di Sargh, datanglah berita bahwa di Syam sedang berjangkit penyakit menular.
Lalu ‘Abdurrahman bin Auf menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah saw berkata:
“Kalau kamu mendengar penyakit menular berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu
pergi ke sana. Tetapi kalau penyakit itu berjangkit di negeri di mana kamu berada,
janganlah kamu ke luar dari padanya melarikan diri!” (HR. Bukhari).

‫س ِم ْعتَ ِم ْن‬ َ ‫سا َمةَبْنَ زَ ْي ٍد َماذَا‬ َ ُ ‫س ِم َعهُ َي ْسا َ ُل ا‬ َ ُ‫ع ْن ا َ ِب ْي ِه ا َ َّنه‬ ٍ َّ‫س ْع ِد ب ِْن ا َ ِبى َوق‬
َ ‫اص‬ َ ‫ام ِرب ِْن‬ ِ ‫ع‬َ ‫ع ْن‬ َ
ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫هللا‬ِ ‫سو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ُ‫سا َمة‬ َ ُ ‫ع ْو ِن؟ فَقَا َل ا‬ ُ ‫الطا‬ َّ ‫سلَّ َم فِى‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ ‫س ْو ِل‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫َر‬
‫علَى َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم فَ ِاذَا‬ َ ‫علَى َب ِنى اِس َْرا ِئ ْي َل ا َ ْو‬ َ ‫عذَابٌ ا ُ ْر ِس ُل‬ َ ‫ع ْونَ ِرجْ ٌزاا َ ْو‬ َّ
ُ ‫سل َم الطا‬ َّ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
ْ
.ُ‫ارا ِمنه‬ ْ ُ
ً ‫ض َوانت ْم ِب َها فَ ََل تَخ ُر ُجوا فِ َر‬ ْ َ َ َ َ
ٍ ‫عل ْي ِه َواِذا َوق َع ِبا ْر‬ َ ْ
َ ‫ض فَ ََل تَق َد ُموا‬ َ ُ
ٍ ‫س ِم ْعت ْم ِب ِه ِبا ْر‬َ
Dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya ra., bahwa ‘Amir
mendengar bapaknya (Sa’ad bin Abi Waqqash) bertanya kepada Usamah bin Zaid,
katanya: “Apa yang engkau dengar dari Rasulullah SAW tentang penyakit tha’un?”
Jawab Usamah, “Rasulullah SAW bersabda: Tha’un (wabah kolera) adalah semacam
azab (siksaan) yang diturunkan Allah kepada Bani Israil atau kepada umat yang sebelum
kamu.
41

Maka apabila kamu mendengar penyakit tha’un berjangkit di suatu negeri,


janganlah kamu datang ke negeri itu. Dan apabila penyakit itu berjangkit di tempat kamu
berada, janganlah engkau keluar dari negeri itu untuk melarikan diri daripadanya.” (HR.
Muslim)

Dalam melaksanakan ibadah pun, jamaah pun dibuat renggang. Ada yang
menggunakan tanda silang di lantai untuk menunjukkan jarak shaf antarjamaah. Ada juga
yang tidak menggunakan tanda silang, tetapi tergantung dari kesadaran jamaah masing-
masing. Dalam aturan masjid di masa pandemi COVID-19 dibuka bebas untuk berjamaah
tetapi tetap dengan menggunakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Dalam shaf
telah dijelaskan dalam hadis sebagai berikut.

‫صفُوفَ ُك ْم ا َ ْو لَيُخَا ِلفَ َّن‬ َ َ‫سلَّ َم لَت‬


ُ ‫س ُّو َّن‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫ع ْن ال ُّن ْع َمانَ ب ِْن َب ِشي ِْر َيقُو ُل قَا َل ال َّن ِب‬
َ ‫ي‬ َ
.‫هللا َبيْنَ َو ُج ِه ُك ْم‬
ُ
Berita dari Nu’man bin Basyir ra. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Luruskan shaf (barisan)-mu! Atau Allah akan mempertikaikan arah mukamu
(berpecah belah) nanti.” (HR. Bukhari)

‫صفُوفَ ُك ْم‬
ُ ‫هللا ﷺ ِب َوجْ ِه ِه فَقَا َل ا َ ِق ْي ُموا‬
ِ ‫سو ُل‬ َ ‫ص ََلة ُ فَا َ ْق َب َل‬
ُ ‫علَ ْينَا َر‬ ِ ‫ع ْن اَن ٍَس قَا َل ا ُ ِق ْي َم‬
َّ ‫ت ال‬ َ
.‫ظ ْه ِرى‬ َ ‫اء‬ ِ ‫ص ْوا فَ ِا ِنى ا َ َرا ُك ْم ِم ْن َو َر‬
ُّ ‫َوت ََرا‬
Berita dari Anas ra. mengatakan, bahwa pada suatu kali qamat untuk shalat telah
diucapkan orang, Rasulullah SAW menghadapkan mukanya kepada kami, lalu bersabda:
“Luruskan dan rapatkan shaf-mu! Sesungguhnya aku dapat melihatmu di belakangku.”
(HR. Bukhari)

‫علَ ْي ِه فَ ِاذَا‬ ِ ْ ‫ع ِن ال َّن ِب ِى ﷺ ا َ َّنهُ قَا َل اِ َّن َما َج ِع َل‬


َ ‫اْل َما ُم ِل ُيؤْ تَ َّم ِب ِه فَ ََل ت َْختَ ِلفُوا‬ َ َ‫ع ْن ا َ ِبى ه َُري َْرة‬ َ
‫س َج َد فَا ْس ُجد ُْوا َواِذَا‬ ُ
َ ‫هللا ِل َم ْن َح ِم َدهُ فَقُولوا َر َّبنَالَكَ ال َح ْم ُد َواِدَّا‬ ُ ‫س ِم َع‬ َ ‫ار َكعُ ْوا َواِذَا قَا َل‬ ْ َ‫َر َك َع ف‬
‫ف ِم ْن‬ ِ ‫ص‬ َّ ‫ص ََلةِ فَا َِّن اِقَا َمةَ ال‬ َّ ‫ف فِى ال‬ َّ ‫سا ا َجْ َمعُونَ َواَقِ ْي ُموال‬
َّ ‫ص‬ ً ‫صلُّوا ُجلُو‬ َ َ‫سا ف‬ ً ‫صلَّى َجا ِل‬ َ
.ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫ُحس ِْن ال‬
Berita dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Imam itu
ditetapkann untuk diikuti. Karena itu janganlah kamu menyalahinya. Apabila dia rukuk,
rukuk pulalah kamu. Apabila dia membaca Sami’allahu liman hamidah, maka baca
pulalah Rabbana lakal hamdu. Dan apabila dia sujud, sujud pulalah kamu, apabila dia
duduk, duduk pulalah semuanya.
Dan luruskan shaf (barisan) dalam shalat; sesungguhnya meluruskan shaf itu
sebaik-baiknya salat. (HR. Bukhari)
42

‫ظ ْه ِرى َو َكانَ ا َ َح ُدنَا َي ْل ِز ُق‬


َ ‫اء‬
ِ ‫صفُوفَ ُك ْم فَ ِا ِنى ا َ َرا ُك ْم ِم ْن َو َر‬
ُ ‫ع ِن ال َّن ِب ِى ﷺ قَا َل اَقِي ُموا‬ َ ‫ع ْن اَن ٍَس‬ َ
.‫اح ِب ِه َوقَ َد َمهُ ِبقَ َد ِم ِه‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫َم ْن ِك َبهُ ِب َم ْن ِك‬
َ ‫ب‬
Dari Anas ra, dari Nabi saw, sabdanya: “Luruskan shaf! Aku dapat melihatmu di
belakangku. Di antara kami ada yang bertemu bahu dengan bahu kawannya, dan tumit
dengan tumit.” (HR. Bukhari)

‫ص ََلةِ َو َيقُو ُل ا ْست َُووا‬ َّ ‫س ُح َمنَا ِك َبنَا فِى ال‬ َ ‫هللا ﷺ َي ْم‬ َ ‫سو ُل‬ ُ ‫ْعو ٍد قَا َل َكانَ َر‬ ْ ‫ع ْن ا َ ِبى َمس‬ َ
َ‫ف قُلُوبُ ُك ْم ِل َي ِل ِنى ِم ْن ُك ْم اُولُوا ْاْلَحْ ََل ِم َوال َّن َهى ثُّ َم الَّ ِذيْنَ َيلُ ْو َن ُه ْم ث ُ َّم الَّ ِذيْن‬ َ ‫َو َْلت َْختَ ِلفُوا فَت َْختَ ِل‬
َ َ ‫َيلُ ْو َن ُه ْم قَا َل اَب ُْو َم ْسعُ ْو ٍد فَا َ ْنت ُ ُم ْال َي ْو َم ا‬
.‫ش ُّدا ْخ ِتَلَفًا‬
Dari Abu Mas’ud ra, katanya: “Rasulullah saw menyentuh bahu kami sebelum
shalat sambil berkata: “Luruskan barisanmu, jangan bengkok-bengkok. Karena barisan
yang bengkok, niscaya akan menyebabkan hatimu berpecah-belah. Orang dewasa yang
cerdik dan pandai hendaklah berdiri dekat di belakangku, kemudia yang pandai dan
seterusnya.” (HR. Muslim)

