Anda di halaman 1dari 140

KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014

(UU-JPH)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :
ALFIDA MIFTAH FARHANAH
11150490000096

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019 M
KEWENANGAN BPJPH DAN MUI DALAM SERTIFIKASI HALAL
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG JAMINAN PltODUK HALAL (UU-JPH)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Saijana Hukum (S.H.)

Oleh:
Alfida Miftah Farhanah
11150490000096

Dosen Pembimbing

Pembimbing I
Pembimbing II

Mu’min Roup, .A. Dr. Alimin, M.Ag


NIP. 19700416 g99703 1 NIP. 19690825 200003 1 001
004

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
IAKARTA
1441 H/2019 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang bejudul “Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal
berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 (UU-JPH)” yang ditulis oleh
Alfida Miftah Farhanah, NJM 11150490000096, telah diajukan dalam sidang
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum pada Juin’at, 08 November 2019. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sajana Hukum
(S.H.) pada Program Studi Hukum Ekonomi Shariah Fakultas Shariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, November 2019


lW<ng€sahkao
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Charlie, S.Ag.,S.H.,1k H.,W 4.


NIP. 19760807 200312 1 001

Panitia Sidang
Ketua
A.M Hasan Ali. M.A.
NIP. 19751201 200501 1 005

Sekretarts : Dr Abdurrauf Le. M A.


NIP. 19731215 200501 1 002

Pembimbing I : Mu’min Roup M A.


NIP. 19700416 199703 1 004

Pembimbing II : Dr. AliminN Ag


NIP. 19690825 200003 1001

Penguji I : Mustolih Siradi. S H I M R CLA


NlDN. 2009088001

Penguji II : Fathudin.S H.l. S.H JVL A Hum M H (.......


NIP. 19850610 201903 1 007
Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Skripsi ini merupakan hasil karya as!i saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan tlalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, November 2019

Alfida Alif h Farhana


ABSTRAK
Alfida Miftah Farhana, NIM 11150490000096 “Kewenangan BPJPH
dan MUI dalam Sertifikasi Halal berdasarkan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2014 (UU-JPH)”. Skripsi, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 1441 H/ 2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan kewenangan BPJPH
dan MUI dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. dan
efektifitas sertifikasi halal yang dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2014 ketika saatnya tiba bahwa Undang-undang ini akan sepenuhnya
dilaksanakan pada 17 Oktober 2019.
Metode yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif dan
library reaserch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku, jurnal, dan kitab-kitab yang berkaitan dengan skrispi.
Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi dan wawancara. Data yang
terkumpul diolah serta dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan melakukan
wawancara kepada pihak terkait dan menggunakan buku, jurnal dan hasil
penelitian sebelumnya.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa (1) Menunjukan perubahan
kewenangan bahwa pengaturan kewenangan penerbitan sertifikat jaminan produk
halal setelah dibentuk BPJPH pengajuan sertifikat jaminan produk halal diajukan
ke BPJPH yang sebelumnya di ajukan ke MUI, Penelitian menunjukan bahwa
mekanisme yang akan dijalani oleh pelaku usaha baik produk makanan lokal
maupun impor untuk mendapatkan sertifikat halal diawali dengan pengajuan
Sertifikat Halal kepada BPJPH. (2) Hasil dari makalah ini menunjukkan bahwa
UU Jaminan Produk Halal memiliki banyak masalah sebelum diterapkan
sepenuhnya pada Oktober 2019. Pertama, struktur Undang-undang ini tidak siap
untuk menjalani sistem proses halal. Kedua, substansi Undang-undang Jaminan
Produk Halal itu memberatkan dan agak membebani dan tidak lengkap karena ada
banyak peraturan pendukung yang belum disahkan.

Kata kunci : Kewenangan, BPJPH, MUI, Sertifikasi Halal

Pembimbing : Mu’min Roup, M.A


Dr. Alimin, M.Ag

Daftar Pustaka : 1999 s.d 2016

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbal‘alamiin puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat serta taufik hidayahnya sehingga penyusun bisa
menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah m
Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri sendiri. Dalam arti, penyusun banya
Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan hidayah- Nya kepada seluruh hamba nya, ser
Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.A., M.H. selaku Dekan
FakultasSyariahdanHukumUniversitasIslamNegeriSyarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak AM. Hasan Ali, M.A., dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Kepala Jurusan dan Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi Syariah yang
telah membantu banyak hal kepada penulis.

4. Bapak Mu’min Roup, M.A. dan Dr. Alimin selaku Dosen pembimbing
dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan
dan arahan kepada penulis, serta Ikhlas meluangkan waktunya untuk
membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat

vi
membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semoga apa
yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari Allah
SWT, aamiin yaa rabbal’alamiin.

5. Pimpinan, Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah


dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan Fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi
kepustakaan.

Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Asatidz wal Asatidzah yang tidak bias saya sebutkan sa
Bapak Aminudin Yakub selaku Anggota Komisi Fatwa MUI yang telah meluangkan waktu serta memberi ke
Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Wawan Gunawan dan Ibunda Siti Maqbulah beserta K
moril maupun materil. Dengan Do’a yang kalian panjatkan akhirnya

penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.

9. Kepada sahabat-sahabat perjuanganku Ukhti Ahsanti Salsabila, Rizki


Amalia, Adinda Fajri Aulia, Dhea Surya Adhi Putri, Rifka Anistiani dan
Syafira Zein yang telah memberikan support kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.

vii
10. Kepada Naylul, Zibon, Adul, Tia, Gojin dan kepada Hasbialloh yang
selalu menghibur dan memberi semangat serta do’a yang tak pernah
bosan kepada penulis.

11. Kepada Maya, Sari, Fira, Lili dan juwita dan koprs Berkah yang selalu
menghibur dan memberi semangat serta do’a yang tak pernah bosan
kepada penulis.

Kepada teman-teman Jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2015, terimakasih atas bantuan, doa serta d
Kepada teman-teman KKN INFINITY 2015 khususnya Suci Gusrianti Hasani, Raghda Na’im, Zhia Aulia Na
Kanda-kanda dan Yunda-yunda seluruh anggota organisasi penulis yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

15. Kepada Abang Mpok Forum Komunikasi Mahasiswa Attaqwa (FKMA)


Jakarta Raya. Terimakasih telah memberi semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan tulisan ini dari kalian saya belajar arti
kekeluargaan. Semoga Allah mengizinkan semua mimpi-mimpi kita
menjadi nyata, dan semoga kita dipertemukan di mana tempat dan
suasananya yang berbeda, Aamiin yaa rabbal’alamiin.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan

viii
karunia-Nya. Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat
dan kebaikan bagi banyak pihak demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah
di hadapan Allah SWT. Aamiin.

Billahi Taufiq Wal Hidayah...

Jakarta, November 2019

Alfida Miftah Farhana

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................iii
PENGESAHAN PENGUJI....................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................v
KATA PENGANTARvi
DAFTAR ISIx
DAFTAR GAMBARxii
BAB IPENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah1
Identifikasi Masalah6
Batasan dan Rumusan Masalah7
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian8
Tinjauan Kajian Terdahulu9
Metode Penelitian11
Sitematika Penulisan17
Kerangkat Teori18
Kerangka Konseptual19
BAB IIKAJIAN TEORI
Penjelasan Kewenangan20
Sertifikasi Halal24

BAB III TINJAUAN UMUM PROFIL LEMBAGA40


A. Gambaran Umum Tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH)....................................................................39
B. Gambaran Umum Tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI)..........45
C. Sertifikasi Halal di Indonesia...........................................................47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN54
A. Analisis Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal
berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014......................53
x
B. Analisis Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal setelah
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014......................68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................77
B. Saran.................................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................79
LAMPIRAN

xi
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1.1 Daftar Nama Sebagai Sumber Data Wawancara......................15


2. Gambar 2.1 Skema Fungsi Pemerintah........................................................23
3. Gambar 3.1 Struktur BPJPH........................................................................43
4. Gambar 3.2 Lembaga-lembaga Sertifikasi Halal.........................................49
5. Gambar 4.1 Tabel Perubahan BPJPH..........................................................57
6. Gambar 4.2 Tabel Perubahan MUI63

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.
Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani
serta rohaninya. Sejak dulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda
dalam persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh.1 Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai ummat muslim memilih makanan yang
Halal dan haram merupakan hal yang paling penting dalam syariat Islam, karena merupakan bagian substans

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan be
Ayat tersebut memberikan perintah yang jelas untuk memilih

makanan dengan kriteria yang halal dan thoyyib. Kehalalan suatu


makanan minimal dapat di nilai dari beberapa aspek, yaitu: pertama,
halal dalam cara memperolehnya, yaitu diperoleh dari rezeki yang halal

1
Yusuf Qaradhawi, “Halal dan Haram” (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), hal. 45
2
M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan hukum,
2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU
No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015). h. 2
3
QS. Al-Baqarah ayat : 172

1
2

dan dibenarkan dalam Syariat Islam. Kedua, halal zat atau bahan
dasarnya. Pada dasarnya seluruh yang ada di alam ini halal untuk
dikonsumsi kecuali beberapa jenis hewan dan tumbuhan yang
diharamkan dalam Al-Qur’an, yaitu: bangkai, darah, daging babi,
sembelih atas nama selain Allah, dan hewan yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas kecuali yang
sempet disembelih.

Dan jenis nabati yang diharamkan adalah khamr. Ketiga, halal dalam proses pengolahan. Dalam proses peng
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia dan lebih dari 87% penduduknya a
jawab besar melindungi masyarakat serta keseluruhan, terutama

konsumen atas kehalalan produk-produk yang beredar dan dipasarkan.

Mengonsumsi makanan halal merupakan kewajiban agama yang


bernilai ibadah, memberikan kebaikan bagi kehidupan di dunia dan
akhirat dan manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat-
Nya. Sebaliknya, mengonsumsi makanan haram merupakan kemaksiatan,

4
Muahmmad Aziz, “Perspektif Maqashid Al-Syariah Dalam Penyelenggaraan Jaminan
Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undangundang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal”, AL-HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, Volume 7, Nomor 2, (September,
2017), h.4.
3

mendatangkan keburukan, dan bentuk ketundukan kepada setan.5


Makanan memberikan pengaruh baik secara fisik dan psikis manusia. Hal
tersebut karena makanan yang dikonsumsi akan dicerna oleh tubuh,
diserap gizinya, dan diedarkan ke seluruh tubuh manusia. Ini berarti,
makanan yang telah diproses sistem pencernaan akan mengalir dari ujung
rambut ke ujung kaki menjadi energi yang menggerakkan aktivitas
manusia.

Konsumsi produk halal merupakan kewajiban setiap muslim, dalam persoalan ini juga aktif hadir berkontribu
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Isl
untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini

hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus
melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan
produknya kembali.

5
Memakan makanan yang halal merupakan wujud syukur atas nikmat Allah sebagaimana
disebut dalam QS. Al-Nahl [16]: 114
6
Wiku Adi Sasmito, “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam
Labeling Obat dan Makanan”, Case Study: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.
4

Pengaturan pemeriksaan sertifikasi halal pada awalnya merupakan


keuntungan dari Kementerian Agama. Kementerian Agama telah
mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang
pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
Selanjutnya ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No 519
Tahun 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksa Pangan Halal.

Kenyataan yang demikian itu dalam implementasi sehari-hari, bagi


umat Islam di Indonesia, butuh jaminan atas makanan yang ia konsumsi. Jaminan yang dimaksud adalah usah
Dalam perkembangannya pengaturan sertifikasi halal selama ini masih terkesan sektoral, tidak sistematik da
diatur secara khusus dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal.7

Berdasarkan pasal 5 UUJPH penyelenggaraan jaminan produk


halal merupakan tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini dilaksanakan

7
Susilowati Suparto, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan
Sertifikasi Halah Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia”, (Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran, Bandung Jalan Dipati Ukur Nomor 35 Bandung, Jawa
Barat), Jurnal MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, h.428
5

oleh Kementrian Agama.8 Untuk melaksanakan penyelenggaraan jaminan


produk halal tersebut pemerintah membentuk Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kementerian Agama. BPJPH dalam
penyelenggaraan jaminan produk halal diberikan kewenangan untuk
menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada suatu
produk, yang mana kewenangan ini sebelumnya dilaksanakan oleh
LPPOM-MUI.

Selanjutnya dengan adanya pemberlakuan UUJPH ini, secara kelembagaan yang pada awalnya penerbitan se
Pembentukan BPJPH sebagai upaya perlindungan konsumen terhadap konsumen sebagai suatu sistem.
merupakan suatu tatanan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian

atau unsur-unsur yang saling berkaitan, saling berinteraksi satu sama lain,
yang terorganisasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan itu.9

8
Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604)
9
Sudikno Mertokusumo, 2006, “Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar”,
Liberty, Yogyakarta, h.18.
6

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin


memaparkan tentang undang-undang sertifikasi halal yang sudah di
sahkan oleh pemerintah, Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal (UU JPH). Serta kewenangan lembaga penjamin
produk halal menurut ketentuan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014.
Maka permasalahan yang diambil berjudul: “Kewenangan BPJPH dan
MUI dalam Sertifikasi Halal Berdasarkan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2014 (UU-JPH)”.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat menidentifikasi beberapa permasalah
Jaminan kehalalan atas makanan yang di konsumsi oleh masyarakat,

Syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi halal.

Penerbitan Peraturan Pemerintah dalam pembentukan BPJPH.

Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

5. Prosedur sertifikasi halal BPJPH.

6. Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal berdasarkan


UU-JPH.

7. Efektifitas penerapan sertifikasi halal setelah Undang-undang Nomor


33 Tahun 2014.

C. Batasan dan Rumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
7

Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam


penelitian ini, maka penulis memandang permasalahan penelitian ini
perlu dibatasi. Oleh karena itu penulis hanya memfokuskan pada
masalah Undang-undang Sertifikasi halal yang sudah di sahkan di
DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum Islam dan
kewenangan BPJPH dan MUI dalam penentuan sertifikasi halal
berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2014 berlaku, serta
bagaimana prospek sertifiksai halal pada BPJPH.

aji dalam perumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:


dalam penyelenggara Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014?
si Halal Setelah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014?
litian
ngkapkan secara jelas sesuatu yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman tersebut, maka tuj

sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis kewenangan BPJPH dan MUI dalam


penyelenggara Jaminan Produk Halal sebelum dan sesudahnya
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014.

2. Untuk Menjelaskan Efektifitas Penerapan Sertifikasi Halal Setelah


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
8

Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian


pula dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Akademis

Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi atau ilmu


pengetahuan bagi kalangan akademisi institusi tentang sertifikasi
halal yang berkaitan dengan produk halal setelah berlakunya undang- undang jaminan produk halal.
Bagi penulis

Untuk menerapkan dan mempersembahkan sebuah karya tulis terhadap ilmu yang telah didapat selama perku
Manfaat Praktisi

Untuk mengetahui batasan-batasan pengkonsumsian yang benar dan halal untuk menambah keyakinan kepad
Manfaat Teoritis

Untuk mengatahui Kewenangan BPJPH dalam Penentuan Sertifikasi

Halal Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor. 33 Tahun 2014


Tentang Jaminan Produk Halal.

5. Manfaat Adjukasi

Memberikan sebuah arah kebijakan kepada pemerintah terkait


Undang-undang Jaminan Produk Halal.
9

E. Tinjauan Kajian Terdahulu


Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan
beberapa penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang penyusun
kaji tentang penyelenggara produk halal. Akan tetapi belum ada sama
sekali yang membahas secara spesifik tentang praktek dan konsep yang
sama pada penelitian ini. Berikut adalah beberapa tulisan yang
membahas tentang jaminan produk halal:

1. Jurnal yang ditulis oleh Susilowati Suparto, Konsentrasi Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum, U

2. Penelitian yang dilakukan oleh KN Sofyan Hasan, Konsentrasi Ilmu


Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya Palembang Tahun
2014. “kepastian hukum dan sertifikasi lebelisasi halal produk
pangan”. Jurnal ini membahas bahwa proses sertifikasi halal yang
selama ini dilakukan oleh MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan,

10
Susilo Suparto, “Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan
Sertifikasi Halal Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia”. Fakultas Hukum,
Unuversitas Padjajaran, Bandung. 2016.
1

Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. (LPPOM


MUI). dan Komisi Fatwa dan Labelisasi Halal yang dikelola oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah sangat tepat dan
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum produk
pangan halal sebagimana prosedur yang ada, namun ketika hal
tersebut dikaitkan dengan UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Menunjukan bahwa regulasi yang ada
masih bersifat sektoral, karena sertifikasi halal masih bersifat sukarela bagi pelaku usaha, bukan hal yang wa
3. Lalu jurnal dengan judul “ presfektif Maqasid syariah dalam penyelenggara Jaminan Produk Halal di Indo

terjamin halal, baik dari aspel dzatnya, proses dan tambahannya.


Dalam rangka mewujudkan jaminan kehalalan atas makanan yang
dikonsumsi oleh masyarakat, negara menerbitkan UU No 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal.12

11
KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk
Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2 (Mei, 2014), hlm. 229.
12
Muhammad Azis, “Perspektif Islam pada penyelenggara jaminan produk halal
sesuai Undang Undang No.33 Tahun 2014”, AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman,
Volume 7, Nomor 2, September 2017.
1

4. Skripsi M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum,


fakultas syariah dan hukum, 2015 “Kewenangan LPPOM MUI
Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU No. 33
Tahun 2014”. Membahas mengenai perubahan wewenang LPPOM
MUI sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang No.33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya Undang-
undang jaminan produk halal atau selama berlakunya 23 tahun
semenjak berdirinya LPPOM MUI, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal namun se
Metode Penelitian
Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif Tertulis adalah metode penelitian hukum terhadap a
positif yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut

maka akan mudah melakukan sistematisasi dan analisis


selanjutnya.

M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan


13

hukum, 2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca
Berlakunya UU No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015).
1

Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan


tema walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum
digolongkan sebagai data skunder. Data skunder tersebut
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi
surat-surat pribadi, buku-buku harian, UU JPH, SK Kemenag,
BPJPH, UU Perlindungan Konsumen, buku –buku yang berkenan
tentang halal dalam Islam, Pedoman Skripsi, sampai pada
dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah adapun data skunder sebagai berikut:
Surat kabar
Opini yang berhubungan tentang Jaminan Produk halal di Indonesia
BPJPH
b. Sifat penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, jenis penelitian ini menggun

kesimpulan. Proses analisa dimulai dari membaca, mempelajari


dan menelaah data yang didapat secara seksama, selanjutnya dari
proses analisa tersebut penulis mengambil kesimpulan dari
masalah yang bersifat umum kepada masalah yang bersifat
khusus.
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian kepustakaan (library research), penulis mengadakan
penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya dengan
1

penulisan skripsi ini. Literatur itu berupa buku, majalah, surat kabar,
artikel, jurnal, dan lain sebagainya. Langkah dalam melaksanakan
studi pustaka ini adalah dengan cara membaca, mengutip, serta
menganalisa dan merumuskan hal-hal yang dianggap perlu dalam
memenuhi penelitian ini.
3. Data dan Sumber Data
Yang dimaksud sumber data disini adalah subyek dari mana data
diperoleh.14
Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama dengan melalui sumber lapangan atau lembaga
Data sekunder
Data sekunder adalah data yang lebih dahulu dikumpulkan dan data yang diperoleh dari studi kepustakaan (L
ini.

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan


bahan hukum dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan
sebagai bahan hukum sekunder. Dalam melakukan penelitian ini
penulis pertama-tama memerlukan data atau

14
Winarno Surakhmad, “Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan
Teknik)”, (Bandung:Tarsindo, 1999), h. 134.
1

keterangan-keterangan yang terkait dengan permasalahan


pada penelitian. Sedangkan data yang dipergunakan penelitian ini
berasal dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat.
Dalam penulisan ini, bahan hukum primer yang digunakan
adalah:
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

3) Undang-Undang kesehatan.
Nomor36tahun2009tentang
Undang-Undang

4) Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen.
Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
518 Tahun 2001 tentang Pedoman Dan Tata Cara Pemeriksaan Dan Penetapan P

8) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan
Halal pada Label Makanan.
9) SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985 - No. 68
Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada
1

Label Makanan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
seperti berupa buku cetakan penerbit, hasil penelitian,
makalah dan jurnal serta literaatur lainnya yang relevan
dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
Berikutnya, untuk validasi data, peneliti menggunakan metode wawancara untuk menggali data dari sumber

No. Nama Jabatan Data yang diambil


Tokoh
1. Sejarah sertifikasi
halal di Indonesia
Aminudin 2. Prosedur JPH
1. Yakub, Anggota Komisi sebelum dan sesudah
M.Ag Fatwa MUI disahkannya UU No.
33 Tahun 2014
3. Perubahan
kewenangan MUI
dan Sertifikasi Halal

15
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif
(Malang : Bayu Media Publishing, 2008), h.294
1

Tabel 1.1 Daftar nama tokoh sebagai sumber data


wawancara16
4. Analisis Data
Data yang diperoleh baik data primer maupun data skunder
dikelompokkan kemudian diolah dan disusun secara sistematis
melalui tahapan-tahapan :
a. Klasifikasi Data yaitu penempatan data dan pengelompokan data
atau penggolongan data sesuai dengan pokok bahasan yang akan dibahas dalam penelitian.
Editing yaitu memeriksa dan mengoreksi kembali data yang berguna atau tidak sehingga data yang telah terk
Penyusunan data yaitu data yang telah diperiksa dan telah diklasifikasikan dan kemudian disusun secara siste
Analisa data yaitu setelah data terkumpul secara keseluruhan baik yang diperoleh dari hasil studi pustaka, kem
sistematis.

5. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan masalah yang berpacu kepada
pendekatan normatif, karena dalam penelitian ini terdapat aturan-

16
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
1

aturan tertentu dan ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap


kewenangan badan jaminan produk halal (BPJPH).
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara umum dari penelitian ini
secara menyeluruh perlu adanya sistematika penulisan yang dibuat oleh
penulis. Dengan demikian, sistematika penulisan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
BAB I Dalam bab ini merupakan gambaran umum secara keseluruhan serta bentuk
Dalam bab ini penulis akan membahas konsep sertifikasi halal meliputi kew
Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran umum yang berkaitan de
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai hasil dan

BAB II

BAB III

BAB IV

analisa dari penelitian.


BAB V Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran
yang dapat diberikan dari hasil penelitian.

H. Kerangka Teori
Teori Sistem Hukum Lawrence M Frieman
Dalam penelitian ini teori sistem hukum Lawrence M Friedman
digunakan untuk melihat problematika dari implementasi UU JPH. Dalam
1

teorinya Lawrence M Friedman mengatakan bahwa dalam sistem hukum


ada 3 elemen yang perlu diperhatikan yaitu struktur, substansi, dan budaya
hukum. Berikut akan dibahas pentingnya menggunakan pendekatan 3
elemen sistem hukum dari Lawrence M Friedman ini untuk melihat
problematika sistem hukum dari pelaksanaan jaminan produk halal.
1. Elemen pertama yang terdapat dalam sebuah sistem hukum adalah
struktur (structure). Sistem itu secara konstan terus berubah, namun
bagian-bagian dari sebuah sistem berubahnya memiliki dimensi waktu yang berada. Struktur termasuk eleme
Struktur hukum dalam hal ini adalah perangkat hukum yang berisi jumlah dan ukuran pengadilan di suatu ne
2. Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum yang ada. Hal ini dimaksudkan sebagai actual r
Dikarenakan pembahasan pada elemen sistem hukum kedua yaitu

substansi hukum menyentuh pada hukum yang hidup di masyarakat


hukum yang dalam buku, maka pernyataan tadi membawa kita kepada
3. Elemen ketiga yaitu budaya hukum. Lawrence M Friedman
menerangkan bahwa budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap
hukum dan sistem hukum. Budaya hukum juga bisa diartikan sebagai
climate of social thought (iklim dari pikiran masyarakat) dan juga
social force (kekuatan sosial) yang menentukan bagaimana hukum itu
digunakan, dihindarkan, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum,
1

sistem hukum adalah bangkai, seperti ikan yang tidak bisa berenang
bebas di dalam lautan.17
I. Kerangka Konseptual

Pelaku Usaha

Kemenag

LPH

Undang-Undang Nomor 33 Tahun


2014 (UU-JPH) BPJPH

MUI

17
Lawrence M. Friedman & Grant M. Hayden, 2017. American Law: An Introduction. 3rd
Edition. New York. Oxford University Press. hal.5-7.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Penjelasan Kewenangan
1. Pengertian Kewenangan

Berbicara tentang kewenangan maka terdapat dua jenis


kewenangan, yaitu kewenangan formal dan informal. Kewenangan
informal yaitu kewenagan yang dimiliki oleh seseorang karena berbagai sebab seperti : kharisma, kekayaan,
Dalam hal ini, penulis membahas tentang kewenangan formal yang terkait kewenangan pemerintah sebagaim
peraturan perundang-undangan yang berlaku.2

Pengertian kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa


Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan, memerintah
dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Sedangkan
menurut wiktionary adalah kekuasan yang dimiliki oleh suatu pihak

1
Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 25
2
Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 26

20
2

berdasarkan (i) tatanan moral atau kebiasaan yang berlaku, (ii) undang-
undang atau peraturan, atau ijin/lisensi yang diterbitkan oleh suatu
badan pemerintah untuk melakukan suatu usaha, kegiatan, aktifitas.3

Menurut P. Nicholai disebutkan bahwa kewenangan adalah


kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu
tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum
tertentu. Hak berisi kebebasan untuk atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut keharusan untuk m
Mengenai wewenangan, H.D Stout mengatakan bahwa kewenangan adalah pengertian yang berasal dari huku
hubungan hukum antara pemerintah dengan warga.

Selain itu, Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak


untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen yaitu meliputi
pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi), dan
pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.

Kewenangan, https://id.wiktionary.org, diakses pada tanggal 12 Oktober


3

2019 pukul 13.48.


4
Ridwan HR,” Hukum Administrasi Negara” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2016), h. 97-98.
2

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan sangat


erat kaitannya dengan penyelenggaraan administrasi negara, yaitu
pemerintah. Di dalamnya mengandung hak dan kewajiban pejabat
adminstrasi negara dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintah dengan mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat
terikat sesuai syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang. Karena
kewenangan bersumber dari peraturan penundang-undangan.

