Anda di halaman 1dari 98

SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PERJUDIAN

(Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:


10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Positif)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

MUHAMMAD AMIL HAQ


NIM: 1113045000049

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PERJUDIAN

(Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:


10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Positif)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

MUHAMMAD AMIL HAQ


NIM: 1113045000049

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Ali Mansur, MA Fitriani, S.Ag, M.H


NIP. 197605062014111002 NIP. 197403212002122005

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M

i
ABSTRAK

Muhammad Amil Haq. NIM: 1113045000049. SANKSI PIDANA


TERHADAP ANAK PELAKU PERJUDIAN (Analisis Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN Dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif). Program
Studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode


penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif-empiris yang
menggunakan sumber hukum sekunder yang bersala dari bahan-bahan
kepustakaan sebagi sumber utama data penelitian tersebut, dan juga terdiri
dari sumber hukum primer seperti undang-undang, dan lain sebagainya.

Penulis menyimpulkan hasil penelitian ini, bahwa anak yang yang


melakukan tindak pidana perjudian tidak dapat dikenakan hukuman sesuai
dengan hukuman orang dewasa, melainkan penerapan sanksinya adalah
menggunakan restorative justice dan diversi sesuai dengan Undang-
Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), anak
yang melakukan tindak pidana berupa perjudian akan mendapatkan
hukuman sepertiganya.

Sementara dalam hukum pidana Islam anak yang melakukan tindak


pidana akan mendapatkan hukuman ta’zir, di mana hukuman tersebut telah
memperhatikan apakah anak tersebut mampu mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Karenanya, dalam hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam tidak jauh beda mengenai hukumannya apabila pelakunya seorang
anak yang masih belum dewasa.

Kata Kunci, Sistem Peradilan Pidana Anak, Tindak Pidana, Perjudian.

iv
KATA PENGANTAR

‫الحمد هلل رب العالمين وبه نستعين على أمور الدنيا والدين والصالة والسالم على أشرف األ نبياء‬
‫والمرسلين وعلى اله وأصحابه أجمعين‬

Alhamdulillah, puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT, atas berkat rahman dan rahimnya, kita diberikan pilihan untuk hidup dan
bersikap sewajarnya manusia yang berfikir, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul : “Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Perjudian
(Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:
10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan
Hukum Pidana Positif)” untuk diajukan guna memenuhi syarat dalam
menyelasaikan pendidikan pada Program Studi Strata Satu (S1) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan partisipasi baik dari
pembimbing berupa bimbingan, motivasi, pikiran, tenaga, dan do’a dari berbagai
pihak yang senantiasa memberikan dorongan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang besar-bersarnya kepada yang terhormat :

1. Dr. H. Asep Saepuddiin Jahar, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Muhammad Nurul Irf an,M.Ag Ketua Program Studi Hukum
Pidana Islam dan Mohammad Mujibur Rohman, MA Sekretaris Program
Studi Hukum Pidana Islam serta Nur Rohim Yunus. LL.M
3. Ali Mansur, M.A dan Fitriani S.Ag., M.H. selaku pembimbing Skripsi
penulis, yang telah lulus ikhlas dalam mengorbankan waktu, tenaga dan
pikiran serta petunjuk dan pengarahannya untuk membimbing penulis.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum serta Staff Karyawan
Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah membantu penulis dalam mencari buku-buku referensi guna
mendukung penulisan skripsi ini.

v
5. Tak lupa juga kepada kedua orang tua, Ayahanda Alm. KH. Abdullah
H.M dan Ibunda Hj.Marwah, serta bibi saya Hj. Asiyah, Hj. Zubaidah,
dan seluruh keluarga besar Bani Abdullah atas dukungan morilnya,
finansial, dan semuanya yang tidak terhingga (tidak ada do’a dan kasih
sayangnya paling tulus dan besar selain do’a dan kasih sayang dari kedua
orang tua).
6. Keluarga Besar Hukum Pidana Islam angkatan 2013 yang menjadi teman
seperjuangan penulis, lubna zahraty, Arya Chairunnisa, Bintang Tri Fajar,
Wahyu Ario, khususnya Adinda Hasin Abdullah, dan seluruh teman-
teman penulis yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Terima kasih
atas kesetiaan dalam pencarian ilmu di jurusan kebanggan kita. Terima
kasih juga untuk NurJanah, Arif Fathoni, Minten Apriani, Zakki Al-Amin,
Annisa Nurul Jannah, Annisa Icha, Fadlansyah, Ahmad Murhadi, dan lain
sebagainya. Semoga Allah membalas segala kebaikan kalian.
7. Sahabat-sahabat PMII Komfaksyahum terkhusus sahabat Ali Ma’sum, dan
Jajaran BPH nya. Serta keluarga besar Ikatan keluarga Alumni Daarul
Rahman (IKDAR) Tangsel khususnya Gus Yunus Hasyim. yang juga
banyak memberikan kontribusi berupa pikiran, support, motivasi, saran
serta nasihatnya. Penulis do’akan kalian menjadi orang yang sukses dan
bahagia dunia akhirat.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini, masih terdapat banyak


kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharap kritik dan
saran dari semua pihak yang sifatnya melengkapi skripsi ini. Sebagai
akhir, semoga Allah SWT memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya bagi
kita semua.

Jakarta, 10 Oktober 2018

Penulis

Muhammad Amil Haq


NIM: 1113045000049

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1


B. Identifikasi Masalah ............................................................ 9
C. Pembatasan Masalah ........................................................... 9
D. Rumusan Masalah ............................................................... 9
E. Tujuan Penelitian ................................................................ 10
F. Manfaat Penelitian .............................................................. 10
G. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu .................................. 11
H. Metode Penelitian ................................................................ 11
I. Sistematika Penulisan .......................................................... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKU PERJUDIAN OLEH


ANAK

A. Tindak Pidana Secara Umum .............................................. 17


1. Pengertian Tindak Pidana ............................................... 17
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ........................................... 19
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana ............................................... 22
B. Pengertian Perjudian ............................................................ 22
1. Jenis-Jenis Perjudian ....................................................... 24
C. Teori tentang Pemidanaan ................................................... 25

vii
1. Jenis-jenis Pidana............................................................ 27
2. Pemidanaan Terhadap Anak ........................................... 28
3. Tujuan Pemidanaan ........................................................ 28
4. Jenis pemidanaan anak ................................................... 29
D. Tinjauan Umum tentang Anak ............................................ 30
1. Pengertian Anak Di Bawah Umur .................................. 30
2. Hak-Hak Anak ................................................................ 33
E. Batas Usia Pemidanaan dan Penyelesaian Perkara
Pidana Anak......................................................................... 38
1. Batas Usia Pemidanaan Anak ........................................ 38
F. Potret Pertanggungjawaban Pidana Anak............................. 42
1. Pengertian Pertangungjawaban Pidana ........................ 42

BAB III TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH ANAK DALAM HUKUM


PIDANA ISLAM

A. Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam ............................ 45


1. Pengertian Perjudian (al-maisir) ................................... 45
B. Tindak Pidana Perjudian Oleh Anak .................................. 49
1. Pengertian Tindak Pidana (al-Jinayah) ........................ 49
2. Macam-Macam Jarimah dalam Hukum Pidana Islam . 52
3. Unsur-Unsur Kejahatan dalam Hukum Pidana Islam .. 54
4. Penggolongan Hukuman dalam Hukum Pidana Islam . 55
C. Teori Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam .................. 57
D. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana Islam .. 61

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN TINGGI MEDAN


ANAK NOMOR: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN

A. Deskripsi Perkara................................................................. 63
1. Identitas Terdakwa.......................................................... 63
2. Posisi Kasus .................................................................... 64

viii
3. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa ......................................... 68
4. Amar Putusan.................................................................. 69
5. Putusan Hakim dan Dasar Pertimbangan Hakim ............ 70
B. Analisis Putusan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
dan Hukum Pidana Positif ................................................... 72
1. Analisis Putusan dalam Perspektif Hukum
Pidana Positif .................................................................. 72
2. Analisis Putusan dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam.................................................................... 76

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 80
B. Saran-Saran Penulis ............................................................. 81

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 83

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini masalah-masalah sosial di kalangan anak-anak mulai dari


kebebasan dan kenakalannya seringkali terjerumus melakukan tindakan-
tindakan kriminal. Sehingga, sebagian besar seusia anak-anak berkonflik
dengan hukum. Bahkan, tidak hanya demikian, juga banyak anak-anak yang
telah menyandang status terdakwa dan terpidana.

Perbuatan pidana yang dilakukan anak-anak tersebut dikarenakan


faktor krisis kepedulian masyarakat terhadap kenakalan anak-anak yang
mudah terabaikan dan tidak terawasi. Sehingga, perbuatannya dianggap
sesuatu yang sangat lumrah. Padahal, ini menunjukkan perkembangan anak
menuju usia dewasa sehingga sangat wajar apabilaanak-anak berhadapan
dengan hukum.

Karena itu filosofi tujuan hukum dituntut mampu menciptakan


keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam hal ini, eksistensinya suatu
hukum sebagai instrument utama memberikan perlindungan, pencegahan, dan
pendidikan etika serta moral dengan baik.

Adapun faktor-faktor yang mendorong kenakalan anak-anak atau juga


dapat dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Adapun faktor
timbulnya kenakalan anak-anak dapat dilihat dari 2 (dua) macam yaitu :1

1. Yang termasuk intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :


a. Faktor intelegentia (kecerdasan);
b. Faktor usia;

1
Wessy Trisna, dan Ridho Mubarak, Hukum Kejahatan Anak, (Medan: Fakultas Hukum
Universitas Medan Area, 2012), hal. 11.

1
2

c. Faktor kelamin;
d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
2. Yang termasuk ekstrinsik adalah :
a. Faktor rumah tangga;
b. Faktor pendidikan dan sekolah;
c. Faktor pergaulan anak;
d. Faktor media massa.

Selain itu, juga kenakalan anak-anak karena faktor lingkungan, faktor


psikologis, faktor sosial dan faktor ekonomi. Dengan demikian, faktor-faktor
tersebut dapat mempengaruhi tingkah laku usia anak-anak dalam melakukan
perbuatan pidana, sehingga secara substansi hukum anak tidak dianggap
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Profesor Syaiful Bakhri, berpendapat bahwa hukum merupakan suatu


perangkat norma-norma, yang benar dan yang salah, yang dibuat atau diakui
eksistensinya oleh pemerintah, yang dituangkan baik dalam aturan tertulis
maupun tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya secara keseluruhan, serta dengan ancaman dan sanksi bagi
yang melanggar aturan itu.2

Secara sederhana eksistensi hukum di tengah masyarakat merupakan


langkah efektif terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena
itu hukum yang diformulasikan sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya
delik-delik kejahatan yang mengganggu ketertiban umum, khususnya
kejahatan berupa tindak pidana perjudian yang secara perlahan-lahan
bermunculan pada ranah anak-anak.

Pada kenyantaannya, negara Indonesia sebagai negara hukum


(reechstaat) seringkali dikejutkan oleh berbagai macam tindak pidana
perjudian yang mengancam moralitas anak-anak di tengah perkembangan

2
Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan,
Teori, dan Praktik Peradilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 1.
3

teknologi dan informasi. Dimana hal ini, adalah anak pelaku perjudian
semakin marak dari tahun ke tahun.

Dalam ajaranIslam kata perjudian dikenal dengan istilah maisir, yakni


tiap-tiap sesuatu yang ada di dalamnya pertaruhan, maka itu adalah
judi.3Artinya, judi dalam agama Islam bukan saja terletak dalam permainan
tetapi juga terletak dalam sekalian perbuatan yang di dalamnya ada
pertaruhan. Pertaruhan itu bukan saja uang, tetapi juga boleh rumah, mobil,
tanah, sawah, padi, gandum, anak, isteri dan sebagainya.

Menurut Sirajuddin Abbas, hukum perjudian dalam perspektif hukum


Islam adalah haram. Sekalipun ada unsur rela antara kedua belah pihak.
Karena bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya, maka perjudian
bagaimanapun jenisnya, hukumnya tetap haram.4Memperoleh harta dengan
cara bathil seperti berbuat curang dan berjudi, dalam agama Islam adalah
perbuatan yang harus dihindari.5

Perjudian merupakan tindak pidana yang sangat sering dijumpai di


lingkungan sekitar baik disengaja maupun tidak disengaja, walaupun hanya
kecil-kecilan ataupun hanya iseng saja. Praktek perjudian dari hari ke hari
justru semakin marak di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kalangan
bawah sampai ke kalangan atas. Perjudian juga tidak memandang usia,
banyak anak-anak di bawah usia yang sudah mengenal bahkan sering
melakukan perjudian. Seperti dilihat dalam berita kriminal di televisi juga
banyak ibu-ibu rumah tangga yang tertangkap sedang berjudi bahkan
diantaranya sudah berusia lanjut. Dalam skala kecil, perjudian banyak
dilakukan di dalam lingkungan masyarakat kita meskipun secara sembunyi-

3
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), hal. 55.
4
Hamzah Ya'qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1984),
hal. 143.
5
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 67.
4

sembunyi (illegal). Beragam permainan judi mulai togel (toto gelap) sampai
judi koprok di gelar di tempat-tempat perjudian kelas bawah.6

Menurut Masyfuk Zuhdi, peraturan perundang-undangan yang berlaku


di Indonesia mengkategorikan perjudian sebagai tindak pidana, meski
cenderung bersifat kondisional aturan hukum yang melarang perjudian sudah
sangat jelas, tapi bisnis perjudian ilegal di tanah air berkembang dengan
pesatnya karena penegakan hukum yang setengah hati dalam pemberantasan
perjudian di sisi lain, kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama
Islam membuat judi tersebut tidak dibenarkan Islam menaruh perhatian besar
pada perjudian, karena mudharat atau akibat buruk yang ditimbulkan dari
perjudian lebih besar dibandingkan manfaatnya maka Islam mengharamkan
segala macam bentuk perjudian.7

Di dalam KUHP terdapat bermacam-macam kejahatan yang


dituangkan dalam titel-titel dan merupakan bagian-bagian dari Buku II
sebagai bentuk penggolongan tindak pidana secara kualitatif oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam hukum dikenal beberapa rumusan
pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah
“Strafbaar Feit”. Sedangkan dalam perundang-undangannegara istilahini
dapat disebut perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud di atas,
maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian
istilah tindak pidana.8

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303 ayat (1)


menyatakan, “diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau
pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah”. 9 Artinya, antara
pelaku yang sudah dewasa dan yang belum dewasa terdapat ketentuan
hukumnya. Dalam hal ini, anak sebagai sebagai pelaku tindak pidana
6
www.hukumonline.com.tindakpidanaperjudian.html. Diakses Kamis 13 Oktober 2016
7
Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Haji Masagung, 1987), hal. 15
8
Zul Akli, Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar‟iyah
Lhokseumawe, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol, 3, Nomor, 2, April 2017, hal. 151-152.
9
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hal. 122.
5

perjudian sudah diputus oleh pengadilan tinggi medan nomor


10/Pid.SusAnak/2017/PT.MDN.

Perjudian dalam perspektif hukum pidana Indonesia adalah salah satu


tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Meskipun, anak di
bawah usia yang melakukan tindak kejahatan berupa praktik perjudian
terdapat prosedur di dalam substansi hukum secara khusus yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (the juvenile justice system).

Sehubungan dengan itu, setiap kejahatan yang dilakukan anak bisa


dikategorikan jenis pidana khusus sebagaimana asas hukum pidana yang
menyatakan “lex specialis derogat lex generalis”. Yang artinya hukum yang
khusus akan mengenyampingkan hukum yang umum. Sehingga, setiap
undang-undangtersebut memerlukan penerapan hukum secara efektif dan
efisien.

Dalam konteks ini, peristiwa perjudian yang dilakukan oleh usia anak-
anak diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana
denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah,yang belum cukup usia akan
mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum (restorative justice) dimana
anak yang hidup di lingkungan yang tidak mendukung penting untuk
meningkatkan pengawasannya terhadap anak-anak agar mereka mendapatkan
pembinaan moral. Mengacu pada pendapat Akhsan Naim, bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.10

Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 5 ayat (3), dalam sistem peradilan pidana

10
Akhsan Naim, dkk, Profil Anak Indonesia 2015, (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015), hal. 2.
6

anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib
diupayakan diversi,11 adalah berupa perlindungan dan keadilan.

