SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NURFAIQOH RIDHIYAH
NIM: 11140460000047
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw sehingga
Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SERTIFIKASI HALAL OLEH
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL”. Banyak pihak yang telah membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak
langsung. Maka dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A. dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi
yang senantiasa meluangkan waktu dan memberikan petunjuk serta masukan
bagi Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku dosen penguji dalam sidang
skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi.
6. Kepada Ibu Lady Yulia, S. Si, selaku Kepada Subbidang Pengawasan Lembaga
Pemeriksa Halal dan Auditor Halal pada Bidang Pengawasan Jaminan Produk
Halal, Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal pada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal, terima kasih telah meluangkan waktu
dan bersedia untuk diwawancarai oleh Penulis.
ii
7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang senantiasa ikhlas dalam mendidik dan memberikan
ilmunya kepada Penulis selama masa perkuliahan.
8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum.
9. Kepada kedua Orang Tua Penulis Bapak Achmad Supandi dan Ibu Nunung
Nurhayati, terima kasih atas segala pengorbanan tenaga, harta, dan doa yang
selalu dipanjatkan untuk Penulis, sehingga dapat mengantarkan Penulis hingga
sampai tahap ini, dan kepada adik-adik Penulis Izzatunnisa Fadhilah dan Farah
Hafizah terima kasih telah turut serta mendoakan Penulis dan memberikan
semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
10. Terima kasih kepada Imam Dwiky Setyawan dan keluarga yang telah
memberikan bantuan, saran dan doa kepada Penulis selama mengerjakan
skripsi.
11. Kepada sahabat Penulis Nia dan Ola, terima kasih atas segala bantuan, doa, dan
semangat yang diberikan kepada Penulis selama mengerjakan skripsi ini.
12. Kepada teman dekat Penulis, di Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Cipo, Dira,
Ismy, Ii, Wienda, Ifah, terima kasih telah menemani dan membantu Penulis
selama perkuliahan. Serta sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi
Syariah Tahun 2014 yang telah selalu membantu dan memberikan saran selama
perkuliahan.
13. Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh
Penulis, tidak ada yang dapat Penulis berikan kecuali doa dan ucapan terima
kasih untuk segalanya.
Nurfaiqoh Ridhiyah
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
iv
BAB III TINJAUAN UMUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN
PRODUK HALAL (BPJPH) .............................................................................. 40
v
1. Kendala Internal ................................................................................ 100
2. Kendala Eksternal ............................................................................. 102
A. Simpulan .................................................................................................105
B. Rekomendasi ...........................................................................................107
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................108
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.0 Tata Cara Sertifikasi Halal ............................................................ 57
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
3 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.
pelaksana dari UU JPH ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak UU JPH diundangkan. Seharusnya saat ini paling tidak sudah ada
peraturan pemerintahnya sebagai peraturan pelaksana dari UU JPH ini. Jika
peraturan pemerintahnya saja belum ditetapkan, maka peraturan-peraturan
pelaksana di bawahnya pun belum bisa dikeluarkan.
Selain itu, aturan mengenai pembentukan BPJPH juga paling lambat 3
(tiga) tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan. Dan tepat 3 (tiga) tahun UU
JPH diundangkan, BPJPH ini didirikan yaitu pada tahun 2017. Terlambatnya
peraturan pelaksana ditetapkan, begitu juga dengan pembentukan BPJPH,
memperlambat rencana yang sudah dibuat oleh pemerintah dalam
menyelenggarakan jaminan produk halal di Indonesia secara optimal.
Sejak awal diundangkan hingga saat ini, UU JPH belum dapat terlaksana
dengan baik. Mengingat peraturan pelaksananya berupa Peraturan Pemerintah,
belum dikeluarkan hingga saat ini. Tanpa peraturan pelaksana suatu Undang-
Undang tidak akan bisa dijalankan, sehingga dapat menghambat tujuan dari
Undang-Undang itu dibuat. Ditambah lembaga yang berwenang untuk
pengurusan sertifikasi halal, yaitu BPJPH, terlambat untuk didirikan. Hal ini
menyebabkan persiapan dari BPJPH belum matang untuk mengurus proses
sertifikasi halal. Padahal seharusnya badan ini sudah berjalan dengan efektif
pada tahun 2019.
Di Malaysia pelaksanaan dari sertifikasi halal sudah berkembang pesat,
mulai dari segi peraturan-peraturan, infrastruktur, hingga sistem pendaftaran
sertifikat halal yang berbasis internet. Pencapaian tersebut tidak serta merta
didapatkan dengan mudah, perlu adanya sinergi antara lembaga-lembaga
terkait dan dukungan penuh oleh pemerintah. Sehingga mewujudkan
pelaksanaan sertifikasi halal yang optimal.
Sedangkan di Indonesia peraturan pelaksana dari UU JPH sendiri baru
diterbitkan 3 Mei 2019. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pelaksanakan
sertifikasi halal oleh BPJPH. Oleh karenanya dapat disimpulkan perhatian dari
pemerintah Indonesia mengenai sertifikasi halal masih kurang. Padahal
sertifikasi halal ini sangat penting untuk melindungi hak-hak konsumen
5
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
7
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
berbagai hal baik yang bersifat praktis maupun teoritis, antara lain yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Pembahasan yang ada dalam skripsi ini, diharapkan bisa menambah
pemahaman dan pengetahuan kepada semua pihak, yang bergerak di
bidang hukum maupun bidang lainnya yang sesuai dengan tema bahasan
penelitian, seperti pemerintah dan lembaga instansi terkait.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Regulator dan Praktisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
bermanfaat dan referensi untuk meninjau dan mengalalisis
pelaksanaan sertifikasi halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal.
b. Bagi Akademisi
Diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan untuk penelitian
lebih lanjut yang berkaitan dengan tema penelitian. Sehingga
pembahasan mengenai jaminan produk halal ini bisa lebih
berkembang nantinya.
