Anda di halaman 1dari 89

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU

LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum (S.H.)

Oleh:

Jum’atal Mubarak MH
11170454000002

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/ 1443 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA


KECELAKAAN LALU LINTAS BERAT Studi Putusan PN No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Agustus 2021. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata (S-1)
pada Program Studi Hukum Pidana Islam.

Jakarta, 04 Agustus 2021


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A


NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A.


(………………)
NIP. 196906292008011016
2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A.
(………………)
NIP. 197604082007101001
3. Pembimbing I : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.
(………………)
NIP. 1995903191979121001
4. Pembimbing II : Ali Mansur, M.A.
(………………)
NIP. 197605062014111002
5. Penguji I :.Dr. Ria Safitri, M.Hum.
(………………)
NIP. 197111202006042005
6. Penguji II : Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H.
(………………)
NIP. 198505242020121006
ABSTRAK

Jum‟atal Mubarak, MH. NIM 11170454000002. PERTANGGUNGJAWABAN


PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA. Program Studi Hukum
Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Univesitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1443 H/2021 M.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai kecelakaan lalu lintas
yang dilakukan oleh terdakwa AS yang mengakibatkan banyaknya kematian dan
korban luka-luka dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Studi ini
bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil dan untuk
mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan Majelis
Hakim dalam memutuskan perkara No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang
tabrakan maut yang menyebabkan kematian dan luka-luka.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metode pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan tersebut berupa
pendekatan perundang-undangan (statue Approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) yang berkaitan dengan putusan No.
665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah metode dokumentasi dengan menggunakan teknik studi pustaka yang
dilakukan terhadap data primer dan data sekunder. Setelah data tersebut
terkumpul, maka dilakukan pengolahan data dengan cara pengkodean,
kategorisasi, dan fragmentasi data. Akhirnya, data-data yang diperoleh tersebut
dianalisis dengan metode analisis data yang penulis gunakan yaitu analisis
wacana.
.Hasil penelitian menunjukan bahwa pada pertimbangannya Majelis
Hakim berpendapat kecelakaan maut yang dilakukan oleh terdakwa AS
merupakan pembunuhan karena kelalaian akan tetapi perbuatan terdakwa sebelum
terjadinya tabrakan maut tersebut dianggap oleh Majelis Hakim sebagai perbuatan
yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan dengan cara yang dapat
membahayakan nyawa atau barang. Sehingga terdakwa oleh Majelis Hakim
dianggap telah melanggar ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang
LLAJ pada Pasal 311 ayat (4) dan (5) dan akhirnya dijatuhi hukuman 15 tahun
penjara. Islam memiliki pandangan yang sama bahwa kasus terdakwa AS
merupakan pembunuhan tersalah (qathlul qata‟), akan tetapi memiliki pandangan
berbeda dengan jenis hukuman yaitu berupa diyat dan kafarat sebagai hukuman
pokok dengan tanpa adanya ta‟zir berdasarkan pendapat para fuqaha. Dan juga
pada kasus AS tidak diberikan hukuman konsekuensi berupa terhalang sebagai
ahli waris dan wasiat.
Kata Kunci: Tabrakan maut, lalu lintas, pidana, Islam.

Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H, M.Hum, dan Ali Mansur, M.A.


Daftar Pustaka : 1967-2020.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT. Yang Maha Esa
dan Yang Maha Pemurah atas segala rahmat, nikmat, karunia, anugrah, lindungan,
dan hidayahnya kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN
DAN LUKA-LUKA”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dan juga
merupakan tugas akhir bagi penulis untuk dapat menamatkan strata satu di
Program Studi Hukum Pidana Islam atau Jinayah, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya shalawat dan
salam penulis hadiahkan kepada baginda Rasulullah, Nabi Muhammad
Shallallahu „alaihi wa Sallam sebagai pembawa risalah kebenaran untuk semua
umat di dunia, khususnya umat Islam.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah penulis lakukan
secara bertahap, dimulai dari penemuan tema dan judul, pembuatan kerangka
penelitian, pembuatan proposal, pelaksanaan ujian, revisi proposal, dan
pembimbingan skripsi serta barulah dimulai pembuatan skripsi dengan berbagai
prosesnya yang panjang dan lain sebagainya. Proses panjang tersebutlah yang
mengantarkan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi dengan baik dan benar.
Proses panjang tersebut dapat penulis jalani berkat arahan, motivasi, nasehat, dan
dukungan baik secara moril maupun materil kepada penulis. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A, selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta;
2. Qosim Arsadani, M.A, selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah);
3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A, selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (Jinayah);

iv
4. Dr. Burhanudin, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan
skripsi ini, dengan telah memberikan banyak masukan dan arahan serta
meluangkan waktunya dengan penuh keihlsan kepada penulis;
5. Ali Mansur, M.A, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi,
yang juga telah membantu penulis dengan arahan, nasehat serta
meluangkan waktunya demi penyelesaian skripsi ini;
6. Amrullah Hasbana, S.Ag, S.S, M.A, selaku Pimpinan perpustakaan yang
telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan;
7. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik di Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Kedua orang tua penulis, Buya Masrijal dan Bunda Hendra yetti beserta
adik-adik tercinta, Nahri dan Imam yang selalu mendorong, menasehati,
dan memotivasi serta do‟a yang tiada hentinya ditujukan kepada penulis
sejak awal perkuliahan hingga sampai saat ini. Semoga Allah senantiasa
memberikan rahmat, karunia dan keberkahannya, Aamiin yaa Rabbal
„Aalamiin.
9. Kerabat, sanak dan saudara baik dari pihak ayah maupun ibu yang mana
telah membantu, memberi dukungan, motivasi dan nasehat dalam
memperlancar proses pendidikan penulis.
10. Teman-teman dari Program Studi Hukum Pidana Islam yang telah
bersama-sama menempuh bangku perkuliahan di program studi ini.
Terimakasih atas kebersamaan dan waktu yang telah bersama kita
habiskan.
11. Teman-teman dari organisasi daerah maupun teman-teman dari sekolah
dahulu yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan ini.
12. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sampikan satu-persatu..
Sekian ungkapan terimakasih penulis, dan akhir kata penulis ucapkan
Alhamdulillahirabbil „Alamiin. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Sekian dan
terimakasih.

v
Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, 18 Juli 2021

Jum‟atal Mubarak, MH

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 9

D. Metode Penelitian ............................................................................... 10

E. Sistematika Penulisan......................................................................... 13

BAB II KAJIAN TEORITIS: PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN


HUKUM .................................................................................................... 15

A. Pengertian Tindak Pidana................................................................... 15

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................................... 16

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana: Kejahatan dan Pelanggaran .................... 17

D. Teori Pemidanaan ............................................................................... 18

E. Pertanggungjawaban Pidana dalam Perundang-Undangan ................ 20

F. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana.............................. 22

G. Review Hasil Studi Terdahulu ........................................................... 26

BAB III KECELAKAAN LALU LINTAS BERAT PERSPEKTIF HUKUM


POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM ............................................. 30

A. Kecelakaan Lalu Lintas Berat Perspektif Hukum Positif................... 30

1. Pengertian Kecelakaan Lalu lintas Berat ....................................... 30

2. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang


Mengakibatkan Kematian. ............................................................. 31

vii
3. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang
Mengakibatkan Luka-Luka. .......................................................... 32

B. Kecalakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan Kematian dan Luka-Luka


Perspektif Hukum Pidana Islam ......................................................... 33

BAB IV ANALISIS KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG


MENYEBABKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA DALAM
PUTUSAN No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst .............................................. 37

A. Penerapan Pidana Materil dalam Putusan No.


665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang Kecelakaan lalu lintas yang
Menyebabkan Kematian dan Luka-Luka Perspektif Hukum Positif. 37

1. Deskripsi Kasus ............................................................................. 37

2. Dakwaan Penuntut Umum ............................................................. 39

3. Pertimbangan dan Putusan Hakim................................................. 40

4. Analisis Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.......................... 44

B. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas


Berat dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. ....................... 57

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 72

A. Kesimpulan......................................................................................... 72

B. Rekomendasi ...................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya bahwa
penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi. Kemudian ide tentang
negara hukum popular pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa
yang didominasi oleh absolutisme.1 Dalam perkembangannya, konsep negara
hukum tidak bisa dipisahkan dari konsep kedaulatan rakyat. Sebab munculnya
hukum tidak terlepas dari kedaulatan rakyat mengingat hukum tersebut dibuat
untuk dipatuhi oleh masyarakat. Pembuatannya tersebut berdasarkan rakyat, demi
tunjuan kesejahteraan rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat sudah pasti dijadikan
sebagai sumber materil dari hukum.
Negara yang adil dilihat dan didasarkan oleh pandangan dari
masyarakatnya atau diihat dari keadaan masyarakatnya tentang bagaimana
keadilan itu berjalan di lingkungan masyarakat dan bagaimana jalannya keadilan
dalam negara. Tentu keadilan tersebut merupakan syarat diwujudkannya
ketentraman dan kemakmuran hidup masyarakat yang hal itu dapat diajarkan
dengan nilai kesusilaan dan dengan berbagai aspek norma yang ada dan berlaku di
Indonesia agar terciptanya warga negara yang baik yang saling menjaga hak dan
taat aturan dalam melaksanakan aktifitas kehidupannya dan kewarganegaraannya.
Indonesia adalah negara yang merdeka dengan segala kebebasannya tapi
tetap diatur oleh peraturan, yang segala penyelenggaraan pemerintahannya
berdasarkan hukum yang berlaku. Negara Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat), hal ini secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 1 ayat 3. Adapun negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan
keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-
alat perlengkapan negara atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang

1
Ni‟matul Huda, Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review, (Yogyakarta: UII
Press, 2005), h. 19.

1
2

demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. 2 Dengan


demikian, negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) sudah pasti bukan negara
yang berdasarkan kekuasaan otoriter. Oleh karena itu, kedudukan hukum harus
ditempatkan di atas segalanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan
hukum tanpa kecuali.3 Hal ini merupakan salah satu cara untuk mencapai
pembangunan nasional Indonesia yang tepat dan terarah, yaitu untuk melahirkan
suatu keadaan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara merata baik
materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hukum menurut Utrecht adalah “Himpunan peraturan-peraturan (perintah,
dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan harus ditaati
oleh masyarakat itu”.4 Seluruh rakyat tidak ingin dibeda-bedakan dalam
pemenuhan haknya, itulah keadilan. Seluruh rakyat tidak ingin hidup dalam dunia
dengan pelanggaran kejahatan, itulah ketertiban. Seluruh rakyat ingin
5
terpenuhinya kebutuhan raga dan kebutuhan jiwa, itulah kesejahteraan.
Fakta-fakta yang terjadi dan berkembang di masyarakat nyatanya
berbanding terbalik dengan apa yang menjadi tujuan negara yang dicita-citakan.
Dewasa ini berbagai permasalahan hukum semakin marak terjadi dikarenakan
pola tingkah laku masyarakat yang telah terbawa arus perkembangan zaman,
teknologi dan bahkan budaya yang semakin pesat. Hal ini menyebabkan pola
tingkah laku masyarakat dalam bersikap yang semakin komplek dan semakin
banyak pula norma-norma yang ada telah dikesampingkan oleh masyarakat.
Fenomena ini terjadi tidak hanya di tingkat pelaksana hukum namun juga terjadi
ditingkat pembuat dan penegak hukum.
Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai
penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan

2
Abdul Aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), h. 8.
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 69.
4
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), h. 38.
5
Tim Ario Husein Jayadiningrat, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Percepatan Pembangun Daerah Tertinggal, Social Science In National Law Competition 2015 di
Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2015), h. 110.
3

terganggunya ketentraman dan ketertiban terhadap kehidupan manusia itu


sendiri.6 Perilaku menyimpang tersebut dapat melahirkan suatu pelanggaran
hingga kejahatan dan fenomena itu membutuhkan perlakuan khusus sebagaimana
hal tersebut dituangkan dalam KUHP. Pelanggaran maupun kejahatan dapat
menimbulkan keresahan dan gangguan dalam lingkungan masyarakat. Indonesia
telah menetapkan sanksi pidana penjara dalam perundang-undangan sebagai salah
satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan, hal ini merupakan salah satu
bagian kebijakan kriminal atau politik kriminal, namun kejahatan yang terjadi di
masyarakat sepertinya sulit dihilangkan, meskipun dengan perangkat hukum dan
undang-undang yang dirumuskan oleh lembaga Legislatif.7 Oleh karena itu, dalam
menangani hal tersebut diperlukan penegasan kembali terkait aturan yang telah
diformalisasikan kepada setiap masyarakat bahwa setiap pelanggaran dan
kejahatan ada hukuman atau sanksi yang mengikutinya.
Berbicara mengenai kejahatan dan pelanggaran, hal itu dibahas dalam
KUHP yang keseluruhannya menjelaskan aturan tentang hukum pidana. Hukum
pidana adalah suatu kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan
mendapatkan sanksi atau hukuman bila dilanggar, dan sanksi hukuman pidana
jauh lebih keras dibandikan dengan sanksi hukuman lain.8
Hukum pidana juga diperkenalkan dalam Islam dengan sebutan fiqih
jinayyah atau hukum pidana Islam yang intinya juga mengatur sanksi bagi pelaku
penyimpangan kejahatan. Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat
Allah SWT yang mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh para mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci
dari Al Qur‟an dan Hadist.9

6
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 4.
7
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h.2.
8
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar, 2011), h. 8.
9
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), h. 86., sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam,
Cet. 1., (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 1.
4

Kita telah mengenal bermacam-macam sistem hukum yang berlaku di


dunia, yaitu sistem hukum civil law, common law, hukum adat maupun hukum
Islam dan sistem hukum lainnya. Meskipun warga Indonesia mayoritas memeluk
agama Islam, namun pengaruh hukum Islam tidak menonjol di dalam sistem
hukum yang ada di Indonesia baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya
hukum itu sendiri. Bahkan Abdul Jamil pernah memberikan komentar bahwa
meskipun umat Islam mayoritas di negeri ini, akan tetapi ruang bagi penegakan
hukum Islam hanya tersedia di Pengadilan Agama.10
Berbicara mengenai pemberian sanksi dan hukuman bagi pelaku
menyimpang baik itu kejahatan maupun pelanggaran semuanya ditetapkan setelah
pelaku tersebut diadili dan menerima putusan oleh Hakim. Hukuman dan sanksi
tersebut diberikan sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan
kriminal yang telah dilakukan. Hukuman dan sanksi tersebut didapat dan
diperoleh dari perjalanan panjang proses dan prosedur hukum pidana yang
dilakukan. Sehingga putusan tersebut haruslah seimbang dengan
pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dilakukannya. Sebagaimana
Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa “asas kesalahan merupakan asas
yang sangat fundamental dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap si
pembuat yang bersalah melakukan tindak pidana”.11
Hukum pidana Islam juga mengenal tentang perbuatan pidana atau yang
dikenal dengan tindakan kriminal. Dalam Islam perbuatan pidana adalah tindakan-
tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan
peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadist.12
Maka tidak salah jika dikatakan bahwa tindak pidana di Indonesia memiliki
muatan jenis kejahatan yang sama dengan hukum pidana Islam, dan ditambah lagi
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Maka menjadi wajar jika hukum
pidana Islam menjadi sumber materil hukum pidana di Indonesia. Oleh karena itu

10
Abdul Jamil, Hukum Islam di Indonesia Setelah Pemberlakuan Undang-Undang No.7
tahun 1989, dalam Jurnal Hukum dan Keadilan, Universitas Islam Indonesia, Vol.I, (Yogyakarta,
1989), h. 83.
11
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), h.85.
12
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2007), h. 1.
5

dapat dikatakan bahwa dalam hal, proses dan prosedur hukum pidananya atau
hukum acara pidananya, hukum pidana Indonesia banyak mengikuti ketentuan
hukum pidana Islam meski tidak secara keseluruhan.
Tindak pidana dari segi bentuknya memiliki jenis dan
pertanggungjawaban yang berbeda tergantung perbuatan apa yang dilakukan dan
apa akibat yang ditimbulkan. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa
perbuatan menyimpang akan melahirkan kejahatan atau pelanggaran, dimana
kejahatan dan pelanggaran tersebut merupakan perbuatan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana. Pada tulisan ini penulis akan menjelaskan, menganalisis,
mendekripsikan, dan memaparkan terkait perbuatan pidana yang berhubungan
dengan lalu lintas yang sudah sering terjadi yaitu tabrakan maut.
Tabrakan maut menurut penulis adalah suatu kejadian atau peristiwa di
jalan yang tidak terduga dan tidak sengaja melibatkan kendaraan dengan
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia baik luka-luka sampai
meninggal dunia, serta memberikan kerugian harta benda. Terjadinya tabrakan
maut sering disebabkan karena kondisi psikologis si pengguna jalan seperti tidak
fokus dalam berkendara, tertidur, mabuk, tidak memperhatikan aturan lalu lintas
dan lain sebagainya. Sering pula karena kelalaian tersebut menyebabkan
terjadinya kecelakaan maut yang melahirkan banyak korban.13
Kecelakaan atau tabrakan maut yang mengakibatkan orang meninggal
maupun luka-luka, akhir-akhir ini sering dipublikasikan maupun ditayangkan
melalui media masa. Sebenarnya, Indonesia telah mengatur ketentuan tersebut,
salah satunya terkait perbuatan yang menyebabkan kematian seseorang yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)
pada Pasal 338 dan pasal 359 KUHP. Namun kedua pasal tersebut tidak dapat
diberlakukan begitu saja terhadap kasus tabrakan maut. Salah satu alasannya yaitu
adanya aturan khusus yang dapat diberlakukan dalam peristiwa yang berkaitan
dengan lalu lintas tersebut yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Sebagaimana asas lex specialis derogate lex generalis
13
Soerjono Soekanto, Inventarisasi dan Analisa terhadap Perundang-undangan Lalu
Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 21.
6

yaitu aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum.14
Selama perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut dilakukan bukan karena
kesengajaan dan dilakukan dalam keadaan berlalu lintas, maka Undang-undang
No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ yang harus digunakan.
Adanya aturan khusus dalam berlalu lintas tersebut, merupakan
konsekuensi dari tujuan dikeluarkannya UU LLAJ yang tertera di dalam
konsiderans UU LLAJ, terutama huruf b, yang menyatakan:
“Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu
lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi dan pengembangan wilayah”.15

Tujuan dari undang-undang tersebut dalam aplikasi sehari-hari seringkali


mengecewakan masyarakat, dan hal ini dapat dilihat dengan seringnya terjadi
kecelakaan maupun tabrakan maut. Secara realitanya kecelakaan yang sering
terjadi berawal dari pelanggaran lalu lintas. Hal inilah yang kurang disadari dalam
masyarakat, masih banyak masyarakat yang menganggap remeh untuk mematuhi
aturan lalu lintas. Kebanyakan masyarakat terkhusus para pengguna jalan hanya
merasa takut pada Polisi yang berjaga di jalan, bukan atas dasar keinginan dari
diri pribadi untuk mengikuti peraturan lalu lintas. Sehingga ketika tidak ada Polisi
yang berjaga, sebagian warga melakukan pelanggaran yang tak jarang
menyebabkan kecelakaan hingga menimbulkan korban.
Polemik tersebut juga terjadi pada kasus kecelakaan maut yang dilakukan
oleh AS yang mana AS pada saat itu tidak memperhatikan aturan lalu lintas. AS
berkendara dalam kondisi tak stabil, lelah dan mengantuk, kualitas jalan yang
buruk, serta tikungan tajam. Kasus tersebut akan menjadi bahasan penulis pada
skripsi ini, dalam deskripsi kasus tersebut dijelaskan bahwa kecelakaan mobil
Xenia dengan plat nomor kendaraan B 2478 XI yang dikendarai oleh AS
menabrak 12 (dua belas) pejalan kaki di trotoar. Tercatat 3 (tiga) dewasa, 3 (tiga)

