SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum (S.H.)
Oleh:
Jum’atal Mubarak MH
11170454000002
Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT. Yang Maha Esa
dan Yang Maha Pemurah atas segala rahmat, nikmat, karunia, anugrah, lindungan,
dan hidayahnya kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM
KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN
DAN LUKA-LUKA”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dan juga
merupakan tugas akhir bagi penulis untuk dapat menamatkan strata satu di
Program Studi Hukum Pidana Islam atau Jinayah, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya shalawat dan
salam penulis hadiahkan kepada baginda Rasulullah, Nabi Muhammad
Shallallahu „alaihi wa Sallam sebagai pembawa risalah kebenaran untuk semua
umat di dunia, khususnya umat Islam.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah penulis lakukan
secara bertahap, dimulai dari penemuan tema dan judul, pembuatan kerangka
penelitian, pembuatan proposal, pelaksanaan ujian, revisi proposal, dan
pembimbingan skripsi serta barulah dimulai pembuatan skripsi dengan berbagai
prosesnya yang panjang dan lain sebagainya. Proses panjang tersebutlah yang
mengantarkan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi dengan baik dan benar.
Proses panjang tersebut dapat penulis jalani berkat arahan, motivasi, nasehat, dan
dukungan baik secara moril maupun materil kepada penulis. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A, selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta;
2. Qosim Arsadani, M.A, selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah);
3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A, selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (Jinayah);
iv
4. Dr. Burhanudin, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan
skripsi ini, dengan telah memberikan banyak masukan dan arahan serta
meluangkan waktunya dengan penuh keihlsan kepada penulis;
5. Ali Mansur, M.A, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi,
yang juga telah membantu penulis dengan arahan, nasehat serta
meluangkan waktunya demi penyelesaian skripsi ini;
6. Amrullah Hasbana, S.Ag, S.S, M.A, selaku Pimpinan perpustakaan yang
telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan;
7. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik di Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Kedua orang tua penulis, Buya Masrijal dan Bunda Hendra yetti beserta
adik-adik tercinta, Nahri dan Imam yang selalu mendorong, menasehati,
dan memotivasi serta do‟a yang tiada hentinya ditujukan kepada penulis
sejak awal perkuliahan hingga sampai saat ini. Semoga Allah senantiasa
memberikan rahmat, karunia dan keberkahannya, Aamiin yaa Rabbal
„Aalamiin.
9. Kerabat, sanak dan saudara baik dari pihak ayah maupun ibu yang mana
telah membantu, memberi dukungan, motivasi dan nasehat dalam
memperlancar proses pendidikan penulis.
10. Teman-teman dari Program Studi Hukum Pidana Islam yang telah
bersama-sama menempuh bangku perkuliahan di program studi ini.
Terimakasih atas kebersamaan dan waktu yang telah bersama kita
habiskan.
11. Teman-teman dari organisasi daerah maupun teman-teman dari sekolah
dahulu yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan ini.
12. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sampikan satu-persatu..
Sekian ungkapan terimakasih penulis, dan akhir kata penulis ucapkan
Alhamdulillahirabbil „Alamiin. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Sekian dan
terimakasih.
v
Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jum‟atal Mubarak, MH
vi
DAFTAR ISI
E. Sistematika Penulisan......................................................................... 13
vii
3. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang
Mengakibatkan Luka-Luka. .......................................................... 32
A. Kesimpulan......................................................................................... 72
B. Rekomendasi ...................................................................................... 73
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya bahwa
penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi. Kemudian ide tentang
negara hukum popular pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa
yang didominasi oleh absolutisme.1 Dalam perkembangannya, konsep negara
hukum tidak bisa dipisahkan dari konsep kedaulatan rakyat. Sebab munculnya
hukum tidak terlepas dari kedaulatan rakyat mengingat hukum tersebut dibuat
untuk dipatuhi oleh masyarakat. Pembuatannya tersebut berdasarkan rakyat, demi
tunjuan kesejahteraan rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat sudah pasti dijadikan
sebagai sumber materil dari hukum.
Negara yang adil dilihat dan didasarkan oleh pandangan dari
masyarakatnya atau diihat dari keadaan masyarakatnya tentang bagaimana
keadilan itu berjalan di lingkungan masyarakat dan bagaimana jalannya keadilan
dalam negara. Tentu keadilan tersebut merupakan syarat diwujudkannya
ketentraman dan kemakmuran hidup masyarakat yang hal itu dapat diajarkan
dengan nilai kesusilaan dan dengan berbagai aspek norma yang ada dan berlaku di
Indonesia agar terciptanya warga negara yang baik yang saling menjaga hak dan
taat aturan dalam melaksanakan aktifitas kehidupannya dan kewarganegaraannya.
Indonesia adalah negara yang merdeka dengan segala kebebasannya tapi
tetap diatur oleh peraturan, yang segala penyelenggaraan pemerintahannya
berdasarkan hukum yang berlaku. Negara Indonesia adalah negara hukum
(rechtsstaat), hal ini secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 1 ayat 3. Adapun negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan
keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-
alat perlengkapan negara atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang
1
Ni‟matul Huda, Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review, (Yogyakarta: UII
Press, 2005), h. 19.
1
2
2
Abdul Aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), h. 8.
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 69.
4
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), h. 38.
5
Tim Ario Husein Jayadiningrat, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Percepatan Pembangun Daerah Tertinggal, Social Science In National Law Competition 2015 di
Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2015), h. 110.
3
6
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 4.
7
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h.2.
8
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar, 2011), h. 8.
9
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, 1992), h. 86., sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam,
Cet. 1., (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 1.
4
10
Abdul Jamil, Hukum Islam di Indonesia Setelah Pemberlakuan Undang-Undang No.7
tahun 1989, dalam Jurnal Hukum dan Keadilan, Universitas Islam Indonesia, Vol.I, (Yogyakarta,
1989), h. 83.
11
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), h.85.
12
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2007), h. 1.
5
dapat dikatakan bahwa dalam hal, proses dan prosedur hukum pidananya atau
hukum acara pidananya, hukum pidana Indonesia banyak mengikuti ketentuan
hukum pidana Islam meski tidak secara keseluruhan.
Tindak pidana dari segi bentuknya memiliki jenis dan
pertanggungjawaban yang berbeda tergantung perbuatan apa yang dilakukan dan
apa akibat yang ditimbulkan. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa
perbuatan menyimpang akan melahirkan kejahatan atau pelanggaran, dimana
kejahatan dan pelanggaran tersebut merupakan perbuatan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana. Pada tulisan ini penulis akan menjelaskan, menganalisis,
mendekripsikan, dan memaparkan terkait perbuatan pidana yang berhubungan
dengan lalu lintas yang sudah sering terjadi yaitu tabrakan maut.
Tabrakan maut menurut penulis adalah suatu kejadian atau peristiwa di
jalan yang tidak terduga dan tidak sengaja melibatkan kendaraan dengan
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia baik luka-luka sampai
meninggal dunia, serta memberikan kerugian harta benda. Terjadinya tabrakan
maut sering disebabkan karena kondisi psikologis si pengguna jalan seperti tidak
fokus dalam berkendara, tertidur, mabuk, tidak memperhatikan aturan lalu lintas
dan lain sebagainya. Sering pula karena kelalaian tersebut menyebabkan
terjadinya kecelakaan maut yang melahirkan banyak korban.13
Kecelakaan atau tabrakan maut yang mengakibatkan orang meninggal
maupun luka-luka, akhir-akhir ini sering dipublikasikan maupun ditayangkan
melalui media masa. Sebenarnya, Indonesia telah mengatur ketentuan tersebut,
salah satunya terkait perbuatan yang menyebabkan kematian seseorang yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)
pada Pasal 338 dan pasal 359 KUHP. Namun kedua pasal tersebut tidak dapat
diberlakukan begitu saja terhadap kasus tabrakan maut. Salah satu alasannya yaitu
adanya aturan khusus yang dapat diberlakukan dalam peristiwa yang berkaitan
dengan lalu lintas tersebut yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan. Sebagaimana asas lex specialis derogate lex generalis
13
Soerjono Soekanto, Inventarisasi dan Analisa terhadap Perundang-undangan Lalu
Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 21.
6
yaitu aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum.14
Selama perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut dilakukan bukan karena
kesengajaan dan dilakukan dalam keadaan berlalu lintas, maka Undang-undang
No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ yang harus digunakan.
Adanya aturan khusus dalam berlalu lintas tersebut, merupakan
konsekuensi dari tujuan dikeluarkannya UU LLAJ yang tertera di dalam
konsiderans UU LLAJ, terutama huruf b, yang menyatakan:
“Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu
lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi dan pengembangan wilayah”.15
14
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 2008), h.