Nomor 33 Tahun 2014 diterbitkan, serta kendala yang harus dihadapi BPJPH
dalam mempersiapkan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Persamaan antara skripsi-skripsi sebelumnya dengan penelitian yang
sedang diteliti Penulis adalah pembahasan mengenai pelaksanaan sertifikasi
halal menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Perbedaannya adalah pada penelitian ini lebih membahas secara khusus
tentang kesiapan dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses pembuatan
sertifikat halal serta secara umum pelaksanaan sertifikasi halal pasca
diundangkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan kendala-kendala
yang menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.
F. Kerangka Konseptual
11
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan ini
dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil dari
telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang
dihadapi.4
Dalam penelitian ini isu hukum yang akan diteliti adalah
pelaksanaan dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH),
khususnya pada sertifikasi halal. Dengan begitu, Penulis akan menelaah
Undang-Undang yang berkaitan dengan sertifikasi halal.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif-
Empiris. Normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan.5
Menurut Ronny Hanitijo yang dikutip dalam buku dualisme
penelitian hukum normatif dan empiris, penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang
diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Dan penelitian empiris yaitu
penelitian yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang
diperoleh langsung dari masyarakat.6
Oleh karena itu, dalam penelitian ini data yang akan diperoleh oleh
Penulis berdasarkan bahan pustaka dan hasil wawancara dengan lembaga
yang terkait dengan proses sertifikasi halal.
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet.
3. Bahan Hukum
Berdasarkan jenis penelitian normatif-empiris ini, maka data atau
bahan-bahan hukum yang diperlukan berupa data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil
penelitian kepada masyarakat atau data yang bisa diperoleh langsung dari
sumber utamanya. Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh
dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai
literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian.7
Dalam hal ini data primer yang akan digunakan Penulis yaitu berupa
hasil wawancara dengan lembaga terkait yang menyelenggarakan jaminan
produk halal. Sedangkan, data sekunder yang akan digunakan Penulis
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer (Bahan-bahan hukum yang mengikat) antara
lain, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2015 Tentang Kementerian Agama.
b. Bahan Hukum Sekunder (Memberikan penjelasan dari bahan hukum
primer) berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok
masalah dalam Penulisan skripsi ini, baik berupa buku, makalah,
jurnal penelitian, artikel, berita internet, surat kabar ataupun pendapat
para ahli.
c. Bahan Hukum Tersier (Bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder), seperti
kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 156.
13
8 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 160.
9 Ibid, h., 161.
10 Ibid, h., 183.
11 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif
dalam Berbagai Disiplin Ilmu), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, Cet. Ketiga), h., 13.
14
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.12
12 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 192.
BAB II
A. Pengertian Halal
Makanan yang bersertifikat halal dapat menjadi penting di negara mana
pun, khususnya di negara yang bermayoritas muslim. Masyarakat muslim akan
tertolong karena dengan mudah ia dapat memilih makanan-makanan yang baik
yang seharusnya ia konsumsi sesuai syariat Islam.
Melihat pentingnya makanan bersertifikat halal bagi seorang muslim itu
menunjukkan adanya sebuah kepedulian yang besar. Masyarakat muslim
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan makanan yang halal sebagaimana
ia memiliki hak untuk hidup.1 Dan ini merupakan kewajiban dari pemerintah
untuk menyediakan makanan dan minuman yang terjamin kehalalannya bagi
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dengan cara memberikan
sertifikat halal bagi produk-produk yang memang terjamin kehalalannya, mulai
dari bahan-bahannya, proses pengolahan, hingga alat-alat dan cara yang
digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.
Pemerintah sendiri saat ini sudah memulai untuk menyelenggarakan
jaminan produk halal di Indonesia, untuk memahami penjelasan selanjutnya
perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sertifikat halal.
Sertifikasi halal terdiri dari dua kata yaitu sertifikasi dan halal. kata
“sertifikasi” berasal dari bahasa Inggris “Certificate” yang mempunyai tiga arti
yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah. Kata “certificate” kemudian
diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “sertifikat” yang merupakan kata
benda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa
sertifikat itu berarti tanda atau surat keterangan atau pernyataan tertulis atau
tercetak yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang dapat digunakan
sebagai bukti. Sementara itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau
proses menjadikan sertifikat.
1 Mesraini, dkk, Islam dan Produk Halal (Serial Khutbah Jum’at), (Jakarta: Departemen Agama RI,
15
16
5Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h., 13.
6 Ibid, h., 14.
18
pangan. Maka, fatwanya yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu Fatwa
Halal diakui oleh pemerintah.
