Anda di halaman 1dari 94

PEMBATALAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TURKI

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh:

Indira Awaliyah
1112044100050

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
ABSTRAK

Indira Awaliyah, NIM 1112044100050, Pembatalan Perkawinan di


Indonesia dan Turki. Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi
Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang undang-
undang yang mengatur tentang pembatalan perkawinan, mampu memberikan
penjelasan tentang pengaruh aliran mazhab di Indonesia dan Turki, untuk melihat
persamaan dan perbedaan pembatalan perkawinan di Indonesia dan Turki.
Metode yang digunakan adalah Metode Kualitif dengan jenis Penelitian
Kepustakaan dan pendekatan Analisis Perbandingan. Data terkait pembatalan
perkawinan diambil dari Al-Qur’an, kitab-kitab fikih, dan Undang-Undang,dan
data sekunder yang berasal dari Buku Referensi terkait, Jurnal, Karya Ilmiah, dan
Hasil Penelitian Terdahulu. Kemudian data tersebut dinalisis dengan metode
analisis perbandingan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa; 1. Pembatalan perkawinan di
Indonesia dan Turki memiliki persamaan dalam prosedur pembatalan perkawinan
dapat dimohonkan kepada pengadilan tempat tinggal suami atau istri atau tempat
ditinggal dilangsungkannya perkawinan. 2. Sedangkan yang berhak mengajukan
pembatalan perkawinan ialah dari keluarga garis keturunan lurus ke atas, dari
suami atau istri, pejabat yang berwenang. 3. Adapun perbedaan dalam bentuk
persyaratan pembatalan perkawinan terdapat perbedaan, dikarenakan setiap
negara memiliki tuntutan dan kebutuhan yang berbeda seiring berkembangnya
zaman. Namun, dari polemik yang ada, pembatalan perkawinan setiap Negara
memiliki cara masing-masing dalam menyikapinya, mulai dari memberlakukan
peraturan yang bersifat baku hingga bersifat fleksibel.

Kata Kunci : Pembatalan Perkawinan, Indonesia, Turki

Pembimbing : Arip Furkon, S.HI., MA


Daftar Pustaka :1978- 2014

v
KATAPENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi besar

Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya hingga akhir

zaman.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa rintangan

dan hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan

motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat

diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbeda-

beda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat dan dukungan yang diberikan

oleh keluarga dan teman-teman penulis.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril

maupun materil sehingga terselesaikan skripsi ini. Tentunya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Selaku Dekan Fakultas Syari'ah dan

Hukum Universitas Islam Negri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta

pembantu Dekan I, II, III Fakultas Syari'ah dan Hukum.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M,Ag. Selaku Ketua Program Studi Hukum

Keluarga serta Bapak Indra Rahmatullah, S.H.I.,M.H. Selaku Sekertaris

Program Studi Hukum Keluarga yang telah bekerja dengan maksimal.

vi
3. Arip Furkon, S.HI ., M.A. Sebagai dosen pembimbing skripsi penulis,

yang telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing

penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Dr. KH. A. Juaini Syukri, L.c.,M.A dan Hj. Hotnidah Nasution, M.A.

Sebagai Penguji Skripsi.

5. Hj. Rosdiana, M.A., dosen penasehat akademik penulis, yang telah sabar

mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam

merurhuskan desain judul skripsi ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-

ilmu yng tak ternilai harganya, seluruh staf dan karyawan Perpustakaan

Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan bagian tata usaha Fakultas Syariah yang telah

memberikan pelayanan yang terbaik.

7. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yaitu ayahanda H.A Basyuni

Al hajbuni dan ibunda Hj. Lilis Syaidah yang telah memberikan motivasi

serta arahan yang tak pernah jenuh serta tiada henti mendoakan penulis

dalam menempuh pendidikan. Juga kepada adik-adik penulis Alfi Syahrin,

Safira Maulidia dan Nabila Syabani, yang selalu memberikan doa,

dukungan dan semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang

tiada tara.

8. Sahabat-sahabatku yang terbaik Fahmi Ramadhan, Lia Yulianti, Eka

Yulyana Sari, Sarifah Nurfadhilah, Siti Hannah, Atiqoh Fathiyah, Miqdad

Rikanie, Habibi Asyaf, Humaidi, Muhammad Zaenuri, Reza Fakhlepi,

vii
Cepi Jaya Permana,, selalu memberikan doa, dukungan dan semangat

dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yanag tiada tara.

9. Teman-teman progam studi Peradilan Agama Angkatan 2012 yang telah

memberikan saran dan motivasi kepada penulis.

10. Kakanda dan adinda yang berkecimpung dalam Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada

kawan-kawan kader di Program Studi Hukum Keluarga, Andi Asyraf,

Reza, Ricky, Habibi, sarifah, Siti hanah, Ais, terimakasih atas masa-masa

indah yang kita lalui di HMPS Hukum Keluarga (sudah waktunya untuk

mengambil kembali apa yang sudah sepantasnya kalian dapatkan), serta

seluruh kader yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tetaplah

semangat berproses.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak

yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh kaena itu, saran dan kritik penulis

harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan umumnya serta

menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan, do'a, motivasi yang

telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Ciputat, 14 Januari 2019

Ttd

Indira Awaliyah

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv

ABSTRAK .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... 11

E. Kajian ( Review) dan Studi Terdahulu ............................................... 11

F. Metodelogi Penelitian ......................................................................... 13

G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 19

BAB II KONSEP DASAR PERKAWINAN DAN PEMBATALAN

PERKAWINAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan ................................................ 21

1. Pengertian Perkawinan .............................................................. 21

2. Tujuan dan Asas Perkawinan ..................................................... 26

3. Syarat Sah dan Rukun Perkawinan ............................................ 32

ix
B. Pembatalan Perkawinan Menurut Empat Madzhab........................... 38

1. Menurut Imam Hanafi ............................................................... 39

2. Menurut Imam Malik ................................................................. 42

3. Menurut Imam Syafi’i ............................................................... 44

4. Menurut Imam Hambali............................................................. 45

BAB III PEMBATALAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TURKI.

A. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan ............................................ 48

B. Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki ............................... 50

C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki ...... 55

D. Prosedur Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki ................. 58

E. Yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan

di Indonesia dan Turki ........................................................................ 62

BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN DI

INDONESIA DAN TURKI

A. Persamaan dan Perbedaan Pembatalan Perkawinan di

Indonesia dan Turki ........................................................................... 65

B. Analisis Komparatif Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.... .................................................................................. 75

B. Saran ................................................................................................ 77

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 79

LAMPIRAN

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dan Turki merupakan Negara yang secara geografis terletak

dibenua yang sama namun dengan wilayah territorial yang berbeda. Indonesia

berada di Asia bagian Tenggara sedangkan Turki berada di benua Asia bagian

Barat. Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya bermazhab

Syafi‟i, sedangkan di negara Turki yang mayoritas penduduknya bermazhab

Hanafi. Sehingga yang menarik untuk dikaji adalah dalam menentukan

Undang-Undang atau hukum keluarga Islam dari dua negara tersebut, timbul

adanya perbedaan khususnya terhadap problematika pembatalan perkawinan

terhadap masalah perkawinan.1

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik

dengan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh

MPR (Majelis Perwakilan Rakyat).2 Masyarakat Indonesia tergolong

heterogen dalam segala aspeknya, dalam aspek agama dijelaskan bahwa

terdapat dua kelompok besar agama samawi dan agama non samawi yang

diakui di Indonesia yakni: Agama Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan,

Khon Khucu, dan Katolik. Keseluruhan agama tersebut memiliki tata aturan

sendiri-sendiri bak secara vertical maupun secara horizontal, termasuk di

dalamnya tata cara perkawinan.

1
M.Atho‟ Muzdhar, Khairudin Nasution, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam
Modern,(Jakarta:Ciputat Press,2003),h.46.
2
Pasal 1 UUD 1945

1
2

Hukum Perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap negara agama tersebut

satu sama lain adalah perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Di

Indonesia hukum perkawinan secara otentik diatur dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 lembaran Negara RI. Adapun penjelasan atas Undang-

Undang tersebut dimuat dalam tambahan lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3019 yang didalam bagian penjelasan umum diuraikan

beberapa masalah mendasar.

Sehubungan dengan keberadaan KHI di Indonesia, ada sejumlah

ketetapan yang berhubungan, secara fungsional eksistensi KHI dan Fikih

Indonesia, karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kubutuhan

hukum umat Islam Indonesia. Sebagaimana yang telah dicetuskan oleh Prof.

Hazairin, SH. Dan Prof. T.M. Hasby Ash-Shiddiqy sebelumnya mempunya

tipe fikih local dapat disamakan dengan fikih hijazi, Fikih Misri, Fikih Hindi,

Fikih lain-lain yang sangat memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum

masyarakat setempat, yang bukan mazhab baru tapi ia mempersatukan

berbagai fikih dalam menjawab satu persoalan fikih. Di dalam sistem hukum

Indonesia ini merupakan bentuk terdapat dengan kodifikasi hukum yang

terjadi arah pembangunan hukum Nasional Indonesia.

Adapun tujuan penetapan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk

menyatukan hukum (Unifikasi). Di samping itu juga sebagai upaya untuk


3

membuat keputusan hakim sebaga ketetapan yang berkekuatan hukum sama

dengan putusan pengadilan umum.3

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan Hukum

Perkawinan Islam di Indonesia secara yuridis formal sudah mulai sejak

Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945, namun

pembaharuan baru dilaksanakan sejak berlakunya Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta

Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Artinya,

pembaharuan hukum sudah mulai dilaksanakan dan terus dilaksanakan secara

nasional.4

Turki memproklamasikan diri sebagai Negara modern sejak tahun

1924, secara goeografis memiliki wilayah yang membentang di dua benua

Eropa dan Asia dengan luas 780.576 KM. Serta terbagi atas 67 provinsi.

Turki bukanlah negara agama, tetapi ia menjamin kebebasan beragama,

sekalipun demikian dari seluruh jumlah penduduk Turki 98% diantaranya

beragama Islam dan 2% terdiri dari kelompok yahudi, katolik roma dan

pengikut beberapa Ortodor Timur.5 Dalam menjalankan kehidupan

keragaman mayoritas umat Islam di Turki menganut Mazhab Hanafi.6

3
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011, h.
68
4
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011, h.
60
5
Miftahul Huda, Studi Kawasan Hukum Perdata Islam, (Stain Ponogoro Press, 2014), h.
64-65.
6
M. Atho‟ Muzhdar dan Khoiruddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, h. 37
4

Hukum tentang hak-hak keluarga di Turki dirintis sejak tahun 1915

kemudian diundangkan pada tahun 1917. Hukum keluarga ini merupakan

hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam. Isi hukum

keluarga yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turki Usmani ini mengatur

tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris,

wasiat, dan hibah). Undang-Undang ini bersumber pada berbagai mazhab

Sunni.7

Reformasi Hukum keluarga Turki yang dalam bentuk Undang-

Undang tahun 1917 dengan lahirnya Qanun-i Qarar Huquq al-Illah al-

Utsmaniah (Hukum Utsmani yang mengatur hak-hak keluarga), akhirnya

menjadi inspirasi bagi berbagai Negara muslim lain untuk mengundangkan

hukum keluarga. Namun munculnya Undang-Undang perkawinan 1917 itu

tentunya tidak terlepas dari proses panjang pengundangan yang telah dilalui.

Di sinilah letak signifikansi memahami sejarah reformasi dan kodifikasi

hukum keluarga Turki.8

Pada tahun 1923, setelah konferensi perdamaian Lausanne, sebuah

komit reformasi hukum dibentuk untuk merancang draft hukum sipil secara

komprehensif dan status personal yang mendasarkan pada sumber-sumber

Islam. Lalu dibawah pemerintahan Mustafa Kemal Pasha, usaha kodifikasi

hukum kembali dilakukan. Hasilnya pada tahun 1924 konstitusi nasional baru

ditetapkan dengan mengadopsi sistem hukum sipil, Pada tahun 1926,

7
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi: N.M.
TRIPATHI PVT. LTD. 1972), H. 17
8
Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa: MachnunHusein, (Surabaya:
Amarpress, 1990), h. 27.
5

terciptalah Undang-Undang Sipil Turki (The Turkish Civil Code) yang berisi

tentang perkawinan (pertunangan, umur pernikahan, mahrom, poligami,

resepsi pernikahan, pembatalan pernikahan), perceraian dan pemisahan,

kompensasi, dan Hukum Waris. Undang-Undang 1926 ini lahir dengan

mengadopsi The Swiss Civil Code 1912 dengan sedikit perubahan sesuai

dengan tuntutan kondisi Turki.