33.
15
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,
(Jakarta: Prenadama Group, 2016), h. 210 – 211.
7
remaja pria, 1 (satu) remaja wanita, dan 1 (satu) balita meregang nyawa akibat
kecelakaan maut tersebut.
Kasus di atas menimbulkan akibat dan pertanggungjawaban pidana yang
besar dimana dalam perbuatan tersebut mengakibatkan adanya korban yang
meninggal maupun luka-luka. Seiring berjalannya kasus dan dikeluarkannya
putusan oleh hakim yang mana menjatuhi hukuman pidana penjara selama 15
tahun kepada AS, namun masih banyak ketidakpuasan terutama dari pihak
keluarga korban akan kurangnya jumlah hukuman yang diberikan melihat akibat
yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Menjadi pertanyaan terkait bagaimana pandangan Islam terhadap kasus
tersebut? Di mana kecelakaan maut tersebut mengakibatkan banyaknya korban
Jiwa dan luka-luka. Ditambah lagi kecelakaan maut tersebut terjadi dikarenakan
kealpaan yang disebabkan dari mengkonsumsi ekstasi yang juga tergolong
narkoba. Apakah Islam memiliki pandangan lain terhadap kasus tersebut yang
mana dapat menjawab ketidakadilan yang dimiliki oleh keluaraga korban ataukah
Islam memiliki pandangan yang sama terkait kasus tersebut dan menurut Islam
putusan yang diberikan tersebut sudah didasarkan dengan alasan atau bukti yang
tepat.
Persoalan-persoalan di atas itulah yang membuat penulis berkeinginan
untuk mencurahkan penelitiannya pada perihal terkait tabrakan maut. Dikarenakan
kasus serupa sudah sering terjadi sepanjang terus berkembangnya jenis lalu lintas
dan transportasi masyarakat. Seringkali terjadinya kasus kecelakan dewasa ini
yang secara garis besarnya disebabkan karena kelalaian yang dialami para
pengendara. Kemudian berdasarkan data yang telah penulis temukan di Badan
Pusat Statistik bahwa pada tahun 2018, terdapat 109.215 jumlah kecelakan yang
terjadi di Indonesia yang diantaranya 29.472 orang meninggal dunia, 13.315
mengalami luka berat, 130.571 mengalami luka ringan, dan 213.866 mengalami
kerugian materi. Besarnya jumlah korban yang dihasilkan dari kecelakaan lalu
lintas yang berakhir pada tabrakan maut mengakibatkan kurangnya rasa keamanan
dalam berlalu lintas. Kecelakaan maut yang mengakibatkan kematian haruslah
diberikan sanksi sesuai jumlah kerugian yang dialami korban, demi menimbulkan
8
efek jera bagi pengendara. Hilangnya nyawa seseorang sebenarnya secara materil
tidak dapat digantirugikan, akan tetapi masih banyak pengendara yang lalai dalam
berkendara atau yang berkendara dalam keadaan yang tidak stabil dan hal itu
dikarenakan tidak adanya ketakutan pada diri mereka terhadap sanksi yang
diberikan. Untuk itulah penulis mengambil judul “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA” sebagai penambah
wawasan bagi para pembaca agar tidak meremehkan pelanggaran yang terjadi
dalam berlalu lintas.
2. Pembatasan Masalah
9
Pada penulisan skripsi ini demi menghindari uraian materi yang tidak
menyimpang dari pokok permasalahan, penulis membatasi masalah yang akan
dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang
penulis harapkan. Di sini penulis hanya akan membahas bagaimana kasus
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian dan luka-luka dalam
putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst perspektif hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam. Adapun terkait penerapan pasal pada penelitian ini adalah
penerapan pasal pada saat peradilan berlangsung.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang ingin dibahas dari penelitian adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana penerapan hukum pidana materil dalam putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan kematian dan luka-luka?
b. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan
Hakim dalam memutuskan perkara No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst
tentang kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian dan luka-
luka?
D. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang peneliti terapkan pada skripsi ini adalah
pendekatan yuridis-nomatif. Penelitian hukum yuridis-normatif adalah
penelitian yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian dan doktrin
(ajaran).15 Adapun bentuk pendekatan tersebut adalah pendekatan perundang-
undangan (statue Approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach) yang berkaitan dengan putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan peenulis pada penulisan skripsi ini
adalah dengan penelitian Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang menekankan pada aspek suatu pemahaman secara mendalam
15
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31.
11
terhadap masalah yang diteliti.16 Dalam hal ini penulis berusaha menjawab
rumusan masalah yang telah penulis jelaskan di sub bab sebelumnya, yang
mana membahas masalah terkait penerapan pidana materil dalam
pertimbangan hakim pada No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst dan pandangan
hukum islam terkait kasus tersebut.
3. Data Penelitian
a. Sumber Data
Adapun dua sumber data yang penulis gunakan dalan penulisan ini
antara lain:
1) Sumber primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.17
Yakni dari penelitian ini adalah Al-Qur‟an, Hadist, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan Putusan
No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst.
2) Sumber sekunder yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang
berupa catatan formal dan dengan mengumpulkan serta menelaah
beberapa literatur baik berupa buku-buku, catatan, dan dokumen-
dokumen atau diktat yang ada pada redaksi.18 Dalam penelitian
ini penulis menggunakan yaitu buku-buku teks dan dokumen-
dokumen yang menjelaskan suatu dan/atau beberapa persoalan
hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel, surat kabar dan seterusnya.
b. Jenis Data
Sumber-sumber data yang telah penulis paparkan di atas diambil
berdasarkan dua jenis data yang penulis gunakan yaitu:
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada group,
2008), h. 23.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjaun
Singkat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.
18
Husni Husman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 32.
12
19
Suharsimi Arikunto, Preosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), h. 129.
20
Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 93.
21
Muchtar, Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif, (Jakarta: Referensi, 2013), h.
201.
13
menyeleksi fragmen hasi data kepustakaan terkait tabrakan maut yang akan
dipakai dalam penulisan skripsi.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data menjelaskan model analisis atau perspektif
tertentu yang dipakai dalam mendeskripsikan dan menginterpretasikan
temuan penelitian. Model analisis yang penulis gunakan pada metode
penelitian kualitatif ini adalah model analisis wacana.
Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari makna pesan
sebagai alternatif lain akibat keterbatasan dari analisis isi. Secara teoritis
memiliki prinsip yang hampir sama dengan beberapa pendekatan
metodologis, seperti analasis struktural, pendekatan dekonstruksionisme,
interaksi simbolis dan hermeneutika, yang semuanya lebih menekankan pada
pengungkapan makna yang tersembunyi.22 Pada penelitian ini penulis
mengungkapkan makna dari data yang penulis temukan baik berupa teori,
konsep maupun istilah lainnya, sehingga dianalisis dan dijadikan sebagai
bahan studi penelitian yang penulis tulis.
7. Pedoman Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
diterbitkan pada tahun 2017. Mengikuti panduan buku tersebut dan disertai
arahan Dosen Pembimbing diharapkan skripsi ini telah dibuat sesuai dengan
keinginan fakultas.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang
menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika
penulisan yang terdiri dalam 5 bab dimana masing-masing bab berhubungan satu
dengan yang lain, yaitu:
1) Bab I: Pendahuluan
22
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, cet. ke-7, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 206.
14
1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h.
67
2
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,
1994), h. 252.
3
Tri Andriman, Hukum Pidana, (Lampung: Universitas Lampung, 2009), h. 83.
15
16
4
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,
(Bogor: Politeia, 1979), h. 26.
5
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed. III, cet. III,
(Bandung: Reflika Aditama, 2003), h. 59.
6
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
75.
17
menjadi unsur tindak pidana.7 Pada aliran dualisme memisahkan antara perbuatan
dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut. Para ahli hukum yang paham
dengan aliran dualisme ini misalnya Pompe, Vos, Tresna Roeslan Saleh, A. Zainal
Abidin, dan Fetcher mengatakan “perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan
yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukannya”.8 Unsur
keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau
memperberat pidana yang dijatuhkan.
7
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta Raja: Grafindo Persada, 2007), h.
76.
8
Fletcher George P, Rethinking Criminal Law, (Oxford: Oxford University Press, 2000),
h. 455.
9
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 58.
10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 58.
11
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka setia, 2000), h. 55-56.
18
D. Teori Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan
sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.14
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat
dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung
konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat.
Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.15 Pada RKUHP Juli
tahun 2006, tujuan pemidanaan ditentukan dalam pasal 51 yaitu pemidanaan
bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat, untuk memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.16
12
Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahai Hukum Pidana, (Kencana:
Prenadamedia Group, 2014), h. 45.
13
Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahai Hukum Pidana, (Kencana:
Prenadamedia Group, 2014), h. 45.
14
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 95.
15
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 95.
16
RKUHP Juli Tahun 2006, dalam Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Deepublish, 2018), h. 19.
19
17
Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5.
18
Kant dalam Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5.
19
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 15.
20
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, dalam Ishaq, Hukum Pidana,
(Depok: Rajawali Press, 2019), h. 7.
20
pidana bukan saja untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa yang akan
datang. Oleh karena itu, penjatuhan pidana harus dapat memberi kepuasan
bagi Hakim, penjahat itu sendiri dan juga kepada masyarakat. Jadi harus
ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan degan kejahatan yang
telah dilakukan.21
21
SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, dalam Ishaq,
Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 9.
22
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 234.
23
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 234,
24
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 40.
21
25
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education
Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 43.
26
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 239.
22
27
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 239.
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 2010), h. 4.
29
Soedjono, Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h.
38.
23
ini dianggap sebagai suatu peristiwa fisik yang tidak hanya digerakkan oleh
perbuatan kemauan tetapi juga dikendalikan dan ditentukan oleh niat
seseorang.30
Kesengajaan dalam bahasa Belanda disebut opzetelijk dari kata opzet,
dalam bahasa Prancis disebut dolus, sedangkan dalam bahasa latin disebut
doleus. Menurut oxford advanced learner's dictionary kesengajaan adalah "that
which one purposes or plans to do".31 Kesengajaan merupakan keinginan,
kehendak atau kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika dihubungkan
dengan tindak pidana maka dalam melakukan suatu, tindak pidana haruslah ada
unsur-unsur yang menyebabkan tindakan tersebut dikatakan kesengajaan
melakukan suatu tindak pidana.32
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada saat
ini sama sekali tidak menerangkan tentang makna atau arti dari kesengajaan
dalam melakukan tindak pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang
bermaksud merumuskan istilah kesengajaan dan juga kealpaan (culpa).33
Kesengajaan yang tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak
pidana disebut dengan kesengajaan yang berwarna. Kesengajaan dapat tersusun
dengan frasa yang bermacam-macam serta mengandung pengertian yang
berbeda-beda antara rumusan yang satu dengan yang lainnya dalam unsur-unsur
tindak pidana.34 Ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:
a. Kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk). Dalam VOS,
definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki
perbuatannya..35
30
Soedjono, Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h.
38.
31
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary. (Oxford: Oxford University
Press, 1995), h. 621.
32
Kansil CST, Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
1999), h. 287.
33
Barda Nawawi Arief,.Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998),
h. 89.
34
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 101.
35
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 225.
24
36
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2002), h. 97.
37
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafrika, 2005),
h. 15.
38
J. M. Van Bemmelan, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian Umum,
Hasnan (pnerj), (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 101.
39
D. Schafffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor J.E.
Sahetapy dan Agustinus Pohan, (New York: Cambridge university Press, 2007), h. 80.
25
itu dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Tidak peduli apakah
pembuat melakukan tindak pidana dengan sengaja karena mengetahui atau
menghendaki.40
2. Kealpaan
Kealpaan yaitu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang tidak ada
dasar niat untuk melakukan kejahatan tetapi karena kecerobohan atau kurang
hati-hatinya mengakibatkan terjadinya kejahatan.41 Van Hammel menyatakan
bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu :
a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh
hukum.42
b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Pada prinspinya seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam
melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya
tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau
tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat
berikan.42 Oleh karena itu Simons berpandangan bahwa culpa itu pada dasarnya
mempunyai dua unsur yakni “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van
de voorzienbaarheid” atau “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya
perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”.43
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), dalam hal ini, si pelaku telah
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi
walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap timbul tersebut.44
40
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis
Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 101.
41
Wirjono Prodjodikoro, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Pradnya Paramitha, 1997), h. 61.
42
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 201.
42
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 217.
43
Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht, P. Noordhoff N.V., (Groningen-
Batavia, 1937), h. 267.
44
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafrika, 2005,
h. 15.
26
45
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarata: Sinar Grafrika, 2005),
h. 15.
46
Rusli Effendy, Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi
Unhas, 1989), h. 65.
47
Rusli Effendy, Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi
Unhas, 1989), h. 65.
48
Gerry M. Rizki, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Permata Press, 2008), h. 120.
49
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap
Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 211.
27
kecelakaan lalu lintas, dan Kedua, tentang apakah tindak pidana kecelakaan lalu
lintas yang mengakibatkan kematian di masa yang akan datang dalam
pembentukan KUHP nasional masih perlu dipertahankan. Pada penulisan artikel
ini dengan skripsi yang penulis tulis memang ada kesamaan dalam beberapa
bagian isinya yaitu tentang tanggung jawab pidana pengemudi kendaraan yang
mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas. Keduanya sama-sama
memiliki pembahasan terkait pertanggungjawaban pidana akan tetapi pada
penulisan skripsi yang penulis tulis, pembahasan pertanggungjawaban pidananya
tidak hanya pada kecelakaan yang mengakibatkan kematian tetapi juga kecelakaan
yang mengakibatkan luka-luka dan pembahasan tersebut juga didasari pada teori
hukum pidana Islam yang mana tidak menjadi bahasan pada artikel ini.
Ketiga, skripsi berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pejalan Kaki (Study
Kasus Tugu Tani di Jakarta” yang ditulis oleh Widyananda Altriara Maharani
telah diujikan dalam sidang skripsi di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Surabaya pada tahun 2012. Fokus penelitian pada skripsi ini yaitu membahas
upaya hukum yang dilakukan oleh pejalan kaki dalam kecelakaan lalu lintas
akibat kesalahan dari pengendara mobil. Dengan hasil penelitian bahwa ahli waris
korban dapat menuntut kerugian pada terdakwa AS atas dasar telah melakukan
perbuatan melanggar hukum sebagaimana pasal 1365 BW jo pasal 1370 BW.
Adanya persamaan kasus yang dibahas pada kedua karya ilmiah akan tetapi ada
perbedaan substantif dari permasalahan yang dibahas, yaitu terletak pada pokok
pembahasannya. Pada skripsi ini pokok bahasannya mengacu pada perlindungan
hukum bagi pejalan kaki sedangkan pada skripsi yang penulis tulis pokok
bahasannya terkait dengan menganalisis putusan Hakim terhadap tindak pidana
tabrakan maut yang menimbulkan banyaknya korban jiwa dan luka-luka.
keduanya memiliki perbedaan substantif dan ditambah lagi pada skripsi yang
penulis tulis juga menambahkan pandangan Islam di dalamnya.
Sesuai dengan rincian beberapa karya ilmiah yang telah penulis telusuri,
dapat ditemukan beberapa karya ilmiah yang secara garis besarnya sama-sama
memiliki pembahasan terkait kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi pada beberapa
karya ilmiah tersebut secara khususnya memiliki perbedaan substantif baik pada
29
1
Idries, A.M., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan,
(Jakarta: CV. Sagung Seto, 2011).
2
Pasal 1 Ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
3
Pasal 229 Ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
30
31
4
Pasal 234 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
5
Pasal 234 Ayat (3), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
6
Pasal 310 Ayat (4), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
32
7
Pasal 311 Ayat (1) dan (5), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
8
Pasal 93 Ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Tentang Prasarana dan
Lalu Lintas Jalan.
33
a. Mengakibatkan Kematian
Akibat dari tabrakan maut salah satunya adalah dapat hilangnya nyawa
seseorang. Pada hukum pidana Islam terkait tindak pidana atau jinayah yang
dilakukan dengan kelalaian atau secara tidak sengaja atau semi sengaja sering
dikaitkan dengan tindak pidana atas jiwa yang disebut dengan pembunuhan
atau Qatl.9 Pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia adalah
pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap Habil. Hal ini diungkapkan
dalam surah Al-Maidah ayat 30:10
)ٖٓ :٘ / ٍَ (انًبئذحٚ ِّ فَمَزَهَُّ فَأَصْ جَ َخ ِيٍَ ْان َخب ِس ِشَٛذ نَُّ ََ ْف ُسُّ لَ ْز َم أَ ِخ
ْ فَطَ َّٕع
9
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 135.
10
Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemahan, (Jawa Barat: Diponegoro, 2011), h.
112.
11
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 548.
12
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqasid Syari‟ah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 246.