Pemberian kewenangan tersebut sebenarnya sudah lama diberikan
oleh pemerintah. Hal ini terlihat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 924/MenKes/SK/VIII/1996 tentang “Perubahan atas Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 82/MenKes/SK/I/1996 tentang
“Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan”. Dalam pasal 10
ditegaskan pengakuan terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan
sekaligus pemberian wewenang kepada MUI untuk melakukan sertifikasi
halal. Di dalamnya disebutkan bahwa hasil pemeriksaan dan hasil
pengujian laboratorium dievaluasi lebih lanjut oleh Tim Ahli MUI
(Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan Kosmetika-MUI). Selanjutnya,
hasil evaluasi tersebut disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia untuk memperoleh fatwa dalam bentuk Sertifikat Halal bagi
yang memenuhi syarat.
Selanjutnya, dalam pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa labelisasi
halal itu hanya dapat dilakukan berdasarkan pada Sertifikasi Halal yang
dikeluarkan oleh MUI. Di dalamnya disebutkan bahwa labelisasi halal
diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Berdasarkan fatwa tersebut Direktur Jenderal memberikan persetujuan
labelisasi halal bagi yang memperoleh Sertifikat Halal dan penolakan bagi
yang tidak memperoleh Sertifikat Halal.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut
jelaslah bahwa MUI diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan
sertifikasi halal di negara Indonesia. Dengan perkataan lain, MUI berfungsi
juga sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia.
Sementara itu, secara doktriner, MUI sebagai organisasi
perkumpulan ulama juga berwenang melakukan sertifikasi halal. Sebab,
menurut ajaran Islam, ulama menjadi tumpuan bertanya umat tentang
berbagai persoalan keagamaan karena mereka dinilai sebagai pihak yang
paling berkompeten dalam menjawab berbagai persoalan keagamaan. Atas
20
8 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
9 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
10 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label sebagaimana
dimaksud dalam pasal 34 ayat 1.
Di samping denda dan sanksi hukum kurungan tersebut terdapat juga
sanksi administratif sebagaimana ditetapkan oleh PP Nomor 69 Tahun
1999. Adapun sanksi administratif tersebut meliputi: a) peringatan secara
tertulis; b) larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan satu perintah
untuk menarik produk pangan dari peredaran; c) pemusnahan pangan jika
terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d) penghentian
produk untuk sementara waktu; e) pengenaan denda paling tinggi
Rp50.000.000,- dan f) pencabutan izin produksi atau izin usaha.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999) diatur juga persoalan halal yang
senada dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Persoalan tersebut
berkaitan erat dengan hak dan kewajiban konsumen dan produsen.
Konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengonsumsi pangan. Ia juga berhak untuk mendapatkan informasi
yang benar, jelas dan jujur tentang pangan yang dikonsumsinya.
Bersamaan dengan itu, produsen berkewajiban untuk mempunyai
iktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk pangan yang
dihasilkannya. Di samping itu, pada Pasal 8 Undang-Undang tersebut
produsen juga dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan produk
pangan yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
sebagaimana pernyataan halal yang telah dicantumkannya dalam label.
Apabila melanggar ketentuan tersebut, ia akan dikenai hukuman penjara
maksimal 5 (lima) tahun dan atau denda maksimal Rp2.000.000.000,- (dua
miliar rupiah).14
Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara garis besar
menyatakan, bahwa pencantuman kata atau label halal tidak diwajibkan,
14 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
namun jika produsen sudah mencantumkan label halal maka hal tersebut
harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Karena apabila
melanggar, produsen dapat dikenakan sanksi pidana.
Secara keseluruhan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang telah dijelaskan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum
berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, ketentuan mengenai
pencantuman label halal bersifat suka rela atau tidak diwajibkan.
3. Proses Pembuatan Sertifikat Halal
Dalam proses memperoleh sertifikasi halal, Penulis membagi
menjadi tiga tahapan, yaitu sebelum pembuatan sertifikat halal, proses
pembuatan sertifikat halal dan setelah pembuatan sertifikat halal. Sebelum
pembuatan sertifikat halal, produsen harus memenuhi beberapa persyaratan
dan formulir yang harus diisi, serta menyertakan dokumen-dokumen untuk
kepentingan sertifikat halal.
Bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM
MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong
Hewan (RPH), dan restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran
sertifikasi halal dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. berikut ini
adalah tahapan yang dilewati perusahaan yang akan mendaftar proses
sertifikasi halal:15
1. Memahami Perusahaan harus memahami persyaratan
persyaratan sertifikasi halal yang tercantum dalam HAS (Halal
sertifikasi Assurance System) 23000. Selain itu, perusahaan
halal dan juga harus mengikuti pelatihan SJH yang diadakan
mengikuti LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler
pelatihan SJH maupun pelatihan online (e-training).
2. Menerapkan Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum
Sistem melakukan pendaftaran sertifikasi halal, antara
lain: penetapan kebijakan halal, penetapan Tim
16 LPPOM-MUI, Sistem Pelayanan Sertifikasi Halal Online (CEROL-SS23000), 2017, h., 64.
17 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, h., 93.
33
18 Sekretaris LPPOM MUI Jawa Tengah, dalam presentasi tentang “Pedoman Sertifikasi Halal”, h., 12.
37
19 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, h., 93.