َ‫وااْلَحْ ََل ِم َوال ُّن َهى ث ُ َّم الَّ ِذيْن‬


ْ ُ‫هللا ﷺ ِل َيل ِنى ِم ْن ُك ْم اُول‬
ِ ‫سو ُل‬ ُ ‫هللا ب ِْن َم ْسعُ ٍد قَا َل قَا َل َر‬ ِ ‫ع ْب ِد‬َ ‫ع ْن‬ َ
ِ ‫َيلُو َن ُه ْم (ث ُ ََل ٍثا) َواِ َّيا َ ُك ْم َو َه ْيشَا‬
ِ ‫ت ْاْلَس َْوا‬
.‫ق‬
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, katanya Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah
berdiri dekat denganku orang-orang dewasa yang cerdik dan pandai, kemudian yang
pandai (beliau, ucapkan sampai tiga kali), dan jauhilah hiruk-pikuk seperti di pasar!”
(HR. Muslim)

‫ف ِم ْن تَ َم ِام‬ َّ ‫صفُ ْوفَ ُك ْم فَا َِّن تَ ْس ِو ْيةَ ال‬


ِ ‫ص‬ ُ ‫س ُّو ْوا‬
َ ‫هللا ﷺ‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع ْن اَن ٍَس ب ِْن َمالِكٍ قَا َل‬
ِ ‫سو ُل‬ َ
.ِ‫ص ََلة‬
َّ ‫ال‬
Dari Anas bin Malik ra, katanya Rasulullah saw bersabda: “Luruskan shaf kamu,
karena shaf yang lurus termasuk salat yang sempurna.” (HR. Muslim)

َ‫ص ََل ِة فَا َِّن اِقَا َمة‬ َ ‫هللا ﷺ فَذَ َك َر ا َ َحا ِدي‬
َّ ‫ْث ِم ْن َها َوقَا َل ا َ ِق ْي ُمواال‬ ِ ‫سو ِل‬ ُ ‫ع ْن َر‬َ َ‫ع ْن ا َ ِبى ه َُر ْي َرة‬
َ
.‫ص ََل ِة‬
َّ ‫ف ِم ْن ُحس ِْن ال‬ ِ ‫ص‬ َّ ‫ال‬
Dari Abu Hurairah ra. katanya Rasulullah saw bersabda: “Buatlah shaf
(barisan), karena dengan membuat shaf itu sesungguhnya termasuk shalat yang bagus.”
(HR. Muslim)

‫س ِوى ِب َها‬ َ ُ‫صفُوفَنَا َحتَّى َكا َ َّن َما ي‬ ُ ‫س ِوى‬ َ ُ‫ّللا ﷺ ي‬ِ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع ْن ال ُّن ْع َمانَ ْبنَ َب ِش ْي ٍر َيقُ ْو ُل َكانَ َر‬ َ
‫ام َحتَّى َكا َ َد ُي َك ِب ُر فَ َراَى َر ُجَلً َبا ِديًا‬ َ ‫عقَ ْلنَا‬
َ َ‫ع ْنهُ ث ُ َّم خ ََر َج َيو ًما فَق‬ َ ‫ْال ِق َدا َح َحتَّى َراى ا َ َّنا قَ ْد‬
.‫ّللا َب ْينَ ُو ُج ْو ِه ُكم‬ ُ َّ ‫صفُوفَ ُكم اَولَيُخَا ِلفَ َّن‬ُ ‫س ُّو َّن‬َ ُ ‫ ِع َبا ِد ّللاِ!!! لَت‬:َ‫ف فَقَال‬ َّ ‫ص ْد ُرهُ ِمنَ ال‬
ِ ‫ص‬ َ
43

Dari Nu’man bin Basyir ra, katanya: “Rasulullah saw pernah meluruskan shaf
kami, sehingga beliau kelihatan seolah-olah sedang meluruskan anak panah sampai
lurus benar. Pada suatu hari beliau hendak shalat dan hampir takbir, sekonyong-
konyong terlihat oleh beliau seorang laki-laki menonjolkan dadanya dari shaf. Maka
bersabda beliau, “Wahai hamba Allah! Luruskanlah shaf anda! Kalau tidak, niscaya
Allah akan mencerai beraikan hati anda.” (HR. Muslim).

keadaan orang yang shalat berjemaah dengan shaf yang tidak rapat disebabkan
oleh pemberlakuan jarak di antara mereka. Sebelum mengulas penjelasan hukum shalat
berjemaah di masjid dengan shaf terpisah karena wabah virus covid-19 yang melanda,
ada beberapa poin penting yang perlu dipahami bersama terlebih dahulu, yaitu:
Pertama, jika telah ada instruksi dari pihak yang berwenang, dalam hal ini
pemerintah dan MUI, untuk menghentikan sementara kegiatan shalat Jumat dan shalat
fardu berjemaah di masjid, maka wajib bagi seorang muslim untuk menaatinya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam (Q. S: 4: 59 )

َ ‫س ْو َل َواُو ِلى ْاْلَ ْم ِر ِم ْن ُك ْۚ ْم فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِ ْي‬


ٍ‫ش ْيء‬ َّ ‫ّللا َوا َ ِط ْيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َ ٰ ‫ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْٰٓوا ا َ ِط ْيعُوا‬
.‫س ُن تَأ ْ ِو ْي ًل‬
َ ْ‫اّٰلل َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ْۗ ِر ذلِكَ َخي ٌْر َّواَح‬
ِ ٰ ‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ ِب‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ّللا َو‬ ِ ٰ ‫فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulul
amri diantara kamu.”

Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, dan Hasan al-Bashri menafsirkan ulul amri sebagai
ahli fikih dan agama. Abul ‘Aliyah mengatakan yang dimaksud dengan ulul amri adalah
ulama. Ibnu Katsir mengatakan, “Tampaknya -wallahu a’lam- ayat ini memaksudkan ulul
amri adalah umara dan ulama.”67

Kedua, jika larangan tersebut masih berupa imbauan, karena keadaan masih
dianggap kondusif, dan imbauan tersebut bertujuan untuk pencegahan dini dari
penyebaran virus covid-19, maka sebaiknya imbauan tersebut diikuti, karena mencegah
lebih baik daripada mengobati. Hal itu tercermin dari kaidah sadd aldzarai’68’69 (tindakan
preventif) dan al-dhararu yuzal70 (menghilangkan mudarat). Keluarnya imbauan dari
pemerintah atau MUI sudah dengan sendirinya menjadi uzur untuk meninggalkan shalat
Jumat dan shalat berjemaah di masjid.
44

Ketiga, jika belum ada larangan atau imbauan khusus untuk daerah tertentu,
karena penyebaran virus belum sampai ke daerah tersebut, dan masyarakat yakin bahwa
daerahnya masih steril, maka shalat Jumat dan jemaah di masjid tetap dilaksanakan
seperti biasa, demi menjaga syiar Islam. Dalam kondisi ini, maka shalat Jumat dan shalat
fardu berjemaah dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Keempat, jika sebuah lembaga atau badan takmir masjid tetap memilih
melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjemaah di masjid setelah adanya imbauan dari
pemerintah dan MUI, dengan menerapkan beberapa bentuk tindakan preventif, seperti
memakai masker, social distancing (jaga jarak) shaf shalat, maka ada perbedaan
pendapat antara ulama (kontemporer) tentang sah tidaknya shalat dengan shaf yang
berjauhan, baik antara shaf pertama dan kedua, maupun antara seorang dengan orang
yang di kanan dan kirinya.

67Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid II (Cet. II;
Riyadh: Dar al-Thayyibah, 1420 H/ 1999 M), h. 345

68Muhammad bin Abdullah bin Bahadir al-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh,
Wizarah al-Awqaf wa al-Syuun al-Islamiyah, Jilid VI (Cet. II; Kuwait: t.p., 1413 H/ 1992 M), h.
82.
69Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq al-Haq min
‘Ilmi al-Ushul, Jilid II (Cet. I; Damaskus: Dar al-Kitab al-Arabi, 1419 H/ 1999 M), h. 193.