Pernyataan di atas mengindikasikan tujuan pemidanaan terhadap anak


pelaku tindak pidana perjudian memerlukan jalan terjal sesuai prosedur
hukum. Yakni, dibutuhkan partisipasi orang tua, sehingga konsep
pemidanaannya ini, hakim, dan penuntut umum agar melalui mekanisme
diversi anak yaitu penyelesaian perkara pidana anak dituntaskan di luar
pengadilan (diversi) yang dihadiri oleh orang tua, dan pihak yang
berwewenang. Menurut profesor Romli Atmasasmita, setiap perbuatan atau
tingkah laku seseorang anak di bawah usia 18 tahun dan belum kawin yang
merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta
dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.12

Untuk itulah, anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus


diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang
sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya. Anak anugerah Allah
Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam
masa perkembangan fisik dan mental. Terkadang anak mengalami situasi sulit
yang membuatanya melakukan tindakan yang melanggar hukum tidaklah
layak untuk dihukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar hukum
tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan dalam penjara.13

Dimana juga termaktub di dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP) pasal 45 mengenai anak-anak, “dalam hal penuntutan pidana
terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan sesuatu perbuatan
sebelum usia enam belas tahun.”14 Substansi pasal tersebut, anak-anak tentu

11
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, (Jakarta: Sekretariat KPAI, 2016), hal. 8.
12
Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, (Bandung: Armico,
1983), hal. 40.
13
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum; Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 1.
14
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hal. 23.
7

akan dipertimbangkan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, mental.


Kedua, tidak cakap hukum. Ketiga, belum cukup usia (minderjarig/person
under age).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak pasal 6 ayat menyatakan, diversi bertujuan untuk
mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di
luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung
jawab kepada anak.15

Menurut Lilik Mulyadi, ditinjau dari aspek yuridis pengertian “Anak”


di mata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ius operatum) lazim
diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age),
orang yang di bawah usia/keadaan di bawah usia (minderjarigheid/inferiority)
atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali
(minderjarig undervoordij).

Pada umumnya, pembatasan usia anak tersebut relatif identik dengan


batas usia pertanggungjawaban pidana (criminal liability/ criminal
responsibility) seorang anak yang dapat diajukan ke depan persidangan
peradilan pidana anak. Artinya, batas usia tersebut sebagai batas usia minimal
dikategorikan anak. Akan tetapi, hal ini bukan berarti sebagai batas usia
pertanggungjawaban pidana (criminal liability/criminal responsibility)
seorang anak untuk dapat dilakukan proses peradilan dan penahanan.16

Atas dasar konkordansi, sistem yang terakhir diuraikan, dianut dalam


Pasal 45 KUHP Indonesia, tetapi batas usia adalah 16 tahun. Dalam hal ini

15
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, (Jakarta: Sekretariat KPAI, 2016), hal. 8.
16
Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, cet, ke-1, (Bandung:
P.T. Alumni, 2014), hal. 1-2.
8

kepada hakim diberi kekuasaan untuk menentukan, apakah anak yang


sebelum berusia 16 tahun, jika melakukan suatu tindakan :17

a. Dikembalikankepada orang tuanya, tanpa pidana apapun.


b. Ataumemerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah
tanpa pidana apapun, sampai batas anak itu berusia 18 tahun (dengan
syarat-syarat tersebut dalam pasal 45 dan 46).
c. Ataudipidana dengan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiganya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak


pasal 16 ayat (1) menyatakan, setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi. Sedangkan butir (2), setiap anak berhak untuk memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum. Dilanjutkan butir (3), penangkapan,
penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.18

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi alasan penulis


meneliti sejauh mana sistem peradilan pidana anak itu digunakan oleh hakim
dalam memutuskan perkara terkait tindak pidana perjudian yang dilakukan
oleh anak di bawah usia, khususnya dalam pemidanaan. Dalam hal inilah
penulis membahas judul tentang “SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK
PELAKU PERJUDIAN (Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Medan
Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN)”.

17
Fransiska Novita Eleanora, Sistem Pemidanaan Terhadap Anak yang Melakukan
Tindak Pidana, dalam Jurnal Lex Jurnalica, Vol. 10, Nomor, 3, Desember 2013, hal. 176-177.
18
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, (Jakarta:
Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2017), hal. 90.
9

B. Identifikasi Masalah

Penulis mengamati pembahasan latar belakang masalah di atas paling


tidak, dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam bentuk pernyataan, antara
lain :

1. Efektivitas penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang


putusan perkara perjudian oleh anak di Pengadilan Tinggi Medan.
2. Disparitas sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perjudian oleh
anak.

C. Pembatasan Masalah

Untuk lebih menfokuskan penelitian ini, maka skripsi ini membatasi


pada ruang lingkup kajian studi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
perjudian oleh anak melalui studi putusan Pengadilan Tinggi kota Medan,
yang berkaitan dengan penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Untuk selanjutnya disebut
dengan putusan Pengadilan Tinggi Medan.

D. Rumusan Masalah

Masalah perjudian di lingkungan anak-anak mulai meningkat tinggi


dikarenakan oleh lemahnya komitmen kolektif (masyarakat dan aparat
penegak hukum) dalam melakukan pengawasan sosial baik itu dari elemen
masyarakat maupun institusi penegak hukum, sehingga setiap anak mudah
dan leluasa untuk melakukan tindak pidana perjudian.

Untuk itu, mekanisme sanksi pidana terhadap pelaku perjudian oleh


anak ini tentu dituntut konsisten menggunakan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Meskipun,
pelaku perjudian itu sebatas usia anak-anak. Paling tidak, hakim harus
mengedepankan aspek perlindungan hukum, keadilan (restorative justice),
10

dan diversi anak. Terutama dalam mengoptimalkan pengawasan terhadap


perkara pidana anak yang sedang menjalani proses hukum (process reech).

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan ke


beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dalam


putusan Pengadilan Tinggi Medan ?
2. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
terhadap anak pelaku perjudian ?

E. Tujuan Penelitian

Penulis mengkelompokkan menjadi dua tujuan yang ingin dicapai


oleh penulis dalam penelitian ini. Idealnya, tujuan penulisan ini dikhususkan
dan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk menguraikan penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012


dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan.
2. Untuk menguraikan pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif terhadap anak pelaku perjudian.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan


bagi penulis pribadi dan orang lain tentang teori hukum pemidanaan anak
dalam perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana nasional serta
sebagai pengaplikasian ilmu tentang studi menurut “kajian sistem peradilan
pidana anak”, terutama bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, juga penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan bahan rujukan untuk kalangan umum serta aparat penegak hukum
dalam menangani perkara yang sama.
11

G. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penulisan ini, penulis melakukan tinjauan pustaka sebagai


langkah dari penyusunan skripsi yang penulis teliti, agar terhindar dari
kesamaan judul dan lain-lain dari skripsi yang sudah ada sebelum-
sebelumnya. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan selama
melakukan penelitian, penulis tidak menemukan judul skripsi penulis atau
berupa jurnal, baik di perpustakaan fakultas, maupun perpustakaan umum.

Adapun dari beberapa skripsi yang ada kesamaan dengan


penelitian yang penulis teliti di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Jakarta, peneliti menemukan skripsi yang berhubungan
dengan penelitian yang peneliti tulis. Antara lain :

a) Peneliti yang bernama Reniati Sumanta dengan judul “Tinjauan Hukum


Islam Terhadap Perjudian” pada tahun 2014 yang menjelaskan tentang
konsep perjudian dalam pendekatan hukum Islam.
b) Peneliti yang bernama Ridwan Daus dengan judul “Tindak Pidana
Perjudian Ditinjau Dari Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana
Positif” pada tahun 2015 yang hanya cenderung kepada dua pendekatan
yaitu hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.

Dari penelitian-penelitian di atas, peneliti melihat bahwa belum ada


penelitian tentang Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Perjudian Oleh Anak.
Sesuai dengan yang akan peneliti lakukan dalam bentuk skripsi.

H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan normatif-


empiris :

Pada dasarnya pendekatan normatif adalah metode penelitian


hukum terhadap aturan hukum yang tertutlis. Pada penelitian hukum
12

normatif peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi


sumber data primer.19

Pendekatan normatif berdasarkan pada logika dan penormaan yang


ada pada masyarakat, sehingga ada pendapat lain bahwa penelitian hukum
dibangun berdasarkan disiplin ilmu dan cara-cara kerja ilmu hukum
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Menurut Johny Ibrahim bahwa sebagai ilmu praktis normologis,


ilmu hukum normatif berhubungan langsung dengan praktik hukum yang
berhubungan langsung dengan praktik hukum yang menyangkut dua aspek
utama yaitu :20

1. Tentang pembentukan hukum


2. Tentang penerapan hukum

Sedangkan penelitian hukum dalam pendekatan empiris adalah


untuk melihat bagaimana hukum tersebut dipraktikkan. Dengan demikian
hukum bukan hanya diapndang sebagai atau kaedah prilaku saja,
melainkan juga merupakan sebuah proses sosial, lembaga sosial.21

Penelitian hukum empiris dimaksudkan untuk mengajak para


penelitinya tidak hanya memikirkan masalah-masalah hukum yang bersifat
normatif (law as written in book), bersifat teknis di dalam
mengoperasionalisasikan pertauran hukum seperti mesin yang
memproduksi danmenghasilkan hasil tertentu dari sebuah proses
mekanis.22

19
Fahmi Muhammad Ahmadi, dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Tangsel:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010), hal. 38.
20
Hardijan Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana, dalam Jurnal Law
Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. 5. No. 3. Maret, 2006, hal. 41.
21
Fahmi Muhammad Ahmadi, dan Djaenal Aripin, hal. 47.
22
Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakterirtik
Khas Dari Metode Meneliti Hukum, dalam Jurnal Fiat Justisia Ilmu Hukum. Vol. 8. No. 1, Januari-
Maret, 2014, hal. 28.
13

Penelitian hukum normatif-empiris ini jelas bahwa hukum tidak


hanya dapat dipandang sebagai kaedah dalam penerapan hukum, akan
tetapi hukum juga dipandang dari aspek kenyataan yang hidup dalam
realitas masyarakat.

2. Jenis Penelitian

Mencermati sumber penelitian di atas tersebut, maka penelitian ini


adalah jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana
peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triansgulasi (gabungan), analisis bersifat induktif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menakankan makna daripada generalisasi.23

Sedangkan menurut Burhan, pendekatan kualitatif adalah


pendekatan yang digunakan dalam beberapa pertimbangan, yaitu bersifat
luwes, tidak terlalu rinci tidak lazim mendefinisikan suatu konsep, serta
memberikan kemungkinan berbagai perubahan-perubahan manakala
ditemukan fakta yang lebih mendasar, menarik, dan unik bermakna di
lapangan.24

Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa penelitian


kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan, untuk dirumuskan menjadi suatu generalisasi yang
dapat diterima oleh akal sehat manusia dan mudah dipahami oleh diri
sendiri maupun orang lain.

Dalam jenis penelitian kualitatif penulis menganalisa sejauh mana


Pengadilan Tinggi Medan tersebut memutuskan perkara pidana anak
sesuai konsep sistem peradilan pidana anak dan melihat ketentuan
hukumnya dalam perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana

23
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 1.
24
Burhan Bungins, Analisis Data Penelitian Kualitatif, cet, ke-2, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), hal. 39.
14

positif, dan melakukan penelitian pustaka (library reaserch) di pelbagai


sumber. Seperti, buku, jurnal, disertasi, tesis, skripsi, majalah, dsb.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan bahan-


bahan hukum yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah
penelitian. Menurut Peter cara mengumpulkan data meliputi bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Antara lain sebagai berikut :25

a) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat


autoritatif, artinya mempunyai otoritas, bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusn-
putusan hakim.
b) Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumentasi-dokumentasi resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan. Ada juga bahan hukum seperti skripsi, tesis
dan disertasi hukum.

4. Teknik Analisa Data

Seluruh bahan-bahan yang hukum yang penulis dapatkan, bahan


tersebut dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu jenis data
dan analisa data yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-
pernyataan yang menggunakan penalaran.26

Adapun metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian


deskriptif, yaitu tujuannya adalah untuk mengambarkan peristiwa yang

25
Peter Mahmud Marzuki, hal. 181.
26
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Tangsel: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta, 2010), hal, 26.
15

terjadi. Penelitian deskriptif dilakukan untuk memahami karakteristik dari


suatu masalah masalah mengingat sedikit sekali penelitian-penelitian yang
elah dilakukan tentang suatu fenomena yang perlu dipahami.27

Penulis menggunakan metode analisis ini bertujuan untuk


mengetahui deskripsi perihal penerapan hukum yang diputuskan oleh
hakim terkait perkara perjudian oleh anak berdasarkan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

I. Sistematika Penulisan

Sebelum memasuki pada esensi penelitian ini akan disusun ke


dalam lima bab sebagai berikut :

BAB I memuat Pendahuluan yang menjelaskan latar belakang


masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.

BAB II memuat Tinjauan Umum tentang Pelaku Perjudian


oleh Anak yang melandasi pemikiran dalam menganalisa dari data-data
yang dikumpulkan. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah teori-teori
hukum tentang pemidanaan, definisi anak, diversi dan restorative justice
dalam perspektif hukum pidana positif dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Tinjauan
(Review) Studi Terdahulu.

BAB III memuat Tindak Pidana Perjudian oleh Anak dalam


Hukum Pidana Islam yang membahas tentang tindak pidana perjudian
oleh anak, pemidanaan, dan pertanggung jawaban pidana dalam perspektif
hukum pidana Islam.

27
Yayan Sopyan, hal, 23.
16

BAB IV memuat Analisis Putusan Hakim Pengadilan Tinggi


Medan Anak Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN yang merupakan
gabungan dari hasil pengumpulan data dan putusan untuk dianalisis
melalui pendekatan-pendekatan teori hukum dan peraturan perundang-
undangan.

BAB V memuat Penutup yang memuat kesimpulan saran-saran


dari penelitian yang dengan harapan dapat memberikan kontribusi
pengetahuan terhadap institusi yang menangani perkara anak yang
melakukan tindak pidana agar terus-menerus merealisasikan tugas dan
perananya.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKU PERJUDIAN

OLEH ANAK

A. Tindak Pidana Secara Umum


1. Pengertian Tindak Pidana

Dalam buku Amir Ilyas tindak pidana dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan
dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah
delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-
undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana
atau tindak pidana.28

Tindak pidana merupakan bentuk terjemahan dari strafbaarfeit, di


dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak termuat suatu
keterangan dengan yang dimaksud strafbaarfeit tersebut. Biasanya tindak
pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni
kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik termaktub sebagai
berikut :

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena


merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak
pidana)”.29

Istilah tindak pidana dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit,


terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan

28
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakart: Mahakarya Rangkang
Offset, 2012), hal. 18.
29
Sudarsono, Kamus Hukum, cet, ke-5, (Jakarta: P.T.Rineka Cipta, 2007), hal. 92.

17
18

hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, sedangkan kata feit yang
diartikan sebagai tindakan, peristiwa, pelanggaran serta perbuatan.

Sedangkan menurut Ismu Gunadi, bahwa tindak pidana adalah


perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut
disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
pelanggarnya. Sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka
harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan
pidana perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi.30

A. Ridwan Halim menggunakan tindak pidana sebagai istilah delik


(delict) untuk menterjemahkan strafbaarfiet, dan mengartikan-Nya sebagai
suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.31 Dalam hal ini, juga Hazewinkel-Suringga
memberikan suatu rumusan yang bersifat umum mengenai strafbaarfeit
yaitu suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di
dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang
harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang bersifat memaksa yang terdapa di dalamnya.32

Dari sisi filosofisnya ada kesamaan dengan pendapat Moeljatno,


pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam
hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti
halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum,
maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau
pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana
dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atau
delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran

30
Ismu Gunadi, dkk. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, cet,ke-2, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), hal. 39.
31
Ridwan A. Halim, Hukum Pidana dan Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982), hal. 31.
32
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984),
hal. 172.
19

pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu


disampaikan di sini bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis
yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda
“straf” yang dapat diartikan sebagai “hukuman”.33

Substansialnya, pengertian tindak pidana ini tidak jauh beda


dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno “strafbaarfeit”
menggunakan istilah perbuatan pidana. Beliau mendefinisikan perbuatan
pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.34

Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa pidana,


dirumuskan oleh Simons yang berpandangan bahwa strafbaarfeit adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, dimana bersifat
melawan hukum, yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan


“strafbaarfeit” untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfiet, sehingga
timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya
yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukan oleh
Moeljatno.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Asas-asas dalam hukum pidana merupakan sisi lain daripada


pembentukan undang-undang. Sekalipun perkembangan mutakhir dalam
hukum pidana menunjukkan bahwa asas hukum tersebut tidak lagi

33
Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 37.
34
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 71.
20

diterapkan secara kaku tetapi asas hukum tersebut sampai sekarang telah
dipertahankan sebagai asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana
sekalipun dengan berbagai modifikasi dan perkembangan. Dengan
demikian, seseorang hanya dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana
apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang telah dirumuskan dalam
ketentuan undang-undang sebagai tindakan pidana.