14
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 2008), h.
33.
15
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,
(Jakarta: Prenadama Group, 2016), h. 210 – 211.
7

remaja pria, 1 (satu) remaja wanita, dan 1 (satu) balita meregang nyawa akibat
kecelakaan maut tersebut.
Kasus di atas menimbulkan akibat dan pertanggungjawaban pidana yang
besar dimana dalam perbuatan tersebut mengakibatkan adanya korban yang
meninggal maupun luka-luka. Seiring berjalannya kasus dan dikeluarkannya
putusan oleh hakim yang mana menjatuhi hukuman pidana penjara selama 15
tahun kepada AS, namun masih banyak ketidakpuasan terutama dari pihak
keluarga korban akan kurangnya jumlah hukuman yang diberikan melihat akibat
yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Menjadi pertanyaan terkait bagaimana pandangan Islam terhadap kasus
tersebut? Di mana kecelakaan maut tersebut mengakibatkan banyaknya korban
Jiwa dan luka-luka. Ditambah lagi kecelakaan maut tersebut terjadi dikarenakan
kealpaan yang disebabkan dari mengkonsumsi ekstasi yang juga tergolong
narkoba. Apakah Islam memiliki pandangan lain terhadap kasus tersebut yang
mana dapat menjawab ketidakadilan yang dimiliki oleh keluaraga korban ataukah
Islam memiliki pandangan yang sama terkait kasus tersebut dan menurut Islam
putusan yang diberikan tersebut sudah didasarkan dengan alasan atau bukti yang
tepat.
Persoalan-persoalan di atas itulah yang membuat penulis berkeinginan
untuk mencurahkan penelitiannya pada perihal terkait tabrakan maut. Dikarenakan
kasus serupa sudah sering terjadi sepanjang terus berkembangnya jenis lalu lintas
dan transportasi masyarakat. Seringkali terjadinya kasus kecelakan dewasa ini
yang secara garis besarnya disebabkan karena kelalaian yang dialami para
pengendara. Kemudian berdasarkan data yang telah penulis temukan di Badan
Pusat Statistik bahwa pada tahun 2018, terdapat 109.215 jumlah kecelakan yang
terjadi di Indonesia yang diantaranya 29.472 orang meninggal dunia, 13.315
mengalami luka berat, 130.571 mengalami luka ringan, dan 213.866 mengalami
kerugian materi. Besarnya jumlah korban yang dihasilkan dari kecelakaan lalu
lintas yang berakhir pada tabrakan maut mengakibatkan kurangnya rasa keamanan
dalam berlalu lintas. Kecelakaan maut yang mengakibatkan kematian haruslah
diberikan sanksi sesuai jumlah kerugian yang dialami korban, demi menimbulkan
8

efek jera bagi pengendara. Hilangnya nyawa seseorang sebenarnya secara materil
tidak dapat digantirugikan, akan tetapi masih banyak pengendara yang lalai dalam
berkendara atau yang berkendara dalam keadaan yang tidak stabil dan hal itu
dikarenakan tidak adanya ketakutan pada diri mereka terhadap sanksi yang
diberikan. Untuk itulah penulis mengambil judul “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA” sebagai penambah
wawasan bagi para pembaca agar tidak meremehkan pelanggaran yang terjadi
dalam berlalu lintas.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang proposal di atas, penulis mengidentifikasi
beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Konsep dan teori hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
dalam kecelakaan lalu yang mengakibatkan kematian dan luka-luka
dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst
b. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas
yang menimbulkan korban jiwa dan luka-luka menurut hukum pidana
Islam dan hukum pidana positif.
c. Penerapan hukum pidana materil terhadap kecelakaan lalu yang
mengakibatkan kematian dan luka-luka dalam putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.
d. Proses pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara kecelakaan
lalu lintas yang mengakibatkan kematian dan luka-luka pada putusan
No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.
e. Analisis putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan
lalu lintas berat perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif.

2. Pembatasan Masalah
9

Pada penulisan skripsi ini demi menghindari uraian materi yang tidak
menyimpang dari pokok permasalahan, penulis membatasi masalah yang akan
dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang
penulis harapkan. Di sini penulis hanya akan membahas bagaimana kasus
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian dan luka-luka dalam
putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst perspektif hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam. Adapun terkait penerapan pasal pada penelitian ini adalah
penerapan pasal pada saat peradilan berlangsung.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang ingin dibahas dari penelitian adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana penerapan hukum pidana materil dalam putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan kematian dan luka-luka?
b. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan
Hakim dalam memutuskan perkara No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst
tentang kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian dan luka-
luka?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka di bawah ini dikemukakan
tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil dalam putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan kematian dan luka-luka.
b. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap
pertimbangan Hakim dalam memustuskan perkara No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan kematian dan luka-luka.
2. Manfaat Penelitian
10

a. Manfaat teoritis adalah dapat memperkaya khazanah keilmuan dalam


mengetahui pandangan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam
mengenai tabrakan maut yang menyebabkan kematian dan luka-luka.
Manfaat teoritis tersebut diharapkan berguna bagai kalangan pelajar,
penegak hukum, mahasiswa, dan akademisi lainnya.
b. Manfaat praktis diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, para
penegak hukum, mahasiswa, akademisi dan pengguna jalan. bagi
penegak hukum dapat memberi manfaat penegakan hukum dalam
menerapkan aturan terhadap kasus tabrakan maut yang menyebabkan
kematian dan luka-luka. Selain itu, dengan dipaparkannya materi terkait
akibat dan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan pada pelaku
tabrakan maut diharapkan dapat menimbulkan kesadaran diri akan
aturan dalam berlalu lintas sehingga dapat mengurangi dan mencegah
terjadinya kasus tabrakan maut yang serupa.

D. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang peneliti terapkan pada skripsi ini adalah
pendekatan yuridis-nomatif. Penelitian hukum yuridis-normatif adalah
penelitian yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian dan doktrin
(ajaran).15 Adapun bentuk pendekatan tersebut adalah pendekatan perundang-
undangan (statue Approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach) yang berkaitan dengan putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan peenulis pada penulisan skripsi ini
adalah dengan penelitian Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang menekankan pada aspek suatu pemahaman secara mendalam

15
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31.
11

terhadap masalah yang diteliti.16 Dalam hal ini penulis berusaha menjawab
rumusan masalah yang telah penulis jelaskan di sub bab sebelumnya, yang
mana membahas masalah terkait penerapan pidana materil dalam
pertimbangan hakim pada No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst dan pandangan
hukum islam terkait kasus tersebut.
3. Data Penelitian
a. Sumber Data
Adapun dua sumber data yang penulis gunakan dalan penulisan ini
antara lain:
1) Sumber primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.17
Yakni dari penelitian ini adalah Al-Qur‟an, Hadist, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan Putusan
No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst.
2) Sumber sekunder yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang
berupa catatan formal dan dengan mengumpulkan serta menelaah
beberapa literatur baik berupa buku-buku, catatan, dan dokumen-
dokumen atau diktat yang ada pada redaksi.18 Dalam penelitian
ini penulis menggunakan yaitu buku-buku teks dan dokumen-
dokumen yang menjelaskan suatu dan/atau beberapa persoalan
hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel, surat kabar dan seterusnya.
b. Jenis Data
Sumber-sumber data yang telah penulis paparkan di atas diambil
berdasarkan dua jenis data yang penulis gunakan yaitu:

16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada group,
2008), h. 23.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjaun
Singkat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.
18
Husni Husman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 32.
12

1) Data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh


peneliti (atau petugasnya) dari sumber pertamanya.19 Sesuai
dengan sumber data penelitian penulis yaitu Al-Qur‟an,
Hadist, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, dan Putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst,
data-data tersebut merupakan sumber data pertama atau
sumber data langsung dari bahasan yang menjadi penelitian
penulis.
2) Data Sekunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga
dikatakan data yang tersusun dalam bentuk dokumen-
dokumen.20
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah metode dokumen. Metode dokumen adalah cara pengumpulan data
dengan cara memanfaatkan data-data berupa buku, catatan (dokumen).
Metode dokumen akan dilakukan terhadap data primer dan data sekunder.
Adapun untuk memperoleh data-data yang relevan dalam penelitian ini dengan
teknik kepustakaan melalui menelaah buku-buku, dokumen-dokumen dan
lain-lain yang relevan dengan masalah yang dibahas.21
5. Teknik Pengolahan Data
Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini,
yaitu metode kualitatif. Maka teknik pengolahan data pada penelitian ini
dimulai dengan melakukan pengkodean data, kemudian dilakukan
kategorisasi, dan fragmentasi data. Pemilahan, pemilihan dan pemotongan
data dilakukan sesuai kebutuhan. Seperti pada penelitian ini dengan

19
Suharsimi Arikunto, Preosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), h. 129.
20
Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 93.
21
Muchtar, Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif, (Jakarta: Referensi, 2013), h.
201.
13

menyeleksi fragmen hasi data kepustakaan terkait tabrakan maut yang akan
dipakai dalam penulisan skripsi.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data menjelaskan model analisis atau perspektif
tertentu yang dipakai dalam mendeskripsikan dan menginterpretasikan
temuan penelitian. Model analisis yang penulis gunakan pada metode
penelitian kualitatif ini adalah model analisis wacana.
Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari makna pesan
sebagai alternatif lain akibat keterbatasan dari analisis isi. Secara teoritis
memiliki prinsip yang hampir sama dengan beberapa pendekatan
metodologis, seperti analasis struktural, pendekatan dekonstruksionisme,
interaksi simbolis dan hermeneutika, yang semuanya lebih menekankan pada
pengungkapan makna yang tersembunyi.22 Pada penelitian ini penulis
mengungkapkan makna dari data yang penulis temukan baik berupa teori,
konsep maupun istilah lainnya, sehingga dianalisis dan dijadikan sebagai
bahan studi penelitian yang penulis tulis.
7. Pedoman Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
diterbitkan pada tahun 2017. Mengikuti panduan buku tersebut dan disertai
arahan Dosen Pembimbing diharapkan skripsi ini telah dibuat sesuai dengan
keinginan fakultas.

E. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang
menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika
penulisan yang terdiri dalam 5 bab dimana masing-masing bab berhubungan satu
dengan yang lain, yaitu:
1) Bab I: Pendahuluan

22
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, cet. ke-7, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 206.
14

Pada Bab ini penulis akan menguraikan bagaimana latar belakang


masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2) Bab II: Kajian Teoritis dan Review Hasil Studi Terdahulu
Pada bab ini penulis akan membahas beberapa materi terkait tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana dan teori pemidanaan. Adapun beberapa
materi yang menjadi sub bab pada bab ini yaitu mengenai istilah dan
pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana dalam undang-undang, kesengajaan dan
kealpaan, dan teori pemidanaan, serta review hasil studi terdahulu.
3) Bab III: Kecelakaan Lalu Lintas Berat Perspektif Hukum Pidana Islam dan
Pidana Positif.
Bab ini akan membahas antara lain yaitu pengertian kecelakaan lalu
lintas berat dan pertanggungjawaban pidananya dengan berdasarkan
pandangan hukum pidana Islam dan pidana positif.
4) Bab IV: Analisis Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan
Kematian dan Luka-Luka dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst
Bab ini merupakan hasil dari penelitian yang mana di dalamnya
memaparkan analisis pertimbangan hakim dalm Putusan PN No.
665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst. Analisis penulis tersebut dipaparkan berdasarkan
konsep atau teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya baik
berdasarkan perspektif hukum pidana maupun hukum pidana Islam.
5) Bab V : Penutup
Bab ini mencakup antara lain kesimpulan dan saran dalam penelian dan
penulisan ini.
BAB II
KAJIAN TEORITIS: PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM

A. Pengertian Tindak Pidana


Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda,
demikian juga dengan WvS Hindia Belanda (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), namun tidak terdapat penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud
dengan strafbaar feit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dan isi dari istilah tersebut.1
Tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Strafbaar
Feit atau Delict”. Sedangkan perkataan pidana berasal dari bahasa sansekerta.
Dalam bahasa Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut
“penalty”, artinya hukuman. Peristiwa pidana menurut Utrecht adalah suatu
pelanggaran kaidah atau pelanggaran hukum (normovertreding), yang diadakan
karena kesalahan pelanggar, dan harus diberi hukuman untuk dapat
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.2
Sedangkan Vos merumuskan, bahwa tindak pidana adalah suatu kelakuan
manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang, jadi suatu
kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.3 Sementara dalam
perundang-undangan sendiri, ada banyak istilah yang digunakan untuk
menunjukan pengertian strabaarfeit, Beberapa istilah tersebut yaitu peristiwa
pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang
diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Perbedaan istilah tersebut tidak
menjadi persoalan, selama penggunaannya disesuaikan berdasarkan kegunaan
maknanya dan kesesuaian konteks kalimatnya. Oleh karena itu, istilah-istilah

1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h.
67
2
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,
1994), h. 252.
3
Tri Andriman, Hukum Pidana, (Lampung: Universitas Lampung, 2009), h. 83.

15
16

tersebut sering digunakan secara bergantian tergantung makna dan kesesuian


kalimatnya. Intinya tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar atau
bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang
yang dapat dipertanggungjawabkan.4

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak
pidana (strafbaar feit). Unsur objektif antara lain: perbuatan orang, akibat yang
kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai
perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat openbaar atau di muka umum.
Sedangkan unsur subjektif yaitu: orang yang mampu bertanggung jawab, adanya
kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan,
kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan
keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Sebagaimana halnya pengertian tindak
pidana selalu berkaitan dengan dipidananya pembuat banyak diikuti oleh para ahli
hukum pidana yang menganut teori monistis, dalam hal tindak pidana yang
demikian subjek dari tindak pidana hanya ditekankan pada manusia sebagai
subjek hukum.5
Terhadap unsur-unsur tindak pidana, ada ahli yang berpendapat bahwa
antara unsur subjektif (pelaku/pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan)
tidak perlu dilakukan pemisahan dan ada pula yang merasa perlu untuk
dipisahkan. Golongan yang merasa tidak perlu dilakukan pemisahan disebut aliran
monisme, sedangkan yang merasa perlu untuk dipisahkan disebut aliran
dualisme.6
Paham monisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan
syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan

4
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,
(Bogor: Politeia, 1979), h. 26.
5
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed. III, cet. III,
(Bandung: Reflika Aditama, 2003), h. 59.
6
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
75.
17

menjadi unsur tindak pidana.7 Pada aliran dualisme memisahkan antara perbuatan
dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut. Para ahli hukum yang paham
dengan aliran dualisme ini misalnya Pompe, Vos, Tresna Roeslan Saleh, A. Zainal
Abidin, dan Fetcher mengatakan “perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan
yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukannya”.8 Unsur
keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau
memperberat pidana yang dijatuhkan.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana: Kejahatan dan Pelanggaran


Pembagian perbuatan pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini
disebutkan dalam undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang
disebut kejahatan (Rechtdelicten atau delik hukum) dan pada buku ke III memuat
delik-delik tentang pelanggaran (wetsdelict) atau delik undang-undang.9 Terdapat
dua pendapat yang mencoba untuk menemukan perbedaan sekaligus kriteria
antara pelanggaran dan kejahatan yaitu dari segi kualitatif dan kuntitatif. Adapun
dari segi kualitatif yaitu:
1. Rechtdelicten adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang
atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
bertentangan dengan keadilan contohnya: pembunuhan, pencurian.10
2. Wetsdelicten adalah perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia
tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai
perbuatan terlarang karena undang undang mengancam dengan pidana.11
Perbedaan secara kualitatif yang diterangkan di atas ini tidak dapat
diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum
dalam KUHP, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan

7
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta Raja: Grafindo Persada, 2007), h.
76.
8
Fletcher George P, Rethinking Criminal Law, (Oxford: Oxford University Press, 2000),
h. 455.
9
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 58.
10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 58.
11
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka setia, 2000), h. 55-56.
18

dengan rasa keadilan. Sebaliknya ada pelanggaran yang benar-benar dirasakan


bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu
tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.12
Pendapat kedua mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriteria pada
perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, adalah pelanggaran itu lebih ringan
daripada kejahatan.13

D. Teori Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan
sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.14
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat
dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung
konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat.
Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.15 Pada RKUHP Juli
tahun 2006, tujuan pemidanaan ditentukan dalam pasal 51 yaitu pemidanaan
bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat, untuk memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.16

12
Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahai Hukum Pidana, (Kencana:
Prenadamedia Group, 2014), h. 45.
13
Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahai Hukum Pidana, (Kencana:
Prenadamedia Group, 2014), h. 45.
14
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 95.
15
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 95.
16
RKUHP Juli Tahun 2006, dalam Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Deepublish, 2018), h. 19.
19

Berdasarkan tujuan pemidanaan di atas, muncullah beberapa teori yang


dapat dipakai yaitu:
1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorieen)
Teori absolut (retributive) berpandangan bahwa pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana dijatuhkan
sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi disini
dasar pembenarannya adalah kejahatan itu sendiri.17 Mengenai hal
tersebut, Kant berpendapat pidana yang diterima seseorang pelaku
kejahatan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan
yang dilakukannya, bukan suatu konsekuensi logis dari suatu kontrak
sosial.18
2. Teori relatif atau tujuan (doel theorieen),
Teori tujuan atau relatif adalah berusaha untuk mencegah kesalahan
pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana
untuk mencegah kejahatan. Teori prevensi dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan dijatuhkannya sanksi
pidana diharapkan penjahat potensial mengurungkan niatnya, karena ada
perasaan takut akan akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan kepada
masyarakat pada umumnya. Sementara itu, prevensi khusus ditujukan
kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.19 Teori relatif
atau tujuan ini terdiri atas teori pencegahan, teori perbaikan (pendidikan,
verbeterings theorie), menyingkirkan penjahat dari lingkungan/pergaulan
masyarakat (onschadelijk maken); dan menjamin ketertiban hukum
(rechtsorde).20
3. Teori gabungan (verenigings theorieen).
Teori gabungan berpendapat bahwa penjatuhan pidana adalah
perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, yakni penjatuhan

17
Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5.
18
Kant dalam Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5.
19
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 15.
20
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, dalam Ishaq, Hukum Pidana,
(Depok: Rajawali Press, 2019), h. 7.
20

pidana bukan saja untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa yang akan
datang. Oleh karena itu, penjatuhan pidana harus dapat memberi kepuasan
bagi Hakim, penjahat itu sendiri dan juga kepada masyarakat. Jadi harus
ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan degan kejahatan yang
telah dilakukan.21

E. Pertanggungjawaban Pidana dalam Perundang-Undangan


KUHP tidak mencantumkan secara tegas apa yang dimaksud dengan
pertanggungjawaban pidana, tetapi pertanggungjawaban pidana diatur secara
negatif dengan menggunakan frasa “tidak dipidana” (pasal 48, 49, 50,51 KUHP),
“tidak dapat dipertanggungjawabkan” (pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP) dan lain-
lain. Pengaturan yang demikian menimbulkan lahirnya teori-teori tentang
pertanggungjawaban pidana dalam civil law di Belanda, dan khususnya di
Indonesia yang mengadopsi KUHP Belanda.22
Secara umum, teori-teori hukum pidana mengenai pertanggungjawaban
pidana menurut civil law selalu dikaitkan dengan kesalahan, atau yang biasa
disebut dengan asas kesalahan yang dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa
kesalahan”.23 KUHP yang berlaku saat ini yang menganut kesalahan sebagai
unsur tindak pidana dan sekaligus membahas pertanggungjawaban pidana yang
disebut dengan teori monistis. Teori dualistis yang berpendapat bawa kesalahan
sebagai unsur pertanggungjawaban pidana bukan sebagai unsur tindak pidana,
karena tindak pidana hanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.24
Perbedaan dua aliran di atas melahirkan konsep yang berbeda terkait apa-
apa saja yang menjadi unsur-unsur tindak pidana yang harus