70Tajuddin Abdul Wahhab bin Taqiyuddin al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhair, Jilid I (Cet.
I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/ 1991 M), h. 41.
45

1. Hukum Merapatkan Dan Meluruskan Shaf Dalam Keadaan Normal

Sebagaimana yang sudah maklum diketahui bahwa hukum merapatkan dan


meluruskan shaf dalam shalat berjama’ah adalah sunnah. Diantara ulama mazhab yang
menghukumi sunnah antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Nawawi, Al-
Qadhy bi ‘Iyad, dan pada umumnya jumhur ulama empat mazhab.

Sebagian ulama sampai mewajibkan merapatkan shaf dalam pelaksanaan shalat


berjama’ah71, diantara yang mewajibkan antara lain: Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, Imam
bukhari, Imam Syaukani, dan jumhur ulama mazhab imam Hambali. Dan yang paling
ekstrim bahkan sampai menempatkan rapat dan lurusnya shaf merupakan bagian dari
rukun shalat. Sebagaimana pendapat yang dipegang oleh Imam ibnu Hazm yang
menyatakan bahwa orang yang shalat tidak merapatkan shaf maka batal shalatnya.72

Dalil anjuran merapatkan dan meluruskan shaf terdapat dalam HR. Bukhari, No.
723, dan HR. Muslim, No. 433 karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.

، ‫صفُوفَ ُك ْم‬ َ : ‫سلَّ َم‬


ُ ‫س ُّووا‬ َ ُ‫صلَّى اللَّله‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو ُل اللَّل ِه‬ َ ُ‫ي اللَّله‬
ُ ‫ َر‬: ‫ قَا َل‬،ُ‫ع ْنه‬ ِ ‫ع ْن أَن ٍَس َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫َو‬
.‫علَي ِه‬ َّ ‫ف ِم ْن تَ َم ِام ال‬
َ ‫ ُمتَفَ ٌق‬.ِ‫صآلة‬ َّ ‫فَإِ َّن تَ ْس ِو َيةَ ال‬
ِ ‫ص‬
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa lurusnya shaf termasuk mendirikan
shalat.

:‫ فَقَا َل‬، ‫سلَّ َم ِب َوج ِه ِه‬ َ ُ‫صلَّى اللله‬


َ ‫علَي ِه َو‬ َ ‫سو ُل اللَّل ِه‬
ُ ‫علَينَا َر‬
َ ‫صآلة ُ فَأق َب َل‬ ِ ‫ أُقِي َم‬: ‫ قَا َل‬،ُ‫ع ْنه‬
َّ ‫ت ال‬ َ ‫َو‬
‫ َو ُمس ِل ٌم‬،‫فظ ِه‬ِ َ‫ي ِبل‬ُّ ‫ َر َواهُ البُخَا ِر‬،‫هري‬ ِ ‫ظ‬ َ ‫اء‬ ِ ‫أر ُكم ِمن َو َر‬ ُّ ‫صفُوفَ ُكم َوت ََرا‬
َ ‫ فَإِ ِني‬، ‫صوا‬ ُ ‫أَقِي ُموا‬
.‫صا ِح ِب ِه َوقَ َد َمهُ ِبقَ َد ِم ِه‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ َو َكانَ أ َ َح ُد نَا ي ُِلز ُق َمن ِك َبهُ ِب َمن ِك‬: ‫َارى‬
ِ ‫ َوفِي ِر َوا َي ٍة ِللبُخ‬.ُ‫ِب َمعنَاه‬
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah shaf-shaf
kalian, karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” [HR. Bukhari, no.
719 dan Muslim, no. 434]

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa seorang imam masjid hendaknya


memerintahkan para jama’ah dalam pelaksanaan shalat berjama’ah untuk meluruskan
shaf sebelum melaksanakan shalat. Dan perintah tersebut dilaksanakan ketika bila sudah
melaksanakan iqomah setelah adzan panggilan shalat.

71(Muhammad Kumaidi, 2020)


72(Nasir, 2020)
46

2. Hukum Merengangkan Shaf Di Masa Pandemic


Melurusakan dan merapatkan saf merupakan keutamaan dan kesempurnaan
berjamaah, melaksanakan shalat dengan saf yang tidak lurus dan tidak rapat hukumnya
sah, akan tetapi kehilangan keutamaan dan kesempurnaan jamaah. Dalam hal
merenggangkan saf shalat akibat penerapan physical distancing sebagai upaya untuk
mencegah penularan wabah Covid 19 hukumnya boleh, shalatnya sah dan tidak
kehilangan keutamaan berjamaah. Karena kondisi tersebut merupakan hajjat syar‟iyyah.

3. Ulama Yang Melarang Shalat Dengan Model Social Distancing Atau Berjarak
a. Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan ulama lainya berpendapat bahwa shalat sendirian di
belakang shaf shalatnya batal.
Hadits Nabi SAW

‫ف‬ َّ ‫صَلَةَ ِل ُم ْنفَ ِر ٍد خَلفَا ال‬


ِ ‫ص‬ َ َ‫ْل‬
Artinya: (Tidak (sah) shalat orang yang sendirian di belakang shaf)” H.R. Ahmad.
Akan tetapi Imam Syafi’i berasumsi bahwa hadis ini bertentangan dengan hadis
seorang Wanita tua yang shalat sendirian di belakang laki-laki seperti yang di ungkap
dalam hadits Anas. Adapaun Ahmad menyatakan itu sama sekali bukan alasan, karena
sudah menjadi sunnah Wanita untuk berdiri di belakang laki-laki. Yang lain menyatakan
bahwa sanad hadits tersebut mudhtharib (simpang siur) sehingga tidak bisa di jadikan
hujjah.
Jumhur ulama berhujjah dengan hadits Abi Bakrah, yang mengisahkan bahwa ia
shalat di belakang shaf, namun Rasulullah SAW tidak memerintahkanya untuk
mengulangi shalatnya. Rasulullah SAW bersabda padanya,

‫صا َو َْل تَعُ ْد‬ ُ ‫ذَا َدك‬


ً ‫ّللا ِخ ْر‬
“Semoga Allah menambah kebaikan untukmu, dan jaganlah kamu ulangi”73
b. Syekh Abdul Muhsin al-Abbad74 Shalat di masjid dengan model social distancing tidak
dianggap shalat berjemaah, maka shalat ini dianggap shalat sendiri. Salah seorang ulama
senior di kota Madinah Saudi Arabia, pernah menjabat menjadi wakil rektor Universitas
Islam Madinah di tahun 1393-1399 H.

73Ibnu Rusyd, Bidayatul Muztahid, Jiilid 1, hal 314-315


74Salah seorang ulama senior di kota Madinah Saudi Arabia, pernah menjabat menjadi wakil rektor
Universitas Islam Madinah di tahun 1393-1399 H. Beliau salah seorang pengajar resmi di Masjid Nabawi sejak tahun
1406 H hingga sekarang, lihat: https://al-abbaad.com/profile Diakses pada 8 April 2020.
47

Ketika ditanya tentang hukum shalat berjemaah dengan cara social distancing,
beliau menjawab: “shalat (jemaahnya) tidak sah, hukumnya sama saja dengan saat
mereka shalat sendirian.”75
Tetapi beliau tidak menyebutkan dalil dari pendapat tersebut. Boleh jadi
landasannya adalah hadis-hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berisi
perintah meluruskan dan merapatkan shaf76
Dan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa meluruskan dan
merapatkan shaf hukumnya wajib.77 Sedang shalat dengan tata cara sebagaimana
disebutkan di atas berarti melanggar perkara yang wajib.
Majelis Eropa untuk Fatwa dan Riset (The European Council for Fatwa and
Research). Dalam fatwa no. 7/30 (28 Maret 2020),78 sebagai jawaban atas pertanyaan
tentang shalat berjemaah dengan cara social distancing, lembaga ini menjawab: “Pada
kondisi seperti ini sebaiknya shalat di masjid dihentikan sementara, dan dilaksanakan di
rumah masing-masing.
Shalat berjemaah (di masjid) hukumnya sunah muakadah, sedangkan menjaga
keselamatan jiwa manusia hukumnya wajib, sehingga mengutamakan perkara sunah atas
perkara wajib tidak tepat.
Shalat dengan cara tersebut terkesan dipaksakan dan mempersulit perkara yang
dimudahkan Allah, ia juga bertolak belakang dengan ruh/hikmah disyariatkannya shalat
berjemaah, menyalahi nas-nas yang memerintahkan untuk merapatkan shaf dan melarang
shalat sendirian di belakang shaf.

