Anda di halaman 1dari 131

SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN

PRODUK HALAL PASCA DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG


NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NURFAIQOH RIDHIYAH
NIM: 11140460000047

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019 M
ABSTRAK
Nurfaiqoh Ridhiyah. NIM 11140460000047. SERTIFIKASI HALAL OLEH
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL. Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. VIII + 111 halaman, 8 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persiapan yang telah
dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam
menyelenggarakan jaminan produk halal dan untuk mengetahui apa saja yang
menjadi kendala dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif – empiris
melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan studi kepustakaan
(library research) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku dan beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan
pembahasan skripsi ini, selain ini penulis juga menggunakan teknik wawancara
untuk mendapatkan data yang diperlukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan yang sudah dilakukan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, yaitu terbitnya Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH untuk sementara waktu
melakukan kegiatan operasionalnya di Gedung Kementerian Agama, dan sistem
layanan untuk pengajuan permohonan sertifikasi halal akan dilakukan secara
manual. Untuk kendala-kendala yang menghambat proses persiapan
penyelenggaraan Jaminan Produk halal, yaitu proses penerbitan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang membutuhkan waktu
cukup lama dikarenakan terdapat beberapa pihak yang tidak menyetujui penerbitan
undang-undang tersebut dan terlambatnya penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor
31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal dikarenakan BPJPH harus menyinkronisasi
dan menyinergikan peraturannya dengan peraturan-peraturan kementerian
dan/lembaga terkait yang bekerja sama dengan BPJPH dalam menyelenggarakan
Jaminan Produk Halal di Indonesia.

Kata Kunci: Sertifikasi Halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal,


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H.


Daftar Pustaka : 1999 s.d 2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw sehingga
Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SERTIFIKASI HALAL OLEH
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL”. Banyak pihak yang telah membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak
langsung. Maka dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A. dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi
yang senantiasa meluangkan waktu dan memberikan petunjuk serta masukan
bagi Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku dosen penguji dalam sidang
skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi.
6. Kepada Ibu Lady Yulia, S. Si, selaku Kepada Subbidang Pengawasan Lembaga
Pemeriksa Halal dan Auditor Halal pada Bidang Pengawasan Jaminan Produk
Halal, Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal pada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal, terima kasih telah meluangkan waktu
dan bersedia untuk diwawancarai oleh Penulis.

ii
7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang senantiasa ikhlas dalam mendidik dan memberikan
ilmunya kepada Penulis selama masa perkuliahan.
8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum.
9. Kepada kedua Orang Tua Penulis Bapak Achmad Supandi dan Ibu Nunung
Nurhayati, terima kasih atas segala pengorbanan tenaga, harta, dan doa yang
selalu dipanjatkan untuk Penulis, sehingga dapat mengantarkan Penulis hingga
sampai tahap ini, dan kepada adik-adik Penulis Izzatunnisa Fadhilah dan Farah
Hafizah terima kasih telah turut serta mendoakan Penulis dan memberikan
semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
10. Terima kasih kepada Imam Dwiky Setyawan dan keluarga yang telah
memberikan bantuan, saran dan doa kepada Penulis selama mengerjakan
skripsi.
11. Kepada sahabat Penulis Nia dan Ola, terima kasih atas segala bantuan, doa, dan
semangat yang diberikan kepada Penulis selama mengerjakan skripsi ini.
12. Kepada teman dekat Penulis, di Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Cipo, Dira,
Ismy, Ii, Wienda, Ifah, terima kasih telah menemani dan membantu Penulis
selama perkuliahan. Serta sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi
Syariah Tahun 2014 yang telah selalu membantu dan memberikan saran selama
perkuliahan.
13. Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh
Penulis, tidak ada yang dapat Penulis berikan kecuali doa dan ucapan terima
kasih untuk segalanya.

Ciputat, 31 Oktober 2019

Nurfaiqoh Ridhiyah

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1


B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 5
1. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5
2. Pembatasan Masalah .......................................................................... 6
3. Perumusan Masalah............................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .......................................................... 7
F. Kerangka Konseptual ................................................................................ 10
G. Metode Penelitian...................................................................................... 11
H. Rancangan Sistematika Penelitian ............................................................ 14

BAB II KAJIAN TEORI HALAL ..................................................................... 15

A. Pengertian Halal ........................................................................................ 15


B. Sertifikasi Halal Sebelum Berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal .......................................................................................................... 18
1. Lembaga Sertifikasi Halal Sebelum BPJPH ....................................... 18
2. Dasar Hukum ...................................................................................... 26
3. Proses Pembuatan Sertifikat Halal ...................................................... 29

iv
BAB III TINJAUAN UMUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN
PRODUK HALAL (BPJPH) .............................................................................. 40

A. Sejarah Berdirinya BPJPH ........................................................................ 40


B. Struktur Organisasi BPJPH ....................................................................... 41
C. Tugas dan Wewenang BPJPH................................................................... 43
D. Dasar Hukum Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ........................... 44
1. Undang-Undang .................................................................................. 44
2. Hukum Islam ....................................................................................... 50
E. Proses Pembuatan Sertifikasi Halal .......................................................... 53
1. Pendaftaran Sertifikasi Halal............................................................... 53
2. Pembuatan Sertifikat Halal ................................................................. 56
3. Pasca Pembuatan Sertifikat Halal ....................................................... 59
F. Bentuk Kerja Sama BPJPH dengan Lembaga Terkait Lainnya ................ 64
G. Konsep Ideal Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ............................. 66

BAB IV ANALISIS SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN


PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL

A. Persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam


Menyelenggarakan Jaminan Produk Halal di Indonesia Pasca
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal ............................................................................................. 69
1. Peralihan Kewenangan Sertifikasi Halal dari Majelis Ulama Indonesia
ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ................................. 69
2. Persiapan Sarana dan Prasarana dalam Menyelenggarakan Jaminan
Produk Halal ....................................................................................... 70
3. Perkembangan Terkini Sertifikasi Halal oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal ......................................................................... 93
B. Kendala-Kendala dalam Mempersiapkan Penyelenggarakan Jaminan
Produk Halal Pasca Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal ............................................................... 100

v
1. Kendala Internal ................................................................................ 100
2. Kendala Eksternal ............................................................................. 102

BAB V PENUTUP .............................................................................................105

A. Simpulan .................................................................................................105
B. Rekomendasi ...........................................................................................107

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................108

LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.0 Tata Cara Sertifikasi Halal ............................................................ 57

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Produk halal saat ini sudah menjadi tren dunia, dan mulai merambah ke
berbagai negara tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang memiliki
mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan tren halal yang sudah
mengglobal ini, membuat masyarakat baik Muslim maupun non-muslim
tertarik dengan hal-hal yang menggunakan istilah halal, seperti makanan halal.
Dalam data laporan Global Islamic Economy tahun 2016/2017
menyebutkan bahwa belanja penduduk Muslim global pada produk dan jasa
dalam sektor ekonomi halal lebih dari 1,9 Triliun dollar Amerika.1 Sedangkan,
pada data laporan Global Islamic Economy 2017/2018, terdapat peningkatan
pada belanja penduduk Muslim global pada produk dan jasa dalam sektor
ekonomi halal lebih dari 2 Triliun dollar Amerika.2 Berdasarkan data tersebut,
sektor ekonomi halal sedang mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor ekonomi halal sedang menjadi sebuah tren global.
Sebagai seorang muslim dalam mengonsumsi suatu produk baik produk
pangan maupun produk pakai penting untuk diketahui kehalalannya.
Mengingat Allah swt melarang kita untuk mengonsumsi sesuatu yang haram,
seperti yang telah disebutkan dalam QS. Al-Ma’idah ayat 3 hal-hal yang
diharamkan oleh Allah swt untuk kita konsumsi. Selain dari dzatnya yang harus
halal, cara untuk mengolahnya juga harus bisa dipastikan kehalalannya.
Walaupun kita mengetahui produk tersebut terbuat dari bahan-bahan yang
halal, namun kita tidak mengetahui secara pasti proses pengolahan produk
tersebut, apakah tercampur dengan sesuatu yang haram atau tidak.

1 Tren Halal, Peluang Ekonomi yang Seharusnya Diperhatikan, dari


http://www.nu.or.id/post/read/82276/tren-halal-peluang-ekonomi-yang-seharusnya-diperhatikan, 21 Juli 2018.
2 State Of The Global Islamic Economy 2017/2018,
https://www.slideshare.net/EzzedineGHLAMALLAH/state-of-the-global-islamic-economy-20172018, 23 Juli
2018.

1
2

Anjuran agama untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal


dan baik ini bukan tanpa alasan, dengan mengonsumsi sesuatu yang halal dan
baik bisa menjauhkan kita dari mengonsumsi makanan yang menimbulkan
penyakit, baik penyakit jasmani maupun penyakit rohani. Dengan
perkembangan zaman, produk halal tidak hanya kategori makanan dan
minuman saja, tetapi juga termasuk produk yang dipakai, digunakan dan
dimanfaatkan, seperti kosmetik, obat-obatan, pakaian, dan jasa.
Dengan tren halal yang terus meningkat di berbagai negara di dunia,
menimbulkan suatu kewajiban bagi pemerintah negara tersebut untuk
menjamin kepastian dan ketersediaan produk halal bagi masyarakatnya.
Apalagi di Indonesia dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, sudah
seharusnya pemerintah Indonesia menjamin kepastian dan ketersediaan produk
halal yang beredar.
Kepastian tersebut dapat diwujudkan oleh pemerintah Indonesia dengan
cara memberikan sertifikat terhadap berbagai macam produk halal, dengan cara
inilah masyarakat dapat membedakan mana produk halal dan mana produk
haram dengan pasti. Pemerintah telah membuat peraturan yang mengatur
tentang kehalalan produk, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Agama Nomor 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985
tentang “Pencantuman Tulisan “halal” pada Label Makanan”. Didalamnya
ditegaskan pengertian makanan halal yang mencakup semua jenis makanan
yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang / haram atau yang
diolah / diproses menurut hukum agama Islam. Selain itu, Undang-Undang
Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, menyatakan bahwa pencantuman kata atau
tanda halal (label halal) yang menjamin bahwa makanan dan minuman yang
diproduksi dan diproses harus sesuai persyaratan makanan halal. Berdasarkan
peraturan-peraturan tersebut, jelas bahwa pemerintah wajib menyediakan
produk halal.
Namun, ada peraturan yang tidak harmonis dengan peraturan lainnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan Peraturan Pemerintahnya sendiri mengenai
pencantuman label halal yang bertentangan dengan UU tentang Pangan, dalam
3

UU Pangan bersifat wajib, sementara dalam Peraturan Pemerintahnya bersifat


sukarela. Selain itu, ketidakharmonisan dapat terlihat dari masing-masing
instansi yang berwenang merasa lebih berhak untuk menangani sertifikasi
halal.3
Pemerintah sebagai pihak yang menetapkan kebijakan memiliki peranan
penting dalam menjamin kehalalan produk yang beredar di suatu negara.
Terutama di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu
memiliki kekhawatiran jika mengonsumsi produk pangan dan produk pakai
yang tidak terjamin kehalalannya. Dalam hal ini pemerintah sudah
mengeluarkan beberapa peraturan terkait sertifikat halal untuk menjamin
kehalalan suatu produk. Peraturan yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Undang-Undang ini sebagai
penyempurna dari peraturan-peraturan sebelumnya yang mengatur tentang
sertifikat halal.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal atau bisa disingkat UU JPH, telah mewajibkan untuk semua produk yang
masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat
halal yang tercantum dalam Pasal 4 UU JPH. Dan ketentuan akan kewajiban
bersertifikat halal ini berlaku 5 (lima) tahun sejak diundangkannya UU JPH.
Dengan begitu kewajiban ini akan berlaku pada bulan Oktober tahun 2019
nanti. Selain itu UU JPH juga mengamanatkan pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) guna melaksanakan
penyelenggaraan jaminan produk halal yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
Dalam melaksanakan suatu peraturan maka penting adanya ditetapkan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut, seperti Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain. Namun, UU JPH ini sejak
diundangkannya hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana yang
diterbitkan. Padahal pada Pasal 65 UU JPH disebutkan bahwa peraturan

3 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.

Pertama), h., 24-28.


4

pelaksana dari UU JPH ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak UU JPH diundangkan. Seharusnya saat ini paling tidak sudah ada
peraturan pemerintahnya sebagai peraturan pelaksana dari UU JPH ini. Jika
peraturan pemerintahnya saja belum ditetapkan, maka peraturan-peraturan
pelaksana di bawahnya pun belum bisa dikeluarkan.
Selain itu, aturan mengenai pembentukan BPJPH juga paling lambat 3
(tiga) tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan. Dan tepat 3 (tiga) tahun UU
JPH diundangkan, BPJPH ini didirikan yaitu pada tahun 2017. Terlambatnya
peraturan pelaksana ditetapkan, begitu juga dengan pembentukan BPJPH,
memperlambat rencana yang sudah dibuat oleh pemerintah dalam
menyelenggarakan jaminan produk halal di Indonesia secara optimal.
Sejak awal diundangkan hingga saat ini, UU JPH belum dapat terlaksana
dengan baik. Mengingat peraturan pelaksananya berupa Peraturan Pemerintah,
belum dikeluarkan hingga saat ini. Tanpa peraturan pelaksana suatu Undang-
Undang tidak akan bisa dijalankan, sehingga dapat menghambat tujuan dari
Undang-Undang itu dibuat. Ditambah lembaga yang berwenang untuk
pengurusan sertifikasi halal, yaitu BPJPH, terlambat untuk didirikan. Hal ini
menyebabkan persiapan dari BPJPH belum matang untuk mengurus proses
sertifikasi halal. Padahal seharusnya badan ini sudah berjalan dengan efektif
pada tahun 2019.
Di Malaysia pelaksanaan dari sertifikasi halal sudah berkembang pesat,
mulai dari segi peraturan-peraturan, infrastruktur, hingga sistem pendaftaran
sertifikat halal yang berbasis internet. Pencapaian tersebut tidak serta merta
didapatkan dengan mudah, perlu adanya sinergi antara lembaga-lembaga
terkait dan dukungan penuh oleh pemerintah. Sehingga mewujudkan
pelaksanaan sertifikasi halal yang optimal.
Sedangkan di Indonesia peraturan pelaksana dari UU JPH sendiri baru
diterbitkan 3 Mei 2019. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pelaksanakan
sertifikasi halal oleh BPJPH. Oleh karenanya dapat disimpulkan perhatian dari
pemerintah Indonesia mengenai sertifikasi halal masih kurang. Padahal
sertifikasi halal ini sangat penting untuk melindungi hak-hak konsumen
5

muslim dalam mengonsumsi produk-produk yang beredar di Indonesia. Selain


itu sertifikat halal juga bisa menjadi nilai tambah bagi pelaku usaha dalam
memperdagangkan produknya.
Beberapa permasalah tersebut merupakan hal yang menjadi penghambat
bagi pelaksanaan sertifikasi halal di Indonesia. Padahal sertifikasi halal sendiri
sangat penting bagi kenyamanan dan keamanan masyarakat untuk
mengonsumsi suatu produk. Agar dapat memberikan kepastian produk halal
kepada masyarakat, maka diperlukan juga aturan yang jelas dan dapat
dilaksanakan. Jika peraturan pelaksananya saja belum pasti, maka Undang-
Undang tidak akan berjalan dengan optimal.
Untuk mewujudkan pelaksanaan sertifikasi halal yang menyeluruh
diperlukan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, para pelaku
usaha juga harus memiliki kesadaran untuk melaksanakan kewajiban sertifikasi
halal. Serta masyarakat juga harus berperan aktif dalam penyelenggaraan
sertifikasi halal ini. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk membahas tentang
“PELAKSANAAN SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK
HALAL”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya terdapat
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan sertifikasi
halal pasca diundangkannya Undang-Undang jaminan produk halal,
sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan sertifikasi halal?
b. Apa saja peraturan yang mengatur tentang sertifikasi halal?
c. Apa saja lembaga yang terkait dengan BPJPH dalam menjamin
produk halal di Indonesia?
d. Bagaimana proses pembuatan sertifikat halal?
6

e. Bagaimana kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha?


f. Bagaimana pelaksanaan sertifikasi halal pasca diundangkannya
Undang-Undang Jaminan Produk Halal?
g. Bagaimana peranan pemerintah dalam menyelenggarakan jaminan
produk halal di Indonesia?
h. Bagaimana kesiapan lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses
sertifikasi halal pasca diundangkannya Undang-Undang Jaminan
Produk Halal?
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
Penulis akan membatasi masalah yang akan dibahas agar lebih fokus pada
masalah yang akan diteliti oleh Penulis. Dari segi waktu, Penulis akan
membatasi pasca diterbitkanya Undang-Undang Jaminan Produk Halal
yaitu pada tahun 2014. Dari segi materi, Penulis hanya akan membahas
mengenai pelaksanaan sertifikasi halal, lebih tepatnya mengenai kesiapan
BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan produk halal serta kendala-
kendala yang menghambat penyelenggaraan jaminan produk halal di
Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah
dibahas sebelumnya, berikut adalah rumusan masalah yang akan diteliti
oleh Penulis:
a. Bagaimana kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan
produk halal pasca diterbitkannya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal?
b. Apa yang menjadi kendala dalam menyiapkan penyelenggaraan
jaminan produk halal?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
7

1. Untuk menganalisis kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan


produk halal pasca diterbitkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
2. Untuk menganalisis kendala-kendala yang menghambat dalam
menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
berbagai hal baik yang bersifat praktis maupun teoritis, antara lain yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Pembahasan yang ada dalam skripsi ini, diharapkan bisa menambah
pemahaman dan pengetahuan kepada semua pihak, yang bergerak di
bidang hukum maupun bidang lainnya yang sesuai dengan tema bahasan
penelitian, seperti pemerintah dan lembaga instansi terkait.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Regulator dan Praktisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
bermanfaat dan referensi untuk meninjau dan mengalalisis
pelaksanaan sertifikasi halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal.
b. Bagi Akademisi
Diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan untuk penelitian
lebih lanjut yang berkaitan dengan tema penelitian. Sehingga
pembahasan mengenai jaminan produk halal ini bisa lebih
berkembang nantinya.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


Untuk menghindari kesamaan pada penelitian ini dengan penelitian
lainnya, maka Penulis melakukan penelusuran dengan meninjau kajian-kajian
terdahulu yang memiliki tema pembahasan serumpun dengan yang dibahas
oleh Penulis. Adapun penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:
8

Pertama, skripsi oleh M. Ade Septiawan, mahasiswa dari UIN Jakarta


tahun 2013, dengan judul Kewenangan LPPOM-MUI dalam Penentuan
Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal. Skripsi ini membahas tentang kewenangan
dari LPPOM-MUI pasca berlakunya UU JPH, serta perkembangan kedepannya
mengenai sertifikasi halal di Indonesia. Pada skripsi ini terdapat persamaan
dengan yang akan dibahas Penulis yaitu mengenai kewenangan atas suatu
lembaga dalam hal pelaksanaan sertifikasi halal, serta meninjau berdasarkan
UU JPH. Namun terdapat perbedaan juga dengan bahasan Penulis, yaitu dalam
hal lembaga yang dibahas LPPOM-MUI, serta perkembangan dari pelaksanaan
sertifikasi halal sendiri di Indonesia kedepannya seperti akan apa. Sedangkan
yang akan dibahas Penulis adalah pelaksanaan dari sertifikasi halal saat ini.
Kedua, skripsi oleh Syamsudin Syamsudin, mahasiswa dari Universitas
Islam Negeri Gunung Djati Bandung tahun 2017, dengan judul Pelaksanaan
Sertifikasi Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal Ditinjau dari Siyasah Dusturiyah. Skripsi ini
membahas tentang pelaksanaan Undang-Undang jaminan produk halal ditinjau
dari siyasah dusturiyah, prosedur pengajuan sertifikasi halal dan kewenangnan
MUI dalam pembuatan sertifikat halal sebelum dan sesudah diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Ketiga, skripsi oleh Panca Basuki Rahmat, mahasiswa dari Universitas
Brawijaya Malang tahun 2018, dengan judul Pelaksanaan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 33 Tahu 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Terkait Depot
Air Minum Isi Ulang yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal (Studi Empiris di
Dinas Kesehatan, MUI, dan Depot Air Minum Isi Ulang di Kota Malang).
Skripsi ini membahas tentang hambatan-hambatan bagi pelaku usaha DAM isi
ulang untuk memiliki sertifikat halal, serta hambatan dan upaya yang dilakukan
MUI Kota Malang dalam pelaksanaan pasal 4 Undang-Undang JPH terkait
DAM isi ulang yang tidak memiliki sertifikat halal.
Keempat, jurnal oleh Syafrida, dari Universitas Tama Jagakarsa, dengan
judul Sertifikat Halal Pada Produk Makanan dan Minuman Memberi
9

Perlindungan dan Kepastian Hukum Hak-hak Konsumen Muslim. Jurnal ini


membahas tentang proses pemberian sertifikat halal atau prosedur dari
sertifikasi halal, serta manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat
khususnya konsumen muslim melalui sertifikat halal yang ditetapkan pada
produk-produk. Persamaan dengan Penulis, dalam jurnal ini menjelaskan
tentang pelaksanaan sertifikasi halal dalam hal prosedur sertifikasi halal.
Sedangkan perbedaannya adalah pada jurnal ini tidak membahas mengenai
kendala yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam
mempersiapkan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
Kelima, jurnal oleh Nidya Waras Sayekti pada tahun 2014, dari P3DI
Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, dengan judul Jaminan Produk Halal
Dalam Persprektif Kelembagaan. Jurnal ini membahas tentang sistem
Jaminan Produk halal yang telah berjalan selama ini di Indonesia, kelembagaan
dalam pelaksanaan Jaminan Produk Halal sebelum dan sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014, serta potensi permasalahan dalam
implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. Dalam hal ini,
persamaan dengan Penulis, yaitu membahas pelaksanaan Jaminan Produk
Halal yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Perbedaannya adalah jurnal ini tidak membahas mengenai kendala dalam
persiapan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal oleh Badan Jaminan Produk
Halal.
Keenam, jurnal oleh Meta Suryani, dari Universitas Samudra, tahun
2019, dengan judul Pergeseran Kewenangan MUI dalam Memberikan
Jaminan Produk Halal Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014. Jurnal ini membahas tentang pelaksanaan Jaminan Produk Halal sebelum
lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, serta pergeseran kewenangan
MUI dalam memberikan Jaminan Produk Halal pasca lahirnya Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014. Persamaan dengan Penulis, yaitu penulis juga
membahas mengenai pergeseran kewenangan MUI dalam hal sertifikasi halal.
Sedangkan, perbedaaannya adalah dalam jurnal ini tidak membahas mengenai
pelaksanaan Jaminan Produk Halal saat ini atau setelah Undang-Undang
10

Nomor 33 Tahun 2014 diterbitkan, serta kendala yang harus dihadapi BPJPH
dalam mempersiapkan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Persamaan antara skripsi-skripsi sebelumnya dengan penelitian yang
sedang diteliti Penulis adalah pembahasan mengenai pelaksanaan sertifikasi
halal menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Perbedaannya adalah pada penelitian ini lebih membahas secara khusus
tentang kesiapan dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses pembuatan
sertifikat halal serta secara umum pelaksanaan sertifikasi halal pasca
diundangkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan kendala-kendala
yang menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.