20 Pasal 8 ayat (1) huruf h, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
38
21 Pasal 62 ayat (1), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
22 Pasal 63, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
39
23 Pasal 61 ayat (2) dan (3), Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan.
BAB III
TINJAUAN UMUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK
HALAL (BPJPH)
40
41
1 Penjelasan Bagian Umum, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
42
2. Hukum Islam
Allah swt menganjurkan kepada kita untuk mengonsumsi makanan
dan minuman yang halal dan tayyib. Bukan hanya halal untuk dikonsumsi
tetapi juga harus memberikan kesehatan atau dampak yang baik terhadap
tubuh kita. Dengan tubuh yang sehat dan bugar kita bisa beribadah dan
menjalankan aktivitas sehari-hari dengan baik. Oleh karena itu, Allah swt
telah mengatur tentang hal-hal yang dilarang untuk dikonsumsi agar
menjaga kita dari kemudharatan, di antaranya terdapat pada:
Q.S. al-Baqarah (2): 173
َ َّ ۡ َ َّ ُ ٓ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ َ َّ َ َ َّ
ۡي ٱللِه ف َم ِن
ِ ِغ ل ۦِ هِ ب ِل هأ ا مو ير
ِ ِ إِنما حرم عليكم ٱلميتة وٱدلم ولم ٱ
ِزن ۡل
١٧٣ ِيم َ َّ ۡي بَاغٖ َو ََل ََعدٖ َف ََلٓ إ ۡث َم َعلَ ۡيهِ إ َّن ٱ
ٌ َّرحٞلل َغ ُفور َ ۡ ٱ ۡض ُط َّر َغ
ِ ِۚ ِ
173. Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah,
daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut
51
yang telah diberikan Allah swt kepada kita. Berikut adalah ayat-ayat yang
menganjurkan kita untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik:
Q.S. al-Baqarah (2): 168
َٰ َ ۡ َّ َ ُ ُ ُ َّ َ َ َ ٗ َ ٗ َٰ َ َ ِ َ ۡ َّ ُ ُ ُ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
ت ٱلشيط ِ ِۚن َٰ
ِ يأيها ٱنلاس ُكوا مِما ِِف ٱۡلۡرض حلَل طيِبا وَل تتبِعوا خطو
ٌ ُّ ٞ ُ َ ُ َ ُ َّ
١٦٨ إِنهۥ لك ۡم عدو مبِني
168. Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.
Q.S. al-Baqarah (2): 172
ُ ك ُروا ِ َّلل ِ إن ُك
ُنت ۡم إيَّاه ُ ۡ َ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ َ َ َٰ َ َ ُ ُ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
ِ ِ ت ما رزقنكم وٱش ِ يأيها ٱَّلِين ءامنوا ُكوا مِن طيِب
َ َ
١٧٢ ت ۡع ُب ُدون
172. Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik
yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu
hanya menyembah kepada-Nya.
Q.S. al-Ma’idah (5): 4
َ ۡ ت َو َما َع َّل ۡم ُتم م َِن ٱ
ُ َٰلطي َبَّ ك ُم ٱُ َ َّ ُ ۡ ُ ۡ ُ َ َّ ُ ٓ َ َ َ َ ُ ۡ َ
ۡل َوارِ ِح ِ يسلون ماذا أحِل لهمه قل أحِل ل
ُ ۡ ُ ََ ۡ َ ٓ ُ ُ َ ُ َّ ُ ُ َ َّ َ َّ َّ ُ َ ُ َ ُ َ َ ُ
لله فكوا م َِّما أ ۡم َسك َن عل ۡيك ۡم َوٱذك ُروا مكِبِني تعل ِمونهن مِما علمكم ٱ
َ ل ۡ ُ َ َ َّ َّ َ َّ ُ َّ َ ۡ َ َ َّ َ ۡ
٤ اب ِ ِس َسيع ٱِ ٱسم ٱللِ عليهِِۖ وٱتَقوا ٱللۚ إِن ٱلل
4. Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan
bagi mereka?”, Katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan)
yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang
telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Q.S. al-Maidah (5): 88
َ ُ ُۡ َ ٓ َّ َ َّ ُ َّ ٗ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َّ ُ ُ َ
٨٨ لل َحلََٰل َطي ِ ٗبا ۚ َوٱتَقوا ٱلل ٱَّلِي أنتم بِهِۦ مؤمِنون
ُ وُكوا مِما رزقكم ٱ
88. Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai
rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.
Q.S. an-Nahl (16): 114
53
َ َ ُ ت ٱ َّلل ِ إن ُك ُ ۡ َ ٗ َ ٗ َٰ َ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َّ ُ ُ َ
نت ۡم إِيَّاهُ ت ۡع ُب ُدون ِ
َ ك ُروا ن ِۡع َم فكوا مِما رزقكم ٱلل حلَل طيِبا وٱش
١١٤
114. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
menyembah kepada-Nya.
5 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019. Saat ini sistem “SIHalal”
belum resmi diluncurkan oleh BPJPH per bulan Agustus 2019.
6 Pasal 24, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
54
7 Pasal 28, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
8 Pasal 26 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
9 Pasal 27 ayat (2), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
10 Pasal 30, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
55
merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikat halal dapat difasilitasi
oleh pihak lain.11
Dalam Pasal 61, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019
Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, biaya sertifikasi halal yang dibebankan
kepada pelaku usaha harus efisien, terjangkau, dan tidak diskriminatif.
Pada pasal selanjutnya dijelaskan, dalam hal pelaku usaha merupakan
mikro dan kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
Pihak lain yang dimaksud adalah:
1) Pemerintah pusat melalui anggaran pendapatan dan belanja negara.
2) Pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
3) Perusahaan.
4) Lembaga sosial.
5) Lembaga keagamaan.
6) Asosiasi.
7) Komunitas.