75https://twitter.com/abdul4455_com/status/1238871363290640384 Diakses pada 5 April


2020.
76Di antaranya sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
ُ ‫َأقِي ُموا‬
‫ َوتَ َرا صُّوا‬،‫ص ُفو َف ُكم‬

“Luruskan saf-saf kalian dan rapatkan.” (H.R. Bukhari no. 719)

77Di antara ulama yang menyatakan kewajiban meluruskan dan merapatkan saf adalah
Imam Bukhari, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Utsaimin. Lihat: https://islamqa.info/ar/answers/36881
dan https://www.alukah.net/sharia/0/90602/# ftn70 Diakses pada 5 April 2020.

78
https://www.e-cfr.org/ Diakses pada 5 April 2020.
48

Selain itu, cara seperti ini tidak menjamin orang-orang terhindar dari penularan virus,
sebab mereka tetap bercampur saat masuk dan keluar, sujud di tempat yang sama, begitu
pula saat membuka pintu. Masjid haruslah menjadi contoh kedisiplinan terhadap
peraturan dan undang-undang, juga dalam kehatihatian dalam melindungi jiwa manusia,
bukan malah sebaliknya.”79
4. Ulama Yang Membolehkan Shalat Dengan Model Social Distancing Atau Berjarak
a. Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih80 shalat dengan model social distancing atau
berjarak tersebut sah dan tetap mendapat pahala shalat berjemaah. Dalam artikel yang

berjudul (Hukum-Hukum Fikih Terkait Virus Corona( halaman 17, masalah fikih no 17,

tentang hukum shaf yang berjauhan dalam shalat berjamaah,81 beliau menulis :
“Sunah (tuntunan Rasulullah) bahwa shaf shalat haruslah berdekatan, jarak antara
satu shaf dengan shaf berikutnya adalah seukuran tempat sujud. Tetapi jika (berjauhan
jarak) diperlukan karena khawatir terjangkit penyakit, maka berjauhan shaf tidak
mengapa, walaupun seorang harus shalat sendiri di belakang shaf karena hajat
(kebutuhan).
b. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa merapatkan shaf hukumnya wajib,
tetapi jika dibutuhkan (untuk shalat sendiri) seperti jika shaf sudah penuh, maka shalatnya
sah dan kewajiban sejajar dengan shaf menjadi gugur.
c. Ibnu Hajar Al Haitami di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj bi syarhil Minhaj

‫ نعم إن َكانَ تَأ َ ُّج ُر ُه ْم ِلعُ ْذ ٍر‬,‫ بل يدخل الصف إن وجد سعة‬,‫ويكره وقوف المأموم فردا‬
ِ ‫ت ْال َح ِر ِب ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام فَ ََل َك َرا َهةَ َو َْل تَ ْق‬
َ ‫صي َْر َك َما ه َُو‬
.‫ظا ِهر‬ ِ ‫َك َو ْق‬

79Penulis melihat bahwa fatwa ini tidak menyebutkan secara eksplisit hukum salat dengan cara di
atas. Namun dapat dipahami bahwa hukumnya sama dengan fatwa Syekh Abdul Muhsin
al-Abbad, yakni salatnya sah, namun tidak mendapat pahala salat berjemaah. Wallahu A'lam.

80Salah seorang guru besar di bidang fikih pada Qassim University KSA. Beliau memiliki banyak
karya ilmiah yang sangat berharga, di antaranya: Fiqh al-I’tikaf, Ahkam al-Zakah dan Hasyiah al-Raudh
al-Murbi’. Lihat: https://ar.islamway.net/scholar/330/profile Diakses pada 8 April 2020.
81
https://islamhouse.com/ar/books/2829154/ Diakses pada 5 April 2020.
49

“Dan dimakrukan Ma’mun berdiri sendiri, akan tetapi Ma’mun masuk mengisi
shaf yang longgar, jika mereka (Ma’mun) tertingal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti
saat cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana
yang Zahir82

d. Imam al-Ramli

‫ف قَ ْب َل أِ ْت َم ِام‬
ٌّ ‫ص‬
َ ‫ف‬ ْ ‫ض أ َ ْه ِل ْال َع‬
َ َ‫ص ِر أ َ َّنهُ أِذَا َوق‬ ُ ‫ع َّماأ َ ْفتَى ِب ِه َب ْع‬
َ ‫ي‬ ُّ ‫الر ْم ِل‬
َّ ‫ب‬ِ ‫الش َها‬
ِ ‫س ِئ َل‬ ُ ‫َو‬
ِ َ‫اب ِبأ َ َّنهُ َْلتَقُ ْوتُهُ ف‬
ُ‫ض ْيلَة‬ َ ‫ض ْيلَةُ ْال َج َما‬
َ ‫ع ِة ه َْل ه َُو ُم ْعتَ َم ٌد أ َ ْو َْل ؟ فَأ َ َج‬ ِ َ‫ص ْل لَهُ ف‬ ُ ْ‫َماأ َ َما َمهُ لَ ْم تَح‬
‫ع ِة ِب ُوقُ ْوفِ ِه ْال َم ْذ ُك ْو ِر‬
َ ‫ْال َج َما‬
“Syihab al-Ramli pernah ditanya tentang fatwa sebagianulama tentang kuat atau
tidaknya pendapat bahwa jika seorang jamaah yang membuat saf baru sebelum
sempurnanya saf di depannya maka dia tidak mendapatkan keutamaan shalat berjamaah.
Beliau berpendapat bahwa seorang jamaah tersebut tidak kehilangan keutamaan shalat
berjamaah karena membuat saf baru tersebut”83

e. Imam al-Ramli

ْ ‫ع َد ِم ا ْلب‬
‫ُط ََل ِن‬ َ ‫ َو َد ِلي ُل‬,ُ‫ع ْنه‬
َ ‫ف مٍ ْن َج ْن ِس ٍه ِلل َّن ِهي‬ ٍ ‫ص‬ َ ‫ع ْن‬ ً )‫وم فَ ْردًا‬ ِ ‫وف ْال َمأ ْ ُم‬
ُ ُ‫(وق‬
ُ )ُ‫(ويُ ْك َره‬ َ
َ‫ َو َما َو َر َد فِي ِر َواْ َي ٍة أ ُ ْخ َرى ِمن‬,ِ‫عا َدة‬ َ ‫اإل‬ ِ ‫س ََل ُم – ِلفَا ِع ِل ِه ِب‬ َّ ‫علَي ِه ال‬
َّ ‫ص ََلة ُ َوال‬ َ – ‫ت َْركُ أ َ ْم ِر ِه‬
‫ب‬
ِ ‫اإل ْستِحْ َبا‬ َ ‫أَل َ ْم ِر ِب َها َمحْ ُم ْو ٌل‬
ِ ‫علَى‬
“Dan hukumnya makruh bagi makmum yang berdiri sendiri, tetapi tidak sampai
membatalkan shalat jamaah karena Rasul SAW. tidak memerintahkannya untuk
mengulangi shalat. Adapun perintah Rasul Saw. untuk mengulangi shalat (pada riwayat
yang lain) adalah dipahami sebagai sesuatu yang disunnahkan”84

‫َطي فَإِ َّن‬ِ ‫ف ت َْر ِك التخ‬ ِ ‫ ِب ِخ ََل‬,ِ‫صَلَةِ َك َما َو َر َد فِي ْال َحدِيث‬ َّ ‫وف ِم ْن تَ َم ِام ال‬ ِ ُ ‫صف‬ ُّ ‫فَإِ َّن تَ ْس ِو َيةَ ال‬
‫س ِد ْالفُ ْر َج ِة‬ َ ‫ َن َع ْم ِإ ْن َكانَ تَأ َ ُّخ ُر ُه ْم‬.‫سفُوفِ ِه ْم‬
َ ‫ع ْن‬ ُ َ‫ي َبيْن‬ َ ‫س ِو‬َ ُ‫ع َد ُم ِإحْ َر ِام ِه َحتَّى ي‬ َ ُ‫س ُّن لَه‬ َ ُ‫اإل َم ِام ي‬
ِ
.‫ير‬ ِ ‫ص‬ ِ ‫ت ْال َح ِر ِب ْال َمس ِْجد ِْال َح َر ِام لَ ْم يُ ْك َرهُ ِلعَ َد ِم التَّ ْف‬
ِ ‫ِلعُ ْذ ٍر َك َو ْق‬
82Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi syarhil Minhaj, Jilid 1, hal 365

83Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, Jilid 2, hal.192

84mam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, Jilid 2, hal.196-197


50

“Sesungguhnya meluruskan saf adalah termasuk kesempurnaan shalat berjamaah


sebagaimana tersebut dalam hadis. Hal ini berbeda jika barisan tidak teratur, maka
imam disunnahkan untuk tidak bertakbiratul ihram sebelum meluruskan saf. Jika
seseorang tidak merapatkan saf karena uzur seperti cuaca panas di masjidil haram,
maka tidak makruh karena bukan niat meremehkan”.