F. Kerangka Konseptual
11

G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan ini
dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil dari
telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang
dihadapi.4
Dalam penelitian ini isu hukum yang akan diteliti adalah
pelaksanaan dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH),
khususnya pada sertifikasi halal. Dengan begitu, Penulis akan menelaah
Undang-Undang yang berkaitan dengan sertifikasi halal.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif-
Empiris. Normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan.5
Menurut Ronny Hanitijo yang dikutip dalam buku dualisme
penelitian hukum normatif dan empiris, penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang
diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Dan penelitian empiris yaitu
penelitian yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang
diperoleh langsung dari masyarakat.6
Oleh karena itu, dalam penelitian ini data yang akan diperoleh oleh
Penulis berdasarkan bahan pustaka dan hasil wawancara dengan lembaga
yang terkait dengan proses sertifikasi halal.

4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet.

Keempat), h., 93.


5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2011, Cet. Ketigabelas), h., 14.


6 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2015, Cet. Ketiga), h., 154.


12

3. Bahan Hukum
Berdasarkan jenis penelitian normatif-empiris ini, maka data atau
bahan-bahan hukum yang diperlukan berupa data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil
penelitian kepada masyarakat atau data yang bisa diperoleh langsung dari
sumber utamanya. Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh
dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai
literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian.7
Dalam hal ini data primer yang akan digunakan Penulis yaitu berupa
hasil wawancara dengan lembaga terkait yang menyelenggarakan jaminan
produk halal. Sedangkan, data sekunder yang akan digunakan Penulis
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer (Bahan-bahan hukum yang mengikat) antara
lain, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2015 Tentang Kementerian Agama.
b. Bahan Hukum Sekunder (Memberikan penjelasan dari bahan hukum
primer) berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok
masalah dalam Penulisan skripsi ini, baik berupa buku, makalah,
jurnal penelitian, artikel, berita internet, surat kabar ataupun pendapat
para ahli.
c. Bahan Hukum Tersier (Bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder), seperti
kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 156.
13

4. Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan
atau bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut
dilakukan dalam membaca, melihat, mendengarkan, maupun dengan
melalui media internet.8
Selain itu, Penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk
memperoleh data. Wawancara yang dimaksud melakukan tanya jawab
secara langsung antara Penulis dengan responden atau narasumber atau
informan untuk mendapatkan informasi.9 Dalam hal ini, Penulis
melakukan wawancara dengan lembaga yang terkait dengan
penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia yaitu Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode analisis data
yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sifat
analisis deskriptif maksudnya adalah, bahwa Penulis dalam menganalisis
berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek
dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya.10
Sedangkan, kualitatif adalah metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang
mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun
tulisan) dan perbuatan-perbuatan manusia serta peneliti tidak berusaha
menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif yang telah
diperoleh.11 Pendekatan kualitatif adalah suatu cara analisis hasil
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang

8 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 160.
9 Ibid, h., 161.
10 Ibid, h., 183.
11 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif

dalam Berbagai Disiplin Ilmu), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, Cet. Ketiga), h., 13.
14

dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.12

H. Rancangan Sistematika Penulisan


Skripsi ini disusun berdasarkan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” terbitan tahun 2017
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing Bab terdiri
atas beberapa sub Bab sesuai dengan pembahasan dan materi yang ditulis
dalam skripsi ini. Adapun perinciannya, yaitu:
BAB I Pendahuluan yang terdiri atas: latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan (review) studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Pada bab ini menjelaskan mengenai pelaksanaan sertifikasi halal,
yang di dalamnya berisi tentang penjelasan sertifikasi halal, proses pembuatan
sertifikasi halal pasca terbitnya UU JPH, peran masing-masing lembaga yang
berwenang dalam proses pembuatan sertifikat halal, aturan-aturan yang
mengatur sertifikasi halal pasca terbitnya UU JPH, kesiapan dari masing-
masing lembaga yang terlibat dalam pembuatan sertifikasi halal.
BAB III Pada Bab ini menjelaskan mengenai lembaga Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Yang di dalamnya berisi
sejarah berdirinya BPJPH, tujuan dan manfaat berdirinya BPJPH, prosedur
memperoleh sertifikat halal, tugas dan wewenang dari BPJPH.
BAB IV Pada Bab ini menjelaskan tentang analisis kesiapan dari BPJPH
dalam menyelenggarakan jaminan produk halal dan analisis kendala-kendala
yang menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal
di Indonesia.
BAB V Pada Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi.

12 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 192.
BAB II

KAJIAN TEORI HALAL

A. Pengertian Halal
Makanan yang bersertifikat halal dapat menjadi penting di negara mana
pun, khususnya di negara yang bermayoritas muslim. Masyarakat muslim akan
tertolong karena dengan mudah ia dapat memilih makanan-makanan yang baik
yang seharusnya ia konsumsi sesuai syariat Islam.
Melihat pentingnya makanan bersertifikat halal bagi seorang muslim itu
menunjukkan adanya sebuah kepedulian yang besar. Masyarakat muslim
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan makanan yang halal sebagaimana
ia memiliki hak untuk hidup.1 Dan ini merupakan kewajiban dari pemerintah
untuk menyediakan makanan dan minuman yang terjamin kehalalannya bagi
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dengan cara memberikan
sertifikat halal bagi produk-produk yang memang terjamin kehalalannya, mulai
dari bahan-bahannya, proses pengolahan, hingga alat-alat dan cara yang
digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.
Pemerintah sendiri saat ini sudah memulai untuk menyelenggarakan
jaminan produk halal di Indonesia, untuk memahami penjelasan selanjutnya
perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sertifikat halal.
Sertifikasi halal terdiri dari dua kata yaitu sertifikasi dan halal. kata
“sertifikasi” berasal dari bahasa Inggris “Certificate” yang mempunyai tiga arti
yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah. Kata “certificate” kemudian
diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “sertifikat” yang merupakan kata
benda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa
sertifikat itu berarti tanda atau surat keterangan atau pernyataan tertulis atau
tercetak yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang dapat digunakan
sebagai bukti. Sementara itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau
proses menjadikan sertifikat.

1 Mesraini, dkk, Islam dan Produk Halal (Serial Khutbah Jum’at), (Jakarta: Departemen Agama RI,

2007), h., 198.

15
16

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Halal” adalah diizinkan atau


tidak dilarang oleh syarak.2 Dalam hal ini halal berarti segala sesuatu yang
diperbolehkan oleh agama.
Sedangkan, “haram” adalah terlarang (oleh agama Islam); tidak halal;
terlarang oleh Undang-Undang; tidak sah.3 Dengan kata lain “haram” adalah
larangan atau hal yang tidak diizinkan untuk kita melakukan atau
mengonsumsinya yang ditentukan oleh Allah swt agar menghindarkan kita dari
kesengsaraan. Tidak hanya dalam agama Islam istilah “haram” ini juga
ditujukan untuk segala hal yang dilarang oleh aturan-aturan yang ditetapkan
pemerintah.
Menurut KH. Ma’ruf Amin dalam bukunya yang berjudul Fatwa Dalam
Sistem Hukum Islam, “halal” adalah sesuatu yang jika digunakan tidak
mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan “haram” adalah sesuatu
yang oleh Allah swt dilarang dilakukan dengan larangan tegas dimana orang-
orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat.4
Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang berkaitan dengan hukum
halal dan haram. Menurut Ibn Manzhur, halal itu berasal dari kata “al-hillu”
yang berarti tidak terikat (al-thalq). Oleh karena itu, al-muhillu berarti orang
kafir yang boleh diperangi karena tidak terikat perjanjian damai dengan kita.
Lafazh halal merupakan lawan dari kata “haram”. Sedangkan lafazh “haram”
itu pada asalnya berarti mencegah atau merintangi. Oleh karena itu, setiap yang
diharamkan itu menjadi tercegah atau terlarang.
Selanjutnya. Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti segala
sesuatu yang diharamkan Allah swt. Atas dasar itu, al-Munawi memberikan
definisi halal sebagai “sesuatu yang tidak diharamkan”. Maka di dalamnya
terkandung sesuatu yang dimakruhkan dan yang tidak dimakruhkan atau
diperbolehkan. Definisi ini masih kabur karena belum memberikan batasan
yang jelas dan spesifik.

2 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.


3 Ibid.
4 KH. Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008, Cet. Pertama), h., 319.
17

Al-Jurnani memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang jika


digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa”. Definisi ini mulai mencoba
menghubungkan substansi yang terdapat cakupan halal dengan efek atau
pengaruh dalam perbuatan mukallaf. Pengaruh yang ditimbulkannya adalah
“tidak mengakibatkan mendapat siksa”. Pengaruh tersebut sebenarnya dapat
timbul dari dua kategori perbuatan yaitu makruh dan mubah. Oleh karena itu,
definisi ini juga masih kabur.Menurut Qal’aji dan Qunaibi, lafazh halal itu
berasal dari halla al-syay’i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah. Oleh
karena itu, pengertian halal identik dengan “mubah” yang terdapat dalam
ahkam al-khamsah. Atas dasar itu, maka wajar apabila al-Qardhawi secara
eksplisit mengidentikkan keduanya seperti tercermin dalam definisi halal yang
diberikannya yaitu “sesuatu yang mubah yang diizinkan oleh Syar’i untuk
dikerjakan”.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Qardhawi tersebut terdapat
dua unsur. Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam dzat atau ‘ain.
Dengan demikian secara substantif benda tersebut dzatnya adalah mubah.
Kedua, “yang diizinkan oleh Syar’i untuk dikerjakan” berkaitan dengan
perbuatan mukallaf yaitu mengerjakan. Oleh karena itu, cakupan
“mengerjakan” ini sangat luas termasuk di dalamnya mengonsumsi pangan
dalam upaya memenuhi kebutuhan jasmani mukallaf.5
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sertifikasi halal merupakan proses kegiatan pembuatan surat keterangan halal
(fatwa halal) atas suatu produk baik pangan maupun pakai yang dibuat secara
tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
Maka sebagai hasilnya adalah sertifikat halal yang dapat dijadikan bukti
bagi perusahaan untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada
kemasan produknya dari instansi pemerintah yang berwenang dalam hal ini
yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).6

5Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h., 13.
6 Ibid, h., 14.
18

Menurut LPPOM MUI, Sertifikat Halal MUI adalah fatwa tertulis


Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai
dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk
mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi
pemerintah yang berwenang.
Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan
produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan,
sehingga dapat meneteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya.
Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara
menerapkan Sistem Jaminan Halal.7

B. Pelaksanaan Sertifikasi Halal Sebelum Berlakunya Undang-Undang


Jaminan Produk Halal
1. Lembaga Sertifikasi Halal Sebelum BPJPH
Sebelum terbentuknya BPJPH lembaga yang berwenang untuk
menyelenggarakan sertifikasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kewenangan MUI untuk melakukan sertifikasi halal dapat dilihat dari
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut diberikan
sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap kiprah MUI dalam
melakukan kegiatan sertifikasi halal selama ini. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
disebutkan bahwa pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh
Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga
keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa lembaga keagamaan dimaksud adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian, MUI diakui sebagai
lembaga keagamaan yang berkompeten dalam memutuskan kehalalan

7 Sertifikasi Halal MUI,


http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1, 1 April 2019.
19

pangan. Maka, fatwanya yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu Fatwa
Halal diakui oleh pemerintah.
Pemberian kewenangan tersebut sebenarnya sudah lama diberikan
oleh pemerintah. Hal ini terlihat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 924/MenKes/SK/VIII/1996 tentang “Perubahan atas Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 82/MenKes/SK/I/1996 tentang
“Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan”. Dalam pasal 10
ditegaskan pengakuan terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan
sekaligus pemberian wewenang kepada MUI untuk melakukan sertifikasi
halal. Di dalamnya disebutkan bahwa hasil pemeriksaan dan hasil
pengujian laboratorium dievaluasi lebih lanjut oleh Tim Ahli MUI
(Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan Kosmetika-MUI). Selanjutnya,
hasil evaluasi tersebut disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia untuk memperoleh fatwa dalam bentuk Sertifikat Halal bagi
yang memenuhi syarat.
Selanjutnya, dalam pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa labelisasi
halal itu hanya dapat dilakukan berdasarkan pada Sertifikasi Halal yang
dikeluarkan oleh MUI. Di dalamnya disebutkan bahwa labelisasi halal
diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Berdasarkan fatwa tersebut Direktur Jenderal memberikan persetujuan
labelisasi halal bagi yang memperoleh Sertifikat Halal dan penolakan bagi
yang tidak memperoleh Sertifikat Halal.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut
jelaslah bahwa MUI diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan
sertifikasi halal di negara Indonesia. Dengan perkataan lain, MUI berfungsi
juga sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia.
Sementara itu, secara doktriner, MUI sebagai organisasi
perkumpulan ulama juga berwenang melakukan sertifikasi halal. Sebab,
menurut ajaran Islam, ulama menjadi tumpuan bertanya umat tentang
berbagai persoalan keagamaan karena mereka dinilai sebagai pihak yang
paling berkompeten dalam menjawab berbagai persoalan keagamaan. Atas
20

dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka lahirlah produk baru dalam


pemikiran hukum Islam yaitu fatwa ulama. Hal ini terjadi karena secara
doktriner ulama merupakan ahl al-dzikr yang menjadi tumpuan umat untuk
bertanya menanyakan berbagai persoalan keagamaan. Dengan perkataan
lain, ulama menjadi mufti yang menjadi tumpuan para mustafti
sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah swt dalam al-Anbiya [21]: 7.
Tugas sebagai mufti bukanlah tugas yang ringan, melainkan berat
dan sulit karena kelak di akhirat akan dipertanggungjawabkan kepada Allah
swt. Hal ini mengingatkan tujuan dan tugas tersebut adalah menjelaskan
hukum-hukum Allah swt kepada masyarakat yang akan mempedomani dan
mengamalkannya.8
a. Lembaga Sertifikasi Halal MUI Pusat
Karena struktur MUI terdapat dari pusat sampai ke daerah-daerah
maka diperlukan pembagian wilayah kerja dalam kegiatan sertifikasi
tersebut. Hal ini dilakukan agar kewenangan yang merupakan amanah
tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tidak
menimbulkan kesimpangsiuran yang akan berdampak buruk terhadap
citra dan kinerja MUI.
Pembagian wilayah kerja antara MUI Pusat dan MUI Daerah
dilakukan berdasarkan kewenangan masing-masing dalam menetapkan
fatwa. Dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI Bab VI
tentang Kewenangan dan Wilayah Fatwa dijelaskan bahwa MUI Pusat
berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan
yang dihadapi umat Islam yang bersifat nasional dan masalah-masalah
keagamaan yang pada awalnya lokal tetapi kemudian dapat meluas ke
daerah lain. Sementara itu, MUI daerah berwenang menetapkan fatwa
mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal dan
kedaerahan. Hal ini berlaku untuk semua jenis fatwa termasuk juga
Fatwa Halal untuk produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.

8 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 44.


21

Fatwa yang dihasilkan mempunyai kedudukan yang sederajat


sehingga tidak dapat saling membatalkan. Begitu juga dalam Fatwa
Halal yang selanjutnya diproses menjadi Sertifikat Halal oleh MUI
Daerah.
Berdasarkan pembagian kewenangan tersebut, maka MUI Pusat
berwenang untuk memproses permohonan sertifikasi halal dari
perusahaan-perusahaan berskala nasional dan multinasional. Ada tiga
kriteria yang dibuat oleh MUI dalam menentukan suatu perusahaan itu
termasuk perusahaan nasional atau multinasional, yaitu:
1) Perusahaan yang kantor pusatnya terdapat di suatu daerah dan
memiliki cabang di daerah lain atau merupakan cabang dari suatu
perusahaan yang berada di luar negeri;
2) Perusahaan yang produknya dipasarkan secara meluas ke daerah
lain atau untuk keperluan ekspor;
3) Restoran atau rumah makan yang menganut sistem waralaba.
Demikian juga perusahaan-perusahaan luar negeri yang bergerak
di bidang ekspor dan impor.
Kegiatan auditnya dilakukan oleh LPPOM-MUI pusat yang
berkantor di Gedung Majelis Ulama Indonesia Jakarta Pusat dan Global
Halal Center Building Bogor. Di samping itu, perusahaan luar negeri
tersebut dapat juga mengajukan auditnya kepada lembaga-lembaga
sertifikasi di mancanegara yang telah diakui keberadaannya oleh
LPPOM-MUI.9
b. Lembaga Sertifikasi Halal MUI Daerah
Produsen yang usahanya berskala lokal cukup mengajukan
sertifikat halalnya kepada MUI Daerah. Ada tiga kriteria yang dibuat
oleh MUI dalam menentukan suatu perusahaan itu termasuk
perusahaan lokal, yaitu:
1) Perusahaan Pemotongan Hewan (RPH) yang berada di daerah;

9 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 45.


22

2) Perusahaan yang domisili dan kantornya hanya berada di suatu


daerah, tidak memiliki cabang di daerah lain atau bukan merupakan
cabang dari suatu perusahaan yang berada di daerah lain;
3) Restoran atau rumah makan yang hanya berada di suatu daerah dan
tidak menggunakan sistem waralaba.
Pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan ketenangan batin bagi umat Islam di berbagai daerah di
seluruh Indonesia terhadap kehalalan produk makanan yang
dikonsumsi. Di samping itu, dimaksudkan juga untuk memberi
kemudahan bagi industri rumah tangga dari segi waktu dan biaya untuk
mendapatkan sertifikat halal dengan biaya yang terjangkau.
Kewenangan melakukan sertifikasi halal tersebut diberikan
kepada MUI Daerah yang sudah mempunyai tenaga ahli sebagai
pendukungnya dari LPPOM MUI Daerah tersebut. Pembentukan
LPPOM MUI Daerah dilakukan oleh MUI Daerah Tingkat I dan bisa
juga dibentuk oleh LPPOM MUI Pusat berdasarkan rekomendasi dari
MUI Daerah Tingkat I. Pembentukan LPPOM MUI Daerah baru dapat
dilakukan apabila terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:
1) Tersedianya tenaga ahli (S-1, S-2, dan S-3) di bidang pangan, kimia
atau biokimia, teknik industri, pertanian, syariah dan administrasi
yang bertindak sebagai auditor.
2) Tenaga ahli tersebut memiliki wawasan Islami yang luas dan selalu
mendahulukan kepentingan umat dari kepentingan pribadi.
3) Tersedianya laboratorium pengujian milik sendiri atau bekerjasama
dengan pihak lain.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut mau tidak mau MUI
Daerah harus menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam hal ini
adalah Perguruan Tinggi yang mempunyai tenaga ahli sesuai
kualifikasi yang dibutuhkan oleh laboratorium yang memadai
sebagaimana yang telah dilakukan MUI Pusat yang telah melakukan
kerjasama dengan IPB. Di samping itu, pembentukannya juga harus
23

mendapat dukungan dari instansi-instansi lain yang terkait yang


nantinya menjadi mitra kerja LPPOM MUI Daerah seperti Kanwil
Depkes, Balai POM atau Balai Besar POM dan Kanwil Depag.
LPPOM MUI Daerah baik yang berada di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota mempunyai tugas melakukan pemeriksaan
(audit) atas produk perusahaan lokal berdasarkan pedoman auditing
yang berlaku di lingkungan LPPOM MUI secara nasional. Hasil audit
tersebut kemudian disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI Daerah
untuk dibahas secara seksama sampai diputuskan Fatwa Halalnya yang
selanjutnya diproses menjadi Sertifikat Halal. Di samping itu, LPPOM
MUI Daerah juga bersama-sama LPPOM MUI Pusat melakukan audit
terhadap produk terhadap produk nasional dan internasional yang
lokasi pabriknya terletak di daerah tersebut.
LPPOM MUI Daerah juga bertugas melakukan pembinaan.
Pembinaan dilakukan terhadap perusahaan yang terkait dengan produk
pangan seperti internal auditor perusahaan yang telah memperoleh
Sertifikat Halal di daerah masing-masing dan RPH yang berada di
daerah. Di samping itu, LPPOM MUI Daerah juga melakukan advokasi
dan edukasi kepada masyarakat luas dengan cara menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat di daerahya tentang: perlunya
mengonsumsi pangan halal, tatacara pemeriksaan pangan halal dan
ketentuan-ketentuan lainnya. Yang terakhir ini perlu ditingkatkan
pelaksanaannya agar informasi tentang kehalalan pangan yang meliputi
berbagai aspek dapat tersosialisasikan dengan baik di tengah-tengah
masyarakat.10
c. Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari
Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif

10 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 49.


24

dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1989.


LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan
pemeriksaaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM
MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996
ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen
Agama, Departemen Kesehatan dan MUI.
Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan
Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519
Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal
serta melakukan pemeriksanaa/audit, penetapan fatwa, dan
menerbitkna sertifikat halal.
Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI
melakukan kerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian,
Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan
Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor
(IPB), Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda,
UIN, Universitas Wahid Hasyim Semarang, serta Universitas Muslimin
Indonesia Makassar.
Sedangkan kerjasama dengan lembaga telah terjalin dengan
Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin Indonesia Komite Timur
Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion (Blackberry). Khusus
dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam
pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di
Indonesia.
Kini, dalam usianya yang ke-30 tahun, LPPOM MUI menjadi
Lembaga Sertifikasi Halal Pertama dan Terpercaya di Indonesia serta
semakin menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga sertifikasi halal
yang kredibel, baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada
25

Tahun 2017 dan 2018 LPPOM MUI memperoleh Sertifikat Akreditasi


SNI ISO / IEC 17025 : 2008 untuk Laboratorium Halal dan SNI ISO /
IEC 17065 : 2012 dan DPLS 21 untuk Lembaga Sertifikasi Halal dari
Komite Akeditasi Nasional (KAN). Standar ini tidak hanya diakui di
Indonesia, namun juga diakui oleh Badan Akreditasi Uni Emirat Arab
atau ESMA.
Pada Januari 2019 LPPOM MUI, bekerja sama dengan berbagai
pihak, telah membangun dan meresmikan laboratorium halal di dua
lokasi, yakni di kawasan Industry Modern Cikande, Banten, dan di
kawasan Deltamas, Cikarang, Jawa Barat. Laboratorium halal tersebut
diharapkan semakin meningkatkan layanan LPPOM MUI kepada
kalangan industri yang memerlukan jasa laboratorium.
Sistem sertifikasi dan sistem jaminan halal yang dirancang serta
diimplementasikan oleh LPPOM MUI telah pula diakui bahkan juga
diadopsi oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri, yang kini
mencapai 45 lembaga dari 26 negara.
LPPOM MUI memiliki visi yaitu menjadi lembaga sertifikasi
halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan
ketenteraman bagi umat Islam serta menjadi pusat halal dunia yang
memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara
nasional dan internasional. Sedangkan, untun misinya yaitu sebagai
berikut:
1) Menetapkan dan mengembangkan standar halal dan standar audit
halal.
2) Melakukan sertifikasi produk pangan, obat dan kosmetika yang
beredar dan dikonsumsi masyarakat.
3) Melakukan edukasi halal dan menumbuhkan kesadaran masyarakat
untuk senantiasa mengkomsumsi produk halal.
26

4) Menyediakan informasi tentang kehalalan produk dan berbagai


aspek.11
2. Dasar Hukum
Sebelum ada atau berlakunya Undang-Undang tentang Jaminan
Produk Halal, sertifikasi halal memiliki beberapa peraturan perundang-
undangan yang terkait, seperti Undang-Undang tentang Pangan dan
Undang-Undang tentang Kesehatan. Berikut adalah peraturan perundang-
undangan yang menjadi landasan hukum dari sertifikasi halal sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
d. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan
e. Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991
f. Keputusan Menteri yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
82/Menkes/SK/I/1996 jo Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
924/Menkes/SK/VIII/1996, Surat Keputusan Menteri Pertanian RI
Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 jo. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 306/Kpts/TN.330/4/1994, Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 295/Kpts/TN.240/5/1989, Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor
427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985, Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 76/Menkes/Per/III/78, dan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 280/Menkes/Per/XII/76.12

11 Tentang LPPOM MUI,


http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1 , 1 April 2019.
12 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 27.


27

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


menyinggung secara sepintas persoalan halal. Pasal 21 ayat 2 Undang-
Undang tersebut menyatakan bahwa label itu berisi bahan yang dipakai,
komposisi setiap bahan, tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa dan
ketentuan lainnya. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang
dimaksud “ketentuan lainnya” adalah pencantuman kata atau tanda halal
(label halal) yang menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud
diproduksi dan diproses sesuai persyaratan makanan halal.13
Dengan kata lain, pasal 21 ayat 2 Undang-Undang tentang kesehatan
itu menyatakan bahwa pencantuman kata atau tanda halal pada label
menjadi keharusan. Karena masyarakat, khusunya masyarakat muslim
akan merasa lebih aman dan nyaman dalam mengonsumsi obat-obatan
yang sudah memiliki label halal.
Kemudian pada tahun 1996 lahirlah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Di dalamnya disebutkan antara lain bahwa
keterangan tentang halal merupakan bagian integral dari label, tetapi di
dalam penjelasannya hal tersebut terkesan seperti “dianulir” kembali.
Dengan demikian, labelisasi halal yang tadinya “wajib” menjadi tidak
wajib atau bersifa suka rela. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang “Label dan Iklan
Pangan” yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pangan.
Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 dinyatakan, “pencantuman tulisan halal
pada dasarnya bersifat sukarela”.
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
Pasal 58 disertakan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan halal.
Sanksi tersebut berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
denda paling banyak Rp360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah).
Sanksi tersebut dikenakan kepada siapa saja yang memberikan pernyataan

13 Ibid, h., 24.


28

atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label sebagaimana
dimaksud dalam pasal 34 ayat 1.
Di samping denda dan sanksi hukum kurungan tersebut terdapat juga
sanksi administratif sebagaimana ditetapkan oleh PP Nomor 69 Tahun
1999. Adapun sanksi administratif tersebut meliputi: a) peringatan secara
tertulis; b) larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan satu perintah
untuk menarik produk pangan dari peredaran; c) pemusnahan pangan jika
terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d) penghentian
produk untuk sementara waktu; e) pengenaan denda paling tinggi
Rp50.000.000,- dan f) pencabutan izin produksi atau izin usaha.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999) diatur juga persoalan halal yang
senada dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Persoalan tersebut
berkaitan erat dengan hak dan kewajiban konsumen dan produsen.
Konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengonsumsi pangan. Ia juga berhak untuk mendapatkan informasi
yang benar, jelas dan jujur tentang pangan yang dikonsumsinya.
Bersamaan dengan itu, produsen berkewajiban untuk mempunyai
iktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk pangan yang
dihasilkannya. Di samping itu, pada Pasal 8 Undang-Undang tersebut
produsen juga dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan produk
pangan yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
sebagaimana pernyataan halal yang telah dicantumkannya dalam label.
Apabila melanggar ketentuan tersebut, ia akan dikenai hukuman penjara
maksimal 5 (lima) tahun dan atau denda maksimal Rp2.000.000.000,- (dua
miliar rupiah).14
Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara garis besar
menyatakan, bahwa pencantuman kata atau label halal tidak diwajibkan,

14 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 26.


29

namun jika produsen sudah mencantumkan label halal maka hal tersebut
harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Karena apabila
melanggar, produsen dapat dikenakan sanksi pidana.
Secara keseluruhan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang telah dijelaskan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum
berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, ketentuan mengenai
pencantuman label halal bersifat suka rela atau tidak diwajibkan.
3. Proses Pembuatan Sertifikat Halal
Dalam proses memperoleh sertifikasi halal, Penulis membagi
menjadi tiga tahapan, yaitu sebelum pembuatan sertifikat halal, proses
pembuatan sertifikat halal dan setelah pembuatan sertifikat halal. Sebelum
pembuatan sertifikat halal, produsen harus memenuhi beberapa persyaratan
dan formulir yang harus diisi, serta menyertakan dokumen-dokumen untuk
kepentingan sertifikat halal.
Bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM
MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong
Hewan (RPH), dan restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran
sertifikasi halal dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. berikut ini
adalah tahapan yang dilewati perusahaan yang akan mendaftar proses
sertifikasi halal:15
1. Memahami Perusahaan harus memahami persyaratan
persyaratan sertifikasi halal yang tercantum dalam HAS (Halal
sertifikasi Assurance System) 23000. Selain itu, perusahaan
halal dan juga harus mengikuti pelatihan SJH yang diadakan
mengikuti LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler
pelatihan SJH maupun pelatihan online (e-training).
2. Menerapkan Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum
Sistem melakukan pendaftaran sertifikasi halal, antara
lain: penetapan kebijakan halal, penetapan Tim

15 Prosedur Sertifikasi Halal,


http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1, 10 Januari 2019.
30

Jaminan Halal Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH,


(SJH) pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait
SJH, pelaksanaan internal audit dan kaji ulang
manajemen.
3. Menyiapkan Perusahaan harus menyiapkan dokumen yang
dokumen diperlukan untuk sertifikasi halal, antara lain:
sertifikasi daftar produk, daftar bahan dan dokumen bahan,
halal daftar penyembelihan (khusus RPH), matriks
produk, Manual SJH, diagram alir proses, daftar
alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi
kebijakan halal, bukti pelatihan internal dan bukti
audit internal.
4. Melakukan Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara
pendaftaran online di sistem CEROL melalui website www.e-
sertifikasi lppommui.org . Perusahaan harus membaca user
halal (upload manual CEROL terlebih dahulu untuk memahami
data) prosedur sertifikasi halal yang dapat di unduh di
website LPPOM MUI. Perusahaan harus
melakukan upload data sertifikasi sampai selesai,
baru dapat diproses oleh LPPOM MUI.
5. Melakukan Setelah melakukan upload data sertifikasi,
monitoring pre perusahaan harus melakukan monitoring pre audit
audit dan dan pembayaran akad sertifikasi. Monitoring pre
pembayaran audit disarankan dilakukan setiap hari untuk
akad sertifikasi mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil pre
audit. Pembayaran akad sertifikasi dilakukan
dengan mengunduh akad di CEROL, membayar
biaya akad dan menandatangani akad, untuk
kemudian melakukan pembayaran di CEROL dan
31

disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI melalui


email ke: bendaharalppom@halalmui.org .
6. Pelaksanaan Audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah
audit lolos pre audit dan akad sudah disetujui. Audit
dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan
dengan produk yang disertifikasi.
7. Melakukan Setelah melakukan upload data sertifikasi,
monitoring perusahaan harus melakukan monitoring pasca
pasca audit audit. Monitoring pasca audit disarankan dilakukan
setiap hari untuk mengetahui adanya
ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat
ketidaksesuaian agar dilakukan perbaikan.
8. Memperoleh Perusahaan dapat mengunduh Sertifikat Halal
sertifikat halal dalam bentuk softcopy di CEROL. Sertifikat halal
yang asli dapat diambil di kantor LPPOM MUI
Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat
perusahaan. Sertifikat halal berlaku selama dua
tahun.

a. Pasca Pembuatan Sertifikat Halal (pengawasan, perpanjang


sertifikasi halal, sanksi)
Setelah perusahaan mendapatkan sertifikat halal, perusahaan
memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan ke LPPOM MUI
apabila terjadi perubahan terkait bahan, produk, fasilitas maupun sistem
jaminan halal untuk menjamin bahwa perusahaan menerapkan proses
produksi halal selama memiliki sertifikat halal masih berlaku,
diantaranya:
1) Meminta persetujuan penggunaan bahan baku baru yang akan
digunakan untuk produk yang disertifikasi halal (termasuk bahan
32

yang sama dari produsen yang berbeda) melalui CEROL SS-23000


(menu: Inquiry Material Approval).
2) Melaporkan secara berkala hasil audit internal terkait penerapan
SJH setiap 6 (enam) bulan sekali melalui CEROL SS-23000
(menu: Regular Report).
3) Memperbaharui data pada bahan baku yang sudah terdaftar melalui
CEROL SS-23000 (menu: Registered Materials).
4) Memperbaharui data personel apabila terjadi perubahan personel
di perusahaan (menu: Edit Customer).
5) Mengganti password secara berkala untuk menjaga kerahasiaan
data perusahaan (menu: Change Password).16
Setelah memperoleh sertifikat halal masih ada beberapa
ketentuan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan harus
memonitoring produk yang sudah diberikan sertifikat halal tersebut
secara berkala, baik secara internal perusahaan maupun eksternal yang
dilakukan oleh LPPOM MUI. Jika ada penambahan atau perubahan
baik bahan baku maupun bahan tambahan harus segera dilaporkan ke
LPPOM MUI. Hal ini bertujuan untuk menjamin kehalalan dari produk
tersebut tetap terjaga dan tidak tercampur dengan bahan-bahan yang
haram. Selain itu perlu dilakukan beberapa hal yang berkaitan dengan
pasca diterbitkannya sertifikat halal, antara lain:
1) Pengawasan Sertifikasi Halal
Adapun sistem pengawasan adalah sebagai berikut: Pertama,
Perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim
Sidak LPPOM MUI. Kedua, Perusahaan berkewajiban
menyerahkan laporan audit internal setiap 6 (enam) bulan setelah
terbitnya Sertifikat Halal.17
Setelah memperoleh Sertifikat Halal, perusahaan harus
mengangkat Internal Halal Auditor yang bertugas mengawasi

16 LPPOM-MUI, Sistem Pelayanan Sertifikasi Halal Online (CEROL-SS23000), 2017, h., 64.
17 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, h., 93.
33

sistem produksi halal pada produk mereka. Auditor tersebut


haruslah berasal dari karyawan tetap perusahaan dan berasal dari
bagian yang terkait dengan proses produksi, seperti bagian QA/QC
(Quality Assurance/Quality Control), R&D (Research and
Development), Purchasing, Produksi dan Pergudangan. Di
samping itu, ia juga harus beragama Islam dan taat dalam
mengamalkan ajaran Islam. Lebih dari itu, ia juga memahami betul
titik kritis keharaman produk secara keseluruhan baik ditinjau dari
bahan yang digunakan maupun pada proses produksinya. Oleh
karena itu, ia harus memiliki bekal pengetahuan keislaman yang
memadai terutama dalam masalah kehalalan pangan.
Pengawasan produk halal pertama dilakukan secara internal.
Hal ini memerlukan tekad dan komitmen serta dukungan dari
perusahan untuk merealisasikannya. Di samping itu, ketersedian
SDM yang qualified juga tidak kalah pentingnya. Sebab, menurut
Aisyah Girindra, mantan direktur LPPOM MUI, keterbatasan
SDM sangat mempengaruhi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal
terutama pada perusahaan kecil dan perusahaan internasional.
Ternyata, pengawasan yang dilakukan secara internal ini
cukup efektif. Hal ini terbukti pada kasus Ajinomoto yang telah
memperoleh sertifikat halal. kemudian perusahaan tersebut
merubah proses produksi dengan menggunakan bactosoyton yang
dicurigai berasal dari pangkreas babi tanpa melakukan konsultasi
terlebih dahulu dengan pihak LPPOM MUI. Akibatnya, MUI
membatalkan sertifikat halal yang telah dikeluarkannya dan
mengeluarkan “Fatwa Haram” terhadap produk Ajinomoto yang
menggunakan bactosoyton dalam proses produksinya. Adanya
perubahan proses produksi tersebut diketahui MUI berdasarkan
laporan dari Auditor Internal Halal perusahaan Ajinomoto.
Di samping itu, perusahaan juga wajib menandatangani
perjanjian untuk menerima Tim Sidak (inspeksi mendadak)
34

LPPOM MUI yang akan melakukan inspeksi mendadak bila


diperlukan. Juga, perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan
audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya Sertifikat Halal.
Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan oleh LPPOM MUI
dilakukan secara berlapis. Selain melalui laporan rutin yang
disampaikan oleh auditor halal perusahaan, juga melalui sidak yang
dilakukan sewaktu-waktu bila diperlukan.
Di samping itu, pengawasan juga dilakukan oleh Pemerintah
dan konsumen. Pengawasan oleh Pemerintah dilakukan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengawasan yang
dilakukan oleh Badan POM dapat dilakukan melalui: 1) pengaturan
dan standarisasi; 2) evaluasi mutu dan keamanan produk pangan
sebelum diizinkan beredar di masyarakat (skim registerasi); 3)
pembinaan dan penyuluhan; 4) sampling dan pengujian
laboratorium; 5) pemeriksanaan sarana produksi dan distribusi; 6)
penyidikan kasus khusus; dan 7) publik warning yang ditujukan
kepada masyarakat luas.
Pengawasan oleh Badan POM dapat dilakukan sebelum
berproduksi dengan cara regulasi dalam bentuk peraturan-
peraturan dan standarisasi yang berkaitan dengan sertifikasi dan
label halal. Kemudian dilanjutkan dengan cara memberikan
pembinaan dan penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan dalam
rangka sosialisasi. Kedua jenis pengawasan ini dilakukan dalam
rangka pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran.
Di samping itu, pengawasan juga dapat dilakukan melalui
skim registerasi. Pengawasan ini dilakukan pada saat berproduksi.
Pengawasan melalui skim ini cukup efektif dengan sanksi yang
konkrit apabila terjadi pelanggaran. Sebab, semua produk pangan
sebelum diizinkan beredar di Negara kita terlebih dahulu harus
terdaftar pada Badan POM. Dalam proses registerasi tersebut
dilakukan evaluasi atas mutu, keamanan dan kemanfaatannya.
35

Untuk produk pangan olahan yang menggunakan gelatin,


emulsifier, shortening dan stabilieser, produsen harus melampirkan
dokumen-dokumen yang menunjukkan asal Bahan Tambahan
Pangan (BTP) tersebut apakah berasal dari tumbuh-tumbuhan
(nabati) atau hewan (hewani). Apabila BTP tersebut berasal dari
hewan, maka harus disebutkan asal hewan tersebut. Bila berasal
dari babi, maka produsen tersebut harus mencantumkan logo atau
keterangan “MENGANDUNG BABI” pada labelnya.
Di samping itu, obat-obatan dalam bentuk kapsul yang
berasal dari impor harus menyertakan certificate of analysis yang
menyatakan bahwa kapsul tersebut berasal dari sapi. Sementara itu,
untuk kapsul produksi dalam negeri harus berasal dari sapi. Lebih
dari itu, gelatin yang diimpor dari luar negeri harus dilengkapi
dengan Sertifikat Halal dari Islamic Center negara yang
bersangkutan.
Pengawasan dapat juga dilakukan pasca produksi.
Pengawasan pasca produksi dapat dilakukan apabila terjadi
pelanggaran dengan melakukan penyidikan kasus. Hal tersebut
dapat dilakukan melalui pengambilan sampling dan pengujian
laboratorium atau bahkan pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi sesuai dengan kasus pelanggaran yang terjadi. Hasilnya
kemudian disampaikan kepada masyarakat sebagai public warning
dan advokasi. Di samping dapat diproses ke pengadilan bila
menyangkut unsur pidana.
2) Perpanjangan Sertifikasi Halal
Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, kecuali untuk
daging impor sertifikasi halal hanya berlaku untuk setiap kali
pengapalan. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya
sertifikat, LPPOM MUI akan mengirim surat pemberitahuan
kepada produsen yang bersangkutan. Satu bulan sebelum berakhir
masa berlakunya sertifikat, produsen harus mendaftar kembali
36

untuk mendapat sertifikat tahun berikutnya. Produsen yang tidak


memperbaharui sertifikat halal, maka untuk itu produsen tidak
diizinkan lagi untuk menggunakan label halal berdasarkan
sertifikat yang tidak berlaku dan akan diumumkan di berita berkala
LPPOM MUI. Pada saat berakhir masa berlakunya sertifikat,
produsen harus segera mengembalikan sertifikat halal yang
dipegangnya kepada LPPOM MUI.18
Beberapa ketentuan masa berlaku sertifikat produk halal
adalah sebagai berikut: Pertama, Sertifikat Halal hanya berlaku
selama dua tahun. Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap
pengapalan. Kedua, tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya
sertifikat, LPPOM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan
kepada produsen yang bersangkutan. Ketiga, dua bulan sebelum
berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar kembali
untuk Sertifikat Halal yang baru. Keempat, produsen yang tidak
memperbarui Sertifikat Halalnya, tidak diizinkan lagi
menggunakan sertifikat halal tersebut dan dihapus dari daftar yang
terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI, Jurnal Halal. Kelima,
jika sertifikat halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya
ke LPPOM MUI. Keenam, sertifikat halal yang dikeluarkan oleh
MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika karena sesuatu hal
diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib
menyerahkannya. Ketujuh, keputusan MUI yang didasarkan atas
fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.
Untuk prosedur perpanjangan sertifikat halal ditentukan
prosedur sebagai berikut: Pertama, produsen yang bermaksud
memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus mengisi
formulir pendaftaran yang telah tersedia. Kedua, pengisian
formulir disesuaikan dengan pengembangan terakhir produk.

18 Sekretaris LPPOM MUI Jawa Tengah, dalam presentasi tentang “Pedoman Sertifikasi Halal”, h., 12.
37

Ketiga, perubahan bahan baku, bahan tambahan dan bahan


penolong, serta jenis pengelompokkan produk harus
diinformasikan kepada LPPOM MUI. Keempat, Produsen
berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi,
sertifikat halal dan bagan alir proses.19
3) Sanksi Bagi Pelaku Usaha Pasca Pembuatan Sertifikat Halal
Pada dasarnya sebelum berlakunya Undang-Undang Jaminan
Produk Halal, sertifikasi halal masih bersifat volunter atau
sukarela, sehingga tidak adanya keharusan bagi pelaku usaha untuk
mendaftarkan produknya memperoleh sertifikat halal. kecuali jika
pelaku usaha tersebut menyebutkan bahwa produk yang
dikeluarkannya halal, maka pelaku usaha tersebut harus
mencantum kan label halal pada produknya. Dengan cara
mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal dari
LPPOM MUI. Setelah pelaku usaha memperoleh sertifikat halal,
ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha
diantaranya terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
Tentang Label dan Iklan Pangan.
Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999, memberikan larangan bagi pelaku usaha dalam
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.20
Jika pelaku usaha mencantumkan label halal pada produknya
berupa barang dan/atau jasa, maka pelaku usaha berkewajiban
untuk mengikuti ketentuan mengenai berproduksi secara halal
yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Sebaliknya,

19 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, h., 93.
20 Pasal 8 ayat (1) huruf h, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
38

jika pelaku usaha tidak mencantumkan label halal pada produknya,


maka pelaku usaha tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal tersebut.
Adapun sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar larangan
pada Pasal 8 ayat (1) huruf h dapat dikenakan sanksi pidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).21 Selain itu, dapat
dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
(a) Perampasan barang tertentu;
(b) Pengumuman putusan hakim;
(c) Pembayaran ganti rugi;
(d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
(e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
(f) Pencabutan izin usaha.22
Kemudian dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1999, mengatur bahwa “Setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa
pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan
keterangan atau tulisan halal pada label”.
Sanksi apabila melanggar ketentuan tersebut dapat
dikenakan sanksi administratif yang meliputi:
(a) Peringatan secara tertulis;
(b) Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau perintah untuk menarik produk pangan dari
peredaran;

21 Pasal 62 ayat (1), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
22 Pasal 63, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
39

(c) Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan


dan jiwa manusia;
(d) Penghentian produksi untuk sementara waktu;
(e) Pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah); dan/atau
(f) Pencabutan izin produksi atau izin usaha;
Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud di
atas hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis yang
diberikan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali.23
Sanksi-sanksi yang terdapat pada Undang-Undang
Perlindungan Konsumen serta Peraturan Pemerintah tentang Label
dan Iklan Pangan tersebut akan diberikan kepada pelaku usaha jika
pelaku usaha melanggar ketentuan berproduksi secara syariah
padahal produknya sudah memiliki tanda atau label halal dan
menyebabkan timbulnya kerugian pada konsumen muslim.