34
dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat
wasiat.13
1) Hukuman Pokok
Hukuman pokok pada pembunuhan karena kesalahan adalah
berupa diyat mukhaffafah (diyat ringan) yaitu diyat seratus ekor unta.
Diyat mukhaffafah ini terdiri dari dua puluh ekor unta hiqqah, dua
puluh ekor unta jadza‟ah, dua puluh ekor unta bintu labun, dua puluh
ekor unta ibnu labun, dan dua puluh ekor unta ibnu makhadh.14 Diyat
ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang
membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam tiga tahun,
tiap-tiap tahun keluarga tersebut harus membayar sepertiganya.15
Sanksi diyat ini lebih terlihat mirip seperti ganti rugi, apalagi besar
denda tersebut dapat berbeda-beda menurut kejahatan yang dilakukan
pelaku.16
Hukuman pokok yang kedua adalah hukuman kafarat, Hukuman
kafarat dijatuhkan atas pembunuhan karena kesalahan dan menyerupai
sengaja. Hal ini telah disepakati oleh para fuqaha. Ketentuan ini
didasarkan kepada Firman Allah dalam Surat An-Nisaa‟ ayat 92.
Adapun jenis hukumannya adalah membebaskan seorang hamba yang
mukmin. Apabila hamba tidak ada, maka hukumannya diganti dengan
puasa dua bulan berturut-turut.17
2) Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan berupa penghapusan hak waris dan wasiat
merupakan hukuman konsekuensi yang diberikan atas pembunuhan
13
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 661.
14
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 662-663.
15
Rasjid, S, Fiqih Islam, (T.tp.: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 430.
16
Sinulingga, R., dan Sugiharto, R, Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum Islam dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana. (Sultan Agung Fundamental Research Journal, 2020), h. 31–
43.
17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah
(Jakarta: Sinar Grafika. 2006), h. 156.
35
b. Mengakibatkan Luka-luka
Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang menyebabkan luka-luka
karena kelalaian dalam Islam yaitu dengan diyat atau ursy.19 Jenis tindak
pidana yang hanya mengakibatkan luka-luka dan tidak sampai
menghilangkan nyawa seseorang disebut dengan al-jinayat „ala maa duni al-
nafs.20
Imam Ahmad membagi pelukaan berdasarkan niatnya menjadi dua,
yaitu: sengaja dan tidak disengaja. Perbedaan keduanya terletak pada
hukuman yang diberikan, yang pertama diqisas dan yang kedua didiyat.21
Jumlah diyat pelukan dengan sengaja sama dengan penganiyaan dengan tidak
sengaja, akan tetapi berbeda kualitasnya karena untuk perbuatan pertama
dikenakan diyat berat dan untuk perbuatan kedua dikenakan diyat ringan.22
Diyat yang berat antara lain 100 ekor unta terdiri dari 30 ekor haqiqah, 30
ekor jadza‟ah, dan 40 ekor khilafah. Sedangkan diyat ringan itu terdiri dari
18
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 646.
19
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.195-
196.
20
Sudjari Dahlan, Sudut Pandang Terhadap Rancangan KUHP, (Surabaya: Makalah,
2001), h. 9.
21
Abd al-Qadir Audah, al-Tashri‟ al-Jina‟iy al-Islami Muqaddaran bi al-Qanun al-
Wad‟iy, (T.tp.: Maktabah Dar al-Urubah, t.th.), h. 205.
22
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.
279.
36
100 ekor unta berupa 20 ekor haqiqah, 20 ekor jadza‟ah, 20 ekor bintu labun,
dan 20 ekor makhail.23
Adapun hadis yang menjelaskan jumlah hukuman diyat sesuai pelukaan
yang diderita, yaitu:
ًٌٍ كزبثب ٔ كبٛو كزت إنٗ أْم ان. أٌ سسٕل هللا ص:ِّ عٍ جذٛعٍ أثٗ ثكش ثٍ عًشٔ ثٍ دضو عٍ أث
ٍٛضزٛخ ٔ فٗ انجٚخ ٔ فٗ انشجم انٕادذح َصف انذٚٔ إٌ فٗ اال َف إر أٔعت جذعّ انذ....ّ كزبثٙف
ٗخ ٔ فٚخ ٔ فٗ انشجم انٕدذح َصف انذٍٚ انذُٛٛخ ٔ فٗ انعٚخ ٔ فٗ انصهت انذٚخ ٔ فٗ انزكش انذٚانذ
خ ٔ فٗ انًُمهخ خًضخ عشش يُبإلثم ٔ فٗ كم أصجع يٍ أصبثعٚخ ٔ فٗ انجبئفخ صهش انذٚانًأيَٕخ صهش انذ
مزم ثبنًضأح ٔ عبنٗ أْمٚ ذ ٔ انشجم عشش يٍ اإلثم ٔ فٗ انًٕضذخ خًس يٍ اإلثم ٔ إٌ انشجمٛان
) ُبس) سٔاِ انُسباٚانزْت أنف د
Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa
Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalam
suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai
gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu
diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang
belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat,
pada ma‟munah sepertiga diyat, pada jaifah sepertiga diyat, pada muqilah
lima belas ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada
satu gigi lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa
dibunuh (diqishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya
seribu dinar. (HR. An-Nasa‟i).24
Berdasarkan hadis di atas dapat diketahui bahwa ada beberapa macam
jenis diyat berdasarkan tempat pelukaannya yaitu:
1) Diyat berdasarkan hilangnya jumlah anggota badan (diyat Kamilah dan
diyat ursy)
2) Diyat yang menghilangkan suatu manfaat dari anggota badan.
3) Diyat pada luka di kepala, wajah dan badan.
4) Pelukan yang tidak termasuk dari ketiga di atas.
23
Abdul Fatah Idris dan M. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rhincka
Cipta, 1994), h. 266.
24
Ahmad bin Syu‟aib bin Abd al-Rahman al-Nasa‟I, Sunan al-Nasa‟I al-Kubra, Bab
Qussamah, Hadis No. 4770, (T.tp.: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991).
BAB IV
ANALISIS KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG
MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA DALAM PUTUSAN
No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst
37
38
Akibatnya kedua korban tersebut terlempar ke atas kap mobil dan membentur
kaca bagian depan mobil dan selanjutnya kedua korban tersebut terlempar
sejauh 12 (dua belas) meter jatuh di lajur I (lajur kiri). Selanjutnya mobil
terus melaju dan secara berturut-turut menabrak korban WH (25 tahun),
korban MH (16 tahun), korban NAF (18 tahun), korban SM (29 tahun) yang
menggendong korban YSP (2,5 tahun), korban NR (25 tahun) dan korban SI
(50 tahun). Setelah menabrak para korban, mobil terus berjalan hingga
menabrak 4 (empat) tiang besi berantai di depan Kantor Pajak dan pondasi
beton tiang halte Tugu Tani. Kemudian mobil meluncur kearah gedung
Kantor Pajak lalu menabrak canstin dan bagian kiri belakang mobil
membentur hydrant di depan Kantor Pajak lalu mobil berhenti dengan posisi
miring menghadap ke Jalan MI Ridwan Rais depan Kantor Pajak Jakarta
Pusat.1
1
Lihat dokumen isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST.
2
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST.
40
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.”3
Dakwaan kedua yang ditujukan pada terdakwa AS atas pelanggaran
lalu lintas adalah primer melanggar pasal 311 ayat 5 UU No. 22 tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan subsidair melanggar pasal 310
ayat (4) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan.4
Dakwaan ketiga terdakwa AS oleh Penuntut Umum yaitu primair
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 311 ayat 4 UU No. 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dan dakwaan subsidair
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 310 ayat 3 UU No. 22
tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
3
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST
4
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST
5
Pasal 197 Butir (1) huruf (d) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
6
AL. Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Universitas
Atmajaya, 2014), h. 148.
41
7
AL. Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Universitas
Atmajaya, 2014), h. 151.
42
8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Pasal 229 Ayat (4), hlm 109.
9
Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:
665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST.
10
Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang No. 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
45
11
Keputusan Menteri Nomor 72 Tahun 1993 Tentang Perlengakapan Kendaraan
Bermotor, Departemen Perhubungan RI, 1993.
12
Metta Kartika, Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di
Wilayah Depok Tahun 2008, (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, 2009), h. 15-23.
13
Tri Andriman, Hukum Pidana, (Lampung: Universitas Lampung, 2009), h. 83.
46
14
Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5.
15
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 31.
16
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 15.
17
SR. Sianturi, dalam Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 9.