Simons berpendapat, untuk adanya suatu tindak pidana harus


dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :35

a. perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)


maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);
b. diancam dengan pidana;
c. melawan hukum;
d. dilakukan dengan kesalahan;
e. oleh orang yang mampu bertanggungjawab;

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Moeljatno pengertian


tindak pidana sebenarnya terdapat tiga unsur-unsur sebagai berikut :36

a. perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang


dan diancam pidana.
b. larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman
pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
c. antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh
karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada
hubungan erat pula. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika
tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

35
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: PuKAP-Indonesia, 2012), hal. 39.
36
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1985),
hal. 34.
21

Moeljatno juga menegaskan tentang unsur-unsur tindak pidana


37
yaitu :

a. Kelakuan dan akibat;


b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif;
e. Unsur melawan hukum yang subjektif;

Dengan adanya asas-asas di dalam hukum pidana, unsur tindak


pidana dapat dan mudah dipahami oleh masyarakat, sebagaimana hukum
pidana bersifat imperatif (perintah) yang bertujuan untuk mencegah
kejahatan serta mewujudkan ketertiban umum. Sehingga, apabila ada yang
melakukan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana.

Selain itu juga mengenai persoalan kemampuan bertanggung jawab


ini pembentuk KUHP berpendirian, bahwa setiap orang dianggap mampu
bertanggung jawab. Konsekuensi dari pendiri ini bahwa masalah
kemampuan bertanggung jawab ini tidak perlu dibuktikan adanya di
pengadilan kecuali apabila terdapat keragu-raguan terhadap unsur
tersebut.38

Berbagai pendapat yang dikemukakan tentang tindak pidana,


bahwa perbuatan tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk,
yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (misdrijven) menunjuk pada
suatu perbuatan yang menurut nilai-nilai kemasyarakatan dianggap sebagai
perbuatan tercela, meskipun tidak diatur dalam ketentuan undang-undang.
Oleh karena itu, disebut dengan rechtedelicten. Sementara pelanggaran
menunjuk pada perbuatan yang oleh masyarakat dianggap bukan sebagai
perbuatan tercela. Diangkatnya sebagai perbuatan pidana karena dibentuk
oleh undang-undang. Untuk itu, hal ini disebut dengan wetsdelicte.

37
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 104.
38
Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: UMM Press, 2006), hal. 5.
22

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam pembahasan hukum pidana, nantinya akan dikemukakan


beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Jenis-jenis tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yakni
tindak pidana materii, dan tindak pidana formiil sebagai berikut :39

1. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan


sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan
tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan
timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat
penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada
perbuatannya.
2. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah
menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya
tindak pidana materil.

B. Pengertian Perjudian

Poerwadarminta berpendapat soal judi atau permainan di dalam


Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah permainan dengan memakai uang
sebagai taruhan. Perjudian ialah mempertaruhkan sejumlah uang atau harta
dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan
sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta
semula.40

39
Amir Ilyas, hal. 29.
40
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi, ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), hal. 419.
23

Dalam Ensiklopedia Indonesia judi diartikan suatu sebagai suatu


kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu
pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga
sebelumnya.

Sedangkan menurut Kartini Kartono judi adalah pertaruhan dengan


sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai,
dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-
peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang
tidak/belum pasti hasilnya.41 Dari berbagai pendapat di atas penulis
memberikan kualifikasi unsur-unsur perjudian sebagai berikut;

1. Permainan
2. Adanya taruhan
3. Untung-untungan

Permainan judi merupakan pertaruhan tentang keputusan perlombaan


atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba
atau bermain itu, demikian juga segala permainan lain-lainnya. Oleh karena
itu, perjudian merupakan bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral
pancasila. Bahkan, membahayakan masyarakat.

Di sisi lain, meskipun tindak pidana perjudian telah ditangkap dan


dihukum, tetapi perjudian masih tetap ada. Hal ini merupakan persoalan yang
rumit dan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk dicarikan
solusi terbaik. Perkembangan perjudian tidak terlepas dari institusi penegak
hukum yang saat ini semakin dipertanyakan, mulai dari kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan.42

41
Haryanto, Indonesia Negeri Judi, (Jakarta: Yayasan Khasanah Ihsan Mandiri, 2003),
hal. 7.
42
Umi Sarah Dhiba, Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Terlibat Kasus Perjudian,
(Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), hal. 1-2.
24

Dali Mutiara menafsirkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP), permainan judi berarti harus diartikan dengan artian yang
luas juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan
kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan, dalam perlombaan
perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam
perlombaan perlombaan itu, misalnya totalisator dan lain-lain.43

1. Jenis-Jenis Perjudian

Ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah nomor. 9 tahun 1981


tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian, perjudian dapat dikategorikan
menjadi tiga sebagaimana berikut ini :

1. Perjudian di kasino yang terdiri dari Roulette, Blackjack, Baccarat,


Creps, Keno, Tombola, Super Ping-pong, Lotto Fair, Satan, Paykyu,
Slot Machine (Jackpot), Ji Si Kie, Big Six Wheel, Chuc a Luck,
Lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar
(Paseran). Pachinko, Poker, Twenty One, Hwa Hwe serta Kiu-Kiu.
2. Perjudian di tempat keramaian yang terdiri dari lempar paser atau
bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar (Paseran), lempar
gelang, lempar uang (Coin), kim, pancingan, menembak sasaran
yang tidak berputar, lempar bola, adu ayam, adu sapi, adu
kerbau,adu domba atau kambing, pacu kuda, karapan sapi, pacu
anjing, kailai, mayong atau macak dan erek-erek.
3. Perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan yang terdiri dari adu
ayam, adu sapi, adu kerbau, pacu kuda, karapan sapi, adu domba
atau kambing.44 Apabila dicermati perjudian yang berkembang di
masyarakat dapat dibedakan berdasarkan alat atau saranya. Yaitu ada
yang menggunakan uang, hewan, kartu, mesin ketangkasan, bola,
video, internet dan sarana lainnya.

43
Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1962), hal. 220.
44
Sofyan Lubis, Tinjauan Hukum tentang Judi, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 230.
25

Tentu tidak lain perilaku yang timbul pada usia anak-anak bukan
kesadaran, tetapi hanya tindakan kenakalan anak-anak melakukan suatu
perbuatan yang mengganggu ketertiban umum. Sehingga, anak yang
melakukan seperti perjudian tidak anggap peristiwa pidana. Melainkan
kenakalan anak-anak yang belum mampu mempertanggungjawabkan secara
individual.

Mengacu kepada pendapat Nashriana, substansi kenakalan anak


berbeda karakteristiknya dengan orang dewasa. Perilaku kenakalan yang
dilakukan oleh anak walaupun kadangkala sama dengan kejahatan yang
dilakukan orang dewasa, tidak berarti sanksi yang diberikan juga sama. Anak
tetaplah anak yang tentu saja masih mengalami proses perkembangan fisik,
mental, psikis, dan sosial menuju kesempurnaan seperti yang dimiliki oleh
dewasa.45

C. Teori tentang Pemidanaan

Agar analisa penelitian ini dapat direalisasikan dengan rinci dan


sistematis dan menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan, maka
dibutuhkan teori-teori yang dapat membantu penulis dalam menganalisis
masalah yang dibahas.

Teori-teori pemidanaan pada umumnya tergolong ke dalam tiga kelompok


teori. Yaitu :

a. Teoriabsolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).

b. Teori relatif atau teori tujuan (iutilitirian/doelthorieen).

c. Teorigabungan (verenigings teorieen/integrative theory).

Dalam teori absolut ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang


telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est).

45
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Depok: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), hal. 75.
26

Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana
terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Sehingga Johannes
Andenaes menegaskan bahwa tujuan utama (primair) dari pidana menurut
teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the clams
of justice)sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah
sekunder.46

Sedangkan dalam teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/


doeltheorieen). Menurut teori ini, berprinsip terhadap penjatuhan pidana,
guna menyelenggarakan tertib masyarakat, yang bertujuan untuk membentuk
suatu prevensi kejahatan atau upaya agar dikemudian hari kejahatan yang
telah dilakukan tidak terulang lagi.47

Wirjono Prodjodikiro menggolongkan prevensi terdapat dua macam.


Yaitu, prevensi khusus atau spesial dan prevensi umum atau general. Dalam
prevensi khusus, sesuatu yang membuat takut ini ditujukan kepada sii
penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum
semua juga takut akan menjalankan kejahatan.48 Dalam hal ini, kedua
prevensi tersebut memberikan eksplorasi sebagai bentuk ancaman akan
dipidana serta penjatuhan pidana terhadap orang yang melakukan kejahatan
sehingga, orang akan mengalami ketakutan dan sadar bahwa perbuatan itu
akan ada hukuman.

Marlina menegaskan bahwa terdapat satu teori. Yaitu, teori gabungan


(verenigings theorien). Yang merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori
absolut dan relatif, yang berusaha untuk menggabungkan pemikiran di dalam
teori absolut dan relatif. Di samping mengakui bahwa penjatuhan pidana
diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku
46
Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT.
Alumni, 2005), hal. 10-11.
47
Djoko Prakoso, Hukum Panitensier Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal.
47.
48
Wirjono Prodjodikiro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, hal. 23.
27

dapat diperbaiki sehingga bisa kembali kemasyarakat, perbaikan si pelaku


(reforming the offender) bertujuan untuk memperbaiki tingkah laku si pelaku
sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan
kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana.49
Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada
upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk
mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan
lagi yang meugikan dan meresahahkan masyarakat.50

Adapun teori gabungan (integrated theories) Adami Chazawi telah


memetakan menjadi dua bagian. Yaitu :51

a. teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu


tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya di pertahankan tata tertib msyarakat.

b. teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,


tetapi penderitaan atas jatuhnya pidana tidak boleh lebih berat dari pada
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

1. Jenis-Jenis Pidana

Hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur


dalam Pasal 10 KUHP yakni :52

1. Pidana Pokok
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan; dan
d. Pidana denda.
49
Marlina, Hukum Panitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hal. 51.
50
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 191-
192.
51
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), hal.
162-163.
52
Amir Ilyas, hal. 107.
28

2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;dan
c. Pengumuman putusan hakim.

2. Pemidanaan Terhadap Anak

Amir Ilyas mengemukakan pemidanaan sebagai suatu tindakan


terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan
terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi
positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini
disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena
telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat
dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.53

Proses pemidanaan terhadap anak di bawah usia meliputi dua


dimensi. Yaitu, diversi dan restorative justice. Proses diversi bertujuan
untuk menghindari efek negatif dari proses pengadilan pidana anak
terhadap jiwa dan perkembangan anak di masa depannya. Tujuan lain
dari diversi adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas
terhadap anak untuk dididik atau dibina oleh orang tuanya atau lembaga-
lembaga kemasyarakatan atau negara.

3. Tujuan Pemidanaan

Profesor Andi Hamzah mengatakan, tujuan pemidanaan adalah


untuk menakut-nakuti orang agar orang tersebut jangan sampai
melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general
preventive) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah

53
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, hal. 95.
29

menjalankan kejahatan agar di kemudian hari orang itu tidak melakukan


lagi kejahatan.54

Tidak jauh berbeda dengan apa yang ditegaskan oleh Sudarto


tentang tujuan pemidanaan terdapat beberapa hal. Di antaranya :

a. untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan


kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti
orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar
di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie).
b. untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang
baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
c. untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
negara, masyarakat, dan penduduk, yaitu :
1) untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna
2) untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak
pidana.55

4. Jenis Pemidanaan Anak

Bunadi Hidayat menegaskan pemidanaan anak, tidak diatur secara


tegas dalam KUHP. Sebelum pasal 45 KUHP dihapus, hakim dapat
memberika putusan secara alternatif menjadi tiga jenis pemidanaan,
yaitu:56

a. dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa pidana.

54
Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1983), hal. 26.
55
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 1986), hal. 83.
56
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Surabaya: PT. Alumni, 2010),
hal. 84.
30

b. diserahkan kepada pemerintah/lembaga sosial untuk dididik sebagai


anak negara tanpa dijatuhi pidana.
c. dipidana terhadap seseorang yan belum dewasa, yang beusia 16
tahun yang dituntut atas perbuatan yang telah dilakukan.

Dari tiga aspek di atas, menunjukkan bahwa perlindungan


hukum terhadap anak sangat dijunjung tinggi baik dari aspek filosofis
maupun yuridis. Sehingga, sebagai bentuk jaminan anak dan hak-
haknya selalu dilindungi oleh undang-undang agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.

D. Tinjauan Umum tentang Anak


1. Pengertian Anak Di Bawah Usia

Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan begitu


juga menurut para pakar. Namun tidak ada keseragaman mengenai
pengertian anak secara normatif. Tetapi secara umum yang dimaksud
anak yaitu orang yang belum belum cukup dewasa, tidak cakap hukum,
atau masih belum melakukan pernikahan.

Menurut Lilik Mulyadi ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak


di mata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ius operatum) lazim
diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under
age), orang yang di bawah usia/keadaan di bawah usia
(minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang
di bawah pengawasan wali (minderjarig ondervoordij).57

Nashriana mendefinisikan, anak adalah generasi penerus bangsa


dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai
subjek pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang

57
Lilik Mulyadi, hal. 1-2.
31

kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia.58 Tidak


banyak perbedaan mengenai anak, karena anak aset bangsa yang harus
dijunjung tinggi oleh orang tua, keluarga, dan negara.

Pengertian tentang anak juga dinyatakan oleh Bunadi Hidayat, anak


merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan
dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas
yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan
nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit pula
dibayangkan.59

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.60
Artinya, anak yang belum cukup usia (belum dewasa), dan tidak cakap
hukum.

Sekalipun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sangat


jelas mengenai pengertian anak, dalam rentetan Pasal 303 ditetapkan
bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia genap 21
(dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.61

Mengenai usia anak dilanjutkan dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana dalam Pasal 45, anak yang belum dewasa apabila belum
berusia 16 (enam belas) tahun. Sedangkan apabila ditinjau batasan usia
anak sebagai korban kejahatan (Bab XIV) adalah apabila berusia kurang
dari 15 (lima belas) tahun.62

Kriteria anak juga termaktub jelas dalam Undang-Undang Nomor


12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam Pasal 1 ayat (8) huruf a

58
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, hal. 1.
59
Bunadi Hidayat, hal. 1.
60
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
61
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal. 130-131.
62
Andi Hamzah, hal. 23.
32

ditentukan bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak


negara, dan anak sipil yang dididik di lapas paling lama berusia 18
(delapan belas) tahun.63

Sebagai bentuk partisipasi anak yang harus dijaga, dan dilindungi.


Karena anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan
hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam
konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas
dinyatakan bahwa negara menjamin hak atas setiap anak atas
kelangsungaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.64

Anak sebagai penentu masa depan arah bangsa dan negara tentu
membutuhkan perhatian khusus agar dapat dijamin hak-haknya, dan
memperoleh perlindungan hukum oleh undang-undang serta memperoleh
keadilan. Dalam hal ini, setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi.65

Untuk itu, jaminan kepastian hukum kepada setiap anak berhak


untuk memperoleh kebebasan sesuai hukum,66 penangkapan, penahanan,
atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan
hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.67Substansialnya, hak-hak anak dapat terjamin dengan adanya
perlindungan hukum terhadap anak.