21
SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, dalam Ishaq,
Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 9.
22
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 234.
23
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 234,
24
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 40.
21

dipertanggungjawabkan. Adapun pada aliran monistis yang termasuk unsur-unsur


perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan adalah berupa adanya
perbuatan, sifat melawan hukum, kesalahan, tidak adanya alasan pembenar, tidak
ada alasan pemaaf, dan mampu bertanggungjawab. Berbeda dengan aliran
monistis, pada aliran dualistis memisahkan kesalahan sebagai unsur tindak pidana.
Sehingga membagi keduanya menjadi unsur tindak pidana dan unsur
pertanggungjawaban pidana. Unsur tindak pidana tersebut yaitu berupa adanya
perbuatan, sifat melawan hukum, dan alasan pembenar, sedangkan unsur
pertanggungjawaban pidana terdiri dari mampu bertanggungjawab, kesalahan, dan
tidak adanya alasan pemaaf.25
Sifat melawan hukum dan tidak adanya alasan pembenar sebagai unsur-
unsur pertanggungjawaban pidana selalu berhubungan dengan norma-norma
hukum yang bersumber dari norma moral, (kesusilaan). Tidak adanya sifat
melawan hukum atau adanya alasan pembenar mengakibatkan pembuat tidak
dipersalahkan atas perbuatannya itu (asas geen schuld zonder wederrechtelijk).
Tinjauannya adalah apakah tindak pidana yang dilakukan pembuat terdapat
pelanggaran terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Apakah
terdapat aturan hukum atau prinsip hukum yang dapat membenarkan perbuatan.
Dua kajian tersebut akan menentukan pertanggungjawaban pidana pembuat.26
Kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf selalu berhubungan dengan
pembuat (subjektif). Tidak adanya kesalahan atau adanya alasan pemaaf
mengakibatkan tidak dipertanggungjawabkannya pembuat (asas geen straf zonder
schuld). Meskipun kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban pidana
berhubungan dengan pembuat (subjektif), tetapi kesalahan dalam pengertian ini
tidak bersifat psikologis tetapi merupakan penilaian secara teleologis. Tidak
dinilai hubungan antara keadaan psycologis pembuat dengan perbuatannya, tetapi
pembuat yang pada dasarnya dalam keadaan normal perlu diteliti menurut

25
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 43.
26
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 239.
22

kepentingan hukum maupun prinsip-prinsip keadilan ia dipertanggungjawabkan


atau tidak dipertanggungjawabkan.27
Pada hukum positif di Indonesia atau perundang-undangan yang berlaku
juga tidak diatur atau tidak dijelaskan tentang pengertian pertanggungjawaban
pidana. Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dalam suatu tindak pidana
dalam hukum positif, para praktisi maupun para yuris hanya mengambil teori-teori
tentang pertanggungjawaban pidana yang tersebar dalam doktrin-doktrin. Telah
menjadi suatu prinsip bahwa pertanggungjawaban pidana adalah didasarkan pada
kesalahan. Kesalahan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana adalah
dilihat dari segi keputusan Hakim, yaitu untuk menentukan tindakan menghukum
yang diambil. Pidana atau pemidanaan itu diberikan dengan sengaja oleh orang
atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), dan pemidanaan
itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.28 Pertanggungjawaban pidana dibutuhkan dalam hubungannya
untuk menentukan pemidanaan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana.

F. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana


1. Kesengajaan
Diterimanya bentuk-bentuk kesalahan sebagai unsur tindak pidana yaitu
kesengajaan didasari oleh pemikiran bahwa aspek psychologis dari kejahatan
merupakan bagian dari tindak pidana dan segi yang salah dari aspek
psychologis, dari perbuatan ini akan menentukan kesalahan dari pembuat.29
Pendapat ini sebenarnya dipengaruhi oleh teori finalitas dari Wezel, yang
menjelaskan bahwa perbuatan yang menempatkan semua unsur psychologis
kejahatan, termasuk kesengajaan ke dalam perbuatan. Perbuatan menurut teori

27
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 239.
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 2010), h. 4.
29
Soedjono, Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h.
38.
23

ini dianggap sebagai suatu peristiwa fisik yang tidak hanya digerakkan oleh
perbuatan kemauan tetapi juga dikendalikan dan ditentukan oleh niat
seseorang.30
Kesengajaan dalam bahasa Belanda disebut opzetelijk dari kata opzet,
dalam bahasa Prancis disebut dolus, sedangkan dalam bahasa latin disebut
doleus. Menurut oxford advanced learner's dictionary kesengajaan adalah "that
which one purposes or plans to do".31 Kesengajaan merupakan keinginan,
kehendak atau kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika dihubungkan
dengan tindak pidana maka dalam melakukan suatu, tindak pidana haruslah ada
unsur-unsur yang menyebabkan tindakan tersebut dikatakan kesengajaan
melakukan suatu tindak pidana.32
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada saat
ini sama sekali tidak menerangkan tentang makna atau arti dari kesengajaan
dalam melakukan tindak pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang
bermaksud merumuskan istilah kesengajaan dan juga kealpaan (culpa).33
Kesengajaan yang tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak
pidana disebut dengan kesengajaan yang berwarna. Kesengajaan dapat tersusun
dengan frasa yang bermacam-macam serta mengandung pengertian yang
berbeda-beda antara rumusan yang satu dengan yang lainnya dalam unsur-unsur
tindak pidana.34 Ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:
a. Kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk). Dalam VOS,
definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki
perbuatannya..35

30
Soedjono, Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h.
38.
31
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary. (Oxford: Oxford University
Press, 1995), h. 621.
32
Kansil CST, Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
1999), h. 287.
33
Barda Nawawi Arief,.Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998),
h. 89.
34
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 101.
35
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 225.
24

b. Kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian (opzet bij zakerheids-


bewustzijn). Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan
perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi
dasar dari delict, tetapi ia tahu benar, bahwa akibat itu pasti akan
mengikuti perbuatan itu.36
c. Kesengajaan dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij
mogelijkheids-bewustzijn). Kesengajaan ini didefinisikan sebagai
seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan
suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin
akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-
undang.37
Kesengajaan yang tidak tercantum dalam rumusan tindak pidana
biasanya disebut dengan kesengajaan yang tidak berwarna. Kesengajaan yang
tidak berwarna ini tidak perlu dibuktikan apakah pembuat menghendaki atau
mengetahui bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang dirumuskan dalam
peraturan pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang.38 Ditambah kesengajaan
dan kealpaan yang tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana
akan dilakukan penilaian secara normatif, bukan secara psychologis. Menurut
Schaffmeister, kesalahan normatif sebagai pencelaan kepada pembuat hanyalah
sebagai akibat dari kesalahan.39
Unsur kesengajaan yang tidak tercantum di dalam rumusan tindak pidana
adalah sebagai suatu konsekuensi karena suatu tindak pidana tidak selalu
ditentukan pada adanya kehendak atau karena adanya kealpaan. Tidak harus
tercantumnya unsur kesengajaan ini juga merupakan konsekuensi bahwa
kesalahan bukan sebagai unsur yang konstitutif. Tidak tercantumnya unsur
kesengajaan, maka penuntut umum tidak perlu membuktikan apakah perbuatan

36
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2002), h. 97.
37
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafrika, 2005),
h. 15.
38
J. M. Van Bemmelan, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian Umum,
Hasnan (pnerj), (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 101.
39
D. Schafffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor J.E.
Sahetapy dan Agustinus Pohan, (New York: Cambridge university Press, 2007), h. 80.
25

itu dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Tidak peduli apakah
pembuat melakukan tindak pidana dengan sengaja karena mengetahui atau
menghendaki.40
2. Kealpaan
Kealpaan yaitu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang tidak ada
dasar niat untuk melakukan kejahatan tetapi karena kecerobohan atau kurang
hati-hatinya mengakibatkan terjadinya kejahatan.41 Van Hammel menyatakan
bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu :
a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh
hukum.42
b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Pada prinspinya seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam
melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya
tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau
tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat
berikan.42 Oleh karena itu Simons berpandangan bahwa culpa itu pada dasarnya
mempunyai dua unsur yakni “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van
de voorzienbaarheid” atau “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya
perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”.43
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), dalam hal ini, si pelaku telah
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi
walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap timbul tersebut.44

40
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 101.
41
Wirjono Prodjodikoro, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Pradnya Paramitha, 1997), h. 61.
42
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 201.
42
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 217.
43
Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht, P. Noordhoff N.V., (Groningen-
Batavia, 1937), h. 267.
44
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafrika, 2005,
h. 15.
26

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), dalam hal ini, si


pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu
akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.
Sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu
akibat.45
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat
ringannya, yang terdiri dari :
a. Kealpaan berat (culpa lata), dalam bahasa Belanda disebut dengan
merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa
kealpaan berat ini ini tersimpul dalam “kejahatan karena kealpaan”.46
b. Kealpaan ringan, dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld,
para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh
karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat di dalam hal
pelanggaran buku III KUHP.47
Salah satu pasal yang terdapat dalam KUHP yang merupakan kejahatan
kealpaan yakni pasal 359 KUHP,48 dimana dapat dipidananya orang yang
menyebabkan matinya orang lain karena kesalahannya atau kealpaannya.
Menurut Lamintang, terkait ketentuan pasal 359 KUHP tersebut diketahui
bahwa bagi meninggalnya seseorang itu undang-undang telah mensyaratkan
adanya unsur schuld atau culpa pada diri pelaku.49

G. Review Hasil Studi Terdahulu


Pada penelitian ini, penulis melakukan analisis terhadap kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Berikut sedikit paparan tinjauan
pustaka atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:

45
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarata: Sinar Grafrika, 2005),
h. 15.
46
Rusli Effendy, Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi
Unhas, 1989), h. 65.
47
Rusli Effendy, Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi
Unhas, 1989), h. 65.
48
Gerry M. Rizki, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Permata Press, 2008), h. 120.
49
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap
Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 211.
27

Pertama, Skripsi berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


ATAS KELALALIAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN
HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (Analisis Putusan Nomor:
27/Pid.Sus/2016/PT.PAL)” telah diujikan dalam sidang skripsi di Fakultas
Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 November
2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Pidana Islam atas nama Andika
Bachtiar. Fokus penelitian pada karya ilmiah ini terdapat pada tindak pidana
kelalaian lalu lintas yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dengan
menganalisis putusan Nomor: 27/Pid.Sus/2016/PT.PAL. Adapun hasil
penelitiannya berupa analisis putusan pengadilan Nomor:
27/Pid.Sus/2016/PT.PAL tentang kelalaian lalu lintas yang menyebabkan
hilangnya nyawa orang lain dengan ditinjau dari hukum positif dikenakan
hukuman berdasar pasal 310 ayat (4) UU LLJ dan ditinjau dari hukum Islam
dikenakan diyat mukhaffafah. Adapun persamaan skripsi ini dengan penelitian
penulis yaitu keduanya sama-sama membahas masalah kelalaian lalu lintas yang
menyebabkan kematian. Akan tetapi pada persamaan tersebut memiliki perbedaan
dalam rincian bahasannya yaitu pada penelitian yang penulis buat tidak hanya
membahas kelalaian yang menyebabkan kematian berdasarkan pasal 310 UU
LLAJ saja, tetapi juga membahas yang berdasarkan pasal 311 UU LLAJ.
Kemudian secara umum perbedaan kedua penulisan ini yaitu pada penelitian
penulis, pembahasannya tidak hanya pada kelalaian yang menyebabkan
kematiannya tetapi juga kelalaian yang menyebabkan luka-luka, dan perbedaan
kedua adalah terdapat pada putusan yang dianalisis penulis yaitu putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.
Kedua, artikel skripsi “Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan
Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas” yang ditulis oleh
Agio V. Sangki. Skripsi ini telah diujikan pada ujian skripsi di Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, Manado pada tahun 2012. Pada artikel skripsi ini
membahas dua pokok permasalahan yaitu: Pertama, terkait tentang tanggung
jawab pidana pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian dalam
28

kecelakaan lalu lintas, dan Kedua, tentang apakah tindak pidana kecelakaan lalu
lintas yang mengakibatkan kematian di masa yang akan datang dalam
pembentukan KUHP nasional masih perlu dipertahankan. Pada penulisan artikel
ini dengan skripsi yang penulis tulis memang ada kesamaan dalam beberapa
bagian isinya yaitu tentang tanggung jawab pidana pengemudi kendaraan yang
mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas. Keduanya sama-sama
memiliki pembahasan terkait pertanggungjawaban pidana akan tetapi pada
penulisan skripsi yang penulis tulis, pembahasan pertanggungjawaban pidananya
tidak hanya pada kecelakaan yang mengakibatkan kematian tetapi juga kecelakaan
yang mengakibatkan luka-luka dan pembahasan tersebut juga didasari pada teori
hukum pidana Islam yang mana tidak menjadi bahasan pada artikel ini.
Ketiga, skripsi berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pejalan Kaki (Study
Kasus Tugu Tani di Jakarta” yang ditulis oleh Widyananda Altriara Maharani
telah diujikan dalam sidang skripsi di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Surabaya pada tahun 2012. Fokus penelitian pada skripsi ini yaitu membahas
upaya hukum yang dilakukan oleh pejalan kaki dalam kecelakaan lalu lintas
akibat kesalahan dari pengendara mobil. Dengan hasil penelitian bahwa ahli waris
korban dapat menuntut kerugian pada terdakwa AS atas dasar telah melakukan
perbuatan melanggar hukum sebagaimana pasal 1365 BW jo pasal 1370 BW.
Adanya persamaan kasus yang dibahas pada kedua karya ilmiah akan tetapi ada
perbedaan substantif dari permasalahan yang dibahas, yaitu terletak pada pokok
pembahasannya. Pada skripsi ini pokok bahasannya mengacu pada perlindungan
hukum bagi pejalan kaki sedangkan pada skripsi yang penulis tulis pokok
bahasannya terkait dengan menganalisis putusan Hakim terhadap tindak pidana
tabrakan maut yang menimbulkan banyaknya korban jiwa dan luka-luka.
keduanya memiliki perbedaan substantif dan ditambah lagi pada skripsi yang
penulis tulis juga menambahkan pandangan Islam di dalamnya.
Sesuai dengan rincian beberapa karya ilmiah yang telah penulis telusuri,
dapat ditemukan beberapa karya ilmiah yang secara garis besarnya sama-sama
memiliki pembahasan terkait kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi pada beberapa
karya ilmiah tersebut secara khususnya memiliki perbedaan substantif baik pada
29

bagian judul maupun isi. Perbedaan substantif tersebut utamanya dapat


ditemukan pula pada skripsi yang penulis tulis yang mana dari segi sumber
bahasan tidak hanya dari materi hukum pidana Indonesia tetapi juga diambil dari
materi hukum pidana Islam. Kemudian dari segi permasalahan yang dibahas pada
skipsi penulis yang mana jika dirincikan memiliki sub bab yang berbeda dari
tulisan lainnya. Ada beberapa dari karya ilmiah memaparkannya sub bab yang
sama namun hal tersebut tidak mengganggu keaslian hasil tulisan penulis.
Berdasarkan kondisi tersebut maka penulis yakin akan judul yang penulis sajikan
yaitu tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN
DAN LUKA-LUKA”.
BAB III
KECELAKAAN LALU LINTAS BERAT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kecelakaan Lalu Lintas Berat Perspektif Hukum Positif


1. Pengertian Kecelakaan Lalu lintas Berat
Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian, yang tidak
diduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan benda, luka atau
kematian.1 Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, kecelakaan lalu lintas
adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan disengaja melibatkan
kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban
manusia dan/atau kerugian harta benda.2 Menurut pasal 229 UU LLAJ
kecelakaan digolongkan menjadi tiga, yaitu:3
a. Kecelakaan lalu lintas ringan, dijelaskan dalam pasal 229 ayat (2) UU
No. 22 Tahun 2009, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan/atau barang.
b. Kecelakaan lalu lintas sedang, dijelaskan dalam pasal 229 ayat (3),
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan
kendaraan dan/atau barang.”
c. Kecelakaan lalu lintas berat, dijelaskan dalam pasal 229 ayat (4),
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia
atau luka berat.”

1
Idries, A.M., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan,
(Jakarta: CV. Sagung Seto, 2011).
2
Pasal 1 Ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
3
Pasal 229 Ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

30
31

2. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang


Mengakibatkan Kematian.
Perihal kewajiban dan tanggung jawab pengemudi diatur dalam pasal 234
ayat (1) UU LLAJ bahwa: “Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau
perusahaan angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian
pengemudi”.4 Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ mengecualikan ketentuan
sebagaimana dimaksud di atas yang tidak berlaku jika:5
a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan pengemudi;
b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil
tindakan pencegahan.
Tabrakan maut yang mengakibatkan kematian diatur dalam peraturan
yang lebih khusus yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Ada dua kategori
pada undang-undang tersebut. Pertama, pengaturan yang memidana pengemudi
karena kealpaannya menyebabkan kematian orang lain dan diatur dalam pasal
310 ayat (4), yang menyatakan bahwa: “Dalam hal kecelakaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.6
Kedua, pengaturan tentang kecelakaan maut tersebut memang bukan
merupakan pembunuhan karena kesengajaan. Akan tetapi, kecelakaan tersebut
terjadi karena perbuatan yang dilakukan si pelaku sebelum terjadinya kecelakaan
dapat diketahui merupakan perbuatan yang akan mengancam nyawa seseorang.
Berdasarkan hal tersebut, pelaku tabrakan maut dapat dikenakan pasal 311 ayat
1 dan 5 UU LLAJ. pasal 311 ayat (1) UU LLAJ berbunyi: “Setiap orang dengan

4
Pasal 234 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
5
Pasal 234 Ayat (3), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
6
Pasal 310 Ayat (4), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
32

sengaja mengemudikan kendaraannya bermotor dengan cara atau keadaan yang


membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah)”. Kemudian pada ayat (5) berbunyi: “Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.7

3. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang


Mengakibatkan Luka-Luka.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu
Lintas Jalan, pada pasal 93 menerangkan bahwa korban kecelakaan dibagi
menjadi 3 (tiga), yaitu : korban mati (meninggal dunia), korban luka berat, dan
korban luka ringan.8 Pemidanaan pada pelaku tabrakan maut yang
mengakibatkan luka-luka secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 (LLAJ) pasal 310 ayat (2) dan (3) dan pasal 311 ayat (4). Pada
pasal 310 ayat (2) dan (3) menjelaskan kecelakaan terjadi karena pengemudi
berkendara dalam keadaan lalai. Jika kecelakaan itu mengakibatkan luka ringan
(pasal 310 ayat 2) dibebankan pidana 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 2.000.000,00, sedangkan jika kecelakaan itu mengakibatkan luka
berat (pasal 310 ayat 3) dibebankan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00. Berbeda dengan pasal 310, pada
pasal 311 ayat (4) menjelaskan bahwa kecelakaan itu terjadi karena pengemudi
sebelum berkendara dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat
mengakibatkan korban kecelakaan luka berat. Pemidanaan pada luka berat ini
berupa pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)”.