Mengenai kisaran biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk
mengajukan permohonan sertifikat halal akan diatur oleh Peraturan
Menteri Keuangan. Untuk pelaku usaha yang termasuk dalam golongan
usaha mikro dan kecil, biaya yang seharusnya dibebankan kepada pelaku
usaha dapat difasilitasi oleh pihak lain yang terkait. Dalam hal ini, bagian
CSR dari BPJPH yang nantinya akan menghubungi pemerintah daerah
terkait untuk memfasilitasi pelaku usaha mikro dan kecil.
Fasilitas yang diberikan pemerintah daerah kepada pelaku usaha dapat
berupa pembiayaan sertifikasi dan informasi atau pemahaman terkait
sertifikat halal.12
11Pasal 44, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
12Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
56
13 Pasal 31, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
14 Pasal 32, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
15 Pasal 33, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
16 Pasal 34, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
17 Pasal 35 dan Pasal 36, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
57
Bagan 1.0
Keterangan:
1) Pelaku Usaha. Pelaku usaha yang ingin memiliki sertifikat halal dapat
mengajukan kepada BPJPH.
2) Permohonan. Permohonan yang diajukan oleh pelaku usaha dapat
dilakukan secara manual maupun melalui sistem online dengan
menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
3) Verifikasi Dokumen. Dokumen-dokumen yang diserahkan oleh
pelaku usaha akan diverifikasi oleh BPJPH. Jika dokumen-dokumen
yang diserahkan tersebut tidak sesuai, maka dokumen-dokumen
tersebut akan dikembalikan kepada pelaku usaha. Apabila dinyatakan
58
18 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
19 Pasal 21 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
20 Pasal 25, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
60
21 Pasal 38, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
22 Pasal 39, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
23 Pasal 43, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
24 Pasal 21 ayat (1), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
25 Pasal 27 ayat (1), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
26 Pasal 41, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
61
27Pasal 56, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
28Pasal 57, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
29 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
62
30 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
31 Pasal 42, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
32 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
33 Pasal 50, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
64
34 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
35 Pasal 10, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
65
kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan
mutu dan keamanan pangan hasil pertanian.
5) Kementerian Standarisasi dan Akreditasi
Dalam hal persyaratan untuk pemeriksaan, pengujian, auditor,
lembaga pemeriksaan, dan lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
6) Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah
Dalam hal menyiapkan pelaku usaha mikro dan kecil dalam
sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan produk.
7) Kementerian Pengawasan Obat dan Makanan
Dalam hal pengawasan produk pangan, obat, dan kosmetik dalam
dan luar negeri yang diregistrasi dan disertifikasi halal.
dibaca, tidak mudah terhapus dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari produk.
3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, pemerintah bertanggung
jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh
BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJPH bekerja sama dengan
kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan
permohonan Sertifikat Halal oleh pelaku usaha kepada BPJPH.
Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen.
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan oleh LPH.
LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJPH yang bekerja sama
dengan MUI. Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui
sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk
yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal
berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.
5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan
permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan
penyelenggaraan JPH, Undang-Undang Jaminan Produk Halal
memberikan peran bagi pihak lain seperti pemerintah melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran
pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga
keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi
halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
6. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH
melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku sertifikat halal;
kehalalan produk; pencantuman label halal; pencantuman keterangan tidak
halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara produk
halal dan tidak halal; keberadaan penyelia halal; dam/atau kegiatan lain
yang berkaitan dengan JPH.
68
69
70
2 Pasal 10, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
3 Pasal 18, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
4 Pasal 21, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
73
5 Pasal 29, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
6 Pasal 30, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
7 Pasal 31, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
8 Pasal 32, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
74
9 Pasal 33, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
10 Pasal 34, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
11 Pasal 35 dan Pasal 36, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
12 Pasal 38, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
75
13 Pasal 42, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
14 Pasal 58, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
15 Pasal 44, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
16 Pasal 51, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
76
17 Pasal 5, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
18 Pasal 6 dan Pasal 7, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
19 Pasal 8 dan Pasal 9, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
21 Pasal 12 dan Pasal 14, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
22 Pasal 15 dan Pasal 16, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
24 Pasal 20 dan Pasal 21, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
25 Pasal 22 dan Pasal 23, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
27 Pasal 26, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
a) Penyembelihan;
b) Pengolahan;
c) Penyimpanan;
d) Pengemasan;
e) Pendistribusian;
f) Penjualan; dan
g) Penyajian.29
Terkait biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku
usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Biaya
sertifikasi halal yang dibebankan ini harus efisien, terjangkau,
dan tidak diskriminatif. Penetapan besaran atau nominal biaya
sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal pelaku usaha merupakan usaha mikro dan
kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
Fasilitasi oleh pihak lain berupa fasilitasi oleh:
a) Pemerintah pusat melalui anggaran pendapatan dan belanja
negara;
b) Pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja
daerah;
c) Perusahaan;
d) Lembaga sosial;
e) Lembaga keagamaan;
f) Asosiasi; atau
g) Komunitas.30
Produk halal yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh
lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama
saling pengakuan sertifikat halal dengan BPJPH tidak perlu
29 Pasal 43, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
31 Pasal 64 dan Pasal 65, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
33 Pasal 66 dan Pasal 67, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
35 Pasal 70 dan Pasal 71, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
36 Pasal 72 dan Pasal 73, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
38 Pasal 76 dan Pasal 77, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
40 Penjelasan Pasal 78, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
92
43 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
44 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.. Sistem “SIHalal” saat
ini masih dalam tahap pengembangan dan untuk kedepannya terdapat kemungkinan terjadinya perubahan nama
dari sistem tersebut.