2. Kedudukan Kewenangan

Kewenangan terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu (1) pengaruh, (2) dasar hukum, dan (3) ko
Jadi kedudukan kewenangan dalam penyelenggaraan administrasi negara adalah sebagai dasar hukum (legali
melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman serta

perlindungan hukum kepada rakyat sehingga tujuan pokok dan fungsi


suatu organisasi atau pemerintah tersebut dapat tercapai.5

5
Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 27
2

Pembinaan

Pengayoman
Pemerintah Rakyat
partisipasi

Gambar 2.1. Skema Fungsi Pemerintah

Dari skema tersebut dapat digambarkan bahwa antara penguasa/ pemerintah dengan rakyat memiliki hubung
Maka dapat disimpulkan bahwa wewenang terdiri atas

sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu (1) pengaruh, (2) dasar


hukum, dan (3) konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah
bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan
perilaku subyek hukum (rakyat), komponen dasar hukum ialah
bahwa wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk dasar hukumnya,
dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard
wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta
standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
2

Jadi kedudukan wewenang atau kewenangan dalam


penyelenggaraan administrasi negara adalah sebagai dasar hukum
(legalitas) sebuah organisasi atau pemerintah dalam menjalankan
fungsinya untuk bertindak dan mengambil kebijakan dan
keputusan dalam memerintah, melakukan pembinaan dan
memberikan pengayoman serta perlindungan hukum kepada rakyat
sehingga tujuan pokok dan fungsi suatu organisasi atau pemerintah
tersebut dapat tercapai.6

Sertifikasi Halal

Pengertian Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal terdiri atas dua kata yaitu sertifikasi dan halal. Kata “sertifikasi” berasal dari bahasa inggris “
Sementara itu, kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang

berkaitan dengan hukum halal dan haram. Menurut Ibn Manzur, halal
itu berasal dari kata “al-hillu” yang berarti tidak terikat (al-thalaq).
Oleh karena itu, al-muhillu berarti orang kafir yang boleh diperangi
karena tidak terikat perjanjian damai kita. Lafazh halal merupakan
lawan dari kata “haram” , sedangkan lafazh “haram” itu pada asalnya

Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,


6

(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2005), hlm. 28


7
Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group Jakarta. Desember
2013 Cet. Pertama h.12
2

berarti mencegah atau merintangi (al-man’u). Oleh karena itu, setiap


yang diharamkan (al-muhrimu) itu menjadi tercegah atau terlarang.
Lafazh al-muhrimu merupakan lawan dari lafazh al-muhillu yang
berarti orang kafir yang berarti tidak boleh diperangi karena terikat
perjanjian damai dengan kita.8

Selanjutnya, Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti


segala sesuatu yang diharamkan Allah.9 Atas dasar itu, al-Munawi
memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang tidak diharamkan”. Maka, didalamnya terkandung sesuatu y
Sopa mengutip menurut Qal‟aji dan Qunaibi, lafazh halal itu berasal dari halla al-syay’i apabila sesuatu itu te
Dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Qardlawi tersebut terdapat dua unsur. Pertama, sesuatu yang muba
dzatnya adalah mubah. Kedua, “yang diizinkan oleh Syari‟ untuk

dikerjakan” berkaitan dengan perbuatan mukallaf yaitu mengerjakan


(fi’l al-mukallaf). Oleh karena itu, cakupan “mengerjakan” itu sangat
luas termasuk di dalamnya mengonsumsi pangan dalam upaya
memenuhi kebutuhan jasmani mukallaf.

8
Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV, h. 11
9
Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV, h.9
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz II, h.72
2

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa sertifikat halal itu merupakan proses kegiatan pembuatan surat
keterangan halal (Fatwa Halal) atas suatu produk pangan yang dibuat
secara tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai fisik yang
berwenang mengeluarkan fatwa di Indonesia. Maka, sebagai hasilnya
adalah Sertifikasi Halal yang dapat dijadikan bukti bagi perusahaan
untuk mendapatkan izin percantuman lebel halal pada kemasan
produknya dari instansi pemerintah yang berwenang dalam halal ini Badan Pengawasan Obat
2. Urgensi Sertifikasi Halal
Allah SWT melalui berbagai firman-Nya menyuruh kita untuk selalu mengonsumsi pangan y
َ‫ت ْم ِبهِ ُم ْؤ ِم ُن و َن‬
ُ ْ ‫ۚ َوا ت قَّ ُ وا ا ل َّلَه ا َّلِذ ي َأن‬ ‫با ا‬
Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan ke
Al-Maidah : 88).

Dan surat al-baqarah [2] : 168


‫ط ا ِن‬
َ ‫شْي‬
َّ ‫ط َوا ِت ا ل‬
ُ ‫طِّيبا ا َو ًَل ت َ َّتِب عُ وا ُخ‬
َ ‫نا ُس ُك ُل وا َِمِ ّا ِف اَْلْ ْر ِض َح َل ًال‬1َّ ‫َيا َأي ُّ َه ا ا ل‬ ۚ
‫ع ُد ٌّو ُم بِ ني‬َ ‫إِ َّنُه َل ُك ْم‬

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi


baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena

11
Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group
Jakarta. Desember 2013 Cet. Pertama h.12.
2

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata


bagimu.”(Q.S al-baqarah : 168).

Berdasarkan ayat tersebut, terdapat dua kriteria pangan yang kita


konsumsi yaitu halal dan thayyib. Cakupan “halal” dalam ayat tersebut
meliputi halal dari segi dzatnya yaitu pangan yang tidak termasuk yang
diharamkan dan halal dari segi cara memprosesnya. Sementara selain
itu, yang dimaksud thayyib dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah pangan yang dzatnya baik dan tid
Bersamaan dengan itu, Allah juga melarang kita untuk mengonsumsi pangan dari hasil usaha yang haram ya
tersebut dilarang hukum Syara‟ karena termasuk cara peroleh harta

yang dilakukan tanpa imbalan dan kerelaan para pihak.


Dengan demikian, kita diperinthakan untuk mengonsumsi
pangan yang halal (menurut hukum agama), dan bergizi (menurut ilmu
Kesehatan) serta diperoleh dari usaha yang halal. Bersamaan dengan
itu, kita juga dilarang mengonsumsi pangan yang diperoleh dari usaha

12
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟li Ahkam al-
Qur‟an, Juz VI, h.45
13
Al-Baqarah [2] : 168 dan . al-Mai‟dah [5] : 88
2

yang tidak halal (pangan yang haram). Oleh karena itu, pangan yang
kita konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita harus dipastikan
sengai pangan yang halal, bukan pangan yang haram. Sebab, apabila
pangan yang dikonsumsi itu adalah pangan yang haram, maka hal itu
akan berpengaruh buruk pada jasmani dan ruhaninya.14
Quraish Shihab setelah mengutip pendapat Alexis Carel,
pemenang hadiah Nobel Kedokteran, yang menyatakan perasaan
manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsinya, menegaskan, “Agakn
Menurut Rasyid Ridla, kata “rijsun” itu digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang kotor baik secara lahiriah
Tidak hanya sampai di situ, ternyata pangan yang kita konsumsi itu mempengaruhi hubungan manusia denga
haram akan menjadi penghalang diterimanya ibadah dan

dikabulkannya do‟a. Dengan demikian, jelaslah bahwa pangan yang


haram itu akan membahayakan bagi manusia yang mengonsumsinya
baik terhadap jasmaninya maupun ruhaninya. Sebaliknya, pangan yang
halal itu akan memeberi manfaat bagi manusia yang mengonsumsinya.

14
Sopa, “Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika”, Gaung Persada Press Group
Jakarta. Desember 2013 Cet. Pertama h.15.
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., Jilid IV, h.316
2

Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan hidup ini kita harus
berusaha maksimal untuk mendapatkan pangan yang halal dan
menjauhi pangan yang haram. Hal ini telah diperintahkan oleh
Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh
al-Thabrani dari Anas bin Malik r.a yang memerintah kita untuk
senantiasa mencari yang halal.
Agar dapat melaksanakan perintah Rasul tersebut dengan baik,
maka kita harus mnegetahui dan memebedakan mana yang haram dan mana yang halal. Oleh karena itu, pen
Pada dasarnya, semua jenis pangan itu halal kecuali yang secara tegas dinyatakan keharamannya baik dal
dibutuhkan penjelasan dan perinciannya adalah pangan yang haram.

Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh umat Islam itu sebenarnya


bukanlah “Sertifikat Halal”, tetapi “Sertifikat Haram”. Akan tetapi,
dalam kenyataannya di lapangan, hal tersebut tidak dapat diwujudkan.
Sebab, “Sertifikat Haram” tersebut berdampak serius baik secara
ekonomis maupun politis seperti dalam kasus Ajinomoto. Oleh karena
itu, yang diberlakukannya adalah Sertifikat Halal. Yang terakhir ini,

16
Ahmad Hushari. Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Bairut: Dar al-Jil, 1991), h.10
3

ternyata tidak menimbulkan kegoncangan bahkan dapat menentramkan


hati umat Islam.
Di samping itu, era perdagangan bebas juga telah membuka
lebar-lebar peluang ekspor produk dalam negeri kita termasuk di
dalamnya pangan olahan, obat-obatan dan kosmetika. Peluang ekspor
tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para
pengusaha kita. Dengan demikian, peluang memasuki pasar
internasioanl semakin terbuka. Hanya saja, untuk memasuki pasar tersebut para pengusaha dituntut untuk me
Ketentuan ini umumnya menjadi tuntutan di negara-negara tujuan ekspor yang berpenduduk muslim seperti S
Label halal berpedoman pada kaidah-kaidah hukum Islam, sedangkan label kosher berpedoman pada k
Yahudi. Hukum Islam mengharamkan konsumsi alkohol, anggur, dan

gelatin, sedangkan yang kedua justru membolehkannya. Sementara itu,


Hukum Islam memperbolehkan kelinci, unggus liar, ikan yang tidak
bersirip atau berisik, sedangkan hukum Yahudi Melarangnya.18
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan
halal dalam bentuk Sertifikat Halal yang dapat melindungi umat Islam

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji,


17

“Pedoman Labelisasi Halal”, (Jakarta, 2003), h.13-14


18
LPPOM MUI. “Halal dan Haram Pada Produk Sehari-Sehari”, (Pustaka Jurnal Halal,
2007), h.32-34
3

sebagai konsumen dari mengonsumsi pangan yang haram. Jaminan


tersebut tidak dapat diterima apabila dibuat dan dihasilkan pihak
produsen yang memproduksi produk pangan tersebut karena syarat
dengan berbagai kepentingan bisnis sehingga membuka peluang lebar-
lebar terjadinya manipulasi, tetapi harus dari pihak yang berkompeten
yang terjaga kredibilitas dan integritasnya seperti Majelis Ulama
Indonesia.19
3. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam
Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak dapat didasarkan ha
sangat dilarang Agama. Perhatikan firman Allah berikut:

‫ل ُوى َى قُ ْل ًِإَّ َوا َح َّر‬ ‫ىاح َش َها ظَهَ َر ِه ٌْهَا َو َها َب َط َي َوا ْ ِْل ْث َن َوا ْلبَ ْغ َي ِب َغ ْي ِر ا ْل َح ِّق َوأَ ْى تَقُىلُىا َع ِلَ َل‬
َ ‫الىها ََّل تَ ْع‬

artinya: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataup
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu

dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah


apa yang tidak kamu ketahui".(Q.S al-a’raf: 33)
Allah ta‟ala mmerintahkan kepada hamba-hambanya agar
memakan rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya.
Selanjutnya Allah Ta‟ala menrangkan makanan yang diharamkan
kepada mereka karena membahayakan mereka, baik bahaya yang

Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
19

Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika. Gaung Persada Press Group Jakarta. Desember
2013 Cet. Pertama hal. 20
3

menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang diharmkan itu


diantara nya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih
dengan menyebut nama selain Allah.
Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan
mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka
semata dan mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan
mereka dan mengharamkan nama-nama yang mereka istilahkan
sendiri, seperti bahirah, sa’ibah, washilah dan haam yang mereka ciptakan pada masa jahiliah. Maka Allah be
Atas dasar itu pennetuan halal haram hanyalah hak prerogatif Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan a
mudah dikenali, serta cara prosesnya pun bermacam-macam.

Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan


peralatan yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam
kelompok pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya. Apalagi
jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas
non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan suci atau

20
Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir
Ibnu Katsir”, jilid 2”(Gema Insani Press, 1999), h.1073-1074
3

tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang


tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.
Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah
mengetahuinya secara pasti halal tidaknya suatu produk pangan, obat-
obatan maupun kosmetika. Karena untuk mengetahui hal tesebut
diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau
kaidah-kaidah syariah Islam. Dijelaskan hadits populer:

sebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar (syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahu
kelompok orang yang dipandang memiliki pengetahuan memadai tentang hal tersebut sangat diperlukan

untuk memberikan penjelasan (fatwa) kepada masyarakat luas


mengenai status hukum pangan tersebut.
Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi
fatwa MUI mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan
kosmetika. Fatwa tersebut ditetapkan setelah dilakukan serangkaian
pembahasan dalam rapat komisi fatwa yang didahului dengan laporan
hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang bahwa produk
dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari aspek
3

bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan


kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk
yang diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap
produk dari suatu produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut
dengan sertifikat halal.
Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan
syarat produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria
n obat obatan. Semua peraturan yang ada untuk kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk.
elis Ulama Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku usaha yang ada di Indonesia.

hal, antara lain: Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas


merupakan konsumen beragama Islam yang sudah selayaknya
mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk barang dan dan
jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.
Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus
mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta
tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku
usaha. Kedua, bahwa Pemerintah Indonesia sudah harus melakukan
3

upaya aktif untuk melindungi konsumen- konsumen yang mayoritas


beragama Islam. Perlindungan konsumen merupakan hak warga
negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan
baik.21
4. Pengawasan Sertifikasi Halal
Selanjutnya, setelah memperoleh Sertifikasi Halal, perusahaan
harus mengangkat Internal Halal Auditor yang bertugas mengawasi sistem produksi halal pada produk merek
Pengawasan produk halal pertama dilakukan secara internal. Hal ini memerlukan tekad dan komitmen serta d
Gerindra, mantan direktur LPPOM MUI, keterbatasan SDM sangat

mempengaruhi pelaksanaan Sitem Jaminan Halal terutama pada


perusahaan kecil dan perusahaan tradisional.