7
Pasal 311 Ayat (1) dan (5), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
8
Pasal 93 Ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Tentang Prasarana dan
Lalu Lintas Jalan.
33

B. Kecelakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan Kematian dan Luka-Luka


Perspektif Hukum Pidana Islam

a. Mengakibatkan Kematian
Akibat dari tabrakan maut salah satunya adalah dapat hilangnya nyawa
seseorang. Pada hukum pidana Islam terkait tindak pidana atau jinayah yang
dilakukan dengan kelalaian atau secara tidak sengaja atau semi sengaja sering
dikaitkan dengan tindak pidana atas jiwa yang disebut dengan pembunuhan
atau Qatl.9 Pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia adalah
pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap Habil. Hal ini diungkapkan
dalam surah Al-Maidah ayat 30:10
)ٖٓ :٘ / ‫ٍَ (انًبئذح‬ٚ‫ ِّ فَمَزَهَُّ فَأَصْ جَ َخ ِيٍَ ْان َخب ِس ِش‬ٛ‫َذ نَُّ ََ ْف ُسُّ لَ ْز َم أَ ِخ‬
ْ ‫فَطَ َّٕع‬

Artinya: “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah


membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang di
antara orang-orang yang merugi.”
Wahbah Zuhaili dalam bukunya, fiqih islam wa adillatuhu
mendefinisikan pembunuhan tersalah sebagai “pembunuhan yang terjadi
tanpa ada maksud, keinginan dan kesengajaan sama sekali baik tindakannya
itu sendiri maupun korbannya, seperti ada seseorang bermaksud melempar
suatu pohon atau binatang, lalu lemparan itu justru mengenai orang lalu
mati.”11 Secara bahasa, mukhti‟ adalah orang yang menghendaki sesuatu yang
benar namun mengenai sesuatu yang lain.12
Berdasarkan kesepakatan fuqaha tidak ada sanksi hukuman qishas di
dalam pembunuhan tersalah dan yang serupa dengannya, akan tetapi hanya
ada dua sanksi hukum saja, yaitu hukuman pokok berupa diyat dan kafarat,

9
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 135.
10
Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemahan, (Jawa Barat: Diponegoro, 2011), h.
112.
11
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 548.
12
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqasid Syari‟ah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 246.
34

dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat
wasiat.13
1) Hukuman Pokok
Hukuman pokok pada pembunuhan karena kesalahan adalah
berupa diyat mukhaffafah (diyat ringan) yaitu diyat seratus ekor unta.
Diyat mukhaffafah ini terdiri dari dua puluh ekor unta hiqqah, dua
puluh ekor unta jadza‟ah, dua puluh ekor unta bintu labun, dua puluh
ekor unta ibnu labun, dan dua puluh ekor unta ibnu makhadh.14 Diyat
ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang
membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam tiga tahun,
tiap-tiap tahun keluarga tersebut harus membayar sepertiganya.15
Sanksi diyat ini lebih terlihat mirip seperti ganti rugi, apalagi besar
denda tersebut dapat berbeda-beda menurut kejahatan yang dilakukan
pelaku.16
Hukuman pokok yang kedua adalah hukuman kafarat, Hukuman
kafarat dijatuhkan atas pembunuhan karena kesalahan dan menyerupai
sengaja. Hal ini telah disepakati oleh para fuqaha. Ketentuan ini
didasarkan kepada Firman Allah dalam Surat An-Nisaa‟ ayat 92.
Adapun jenis hukumannya adalah membebaskan seorang hamba yang
mukmin. Apabila hamba tidak ada, maka hukumannya diganti dengan
puasa dua bulan berturut-turut.17
2) Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan berupa penghapusan hak waris dan wasiat
merupakan hukuman konsekuensi yang diberikan atas pembunuhan

13
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 661.
14
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 662-663.
15
Rasjid, S, Fiqih Islam, (T.tp.: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 430.
16
Sinulingga, R., dan Sugiharto, R, Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum Islam dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana. (Sultan Agung Fundamental Research Journal, 2020), h. 31–
43.
17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah
(Jakarta: Sinar Grafika. 2006), h. 156.
35

yang dilakukan. Oleh karena itu, apabila seorang pewaris membunuh


orang yang diwaris, ia tidak bisa mendapatkan hak bagian warisan dari
harta pusaka orang tersebut, atau apabila ada seseorang yang diberi
harta wasiatan (al-muushaa Iahu) membunuh orang yang mewasiatkan
harta itu untuknya, maka ia tidak bisa mendapatkan harta wasiatan
tersebut. Hal ini sebagai bentuk implementasi prinsip saddudz dzaraa'i'
(menutup celah-celah yang bisa dijadikan sebagai pintu masuk kepada
hal-hal yang dilarang), supaya tidak ada seorang pun yang tamak dan
mengincar harta orang yang akan diwarisi dengan cara menyegerakan
kematiannya dengan cara membunuhnya.18

b. Mengakibatkan Luka-luka
Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang menyebabkan luka-luka
karena kelalaian dalam Islam yaitu dengan diyat atau ursy.19 Jenis tindak
pidana yang hanya mengakibatkan luka-luka dan tidak sampai
menghilangkan nyawa seseorang disebut dengan al-jinayat „ala maa duni al-
nafs.20
Imam Ahmad membagi pelukaan berdasarkan niatnya menjadi dua,
yaitu: sengaja dan tidak disengaja. Perbedaan keduanya terletak pada
hukuman yang diberikan, yang pertama diqisas dan yang kedua didiyat.21
Jumlah diyat pelukan dengan sengaja sama dengan penganiyaan dengan tidak
sengaja, akan tetapi berbeda kualitasnya karena untuk perbuatan pertama
dikenakan diyat berat dan untuk perbuatan kedua dikenakan diyat ringan.22
Diyat yang berat antara lain 100 ekor unta terdiri dari 30 ekor haqiqah, 30
ekor jadza‟ah, dan 40 ekor khilafah. Sedangkan diyat ringan itu terdiri dari

18
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 646.
19
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.195-
196.
20
Sudjari Dahlan, Sudut Pandang Terhadap Rancangan KUHP, (Surabaya: Makalah,
2001), h. 9.
21
Abd al-Qadir Audah, al-Tashri‟ al-Jina‟iy al-Islami Muqaddaran bi al-Qanun al-
Wad‟iy, (T.tp.: Maktabah Dar al-Urubah, t.th.), h. 205.
22
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.
279.
36

100 ekor unta berupa 20 ekor haqiqah, 20 ekor jadza‟ah, 20 ekor bintu labun,
dan 20 ekor makhail.23
Adapun hadis yang menjelaskan jumlah hukuman diyat sesuai pelukaan
yang diderita, yaitu:
ٌ‫ًٍ كزبثب ٔ كب‬ٛ‫و كزت إنٗ أْم ان‬.‫ أٌ سسٕل هللا ص‬:ِ‫ّ عٍ جذ‬ٛ‫عٍ أثٗ ثكش ثٍ عًشٔ ثٍ دضو عٍ أث‬
ٍٛ‫ضز‬ٛ‫خ ٔ فٗ انج‬ٚ‫خ ٔ فٗ انشجم انٕادذح َصف انذ‬ٚ‫ٔ إٌ فٗ اال َف إر أٔعت جذعّ انذ‬....ّ‫ كزبث‬ٙ‫ف‬
ٗ‫خ ٔ ف‬ٚ‫خ ٔ فٗ انشجم انٕدذح َصف انذ‬ٚ‫ٍ انذ‬ُٛٛ‫خ ٔ فٗ انع‬ٚ‫خ ٔ فٗ انصهت انذ‬ٚ‫خ ٔ فٗ انزكش انذ‬ٚ‫انذ‬
‫خ ٔ فٗ انًُمهخ خًضخ عشش يُبإلثم ٔ فٗ كم أصجع يٍ أصبثع‬ٚ‫خ ٔ فٗ انجبئفخ صهش انذ‬ٚ‫انًأيَٕخ صهش انذ‬
‫مزم ثبنًضأح ٔ عبنٗ أْم‬ٚ ‫ذ ٔ انشجم عشش يٍ اإلثم ٔ فٗ انًٕضذخ خًس يٍ اإلثم ٔ إٌ انشجم‬ٛ‫ان‬
) ‫ُبس) سٔاِ انُسبا‬ٚ‫انزْت أنف د‬
Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa
Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalam
suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai
gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu
diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang
belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat,
pada ma‟munah sepertiga diyat, pada jaifah sepertiga diyat, pada muqilah
lima belas ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada
satu gigi lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa
dibunuh (diqishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya
seribu dinar. (HR. An-Nasa‟i).24
Berdasarkan hadis di atas dapat diketahui bahwa ada beberapa macam
jenis diyat berdasarkan tempat pelukaannya yaitu:
1) Diyat berdasarkan hilangnya jumlah anggota badan (diyat Kamilah dan
diyat ursy)
2) Diyat yang menghilangkan suatu manfaat dari anggota badan.
3) Diyat pada luka di kepala, wajah dan badan.
4) Pelukan yang tidak termasuk dari ketiga di atas.

23
Abdul Fatah Idris dan M. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rhincka
Cipta, 1994), h. 266.
24
Ahmad bin Syu‟aib bin Abd al-Rahman al-Nasa‟I, Sunan al-Nasa‟I al-Kubra, Bab
Qussamah, Hadis No. 4770, (T.tp.: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991).
BAB IV
ANALISIS KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA DALAM PUTUSAN
No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst

A. Penerapan Pidana Materil dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst


tentang Kecelakaan lalu lintas yang Mengakibatkan Kematian dan
Luka-Luka Perspektif Hukum Positif.
1. Deskripsi Kasus

Terdakwa AS pada hari Sabtu tanggal 21 Januari 2012 sekitar jam


23.00 Wib bertemu dan berkumpul dengan teman-temannya yaitu saksi AST,
saksi DM, saksi APG, saksi AH dan saksi PAR di Cafe Upstair di Jalan
Cikini, Jakarta Pusat. Di sana mereka mengadakan acara minum-minuman
beralkohol berupa Tequila, Vodka dan bir. Selanjutnya sekitar jam 03.00
Wib, mereka melanjutkan acaranya di Diskotik Stadium di Jalan Hayam
Wuruk, Jakarta Barat dengan acara joget (tripping) dan mengkomsumsi
narkotika jenis pil ekstasi yang dibeli dari seseorang yang tidak dikenal
dengan cara patungan.
Pada hari Minggu tanggal 22 Januari 2012 sekitar jam 10.47 Wib
terdakwa AS yang masih berada di Diskotik Stadium bermaksud meminjam
mobil milik saksi AH. Akan tetapi saksi AST yang mengetahui permintaan
terdakwa AS tersebut, mengetahui kondisi terdakwa AS dalam kondisi lelah
dan mengantuk karena tidak tidur semalaman dan minum-minuman
beralkohol serta mengkonsumsi narkotika jenis pil ekstasi, saksi AST
memperingatkan terdakwa AS agar tidak mengemudikan kendaraan bermotor
dan menganjurkan pulang dengan naik taksi. Namun terdakwa AS tetap
bersikeras bahwa dirinya masih bugar dan bisa mengendarai mobil. Akhirnya
saksi AH meminjamkan mobil Daihatsu Xenia warna hitamnya kepada
terdakwa AS.

37
38

Mobil Daihatsu Xenia yang dibawa petugas valet datang. Selanjutya


terdakwa AS masuk ke dalam mobil dan mengambil posisi di jok pengemudi.
Saksi AST duduk di samping terdakwa AS sedangkan saksi AH, saksi APG,
dan saksi DM duduk di belakang. Setelah membantu saksi AH yang pulang
ke rumahnya di Bekasi dengan taksi, terdakwa AS melanjutkan perjalanan
menuju ke Jalan Hayam Wuruk dan di tengah perjalanan saksi AST kembali
menanyakan kondisi terdakwa AS dan terdakwa AS merespon dengan
jawaban “masih kuat”. Selanjutnya mobil mengarah ke Jalan Ir. Juanda
Jakarta Pusat menuju Jalan MI Ridwan Rais.
Ketika mobil Daihatsu Xenia yang dikemudikan terdakwa AS sedang
berjalan di lajur II (tengah) di Jalan MI Ridwan Rais, dari jarak sekitar 50
(lima puluh meter) menjelang traffic light (lampu pengatur lalu lintas),
terdakwa AS melihat lampu lalu lintas menyala hijau. Terdakwa AS justru
memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi yaitu sekitar 91,30 km/jam.
Sehingga terdakwa AS kehilangan kendali dan secara tiba-tiba mobil tersebut
keluar dari lajur II (lajur tengah) ke lajur kiri (lajur I) dengan posisi
menyerong ke kiri dan naik ke trotoar. Saat itu terdapat rombongan pejalan
kaki yang dipimpin saksi TH sebanyak 8 (delapan) orang berjalan dari arah
selatan (Tugu Tani) menuju arah utara (PUSPOM TNI). Dan juga terdapat
rombongan pejalan kaki berjumlah 10 (sepuluh) orang yang dipimpin oleh
korban FH yang berjalan di trotoar dari arah utara menuju ke arah selatan
(Tugu Tani). Tanpa diduga, mobil tersebut langsung menabrak korban FH (17
tahun) dan korban IA (9 tahun), yang mengakibatkan kedua korban tersebut
terlempar ke atas atap kap mobil dan membentur kaca bagian depan mobil
Daihatsu Xenia warna hitam tersebut dan kemudian terlempar lagi ke sebelah
kiri sejauh kurang lebih 2-3 meter dan menimpa saksi TH yang sedang
berjalan menggandeng KY (7 tahun).
Bahwa setelah Mobil yang dikemudikan terdakwa AS menabrak
korban FH dan korban IA, terdakwa AS tidak melakukan pengereman tetapi
terdakwa AS tetap memacu kendaraannya dengan menginjakkan pedal gas
mobil sehingga menabrak korban AR (22 tahun) dan korban BI (17 tahun).
39

Akibatnya kedua korban tersebut terlempar ke atas kap mobil dan membentur
kaca bagian depan mobil dan selanjutnya kedua korban tersebut terlempar
sejauh 12 (dua belas) meter jatuh di lajur I (lajur kiri). Selanjutnya mobil
terus melaju dan secara berturut-turut menabrak korban WH (25 tahun),
korban MH (16 tahun), korban NAF (18 tahun), korban SM (29 tahun) yang
menggendong korban YSP (2,5 tahun), korban NR (25 tahun) dan korban SI
(50 tahun). Setelah menabrak para korban, mobil terus berjalan hingga
menabrak 4 (empat) tiang besi berantai di depan Kantor Pajak dan pondasi
beton tiang halte Tugu Tani. Kemudian mobil meluncur kearah gedung
Kantor Pajak lalu menabrak canstin dan bagian kiri belakang mobil
membentur hydrant di depan Kantor Pajak lalu mobil berhenti dengan posisi
miring menghadap ke Jalan MI Ridwan Rais depan Kantor Pajak Jakarta
Pusat.1

2. Dakwaan Penuntut Umum


Pelanggaran lalu lintas di dalam perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/Pn/.Jkt.Pst ini digolongkan kedalam pelanggaran lalu lintas
berat dikarenakan menyebabkan 6 (enam) orang meninggal di tempat
kejadian, 3 (tiga) orang meninggal di RSPAD serta 3 (tiga) orang luka berat
dan dirawat di RSPAD.2
Adapun dakwaan yang dikenakan kepada terdakwa AS oleh penuntut
umum dalam perkara putusan No. 665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst yaitu dakwaan
yang dibuat secara kumulatief, alternatief (pilihan) dan subsidaritas. Pertama
jaksa mendakwa terdakwa telah melanggar pasal 338 KUHP. dengan posita
sebagaimana yang telah penulis tulis di bagian deskripsi kasus. Adapun isi
pasal 338 KUHP yaitu “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang

1
Lihat dokumen isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST.
2
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST.
40

lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.”3
Dakwaan kedua yang ditujukan pada terdakwa AS atas pelanggaran
lalu lintas adalah primer melanggar pasal 311 ayat 5 UU No. 22 tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan subsidair melanggar pasal 310
ayat (4) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan.4
Dakwaan ketiga terdakwa AS oleh Penuntut Umum yaitu primair
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 311 ayat 4 UU No. 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dan dakwaan subsidair
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 310 ayat 3 UU No. 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3. Pertimbangan dan Putusan Hakim


Pertimbangan Hakim merupakan salah satu aspek terpenting yang
menjadi dasar atau sandaran adanya putusan. Hal ini dikarenakan setiap
putusan yang dikeluarkan oleh Hakim harus berdasarkan fakta peradilan yang
ada. Pada pasal 197 butir (1) huruf (d) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa “Hakim sebelum mengambil putusan
terlebih dahulu menyusun suatu pertimbangan yang disusun secara ringkas,
mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa”.5
Pertimbangan Hakim bermula pada saat Hakim menyatakan
pemeriksaan ditutup. Selanjutnya Hakim memeriksa dan mengadili suatu
perkara mengadakan musyawarah untuk mendapatkan putusan yang adil yang
sesuai dengan tujuan dari hukum.6 Ada dua indikator yang harus di
perhatikan Hakim yakni: Bagaimana Hakim dengan rasionya dan hati

3
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST
4
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST
5
Pasal 197 Butir (1) huruf (d) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
6
AL. Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Universitas
Atmajaya, 2014), h. 148.
41

nuraninya mampu mengungkap fakta berdasarkan bukti-bukti yang diajukan


di persidangan. Mencari, Menemukan dan Menerapkan hukum yang tepat
sesuai dengan rasa keadilan inividu (pelaku), masyarakat (korban), dan
negara (undang-undang).7
Adapun ringkasan pertimbangan Hakim pada putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst yaitu:
a. Berdasarkan fakta persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa
terdakwa sehat jasmani dan rohani serta mengerti apa yang didakwakan
JPU sehingga terdakwa mampu bertanggung jawab menurut hukum.
b. Hasil pemeriksaan urine, Nomor: R/25/I/2012/DOKPOL dan hasil
pemeriksaan laboratoris No: 5546.A/I/2012 terhadap urine dan darah
terdakwa. Pada kedua pemeriksaan tersebut terdakwa terbukti
mengkonsumsi narkoba dan sejumlah alkohol.
c. Terdakwa AS dibebaskan dari dakwaan kesatu yaitu tidak terpenuhinya
unsur kesengajaan pada pasal 338 KUHP. Berdasarkan fakta yang
terungkap di persidangan bahwa tidak terdapat satupun fakta yang
menunjukkan terdakwa mengemudikan Mobil Xenia mempunyai niat
atau tujuan menghilangkan nyawa para korban.
d. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan terdakwa dan para saksi
sebelumnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa sebelum
mengemudikan mobil dalam keadaan lelah dan juga dibawah pengaruh
narkotika sehingga dapat menurunnyanya tingkat kesadaran dan
konsentarasi terdakwa dalam mengemudikan mobil. Berdasarkan hal itu,
terdakwa sudah seharusnya mengetahui kondisinya agar tidak
mengemudikan mobil karena dapat membahayakan bagi pemakai jalan
lainnya. Akan tetapi, terdakwa tetap mengemudikan mobil xenia hitam
dari Stadium menuju Kampus IKJ di TIM Cikini, setelah lampu merah
di Jl. MI Ridwan Rais akhirnya terdakwa tidak dapat menguasai
kendaraannya dan menabrak para korban. Dari rangkaian perbuatan