93
45Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
94
46
BPJPH Dinilai Belum Siap Layani Pengurusan Sertifikat Halal,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191021113744-92-441455/bpjph-dinilai-belum-siap-
layani-pengurusan-sertifikat-halal diakses pada tanggal 22 Oktober 2019.
47
Halal Corner Nilai BPJPH Belum Siap Bertugas Selenggarakan Sertifikasi Halal,
https://www.islampos.com/halal-corner-nilai-bpjph-belum-siap-bertugas-selenggarakan-
sertifikasi-halal-169173/ diakses pada tanggal 22 Oktober 2019.
48
Halal Institute: Kepastian Tarif Sertifikasi Halal Oleh BPJPH Harus Segera Diselesaikan,
https://indonesiainside.id/news/nasional/2019/10/19/halal-institute-kepastian-tarif-sertifikasi-halal-oleh-
bpjph-harus-segera-diselesaikan diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
95
49
BPJPH Menanti Keputusan MenKeu Soal Tarif Sertifikasi,
https://khazanah.republika.co.id/berita/pzrrvs313/bpjph-menanti-keputusan-menkeu-soal-tarif-sertifikasi
diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
50
Begini Proses Sertifikasi Halal Menurut BPJPH,
https://khazanah.republika.co.id/berita/q028dl313/begini-proses-sertifikasi-halal-menurut-bpjph
diakses pada tanggal 28 Oktober 2019.
96
51
Kewajiban Sertifikasi Resmi Halal Berlaku, Bagaimana Nasib UMKM?,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50080006 diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
52
Kewajiban Sertifikasi Resmi Halal Berlaku, Bagaimana Nasib UMKM?,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50080006 diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
97
53
Pasal 12 & 13, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
54
Pasal 30, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
55
Kewajiban Sertifikasi Halal, GAPPMI: Tak Boleh Ada Penindakan,
https://www.voaindonesia.com/a/kewajiban-sertifikasi-halal-gappmi-tak-boleh-ada-penindakan-
/5130205.html diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
56
Bukan Lagi MUI, Ini Fakta Soal Sertifikasi Halal Dialihkan ke BPJPH,
https://economy.okezone.com/read/2019/10/18/320/2118728/bukan-lagi-mui-ini-fakta-soal-
sertifikasi-halal-dialihkan-ke-bpjph diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
98
57
Fokus Gelar Pembinaan, BPJPH Prioritaskan UMK, https://republika.co.id/berita/pzljca384/fokus-
gelar-pembinaan-bpjph-prioritaskan-umk diakses pada tanggal 26 Oktober 2019.
99
58
Strategi BPJPH Geliatkan Sosialisasi, https://khazanah.republika.co.id/berita/pzyrt0313/strategi-
bpjph-geliatkan-sosialisasi diakses pada tanggal 26 Oktober 2019.
59
Kewajiban Sertifikasi Halal, GAPPMI: Tak Boleh Ada Penindakan,
https://www.voaindonesia.com/a/kewajiban-sertifikasi-halal-gappmi-tak-boleh-ada-penindakan-
/5130205.html diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
60
Pasal 72, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
61
Bukan Lagi MUI, Ini Fakta Soal Sertifikasi Halal Dialihkan ke BPJPH,
https://economy.okezone.com/read/2019/10/18/320/2118728/bukan-lagi-mui-ini-fakta-soal-
sertifikasi-halal-dialihkan-ke-bpjph diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
100
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
101
1) Perumusan masalah
Tahap ini merupakan tahap mengenali dan merumuskan masalah
dan merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan
kebijakan.
2) Agenda kebijakan
Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda
kebijakan. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya
akan masuk ke dalam agenda kebijakan.
3) Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah
Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-
alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan
masalah tersebut.
4) Tahap penetapan kebijakan
Tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah
menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil
pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan.64
Untuk melalui setiap tahapan proses pembentukan kebijakan
tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat, terutama jika terjadi
perbedaan pendapat di antara para pihak yang terkait, dalam hal ini
DPR.
Dalam proses pembentukan undang-undang jaminan produk halal
tidak semudah yang dibayangkan, diperlukan waktu yang cukup lama
kurang lebih selama 10 tahun diperjuangkan di DPR hingga lahirnya
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal.65
64Esty Kartika Zahriyah dan Afiati Indri Wardani, “Faktor-Faktor Penghambat Perumusan Rancangan
Undang-Undang Perdagangan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”, FISIP UI, 2013, h., 4-5.
65 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
102
66 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
67 Pasal 1 Ketentuan Umum, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
68 Pasal 12 dan Penjelasan Pasal 12, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
103
69 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
104
JPH ini karena memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar tahun
2004 hingga diterbitkan undang-undangnya pada tahun 2014. Terdapat
beberapa pihak yang menentang dan tidak setuju dengan pembuatan UU
JPH ini, para penentang tersebut beralasan bahwa jaminan produk halal
ini tidak penting dan tidak perlu diatur, sehingga menyebabkan proses
pembuatan UU JPH ini menjadi sangat lama. Sedangkan untuk
pembuatan peraturan pemerintah sendiri yang menjadi masalah, yaitu
harus menyinergikan dan menyinkronkan peraturan antar
kementerian/lembaga terkait.70
70 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan Penulis berkaitan dengan
kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan JPH dan kendala-kendala yang
menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan JPH, maka dapat
disimpulkan suatu jawaban dari permasalahan yang ada, yaitu:
1. Persiapan-persiapan yang telah dilakukan oleh BPJPH dalam
menyelenggarakan Jaminan Produk Halal, diantaranya sebagai berikut:
a. Peraturan-Peraturan
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Jaminan Produk Halal, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dari
Jaminan Produk Halal ini akan diatur dengan Peraturan Menteri.