23 Pasal 61 ayat (2) dan (3), Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan.
BAB III
TINJAUAN UMUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK
HALAL (BPJPH)

A. Sejarah Berdirinya BPJPH


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan
ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan
tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.
Jaminan mengenai produk halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas
perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan
penyelenggaraan produk halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam
mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi
pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.
Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat
pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan
pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan,
serta produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi
pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan.
Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik
disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui
kehalalan dan kesucian suatu produk, diperlukan suatu kajian khusus yang
membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang

40
41

pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman


tentang syariat.
Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak produk yang beredar di
masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai
peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan
produk halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi
masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai Jaminan Produk
Halal perlu diatur dalam satu Undang-Undang yang secara komprehensif
mencakup produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan
makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan
produk rekayasa genetika serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.1
Atas dasar itu diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, sebagai kepastian hukum yang menjamin
pengaturan tentang produk halal di Indonesia. Pada Pasal 5 ayat (3) Undang-
Undang Jaminan Produk Halal, mengamanatkan pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal untuk menyelenggarakan Jaminan
Produk Halal di Indonesia yang berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Menteri.

B. Struktur Organisasi BPJPH


Berikut adalah struktur organisasi dari BPJPH berdasarkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 42 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Agama BAB XIII:
1. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
2. Sekretariat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
a. Bagian Perencanaan dan Sistem Informasi
1) Subbagian Perencanaan dan Pelaporan
2) Subbagian Data Pengelolaan Produk Halal

1 Penjelasan Bagian Umum, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
42

3) Subbagian Sistem Informasi dan Hubungan Masyarakat


b. Bagian Organisasi, Kepegawaian, dan Hukum
1) Subbagian Organisasi dan Kepegawaian
2) Subbagian Hukum
c. Bagian Keuangan dan Umum
1) Subbagian Keuangan
2) Subbagian Tata Usaha dan Rumah Tangga
3) Subbagian Perlengkapan dan Barang Milik Negara
d. Kelompok Jabatan Fungsional
3. Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal
a. Bidang Registrasi Halal
1) Subbidang Registrasi Produk dan Label Halal
2) Subbidang Registrasi Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal
b. Bidang Sertifikasi Halal
1) Subbidang Pendaftaran Sertifikasi Halal Produk Kemasan
2) Subbidang Pendaftaran Sertifikasi Halal Produk Non-Kemasan
3) Subbidang Pendaftaran Sertifikasi Halal Rumah Potong Unggas
dan/atau Hewan dan Produk Jasa
c. Bidang Verifikasi dan Penilaian Produk Halal
1) Subbidang Verifikasi dan Penilaian Halal Produk Kemasan
2) Subbidang Verifikasi dan Penilaian Halal Produk Non-Kemasan
3) Subbidang Verifikasi dan Penilaian Halal Rumah Potong Unggas
dan/atau Hewan dan Produk Jasa
d. Subbagian Tata Usaha
e. Kelompok Jabatan Fungsional
4. Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal
a. Bidang Bina Auditor Halal dan Pelaku Usaha
1) Subbidang Bina Auditor Halal dan Lembaga Pemeriksa Halal
2) Subbidang Bina Pelaku Usaha dan Konsumen
b. Bidang Pengawasan Jaminan Produk Halal
43

1) Subbidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor


Halal
2) Subbidang Pengawasan Pelaku Usaha dan Penyelia Halal
3) Subbidang Pengawasan Produk dan Jasa Halal
c. Subbagian Tata Usaha
d. Kelompok Jabatan Fungsional
5. Pusat Kerja sama dan Strandarisasi Jaminan Produk Halal
a. Bidang Kerja Sama Jaminan Produk Halal
1) Subbidang Kerja Sama Lembaga Pemeriksa Halal Dalam dan Luar
Negeri
2) Subbidang Kerja Sama MUI dan Kementerian atau Lembaga
3) Subbagian Pemantauan dan Evaluasi Kerja Sama Jaminan Produk
Halal
b. Bidang Standarisasi Jaminan Produk Halal
1) Subbidang Standarisasi Produk Kemasan dan Non-Kemasan
2) Subbidang Standarisasi Rumah Potong Hewan, Jasa, dan
Penerbitan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal
3) Subbidang Pemantauan dan Evaluasi Standarisasi Jaminan Produk
Halal
c. Subbagian Tata Usaha
d. Kelompok Jabatan Fungsional

C. Tugas dan Wewenang BPJPH


Dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, BPJPH berwenang:2
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan jaminan produk halal.
2. Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria jaminan produk halal.
3. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk.
4. Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri.
5. Melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi produk halal.

2 Pasal 6, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


44

6. Melakukan akreditasi terhadap lembaga pemeriksa halal.


7. Melakukan registrasi auditor halal.
8. Melakukan pengawasan terhadap jaminan produk halal.
9. Melakukan pembinaan auditor halal.
10. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan jaminan produk halal.

D. Dasar Hukum Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal


1. Undang-Undang
Pada Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa negara menjamin tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Sesuai dengan syariat Islam, tidak
semua makanan ataupun minuman bisa dikonsumsi oleh masyarakat
muslim. Oleh karena itu, kesediaan dan terjaminnya produk-produk halal
sangat lah penting bagi umat muslim untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya. Atas dasar itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk
memenuhi hak-hak dari masyarakat khususnya masyarakat yang mayoritas
beragama Islam dengan terjaminnya dan tersedianya produk halal.
Selain itu terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lainnya
yang menjadi landasan hukum dari jaminan produk halal, di antaranya yaitu
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Kementerian
Agama.
a. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal merupakan landasan operasional dari sertifikasi halal. Undang-
Undang ini bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan,
45

keselamatan dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat


dalam mengonsumsi dan menggunakan produk dan meningkatkan nilai
tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk
halal.3 Sertifikat halal yang dimiliki oleh pelaku usaha akan menarik
para konsumen untuk mengonsumsi atau menggunakan produk mereka,
karena konsumen akan berfikir bahwa produk yang mereka konsumsi
sudah terjamin kehalalannya. Hal ini akan meningkatkan nilai tambah
bagi pelaku usaha dimata para konsumen.
Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal, ditetapkan bahwa produk yang masuk, beredar
dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Dengan kata lain semua produk yang diperjualbelikan di Indonesia
wajib bersertifikat halal. Maka dari itu pelaku usaha yang memproduksi
produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan
dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal dan wajib
mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya. Sehingga para
konsumen yang ingin membeli produk tersebut tahu bahwa produknya
tidak halal atau mengandung bahan yang diharamkan.4
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Pada Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
diterangkan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat,
keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum. Hal ini selaras dengan asas jaminan produk halal
yang terdapat pada Undang-Undang Jaminan Produk Halal, terutama
pada asas keamanan dan keselamatan konsumen. Pemerintah memiliki
kewajiban untuk memastikan produk yang dikonsumsi oleh konsumen
terhindar dari unsur-unsur yang diharamkan dalam ajaran Islam.

3 Pasal 3, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


4 Pasal 26, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
46

Sejalan dengan itu pada Pasal 3 huruf f Undang-Undang


Perlindungan Konsumen juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Pada Pasal 8 ayat (1) huruf h dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Pelaku usaha harus
mematuhi ketentuan berproduksi secara halal jika sudah
mencantumkan label halal pada produknya, jika pelaku usaha
melanggar ketentuan tersebut maka produk tersebut dilarang
diperdagangkan serta wajib menariknya dari peredaran.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk halal
Dalam peraturan ini dijelaskan mengenai pengaturan kerjasama
antara BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga yang terkait
dengan pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia. Selain
itu, dijelaskan juga pengaturan lebih lanjut mengenai:
1) Lembaga Pemeriksa Halal
2) Lokasi, Tempat, dan Alat Proses Produksi Halal
3) Biaya Sertifikasi Halal
4) Tata Cara Registrasi Sertifikat Halal Luar Negeri
5) Penahapan Jenis Produk yang Bersertifikat Halal
6) Pengawasan
Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini dijelaskan, produk yang
masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib
bersertifikat halal. Sedangkan, untuk produk yang berasal dari bahan
yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.
47

Namun, tetap saja pelaku usaha memiliki kewajiban untuk


mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya tersebut. Agar
konsumen muslim tidak keliru dalam mengonsumsi produk-produk
tersebut.
Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH bekerjasama dengan
beberapa kementerian dan/atau lembaga terkait lainnya, antara lain
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah, Kementerian Luar Negeri, dan lainnya.
Lembaga Pemeriksa Halal adalah lembaga yang melakukan
kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk.
LPH ini yang selanjutnya menunjuk Auditor Halal, untuk melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk.
Lokasi, tempat dan alat proses produksi halal harus dipisahkan
dari lokasi, tempat dan alat proses produksi bahan non halal. Hal ini
dilakukan untuk mencegah produk halal terkontaminasi dengan bahan
haram.
Mengenai biaya sertifikasi halal yang terdapat pada Pasal 61,
dijelaskan bahwa biaya sertifikasi halal yang dibebankan kepada pelaku
usaha, diharuskan efisien, terjangkau, dan tidak diskriminatif. Selain
itu, penetapan besaran atau nominal biaya sertifikasi halal dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi pelaku usaha yang merupakan usaha mikro dan kecil, biaya
sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain. Ketentuan mengenai
hal ini akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Produk halal yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga
halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama dengan BPJPH tidak
perlu mengajukan permohonan sertifikat halal. Namun, tetap
diwajibkan untuk meregistrasi produk halal tersebut sebelum produk
diedarkan di Indonesia. Sedangkan, produk halal yang sertifikat
halalnya diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang tidak memiliki
48

kerja sama dengan BPJPH, pelaku usaha wajib melakukan sertifikasi


halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan
Iklan Pangan
Pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Tentang Label dan Iklan
Pangan dijelaskan bahwa setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi
umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan
wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
Pernyataan tentang halal tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari label.
Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label
pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan
atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan
(mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan
bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf latin, harus
digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan
huruf latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai
arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari mengonsumsi
pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal
pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan
tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam
memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses
produksinya.
Selanjutnya pada Pasal 11 dijelaskan bahwa untuk mendukung
kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud pada Pasal 10,
setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang
dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib
memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga
49

pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan dilaksanakan sesuai
pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan
mempertimbangkan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki
kompetensi di bidang tersebut.
Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela.
Namun setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan
ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan sebagai
produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan
halal pada label produknya. Untuk menghindarkan timbulnya
keragaman di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan
halal tadi, dan dengan demikian juga untuk kepentingan kelangsungan
atau kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya bila pangan yang
dinyatakan sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih dahulu pada
lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional
(KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
ketenteraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan
dikonsumsi memang aman dari segi agama. Lembaga keagamaan
tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman ini bersifat umum,
dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses dan produknya.
Selain pada label hal yang sama juga berlaku pada iklan, pada
Pasal 46 dijelaskan bahwa setiap orang yang menyatakan dalam iklan
bahwa pangan yang diperdagangkannya adalah sesuai dengan
persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan tersebut.
e. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Kementerian
Agama
Dalam Peraturan Presiden Tentang Kementerian Agama ini diatur
juga mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
yang terdapat pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Pada Pasal 45
diterangkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal berada
50

di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan Badan


Penyelenggara Jaminan Produk Halal dipimpin oleh Kepala Badan.
Pada Pasal 46 dijelaskan bahwa BPJPH mempunyai tugas
melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian pada Pasal 47
dijelaskan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46, BPJPH menyelenggarakan fungsi:
1) Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program di bidang
penyelenggaraan jaminan produk halal;
2) Pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal;
3) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan di bidang
penyelenggaraan jaminan produk halal;
4) Pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan jaminan produk halal;
5) Pelaksanaan administrasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal; dan
6) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

2. Hukum Islam
Allah swt menganjurkan kepada kita untuk mengonsumsi makanan
dan minuman yang halal dan tayyib. Bukan hanya halal untuk dikonsumsi
tetapi juga harus memberikan kesehatan atau dampak yang baik terhadap
tubuh kita. Dengan tubuh yang sehat dan bugar kita bisa beribadah dan
menjalankan aktivitas sehari-hari dengan baik. Oleh karena itu, Allah swt
telah mengatur tentang hal-hal yang dilarang untuk dikonsumsi agar
menjaga kita dari kemudharatan, di antaranya terdapat pada:
Q.S. al-Baqarah (2): 173
َ َّ ۡ َ َّ ُ ٓ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ َ َّ َ َ َّ
‫ۡي ٱللِه ف َم ِن‬
ِ ‫ِغ‬ ‫ل‬ ‫ۦ‬ِ ‫ه‬ِ ‫ب‬ ‫ِل‬ ‫ه‬‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬‫و‬ ‫ير‬
ِ ِ ‫إِنما حرم عليكم ٱلميتة وٱدلم ولم ٱ‬
‫ِزن‬ ‫ۡل‬
١٧٣ ‫ِيم‬ َ َّ ‫ۡي بَاغٖ َو ََل ََعدٖ َف ََلٓ إ ۡث َم َعلَ ۡيهِ إ َّن ٱ‬
ٌ ‫ َّرح‬ٞ‫لل َغ ُفور‬ َ ۡ ‫ٱ ۡض ُط َّر َغ‬
ِ ِۚ ِ
173. Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah,
daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut
51

nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan


karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Q.S. al-Ma’idah (5): 3
ُ َ َ ُۡۡ َ َّ ۡ َ َّ ُ ٓ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ ُ َّ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ
‫ۡي ٱللِ بِهِۦ وٱلمنخن َِقة‬ ِ ‫ِغ‬ ‫ل‬ ‫ِل‬ ‫ه‬‫أ‬ ‫ا‬‫م‬‫و‬ ‫ير‬
ِ ِ ‫ح ِرمت عليكم ٱلميتة وٱدلم ولم ٱ‬
‫ِزن‬ ‫ۡل‬
َ َ َ ُ َ َ ۡ ُ ۡ َّ َ َ َّ ُ ُ َّ َ َ َ ٓ َ َ ُ َ َّ َ ُ َ َ َ ُ ۡ َ ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ
‫وٱلموقوذة وٱلمَتدِية وٱنل ِطيحة وما أكل ٱلسبع إَِل ما ذكيتم وما ذبِح لَع‬
َ َ َ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ٌ ۡ ۡ ُ َٰ َ َٰ َ ۡ َ ۡ ۡ َ َ
‫ِين كف ُروا مِن‬ ‫ب َوأن ت ۡس َتَقس ُِموا ب ِٱۡلزل ِ ِۚم ذل ِكم ف ِسق ٌۗٱۡلوم يئِس ٱَّل‬ ُ ُّ
ِ ‫ٱنلص‬
‫ت‬ ُ ‫ك ۡم َو َأ ۡت َم ۡم‬ ُ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ ۡ َ َ َۡۡ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ َۡ ََ ۡ ُ
‫دِين ِكم فَل َتشوهم وٱخشو ِ ِۚن ٱۡلوم أكملت لكم دِين‬
َ ۡ ‫َم َم َصة َغ‬ َۡ ۡ َ َ ۡ ُ َ ُ ۡ ُ ََ
‫ۡي‬ ٍ ‫يت لك ُم ٱ ِۡل ۡسل َٰ َم د ِٗينا ۚ ف َم ِن ٱض ُط َّر ِِف‬ ‫ض‬ِ ‫عل ۡيك ۡم ن ِع َم ِِت َو َر‬
٣ ‫ِيم‬ ٞ ‫ َّرح‬ٞ‫لل َغ ُفور‬
َ َّ ‫جان ِف ِۡلثۡم فَإ َّن ٱ‬ َ ‫ُم َت‬
ِ ٖ ِ ٖ
3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan
(daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik,
yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan
azlam (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari
ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridhoi Islam sebagai agamamu. Tetapi
barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka
sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Allah swt telah melarang kita untuk mengonsumsi makanan yang
termasuk dalam kategori seperti yang telah disebutkan dalam al-Maidah
ayat 3 dan al-Baqarah ayat 173, namun jika memang ternyata kita dalam
keadaan darurat yang mengharuskan untuk mengonsumsi makanan-
makanan dalam kategori haram tersebut, maka Allah swt akan
mengampuninya.
Selain ayat-ayat di atas yang melarang kita untuk mengonsumsi
sesuatu, Allah swt juga menganjurkan kepada kita untuk mengonsumsi
makanan-makanan yang halal lagi baik. Selain dzatnya yang halal, cara
memperoleh makanan tersebut juga harusnya sesuai dengan cara yang
dibenarkan oleh syariat. Kita juga harus bersyukur dengan segala rezeki
52

yang telah diberikan Allah swt kepada kita. Berikut adalah ayat-ayat yang
menganjurkan kita untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik:
Q.S. al-Baqarah (2): 168

َٰ َ ۡ َّ َ ُ ُ ُ َّ َ َ َ ٗ َ ٗ َٰ َ َ ِ َ ۡ َّ ُ ُ ُ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
‫ت ٱلشيط ِ ِۚن‬ َٰ
ِ ‫يأيها ٱنلاس ُكوا مِما ِِف ٱۡلۡرض حلَل طيِبا وَل تتبِعوا خطو‬
ٌ ُّ ٞ ُ َ ُ َ ُ َّ
١٦٨ ‫إِنهۥ لك ۡم عدو مبِني‬
168. Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.
Q.S. al-Baqarah (2): 172
ُ ‫ك ُروا ِ َّلل ِ إن ُك‬
ُ‫نت ۡم إيَّاه‬ ُ ۡ َ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ َ َ َٰ َ َ ُ ُ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
ِ ِ ‫ت ما رزقنكم وٱش‬ ِ ‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا ُكوا مِن طيِب‬
َ َ
١٧٢ ‫ت ۡع ُب ُدون‬
172. Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik
yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu
hanya menyembah kepada-Nya.
Q.S. al-Ma’idah (5): 4
َ ۡ ‫ت َو َما َع َّل ۡم ُتم م َِن ٱ‬
ُ َٰ‫لطي َب‬َّ ‫ك ُم ٱ‬ُ َ َّ ُ ۡ ُ ۡ ُ َ َّ ُ ٓ َ َ َ َ ُ ۡ َ
‫ۡل َوارِ ِح‬ ِ ‫يسلون ماذا أحِل لهمه قل أحِل ل‬
ُ ۡ ُ ََ ۡ َ ٓ ُ ُ َ ُ َّ ُ ُ َ َّ َ َّ َّ ُ َ ُ َ ُ َ َ ُ
‫لله فكوا م َِّما أ ۡم َسك َن عل ۡيك ۡم َوٱذك ُروا‬ ‫مكِبِني تعل ِمونهن مِما علمكم ٱ‬
َ ‫ل‬ ۡ ُ َ َ َّ َّ َ َّ ُ َّ َ ۡ َ َ َّ َ ۡ
٤ ‫اب‬ ِ ‫ِس‬ ‫َسيع ٱ‬ِ ‫ٱسم ٱللِ عليهِِۖ وٱتَقوا ٱللۚ إِن ٱلل‬
4. Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan
bagi mereka?”, Katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan)
yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang
telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Q.S. al-Maidah (5): 88
َ ُ ُۡ َ ٓ َّ َ َّ ُ َّ ٗ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َّ ُ ُ َ
٨٨ ‫لل َحلََٰل َطي ِ ٗبا ۚ َوٱتَقوا ٱلل ٱَّلِي أنتم بِهِۦ مؤمِنون‬
ُ ‫وُكوا مِما رزقكم ٱ‬
88. Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai
rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.
Q.S. an-Nahl (16): 114
53

َ َ ُ ‫ت ٱ َّلل ِ إن ُك‬ ُ ۡ َ ٗ َ ٗ َٰ َ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َّ ُ ُ َ
‫نت ۡم إِيَّاهُ ت ۡع ُب ُدون‬ ِ
َ ‫ك ُروا ن ِۡع َم‬ ‫فكوا مِما رزقكم ٱلل حلَل طيِبا وٱش‬
١١٤
114. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
menyembah kepada-Nya.