f. Imam Ibnu Alan As-Shiddiqi al-Syafii

‫صفُ ْوفَ ُك ْم) أى‬ ُّ ‫سلَّم قَال ُر‬


ُ ‫صوا‬ َ ‫هللا علي ِه َو‬
ُ ‫ى‬ َّ ‫سول هللا صل‬ َّ ُ‫ع ْنه‬
ُ ‫ان َر‬ َ ‫هللا‬
ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن‬
ِ ‫أنس َر‬ َ ‫(و‬
َ
‫صفَّي ِْن ثَلثة‬
َ ‫اربُوا َب ْي َن َها) ِبان يكون ما بين ُك ُّل‬ َ ‫حتى ْلَ َي ْبقَى فِ ْي َها فُ ْر َجةٌ َو َْل َخلَ ٌل‬
ِ َ‫(وق‬
َ ‫ض ْيلَة ال َج َما‬
‫عة‬ َ ‫ا َ ْذ ٍرع تَ ْق ِريْبا فَإٍ ْن َبعُ َد صفت‬
ِ َ‫ع َّما قَ ْبلَه ا َ ْكثَ َر ِم ْن ذَلِكَ ُك ِرهَ لهم َوفَاتَ ُهم ف‬
َ ‫ع ْذ َر ِم ْن َح ٍر أ َ ْو َب ْر ٍد‬
‫شدِي ٍد‬ ُ
ُ ‫حيث ْل‬
“Dari sahabat Anas ra., Rasulullah Saw. bersabda: “(Susunlah saf kalian)
sehingga tidak ada celah dan longgar (dekatkanlah antara keduanya) antara dua saf
kurang lebih berjarak tiga hasta. Jika sebuah saf berjarak lebih jauh dari itu dari saf
sebelumnya, maka hal itu dimakruh dan luput keutamaan berjamaah sekira tidak ada
uzur cuaca panas atau sangat dingin misalnya”.85

g. Jumhur ulama mazhab Syafi’i dan Hambali, dimana ulama mazhab Syafi’i menganggap
sah iqtida' (bermakmum) kepada imam, sedang jarak antara keduanya 3 dzira’ (sekitar
1,5 meter), begitu juga jika jarak antara shaf pertama dan kedua dan seterusnya, atau
antara seorang makmum dengan makmum lain di sebelah kanan atau kirinya, meski jarak
antara mereka 3 dzira’ (sekitar 1,5 meter), batas maksimal jarak antara imam dan
makmum, antara satu shaf dengan shaf yang lain, atau satu orang dengan yang lainnya
disebutkan 300 dzira’ (sekitar 150 meter), dengan syarat makmum dapat melihat shalat
imam atau mendengar suara takbirnya.
Semua dianggap sah dalam kondisi normal, apalagi jika ada uzur atau sebab
tertentu yang memaksa jemaah saling mengambil jarak aman antara satu sama lain seperti
saat penyebaran virus covid-19. Ini berkaitan dengan salah satu syarat berjemaah yang
disebutkan dalam mazhab Syafi’i, yakni berkumpulnya imam dan makmum di satu
masjid (tempat). Meski demikian, semua ulama sepakat bahwa shalat berjemaah dengan
shaf yang lurus dan rapat tentu lebih afdal.

85Imam Ibnu Alan As-Shiddiqi al-Syafii, Dalil al-Falihin, Jilid 6, hal.573-574


51

h. Imam al-Rafi’i berkata :

‫ت‬ َ ‫ت ْال َم‬


ْ ‫سافَةُ َب ْي َن ُه َما أ َ ْو َبعُ َد‬ ِ ‫ قُ ُر َب‬،‫اْل ْقتَ َدا ُء‬
ِ ْ ‫ص َّح‬ َ ‫اح ٍد‬ِ ‫اإل َما ُم َوا َ ْل َمأ ْ ُم ْو ُم ِفى َمس ِْج ٍد َو‬ ِ َ‫ف َمتَى َكان‬
‫ فَ ْال ُمجْ ت َِمعُ ْونَ فِ ْي ِه‬،‫ع ِة فِ ْي ِه‬َ ‫ص ََلةِ َو ِإقَا َم ِة ْال َج َما‬ َّ ‫ي لل‬ ٌّ ‫ ََل َ َّن ْال َمس ِْج َد ُكلَّهُ َم ْب ِن‬... ،ِ‫ِل ِك َب ِر ْال َمس ِْجد‬
.‫سافَ ِة‬َ ‫ض ُّر ُه ْم َب ْع ُد ْال َم‬
َ ‫ فَ ََل َي‬،‫ارهَا‬ ِ َ‫ُمجْ تَ ِمعُ ْونَ ِإلقَا َم ِة ُم َؤد ُّْونَ ِل ِشع‬
Kapan saja imam dan makmum berada di satu masjid, maka iqtida’ (berimam
kepadanya) sah, baik jarak antara keduanya berdekatan atau berjauhan dikarenakan
luasnya masjid, sebab masjid didirikan untuk shalat dan berjamaah di dalamnya, semua
yang berkumpul di dalamnya berkumpul untuk menegakkan jamaah, maka jarak yang
berjauhan tidak mempengaruhinya.”

i. Imam Nawawi menambahkan syarat sahnya jamaah tersebut meski berjauhan jaraknya:

.‫علَ ْي ِه‬ ِ ْ َ‫ص ََلة‬


َ ‫اإل َم ِام َولَ ْم َيتَقَ َّد ْم‬ َ ‫ِإذَا‬
َ ‫ع ِل َم‬
Jika ia (makmum) mengetahui shalat imam, dan tidak berdiri di depannya.
Lebih rinci lagi, Imam Nawawi menyebutkan:

َ‫ار ِه َكذَالِك‬
ِ ‫س‬ َ ‫علَى ث ُ ََل ِث َمائَ ِة ذ َِراعٍ َوآخ َُر‬
َ ‫ع ْن َي‬ ِ ْ ‫ع ْن َي ِمي ِْن‬
َ ‫اإل َم ِام‬ َ ‫اح ٌد‬ِ ‫ف َو‬ َ َ‫َهذَا َولَ ْو َوق‬
ِ َ ‫ص ََلة‬
.‫اإل َم ِام‬ َ ‫ص ََلة ُ ْال َج ِمي ِْع إِذَا‬
َ ‫ع ِل ُم ْوا‬ ْ ‫ص َّح‬
َ ‫ت‬ َ ‫َوآخ َُر َو َرا َءهُ َكذَلِكَ ث ُ ًّم آخ َُر ث ُ ًم آخ َُر َو َكث ُ ُروا‬

Dengan demikian, jika seseorang (makmum) berdiri di sebelah kanan


imamsejauh 300 dzira’ (sekitar 150 meter), makmum lain di sebelah kirinya dengan
jarak yang sama, makmum lain di belakangnya dengan jarak seperti itu, kemudian di
belakang atau di samping setiap makmum tersebut ada satu orang atau satu shaf
dengan jarak yang sama, kemudian disambung oleh yang lain, demikian seterusnya,
shalat mereka semua sah, jika mereka mengetahui shalat imam.86
j. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali berkata:

َ ‫ض ٌع ِل ْل َج َما‬
،‫ع ِة‬ ِ ‫ َ ِإل َّن ْال َمس ِْج َد ُكلَّ ُهث َم ْو ِع‬،‫ع َد‬ َ ‫ َو ِإ ْن تَ َبا‬،ِ‫اإل َم ِام َم ْن فِى ْال َمس ِْجد‬ ِ ‫ي ُج ْو ُز أ َ ْن َيأْتَ ًّم ِب‬
ِ ‫ع التَّ ْك ِبي ِْر لَ ْم َي‬
،‫ ِلتَعَد ُِّر ِات َبا ِع ِه‬،‫ص َّح ا ِْل ْئتَ َما ِم ِب ِه‬ َ ‫س َما‬ َ ‫ َو‬،َ‫فَإِ ْن َكانَ َب ْي َن ُه َما َح ِئ ٌل َي ْم َن ُع ْال ُمشَا َه َدة‬
َّ ‫ص َّحةُ ال‬
.ِ‫ص ََلة‬ َ َ ‫ أ‬: ‫ان‬
ِ ‫ص ُّح َها‬ ِ ‫ فِ ِق ْي ِه َوجْ َه‬،ِ‫س َماع‬َّ ‫َو ِإ ْن َم َن َع ْال َمشَا َه َدةَ د ُْونَ ال‬

86(Hasibuan dan Yusram, 2020: 119).