Perlu digaris bawahi tentang perngertian anak, karena terdapat


perbedaan dari sisi normatif dan yuridisnya. Di antaranya, dalam putusan

63
Pasal 1 ayat (8) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
64
KPAI, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
(Jakarta: Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2017), hal. 46.
65
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
66
Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
67
Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
33

Mahkamah Konstitusi (MK), Nomor: 1/PUUVII/2010, Tanggal 24


Februari 2011, Terhadap Pengadilan Anak Mahkamah Konstitusi (MK)
menyatakan bahwa frase “8 tahun” dalam Pasal 1 angka (1), Pasal 4 ayat
(1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga MK memutuskan batas
minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah
12 tahun.

Sedangkan pembatasan pengertian anak menurut menurut beberapa


ahli yakni sebagai berikut:

Menurut Sugiri yang disebut anak adalah selama di tubuhnya masih


berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi
anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan
pertumbuhan itu selesai, jadi batas usia anak-anak adalah sama dengan
permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita
dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki.68

2. Hak-Hak Anak

Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang
yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir baik dalam aspek
jasmani, rohani, dan sosial, terutama perlindungan hukum agar harkat
dan martabat anak bisa dijamin dari tindakan, ancaman, kekerasan, dan
perlakuan diskriminasi. Karena anak adalah aset penting dalam
kehidupan bangsa dan negara yang diatur di dalam konstitusi.

Oleh karena itu, juga Nashriana mengemukakan anak tetaplah


anak, dengan segala ketidakmandirian yang ada mereka sangatlah
membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang dewasa di

68
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, cet, ke-2, (Bandung: PT.Refika
Aditama, 2010), hal. 32.
34

sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus


69
diimplementasikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka.

Dan terkait kriteria anak adalah anak di bawah usia sebagai anak
yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun, dan
membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga
kategori :70

a. anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU


SPPA);
b. anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1
angka 4 UU SPPA); dan
c. anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka
5 UU SPPA).

Penulis sangat membenarkan bahwa dimensi perlindungan


hukummerupakan manifestasi dari hak-hak anak untuk dipenuhi.
Sebagaimana ditegaskan setiap anak di dalam pasal 3 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berhak :71

a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan


sesuai dengan usianya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
69
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, hal. 13.
70
“Hal-Hal Penting Yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak”. Diakses
pada Senin, 25 August 2014 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-
penting-yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak.
71
“Hal-Hal Penting Yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak”. Diakses
pada Senin, 25 August 2014 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-
penting-yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak dilihat KPAI, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, (Jakarta: Sekretariat Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, 2017), hal. 6-7.
35

f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seusia hidup;


g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang
dipercaya oleh anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Karena dalam kasus tindak pidana perjudian pelaku adalah usia


anak-anak maka hak-hak untuk dijamin oleh undang-undang agar
mendapatkan keadilan serta perlindungan hukum sehingga hak-haknya
bisa terpenuhi dengan selayaknya. Dalam konteks ini, paling tidak pasal
16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:72

a. setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran


penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuahn hukuman yang tidak
manusiawi;
b. setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan; dan
c. penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

72
Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
36

Dheny Wahyudhi, perlindungan hukum terhadap anak merupakan


kewajiban bagi kita semua mengingat anak sebagai generasi penerus
bangsa yang memiliki peranan strategis dalam mewujudkan cita-cita
bangsa. Oleh sebab itu anak harus mendapatkan pembinaan dan
perlindungan sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik. Anak termasuk kelompok yang rentan terhadap terjadinya suatu
tindak pidana baik sebagai korban, saksi, maupun sebagai pelaku dari
suatu tindak pidana.73

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.74

Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat,
negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.75 Dalam hal perlindungan
khusus ini berupa bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam
situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman
terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh
kembangnya.76 Dan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum.77

73
Dheny Wahyudhi, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
Melalui Pendekatan Restorative Justice, dalam Jurnal Ilmu Hukum. 2015, hal. 145.
74
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
75
Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
76
Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
77
Pasal 1 ayat (15 a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
37

Apabila proses persidangan masih tetap diberlakukan, maka


dapatkah anak-anak tersebut mendapat kehidupan layaknya anak lain
yang hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara optimal
seperti anak-anak lainnya yang tentu tidak terbelenggu dengan
persidangan dan mungkin juga akhir hukuman yang jatuh kepada mereka
untuk tinggal dan menetap di lembaga pemasyarakatan.

Dalam Kovensi Hak-Hak Anak, negara-negara pihak harus


menghormati tanggungjawab, hak dan kewajiban orang tua, atau, jika
berlaku, anggota-anggota keluarga besar atau komunitas sebagaimana
ditentukan oleh adat setempat, wali hukum yang sah atau orang lain
yang secara hukum bertanggung jawab atas anak tersebut, untuk
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam pelaksanaan hak-hak
anak yang diakui dalam Konvensi ini, dengan cara yang sesuai dengan
perkembangan kemampuan seorang anak.78

Pendapat di atas memiliki keterkaitan. Bahwa pada UU SPPA,


terjadi perubahan paradigma dibandingkan dengan UU Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Perubahan paradigma dalam penanganan
anak yang berhadapan dengan hukum, didasarkan pada peran, tugas dan
tanggung jawab dari masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara
lainnya yang berkewajiban meningkatkan kesejahteraan anak serta
memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan
hukum.79

Sebagaimana proses pemidanaan dalam pasal 5 butir 2 huruf a dan


b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana mengatakan demikian :80

78
Pasal 5 Konvensi Hak-Hak Anak.
79
Lilik Mulyadi, hal. 30.
80
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana.
38

”Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan


keadilan restoratif. Dan penyidikan dan penuntutan pidana Anak
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini,
persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum.”

Dalam konteks ini, pelaksanaan restorative justice dan diversi


sesuatu hal yang tidak dapat terpisahkan dari aspek yuridis. Sehingga
secara filosofis pelaksanaan undang-undang SPPA ini agar penegak
hukum mulai dari penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim agar lebih
memperhatikan ketentuan batas usia pemidanaan terhadap anak.

E. Batas Usia Pemidanaan dan Penyelesaian Perkara Pidana Anak


1. Batas Usia Pemidanaan Anak

Terkait pembatasan usia anak relatif identik dengan batas


usiapertanggung jawaban pidana (criminal liability/criminal
responsibility) seorang anak yang dapat diajukan ke dalam persidangan
peradilan pidana anak. Artinya, batasanusia sebagai batas usia minimal
dikatagorikan sebagai anak. Akan tetapi, hal ini bukan berarti sebagai
batas usia pertanggung jawaban pidana (criminal liability/criminal
responsibility) seorang anak untuk dapat dilakukan proses peradilan dan
penahanan. Saat ini hukum positif (ius constitutum/ius operatum)
Peradilan Pidana Anak Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan dan
diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012. Kemudian dalam ketentuan
Pasal 108 undang-undang ini, ditentukan bahwa “undang-udang ini mulai
berlaku setelah 2 (dua) tahun, terhitung sejak tanggal diundangkan”,
sehingga sejak tanggal 31 Juli 2014 undang-undang ini efektif telah
berlaku, menggantikan undang-undang sebelumnya (Undang-Undang
39

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) dan diterapkan dalam


peraktek peradilan.81

Dalam konteks pemidanaan anak, ada batasan usia minimal dan


maksimal anak tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak
adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak
dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia
dewasa atau menjadi sorang subyek hukum yang dapat bertanggung
jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-
tindakan hukum yang dilakukan oleh anak tersebut.82

Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak terminologi anak yang berhadapan dengan
hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi
korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak
yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berusia 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana. Anak yang menjadi korban tindak pidana
(Anak Korban) adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang menjadi saksi tindak
pidana (Anak Saksi) adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan atau dialaminya sendiri. (Pasal 1 angka
2, 3, 4 dan 5 UU SPPA).83

Aspek dan dimensi dalam undang-undang ini menentukan bahwa


apabila waktu anak melakukan tindak pidana (tempus delicti) belum

81
Lilik Mulyadi, hal. 2-3
82
Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2000), hal. 24.
83
Lilik Mulyadi, hal. 4.
40

berusia 18 (delapan belas) tahun, kemudian diajukan ke sidang


pengadilan setelah anak tersebut melampaui usia 18 (delapan belas)
tahun dan belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan
ke sidang anak. Kemudian, batasan usia anak yang bisa dikenakan
penahanan adalah telah berusia 14 (empat belas) tahun hingga berusia 18
(delapan belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun keatas.84

Untuk memenuhi hak anak tentu dapat dilindungi dengan adanya


dua aspek yang ditegaskan di bawah ini :

1. Keadilan Restoratif (restorative justice)

Adalah suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat


dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah
serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala
sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi,
dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

2. Diversi

Adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses


peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.85

Lilik Mulyadi mengartikan diversi adalah pengalihan


penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana. Kemudian keadilan atau peradilan berbasis
musyawarah (restorative justice), adalah penyelesaian perkara tindak
pidana anak dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

84
Lilik Mulyadi, hal. 35.
85
Hukum on-line, “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana
Anak”. Diterbitkan pada hari Senin, 25 Agustus 2014.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-
uu-sistem-peradilan-pidana-anak.
41

pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait bersama-bersama mencari


penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6 UU SPPA).
Oleh karena itu, menurut penjelasan UU SPPA disebutkan keadilan
restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi
masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala
sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan
masyarakat dalam mencari sesuatu solusi untuk memperbaiki,
rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasrkan
pembalasan.

Selain Diversi merupakan hal yang wajib diupayakan pada


setiap tingkat pemeriksaan, dan bahkan ketentuan pasal 95 UU
SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau
petugas yang melanggar mengupayakan Diversi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam praktik peradilan,
proses Diversi apabila berhasil ditindak lanjuti dengan hasil
kesepakatan Diversi, kemudian dibuat penetapan ketua Pengadilan
Negeri tentang kesepakatan Diversi, kemudian dicatat pada Register
Kesepakatan Diversi yang ada pada Pengadilan Negeri setempat.

Pemulihan kebijakan pembentuk UU SPPA yang menerapkan


Diversi menurut penulis sebenarnya menimbulkan adanya beberapa
implikasi dan problematika. Pertama, berpotensi melanggar hak
anak yang berhadapan dengan hukum karena pementuk UU SPPA
tidak mengatur secara eksplisit klausula, ”Anak yang telah mengaku
bersalah melakukan tindak pidana/ kejahatan”, sebagai salah satu
syarat penentu atau pertimbangan untuk dilakukannya Diversi.
Kedua, kewajiban pelaksanaan Diversi senyatanya melanggar hak
anak atas asas praduga tidak bersalah (asas presumption of
innocence). Ketiga, kewajiban pelaksanaan Diversi melanggar hak
42

Anak atas peradilan yng adil dan tidak memihak (fair tial), Keempat,
Diversi hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan
diancam dengan pidana penjara dibawah (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana sebagaimana ditentukan Pasal
7 ayat (2) huruf a dan b UU SPPA.86

F. Potret Pertanggungjawaban Pidana Anak


1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

JeffersonB. Pangemanan mendefinisikan pertanggungjawaban


pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak
pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat
untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.87

Sedangkan menurut Amir Ilyas pertanggungjawaban pidana


dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal
responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertang
gung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.88

Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan tindak pidana


yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan
dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang
dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan
tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan
pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang
dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab
maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

86
Lilik Mulyadi, hal. 39-40.
87
Jefferson B. Pangemanan, Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia, dalam Jurnal Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015, hal. 104-105.
88
Amir Ilyas, hal. 73.
43

Tentang pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut


beberapa pandangan, di antaranya, menurut Pompe kemampuan
bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:89

1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang


memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia
menentukan perbuatannya.
2. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya;
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.

Sedangkan syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan


menurut G.A. Van Hamel adalah sebagai berikut:90

1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau


menginsyafi nilai dari perbuatannya;
2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tatacara
kemayarakatan adalah dilarang; dan
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan


petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-
unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut
terjadi suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan
dipertanggungjawabpidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila
tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilahat dari sudut
kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu
bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawab-pidanakan.

Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana menurut Amir Ilyas


terbagi ke dalam beberapa aspek:
89
Amir Ilyas, hal. 74.
90
Amir Ilyas, hal. 74.
44

1. Mampu bertanggung jawab


2. Kesalahan
3. Tidak ada alasan pemaaf

Paling tidak, konsep pertanggungjawaban pidana anak ini dapat


dipahami dengan baik oleh masyarakat, meskipun menjurus kepada
aspek pemidanaan. Namun, yang dipertimbangkan adalah apakah anak
tersebut mampu atau tidak, sebagaimana yang dikedepankan dalam
sistem peradilan pidana anak adalah bentuk perlindungannya kepada
anak yang berstatus pelaku kejahatan.

Dalam kajian teori pemidanaan merumuskan arti normatifnya,


meskipun yang melakukan perbuatan tindak pidana (atau melakukan
kejahatan) adalah anak-anak, maka dimensi pertanggungjawaban pidana
menjadikan alasan hukum kepada istitusi penegak hukum, agar dapat
dilindungi sesuai regulasi yang ada.
BAB III

TINDAK PIDANA PERJUDIAN OLEH ANAK DALAM

HUKUM PIDANA ISLAM

A. Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam


1. Pengertian Perjudian

Perjudian secara normatif permainan untuk mendapatkan


keuntungan yang dapat dikategorikan perbuatan tindak pidana. Dalam hal
ini, dikenal istilah maisir ataupun perjudian. Sedangkan maisir adalah
perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau unsur untung-
untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, disertai
kesepakatan bahwa pihak yang menang akan mendapat
bayaran/keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung
atau tidak langsung.91

Secara lughatan judi/al-maisiru adalah berasal dari kata al-yusru


(‫ )انيسش‬yang memiliki berbagai macam makna di antaranya ialah: lunak,
takluk, keharusan, kemudahan, gampang, kaya, membagi-bagi, dan lain-
lain. Karena judi merupakan sumber pendapatan yang diperoleh tanpa
susah payah. Judi berasal dari kata al-yasaaru yang berarti berada, kaya
atau tidak kekurangan. Karena judi dapat menjadi sebab bagi kekayaan
seseorang.92

Al-Azhari juga berpendapat al-maisir adalah unta atau kambing


yang disembelih atau dijadikan taruhan untuk berjudi oleh orang-orang
Arab jahiliyyah. Sebab binatan yang disembelih itu dibadi dalam

91
Pasal 1 ayat (22) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
92
Haryanto, Indonesia Negeri Judi, (Jakarta: Yayasan Khasanah Ihsan Mandiri, 2003),
hal. 60-61.

45
46

beberapa bagian. Sedangkan orang yang mengurus pembagian


sembelihan tersebut disebut al-yaasiru.

Mengenai bagi pelaku judi (maisir) juga ditegaskan oleh firman


Allah swt dalam Q.s Al-Baqarah : 219:

َ‫بط َٔإِ ْث ًُُٓ ًَب أَ ْكجَ ُش ِي ٍْ ََ ْف ِؼ ِٓ ًَب َٔيَ ْسئَهُْٕ ََك‬


ِ َُّ‫ك َػ ٍِ ا ْن َخ ًْ ِش َٔ ْان ًَ ْي ِس ِش قُمْ فِ ْي ِٓ ًَب إِ ْث ٌى َك ِج ْي ٌش َٔ َيَُفِ ُغ نِه‬
َ ََ ُْٕ‫يَ ْسئَه‬
ٗ‫صه‬

ِ َ‫ك يُجَيٍُِّ هللاُ نَ ُك ُى ْاْلَي‬


ٌَ ُْٔ‫ذ نَ َؼهَّ ُك ْى رَزَفَ َّكش‬ َ ِ‫َيب َرايُ ُْفِقُْٕ ٌَ قُمْ ْان َؼ ْف َٕقهٗ َك َزان‬

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang


khamar dan judi. Kaakanlah, “pada keduanya terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bai manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada
manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang
(harus) mereka infakkan. Katakanlah, “kelebihan (dari apa yang
diperukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
agar kamu memikirkan”.