7
AL. Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Universitas
Atmajaya, 2014), h. 151.
42

terdakwa tersebut maka dengan demikian unsur dengan sengaja


mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang
membahayakan bagi nyawa dan barang telah terpenuhi. Sehingga semua
unsur dalam pasal 311 ayat (5) UU no.22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dalam dakwaan kedua primair
telah terpenuhi. Begitu pula unsur dengan sengaja mengemudikan
kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi
nyawa atau barang pasal 311 ayat (4) UU no.22 tahun 2009 dalam
dakwaan ketiga primair. Dan karena kejadian tindak Pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ketiga primair adalah sama
dengan dakwaan kedua primair baik tempat kejadiannya (locus delicti)
maupun waktunya (tempus delicti).
e. Bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan di mana akibat ditabrak
mobil yang dikemudikan terdakwa tersebut terhadap korban,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah termasuk dalam
pengertian luka berat, sebagaimana dalam penjelasan pasal 229 ayat (4)
huruf a dan g UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, dengan demikan unsur mengakibatkan kecelakan lalu
lintas dengan korban luka berat telah terpenuhi.
f. Menimbang, bahwa sepanjang persidangan Majelis Hakim tidak
menemukan adanya alasan yang dapat meniadakan hukuman
(strafuitsluitingsgronden) terdakwa atas perbuatannya dan terdakwa
dipandang mampu untuk bertanggung jawab maka kepada terdakwa
harus dijatuhi pidana atas perbuatannya tersebut.
g. Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa di atas tidak terdapat suatu
pemaksaan secara fisik maupun phsikis terhadap terdakwa, baik untuk
melakukan aktivitas dari sore sampai pagi besoknya, maupun
mengkonsumsi narkotika yang mengakibatkan pada ia tidak dapat
menguasai mobil, sehingga menabrak para korban,. Dengan demikian
Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa menabrak para
43

korban dengan mobil dikemudikannya tidak dalam keadaan overmacht


sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 KUHP.
h. Terdakwa terbukti melakukan dua tindak pidana sebagaimana dalam
pertimbangan di atas, maka dengan demikian ketentuan pasal 65 ayat
(1), ayat (2) KUHP berlaku dalam penjatuhan pemidanaan terhadap diri
terdakwa.
Kemudian dari berbagai pertimbangan tersebut berdasarkan fakta-
fakta yang ditemukan oleh Hakim saat pemeriksaan di peradilan, maka
Hakim mengeluarkan putusan terhadap perkara yang diancamkan kepada
terdakwa AS. Adapun putusan hakim dalam putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst yitu:
a. Menyatakan terdakwa AS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam
dakwaan kesatu;
b. Membebaskan terdakwa AS dari dakwaan kesatu;
c. Menyatakan terdakwa AS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana: Dengan sengaja mengemudikan kendaran
bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa
mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan dengan sengaja
mengemudikan kendaran bermotor dengan cara atau keadaan yang
membahayakan bagi nyawa mengakibatkan kecelakaan Lalu lintas
dengan korban luka berat;
d. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun;
e. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan padanya;
f. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan;
g. Menetapkan barang bukti (dapat dilihat dalam putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst);
h. Membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,-
(dua ribu rupiah).
44

4. Analisis Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst


Kecelakaan yang dilakukan oleh terdakwa AS digolongkan ke dalam
kecelakaan lalu lintas berat. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 229 ayat (4)
UU LLAJ bahwa “Kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat.”8 Pada kasus tabrakan maut yang dilakukan
oleh terdakwa AS menghasilkan 6 (enam) orang meninggal di tempat
kejadian, 3 (tiga) orang meninggal di RSPAD serta 3 (tiga) orang luka berat
dan dirawat di RSPAD.9
Tabrakan maut yang dilakukan oleh AS menurut penulis adalah hasil
dari perbuatan AS sendiri. Hal itu dikarenakan, terdakwa AS sebelum
terjadinya tabrakan maut telah melakukan tindakan yang besar kemungkinan
dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan. Terdakwa AS pada saat
berkendara tidak dalam keadaan stabil dan penuh konsentrasi dan kondisi
terdakwa tersebut telah melanggar pasal 106 ayat 1 UU No. 22 tahun 2009
tentang LLAJ bahwa “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor
di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh
konsentrasi”.10 Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab tabrakan maut
terdakwa AS berdasarkan putuan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst yaitu:
a. Pengaruh alkohol dan narkoba menyebabkan terdakwa AS mengemudi
tidak dalam keadaan stabil.
Tindakan mengemudikan mobil dalam kondisi mabuk setelah
minum-minuman keras sama berbahayanya dengan efek yang
ditimbulkan mengonsumsi narkoba. Pengemudi akan kehilangan
kendali atas dirinya, gerakan tubuh tidak terkoordinasi, pandanganya
menjadi kabur. Serangkaian efek yang ditimbulkan tersebut tentunya

8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Pasal 229 Ayat (4), hlm 109.
9
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST.
10
Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang No. 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
45

akan mengganggu konsentrasi, penilaian, penglihatan dan koordinasi


daripada aktifitas gerak pengemudi.11
b. Terdakwa AS berkendara dalam keadaan kurang tidur dan lelah
Pengendara yang mengantuk akan berkurang staminanya jika
mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 80 km/jam selama 2 jam
tanpa berhenti. Banyaknya kecelakaan yang disebabkan pengendara
mengantuk dikarenakan pengendara sepeda motor pada umumnya
tidak merasa bahwa dirinya mengantuk, seringkali mereka
memaksakan dirinya untuk tetap mengendarai motor.12
c. Terdakwa AS dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pengemudi.
Pada putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst ditemukan bahwa
terdakwa AS tidak memiliki SIM atau Surat Izin Mengemudi. Hal ini
membuktikan bahwa terdakwa AS secara hukum tidak memenuhi
kriteria sebagai pengemudi dan dianggap tidak memiliki kemampuan
untuk mengemudi. Aturan mengenai SIM ini salah satunya diatur pada
Pasal 77 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009.
d. Terdawa AS yang berkemudi secara ugal-ugalan.
Tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS merupakan sebuah tindak
pidana. Sebagaimana Vos merumuskan bahwa “Tindak pidana adalah suatu
kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang,
jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana”.13
Sebagaimana akibat tabrakan tersebut mengakibatkan kematian dan luka-
luka, pada keduanya memiliki peraturan yang mengancamnya.
Terdapat pidana pada setiap pelanggaran atau kejahatan. Teori absolut
(retributive) berpandangan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan kejahatan. Pidana dijatuhkan sebagai pembalasan

11
Keputusan Menteri Nomor 72 Tahun 1993 Tentang Perlengakapan Kendaraan
Bermotor, Departemen Perhubungan RI, 1993.
12
Metta Kartika, Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di
Wilayah Depok Tahun 2008, (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, 2009), h. 15-23.
13
Tri Andriman, Hukum Pidana, (Lampung: Universitas Lampung, 2009), h. 83.
46

terhadap orang yang melakukan kejahatan.14 Sebagaimana pada kasus AS


yang juga digolongkan sebagai perbuatan pidana karena kelalaiannya
menyebabkan kematian dan luka-luka mengharuskan AS dijatuhi
pemidanaan. Sehingga pemidanaan terdakwa AS tersebut menurut teori
absolut merupakan bentuk keharusan dan sebagai pembalasan dari
perbuatannya. Teori absolut juga dikenal sebagai teori pembalasan di mana
pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah
pembalasan.15
Terdapat pula teori lain yang memiliki pandangan berbeda terkait
tujuan pemidanaan. Teori itu disebut dengan teori tujuan atau relatif. Teori
tujuan atau relatif adalah berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa
mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk mencegah
kejahatan.16 Telah diketahui dari fakta yang terungkap di persidangan bahwa
terdakwa AS merasa menyesal terhadap pelanggaran yang telah dia lakukan.
Penyesalan terdakwa AS tersebut merupakan salah satu wujud dari teori
prevensi. Dengan demikian hukuman yang diberikan pada AS dapat menjadi
pelajaran bagi pelaku sendiri dan dapat juga menimbulkan ancaman atau rasa
takut kepada pengguna jalan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama
yang dilakukan AS.
Pemidanaan di Indonesia memakai kedua konsep dari teori tersebut,
yang juga disebut dengan teori gabungan. Teori gabungan merupakan
perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, yakni penjatuhan
pidana bukan saja untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa yang akan
datang.17 Sebagai pembalasan dari perbuatan pidana yang telah dilakukan dan
sebagai pencegah agar tidak lagi mengulangi atau melakukan perbuatan
pidana tersebut.

14
Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5.
15
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 31.
16
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 15.
17
SR. Sianturi, dalam Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 9.
47

Pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa AS merupakan bentuk


pertanggungajawaban terdakwa AS terhadap tabrakan maut yang
dilakukannya. Sebagaimana diatur dalam pasal 234 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang
menyatakan bahwa: “Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau
perusahaan angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita
oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena
kelalaian pengemudi”.18
Menurut aliran monitis pertanggungjawaban pidana dapat dijatuhkan
apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana, yaitu: adanya perbuatan, sifat
melawan hukum, kesalahan, tidak adanya alasan pembenar, tidak ada alasan
pemaaf, dan mampu bertanggungjawab. Terdakwa AS telah melakukan
tabrakan maut yang menyebabkan kematian dan luka-luka adalah bukti
bahwa AS telah melakukan suatu perbuatan yang notabenenya bersifat
melawan hukum dan dipandang tercela oleh masyarat.
Tidak adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar pada kesalahan
yang dilakukan AS dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tersebut
menyebabkan keharusan bagi terdakwa AS untuk dipidana dan
bertanggungjawab. Sebagaimana alasan pemaaf yang diatur dalam pasal 42,
43, 44, 45, dan 46 KUHP menjelaskan bahwa tidak dipidana seseorang
selama perbuatannya itu karena paksaan, tekanan dan ancaman yang tidak
bisa dihindari. Sedangkan untuk alasan pembenar yang diatur dalam pasal 31,
32, 33, 34, dan 35 KUHP menjelaskan tidak dipidana orang yang melakukan
tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang-undangan,
melaksanakan perintah jabatan, keadaan darurat, dan pembelaan diri.19
Terdapat pula aturan khusus terkait alasan pemaaf dan pembenar dalam lalu
lintas yang diatur dalam pasal 234 ayat (3) UU LLAJ dengan isinya, yaitu:

18
Pasal 234 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
19
Abdullah Ahmad Mukhtarzain, Pemaafan dalam Pemidanaan Menurut Hukum
Islam dan Hukum Nasional, Jurnal Idea Hukum, Vol. 4 No. 1 Maret 2018, Magister Hukum
Fakultas Hukum, Universitas Jendral Soedirman.
48

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar


kemampuan pengemudi;
b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga;
c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil
tindakan pencegahan.
Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, terutama dari
keterangan saksi dan barang bukti yang ada, dapat dikatakan bahwa kasus
tabrakan maut yang dijatuhkan kepada terdakwa AS adalah kasus tindak
pidana karena kealpaan yang disadari (bewuste schuld) atau kealpaan berat.
Kealpaan pada diri terdakwa AS pada kasus itu terletak pada terdakwa AS
yang Dia menghendaki suatu perbuatan yaitu: Dia yang berinisiatif untuk
mengendarai mobil dan Dia membayangkan bahwa kondisinya tersebut tidak
memungkinkan untuk berkendara dikarenakan pengaruh narkoba, alkohol,
lelah dan mengantuk. Namun Dia yakin akan kemampuannya dalam
berkendara bahwa Dia dapat mencegah terjadinya akibat lain yang tidak
diinginkan sampai tabrakan maut itu terjadi. Hal ini dikarenakan pada saat
mengendarai mobil si terdakwa dalam keadaan mabuk yang menyebabkan
terdakwa menjadi tidak waspada, tidak hati-hati dan tidak sadar hingga
terjadinya kecelakaan. Padahal sebelum terjadinya kecelakaan terdakwa
mengatakan bahwa ia sanggup berkendara. Ini sesuai dengan pernyataan Jan
Remmelink terkait dengan culpa lata atau dapat disebut luxuria bahwa pelaku
sudah memperhitungkan kemungkinan munculnya akibat dari tindakanya,
namun ia percaya bahwa ia masih dapat menghindari atau mencegahnya.20
Unsur kesengajaan tidak terpenuhi pada kasus AS. Hal ini
dikarenakan tidak ditemukannya bukti bahwa terdakwa AS pada sebelum
ataupun saat mengemudikan Mobil Xenia mempunyai niat atau tujuan yang
jelas untuk menghilangkan nyawa orang dengan cara menabrakannya.
Meskipun ada yang menganggap bahwa tindakan terdakwa AS termasuk
sebagai kesengajaan dengan kemungkinan, dengan alasan pengendara tahu
20
Jan Remmelink, Hukum Pidana;Komentar-KomentarAtas Pasal-Pasal Terpenting
dalam Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padananya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarata: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 108.
49

bahwa jika mengendarai mobil dalam keadaan mabuk akan memungkinkan


terjadinya kecelakaan maut. Akan tetapi ada unsur yang kurang dari pendapat
tersebut, yaitu pada defenisi kesengajaan memiliki unsur niat, motivasi,
perencanaan, persiapan, dan eksekusi. Sedangkan hal itu tidak ditemukan
pada kasus AS yang kecelakaannya terjadi karena AS tidak menduga atau
merencanakan tabrakan maut tersebut. Pendapat ini dikuatkan oleh
pernyataan Andi Hamzah bahwa persamaan antara kesengajaan sebagai
kemungkinan atau yang disebut sebagai dolus eventualis dengan kealpaan
yang disadari atau bewsute culpa yaitu pembuat delik dapat melihat
kemungkinan akibat perbuatan yang dilakukannya, letak perbedaan keduanya
ialah pada culpa yang disadari pembuat sama sekali tidak menghendaki
akibat atau keadaaan yang berhubungan dengan itu, bahwa pembuat sadar
dapat menghindari akibat perbuatanya.21
Masalah kelalaian yang disadari dalam peristiwa tabrakan maut
tersebut, memang benar bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa AS bukanlah dakwaan pembunuhan sengaja. Akan tetapi pada
kasus tabrakan maut tersebut ada suatu keadaan di mana si terdakwa
diingatkan oleh salah seorang temannya/saksi agar terdakwa sebaiknya tidak
menyetir. Akan tetapi si terdakwa tetap bersikeras bahwa dia dalam kondisi
mampu untuk menyetir meskipun terdakwa saat itu dalam pengaruh mabuk
karena alkohol dan ekstasi. Kondisi terdakwa tersebutlah menyebabkan
terpenuhinya unsur “Dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor
dengan cara atau keadaan yang membahayakan...” yang terdapat pada pasal
pasal 311 ayat (1), (4) dan (5) UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Maka berdasarkan keterangan tersebut terdakwa dikenakan
ancaman pidana pada pasal 311 ayat (4) dan (5) UU LLAJ sebagaimana yang
didakwaan oleh penuntut umum dalam dakwaan primair kedua (pasal 311
ayat (4)) dan dakwaan primair ketiga (pasal 311 ayat (5)).

21
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.
134.
50

Penetapan hukuman 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim kepada


terdakwa AS didasarkan pada pertimbangan Hakim dari segi yuridis,
sosiologis dan filosofis. Sebagaimana Mahkamah Agung RI telah
menentukan bahwa putusan Hakim harus mempertimbangkan segala aspek
yang bersifat filosofis, yuridis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin
dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkan dalam putusan Hakim
adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice),
keadilan moral (moral justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice).22
a. Pertimbangan yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim
mendasarkan putusannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan
secara formil.23 Atau dalam pengertian lain, pertimbangan yuridis adalah
pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap
di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai
hal yang harus dimuat di dalam putusan. Dasar pertimbangan yuridis yaitu
ketentuan dalam hukum pidana.24 Yang termasuk bahan pertimbangan
yang bersifat yuridis yaitu dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tuntutan
pidana, keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat-alat bukti, dan pasal-
pasal yang terdapat dalam Undang-Undang.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya, harus mencari dakwaan
mana yang tepat untuk dipidanakan kepada terdakwa. Pada dakwaan ke
satu yang didakwakan JPU kepada AS yaitu terdakwa melanggar dan
diancam pidana pada pasal 338 KUHP bahwa tabrakan maut yang
dilakukan AS itu merupakan pembunuhan sengaja. Hal tersebut dikuatkan
dari deskripsi kasus yang dijelaskan JPU, singkatnya: Bahwa terdakwa
AS telah diperingati oleh salah seorang temannya agar sebaiknya dia tidak
mengendarai mobil karena kondisinya yang mabuk, lelah dan mengantuk.

22
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Hakim (code of
conduct), Kode Etik Hakim, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), h. 2.
23
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, (Malang: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 193.
24
Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya,
(Ngalik, Sleman Yogyakarta: Aswaja Pressindo), h. 47.
51

Namun AS tidak mengindahkan saran dari temannya tersebut. Penyidik


dan penuntut umum menganggap bahwa kesengajaan terpenuhi dari
kondisi tersebut karena AS seharusnya tahu bahwa mengendarai mobil
dalam keadaan tersebut dilarang sebagaimana yang dijelaskan dalam
pasal 106 ayat 1 UU LLAJ. Kondisi yang demikian juga ditambah dengan
AS yang tidak memiliki SIM sehingga dianggap tidak layak untuk
berkendara. Terlebih lagi, tepat sebelum terjadinya kecelakaan AS telah
memacu kecepatan mobilnya hingga melewati batas standar yang
ditentukan yaitu 91,30 Km/jam. Akhinya terdakwa AS yang berkendara
dengan kecepatan tersebut karena kecerobohannya keluar jalur dan
akhirnya menabrak korban Firmansyah dan korban Indra serta diikuti
korban lainnya. Kondisi-kondisi AS yang berkemudi dengan cara yang
dapat menimbulkan akibat yang membahayakan orang lain yang demikian
menurut JPU menyebabkan tabrakan maut AS tersebut dikenakan pasal
pembunuhan karena kesengajaan.
Dakwaan pertama yang ditujukan kepada AS tersebut oleh Majelis
Hakim tidak dapat terpenuhi dengan pertimbangan bahwa berdasarkan
deskripsi kasus yang dijelaskan di atas tidak ditemukan kesengajaan AS
melakukan pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP baik
sebelum maupun setelah kecelakaan terjadi. Pada kesengajaan tersebut
seharusnya ada perencanaan, niat dan motivasi serta telah jelas
sebelumnya siapa orang yang akan dituju yang akan dihilangkan
nyawanya, namun tidak terdapat satupun fakta yang menunjukkan bahwa
sebelum terdakwa mengemudikan mobil xenia maupun pada saat
mengemudikan mobil xenia mempunyai niat atau tujuan yang secara jelas
berkeinginan akan menghilangkan nyawa korban-korban dengan cara
menabraknya.
Pada deskripsi kasus yang dipaparkan oleh JPU, Majelis Hakim
lebih setuju dengan mempertimbangkan bahwa terdakwa AS lebih tepat
dan terbukti dapat dikenakan ancaman berdasarkan pada dakwaan primair
kedua (pasal 311 ayat (4)) dan dakwaan primair ketiga (pasal 311 ayat (5).
52

Hal ini dikarenakan terpenuhinya unsur “Dengan sengaja mengemudikan


kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan...”
yang terdapat pada pasal pasal 311 ayat (1), (4) dan (5) UU No.22 tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Hakim memustuskan bahwa AS dikenakan pasal yang lebih kusus
yang diatur dalam perundangan yang khusus mengatur tentang lalu lintas
dan angkutan jalan yaitu UU No. 22 tahun 2009. Pertimbangan Hakim
tersebut didasarkan lex specialis derogate lex generalis atau pada pasal 63
ayat (2) KUHP. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Hakim
dalam pertimbangannya telah menggunakan pertimbangan yuridis saat
memustuskan pemidanaan pada terdakwa AS.
Berbicara mengenai pertimbangan yuridis, tentang bagaimana
Hakim dalam pertimbangannya menetapkan dua dakwaan yang dapat
dijatuhkan kepada terdakwa. Sehingga diterapkan concursus pada tindak
pidana yang dilakukan terdakwa AS dan tepatnya yaitu concursus realis
antara dakwaan kedua priamair (pasal 311 ayat 5) dan dakwaan ketiga
primair (pasal 311 ayat 4). Sebagaimana masalah concursus ini diatur
dalam pada 63 sampai dengan pasal 71 KUHP. Concursus realis terjadi
apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana. Seharusnya pada
kasus AS ini juga dimasukan concursus realis pada penyalahgunaan
narkotika yang dilakukan AS. Namun pada kasus AS ini dilakukan
persidangan terpisah antara perkara penyalahgunaan narkotika yang
didakwakan pada AS dalam putusan No: 47/Pid/20130/PT.DKI dengan
perkara kecelakaan yang mengakibatkan kematian dan luka-luka dalam
putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Sehingga penerapan concursus
pada kasus AS ini tidak sesuai dengan perundang-udangan yang berlaku.
b. Pertimbangan sosiologis
Hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada latar belakang
sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa pidana yang dijatuhkan
mempunyai manfaat bagi masyarakat. Putusan yang memenuhi
53

pertimbangan sosiologis yaitu putusan tidak bertentangan dengan hukum


25
yang hidup dalam masyarakat (kebiasaan masyarakat). Hal ini dapat
dilihat dari pertimbangan Hakim dalam putusan No.
665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst, yang salah satunya terdapat pada hal-hal yang
meringankan dan memberatkan terdakwa. Hal-hal yang bisa meringankan
dan memberatkan hukuman terdakwa AS tersebut yaitu:
Pertama, hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan di
persidangan, terdakwa belum pernah dihukum dan masih muda usianya
sehingga kelak dikemudian hari masih dapat diharapkan memperbaiki
kelakuannya, terdakwa telah meminta maaf kepada para keluarga korban,
dan beberapa dari keluarga korban telah memaafkan terdakwa. Kedua hal-
hal yang memberatkan, yaitu: Perbuatan terdakwa meninggalkan duka
yang mendalam bagi keluarga korban yang meninggal dunia maupun
keluarga korban yang menderita luka-luka dan perbuatan terdakwa dapat
menimbulkan keresahkan masayarakat khususnya bagi para pengguna
jalan raya.
Hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan
terdakwa tersebut menurut penulis dapat dilihat dari jumlah hukuman
yang diberikan Hakim kepada terdakwa AS. Hakim dalam putusannya
menetapkan hukuman 15 tahun penjara kepada AS. Hukuman 15 tahun
penjara tersebut berasal dari dua dakwaan yang dibebankan kepada
terdakwa AS yaitu pertama, dakwaan kedua primair (pasal 311 ayat 5)
dan kedua, dakwaan ketiga primair (pasal 311 ayat 4). Pada pasal 311
ayat 5 dimana kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian yang
diancam dengan pidana penjara 12 tahun atau denda Rp. 24.000.000,00.
Sedangkan pada pasal 311 ayat 4 dimana kecelakaan tersebut
mengakibatkan luka berat yang diancam pidana 10 tahun penjara atau
denda Rp. 24.000.000,00. Hakim dalam pertimbangganyya menggunakan
absorbsi dipertajam, sehingga akhirnya hukuman terbanyak ditambah 1/3
dari hukuman terbanyak yaitu 16 tahun penjara.