47
18
Pasal 234 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
19
Abdullah Ahmad Mukhtarzain, Pemaafan dalam Pemidanaan Menurut Hukum
Islam dan Hukum Nasional, Jurnal Idea Hukum, Vol. 4 No. 1 Maret 2018, Magister Hukum
Fakultas Hukum, Universitas Jendral Soedirman.
48
21
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.
134.
50
22
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Hakim (code of
conduct), Kode Etik Hakim, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), h. 2.
23
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, (Malang: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 193.
24
Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya,
(Ngalik, Sleman Yogyakarta: Aswaja Pressindo), h. 47.
51
25
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h. 67.
54
26
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 126-127.
55
27
Darmoko Yuti Witanti dan Arya Putra N.K, Diskresi Hakim Sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara Pidana, (Bandung:
Alfabeta, 2013), h. 33.
57
28
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 1.
29
Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, cet. III, (Mesir: Mustafa Al-
Babyi Al- Halaby, 1975), h. 219.
30
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinay Al-Islamy, (Beirut: dar Al-Kitab Al Araby),
h. 67.
58
perspektif hukum pidana Islam. Unsur-unsur tindak pidana dalam Islam ada tiga
yaitu unsur syar‟iy (formil), unsur maddiy (materiil) dan unsur adabiy (moral).31
Pada tabrakan maut yang dilakukan oleh terdakwa AS, Unsur syar‟iy terletak pada
pelarangan pembunuhan tersalah yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 92,
unsur maddiy (materil) ditujukan pada tabrakan maut yang dilakukan AS
mengakibatkan terjadinya jarimah qathlul qata‟ dan jarimah jarah ghair maqsud,
dan terakhir pada unsur adaby terletak pada terdakwa AS yang dapat
dikategorikan seorang mukhallaf atau orang yang layak dibebani hukum.
Terpenuhinya tiga unsur tersebut telah membuktikan bahwa perbuatan terdakwa
adalah suatu jarimah dan pada setiap jarimah akan dibebankan
pertanggungjawaban pidana selama tidak ada hal-hal yang menjadi penghalang
pertanggungjawaban itu.
Pertanggungjawaban pidana dalam Islam didefinisikan sebagai
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya itu.32 Terdapatnya nash dan aturan yang
melarang suatu perbuatan tersebut menjadi syarat diberlakukannya
pertanggungjawaban pidana. Sebagaimana asas legalitas dalam Islam yang salah
satunya dijelaskan dalam Al-Qur‟an Surat Al-Israa‟ ayat 15 yaitu:33
َ ٍَ َدزَّ ٰٗ ََ ْج َعٛ… َٔ َيب ُكَُّب ُي َع ِّز ِث
ش َسس ا
)ٔ٘ :ٔ١ /ُٕال (اإلسشاء
Artinya: “.....dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul” (Al-Israa‟ ayat 15)”.
Terdapat dua faktor yang menjadi terhalangnya pertanggungjawaban
pidana yaitu:
a. Adanya perkara-perkara yang menghalangi tuntutan
pertanggungjawaban. Faktor ini terdapat pada pelaku yang tidak
memiliki ahliyyah (kelayakan) untuk bertanggungjawab (tidak cakap
31
Penelitian Moh. Fauzi, Penerapan Diversi dan Keadilan Restorative dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak (Tinjauan Hukum Pidana Islam), h. 8.
32
A. Hanafi., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1967), h. 121.
33
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 31.
59
hukum), dan tidak adanya kehendak atau niatan yang alami (dalam
keadaan terpaksa).34
b. Adanya faktor-faktor pembolehan dari tindak pidana. Berupa faktor
eksternal suatu kejadian yang menyebabkan tidak terpenuhinya alasan
tajriim sehingga tindakannya tidak bisa dianggap sebagai tindakan
pidana meskipun sebenarnya tindakannya itu menurut hukum asal
adalah tindakan kejahatan, seperti tindakan membela diri yang sah dan
tindakan menggunakan suatu hak.35
Penjelasan kedua faktor di atas telah memperjelas bahwa tidak ada lagi
alasan yang dapat membatalkan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan
kepada AS. Namun, bagaimana dengan sifat ketidaksengajaan atau kelalaian pada
tabrakan maut tersebut, apakah terdakwa AS masih tetap harus dibebankan
pertanggungjawaban pidana?. Sedangkan terdapat dalil yang menjelaskan bahwa
kelalaian atau kealpaan dapat menghapus pembebanan pertanggungjawaban
pidana. Sebagaimana dalam potongan surat Al-Ahzab ayat 5 yaitu:
ّ ٰ ٌََد لُهُْٕ ثُ ُك ْى َۗٔ َكب
)٘ :ٖٖ / اًب (األدضاةْٛ هللاُ َغفُْٕ سا ا َّس ِد ْ ًَبٓ اَ ْخطَأْرُ ْى ثِ ّٖ َٔ ٰن ِك ٍْ َّيب رَ َع ًَّذْٛ ِ ُك ْى ُجَُب ٌح فْٛ َْس َعه
َ َٛ… َٔن
Artinya: “….Dan tidak ada dosa atas mu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”36
Hadist yang artinya “Dihapuskan ketentuan untuk ummatku berupa
kekeliruan, kelupaan dan keadaan dipaksa (H.R. Ṭabrāni dari Ṡauban).37 Kealpaan
terdakwa AS dapat digolongkan sebagai kekeliruan. Dengan alasan, kealpaan atau
ketidaksengajaan tersebut disebabkan pada konsisi terdakwa AS yang berkendara
dalam keadaan kurang hati-hati, tidak adanya pengendalian diri dan hilangnya
penilaian pada saat berkendara. Namun penghapusan pembebanan
pertanggungjawaban pidana karena kekeliruan tersebut, tidak dapat diberlakukan
34
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 293
35
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 293
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 80.
37
Jalāludīin „Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Sayuṭi, Al-Jāmi‟uṣ-Ṣagīr, Juz II, (Bairut: Dār
al Fikr. t.th), h. 24.
60
pada kasus terdakwa AS. Hal ini dikarenakan selain ketentuan yang disebutkan
dari dalil di atas, ada juga ketentuan lain yang dapat mengecualikannya.
Pada dasarnya, ada dua ketentuan yang menjelaskan tentang dapat atau
tidaknya penghapusan pertanggungjawaban pidana pada kekeliruan. Dua
ketentuan tersebut adalah ketentuan pokok dan pengecualian dari ketentuan
pokok. Ketentuan pokok tersebut yaitu tidak adanya pertanggungjawaban pidana
pada kekeliruan selama tidak adanya nash yang secara jelas mensyari‟atkan
hukuman suatu perbuatan itu.38 Sedangkan pada ketentuan pengecualian adalah
dengan mengecualikan ketentuan pokok, sehingga pertanggungjawaban pidana
pada kekeliruan tetap dapat diberikan selama adanya nash yang secara tegas
mensyari‟atkan hukuman atas perbuatan itu. Sebagaimana jarimah yang dilakukan
AS yang secara tegas dijelaskan dalam potongan surah An-Nisa ayat 92, yaitu:
َخٌ ُي َسهَّ ًَخٌ إِنَ ٰٗ أَ ْْهِ ِّ إِ َّالٚ ُش َسلَجَ ٍخ ُي ْؤ ِيَُ ٍخ َٔ ِدَٚ ْمزُ َم ُي ْؤ ِيُاب إِ َّال َخطَأ ا ۚ َٔ َي ٍْ لَز ََم ُي ْؤ ِيُاب َخطَأ ا فَزَذْ ِشٚ ٌْ ََٔ َيب َكبٌَ نِ ًُ ْؤ ِي ٍٍ أ
)٢ٕ :ٖ /ص َّذلُٕا ۚ… (انُسبء َّ َٚ ٌْ َأ
Artinya: “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang
yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa
membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)
membebaskan pembayaran….”39
Hukuman terhadap jarimah yang dibabankan pada terdakwa AS dalam
pandangan Islam tidak serta merta dapat langsung dilakukan begitu saja.
Sebagaimana ungkapan bahwa “rahmat Allah SWT yang mendahului murkanya”.
Aturan Islam memberikan kesempatan bagi pelakunya untuk melakukan
introspeksi diri dan perbaikan internal dengan kesadaran diri untuk menjauhkan
diri dari kejahatan, dan berbuat dosa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yaitu
“Seseorang yang bertobat dari dosa, ia seperti orang yang tidak memiliki dosa”.40
Namun ketentuan dapat dihapusnya dosa tersebut hanya dapat dilakukan pada
38
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 80.
39
Terjemahan Surat An-Nisa ayat 92.