52

“Siapa saja yang berada di masjid boleh mengikuti (shalat) imam, meski jarak
keduanya berjauhan, sebab keseluruhan masjid adalah tempat untuk berjamaah, jika
diantara keduanya ada penghalang sehingga imam tidak terlihat, dan ia tidak bisa
mendengar takbir imam, namun mendengar takbirnya, maka ada dua pendapat (dalam
madzhab), yang paling benar bahwa shalat nya sah.”
Adapun pendapat pertama, yang menyatakan bahwa meluruskan shaf dan
merapatkan dalam shalat berjamaah hukumnya wajib, tetapi jika ada uzur yang
menyebabkann seeorang tidak rapat dengan shaf, maka sejatinya shalat jamaahnya tetap
sah.
k. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: bahwasahnya meluruskan Shaf termasuk kesempurnaan
Shalat.

ِ ‫ ِإ َّن َما ُج ِع َل‬:َ‫سلَّ َم أ َ َّنهُ قَال‬


‫ فَ ََل‬،‫اإلما ُم ِليُؤْ تَ َّم ِب ِه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َ ِ ‫ع ِن ال َّن ِبي‬َ َ‫ع ْن أ َ ِب ْي ه َُري َْرة‬ َ
،ُ‫ّللا ِل َم ْن َح ِم َدهُ فَقُ ْولُ ْوا َر َّبنَا لَكَ ْال َح ْمد‬
ُ َّ ‫س ِم َع‬ َ :َ‫ َوإِذَ قَال‬،‫ار َكعُ ْوا‬ْ َ‫ فَإِذَا َر َك َع ف‬،‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ت َْختَ ِلفُ ْوا‬
‫ف فِي‬ َّ ‫ص‬ َّ ‫ َوأَقِ ْي ُم ْوا ْال‬، َ‫سا أَجْ َمعُ ْون‬
ً ‫صلُّوا ُجلُ ْو‬ َ َ‫سا ف‬ ً َ‫صلَّى َجال‬
َ ‫ َو ِإذَا‬،‫س َج َد فَا ْس ُجدُوا‬ َ ‫َو ِإذَا‬
َّ ‫ف ِم ْن ُحس ِْن ْال‬
.ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫ص‬ َّ ‫ص ََلةِ فَإِ َّن ِإقَا َمةَ ْال‬
َّ ‫ْال‬

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “ Sesungguhnya imam
dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian berbeda denganya. Apa bila ia ruku,
maka hendaklah kalian ruku” Apabila ia mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah
(semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya’), maka katakanlah ‘rabbana lakal
hamdu (Wahai tuhan kami bagi-Mu segala puji’).
Apabila ia sujud hendaklah kalian sujud, apabila ia shalat sambil duduk
hendaklah kalian shalat sambil duduk. Luruskanlah shaf dalam shalat, karena
sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kebaikan shalat.”
َ‫صفُ ْوفَ ُك ْم فَإِ َّن تَ ْس ِو َية‬ َ :َ‫سلَّ َم قَال‬
ُ ‫س ُّووا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َ ٍ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِك‬
َ ِ ‫ع ِن ال َّن ِبي‬ َ
.ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫صفُ ْوف ِم ْن ِإقَا َم ِة ال‬
ُّ ‫ال‬
Dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “ Ratakanlah shaf-shaf (barisan)
kamu, karena sesungguhnya merapatkan shaf termasuk bagian menegakan shalat.”
Keterangan Hadis:
(Bab meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat) dalam bab ini disebutan

hadits Abu Hurairah, ِ ‫ِإ َّن َما ُج ِع َل‬


‫اإل َما ُم ِليُؤْ تَ َّم ِب ِه‬ (Sesungguhnya imam dijadikan untuk
diikuti...), dimana pembahasanya akan diterangkan pada bab “kewajiban Takbir”. Pada

bagian akhir di tempat ini disebutkan, ‫ف‬ َّ ‫َوأَقِْي ُم ْوا‬


َّ ‫الص‬ (Luruskanlah shaf...) dan seterusnya.
53

Lafazh inilah yang menjadikan maksud judul bab. Imam Muslim dan Imam Ahmad serta
lainya telah menyebutkan lafazh ini secara tersendiri, yaitu mereka menjadikanya dua
hadits.87

ِ‫ص ََلة‬
َّ ‫ِم ْن ُحس ِْن ال‬ (termasuk kebaikan shalat) Ibnu Rasyid berkata, “ Imam Bukhari

sengaja menyebutkan pada judul bab lafazh ِ‫ص ََلة‬


َّ ‫ِم ْن تَ َم ِام ال‬ (termasuk kesempurnaan

shalat) sementara lafazh hadis berbunyi ‫ص ََل ِة‬


َّ ‫( ِم ْن ُحس ِْن ال‬termasuk kebaika shalat), hal
itu karena beliau ingin menjelaskan bahwa itulah yang dimaksud dengan ‘kebaikan’ di
tempat ini. Untuk itu yang dimaksud bukanlah ketertiban yang nampak, tapi yang
dimaksud adalah kebaikan yang bersifat hukum, berdasarkan hadis Anas-hadits kedua di

bab ini yaitu, ِ‫ص ََلة‬


َّ ‫ال‬ ‫( ِم ْن ِإقَا َم ِة‬termasuk menegakan shalat).”
ِ‫ص ََلة‬
َّ ‫ِم ْن ِإقَا َم ِة ال‬ (termasuk menegakan shalat) Demikan yang disebutkan Imam Bukhari
dalam riwayatnya dari Abu Al Walid. Sementara selain beliau menyebutkan dengan

lafazh, ِ‫ص ََلة‬


َّ ‫ِم ْن تَ َم ِام ال‬ (termasuk kesempurnaan shalat). Begitu pula yang dinukil oleh
Al Ismail dari Ibnu Hudzaifah dan Al Baihaqi dari Utsman Ad-Darimi, keduanya dari
Abu Al Walid.
Lafazh serupa dinukil pula oleh Abu Daud melalui Abu Al Walid dan selainya.
Demikan juga yang dinukil oleh Imam Muslim dan selainya melalui sejumlah perawi dari
Syu’bah. Al Ismaili memberi tambahan dalam riwayatnya dari Abu Daud Ath-Thayalisi,

dia berkata, ‫س ِم ْعتَهُ ِم ْن أَن ٍَس أ َ ْم‬ ِ ‫ َدا َه ْنتُ فِي َهذَا ْال َح ِد ْي‬:ُ‫ش ْع َبةَ َيقُل‬
َ َ ‫ث لَ ْم ا َ ْسأ َ ْل قَتَا َدة َ أ‬ ُ ُ‫س ِم ْعت‬
َ
‫( الَ؟‬Aku mendengar Sy’ ubah berkata, “Aku telah teledor dalam hadis ini karena tidak
bertanya kepada Qatadah apakah engkau (Qatadah) mendengar langsung dari Anas atau
tidak?”).88
Saya tidak menemukan Qatadah menukil riwayat ini dari Anas melainkan

menggunakan kata ‫ع ْن‬


َ (diriwayatkan dari). Barangkali inilah rahasia sehingga Imam
Bukhari menukil pula hadits Abu Hurairah dalam bab ini untuk memperkuat kedudukan
hadis Qatadah.

87Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Fathul Baari, Jilid 4, h. 383

88Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Fathul Baari, Jilid 4, h. 384


54

Lafazh ِ‫ص ََلة‬


َّ ‫اِقَا َم ِة ال‬ (menegakan shalat) telah dijadikan dalil oleh Ibnu Hazm
untuk menyatakan wajibnya menegakan shaf, karena menegakan shalat adalah wajib, dan
segala sesuwatu yang menjadi bagian yang wajib hukumnya adalah wajib. Tapi
kelemahan ini cukup nyata. Terutama telah kami jelaskan babwa para perawi tidak
sepakat mengenai lafazh ini.
Ibnu Baththal berpegang dengan makna lahiriah hadits Abu Hurairah dan
menjadikanya sebagai dalil bahwa merapatkan shaf adalah sunnah hukumnya. Dia
berkata, “karena kebaikan sesuatu merupakan tambahan terhadapnya setelah sesuatu itu

sempurna” Namun pandangan ini terbantah oleh riwat yang berbunyi, ِ‫ص ََلة‬
َّ ‫ِم ْن تَ َم ِام ال‬
(termasuk kesempurnaan shalat). Namun bantahan ini dijawab oleh Ibnu Daqiq Al Id,
bahwa lafazh “termasuk kesempurnaan shalat” bisa disimpulkan tentang hukum
disukainya merapatkan shaf, karena kesempurnaan sesuatu adalah tambahan bagi sesuatu
itu, dimana sesuatu itu tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan tambahan
itu.
Landasan argumen ini cukup jauh, karena lafazh syara’ tidak dipahami kecuali
menurut makna yang ditetapkannya dalam bahasa Arab. Hanya saja lafazh tersebut
dipahami menurut urf (kebiyasaan) apabilah telah nyata bahwa yang demikian itu adalah
urf syari’.89

.ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫ فَإِ َّن تَ ْس ِو َيةَ ال‬: ‫صفُ ْوفَ ُك ْم‬


َّ ‫ص ِف ْو ِم ْن تَ َم ِام ال‬ ُ ‫س ُّووا‬
َ
Artinya: Luruskanlah shaf kamu, karena shaf yang lurus termasuk kesempurnaan
shalat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

‫سو‬
َ disini adalah bentuk perintah. Jadi timbul pertanyaan perintah disini dalam bentuk
wajib atau sunnah? Menurut para ulama perintah disini adalah sunnah.