21
M. Ade Setiawan Putra, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan hukum,
2015. “Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya UU
No. 33 Tahun 2014”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015). h.37
3

Ternyata pengawasan yang dilakukan secara internal ini cukup


efektif. Hal ini terbukti pada kasus Ajinomoto yang telah memperoleh
Sertifikat Halal. Kemudian perusahaan tersebut merubah proses
produksi dengan menggunakan bactosoyton yang dicurigai berasal dari
pangkreas babi tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan
pihak LPPOM MUI. Akibatnya, MUI membatalkan Sertifikat Halal
yang telah dikeluarkannya dan mengeluarkan “Fatwa Haram” terhadap
produk Ajinomoto yang menggunakan bactosoyton dalam proses produksinya. Adanya perubahan proses pro
Di samping itu, perusahaan juga wajib menandatangi perjanjian untuk menerima Tim Sidak (inspeksi Menda
Pengawasan oleh Badan POM dapat dilakukan sebelum berproduksi dengan cara regulasi dalam bentuk pera
Kemudian dilanjutkan dengan cara memeberikan pembinaan dan

penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan dalam rangka sosialisasi.


Pengawasan dapat juga dilakukan pasca produksi. Pengawasan pasca
produksi dapat dilakukan apabila terjadi pelanggaran dengan
melakukan penyidik kasus. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
pengambilan sampling dan pengujian laboratorium atau bahkan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi sesuai dengan kasus
pelanggaran yang terjadi. Hasilnya kemudian disampaikan kepada
masyarakat sebagai publik warning dan advokasi di samping dapat
3

diproses ke pengadilan bila menyangkut unsur pidana. Akan tetapi,


menurut Zain Saidi, pengawasan pasca produksi tersebut tidak efektif.
Sebab, sertifikasi dan labelisasi halal itu bersifat sukarela sehingga
menyulitkan pengawasannya di lapangan.22 Oleh karena itu, sertifikasi
halal itu perlu ditingkatkan statusnya dari sukarela menjadi wajib agar
dapat dilakukan pengawasan secara efektif.
5. Aspek Kehalalan Produk
Kehalalan suatu makanan minimal dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: pertama, halal dalam cara mempero
Makanan harus dikemas dengan bahan halal dan higienis. Proses

penyimpanan harus mengikuti standar shar’i.


Kriteria thayyib meliputi; makanan berkualitas dan bermutu,
tidak basi, tidak kadaluarsa, tidak rusak, tidak beracun, aman dan tidak
tercemar bakteri/virus yang berbahaya dan tidak palsu. Makanan
mengandung nutrisi dan gizi yang berguna bagi tubuh. Dengan empat
aspek tersebut, setiap muslim jadikan panduan untuk memperoleh dan
mengkonsumsi setiap asupan dan makan akan dia konsumsi.

22
Jurnal halal, No.2/1/15, edisi Nopember 1995-15 Januari 1995, h. 37-37
3

Mengonsumsi makanan halal merupakan kewajiban agama yang


bernilai ibadah, memberikan kebaikan bagi kehidupan di dunia dan
akhirat dan manifestasi dari rasa syukur kepada Allah atas segala
nikmat-Nya. Sebaliknya, mengonsumsi makanan haram merupakan
kemaksiatan, mendatangkan keburukan, dan bentuk ketundukan
kepada setan. Makanan memberikan pengaruh baik secara fisik dan
psikis manusia. Hal tersebut karena makanan yang dikonsumsi akan
dicerna oleh tubuh, diserap gizinya, dan diedarkan ke seluruh tubuh manusia. Ini berarti, makanan yang telah
Kenyataan yang demikian itu dalam implementasi sehari-hari, bagi umat Islam di Indonesia, butuh jaminan a

23
Muhammad Aziz, Perspektif Maqashid Syariah Dalam Penyelenggara
Jaminan Produk Halal Di Indonesia Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. AL-HIKMAH Jurnal Studi Keislaman ,
Volume 7 Nomor 2, September 2017, h.79
BAB III
TINJAUAN UMUM PROFIL LEMBAGA

A. Gambaran Umum Tentang Badan Penyelenggara Jaminan


Produk Halal (BPJPH)
Kementerian Agama (Kemenag) meresmikan Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada Rabu (11/10). BPJPH merupakan
badan baru di Kemenag yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal
dan melakukan pengawasan terhadap setiap produk yang diberi sertifikat halal, setelah sebelumnya berada di
Kepala BPJPH, Sukoso menjelaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya berwenang untuk merumuskan dan m

karena telah didukung oleh UU JPH sehingga wajib dilakukan MUI


selama 28 tahun hanya secara sukarela. Namun, standarisasi halal yang
dilakukan MUI banyak diadopsi oleh negara-negara Islam di dunia. Lebih
dari 50 Lembaga sertifikasi halal di seluruh dunia memperoleh pengakuan
dari MUI.

39
4

Selain itu Kemenag Lukman menyatakan bahwa kehadiran BPJPH


diharapkan menjadi stimulan untuk membangkitkan bisnis halal Indonesia,
sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di Dunia.1
1. Sejarah BPJPH
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) masih
seumuran jagung. Lahir tanggal 11 Oktober 2017, BPJPH ini langsung
dipaksa berlari untuk mengemban tugas berat menyelenggarakan
jaminan produk halal di Indonesia. Sebagai anak kandung kemenag RI, BPJPH sejatinya melanjutkan estafet
Perpindahan pengelolaan dari MUI ke BPJPH perlu masa transisi yang cukup dan diatur secara smooth dan w
jabang bayi bernama BPJPH lahir di saat perkembangan teknologi,

perubahan sosial, dan kesadaraan publik terhadap hal makin membaik.


Di samping itu, ekspektasi masyarakat sudang kadung besar
kehadiran BPJPH diangankan sebagai era baru penyelenggaraan halal
di Indonesia. BPJPH juga mengambil peran historis dengan
mentransformasi pemberlakuan penyelenggaraan halal di Indonesia

1
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Diresmikan Kemenag diakses di
https://www.kompasiana.com/advertorial/59e05033486932140056902/badan-penyelenggara-
jaminan-produk-halal-bpjph-diresmikan-kementerian-agama-sebagai-badan-sertifikasi-halal
(pada 12 Oktober 2019 pukul 20.21).
4

dari semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban


(mandatory); dari semula dilaksanakan oleh ormas keagamaan Islam
beralih menjadi tanggung jawab negara. Dalam peran krusial ini,
BPJPH menjadi jembatan penghubung relasi agama dan negara yang
secara eksperiensial telah berhasil dilaksanakan oleh umat Islam
Indonesia. Kementerian Agama yang mengusung moderasi beragama
menjadi representasi kemampuan Islam Indonesia mengakomodasi
sekaligus menemukan jalan keluar terbaik bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi umat Islam, persoalan halal bukan semata soal produk, tapi berkaitan dengan spiritualitas karena merup
Pada saat yang sama, penyelenggaraan halal menemukan pijakan kuat pada konstitusi Indonesia, yakni UUD
memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang

dikonsumsi dan digunakan masyarakat atas amar inilah, lahir Undang-


undang Nomor 33 Tahun 2014 yang menyebutkan tujuan
penyelenggaraan JPH adalah 1) memberikan kenyamanan, kemanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat
dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan 2) meningkatkan
nilai tambah bagi pelaku usaha untuk menproduksi dan menjual
produk halal.
4

Kini, produk halal telah menjadi kesadaran global bahkan gaya


hidup (halal life style). Karenanya mengelola halal meliputi mata
rantai yang panjang, dari hulu ke hilir. Halal-value chain. Halal juga
berkaitan dengan multi-stakeholders. Penetapan kehalalan produk
perlu peran institusi lain: otoritas keagamaan (MUI), lembaga
pemeriksa dan pengujian produk (LPH), pengawas produk (BPOM),
peredaran barang atau produk dari dalam dan luar negeri (kementerian
perindustrian, perdagangan, bea cukai), hubungan luar negeri, kerjasama internasional de
undang mesti dijalankan. 2

Visi dan Misi BPJPH


Visi dan Misi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
Visi

“Visinya adalah sebagai lembaga bagaimana menyediakan


kesadaran halal terhadap masyarakat ini diimplementasikan
dalam kinerja”

Kewajiban Bersertifikasi Halal, diakses di http://sulteng.kemenag.go.id/berita/detail/17-


2

oktober-2019-selamat-datang-kewajiban-bersertifikat-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 19.44)


4

b. Misi
“Misinya adalah mewujudkan sistem layanan registrasi dan
sertifikasi halal, pembinaan dan pengawasan, kerjasama
lembaga dan standarisasi, dan manajeman organisasi.3

3. Struktur
Bagan : Struktur BPJPH
Bidang Kerjasama
KEPALA BPJPH
Bidang Standarisasi
Prof. Ir. SUKOSO, M.SC., Ph.D

SEKRETARIS
Dr. ABDURRAHM
Gambar 3.1 Struktur BPJPH AN, M.Ag

Sumber : Dipresentasikan dalam seminar di Universitas Diponegoro


Bag Perencanaan dan Sistem
Instrumen
KEPALA PUSAT PEMBINAAN DAN
KEPALA
PENGAWASAN
PUSAT KERJASAMA DAN STANDARISASI
KEPALA PUSAT REGISTRASI DAN SERTIFIKASI HALAL
Bag Organisasi, Kepegawaian
Dan Hukum
Hj. SITI AMINAH, S.ag, M.Pd
3
BPJPH Awali Sosialisasi Sertifikasi Halal dan Pengenalan Badan diakses di Bagian Keuangan Dan
Umum
https://kliklegal.com/bpjph-awali-sosialisasi-sertifikasi-halal-dan-pengenalan-badan-/ (pada 13
Oktober pukul 12.37). Drs. H. Abd AMRI SIREGAR, M. Ag Dr. NIFASRI, M.Pd

Bidang Sertifikasi Bidang Pembinaan

Bidang Registrasi Bidang Pengawasan


Halal
Bidang Verifikasi
4

BPJPH merupakan Unit Esselon 1 di Kementerian Agama


Republik Indonesia. BPJPH dipimpin oleh kepala BPJPH membawahi 4
Esselon 2 (1 sekretaris dan 3 kepala pusat). BPJPH memiliki 3 kepala
pusat yaitu Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Kepala Pusat
Pembinaan dan Pengawasan, serta Kepala Pusat Kerjasama dan
Standarisasi.
a. Sekretaris BPJPH adalah Abdurrahman. Sekretaris memiliki
kewenangan pada bagian perencanaan dan sistem kepegawaian dan hukum serta bertanggung jawab pada bag
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal dipimpin oleh Siti Aminah. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifik
Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan dipimpin oleh Abd. Ammri siregar. Kepala Pusat Pembinaan dan P
Kepala Pusat Kerjasama dan Standarisasi dipimpin oleh Nifasri. Kepala Pusat Kerjasama dan Standarisasi be
Dengan sudah dibentuknya struktur organisasi, BPJPH telah mengambil beberapa langkah yang telah diambi
a. Memfinalkan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Agama

(RPMA), sekaligus Rancangan Keputusan Menteri Agama


(RPMA/RKMA) terkait pelaksanaan Undang-Undang RPP JPH.
b. Menyelesaikan masalah finalisasi regulasi penetapan tarif dan
penyusanan daftar rincian tarif layanan BPJPH melalui mekanisme
Badan Layanan Umum (BLU).
c. Menyusun pembentukan struktur perwakilan di seluruh provinsi
termasuk penyiapan sistem aplikasi dan informasi manajemen halal
4

yang memadai dalam hal fasilitas penyelenggaraan jaminan produk


halal.
d. Menjalin sinergi dengan Komite Nasioanal Keuangan Syariah
(KNKS) Bappenas dan Departemen Ekonimi dan keuangan syariah
Bank Indonesia dalam upaya pengembangan industri halal untuk
mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.4

Gambaran Umum Tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Tentang MUI
MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia u

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan


untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama
dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam

4
Anis Saul Fatimah, murni penerbitan sertifikat jaminan produk hslsl pasca dibentuk
badan penyelenggara Jaminan Produk Halal. Jurnal, Simposium Hukum Indoneisa.Volume 1
Nomor 1 Tahun 2019.
5
Sejarah MUI diakses di http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html,
(Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.50)
4

Berdirinya MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah


yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama Indonesia.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia


tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka,
di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik
kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani
umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah
pewaris tugas-tugas para Nabi, maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun MUlI sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama da
keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat,

meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan


kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama, pemerintah
dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta
kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin
dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
4

khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi


secara timbal balik

C. Sertifikasi Halal di Indonesia


1. Pengaturan Sertifikasi Halal

Pengaturan sertifikasi Halal berdasarkan Undang-undang


Jaminan Produk Halal (UU JPH) bukan Pengambil alihan akan tetapi
penguatan sertifikasi halal yang sudah berjalan selama ini oleh MUI,
maka pengaturan sertifikasi halal tersebut di atur dalam dua periode:

Periode sebelum UU JPH:


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 69 tentang Label dan Iklan Pangan.


Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang PedomandanTataCaraPemer
Panganan Halal.

6) Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang


Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.

b. Setelah UU JPH:
1) Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal.
4

2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang


Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun
2019 Tentang Jaminan Produk Halal.

3) Peraturan Menteri Agama RI6

2. Ketentuan tentang Produk yang Harus Disertifikasi Halal


a. Pasal 1 UU JPH:
Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang bangunan
Pasal 4 UU JPH:
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal.
Pasal 2 PP JPH:
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal.
ProdukyangberasaldariBahanyangdiharamkan
dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.
Produksebagaimanadimaksudpadaayat(2)wajib diberikan keterangan tidak halal.
Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal
pada produk sebagaimana dimaksud pada aya (3).

3. Prinsip Dasar Sertifikasi Halal

a. Kemampuan Telusur

Tujuan: Mengetahui dengan pasti dimana produk diproduksi,


bagaimana proses produksinya, apa bahan yang

6
Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.120
4

digunakan, dari produsen mana dan bagaimana status


kehalalannya.

Cara: Melakukan audit untuk memeriksa bahan, formula,


fasilitas, dokumen pendukung, dan sistem
manajemen.

b. Autentikasi

Tujuan: Untuk memastikan tidak terjadi pemalsuan produk halal dengan produk h
kontaminasi bahan haram ke dalam produk halal.

Cara: Analisis Laboratorium

4.Lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi halal

Digambarkan pada Segitiga Emas Sertifikasi Halal

BPJPH

LPH MUI

Gambar 3.2 Lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi halal


5

a. Tiga institusi yang terlibat dalam penyelenggara sertifikasi halal:

1) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah


Kementerian Agama.
2) Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Didirikan oleh Universitas,
Yayasan/ Perkumpulan Islam.
3) Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kerjasama BPJPH dan MUI (Pasal 10)

Sertifikasi Auditor Halal

Penetapan Fatwa Kehalalan Produk

Akreditasi LPH

yang mendirikan LPH (Pasal 12)

Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.


LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH mela
Syarat Mendirikan LPH (Pasal 13)
Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
Memiliki akreditasi dari BPJPH;

3) Memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan


4) Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan
lembaga lain yang memiliki laboratorium.
e. Syarat Auditor Halal (Pasal 14)
1) Diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
2) Memenuhi syarat :
a) Warga Negara Indonesia;
b) Beragama Islam;
5

c) Minimal S1 (Bidang pangan, kimia, biokimia, teknik


industri, biologi, atau farmasi);
d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai
kehalalan produk menurut syariat Islam ;
e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan
pribadi dan/atau golongan; dan
f) Memperoleh sertifikat dari MUI.
Tugas Auditor Halal (Pasal 15)
Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
Meneliti lokasi Produk;
Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah
Halal Center Perguruan Tinggi Negeri
Bidang pengabdian pada masyarakat tentang produk halal.
Bidang yang melakuan penelitian (interdisipliner) terhadap masalah produk halal.
Bidang yang membina masyarakat tentang pemahaman dan

implementasi produk halal.


3) Berkoordinasi dalam APKAHI (Asosiasi Pusat Kajian Halal
Indonesia)
5. Pembiayaan Sertifikasi Halal
Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang
mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat
auditor dan rapat komisi fatwa, serta penerbitan sertifikat halal.
Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman
5

yang sudah sangat jelas, sehingga tidak dimungkinkan adanya


pembiayaan lain yang tidak jelas (invisibility cost).
Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk,
bahan dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan
dikenakan sekali saat pendaftaran, Persoalan pembiayaan adalah
masalah krusial yang jika tidak seimbang akan menjadi konflik,
menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak disesuaikan
dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi mencakup biaya pendaftaran, adm
4. Sistem Jaminan Halal

Tujuan: Untuk mendapatkan jaminan bahwa selama masa berlakunya sertifikat h


dijaga kesinambungannya.

Cara: Mempersyaratkan perusahaan untuk mengembangkan


dan menerapkan Sitem Jaminan Halal, kemudian Penerapannya dinilai.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kewenangan BPJPH dan MUI dalam Sertifikasi Halal


berdasakan Undang-undang Nomor. 33 Tahun 2014

1. Kewenangan BPJPH dalam sertifikasi halal

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan


Produk Halal, bahwa BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Sertifikat ha
Adapun kewenangan BPJPH adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.

2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.

3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada


Produk.

1
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi Fatwa
MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.

53
5

4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.

5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal.

6. Melakukan akreditasi terhadap LPH.

7. Melakukan registrasi Auditor Halal.

8. Melakukan pengawasan terhadap JPH.

Melakukan pembinaan Auditor Halal.

Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.2
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud diatas BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan

penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH.

2
Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
3
Mengenal Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Diakses di
http://www.gresnews.com/berita/tips/60181-mengenal-kewenangan-badan-penyelenggara-
jaminan-produk-halal/0/ (20 Oktober 2018 Pukul 16.04).
Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
4

Produk Halal
5

Penetapan kehalalan Produk dikeluarkan MUI dalam bentuk


Keputusan Penetapan Halal Produk.5 BPJPH menetapkan LPH untuk
melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.6 LPH
menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
kepada BPJPH. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh
penetapan kehalalan Produk.7 Penetapan kehalalan Produk dilakukan
oleh MUI.Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat H
Mulai terbentuknya BPJPH pada tahun 2017 hingga saat ini belum menunjukkan fungsinya sebagai penyelen
menjalankaan kewenangannya setelah peraturan pelaksana Undang-

5
Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal
6
Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan
Produk Halal
7
Lihat Pasal 32 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal
8
Lihat Pasal 33 ayat (1), (2), dan (6) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal
9
Lihat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan
Produk Halal
5

undang JPH terbit. Peraturan pelaksana tersebut berupa Peraturan


Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan menteri.

Setelah diresmikan oleh Kementerian Agama pada tanggal 11


Oktober 2017, BPJPH resmi menjalankan fungsi Kementerian Agama
sebagai penyelenggara jaminan produk halal. Undang-undang RI
Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal ini menjadi dasar
hukum (legalitas) BPJPH dalam menjalankan wewenangnya untuk
bertindak dan mengambil kebijakan dan keputusan dalam memerintah, melakukan pembinaan dan memberik
Untuk itu wewenang BPJPH tersebut bersifat Terikat karena dalam UU JPH tersebut menentukan dengan jel
wewenangnya.11 Perubahan-perubahan BPJPH yang dibawah

Kementerian Agama dapat digambarkan dalam tabel sebgai berikut:

10
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),
h.105.
11
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),
h.108.
5

Tabel 4.1 Perubahan BPJPH

Katagori Kewenangan BPJPH Kewenangan BPJPH


No.
Wewenang Sesuai UU JPH Sebelum UU JPH

1. Legalitas UU Nomor 33 Tahun PP Nomor 69 Tahun


2014 tentang Jaminan 1999 tentang Label dan
Produk Halal Iklan Pangan
2. Sumber Atribusi (asli dari UU Atribusi (asli dari PP 69
JPH) tahun 1999)
3. Sifat Terikat Fakultatif
4. Isi a. Merumuskan dan a. Menetapkan
menetapkan pedoman dan tata
kebijakan JPH*) pemeriksaan pangan
b. Menetapkan halal.
norma, standar, b. Menetapkan
prosedur, dan lembaga pemeriksa
kriteria JPH*) pangan halal.
c. Menerbitkan dan c. Pembinaan dan
mencabut Sertifikat perlindungan
Halal dan Label terhadap masyarakat
Halal pada di bidang produk
produk***) halal.
d. Melakukan d. Pengawasan atas
registrasi Sertifikat peredaran produk
Halal pada produk pangan berlabel
luar negeri*) halal.
e. Melakukan e. Menerima laporan
sosialisasi, edukasi, pelaksanaan tugas
dan publikasi dari LPH yang
produk halal***) ditunjuk.
5

f. Melakukan
akreditasi terhadap
LPH*)
g. Melakukan
registrasi Auditor
Halal*)
h. Melakukan
pengawasan
terhadap JPH**)
i. Melaukuan
pembinaan Auditor
Halal*)
j. Melakukan kerja
sama dengan
lembaga dalam dan
luar negeri di
bidang
penyelenggaraan
JPH***)

Keterangan:
*) : Wewenang baru
**) : Wewenang lama

***) : Pelimpahan wewenang dari lembaga pemegang pemengang


sebelumnya.

Disini dapat kita lihat bahwa terdapat perubahan kewenangan


sertifikasi halal yang siginitifkan jika dibandingkan dengan wewenang
sebelumnya disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal. Yang dulunya berperan hanya sebagai
pembuat kebijakan, sosialisasi, edukasi dan pembinaa, namun saat ini
5

BPJPH adalah penerima wewenang penyelenggara jaminan produk


halal secara penuh mulai dari persoalan regulasi, sosialisasi, edukasi,
sertifikasi, labelisasi, akreditasi, registrasi, pengawasan dan pembinaan.
Walupun dalam pelaksanaannya, BPJPH harus bekerjasama dengan
Kementerian dan atau lembaga terkait, LPH dan MUI. Dari semua
kewenangan tersebut, terdapat beberapa wewenang yang sejak dulu
adalah wewenang Kementerian Agama, yaitu regulasi dan edukasi,
namun juga terdapat wewenang yang berasal dari pengalihan dari lembaga pelaksanaan sebelumnya, seperti
Melihat kewenangan BPJPH saat ini yang memiliki kekuatan hukum lebih dibandingkan dengan yang dulu, d
2. Kewenangan MUI dalam Sertifikasi Halal
Seperti diketahui MUI adalah pemegang otoritas penyelenggaraan Sertifikasi Halal sebelum disahkannya UU

Tahun 2014. Wewenang ini diberikan dalam proses regulasi yang


cukup panjang hingga akhirnya legalitas akhirnya diperoleh di Tahun
2001 dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama (KMA)
Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan
Pangan Halal. Dalam KMA tersebut Departemen Agama
mendelegasikan kewenangannya kepada MUI untuk melaksanakan

Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
12

Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.


6

tugas sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan halal.


Selanjutnya, MUI menyampaikan Mandat kepada LPPOM MUI untuk
menjalankan fungsinya dalam pemeriksaan kehalalan produk-produk
yang beredar di masyarakat sedangkan kewenangan berupa pemberian
Fatwa Halal tetap dipegang oleh Komisi Fatwa MUI.13

Dalam hal pelimpahan wewenang ini, sebagaimana teori


Philipus M. Hadjon tentang sumber wewenang, maka pendelegasian
wewenang dari organ pemerintah kepada organ/ lembaga lain berakibat hukum beralih pula tanggung jawab
Tabel: Perbedaan dan Persamaan kewenangan LPPOM MUI dan kewenangan BPJPH.

LPPOM MUI BPJPH

Perbedaan Menjalankan kewenangan Menjalankan penerbitan


dalam penerbitan sertifikat sertifikat jaminan produk
jaminan produk halal halal pasca terbitnya Undang-
sebelum terbitnya Undang- undang JPH.
undang JPH dan sebelum

13
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
14
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),
hlm. 107.
6

BPJPH siap menjalankan


kewenangannya.

Menyelenggarakan Menyelenggarakan
penerbitan sertifikat penerbitan sertifikat jaminan
jaminan produk halal produk halal berdasarkan
berdasarkan Surat Surat Keputusan Majelis
Keputusan Majelis Ulama Ulama Indonesia Nomor:
Indonesia Nomor: Kep./18/MUI/I/1989 yang
Kep./18/MUI/I/1989 yang membahas permasalahan
membahas permasalahan hukum halal dan haram
hukum halal dan haram

Sebelum beralihnya Setelah BPJPH menjalankan


kewenangan penerbitan kewenangan penerbitan
sertifikat jaminan produk sertifikat jaminan produk
halal kepada BPJPH, halal, Bentuk kerjasama
LPPOM MUI merupakan dengan LPPOM MUI adalah
satusatunya lembaga yang sertifikasi auditor halal,
menyelenggarakan penetapan kehalalan produk,
penerbitan sertifikat dan akreditasi LPH
jaminan produk halal.

Setelah BPJPH resmi Setelah resmi menjalankan


menjalankan kewenangan kewenangannya, yang
dalam penerbitan sertifikat berwenang menerbitkan dan
jaminan produk halal, mencabut sertifikat jaminan
keterlibatan LPPOM MUI produk halal adalah BPJPH.
hanya sebagai mitra
kerjasama BPJPH.
6

Prosedur penerbitan Prosedur penerbitan sertifikat


sertifikat jaminan produk jaminan produk halal, pelaku
halal secara umum pelaku usaha mengajukan
usaha dapat melakukan permohonan sertifikat halal
pendaftaran online melalui secara tertulis kepada
websiteLPPOM MUI. BPJPH.

Dalam menyelenggarakan Dalam menyelenggarakan


jaminan produk halal, jaminan produk halal, BPJPH
LPPOM MUI bertanggung bertanggung jawab kepada
jawab kepada MUI. Kementerian Agama.