E. Proses Pembuatan Sertifikasi Halal


1. Pendaftaran Sertifikasi Halal
Pelaku usaha yang ingin mengajukan permohonan sertifikat halal,
bisa melalui dua cara, yaitu manual dan online. Jika pelaku usaha ingin
mengajukan permohonan sertifikat halal secara manual, maka bisa
mendatangi kantor Kementerian Agama yang berada di Jalan M.H.
Thamrin, Jakarta Pusat. Dan jika pelaku usaha ingin mengajukan
permohonan sertifikat halal secara online, nantinya dapat diakses melalui
sistem “SIHalal” yang akan dikeluarkan oleh BPJPH.5
Pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal wajib:
1) Memberikan informasi secara benar, jelas dan jujur
2) Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian
antara produk halal dan tidak halal
3) Memiliki penyelia halal
4) Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH6
Penyelia halal yang dimaksud pada syarat di atas adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap proses produksi halal. Penyelia halal bertugas:
1) Mengawasi proses produksi halal di perusahaan
2) Menentukan tidakan perbaikan dan pencegahan
3) Mengoordinasikan proses produksi halal

5 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019. Saat ini sistem “SIHalal”
belum resmi diluncurkan oleh BPJPH per bulan Agustus 2019.
6 Pasal 24, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
54

4) Mendampingi auditor halal dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) pada


saat pemeriksaan7
Mengenai pelaku usaha yang memproduksi produk yang berasal dari
bahan yang diharamkan, maka pelaku usaha tersebut dikecualikan dari
mengajukan permohonan sertifikat halal. Selain itu, pelaku usaha tersebut
wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.8
Pelaku usaha yang melanggar peraturan tersebut dapat dikenakan sanksi
administratif, berupa:
1) Teguran lisan
2) Peringatan tertulis
3) Denda administratif9
Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara
tertulis kepada BPJPH. Untuk mengajukan permohonan sertifikat halal,
pelaku usaha harus melengkapi dokumen-dokumen, antara lain:
1) Data pelaku usaha
2) Nama dan jenis produk
3) Daftar produk dan bahan yang digunakan
4) Proses pengolahan produk
5) Sertifikat halal/hasil uji laboratorium/flow chart proses produksi dari
bahan yang digunakan
Setelah pelaku usaha melengkapi semua dokumen yang diperlukan
untuk mengajukan permohonan sertifikat halal, maka BPJPH akan
menetapkan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Penetapan LPH ini
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja terhitung sejak
dokumen permohonan dinyatakan lengkap.10
Biaya sertifikat halal dibebankan kepada pelaku usaha yang
mengajukan permohonan sertifikat halal. Dalam hal pelaku usaha

7 Pasal 28, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
8 Pasal 26 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
9 Pasal 27 ayat (2), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
10 Pasal 30, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
55

merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikat halal dapat difasilitasi
oleh pihak lain.11
Dalam Pasal 61, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019
Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, biaya sertifikasi halal yang dibebankan
kepada pelaku usaha harus efisien, terjangkau, dan tidak diskriminatif.
Pada pasal selanjutnya dijelaskan, dalam hal pelaku usaha merupakan
mikro dan kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
Pihak lain yang dimaksud adalah:
1) Pemerintah pusat melalui anggaran pendapatan dan belanja negara.
2) Pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah.
3) Perusahaan.
4) Lembaga sosial.
5) Lembaga keagamaan.
6) Asosiasi.
7) Komunitas.
Mengenai kisaran biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk
mengajukan permohonan sertifikat halal akan diatur oleh Peraturan
Menteri Keuangan. Untuk pelaku usaha yang termasuk dalam golongan
usaha mikro dan kecil, biaya yang seharusnya dibebankan kepada pelaku
usaha dapat difasilitasi oleh pihak lain yang terkait. Dalam hal ini, bagian
CSR dari BPJPH yang nantinya akan menghubungi pemerintah daerah
terkait untuk memfasilitasi pelaku usaha mikro dan kecil.
Fasilitas yang diberikan pemerintah daerah kepada pelaku usaha dapat
berupa pembiayaan sertifikasi dan informasi atau pemahaman terkait
sertifikat halal.12

11Pasal 44, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
12Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
56

2. Pembuatan Sertifikat Halal


Pemeriksaaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan oleh
auditor halal. Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan
melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Pemeriksaan terhadap produk
dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. Jika pada saat
pemeriksaan tersebut terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat
dilakukan pengujian di laboratorium. Dalam hal ini pelaku usaha wajib
memberikan segala informasi yang dibutuhkan kepada auditor halal.13
Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan produk kepada BPJPH. Kemudian BPJPH akan
menyampaikan hasil tersebut kepada MUI untuk memperoleh penetapan
kehalalan produk.14
Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI dalam Sidang
Fatwa Halal. Dalam Sidang Fatwa Halal ini, MUI mengikutsertakan pakar,
unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. Sidang fatwa halal
memutuskan kehalalan produk paling lama 30 hari kerja sejak MUI
menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH.
Keputusan penetapan halal produk ditandatangani oleh MUI, kemudian
disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan sertifikat
halal.15 Dalam hal Sidang Fatwa Halal menetapkan halal pada produk yang
dimohonkan pelaku usaha, BPJPH menerbitkan sertifikat halal. Jika
ternyata produk yang dimohonkan pelaku usaha dinyatakan bahwa produk
tidak halal, maka BPJPH akan mengembalikan permohonan sertifikat halal
kepada pelaku usaha disertai dengan alasan.16
Sertifikat halal diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 hari kerja,
terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI. Penerbitan
sertifikat halal wajib dipublikasikan oleh BPJPH.17

13 Pasal 31, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
14 Pasal 32, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
15 Pasal 33, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
16 Pasal 34, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
17 Pasal 35 dan Pasal 36, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
57

Bagan Tata Cara Sertifikasi Halal

Bagan 1.0

Keterangan:
1) Pelaku Usaha. Pelaku usaha yang ingin memiliki sertifikat halal dapat
mengajukan kepada BPJPH.
2) Permohonan. Permohonan yang diajukan oleh pelaku usaha dapat
dilakukan secara manual maupun melalui sistem online dengan
menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
3) Verifikasi Dokumen. Dokumen-dokumen yang diserahkan oleh
pelaku usaha akan diverifikasi oleh BPJPH. Jika dokumen-dokumen
yang diserahkan tersebut tidak sesuai, maka dokumen-dokumen
tersebut akan dikembalikan kepada pelaku usaha. Apabila dinyatakan
58

sesuai, maka BPJPH akan menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal


(LPH).
4) BPJPH menetapkan LPH. Penetapan LPH tersebut dilakukan paling
lama 5 hari kerja setelah verifikasi dokumen dinyatakan sesuai.
5) LPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian yang dilaksanakan
oleh auditor halal. Setelah ditetapkannya LPH, auditor halal yang
ditunjuk berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan/atau
pengujian terhadap produk yang diajukan oleh Pelaku Usaha dalam
jangka waktu paling lama 20 hari kerja.
6) BPJPH menerima dan memverifikasi hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian LPH. Dokumen yang diserahkan LPH, berupa:
a) Produk dan bahan yang digunakan;
b) Proses Produksi Halal;
c) Hasil analisis dan/atau spesifikasi;
d) Berita acara pemeriksaan;
e) Rekomendasi.
7) MUI mengkaji hasil verifikasi BPJPH melalui Sidang Fatwa Halal
untuk menetapkan kehalalan produk. Setelah MUI menerima hasil
verifikasi dari BPJPH, MUI melakukan Sidang Fatwa Halal untuk
menetapkan kehalalan dari produk tersebut dalam jangka waktu paling
lama 30 hari kerja.
8) Keputusan Penetapan Halal Produk. Keputusan Sidang Fatwa Halal
dapat berupa “halal” dan “tidak halal”. Jika dinyatakan “tidak halal”,
maka dokumen-dokumen hasil pemeriksaan produk tersebut beserta
hasil keputusan Sidang Fatwa Halal diserahkan kepada pelaku usaha
disertai dengan alasan produk tersebut dinyatakan “tidak halal”.
9) Penerbitan Sertifikasi Halal. Jika produk tersebut dinyatakan halal
dalam Sidang Fatwa Halal MUI, maka dalam jangka waktu 7 hari
59

kerja BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal dan menyerahkannya


kepada pelaku usaha.18

3. Pasca Pembuatan Sertifikat Halal


a. Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban pelaku usaha setelah pembuatan sertifikasi halal yaitu,
Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat,
dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal. Lokasi,
tempat, dan alat Proses Produksi Halal (PPH) wajib:
1) Dijaga kebersihan dan higienitasnya;
2) Bebas dari najis; dan
3) Bebas dari bahan tidak halal.19
Kewajiban lainnya yaitu, pelaku usaha yang telah memperoleh
Sertifikat Halal wajib:
1) Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat
Sertifikat Halal;
2) Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;
3) Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian antara produk halal dan tidak halal;
4) Memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal
berakhir;
5) Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.20
Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal juga wajib
mencantumkan label halal pada :
1) Kemasan produk
2) Bagian tertentu dari produk

18 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
19 Pasal 21 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
20 Pasal 25, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
60

3) Tempat tertentu pada produk21


Pencantuman label halal tersebut harus mudah dilihat dan dibaca serta
tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.22
Disamping itu, setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan
proses Jaminan Produk Halal (JPH) wajib menjaga kerahasiaan formula
yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku usaha.23
b. Sanksi
Adapun sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang JPH, antara lain:
1) Pelaku usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH
dikenai sanksi administratif berupa:
a) Peringatan tertulis;
b) Denda administratif.24
2) Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa:
a) Peringatan tertulis;
b) Denda administratif;
c) Pencabutan Sertifikat Halal.25
3) Pelaku usaha yang mencantumkan label halal tidak sesuai dengan
ketentuan dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a) Teguran lisan
b) Peringatan tertulis
c) Pencabutan sertifikat halal26
4) Pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah
memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

21 Pasal 38, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
22 Pasal 39, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
23 Pasal 43, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
24 Pasal 21 ayat (1), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
25 Pasal 27 ayat (1), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
26 Pasal 41, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
61

tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua


miliar rupiah).27
Di samping itu, terdapat sanksi juga yang dapat dikenakan kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH, yaitu
“Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang
tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi
yang diserahkan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.28
Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha adalah
sanksi-sanksi administratif. Sedangkan, untuk sanksi pidana biasanya
hanya akan dikenakan kepada pihak-pihak yang tidak dapat mejaga
kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan
pelaku usaha.29
Sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha,
antara lain sebagai berikut:
1) Peringatan lisan.
2) Peringatan tertulis.
3) Pembayaran denda.
4) Pencabutan sertifikat halal.
5) Penarikan barang dari peredaran.
Penerapan sanksi administrasi kepada pelaku usaha, dilakukan
secara bertahap mulai dari sanksi yang paling ringan hingga sanksi yang
paling berat. Jika pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan yang
diberikan oleh BPJPH karena pelanggaran yang dilakukannya, maka
BPJPH akan memberlakukan sanksi yang lebih berat dari sebelumnya
secara bertahap.

27Pasal 56, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
28Pasal 57, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
29 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
62

Dalam hal ini, BPJPH memiliki kewenanan untuk


memberlakukan sanksi peringatan lisan, peringatan tertulis, denda, dan
pencabutan sertifikat halal, kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh BPJPH, seperti tidak
menjaga kehalalan produk yang sudah memiliki sertifikat halal. BPJPH
memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan sertifikat halal
karena BPJPH yang menerbitkan sertifikat halal tersebut, sehingga
BPJPH berwenang untuk mencabutnya kembali dari pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditentukan
BPJPH.
Ketika pelaku usaha melakukan suatu pelanggaran, pengawas
akan memberikan hasil pengawasan yang disertai dengan rekomendasi
sanksi apa yang pantas untuk diberikan kepada pelaku usaha tersebut.
Namun, hal ini tetap tidak dapat merubah ketentuan mengenai
pengenaan sanksi administratif, BPJPH akan melakukan peringatan
lisan dan tulis terlebih dahulu.
Dalam hal penarikan barang dari peredaran, BPJPH tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut melainkan
kewenangan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sesuai
dengan yang tercantum dalam Peraturan Kepada BPOM Nomor 22
Tahun 2017 tentang Penarikan Pangan Dari Peredaran. Produk harus
ditarik dari peredaran ketika produk tersebut dianggap berbahaya untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. BPJPH akan memberikan rekomendasi
kepada BPOM terkait produk mana yang harus ditarik dari peredaran.
Selanjutnya, BPOM akan menindaklanjuti rekomendasi yang berikan
BPJPH untuk melakukan penarikan barang dari peredaran. Penarikan
tersebut dilaksanakan oleh produsen, importir, dan/atau distributor atas
perintah BPOM.
Hal ini yang dimaksud dengan BPJPH bekerjasama dengan
kementerian atau lembaga terkait dalam menyelenggarakan Jaminan
Produk Halal, yang mana pekerjaan atau tugas dari masing-masing
63

kementerian dan lembaga terkait dikembalikan kepada kewenangan


dari masing-masing kementerian dan lembaga tersebut.30
c. Perpanjangan Sertifikat Halal
Sertifikat halal berlaku selama 4 tahun sejak diterbitkan oleh
BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi bahan. Sertifikat halal
wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan
sertifikat halal paling lambat 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat
halal berakhir.31
Pelaku usaha yang telah memiliki sertifikat halal sebelum BPJPH
beroperasi berlaku ketentuan peralihan dalam Pasal 58 Undang-
Undang JPH sebagai berikut, sertifikat halal yang telah ditetapkan oleh
MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku
sampai jangka waktu sertifikat halal tersebut berakhir. Setelah jangka
waktunya berakhir, pelaku usaha bisa langsung memperpanjang
sertifikat halal ke BPJPH.
d. Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
BPJPH melakukan pengawasan terhadap Jaminan Produk Halal
(JPH) melaui divisi Pusat Pembinaan dan Pengawasan BPJPH. Hal-hal
yang diawasai oleh BPJPH, yaitu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH),
auditor halal, pelaku usaha, penyelia halal, dan produk yang
bersertifikat halal.32 Mengenai Pengawasan yang dilakukan oleh
BPJPH, sudah diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal,
“Pengawasan JPH dilakukan terhadap:33
1) LPH;
2) Masa berlaku Sertifikat Halal;
3) Kehalalan produk;
4) Pencantuman label halal;

30 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
31 Pasal 42, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
32 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
33 Pasal 50, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
64

5) Pencantuman keterangan tidak halal;


6) Pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta
penyajian antara produk halal dan tidak halal;
7) Keberadaan penyelia halal;
8) Kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.”
Selain BPJPH, Kementerian-kemeterian yang terkait dengan
Jaminan Produk Halal juga memiliki kewenangan untuk melakukan
pengawasan. Kementerian terkait bisa memberikan rekomendasi hasil
pengawasan terhadap Jaminan Produk Halal kepada BPJPH.34

F. Bentuk Kerja sama BPJPH dengan Lembaga Terkait Lainnya


Pada Pasal 7 Undang-Undang Jaminan Produk Halal, dijelaskan bahwa
dalam melaksanakan wewenangnya BPJPH bekerja sama dengan kementerian
dan/atau lembaga terkait, LPH dan MUI. Bentuk kerja sama antara BPJPH
dengan LPH yaitu untuk pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap produk
yang mengajukan permohonan sertifikasi halal. BPJPH juga bekerja sama
dengan MUI tentunya dalam hal sebagai berikut:
1) Sertifikasi auditor halal. Untuk menjadi seorang auditor halal terdapat
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya adalah memiliki
sertifikasi yang diterbitkan oleh MUI.
2) Penetapan kehalalan produk. Setelah melewati pemeriksaan dan
pengujian dari LPH, hasil pemeriksaan dan pengujian tersebut akan
diberikan kepada MUI yang selanjutnya dilakukan penetapan terhadap
kehalalan produk, apakah produk tersebut sudah bisa termasuk dalam
kategori produk halal atau belum.
3) Akreditasi LPH. Dalam hal ini MUI juga memiliki wewenang untuk
memberikan akreditasi kepada Lembaga Pemeriksa Halal.35

34 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang
Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
35 Pasal 10, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
65

Selain itu, terdapat beberapa lembaga dan kementerian terkait yang


bekerja sama dengan BPJPH dalam menyelenggarakan JPH di Indonesia, di
antaranya sebagai berikut:
1) Kementerian Perindustrian
Dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan industri
terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan
untuk menghasilkan produk halal.
Kerja sama yang dilakukan antara BPJPH dengan Kementerian
Perindustrian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 6 PP Nomor 31 Tahun
2019, Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintah di bidang perindustrian meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan industri, terkait dengan bahan
baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong yang
digunakan untuk menghasilkan produk halal.
b. Fasilitas halal bagi industri kecil dan industri menengah.
c. Pembentukan kawasan industri halal, dan
d. Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan
fungsi masing-masing.
2) Kementerian Perdagangan
Dalam hal pembinaan kepada pelaku usaha dan masyarakat,
pengawasan produk halal yang beredar di pasar, serta perluasan akses
pasar.
3) Kementerian Kesehatan
Dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi obat,
termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan, perbekalan
kesehatan rumah tangga, makanan dan minuman.
4) Kementerian Pertanian
Dalam hal penetapan persyaratan rumah potong hewan/unggas dan
unit potong hewan/unggas, pedoman pemotongan hewan/unggas dan
penanganan daging hewan serta hasil ikutannya, pedoman sertifikasi
66

kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan
mutu dan keamanan pangan hasil pertanian.
5) Kementerian Standarisasi dan Akreditasi
Dalam hal persyaratan untuk pemeriksaan, pengujian, auditor,
lembaga pemeriksaan, dan lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
6) Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah
Dalam hal menyiapkan pelaku usaha mikro dan kecil dalam
sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan produk.
7) Kementerian Pengawasan Obat dan Makanan
Dalam hal pengawasan produk pangan, obat, dan kosmetik dalam
dan luar negeri yang diregistrasi dan disertifikasi halal.

G. Konsep Ideal Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal


Undang-Undang Jaminan Produk Halal sebagai dasar hukum dari
penyelenggaraan Jaminan Produk Halal menjadi peraturan acuan yang
digunakan oleh BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan produk halal.
Adapun pokok-pokok dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal adalah:
1. Untuk menjamin ketersediaan produk halal, ditetapkan bahan produk yang
dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan,
tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses
kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetika. Di samping itu,
ditentukan pula Proses Produk Halal (PPH) yang merupakan rangkaian
kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang mencakup penyediaan
bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan,
dan penyajian produk.
2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dengan
memberikan pengecualian terhadap pelaku usaha yang memproduksi
produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dengan
kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada
kemasan produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat,
67

dibaca, tidak mudah terhapus dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari produk.
3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, pemerintah bertanggung
jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh
BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJPH bekerja sama dengan
kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan
permohonan Sertifikat Halal oleh pelaku usaha kepada BPJPH.
Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen.
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan oleh LPH.
LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJPH yang bekerja sama
dengan MUI. Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui
sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk
yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal
berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.
5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan
permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan
penyelenggaraan JPH, Undang-Undang Jaminan Produk Halal
memberikan peran bagi pihak lain seperti pemerintah melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran
pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga
keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi
halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
6. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH
melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku sertifikat halal;
kehalalan produk; pencantuman label halal; pencantuman keterangan tidak
halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara produk
halal dan tidak halal; keberadaan penyelia halal; dam/atau kegiatan lain
yang berkaitan dengan JPH.
68

7. Dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal juga ditetapkan sanksi


administratif dan sanksi pidana, demi menjamin penegakan hukum
terhadap pelanggaran.
BAB IV
PROSES PELAKSANAAN SERTIFIKAT HALAL OLEH BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL

A. Persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam


Menyelenggarakan Jaminan Produk Halal di Indonesia Pasca
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal
1. Peralihan Kewenangan Sertifikasi Halal dari Majelis Ulama
Indonesia ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
Pelaksanaan pembuatan sertifikat halal sebelumnya berada di
bawah wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI membentuk
LPPOM untuk melaksanakan sertifikasi halal.
Pada tahun 2004 Pemerintah mulai berpikir untuk pelaksanaan
sertifikat halal ini apakah akan diambil alih oleh negara atau tidak.
Akhirnya, pemerintah mengajukan kepada DPR untuk membuat
Undang-Undang Tentang Jaminan Produk Halal. Setelah melewati
diskusi dan pertentangan yang lama terkait pengaturan jaminan produk
halal ini, pada tahun 2014 terbitlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam UU JPH ini diamanatkan untuk membentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang bertugas sebagai
penyelenggara jaminan produk halal di Indonesia yang berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Peralihan kewenangan ini resmi dilakukan setelah BPJPH
beroperasi, yang rencananya 5 tahun sejak diundangkannya UU JPH,
yaitu pada tanggal 17 Oktober 2019.
Dalam menyelenggarakan jaminan produk halal, BPJPH bekerja
sama dengan beberapa kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI.

69
70

2. Persiapan Sarana dan Prasarana dalam Menyelenggarakan


Jaminan Produk Halal
a. Peraturan Perundang-undangan
Dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH)
peranan peraturan perundang-undangan sangatlah penting.
Peraturan tersebut menjadi dasar atau landasan hukum dalam
menyelenggarakan JPH untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Untuk saat ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku
berkaitan dengan pelaksanaan JPH oleh lembaga BPJPH, adalah
sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal
Pengaturan mengenai makanan halal tidak dijelaskan
secara terperinci dalam peraturan perundang-undangan
sebelumnya, sehingga perlu dibentuk peraturan yang
menyeluruh dan terperinci mengenai penyelenggaraan JPH di
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
yang selanjutnya akan disebut sebagai UU JPH.
Pemerintah selaku badan tertinggi yang mengatur suatu
negara, berkewajiban untuk melindungi dan menjamin
ketersediaan produk halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Hal ini juga tercantum dalam Pasal 3 UU JPH yang merupakan
tujuan dari penyelenggaraan JPH itu sendiri, yaitu memberikan
kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi
dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi
pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.
Dalam Pasal 4 UU JPH dijelaskan bahwa produk yang
masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib
bersertifikat halal. Ketentuan ini berlaku efektif terhitung sejak
71

5 (lima) tahun UU JPH diundangkan. Produk yang dimaksud


pada pasal 4 tersebut dijelaskan pada pasal 1 UU JPH, produk
adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi,
produk rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai,
digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dalam hal penyelenggaraan JPH pemerintah membentuk
BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada menteri. Hal-hal yang menjadi wewenang BPJPH
dicantumkan pada Pasal 6 UU JPH, sebagai berikut:
a) Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b) Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH;
c) Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal
pada produk;
d) Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar
negeri;
e) Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal;
f) Melakukan akreditasi terhadap LPH;
g) Melakukan registrasi auditor halal;
h) Melakukan pengawasan terhadap JPH;
i) Melakukan pembinaan auditor halal;
j) Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar
negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Dalam menjalankan tugasnya, BPJPH tidak
melaksanakannya sendirian. BPJPH bekerja sama dengan
kementerian dan/atau lembaga terkait, LPH dan MUI. Kerja
sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf (a) dilakukan sesuai
dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.1

1 Pasal 8, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


72

Untuk kerja sama antara BPJPH dengan LPH, dilakukan untuk


pemeriksaan dan/atau pengujian produk, hal ini dijelaskan
dalam Pasal 9 UU JPH. Kerja sama BPJPH dengan MUI
dilakukan dalam bentuk:
a) Sertifikasi auditor halal;
b) Penetapan kehalalan produk; dan
c) Akreditasi LPH.2
Terkait bahan-bahan yang boleh digunakan dalam Proses
Produksi Halal (PPH) yaitu hewan, tumbuhan, mikroba, dan
bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi,
atau proses rekayasa genetika. Bahan yang berasal dari hewan
pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat.
Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan meliputi:
a) Bangkai;
b) Darah;
c) Babi;
d) Hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.3
Dalam memproses produk halal lokasi, tempat, dan alat
proses produksi halal wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat,
dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian produk
tidak halal. Hal ini dilakukan agar tidak terjadinya percampuran
antara produk halal dan produk haram. Lokasi, tempat dan alat
PPH wajib:
a) Dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b) Bebas dari najis;
c) Bebas dari bahan tidak halal.4

2 Pasal 10, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
3 Pasal 18, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
4 Pasal 21, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
73

Untuk memperoleh sertifikat halal pelaku usaha


mengajukan permohonan secara tertulis kepada BPJPH.
Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen
berupa:
a) Data pelaku usaha;
b) Nama dan jenis produk;
c) Daftar produk dan bahan yang digunakan; dan
d) Proses pengolahan produk.5
Setelah pelaku usaha menyerahkan dokumen-dokumen
tersebut, BPJPH akan memverifikasi dokumen yang diserahkan.
Jika dokumen tersebut dinyatakan benar dan sudah lengkap,
maka BPJPH akan menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal
(LPH) untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan produk. Penetapan LPH dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen
permohonan dinyatakan lengkap.6
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk
tersebut dilakukan oleh auditor halal. Pemeriksaan terhadap
produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
Dalam hal pemeriksaan produk terdapat bahan yang diragukan
kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha, pelaku usaha
wajib memberikan informasi kepada auditor halal.7
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh auditor halal, LPH
menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
produk kepada BPJPH. Kemudian BPJPH menyampaikan hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada MUI
untuk memperoleh penetapan kehalalan produk.8

5 Pasal 29, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
6 Pasal 30, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
7 Pasal 31, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
8 Pasal 32, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
74

Penetapan kehalalan produk dilakukan dalam sidang


fatwa halal. Sidang fatwa halal MUI mengikutsertakan pakar,
unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. Sidang
fatwa halal memutuskan kehalalan produk paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan
dan/atau pengujian produk dari BPJPH. Keputusan penetapan
halal produk ditandatangani oleh MUI. Kemudian, keputusan
penetapan halal produk disampaikan kepada BPJPH untuk
menjadi dasar penerbitan sertifikat halal.9
Dalam hal sidang fatwa halal menetapkan halal pada
produk yang dimohonkan pelaku usaha, BPJPH menerbitkan
sertifikat halal. Namun, jika ternyata dalam sidang fatwa halal
MUI menyatakan produk tidak halal, maka BPJPH
mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku
usaha disertai dengan alasan.10 Sertifikat halal diterbitkan oleh
BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
keputusan kehalalan produk diterima oleh MUI. Penerbitan
sertifikat halal wajib dipublikasikan oleh BPJPH.11
Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib
mencantumkan label halal pada:
a) Kemasan produk;
b) Bagian tertentu dari produk; dan/atau
c) Tempat tertentu pada produk.12
Sertifikat halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak
diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi
bahan. Sertifikat halal wajib diperpanjang oleh pelaku usaha
dengan mengajukan pembaruan sertifikat halal paling lambat 3

9 Pasal 33, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
10 Pasal 34, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
11 Pasal 35 dan Pasal 36, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
12 Pasal 38, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
75

(tiga) bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir.13


Sertifikat halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum
Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai
jangka waktu sertifikat halal tersebut berakhir.14
Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha
yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Dalam hal
pelaku usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi
halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.15
BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH. Pengawasan JPH
tersebut dilakukan terhadap:
a) LPH;
b) Masa berlaku sertifikat halal;
c) Kehalalan produk;
d) Pencantuman label halal;
e) Pencantuman keterangan tidak halal;
f) Pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
penjualan, serta penyajian antara produk halal dan tidak
halal.
BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang
memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan
pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.16
Dalam UU JPH ini juga dijelaskan mengenai ketentuan
pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha dan pihak-
pihak lain yang terlibat dalam proses penyelenggaraan JPH.