Mazhab Hanafi yang dianut dalam Undang-Undang Turki

menjelaskan bahwa pernikahan dianggap batal jika ada rukun atau syarat

dalam pernikahan yang tidak terpenuhi seperti pernikahan seseorang anak

yang belum mumayyiz, pernikahan dengan sighat yang mengindikasikan

untuk masa yang akan datang, pernikahan dengan salah satu mahram,

pernikahan dengan salah seorang wanita yang masih berstatus istri orang lain,

pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki non muslim atau

sebaliknya. Maka dengan hal demikian hakim harus memisahkannya secara

paksa tidak berlaku iddah bagi wanita tersebut.9

Perbedaan yang terlihat dari beberapa ketentuan yang berlaku

dibeberapa negara tersebut adalah mengenai persyaratan pembatalan

perkawinan di negara muslim Indonesia menentukan persyaratan pembatalan

perkawinan di dalam Undang- Undang di negara tersebut. Pembatalan

Perkawinan di Turki berbeda dengan negara islam lainnya. Didalam Undang-

Undang sipil Turki dijelaskan mengenai Pembatalan perkawinan hanya

9
Wahbah al-zuhaili, al-Fiqh al-islami wa Adillatuhu,Vol. VII ( Beirut : Dar al-Fikr,
1989).h. 112.
6

sebatas sakit jiwa dan cacat permanen, tidak dijelaskan secara rinci yang ada

didalam literature fiqh bagi umat Islam. Kompilasi Hukum Islam yang

mengatur beberapa ketentuan mengenai pembatalan perkawinan tercantum

pada Bab XI pasal 70 sampai dengan pasal 76, dimana pada pasal 71

mencantumkan mengenai suatu perkawinan yang boleh dibatalkan dengan

persyaratan tertentu. Peradilan Agama juga berwenang untuk menyelesaikan

sengketa pembatalan perkawinan yang diajukan oleh suami atau istri yang

berkepentingan dalam perkara tertentu.

Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan

perkawinan di Negara Indonesia diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi Hukum

Islam yang mempunyai rumusan berbeda. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang

No.l Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut

terhadap:

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

2. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap

harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar

adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang

mereka memperoleh hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang

pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.


7

Pasal 75 kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa ke Pasal 75

kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa keputusan pembatalan

perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad.

2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad

baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan

hukum tetap.

Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa: Batalnya suatu

perkawian tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan

orang tuanya. Seharusnya di dalam perkawinan ini yang berhak menikahkan

bertindak sebagai wali nikah merupakan abang kandung dari calon mempelai

wanita.

Adapun Prosedur atau Tata Cara Pembatalan Perkawinan menurut

Negara Indonesia yaitu Pembatalan perkawinan dapat dimohonkan kepada

Pengadilan Agama di wilayah hukum tempat tinggal suami atau isteri atau

tempat perkawinan dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan

Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak

saat berlangsungnya perkawinan.

Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan mengenai

pemanggilan, pemeriksaan, dan putusannya dilakukan sesuai dengan tatacara

pengajuan gugatan perceraian. Diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai

dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, sepanjang dapat


8

diterapkan dalam pembatalan perkawinan. Prosedur yang harus dilakukan

untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain:

a. Pengajuan Gugatan.

b. Penerimaan Perkara.

c. Surat permohonan.

d. Persidangan.

Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian dalam

perundang-undangan Turki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat

jika dibandingkan dengan fiqh konvensional.

1. Otoritas pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami,

sedangkan istri mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan

apapun, sejak munculnya hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917

pihak istri diperbolehkan mengajukan perceraian.

2. Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan permohonan

cerai dari pihak suami atau isteri.

3. Dalam masalah perceraian menurut fiqh konvensional tidak dikenal istilah

pisah ranjang (juditial separation). Hukum perdata Turki tahun 1926

mengatur dan membolehkan pisah ranjang.

4. Pihak suami isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai

dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan tercantum pada

Pasal 129-138 Hukum Perdata Turki


9

5. Suami atau isteri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan

perceraian) maka perlakuan terhadap suami yang zina sama dengan

isteri yang zina.

6. Penyakit jiwa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan

perceraian, sedang dalam fiqh konvensional berkaitan dengan fasakh.

7. Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakataan

bersama (suami isteri).

8. Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat

perceraian diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak.

Pembatalan pernikahan yang diterapkan di turki adalah kodifikasi

hukum islam klassik menjadi bagian hukum positif.

Oleh sebab itu perbandingan terhadap negara muslim tersebut

mengenai pembatalan perkawinan ini menjadi menarik untuk dikaji menjadi

studi ilmiah guna memberikan penjelasan akan dasar,metode serta proses

tahapan pembentukan Undang-Undang hukum keluarga Islam di dunia Islam

atau bangsa muslim. Maka dari itu peneliti mengangkat judul tentang

“Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki.”

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan Judul Skripsi ini yaitu Pembatalan Perkawinan di

Indonesia dan Turki.

Maka masalah tersebut dapat di identifikasi sebagai berikut:


10

1. Perbedaan mazhab menjadi masalah tentang pembatalan perkawinan di

Indonesia dan Turki. Indonesia mayoritas bermazhab Syafi‟i sedangan Turki

mayoritas bermazhab Hanafi.

2. Indonesia dan Turki mempunyai kesamaan batalnya suatu perkawinan

dimulai setelah putusan pengadilan agama yang berkekuatan hukum tetap.

3. Secara umum masyarakat Indonesia belum memahami pembatalan

perkawinan dan akibat hukum yang ditimbulkannya.

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Supaya pembahasan masalah dalam penelitian ini berfokus pada

pokok permasalahannya, penulis merasa perlu membatasi masalahnya.

Adapun batasan masalah tersebut adalah mengenai Undang-Undang No.1

Tahun 1974 pasal 22 sampai dengan pasal 28 dan Peraturan Pemerintah No.9

tahun 1975 pada pasal 37 dan 38, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam yang

mengatur beberapa ketentuan mengenai pembatalan perkawinan tercantum

pada Bab XI pasal 70 sampai dengan pasal 76, dimana pada pasal 71

mencantumkan mengenai suatu perkawinan yang boleh dibatalkan dengan

persyaratan tertentu. Tentang pembatalan perkawinan Undang-Undang Turki

Pembatalan perkawinan (Nullity of Marriage) di negara Turki dalam

Undang-Undang Sipil Turki dijelaskan bahwa pernikahan menjadi batal

apabila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi.


11

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas dapat diketahui bahwa

permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan

sebagai berikut:

1. Bagaimana pembatalan perkawinan di Indonesia?

2. Bagaimana pembatalan perkawinan di Turki?

3. Apakah persamaan dan perbedaan pembatalan perkawinan di

Indonesia dan Turki?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas seusatu

yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman

tersebut, maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui pembatalan perkawinan di Indonesia .

2. Untuk mengetahui pembatalan perkawinan di Turki.

3. Apa persamaan dan perbedaan pembatalan perkawinan di Indonesia dan

Turki.

Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula

dengan peelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat bermanfaat

sebagai berikut :

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang Undang-

Undang yang mengatur tentang Pembatalan Perkawinan.


12

2. Diharapakan pula mampu memberikan penjelasan tentang pengaruh aliran

mazhab di negara Indonesia dan Turki.

3. Dan diharapkan mampu memberikan persamaan dan perbedaan

permbatalan perkawinan di kedua negara tersebut.

E. Review Studi Terdahulu

Setelah penyusun melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap

karya-karya ilmiah (skripsi) yang ada, terdapat sejumlah skripsi yang

membahas aturan pembatalan perkawinan dan mempunya hubungan dengan

judul skripsi ini, di antaramya adalah:

1. Angga Permana, Pembatalan Perkawinan menurut Undang- Undang

No.1 Tahun 1974 dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Studi

Perbandingan Hukum tentang Kedudukan anak dan Harta kekayaan).

UIN Walisongo, 2012.

Skripsi ini lebih menekankan dalam hal perbandingan perundang-

undangan tentang pembatalan perkawinan No.1 Tahun 1974 dengan kitab

hukum perdata.

2. Astuti Nur Halimah, Pembatalan Perkawinan karena Hamil di luar Nikah

(Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali. STAIN Salatiga, 2012.

Skripsi ini membahas tentang penetapan pembatalan perkawinan karena

terjadi penipuan, dilihat dari sudut pandang Majlis Hakim Pegadilan

Agama Boyolali.

3. Sikun, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembatalan Perkawinan karena

pemalsuan Identitas dan Pengaruhnya atas Hak warisan anak (Studi


13

kasus putusan perkara No.266/Pdt/G/2005/PA. Bantul). UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Skripsi ini membahas tentang pembatalan perkawinan karena pemalsuan

identitas dan pengaruhnya terhadap hak warisan anak, temuan peneliti

yaitu tentang putusan perkara No. 266/PDT/G/2005/PA. BANTUL.

4. Sukron Ma‟mun, Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang Hukum Keluarga di Negara Muslim: Studi

perbandingan antara Negara Mesir, Aljazair, Yordan dan Maroko. Binus

University, 2014.

Skripsi ini membahas tentang Pembatalan perkawinan di keempat negara

tersebut, kemudian membandingkan keberanjakan undang-undang negara

tersebut dari konsep hukum islam klasik.

5. Amirul Khusani, Studi Perbandingan dalam Pembatalan Perkawinan di

Indonesia dan Malaysia menurut Maslahah al-Mursalah (Undang-Undang

No. 1 tahun 1974 tentang Keluarga Indonesia dan enekmen hukum

keluarga Islam No. 17 Tahun 2003 Negara Johor. UIN Maulana Malik

Ibrahim Malang.

Skripsi ini membahas tentang Maslahah al-Mursalah dari pembatalan

perkawinan di Indonesia dan Johor serta akibat hukumnya dari

pembatalan perkawinan dikedua negara tersebut. Dari Skripsi-skripsi ini

yang sudah ditulis terdahulu tampak bahwa apa yang penulis tulis dalam

skripsi ini berbeda dengan apa yang sudah ditulis oleh peneliti-peneliti

terdahulu.
14

F. Metodologi Penelitian

1. Desain Penelitian

Penelitian ini mengunakan metode kualitatif studi pustaka yang dilakukan

untuk membandingkan pembatalan perkawinan menurut hukum di Indonesia dan

Turki. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong,10 metodologi kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam

penelitian ini data disajikan dari dokumen resmi peraturan hukum yang berlaku

di dua negara, yaitu Indonesia dan Turki mengenai pembatalan perkawinan.

Menurut Moleong sendiri penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek

penelitian, misalnya; perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara

komprehensif dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa

pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode ilmiah. Metode studi pustaka ini membantu untuk memahami fenomena

sosial yang terjadi di Indonesia dan Turki mengenai hukum keluarga khususnya

pembatalan perkawinan. Penelitian difokuskan pada pelacakan data untuk

membandingkan hukum di kedua negara mengenai pembatalan perkawinan dan

akibat hukum dari pembatalan perkawinan tersebut.

10
Moleong, L.J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Hal.4
15

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis Penelitian skripsi ini adalah Library Research (penelitian

keputakaan) yatu, sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang ada

kaitannya dengan skripsi ini yang diambil dari kepustakaan.11

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pendekatan Yuridis, yatu cara mendekati masalah yang diteliti dengan

pendekatan atau mendasarkan pada aturan perundang-undangan yang

berlaku.12 Dalam hal ini adalah Undang-Undang No.1 Tahun 1974, PP

No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam, Serta Undang-

Undang Sipil Turki 1926 yang sudah diamandemen berulang kali.

b. Pendekatan Normatif,13 yatu cara mendekati masalah yang diteliti

dengan berdasarkan al-Qur‟an, Hadits, Kaidah Fiqh dan Pendapat para

Ulama yang berkaitan dengan masalah Pembatalan Perkawinan.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber

data penelitian berupa data primer dan data sekunder.14 Dalam melakukan

penelitian ilmiah ini, peneliti menyusun berdasarkan sumber data yang

11
Hadari Nawawi Martini Mimi, Penelitian Tahapan (Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada,1996), h. 23.
12
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 41
13
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, h. 42.
14
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Pernanda Media
Grup,2008),h. 141.
16

terbagi ke dalam dua kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan sumber

data tambahan (sekunder) antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Yang menjadi bahan hukum primer (pokok) dalam penulisan skripsi

ini adalah:

Perundang-Undang di Indonesia yang di dalamnya memuat

ketentuan Pembatalan Perkawinan, yaitu Undang-Undang

Perkawinan No.1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No.9 tahun

1975 dan Kompilasi Hukum Islam.15 Sedangkan perundang-

undangan di Turki adalah Undang-Undang sipil Negara Turki (The

Turkish Civil Code : 1926).

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ialah merupakan data yang diperoleh dari

bahan kepustakaan.16 Sumber data sekunder yang peneliti gunakan ialah

dengan melalui kajian terhadap studi kepustakaan seperti buku karya

ilmiah, jurnal serta kasus-kasus yang berkaitan yang didapat melalui

sumber yang akurat.