Dalil yang pertama di ujung hadis itu dikatakan ‫ص ََل ِة‬


َّ ‫ِم ْن تَ َم ِام ال‬ (termasuk
kesempurnaan shalat), tidak terkait dengan sah atau tidak sah.

Dalil yang kedua ِ‫ص ََلة‬


َّ ‫ِم ْن ُحس ِْن ال‬ (termasuk kebaikan shalat), oleh karna itu
maka dia bukan rukun tidak pula syarat, tidak pula wajib. Akan tetapi pada saat normal
kita memang pesankan luruskan shaf, rapatkan bahu dengan bahu, kaki dengan kaki.

89Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Fathul Baari, Jilid 4, h. 385


55

Pada saat tidak normal, kalau dia tidak wajib, dia hanya bagian dari
kesempurnaan, dia hanya bagian dari kebaikan. Itulah yang dijadikan dalil oleh para
ulama bahwa shalat tetap sah walaupun berjarak.
l. Ibnu Taimiyah juga berkata:

‫ف‬ َّ ‫ف ْال‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ َوإِذَا لَ ْم َي ِج ْد إِ َّْل َم ْوقِفًا خ َْل‬،‫ َوقَالَهُ ْال َح َن ِف َّي ِة‬،‫ص ََلة ُ ْالفَ ِذ ِلعُ ْذ ٍر‬
َ ‫َص ُّح‬ ِ ‫وت‬
.‫صافِ ِه‬َ ‫ِب َم ْن َي‬ ُ ‫ف َوحْ َدهُ َو َْل َيجْ ذ‬ َ ‫ض ُل أ َ ْن َي ِق‬
َ ‫فَ ْاَل َ ْف‬
Dan Shalatlah orang yang sendirian (di belakang shaf) karena sebuah uzur
hukumnya sah, sama dengan pendapat madzhab Hanafi, dan ia tidak mendapat tempat
selain di belakang shaf, maka lebih afdhal ia salat sendirian, dan tidak menarik orang
yang di depannya.90
Pendapat ini menjadi lebih kuat karena jumhur ulama berpendapat bahwa merapatkan
dan meluruskan shaf hukumnya sunah/mustahab, bukan wajib.
Dari pembahasan dan hasil analisis penulis maka dapat disimpulkan bahwa shaf
berjarak dalam pelaksanaan shalat berjamaah di masjid terbagi menjadi beberapa
kesimpulan hukum. Pertama, Shalat berjamaah dengan shaf berjarak tidak dianggap
shalat berjama’ah, pendapat ini dikemukaan oleh Imam Ahmad, Abu Tsaur dan (Syekh
Abdul Muhsin al-Abbad).Salah seorang ulama senior di kota Madinah Saudi Arabia,
pernah menjabat menjadi wakil rektor Universitas Islam Madinah di tahun 1393-1399 H.
namun shalat tersebut sah dan masuk dalam kategori shalat sendiri, sehingga
sebaiknya dilakukan di rumah masing-masing sebagaimana keputusan Majlis Eropa
tentang Fatwa dan riset. Kedua, shalat dengan shaf berjarak sah dan tetap mendapatkan
pahala shalat berjama’ah, ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama mazhab Syafi’i, dan
Hambali.
Kedua kesimpulan tersebut menurut hemat penulis merupakan pendapat yang
benar karena diperkuat dengan dalil, pendapat imam mazhab dan hasil riset ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya menurut hemat penulis semua kembali pada
individu masing-masing dalam menyikapi hukum dari shalat dengan shaf berjarak.
Apabila seseorang meyakini bahwa shalat dengan shaf berjarak dianggap tidak sah
shalat berjama’ahnya, maka itulah sikap hukum yang diambil pribadi. Demikian
sebaliknya apabila seseorang beranggapan bahwa shalat berjama’ah dengan shaf
berjarak tetap sah shalat berjama’ahnya juga kembali pada sikap hukum yang diambil
oleh masing-masing individu.

90Hasibuan dan Yusram, 2020: 120


56

KESIMPULAN

A. Berdasarkan analisis yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis
dapat menarik sebuah kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Pelaksanaan ibadah shalat berjamaah dalam masa pandemic covid 19 selalu
menerapkan protokol kesehatan yang berlaku. Dalam pelaksanaan shaf dibuat
renggang dan berjarak, dengan menggunakan tanda silang atau himbauan dengan
berdasar pada kesadaran jamaah masing-masing. Tidak ada pengaruh dalam
kekhususan dalam melaksanakan ibadah shalat berjamaah di masa pandemic covid.
Tidak ada gejolak terkait dengan aturan protokol kesehatan dalam melaksanakan
ibadah shalat berjamaah dalam masa pandemic covid 19.
2. Persepsi jamaah terhadap pelaksanaan ibadah shalat berjamaah dalam masa pandemic
covid 19 pun beragam. Ada yang merasa aman dalam melaksanakan karena adanya
protokol kesehatan, dan ada yang merasa was-was maupun kurang mantap dalam
melaksanakan ibadah shalat berjamaah di masjid dalam masa pandemic covid 19. Ada
yang merasa aman dan nyaman dilaksanakan protokol kesehatan. Ada pula yang tidak
nyaman karena terlalu rumit dan tidak luwes padahal hanya untuk pelaksanaan ibadah.
Perihal kekhusyukan, kebanyakan jamaah menilai kekhusyukan datang dari pribadi
masing-masing, sehingga tidak mempengaruhi khusyuk dalam pelaksanaan ibadah.
Tetapi ada jamaah yang merasa was- was dan mengganggu kekhusyukan karena
adanya jamaah luar yang ikut dalam jamaah tersebut. Semua jamaah merasa tidak ada
gejolak yang terjadi terkait dengan pelaksanaan ibadah shalat berjamaah dalam masa
pandemic covid 19.

B. SARAN
1. Bagi jamaah agar lebih disiplin dalam menaati dan melaksanakan aturan protokol
kesehatan yang berlaku di masjid, sekaligus menjaga kesehatan diri agar tidak
terjangkit virus covid 19 dan juga tidak melupakan kewajiban mereka sebagai insan
yang beragama yaitu beribadah kepada Allah SWT melalui shalat, sehingga pandemic
bukan menjadi alasan untuk meninggalkan ibadah shalat.
2. Bagi jamaah yang merasa was- was dan mengganggu kekhusyukan shalat nya karena
adanya jamaah luar yang ikut dalam jamaah tersebut maka, sebaiknya jamaah tersebut
beribadah di rumah saja.
57

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zaenal. 2020. Fiqh Ibadah. Yogyakarta: Deepublish.


Al-Osail, Aisha M. and Marwan J. Al-Wazzah. (2017). The History and Epidemiology of
Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus. Multidisciplinary Respiratory Medicine
12:20. DOI 10.1186/s40248-017- 0101-8.

Amin, Ma‟ruf Dkk. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011

Arief, Abd Salam. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta Dan Realita, Kaian
Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut, Yogyakarta: Lesfi, 2003

al Aiyub, Sholahudin “Bagaimana Metode Penetapan Fatwa di MUI”, Umma.id.


http://umma.id/article/share/id/1005/252436 (23 Agustus 2020)

Aminah, maqasyid Asy-Syariah Pengertian dan Penerapan Dalam ekonomi Islam, Jurnal:
Fitrah, Vol. 03, (Juli 2017), h. 168-169. http://jurnal.iainpadangsidimpuan.
ac.di/index.php/P/article/download/635/558

Achmad Musyahid. “DISKURSUS MASLAHAT MURSALAH DI ERA MILINEAL


(Tinjauan Filosofis Terhadap Konsep Maslahat Imam Malik).” Mazahibuna; Jurnal
Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019).