13 Pasal 42, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
14 Pasal 58, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
15 Pasal 44, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
16 Pasal 51, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
76

Pada Pasal 56 diterangkan bahwa, Pelaku usaha yang tidak


menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat
halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf (b) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Kemudian pada Pasal 57 dijelaskan bahwa, setiap orang yang
terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga
kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang
diserahkan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Pengertian peraturan pemerintah menurut Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya. Sebagai peraturan
pelaksana dari UU JPH, PP Nomor 31 Tahun 2019 ini
menjelaskan lebih lanjut mengenai penyelenggaran JPH di
Indonesia.
Pada Pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 2019 dijelaskan bahwa,
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah
Indonesia wajib bersertifikat halal. Produk yang berasal dari
bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban
bersertifikat halal dan wajib diberikan keterangan tidak halal.
Yang dimaksud dengan produk dalam peraturan ini adalah
barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman,
obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk
77

rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan,


atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan wewenangnya, BPJPH bekerja
sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, LPH, dan
MUI. Kerja sama BPJPH dengan kementerian terkait dilakukan
sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian terkait.
Kementerian terkait meliputi kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:
a) Perindustrian;
b) Perdagangan;
c) Kesehatan;
d) Pertanian;
e) Koperasi dan usaha kecil dan menengah;
f) Luar negeri; dan
g) Lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH.17
Kerja sama BPJPH dengan Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian
meliputi:
a) Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan industri, terkait
dengan bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan
bahan penolong yang digunakan untuk menghasilkan
produk halal;
b) Fasilitas halal bagi industri kecil dan industri menengah;
c) Pembentukan kawasan industri halal; dan
d) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan
meliputi:

17 Pasal 5, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


78

a) Pembinaan kepada pelaku usaha dan masyarakat;


b) Pengawasan produk halal yang beredar di pasar;
c) Fasilitas penerapan JPH bagi pelaku usaha di bidang
perdagangan;
d) Perluasan akses pasar bagi produk halal; dan
e) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.18
Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
meliputi:
a) Pengawasan sertifikat halal dan label halal bagi alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga;
b) Fasilitas sertifikat halal bagi alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan rumah tangga;
c) Rekomendasi pencabutan sertifikat halal dan label halal bagi
alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan
d) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian
meliputi:
a) Sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal;
b) Penetapan persyaratan rumah potong hewan/unggas dan unit
potong hewan/unggas;
c) Penetapan pedoman pemotongan hewan/unggas;
d) Penanganan daging hewan dan hasil ikutannya;
e) Fasilitasi halal bagi rumah potong hewan/unggas dan unit
potong hewan/unggas;

18 Pasal 6 dan Pasal 7, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


79

f) Penetapan pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit


usaha pangan asal hewan, sistem jaminan mutu, dan
keamanan pangan hasil pertanian; dan
g) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.19
Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan
usaha kecil dan menengah meliputi:
a) Sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan produk
bagi koperasi dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah;
b) Fasilitasi halal bagi koperasi dan pelaku usaha menengah;
pendataan koperasi dan pelaku usaha menengah;
c) Koordinasi dan pembinaan fasilitasi halal bagi koperasi dan
pelaku usaha mikro dan kecil;
d) Koordinasi dan pembinaan pendataan pelaku usaha mikro
dan kecil; dan
e) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri
meliputi:
a) Fasilitasi kerja sama internasional;
b) Promosi produk halal di luar negeri;
c) Penyediaan informasi mengenai lembaga halal luar negeri;
dan
d) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.20

19 Pasal 8 dan Pasal 9, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


20 Pasal 10 dan Pasal 11, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


80

Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lainnya yang
terkait dengan penyelenggaraan JPH meliputi:
a) Sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal; dan
b) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
Kerja sama BPJPH dengan lembaga terkait dilakukan
sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga terkait. Lembaga terkait
meliputi lembaga pemerintah nonkementerian atau lembaga
nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang:
a) Pengawasan obat dan makanan;
b) Standarisasi dan penilaian kesesuaian;
c) Akreditasi; dan
d) Lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH.21
Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan obat dan makanan, meliputi:
a) Sertifikasi halal bagi obat, obat tradisional, kosmetik,
suplemen kesehatan, dan pangan olahan;
b) Pengawasan produk halal berupa obat, obat tradisional,
kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan olahan yang
beredar;
c) Rekomendasi pencabutan sertifikasi halal pada obat, obat
tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan
olahan yang beredar;
d) Sosialisasi, edukasi, dan publikasi berupa obat, obat
tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan
olahan; dan

21 Pasal 12 dan Pasal 14, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


81

e) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai


tugas dan fungsi masing-masing.
Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang standarisasi dan penilaian kesesuaian, meliputi:
a) Penyusunan standar dan skema penilaian kesesuaian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.22
Kerja sama BPJPH dengan lembaga nonstruktural yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi,
meliputi:
a) Akreditasi LPH;
b) Penyusunan skema akreditasi;
c) Penyusunan dokumen pendukung skema akreditasi; dan
d) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah
nonkementerian atau lembaga nonstruktural yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang lainnya yang
terkait dengan penyelenggaraan JPH, meliputi:
a) Sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal; dan
b) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.23
Disamping BPJPH melakukan kerjasama dengan
kementerian dan/atau lembaga terkait, BPJPH juga melakukan
kerja sama dengan LPH. Kerja sama BPJPH dengan LPH,
meliputi:

22 Pasal 15 dan Pasal 16, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


23 Pasal 17 dan Pasal 18, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


82

a) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk, yang


ditetapkan oleh BPJPH; dan
b) Tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai
tugas dan fungsi masing-masing.
Kerja sama BPJPH dengan MUI, meliputi:
a) Sertifikasi auditor halal;
b) Penetapan kehalalan produk; dan
c) Akreditasi LPH.
Kerja sama yang berkaitan dengan kesesuain syariah
dilaksanakan berdasarkan fatwa MUI.24
Kerja sama BPJPH dengan MUI mengenai sertifikasi
auditor halal, meliputi pendidikan dan pelatihan serta uji
kompetensi. Pendidikan dan pelatihan sertifikasi auditor halal
diselenggarakan oleh BPJPH dan dapat diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan dan pelatihan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Uji kompetensi sertifikasi
auditor halal dilaksanakan oleh MUI.
Kerja sama BPJPH dengan MUI mengenai penetapan
kehalalan produk dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan produk kepada BPJPH yang meliputi dokumen:
1) Produk dan bahan yang digunakan;
2) PPH;
3) Hasil analisis dan/atau spesifikasi;
4) Berita acara pemeriksaan; dan
5) Rekomendasi.
b) Terhadap hasil pemeriksaan dan/atau pengujian, BPJPH
melakukan verifikasi atas dokumen yang disampaikan LPH;

24 Pasal 20 dan Pasal 21, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


83

c) BPJPH menyampaikan hasil verifikasi kepada MUI;


d) MUI mengkaji hasil verifikasi BPJPH melalui sidang fatwa
halal dengan mengikutsertakan pakar, unsur kementerian
terkait, lembaga terkait, dan/atau institusi terkait;
e) Dalam hal sidang fatwa halal memerlukan informasi
tambahan yang belum tercantum dalam dokumen yang
diajukan oleh BPJPH, MUI mengembalikan dokumen
tersebut untuk dilengkapi;
f) Hasil sidang fatwa halal berupa penetapan kehalalan atau
ketidakhalalan produk yang ditandatangani oleh ketua dan
sekretaris komisi fatwa MUI dan diketahui oleh ketua umum
MUI; dan
g) Penetapan kehalalan atau ketidakhalalan produk
disampaikan kepada BPJPH paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak MUI menerima hasil verifikasi dari BPJPH.
Pelaksanaan sidang fatwa halal oleh MUI difasilitasi oleh
BPJPH serta keputusan penetapan kehalalan produk
disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan
sertifikasi halal.25
Kerja sama BPJPH dengan MUI mengenai akreditasi LPH
berupa penilaian kesesuaian syariah. Pelaksanaan penilaian
kesesuaian syariah oleh MUI difasilitasi oleh BPJPH. Akreditasi
LPH dilaksanakan berkoordinasi dengan lembaga nonstruktural
yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
akreditasi.26
Selain kerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga
terkait dalam negeri, pemerintah juga dapat melakukan kerja
sama internasional dalam bidang JPH. Kerja sama internasional

25 Pasal 22 dan Pasal 23, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


26 Pasal 24, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


84

ini dilaksanakan oleh BPJPH dalam koordinasi dan konsultasi


dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang luar negeri. Pada Pasal 25 PP Nomor 31 Tahun 2019,
kerja sama internasional dalam bidang JPH dapat berbentuk:
a) Pengembangan JPH;
b) Penilaian kesesuaian; dan/atau
c) Pengakuan sertifikat halal.
Kerja sama internasional dalam pengembangan JPH
meliputi pengembangan teknologi, sumber daya manusia, dan
sarana dan prasarana JPH. Dalam hal penilaian kesesuaian kerja
sama internasional yang dilakukan meliputi saling pengakuan
dan saling keberterimaan hasil penilaian kesesuaian. Sedangkan
untuk kerja sama internasional berupa saling pengakuan
sertifikat halal merupakan kerja sama saling pengakuan
sertifikat halal dengan lembaga halal luar negeri yang
berwenang untuk menerbitkan sertifikat halal.27 Lembaga halal
luar negeri yang dimaksud merupakan lembaga penerbit
sertifikat halal yang dibentuk oleh pemerintah atau lembaga
keagamaan Islam yang diakui oleh negeri setempat.28
Lokasi, tempat, dan alat PPH (Proses Produk Halal)
dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal.
Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib:
a) Dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b) Bebas dari najis; dan
c) Bebas dari bahan tidak halal.
Lokasi yang wajib dipisahkan yakni lokasi
penyembelihan. Sedangkan tempat dan alat PPH yang wajib
dipisahkan meliputi tempat dan alat:

27 Pasal 26, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


28 Pasal 27, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


85

a) Penyembelihan;
b) Pengolahan;
c) Penyimpanan;
d) Pengemasan;
e) Pendistribusian;
f) Penjualan; dan
g) Penyajian.29
Terkait biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku
usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Biaya
sertifikasi halal yang dibebankan ini harus efisien, terjangkau,
dan tidak diskriminatif. Penetapan besaran atau nominal biaya
sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal pelaku usaha merupakan usaha mikro dan
kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
Fasilitasi oleh pihak lain berupa fasilitasi oleh:
a) Pemerintah pusat melalui anggaran pendapatan dan belanja
negara;
b) Pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja
daerah;
c) Perusahaan;
d) Lembaga sosial;
e) Lembaga keagamaan;
f) Asosiasi; atau
g) Komunitas.30
Produk halal yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh
lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama
saling pengakuan sertifikat halal dengan BPJPH tidak perlu

29 Pasal 43, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


30 Pasal 61 dan Pasal 62, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


86

mengajukan permohonan sertifikat halal. sertifikat halal yang


diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri wajib diregistrasi oleh
BPJPH sebelum produk diedarkan di Indonesia. Selain itu,
produk tersebut juga wajib memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai persyaratan
peredaran produk terkait.
Registrasi sertifikat halal luar negeri diajukan
permohonannya oleh pelaku usaha kepada BPJPH secara
tertulis dengan melapirkan:
a) Salinan sertifikat halal luar negeri produk bersangkutan
yang telah disahkan oleh perwakilan Indonesia di luar
negeri;
b) Daftar barang yang akan diimpor ke Indonesia dilengkapi
dengan nomor kode sistem harmonisasi; dan
c) Surat pernyataan yang menyatakan dokumen yang
disampaikan benar dan sah.31
Yang dimaksud dengan kode sistem harmonisasi adalah
bahasa numerik secara klasifikasi produk atau bahan produk
sebagai standar internasional untuk pelaporan barang di bea
cukai dan instansi terkait.32
Permohonan secara tertulis dapat dilakukan menggunakan
sistem elektronik atau manual.
Selanjutnya kepala badan menerbitkan nomor registrasi
bagi sertifikat halal luar negeri yang telah memenuhi
persyaratan. Pelaku usaha yang telah memperoleh nomor
registrasi wajib mencantumkan nomor registrasi berdekatan
dengan label halal pada:
a) Kemasan produk;

31 Pasal 64 dan Pasal 65, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


32Penjelasan atas Pasal 65, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


87

b) Bagian tertentu dari produk; dan/atau


c) Tempat tertentu pada produk.
Dalam hal sertifikat halal diterbitkan oleh lembaga halal
luar negeri yang tidak memiliki kerja sama dengan BPJPH,
pelaku usaha wajib melakukan sertifikasi halal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.33
Produk yang wajib bersertifikat halal terdiri atas barang
dan /atau jasa. Barang, meliputi makanan, minuman, obat,
kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa
genetik dan barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan. Jasa meliputi layanan usaha yang terkait dengan
penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan dan penyajian.
Untuk makanan, minuman, obat dan kosmetik ditetapkan
masing-masing jenisnya oleh menteri setelah berkoodinasi
dengan kementerian terkait, lembaga terkait, dan MUI.
Pelaksanaan koordinasi difasilitasi oleh BPJPH.34
Produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa
genetik yang dimaksud hanya yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, atau kosmetik.
Sedangkan untuk jenis barang gunaan yang dipakai,
digunakan, atau dimanfaatkan hanya bagi barang yang berasal
dari dan/atau mengandung unsur hewan. Barang gunaan yang
dipakai terdiri atas:
a) Sandang;
b) Penutup kepala; dan
c) Aksesoris.
Untuk barang gunaan yang digunakan terdiri atas:

33 Pasal 66 dan Pasal 67, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


34 Pasal 69, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


88

a) Perbekalan kesehatan rumah tangga;


b) Peralatan rumah tangga;
c) Perlengkapan peribadatan bagi umat Islam;
d) Kemasan makanan dan minuman; dan
e) Alat tulis dan perlengkapan kantor.
Untuk barang gunaan yang dimanfaatkan yakni alat
kesehatan. Barang gunaan dapat ditambahkan jenisnya oleh
menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian terkait,
lembaga terkait, dan MUI. Pelaksaan koordinasi difasilitasi oleh
BPJPH.35
Kewajiban bersertifikat halal bagi jenis produk dilakukan
secara bertahap. Terkait penahapan kewajiban bersertifikat halal
bagi jenis produk dilakukan dengan mempertimbangkan:
a) Kewajiban kehalalan produk sudah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan;
b) Produk sudah bersertifikat halal sebelum Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
berlaku;
c) Produk merupakan kebutuhan primer dan di konsumsi
secara masif;
d) Produk yang memiliki titik kritis ketidakhalalan yang tinggi;
e) Kesiapan pelaku usaha; dan
f) Kesiapan insfrastruktur pelaksanaan JPH.
Penahapan dilakukan dimulai dari produk makanan dan
minuman dan untuk tahap selanjutnya untuk produk selain
makanan dan minuman. Bagi produk yang belum bersertifikat
halal pada tanggal 17 Oktober 2019 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait.

35 Pasal 70 dan Pasal 71, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


89

Penahapan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya


tidak membatalkan kewajiban bersertifikat halal bagi produk
hewan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.36
Produk berupa obat, produk biologi, dan alat kesehatan
yang akan dilakukan sertifikat halal harus memenuhi
persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal produk
obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang bahan bakunya
belum bersumber dari bahan halal dan/atau cara pembuatannya
belum halal, dapat beredar dengan mencantumkan informasi
asal bahan sampai ditemukan bahan yang halal dan/atau cara
pembuatannya yang halal. Produk obat, produk biologi, dan alat
kesehatan yang akan dilakukan sertifikat halal, selain memenuhi
persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu, juga harus
memenuhi cara pembuatan yang baik dan halal.
BPJPH melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan JPH. Pengawasan terhadap JPH dapat
dilakukan oleh BPJPH secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dengan kementerian terkait, lembaga terkait dan/atau
pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pengawasan terhadap JPH oleh BPJPH, kementerian terkait,
lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah dilaksanakan oleh
pengawas JPH.37
Pengawas JPH merupakan pegawai aparatur sipil negara
yang diberi wewenang oleh pejabat yang berwenang di instansi
masing-masing untuk melakukan pengawasan terhadap JPH.
Pengawas JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang

36 Pasal 72 dan Pasal 73, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


37 Pasal 74 dan Pasal 75, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


90

tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku usaha.


Pengawas JPH dalam melaksanakan pengawasan harus
dilengkapi dengan surat tugas dan tanda pengenal.
Pengawasan JPH dilakukan terhadap:
a) LPH;
b) Masa berlaku sertifikat halal;
c) Kehalalan produk;
d) Pencantuman label halal;
e) Pencantuman keterangan tidak halal;
f) Pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
penjualan, serta penyajian antara produk halal dan tidak
halal;
g) Keberadaan penyelia halal; dan/atau
h) Kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Pengawasan dilaksanakan secara berkala dan/atau
sewaktu-waktu. Pengawasan dilakukan secara berkala
dilaksanakan 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Pengawasan
sewaktu-waktu dilaksanakan sesuai kebutuhan dan/atau dalam
hal terjadi dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan.38
Pengawasan pencantuman keterangan tidak halal
dilakukan terhadap produk. Keterangan tidak halal pada produk
dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan. Ketentuan
mengenai gambar, tanda, dan/atau tulisan harus mencakup
perlindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan,
khususnya penyandang disabilitas.39 Bentuk perlindungan dan
hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya

38 Pasal 76 dan Pasal 77, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


39 Pasal 78, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


91

penyandang disabilitas ini antara lain berupa menjamin


pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam kemudahan
mendapatkan informasi kehalalan produk yang disesuaikan
dengan kemampuan penyandang disabilitas yang bersangkutan.
Sebagai contoh yaitu tersedianya gambar, tanda, dan/atau
tulisan dalam huruf braille bagi penyandang disabilitas yang
mengalami masalah dalam penglihatan.40
BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau
pemerintah daerah dalam melaksanakan pengawasan terhadap
JPH dapat mengikutsertakan institusi terkait. Institusi terkait
dapat diikutsertakan dalam pelaksanaan pengawasan terhadap
JPH dalam kegiatan pendampingan. Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan institusi terkait antara lain MUI dan organisasi
kemasyarakatan lainnya yang berupa lembaga keagamaan
Islam.41
b. Gedung
Gedung merupakan infrastruktur yang sangat penting dalam
menjalankan kegiatan operasional suatu lembaga. Oleh karenanya,
pemerintah menyediakan gedung sendiri untuk BPJPH guna
menunjang penyelenggaraan jaminan produk halal.
Gedung BPJPH bertempat di Jalan Pondok Gede No. 13,
Pinang Ranti, Makassar, Jakarta Timur. Namun, saat ini gedung
tersebut masih dalam proses penyiapan, sehingga BPJPH belum bisa
menempati gedung tersebut saat ini.42
Oleh karena itu, untuk sementara waktu BPJPH menjalankan
kegiatan operasionalnya, yaitu penyelenggaraan jaminan produk
halal di Gedung Kementerian Agama lt. 20 (Pusat Pembinaan dan

40 Penjelasan Pasal 78, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


41 Pasal 79, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


42 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
92

Pengawasan BPJPH) dan lt. 4 (Pendaftaran Sertifikat Halal), Jl.