Dilanjutkan juga oleh firman Allah swt yang membahas soal judi
(maisir) dalam Q.s. Al-Maidah (7): 90-91

‫صبةُ َٔ ْاْلَ ْصنَ ُى ِسجْ ٌض ِّي ٍْ َػ ًَ ِم ان َّش ْيطَ ٍِ فَبجْ زَُِجُْٕ ُِ نَ َؼهَّ ُك ْى‬ َ َْ َ‫يَأَيَُّٓب انَّ ِز ْيٍَ أ َيُُْٕ إََِّ ًَب ْان َخ ًْ ُش َٔ ْان ًَ ْي ِس ُش َٔ ْاْل‬
ِ‫ص ُّذ ُك ْى ػ ٍَْ ِر ْك ِش هللا‬ ُ َ‫ضب َء فِٗ ْان َخ ًْ ِش َٔ ْان ًَ ْي ِس ِش َٔي‬
َ ‫إََِّ ًَب ي ُِش ْي ُذ ان َّش ْيطٍَُ أَ ٌْ يُْٕ قِ َغ ثَ ْيَُ ُك ُى ْان َؼ َذ َٔحَ َٔ ْانجَ ْغ‬, ٌَ ُْٕ‫رُ ْفهِح‬

ٌَ َُْٕٓ‫صهَٕ ِح صهٗ فََٓمْ أَ َْزُ ْى ُّي ُْز‬


َّ ‫َٔ َػ ٍِ ان‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)


khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan pemusuhan
dan menghalangi kamu dari menginga Allah dan sambahyang; Maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
47

Kata maisir banyak ditemukan dalam al-Qur‟an sebanyak 3 kali


yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maidah ayat 90 dan
91. Dari kandungan surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maidah
ayat 90 dan 91 dapat diketahui dan dipahami bahwa maisir atau judi
merupakan perbuatan keji yang diharamkan oleh Islam.

Berdasarkan ketiga ayat tersebut, ulama fikih sepakat bahwa al-


maisir itu haram hukumnya. Hanya mereka berlainan pendapat mengenai
ayat yang mengharamkannya. Abu Bakar al-Jashshash berpendapat
bahwa keharaman al-maisir dipahami dari surat Al-Baqarah ayat 219.
Menurutnya, karena dalam ayat ini al-maisir digolongkan sebagai salah
satu atas dosa besar (itsm kabir) dan setiap dosa besar itu haram
hukumnya. Dua ayat lainnya dalam surat Al-Maidah menjelaskan bahwa
al-maisir adalah perbuatan kotor yang hanya dilakukan oleh syetan dan
menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti permusuhan, saling
membenci serta kelalaian dari mengingat kepada Allah SWT dan ibadah
shalat.

Selain itu, juga ada beberapa pendapat ulama yang mengatakan


soal hukum al-maisir sebagaimana berikut ini :93

Menurut al-Qurthubi surat al-Baqarah merupakan tahap awal


pelarangannya al-maisir sebagai dosa besar dan mengandung beberapa
manfaat bagi manusia. Sedangkan jumhur ulama dari madzhab Hanafi,
Maliki, Syafi‟I, dan Hambali berpendapat bahwa unsur penting dari al-
maisir itu adalah “taruhan”. Dalam pandangan mereka, adanya taruhan
ini merupakan ilat (sebab) bagi haramnya al-maisir. Oleh sebab itu,
setiap permainan yang mengandung unsur taruhan, seperti permainan
dadu, pacuan kuda dan lotre adalah al-maisir dan hukum melakukannnya
adalah haram.

93
Haryanto, hal. 63.
48

Senada dengan apa yang ditegaskan oleh Yusuf Al-Qardlawi


dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram Fil-Islam”, yang mendefinisikan
judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan. Definisi maisir
/judi menurut pengarang Al-Munjid, maisir/judi ialah setiap permainan
yang disyaratkan padanya bahwa yang menang akan
mendapatkan/mengambil sesuatu dari yang kalah baik berupa uang atau
yang lainnya.

Apabila dikorelasikan sangat jelas bahwa perjudian atau maisir


merupakan dimensi permainan yang memperebutkan uang. Dalam
bahasa Arab judi bernama “Qimar”. Arti Qimar, menurut Aunur Rahim
Faqih adalah permainan juga taruhannya apa saja, boleh uang dan boleh
barang-barang yang menang menerima dari yang kalah.94

Menurut Hasbi ash-Shiddeqy, judi adalah dengan segala bentuk


permainan yang ada wujud kalah-menangya; pihak yang kalah
memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan
kepada pihak yang menang. Syekh Muhammad Rasyid Ridha
menyatakan maisir itu suatu permainan dalam mencari keuntungan tanpa
harus berpikir dan bekerja keras. Menurut at-Tabarsi, salah satu ahli
tafsir Syiah Imamiah abad ke-6 Hijriah, maisir adalah permainan yang
pemenangnya mendapatkan sejumlah uang atau barang tanpa usaha yang
wajar dan dapat membuat orang lain jatuh ke lembah kemiskinan.
Permainan anak-anak pun jika ada unsur taruhannya, termasuk dalam
kategori ini.95

Sedangkan dalam Islam judi itu dinamai maisir, yakni tiap-tiap


sesuatu yang ada di dalamnya pertaruhan, maka itu adalah judi. Jadi judi
dalam agama Islam bukan saja terletak dalam permainan tetapi juga

94
Zul Aqli, Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar‟iyah
Lhokseumawe, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 2, hal. 150.
95
Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2004), hal. 279-298.
49

terletak dalam sekalian perbuatan yang di dalamnya ada pertaruhan.


Pertaruhan itu bukan saja uang, tetapi juga boleh rumah, mobil, tanah,
sawah, padi, gandum, anak, isteri dan sebagainya.96

B. Tindak Pidana Perjudian Oleh Anak


1. Pengertian Tindak Pidana (‫)الجناية‬

Menurut profesor Topo Santoso, berpendapat bahwa hukum Islam


terdapat dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana ini yaitu
jinayah (‫ )انجُبيخ‬dan jarimah (‫)انجشيًخ‬. Dapat dikatakan bahwa kata
“jinayah” yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah
“jarimah”. Ia didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang
diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang
ditentukan-Nya.97

Tindak pidana (jarimah) sebagaimana yang telah dikemukakan di


atas adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang diancam
dengan hukuman had, qisas, diyat, dan ta‟zir. Sedangkan pengertian
hukuman menurut Abdul Qadir Audah adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat karena adanya pelanggaran
atas ketentuan-ketentuan syara‟.98

Terdapat kesamaan tafsir tentang tindak pidana dalam hukum


pidana Islam, namun perbuatan pidananya secara substantif (maqasidul
uqubah) jelas dikenakan sanksi pidana. Oleh sebab itu, setiap orang
dilarang keras melakukan tindak pidana kejahatan sebagaimana dalam
hukum syari‟ah (‫ )يقبصذانششيؼخ‬termaktub ketentuan hukumnya yang
bersumber dari al-Qur‟an dan hadist.

96
Zul Aqli, hal. 151.
97
Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2016), hal. 108.
98
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islami, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi),
hal. 609.
50

Sedangkan menurut Zainudin Ali, hukum pidana Islam adalah


terjemahan dari kata fiqih jinayah (‫)انفقّ انجُبيخ‬. al-Fiqh wal Jinayah adalah
segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal
yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dlil hukum yang
terperinci dari al-Qur‟an dan Hadits. Tindakan kriminal dimaksud, adalah
tindakan-tindakan kejahatan-kejahatan yang mengganggu ketentraman
umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang
bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits.99

Pendapat tentang tindak pidana (al-jarimah) tersebut merupakan


perbuatan melawan hukum yang terdapat sanksi hukum (maqasidul
uqubah) yang mengatur, sebagaimana perbuatan judi dikategorikan
sebagai tindak pidana atau jarimah yang jelas-jelas (hukum Islam)
dilarang oleh agama Islam, karena perbuatan itu mengganggu ketertiban
umum masyarakat, terutama ummat Islam.

Secara istilah, Hanafi berpendapat bahwa jinayah adalah


perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan itu merugikan jiwa
atau harta benda ataupun yang lainnya.100 Adapun kebanyakan
menggunakan kata-kata jinayah hanya merupakan untuk perbuatan yang
mengenai jiwa atau anggota badan, serta diartikan pula sebagai
pelanggaran yang dibuat manusia yang berkehendak kepada pembalasan,
atau hukuman yang setimpal di dunia dan di akhirat yang mendapat
hukuman dari Allah swt.

Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah janayatuntuk


kejahatan. Janayat adalah suatu kata dalam bahasa Arab yang berarti
setiap kelakuan buruk yang dilakukan seseorang. Kata ini adalah suatu

99
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam,cet, ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 1.
100
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 27.
51

infinitif yang digunakan sebagai kata benda dan berasal dari idiom yang
berarti “seseorang telah melakukan perbuatan jahat pada orang lain”.101

Di berbagai literatur hukum Islam seperti dalam kajian fiqih


jinayah terdapat tiga macam jarimah, yaitu sebagai berikut. Pertama,
jarimah qishash yang terdiri dari jarimah pembunuhan dan jarimah
penganiayaan. Kedua, jarimah hudud yang terdiri atas jarimah zina,
jarimah qadzf, jarimah syurb al-khamr, jarimah al-baghyu, jarimah al-
riddah, jarimah al-sariqah, dan jarimah al-hirabah. Ketiga, jarimah ta‟zir
yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh al-
Qur‟an dan Hadist. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya, ditentukan
oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan tidak
terbatas, sesuai dengan kejahatan, yang dilakkan akibat godaan setan di
dalam diri manusia.102

Dalam konteks pendapat hukum tersebut menunjukkan kategori


tindak pidana perjudian merupakan jenis jarimah ta‟zir, sehingga
hukumannya adalah hukuman yang belum ditentukan oleh syara‟,
melainkan diserahkan kepada Ulil Amri, baik penentuannya maupun
pelaksanaannya. Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah
ta‟zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya.

Pada tindak pidana ta‟zir tidak ada pembedaan hukuman antara


pembuat langsung dengan pembuat tidak langsung sebab keduanya
diancam dengan pidana yang sama yaitu ta‟zir. Dalam hal ini, hakim
memiliki kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta‟zir,
sehingga tidak perlu diadakan pemisahana antara hukuman bagi pembuat
langsung dan pembuat tidak langsung dalam jenis tindak pidana ini.103

101
Topo Santoso, hal. 109.
102
M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 3-4.
103
Topo Santoso, hal. 129.
52

Menurut Sayid Sabiq, menegaskan tentang suatu batasan


mengenai tindak pidana (al-jinayah), yaitu :104

ِ ‫ ُكمُّ فِ ْؼ ٍم ُي َحش ٍَّو َٔ ْانفِ ْؼ ُم ْان ًُ َحش َِّو ُكمُّ فِ ْؼ ٍم َيظَ َشُِ ان َّش ِش‬: ‫ع‬
ُُّْ ‫ع َٔ َيَُ َغ ِي‬ ْ ِ‫َٔ ْان ًُ َشا ُد ث‬
ِ ْ‫ف ان َّشش‬ ِ ْ‫بان ِخَُبيَ ِخ فِي ػُش‬
‫ض اَ ِٔ ْان ًَب ِل‬
ِ ْ‫ظ اَ ِٔ ْانفِ ْؼ ِم اَ ِٔ ْان ِؼش‬
ِ ‫ض َش ٍس َٔاقِ ِغ َػهَٗ ان ِّذ ْي ٍِ اَ ِٔانَُّ ْف‬
َ ٍْ ‫نِ ًَب فِ ْي ِّ ِي‬

Artinya: “Yang dimaksud dengan jinayat menurut istilah syara‟


adalah setiap perbuatan yang diharamkan, dan perbuatan yang diharamkan
itu adalah setiap perbuatan yang diancam dan dicegah oleh syara‟, karena
perbuatan dapat mendatangkan kemudharatan atau kerusakan pad agama,
jiwa, akal, kehormatan, dan harta”.

2. Macam-Macam Jarimah dalam Hukum Pidana Islam

Para ahli hukum Islam mengelompokkan ruang lingkup tindak


pidana (al-jarimah) ke dalam tiga jenis hukuman :105

a. Jarimah Hudud
Secara etimologis, hudud yang merupakan benuk jama‟ dari kata had
yang berarti ‫(ان ًَ ُْ ُغ‬larangan, pencegaha). Adapun secara terminologis,
al-Jurjani memberikan arti sebagai sanksi yang telah ditentukan dan
yang wajib dilaksanakan secara haq karena Allah swt.
b. Jarimah Qisas dan Diyat
Qisas menurut bahasa adalah memotong, sedangkan menurut istilah
adalah jarimah yang dijatuhi hukuman setimpal dengan
perbuatannya. Sedangkan Diyat adalah hukuman pokok bagi
pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja.
c. Jarimah Ta‟zir
Ta‟zir adalah peraturan-peraturan larangan yang perbuatan pidana
dan ancamannya tidak secara tegas disebutkan dalam al-Qur‟an,
akan tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim.

104
Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: al-Maarif, 1990), hal. 43.
105
M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, hal. 13-14.
53

Ada juga pendapat mengenai jarimah ta‟zir dalam pengertian


istilah hukum Islam adalah adalah hukuman yang bersifat mendidik yang
tidak mengharuskan pelakunya dikenai had dan tidak pula harus
membayar kaffarat atau diyat. Tindak pidana yang dikelompokkan atau
yang menjadi objek pembahasan ta‟zir adalah tindak pidana ringan
seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, pencurian yang
nilainya tidak sampai nishab had.

Jenis hukuman yang termasuk jarimah ta‟zir antara lain hukuman


penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi, teguran dan jenis hukuman
lain yang dipandang sesuai pelanggaran dari pelakunya. Dalam hukum
Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta‟zir diserahkan
sepenuhnya kepada kesepakatan manusia.106

Dari berbagai macam hukuman tersebut, hukum pidana Islam


mengatur soal perjudian sebagai kejahatan yang mengganggu ketertiban
umum dapat dikategorikan tindak pidana yang merupakan jenis hukuman
jarimah ta‟zir, karena itu baik dalam hukum pidana positif maupun
hukum pidana Islam tidak jauh beda mengenai hukumannya.

Mengenai jarimah ta‟zir adalah hukuman yang telah ditentukan


dalam qanun yang bentuknya bersifat pilihan dan besarannya dalam batas
tertinggi dan/atau terendah.107 Untuk itu, apabila jarimah ta‟zir
dikorelasikan dengan penelitian ini sangat jelas bahwa perbuatan
perjudian tersebut dapat dikenakan hukuman ta‟zir tambahan.

Sebagaimana hukuman dimaksud pada pasal 4 ayat (3) huruf b


terdiri dari :108

a. Uqubah ta‟zir utama; dan

106
Zaid Alfauza Marpaung, Pemahaman Hukum Pidana Islam, (Medan: Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sumatera Utara, 2016), hal. 6.
107
Pasal 1 ayat (19) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
108
Pasal 4 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
54

b. Uqubah ta‟zir tambahan.

Uqubah ta‟zir utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a


terdiri dari :109

a. cambuk;
b. denda;
c. penjara; dan
d. restitusi.

Uqubah ta‟zir tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


huruf b terdiri dari :110

a. pembinaan oleh negara;


b. restitusi oleh orang tua/wali;
c. pengembalian kepada orang tua/wali;
d. pemutusan perkawinan;
e. pencabutan izin dan pencabutan hak;
f. perampasan barang-barang tertentu; dan
g. kerja sosial.

3. Unsur-Unsur Kejahatan dalam Hukum Pidana Islam

Secara garis besar dapat dibagi dua ; yaitu: unsur-unsur dasar


(umum) dan unsur-unsur khusus. Unsur-unsur dasar mencakup :111

1. al-Rukn al-Syar‟i atau unsur hukum (legal element) yaitu ketentuan


yang jelas untuk melarang suatu perbuatan yang merupakan
kejahatan dan menentukan hukuman atasnya (ketentuan-ketentuan
syariat).

109
Pasal 4 ayat (4) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
110
Pasal 4 ayat (5) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
111
Topo Santoso, hal. 111.
55

2. al-Rukn al-Madi atau unsur materiil (essential element) yaitu berupa


perbuatan, baik perbuatan aktif (komisi) maupun perbuatan
pasif/pengabaian (omisi).
3. al-Rukn al-Arabi atau unsur budaya/unsur maril (cultural element)
yang meliputi kedewasaan, dapat bertanggung jawab dan dapat
dipersalahkan pada diri si pelaku.

Ketiga unsur khusus dalam hukum pidana Islam tersebut bahwa


setiap perbuatan kriminal, termasuk perjudian sebagai perbuatan tindak
pidana dapat dikenakan hukuman. Namun, secara garis besar apabila
pelakunya anak-anak, dan belum bisa dikatakan dewasa, maka dianggap
tidak mampu mempertanggung jawabkan, sehingga hukumannya berupa
ta‟zir tambahan yaitu pembinaan oleh negara serta dikembalikan kepada
orang tuanya.