40
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 264.
61
jarimah yang melanggar hak Allah SWT dan tidak termasuk pada jarimah yang
melanggar hak manusia. Sehingga pada kasus terdakwa AS, masih akan tetap
dibebankan hukuman jarimah pembunuhan tersalah dan pelukaan yang tidak
disengaja yang ditetapkan dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Dengan
alasan, meskipun tobat dapat menghapus dosa tabrakan maut dari segi hak Allah
SWT, akan tetapi hal tersebut tidak dapat mengahapus dosa terdakwa AS pada
keluarga korban yang menderita karena perbuataannya atau juga bisa disebut
dengan hak manusia. Pelanggaran hak individu atau hak manusia tersebut hanya
dapat dihapus dengan pemaafan dari pihak yang dilanggar dan pembayaran ganti
kerugian kepada korban atau keluarga korban sebab duka yang dialaminya.
Fuqaha sepakat bahwa tobat dapat menghapus hukuman had apabila
pelaku telah bertobat sebelum kasus tersebut sampai kepada waliyul amri. Akan
tetapi jika perbuatan tersebut telah sampai kepada waliyul amri sebelum tobat
dilakukan, maka hukuman had akan tetap dilakukan baik itu pada had zina,
pembegalan, pencurian, khamar dan lain-lain. Dalam kitab Al-Muwaththa'
disebutkan dari Utsman Ibnu Affan r.a, bahwasannya ia berkata: “Apabila kasus
kejahatan dengan ancaman hukuman had telah sampai kepada Sultan, maka Allah
SWT melaknat syaafi' (orang yang memintakan syafaat, perantara yang melobi
untuk memintakan ampunan) dan musya'ffi' (orang yang menerima dan
mengabulkan syafaat, orang yang mengampuni berdasarkan syafaat yang
diajukan)." Dan juga dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 34 yang artinya
“Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang".41
Islam mengategorikan perbuatan yang menyebabkan matinya dan luka-
lukanya seseorang sebagai perbuatan jarimah dan dikenakan uqubah padanya.
Setiap jarimah adalah dosa dan setiap dosa akan dikenakan sanksi bagi pelakunya.
Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-An‟am ayat 164:
41
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 499.
62
42
Abdul Qadir Audah, At-Tassyri‟ al-Jina‟i al-Islamy, juz I, (t.tp: Muassasah Ar-
Risalah, t.t), h. 104-105.
43
Ibrahim Unais, et al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Juz II, (Dar Ihya At-Turats, tt), h. 715.
44
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al- Fikr,
1989), h. 217.
63
45
إنخ..بح أ٘ أَّ إصْبق سٔح أديٗ ثفعم أديٗ أخشٛانمزم ْٕ فعم يٍ انعجبد رضٔل ثّ انذ
Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan
kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan
sebab perbuatan manusia yang lain.”
Ulama Hanaffiayah, Syafi‟iyah dan Hanabilah membagi pembunuhan
menjadi tiga bentuk, yakni pembunuhan sengaja (qathlul amdi), pembunuhan
tersalah (qathlul khata‟) dan pembunuhan menyerupai sengaja (qathlu syibhul
„amdi).46 Mengesampingkan dua pembunuhan laiannya, sesuai dengan bahasan
penulis, bahwa tabrakan maut yang dilakukan AS digolongkan sebagai
pembunuhan tersalah (qathlul katha‟). Sebagaimana Wahbah Zuhaili dalam
bukunya fikih islam wa adillatuhu mendefenisikan pembunuhan tersalah sebagai
“Pembunuhan yang terjadi tanpa ada maksud, keinginan dan kesengajaan sama
sekali, baik tindakannya itu sendiri, maupun korbannya. Seperti ada seseorang
bermaksud melempar suatu pohon atau binatang, lalu lemparan itu justru
mengenai orang lalu mati”.47
Fuqaha sepakat bahwa tidak ada sanksi hukuman qishas di dalam
pembunuhan tersalah dan yang serupa dengannya. Akan tetapi hanya ada dua
sanksi hukum saja, yaitu hukuman pokok berupa diyat dan kafarat, dan
hukuman konsekuensi berupa terhalang dari mendapatkan hak warisan dan hak
atas wasiat.48 Sedangkan untuk hukuman ta‟zir, fuqaha sepakat bahwa tidak ada
ta‟zir pada pembunuhan tersalah.49 Hal ini dikarenakan bahwa syarat hukuman
ta‟zir dapat dijatuhkan apabila tidak ada ketentuan had atau dalil yang
mensyariatkan suatu perbuatan maksiat tersebut. Oleh sebab itu hanya ada diyat
dan kafarat serta hukuman konsekuensi berupa hilangnya hak waris dan wasiat
yang dapat dibebankan pemidanaannya pada kasus terdakwa AS.
45
Abdul Qadir Audah , At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamiy, Juz II,(Dar Al-Kitab
Al‟Arabi, tt), h. 6.
46
H.A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh jinayah), (Bandung: CV Pustaka setia,
2000), h. 117.
47
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 548.
48
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000), h. 147.
49
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 114.
64
a. Diyat
Hukuman pokok diyat pada kasus tabrakan maut yang dilakukan AS
adalah berupa Diyat mukhaffafah. Diyat mukhaffafah ini terdiri dari dua puluh
ekor unta hiqqah, dua puluh ekor unta jadza‟ah, dua puluh ekor unta bintu
labun, dua puluh ekor unta ibnu labun, dan dua puluh ekor unta ibnu
makhadh.50 Pada kasus terdakwa AS yang mana menyebabkan sembilan
orang meninggal dunia, maka wajib bagi AS untuk membayarkan diyat pada
masing-masing keluarga korban. Ketentuan tersebut didasarkan pada
pendapat Wahbah Zuhaili bahwa “Kejahatan yang berjumlah lebih dari satu
tidak bisa mengalami at-tadaakhul (hukuman untuk salah satunya sudah bisa
mewakili hukuman kejahatan-kejahatan yang lain) dalam kasus kejahatan
tersalah, maka begitu juga ketika kasus kejahatan itu adalah kasus kejahatan
sengaja”.51
Pembayaran diyat pada pembunuhan tersalah adalah dibebankan
kepada keluarga pelaku atau keluarga AS. Dibayar dengan cara diangsur
selama tiga tahun, tiap-tiap tahunnya keluarga AS harus membayar
sepertiganya.52 Namun terdakwa AS juga dapat ikut sera dalam pembayaran
tersebut, Sebab sanksi diyat ini lebih terlihat mirip seperti ganti rugi, apalagi
besar denda tersebut dapat berbeda-beda menurut kejahatan yang dilakukan
pelaku.53
Berdasarkan putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst, dapat diketahui
adanya sembilan (9) korban jiwa pada kasus tabrakan yang dilakukan AS dan
jika digolongkan terdapat enam (6) orang laki-laki dan tiga (3) orang
perempuan. Ulama dari kalangan Syafi'iyah berpendapat bahwa Terkadang
ada sesuatu hal yang bisa mengurangi jumlah besaran diyat, yaitu salah satu
50
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 662-663.
51
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 566
52
Rasjid, S, Fiqih Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 430.
53
Sinulingga, R., & Sugiharto, R, Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum Islam dalam Rangka
Pembaharuan Hukum Pidana. Sultan Agung Fundamental Research Journal, 1(1), (2020), h.
31–43.
65
54
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 642.
55
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah
(Jakarta: Sinar Grafika. 2006), h. 156.
56
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 629.
66
ِ ََ ِج ْذ فٚ ُش َسلَجَ ٍخ ُي ْؤ ِيَُ ٍخ ۖ فَ ًَ ٍْ نَ ْىَٚخٌ ُي َسهَّ ًَخٌ إِنَ ٰٗ أَ ْْهِ ِّ َٔرَذْ ِشٚق فَ ِذ
ٍَ ٍِ رَْٕ ثَخا ِيْٛ ٍِْ ُيزَزَبثِ َعَٚب ُو َش ْٓ َشٛص ٌ ضَبَُُٛٓ ْى ِيْٛ ََٔث
)٢ٕ :ٖ / اًب (انُسبءٛ اًب َد ِكِٛهللاُ َعه َّ ٌَهللاِ ۗ َٔ َكب َّ
Artinya: “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh
seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).
Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah)
dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar)
tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan
jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba
sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
57
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 646.
67
waris dan wasiat, karena pelaku sama sekali tidak berniat melakukan
perbuatan yang dilarang, yaitu pembunuhan.58
58
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika. 2005), h. 178.
59
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 680.
60
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.195-
196.