M.H. Thamrin No. 6, RT. 2/RW. 1, Kb. Sirih, Kec. Menteng, Kota
Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10340 dan di Gedung Kementerian
Agama (Pusat Kerja Sama dan Standarisasi) Jl. Lapangan Banteng
Utara No. 3, RT. 4, Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Kota
Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10710. Bagi pelaku usaha yang ingin
mengajukan permohonan sertifikat halal terhadap produknya dapat
mendatangi Gedung Kementerian Agama yang ada di Jl. M.H.
Thamrin.43
c. Sistem Layanan
Dalam menyelenggarakan jaminan produk halal, BPJPH
menggunakan sistem layanan yang berbasis secara manual dan
online. Sistem layanan secara manual dilakukan dengan cara pelaku
usaha mengajukan permohonan sertifikat halal untuk produknya
secara tertulis dan langsung ke BPJPH. Pelaku usaha dapat
mendatangi Kementerian Agama yang berada di Jalan M.H.
Thamrin No. 6, RT. 2/RW. 1, Kb. Sirih, Kec. Menteng, Kota Jakarta
Pusat, DKI Jakarta, 10340, untuk mengajukan permohonan sertifikat
halal.
Terkait sistem layanan yang diajukan secara online, BPJPH
saat ini sedang menyiapkan sistem onlinenya. Sistem online yang
nantinya akan digunakan oleh BPJPH disebut “SIHalal”.44 Saat ini
BPJPH sedang menyesuaikan aplikasi untuk pengajuan permohonan
sertifikat halal secara online. Sebelumnya untuk mengajukan
permohonan sertifikat halal memang sudah dilakukan secara online
oleh MUI melalui sistem bernama CEROL SS23000. Namun, karena
proses bisnis yang berbeda BPJPH tidak bisa menggunakan sistem

43 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
44 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.. Sistem “SIHalal” saat
ini masih dalam tahap pengembangan dan untuk kedepannya terdapat kemungkinan terjadinya perubahan nama
dari sistem tersebut.
93

CEROL SS23000. Oleh karena itu, BPJPH menyiapkan sistem


layanan secara online yang baru.
BPJPH sendiri pada dasarnya lebih mengarahkan untuk
melakukan pengajuan permohonan sertifikat halal secara online
supaya lebih efisien baik dari segi biaya maupun waktu. Namun,
dikarenakan sistem online tersebut belum benar-benar siap, maka
pelaku usaha diarahkan untuk mengajukan permohonan sertifikat
halal tersebut secara manual.45
Pemerintah sudah menyiapkan gedung sendiri untuk BPJPH,
namun karena proses penyiapan gedung tersebut belum selesai,
BPJPH saat ini melakukan kegiatan operasionalnya di Gedung
Kementerian Agama yang berada di Jalan M.H. Thamrin dan Jalan
Lapangan Banteng. Oleh karena itu, untuk sementara waktu pelaku
usaha yang ingin mengajukan permohonan sertifikat halal dapat
mendatangi Gedung Kementerian Agama lt. 4 yang berada di Jalan
M.H. Thamrin.
3. Perkembangan Terkini Pelaksanaan Sertifikasi Halal oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal yang diterbitkan pada tanggal 17 Oktober 2019, resmi efektif 5
(lima) tahun sejak diundangkan. Oleh karena itu, 17 Oktober 2019 lalu
BPJPH sudah mulai beroperasi sesuai dengan amanah dalam UU JPH.
Namun terdapat beberapa pihak yang berpendapat bahwa BPJPH
dinilai belum siap dalam melayani pengurusan sertifikat halal. Direktur
Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, berpendapat
bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal belum siap untuk
menerima pendaftaran sertifikasi halal walaupun kewajiban sudah

45Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
94

mulai diberlakukan pada tanggal 17 Oktober 2019.46 Selain itu, CEO


Halal Corner, Aisha Maharani, juga berpendapat hal yang sama yaitu
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal belum siap melaksanakan
tugasnya untuk menyelenggarakan sertifikasi halal. Menurutnya,
BPJPH terlalu buru-buru dalam mengambil alih proses sertifikasi
halal.47
Terdapat beberapa permasalahan yang membuat beberapa pihak
berpendapat bahwa BPJPH belum siap menyelenggarakan sertifikasi
halal saat ini, diantaranya sebagai berikut:
a) Tarif Sertifikasi Halal
Tarif atau besaran biaya yang harus dibayarkan untuk
pengajuan permohonan sertifikat halal masih belum ditetapkan
hingga saat ini. Hal ini menjadi tanggung jawab dari Kementerian
Keuangan untuk mengeluarkan peraturan terkait biaya pendaftaran
sertifikasi halal. Ketua Harian Halal Institute, SJ Arifin,
berpendapat bahwa masalah tarif sertifikat halal ini merupakan
prioritas yang harus segera diselesaikan oleh Kementerian
Keuangan.48
BPJPH sendiri saat ini sedang menanti keputusan Menteri
Keuangan untuk tarif pendaftaran sertifikasi halal. Sistem
pendaftaran secara online milik BPJPH baru bisa beroperasi setelah
Menteri Keuangan memutuskan besaran tarifnya.
Kepala BPJPH, Sukoso, menjelaskan bahwa sistem online
BPJPH bukan hanya untuk pendaftaran sertifikasi halal, karena
pendaftaran sertifikasi halal itu berkaitan dengan biayanya. Maka

46
BPJPH Dinilai Belum Siap Layani Pengurusan Sertifikat Halal,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191021113744-92-441455/bpjph-dinilai-belum-siap-
layani-pengurusan-sertifikat-halal diakses pada tanggal 22 Oktober 2019.
47
Halal Corner Nilai BPJPH Belum Siap Bertugas Selenggarakan Sertifikasi Halal,
https://www.islampos.com/halal-corner-nilai-bpjph-belum-siap-bertugas-selenggarakan-
sertifikasi-halal-169173/ diakses pada tanggal 22 Oktober 2019.
48
Halal Institute: Kepastian Tarif Sertifikasi Halal Oleh BPJPH Harus Segera Diselesaikan,
https://indonesiainside.id/news/nasional/2019/10/19/halal-institute-kepastian-tarif-sertifikasi-halal-oleh-
bpjph-harus-segera-diselesaikan diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
95

biaya tersebut harus jelas dan disetorkan ke mana biayanya. Kepala


BPJPH menegaskan, BPJPH juga sudah mengirim surat resmi ke
Kementerian Keuangan untuk tarif sertifikasi halal. Setelah
Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan tentang tarif
sertifikasi halal, maka sistem pendaftaran sertifikasi halal secara
online bisa disinergikan dengan bank. Karena BPJPH tidak boleh
menerima uang pendaftaran sertifikasi halal.49
Peraturan Menteri Keuangan ini tidak hanya membahas
tentang biaya pendaftaran sertifikasi halal, tetapi juga membahas
tentang biaya akreditasi LPH, registrasi auditor halal, uji
kompetensi, pendidikan dan pelatihan penyelia halal, dan lain-lain.
Selain itu, untuk menentukan biayanya satu harga untuk semua
atau menggunakan kisaran harga, sedangkan produk dan variannya
begitu banyak. Hal ini membuat koordinasi dalam penetapan tarif
layanan dengan Kementerian Keuangan menjadi pelik, baik
menyangkut besarannya maupun komponen dan perinciannya.
Begitu juga dalam menentukan definisi produk, jenis poduk,
kelompok produk dan variannya, memerlukan diskusi yang sangat
panjang.50 Karenanya, Peraturan Menteri Keuangan mengenai
biaya layanan sertifikasi halal memerlukan waktu yang cukup lama
dan diskusi yang panjang untuk diterbitkan.
Menurut Kepala BPJPH, Sukoso, setiap rupiah yang
dibayarkan pelaku usaha yang mensertifikasi halal produk mereka
akan masuk ke kas negara karena diatur di Kementerian Keuangan
dan dibayar melalui Bank. Sedangkan BPJPH tidak boleh
menerima uang pendaftaran sertifikasi halal. Hal ini tak lepas dari

49
BPJPH Menanti Keputusan MenKeu Soal Tarif Sertifikasi,
https://khazanah.republika.co.id/berita/pzrrvs313/bpjph-menanti-keputusan-menkeu-soal-tarif-sertifikasi
diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
50
Begini Proses Sertifikasi Halal Menurut BPJPH,
https://khazanah.republika.co.id/berita/q028dl313/begini-proses-sertifikasi-halal-menurut-bpjph
diakses pada tanggal 28 Oktober 2019.
96

pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU)


yang diemban lembaga itu.51
Banyak pelaku usaha UMKM yang merasa keberatan dengan
kewajiban sertifikasi halal yang ada dalam UU JPH, mereka
merasa hasil pendapatan mereka yang tidak seberapa dan harus
menanggung beban biaya pengajuan permohonan sertifikat halal.
Dalam Pasal 44 ayat (2) UU JPH telah diatur mengenai
pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil
dapat difasilitasi oleh pihak lain, baik pemerintah pusat,
pemerintah daerah, hingga perusahaan, lembaga sosial, lembaga
keagamaan, komunitas dan asosiasi. Namun, pengaturan mengenai
fasilitasi pembiayaan ini belum diterbitkan hingga saat ini.
Menurut juru bicara BPJPH, Hartono, dalam waktu dekat
BPJPH akan merilis biaya yang akan dikenakan pada pelaku usaha
yang berniat mensertifikasi halal produk mereka, terdapat
perbedaan biaya untuk UKM, korporasi dan untuk porsi besar.52
b) Ketersediaan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal
Dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal yang
menyeluruh di Indonesia, pemerintah membutuhkan kerja sama
dengan banyak pihak, salah satunya Lembaga Pemeriksa Halal
(LPH). LPH sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan
pengujian dan/atau pemeriksaan terhadap kehalalan produk. Oleh
karena itu, penting adanya LPH dengan jumlah memadai,
mengingat skala kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang
diatur dalam UU JPH berskala nasional yang mana sangat luas.
Dalam UU JPH dijelaskan bahwa pemerintah dan/atau
masyarakat dapat mendirikan LPH. Dalam hal LPH didirikan oleh
masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam

51
Kewajiban Sertifikasi Resmi Halal Berlaku, Bagaimana Nasib UMKM?,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50080006 diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
52
Kewajiban Sertifikasi Resmi Halal Berlaku, Bagaimana Nasib UMKM?,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50080006 diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
97

berbadan hukum.53 Sedangkan untuk pemerintah yang dimaksud


terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah.54
Nantinya LPH akan dibentuk di seluruh Indonesia, namun
saat ini LPH yang siap untuk melakukan pemeriksaan dan
pengujian terhadap produk baru LPPOM-MUI.55
c) Sistem Layanan Berbasis Online
BPJPH saat ini masih mengembangkan sistem pendaftaran
berbasis online yang bernama SIHalal. Terdapat beberapa hal yang
harus dikembangkan, sehingga saat ini pelaku belum dapat
melakukan pengajuan permohonan sertifikat halal melalui sistem
online tersebut.
Untuk pelaku usaha yang ingin mengajukan permohonan
sertifikat halal bisa dilakukan secara manual dengan mendatangi
kantor BPJPH yang ada di Gedung Kementerian Agama Jl. M.H.
Thamrin, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan
Kantor Kementerian Agama di setiap Kabupaten/Kota.56
d) Sosialisasi Mengenai Sertifikasi Halal
Kepala BPJPH, Sukoso, mengatakan bahwa pada 5 (lima)
tahun pertama penerapan UU JPH, BPJPH akan fokus menggelar
pembinaan bagi produsen yang tertarik mendaftar sertifikasi halal.
Melalui pembinaan itu, BPJPH akan mengarahkan para produsen
untuk memenuhi berbagai persyaratan dan ketentuan untuk
mendapatkan sertifikat halal.
Pembinaan tersebut akan berisi sosialisasi bagi produsen
makanan dan minuman, yang memang menjadi fokus dari BPJPH

53
Pasal 12 & 13, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
54
Pasal 30, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
55
Kewajiban Sertifikasi Halal, GAPPMI: Tak Boleh Ada Penindakan,
https://www.voaindonesia.com/a/kewajiban-sertifikasi-halal-gappmi-tak-boleh-ada-penindakan-
/5130205.html diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
56
Bukan Lagi MUI, Ini Fakta Soal Sertifikasi Halal Dialihkan ke BPJPH,
https://economy.okezone.com/read/2019/10/18/320/2118728/bukan-lagi-mui-ini-fakta-soal-
sertifikasi-halal-dialihkan-ke-bpjph diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
98

saat ini. Selain karena jumlahnya paling banyak dibandingkan


dengan produk jenis lain, produk makanan dan minuman juga
bervariatif.
Dia mengaku menargetkan pembinaan dengan jangka waktu
lima tahun ini, agar para pelaku usaha baik UMK maupun
pengusaha besar ini lebih sadar pentingnya sertifikat halal,
khususnya UMK. Karena selain jumlahnya paling banyak,
kesadaran mereka tentang pentingnya sertifikat halal juga sangat
rendah.57
BPJPH sebelumnya telah melakukan sosialisasi kepada
Kementerian/lembaga terkait untuk ikut membantu dan
mendukung program JPH ini. Berdasarkan kerja sama dengan
Kementerian Perindustrian, telah dibuat lima fokus pengembangan
industri halal di Batam, Bintan, Jakarta, dan Sidoarjo.
e) Prosedur dan Syarat Pedaftaran Sertifikasi Halal
Terkait prosedur dan pendaftaran sertifikasi halal pada
dasarnya telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Namun, perkembangan terkini mengenai pelaksanaan prosedur dan
syarat pendaftaran sertifikasi halal masih dalam tahap sosialisasi.
Masih banyak pelaku usaha yang belum mengetahui prosedur dan
syarat untuk pengajuan permohonan sertifikasi halal.
Hingga saat ini (22/10/2019) pelaku usaha yang datang ke
BPJPH belum ada yang melakukan registrasi dan mengajukan
sertifikasi halal. Rata-rata pelaku usaha yang datang ke kantor

57
Fokus Gelar Pembinaan, BPJPH Prioritaskan UMK, https://republika.co.id/berita/pzljca384/fokus-
gelar-pembinaan-bpjph-prioritaskan-umk diakses pada tanggal 26 Oktober 2019.
99

BPJPH masih mencari informasi akan proses sertifikasi serta


dokumen-dokumen yang dibutuhkan.58
f) Kewajiban Sertifikasi Halal
Kewajiban bersertifikat halal bagi semua barang dan/atau
jasa yang termasuk dalam kategori produk dalam UU JPH resmi
efektif 5 (lima) tahun sejak diundangkannya UU JPH, yaitu pada
tanggal 17 Oktober 2019. Juru bicara BPJPH Kementerian Agama,
Hartono, menyatakan sertifikatsi hanya diwajibkan bagi produsen
yang mengklaim produk mereka halal. Sementara, bagi pengusaha
produk yang mengandung unsur haram, mendapat pengecualian.
Meski demikian, produk-produk yang dinilai haram itu harus
mencantumkan keterangan tidak halal.59 Dalam Peraturan
Pelaksana JPH dijelaskan bahwa ketentuan mengenai kewajiban
bersertifikat halal ini dilakukan secara betahap. Penahapan tersebut
dilakukan dimulai dari produk makanan dan minuman, selanjutnya
untuk produk selain makanan dan minuman.60
Kewajiban bersertifiasi halal yang diberlakukan untuk
produk selain makanan dan minuman dimulai 17 Oktober 2021
dalam rentang waktu yang berbeda. Ada yang 7 tahun, 10 tahun,
ada juga 15 tahun.
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menyatakan
selama masa penahapan bagi jenis produk yang wajib bersertifikat
halal, BPJPH Kemenag akan melakukan pembinaan kepada pelaku
usaha yang menghasilkan produk yang wajib bersertifikat halal. 61

58
Strategi BPJPH Geliatkan Sosialisasi, https://khazanah.republika.co.id/berita/pzyrt0313/strategi-
bpjph-geliatkan-sosialisasi diakses pada tanggal 26 Oktober 2019.
59
Kewajiban Sertifikasi Halal, GAPPMI: Tak Boleh Ada Penindakan,
https://www.voaindonesia.com/a/kewajiban-sertifikasi-halal-gappmi-tak-boleh-ada-penindakan-
/5130205.html diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
60
Pasal 72, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
61
Bukan Lagi MUI, Ini Fakta Soal Sertifikasi Halal Dialihkan ke BPJPH,
https://economy.okezone.com/read/2019/10/18/320/2118728/bukan-lagi-mui-ini-fakta-soal-
sertifikasi-halal-dialihkan-ke-bpjph diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
100

B. Kendala-Kendala dalam Mempersiapkan Penyelenggarakan Jaminan


Produk Halal Pasca Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal
1. Kendala Internal
Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi
setiap penyelenggaraan atau tindakan hukum oleh subyek hukum baik
orang perorangan atau badan hukum.62 Landasan hukum memiliki
peranan penting bagi suatu lembaga dalam menjalankan kegiatan
operasionalnya. Tanpa adanya dasar hukum, lembaga tersebut tidak
akan berjalan dengan baik karena tidak ada hukum yang mengaturnya.
Dalam hal ini, pengaturan mengenai sertifikat halal sebelum
diterbitkannya UU JPH tidak ada satu aturan pun yang menjelaskan
secara terperinci dan komprehensif. Pengaturan mengenai makanan
halal hanya dijelaskan secara terpisah dalam beberapa peraturan dan
tidak dijelaskan dengan terperinci. Oleh karena itu, pentingnya dibuat
aturan yang secara rinci dan menyeluruh mengenai penyelenggaraan
jaminan produk halal di Indonesia.
Sebelumnya kewenangan mengenai penerbitan sertifikat halal
berada di MUI sebagai lembaga independen yang mewadahi para ulama
dan cendekiawan Islam untuk membina dan mengayomi umat Islam di
Indonesia. Setelah beberapa lama penyelenggaraan sertifikat halal,
muncul pemikiran mengenai pengaturan sertifikat halal untuk lebih baik
diatur oleh pemerintah atau tetap berada di bawah kewenangan MUI.63
Atas dasar itu, pemerintah mengajukan pembentukan undang-undang
yang membahas tentang penyelenggaraan jaminan produk halal.
Untuk membentuk suatu kebijakan harus melalui beberapa proses,
diantaranya:

62Pengertian Dasar Hukum, Bentuk Dasar Hukum, dan Perbedaannya,


http://suara1996.blogspot.com/2019/01/pengertian-dasar-hukum-bentuk-dasar.html?m=1, 03 Oktober 2019.
63 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
101

1) Perumusan masalah
Tahap ini merupakan tahap mengenali dan merumuskan masalah
dan merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan
kebijakan.
2) Agenda kebijakan
Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda
kebijakan. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya
akan masuk ke dalam agenda kebijakan.
3) Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah
Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-
alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan
masalah tersebut.
4) Tahap penetapan kebijakan
Tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah
menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil
pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan.64
Untuk melalui setiap tahapan proses pembentukan kebijakan
tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat, terutama jika terjadi
perbedaan pendapat di antara para pihak yang terkait, dalam hal ini
DPR.
Dalam proses pembentukan undang-undang jaminan produk halal
tidak semudah yang dibayangkan, diperlukan waktu yang cukup lama
kurang lebih selama 10 tahun diperjuangkan di DPR hingga lahirnya
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal.65

64Esty Kartika Zahriyah dan Afiati Indri Wardani, “Faktor-Faktor Penghambat Perumusan Rancangan

Undang-Undang Perdagangan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”, FISIP UI, 2013, h., 4-5.
65 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
102

Pembentukan UU JPH memakan waktu yang cukup lama


dikarenakan beberapa kendala yang menghambat proses pembentukan
undang-undang tersebut, yaitu terdapat beberapa pihak yang tidak
menyetujui jaminan produk halal ini untuk dilaksanakan. Oleh karena
itu, proses UU JPH ini memakan waktu yang cukup lama untuk
diterbitkan dan sempat mengalami proses revisi berkali-kali hingga
pada akhirnya mendapatkan persetujuan dari semua pihak.66
2. Kendala Eksternal
Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.67 Materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan peraturan pemerintah
untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan
Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari
materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.68
Peran peraturan pemerintah ini sangat penting, karena untuk
melaksanakan perintah atau menjalankan peraturan dari undang-
undang, diperlukan peraturan pemerintah. Tanpa adanya peraturan
pemerintah undang-undang tidak bisa dijalankan dengan semestinya.
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal tentunya juga memerlukan peraturan pemerintah.
Dan sudah ditetapkan dalam undang-undang tersebut bahwa peraturan
pelaksana dari UU JPH harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak UU JPH diundangkan. Namun, nyatanya peraturan
pelaksana dari UU JPH ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun

66 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
67 Pasal 1 Ketentuan Umum, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.
68 Pasal 12 dan Penjelasan Pasal 12, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.
103

2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun


2014 Tentang Jaminan Produk Halal, baru ditetapkan pada tahun 2019.
Ada hal yang menyebabkan terhambatnya proses penerbitan untuk PP
dari UU JPH ini, yaitu karena ruang lingkup dari UU JPH terbilang
cukup luas sehingga memiliki kompleksitas yang cukup tinggi dalam
pelaksanaannya.
Dengan luasnya ruang lingkup yang dimiliki UU JPH, kerja sama
dengan kementerian/lembaga lain yang terkait juga cukup luas. Hal ini
yang menjadi faktor penghambat dari penerbitan peraturan pelaksana
dari UU JPH, karena seperti yang kita ketahui menyinergikan dan
menyinkronkan suatu peraturan dengan peraturan yang lain bukan
perkara yang mudah, sehingga membutuhkan proses yang cukup
panjang untuk membuat peraturan pemerintah dari UU JPH.69
Misalnya, terkait izin edar dan pencantuman label pada kemasan
merupakan kewenangan dari BPOM bukan BPJPH, sehingga jika
pelaku usaha sudah mendapatkan sertifikat halal, maka pelaku usaha
harus melaporkan kepada BPOM bahwasanya pelaku usaha tersebut
sudah mendapatkan sertifikat halal sehingga bisa mencantumkan label
halal pada kemasannya. Terkait pengaturan mengenai pencantuman
label halal tersebut merupakan kewenangan dari BPOM, dengan kata
lain Kementerian Agama harus menyinergikan peraturannya dengan
BPOM terkait pencantuman label halal ini.
Selain dengan BPOM, tentunya BPJPH juga harus
menyinergikan peraturannya dengan kementerian-kementerian dan
lembaga terkait lainnya, hal ini memerlukan proses yang cukup panjang
dan membutuhkan waktu yang lama.
Pada dasarnya yang menjadi masalah paling utama adalah saat
memperjuangkan UU JPH, apakah pengaturan tentang jaminan produk
halal ini akan diatur oleh negara atau tidak. Perjuangan pembuatan UU

69 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
104

JPH ini karena memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar tahun
2004 hingga diterbitkan undang-undangnya pada tahun 2014. Terdapat
beberapa pihak yang menentang dan tidak setuju dengan pembuatan UU
JPH ini, para penentang tersebut beralasan bahwa jaminan produk halal
ini tidak penting dan tidak perlu diatur, sehingga menyebabkan proses
pembuatan UU JPH ini menjadi sangat lama. Sedangkan untuk
pembuatan peraturan pemerintah sendiri yang menjadi masalah, yaitu
harus menyinergikan dan menyinkronkan peraturan antar
kementerian/lembaga terkait.70

70 Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang

Pengawasan Jaminan Produk Halal Pusat, Interview Pribadi, Jakarta, 2 Agustus 2019.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan Penulis berkaitan dengan
kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan JPH dan kendala-kendala yang
menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan JPH, maka dapat
disimpulkan suatu jawaban dari permasalahan yang ada, yaitu:
1. Persiapan-persiapan yang telah dilakukan oleh BPJPH dalam
menyelenggarakan Jaminan Produk Halal, diantaranya sebagai berikut:
a. Peraturan-Peraturan
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Jaminan Produk Halal, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dari
Jaminan Produk Halal ini akan diatur dengan Peraturan Menteri.
b. Infrastruktur
Guna memberikan pelayanan secara manual, pemerintah
membangun Gedung untuk BPJPH di Pondok Gede. Namun, untuk
sementara waktu kegiatan operasional BPJPH akan dilakukan di
Gedung Kemeterian Agama Jl. M.H. Thamrin dan Jl. Lapangan
Banteng Utara. Dikarenakan gedung yang dipersiapkan untuk
BPJPH masih belum dapat digunakan untuk melakukan kegiatan
operasionalnya.
c. Sistem Layanan
BPJPH menggunakan sistem layanan berbasis online dan
manual. Sistem layanan online BPJPH, SIHalal, saat ini masih
dalam pengembangan sehingga belum dapat digunakan untuk
melakukan pendaftaran. Salah satu alasan yang menghambat
“SIHalal” belum diluncurkan adalah Peraturan Menteri Keuangan

105
106

mengenai tarif atau biaya sertifikasi halal yang belum diterbitkan.