4. Subyek Penelitian

Subyek penelitian merupakan seseorang atau sesuatu yang mengenainya

ingin diperoleh keterangan. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah

dokumen Peraturan Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki

15
Abd Rahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo,2010.h.129.
16
Lexi Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda
Karya,2005). Cet. XXI, h.6.
17

5. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Noor (2012: 138) teknik pengumpulan data merupakan cara

mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah

penelitian. Secara umum teknik pengumpulan data dapat menggunakan

wawancara, pengamatan, studi dokumentasi, dan focus group discussion

(FGD). Data-data dikumpulkan dari dua sumber primer mengenai hukum

pembatalan perkawinan di dua negara. Selain itu jga dilakukan pelacakan

terhadap pendapat para imam mazhab yang berkaitan dengan pengaruh

ketentuan hukum pembatalan perkawinan di Indonesia dan di Turki.

6. Teknik Analisis Data

Terdapat tiga teknik analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian

data dan penarikan kesimpulan. Reduksi dilakukan dengan cara memilah

informasi penting dari dokumen primer yang membandingkan hukum di

kedua negara. Setelah data primer direduksi, maka data disajikan dalam

bnetuk anasilis kualitatif deskriptif dengan menggunakan pisau analisis dari

teori yang akan digunakan. Setelah dianalisis secara mendalam dengan teori-

teori yang relevan, maka tahap selanjutnya disimpulkan menjadi suatu

gambaran lengkap dann komprehensif mengenai hukum pembatalan

perkawinan di Indonesia dan Turki.

7. Prosedur Penelitian
18

Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui analisis

dokumen peraturan hukum pembatalan perkawinan di Indonesia dan Turki,

dan juga pelacakan dokumen yang berkaitan dengan tema studi ini. Proses

analisis data dalam studi ini meliputi pengujian, pemilihan, kategorisasi,

evaluasi, membandingkan, melakukan sintesis, dan kembali melakukan

refleksi atas data yang telah dikumpulkan sementara. Dalam penelitian ini,

peneliti memilih metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan yang

berkorelasi dengan tinjauan dokumen.

8. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah media visual yang digunakan

untuk membandingkan kedua dokumen tentang hukum dari pembatalan

perkawinan dengan kaitannya pada perbedaan mazhab mayoritas masyarakat

di Indonesia dan Turki.

9. Pengujian Keabsahan dan Keterandalan Data

Dalam penelitian kualitatif, kriteria utama terhadap data penelitian adalah

valid, reliabel, dan obyektif. Data yang valid adalah data yang sesungguhnya

(Sugiyono, 2012).17 Untuk menguji keabsahan data dan keterandalan data,

maka diperlukan strategi sebagai berikut:

a. Perpanjangan pengamatan, yaitu peneliti kembali menekuni dokumen-

dokumen primer yang diteliti dari kedua negara tersebut. Kemudian jika

diperlukan, melacak dokumen tambahan untuk melengkapi data penelitian

yang sesuai dengan tema penelitian.

17
Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
19

b. Ketekunan/keajegan pengamatan, yaitu mencari secara konsisten

interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang

konstan atau tentatif. Maka peneliti akan menemukan ciri-ciri dari unsur-

unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang

sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara

rinci, (Moleong, 2007).18

c. Triangulasi sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-

bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk

membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun

berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan akan

menambah validitas data (Creswell, 2014).19

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

adalah BAB perbab, dimana antara BAB yang satu dengan BAB yang lainnya

memiliki keterkaitan. Sistematika penulisan yang dimaksudkan adalah

sebagai berikut:

BAB I merupakan bab Pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi

ini, dengan uraian bahasa meliputi: Latar Belakang Masalah,

Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi

Terdahulu, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

18
Moleong, L.J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
19
Creswell, J.W. (2014). Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
20

BAB II berkenaan dengan konsep dasar perkawinan dan pembatalan

perkawinan, yang membahas tentang pengertian perkawinan,

Tujuan dan Asas Perkawinan, dan Syarat Sah dan Rukun

Perkawinan. Serta di point kedua membahas tentang pembatalan

perkawinan menurut Fikih Empat Madzhab.

BAB III ini menjelaskan serta mendeskripsikan Pembatalan Perkawinan

di Indonesia dan Turki.Dasar Hukum pembatalan Perkawinan,

Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki,Akibat Hukum

Pembatalan Perkawinan, Prosedur Pembatalan Perkawinan,

Yang Berha mengajukan Pembatalan Perkawinan.

BAB IV Membahas analisis pembatalan perkawinan di Indonesia dan

Turki, yang didalamnya membahas tentang persamaan dan

perbedaan pembatalan perkawinan di Indonesia dan Turki, dan

Analisis tentang Pembatalan perkawinan di Indonesia dan Turki.

BAB V merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap

permasalahan dalam penyusunan skripsi ini. Sekaligus

memberikan saran yang mungkin dapat membantu memajukan

hukum keluarga.
BAB II

KONSEP DASAR PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab atau disebut dengan al-nikah

yang bermakna al-wathi‟dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga

disebut dengan al-dammu wa al-jam‟u, atau „ibarat „an al-wath wa al-„ aqd

yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.20 Sedangkan menurut bahasa

Indonesia adalah “perkawinan”. Namun bila dicermati, istilah tersebut

mempunyai makna yang sama, dan dalam karya tulis ini digunakan istilah

perkawinan.

Masalah perkawinan dalam Al-Qur‟an ditegaskan tidak hanya dalam

bentuk garis-garis besar saja, seperti hal nya perintah agama melainkan

diterangkan secara terperinci. Pokok-pokok hukum perkawinan dalam Al-

Qur‟an diterangkan dalam lebih dari 8 surat, adapun inti hukum perkawinan

dicantumkan dalam Al-Baorah ayat 221-23 mengenai perkawinan, perceraian

dan hubungan kerabat karena susuan.

Mengenai perintah Allah kepadamanusia untuk menikah dalamAl-

Qur‟an disebutkan dalam surat An Nuur ayat 32 yang artinya : ” Dan

kawinkanlah orng-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang

layak (kawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan”….

20
Wahbah al-Zuhailu, al-fi h Wa Adillatuhu, juz VII, Damsyi: Dar al-Fikr, 1989, h. 29

21
22

Nabi Muhammad SAW memperkuat Firman Allah di atas dengan

bersabda “Nikah adalah sunnahku, barang siapa yang mengikuti sunnahku

berarti termasuk golonganku dan barang siapa yang benci sunnahku berarti

bukan termasuk golonganku‟. (HR.Bukhori-Muslim).

Terdapat beberapa pengertian terkait dengan istilah perkawinan.

Bermacam-macam pendapat dikemukakan oleh ahli di bidang hukum

perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah

memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu

pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan

setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak

dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu disatu pihak, sedang

di pihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur itu dalam perumusan pengertian

perkawinan itu.

Pada bagian ini, penulis akan mengemukakan pengertian perkawinan

sebagai acuan teori penelitian yang akan dilaksanakan:

a. Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah perjanjian suci membentuk

keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.21

b. Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz

inkahyang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk

bersenang-senang.

21
Sayuti Thalib, Hukum kekeluargaan Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
1986. H. 4
23

c. Al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang

mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang

menggunakan kata nikah atau tazwij.

d. Muhammad Abu Zahrah didalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,

mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum

berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan

perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan

kewajiban

e. Imam Taqiyuddin didalam Kifarat al-Akhyar mendefinisikan nikah

sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan

syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wat‟(bersetubuh)

f. Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan

lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi

suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan

membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.22

g. Sedang R. Abdul Djamali dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam,

berdasarkan ketentuan kurikulum konsorsium ilmu hukum

berpendapat bahwa istilah perkawinan menurut hukum Islam adalah

nikah atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam

Bahasa Indoensia ada perbedaan, sebab kata “nikah” berarti hubungan

22
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/19 4 sampai KHI, KENCANA, 2004, h.
42
24

seks antara suami isteri, sedangkan “ziwaj” berarti kesepakatan antara

seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam

hubungan suami istri untuk mencapai tujuan hidup dalam

melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.23

h. Anwar Harjono mengatakan pernikahan adalah suatu perjanjian suci

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk

keluarga bahagia.

i. Wirjono Prodjodikoro berpendapat perkawinan adalah hidup bersama

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-

syarat yang termasuk dalam peraturan.24

j. K. Wantjik Saleh mengungkapkan, perkawinan adalah suatu perjanjian

yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang

pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam

Pancasila.

k. Ahmad Azhar Basyir dalam sebuah bukunya yang berjudul

HukumPerkawinan Islam berpendapat bahwa perkawinan menurut

hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan

hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa

23
R. Abdul Jamali. Hukum Islam. Mandar Maju. Bandung, 2000, h.78
24
Soedharyo Soimin. Hukum orang dan Keluarga. Sinar Grafika. Jakarta. 2004. h.73
25

ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah

SWT.25

l. Adapun Hilman Hadikusumo menyebutkan perkawinan merupakan

perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran

Tuhan Yang Maha Esa yang membawa akibat hukum, yaitu timbulnya

hak dan kewajiban dalam rangka melanjutkan keturunan

m. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau miitsaaqon goliidhan untuk mentaaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.26

Sedangkan perkawinan menurut Hukum Islam adalah suatu akad

atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan

perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang

diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai

Allah.

Sebagai penutup bagian ini, penulis akan membandingkan dengan

pengertian yang ada pada tata tertib kaidah-kaidah yang berlaku di

Indonesia yang terbentuk dalam bentuk kongkretnya disebut Hukum

Perkawinan atau istilah lain yang sama maksudnya yang telah berlaku sejak

dahulu sampai sekarang.

25
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, h. 14
26
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Jakarta, 1992/1993.
26

Tata tertib dan kaidah-kaidah ini pula yang telah dirumuskan dalam

suatu undang-undang yang disebut Undang-Undang Pokok Perkawinan

yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang

didalam Pasal 1 memberikan pengertian perkawinan adalah ikatan lahir

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari rumusan tersebut diatas jelas bahwa arti perkawinan adalah

“ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

isteri”. Dalam perkataan ikatan lahir batin itu dimaksudkan bahwa hubungan

suami istri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam

makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami istri dalam

ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa

ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas

B. TUJUAN DAN ASAS PERKAWINAN

Tujuan dilaksanakan perkawinan menurut hukum nasional adalah

untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan bila mendasarkan pada

Alqur‟an dan hadist dapat diperoleh kesimpulan bahwa tujuan perkawinan

dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.


27

K.Wantjik Saleh berpendapat, tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa

perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak diputuskan

begitu saja Pendapat lain mengemukakan tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk kehidupan rumah tangga dan menciptakan keluarga sakinah

dengan landasan kebajikan tuntunan agama.

Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya “Hukum Perkawinan Islam”

menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk

memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki

dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai

ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Tujuan perkawinan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu

untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan

warrohmah (keluarga yang tenteram penuh kasih dan sayang). Pada buku

yang ditulisnya, Soemiyati menjelaskan, bahwa tujuan perkawinan dalam

Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti

ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari‟ah.27

27
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, liberty,
Yogyakarta, 1986, h. 3
28

Rumusan tujuan perkawinan tersebut dapat diperinci sebagai

berikut

a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat

kemanusiaan.

Dengan perkawinan, pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan itu dapat

disalurkan dengan sah. Apabila manusia dalam usaha memenuhi hajat

tabiat kemanusiaannya dengan saluran yang tidak sah dan dilakukan

terhadap siapa saja, maka keadaan manusia itu tidak ubahnya seperti

hewan saja, dan dengan sendirinya masyarakat menjadi kacau balau

serta bercampur aduk tidak karuan.

c. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih Dengan

perkawinan maka terjalin ikatan lahir antara suami isteri dalam hidup

bersama diliputi rasa ketenteraman (sakinah) dan kasih sayang

(mawaddah wa rahmah).

Firman Allah SWT:

           

           

“Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah Dia ciptakan untuk


kamu jodoh dari jenis kamu sendiri, supaya kamu menemukan
ketentraman (sakinah)pada jodoh itu, dan Diajadikan diantara
kamu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah)…” (Q.S.
Arrum:21).
29

c. Memperoleh keturunan yang sah. Memperoleh keturunan dalam

perkawinan bagi kehidupan mengandung dua sisi kepentingan, yaitu:

kepentingan untuk memperoleh anak adalah karena anak-anak

diharapkan dapat membantu ibu bapaknya pada hari tuanya kelak.

Aspek yang umum atau universal yang berhubungan dengan keturunan

ialah karena anak-anak itulah yang menjadi penyambung keturunan

seseorang dan yang akan selalu berkembang untuk meramaikan dan

memakmurkan dunia ini. Selain itu, keturunan yang diperoleh dengan

melalui perkawinan akan menghindarkan pencampur adukan keturunan,

sehingga silsilah dan keturunan manusia dapat dipelihara atas dasar

yang sah.

Menurut hukum Islam, tujuan perkawinan adalah membentuk

keluarga dengan maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan

agar dalam rumah tangga dapat diciptakan ketenangan berdasarkan

cinta dan kasih sayang. Ketenangan yang menjadi kebahagiaan hidup

dapat diperoleh melalui kesadaran bahwa seseorang dengan ikhlas telah

menunaikan kewajibannya baik kepada Tuhan maupun kepada sesama

manusia. Saling memenuhi kewajiban antara suami isteri daNanggota

keluarga dalam rumah tangga merupakan salah satu cara membina

rumah tangga bahagia.

Dengan demikian perkawinan dan tujuan perkawinan sangat erat

hubungannya dengan agama, maka pendidikan agama dalam keluarga

merupakan conditio sine quo non untuk membentuk keluarga bahagia.


30

Sebab sesungguhnya agama akan membuat hidup dan kehidupan

manusia menjadi lebih bermakna.

Mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip dalam perkawinan

terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974, yaitu:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan materiil dan

spiritual.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa perkawinan adalah

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya

dan kepercayaannya. Itu, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari

yang yang bersangkutan mengijinkan, suami dapat beristeri lebih

dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan

lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh orang-

orang yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi

berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.


31

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami atau

isteri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik

tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik

dan sehat.Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara suami

atau isteri yang masih dibawah umur.

e. Mengingat tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini

menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus

ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang

pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun

dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala

sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama.

Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah pembentukan keluarga bahagia

dan kekal. Perkawinan yang sah menurut masing-masing agamanya,

pencatatan perkawinan, asas monogami terbuka, prinsip calon suami

isteri sudah masak jiwa raganya, batas umur perkawinan, perceraian

dipersulit, kedudukan suami isteri seimbang.


32

Rumusan lain seperti yang diuraikan oleh Arso Sosroatmodjo

dan Wasit Aulawi sebagai berikut28:

1. Asas sukarela,

2. Partisipasi keluarga,

3. Perceraian dipersulit,

4. Poligami dibatasi secara ketat,

5. Kematangan calon mempelai,

6. Memperbaiki derajat kaum wanita.

3. Syarat sah dan Rukun Perkawinan

Pada pelaksanaan perkawinan, calon mempelai harus memenuhi

rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah hakekat dari

perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak

mungkin dilaksanakan, sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan

adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk

hakekat perkawinan. Kalau salah satu syarat-syarat perkawinan itu tidak

dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.

Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:

28
Arso Sosroatmodjo dan Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang.
Jakarta, 19 8, h. 35
33

a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing

agamanya dan kepercayaannya.

b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pernyataan seperti tersebut diatas juga dijelaskan kembali pada

bagian penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yaitu “dengan

perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang

Dasar 1945”. Dari penjelasan itu dapat diambil kesimpulan bahwa sah atau

tidaknya perkawinan itu tergantung daripada ketentuan agama dan

kepercayaan dari masing-masing individu atau orang yang akan

melaksanakan perkawinan tersebut.

Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab

suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang

ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam

dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Syarat-syarat perkawinan terdapat

dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin


34

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,

orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah

dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam

keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara

mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah

hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Sedangkan pada Pasal 7 disebutkan:

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun.
35

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua

orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang

tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku

juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan

tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah:

a. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah, yaitu mempelai pria dan

wanita.

b. Wali.

c. Saksi.

d. Akad nikah.

Menurut jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-

masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu, sebagai berikut29:

1. Calon Suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam

b. Laki-laki

c. Jelas orangnya

29
Ahmad Rafik, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, h. 1
36

d. Dapat memberikan persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

2. Calon Isteri, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam

b. Perempuan

c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Wali nikah, syarat-syaratnya;

a. Laki-laki

b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya

4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

a. Minimal dua orang laki-laki

b. Hadir dalam ijab qabul

c. Dapat mengerti maksud akad

d. Islam
37

e. Dewasa

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

a. Adanya penyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaam dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata

tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau

umrah

g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu

calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua

orang saksi.

Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, bila tidak maka tidak

sah. Dalam kitab al-Figh „ala al-Mazhib al-Araba‟ah disebutkan bahwa nikah

fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil

adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan

nikah batil adalah sama yaitu tidak sah

Prinsip-prinsip Perkawinan berdasarkan pada ayat-ayat al-Quran

seperti yang dijelaskan oleh Musdah Mulia adalah sebagai berikut:


38

1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh

Kebebasan dalam hal memilih jodoh merupakan hak dan kebebasan bagi

laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat

Islam.

2. Prinsip Mawaddah wa rahmah

Prinsip ini didasarkan pada QS. Ar-Rum: 21. Perkawinan manusia

disamping tujuannya bersifat biologis juga bertujuan untuk mencapai ridha

Allah SWT.

3. Prinsip saling melengkapi dan melindungi

Prinsip ini didasarkan pada firmanAllah SWT yang terdapat pada QS. Al-

Baqarah: 187. Perkawinan laki-laki dan perempuan dimaksudkanuntuk

saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan

dan kekurangan.

4. Prinsip mu‟asarah bi al-ma‟ruf

Prinsip ini berdasar firman Allah SWT QS. An-Nisa‟: 19. Prinsip ini

sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada

wanita.

B. Pembatalan Perkawinan Menurut Fikih Empat Madzhab

Problematika nikah Fasakh menurut Wahbah Zuhaili dalam

bukunya Fiqh Islam Wafadiilatuhu bahwa nikah bisa dianggap rusak atau
39

nikah yang fasakh sifatnya dapat dikatagorikan beberapa kelompok yaitu

kapan terjadinya perpisahan dikatagorikan fasakh:

1. Menurut Imam Hanafi

Menurut Imam Hanafi terjadinya nikah yang fasakh ada enam

a. Apabila istri kembali menjadi kafir setelah ia masuk Islam atau setelah

suaminya mengislamkannya. Menurut Imam Abi Hanifah dan

Muhammad apabila suami kembali menjadi kafir maka jatuhnya talak

sedangkan menurut Abi Yusuf jatuhnya Fasakh.30

Terjadinya suatu pernikahan antara dua orang pasangan suami istri

yang mana terlebih dahulu si istri yang awalnya bukan beragama Islam

mengucapkan dua kalimat Syahadat untuk masuk ke dalam agama

Islam agar kedua pernikahan mereka sah, tetapi jika si istri kembali

menjadi kafir setelah menikah, maka rusaknya pernikahan mereka

itulah yang dimaksudkan oleh Imam Hanafi, sedangkan menurut Imam

Abi Hanifah dan Muhammad jika diantara kedua pasangan suami istri

yang ternyata sang suamilah yang kembali ke agama sebelumnya maka

hukumnya pernikahan yang akan jatuh pada perihal kasus ini adalah

talak, sedangkan menurut Abi Yusuf kasus ini adalah fasakh.

b. Murtadnya suami atau istri

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa jika salah satu

pasangan dari suami istri tersebut ada yang berpindah agama maka

terputuslah akad pernikahan mereka, begitulah jika salah satu dari

30
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6866
40

pasangan tersebut berpindah keyakinan, misal: menyekutukan Allah,

membandingkan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya, dll.31

c. Orang yang punya dua status kewarganegaraan secara hakikat dalam

hukum, contohnya apabila salah satu dari suami istri pergi ke negara

Islam dan ia muslim sedangkan sedangkan pasangan lainnya

ditinggalkan di negara yang sedang perang atau negara orang kafir

dan keadaannya kafir. Sedangkan menurut golongan selain Imam

Hanafi tidak terjadi perpisahan.

Dalam masalah kewarganegaraan ini menurut Imam Hanafi bagi

pasangan suami istri yang mempunyai kewarganegaraan dari kedua

negara yang berbeda secara haikat dan hukum, dan salah satunya oergi

ke negara muslim dan dalam kondisi telah menjadi seorang muslim,

sementara pasangan yang ditinggalakan di negara yang telah

mengalami peperangan atau negara kafir dan dia ditinggal dalam

keadaan kafir maka terputuslah akad tersebut secara fasakh atau rusak.

Sedangkan pendapat Imam yang lain bahwa tidak terjadi terputusnya

akad karena situasi yang tida dapat diprediksi.

d. Belum balighnya salah satu pasangan suami atau istri. Dalam

perpisahan ini yang memutuskan adalah seorang hakim. Apabila

perpisahan terjadi karena adanya cacat pada seorang istri, maka

31
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6866
41

perpisahan tersebut termasuk talak yang diputuskan oleh seorang

hakim.32

Batas umur atau belum balighnya salah satu pasangan suami

istri tersebut atau bahkan kedua pasangan tersebut belum ada satupun

yang cukup umur diantaranya, kedua hal ini yang memutuskan adalah

seorang hakim, karena diyakini tidak adanya pengetahuan yang cukup

karena terjadinya pernikahan ini disebabkan tidak tahunya mereka

batas umur menikah. Dan jika diyakini perpisahan tersebut diyakini

karena adanya cacat yang dimiliki oleh seorang istri maka putusnya

akad tersebut menjadi talak yang juga diputuskan oleh hakim. Dalam

hal ini hakim bertanggung jawab atau yang berhak memutuskan

perihal ini.

e. Seorang hamba atau budak yang merdeka, seorang budak yang

merdeka sedangkan suaminya masih seorang budak, maka baginya

diberikan dua pilihan apakah ia ingin menpertahankan perkawinannya

atau tidak. Apabila istri tersebut merdeka maka secara otomatis

perkawinanya berakhir kecuali ia memerdekakan suaminya.

Jika sang istri adalah budak yang merdeka, dan suaminya

masih menjadi budak , maka diberikan kepada sang istri dua pilihan

apakah ia ingin mempertahankan pernikahan atau tidak , karena jika si

istri telah merdeka maka terputuslah pernikahan itu secara pengakuan

32
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6866
42

kecuali ia ingin memerdekakan suaminya. Tetapi pada zaman sekarang

sudah tidak ada lagi budak.

f. Tidak cukupnya atau kurangnya mas kawin yang sanggup diberikan

oleh suami pada istrinya. Karena perpisahan terjadi bukan dengan

sebab pihak suami maka terjadilah fasakh bukan talak karena wanita

tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan talak.

Dalam hal mahar, jika sang suami tidak sanggup memberikan

maskawin yang telah dijanjikan maka terputuslah akad yang terjadi

antara mereka, karena hal itu sama saja dengan berhutang dan jika

tidak dilunasi maka akan mendzolomi pihak yang dirugikan.

2. Mazhab Imam Malik

Yang termasuk sebuah perpisahan yaitu fasad dibagi dua

a. Yang termasuk kesepakatan para ulama bahwa perpisahan itu fasad

yaitu fasakh. Seperti pernikahan karena kawin mut’ah, menikah

dengan orang yang diharamkan untuk dinikahi dan yang lainnya.33

Nikah mut’ah menurut Imam Malik sebagai salah satu nikah fasakh yaitu

nikah yang terjadi hanya untuk bersenang-senang dan setelah selesai

pernikahnnya maka ada pembayaran yang dilakukan oleh si suami, dan

pernikhan tersebut memiliki tenggang waktu, biasa disebut kawin kontrak,

nikah mut‟ah dilarang karena dapat menyebabkan perasaan sang isri

menjadi sakit, dan nikah mut‟ah itu seperti prostitusi.

33
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6867
43

b. Yang masih diperdebatkan dalam kefasadannya yaitu perpisahan

menurut Imam Malik termasuk shohih sedangkan menurut yang

lainnya tidak seperti menikahi wanita tanpa adanya wali dari pihak

perempuan, menurut Imam Hanafi termasuk shahih atau talak

sedangkan menurut Imam Malik termasuk Fasad atau Fasakh, contoh

yang lainnya yaitu nikah sirri yaitu pernikahan dimana saksi

pernikahan diminta untuk merahasiakan akad pernikahan mereka pada

orang lain. Menurut Imam Malik termasuk fasad sedangkan menurut

sebagian umat termasuk sahih.

Menurut Imam Malik salah satu lagi nikah yang termasuk

nikah fasakh adalah nikah sirri yaitu nikah yang dilakukan

tersembunyi, atau dirahasiakan, menurut Imam Malik bahwa nikah ini

fasakh karena tidak adanya wali dari pihak perempuan, nikah ini

dianggap nikah yang rusak karena dapat merugikan pihak perempuan

dari segi apapun.

Yang termasuk fasakh suatu perpisahan dalam perkawinan sebagai

berikut:

1) Apabila akad pernikah tidak sah seperti menikah dengan saudara

kandung atau dengan yang diharamkan lainnya juga menikahi

perempuan yang punya suami.

Pernikahan yang terjadi antara saudara kandung adalah nikah yang

sudah rusak dari awal, maka terjadilah fasakh secara langsung.


44

2) Menikah dengan orang yang harus dihormati karena ikatan

kekerabatan yang terjadi akibat sebuah pernikahan.

c. Dengan sebeb mengutuk, Karena dalam perpisahan wajib saling

menghormati selamanya karena ada hadits yang artinya “orang yang

saling mengutuk tidak bercampur atau berkumpul selamanya”.34

Dalam hal ini kita di peringati oleh Allah Swt untuk menjaga

lisan agar terus dengan baik, bahwa jika terucap kata-kata yang buruk

maka bisa saja terjadi putusnya akad pernikahan.

d. Dengan sebab suami kembali kafir setelah mengislamkannya oleh

istrinya begitu juga sebaliknya.

Salah satu dari pasangan kembali ke agama sebelumnya yang dia

anut terlebih dahulu sebelum dia menikah dengan sang istri, maka

putuslah akad itu secara langsung dan rusaklah pernikahan itu.

3. Menurut Imam Syafi‟i

Menurut Imam Syafi‟i fasakh ada tujuh belas macam: perpisahan

karena kesulitan memberikan mas kawin, dan kesuliatan memberikan

nafkah atau pakaian atau tinggal serumah setelah menunda perkawinan

selama tiga hari, perpisahan karena saling mengutuk, perpisahan karena

memilih merdeka, perpisahan karena ada aib atau cacat setelah

mengadukan urusannya kepada hakim dan aib nya atau cacatnya

permanen, dan terjadi fasakah dengan cepat kecuali cacat seperti impoten

maka jika terjadi demikian ditunda dulu selama setahun setelah penyakit

34
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6868
45

itu timbul, perpisahan karena seorang laki laki dan seorang budak

menikahi perempuan yang merdeka, dan mengibaratkan istri dengan

ibunya atau anaknya ketika bersetubuh, dan ditawannya suami istri atau

salah satunya sebelum mereka melakukan hubungan suami istri atau

sesudah, maka jika terjadi perbudakan maka hilanglah hak-hak dirinya

sendiri, maka terjadilah pencegahan yang pertama, perpisahan karena

murtad salah satunya, dan menikahi dua orang yang masih bersaudara atau

menikahi wanita lebih dari empat, dan apabila suami atau istri memiliki

yang lainnya, dan apabila seorang suami menceraikan istrinya tanpa alasan

yang pantas, pindah agama dari agama satu ke agama yang lainnya seperti

dari agama yahudi ke agama nasrani, menikahi saudara satu susu dengan

catatan lebih dari lima kali menyusu.35

4. Mazhab Imam Hanbali

Perpisahan dikatagorikan fasakh apabila:

a. Meninggalkan atau melepaskan istri tanpa ada kata-kata cerai atau

tanpa ada niat untuk menceraikannya.

Meninggalkan istri dalam jangka watu cukup lama yang dapat

menyebabkan terbengkalainya tugas-tugas suami kepada istri tanpa

ada kata-kata cerai, maka dari pihak istri dapat mengajukan fasakh

untuk melepaskan ikatan.36

b. Murtad salah satu suami atau istri

35
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6869
36
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6870
46

Pendapat Imam Hanbali ini sama dengan keempat madzhab yang lain

terutama Imam Hanafi. Bahwa murtadnya salah satu dari kedua

pasangan suami istri tersebut dapat menyebabkan terputusnya

hubungan pernikahan diantara mereka, dan terjadilah fasakh.

c. Ada penyakit gila atau penyakit ayan, atau cacat yang dimiliki oleh

istri seperti rapat kemaluan, bau, bisul atau ada tulang yang menonjol

diantara selangkangan, atau cacat yang dimiliki oleh laki-laki seperti

kelaminnya dikebiri atau impotent. Dan yang memutuskan

perkawinan tersebut fasakh adalah hakim.

d. Menikahi orang yang bukan beragama Islam

Pernikahan beda agama atau menikahi orang yang bukan satu agama

dapat menghancurkan atau merusak akad yang terjadi pada

pernikahan mereka, sama hal nya dengan murtadnya salah satu dari

kedua mempelai.37

e. Dengan sebab suami yang bersumpah untuk kita berhubungan badan

dengan istrinya dengan perantara seorang hakim, jika ia bersumpah

lebih dari empat bulan dan tidak melakukan hubungan badan, dan

tidak menceraikan istrinya ketika hakim memutuskan untuk bercerai.

Ini dapat juga termasuk ila‟ menghukum istrinya dengan

meninggalkannya dengan menggantunhgkan status hubungan yang

berlangsung diantara mereka, dan itu dilarang karena dapat menyakiti

37
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-islami Wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 6870
47

hati perempuan, dan menghentikan dia untuk melanjutkan hidup yang

akan dijalaninya.

f. Dengan sebab menjatuhkan kutukan, karena diharamkan bagi suami

atau istri mengutuk salah satunya, sekalipun tidak memutuskannya

oleh hakim.

Sama halnya dengan beberapa pendapat Imam Mazhab, maka Hanbali

pun memutuskan diharamkannya mengutuk satu sama lain, maka

dapat pula sang isri memfasakh pernikahannya itu.

.
BAB III

PEMBATALAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TURKI

A. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan

Untuk menguraikan tetang dasar hukum tentang pembatalan

perkawinan, disini dikemukakan ayat al-Qur‟an dan hadits-hadits yang

berkenaan dengan pernikahan yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan

rukun nikah.

Jika fasid nikah terjadi disebabkan karena melanggar ketentuan-

ketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan kawin

sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur‟an Surah An-Nisa: 22-23.

Surah An-Nisa: 22

             

     

“Dan janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang telah dikawini

ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan

itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).1

1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putera,1989,
h. 120

48
49

Surah An-Nisa :23

       

 
         

         

          

        

            

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang

perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara

yang perempuan. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-

laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-

ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu

[istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri

yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu

(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan

diharamkan bagimu), istri-istri anak kandungmu (menantu), dan

menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara,

kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha

pengampun lagi maha penyayang.2

2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putera,1989,
h. 120
50

Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhori yang artinya:

“Dari Khansa‟ binti Khidzam al-Anshariyah ra: Bahwa ayahnya telah

mengawinkannya sedangkan ia seorang janda , lantas ia tidak menyuka

pernikahan itu, kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah SAW maka

beliau membatalkannya. (HR. Bukhori).3

Sabda Rasulullah SAW, riwayat dari Aisyah ra yang artinya:

“Apabila seorang perempuan menikah tanpa ijin walinya maka

nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka bagi dia berhak

menerima mahar sekedar menghalalkan fajrinya, apabila walinya enggan

(memberi ijin) maka wali hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali bagi

perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali.”(Riwayat Imam empat

kecuali al-Nasa‟i).4

B. Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki

Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan pengadilan yang berupa

keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak

sah, dan segala sesuatu yang dinyatakan tidak sah, maka keadaan itu dianggap

tidak pernah ada.

Dari pengertian pembatalan ini dapat kita Tarik beberapa kesimpulan:

1. Perkawinan dianggap tidak sah

3
Al-Imam Zainudin Ahmad, Ringkasan Shahih Al-Bukhori, Bandung: Mizan Media
Utama,h. 791.
4
Ahad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, h. 83
51

2. Juga dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada

3. Oleh karena itu, Laki-laki dan perempuan yang dibatalkan perkawinannya

dianggap tidak pernah kawin sebagai suami istri.5

Dalam The Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 Pasal 19

dijelaskan, bahwa suatu pernikahan harus dibatalkan apabila salah satu

pihak berada dalam 3 (tiga) kondisi tertentu6:

1. Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah

2. Pada saat menikah salah satu pihak menderita penyakit jiwa

3. Termasuk dalam pernikahan yang dilarang.

Menurut Taufikurrahman Syahuri Menegenai Undang-undang

perkawinan, Negara Turki telah memformulasikan kedalam sebuah hukum


7
tertulis : Fifty Years Of Personal Law Reform 1915-1965. Adapun

materi mutan hokum keluarga turki tersebut adalah.

a. Pertunangan

b. Umur pernikahan

c. Larangan perkawinan

d. Resepsi pernikahan

e. Pembatalan perkawinan

f. Pernikahan yang tidak sah

g. Perceraian dan pemisahan

5
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: 1975, h. 71
6
Umar Faruq Thohir,” Reformasi Hukum Keluarga Islam di Turki,” dalam Khairudin
Nasution, dkk (ed), Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern, Cet. 1
(Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012)., Hlm 94.
7
Taufikurrahman Syahuri, Legislasi Hukum perkawinan di Indonesia,(Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2013 ),h. 108.
52

h. Hukum waris

Kemudian munculnya amandemen pada tahun 1988-1992 yang berisi

kesepakatan bersama (Divorce bye mutual consents), tetang nafkah

isteri penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung,

pasca pertunangan, perceraian dan adaposi disebabkan aturan-aturan

yang mengatur masalah tersebut masih jauh daarri keiinginan dan

harapan masyarakat 8

Oleh karena itu perlu dipahami perbedaan antara pembatalan

perkawinan dan pencegahan perkawinan dilakukan sebelum

berlangsungnya perkawinan dilaksanakan disebabkan adanya syarat-syarat

perkawinan yang belum terpenuhi. Pencegahan atau menghalang-halangi

perkawinan merupakan usaha untuk menghindari adanya suatu perkawinan

yang bertentangan dengan ketetentuan undang-undang yang berlaku.9

Sedangkan pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan itu

berlangsung. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sehingga,

pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan itu dilangsungkan,

sedangkan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan apabila

perkawinan telah dilangsungkan.

Pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merumuskan:

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-

8
Umar faruq Tohir, “Reformasi Hukum Keluarga Islam Turki”. Dan Kaahiruddin
Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Duinia Muslim Moderen, Cet 1( Yogyakarta:
ACAdeNIA,2012). H.101
53

syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Pengertian “dapat” pada pasal ini

diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan

hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dari pengertian

diatas, dapat kita pahami, apabila perkawinan telah dilangsanakan akan

tetapi sesudah terjadinya pelaksanaan perkawinan baru diketahui bahwa

perkawinan yang terlaksana itu rupa-rupanya masih terdapat kekurangan-

kekurangan yang menyangkut persyaratan yang ditentukan undang-undang.

R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan menyatakan bahwa kita

dapat disini tidak bisa dipisahkan dari kata dibatalkan yang berarti bahwa

perkawinan semula itu adalah sah, kemudian baru menjad batal karena

adanya putusan pengadilan sebagai lawan batal demi hukum. Jadi kalau kita

mengikuti alam pikiran Pembentuk Undang-Undang maka perkawinan itu

ada yang bisa dibatalkan dan ada yang tidak bisa dibatalkan atau ada

perkawinan yang sah dan ada perkawinan yang keabsahannya diragukan

sehingga dapat dibatalkan.

Perkawinan yang melanggar syarat-syarat formil dam materil maka

perkawinan itu dapat dibatalkan. Oleh karena itu sebelum berlangsungnya

suatu perkawinan perlu diadakan pemeriksaan dan penelitian terlebih dahulu

terhadap wali nikah dan calon suami istri tersebut, untuk mengetahui apakah

ada syarat perkawinan yang tidak terpenuhi atau tidak ada halangan yang

merintangi pelaksanaan perkawinan itu.


54

Ketentuan tentang pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV Pasal

22 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang perkawinan, serta dalam Bab

VI Pasal 37 dan Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975.

Pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan yang

daerah kekuasaannya meliputi tempat dilangsungkannya suatu perkawinan

itu, atau ditempat tinggal kedua mempelai, atau ditempat tinggal suami atau

istri. Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan ini dilakukan oleh

orang yang berhak mengajukannya. Dan juga ditentukan bagaimana tata

cara pengajuan permohonan, pemanggilan, pemeriksaan, dan putusan

dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang berlaku dalam Pasal 20 sampai

dengan Pasal 36. Sehingga dapat lebih jelaslah cara untuk melakukan

pembatalan perkawinan, yaitu sama hal nya dengan cara gugatan perceraian

yang secara terinci diatur pula dalam Pasal 20 sampa dengan Pasal 36,

sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan

perkawinan itu.

Dalam hal suatu perkawinan dengan sendirinya dianggap batal, oleh

Mr. Asser Scholten10 dan Mr. Vollmar.11 Diberikan contoh-contoh antara

lain yaitu:

a. Apabila suatu perkawinan dilaksanakan bukan dihadapan Pegawai

Pencatat Nikah.

b. Apabila suatu perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai

Pencatat Nikah, kemudian diketahui bahwa kedua mempelai


10
Asser Scholten, Hukum Perdata, Bag I, Cet ke-8, h. 89
11
Vollmar, Hukum Perdata, Bag I, Cet ke-2, h. 12
55

tersebut kelaminnya sejenis baik keduanya laki-laki maupun

keduanya perempuan.

C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki

Pembatalan perkawinan ditunjukan semata-mata agar tidak

menimbulkan akibat suatu perkawinan yang telah dilangsungkan itu tidak

terlindungi oleh hukum. Karena dengan adanya kekurangan-kekurangan

persyaratan atau dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan

dalam melangsungkan perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi tidak

sah. Dengan berlakunya Undang-Undang perkawinan, sah tidaknya suatu

perkawinan oleh Negara ditentukan pula oleh sah atau tidaknya perkawinan itu

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Pada dasarnya Undang-Undang perkawinan tidak mengatur secara

panjang lebar mengenai masalah akibat hukum dari pembatalan perkawinan.

Begitu juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tidak

mengatur lebih lanjut mengenai akibat pembatalan perkawinan.

Di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang perkawinan menyatakan

batalanya suatu perkawinan dimula setelah adanya keputusan Pengadilan

mempunya kekuatan hukum yang tetap. Dengan adanya keputusan yang

berkekuatan hukum tetap perkawinan kembali kepada keadaan semula sebelum

perkawinan itu ada. Pembatalan itu tidak mempunyai akibat hukum yang

berlaku surut terhadap:


56

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan. Hal ini adalah pantas

berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak tidak pantas

dipikulkan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalakan.

Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum

yang jelas dan resmi sebagai anak dari orang tua mereka. Oleh karena itu

pembatalan perkawinan tidak mengakibatkan hilangnya status anak-anak.

b. Suami atau istri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila

perkawinan itu didasarkan atas adanyaperkawinan lain yang lebih dahulu.

Pihak-pihak yang beritikad baik dilindungi dari segala akibat-akibat

batalnya perkawinan, sehingga akibat yang bisa menimbulkan kerugian

akibat pembatalan harus dipikulkan kepada pihak-pihak yang beritikad

tidak baik yang menjadi sebab alasan pembatalan perkawinan, kecuali

terhadap harta bersama. Sepanjang mengenai harta bersama yang

diperoleh selama perkawinan dianggap sah sebagai harta kekayaan

perkawinan yang pelaksanaan pemecahan pembagiannya dipedomani

ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan. Yiatu harta bersama

diatur menurut hukumnya masing-masing.

c. Juga terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan

tidak mempunya akibat hukum yang berlaku surut. Karena itu segala

ikatan-ikatan hukum dibidang keperdataan atau perjanjian-perjanjian yang

diperbuat oleh suami istri sebelum pembatalan adalah ikatan-ikatan dan

persetujuan yang sah dan dapat dilaksanakan kepada harta perkawinan

atau dipikul bersama oleh suami istri yang telah dibatalkan perkawinannya
57

secara tanggung menanggung, bak terhadap harta bersama maupun

terhadap harta kekayaan masing-masing pribadi.12

Turki sebagai negara kerajaan Islam yang besar tentu memiliki

perhatian serius terkait pembatalan perkawinan yang diseusikan dengan

mazhab tertentu yaitu mazhab Hanafi. Pada tahun 1915 muncul dua Dekrit

Kerajaan Tukri Ustmani yang mereformasi hukum matrimonial (yang

berhubungan dengan perkawinan). Pertama, terkait dengan perceraian dan

pembatalan perkawinan. Dekrit tersebut berisi diperbolehkannya perempuan

mengupayakan pembatalan perkawinan atas dasar ditinggalkan suami atau

karena penyakit yang dideritanya.13

Adapun penyebab munculnya dekrit tersebut yaitu, banyak perempuan

yang terbebani dikarenakan tidak dibolehkan membatalkan perkawinan apabila

ditinggal suami atau karena suami menderita penyakit. Hal tersebut berakibat

merugikan keberlangsungan perkawinan dan keturunan. Permbatalan

perkawinan dilakukan selain ditinggal pasangan dan karena penyakit, juga

penipuan, salah sangka, pelanggaran terhadap prosedur perkawinan,

pelanggaran terhadap materi perkawinan. Pada masa itu, di Turki terjadi

gejolak politik yang besar sebagai bentuk akan dimulainya masa peralihan dari

kekhalifahan Islam menjadi sekularisme. Guncangan olitik inilah yang

kemudian menjadi perhatian kerajaan untuk membuat dekrit dengan tujuan

12
Yahya Harahap Kedudukan dan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta;
Sinar Grafika, 2005.h. 81
13
Umar faruq Tohir, “Reformasi Hukum Keluarga Islam Turki”. Dan Kaahiruddin
Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Duinia Muslim Moderen, Cet 1( Yogyakarta:
ACAdeNIA,2012). H. 99
58

spesifik pada pembatalan perkawinan dan perempuan diperbolehkan

mengajukannya.

Lahirnya Undang-Undang keluarga yang merupakan bentuk

amndemen terhadap undang-undang perkawinan Turki Tahun 1917 yang

mengharamkan poligami, menjadikan suami dan istri berkedudukan sama

dalam perceraian, dan sejak saat itu pembatalan harus dijatuhkan di pengadilan

dengan syarat-syarat tertentu, tidak semata-mata hak prerogatif suami.

Akibat Pembatalan Perkawinan tersebut pada tahun 1933-1965,

muncul undang-undang sebagai amandemen undang-undang sipil Turki 1926

antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami

istri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga

penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya

perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak

(Pasal 125-132).14 Adapun sebeb munculnya amandemen tersebut ialah konsep

ganti rugi, dispensas kawin, perbaikan hubungan ketika bercerai, dan kehendak

bercerai yang masih diluar dari kebutuhan masyarakat.

D. Prosedur Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki

Setiap orang hendak mengajukan pembatalan perkawinan mengajukan

permohonan itu kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan

itu dilangsungkan, atau di tempat tinggal suami atau istri. Undang-Undang

perkawinan menganut prinsip: “Tidak ada suatu perkawinan yang dengan


14
Umar faruq Tohir, “Reformasi Hukum Keluarga Islam Turki”. Dan Kaahiruddin
Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Duinia Muslim Moderen, Cet 1( Yogyakarta:
ACAdeNIA,2012). H. 100-101.
59

sendirinya batal menurut hukum”. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat

diputuskan oleh Pengadilan.15 Dengan dibatalkannya suatu perkawinan oleh

Pengadilan maka perkawinan tersebut menjadi batal.

Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diatur dalam

Bab VI Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975 yang menentukan:

a. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang

berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal suami istri,

suami atau istri.

b. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai

dengan tatacara pengajuan perceraian (ayat 2).

c. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemerisaan pembatalan

perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesua dengan tatacara

tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

Sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 diatas, segala sesuatu

yang berhubungna dengan pembatalan perkawinan sama prosedurnya dengan

tatacara perceraian. Untuk tidak berlebihan persoalannya akan dibicarakan

sehubungan dengan persoalan yang menyangkut perceraian.

Berdasarkan hal tersebut, maka kiranya dapat disimpulkan tata cara

permohonan pembatalan perkawinan sebagai berikut:

a. Permohonan pembatal perkawinan oleh pemohon atau kuasanya di ajukan

ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kediaman

15
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelasanaan Undang-
Undang Perakawinan No. 1 tahun 1974, Pasal 37
60

temohon, yang isinya memberitahukan niatnya untuk membatalkan tersebut

disertai dengan alasan-alasan yang dipergunakan untuk menuntut

pembatalan perkawinan tersebut. Dalam hal ini termohon tidak jelasatau

tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,

permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan tempat

pemohonan. Dalam hal ini termohon berada di luar negeri, maka Ketua

Pengadilan menyampaikan permohonan pembatalan perkawinan tersebut

kepada termohon melalui perwakilan Republik Indonesia setempat 9 Pasal

38 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 20

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975).

b. Pegadilan memanggil termohon secara tertulis dengan melampirkan

permohonan menganai pembatalan perkawinan, yang harus disampaikan

selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum persidangan pemeriksaan

dilakukan (Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 26

ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

c. Pengadilan memeriksa permohonan pembatalan perkawinan tersebut

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diajukan (Pasal

38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 29 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975). Jika termohon berada di luar

negeri maka pemeriksaan ditentukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan

sejak gugatan diterima di Pengadilan Negeri.


61

d. Pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak jika perdamaian tidak

dapat dilakukan, pemeriksaan dilakukan dalam siding tertutup, sedangkan

keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.

e. Apabila keputusan Pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

Panitera Pengadilan menyampaikan satu lembar dari keputusan itu kepada

Pegawai Pencatat Perkawinan, untuk selanjutnya oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan dicatat pada daftar yang diperuntukan untuk itu.

f. Jika pembatalan pemrkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama, Panitera

Pengadilan Agama itu berkeharusan meminta dikukuhkan putusan itu oleh

Pnitera Pengadilan Umum selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya putusan itu unyuk dikukuhkan, dengan menyebutkan

“dikukuhkan”, serta keputusan yang dikukuhkan itu ditanda tangani oleh

Hakim serta di cap dengan cap jabatan.

Negara Turki memiliki kesamaan dalam hal ini yaitu pembatalan dapat

dimohonkan kepada pengadilan. Perkawinan dapat dikatakan batal setelah

berkekuatan hukum tetap. Menurut mazhab Hanafi hakim memerintahkan

suami untuk menceraikan isterinya jika ada didalam termasuk syarat-syarat

ketentuan itu yang untuk menceraikan isterinya jika, pihak dari suaminya

menolak maka hakim yang menceraikannya.16

Sesuai dengan The Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 pasal 19

dijelaskan, bahwa suatu pernikahan harus dibatalkan apabila salah satu pihak

berada dalam 3 (tiga) kondisi tertentu yaitu:


16
Umar faruq Tohir, “Reformasi Hukum Keluarga Islam Turki”. Dan Kaahiruddin
Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Duinia Muslim Moderen, Cet 1( Yogyakarta:
ACAdeNIA,2012). H. 100-101
62

1. Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah

2. Salah satu pihak pada saat pernikahan menderita sakit jiwa maupun

penyakit permanen lainnya.

3. Pernikahan termasuk yang dilarang.

Sedangkan menurut Hanafiyah, pernikahan dianggap batal jika ada

rukun atau syarat dalam pernikahan yang tidak terpenuhi.

E. Yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Orang-orang yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur

dalam Pasal 23 dan pasal 24 Undang-Undang No.1 tahun 1974. Pasal 23

menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan

yaitu:

a. Para keluarga dari garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.

Ketentuan ini korkondan dengan oknum-oknum yang dapat memberi izin

atau menjadi wali terhadap calon mempelai.

b. Suami atau istri. Ini berarti si suami atau istri sesudah perkwinan dapat

mengajukan pembatalan disebabkan oleh keadaan-keadaan yang disebutkan

dalam Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan.

c. Oleh Pejabat yang berwenang. Mengenai pejabat yang berwenang hanya

dapat meminta pembatalan selama perkawinan belum diputuskan. Jika telah

ada putusan Pengadilan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang

yang disebutkan pada sub a dan sub b, maka pejabat yang berwenang tidak

boleh lagi mengajukan pembatalan. Jadi pejabat yang berwenang dapat


63

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan selama belum ada putusan

pengadilan.

d. Salah seorang dari salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan

dapat mengajukan pembatalan atas suatu perkawinan yang baru. Ketentuan

Pasal ini hampir bersamaan dengan Pasal 15 Undang-Undang Perkawinan,

yaitu hal yang berhubungan dengan pencegahan perkawinan.Tapi oleh

karena Pasal 24 Undang-Undang perkawinan ini berhubungan dengan

penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Perkawinan, pembatalan ini hanya

berlaku mutlak bagi laki-laki saja sebagaimana bagi seorang istri mutlak

tidak boleh kawin dengan laki-laki lain selama dia masih mempunyai

seorang suami yang sah. Akan tetapi, bagi seorang laki-laki sesuai dengan

pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan dapat saja

melakukan perkawinan poligami jika telah dipenuhi ketentuan-ketentuan

ayat 2 Pasal 3 dan pasal 4 undang-undang Perkawinan. Jadi seorang istri

baru dapat mempergunakan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang perkawinan

selama dia belum memberikan izin persetujuan atas perkawinan yang baru

dilakukan oleh seorang suami. Akan tetapi bagi seorang suami selamanya

tanpa suatu persyaratan apapun dapat mempergunakan hak untuk

pembatalan kapan pun atas perkawinan baru yang dilakukan oleh seorang

istri.

e. Pembatalan dapat juga dimintakan oleh pihak kejaksaan sesuai dengan yang

diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, apabila

perkawinan dilakukan oleh pejabat pencatat yang tidak berwenang atau


64

apabila wali yang bertindak adalah wali yang tidak sah atau apabila

perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri dua orang saksi.17

Menurut hukum keluarga di Turki yang berhak mengajukan

pembatalan perkawinan yaitu: Para keluarga dari garis keturunan lurus ke

atas dari suami atau istri, Suami atau istri. Ini berarti si suami atau istri

sesudah perkwinan dapat mengajukan pembatalan disebabkan oleh

keadaan-keadaan tertentu, Oleh Pejabat yang berwenang, Salah seorang

dari salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan dapat

mengajukan pembatalan atas suatu perkawinan yang baru, hakim

memerintahkan suami untuk menceraikan istrinya, jika suaminya menoak

maka hakim berhak memutuskan untuk menceraikannya. Pada tahun 1915

kekaisaran mengeluarkan dua putusan yang mereformasi hukum mazhab

Hanafi tentang hak perempuan untuk bercerai di pengadilan. Perempuan

dimungkinkan untuk meminta cerai pengadilan (Fasakh) dengan alasan

ditinggalkan oleh suami dan penyakit yang diderita suami.18

17
Yahya Harahap Kedudukan dan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta;
Sinar Grafika, 2005. h. 73
18
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and coparative
Analysis) Academy of law and Religion, New delhi, 1987,h.264
BAB IV

ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN DI INDONESIA

DAN TURKI

A. Persamaan dan perbedaan pembatalan perkawinan di Indonesia dan

Turki

1. Pembatalan Perkawinan di Indonesia

Syariat merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah SWT

melalui Rasul-Nya yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang

berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT

maupun dengan sesama manusia dan benda, dasar-dasar hukum ini dijelaskan

atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya syari‟at

terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits.1

Jika diperhatikan secara dinamika hukum Islam di Indonesia terdapat

beberapa catatan; pertama, karakteristik hukum Islam Indonesia dominan

diwarnai oleh kepribadian Arab (Arab oriental dan lebih dekat kepada tradisi

Madzhab Syafi‟i. Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan yang dipakai

oleh para ulama yang kebanyakan menggunakan kitab-kitab fikih

Syafi‟iyyah.2

Kondisi seperti ini terlihat pula pada rumusan Kompilasi Hukum Islam

yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia yang kental dengan warna

Syafi‟inya. Selain itu, secara metodologis pun para ulama kebanyakan

1
Daud Ali, M. Hukum Islam PIH dan THI Indonesia , (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), h. 42
2
Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Madzhab Syafi’I di Asia Tenggara, Fikih dalam
Peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia,
(Semarang: PT Pustaka Jaya Abadi,2008), h. 88.

65
66

menggunakan kitab-kitab usul fikih karangan ulama-ulama Madzhab Syafi‟i.

Sebagaimana dimaklumi bahwa usul fikih terutama yang diajarkan di

kebanyakan pesantren, sebagian besar pembahasannya baru sampamasalah

qiyas, walaupun ada yang lebih luas dari itu.3

Kedua, dilihat dari aspek substansi (ruang lingkup) hukum Islam yang

dikembangkan di Indonesia, tampaknya lebih dititik beratkan pada hukum

privat atau hukum keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), seperti: perkawinan,

kewarisan, perwakafan, seperti yang tercangkup dalam KHI. Lembaga

Peradilan Agama pun hanya berwenang menangani perkara yang berkatan

dengan perkara terbatas (kendati telah ada penambahan kewenangan dalam

bidang ekonomi Syariah , namun secara Praktik belum dapat ditangani PA).

Memang ada informasi yang menggembirakan, yakni kehadiran bank-bank

Syariah dan BMT-BMT, serta lembaga-lembaga keuangan Syari‟ah di

Indonesia dewasa ini yang merupakan fenomena eksistensi hukum Islam

dalam bidang mu‟amalah.

Ketiga, dilihat dari aspek pemberlakuan, tampaknya ada kecenderungan

kuat bahwa hukum Islam diharapkan menjad bagian dari hukum positif

negara, sebagai bentuk akomodasi pemerintah terhadap umat Islam.4 Jika

kecenderungan itu dikaitkan dengan masalah efektifitas hukum, nampaknya

bahwa ada harapan dengan diangkatnya menjadi hukum negara, hukum islam

akan memiliki daya ikat yang kuat untuk ditaati oleh masyarakat yang

3
Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Madzhab Syafi’I di Asia Tenggara, Fikih dalam
Peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia,
(Semarang: PT Pustaka Jaya Abadi,2008), h. 91-92.
4
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 269.
67

beragama Islam. Logika hukum seperti itu sementara dapat diterima,

kendatipun pada kenyataannya tudak selalu terjadi demikian. Ada

kekhawatiran bahwa pemerintah akan memanfaatkan kondisi seperti ini untuk

ikut serta menentukan formulasi hukum Islam yang mana dan seperti apa

sebaiknya diimplementasikan di Indonesia.5

2. Pembatalan Perkawinan di Turki

Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim pada abad 20 adalah

adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan

waris) di negara-negara mayoritas Muslim. Terutama Turki misalnya,

melakukan pembaharuan pada tahun 1971.6

Lahirnya undaang-undang keluarga yang merupakan bentuk amandemen

terhadapa undangundang perkawinan 1917 yang mengharamkan polgami

menjadikan suami isteri berkedudukan sama dalam perceraian, dan sejak saat

itu perceraian harus dijatuhkan di pengadilan dengan syarat-syarat tertentu,

tidak semata-mata hak prerogative suami.

Pada tahun 1933-1965 muncul undangundang sebagai amandemen

undang-undang sipil Turki 1926. Adapun hail amandemen terhadap undang-

undang sipil turki 1926 antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensai

kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan

ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk percaraian di luar

5
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 271.
6
Prof. Dr. Abu Su‟ud, Islamologi, Sejaran, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban
Manusia, h. 101.
68

pengadilan serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan padaa

kehendak masing-masing pihak pasal 125-132. 7

Sebelum masuk kepada pembaharuan hukum keluarga, Turki

mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di Asia Barat.

Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada Madzhab Hanafi, juga

kemudian juga menampung madzhab-madzhab lain, seperti dalam Majallah

al-hakam al adhiya8 yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di

dalamnya tidak aturan tentang hukum keluarga.

Madzhab Hanafi mulanya tumbuh di Kuffah sesuai dengan tanah

kelahiran Imam Abu Hanifah, kemudian tersebar ke negara-negara Islam

bagian Timur. Hingga akhirnya Madzhab Hanafi merupakan Madzhab resmi

di Turki, Syiria dan Libanon. Dan Madzhab ini dianut sebagian besar

penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

Bila melihat sejarah pengaruh fikih hanafiyah dalam pembentukan

hukum keluarga di Turki pada mulanya, hal tersebut nampaknya tidak terlepas

dari sosok Muhammad ibn Hasan al-Syaibani(132-189 H). Beliau adalah

murid Imam Abu Hanifah kedua yang langsung berguru kepadanya setelah

Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim al-anshari (113-182 H). Sepeninggal Imam

Abu Hanifah, Muhammad ibn Hasan berguru kepada murid utamanya yaitu

Abu Yusuf. Bahkan sempat dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa, semasa

7
Umar faruq Tohir, “Reformasi Hukum Keluarga Islam Turki”. Dan Kaahiruddin
Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Duinia Muslim Moderen, Cet 1( Yogyakarta:
ACAdeNIA,2012). H.100-101
8
Fadil Sj, Pasang Surut Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.258.
69

hidupnya Muhammad ibn Hasan juga sempat berguru kepada Al-Imam Malik

bin Anas di Madinah.9

Kedudukan Muhammad juga sudah sampai ke derajat mujtahid mutlak,

tetepi tidak mustaqil karena beliau tetap masih merujuk kepada Madzhab

gurunya. Beliau adalah salah seorang murid yang paling banyak menyusun

buah fikir Abu Hanifah. Madzhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbasiyah

merupakan madzhab yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada

pemerintahan kerajaan Usmani, sehingga Madzhab ini dideklarasikan sebagai

Madzhab resmi negara.10

Selain itu Madzhab Al-Hanafiyah juga menjadi madzhab resmi khilafah

Bani Utsmaniyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Dan selama masa

kekuasaan Turki. Madzhab Al-Hanafiyah sempat dijadikan qonun atau

Undang-Undang, lengkap dengan bab, pasal dan ayat. Undang-Undang ini

kemudan diberlakukan di hampir semua wilayah Islam, baik di barat maupun

di Timur.

B. Analisis Komparatif Pembatalan Perkawinan di Indonesia dan Turki

1. Analisis Pembatalan Perkawinan di Indonesia

Pembatalan perkawinan secara umum belum familiar bagi orang

Indonesia. selam ini masyarakat lebih banyak mengenal tentang perceraian.

Untuk menganalisis mengenai pembatalan perkawinan antara di Indonesia

dengan di Turki maka perlu pendekatan analsisi komparatif dengan


9
Prof. Dr. Abu Su‟ud, Islamologi, Sejaran, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban
Manusia, h. 100.
10
Karsidi Diningrat R, Sejarah Modern Turki, h. 244.
70

membedakan mazhab yang paling banyak dianut oleh masyarakat di kedua

negara. Pembatalan perkawinan di Indonesia memiliki konsekuensi tersendiri

terutama terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan, kiranya perlu

kita cermati permasalahan yang berkenaan dengan saat mulai berlakunya

pembatalan perkawinan dimuat di dalam Pasal 28 ayat (1), sebagai berikut:

Batalnya suatu perkawinan dimula sejak putusan Pengadilan mempunyai

kekuatan hukum yang tepat dan berlaku sejak saat berlangsungnya

perkawinan.

1. Terhadap Anak

Selanjutnya permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum terhadap

pembatalan perkawinan di muat dalam Pasala 28 (2), sebagai berikut:

Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap

harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang lebih dahulu.

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam (a dan b) sepanjang

mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan

tentang pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Wibowo Reksopradoto memberikan ulasan terhadap Pasal 28 ayat (2)

sebagai berikut:11

11
Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan
Putusnya Perkawinan, Semarang: 1978, h. 25-58.
71

Keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut.

Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan

tidak berlaku surut, sehingga dengan demikian anak-anak ini dianggap sah,

meskipun salah seorang orang tuanya beritikad atau keduanya beritikad buruk.

Sedangkan bagi mereka yang kedua orang tuanya beritikad buruk, maka

anak-anaknya dianggap anak luar kawin, dan dianggap tidak ada perkawinan.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 lebih adil kiranya bahwa semua

anak yang dilahirkan, dalam perkawinannya yang dibatalkan, meskipun

kedua orang tuanya beritikad buruk anak tersebut masih anak sah.

Ini berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak

berdosa, patut mendapat perlindungan hukum. Dan tidak seharusnya bila

anak-anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai

orang tua, hanya karena kesalahan orang tuanya, dengan demikian menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 anak-anak yang dilahirkan itu

mempunyai status hukum yang jelas sebagai anak sah dari kedua orang tuanya

yang perkawinannya dibatalkan.

2. Terhadap Harta Yang Diperoleh Selama Perkawinan

Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap

harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang lebih dahulu.

Pembahasan mengenai harta yang ada pada dan sebelum perkawinan

serta setelah pembatalan perlkawinan merupakan masalah yang perlu


72

mendapatkan pemahaman mendalam, karena ini hal yang menyangkut

perlindungan hak dan kewajiban para pihak.

Sebelum membicarakan harta kekayaan suami istri dalam perkawinan,

terlebih dahulu harus dilihat mengenai kedudukan harta orang Islam secara

umum. Dalam bidang harta kekayaan seseorang dan cara penggabungan harta

tersebut dengan harta orang lain dikenal dengan nama syirkah atau syarikah.

Dilihat dari segi asal-usulnya harta suami dan istri dapat digolongkan

pada tiga golongan:12

1. Harta masing-masing suami dan istri yeng telah dimilikinya sebelum

meraka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-

sendiri atau bisa disebut harta bawaan.

2. Harta masing-masing suami dan istri yang dimilikinya sesudah mereka

berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha

mereka baik seorang-seorang maupun bersama-sama, tetapi merupakan

hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing.

3. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan

atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka atau disebut

harta pencarian.

Pada dasarnya harta suami dan istri terpisah, baik harta bawaannya

masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang suami istri

atas usahanya sendiri-sendiri maupun harta hibah yang diperoleh oleh salah

12
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: h. 83-84
73

seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka

terikat dalam hubungan perkawinan.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam menggariskan bahwa

pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri

karena perkawinan, adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan

adanya harta milik masing-masing suami dan istri.13 Harta istri tetap

menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami

tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.14

Bagi harta kekayaan bersama (gono-gini) merupakan harta bersama

yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang

beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk

harus menanggung segala kerugian-kerugian termasuk bunga-bunga harus

ditanggung.

Harta-harta kekayaan yang dibawa oleh pihak yang beritikad baik

tidak boleh dirugikan, sedangkan harta kekayaan yang beritikad baik bila

ternyata dirugikan, kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang beritikad

buruk. Dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang

beritikad baik harus dianggap tidak pernah ada.

3. Terhadap Pihak Ketiga

Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan

tidak mempunya akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan

perdata atau perkatan yang diperbuat suami dan istri sebelum pembatalan

13
Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam
14
Pasal 86 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
74

perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami istri

tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan.

Bagi anak-anak yang orang tuanya sudah dibatalakan perkawinanya

mereka anak sah dari ibu dan bapaknya. Oleh Karena itu anak-anak tetap

memiliki kewarganegaraan bapaknya, dan bagi warisan dan akibat perdata

lainnya ia mengikuti kekuatan hukum orang tuanya.

Adapun dalam Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa

akibat hukum terhadap pembatalan perkawinan tidak berlaku surut. Dan

dalam Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa batalnya suatu

perkawinan tidak akan memutuskan hukum antara anak dengan orang

tuanya.

Dengan demikian jelaslah bahwa di dalam Kompilasi Hukum Islam

secara ekspisit mengandung dua pengertian tentang pembatalan perkawinan,

yaitu perkawinan batal demi hukum seperti yang memuat pada Pasal 70 dan

perkawinan yang dapat dibatalakan seperti yang terdapat pada Pasal 71.

Dan pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang

telah mereka lahirkan yang termuat pada Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam.

Pembatalan perkawinan yang tidak familiar berkonsekuensi terhadap

status sosial yang bersangkutan secara sosial. Misalnya, bagi perempuan

yang perkawinannya dibatalkan harusnya memiliki status masih gadis,

karena seolah ia tidak pernah menikah secara sah secara hukum agama

maupun hukum negara. Berbeda dengan perceraian, seorang perempuan

akan menyandang status sebagai janda atau duda untuk laki-laki.


75

Di Indonesia, status sosial merupakan hal yang sangat diperhatikan

sebagai suatu entitas kehidupan sosial masyarakat. Struktur sosial menjadi

kerangka utama dalam tatanan masyarakat di Indonesia. Berbeda dengan di

Turki yang mengedepankan identitas gender dalam relasi sosial. Artinya,

pembatalan perkawinan bagi masyarakat Indonesia berpengaruh signifikan

bagi pemulihan status sosial. Semestinya, masyarakat menyadari jika

pembatalan perkawinan terjadi, status sosial si perempuan maupun si lelaki

tetap gadis dan bujang, bukan janda dan duda. Karena mereka

pernikahannya dibatalkan bukan bercerai.

2. Analisis Pembatalan Perkawinan di Turki

Turki adalah negara yang pernah menjadi pusat peradaban Islam di

dunia. Segala macam mekanisme hukum diterapkan dengan jangkauan

penerapannya yang luas sesuai dengan wilayah kekuasaan Kesultanan

Ottoman ketika itu. Kemudian diamandemen dalam hukum pembatalan

perkawinan yang diatur dalam The Turkish Family Law Of Cyprus Tahun

1951 Pasal 19. Inilah yang menjadi dasar hukum pembatalan perkawinan

Turki hingga sekarang.

Pascaamandemen, saat pemerintahan dikuasai oleh Mustafa Kemal

Attaturk, Turki mengadopsi hukum Barat, tepatnya dari Swiss. Hukum

inilah yang kemudian dijalankan hingga saat ini. tak terkecuali juga

mengenaik hukum perkawinan. Di Turki wanita boleh menggugat

pembatalan perkawinan secara sah dengan undang-undang negara. Di Turki,

perkawinan yang diakui hanya secara kenegaraan dengan hukm perkawinan


76

Barat. Perkawinan secara agama adalah illegal dan akan dikenakan sanksi

hukum pidana. (wawancara dengan Abi Ahmet, 29 Januari 2019).

Budaya patrialkal Turki mengakibatkan relasi gender yang sangat kuat

antara laki-laki dan perempuan. Gender menjadi pembeda dari keduanya.

Adapun penyebabnya ialah karena di Turki belum terwujud kesetaraan

Antara laki-laki dan perempuan di depan hukum. Lalu di tekankan pula,

bahwa perceraian yang dijatuhkan diluar pengadilan menyebabkan masalah

tersebut tidak tertib secara administrasi .

Berikutnya, tujuan pembaharuan hukum Islam di Turki secara umum

dapat pula di kelompokkan menjadi tiga yakni:

a. Unifikasi perkawinan

b. Peningkatan status wanita

c. Respon terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.

Menurut penulis, pembaharuan hukum keluarga Islam di Turki

meliputi tiga hal diatas. Petama unifikasi hukum perkawinan. Hal tersebut

dapat dilihat pada undang-undang tahun 1917. Kedua peningkatan status

wanita. Hal tersebut dapat dilihat pada undang-undang tahun 1915,

1924,1926,1933-1965, dan 1988-1992. Ketiga respon terhadaa[

perkembangan tuntutan zaman. Hal tersebut dapat dilihat pada tahun

1876,1917,dan 1923. Relevansi untuk kehidupan sekarang adalah

perubahan situasi dan kondisi yaitu suatu hal yang tidak dapat dihindarkan

oleh manusia. Merupakan hukum alam yang sudah ditentukan oleh Allah

SWT untuk selalu mengirigi kehidupan manusia. Atas dasar itu, sangat
77

wajar apabila Turki mengalami perubahan. Karena perubahan itu sesui

dengan hukum alam (Sunnatullah).

Kini, Turki telah mengalami banyak perubahan. Sebagai negara

Sekular, Turki lebih terbuka terkait dengan pembatalan perkawinan. Relasi

gender yang patrialkal seiring waktu mulai bias dan memunculkan ruangb

baru bagi kesetaraan gender. Artinya, Turki dengan Indonesia memiliki

kesamaan sebagai negara berkembang untuk mewujudkan hukum positif

yang dapat meneriam setiap perbedaan sebagai suatu keragaman yang

perlu diberikan penghormatan.


BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari Serangkaian Hasil Penelitian Kepustakaan yang penulis susun di atas,

maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Negara Indonesia yang mengatur tentang pembatalan

perkawinan tercantum dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974

peraturannya termuat dalam Bab VI pada pasal 22 sampai dengan Pasal

28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan

Pemerintah No.9 Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38. Dan

Kompilasi Hukum Islam yang mengatur beberapa ketentuan mengenai

pembatalan perkawinan tercantum pada Bab XI pasal 70 sampai dengan

pasal 76, Hukum Keluarga di setiap negara jelas dipengaruhi oleh fikih

(Madzhab). Seperti di Indonesia yang kental dengan pengaruh fikih

Syafi‟iyah, Setiap orang hendak mengajukan pembatalan perkawinan

mengajukan permohonan itu kepada Pengadilan dalam daerah hukum

dimana perkawinan itu dilangsungkan, atau di tempat tinggal suami atau

istri. Undang-Undang perkawinan menganut prinsip: “Tidak ada suatu

perkawinan yang dengan sendirinya batal menurut hukum”. Batalnya

suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Dengan

dibatalkannya suatu perkawinan oleh Pengadilan maka perkawinan

tersebut menjadi batal.

78
79

2. kemudian di Turki terkenal dengan fikih Hanafi, sebagai sumber utama

pembentukan Hukum Keluarga. Sebelum masuk kepada pembaharuan

hukum keluarga, Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum

Islam, terutama di Asia Barat. Hukum perdata Turki pada awalnya

didasarkan pada Madzhab Hanafi, juga kemudian juga menampung

madzhab-madzhab lain, seperti dalam Majallah al-hakam al adhiya,

yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak

aturan tentang hukum keluarga. dilihat dari aspek pemberlakuan,

tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa hukum Islam diharapkan

menjadi bagian dari hukum positif negara, sebagai bentuk akomodasi

pemerintah terhadap umat Islam. Pembaharuan hukum keluarga di Turki

terjadi pada tahun 1876, 1915,1917,1923,1924,1926,1933-1965, dan

1988-1992. Pembaruan hukum dari tahun ke tahun tentunya mempunyai

sebab yang berbeda beda dan tentunya isi hukum dengan isi hukum yang

berbeda beda pula, tergantung tujuan dan kepentingan masyarakat di

Turki. Unsur-unsur pembaharuan hukum keluarga yang ada di Turki

meliputi : masalah perkawinan pertunangan, umur pernikahan, orang

yang dilarang melakukan pernikahan, poligami, resepsi pernikahan,

pembatalan pernikahan, pernikahan yang tidak sah, perceraian dan

pemisahan,konpensasi, hukum waris.

3. Indonesia dan Turki sama-sama diatur dalam Hukum Positif yang berlaku,

aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang pembatalan

perkawinan tercantum didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal


80

22-28 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahunn 1975 Pasal 37 dan 38,

kemudian Kompilasi Hukum Islam tercantum pada Bab XI Pasal 70-78.

Sedangkan di Turki aturan hukum yang berlaku tentang pembatalan

perkawinan sesuai dengan The Turkish Family Law Of Cyprus Tahun

1951 Pasal 19. Terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan

yang dimuat dalam pasal 28 ayat (1), Batalnya suatu perkawinan dimulai

sejak putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tepat dan

berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan terhadap Anak.

Selanjutnya permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum

terhadap pembatalan perkawinan di muat dalam Pasal 28 ayat (2),

sebagai berikut: Keputusan tidak berlaku surut terhadap: Anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan tersebut, Suami atau istri yang bertindak

dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan

perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu,

orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam keterangan diatas,

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum

keputusan tentang pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum

tetap. Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah

dibatalkan tidak berlaku surut, sehingga dengan demikian anak-anak ini

dianggap sah, meskipun salah seorang orang tuanya beritikad atau

keduanya beritikad buruk. Sedangkan bagi mereka yang kedua orang

tuanya beritikad buruk, maka anak-anaknya dianggap anak luar kawin,

dan dianggap tidak ada perkawinan. Sebab terjadinya pembaharun


81

hukum keluarga Islam di Turki juga berbeda beda , namun secara umum

pembaharuan hukum tersebut disebakan karena banyaknya permasalahan

keluarga yang tidak tertulis dalam undang-undang, sehingga terkadang

terjadi berbagai tindak penyimpangan di Turki. Analisis dari penulis

skripsi ini ialah suatu hukum hendaknya disesuaikan dengan

kemaslahatan, pembaharuan hukum didasarkan pada Maqosyhid

Syari‟ah, dan perlunya kontekstualisasi.

B. Saran

Penulis mengharapkan adanya manfaat bagi kita semua. Sebelum mengakhiri

tulisan ini penulis ingin memberikan sedikit saran pada para pihak yang

berkompeten dalam bidang ini, kepada para pembaca khususnya pada seluruh

umat Muslim. Semoga dapat menjadi masukan yang membangun dan dapat

diterima. Adapun saran lainnya yang dapat penulis berikan sebagai berikut:

1. Skripsi ini membahas persoalan hukum yang cukup penting bagi berbagai

pihak. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi

pihak terkait untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan

keputusan dalam hal hukum pembatalan perkawinan. Semoga hukum

pembatalan perkawinan di Indonesia menjadi perhatian setiap keluarga

maupun pemangku kepentingan di bidangnya, terutama pengadilan agama.

2. Penelitian ini mengkomparasikan hukum pembatalan perkawinan di kedua

negara (Indonesia dengan Turki). Diharapkan dapat menjadi bahan acuan

bagi pengambil keputusan dalam urusan pembatalan perkawinan untuk


82

memperhatikan perbedaan pandangan mazhab dalam pelaksanaan

keputusan hukumnya.

3. Penelitian ini ditulis untuk menjadi referensi akademik bagi penelitian

selanjutnya. Pengembangan teori yang digunakan diharapkan dapat

menjadi kerangka analisis dalam mimbar akademik maupun dalam

mimbar sosial yang lebih luas di tengah masyarakat. Sehingga masyarakat

Indonesia terbina pengetahuan dan pengalamannya dalam menghadapi

kasus hukum pembatalan perkawinan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Al-Imam Zainududin. Ringkasan Shahih Al-Bukhori, Bandung: Mizan


Media Utama

Anderson. Hukum Islam di Dunia Modern, Surabaya: 1990

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004

Daud, Ali.Hukum Islam PIH dan THI Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996

Doi, I Rahman. Syariah Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta:


Grafindo Persada, 1996

Efeendi, Bahtiar. Islamdan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik


islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998

Firdaweri Dra, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1989.

Hamami, Taufik. Mengenal lebih dekat kedudukan dan Eksistensi Peradilan


Agama dalam system Tata Hukum di Indonesia, Bandung: 2013

Hamid, Tahir. Berapa hal baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar
Grafika

Harahap Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta:


Sinar Grafika, 2007.

Huda, Miftahul. Studi Kawasan Hukum Perdata Islam, Stan Ponorogo Press, 2014

Jamali, R. Abdul. Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 2000

Mahmud Petter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Pernanda Media


Grup, 2008.

Mahmud,T. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi : Academy of Law


and Regilion, 1987.

Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu,


2011

Martini,Hadari Nawawi. Penelitian Tahapan, Yogyakarta: 1996

Muzdhar Atho‟ M,Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam


Modern,Jakarta: Ciputat Press,2003.

83
84

Moleong lexi, Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,


2005.

Nuruddin, Amir. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, 2014

Rahman Abd, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika


Pressindo, 2010.

Ramulyo, Moh Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari suatu
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Jaarta: Bina
Aksara, 1990

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Grafindo Persada, 1998

Sabiq Sayid, Fiqih Sunnah VII, Penerjemah Mahyudin Syaf Bandung: PT.
alma‟arif,1981.

Sabrie, M Zufran. Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam No 19 Tahun 1995

Subekti, Imam Winarsih. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat,


Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,


Yogyakarta: Liberty, 1986

Sosroatmodjo, Arso. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,


1978

Scholten, Asser. Hukum Perdata, Bag I Cet ke 8

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinna Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,


2006

Thalib, Sayuti. Hukum kekeluargaan Indonesia, Jakarta

Umar faruq Tohir, “Reformasi Hukum Keluarga Islam Turki”. Dan Kaahiruddin
Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Duinia Muslim Moderen, Cet
1( Yogyakarta: ACAdeNIA,2012).

Sj, Fadil. Pasang Surut Peradaban Islam, Malang: UIN Malang Press , 2008

Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:


Premada Media, 2004

Zuhaili Wahbah, al-Fiqh al-islami wa Adillatuhu, Vol. VII,Beirut : Dar al-Fikr,


1989.

Anda mungkin juga menyukai