25
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h. 67.
54

Berdasarkan penghitungan di atas, Majelis Hakim tidak langsung


memberikan hukuman 16 tahun penjara kepada terdakwa. Hal ini
dikarenakan pada penjatuhan hukuman, Hakim tidak boleh hanya terpaku
pada ketentuan baku dalam Undang-Undang. Digunakannya absorsi
dipertajam oleh Hakim dikarenakan tabrakan maut yang dilakukan AS
dapat dikategorikan sebagai tragedi yang besar karena menyebabkan
sembilan orang meninggal dunia dan tiga orang luka. Mempertimbangkan
kondisi tersebut, dan bagaimana luka yang dialami korban serta
bagaimana tragedi ini nantinya menjadi pelajaran bagi masyarakat, maka
Hakim mempertimbangkan untuk menggunakan absorsi dipertajam dalam
pemindanaannya. Sedangkan dalam hal-hal yang meringankan terdakwa
menurut penulis dapat ditemukan dari pengurangan jumlah hukuman yang
diberikan kepada AS dengan awalnya berjumlah 16 tahun menjadi 15
tahun. Tetapi dikarenakan hal-hal meringankan ini terhalangi oleh
besarnya hal-hal yang dapat memberatkan pidana AS, maka menurut
penulis tidak ada bentuk peringanan lain yang dapat diberikan Hakim
pada AS.
Terkait hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa
menurut penulis hal tersebut diserahkan kepada pendapat Hakim.
Dikarenakan tidak adanya penentuan atau rumus yang mengatur seberapa
lama orang tersebut dapat dipenjara. Aspek filosofis ini dalam
penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas
serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat
yang terabaikan. Jelas penerapannya sulit karena tidak terikat pada
sistem.26
Dihukumnya terdakwa AS berdasarkan dua dakwaan tersebut
merupakan wujud pengaplikasian dari tujuan pemidanaan. Sebagaimana
pemidanaan pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama, yaitu untuk:
(a) memengaruhi tingkah laku, dan (b) untuk menyelesaikan konflik.

26
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 126-127.
55

Pada tujuan mempengaruhi tingkah laku, pemidanaan tersebut diharapkan


dapat memperbaiki tingkah laku terdakwa AS sendiri secara khususnya
dan masyarakat pengguna jalan pada umumnya agar menggunakan jalan
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan pada tujuan untuk
menyelesaikan konflik, dengan dihukumnya terdakwa AS diharapkan
dapat mengurangi sedikit keresahan bagi korban atau keluarga korban,
memberikan ganti kerugian pada keluarga korban, menyelesaikan
keresahan bagi masyarakat agar tidak menimbulkan konflik mengingat
tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS pada saat itu banyak
mendapat kecaman dari masyarakat. Adanya tujuan pemidanaan ini
merupakan wujud diadakannya asas kemanfaatan.
c. Pertimbangan filosofis
Pertimbangan filosofis, yakni pertimbangan atau unsur yang
menitikberatkan kepada nilai keadilan terdakwa dan korban. Sedangkan
menurut Bagir Manan, mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang
terdapat dalam cita hukum (rechtsidee). Diperlukan sebagai sarana
menjamin keadilan. Penerapan aspek keadilan Hakim dalam melakukan
pertimbangan pada putusan No. 665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst adalah sejalan
dengan aspek kepastian hukum.
Prinsip keadilan dari kasus AS ini juga dapat dilihat dari Hakim
yang dalam memutuskan hukuman 15 tahun penjara kepada terdakwa AS.
Menurut penulis hukuman 15 tahun penjara tersebut sudah menjamin nilai
keadilan di antara kedua belah pihak yaitu pihak terdakwa dan korban
atau keluarga korban. Hal itu dikarenakan hukuman 15 tahun penjara
tersebut sudah cukup berat mengingat kesalahan tersebut terjadi karena
ketidaksengajaan atau kealpaan AS. Dengan hukuman 15 tahun penjara
tersebut menurut penulis sudah cukup menghabiskan waktu masa muda
AS dan hal itu seharusnya menjadi pukulan besar atau penyesalan baginya
akan kesalahan yang telah dia lakukan. Maka tidak salah untuk dikatakan
kalau hukuman tersebut sudah berat dan dapat menjamin keadilan bagi
keluarga korban. Sementara itu dari sisi lain hukuman 15 tahun penjara
56

ini sudah adil dikarenakan kesalahan yang dlakukan AS memberikan efek


kerugian yang besar atau memberikan duka yang mendalam bagi keluarga
korban. Mengingat tabrakan maut yang dilakukan AS pada saat itu dapat
dianggap sebagai tragedi karena adanya efek riak yang besar di kalangan
masyarakat, pakar dan bahkan politisi.
Keadilan yang penulis sebutkan di atas, hanya didasarkan dari
perspektif penulis pribadi, dan tidak menjamin semua pihak memiliki
pendapat yang sama. Oleh karena itu Hakim dalam pertimbangnnya harus
mengutamakan bagaimana pertimbangannya dapat dianggap adil oleh
kedua pihak. Pada kasus terdakwa AS yang mana setelah putusan tersebut
dikeluarkan, masih ada pihak yang menyuarakan putusan Hakim dianggap
tidak adil. Menurut penulis hal ini dikarenakan tidak jelasnya putusan
Hakim bagi kedua pihak, dimana pertimbangan Hakim tersebut tidak
dapat menjelaskan secara rasional mengenai alasan yang digunakan,
sehingga tidak dapat menyentuh rasa keadilan bagi pihak yang
berperkara.27 Oleh karena itu putusan yang dijatuhkan Hakim tersebut
kepada terdakwa AS haruslah benar-benar dipahami oleh masyarakat
terutama para pihak yang berperkara. Sebagaimana biasanya para pihak
yang berperkara atau juga masyarakat pada umumnya dalam memandang
putusan tersebut tidak dari kaidah hukum melainkan dari rasa keadilan
yang ada dalam pribadi mereka. Sehingga Hakim dalam pertimbangan
tersebut harus menjelaskan bahwa kaidah-kaidah hukum maupun teori
hukum yang digunakan sudah sesuai dengan asas keadilan. Keadilan
menurut penulis datang dari perasaan batin manusia, maka pertimbangan
Hakim tersebut haruslah dapat mempengaruhi batin manusia itu pula.

27
Darmoko Yuti Witanti dan Arya Putra N.K, Diskresi Hakim Sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara Pidana, (Bandung:
Alfabeta, 2013), h. 33.
57

B. Pandangan Hukum Pidana Islam pada Kecelakaan Lalu Lintas Berat


dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.
Berdasarkan putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst, ditemukan beberapa
faktor yang menjadi penyebab tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS.
Faktor-faktor tersebut adalah terdakwa AS pada saat dan sebelum terjadinya
kecelakaan mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, lelah, mengantuk dan
melebihi batas standar kecepatan yang ditentukan. Keempat faktor tersebut
merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab terjadinya kecelakaan
maut.
Tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta
tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur‟an
dan Hadits disebut sebagai jarimah.28 Terdapat dua istilah yang digunakan untuk
mendefinisikan tindak pidana dalam Islam yaitu jarimah dan jinayah. Adapun
secara istilah, jarimah oleh Imam Al-Mawardi didefinisikan sebagai:
‫ش‬ٚ‫خ صجش هللا رعبل عُٓب ثذذ أ رعض‬ٛ‫انجشائى يذظٕسح ششع‬
Artinya: “Perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syar‟i yang diancam oleh Allah
SWT dengan had atau ta‟zir”.29 Kemudian untuk pengertian jinayah secara
terminologi, sebagaimana yang disebutkan oleh Abdul Qadir Audah, yaitu:
‫ َفس ٔايٕال‬ٙ‫خ اسى نفعم يذشو ششعب سٕاء ٔلع انفعم عه‬ٚ‫فبنجُب‬
Artinya: “Suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”.30
Berdasarkan pengertian-pengertan tersebut, tidak salah untuk dikatakan
bahwa tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS adalah sebuah tindak pidana.
Mengingat tabrakan tersebut telah merenggut sembilan korban jiwa dan tiga orang
luka-luka.
Pernyataan di atas juga dikuatkan dengan alasan bahwa tabrakan maut
yang dilakukan terdakwa AS tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana

28
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 1.
29
Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, cet. III, (Mesir: Mustafa Al-
Babyi Al- Halaby, 1975), h. 219.
30
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinay Al-Islamy, (Beirut: dar Al-Kitab Al Araby),
h. 67.
58

perspektif hukum pidana Islam. Unsur-unsur tindak pidana dalam Islam ada tiga
yaitu unsur syar‟iy (formil), unsur maddiy (materiil) dan unsur adabiy (moral).31
Pada tabrakan maut yang dilakukan oleh terdakwa AS, Unsur syar‟iy terletak pada
pelarangan pembunuhan tersalah yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 92,
unsur maddiy (materil) ditujukan pada tabrakan maut yang dilakukan AS
mengakibatkan terjadinya jarimah qathlul qata‟ dan jarimah jarah ghair maqsud,
dan terakhir pada unsur adaby terletak pada terdakwa AS yang dapat
dikategorikan seorang mukhallaf atau orang yang layak dibebani hukum.
Terpenuhinya tiga unsur tersebut telah membuktikan bahwa perbuatan terdakwa
adalah suatu jarimah dan pada setiap jarimah akan dibebankan
pertanggungjawaban pidana selama tidak ada hal-hal yang menjadi penghalang
pertanggungjawaban itu.
Pertanggungjawaban pidana dalam Islam didefinisikan sebagai
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya itu.32 Terdapatnya nash dan aturan yang
melarang suatu perbuatan tersebut menjadi syarat diberlakukannya
pertanggungjawaban pidana. Sebagaimana asas legalitas dalam Islam yang salah
satunya dijelaskan dalam Al-Qur‟an Surat Al-Israa‟ ayat 15 yaitu:33
َ ‫ٍَ َدزَّ ٰٗ ََ ْج َع‬ٛ‫… َٔ َيب ُكَُّب ُي َع ِّز ِث‬
‫ش َسس ا‬
)ٔ٘ :ٔ١ /‫ُٕال (اإلسشاء‬
Artinya: “.....dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul” (Al-Israa‟ ayat 15)”.
Terdapat dua faktor yang menjadi terhalangnya pertanggungjawaban
pidana yaitu:
a. Adanya perkara-perkara yang menghalangi tuntutan
pertanggungjawaban. Faktor ini terdapat pada pelaku yang tidak
memiliki ahliyyah (kelayakan) untuk bertanggungjawab (tidak cakap

31
Penelitian Moh. Fauzi, Penerapan Diversi dan Keadilan Restorative dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak (Tinjauan Hukum Pidana Islam), h. 8.
32
A. Hanafi., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1967), h. 121.
33
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 31.
59

hukum), dan tidak adanya kehendak atau niatan yang alami (dalam
keadaan terpaksa).34
b. Adanya faktor-faktor pembolehan dari tindak pidana. Berupa faktor
eksternal suatu kejadian yang menyebabkan tidak terpenuhinya alasan
tajriim sehingga tindakannya tidak bisa dianggap sebagai tindakan
pidana meskipun sebenarnya tindakannya itu menurut hukum asal
adalah tindakan kejahatan, seperti tindakan membela diri yang sah dan
tindakan menggunakan suatu hak.35
Penjelasan kedua faktor di atas telah memperjelas bahwa tidak ada lagi
alasan yang dapat membatalkan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan
kepada AS. Namun, bagaimana dengan sifat ketidaksengajaan atau kelalaian pada
tabrakan maut tersebut, apakah terdakwa AS masih tetap harus dibebankan
pertanggungjawaban pidana?. Sedangkan terdapat dalil yang menjelaskan bahwa
kelalaian atau kealpaan dapat menghapus pembebanan pertanggungjawaban
pidana. Sebagaimana dalam potongan surat Al-Ahzab ayat 5 yaitu:
ّ ٰ ٌَ‫َد لُهُْٕ ثُ ُك ْى َۗٔ َكب‬
)٘ :ٖٖ / ‫ اًب (األدضاة‬ْٛ ‫هللاُ َغفُْٕ سا ا َّس ِد‬ ْ ‫ ًَبٓ اَ ْخطَأْرُ ْى ثِ ّٖ َٔ ٰن ِك ٍْ َّيب رَ َع ًَّذ‬ْٛ ِ‫ ُك ْى ُجَُب ٌح ف‬ْٛ َ‫ْس َعه‬
َ َٛ‫… َٔن‬
Artinya: “….Dan tidak ada dosa atas mu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”36
Hadist yang artinya “Dihapuskan ketentuan untuk ummatku berupa
kekeliruan, kelupaan dan keadaan dipaksa (H.R. Ṭabrāni dari Ṡauban).37 Kealpaan
terdakwa AS dapat digolongkan sebagai kekeliruan. Dengan alasan, kealpaan atau
ketidaksengajaan tersebut disebabkan pada konsisi terdakwa AS yang berkendara
dalam keadaan kurang hati-hati, tidak adanya pengendalian diri dan hilangnya
penilaian pada saat berkendara. Namun penghapusan pembebanan
pertanggungjawaban pidana karena kekeliruan tersebut, tidak dapat diberlakukan

34
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 293
35
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 293
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 80.
37
Jalāludīin „Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Sayuṭi, Al-Jāmi‟uṣ-Ṣagīr, Juz II, (Bairut: Dār
al Fikr. t.th), h. 24.
60

pada kasus terdakwa AS. Hal ini dikarenakan selain ketentuan yang disebutkan
dari dalil di atas, ada juga ketentuan lain yang dapat mengecualikannya.
Pada dasarnya, ada dua ketentuan yang menjelaskan tentang dapat atau
tidaknya penghapusan pertanggungjawaban pidana pada kekeliruan. Dua
ketentuan tersebut adalah ketentuan pokok dan pengecualian dari ketentuan
pokok. Ketentuan pokok tersebut yaitu tidak adanya pertanggungjawaban pidana
pada kekeliruan selama tidak adanya nash yang secara jelas mensyari‟atkan
hukuman suatu perbuatan itu.38 Sedangkan pada ketentuan pengecualian adalah
dengan mengecualikan ketentuan pokok, sehingga pertanggungjawaban pidana
pada kekeliruan tetap dapat diberikan selama adanya nash yang secara tegas
mensyari‟atkan hukuman atas perbuatan itu. Sebagaimana jarimah yang dilakukan
AS yang secara tegas dijelaskan dalam potongan surah An-Nisa ayat 92, yaitu:

‫َخٌ ُي َسهَّ ًَخٌ إِنَ ٰٗ أَ ْْهِ ِّ إِ َّال‬ٚ‫ ُش َسلَجَ ٍخ ُي ْؤ ِيَُ ٍخ َٔ ِد‬ٚ‫َ ْمزُ َم ُي ْؤ ِيُاب إِ َّال َخطَأ ا ۚ َٔ َي ٍْ لَز ََم ُي ْؤ ِيُاب َخطَأ ا فَزَذْ ِش‬ٚ ٌْ َ‫َٔ َيب َكبٌَ نِ ًُ ْؤ ِي ٍٍ أ‬
)٢ٕ :ٖ /‫ص َّذلُٕا ۚ… (انُسبء‬ َّ َٚ ٌْ َ‫أ‬
Artinya: “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang
yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa
membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)
membebaskan pembayaran….”39
Hukuman terhadap jarimah yang dibabankan pada terdakwa AS dalam
pandangan Islam tidak serta merta dapat langsung dilakukan begitu saja.
Sebagaimana ungkapan bahwa “rahmat Allah SWT yang mendahului murkanya”.
Aturan Islam memberikan kesempatan bagi pelakunya untuk melakukan
introspeksi diri dan perbaikan internal dengan kesadaran diri untuk menjauhkan
diri dari kejahatan, dan berbuat dosa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yaitu
“Seseorang yang bertobat dari dosa, ia seperti orang yang tidak memiliki dosa”.40
Namun ketentuan dapat dihapusnya dosa tersebut hanya dapat dilakukan pada

38
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 80.
39
Terjemahan Surat An-Nisa ayat 92.
40
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 264.
61

jarimah yang melanggar hak Allah SWT dan tidak termasuk pada jarimah yang
melanggar hak manusia. Sehingga pada kasus terdakwa AS, masih akan tetap
dibebankan hukuman jarimah pembunuhan tersalah dan pelukaan yang tidak
disengaja yang ditetapkan dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Dengan
alasan, meskipun tobat dapat menghapus dosa tabrakan maut dari segi hak Allah
SWT, akan tetapi hal tersebut tidak dapat mengahapus dosa terdakwa AS pada
keluarga korban yang menderita karena perbuataannya atau juga bisa disebut
dengan hak manusia. Pelanggaran hak individu atau hak manusia tersebut hanya
dapat dihapus dengan pemaafan dari pihak yang dilanggar dan pembayaran ganti
kerugian kepada korban atau keluarga korban sebab duka yang dialaminya.
Fuqaha sepakat bahwa tobat dapat menghapus hukuman had apabila
pelaku telah bertobat sebelum kasus tersebut sampai kepada waliyul amri. Akan
tetapi jika perbuatan tersebut telah sampai kepada waliyul amri sebelum tobat
dilakukan, maka hukuman had akan tetap dilakukan baik itu pada had zina,
pembegalan, pencurian, khamar dan lain-lain. Dalam kitab Al-Muwaththa'
disebutkan dari Utsman Ibnu Affan r.a, bahwasannya ia berkata: “Apabila kasus
kejahatan dengan ancaman hukuman had telah sampai kepada Sultan, maka Allah
SWT melaknat syaafi' (orang yang memintakan syafaat, perantara yang melobi
untuk memintakan ampunan) dan musya'ffi' (orang yang menerima dan
mengabulkan syafaat, orang yang mengampuni berdasarkan syafaat yang
diajukan)." Dan juga dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 34 yang artinya
“Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang".41
Islam mengategorikan perbuatan yang menyebabkan matinya dan luka-
lukanya seseorang sebagai perbuatan jarimah dan dikenakan uqubah padanya.
Setiap jarimah adalah dosa dan setiap dosa akan dikenakan sanksi bagi pelakunya.
Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-An‟am ayat 164:

41
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 499.
62

ٗ‫اص َسحٌ ِّٔ ْص َس اُ ْخ ٰش ٖۚ صُ َّى اِ ٰن‬ ۚ ٍ ‫ ۗ ٍء َٔ َال رَ ْك ِستُ ُكمُّ ََ ْف‬َٙ


ِ َٔ ‫َٓب َٔ َال ر َِض ُس‬ْٛ َ‫س اِ َّال َعه‬ ّ ٰ ‫ َش‬ْٛ ‫لُمْ اَ َغ‬
ْ ‫ َسثّاب َّْٔ َُٕ َسةُّ ُكمِّ ش‬ْٙ ‫هللاِ اَ ْث ِغ‬
)ٔٙٗ :ٙ /‫ ِّ ر َْخزَهِفُْٕ ٌَ (األَعبو‬ْٛ ِ‫َُُجِّئُ ُك ْى ثِ ًَب ُك ُْزُ ْى ف‬َٛ‫َسثِّ ُك ْى َّيشْ ِج ُع ُك ْى ف‬
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Apakah (patut) aku mencari tuhan
selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa
seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan
memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali,
dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan”.