Mengenai pendaftaran sertifikasi halal secara manual, pelaku usaha
dapat mendatangi Kementerian Agama, Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi dan Kantor Kementerian Agama di
setiap Kabupaten/Kota.
2. Adapun kendala-kendala yang menghambat BPJPH dalam menyiapkan
penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, diantaranya sebagai berikut:
a. Kendala Internal
Untuk sampai ke tahap penerbitan UU JPH butuh proses yang
panjang dan memakan waktu yang cukup lama sekitar 10 tahun.
Dikarenakan ketika Rancangan UU JPH diajukan ke DPR terdapat
beberapa pihak yang tidak menyetujui UU JPH untuk diterbitkan,
mereka menganggap hal ini tidak terlalu penting untuk diatur.
Padahal jelas sekali bahwa pengaturan mengenai produk halal ini
sangat penting, mengingat mayoritas penduduk di Indonesia
beragama Islam, guna kenyamanan dan keamanan masyarakat
dalam mengonsumsi produk. Setelah melalui diskusi yang panjang
dan cukup lama, berkali-kali keluar masuk DPR, UU JPH akhirnya
disetujui dan dapat diterbitkan pada tanggal 17 Oktober 2014.
b. Kendala Eksternal
Dalam hal penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, BPJPH
bekerja sama dengan banyak kementerian, untuk menjalin kerja
sama tersebut BPJPH harus menyinkronkan dan menyinergikan
peraturan-peraturannya dengan peraturan kementerian dan/atau
lembaga terkait. Hal ini tidak mudah, mengingat banyaknya pihak
yang bekerja sama dengan BPJPH, sehingga untuk memastikan
kesepakatan kedua belah pihak membutuhkan waktu yang cukup
lama dan mengakibatkan terhambatnya penerbitan PP Nomor 31
Tahun 2019 sebagai peraturan pelaksana dari UU JPH.
Terlambatnya penerbitan peraturan pelaksana dari UU JPH ini,
dapat mengakibatkan terhambatnya penyelenggaraan Jaminan
107

Produk Halal. Padahal seharusnya tanggal 17 Oktober 2019 BPJPH


sudah harus siap untuk menerima pengajuan permohonan sertifikasi
halal, namun hingga saat ini BPJPH belum bisa sepenuhnya
melayani pendaftaran sertifikasi halal.

B. Rekomendasi
Terdapat beberapa poin yang ingin Penulis tambahkan berkaitan
dengan upaya untuk memaksimalkan penyelenggaraan Jaminan Produk
Halal di Indonesia, diantaranya yaitu:
1. Peraturan Perundang-undangan
a. Peraturan Menteri yang diamanatkan oleh UU JPH lebih baik untuk
secepatnya diterbitkan, terutama Peraturan Menteri Keuangan
mengenai biaya pendaftaran sertifikasi halal agar pelaku usaha
dapat segera mendaftarkan produk mereka ke BPJPH.
b. Selain itu, Peraturan Menteri mengenai registrasi LPH dan Auditor
Halal lebih baik untuk segera diterbitkan, guna menjadi dasar bagi
BPJPH untuk mengakreditasikan LPH dan Auditor Halal, sehingga
tidak hanya LPPOM MUI yang menjadi LPH, namun lembaga lain
yang memenuhi persyaratan dan ketentuan bisa menjadi LPH.
2. Infrastruktur
Diharapkan untuk segera menyelesaikan persiapan Gedung BPJPH,
serta perlu adanya pemberdayaan di Kanwil Kementerian Agama
Provinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, untuk
membantu peranan BPJPH dalam sertifikasi halal.
3. Sistem Layanan
Akan lebih baik jika BPJPH segera meluncurkan sistem layanan
berbasis online menggunakan versi mobile, agar lebih memudahkan
pelaku usaha dalam mengakses “SIHalal”. Untuk konsumen, akan lebih
mudah jika terdapat aplikasi khusus yang dapat mengecek nomor
registrasi sertifikat halal dari produk tersebut melalui barcode yang
terlampir para kemasan produk.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan


Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016.

Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAS, 2008.

Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Cet. Keempat, Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2008.

Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk


Halal, Cet. Pertama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Mesraini, dkk, Islam dan Produk Halal (Serial Khutbah Jum’at). Jakarta:
Departemen Agama RI, 2007.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.

Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika). Jakarta: Gaung
Persada Press Group, 2013.

Jurnal dan Penelitian yang Dipublikasikan

Kartika Zahriyah, Esty dan Indri Wardani, Afiati, “Faktor-Faktor Penghambat


Perumusan Rancangan Undang-Undang Perdagangan di Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia”, FISIP UI, 2013.

LPPOM MUI, Term Of Reference Pelatihan 2019 LPPOM MUI, 2019.

LPPOM-MUI, Sistem Pelayanan Sertifikasi Halal Online (CEROL-SS23000),


2017.

108
109

Sekretaris LPPOM MUI Jawa Tengah, dalam presentasi tentang “Pedoman


Sertifikasi Halal”.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Interview

Interview Pribadi dengan Lady Yulia, Kepada Sub Bidang Pengawasan Lembaga
Pemeriksa Halal dan Auditor Halal Bidang Pengawasan Jaminan Produk
Halal Pusat, Jakarta, 2 Agustus 2019.

Berita dan Internet

Begini Proses Sertifikasi Halal Menurut BPJPH,


https://khazanah.republika.co.id/berita/q028dl313/begini-proses-
sertifikasi-halal-menurut-bpjph diakses pada tanggal 28 Oktober 2019.

BPJPH Dinilai Belum Siap Layani Pengurusan Sertifikat Halal,


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191021113744-92-
441455/bpjph-dinilai-belum-siap-layani-pengurusan-sertifikat-halal diakses
pada tanggal 22 Oktober 2019.

BPJPH Menanti Keputusan MenKeu Soal Tarif Sertifikasi,


https://khazanah.republika.co.id/berita/pzrrvs313/bpjph-menanti-keputusan-
menkeu-soal-tarif-sertifikasi diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.

Bukan Lagi MUI, Ini Fakta Soal Sertifikasi Halal Dialihkan ke BPJPH,
https://economy.okezone.com/read/2019/10/18/320/2118728/bukan-lagi-
110

mui-ini-fakta-soal-sertifikasi-halal-dialihkan-ke-bpjph diakses pada tanggal


25 Oktober 2019.

Fokus Gelar Pembinaan, BPJPH Prioritaskan UMK,


https://republika.co.id/berita/pzljca384/fokus-gelar-pembinaan-bpjph-
prioritaskan-umk diakses pada tanggal 26 Oktober 2019.

Halal Corner Nilai BPJPH Belum Siap Bertugas Selenggarakan Sertifikasi Halal,
https://www.islampos.com/halal-corner-nilai-bpjph-belum-siap-bertugas-
selenggarakan-sertifikasi-halal-169173/ diakses pada tanggal 22 Oktober
2019.

Halal Institute: Kepastian Tarif Sertifikasi Halal Oleh BPJPH Harus Segera
Diselesaikan, https://indonesiainside.id/news/nasional/2019/10/19/halal-
institute-kepastian-tarif-sertifikasi-halal-oleh-bpjph-harus-segera-
diselesaikan diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.

Kewajiban Sertifikasi Halal, GAPPMI: Tak Boleh Ada Penindakan,


https://www.voaindonesia.com/a/kewajiban-sertifikasi-halal-gappmi-tak-
boleh-ada-penindakan-/5130205.html diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.

Kewajiban Sertifikasi Resmi Halal Berlaku, Bagaimana Nasib UMKM?,


https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50080006 diakses pada tanggal 25
Oktober 2019.

Kunjungan Rasmi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH),


Kementerian Agama, Republik Indonesia ke Bahagian Hab Halal, JAKIM.
http://www.islam.gov.my/en/berita-semasa/25-bahagian-hab-halal/1480-
kunjungan-rasmi-dari-badan-penyelenggara-jaminan-produk-halal-bpjph-
kementerian-agama-republik-indonesia-ke-bahagian-hab-halal-jakim, 13
Oktober 2018.
111

Pengertian Dasar Hukum, Bentuk Dasar Hukum, dan Perbedaannya,


http://suara1996.blogspot.com/2019/01/pengertian-dasar-hukum-bentuk-
dasar.html?m=1, 03 Oktober 2019.

Profil Bagian Hab Halal, JAKIM, http://www.islam.gov.my/bahagian-hab-


halal/200-visi-misi-dan-objektif, 13 Oktober 2018.

Prosedur Sertifikasi Halal,


http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/pag
e/1,10 Januari 2019.

Sertifikasi Halal MUI,


http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/pag
e/1, 1 April 2019.

State Of The Global Islamic Economy 2017/2018,


https://www.slideshare.net/EzzedineGHLAMALLAH/state-of-the-global-
islamic-economy-20172018, 23 Juli 2018.

Strategi BPJPH Geliatkan Sosialisasi,


https://khazanah.republika.co.id/berita/pzyrt0313/strategi-bpjph-geliatkan-
sosialisasi diakses pada tanggal 26 Oktober 2019.

Tentang LPPOM MUI,


http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/pa
ge/1 , 1 April 2019.

Tren Halal, Peluang Ekonomi yang Seharusnya Diperhatikan, dari


http://www.nu.or.id/post/read/82276/tren-halal-peluang-ekonomi-yang-
seharusnya-diperhatikan , 21 Juli 2018.
112

LAMPIRAN - LAMPIRAN
113

Bahan Wawancara

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)

Nama Nara Sumber : Lady Yulia, S. Si., M. Si.


Jabatan : Kepala Subbidang Pengawasan Lembaga Pemeriksa
Halal dan Auditor Halal
Tanggal/Waktu : 2, Agustus 2019/ 13.00-14.00 WIB

1. Apa visi dan misi dari BPJPH?


Masih terdapat perubahan pada visi dan misi dari BPJPH, namun
untuk visi BPJPH saat ini untuk menjadi penyelenggara produk halal
terkemuka di dunia. Sedangkan, untuk misi dari BPJPH masih belum dapat
dipastikan.
2. Pada Pasal 29 UU JPH, “Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh pelaku
usaha secara tertulis kepada BPJPH”, apakah pengajuan sertifikasi halal
dilakukan secara online atau manual? Apakah sistem CEROL SS23000
yang sebelumnya dikembangkan oleh LPPOM MUI akan tetap digunakan
sebagai situs online pengajuan permohonan sertifikat halal oleh BPJPH?
Dalam regulasi diterangkan bahwa permohonan sertifikat halal bisa
dilakukan secara manual dan online. BPJPH memang lebih diarahkan
untuk melakukan sistem layanan secara online, namun jika pelaku usaha
ingin mengajukan permohonan secara manual BPJPH tetap dapat
melayaninya. Terkait sistem layanan secara online, saat ini sedang
disiapkan oleh BPJPH. Mengenai CEROL, ada proses bisnis yang berbeda
dari layanan sertifikasi halal sebelum UU JPH terbit dan setelah UU JPH
ditetapkan. Oleh karenanya, sistemnya juga akan berbeda (dari CEROL),
dan akan berganti ke sistem yang baru.
3. Pada Pasal 37 UU JPH, dijelaskan BPJPH menetapkan bentuk label halal
yang berlaku nasional. Apakah BPJPH akan menetapkan bentuk label halal
yang berbeda dengan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh MUI atau akan
114

menggunakan label halal yang baru? Bagaimana dengan pelaku usaha yang
telah menggunakan label halal terdahulu?
Mengenai label halal yang baru akan diberlakukan setelah BPJPH
beroperasi, terkait bagaimana implementasinya kepada pelaku usaha untuk
pencantuman label halal terdapat penyesuaian. Jika ternyata ada pelaku
usaha yang telah terlanjur mencetak label yang lama pada kemasan
produknya, maka BPJPH akan memberikan waktu untuk pelaku usaha
tersebut untuk tetap menggunakan label yang lama hingga masa berlakunya
habis. BPJPH akan memberikan toleransi kepada pelaku usaha yang masih
menggunakan label yang lama.
Untuk saat ini, label halal yang digunakan masih label halal yang
lama, yaitu label halal dari MUI. Jika label halal dari MUI masih sesuai
dengan ketentuan, maka label yang baru belum boleh untuk dikeluarkan.
4. Berapa kisaran biaya yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha untuk
mengajukan permohonan sertifikat halal? Dalam hal pelaku usaha termasuk
dalam golongan mikro dan kecil, untuk biaya sertifikat halal dapat
difasilitasi oleh pihak lain, bagaimana cara pelaku usaha tersebut bisa
mendapatkan fasilitas ini?
Terkait masalah biaya, nantinya akan diatur oleh Peraturan Menteri
Keuangan. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk saat ini belum
bisa disampaikan jika belum dikeluarkan keputusannya. Meskipun
rancangan dari Peraturan Menteri Keuangan ini sudah ada, namun belum
bisa dipublikasikan hingga resmi diterbitkan keputusannya oleh
pemerintah.
Untuk pelaku usaha yang termasuk dalam golongan mikro dan kecil
nantinya akan mendapatkan fasilitasi. Fasilitasi ini nantinya akan dibantu
melalui bagian CSR, bagian CSR ini nantinya akan bekerja sama dengan
pemerintah daerah. Pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya bisa
memberikan fasilitas kepada pelaku usaha. Untuk saat ini aturan mengenai
hal ini belum diterbitkan, namun biasanya fasilitasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah ini merupakan salah satu program dari pemerintah
115

daerah. BPJPH akan bekerja sama dengan pemerintah daerah atau pihak
lain yang memfasilitasi pelaku usaha.
Nantinya pelaku usaha bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah
terkait fasilitas sertifikasi halal. Jadi, kerja sama BPJPH dengan
pemerintah daerah itu bagaimana memberi ruang untuk fasilitasi sertifikasi
halal ini. Fasilitas ini bisa berupa pembiayaan sertifikasi halal, maupun
berupa sosialisasi kepada pelaku usaha mengenai persyaratan dan
prosedur untuk mendapatkan sertifikat halal.
5. Terkait pengawasan, apakah terdapat lembaga khusus yang bertugas
mengawasi jaminan produk halal atau bagian khusus dari BPJPH?
BPJPH mempunyai bagian tersendiri di bidang pengawasan, yaitu
Pusat Pembinaan dan Pengawasan yang berada di Gedung Kementerian
Agama Jl. M.H. Thamrin di lantai 20. Bidang pengawasan ini bertugas
untuk mengawasi penyelenggaraan jaminan produk halal, seperti
pengawasan terhadap LPH, auditor halal, pelaku usaha, penyelia halal,
dan produk yang bersertifikat halal.
BPJPH dapat melakukan pengawasan dengan kementerian terkait
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Nantinya kementerian-
kementerian terkait dapat memberikan rekomendasi kepada BPJPH terkait
hasil pengawasan yang telah dilakukannya terhadap penyelenggaraan
Jaminan Produk Halal. Kementerian terkait yang dimaksud telah
dijelaskan dalam PP Nomor 31 Tahun 2019, seperti Kementerian
Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan lain-lain.
6. Terkait sanksi yang ada pada UU JPH, apakah pelaku usaha bisa dijatuhkan
hukuman pidana penjara jika ternyata melanggar ketentuan yang ada pada
undang-undang tersebut?
Pelaku usaha biasanya tidak dijatuhkan hukuman pidana penjara,
namun dapat dikenakan sanksi administratif. Mengenai hukuman pidana
penjara bisa dikenakan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan proses Jaminan Produk Halal yang tidak menjaga
116

kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan


pelaku usaha, seperti yang tercantum dalam UU JPH Pasal 57.
Sanksi akan diberikan kepada pelaku usaha jika melanggar ketentuan
yang tercantum dalam UU JPH maupun peraturan pelaksana dari BPJPH.
Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan nantinya tergantung pada hasil
pengawasan yang dilakukan oleh BPJPH dan kementerian terkait lainnya.
Berdasarkan hasil pengawasan ini, nantinya akan muncul rekomendasi
sanksinya apa yang akan diberikan kepada pelaku usaha.
Sanksi yang akan diberikan kepada pelaku usaha akan diberikan
secara bertahap, yaitu: (1) teguran lisan, (2) peringatan tertulis, (3)
pencabutan sertifikat halal, (4) denda administrasi, (5) penarikan barang
dari peredaran. Ketika pelaku usaha melakukan pelanggaran dan telah
ditegur secara lisan namun tidak dihiraukan, maka akan diberikan
peringatan secara tertulis. Jika pelaku usaha tidak mengindahkan juga,
maka bisa dilakukan pencabutan sertifikat halal dan penarikan barang dari
peredaran.
Untuk teguran lisan, peringatan tertulis, dan pencabutan sertifikat
halal dapat dilakukan oleh BPJPH. Karena dalam hal ini BPJPH yang
memiliki kewenangan untuk menerbitkan sertifikat halal, maka BPJPH
harus melakukan pengawasan secara langsung terkait hal tersebut dan
berhak untuk melakukan pencabutan sertifikat halal jika pelaku usaha
terbukti melakukan pelanggaran dan telah diberikan sanksi secara
bertahap.
Terkait penarikan barang dari peredaran, dilakukan jika produk
tersebut dianggap membahayakan. Yang memiliki kewenangan untuk
melakukan penarikan barang adalah BPOM. Mengingat BPOM yang
memiliki kewenangan untuk memberikan izin edar, maka BPOM juga yang
dapat menarik barang dari peredaran. Mengenai hal ini, BPJPH dapat
memberikan rekomendasi hasil pengawasan kepada BPOM mengenai
produk yang harus dilakukan penarikan. Dan nantinya BPOM yang akan
melakukan penarikan terhadap barang tersebut. Ini yang dinamakan
117

BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, yang mana
pekerjaan terkait hal tersebut dikembalikan kepada tugas masing-masing.
7. Sejauh mana persiapan yang sudah dilakukan oleh BPJPH untuk
menyelenggarakan jaminan produk halal?
Saat ini persiapan yang telah dilakukan oleh BPJPH terkait regulasi,
yaitu telah diterbitkan UU JPH dan PP Nomor 31 Tahun 2019. Mengenai
proses bisnis atau tata cara dari setiap prosesnya, nantinya akan diatur
dalam Peraturan Menteri Agama tentang penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal yang saat ini sedang dalam proses finalisasi.
Terkait penyiapan layanan secara manual dan online, untuk manual
BPJPH telah menyiapkan formulir-formulir untuk pendaftaran. Sedangkan
untuk layanan secara online, yang disebut SIHalal, masih dalam proses
pengembangan. Saat ini, aplikasi SIHalal sedang dalam penyesuaian
dengan proses bisnisnya.
8. Apa saja kendala-kendala yang menghambat dalam menyiapkan
penyelenggaraan jaminan produk halal?
UU JPH ini diperjuangkan selama 10 tahun di DPR, karena tidak
semua pihak mau Jaminan Produk Halal ini dilaksanakan. Padahal di
Indonesia dominan masyarakat muslim, namun dominan masyarakat
muslim ini tidak dapat berbuat banyak di negaranya sendiri. Butuh
perjuangan yang cukup panjang sampai akhirnya UU JPH ini diterbitkan.
Salah satu yang menjadi alasan kenapa PP tidak diterbitkan sesuai
yang diamantkan UU JPH, atau Rancangan Peraturan Menteri tidak
segera diterbitkan, yaitu karena hal ini memiliki kompleksitas yang tinggi.
Misalnya, BPOM ruang lingkupnya terkait barang kemasan, dan dibatasi
untuk makanan, obat, kosmetik. Sedangkan, untuk BPJPH ruang
lingkupnya luas, yaitu makanan, minuman, obat, kosmetik, produk rekayasa
genetika, produk kimia, produk biologi, dan barang gunaan. Karena ruang
lingkup dari BPJPH luas, maka kerja sama antara BPJPH dengan
kementerian dan lembaga terkait lainnya juga luas.
118

Dalam PP Nomor 31 Tahun 2019, telah diatur mengenai kerja sama


antara BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait. Terdapat
sekitar 12 kementerian terkait yang bekerja sama dengan BPJPH, seperti
Kementerian Dalam Negeri. Untuk bekerja sama dengan pemerintah
daerah, maka BPJPH harus terlebih dahulu bekerja sama dengan
Kementerian Dalam Negeri. Untuk menyinergikan regulasi bukanlah
pekerjaan yang mudah, karena membutuhkan proses yang cukup panjang.
Pada dasarnya, yang sulit adalah ketika memperjuangkan UU JPH,
apakah hal ini akan diatur oleh negara atau tidak. Setelah UU JPH terbit,
maka tinggal mengatur bagaimana menyinergikan dan mengoordinasikan
antar kementerian, agar pelaku usaha nantinya mudah untuk melakukan
proses pengajuan sertifikasi halal. Misalnya, pelaku usaha telah
mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH, maka pelaku usaha harus
melaporkan kepada BPOM bahwa ia sudah diperbolehkan untuk
mencantumkan label halal pada kemasan produknya. Terkait bagaimana
pengaturan pencantuman label halal tersebut merupakan kewenangan dari
BPOM. Hal ini berarti harus adanya sinergisitas antara Kementerian
Agama dengan BPOM. Begitu juga dengan Kementerian Kesehatan yang
memiliki aturan yang detail dan rumit, maka harus disinergikan. Hal ini
yang membuat peraturan pelaksana dari UU JPH membutuhkan waktu
yang lama dalam pengerjaannya.
119
120

Anda mungkin juga menyukai