4. Penggolongan Hukuman dalam Hukum Pidana Islam

Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan. Berikut


beberapa penggolongan hukuman tersebut.112

1. Penggolongan Pertama

Ini didasarkan atas pertalian satu hukuman dengan hukuman


laiinnya, dalam hal ini ada empat jenis hukuman :

a. Hukuman pokok („uqubah ashliah), misalnya hukuman qisas


untuk tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan.
b. Hukuman pengganti („uqubah badaliah), merupakan pengganti
hukuman pokok yang tidak dapat dilaksanakan karena alasan
yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman
qisas, atau hukuman ta‟zir sebagai pengganti hukuman hadd
atau qisas yang tidak dapat dilaksanakan. Sebenarnya hukuman
diyat itu sendiri adalah hukuman pokok untuk pembunuhan semi

112
Topo Santoso, hal. 148-150.
56

sengaja (menyerupai sengaja), demikian pula hukuman ta‟zir


merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana ta‟zir.
c. Hukuman tambahan („uqubat taba‟iah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan
tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi pelaku
pembunuhan terhadap keluarganya sebagai tambahan hukuman
qisas, atau hukuman pencabutan haq sebagai saksi bagi orang
yang melakukan tindak pidana qadzaf (memfitnah orang lain
berzina).
d. Hukuman pelengkap („uqubah takmillah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan
tersendiri dari hakim.
2. Penggolongan Kedua

Penggolongan ini ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam


menentukan berat-ringannya hukuman. Dalam hal ini, ada dua
macam hukuman, yaitu :

a. Hukuman hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas


tertinggi atau batas terendahnya, seperti hukuman cambuk
sebagai hukuman had (80 atau 100 kali).
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendah,
hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara
kedua batas itu, seperti hukuman penjara atau cambuk pada
tindak pidana ta‟zir.
3. Penggolongan Ketiga

Penggolongan ini dintinjau dari segi besarnya hukuman yang


telah ditentukan, yaitu :

a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya, di mana


hakim harus melaksanakan tanpa dikurangi atau ditambah, atau
57

diganti dengan hukuman lain. Hukuman ini disebut hukuman


keharusan („uqubat lazimah).
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari
sekumpulan hukuman yang ditetapkan oleh syari‟at agar bisa
disesuaikan dengan keadaan pelaku dan perbuatannya.
Hukuman ini disebut hukuman pilihan („uqubat mukhayyarah).
4. Penggolongan Keempat

Penggolongan keempat ditinjau dari segi empat dilakukannya


hukuman, yaitu :

a. Hukuman badan.
b. Hukuman jiwa.
c. Hukuman harta.
5. Penggolongan Kelima

Penggolongan ini merupakan yang terpenting dan yang


nantinya akan dibahas lebih jauh. Penggolongan ini ditinjau dari segi
jenis tindak pidana yang diberi ancaman hukuman, yaitu :

a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas tindak


pidana hudud.
b. Hukuman qisas-diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas
tindak pidana qisas-diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk
sebagian tindak pidana qisas-diyat dan beberapa tindak pidana
ta‟zir.
d. Hukuman ta‟zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk tindak
pidana ta‟zir.

C. Teori Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam

Berkaitan dengan teori pemidanaan ini dikenal adanya beberapa


tujuan pemidanaan, yaitu: retribution (pembalasan), deference (pencegahan),
58

dan reformation (perbaikan). Banyak penulis menyatakan bahwa satu-satunya


tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam adalah untuk pembalasan
semata. Pada kenyataannya hal tersebut tidak benar. Dalam hukum pidana
Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga
memiliki fungsi pencegahan (umum dan khusus) serta perbaikan. Dalam
kenyataannya juga sangat melindungi masyarakat dari tindakan jahat serta
pelanggaran hukum (fungsi perlindungan).113

Berbeda dengan teori retributif dalam sistem hukum pidana lain,


dalam hukum pidana Islam dikenal afwun (pemaafan). Dalam qisas meskipun
seseorang berhak menuntut pembalasan, tetapi jika dia mau memaafkan, hal
itu diperkenalkan. Difirmankan dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 178-179:114

ٍْ ًَ َ‫ْلَثٗ ثِ ْبْلُ َْثٗ ج ف‬ ْ ُ ‫صبص فِٗ ْانقَ ْزهَٗصهٗاَ ْنحُشُّ ث ْبن ُح ِّش َٔ ْان َؼ ْج ُذ ث ْبن َؼ ْج ِذ َٔ ْا‬
ِ ِ ِ َ ِ‫ت َػهَ ْي ُك ُى ْانق‬ َ ِ‫يَأَيَُّٓب انَّ ِز ْيٍَ ءا َيُُٕا ُكز‬
ٍِ ًَ َ‫ْف ِي ٍْ َسثِّ ُك ْى َٔ َسحْ ًَخٌ قهٗ ف‬ ٌ ‫ك ر َْخفِي‬ َ ِ‫ف َٔأَدَا ٌء إِنَ ْي ِّ ثِإِحْ َسب ٌٍ قهٗ رن‬ ْ ِ‫ع ث‬
ِ ُْٔ‫بان ًَ ْؼش‬ ٌ ‫ُػفِ َي نَُّ ِي ٍْ أَ ِخ ْي ِّ َش ْي ٌئ فَبرِّجَب‬

‫ك فَهَُّ َػ َزاةٌ أَنِ ْي ٌى‬


َ ِ‫ا ْػزَذٖ ثَ ْؼ َذ َران‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka
brangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dan saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu
maka baginya siksa yang sangat pedih”.

Firman Allah di atas sangat jelas bahwa bagi seseorang melakukan


tindak pidana akan diancam hukuman, dan bagi yang memberikan maaf bisa
dengan membayar diyat. Oleh karena itu, karena pelakunya adalah anak-anak
yang belum cakap hukum, tidak cukup usia, dan faktor persoalan mental,
113
Topo Santoso, hal. 150.
114
Topo Santoso, hal. 151.
59

maka anak ini diberikan perlinduungan hukum terhadap (hak-hak)


kepentingan-kepentingan anak.

Meskipun dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum


Jinayat, menegaskan pada pasal 18 :115

“Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Maisir dengan


nilai taruhan dan/atau keuntungan paling banyak 2 (dua) gram emas
murni, diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling banyak 12 (dua
belas) kali atau denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram
emas murni atau penjara paling lama 12 (dua belas) bulan.”

Ancaman hukuman tersebut sesuai dengan nilai tarurah yang ada pada
pasal 19 yang mengatakan demikian :116

“Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Maisir dengan


nilai taruhan dan/atau keuntungan lebih dari 2 (dua) gram emas murni,
diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling banyak 30 (tiga puluh)
kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 30 (tiga puluh) bulan.”

Begitu juga yang menyediakan fasilitas termaktub di pada pasal 20


sebagai berikut :117

“Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan


fasilitas, atau membiayai Jarimah Maisir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk
paling banyak 45 (empat puluh lima) kali dan/atau denda paling
banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni dan/atau
penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan.”

115
Pasal 18 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
116
Pasal 19 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
117
Pasal 20 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
60

Sedangkan setiap orang yang sengaja melakukan tindak pidana


perjudian terletak pada pasal 21 sebagai berikut :118

“Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Maisir


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19, dengan
mengikutsertakan anak-anak diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk
paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak
450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling
lama 45 (empat puluh lima) bulan.”

Menanggapi persoalan hukuman atau uqubat di atas, beberapa ahli


berpendapat bahwa apa yang sesungguhnya dibutuhkan bagi pelanggar
hukum adalah “pengobatan” (treatment) ketimbang hukuman yang berat.
Artinya, hukuman yang diberikan kepada pelaku kriminal itu semestinya
tidak bersifat penyiksaan akan tetapi sekedar mengobati “sakit” yang ia
derita. Di sisi lain, para ahli dengan pandangan yang berbeda memandang
bahwa hukuman yang berat itu diperlukan untuk mencegah meningkatnya
angka kriminalitas yang cenderung tinggi.119

Dari berbagai pembahasan di atas, maka sangat wajar jika dalam


semua tradisi hukum pidana dan hukum pidana Islam, perhatian yang paling
utama adalah pada “bentuk hukuman atau „uqubat” yang akan dibebankan
kepada setiap pelanggar hukum. Dengan demikian, studi yang dilakukan
terhadap teori hukuman/‟uqubat ini sesungguhnya merupakan langkah
esensial untuk memahami suatu sistem hukum pidana tertentu termasuk
hukum pidana Islam.

118
Pasal 21 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
119
Siti Jahroh, Reaktualisasi Teori Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam, dalam Jurnal
Hukum Islam (JHI), Volume 9, Nomor 2, Desember 2011, hal, 7.
61

D. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam

Pertanggungjawaban pidana dalam syari‟at Islam adalah pembebanan


seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Hal ini sejalan dengan pendapat
Roescoe Pound yang mengartikan pertanggungjawaban pidana adalah sebagai
suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari
seseorang yang telah dirugikan.

Dalam syari‟at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada


(3) tiga hal :120

1. Adanya perbuatan yang dilarang


2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri
3. Pelaku mengetahui akibat perbuatan itu.

Pertanggungjawaban pidana atau al-mas‟uliyyah al-jinaiyyah hanya


ada jika ketiga hal tersebut di atas ada di dalam pribadi pembuat delik.
Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana hanyalah orang dewasa, mempunyai akal
pikirannya sehat, serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak, maka
tidak ada pertanggungjawaban pidana kepadanya.

Oleh karena itu, tidak ada pertanggungjawaban bagi anak kecil, orang
gila, orang dungu, orang hilang kemauannya, dan orang-orang yang dipaksa
atau terpaksa, jadi pelakunya harus orang yang mukallaf, tidak gila dan tidak
ada unsur tetapi, karena badan hukum tidak membuat secara langsung tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana dikenakan kepada orang yang mewakili
atau yang bertindak atas nama badan hukum tersebut.

Di dalam literatur di atas sangat jelas mengenai perbedaan


pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana

120
Zaid Alfauza Marpaung, hal. 40-41.
62

positif, sebagaimana kedua pendapat tersebut tidak jauh beda, yakni yang
dikedepankan adalah pertanggungjawaban pidana kepada anak yang
melakukan perbuatan kejahatan. Apabila tidak mampu, maka tidak dapat
dikategorikan sebagai pelaku kriminal.
BAB IV

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN TINGGI MEDAN DALAM


PERKARA PERJUDIAN OLEH ANAK
NOMOR:10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN

A. Deskripsi Duduk Perkara

Sebelum penulis menguraikan mengenai penerapan hukum pidana


materiil dalam perkara tindak pidana perjudian putusan Nomor:
10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN, maka perlu diketahui terlebih dahulu
posisi kasus dan penjatuhan putusan oleh majelis hakim. Dalam hal ini,
untuk menghindari penambahan dan pengurangan di dalam kronologis
tersebut. Salinan yang dikutip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Identitas Terdakwa

Dalam kasus tindak perjudian yang dilakukan oleh anak ini


didasarkan kepada putusan Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan
mengadili perkara-perkara pidana dalam pengadilan tingkat banding, telah
menjatuhkan putusan seperti tersebut di bawah ini dalam perkara Anak :121

Nama lengkap : Krisman Zebua Alias Kris.

Tempat lahir : Hilimbowo.

Usia/tanggal lahir : 17 Tahun / 19 Maret 1999.

Jenis kelamin : Laki-laki.

Kebangsaan : Indonesia.

121
Putusan Pengadilan Tinggi Medan putusan Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN,
(Medan: Pengadilan Tinggi, 2017), hal. 1.

63
64

Tempat tinggal : Jalan Nias Tengah Km. 09 Dusun V Desa


Madula Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli.

Agama : Kristen Protestan.

Pekerjaan : Ikut Orang Tua.

2. Posisi Kasus

Dalam kronologisnya adalah anak sebagai pelaku tindak pidana


perjudian yang dilakukan oleh 1 (satu) orang terdakwa atas nama: 1.
KRISMAN ZEBUA Alias KRIS. Pada hari Senin tanggal 03 Oktober
2016 sekira pukul 00.30 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam
bulan Oktober tahun 2016 bertempat di Desa Miga Kecamatan
Gunungsitoli Kota Gunungsitoli tepatnya di ruko lantai 2 (dua) milik saksi
NELIMA ZEGA atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk
daerah hukum Pengadilan Negeri Gunungsitoli “tanpa mendapat izin
sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta
melakukan perbuatan dengan sengaja menawarkan atau memberi
kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan
sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah
untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya
sesuatu tata cara” perbuatan tersebut dilakukan oleh anak.

Bermula pada hari Minggu tanggal 02 Oktober 2016 sekira pukul


21.30 Wib, anak an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS dan saksi FIRMAN
ZEBUA Alias AGUS (dilakukan penuntutan dalam berkas perkara
tersendiri) mendatangi ruko milik saksi NELIMA ZEGA Alias AMA ZI
WAWAN di Desa Miga Kecamatan Gunungsitoli Kota Gunungsitoli,
setibanya anak an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS dan saksi FIRMAN
ZEBUA Alias AGUS di ruko milik saksi NELIMA ZEGA Alias AMA ZI
WAWAN tersebut, anak an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS dan saksi
FIRMAN ZEBUA Alias AGUS menemui saksi MARTINUS LAHAGU
Alias MARTIN dan saksi TORIUSMAN HULU Alias TORIS (dilakukan
65

penuntutan dalam berkas perkara tersendiri) di lantai 2 ruko tersebut,


kemudian saksi FIRMAN ZEBUA Alias AGUS mengajak saksi
MARTINUS LAHAGU Alias MARTIN, saksi TORIUSMAN HULU
Alias TORIS dan anak an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS bermain Judi
Jenis Joker Labas dengan menggunakan uang sebagai taruhan, yang mana
kemudian anak an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS, saksi FIRMAN
ZEBUA Alias AGUS, saksi MARTINUS LAHAGU Alias MARTIN dan
saksi TORIUSMAN HULU Alias TORIS bersepakat untuk melakukan
permainan Judi Jenis Joker Labas tersebut, adapun permainan Judi Jenis
Joker Labas tersebut dilakukan anak an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS,
saksi FIRMAN ZEBUA Alias AGUS, saksi MARTINUS LAHAGU Alias
MARTIN dan saksi TORIUSMAN HULU Alias TORIS secara berpasang-
pasangan dengan tujuan apabila salah satu dari pasangan tersebut menang,
maka pasangannya tidak lagi membayarkan kekalahannya melainkan yang
membayar hanya lawan dari pasangan yang kalah, selanjutnya saksi
FIRMAN ZEBUA Alias AGUS, saksi MARTINUS LAHAGU Alias
MARTIN, saksi TORIUSMAN HULU Alias TORIS dan anak an.
KRISMAN ZEBUA Alias KRIS duduk saling berhadap-hadapan di depan
sebuah meja membentuk bujur sangkar/persegi empat dengan posisi anak
an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS berhadapan dengan saksi FIRMAN
ZEBUA Alias AGUS, sedangkan saksi MARTINUS LAHAGU Alias
MARTIN yang berada di samping kiri anak an. KRSMAN ZEBUA Alias
KRIS berhadapan dengan saksi TORIUSMAN HULU Alias TORIS,
selanjutnya kartu Joker sebanyak 2 (dua) set yang berjumlah 106 (seratus
enam) lembar dikocok oleh salah satu pemain kemudian pemain tersebut
membagikan kepada tiap-tiap pemain sebanyak 10 (sepuluh) lembar dan
khusus pemain yang membagikan kartu Joker tersebut mendapat kartu
Joker sebanyak 11 (sebelas) lembar sedangkan sisa kartu sebanyak 65
(enam puluh lima) lembar diletakkan diatas meja dihadapan para pemain,
kemudian tiap-tiap pemain menyusun kartu Joker dengan menyesuaikan
gambar yang sama ataupun nomor dengan gambar yang sama secara
66

berurutan dan untuk memulai permainan judi jenis Joker labas tersebut,
pemain yang membagikan kartu Joker tersebut wajib menjatuhkan kartu
Joker yang menurutnya tidak sesuai dengan gambar atau nomor kartu yang
ada padanya kepada pemain yang duduk di sebelah kanannya (searah
jarum jam), kemudian setelah kartu Joker di jatuhkan, maka pemain yang
duduk di sebelah kanannya berhak mengambil ataupun tidak mengambil
kartu Joker yang di jatuhkan dan berhak mencabut kartu Joker yang baru
(dari sisa kartu yang terletak diatas meja) untuk menyesuaikan gambar
ataupun mengurutkan nomor kartu yang ada padanya dan apabila kartu
dari salah satu pemain telah tersusun rapi dengan gambar yang sama
ataupun nomor dengan gambar yang sama maka pemain tersebut berhak
menurunkan kartunya dan mengatakan “menang” atau “Labas”, namun
sebelumnya pada saat susunan kartu Joker pemain tersebut hampir
lengkap, pemain tersebut wajib mengatakan “ciki” yang menandakan atau
memperingati pemain lain agar tidak menjatuhkan kartu Joker dengan
sembarangan yang bisa menguntungkan pemain tersebut, jika pemain
tersebut menang dari kartu yang dijatuhkan lawan maka pasangan pemain
yang kalah membayar masing-masing sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
kepada pemain yang menang, namun apabila pemain tersebut
menang/labas dari kartu yang dicabutnya maka pasangan pemain yang
kalah membayar kepada pemain yang menang masing-masing sebesar Rp.
2.000,- (dua ribu rupiah), sedangkan untuk pasangan pemain tersebut tidak
perlu membayar dan begitu juga sebaliknya, selanjutnya kartu kembali
dibagikan oleh pemain yang menang dan demikian seterusnya permainan
tersebut dilakukan;