Persamaan Berwenang dalam Berwenang dalam


menyelenggarakan menyelenggarakan
penerbitan sertifikat penerbitan sertifikat jaminan
Sumber: Dianalisis berdasarkan kewenangan LPPOM
jaminan produk halal.MUI dan BPJPH.15
produk halal.
Selanjutnya, sesudah disahkannya UU JPH, MUI memperoleh kewenangan secara Atribusi dari peraturan pe

masih dipercayakan kepada MUI sebagai wadah para ulama, zu’ama


dan cendekiawan muslim Indonesia untuk memberikan fatwa
kehalalan produk melalui Komisi Fatwa. Maka dari itu perubahan-
perubahan kewenangan MUI dapat digambarkan dalam tabel sebagai
berikut:

Anis Saul Fatimah, Penerbitan Sertifikat Jaminan Produk Halal Pasca Dibentuk
15

BPJPH, Jurnal Simposium Hukum Indonesia 2019, h.58.


6

Tabel 4.2 Perubahan Kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

No. Kategori Kewenangan MUI Kewenangan MUI


Wewenang berdasarkan UU sebelum UU JPH
JPH

1. Legalitas UU Nomor 33 Tahun KMA Nomor 519


2014 tentang JPH Tahun 2001

2. Sumber Atribusi (asli dari UU Delegasi (dari


JPH) Depertemen Agama)

3. Sifat Terikat Fakultatif

4. Isi a. Sertifikasi Auditor Pelaksanaan


Halal*) pemeriksaan pangan
b. Penetapan yang dinyatakan
Kehalalan halal yang dikemas
Produk**) untuk
c. Akreditasi LPH*) diperdagangkan di
Indonesia.

Keterangan:

*) : Wewenang baru

**) : Wewenang lama

Melihat perubahan kewenagan tersebut dapat disimpulkan


bahwa pemerintah tidak mengalihkan sepenuhnya wewenang MUI
pada kementerian Agama dalam Sertifikasi Halal, tetapi justru
difokuskan pada porsinya sebagai kumpulan para ulama pemberi
fatwa dalam penetapan kehalalan produk melalui Sidang Fatwa Halal
bekerjasama dengan pakar dan kementerian atau lembaga terkait.
Wewenang MUI juga lebih diperluas dengan melakukan Sertifikasi
6

Auditor Halal dan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang


akan didirikan. Sementara LPPOM MUI berkedudukan sebagai salah
satu dari LPH. Jadi apabila dahulu lembaga yang berwenang
memeriksa kehalalan produk (dari aspek ilmianya) hanya LPPOM
MUI, sekarang lembaga-lembaga pemeriksa halal lain dapat memiliki
kewenangan tersebut apabila memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan.16

3. Analisis Pengaturan Penerbitan Sertifikat Jaminan Produk Halal Setelah dibentuk BPJPH
Indonesia dalam kondisi penduduknya merupakan penduduk Muslim yang mayoritas beragama Islam, maka
Sehingga apa yang kita kerjakan dalam memenuhi segala kebutuhan yang berkaitan dengan perekonomian ha

dari larangan Hukum Islam. Artinya, halal merupakan bagian


terpenting dalam Agama Islam. Agama Islam selalu mengajarkan
bahwa segala sesuatunya harus halal, termasuk berbagai jenis produk
yang kita konsumsi maupun kita gunakan. Perkembangan mengenai
jaminan produk halaldi Indonesia mulai mendapatkan tanggapan serius

Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi
16

Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, 21 Oktober 2019.


17
Suhrawardi K. Lubis & Farid Wajdi, “Hukum Ekonomi Islam”, Jakarta Timur:Sinar
Grafika, 2012, h.15
6

oleh pemerintah melalui diterbitkannya Undangundang Nomor 33


Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal selanjutnya disebut
Undang-undang JPH.
Jaminan produk halal adalah sesuatu yang dapat membuktikan
melalui sertifikat jaminan produk halal bahwa produk tersebut halal
untuk di konsumsi oleh konsumen, khususnya konsumen muslim.
Permasalahan halal dan haram suatu produk bukan merupakan
persoalan yang sederhana, karena masalah ini bukan hanya menyangkut hubungan antar s
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi terbitnya Undang- undang JPH antara lain a
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya

dan
maka
kepercayaannyaitu.SetelahUndang-undangJPHterbit,
memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang sebelumnya tersebar di berbagai p
Undang-undang JPH mencakup produk berupa barang dan/atau

jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetika, produk


kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan
yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. 18 Untuk
menjangkau kehalalan suatu produk maka perlu proses produk halal.
Produk halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan,

18
Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal
6

pengemasan, pendistribusian, penjualan dan peyajian produk.19 Dengan


demikian, proses produk halal penting diterapkan agar suatu produk
dapat dinyatakan halal dari bahan hingga pengemasannya dan layak
untuk mendapatkan label halal sebagai sertifikat jaminan produk halal.
Dengan demikian masa berlaku tersebut dapat berubah apabila
terdapat penambahan atau pengurangan bahan terhadap suatu produk.
Sampai dengan BPJPH dibentuk, MUI tetap menjalankan tugasnya
dibidang sertifikasi halal.20 Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan di lokasi usaha pada
Penerbit fatwa halal dilakukan oleh MUI. LPPOM MUI bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Mak
Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian

Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian


Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah Perguruan Tinggi
antara lain Institusi Pertanian Bogor (IPB), Universitas Djuanda, dan
lain sebagainya. Dengan demikian dalam menyelenggarakan

19
Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal
20
Pasal 60 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
6

penerbitan sertifikat jaminan produk halal LPPOM MUI bekerjasama


dengan beberapa Kementerian dan/atau lembaga terkait. Sesudah
BPJPH menerima pendaftaran penerbitan sertifikat jaminan produk
halal diserahkan ke LPH, kemudian LPH menyerahkan hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada BPJPH
untuk disampaikan kepada MUI guna untuk mendapatkan penetapan
terhadap kehalalan suatu produk. Kemudian MUI menggelar sidang
fatwa halal paling lama 30 (tiga puluh hari) kerja untuk menetapkan kehalalan produk.21
Keputusan penetapan kehalalan suatu produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH utuk menjadi acuan dal
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian,

perdagangan, kesehatan, pertanian, standarisasi dan akredatasi,


koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawas obat
dan makanan.

21
Pasal 33 ayat (4) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal.
22
Pasal 35 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal.
23
Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
6

a. Masa Berlaku Sertifikat Halal dalam Pasal 42 UU JPH


1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak
diterbitkan oleh BPJPH, kevuali terdapat perubahan komposisi
Bahan.

2) Sertifikat halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan


mengajukan pembaharuan Sertifikat Halal paling lambat 3
(tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaharuan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Analisis efektifitas penerapan sertifikasi halal setelah pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2
Problematika penerapan Sertifikasi Halal di Indonesia setelah berlaku UU Jaminan Produk Halal
Problematika yang menarik untuk dibahas adalah terkait dengan kesiapan UU JPH untuk berlaku secara penu
UU JPH diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014, dengan

demikian Oktober 2019 menjadi titik waktu mulainya UU JPH berlaku


secara penuh. Pada subbab ini akan dibahas kesiapan UU JPH pada
Oktober 2019 nanti. Apakah UU JPH akan dapat berjalan dengan
efektif sebagaimana dicita-citakan oleh pembuat Undang-Undang, atau

24
Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.125
6

justru akan menjadi tidak efektif mengingat ketidaksiapan dari UU


JPH itu sendiri.25
Hal pertama yang menjadi pekerjaan rumah besar dari kesiapan
UU JPH ini adalah terkait dengan kerangka peraturan penunjang UU
JPH yang memainkan peran besar terkait efektivitas UU JPH. Dalam
hal ini ada banyak sekali ketentuan derivatif di dalam UU JPH yang
semuanya dapat dirangkum dalam 2 bentuk ketentuan, yaitu Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Pertama, Peraturan Pemerintah. Ketentuan turunan dari UU JPH yang berbentuk Peraturan Pemerintah telah
Pasal 47 ayat (4), Pasal 52, Pasal 67 ayat (3). Pasal 65 UU JPH menyebutkan bahwa “Peraturan pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Un
diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2019.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa PP UU JPH


keluar terlambat jauh mundur 3 tahun dari amanat Pasal 65 UU JPH.
Hal ini berarti pemerintah dalam hal ini telah tidak tertib hukum atau
melanggar asas tertib hukum penyelenggaraan pemerintahan yang
baik. Padahal apabila PP UU JPH dapat keluar pada tahun 206 maka
pemerintah punya lebih banyak waktu yaitu sekitar 3 tahun untuk
25
Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.126
7

menyelesaikan persiapan lain yang dibutuhkan. PP UU JPH faktanya


keluar pada tanggal 3 Mei 2019, sedangkan UU JPH memberi batas
per Oktober 2019 untuk implementasi jaminan produk halal. Hanya 5
bulan waktu tersisa untuk melakukan persiapan.
Memang PP UU JPH keluar sebelum kewajiban implementasi
halal berlaku pada 17 Oktober 2019. Namun, bukan berarti PP UU
JPH dalam sendirinya kemudian otomatis paripurna, siap, dan
sempurna. Beberapa Pasal dalam PP UU JPH juga tengah dipermasalahkan oleh beberapa pihak, diantarnya y
Kementerian Kesehatan. Berkaitan dengan Pasal 74 (saat RPP masih Pasal 71) yaitu tentang obat yang jika ti
Kementerian Perindustrian. Menteri Perindustrian menganggap bahwa implementasi jaminan produk halal ya
melakukan verifikasi.

c. Kementerian Agama. Sementara dari sisi kemenag ada 2 pasal


yang masih membutuhan pendalaman, yakni terkait Pasal 2 yang
menegaskan agar setiap produk wajib bersertifikat halal.
Kedua, Peraturan Menteri. UU JPH juga mengamanatkan agar
peraturan Menteri dikeluarkan untuk menunjang implementasi jaminan
produk halal, hal ini terlihat dalam Pasal 22 ayat (2), Pasal 28 ayat (4),
Pasal 29 ayat (3), Pasal 30 ayat (3), Pasal 40, Pasal 41 ayat (2), Pasal
42 ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal 48 ayat (2), Pasal 55. Bahkan PP
7

UU JPH pun juga masih memerlukan Peraturan Menteri sebagai


peraturan turunan untuk menunjang PP UU JPH.26
2. Hambatan dan Kendala pada aspek ketentuan teknis sertifikasi
halal

Kementerian Agama menandatangani nota kesepahaman


layanan sertifikasi halal dengan 10 kementerian atau lembaga.
Kerjasama itu dalam rangka menyambut pemberlakuan sertifikat halal
yang mulai efektif berlaku kamis, 17 oktober 2019. Kewajiban produk sertifikasi halal dilakukan secara berta
Kewajiban sertifikasi halal selain makanan dan minuman, produk-produk yang wajib disertifikasi halal hingg
pelaksanaan wajib sertifikasi halal saat ini masih dalam tahap

harmonisasi. Meski demikian ia memastikan hal itu tidak akan


menjadi hambatan bagi proses sertifikasi halal yang dimulai 17
Oktober 2019.

Kendala pada saat ini untuk memberikan jaminan halal kepada


konsumen muslim, pemerintah diminta segera menyelesaikan

26
Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2, Juli 2019, h.127
7

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Produk Halal (JPH).


Dan BPJPH disarankan segera menyiapkan sistem, lemba pemeriksa
halal (LPH) dan insfrastrukturnya, dan sebaiknya BPJPH kerjakan apa
yang bisa dikerjakan sambil menunggu RPP dan JPH selesai. Hal ini
menyampaikan BPJPH juga membutuhkan LPH untuk menasertifikasi
halal, artinya harus ada sumber daya manusia, Prosedur Operasional
Standar (SOP) dan Insfrastruktur.27

3. Analisis alasan Di Indonesia Mayoritas Penduduk Islam Berlakunya Sertifikasi Halal Tidak Ada Se
Adanya sertifikasi halal diberbagai negara, baik itu negara Islam atau non Islam, saat ini tidak lagi sebatas up
Namun nyatanya di negara-negara sekuler atau negara non Islam dalam beberapa tahun terakhir telah mencan

produk-produknya. Sebut saja Australia, New Zealand, Singapura,


Thailand, Perancis, Jepang, Kanada, Amerika Serikat, dan beberapa
negara lain. Tentu saja negara Islam seperti Arab Saudi dan negara-
negara di Timur Tengah, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah lama
melakukan proteksi melalui sertifikasi halal.29

27
https://m.republika.co.id/amp/pf36p6370
28
Lies afroniyati, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama indonesia,
jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei 2014, h.38
29
(http://www.mui. or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=94:pusat-
islam-thailand-kunjungi-mui&catid =1:beritasingkat&Itemid=50).
7

Selanjutnya sertifikasi halal melebar menjadi komoditas dagang.


Pertama, sertifikasi halal tidak bisa lagi berupa “bentuk kepercayaan”
semata. Dengan kata lain, sertifikasi halal tidak lain adalah upaya
antisipasi terhadap bentuk-bentuk penipuan atas kandungan halal
dalam suatu produk. Misalnya dalam produk olahan daging yang
sebagian oleh masyarakat muslim dianggap halal. Namun ketika
diteliti lebih lanjut, daging olahan tersebut ternyata mengandung
bahan atau proses yang tidak halal. Maka, dalam hal ini negara bertindak sebagai pengawas dengan menjadik
Negara melaksanakan penertiban umum (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentr
Produk-produk dan hasil industri lebih banyak dipasarkan di

negara-negara berkembang, yang sebagian besar adalah negara-negara


Islam. Bila kemudian diketahui produk yang ditawarkan mengandung
zat-zat haram, tentu akan ditolak mentah-mentah oleh umat Muslim.
Di titik ini, pencantuman sertifikasi halal pada produk-produk dari
negara maju dapat dikatakan sebagai upaya dari strategi perdagangan.
Hal ini juga dilakukan sebagai upaya pertahanan atau memperbanyak
jumlah konsumen di negara-negara yang dijadikan pemasaran. Ketiga,
adanya motif untuk mendapat keuntungan dari pemasaran produk
7

halal.30 Menurut perkiraan Direktur Global Food Research and


Advisory Sdn Bhd, Irfan Sungkar, di Kuala Lumpur, seperti dilansir
dalam situs halalguide.info pada tahun 2007, industri halal dunia
mencapai nilai lebih dari 600 miliar dolar AS dengan populasi pasar
penduduk Muslim sendiri (captive market) sekitar 1,6 miliar orang.31
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk
produksi dan distribusi barangbarang halal. Hal ini tidak terlepas dari
jumlah umat muslim terbesar di dunia. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obata
4. Respon Non Muslim dalam menghadapi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
Contoh dalam penerapan agama Budha yang dimana membutuhkan simbiosis mutualisme mengapa pemerint
Selanjutnya keuntungan ekonomi yang seperti apa yang diperoleh oleh

agama budha dengan adanya sertifikat halal. 33 Keuntungan ekonomi


yang di peroleh agama budha salah satunya negara Thailand, dengan
adanya sertifikasi halal negara Thailand posisinya sebagai salah satu

30
Lies afroniyati, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama indonesia,
jurnal kebijakan & administrasi poilitik JKAP Vol 18 No 1 Mei 2014, h.39
31
Firmansyah, 2010, http://sacafirmansyah. wordpress.com
32
Puji, 2011, www.republika.co.id
33
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 34
7

10 negara-negra ekspirtir terbesar di dunia, mau tidak mau Thailand


harus berhubungan dengan negara-negara muslim untuk kepentingan
ekspornya.
Sedangkan untuk kepentingan dalam negeri, Thailand adalah
salah satu tujuan wisata dan pengobatan orang-orang dari luar. Mereka
yang datang dari Asia Tenggara, sebagai tentangga terdekat mayoritas
muslim. Thailand memproyeksikan pertumbuhan yang kuat pada
pengunjung dari negara-negara Muslim, khususnya Indonesia dan Malaysia, terutama setelah Masyarakat Ek
Sedangkan bagi umat Islam Thailand, keuntungan adanya sertifikasi halal setidaknya ada dua. Pertama, secar
republik yang dipimpin oleh seorang presiden, bukan kholifah atau

ulama. Sedangkan Thailand adalah negara kerajaan. 35


Serifikasi halal dalam peran negara di Indonesia maupun
thailand pada awalnya merupakan gerakan civil society. Namun dalm
perkembangan terakhir Indonesia mengalami pergeseran. Jika selama

34
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 35
35
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 36
7

ini sertifikasi halal ditangani oleh LPPOM MUI yang merupakan


lembaga swadaya masyarakat, sejak lahirnya Undang-Undang
jaminan produk halal, penanganan sertifikasi menjadi wewenang
negara melalui badan penyelenggara jaminan produk halal (BPJPH)
yang merupakan lembaga negara. Hal ini berarti peran civil society
berkurang, bahkan terpinggirkan. MUI memnag masih memiliki
kewenangan untuk menetapkan halal dan haram. Tetapi proses
formalnya, baik pemeriksaan sintifiknya maupun dikeluarkannya sertifikat menjadi wewenang BPJPH. Mesk

36
Muh. Zumar Aminudin, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan
Thailand, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, jurnal shahih vol. I, Nomor I, Januari-juni
2016, h. 37
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perubahan Kewenangan Sertifikasi Halal
Pengaturan kewenangan penerbitan sertifikat jaminan produk halal
setelah dibentuk BPJPH, pengajuan sertifikat jaminan produk diajukan
ke BPJPH yang sebelumnya diajukan ke LPPOM MUI. BPJPH
bekerjasama dengan kementerian terkait dan/atau lembaga terkait, LPH dan MUI.Berbeda dengan sebelum d
Setelah dibentuk BPJPH, BPJPH belum dapat melaksanakan kewenangannya dalam penerbitan sertifikat jam
Penerbitan sertifikat jaminan produk halal masih pada Lembaga

Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) dibawah


naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa kendala seperti
belum adanya peraturan pelaksana tambahan, juga belum ada BPJPH
yang berada ditingkat provinsi. Tidak adanya sosialisasi secara
menyeluruh kepada pelaku usaha juga menyebabkkan BPJPH belum
diakui eksistensinya sebagai penyelenggara jaminan produk halal oleh
pelaku usaha. Sehingga banyak pelaku usaha yang tidak mengetahui
perkembangan sistem jaminan produk halal.

77
78

2. Efektifitas Penerapan sertifikasi halal di Indonesia


penerapan UU JPH secara penuh pada Oktober 2019 nanti dapat
dikatakan belum siap. UU JPH masih mempunyai beberapa masalah
yang perlu diselesaikan. Lebih lanjut, berdasarkan efektivitas fungsi
dari sistem hukum Lawrence M. Friedman, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa UU JPH sebagai sistem hukum tidak akan dapat
berjalan secara efektif, dikarenakan elemen-elemen (struktur dan substansi hukum) dari sistem hukum jamina
Saran
Penyelenggaraan jaminan produk halal oleh BPJPH harus disesuaikan dengan Undang-undang JPH agar kese
Kepada BPJPH di bawah Kementeriaan Agama sebagai penyelenggara JPH diharapkan dapat segera menunta
Kepada Majelis Ulama Indonesia, sebagai mitra kerja Kementerian Agama diharapkan dapat bekerjasama da

secara efektif di Tahun 2019


3. Kepada Kementerian/ lembaga terkait diharapkan dapat bekerjasana
dengan Kementerian Agama dalam penyusunan peraturan turunan
sehingga tercipta harmonisasi yang mendukung implementasi UU JPH.
4. Kepada masyarakat muslim Indonesia, diharapkan dapat berperan serta
dalam mendukung proses penyelenggaran Jaminan Produk Halal.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Al-Qur’anul karim, (Bandung, Sygma: 2009)

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’li Ahkam


al-Qur’an, Juz VI,
Ahmad Hushari. Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Bairut: Dar al-Jil, 1991
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Labelisasi Halal, (Jakarta, 2003),
HadjonM.Philipus,dkk.,PengantarHukumAdministrasiIndonesia,
(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2005).
Hayden M Grant & Friedman M. Lawrence, American Law: An Introduction.
3rd Edition. New York. Oxford University Press. 2017.
HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016).
HR. Ridwan. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016),
Ibn Manzhur, lisan arab, juz XV
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., Jilid IV, h.316
Mertokusumo Sudikno,PenemuanHukum:Sebuah Pengantar,Liberty, Yogyakarta, 2006.

Muhammad Nasib ar-Rifa’I Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu


Katsir, jilid 2 (Gema Insani Press, 1999
Qaradhawi Yusuf, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002)
Sasmito Adi Wiku, Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam
Labeling Obat dan Makanan, Case Study: Analisis Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008.

79
8

Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan kosmetika, Gaung Persada
Press Group Jakarta. Desember 2013
Surakhmad Winarto, Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Teknik),
(Bandung:Tarsindo, 1999).
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz II
Wajdi Farid & Lubis K. Surahwardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta Timur:Sinar
Grafika, 2012
JURNAL DAN SKRIPSI
Afroniyati Lies, analisis ekonomi politik sertifikasi halal oleh majelis ulama indonesia, jurnal kebijakan & ad
Aminudin Zumar. Muh, Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia dan Thailand, Institut Agam
Aziz Muhammad, Perspektif Maqashid Al-Syariah Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Di Indone
Fatimah Saul Anis, murni penerbitan sertifikat jaminan produk hslsl pasca dibentuk badan penyelenggara Jam
Hasan Sofyan Kn, Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2 (Mei, 2014)


Kusnadi. Moh, Problematika Penerapan undang-undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, Jurnal Keislaman dan Ilmu PendidikaN, Volume 1, Nomoe 2,
Juli 2019
Setiawan Putra Ade, konsentrasi perbandingan hukum, fakultas syariah dan
hukum, 2015. Kewenangan LPPOM MUI Dalam penentuan Sertifikasi
Halal Pasca Berlakunya UU No. 33 Tahun 2014, (Skripsi S-1 Fakultas
8

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,


2015).
Suparto Susilowati, Harmonisasi Dan Sinkronisasi Pengaturan Kelembagaan
Sertifikasi Halah Terkait Perlindungan Konsumen Muslim Indonesia,
(Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung Jalan Dipati Ukur
Nomor 35 Bandung, Jawa Barat), Jurnal MIMBAR HUKUM Volume 28,
Nomor 3, Oktober 2016,
WAWANCARA
Bapak Aminudin Yakub, M.Ag Selaku Anggota Komisi Fatwa MUI, Di Gedung Fakultas Tarbiyah Dan Keg
UNDANG-UNDANG
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
WEBSITE
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Diresmikan Kemenag diaksesdi
(pada 12 Oktober 2019 pukul 20.21).
BPJPH Awali Sosialisasi Sertifikasi Halal dan Pengenalan Badan diakses di (pada 13 Oktober pukul 12.37)
KewajibanBersertifikasiHalal,diaksesdi

kewajiban-bersertifikat-halal (pada 12 Oktober 2019 pukul 19.44)


Kewenangan, https://id.wiktionary.org, diakses pada tanggal 12 Oktober 2019
pukul 13.48.
Mengenal Kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Diakses di
http://www.gresnews.com/berita/tips/60181-mengenal-kewenangan-badan-
penyelenggara-jaminan-produk-halal/0/ (20 Oktober 2018 Pukul 16.04).
8

Proses sertifikasi halal BPJPH diakses di


https://www.liputan6.com/bisnis/read/4087877/begini-alur-pengajuan-
sertifikasi-halal-produk-ke-bpjph (22 Oktober 2019, pukul 11.15).
Sejarah MUI diakses di http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-
mui.html, (Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.50).
LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana bentuk kordinasi BPJPH dan MUI dalam sertfikasi


halal?
Nah ketika sertifikat halal ini sudah berjalan 20 (dua puluh) tahunan
lebih selama itukan sertifikat halal sifatnya vooluntary (sukarela)
artinya perusahaan mau dateng atau mendaftarkan sertifikat halal boleh, tidak dateng juga tidak apa-apa tidak
nah karna nanti banyak yang akan diaudit, pastinya ada lembaga

auditnya, melibatkan LPH, LPPOM, nah LPH ini klo satu nanti
keberatan, maka di undang-undang dibukalah kemungkinan
perguruan tinggi islam atau ormas islam untuk membuat LPH, jadi
dalam hal sertifikasi ada 3 (tiga) lembaga :ada BPJPH ada LPH dan
MUI.1

1
Hasil Wawancara Dengan Bapak Aminudin Yakub Selaku Angota Komisi Fatwa MUI,
di Gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 21 Oktober 2019.
2. Bagaimana bentuk Wewenang BPJPH saat ini?
Dalam melaksanakan wewenang, BPJPH bekerja sama dengan: a.
kementerian dan/atau lembaga terkait; b. LPH; dan c. MUI.Kerja
sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilakukan
sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga
terkait.Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk pemeriksaan
dan/atau pengujian Produk.2 Kerjasama BPJPH dengan MUI
dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halal; b. penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH. P

2
Lihat Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal
3
Lihat Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal
4
Lihat Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014tentangJaminan
Produk Halal
5
Lihat Pasal 32 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014tentangJaminan Produk Halal
3. Bagaimana pelaku usaha dalam menajalnkan sertifikasi halal?
pelaku usaha pemula yang belum memiliki sertifikat jaminan produk
halal dan melakukan pengajuan awal belum memahami mengenai
adanya Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan tidak
mengetahui bahwa Pemerintah sudah membentuk lembaga jaminan
produk halal yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH) serta tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai
bagaimana cara memperoleh sertifikat jaminan produk halal. Dengan
demikian, menyebabkan BPJPH belum banyak diketahui oleh pelaku
usaha.Untuk pelaku usaha yang sudah menjalankan usahanya relatif
lama dan memahami mengenai prosedur penerbitan sertifikat jaminan
produk halal serta pentingnya jaminan produk halal maka akan
berusaha mengikuti regulasi mengenai jaminan produk halal.
Sebagian pelaku usaha yang sudah sering mendaftarkan produknya
untuk mendapatkan sertifikat jaminan produk halal sudah
mendapatkan sosialisasi mengenai bagaimana cara memeperoleh
sertifikat halal dan mengetahui adanya BPJPH sebagai lembaga
penerbitan sertifikat jaminan produk halal. Sehingga kemudian pelaku
usaha tahu kemana akan mendaftarkan dan/atau memperpanjang
sertifikat jaminan halal produknya. Oleh karena itu, terkait dengan
keadaan tersebut akan memudahkan BPJPH untuk menjalankan
kewenangannya.
4. Lembaga-lembaga apa saja yang dapat berpartisipasi dalam posisi
atau wewenang BPJPH, dan bagaimana proses sertifikasi halal?

a. Tiga institusi yang terlibat dalam penyelenggara sertifikasi


halal:

1) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di


bawah Kementerian Agama.
2) Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Didirikan oleh
Universitas, Yayasan/ Perkumpulan Islam.
3) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
b. Kerjasama BPJPH dan MUI (Pasal 10)
1) Sertifikasi Auditor Halal

2) Penetapan Fatwa Kehalalan Produk

3) Akreditasi LPH

c. yang mendirikan LPH (Pasal 12)

Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.


LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang sama dalam me
Syarat Mendirikan LPH (Pasal 13)
Memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
Memiliki akreditasi dari BPJPH;
Memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
Memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki

Syarat Auditor Halal (Pasal 14)


Diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
Memenuhi syarat :

a) Warga Negara Indonesia;


b) Beragama Islam;
c) Minimal S1 (Bidang pangan, kimia, biokimia, teknik
industri, biologi, atau farmasi);
d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai
kehalalan produk menurut syariat Islam ;
e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan
pribadi dan/atau golongan; dan
f) Memperoleh sertifikat dari MUI.
f. Tugas Auditor Halal (Pasal 15)
1) Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
2) Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
3) Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
4) Meneliti lokasi Produk;
5) Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah
Halal Center Perguruan Tinggi Negeri
Bidang pengabdian pada masyarakat tentang produk halal.
Bidang yang melakuan penelitian (interdisipliner) terhadap masalah produk halal.
Bidang yang membina masyarakat tentang pemahaman dan implementasi produk halal.
Berkoordinasi dalam APKAHI (Asosiasi Pusat Kajian Halal Indonesia)
Dokumentasi saat wawancara

Wawancara bersama Bapak Aminudin Yakub. M.Ag Anggota Komisi Fatwa MUI
SALINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu;
b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk
beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara
berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan
tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan
digunakan masyarakat;
c. bahwa produk yang beredar di masyarakat belum
semua terjamin kehalalannya;
d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk
pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan
perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan
Produk Halal;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan . . .
-2-
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait


dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,
serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.

2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan


halal sesuai dengan syariat Islam.

3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH


adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin
kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk


membuat atau menghasilkan Produk.

5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya


disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap
kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan
Sertifikat Halal.

6. Badan . . .
-3-
6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang
selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang
dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
JPH.

7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya


disingkat MUI adalah wadah musyawarah para
ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.

8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat


LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan
pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan
Produk.

9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki


kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan
Produk.

10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu


Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan
fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.

12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau


badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
usaha di wilayah Indonesia.

13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab


terhadap PPH.

14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan


hukum.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan


urusan pemerintahan di bidang agama.

Pasal 2 . . .
-4-
Pasal 2

Penyelenggaraan JPH berasaskan:


a. pelindungan;
b. keadilan;
c. kepastian hukum;
d. akuntabilitas dan transparansi;
e. efektivitas dan efisiensi; dan
f. profesionalitas.

Pasal 3
Penyelenggaraan JPH bertujuan:
memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian keter
meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha
untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Pasal 4
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia w

BAB II
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5

(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam


menyelenggarakan JPH.

(2) Penyelenggaraan . . .
-5-
(2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk
BPJPH yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.

(4) Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk


perwakilan di daerah.

(5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan


organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

Pasal 6

Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:


a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
JPH;
c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan
Label Halal pada Produk;
d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk
luar negeri;
e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan
publikasi Produk Halal;
f. melakukan akreditasi terhadap LPH;
g. melakukan registrasi Auditor Halal;
h. melakukan pengawasan terhadap JPH;
i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan
luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Pasal 7 . . .
-6-
Pasal 7

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
c. MUI.

Pasal 8

Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau


lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi
kementerian dan/atau lembaga terkait.

Pasal 9

Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan
dan/atau pengujian Produk.

Pasal 10

(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam
bentuk:
a. sertifikasi Auditor Halal;
b. penetapan kehalalan Produk; dan
c. akreditasi LPH.

(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk
Keputusan Penetapan Halal Produk.

Pasal 11 . . .
-7-
Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketiga
Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 12

(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan


LPH.

(2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mempunyai kesempatan yang sama dalam
membantu BPJPH melakukan pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk.

Pasal 13

(1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b. memiliki akreditasi dari BPJPH;
c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga)
orang; dan
d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja
sama dengan lembaga lain yang memiliki
laboratorium.

(2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh
lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.

Pasal 14 . . .
-8-
Pasal 14

(1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
(2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1
(satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik
industri, biologi, atau farmasi;
d. memahami dan memiliki wawasan luas
mengenai kehalalan produk menurut syariat
Islam;
e. mendahulukan kepentingan umat di atas
kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan
f. memperoleh sertifikat dari MUI.

Pasal 15

Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14


bertugas:
a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
d. meneliti lokasi Produk;
e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan
penyimpanan;
f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kepada LPH.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam


Peraturan Pemerintah.

BAB III . . .
-9-
BAB III

BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL

Bagian Kesatu
Bahan

Pasal 17

Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas bahan baku, bahan olaha
Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
hewan;
tumbuhan;
mikroba; atau
bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau prose
Bahanyangberasaldarihewansebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
kecuali yang diharamkan menurut syariat.

Pasal 18

(1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
meliputi:
a. bangkai;
b. darah;
c. babi; dan/atau
d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan
syariat.
(2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

Pasal 19 . . .
- 10
Pasal 19
(1) Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib
disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi
kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan
masyarakat veteriner.
(2) Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 20
(1) Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada
dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau
membahayakan kesehatan bagi orang yang
mengonsumsinya.
(2) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang
dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi,
atau proses rekayasa genetik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf
d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau
pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau
terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
(3) Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan fatwa MUI.

Bagian Kedua
Proses Produk Halal

Pasal 21
(1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan
dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk
tidak halal.

(2) Lokasi . . .
- 11
(2) Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b. bebas dari najis; dan
c. bebas dari Bahan tidak halal.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaim
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH seba
peringatan tertulis; atau
denda administratif.

(2) Ketentuan lebihlanjutmengenaitatacara


pengenaan sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Menteri.

BAB IV
PELAKU USAHA

Pasal 23

Pelaku Usaha berhak memperoleh:


a. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem
JPH;
b. pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan
c. pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal
secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak
diskriminatif.

Pasal 24 . . .
- 12
Pasal 24

Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat


Halal wajib:
a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
c. memiliki Penyelia Halal; dan
d. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada
BPJPH.

Pasal 25

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal


wajib:
a. mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang
telah mendapat Sertifikat Halal;
b. menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh
Sertifikat Halal;
c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
d. memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku
Sertifikat Halal berakhir; dan
e. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada
BPJPH.

Pasal 26

(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan


yang berasal dari Bahan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan
Sertifikat Halal.

(2) Pelaku . . .
- 13
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada
Produk.

Pasal 27

(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. denda administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 28
(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf c bertugas:
a. mengawasi PPH di perusahaan;
b. menentukan tindakan perbaikan dan
pencegahan;
c. mengoordinasikan PPH; dan
d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat
pemeriksaan.
(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
a. beragama Islam; dan
b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat
tentang kehalalan.

(3) Penyelia . . .
- 14
(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan
dan dilaporkan kepada BPJPH.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal
diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB V
TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL

Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan

Pasal 29

Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis k


PermohonanSertifikatHalalharusdilengkapi dengan dokumen:
data Pelaku Usaha;
nama dan jenis Produk;
daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
proses pengolahan Produk.
Ketentuanlebihlanjutmengenaitatacara
pengajuanpermohonanSertifikatHalaldiatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 30

(1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan


pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

(2) Penetapan . . .
- 15
(2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dinyatakan lengkap.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Pengujian

Pasal 31

(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dilakukan oleh Auditor Halal.
(2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi
usaha pada saat proses produksi.
(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang
diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian
di laboratorium.
(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha
wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.

Pasal 32

(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau


pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
(2) BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk
memperoleh penetapan kehalalan Produk.

Bagian . . .
- 16
Bagian Keempat
Penetapan Kehalalan Produk

Pasal 33

Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.


Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaku
Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuts
Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari k

pemeriksaan dan/atau pengujianProdukdari


BPJPH.
Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4
Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasa

Bagian Kelima
Penerbitan Sertifikat Halal

Pasal 34

(1) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal
pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha,
BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan
Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan
permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha
disertai dengan alasan.
Pasal 35 . . .
- 17
Pasal 35
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk
diterima dari MUI.

Pasal 36
Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib

Bagian Keenam
Label Halal

Pasal 37

BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional.


Pasal 38

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantumk


kemasan Produk;
bagian tertentu dari Produk; dan/atau
tempat tertentu pada Produk.

Pasal 39

Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak
mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam


Peraturan Menteri.

Pasal 41 . . .
- 18
Pasal 41

(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak


sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Pembaruan Sertifikat

Halal

Pasal 42

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun


sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat
perubahan komposisi Bahan.
(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku
Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat
Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa
berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan
Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 43

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses


JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum
dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.

Bagian . . .
- 19
Bagian Kedelapan
Pembiayaan

Pasal 44

Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajuk


Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifi
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi
halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan pengelolaan keuangan


Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH
diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI
KERJA SAMA INTERNASIONAL

Pasal 46

(1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama


internasional dalam bidang JPH sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama internasional dalam bidang JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk pengembangan JPH, penilaian
kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47 . . .
- 20
Pasal 47

(1) Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia


berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.

(2) Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya
sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga
halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama
saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (2).

(3) Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk
diedarkan di Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai tata cara registrasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3)
dikenai sanksi administratif berupa penarikan
barang dari peredaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VII
PENGAWASAN

Pasal 49

BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.

Pasal 50 . . .
- 21
Pasal 50

Pengawasan JPH dilakukan terhadap:


a. LPH;

b. masa berlaku Sertifikat Halal;


kehalalan Produk;
pencantuman Label Halal;
pencantuman keterangan tidak halal;
pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,penyimpa
keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

Pasal 51

(1) BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kew
bersama-sama.

(2) Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau


lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur


dalam Peraturan Pemerintah.

BAB . . .
- 22
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 53
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan JPH.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa:
a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang
beredar.
(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk
dan Produk Halal yang beredar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk
pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.

Pasal 54
BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada
masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan
JPH.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam
Peraturan Menteri.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 56
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk
yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 57 . . .
- 23
Pasal 57

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses


JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang
tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku
Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum


Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku
sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.

Pasal 59`

Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau


perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan
tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku
sebelum Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 60

MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi


Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.

Pasal 61

LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini


berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.

Pasal 62 . . .
- 24
Pasal 62

Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang


ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan
Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 63

Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum


Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal
dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal
28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64

BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun


terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 65

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus


ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 66 . . .
- 25
Pasal 66

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua


Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.

Pasal 67

(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang


beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku
5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang
bersertifikat halal diatur secara bertahap.
(3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat
halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 68

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar . . .
- 26
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295


PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan
pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang
dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk
Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan,
keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu,
jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan
kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan
Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi
Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan
kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara
nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku
untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk
lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi

pengolahan . . .
-2
pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu
pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran
antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak
disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan
kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang
membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di
bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi,
dan pemahaman tentang syariat.
Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang
beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.
Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang
memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum
memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat
muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur
dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup
Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan
makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk
biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara
lain adalah sebagai berikut.
1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan
produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari
bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang
dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses
rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang
merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian Produk.

2. Undang . . .
-3
2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha
dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang
memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang
diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas
keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian
tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah
terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Produk.
3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang
pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan
wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian
dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan
permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.
Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan
dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi
dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan
Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI
dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang
ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal
berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI
tersebut.
5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang
mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka
memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-
Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah
daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan
komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku
usaha mikro dan kecil.

6. Dalam . . .
-4
6. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH,
BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku
Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal;
pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat
dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal
dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan
lain yang berkaitan dengan JPH.
7. Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran
Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi
pidana.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa
dalam menyelenggarakan JPH bertujuan melindungi
masyarakat muslim.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam
penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah
bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan
kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang
dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

Huruf d . . .
-5
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas dan
transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah
bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi
pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta
meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan
dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau
terjangkau.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa
penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan
keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7 . . .
-6
Pasal 7

Huruf a

Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain


kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan,
kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi
dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan
obat dan makanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 8
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian
misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan
industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan
yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan
misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan
masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar,
serta perluasan akses pasar.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi
obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan,
perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.

Bentuk . . .
-7
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian
misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong
hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman
pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta
hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit
usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan
keamanan pangan hasil pertanian.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi
dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk
pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan
lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi,
usaha mikro, kecil, dan menengah misalnya dalam hal
menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan
pendampingan sertifikasi kehalalan Produk.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan
obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk
pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang
diregistrasi dan disertifikasi halal.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12 . . .
-8
Pasal 12
Ayat (1)
LPH yang didirikan pemerintah antara lain LPH yang
didirikan oleh kementerian dan/atau lembaga atau LPH yang
didirikan oleh perguruan tinggi negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21 . . .
-9
Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah
pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar,
tanda, dan/atau tulisan.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29 . . .
- 10
Pasal 29
Cukup

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39 . . .
- 11
Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria “usaha mikro dan kecil” didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha
mikro dan kecil.

Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Pemerintah


melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah
daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi,
dan komunitas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 45 . . .
- 12
Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b . . .
- 13
Huruf b
Pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar
antara lain pengawasan terhadap masa berlaku
Sertifikat Halal, pencantuman Label Halal atau
keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk
Halal dan tidak halal.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61 . . .
- 14
Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5604

Anda mungkin juga menyukai