b. Infrastruktur
Guna memberikan pelayanan secara manual, pemerintah
membangun Gedung untuk BPJPH di Pondok Gede. Namun, untuk
sementara waktu kegiatan operasional BPJPH akan dilakukan di
Gedung Kemeterian Agama Jl. M.H. Thamrin dan Jl. Lapangan
Banteng Utara. Dikarenakan gedung yang dipersiapkan untuk
BPJPH masih belum dapat digunakan untuk melakukan kegiatan
operasionalnya.
c. Sistem Layanan
BPJPH menggunakan sistem layanan berbasis online dan
manual. Sistem layanan online BPJPH, SIHalal, saat ini masih
dalam pengembangan sehingga belum dapat digunakan untuk
melakukan pendaftaran. Salah satu alasan yang menghambat
“SIHalal” belum diluncurkan adalah Peraturan Menteri Keuangan
105
106
B. Rekomendasi
Terdapat beberapa poin yang ingin Penulis tambahkan berkaitan
dengan upaya untuk memaksimalkan penyelenggaraan Jaminan Produk
Halal di Indonesia, diantaranya yaitu:
1. Peraturan Perundang-undangan
a. Peraturan Menteri yang diamanatkan oleh UU JPH lebih baik untuk
secepatnya diterbitkan, terutama Peraturan Menteri Keuangan
mengenai biaya pendaftaran sertifikasi halal agar pelaku usaha
dapat segera mendaftarkan produk mereka ke BPJPH.
b. Selain itu, Peraturan Menteri mengenai registrasi LPH dan Auditor
Halal lebih baik untuk segera diterbitkan, guna menjadi dasar bagi
BPJPH untuk mengakreditasikan LPH dan Auditor Halal, sehingga
tidak hanya LPPOM MUI yang menjadi LPH, namun lembaga lain
yang memenuhi persyaratan dan ketentuan bisa menjadi LPH.
2. Infrastruktur
Diharapkan untuk segera menyelesaikan persiapan Gedung BPJPH,
serta perlu adanya pemberdayaan di Kanwil Kementerian Agama
Provinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, untuk
membantu peranan BPJPH dalam sertifikasi halal.
3. Sistem Layanan
Akan lebih baik jika BPJPH segera meluncurkan sistem layanan
berbasis online menggunakan versi mobile, agar lebih memudahkan
pelaku usaha dalam mengakses “SIHalal”. Untuk konsumen, akan lebih
mudah jika terdapat aplikasi khusus yang dapat mengecek nomor
registrasi sertifikat halal dari produk tersebut melalui barcode yang
terlampir para kemasan produk.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAS, 2008.
Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Mesraini, dkk, Islam dan Produk Halal (Serial Khutbah Jum’at). Jakarta:
Departemen Agama RI, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika). Jakarta: Gaung
Persada Press Group, 2013.
108
109
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.
Interview
Interview Pribadi dengan Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga
Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang Pengawasan Jaminan Produk
Halal Pusat, Jakarta, 2 Agustus 2019.
Bukan Lagi MUI, Ini Fakta Soal Sertifikasi Halal Dialihkan ke BPJPH,
https://economy.okezone.com/read/2019/10/18/320/2118728/bukan-lagi-
110
Halal Corner Nilai BPJPH Belum Siap Bertugas Selenggarakan Sertifikasi Halal,
https://www.islampos.com/halal-corner-nilai-bpjph-belum-siap-bertugas-
selenggarakan-sertifikasi-halal-169173/ diakses pada tanggal 22 Oktober
2019.
Halal Institute: Kepastian Tarif Sertifikasi Halal Oleh BPJPH Harus Segera
Diselesaikan, https://indonesiainside.id/news/nasional/2019/10/19/halal-
institute-kepastian-tarif-sertifikasi-halal-oleh-bpjph-harus-segera-
diselesaikan diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
113
Bahan Wawancara
menggunakan label halal yang baru? Bagaimana dengan pelaku usaha yang
telah menggunakan label halal terdahulu?
Mengenai label halal yang baru akan diberlakukan setelah BPJPH
beroperasi, terkait bagaimana implementasinya kepada pelaku usaha untuk
pencantuman label halal terdapat penyesuaian. Jika ternyata ada pelaku
usaha yang telah terlanjur mencetak label yang lama pada kemasan
produknya, maka BPJPH akan memberikan waktu untuk pelaku usaha
tersebut untuk tetap menggunakan label yang lama hingga masa berlakunya
habis. BPJPH akan memberikan toleransi kepada pelaku usaha yang masih
menggunakan label yang lama.
Untuk saat ini, label halal yang digunakan masih label halal yang
lama, yaitu label halal dari MUI. Jika label halal dari MUI masih sesuai
dengan ketentuan, maka label yang baru belum boleh untuk dikeluarkan.