Bahwa dalam permainan judi jenis joker labas tersebut tidak bisa
dipastikan siapa yang akan menjadi pemenangnya, melainkan hanya
didasarkan pada untung-untungan saja dan perbuatan anak an. KRISMAN
ZEBUA Alias KRIS bersama-sama dengan saksi FIRMAN ZEBUA Alias
AGUS, saksi MARTINUS LAHAGU Alias MARTIN dan saksi
67

TORIUSMAN HULU Alias TORIS melakukan permainan judi jenis Joker


labas tersebut tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang yaitu
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya pada hari Senin tanggal 03 Oktober 2016 sekira pukul


00.30 Wib, saksi OP. SARDO SIMARMATA, saksi BOBI IBRAHIM dan
saksi TRI PUTRA MIZWAR TANJUNG (masing-masing selaku anggota
Kepolisian Resor Nias/saksi-saksi penangkap) yang sebelumnya telah
mendapat informasi dari masyarakat mendatangi ruko milik saksi
NELIMA ZEGA Alias AMA ZI WAWAN tersebut, kemudian melakukan
penangkapan terhadap anak an. KRISMAN ZEBUA Alias KRIS, saksi
FIRMAN ZEBUA Alias AGUS, saksi MARTINUS LAHAGU Alias
MARTIN dan saksi TORIUSMAN HULU Alias TORIS di ruko tersebut
dan dari pengkapan tersebut saksi-saksi penangkap berhasil mengamankan
barang bukti berupa 2 (dua) set kartu Joker yang berjumlah 106 (seratus
enam) lembar yang bagian belakangnya berwarna biru dan uang sebesar
Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) dengan rincian : 1 (satu)
lembar uang pecahan Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dengan nomor
seri BGM456111, 2 (dua) lembar uang pecahan Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah) dengan nomor seri DnU276381, KKK821090, 4 (empat) lembar
uang pecahan Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) dengan nomor seri
HYK742977, DHY799329, JFJ607855, IVG637739, 5 (lima) lembar uang
pecahan Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) dengan nomor seri QLA344062,
nnM111577, XLU257281, YJL286574, YJE460274, 5 (lima) lembar uang
pecahan Rp. 1.000,- (seribu rupiah) dengan nomor seri TJB169218,
QNG121911, LJV123633, IMS856211, IJM189802, dimana barang bukti
tersebut diperoleh saksi-saksi penangkap dari atas meja tempat anak an.
KRISMAN ZEBUA Alias KRIS, saksi FIRMAN ZEBUA Alias AGUS,
saksi MARTINUS LAHAGU Alias MARTIN dan saksi TORIUSMAN
HULU Alias TORIS melakukan pemainan judi jenis Joker Labas tersebut
dan oleh karena permainan judi jenis Joker Labas tersebut tidak memiliki
68

izin dari pihak berwenang, saksi-saksi penangkap membawa anak an.


KRISMAN ZEBUA Alias KRIS, saksi FIRMAN ZEBUA Alias AGUS,
saksi MARTINUS LAHAGU Alias MARTIN dan saksi TORIUSMAN
HULU Alias TORIS beserta barang bukti ke Polres Nias untuk diproses
secara hukum.122

3. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa

Perbuatan anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam


pasal 303 bis ayat (1) ke-1 KUHPidana ;

Membaca, surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri


Nias Selatan Nomor Register Perkara: PDM-149/GNSTO/11/2016
tertanggal 10 Januari 2017 yang mana si Anak telah dituntut sebagai
berikut :123

1. Menyatakan Anak Krisman Zebua Alias Kris bersalah


melakukan tindak Pidana Perjudian sebagaimana diatur dan
diancam dalam Pasal 303 bis ayat (1) ke-1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana;
2. Menjatuhkan Pidana terhadap Anak Krisman Zebua Alias Kris
dengan Pidana penjara selama 2 (dua) bulan;
3. Menyatakan barang bukti berupa:
- 106 (seratus enam) lembar yang bagian belakangnya
berwarna biru, dirampas untuk dimusnahkan;
- 1 (satu) lembar uang pecahan Rp. 20.000,- (dua puluh ribu
rupiah) dengan nomor seri BGM456111;
- 2 (dua) lembar uang pecahan Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah) dengan nomor seri DnU276381, KKK821090;

122
Putusan Pengadilan Tinggi Medan putusan Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN,
(Medan: Pengadilan Tinggi, 2017), hal. 2-9.
123
Putusan Pengadilan Tinggi Medan putusan Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN,
(Medan: Pengadilan Tinggi, 2017), hal. 9-10.
69

- 4 (empat) lembar uang pecahan Rp. 5.000,- (lima ribu


rupiah) dengan nomor seri HYK742977, DHY799329,
JFJ607855, IVG637739;
- 5 (lima) lembar uang pecahan Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah)
dengan nomor seri QLA344062, nnM111577, XLU257281,
YJL286574, YJE460274;
- 5 (lima) lembar uang pecahan Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
dengan nomor seri TJB169218, QNG121911, LJV123633,
IMS856211, IJM189802, dirampas untuk Negara;
4. Membebankan kepada Anak membayar biaya perkara sebesar
Rp. 1.000 (seribu rupiah);
4. Amar Putusan

Membaca, Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli,


Nomor 9/Pid.Sus.Anak/2016/PN Gst, tanggal 12 Januari 2017, yang
amarnya berbunyi sebagai berikut :124

1. Menyatakan Anak Krisman Zebua Alias Kris tersebut di atas, tidak


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dalam dakwaan Primer;
2. Membebaskan Anak Krisman Zebua Alias Kris oleh karena itu dari
dakwaan Primer tersebut;
3. Menyatakan Anak Krisman Zebua Alias Kris tersebut di atas,
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana Tanpa hak menggunakan kesempatan untuk bermain judi,
sebagaimana dalam dakwaan subsider;
4. Menjatuhkan pidana kepada Anak dengan pidana penjara selama 1
(satu) bulan;
5. Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani, kecuali kalau
dikemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain

124
Putusan Pengadilan Tinggi Medan putusan Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN,
(Medan: Pengadilan Tinggi, 2017), hal. 10-11.
70

atas alasan Anak sebelum masa percobaan selama 6 (enam) bulan


berakhir melakukan lagi perbuatan pidana yang dapat dihukum;
6. Memerintahkan Anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut
Umum, selama 3 (tiga) bulan serta memerintahkan kepada
Pembimbing Kemasyarakatan untuk melakukan pembimbingan
selama masa pengawasan tersebut;
7. Menetapkan barang bukti berupa :
- (dua) set kartu Joker yang berjumlah 106 (seratus enam)
lembar yang bagian belakangnya berwarna biru, dirampas
untuk dimusnahkan;
- Uang sejumlah Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah)
dengan rincian : 1 (satu) lembar uang pecahan Rp. 20.000,-
(dua puluh ribu rupiah) dengan nomor seri BGM456111, 2
(dua) lembar uang pecahan Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah) dengan nomor seri DnU276381, KKK821090, 4
(empat) lembar uang pecahan Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah) dengan nomor seri HYK742977, DHY799329,
JFJ607855, IVG637739, 5 (lima) lembar uang pecahan Rp.
2.000,- (dua ribu rupiah) dengan nomor seri QLA344062,
nnM111577, XLU257281, YJL286574, YJE460274, 5
(lima) lembar uang pecahan Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
dengan nomor seri TJB169218, QNG121911, LJV123633,
IMS856211, IJM189802, dirampas untuk Negara;
8. Membebankan Anak membayar biaya perkara sejumlah
Rp1.000,00 (seribu rupiah);
5. Putusan Hakim dan Dasar Pertimbangan Hakim

Membaca, Surat Pemberitahuan Mempelajari Berkas Pengadilan


Negeri Gunungsitoli, yang ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum dan
Terdakwa tanggal 24 Januari 2017 untuk mempelajari berkas perkara
nomor : 9/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Gst, selama 7 (tujuh) hari, terhitung
71

mulai tanggal pemberitahuan tersebut sebelum berkas perkara dikirim ke


Pengadilan Tinggi ;125

Pertama, menimbang, bahwa permintaan banding oleh Jaksa


Penuntut Umum telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata
cara serta syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang, oleh karena
itu permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima. Kedua,
menimbang, setelah Hakim Tingkat Banding memeriksa dan mempelajari
berkas perkara nomor : 9/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Gst beserta surat-surat
yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara dan salinan resmi
Putusan Pengadilan Negeri Medan nomor : 9/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Gst ,
tanggal 12 Januari 2017, memori banding dari Jaksa Penuntut Umum
berpendapat sebagai berikut. Ketiga, menimbang, bahwa pertimbangan
dan Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Tanpa Hak Menggunakan Kesempatan Untuk Bermain
Judi”; melanggar pasal 303 Bis ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 77
Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
dan Pasal 14 huruf f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah
tepat dan benar, karena pertimbangan-pertimbangan tersebut berdasarkan
fakta-fakta hukum yang diperoleh dipersidangan, oleh karenanya Hakim
Tingkat Banding dapat menyetujuinya dan mengambil alih pertimbangan-
pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama menjadi pertimbangan-
pertimbangan Hakim Tingkat Banding sendiri dalam mengadili perkara
Terdakwa ditingkat banding. Keempat, menimbang, bahwa dengan
memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan kemanfaatan serta hal-hal
yang memberatkan dan meringankan dalam putusan Majelis Hakim
Tingkat Pertama, menurut Hakim Tingkat Banding pidana yang telah
dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama telah sesuai dengan
kesalahan Terdakwa dan telah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat
125
Putusan Pengadilan Tinggi Medan putusan Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN,
(Medan: Pengadilan Tinggi, 2017), hal. 14-15.
72

dan diharapkan memberi efek jera bagi Terdakwa maupun masyarakat


lainnya untuk tidak melakukan kejahatan serupa sehingga memori banding
dari Jaksa Penuntut Umum yang menyebutkan bahwa pidana yang
dijatuhkan kepada Terdakwa sangat ringan, belum memenuhi rasa
keadilan dalam masyarakat dan tidak menjadi daya tangkal terhadap
pelaku lainnya dalam melakukan tindak pidana yang sama, tidak
beralasan. Kelima, menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut
diatas, maka Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli nomor:
9/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Gst, tanggal 12 Januari 2017 telah sesuai
menurut hukum, karena itu patut untuk dipertahankan dan oleh karenanya
putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nomor:
9/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Gst, tanggal 12 Januari 2017 yang dimintakan
banding tersebut harus dikuatkan. Keenam, menimbang bahwa oleh karena
Anak dinyatakan bersalah dan dipidana, maka dibebani untuk membayar
biaya perkara yang timbul di kedua tingkat peradilan. Mengingat, Pasal
303 Bis ayat (1) ke-1 KUHPidana, Pasal 77 Undang-Undang RI Nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dan Pasal 14 huruf f Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan.

B. Analisis Putusan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum


Pidana Positif
1. Analisis Putusan dalam Perspektif Hukum Pidana Positif

Berdasarkan pemaparan kasus tindak perjudian tersebut, maka


penulis berpendapat dalam hukum pidana positif, putusan yang dijatuhkan
oleh Majelis Hakim sebagaimana ditegaskan terhadap penerapan hukum
(rechts to passing) yang dijadikan dasar putusan bagi terdakwa mengacu
kepada hukum pidana materil di Indonesia, yaitu Pasal 303 ayat (1) ke-1
KUHPidana, Pasal 77 Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak dan Pasal 14 huruf (f) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), serta peraturan perundang-undangan lain.
73

Dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa,


yaitu Krisman Zebua Alias Kris bersalah melakukan tindak Pidana
Perjudian sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 303 bis ayat (1)
ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “dengan sengaja menawarkan
atau memberikan kesempatan untuk permainan judi”. Jaksa Penuntut
Umum menuntut pidana penjara selama 2 (dua) bulan kepada terdakwa
dan anak tidak dilakukan penahanan, melainkan hukuman berupa
percobaan, dan anak dibebani biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu
rupiah).

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum didukung oleh berbagai alat bukti


yang terungkap baik di lapangan, terutama di persidangan, sehingga
kemudian bukti-bukti tersebut dapat merasionalkan Majelis Hakim
Tingkat Banding menyatakan terdakwa terbukti sah melakukan tindak
pidana perjudian. Atas dasar hukum inilah terdakwa dipidana selama dua
(2) bulan 10 hari.

Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas akan dipertimbangkan


apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana perrjudian
sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa,
terdakwa dihadapkan di persidangan dengan bentuk dakwaan primair yaitu
melanggar pasal 303 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Jaksa juga mendakwa dengan dakwaan subsidier yaitu
melanggar Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Menyoal penegakan hukum yang diputuskan oleh Majelis Hakim,


menurut analisis penulis adalah dakwaan Jaksa Penuntut Umum sudah
tepat dan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu
pasal 303 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan pasal 77
ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA).
74

Namun ada beberapa catatan dalam putusan hakim, paling tidak


majelis hakim berpedoman kepada asas hukum “lex specialis derogate lex
generalis” (aturan yang khusus dapat mengenyampingkan aturan umum)
yang diciptakan sebagai bentuk terobosan agar dalam perkara pidana anak,
hakim dapat mengedepankan upaya diversi dan restorative justice, dengan
cara diupayakan tindakan edukatif, dan protektif dalam kasus pidana anak.
Dengan demikian, hakim tidak hanya berpedoman pada KUHP, melainkan
UU SPPA.

Oleh sebab itu, karena hakim dalam memutuskan perkara harus


berdasarkan fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang dapat
diketahui oleh hakim dari alat-alat bukti yang ada di persidangan.
Meskipun demikian, hakim bukanlah malaikat yang bebas dari kekhilafan
atau justru kesalahan sehingga terkadang putusan tersebut belum
memuaskan.126

Tentu dalam kerangka berfikir hukum, ada tiga aspek nilai-nilai


hukum yang menjadi tolak ukur seorang hakim untuk memutuskan sebuah
perkara yaitu: putusan hakim harus mengandung nilai-nilai keadilan
hukum, keadilan hukum adalah memberikan hukuman kepada seseorang
sesuai dengan perbuatannya, putusan hakim harus mengandung nilai-nilai
kegunaan hukum, aspek kegunaan hukum adalah terwujudnya ketertiban,
dan putusan tersebut harus mengandung nilai-nilai kepastian hukum,
kepastian hukum memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang
mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.127

Dari ketiga aspek di atas, dalam melakukan penilaian terhadap


suatu putusan hakim, maka proses hukum dalam perkara pidana haruslah
mengungkapkan sedalam-dalamnya tentang fakta telah terjadinya suatu

126
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1985), hal. 172.
127
Dian Hati, dkk, Kajian Terhadap Putusan Perkara No. 508/Pid.B/2006/PN. Bjm,
Tentang Tindak Pidana Kesewenang-Wenangan Aparat Penegak Hukum, hal. 197.
75

tindak pidana dan pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan


hakim tersebut.

Maka dari itu, dalam kajian putusan hakim Pengadilan Tinggi


Medan dengan Nomor perkara 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN, yang
menfokuskan pada fakta penilaian terhadap fakta persidangan dan
pertimbangan hukum dalam putusan tersebut dengan mengacu pada tiga
tolak ukur di atas.