1. Pertanggungjawaban Terdakwa AS yang Menyebabkan 9 Orang


Meninggal.
Sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya, bahwa tabrakan maut
yang dilakukan oleh AS merupakan suatu tindak pidana yang terjadi karena
ketidaksengajaan atau kealpaannya pengemudi. Dalam Islam perbuatan ini
disebut dengan jara‟im gair maqsudah, terjadi karena si pelaku tidak sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatannya tersebut terjadi akibat
kekeliruan.42 Salah satu Akibat dari tabrakan maut yang dilakukan oleh terdakwa
AS adalah dengan terenggutnya sembilan (9) korban jiwa.
Masalah kelalaian yang menyebabkan kematiannya seseorang dalam
Islam dikategorikan sebagai jarimah qathlul khata‟ atau pembunuhan tersalah.
Pembunuhan dalam bahasa Arab disebut ‫( انمزم‬al-qatlu) berasal dari kata ‫لزم‬
(qatlu) yang sinonimnya ‫ أيبد‬artinya mematikan.43 Dalam arti istilah,
pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili yang mengutip pendapat
Syarbini Khatib sebagai berikut:
44
‫انخ‬..‫انمزم ْٕ انفعم انًضْك ا٘ انمزم ننَُّفسض‬
Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut
nyawa seseorang.”
Sedangkan Abdul Qadir Audah memberikan definisi pembunuhan
sebagai berikut:

42
Abdul Qadir Audah, At-Tassyri‟ al-Jina‟i al-Islamy, juz I, (t.tp: Muassasah Ar-
Risalah, t.t), h. 104-105.
43
Ibrahim Unais, et al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Juz II, (Dar Ihya At-Turats, tt), h. 715.
44
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al- Fikr,
1989), h. 217.
63

45
‫إنخ‬..‫بح أ٘ أَّ إصْبق سٔح أديٗ ثفعم أديٗ أخش‬ٛ‫انمزم ْٕ فعم يٍ انعجبد رضٔل ثّ انذ‬
Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan
kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan
sebab perbuatan manusia yang lain.”
Ulama Hanaffiayah, Syafi‟iyah dan Hanabilah membagi pembunuhan
menjadi tiga bentuk, yakni pembunuhan sengaja (qathlul amdi), pembunuhan
tersalah (qathlul khata‟) dan pembunuhan menyerupai sengaja (qathlu syibhul
„amdi).46 Mengesampingkan dua pembunuhan laiannya, sesuai dengan bahasan
penulis, bahwa tabrakan maut yang dilakukan AS digolongkan sebagai
pembunuhan tersalah (qathlul katha‟). Sebagaimana Wahbah Zuhaili dalam
bukunya fikih islam wa adillatuhu mendefenisikan pembunuhan tersalah sebagai
“Pembunuhan yang terjadi tanpa ada maksud, keinginan dan kesengajaan sama
sekali, baik tindakannya itu sendiri, maupun korbannya. Seperti ada seseorang
bermaksud melempar suatu pohon atau binatang, lalu lemparan itu justru
mengenai orang lalu mati”.47
Fuqaha sepakat bahwa tidak ada sanksi hukuman qishas di dalam
pembunuhan tersalah dan yang serupa dengannya. Akan tetapi hanya ada dua
sanksi hukum saja, yaitu hukuman pokok berupa diyat dan kafarat, dan
hukuman konsekuensi berupa terhalang dari mendapatkan hak warisan dan hak
atas wasiat.48 Sedangkan untuk hukuman ta‟zir, fuqaha sepakat bahwa tidak ada
ta‟zir pada pembunuhan tersalah.49 Hal ini dikarenakan bahwa syarat hukuman
ta‟zir dapat dijatuhkan apabila tidak ada ketentuan had atau dalil yang
mensyariatkan suatu perbuatan maksiat tersebut. Oleh sebab itu hanya ada diyat
dan kafarat serta hukuman konsekuensi berupa hilangnya hak waris dan wasiat
yang dapat dibebankan pemidanaannya pada kasus terdakwa AS.

45
Abdul Qadir Audah , At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamiy, Juz II,(Dar Al-Kitab
Al‟Arabi, tt), h. 6.
46
H.A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh jinayah), (Bandung: CV Pustaka setia,
2000), h. 117.
47
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 548.
48
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000), h. 147.
49
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 114.
64

a. Diyat
Hukuman pokok diyat pada kasus tabrakan maut yang dilakukan AS
adalah berupa Diyat mukhaffafah. Diyat mukhaffafah ini terdiri dari dua puluh
ekor unta hiqqah, dua puluh ekor unta jadza‟ah, dua puluh ekor unta bintu
labun, dua puluh ekor unta ibnu labun, dan dua puluh ekor unta ibnu
makhadh.50 Pada kasus terdakwa AS yang mana menyebabkan sembilan
orang meninggal dunia, maka wajib bagi AS untuk membayarkan diyat pada
masing-masing keluarga korban. Ketentuan tersebut didasarkan pada
pendapat Wahbah Zuhaili bahwa “Kejahatan yang berjumlah lebih dari satu
tidak bisa mengalami at-tadaakhul (hukuman untuk salah satunya sudah bisa
mewakili hukuman kejahatan-kejahatan yang lain) dalam kasus kejahatan
tersalah, maka begitu juga ketika kasus kejahatan itu adalah kasus kejahatan
sengaja”.51
Pembayaran diyat pada pembunuhan tersalah adalah dibebankan
kepada keluarga pelaku atau keluarga AS. Dibayar dengan cara diangsur
selama tiga tahun, tiap-tiap tahunnya keluarga AS harus membayar
sepertiganya.52 Namun terdakwa AS juga dapat ikut sera dalam pembayaran
tersebut, Sebab sanksi diyat ini lebih terlihat mirip seperti ganti rugi, apalagi
besar denda tersebut dapat berbeda-beda menurut kejahatan yang dilakukan
pelaku.53
Berdasarkan putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst, dapat diketahui
adanya sembilan (9) korban jiwa pada kasus tabrakan yang dilakukan AS dan
jika digolongkan terdapat enam (6) orang laki-laki dan tiga (3) orang
perempuan. Ulama dari kalangan Syafi'iyah berpendapat bahwa Terkadang
ada sesuatu hal yang bisa mengurangi jumlah besaran diyat, yaitu salah satu

50
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 662-663.
51
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 566
52
Rasjid, S, Fiqih Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 430.
53
Sinulingga, R., & Sugiharto, R, Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum Islam dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana. Sultan Agung Fundamental Research Journal, 1(1), (2020), h.
31–43.
65

dari empat sebab berikut, berjenis kelamin perempuan, berstatus budak,


pembunuhan janin, dan yang keempat adalah status kafir. Sebab pertama
menjadikan diyat berubah menjadi separuh, sebab kedua disesuakan dengan
nilainya, sebab ketiga menjadikan diyat berupa ghurrah, dan sebab keempat
menjadikan diyat berkurang menjadi sepertiga atau lebih sedikit lagi dari
itu.54 Oleh karena itu pada kasus AS dikenakan enam (6) diyat penuh, dan
tiga (3) diyat ursy.
b. Kafarat
Merupakan hukuman pokok kedua yang wajib dibebankan kepada
terdakwa AS. Berdasarkan keterangan surat An-Nisa ayat 92, ada dua bentuk
hukuman kafarat yaitu: pertama, membebaskan seorang hamba yang mukmin
dan kedua, sebagai pengganti dari bentuk hukuman pertama jika tidak mampu
untuk melakukannya yaitu dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.55
Dikarenakan tidak adanya budak pada masa sekarang, maka hanya ada satu
bentuk hukuman yang dapat diberlakukan kepada AS yaitu berpuasa dua
bulan berturut-turut. Menjadi utang bagi terdakwa AS, jika dia tidak mampu
melakukannya.56 Sebagaimana tidak berlakunya at-tadaakhul (hukuman
untuk salah satunya sudah bisa mewakili hukuman kejahatan-kejahatan yang
lain) pada diyat, dan hal ini juga berlaku pada kafarat. Sehingga terdakwa AS
harus berpuasa dua bulan berturut-turut sebanyak sembilan (9) kali.
Hukuman pokok pembunuhan tersalah adalah diyat dan kafarat. Pada
keduanya ada perbedaan terkait siapa yang menanggungnya. Pembayaran
diyat dapat ditanggung oleh keluarga pelaku, sedangkan pada kafarat hanya
dapat ditanggung oleh pelaku sendiri. Hal ini didasarkan pada surah An-Nisa
ayat 92, yaitu:
ِّ ِ‫َخٌ ُي َسهَّ ًَخٌ إِنَ ٰٗ أَ ْْه‬ٚ‫ ُش َسلَجَ ٍخ ُي ْؤ ِيَُ ٍخ َٔ ِد‬ٚ‫َ ْمزُ َم ُي ْؤ ِيُاب إِ َّال خَ طَأ ا ۚ َٔ َي ٍْ لَزَ َم ُي ْؤ ِيُاب َخطَأ ا فَزَذْ ِش‬ٚ ٌْ َ‫َٔ َيب َكبٌَ نِ ًُ ْؤ ِي ٍٍ أ‬
‫َُ ُك ْى‬ْٛ َ‫ ُش َسلَجَ ٍخ ُي ْؤ ِيَُ ٍخ ۖ َٔإِ ٌْ َكبٌَ ِي ٍْ لَْٕ ٍو ث‬ٚ‫ص َّذلُٕا ۚ فَئ ِ ٌْ َكبٌَ ِي ٍْ لَْٕ ٍو َع ُذ ٍّٔ نَ ُك ْى َْٔ َُٕ ُي ْؤ ِي ٌٍ فَزَذْ ِش‬ َّ َٚ ٌْ َ‫إِ َّال أ‬

54
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 642.
55
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah
(Jakarta: Sinar Grafika. 2006), h. 156.
56
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 629.
66

ِ َ‫َ ِج ْذ ف‬ٚ ‫ ُش َسلَجَ ٍخ ُي ْؤ ِيَُ ٍخ ۖ فَ ًَ ٍْ نَ ْى‬ٚ‫َخٌ ُي َسهَّ ًَخٌ إِنَ ٰٗ أَ ْْهِ ِّ َٔرَذْ ِش‬ٚ‫ق فَ ِذ‬
ٍَ‫ ٍِ رَْٕ ثَخا ِي‬ْٛ ‫ ٍِْ ُيزَزَبثِ َع‬ٚ‫َب ُو َش ْٓ َش‬ٛ‫ص‬ ٌ ‫ضَب‬ٛ‫َُُٓ ْى ِي‬ْٛ َ‫َٔث‬
)٢ٕ :ٖ /‫ اًب (انُسبء‬ٛ‫ اًب َد ِك‬ِٛ‫هللاُ َعه‬ َّ ٌَ‫هللاِ ۗ َٔ َكب‬ َّ
Artinya: “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh
seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).
Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah)
dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar)
tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan
jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba
sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

c. Hukuman konsekuensi: penghapusan hak waris dan wasiat


Menurut pandangan penulis, hukuman berupa penghapusan hak waris
dan wasiat terhadap permbunuhan tersalah yang dilakukan oleh terdakwa AS
tidak dapat diberlakukan. Hal ini didasarkan pada dua alasan yaitu:
Pertama, pembunuhan yang dilakukan AS tersebut tidak terjadi baik
kepada pewaris yang akan memberikan ahli warisnya kepada AS, maupun
ahli waris yang sama dengan AS yang akan menerima warisan dari pewaris
yang sama. Pembunuhan tersalah AS dilakukan pada orang yang tidak
dikenal dan juga bukan ahli waris yang sama dengan AS. Kondisi yang
demikian menyebabkan tidak berlakunya pengimplementasian prinsip
saddudz dzaraa'i' (menutup celah-celah yang bisa dijadikan sebagai pintu
masuk kepada hal-hal yang dilarang),57 yang mana menjadi tujuan dari
diadakannya hukuman penghapusan hak waris dan wasiat bagi pelaku
pembunuhan. Kedua, pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah bahwa
bahwa pembunuhan karena kesalahan tidak menyebabkan hilangnya hak

57
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 646.
67

waris dan wasiat, karena pelaku sama sekali tidak berniat melakukan
perbuatan yang dilarang, yaitu pembunuhan.58

2. Pertanggungjawaban Pidana Terdakwa AS yang Menyebabkan 3 Orang


Luka-Luka.
Tabrakan maut yang menyebabkan korban luka-luka dikategorikan
sebagai penganiyayan tidak sengaja atau kekerasan fisik tersalah atau juga bisa
disebut dengan al-jinayat ala-maa-duni al-nafs. Al-jinayat ala-maa-duni al-nafs
adalah tindakan yang memang dilakukan dengan sengaja oleh pelaku namun
sama sekali tidak ada maksud dan keinginan untuk mencederai dan menganiaya,
seperti seseorang melempar sebuah batu dari jendela, lalu batu itu mengenai
kepala orang lain hingga menyebabkan kulitnya terkelupas dan tulangnya
terlihat.59
Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang menyebabkan luka-luka
karena kelalaian dalam Islam yaitu dengan diyat atau ursy.60 Diyat yang
dimaksudkan di sini adalah diyat penuh, sedangkan ursy adalah di bawah diyat
penuh.61 Jenis diyat pelukan karena kelalaian adalah diyat ringan atau diyat
mukhaffafah dengan pembagiannya yaitu 100 ekor unta yang terdiri dari 20 ekor
haqiqah, 20 ekor jadza‟ah, 20 ekor bintu labun, dan 20 ekor makhail.62 Adapun
penanggung diyat, para fuqaha telah sepakat untuk mengikutsertakan keluarga
pembuat yang disebut “aqilah”, dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud
dengan keluarga tersebut ialah sanak saudaranya yang datang dari pihak ayah
(„ashabah). Keluarga yang jauh diikutsertakan karena mereka juga bisa menjadi

58
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika. 2005), h. 178.
59
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 680.
60
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.195-
196.
61
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 693.
62
Abdul Fatah Idris dan M. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, cet. 2, (Jakarta: PT.
Rhincka Cipta, 1994), h. 266.
68