61
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema
Insani Press, 1989), h. 693.
62
Abdul Fatah Idris dan M. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, cet. 2, (Jakarta: PT.
Rhincka Cipta, 1994), h. 266.
68
ahli waris (cadangan) kalau keluarga dekat tidak ada, tanpa disyari‟atkan
menjadi ahli waris yang nyata.63
Jumlah diyat pelukaan untuk tiap jenis bagiannya telah ditentukan secara
rinci dalam hukum pidana Islam. Merujuk pada putusan No.
665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst dapat diketahui bahwa tabrakan maut yang dilakukan
terdakwa AS menyebabkan tiga (3) orang luka-luka, yaitu Siti Mukharomah,
Kenny, dan Indra (9 Tahun). Setiap jenis luka yang didapat dalam tabrakan maut
tersebut, memiliki jumlah diyat yang berbeda. Pada perihal ini, penulis merujuk
pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa‟I, yaitu:
ًَبٌَ ْث ٍِ دَا ُٔ َد لَب َلْٛ ََٗ ثٍُْ َد ًْ َضحَ ع ٍَْ ُسهٛ َْذٚ ُٕس لَب َل َد َّذصََُب ْان َذ َك ُى ثٍُْ ُيٕ َسٗ لَب َل َد َّذصََُب ٍ أَ ْخجَ َشََب َع ًْشُٔ ثٍُْ َي ُْص
َّ َّٗصه
ِّ ْٛ َهللاُ َعه َ ِهللاَّ ُٕل َ ِّ ع ٍَْ َج ِّذ ِِ أَ ٌَّ َسسٛ ثَ ْك ِش ث ٍِْ ُي َذ ًَّ ِذ ْث ٍِ َع ًْ ِشٔ ْث ٍِ َد ْض ٍو ع ٍَْ أَ ِثِٙانض ْْ ِشُّ٘ ع ٍَْ أَث
ُّ ََُِٙد َّذص
َذ َعهَٗ أَْْ ِم ْ ش ثِ ِّ َي َع َع ًْ ِشٔ ْث ٍِ َد ْض ٍو فَمُ ِشئَ بد َٔثَ َعُ َٚ ِّ ْانفَ َشائِضُ َٔان ُّسٍَُُ َٔان ِّذَِٛ ًَ ٍِ ِكزَبثاب فَٛت إِنَٗ أَ ْْ ِم ْانَ َٔ َسهَّ َى َكز
ِْى ْث ٍِ َع ْج ِذ ُك ََل ٍلٛ َم ث ٍِْ َع ْج ِذ ُك ََل ٍل ََُٔ َعِٛ ِّ َٔ َسهَّ َى إِنَٗ ُش َشدْ جْٛ َهللاُ َعه
َّ َّٗصه َ ِّٙ َِ ًَ ٍِ َْ ِز ِِ َُ ْس َخزَُٓب ِي ٍْ ُي َذ ًَّ ٍذ انَُّجْٛان
ٍَْ ِكزَبثِ ِّ أَ ٌَّ َي ٍْ ا ْعزَجَطَ ُي ْؤ ِيُاب لَ ْز اَل عِٙ ٍٍ َٔ َي َعبفِ َش ََْٔ ًْذَاٌَ أَ َّيب ثَ ْع ُذ َٔ َكبٌَ فْٛ ٘ ُس َع
ِ ِْم ِرَٛس ْث ٍِ َع ْج ِذ ُك ََل ٍل ل
ِ بس ِ َٔ ْان َذ
َ ف إِ َرا أُٔ ِع
ُّت َج ْذ ُع ِ َْ َ ْاألِٙاإلثِ ِم َٔف ِ انَُّ ْفِٕٙل َٔأَ ٌَّ ف
ِ ْ ٍْ َخَ ِيبئَخا ِيٚس ان ِّذ ِ َُب ُء ْان ًَ ْمزِٛضٗ أَْٔ ن
َ َْشٚ ٌْ ََُِّ ٍخ فَئََُِّّ لَ َٕ ٌد إِ َّال أَٛث
َِٙخُ َٔفٚت ان ِّذ ِ انصُّ ْهَِٙخُ َٔفٚان ِّذ َ ْٛ َ ْانجَِٙخُ َٔفٚ ٍِ ان ِّذْٛ َشفَز
ان َّز َك ِشَِٙخُ َٔفٚ ٍِ ان ِّذْٛ ض َز َّ انَِٙخُ َٔفٚ انهِّ َسب ٌِ ان ِّذَِٙخُ َٔفٚان ِّذ
ْان ًَُُمِّهَ ِخَِٙ ِخ َٔفٚش ان ِّذ
ُ ُْان َجبئِفَ ِخ صُه
َِٙ ِخ َٔفٚش ان ِّذ ُ ُ ْان ًَأْ ُيٕ َي ِخ صُهَِٙ ِخ َٔفٚ انشِّجْ ِم ْان َٕا ِد َذ ِح َِصْ فُ ان ِّذَِٙخُ َٔفٚ ٍِ ان ِّذْٛ َُْٛ ْان َع
اإلثِ ِم ِ ْ ٍْ َ ِذ َٔانشِّجْ ِم َع ْش ٌش ِيٛصبثِ ِع ْان
ِ ْ ٍْ انسٍِِّّ خَ ًْسٌ ِيِٙاإلثِ ِم َٔف َ َ ُك ِّم أُصْ ج ٍُع ِي ٍْ أِٙاإلثِ ِم َٔف ِ ْ ٍْ س َع ْش َشحَ ِي َ ًْ َخ
) َُبس) سٔاِ انُسباٚت أَ ْنفُ ِد ِ َُْ ْمزَ ُم ثِ ْبن ًَشْ أَ ِح َٔ َعهَٗ أَ ْْ ِم ان َّزٚ اإلثِ ِم َٔأَ ٌَّ ان َّش ُج َم
ِ ْ ٍْ ض َذ ِخ َخ ًْسٌ ِي ِ ًُٕ ْانَِٙٔف
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin Manshur telah
menceritakan kepada kami Al Hakam bin Musa telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Hamzah dari Sulaiman bin Daud telah menceritakan kepadaku Az
Zuhri dari Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm dari ayahnya (7) dari
kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada
penduduk Yaman yang berisi tentang berbagai kewajiban, sunnah-sunnah, dan
diyat. Beliau mengutus 'Amru bin Hazm untuk mengantar surat tersebut.
Kemudian surat tersebut dibacakan di hadapan penduduk Yaman. Inilah
naskahnya; "Dari Muhammad, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kepada
Syurahbil bin Abdu Kulal dan Nu'aim bin Abdu Kulal, serta Al Harits bin Abdu
Kulal Qail Dzu ru'ain, Ma'afir, dan Hamdan; adapun selanjutnya.... Dan di antara
isi surat tersebut adalah bahwa, "Barang siapa membunuh seorang mukmin
secara zalim dengan adanya bukti maka ia mendapatkan balasan, kecuali apabila
para wali orang yang dibunuh merasa rela. Untuk sebuah nyawa satu diyat yaitu
seratus ekor unta, hidung apabila dipotong semuanya adalah satu diyat, untuk
63
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 287.
69
lidah satu diyat, untuk dua bibir satu diyat, dua buah pelir satu diyat, penis satu
diyat, tulang belakang satu diyat, dua mata satu diyat, satu kaki setengah diyat,
luka yang sampai kepada otak sepertiga diyat, luka dalam sepertiga diyat, tulang
retak dan bergeser lima belas unta, dan untuk setiap jari tangan dan kaki sepuluh
unta, untuk gigi lima unta, untuk luka yang menampakkan tulang lima unta. Dan
seseorang dibunuh akibat membunuh seorang wanita, bagi pemilik emas
diyatnya adalah seribu dinar." (HR. An-Nasa‟i).64
64
Ahmad bin Syu‟aib bin Abd al-Rahman al-Nasa‟I, Sunan al-Nasa‟I al-Kubra, Bab
Qussamah, Hadis No. 4770, (T.tp.: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991).
70
punggung, janin, atau sampai pada bagian dalam antara dua buah pelir, atau
dubur atau tenggorokan. Luka non jaa'ifah adalah, luka yang tidak sampai ke
bagian dalam rongga tubuh, seperti luka pada leher, tangan atau kaki.65 Untuk
luka jaa'ifah, ursy-nya adalah sepertiga diyat, berdasarkan hadits Amr lbnu
Hazm, "Pada luka jaa'ifah terdapat sepertiga diyat." Sedangkan untuk luka
non-jaa'ifah, di dalamnya terdapat hukuumah 'adl (kompensasi harta yang
besarannya ditentukan oleh Hakim).66
b. KENNY (7 tahun), pelukaannya berupa Cedera kepala ringan.