4. Berapa kisaran biaya yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha untuk
mengajukan permohonan sertifikat halal? Dalam hal pelaku usaha termasuk
dalam golongan mikro dan kecil, untuk biaya sertifikat halal dapat
difasilitasi oleh pihak lain, bagaimana cara pelaku usaha tersebut bisa
mendapatkan fasilitas ini?
Terkait masalah biaya, nantinya akan diatur oleh Peraturan Menteri
Keuangan. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk saat ini belum
bisa disampaikan jika belum dikeluarkan keputusannya. Meskipun
rancangan dari Peraturan Menteri Keuangan ini sudah ada, namun belum
bisa dipublikasikan hingga resmi diterbitkan keputusannya oleh
pemerintah.
Untuk pelaku usaha yang termasuk dalam golongan mikro dan kecil
nantinya akan mendapatkan fasilitasi. Fasilitasi ini nantinya akan dibantu
melalui bagian CSR, bagian CSR ini nantinya akan bekerja sama dengan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya bisa
memberikan fasilitas kepada pelaku usaha. Untuk saat ini aturan mengenai
hal ini belum diterbitkan, namun biasanya fasilitasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah ini merupakan salah satu program dari pemerintah
115
daerah. BPJPH akan bekerja sama dengan pemerintah daerah atau pihak
lain yang memfasilitasi pelaku usaha.
Nantinya pelaku usaha bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah
terkait fasilitas sertifikasi halal. Jadi, kerja sama BPJPH dengan
pemerintah daerah itu bagaimana memberi ruang untuk fasilitasi sertifikasi
halal ini. Fasilitas ini bisa berupa pembiayaan sertifikasi halal, maupun
berupa sosialisasi kepada pelaku usaha mengenai persyaratan dan
prosedur untuk mendapatkan sertifikat halal.
5. Terkait pengawasan, apakah terdapat lembaga khusus yang bertugas
mengawasi jaminan produk halal atau bagian khusus dari BPJPH?
BPJPH mempunyai bagian tersendiri di bidang pengawasan, yaitu
Pusat Pembinaan dan Pengawasan yang berada di Gedung Kementerian
Agama Jl. M.H. Thamrin di lantai 20. Bidang pengawasan ini bertugas
untuk mengawasi penyelenggaraan jaminan produk halal, seperti
pengawasan terhadap LPH, auditor halal, pelaku usaha, penyelia halal,
dan produk yang bersertifikat halal.
BPJPH dapat melakukan pengawasan dengan kementerian terkait
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Nantinya kementerian-
kementerian terkait dapat memberikan rekomendasi kepada BPJPH terkait
hasil pengawasan yang telah dilakukannya terhadap penyelenggaraan
Jaminan Produk Halal. Kementerian terkait yang dimaksud telah
dijelaskan dalam PP Nomor 31 Tahun 2019, seperti Kementerian
Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan lain-lain.
6. Terkait sanksi yang ada pada UU JPH, apakah pelaku usaha bisa dijatuhkan
hukuman pidana penjara jika ternyata melanggar ketentuan yang ada pada
undang-undang tersebut?
Pelaku usaha biasanya tidak dijatuhkan hukuman pidana penjara,
namun dapat dikenakan sanksi administratif. Mengenai hukuman pidana
penjara bisa dikenakan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan proses Jaminan Produk Halal yang tidak menjaga
116
BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, yang mana
pekerjaan terkait hal tersebut dikembalikan kepada tugas masing-masing.
7. Sejauh mana persiapan yang sudah dilakukan oleh BPJPH untuk
menyelenggarakan jaminan produk halal?
Saat ini persiapan yang telah dilakukan oleh BPJPH terkait regulasi,
yaitu telah diterbitkan UU JPH dan PP Nomor 31 Tahun 2019. Mengenai
proses bisnis atau tata cara dari setiap prosesnya, nantinya akan diatur
dalam Peraturan Menteri Agama tentang penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal yang saat ini sedang dalam proses finalisasi.
Terkait penyiapan layanan secara manual dan online, untuk manual
BPJPH telah menyiapkan formulir-formulir untuk pendaftaran. Sedangkan
untuk layanan secara online, yang disebut SIHalal, masih dalam proses
pengembangan. Saat ini, aplikasi SIHalal sedang dalam penyesuaian
dengan proses bisnisnya.
8. Apa saja kendala-kendala yang menghambat dalam menyiapkan
penyelenggaraan jaminan produk halal?
UU JPH ini diperjuangkan selama 10 tahun di DPR, karena tidak
semua pihak mau Jaminan Produk Halal ini dilaksanakan. Padahal di
Indonesia dominan masyarakat muslim, namun dominan masyarakat
muslim ini tidak dapat berbuat banyak di negaranya sendiri. Butuh
perjuangan yang cukup panjang sampai akhirnya UU JPH ini diterbitkan.
Salah satu yang menjadi alasan kenapa PP tidak diterbitkan sesuai
yang diamantkan UU JPH, atau Rancangan Peraturan Menteri tidak
segera diterbitkan, yaitu karena hal ini memiliki kompleksitas yang tinggi.
Misalnya, BPOM ruang lingkupnya terkait barang kemasan, dan dibatasi
untuk makanan, obat, kosmetik. Sedangkan, untuk BPJPH ruang
lingkupnya luas, yaitu makanan, minuman, obat, kosmetik, produk rekayasa
genetika, produk kimia, produk biologi, dan barang gunaan. Karena ruang
lingkup dari BPJPH luas, maka kerja sama antara BPJPH dengan
kementerian dan lembaga terkait lainnya juga luas.
118