Al-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah bin Bahadir. (1413 H/ 1992 M). Al-Bahru al-Muhith
fi Ushul al-Fiqh, Wizarah al-Awqaf wa al-Syuun al-Islamiyah. Jilid VI. Cet. II. Kuwait: t.p.

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. (1419 H/ 1999 M). Irsyadul Fuhul ila
Tahqiq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushul. Jilid II. Cet. I. Damaskus: Dar al-Kitab al-Arabi.

Al-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab bin Taqiyuddin. (1411 H/ 1991 M). Al- Asybah wa al-
Nazhair. Jilid I. Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Abbad Abdul Muhsin. “Profil Abdul Muhsin al-Abbad.” https://alabbaad. com/profile,


(Diakses pada tanggal 8 April 2020).

Al-Musyaiqih Khalid bin Ali. “Profil Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih”
https://ar.islamway.net/scholar/330/profile, (Diakses pada tanggal 8 April 2020).

“Artikel Berjudul Hukum-hukum Fikih Terkait Virus Corona Halaman 17, Masalah Fikih
Nomor 17” https://islamhouse.com/ar/books/2829154/ , (Diakses pada tanggal 5 April 2020).

al-Munajjid Sholeh. “Di antara ulama yang menyatakan kewajiban meluruskan dan
merapatkan saf adalah Imam Bukhari, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Utsaimin”
https://islamqa.info/ar/answers/36881, (Diakses pada tanggal 5 April 2020).

Ar-Rahbawi, Asy-Syaikh Abdul Qadir. Januari 2016. Shalat Empat Mazhab, Jakarta Timur
1352: Akbar Media Eka Sarana, 2016.
58

Bakry, Muammar Muhammad. “Asas Prioritas Dalam Al-Maqashid Al-Syar‟iah.” AL-Azhar


Islamic Law Review 1, no. 33 (2019): 1–8.

Buana, Dana Riksa. (2020). Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi
Pandemi Virus Corona (Covid-19) dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa. Salam: Jurnal
Sosial dan Budaya Syar’i, Vol 7, No. 3. h. 217-226.

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2020. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
El-Fati, Syaifurrahman (Ed.). 2014. Panduan Shalat Praktis dan Lengkap. Jakarta:
WahyuQolbu. Kemenag, RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah
Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
Cet ke-I, Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017

Indriya. (2020). Konsep Tafakkur dalam Alquran dalam Menyikapi Coronavirus Covid-19.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I, Vol 7, No. 3. h. 211- 216.

Iskandar, A., Aqbar, K. (2019). Kedudukan Ilmu Ekonomi Islam di Antara Ilmu Ekonomi
dan Fikih Muamalah: Analisis Problematika Epistemologis. NUKHBATUL ‘ULUM: Jurnal
Bidang Kajian Islam, Vol. 5. No. 2. h. 88-105.

Ibrahim, Duski. Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), Palembang: Noerfikri,


2019

Ibnu Katsir, Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi. (1420 H/ 1999 M). Tafsir al-Qur’an al-
Azhim. Jilid II. Cet. II. Riyadh: Dar al-Thayyibah.

Kementerian Kesehatan. “Dokumen Resmi dan Protokol Penanganan Covid-19.”


https://www.kemkes.go.id/article/view/20031700001/Dokumen-Resmidan- Protokol-
Penanganan-COVID-19.html, (Diakses pada tanggal 7 April 2020).

Lau, Hien, et.all. The Positive Impact of Lockdown in Wuhan on Containing the COVID-19
Outbreak in China. Journal of Travel Medicine. taaa037. https://doi.org/10.1093/jtm/taaa037.

Majelis Ulama Indonesia. “Fatwa Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah
Covid-19” https://mui.or.id/berita/27674/fatwa-penyelenggaraanibadah- dalam-situasi-
terjadi-wabah-covid-19/, (Diakses pada tanggal 7 April 2020)

Mukharom dan Havis Aravik. (2020). Kebijakan Nabi Muhammad Saw. Menangani Wabah
Penyakit Menular dan Implementasinya dalam Konteks Menanggulangi Coronavirus Covid-
19. Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Vol. 7. No. 3. h. 239-246.
59

Maryam, Sitti. 2018. Shalat dalam Perspektif Imam Al-Ghazali (Kajian Sufistik). Al-Fikrah,
1(2): 106-113.
Mudzhar, Muhammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sebuah Studi tentang
pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993

Mukhlishin, Ahmad dkk. “Metode Penetapan Hukum Dalam Berfatwa”, Al-Istinbath: Jurnal
Hukum Islam Vol.3, no 2, 2018.h. 175-176. http://
Journal.staincurup.ac.id/index.php/alistinbath (Diakses 23 Agustus 2020)

Muhammad, Syaikh al- „Allamah. Rahman al Ummah Fi Ikhtilaf al-A’immah, terj.


„Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Mazhab Bandung: Hasymi, 2012

Maulana, Asep dan Abdullah Jinaan, Panduan Lengkap Salat Fardu dan Sunnah, Jakarta:
Grasindo, 2017

Majid, Nurcholis. 1992. Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Muhammad Kumaidi, E. F. (2020). Implementasi Kaidahla Yunkiru Tagayyur Al-Ahkam
Bitagayyur Al-Azman Wa Al-Ahwal Dalam Ibadah Di Masa Pandemi. ASAS Jurnal Hukum
Ekonomi Syari’ah, 12(1), 65–81.

Nasir, A. (2020). Social Distancing Dalam Saf Salat Berjamaah (Perbandingan Ulama dalam
Mazhab). Mazahibuna: Jurnal Perbandingan Mazhab, 2(1).

Nugroho, Rizal Setyo. 2020, Apa Itu Pandemi Global seperti yang Dinyatakan WHO pada
Covid-19?, http://kompas.com/tren/read/2020/03/12/060100465/apa-itu-pandemi-global
seperti-yang-dinyatakan-who-pada-covid-19, diakses pada tanggal 9 Agustus 2020 pukul
19.10.
Nurdin, Subhan. 2006. Keistimewaan Shalat Khusyuk. Jakarta: QultumMedia.
Raysuni, Ahmad. Nadhariyyatu al-maqashidi ‘Inda al-Imam al-Syatibi, Virginia: IIIT, 1995

Sarwat, Ahmad. 2018. Shalat Berjamaah. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.


Sholehuddin, Wawan Shofwan. 2014. Shalat Berjamaah dan Permasalahannya. Bandung:
Humaniora.
Sebayang, Rehia. 2020. WHO Nyatakan Wabah COVID-19 jadi Pandemi, Apa Maksudnya?,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200312075307-4-144247/who-nyatakan-wabah-
covid-19-jadi-pandemi-apa-maksudnya, diakses pada tanggal 27 Agustus 2020 pukul 21.23.

Shodiq, Shubhan “Penanganan Covid-19 dalam Pendekatan Kaidah Fikih dan Ushul Fikih;
Analisis Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Bidang Keagamaan”, Al- Adalah:
Jurnal Hukum dan Politik Islam. Vol. 5, No. 2, (Juli 2020), h. 109-110. http://jurnal.iain-
bone.ac.id/index.php/aladalah/article/view/743 (30 September 2020)
60

sa‟dan, Saifuddin.” Ijtihad Terhadap Dalil Qath‟I dalam Kajian Hukum Islam”, Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam.
http://jurnal.ac.id/index.php/samarah/article/download/2379/1719 (23 Agustus 2020)

Tono, Sidik, dkk. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press.
Whitworth, Jimmy. (2020). COVID-19: A Fast Evolving Pandemic, Trans R Soc Trop Med
Hyg 2020; 00: 1–2. doi:10.1093/trstmh/traa025.
Wahyudi, Heri Fadli. “Metode Ijtihad Komisi Fatwa Mejelis Ulama Indonesia dan
Aplikasinya”, Cakrawala: Jurnal Studi Islam.
htpp://journal.ummgl.ac.id/index.php/cakrawala (23 Agustus 2020)

Wijaya, Abdi. “DAYA SERAP LEMBAGA-LEMBAGA FATWA TERHADAP


MASALAH-MASALAH HUKUM KONTEMPORER (Studi Komparatif Lembaga Fatwa
MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Bahtsul Masail NU).” Mazahibuna; Jurnal
Perbandingan Mazhab 1, no. 2 (2019).

Yunus, Nur Rohim dan Annissa Rezki. (2020). Kebijakan Pemberlakuan Lockdown sebagai
Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19. Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I, Vol.
7. No. 3, h. 227-238.

Zahrotunnimah. (2020). Langkah Taktis Pemerintah Daerah dalam Pencegahan Penyebaran


Virus Corona Covid-19 di Indonesia. Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 7. No. 3,
h. 247-260.

Anda mungkin juga menyukai