Untuk jenis luka ini dimasukkan kedalam pelukan ringan dan untuk
diyatnya adalah dengan hukuumah „adl. Apabila tindak pidana atas selain
jiwa tidak menimbulkan luka pada athraf, dan tidak pula menghilangkan
manfaatnya, juga tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak pula jirah, menurut
pendapat kebanyaan fuqaha dalam kasus ini hukumannya adalah ganti rugi
yang tidak tertentu atau hukumah, yaitu ganti rugi yang ketentuannya
diserahkan kepada kebijaksanaan dan ijtihad hakim, dan ini hampir mirip
dengan ta‟zir.67
c. INDRA (9 tahun), dengan pelukan berupa cedera kepala ringan dengan
patah tulang dahi memanjang sampai ke rongga tulang dahi dengan
pendarahan didalamnya.
Pelukaan ini termasuk pada syajjah yaitu pelukaan pada bagian
kepala dan wajah. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah membagi pelukaan
syajjah menjadi 10 bagian yaitu: khaarishah atau haarishah, daamiyah
(berdarah), baadhi'ah, mutalaahimah, simhaaq, muwadhdhihah,
haasyimah, munaqqilah, ma'muumah, dan daamighah. Pada lima luka
pertama tidak terdapat diyat ursy yang telah ditetapkan, sehingga
65
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 687.
66
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 690.
67
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h.
218.
71
68
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 684-685.
69
Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;
Gema Insani Press, 1989), h. 687.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terutama dari keterangan
saksi dan barang bukti dapat dikatakan bahwa tabrakan maut yang
dijatuhkan kepada AS adalah kasus tindak pidana karena kealpaan yang
disadari (bewuste schuld). Tabrakan maut yang menghasilkan sembilan
korban jiwa dan tiga orang luka-luka tersebut, menurut pasal 229 ayat (4)
UU LLAJ dikategorikan sebagai kecelakaan lalu lintas berat. Teori
gabungan yang berlaku di Indonesia mengharuskan adanya pemidanaan
akan tabrakan maut yang dilakukan AS. Majelis Hakim memutuskan bahwa
terdakwa AS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah yaitu: Dengan
sengaja mengemudikan kendaran bermotor dengan cara atau keadaan yang
membahayakan bagi nyawa mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan
mengalami luka berat. Sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum pada dakwaan primair dua yaitu UU No. 311 ayat (5) dan dakwaan
primair ketiga yaitu UU no 311 ayat 4). Mempertimbangkan sisi yuridis,
filosofis dan sosiologis yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam putusan
No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Maka AS oleh Majelis Hakim dijatuhkan
hukuman berupa pidana penjara selama 15 tahun.
2. Tabrakan maut yang dilakukan AS telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana dalam hukum Islam yaitu unsur syar‟iy (formil), unsur maddiy
(materiil) dan unsur adabiy (moral). Sehingga diwajibkan pembebanan
pidana pada terdawa AS sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-An‟am ayat
164. Masalah kelalaian yang menyebabkan kematiannya seseorang dalam
Islam dikategorikan sebagai jarimah qathlul khata‟. Fuqaha sepakat bahwa
hukuman pada pembunuhan tersalah hanya ada dua macam saja yaitu
hukuman pokok yang terdiri dari diyat dan kafarat, dan hukuman
72
73
konsekuensi berupa penghapusan hak waris dan wasiat. Di sisi lain, pada
jarimah jarh ghair maqsud atau pelukaan karena kealpaan hanya
dibebankan hukuman diyat. Pada hukuman konsekuensi yaitu penghapusan
hak waris dan wasiat tidak dapat dibebankan kepada AS, dengan alasan
tidak terpenuhinya tujuan saddudz dzaraa'i dari tabrakan maut tersebut,
Adanya sembilan orang yang meninggal dan tiga orang luka-luka oleh
tabrakan maut tersebut, menyebabkan penjatuhan pidana AS juga dikalikan
berdasarkan jumlah korbannya. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh
Wahbah Zuhaili bahwa “Kejahatan yang berjumlah lebih dari satu tidak bisa
mengalami at-tadaakhul (hukuman untuk salah satunya sudah bisa mewakili
hukuman kejahatan-kejahatan yang lain) dalam kasus kejahatan tersalah,
maka begitu juga ketika kasus kejahatan itu adalah kasus kejahatan
sengaja”.
B. Rekomendasi
1. Kasus AS melahirkan banyak perdebatan. Terutama terkait tentang
bagaimana penyelesaian kasus tersebut dapat sesuai dengan prinsip yuridis,
sosiologis dan filosofis. Dari segi yuridis adanya ketidakpuasaan tentang
pasal mana yang seharusnya diterapkan kepada AS, segi sosiologis kadang
kala terabaikan dikarenakan pengaruh atau efek riak dari tabrakan maut
yang dilakukan AS tersebut menyebabkan putusan yang dikeluarkan Hakim
mengabaikan pertimbangan dari sisi latar sosial terdakwa AS dan begitu
pula dari segi filosofis yang memutuskan perkara demi terciptanya asas
keadilan di antara dua pihak (pelaku dan korban) namun prinsip keadilan
pada putusan itu masih diperdebatkan. Penelitian ini memaparkan jalan
penyelesaian alternatif lain yaitu dengan berpegang kepada hukum pidana
Islam. Dimana pensyariatan Islam terkait kasus ini berbeda dengan
ketentuan dalam pidana positif di Indonesia. Sebagaimana pada kasus
pembunuhan tersalah yang mana si pelaku tidak harus mendekam dipenjara
untuk membayar kesalahan yang tidak sengaja yang dia perbuat. Ada
kesempatan tobat bagi si pelaku dan ada kesempatan pembayaran duka bagi
74
korban. Dalam Islam setiap pelaku pidana tidak harus menghapus dosanya
dengan cara dipenjara, bahkan kasus AS ini dapat diselesaikan dengan cara
tobat kepada Allah SWT dan perdamain kepada keluarga korban.
Diharapkan dari materi pidana Islam yang penulis paparkan dari penelitian
ini dapat memberikan manfaat dalam palaksanaan sistem peradilan dan
penghukuman di Indonesia. Salah satu contohnya di Lembaga
Pemasyarakatan yang mana sebaiknya untuk kasus-kasus kesalahan karena
kealpaan yang sudah diputus sanksinya, dapat diselesaikan dengan cara
hukum pidana Islam, seperti memberikan alternatif kepada pelaku dengan
menerapkan hukuman kafarat yaitu berpuasa 2 bulan berturut-turut untuk
menghapus pemidanaan atau dosa dari kejahatan yang dilakukannya.
Menurut penulis hal tersebut lebih baik diterapkan dan lebih bermanfaat
bagi semua pihak karena dengan diterapkan hal tersebut dan bila mana
ditemukan pelaku yang bersungguh-sungguh bertobat karenanya, maka si
pelaku tidak perlu lagi di penjara mengingat kesalahannya tersebut terjadi
karena kealpaan serta penjara sebaiknya lebih tepat untuk ditempatkan
kepada orang-orang yang melakukan kesalahan yang sebenarnya.
2. Disarankan bagi para pelajar, mahasiwa dan akademisi lainnya Agar skripsi
ini dapat menjadi bahan rujukan dalam peneliian, pembelajaran, dan
penulisan karta ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
.
Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Suyuṭhi, Jalāludīin. Al-Jāmi‟ Ash-Ṣhaghīr Juz II.
Bairut: Dār al Fikr.
Anis, Ibrahim, et.al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Juz II. Kairo: Dar Ihya At-Turats,
1972.
Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. cet. VII. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010
CST, Kansil. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
1999.
Djazuli, H.A. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: CV Pustaka Setia,
2000.
75
76
Fauzi, Moh. Penerapan Diversi dan Keadilan Restorative dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak (Tinjauan Hukum Pidana Islam).
Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Huda, Ni‟matul. Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review. Yogyakarta:
UII Press, 2005.
Idris, Abdul Fatah dan M. Abu Ahmadi. Fiqih Islam Lengkap. cet. II. Jakarta: PT.
Rhincka Cipta, 1994.
Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. ed. Revisi. cet. V. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 2010.
Mulyadi, Lilik. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia. Malang: PT Citra Aditya Bakti, 2014.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih
Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed. III. cet. III.
Bandung: Reflika Aditama, 2003.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam
dan Kemasyarakatan, 1992.
Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI. Damaskus: Dar Al-
Fikr, 1989.
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas
Jalan.