ahli waris (cadangan) kalau keluarga dekat tidak ada, tanpa disyari‟atkan
menjadi ahli waris yang nyata.63
Jumlah diyat pelukaan untuk tiap jenis bagiannya telah ditentukan secara
rinci dalam hukum pidana Islam. Merujuk pada putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst dapat diketahui bahwa tabrakan maut yang dilakukan
terdakwa AS menyebabkan tiga (3) orang luka-luka, yaitu Siti Mukharomah,
Kenny, dan Indra (9 Tahun). Setiap jenis luka yang didapat dalam tabrakan maut
tersebut, memiliki jumlah diyat yang berbeda. Pada perihal ini, penulis merujuk
pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa‟I, yaitu:
‫ ًَبٌَ ْث ٍِ دَا ُٔ َد لَب َل‬ْٛ َ‫َٗ ثٍُْ َد ًْ َضحَ ع ٍَْ ُسه‬ٛ ْ‫َذ‬ٚ ‫ُٕس لَب َل َد َّذصََُب ْان َذ َك ُى ثٍُْ ُيٕ َسٗ لَب َل َد َّذصََُب‬ ٍ ‫أَ ْخجَ َشََب َع ًْشُٔ ثٍُْ َي ُْص‬
َّ َّٗ‫صه‬
ِّ ْٛ َ‫هللاُ َعه‬ َ ِ‫هللا‬َّ ‫ُٕل‬ َ ‫ ِّ ع ٍَْ َج ِّذ ِِ أَ ٌَّ َسس‬ٛ‫ ثَ ْك ِش ث ٍِْ ُي َذ ًَّ ِذ ْث ٍِ َع ًْ ِشٔ ْث ٍِ َد ْض ٍو ع ٍَْ أَ ِث‬ِٙ‫انض ْْ ِشُّ٘ ع ٍَْ أَث‬
ُّ َُِٙ‫َد َّذص‬
‫َذ َعهَٗ أَْْ ِم‬ ْ ‫ش ثِ ِّ َي َع َع ًْ ِشٔ ْث ٍِ َد ْض ٍو فَمُ ِشئ‬َ ‫بد َٔثَ َع‬ُ َٚ‫ ِّ ْانفَ َشائِضُ َٔان ُّسٍَُُ َٔان ِّذ‬ِٛ‫َ ًَ ٍِ ِكزَبثاب ف‬ٛ‫َت إِنَٗ أَ ْْ ِم ْان‬َ ‫َٔ َسهَّ َى َكز‬
‫ ِْى ْث ٍِ َع ْج ِذ ُك ََل ٍل‬ٛ‫ َم ث ٍِْ َع ْج ِذ ُك ََل ٍل ََُٔ َع‬ِٛ‫ ِّ َٔ َسهَّ َى إِنَٗ ُش َشدْ ج‬ْٛ َ‫هللاُ َعه‬
َّ َّٗ‫صه‬ َ ِّٙ ِ‫َ ًَ ٍِ َْ ِز ِِ َُ ْس َخزَُٓب ِي ٍْ ُي َذ ًَّ ٍذ انَُّج‬ٛ‫ْان‬
ٍَْ ‫ ِكزَبثِ ِّ أَ ٌَّ َي ٍْ ا ْعزَجَطَ ُي ْؤ ِيُاب لَ ْز اَل ع‬ِٙ‫ ٍٍ َٔ َي َعبفِ َش ََْٔ ًْذَاٌَ أَ َّيب ثَ ْع ُذ َٔ َكبٌَ ف‬ْٛ ‫٘ ُس َع‬
ِ ‫ ِْم ِر‬َٛ‫س ْث ٍِ َع ْج ِذ ُك ََل ٍل ل‬
ِ ‫بس‬ ِ ‫َٔ ْان َذ‬
َ ‫ف إِ َرا أُٔ ِع‬
ُّ‫ت َج ْذ ُع‬ ِ َْ َ‫ ْاأل‬ِٙ‫اإلثِ ِم َٔف‬ ِ ‫ انَُّ ْف‬ِٙ‫ٕل َٔأَ ٌَّ ف‬
ِ ْ ٍْ ‫َخَ ِيبئَخا ِي‬ٚ‫س ان ِّذ‬ ِ ُ‫َب ُء ْان ًَ ْمز‬ِٛ‫ضٗ أَْٔ ن‬
َ ْ‫َش‬ٚ ٌْ َ‫َُِّ ٍخ فَئََُِّّ لَ َٕ ٌد إِ َّال أ‬َٛ‫ث‬
ِٙ‫َخُ َٔف‬ٚ‫ت ان ِّذ‬ ِ ‫ انصُّ ْه‬ِٙ‫َخُ َٔف‬ٚ‫ان ِّذ‬ َ ْٛ َ‫ ْانج‬ِٙ‫َخُ َٔف‬ٚ‫ ٍِ ان ِّذ‬ْٛ َ‫شفَز‬
‫ ان َّز َك ِش‬ِٙ‫َخُ َٔف‬ٚ‫ ٍِ ان ِّذ‬ْٛ ‫ض َز‬ َّ ‫ ان‬ِٙ‫َخُ َٔف‬ٚ‫ انهِّ َسب ٌِ ان ِّذ‬ِٙ‫َخُ َٔف‬ٚ‫ان ِّذ‬
‫ ْان ًَُُمِّهَ ِخ‬ِٙ‫َ ِخ َٔف‬ٚ‫ش ان ِّذ‬
ُ ُ‫ْان َجبئِفَ ِخ صُه‬
ِٙ‫َ ِخ َٔف‬ٚ‫ش ان ِّذ‬ ُ ُ‫ ْان ًَأْ ُيٕ َي ِخ صُه‬ِٙ‫َ ِخ َٔف‬ٚ‫ انشِّجْ ِم ْان َٕا ِد َذ ِح َِصْ فُ ان ِّذ‬ِٙ‫َخُ َٔف‬ٚ‫ ٍِ ان ِّذ‬ْٛ َُْٛ ‫ْان َع‬
‫اإلثِ ِم‬ ِ ْ ٍْ ‫َ ِذ َٔانشِّجْ ِم َع ْش ٌش ِي‬ٛ‫صبثِ ِع ْان‬
ِ ْ ٍْ ‫ انسٍِِّّ خَ ًْسٌ ِي‬ِٙ‫اإلثِ ِم َٔف‬ َ َ‫ ُك ِّم أُصْ ج ٍُع ِي ٍْ أ‬ِٙ‫اإلثِ ِم َٔف‬ ِ ْ ٍْ ‫س َع ْش َشحَ ِي‬ َ ًْ ‫َخ‬
) ‫َُبس) سٔاِ انُسبا‬ٚ‫ت أَ ْنفُ ِد‬ ِ َْ‫ُ ْمزَ ُم ثِ ْبن ًَشْ أَ ِح َٔ َعهَٗ أَ ْْ ِم ان َّز‬ٚ ‫اإلثِ ِم َٔأَ ٌَّ ان َّش ُج َم‬
ِ ْ ٍْ ‫ض َذ ِخ َخ ًْسٌ ِي‬ ِ ًُٕ ‫ ْان‬ِٙ‫َٔف‬
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin Manshur telah
menceritakan kepada kami Al Hakam bin Musa telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Hamzah dari Sulaiman bin Daud telah menceritakan kepadaku Az
Zuhri dari Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm dari ayahnya (7) dari
kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada
penduduk Yaman yang berisi tentang berbagai kewajiban, sunnah-sunnah, dan
diyat. Beliau mengutus 'Amru bin Hazm untuk mengantar surat tersebut.
Kemudian surat tersebut dibacakan di hadapan penduduk Yaman. Inilah
naskahnya; "Dari Muhammad, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kepada
Syurahbil bin Abdu Kulal dan Nu'aim bin Abdu Kulal, serta Al Harits bin Abdu
Kulal Qail Dzu ru'ain, Ma'afir, dan Hamdan; adapun selanjutnya.... Dan di antara
isi surat tersebut adalah bahwa, "Barang siapa membunuh seorang mukmin
secara zalim dengan adanya bukti maka ia mendapatkan balasan, kecuali apabila
para wali orang yang dibunuh merasa rela. Untuk sebuah nyawa satu diyat yaitu
seratus ekor unta, hidung apabila dipotong semuanya adalah satu diyat, untuk

63
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 287.
69

lidah satu diyat, untuk dua bibir satu diyat, dua buah pelir satu diyat, penis satu
diyat, tulang belakang satu diyat, dua mata satu diyat, satu kaki setengah diyat,
luka yang sampai kepada otak sepertiga diyat, luka dalam sepertiga diyat, tulang
retak dan bergeser lima belas unta, dan untuk setiap jari tangan dan kaki sepuluh
unta, untuk gigi lima unta, untuk luka yang menampakkan tulang lima unta. Dan
seseorang dibunuh akibat membunuh seorang wanita, bagi pemilik emas
diyatnya adalah seribu dinar." (HR. An-Nasa‟i).64

Jumlah hukuman diyat yang harus dibayarkan terdakwa AS kepada


korban yang menderita luka-luka, yaitu:
a. Siti Mukharomah mengalami luku-luka perdarahan pada:
1) Indrabdomen e.c Ruptur lien gr IV.
Adalah cedera yang terjadi pada organ dalam perut dan merupakan
jaa'ifah (luka rongga badan).
2) Fraktur pelvis e.c trauma tumpul abdomen,
Adalah cedera yang terjadi karena patahnya satu atau lebih tulang pada
tulang panggung. Luka ini juga termasuk sebagai jaa'ifah (luka rongga
badan).
3) Fraktur lumerus dextra dan fraktur libia fibula dextra,
luka fraktur lumerus dextra terjadi pada tulang terbesar lengan dan
tulang ini merupakan satu-satunya penyusun lengan atas, sedangkan
fraktur libia fibula dextra merupakan patah tulang betis kaki kanan.
Untuk kedua luka ini digolongkan sebagai non-jaa‟ifah (tidak sampai
rongga tubuh).
4) Fraktur kosta 7.8 aspek sinistra + ruptur buli posterior.
Fraktur kosta 7.8 aspek sinistra berupa patah tulang pada rusuk dan
luka ruptur buli posterior berupa robekan atau hilangnya kontinuitas
dari dinding buli-buli, beralokasi di abdomen, kandung kemih.
Keduanya juga merupakan jaa'ifah (luka rongga badan).
Luka jaa'ifah dan luka non jaa'ifah merupakan bagian dari Al-Jiraah
(luka pada anggota tubuh selain kepala dan muka. Luka jaa'ifah adalah, luka
yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada atau rongga perut,

64
Ahmad bin Syu‟aib bin Abd al-Rahman al-Nasa‟I, Sunan al-Nasa‟I al-Kubra, Bab
Qussamah, Hadis No. 4770, (T.tp.: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991).
70

punggung, janin, atau sampai pada bagian dalam antara dua buah pelir, atau
dubur atau tenggorokan. Luka non jaa'ifah adalah, luka yang tidak sampai ke
bagian dalam rongga tubuh, seperti luka pada leher, tangan atau kaki.65 Untuk
luka jaa'ifah, ursy-nya adalah sepertiga diyat, berdasarkan hadits Amr lbnu
Hazm, "Pada luka jaa'ifah terdapat sepertiga diyat." Sedangkan untuk luka
non-jaa'ifah, di dalamnya terdapat hukuumah 'adl (kompensasi harta yang
besarannya ditentukan oleh Hakim).66
b. KENNY (7 tahun), pelukaannya berupa Cedera kepala ringan.
Untuk jenis luka ini dimasukkan kedalam pelukan ringan dan untuk
diyatnya adalah dengan hukuumah „adl. Apabila tindak pidana atas selain
jiwa tidak menimbulkan luka pada athraf, dan tidak pula menghilangkan
manfaatnya, juga tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak pula jirah, menurut
pendapat kebanyaan fuqaha dalam kasus ini hukumannya adalah ganti rugi
yang tidak tertentu atau hukumah, yaitu ganti rugi yang ketentuannya
diserahkan kepada kebijaksanaan dan ijtihad hakim, dan ini hampir mirip
dengan ta‟zir.67
c. INDRA (9 tahun), dengan pelukan berupa cedera kepala ringan dengan
patah tulang dahi memanjang sampai ke rongga tulang dahi dengan
pendarahan didalamnya.
Pelukaan ini termasuk pada syajjah yaitu pelukaan pada bagian
kepala dan wajah. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah membagi pelukaan
syajjah menjadi 10 bagian yaitu: khaarishah atau haarishah, daamiyah
(berdarah), baadhi'ah, mutalaahimah, simhaaq, muwadhdhihah,
haasyimah, munaqqilah, ma'muumah, dan daamighah. Pada lima luka
pertama tidak terdapat diyat ursy yang telah ditetapkan, sehingga

65
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 687.
66
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 690.
67
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h.
218.
71

hukumannya adalah hukuumah 'adl.68 Penulis berpendapat bahwa luka yang


dialami Indra adalah termasuk Al-Munqilah, yaitu luka yang menembus
tulang (tempurung) dan diyat ursynya berjumlah lima belas ekor unta,
berdasarkan hadits Amr ibnu Hazm, "di dalam luka munaqqilah diyatnya
lima belas ekor unta."69

68
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 684-685.
69
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 687.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terutama dari keterangan
saksi dan barang bukti dapat dikatakan bahwa tabrakan maut yang
dijatuhkan kepada AS adalah kasus tindak pidana karena kealpaan yang
disadari (bewuste schuld). Tabrakan maut yang menghasilkan sembilan
korban jiwa dan tiga orang luka-luka tersebut, menurut pasal 229 ayat (4)
UU LLAJ dikategorikan sebagai kecelakaan lalu lintas berat. Teori
gabungan yang berlaku di Indonesia mengharuskan adanya pemidanaan
akan tabrakan maut yang dilakukan AS. Majelis Hakim memutuskan bahwa
terdakwa AS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah yaitu: Dengan
sengaja mengemudikan kendaran bermotor dengan cara atau keadaan yang
membahayakan bagi nyawa mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan
mengalami luka berat. Sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum pada dakwaan primair dua yaitu UU No. 311 ayat (5) dan dakwaan
primair ketiga yaitu UU no 311 ayat 4). Mempertimbangkan sisi yuridis,
filosofis dan sosiologis yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam putusan
No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Maka AS oleh Majelis Hakim dijatuhkan
hukuman berupa pidana penjara selama 15 tahun.
2. Tabrakan maut yang dilakukan AS telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana dalam hukum Islam yaitu unsur syar‟iy (formil), unsur maddiy
(materiil) dan unsur adabiy (moral). Sehingga diwajibkan pembebanan
pidana pada terdawa AS sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-An‟am ayat
164. Masalah kelalaian yang menyebabkan kematiannya seseorang dalam
Islam dikategorikan sebagai jarimah qathlul khata‟. Fuqaha sepakat bahwa
hukuman pada pembunuhan tersalah hanya ada dua macam saja yaitu
hukuman pokok yang terdiri dari diyat dan kafarat, dan hukuman

72
73

konsekuensi berupa penghapusan hak waris dan wasiat. Di sisi lain, pada
jarimah jarh ghair maqsud atau pelukaan karena kealpaan hanya
dibebankan hukuman diyat. Pada hukuman konsekuensi yaitu penghapusan
hak waris dan wasiat tidak dapat dibebankan kepada AS, dengan alasan
tidak terpenuhinya tujuan saddudz dzaraa'i dari tabrakan maut tersebut,
Adanya sembilan orang yang meninggal dan tiga orang luka-luka oleh
tabrakan maut tersebut, menyebabkan penjatuhan pidana AS juga dikalikan
berdasarkan jumlah korbannya. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh
Wahbah Zuhaili bahwa “Kejahatan yang berjumlah lebih dari satu tidak bisa
mengalami at-tadaakhul (hukuman untuk salah satunya sudah bisa mewakili
hukuman kejahatan-kejahatan yang lain) dalam kasus kejahatan tersalah,
maka begitu juga ketika kasus kejahatan itu adalah kasus kejahatan
sengaja”.

B. Rekomendasi
1. Kasus AS melahirkan banyak perdebatan. Terutama terkait tentang
bagaimana penyelesaian kasus tersebut dapat sesuai dengan prinsip yuridis,
sosiologis dan filosofis. Dari segi yuridis adanya ketidakpuasaan tentang
pasal mana yang seharusnya diterapkan kepada AS, segi sosiologis kadang
kala terabaikan dikarenakan pengaruh atau efek riak dari tabrakan maut
yang dilakukan AS tersebut menyebabkan putusan yang dikeluarkan Hakim
mengabaikan pertimbangan dari sisi latar sosial terdakwa AS dan begitu
pula dari segi filosofis yang memutuskan perkara demi terciptanya asas
keadilan di antara dua pihak (pelaku dan korban) namun prinsip keadilan
pada putusan itu masih diperdebatkan. Penelitian ini memaparkan jalan
penyelesaian alternatif lain yaitu dengan berpegang kepada hukum pidana
Islam. Dimana pensyariatan Islam terkait kasus ini berbeda dengan
ketentuan dalam pidana positif di Indonesia. Sebagaimana pada kasus
pembunuhan tersalah yang mana si pelaku tidak harus mendekam dipenjara
untuk membayar kesalahan yang tidak sengaja yang dia perbuat. Ada
kesempatan tobat bagi si pelaku dan ada kesempatan pembayaran duka bagi
74

korban. Dalam Islam setiap pelaku pidana tidak harus menghapus dosanya
dengan cara dipenjara, bahkan kasus AS ini dapat diselesaikan dengan cara
tobat kepada Allah SWT dan perdamain kepada keluarga korban.
Diharapkan dari materi pidana Islam yang penulis paparkan dari penelitian
ini dapat memberikan manfaat dalam palaksanaan sistem peradilan dan
penghukuman di Indonesia. Salah satu contohnya di Lembaga
Pemasyarakatan yang mana sebaiknya untuk kasus-kasus kesalahan karena
kealpaan yang sudah diputus sanksinya, dapat diselesaikan dengan cara
hukum pidana Islam, seperti memberikan alternatif kepada pelaku dengan
menerapkan hukuman kafarat yaitu berpuasa 2 bulan berturut-turut untuk
menghapus pemidanaan atau dosa dari kejahatan yang dilakukannya.
Menurut penulis hal tersebut lebih baik diterapkan dan lebih bermanfaat
bagi semua pihak karena dengan diterapkan hal tersebut dan bila mana
ditemukan pelaku yang bersungguh-sungguh bertobat karenanya, maka si
pelaku tidak perlu lagi di penjara mengingat kesalahannya tersebut terjadi
karena kealpaan serta penjara sebaiknya lebih tepat untuk ditempatkan
kepada orang-orang yang melakukan kesalahan yang sebenarnya.
2. Disarankan bagi para pelajar, mahasiwa dan akademisi lainnya Agar skripsi
ini dapat menjadi bahan rujukan dalam peneliian, pembelajaran, dan
penulisan karta ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

.
Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Suyuṭhi, Jalāludīin. Al-Jāmi‟ Ash-Ṣhaghīr Juz II.
Bairut: Dār al Fikr.

Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Al-Mawardi, Abu Al-Hasan. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. cet. III. Beirut: Al-


Maktab Al-Islami, 1996.

Andriman, Tri. Hukum Pidana. Lampung: Universitas Lampung, 2009.

Anis, Ibrahim, et.al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Juz II. Kairo: Dar Ihya At-Turats,
1972.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Audah, Abd Al-Qadir. At-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami. Beirut: Dar Al-Kitab Al


Araby, 1992.

Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. cet. VII. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010

Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta: Raja Graindo Persada,


2008.

CST, Kansil. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
1999.

Dahlan, Sudjari. Sudut Pandang Terhadap Rancangan KUHP, dalam Makalah.


Surabaya, 2001.

Djazuli, H.A. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: CV Pustaka Setia,
2000.

Effendy, Rusli. Asas-Asas Hukum Pidana. Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi


UNHAS, 1989.

Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

75
76

Fauzi, Moh. Penerapan Diversi dan Keadilan Restorative dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak (Tinjauan Hukum Pidana Islam).

George P, Fletcher. Rethinking Criminal Law. Oxford: Oxford University Press,


2000.

Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: NV Bulan Bintang,


1990.

Hornby, A. S. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford: Oxford University


Press, 1995.

Huda, Ni‟matul. Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review. Yogyakarta:
UII Press, 2005.

Idries, A.M. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan.


Jakarta: CV Sagung Seto, 2011.

Idris, Abdul Fatah dan M. Abu Ahmadi. Fiqih Islam Lengkap. cet. II. Jakarta: PT.
Rhincka Cipta, 1994.

Ilyas, Amir. Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan


Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Yogyakarta:
Rangkang Education Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012.

Ishaq. Hukum Pidana. Depok: Rajawali Press, 2019.

Jamil, Abdul. “Hukum Islam di Indonesia Setelah Pemberlakuan Undang-Undang


No.7 tahun 1989”. Jurnal Hukum dan Keadilan, Universitas Islam
Indonesia. Vol. I. Yogyakarta, 1989.

Jauhar, Ahmad al-Mursi Husain. Maqasid Syari‟ah. Jakarta: AMZAH, 2010.

Jayadiningrat, Ario Husein, dkk. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang


Percepatan Pembangun Daerah Tertinggal, Social Science in National
Law Competition 2015 di Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2015.

Kartika, M. “Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di


Wilayah Depok Tahun 2008.” Skripsi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, 2009.
77

Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap


Nyawa, Tubuh dan Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pedoman Perilaku Hakim (code of


conduct), Kode Etik Hakim. Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006.

Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. ed. Revisi. cet. V. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.

Mapaung, Leden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarata: Sinar Grafrika,


2005.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Muchtar. Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Referensi, 2013.

Muhammad Ahmadi, Fahmi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.


Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Mukhtarzain, Abdullah Ahmad. “Pemaafan dalam Pemidanaan Menurut Hukum


Islam dan Hukum Nasional”. Jurnal Idea Hukum. Vol. 4. No. 1. 2018,
Magister Hukum Fakultas Hukum, Universitas Jendral Soedirman.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 2010.

Mulyadi, Lilik. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia. Malang: PT Citra Aditya Bakti, 2014.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih
Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Nawawi Arief, Barda. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan


dengan Pidana Penjara. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed. III. cet. III.
Bandung: Reflika Aditama, 2003.

Prodjodikoro, Wirjono. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.


Jakarta: Pradnya Paramitha, 1997.

Rasjid, S. Fiqih Islam. Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2012.


78

Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003.

Renggong, Ruslan. Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar


KUHP. Jakarta: Prenadama Group, 2016.

Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam
dan Kemasyarakatan, 1992.

Rusianto, Agus. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis


Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016.

Schafffmeister, D, dkk. Hukum Pidana. Editor J.E. Sahetapy dan Agustinus


Pohan. New York: Cambridge university Press, 2007.

Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:


Alumni Ahaem-Petehaem, 1989.

Sinulingga, R dan R. Sugiharto. Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum
Islam dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana. Sultan Agung
Fundamental Research Journal, 2020.

Soedjono. Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.

Soekanto, Soerjono. Inventarisasi dan Analisa Terhadap Perundang-undangan


Lalu Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Fakultas Hukum
Universitas Tarumanegara. Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Soesilo, R. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus.


Bogor: Politeia, 1979.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986.

Suryabrata, Sumadi. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali, 1987.

Syarifin, Pipin. Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta


Mas, 1994.

Van Bemmelan, J. M. Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian Umum.


Bandung: Bina Cipta, 1987.
79

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Wisnubroto, al. Praktik Persidangan Pidana. Yogyakarta: Universitas Atmajaya,


2014.

Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI. Damaskus: Dar Al-
Fikr, 1989.

Peraturan Perundang-undangan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan.

Keputusan Menteri Nomor 72 Tahun 1993 Tentang Perlengakapan Kendaraan


Bermotor. Departemen Perhubungan RI. 1993.

Anda mungkin juga menyukai