Berdasarkan fakta di persidangan yang ada dalam Pengadilan


Tinggi Medan dengan nomor perkara 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN,
Majelis Hukim berpendapat, bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan
penuntut umum, karena itu terdakwa harus dipidana sesuai ketentuan
undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini, terdakwa dikenakan pasal
303 KUHP, sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Penulis membaca putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim


tersebut dilihat dari aspek keadilan, dari sisi terdakwa dapat dikatakan
sesuai dengan nilai keadilan, karena dari fakta-fakta yang terungkap di
persidangan, bahwa terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana
perjudian, sebagaimana yang didakwakan kepadanya.

Sehingga memang terdapat kebijaksanaan Majelis Hakim


menjatuhkan putusannya yaitu :128

- Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum ;


- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli
Nomor: 9/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Gst, tanggal 12 Januari
2017, yang dimintakan banding tersebut ;

128
Putusan Pengadilan Tinggi Medan putusan Nomor: 10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN,
(Medan: Pengadilan Tinggi, 2017), hal. 15-16.
76

- Membebankan biaya perkara kepada Anak dalam dua


tingkat pengadilan, yang ditingkat banding sebesar
Rp.2.500,- ( dua ribu lima ratus rupiah ) ;

Dari putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa


tersebut di atas, dilihat dari aspek keadilan, dari sini hakim dapat dikatakan
peutusan itu memenuhi nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Pasalnya,
putusannya itu diambil atas dasar hukum yan pasti dapat diterima,
sehingga apa yang diputuskan itu sungguh-sungguh dapat
dipertanggungjawabkan.

Tempaknya dari sisi aspek kegunaan hukum adalah terwujudnya


ketertiban, maka berbagai keperluan sosial manusia dalam masyarakat
dapat terpenuhi. Untuk mewujudkan ketertiban manusia memunculkan
keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan
dalam kaidah. Ketertiban dan kaidah yang diperlukan mewujudkan
kepribadiannya secara utuh, yang dengan itu ia dapat mengembangkan
semua potensi kemanusiaa seperti apa yang secara bebas
dikehendakinya.129

Dalam konteks ini, Majelis Hakim dalam konstruksi hukum kasus


ini, terlihat telah menerapkan kepastian hukum, dengan melihat unsur-
unsur tindak pidana. Karena itu, hakim menurut hemat penulis telah
menerapkan hukum berpedoman pada KUHP, dan UU SPPA di mana di
dalamnya terdapat unsur atau nilai filosofisnya. Yaitu, diversi dan
restorative justice.

2. Analisis Putusan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

Pada kasus perjudian yang dilakukan terdakwa KRISMAN


ZEBUA Alias KRIS, peristiwa yang terjadi pada hari Senin tanggal 03
Oktober 2016 sekira pukul 00.30 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu
129
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia,
2005), hal. 2.
77

lain dalam bulan Oktober tahun 2016 bertempat di Desa Miga Kecamatan
Gunungsitoli Kota Gunungsitoli tepatnya di ruko lantai 2 (dua) milik saksi
NELIMA ZEGA atau setidak-tidaknya di tempat lain yang termasuk
daerah hukum Pengadilan Negeri Gunungsitoli. Perjudian tersebut
merupakan tindak pidana yang mengganggu ketertiban umum.

Sedangkan dalam hukum pidana Islam seseorang seperti anak yang


melakukan perbuatan tindak pidana, sanksi atau hukumannya harus
ditunjukkan kepada si pelaku yang bersangkutan dan tidak dapat
dikorelasikan atau ditanggung oleh siapa pun, baik itu keluarganya,
saudara atau kerabatnya sekalipun. Tetapi juga dalam substansi hukumnya
terdapat catatan bahwa anak bisa dikembalikan pada orang tuanya, atau
bisa dilakukan pembinaan pada negara.

Adapun hukumannya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-


Mawardi adalah sebagai berikut :130

‫انجشيًخ ْي انجشائى يحظٕساد ششػيخ صجش هللا رؼبنٗ ػُٓب ثحذ أٔرؼضيش‬

Artinya : “Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang


oleh syara yang diancam hukuman had atau ta‟zir”.

Apabila hadis ini dikorelasikan dengan perjudian yang dilakukan


oleh anak, tentu sudah sesuai bahwa hukumannya adalah hukuman ta‟zir,
di mana hukuman tersebut bisa dipertanggungjawabkan oleh pelaku
dengan cara membayar ganti rugi agar dapat meringangkan dan
melindungi tedakwa.

Tindak pidana perjudan itu, menurut hukum pidana Islam dapat


dikenakan hukuman ta‟zir, sedangkan hukuman ta‟zir adalah hukuman
atas tindak pidana yang hukumannya belum ditentukan oleh syara‟ tetapi

130
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islami, Juz, ke-1, (Bairut: Dar al-Kitab,
t.th), hal. 12.
78

sepenuhnya diserahkan atau ditentukan oleh Hakim (Ulil Amri).131 Karena


itu hukum Islam sendiri tidak menuntukan macam-macam hukuman untuk
tiap-tiap tindak pidana ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan hukuman dari
yang paling ringan hingga hukuman yang paling berat.

Pada dasarnya, masalah perjudian dalam hukum Islam belum ada


pembahasan yang terinci dan tegas di dalam al-Qur‟an dan al-Hadits,
sehingga perjudian dimasukkan ke dalam tindak pidana ta‟zir. Dalam
pelaksanaan hukuman ta‟zir hak mutlak diberikan kepada ulil amri atau
hakim dimaksudkan untuk memberi keleluasaan yang memberi
kemungkinan berbedanya hukuman keluwesan dalam menanggapi
kemajuan budaya manusia, sehingga dengan demikian hukum Islam dapat
responsip terhadap perubahan sosial.132

Oleh karena itulah sanksi hukuman ta‟zir dapat berubah sesuai


dengan kepentingan dan kemaslahatan Hakim boleh mengancam lebih dari
satu hukuman, ia boleh memperingan atau memperberat hukuman, karena
dalam perkara perjudian ini, pelakunya adalah anak-anak. Maka yang
terpenting adalah kepentingan anak-anak, dan hukumannya bersifat untuk
mendidik, memperbaiki, mencegah pelaku tindak pidana serta melindungi.

Tak dapat dipungkiri, apabila dimensi penghapusan


pertanggungjawaban pidana atau hapusnya hukuman pidana karena
kondisi pelaku jarimah, antara lain:133

1. karena paksaan atau terpaksa yang dalam hukum pidana islam


disebut ikrah, yaitu perbuatan yang terjadi atas seseorang
dikarenakan orang lain sehingga perbuatan itu luput dari
kerelaannya atau dari kemauan bebas orang tersebut.

131
Ahmad Wardi Muchlis, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 249.
132
A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Islam), cet, ke-2,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 167.
133
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat Islam dalam
Wacana dan Agenda, cet, ke-1, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2003), hal. 189-191.
79

2. karena gila;
3. karena mabuk; dan
4. karena belum dewasa;

Pada akhirnya, seorang manusia belum dikenakan beban taklif


(pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu,
para ulama ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum
adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani
hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di
tujukan kepadanya. Seseorang yang tidak atau belum berakal, seperti
orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau
belum berakal, maka mereka di anggap tidak bisa memahami taklif dari
syara‟. Namun, apabila anak dibawah usia melakukan suatu pelanggaran
pidana atau bersalah dalam Islam maka dibebankan kepada orang tua
(walinya) karena orang tua wajib mendidik anak agar menjadi orangt baik
apabila kewajiban tersebut tidak melaksanakan dengan baik maka orang
tualah yang menanggung akibatnya yaitu diberikan sanksi karena
kelalaian.

Menurut hemat penulis, anak yang berhadapan dengan hukum


(ABH) sepatutnya mendapatkan penanganan yang berbeda dengan pelaku
tindak pidana orang dewasa, mulai dari tingkat penyelidikan dan
penyidikan oleh aparat kepolisian, pemeriksaan di pengadilan sampai
dengan diputuskannya putusan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga
aspek perlindungan bagi anak merupakan kepentingan yang harus
dijunjung tinggi oleh institusi penegak hukum.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diangkat dalam penulisan skripsi ini,


maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :

1. Penerapan hakim terkait hukuman terhadap anak pelaku tindak pidana


perjudian menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dijelaskan bahwa seorang anak
yang berhadapan dengan hukum, dan ditetapkan sebagai tersangka harus
diperlakukan khusus artinya penahanan tidak ditempatkan dengan
bersama-sama dengan tersangka dewasa karena dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan dan mempengaruhi psikologis dan mental kejiwaan
anak atau dengan cara menitipkan anak ke LP anak, namun tetap
diproses sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan proses hukumnya kepada tersangka anak harus
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012. Di mana konsep pemidanaan
terhadap anak di bawah usia dikenal konsep diversi dan restorative
justice. Oleh karena itu, hakim dalam menjatuhkan hukuman atau vonis
terhadap terdakwa menggunakan pasal 303 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), dan pasal 77 Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dan pasal 14 huruf
(f) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Ketentuan hukum pidana Islam terhadap anak pelaku tindak pidana
perjudian pada dasarnya dari segi norma agama Islam melarang umatnya
bermain judi sebab dari adanya permainan judi tersebut menyebabkan
permusuhan antara sesama umat manusia yaitu saling dendam dan iri hati
dan dari adanya perbuatan judi tersebut akan membuat harta benda
menjadi mubadzir, tidak halal. Kejahatan perjudian yang dilakukan oleh

80
81

anak yang belum dewasa merupakan suatu pelanggaran yang dimaafkan


sehingga demikian apabila anak yang melakuakan kejahatan tersebut
hanya dapat dikategorikan sebagai suatu pembentukan karakter dan tidak
dapat dihukum secara hukum Islam. Dalam hukum pidana Islam judi
merupakan perbuatan tindak pidana yang melawan hukum, dan dapat
dikenakan hukuman jarimah ta‟zir bagi yang melakukan kejahatan,
namun dalam ketentuan ini juga karena pelakunya anak tentu dapat
dilihat dari segi pertanggungjawaban, psikologis, cakap hukum, dan
sudah sempurna akalnya, apabila tidak memenuhi, tentu anak tersebut
dapat dikembalikan pada orang tua. Karena itu, orang tua mempunyai
posisi penting dalam tanggung jawab dan peranannya.
B. Saran-Saran

Dari berbagai permaslahan yang diuraikan, maka penulis menyarankan


kepada aparat penegak hukum dalam rang meningkatkan upaya
penaggulangan terhadap tindak pidana tersebut maka :

1. Kepada aparat penegak hukum dan masyarakat khususnya orang tua yang
memiliki anak sebaiknya saling bersinergi dalam pencegahan terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan proses penanggulangan
terhadap tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak.
2. Pemerintah sebaiknya melalui kementerian terkait perlu menambahkan
berupa sarana dan prasarana bagi anak-anak untuk melindungi agar anak
tersebut tidak kerap berkonflik dengan hukum.
3. Anak-anak yang berhubungan dengan hukum haruslah ditangani oleh
berbeda dengan orang dewasa, mengingat anak merupakan individu yang
masih harus tumbuh dan berkembang dalam segala aspek, sehingga anak
belum dapat menentukan pilihan perbuatan secara benar.
4. Penulis berharap agar pemerintah dan orang tua tidak hanya sekedar
menjadi benteng utama dalam mencegah kejahatan yang dilakukan oleh
anak, melainkan juga penting dalam memperketat pengawasan semua
82

elemen agar anak dapat terjaga pergaulan dan lingkungannya dengan


baik.
83

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Ahmadi, Fahmi, Muhammad, dan Aripin Djaenal, Metode Penelitian Hukum,


Tangsel: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010.

Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-I, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Al-Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islami, (Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, t.th.

Ambary, Hasan, Muarif, Suplemen Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2004.

Atmasasmita, Romli, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Bandung: Armico,


1983.

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

A. Halim, Ridwan, Hukum Pidana dan Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982.

Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Akli, Zul, Eksekusi Tindak Pidana Perjudian (Maisir) Di Mahkamah Syar‟iyah


Lhokseumawe, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol, 3, Nomor, 2, April 2017.

Bakhri, Syaiful, Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan,


Teori, dan Praktik Peradilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

B. Pangemanan, Jefferson, “Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Sistem


Peradilan Pidana Indonesia”, dalam Jurnal Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-
Mar/2015.

Bungins, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Cet, Ke-II,Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.
84

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1,Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.

Djamil, M. Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum; Catatan Pembahasan UU Sistem


Peradilan Pidana Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 1997.

Data Statistik Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2011-2016.

Dhiba, Umi Sarah, Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Terlibat Kasus
Perjudian, Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012.

Eleanora, Novita, Fransiska, Sistem Pemidanaan Terhadap Anak yang Melakukan


Tindak Pidana, dalam Jurnal Lex Jurnalica, Vol. 10, Nomor, 3, Desember 2013.

Gunadi, Ismu, dkk. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Cet. Ke-II,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cet. Ke-II, Bandung:


PT.Refika Aditama, 2010.

Hamzah, Andi, KUHP & KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2015.

Hamzah, Andi, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta:


Akademika Pressindo, 1983.

Hamzah, Andi, KUHP & KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Haryanto, Indonesia Negeri Judi, Jakarta: Yayasan Khasanah Ihsan Mandiri, 2003.

Hidayat, Bunadi, Pemidanaan Anak Di Bawah Usia, Surabaya: PT. Alumni, 2010.

Ilyas, Amir Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan


Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Yogyakart: Mahakarya
Rangkang Offset, 2012.

Irfan, M. Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.


85

Ibrahim, Johny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang:


Bayumedia, 2005.

Jahroh, Siti, “Reaktualisasi Teori Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam”, dalam
Jurnal Hukum Islam (JHI), Volume 9, Nomor 2, Desember 2011.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak,


Jakarta: Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2017.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012


Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta: Sekretariat KPAI, 2017.

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,


1984.

Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2000.

Lubis, Sofyan, Tinjauan Hukum tentang Judi, Jakarta: Gramedia, 2006.

Marpaung, Alfauza, Zaid, Pemahaman Hukum Pidana Islam, Medan: Fakultas


Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara, 2016.

Marlina, Hukum Panitensier, Bandung: Refika Aditama, 2011.

Marzuki, Mhamud, Peter, Penelitian Hukum, Surabaya: Prenada Media Group,


2016.

Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,


1985.

Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,
1985.

Mulyadi, Lilik, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia,Cet, Ke-III,


Bandung: P.T. Alumni, 2014.

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
PT. Alumni, 2005.
86

Mutiara, Dali, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1962.

Muchlis, Wardi, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Naim, Akhsan, dkk, Profil Anak Indonesia 2015, Jakarta: Kementerian


Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2015.

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Depok: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012.

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi, Ke II, Jakarta: Balai


Pustaka 1995.

Prakoso, Djoko,Hukum Penitensier Di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988.

Putusan Pengadilan Tinggi Medan putusan Nomor:


10/Pid.Sus.Anak/2017/PT.MDN, Medan: Pengadilan Tinggi, 2017.

Rakhmat, Jalaluddin, Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Ramaja Rosdakarya,


2006.

Santoso, Topo, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2016.

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat Islam


dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Pres, 2003.

Sabiq, Sayid, Fiqh Sunah, Bandung: al-Maarif, 1990.

Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Tangsel: Fakultas Syariah dan


Hukum UIN Jakarta, 2010.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1986.

Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2010.

Sudarsono, Kamus Hukum, Cet, Ke-V, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2007.

Tongat, Hukum Pidana Materiil,Malang: UMM Press, 2006.


87

Wahyudhi, Dheny, “Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan


Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice”, Jurnal Ilmu Hukum. 2015.

Waadong, Hasan, Maulana, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta:


Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000.

Ya'qub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV Diponegoro,


1984.

Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta: Haji Masagung, 1987.

2. REFERENSI DARI UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Konvensi Hak-Hak Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

3. REFERENSI DARI INTERNET

“Hal-Hal Penting Yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak”.


Diakses pada Senin, 25 August
2014http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-
diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak

“Hal-Hal Penting Yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak”.


Diakses pada Senin, 25 August
2014http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-
diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak
88

Hukum on line, “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana
Anak”. Diterbitkan pada hari Senin, 25 Agustus 2014.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-diatur-
dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak

“Tindak Pidana Perjdian” www.hukumonline.com.tindakpidanaperjudian.html.

Diakses Kamis 13 Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai