Anda di halaman 1dari 103

PENERAPAN KONTRAK BAKU PADA AKAD MUSYARAKAH DI BPRS

AMANAH INSANI KC MAWAR DAN BPRS PATRIOT BEKASI

(ditinjau dari fatwa DSN MUI dan KUH Perdata)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Ekonomi Syariah (S.H.)

Oleh :

Yuanita Nindyas Rakhmawati


11140460000150

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
ABSTRAK

Yuanita Nindyas Rakhmawati. NIM 11140460000150. PENERAPAN


KONTRAK BAKU PADA AKAD MUSYARAKAH DI BPRS AMANAH
INSANI KC MAWAR DAN BPRS PATRIOT BEKASI (ditinjau dari fatwa DSN
MUI dan KUH Perdata). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440
H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis kontrak baku pada pembiayaan
akad musyarakah yang digunakan pada BPRS Amanah Insani dan Patriot.
Peraturan yang digunakan yakni peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional yaitu Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang akad
Musyarakah dan Pasal 1338 KUH Perdata mengenai asas kebebasan berkontrak.
Dengan hal ini untuk dapat menganalisa penerapan perjanjian baku yang di
terapkan pada BPRS dan untuk membatasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
dalam menentukan setiap isi kontrak perjanjian terhadap nasabah agar tidak di
perlakukan sewenang-wenang oleh LKS sebagai pihak yang membuat perjanjian
baku dengan nasabah.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan
metode library research untuk melakukan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan, fatwa DSN, buku-buku, dan jurnal-jurnal penelitian yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa beberapa klausula dalam kontrak
pembiyaaan akad musyarakah yang disediakan oleh BPRS Amanah Insani dan
Patriot kepada nasabah masih terdapat ketidaksesuaian dengan fatwa DSN-MUI
secara umum, maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang secara khusus
lebih mengatur mengenai permasalahan yang ada dalam klausula kontrak
pembiayaan musyarakah tersebut.

Kata Kunci: Kontrak, Akad Musyarakah, Perjanjian Baku, BPRS Amanah


Insani, BPRS Patriot.
Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum., SH., MH., MDC
Daftar Pustaka : 2000 s.d 2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‟aalamiin, Segala puji dan syukur kehadirat Allah


Subhanahu wa Ta‟ala yang telah memberikan nikmat iman dan Islam serta
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umatnya sehingga dapat
terselesaikannya skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi
wa Sallam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.

Tiada yang sempurna di dunia ini, begitu juga dalam hal penulisan skripsi
ini yang mungkin tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, tetapi harapan
penulis, setidaknya skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk siapapun
membacanya, atau menjadi sumber inspirasi untuk penelitian-penelitian
berikutnya.

Tidak lupa juga ucapan terimakasih untuk semua pihak yang telah
memberikan bantuan tanpa pamrih baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat, ucapan terimakasih ingin
penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S,Ag., S.H., M.H., M.A. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. AM. Hasan Ali, M.A. dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Muhammad Maksum., SH., MA., MDC selaku dosen pembimbing
skripsi. Terimakasih telah bersedia meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis, keikhlasan hati, kesabaran dan kontribusi dalam
penyelesaian skripsi ini, atas kritik maupun saran sehingga dapat
memotivasi penulis.
5. Bapak Singgih Purbahantoro,S.E selaku pihak BPRS Amanah Insani Kc
Mawar yang menjabat sebagai Assistant Manager yang telah bersedia

i
meluangkan waktunya dan memberikan informasi-informasi BPRS
Amanah Insani Kc Mawar demi mendukung penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Ima Rahmayanty, selaku pihak BPRS Patriot Bekasi yang menjabat
sebagai SDI dan Umum yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
menerima penulis untuk melakukan penelitian di BPRS Patriot Bekasi ini.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, arahan dan masukannya, serta bersedia memberikan segala
datadata yang penulis perlukan, sehingga penulisan ini terselesaikan.
8. Seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Terimakasih banyak karena
dengan kesediaannya penulis dapat mengambil berbagai macam referensi
dari buku, jurnal, maupun informasi lainnya.
9. Untuk kedua orang tua penulis Bapak Rakhmat dan Ibu Endang
Suratiningsih, S.E yang sangat saya sayangi dan cintai, terimakasih selalu
sabar dan selalu mensupport penulis dari dulu hingga sekarang sampai
nanti. Terimakasih telah sabar mengahadapi penulis dan berusaha dengan
jerih payah untuk menyekolahkan penulis sampai ke jenjang perguruan
tinggi ini. Serta doa yang selalu diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah selalu melindungi dan
memberikan keberkahan hidup kepada kalian. Aamiin Yaa Rabbal
„Alamin.
10. Untuk seorang yang teristimewa dalam hidupku suami tercinta Guswana
Akhbar, S.A.B yang turut memberi dukungan baik moril maupun materil
sehingga sangat mendorong penulis untuk terus berusaha dalam
menyelesaikan skripsi ini dan demi terwujudnya cita-cita untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum.
11. Kepada kakak penulis yaitu Yuliana Ningtyas Rakhmawati, S.H dan adik-
adik penulis yaitu Yolanda Ningrum Rakhmawati dan Amanda Shafira
Rakhmawati. Terimakasih atas kebaikannya telah memberikan dukungan
moril dan menjadi penawar kesulitan penulis dalam mengerjakan skripsi

ii
ini. Semoga Allah selalu memberikan kesuksesan dimanapun kalian
berada. Aamiin Yaa Rabbal „Alamin.
12. Kepada seluruh teman-teman, sahabat-sahabat yaitu Venny, Vesil, Opet,
Ines, Bella, dan Tumi, serta pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan pikiran maupun tenaga sehingga skripsi
ini dapat selesai dengan baik.
Semoga doa, motivasi dan bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak
tersebut mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Subhanahu wa
Ta‟ala, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, 22 Oktober 2019

Penulis,

Yuanita Nindyas Rakhmawati

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iv

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................1


A. Latar Belakang ..........................................................................1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 7
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 7
D. Rumusan Masalah ..................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
F. Metode Penulisan Skripsi.......................................................... 8
G. Metode Penelitian ……………………………………………. 8
H. Kerangka Teori........................................................................ 11
I. Sistematika Penulisan.............................................................. 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA.....................................................................16


A. Hukum Kontrak ……………………………………………...16
1. Pengertian ………………………………………………..16
2. Asas Hukum Kontrak ...………………………………….21
3. Syarat Sahnya Kontrak….………………………………..25
4. Berakhirnya Kontrak....…………………………………..26
5. Kontrak Baku ……………………………………………28

B. Akad Musyarakah ...................................................................30


1. Perngertian ………………………………………………30

iv
2. Landasan Hukum Musyarakah…………………………..31
3. Jenis-jenis Musyarakah ………………………………….32
4. Ketentuan Hukum dalam Syirkah ……………………….34
5. Aplikas Musyarakah dalam Aplikasi Perbankan ………..36
6. Berkahirnya Akad Musyarakah …………………………37

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu………………………...37

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG BPRS AMANAH INSANI


KC MAWAR DAN BPRS PATRIOT BEKASI .......................43
A. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Insani Kc
Mawar ……………………………………………………….43
1. Sekilas Sejarah …………………………………………..43
2. Visi Misi …………………………………………............43
3. Struktur Organisasi ……………………………………... 44

B. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Partiot Bekasi ….44


1. Sekilas Sejarah ………………………………………......44
2. Visi Misi ………………………………………………...45
3. Struktur Organisasi ……………………………………...46

BAB IV ANALISA DAN TEMUAN ........................................................47

A. Penerapan Kontrak Baku Akad Musyarakah di BPRS Amanah


Insani Kc Mawar dan Kontrak Baku Akad Musyarakah di
BPRS Patriot Bekasi ….……………………..........................47

B. Kesesuaian Kontrak Baku pada BPRS Amanah Insani Kc


Mawar dan Patriot Bekasi ditinjau dari Fatwa DSN-MUI No.
08/DSN-MUI/IV/2000 dan KUH Perdata pasal 1338 tentang
Kebebasan Berkontrak …………………………………….. 58

v
BAB V PENUTUP ...................................................................................64
A. Kesimpulan ………………………………………………….64
B. Saran ………………………………………………………...64

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1: Kontrak Perjanjian Akad Musyarakah BPRS Amanah Insani

Lampiran 2: Kontrak Perjanjian Akad Musyarakah BPRS Patriot

Lampiran 3: Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000

Lampiran 4: Surat Keterangan Wawancara di PT. Bank Pembiayaan Rakyat


Syariah Patriot Bekasi

Lampiran 5: Surat Keterangan Wawancara di PT. Bank Pembiayaan Rakyat


Syariah Kc. Mawar
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank merupakan salah satu institusi yang beroprasi di sektor keuangan
dan suatu lembaga yang memiliki dana dengan pihak-pihak yang memerlukan
dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi dalam lalu lintas pembayaran.
Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem perbankan ganda atau
dual banking system pada sistem perbankan yang terdiri dari sistem perbankan
konvensional dan sistem perbankan syariah. Di Indonesia kehadiran bank
yang berdasarkan syariah relatif baru yaitu pada awal 1990-an, Prakarsa untuk
mendirikan Bank Syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada 18-19 Agustus 1990.1 Namun, diskusi tentang Bank
Syariah sebagai basis ekonomi Islam sudah mulai dilakukan pada awal 1980.
Sejak tahun 1992, Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sampai saat
ini mengalami kemajuan yang sangat pesat sebagai salah satu infrastruktur
sistem perbankan nasional. Hal ini dipicu oleh UU No.10 tahun 1998 dan
undang-undang terbaru mengenai perbankan syariah yaitu UU No. 21 tahun
2008 adalah Bank Syariah yang melaksanakan kegiatan usahanya tidak
memberikan jasa lalu lintas dalam pembayaraan.2 Bank Syariah adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
(UUS), mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya dengan tidak mengandalkan pada bunga3.
Perbankan Syariah dapat menciptakan harmonisasi antara sektor
keuangan dengan sektor riil yang tercermin dari fungsi pokok Bank Syariah
sebagai penghimpun dana (funding), penyaluran dana (financing), dan
1
Lihat dari https://muttaqinhasyim.wordpress.com/2009/05/15/konsep-dasar-bank-syariah/,
pada 17 november 2018
2
Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syariah (BI, PAPS) Edisi 2,( Jakarta : Erlangga),
2014, h. 20
3
Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, Ed. 1,
2009), h. 4

1
2

pelayanan jasa (service).4 Fungsi penyaluran dana menjadikan bank syariah


sebagai media intermediasi antara pihak yang mempunyai kelebihan dana
(surplus) dengan pihak yang kekurangan dana (deficit) dengan cara
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan melalui bank syariah.
Perbankan syariah sebagai bentuk implementasi konsep ekonomi syariah
yang mempunyai spirit keberpihakan kepada sektor riil terutama usaha
menengah ke bawah atau Usaha kecil dan Mikro (UKM). Bank syariah
memiliki tiga jenis kelembagaan yaitu Bank Umum Syariah (BUS), Bank
umum yang memiliki Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS). Demi memenuhi kebutuhan akan sistem perbankan syariah
dalam perekonomian nasional yang dapat melayani seluruh lapisan
masyarakat termasuk pengusaha menengah, kecil maupun mikro maka sesuai
dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 di bentuklah Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). BPRS adalah perbankan yang beroperasi
dalam skala mikro dan diperuntukan untuk Usaha kecil dan mikro (UKM)
serta tidak diperkenankan melayani simpanan dalam bentuk rekening giro.
BPRS beroprasi pada wilayah kabupaten ataupun kotamadya dengan
jangkauan yang terbatas sebagaimana permodalannya yang relatif kecil. 5
Sebagian perbankan di Indonesia masih mengandalkan kredit sebagai
pemasukan utama dalam membiayai kegiatan operasionalnya, salah satunya
adalah BPRS. Istilah kredit yang dimaksud pada perbankan syariah adalah
istilah pembiayaan. Penggunaan istilah pembiayaan didasarkan karena
pembiayaan menggunakan prinsip-prinsip yang islami yakni mengutamakan
kesepakatan, kejujuran dan transparansi dengan nasabah. Pembiayaan atau
financing dapat di artikan dengan pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak
kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik

4
Andiwarman Karim, , Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 97
5
Saparuddin Siregar, “Performance Appraisal Pada BPRS”, Jurnal Manajemen bisnis,
Volume 1, Nomor 1, (Januari 2008), h. 27
3

dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain pembiayaan adalah


pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan.6
Dalam BPRS terdapat salah satu produk perbankan syariah yaitu
pembiayaan musyarakah, karena pembiayaan musyarakah mulai dikenal
dengan skim pembiayaan yang cocok untuk investasi kolektif dalam
kehidupan ekonomi modern namun dapatberpotensi besar pula dalam
menciptakan keseimbangan sektor moneter dan syariah, karena produk ini
melibatkan dua pihak yang sedang bergerak mengelola sektor usaha yang
memberikan nilai tambah pada gerakan ekonomi secara langsung. Besar
kecilnya rasio pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan internal dan
eksternal Dimana setiap kepentingan tersebut mengarahkan kepada tujuan
utama perbankan syariah yaitu perolehan keuntungan yang pastinya halal
menurut syariah dengan tingkat likuiditas yang baik sehingga kepercayaan
yang terbangun di masyarakat tetap terjaga.
Demi terwujudnya hal ini maka transaksi pembiayaan harus dibuat secara
tertulis sebagaimana di dalam syariah Islam menganjurkan untuk mencatat
setiap transaksi yang dilakukan secara tidak tunai. Sehingga di dalam transaksi
pembiayaan dikenal dengan adanya “Kontrak Pembiayaan” yang mengatur
segala hak dan kewajiban para pihak baik pihak penyedia dana maupun
penerima dana. Kontrak tersebut akan menjadi dasar dan rujukan bagi para
pihak untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atau sengketa yang sewaktu-
waktu akan terjadi di antara mereka. Dalam praktik setiap perbankan syariah
di Indonesia, perjanjian pembiayaan yang dibuat baijk dengan akta notaris
maupun akta di bawah tangan, pada umumnya dibuat dengan bentuk kontrak
baku yang sebelumnya telah disiapkan isi atau klausul- klausulnya oleh bank
dalam suatu formulir tercetak. Biasanya kontrak baku digunakan dengan
tujuan agar perjanjian dapat dilakukan secara cepat dan praktis. Sehingga isi

6
Veithzal Rivai, Islamic Banking, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), h. 681
4

kontraknya cenderung tidak seimbang atau berat sebelah, hak-hak bank


sebagai penyedia dana lebih banyak daripada kewajiban-kewajibannya,
sedangkan di lain pihak yang membutuhkan dana lebih banyak kewajiban-
kewajibannya dari pada hak-haknya.
Kebanyakan klausula baku digunakan dalam perjanjian antara produsen
dengan konsumen, sehingga pengertiannya dapat dirujuk pada UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 10 yaitu “Setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen”.7 Penggunaan kontrak baku ini salah satunya digunakan pada
pembiayaan musyarakah, dimana bank dan nasabah sama-sama memiliki
kontribusi dana dalam suatu usaha.8
Musyarakah merupakan akad kerjasama atau percampuran antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan
produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai nisbah
yang disepakati dan risiko akan ditanggung sesuai porsi kerjasama.9
Berdasarkan definisi ini Dewan Syariah Nasional (DSN) menetapkan bahwa
“Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut
sahamnya masing-masing dalam modal” menurut Fatwa DSN-MUI No.
08/DSN-MUI/IV/2000.10Dalam praktik perbankan, pembiayaan musyarakah
digunakan apabila nasabah membutuhkan pembiayaan dari bank kurang dari
100%. Artinya nasabah selain bertindak sebagai pelaku usaha, juga memiliki
dana sendiri (self financing) dalam usaha yang dibiayai oleh bank. Sehingga
adanya kontrak baku pada pembiayaan ini dirasa tidak wajar. Karena
7
Gatot Supramono, Perjanjian Utang-Piutang, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 20
8
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim,
2003), h.76
9
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim,
2003), h. 51
10
Fatwa dewan Syariah nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Musyarakah
5

bertentangan dengan konsep musyarakah itu sendiri apalagi sifat bank syariah
yaitu mengedepankan prinsip keadilan dan kemitraan.
Dalam hubungan pembiayaan antara bank dan nasabah yang dibiayai
tidak diposisikan sebagai kreditur (pemberi pinjaman) dan debitur (penerima
pinjaman), tetapi bank adalah mitra (partner) nasabah dalam bekerja sama
untuk suatu usaha dan apabila diperoleh hasil dari usaha bersama tersebut,
akan dibagi sesuai kesepakatan dengan porsi masing-masing pihak di dalam
usaha.11 Hubungan antara debiturkreditur secara konsep hanya diterapkan
pada bank konvensional.12
Dalam praktiknya setiap transaksi pembiayaan musyarakah selalu
diterapkan kontrak baku. Kontrak tersebut telah disediakan oleh pihak bank
untuk diisi dan ditandangani oleh nasabah. Sebelumnya nasabah diberi
kesempatan untuk membaca kontrak tersebut. Pihak bank juga menjelaskan
sekilas mengenai isi atau klausul-klausul kontrak yang berupa syarat-syarat
atau ketentuan ketentuan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh
nasabah dengan tujuan untuk membantu nasabah dalam memahami isi kontrak
baku. Pihak nasabah diberi pilihan untuk menerima perjanjian kontrak tersebut
atau menolaknya.
Penggunaan kontrak baku dalam pembiayaan musyarakah ini dinilai
tidak fair, terutama bagi nasabah. Karena kontrak baku cenderung
mengabaikan prinsip keadilan, kerelaan, dan kemitraan. Kontrak baku
menganut prinsip take it or leave it, sehingga ada unsur keterpaksaan dari
pihak mitra untuk menerimanya atau menolaknya, dimana pihak yang
memiliki dominasi atau kedudukan lebih kuat yang menentukan isi kontrak,
sedangkan pihak yang lebih lemah karena keadaan dan kebutuhan, terpaksa
menerima isi kontrak tanpa diberi kesempatan untuk memahami ataupun
bernegosiasi kontrak baku tersebut.

11
Yusak Laksmana, Tanya Jawab Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan di Bank
Syariah,(Jakarta: elex Media komputindo, 2014), h. 11
12
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan Perasuransian Syariah di
Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 64
6

Kontrak baku atau perjanjian baku dikatakan sebgai perjanjian yang tidak
seimbang, yang selalu menempatkan pihak pelaku usaha dalam posisi yang
lebih kuat. Seharusnya perjanjian kontrak harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian yaitu sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal,
sebagaimana di tentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan
terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut maka suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi pihak yang membuat perjanjian.
Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip syariah Islam. Dimana hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam kontrak syari‟ah adalah hal yang diperjanjikan
dan objek transaksi harus halal menurut syari‟ah, tidak terdapat ketidakjelasan
(gharar) dalam rumusan akad maupun prestasi yang diperjanjikan, para
pihaknya tidak menzalimi dan tidak dizalimi, transaksi harus adil, transaksi
tidak mengandung unsur perjudian (maysir), terdapat prinsip kehati-hatian,
tidak membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam ataupun
barang najis dan tidak mengandung riba.13 Sehingga penerapan kontrak baku
yang selama ini diterapkan di perbankan syariah khususnya di Pembiayaan
musyarakah menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat terutama di
kalangan para ahli hukum. Terkait dengan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan (selanjutnya disingkat OJK) yakni SE OJK Nomor.
13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku, bank wajib menerapkan asas
keseimbangan dalam kontrak pembiayaan. Asas keseimbangan adalah asas
yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian
yang telah disepakati.14
Adanya kondisi diatas, maka akan dilakukan sebuah penelitian dengan
judul ”Penerapan Kontrak Baku Pada Akad Musyarakah Di BPRS
Amanah Insani Kc Mawar Dan BPRS Patriot Bekasi (Ditinjau Dari
Fatwa DSN MUI dan KUH Perdata)”. Alasan lain melakukan penelitian ini

13
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 207
14
Ibnu Rusyidi, “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Pembiayaan Mudharabah pada
Perbankan Syariah”, Jurnal Manajemen bisnis, Volume 6, Nomor 1, (Maret 2018), h. 104
7

adalah untuk mengkomparasikan kontrak baku pembiayaan musyarakah pada


Bank Pembiyaan Rakyat Syariah (BPRS) Harta Insan Karimah Bekasi dan
Amanah Insani (Pusat) menurut Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000
tentang akad Musyarakah.

B. Identifikasi Masalah
1. Adanya peluang ketidaksesuaian kontrak baku akad musyarakah dalam
Fatwa DSN MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 dan pasal 1338 KUH Perdata
mengenai perjanjian baku pada BPRS sehingga dapat mempengaruhi
standarisasi pelaksanaan akad musyarakah.
2. Adanya perumusan penulisan kontrak baku yang berbeda pada Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.

C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini terarah dan mencapai tujuan sesuai yang diharapkan,
maka penulis membatasi permasalahan pada analisis kontrak baku akad
musyarakah di BPRS Amanah Insani Kc Mawar Dan BPRS Patriot Bekasi.

D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan kontrak baku pada akad musyarakah di BPRS
Amanah Insani Kc Mawar dan kontrak baku akad musyarakah pada BPRS
Patriot Bekasi?
2. Bagaimana kontrak baku pada BPRS Amanah Insani Kc Mawar Dan
BPRS Patriot Bekasi ditinjau dari Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-
MUI/IV/2000 dan KUH Perdata?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian yang dilakukan adalah :
1. Untuk menganalisa dan mengetahui kontrak baku seperti apa yang
digunakan dalam akad musyarakah pada BPRS Amanah Insani Kc Mawar
Dan BPRS Patriot Bekasi.
2. Untuk menganalisa dan mengetahui kesesuaian kontrak baku akad
musyarakah menurut Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000.
8

Manfaat Penelitian:
1. Bagi peneliti
Manfaat penelitian bagi peneliti yaitu dapat mengetahui lebih dalam
tentang kontrak baku pada pembiayaaan akad musyarakah di dalam BPRS,
serta dapat menambah pengetahuan penulis mengenai Bank pembiayaan
Rakyat Syariah di Indonesia.
2. Bagi akademisi
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi
bagi penelitian sejenis dan dapat dijadikan bahan perbandingan penelitian
yang telah ada maupun yang akan dilakukan. Penelitian ini juga dapat
memperluas khasanah ilmu pengetahuan mahasiswa, khususnya
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.
3. Bagi praktisi
Dengan adanya penelitian ini diharapkan adanya tolak ukur dan acuan bagi
para investor dalam melakukan investasi melalui akad musyarakah dilihat
dari jenis dan tempat berinvestasi yang baik dengan procedure yang
sesuai dengan Syariah.

F. Metode Penulisan Skripsi


Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti mengacu kepada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

G. Metode Penelitian
Peran metode penelitian sangat menentukan dalam upaya menghimpun
data yang diperlukan dalam penelitian, dengan kata lain metode penelitian
akan memberikan petunjuk dalam pelaksanaan atau petunjuk bagaimana
penelitian ini dilakukan. Dalam metode penelitian ini dijelaskan mengenai
cara, prosedur atau proses penelitian yang meliputi:
9

1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
dengan jenis pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,15dimana
kajian yang dilakukan menyelaraskan masalah dengan hukum islam,
Fatwa Dewan Syariah Nasional, hadits Rasulullah SAW, dan perundang-
undangan.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif yaitu dengan menguraikan,
menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara analitis bagaimana
kesesuaian kontrak baku pada transaksi pembiayaan musyarakah di BPRS
menurut hukum Islam. Tujuan peneliti menggunakan metode deskriptif ini
adalah untuk memberi gambaran dalam menganalisa dan memecahkan
permasalahan. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus
penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.
3. Sumber Data
Ada dua macam sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini untuk mendukung informasi atau data yang dignakan dalam penelitian,
dua sumber data tersebut adalah:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan
data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Data
ini diperoleh langsung dari pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) Harta Insan Karimah Bekasi dan Amanah Insani dengan
teknik wawancara.

15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali
Press, 2011), h. 13
10

b. Sumber Data Sekunder


Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain,
tidak langsung diperoleh penulis dari subyek penelitiannya. seperti
jurnal-jurnal, dokumen-dokumen, dan laporan penelitian terkait
dengan kontrak buku pembiayaan akad musyarakah.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menjawab masalah penelitian, diperlukan data yang akurat di
lapangan. Metode yang digunakan harus sesuai dengan obyek yang akan
diteliti. Dalam penelitian lapangan ini penulis menggunakan beberapa
metode:
a. Metode Kepustakaan
Metode Kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan cara
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang
menjadi objek penelitian. Informasi tersebut dapat diperoleh dari buku-
buku, karya ilmiah, tesis dan sumber-sumber lainnya. Supaya apa yang
diperoleh benar-benar memiliki landasan teori dan acuan yang jelas.
b. Metode Observasi
Metode Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan
terhadap keadaan atau perilaku obyek sasaran serta melakukan
wawancara untuk mendapatkan data dengan menggunakan metode
tanya jawab terhadap hal-hal yang menjadi kajian dalam penelitian ini.
Penulis mengamati dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang
berhubungan dengan kontrak baku pada BPRS yang ditinjau dari fatwa
DSN MUI dan UU. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran
kesesuaian kontrak baku pada akad musyarakah.
5. Subjek Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian penulis adalah
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Insani Kc Mawar dan
Patriot Bekasi mengenai kontrak baku menurut Fatwa DSN MUI dan UU.
11

Adapun teknik penarikan sampel yang penulis gunakan berupa sampel non
random, dimana subjek dan objek penelitian sudah penulis tentukan.
6. Teknik Pengolahan Data
Setelah data terkumpul baik data primer maupun data sekunder
kemudian data tersebut di organisir sesuai dengan permasalahan yang ada,
kemudian dilakukan analisa dengancara berikut:
a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti kembali
mengenai kelengkapannya, kejelasannya dan kebenarannya sehingga
terhindar dari kekurangan dan kesalahan.
b. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada
tiap-tiap pokok pembahasan secara sistematis.
7. Metode Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif
artinya menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam bentuk
kalimat-kalimat deskriptif, analisis yang dilakukan bertitik tolak dari
analisis empiris yang dalam pendalamannya dilengkapi dengan analisis
normatif. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara dedukatif,
yaitu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum
untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan bersifat khusus.
H. Kerangka Teori
Akad berasal dari kata Al-„aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan (ar-rabth). akad adalah pernyataan ijab dan qabul sebagai
pernyataan kehendak dua pihak atau lebih umtuk melahirkan suatu akibat
hukum pada objeknya.16 Jadi yang dimaksud akad oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari
satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak lain. Dengan adanya kad
tersebut menimbulkan pindahnya, munculnya atau berakhirnya suatu hak dan
kewajiban dari pihak nasabah dan BPRS sesuai dengan kontrak atau perjanjian
hukum syariah.

16
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 68
12

Pembiayaan Musyarakah adalah penyediaan dana oleh Bank yang


memenuhi sebagian modal usaha tertentu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan dengan nasabah sebagai pihak yang harus melakukan setelmen
atau penyelesaian transaksi atas investasi sesuai dengan ketentuan akad. Bank
dan nasabah sama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai
suatu kegiatan usaha tertentu.17 Dewan Syariah Nasional MUI dan PSAK No.
106 mendefinisikan Pembiayaan dengan jenis akad musyarakah merupakan
suatu usaha atau proyek yang masing-masing pihak berkontribusi pada
penyediaan dana dan bersepakat atas rasio keuntungan, apabila terjadi
kerugian maka akan disesuaikan dengan porsi modal yang diberikan. Dewan
Syariah Nasional (DSN) menetapkan beberapa rukun dan ketentuan untuk
pembiayaan musyarakah berdasarkan fatwa DSN-MUI No:
08/DSNMUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah. Skema pembiayaan
berdasarkan akad Musyarakah dapat dilihat pada Gambar.

Skema pembiayaan akad Musyarakah


Beberapa dalil yang menjelaskan tentang bolehnya akad musyarakah dari
Al-Qur‟an dan Al-Hadis adalah sebagai berikut: Al-Qur‟an Surah Ash-Shad
ayat 24 yang berbunyi:

‫ال ََ ْع َجخِكَ إِنَ ٰٗ َِ َعا ِج ِّ ۖ َٔإِ ٌَّ َك ِثيشًا ِيٍَ ْان ُخهَطَا ِء نَ َيب ِْغي‬ َ ًَ َ‫قَا َل نَقَ ْذ ظَه‬
ِ ‫ك بِ ُس َؤ‬
َ َٔ ۗ ‫ث َٔقَهِي ٌم َيا ُْ ْى‬
ٍَّ ‫ظ‬ ِ ‫ْط إِ ََّّل انَّ ِزيٍَ آ َيُُٕا َٔ َع ًِهُٕا انصَّانِ َحا‬ ٍ ‫ضُٓ ْى َعهَ ٰٗ بَع‬ ُ ‫بَ ْع‬
۩ ‫اب‬ َ َََ‫دَا ُٔٔ ُد أَََّ ًَا فَخََُّاُِ فَا ْسخَ ْغفَ َش َسبَُّّ َٔ َخ َّش َسا ِكعًا َٔأ‬

17
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah,(Jakarta: Graha Ilmu, 2010),
h. 67
13

Yang artinya: ”Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat


zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan
kepada kambingnya. Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui
bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya
lalu menyungkur sujud dan bertaubat”.

Al-Qur‟an Surah Al-Maidah Ayat 1 yang berbunyi:


ْ َّ‫يَا أَيَُّٓا انَّ ِزيٍَ آ َيُُٕا أَْٔ فُٕا بِ ْان ُعقُٕ ِد ۚ أ ُ ِحه‬
‫ج نَ ُك ْى بَ ِٓي ًَتُ ْاْلَ َْ َع ِاو إِ ََّّل َيا يُ ْخهَ ٰٗ َعهَ ْي ُك ْى‬
َ َّ ٌَّ ِ‫ص ْي ِذ َٔأَ َْخُ ْى ُح ُش ٌو ۗ إ‬
۩‫َّللا يَحْ ُك ُى َيا ي ُِشي ُذ‬ َّ ‫َغ ْي َش ُي ِحهِّي ان‬

Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah


janjimu”.

Adapun dari As-Sunnah, terdapat beberapa hadis yang mengatur tentang


akad musyarakah. Di antaranya adalah hadis qudsi yang diriwayatkan dari
shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu „Anhu, yang redaksinya adalah:
“Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat,
sepanjang salah seseorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya.
Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya maka aku akan keluar dari
keduanya.” (HR Imam Abu Dawud dan Imam Al-Hakim).18
Dalam menjalankan suatu akad tentu di sertai dengan adanya perjanjian,
namun dalam perjanjian kontrak baku hanya dilibatkan oleh satu pihak dalam
penulisannya sehingga dianggap meniadakan keadilan. Namun selama ini
dalam penulisan perjanjian kontrak baku dipengaruhi oleh asas hukum bahwa
siapa yang memiliki kedudukan ekonomi paling kuat maka ialah yang
mengatur pihak lain.Hukum Islam mengenal kontrak baku dengan aturan-
aturan dalam perjanjian seperti tidak boleh melakukan praktik kecurangan atau
penipuan sehingga tidak ada pihak yang merasa disudutkan terlebih dengan
adanya unsur keterpaksaan demi tercapainya prinsip keadilan dalam perjanjian
yang sesuai dengan Syariat Islam. Maka dengan pembahasan ini peneliti ingin

18
Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, (beirut : Dar al-Fikr, 1994) Juz III, h. 226
14

menganalisa dan membandingkan kontrak baku pembiayaan akad Musyarakah


pada BPRS Amanah Insani Kc Mawar Dan BPRS Patriot Bekasi apakah
sudah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI maupun hukum Islam lainnya.

Kerangka Konseptual:

KONTRAK BAKU

Akad Musyarakah

KUH Perdata pasal 1338 Fatwa DSN-MUI


tentang kebebasan No.08/DSN-
berkontrak
MUI/IV/2000

Analisa Perbandingan
BPRS Amanah
Insani Kc Mawar
Dan BPRS Patriot
Bekasi.

persamaan Perbedaan

Hasil

I. Rancangan Sistematika Penulisan


Dalam rangka memudahkan penelitian, maka pembahasan dibagi
menjadi lima (5) bab. Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai
berikut:
15

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini mengemukakan dan menjelaskan tentang Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian serta Sistematika
Penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini membahas rivew studi terdahulu yang relevan
dengan penelitian, hipotesis penelitian dan kerangka
berfikir penelitian.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG BPRS AMANAH
INSANI KC MAWAR DAN BPRS PATRIOT BEKASI
Bab ini membahas tentang gambaran umum berupa
definisi, desain dari penelitian, subyek atau tempat yang
dijadikan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik
analisis data.
BAB IV ANALISA DAN TEMUAN
Bab ini berisi deskripsi dari hasil penelitian. Berisi pula
analisis data berserta alasan yang telah penulis peroleh dari
hasil penelitian.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bagian penutup yang berisi tentang
kesimpulan dan saran yang relevan untuk disampaikan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hukum Kontrak
1. Pengertian
Istilah kontrak sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract.
Menurut Black‟s Law Dictionary, kontrak diartikan sebagai suatu
perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk
berbuat atau tidak berbuat sesautu hal yang khusus (contract is an
agreement between two or more persons which creates an obligation to
do or not to do a peculiar things).1 Subekti mengatakan, perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Sedangkan perikatan adalah perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan tersebut.2
Hukum Kontrak merupakan salah satu bidang kajian hukum yang
selalu berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat. Faktor
penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum kontrak adalah karena
pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam masyarakat modern dan
pesatnya transkasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak lainnya
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.3 Faktor lain dari
penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum kontrak adalah karena
adanya asas kebebasan berkontrak (party autonomy), sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa kebebasan itu yang
1
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 11-12.
2
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (ed.), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan 9,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 338
3
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003) h. 3

16
17

meliputi kebebasan untuk membuat perjanjian, mengadakan kontrak


dengan siapapun, menentukan isi kontrak, pelaksanaan dan persyaratan
serta menentukan bentuk kontrak yaitu lisan atau terrulis. Artinya hukum
kontrak adalah aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
perjanjian atau persetujuan.4
Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan. Bahkan
sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian
karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian kontrak tertulis.5
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu
contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomstrecht. Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak
adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar
dan mengatur jenis perjanjian tertentu.6 Menurut Munir Fuady, Hukum
bisnis adalah suatu perangkat kaidah hukum (termasuk enforcement-nya)
yang mengatur tentang tatacara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang,
industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau
pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para
entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif
(dari entrepreneur tersebut) adalah untuk mendapatkan keuntungan.7
Apabila dikaji dari aspek pasar, tentunya kita akan mengkaji dari
berbagai aktivitas yang berkembang di dalam sebuah market maka akan
menimbulkan berbagai macam kontrak yang dilakukan oleh para pelaku
usaha muali dari mengadakan perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, beli-
sewa, leaisng, dan lain-lain. hukum kontrak merupakan mekanisme
4
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008) h. 10
5
Miru ahmadi, hukum kontrak perancangan kontrak, (jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2007), h.1
6
Sinaga Niru Anita, Peranan Asas-asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan
Perjanjian, jurnal Bina Mulya Hukum, Volume 7, Nomor 2, (Desember 2018), h. 111
7
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, Edisi
revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 2
18

hukum dalam masyarakat unutk melindungi harapan-harapan yang


timbul dalam perbuatan persetujuan demi perubahan masa datang yang
bervariasi kinerjanya seperti pengangkutan kekayaan yang nyata maupun
tidak nyata, kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang. Pendapat
ini mengkaji hukum kontrak dari aspek mekanisme atau prosedur hukum
dengan tujuan untuk melindungi keinginan/harapan yang timbul dalam
perbuatan konsensus di antara para pihak, seperti dalam perjanjian,
kekayaan, kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang.
Arti hukum kontrak menurut ensiklopedia adalah rangkaian kaidah-
kaidah hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan ikatan antara
warga-warga hukum. Definisi hukum kontrak yang tercantum dalam
Ensiklopedia Indonesia mengkajinya dari aspek ruang lingkup
pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum. Tampaknya,
definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan
persetujuan, padahal antara keduanya adalah berbeda. Kontrak
(perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan
persetujuan adalah salah satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.8 Sedangkan pengertian perjanjian
atau kontrak diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.9
Adapun yang dimaksud dengan istilah hukum kontrak menurut
syar‟i adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum di bidang mu‟amalah khususnya perilaku dalam
menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan
kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis
berdasarkan hukum Islam.10 Kaidah-kaidah hukum yang berhubungan

8
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003) h. 3-4
9
Mariam Darus, kompilasi hukum perikatan, (Bandung: Citra Aditya bhakti, 2002), h.65
10
Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 3
19

langsung dengan konsep hukum kontrak syari‟ah di sini, adalah yang


bersumber dari Al Qur‟an dan Al Hadis maupun hasil interpretasi
terhadap keduanya, serta kaidah-kaidah fiqih. Dalam hal ini dapat
digunakan juga kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam Qanun
yaitu peraturan perundangundangan yang telah diundangkan oleh
pemerintah baik pusat maupun daerah dan yurisprudensi, serta peraturan-
peraturan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Tahap
pracontractual dalam hukum kontrak syari‟ah adalah perbuatan sebelum
terjadi kontrak yaitu tahap bertemunya ijab dan kabul, sedangkan tahap
post contractual adalah pelaksanaan perjanjian termasuk timbulnya
akibat hukum dari kontrak tersebut.
Dengan adanya berbagai kelemahan dari definisi di atas maka
definisi perlu dilengkapi dan disempurnakan. Bahwa hukum kontrak
adalah keselurhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara dua pihak atau lebh berdasarkan kata sepakat unutk
menimbulkan akibat hukum. Dari berbagai definisi di atas, Dapat
dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak sebagai
berikut:
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis adalah kaidah-
kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan hukum kaidah yang
tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan
hidup dalam masyarakat.
2. Subjek hukum
Istilah subjek hukum adalah rechtsrespon diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam
hukum kontrtak adalah kreditur dan debitur.
20

3. Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban
debitur. Prestasi terdiri dari:
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu, dan
c. Tidak berbuat sesuatu
4. Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara pihak.
5. Akibat hukum
Setiap perrjanjian yang dbuat oleh para pihak akan menimbulkan
akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.11
Sedangkan Ahmadi Miru dalam bukunya, menjelaskan lebih detail tentang
unsur-unsur yang ada di dalam suatu kontrak, antara lain:12
a. Unsur Esensiali, merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak
karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka
tidak ada kontrak. Contoh, dalam kontrak jual beli harus ada
kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan
tersebut, maka kontrak dapat batal demi hukum sebab tidak ada hal
tertentu yang diperjanjikan.
b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-
undang sehingga apabila tidak diatur dalam kontrak, maka undang-
undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur ini merupakan
unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika
dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara

11
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003) h. 5
12
Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 31-32.
21

otomatis berlaku ketentuan dalam KUH Perdata bahwa penjual yang


harus menanggung cacat tersembunyi.
c. Unsur Aksidentalia, merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat
para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Contoh, dalam kontrak
jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur
lalai membayar kewajibannya, maka akan dikenakan denda
keterlambatan setiap bulannya, dan apabila debitur lalai membayar
kewajibannya selama tiga bulan berturut-turut, objek jual beli dapat
ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui proses pengadilan.
Demikian pula klausul-klausul lainnya yang kerap ditentukan dalam
suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur esensial dalam kontrak
tersebut.

2. Asas Hukum Kontrak


a. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak atau mabda‟ hurriyah at-ta‟aqud menurut
Islam adalah memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut
ditentukan ditentukan oleh para pihak apabila telah disepakati bentuk
dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.
Namun asas kebebasan berkontrak dapat pula dianalisis dari ketentuan
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian.
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun.
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
22

Menurut Faturrahman Djamil bahwa ”Syari‟ah Islam memberikan


kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan
yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran
agama.”13
b. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme di lihat dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak, yang merupakan persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.14
Dasar dari asas ini adalah kalimat antaradhin minkum (saling rela
diamtara kalian) sebagaiamana terdapat dalam surah An-nisa‟ (4) ayat
29:

ً‫يَا أَيَُّٓا انَّ ِزيٍَ آ َيُُٕا ََّل حَأْ ُكهُٕا أَ ْي َٕانَ ُك ْى بَ ْيَُ ُك ْى بِ ْانبَا ِط ِم إِ ََّّل أَ ٌْ حَ ُكٌَٕ حِ َجا َسة‬
۩‫َّللاَ َكاٌَ ِب ُك ْى َس ِحي ًًا‬ َّ ٌَّ ِ‫اض ِي ُْ ُك ْى ۚ َٔ ََّل حَ ْقخُهُٕا أَ َْفُ َس ُك ْى ۚ إ‬
ٍ ‫ع ٍَْ حَ َش‬
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas
dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Bentuk kerelaaan dari para
pihak tersebut telah wujud pada saat terjadinya kata sepakat tanpa
perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.15

13
Faturrahman Djamil, Penenrapan Hukum Perjanjjian Dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 15
14
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 10.
15
Faturrahman Djamil, Penenrapan Hukum Perjanjjian Dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 22
23

c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)


Asas kepastian hukum atau asas pacta sunt servanda disebut secara
umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil (17) ayat 15:

َ ‫اص َسةٌ ِٔ ْص َس أ ُ ْخ َش ٰٖ ۗ َٔ َيا ُكَُّا ُي َع ِّزبِيٍَ َحخَّ ٰٗ ََ ْب َع‬


۩‫ث َسسُٕ ًل‬ ِ َٔ ‫َٔ ََّل حَ ِض ُس‬
Yang artinya: ”dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman kecuali
setelah Kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan
dan ancaman) hukuman itu”. Selanjutnya di dalam QS.al-Maidah
(5): 95.

‫ص ْي َذ َٔأَ َْخُ ْى ُح ُش ٌو ۚ َٔ َي ٍْ قَخَهَُّ ِي ُْ ُك ْى‬


َّ ‫يَا أَيَُّٓا انَّ ِزيٍَ آ َيُُٕا ََّل حَ ْقخُهُٕا ان‬
‫ُيخَ َع ًِّذًا فَ َج َضا ٌء ِي ْث ُم َيا قَخَ َم ِيٍَ انَُّ َع ِى يَحْ ُك ُى بِ ِّ َر َٔا َع ْذ ٍل ِي ُْ ُك ْى َْ ْذيًا‬
َ ٔ‫صيَا ًيا نِيَ ُز‬
‫ق‬ ِ ‫ك‬ َ ِ‫بَانِ َغ ْان َك ْعبَ ِت أَْٔ َكفَّا َسةٌ طَ َعا ُو َي َسا ِكيٍَ أَْٔ َع ْذ ُل ٰ َرن‬
‫َضي ٌض‬
ِ ‫َّللاُ ع‬ َّ َٔ ۗ ُُّْ ‫َّللاُ ِي‬
َّ ‫َّللاُ َع ًَّا َسهَفَ ۚ َٔ َي ٍْ عَا َد فَيَ ُْخَقِ ُى‬َّ ‫ال أَ ْي ِش ِِ ۗ َعفَا‬
َ َ‫َٔب‬
۩‫ُرٔ ا َْخِقَ ٍاو‬
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.
Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja,
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak
seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua
orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa
sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan
memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang
dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan
akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang
telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya,
niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi
mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”.

Dapat dipahami Allah mengampuni apa yang terjadi di


masa lalu, dari kedua ayat tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatanpun
dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan
tersebut.16 Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas

16
Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 2000), h. 115.
24

pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak


ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka
tidak boleh melakukan intervensi terehadap subtansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat
disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
berbunyi: “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang.”17
d. Asas Iktikad Baik (Geode Trouw)
Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang
berbunyi, “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas
ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian
harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para
pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu Itikad baik
nisbi yaitu orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Dan Itikad baik mutlak yaitu penilainnya terletak pada akal
sehat dan keadilan dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.18
e. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dipahami dari bunyi pasal
1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Sedangkan pasal 1340 KUH
Perdata berbunyi “Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang

17
Faturrahman Djamil, Penenrapan Hukum Perjanjjian Dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 10
18
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 10-11
25

membuatnya”. Namun ketentuan ini terdapat pengecualian


sebagaimana yang diintrodusir dalam pasal 1317 KUH Perdata yang
berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu
pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu”.
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan
perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang
ditentukan. Sedangkan di dalam pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya.19
3. Syarat Sahnya Kontrak
Syarat sahnya kontrak dapat dikaji berdasarkan hokum kontrak
yang terdapat di dalam pasal 1320 KUH Perdata (Civil Law) dan hokum
kontrak Amerika.
a. Menurut KUH Perdata (Civil Law)
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sanya perjanjian,
yaitu:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak
2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
3) Adanya objek, dan
4) Adanya kausa halal.20
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun syarat ketiga dan
keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Apabila sayarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian
dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada

19
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 12
20
Salim H.S dkk, perancangan kontrak dan memorandum of understanding (MOU),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 9
26

penadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya.


Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka
perjanjian tetap dianggap sah. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak
terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula
perjanjian itu dianggap tidak ada.21
b. Menurut Hukum Kontrak Amerika (Law Of Contract)
Di dalam hukum kontak Amerika, ditentukan empat syarat sahnya
kontrak, yaitu:
1) Adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan)
2) Meeting of minds (persesuaian kehendak)
3) Consideration (prestasi), dan
4) Compotent parties dan legal subject matter (kemampuan hukum
para piha dan pokok-pokok persoalan yang sah).
c. Persyaratan lain dari syarat sahnya kontrak adalah adanya legal subject
matter, yaitu pokok persoalan yang sah.syarat ini sama dengan kausan
yang halal dalam sistem hukum kontinental. Suatu legal subject matter
dikatakan sah apabila tidak bertentangan dengan kepentingan orang
banyak (kepentingan umum). Apabila bertentangan dengan
kepentingan umum, maka perjanjian itu tidak sah. Ada dua macam
perjanjian yang tidak sah yaitu:
1) Perjanjian yang melampaui suku bunga yang sah (riba), dan
2) Perjanjian utang dalam perjudian.22

4. Berakhirnya kontrak
Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah
kontrak yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
tentang suatu hal, pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak

21
Salim H.S dkk, perancangan kontrak dan memorandum of understanding (MOU),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 11
22
Salim H.S dkk, perancangan kontrak dan memorandum of understanding (MOU),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 16
27

atas suatu prestasi, sedangkan debitur adalah pihak yang berkewajiban


untuk memenuhi prestasi.
Di dalam rancangan Undang-undang Kontrak telah ditentukan
tentang berakhirnya kontrak. Pengakhiran kontrak dalam rancangan itu
diatur dalam Pasal 7.3.1 sampai dengan Pasal 7.3.5. ada lima hal yang
diatur dalam Pasal tersebut, yaitu :
a. Hak untuk mengakhiri kontrak,
b. Pemberitahuan pengakhiran,
c. Ketidakpelaksanaan yang sudah diantipasi,
d. Jaminan yang tidak memadai dari ketidakpelaksanaan tersebut, dan
e. Pengaruh pengakhiran secara umum.

Hak untuk mengakhiri kontrak diatur dalam Pasal 7.3.1 ayat 1 yang
berbunyi: “suatu pihak dapat mengakhiri kontrak tersebut di mana
kegagalan unutk melaksanakan suatu kewajiban sesuai dengan kontrak
tersebut mencapai pada tingkat ketidakpelaksanaan yang mendasar”.23
Disamping itu, dalam KUH Perdata juga telah diatur tentang berakhirnya
perikatan. Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata.
Cara berakhirnya perikatan dibagi menjadi sepuluh cara, yaitu:
a. Pembayaran.
b. Konsignasi,
c. Novasi (pembaruan utang),
d. Kompensasi,
e. Konfusio (percampuran utang),
f. Pembebasan utang,
g. Musnahnya barang terutang,
h. Kebatalan atau pembatalan,
i. Berlaku syarat batal,
j. Daluarsa.

23
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 163
28

Disamping cara tersebut dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya


kontrak, yaitu:
a. Jangka waktunya berakhir,
b. Dilaksanakan objek perjanjian,
c. Kesepakatan kedua belah piak,
d. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan
e. Adanya putusan pengadilan.24
5. Kontrak Baku
Pengertian Kontrak baku adalah kontrak yang klausul-klausulnya
telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak.25 Dalam
pengertiannya menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, pasal 1 angka 10 menyebutkan klausul baku adalah setiap
aturan atau ketentuan dari syarat yang telah di persipakan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
konsumen. Pada umumnya kontrak baku atau perjanjian baku sama
halnya dengan perjanjian pada umumnya, perikatan sebagai ikatan yang
menghubungkan dua pihak.26
Sering pula dijumpai di masyarakat ketika para pihak membuat
perjanjian tertulis salah satu pihak menyodorkan blangko atau formulir
perjanjian kepada pihak lainnya. Blangko ini sudah berisi naskah
perjanjian yang tinggal diisi kelengkapannya antara lain identitas dan
tanda tangan para pihak saja. Klausul blangko suatu perjanjian dengan isi
dan susunanya sudah baku, disebut klausul baku atau kontrak baku.
Biasanya perjanjian dengan klausul baku digunakan oleh para pedagang
atau perusahaan dengan tujuan dapat dilakukan secara cepat dan praktis.

24
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 165
25
Miru ahmadi, hukum kontrak perancangan kontrak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), h. 39
26
Soebekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), h. 1
29

Dari pengertian tersebut, tampak bahwa isi perjanjian dengan


klausul baku ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (kreditur). Ini
menunjukan hukum yang berlaku pada perjanjian itu adalah hukum
kreditur. Sekaligus menunjukan pihak yang kedudukan sosial dan
ekonominya kuat seolah-olah yang berwenang menentukan isi
perjanjian.27
Perjanjian baku merupakan bentuk yang lazim digunakan dalam
perjanjian karena bersifat sederhana dan efektif akan tetapi tetap harus
menggunakan prosedur yang tepat yang tidak melanggar hukum. Adapun
klausula baku yang dilarang menurut Pasal 18 ayat (1) UUPK adalah:28
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli ileh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi obyek jual
beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

27
Gatot Supramono, Perjanjian utang Piutang, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 20
28
Lihat Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
30

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen


memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
Menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/SEOJK.07/2014 pada bagian I Ketentuan Umum dijelaskan perjanjian
baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh PUJK
dan memuat klausula baku tetang isi, bentuk, maupun cara pembuatan,
dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada
konsumen secara massal.

B. Akad Musyarakah
1. Pengertian
Musyarakah atau dikenal dengan sebutan Syirkah secara Bahasa
berarti (ikhtilath), yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang
lainnya.29 Secara terminologi Dewan Syariah nasional MUI dan PSAK
No. 106 mendefinisikan musyarakah adalah akad kerja sama usaha
antara dua pihak atau lebih unutk usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
dengan kesepakatan.30
Pembiayaan musyarakah juga telah diatur dalam ketentun Fatwa
DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000. Disebutkan
bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan
usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui
pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama

29
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 165
30
M. Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
h. 90
31

antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama.31

2. Landasan Hukum Musyarakah


Landasan hukum musyarakah dalam Alquran antara lain sebagai
berikut:

‫ال ََ ْع َجخِكَ إِنَ ٰٗ َِ َعا ِج ِّ ۖ َٔإِ ٌَّ َك ِثيشًا ِيٍَ ْان ُخهَطَا ِء نَ َيب ِْغي‬ َ ًَ َ‫قَا َل نَقَ ْذ ظَه‬
ِ ‫ك بِ ُس َؤ‬
َ َٔ ۗ ‫ث َٔقَهِي ٌم َيا ُْ ْى‬
ٍَّ ‫ظ‬ ِ ‫ْط إِ ََّّل انَّ ِزيٍَ آ َيُُٕا َٔ َع ًِهُٕا انصَّانِ َحا‬ ٍ ‫ضُٓ ْى َعهَ ٰٗ بَع‬ ُ ‫بَ ْع‬
۩ ‫اب‬ َ َََ‫دَا ُٔٔ ُد أَََّ ًَا فَخََُّاُِ فَا ْسخَ ْغفَ َش َسبَُّّ َٔ َخ َّش َسا ِكعًا َٔأ‬
Yang artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebagian dari mereka berbuat dzolim kepada sebagian lain
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih (QS. Shad (38):
24).
Pada ayat diatas menunjukan perkenan dan pengakuan Allah SWT
akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Terdapat dalam surah
An-Nisaa‟ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena
waris, sedangkan dalam surah Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad
(ikhtiyar).
Menurut Hadist diantaramya sebagai berikut:
Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw berkata: “sesungguhnya Allah
azza wajalla berfirman: Aku pihak ketiga dari orang yang bersyarikat
selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.” (HR. Abu Daud).
Menurut Ijma‟ Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al Mughni
mengatakan bahwa “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan
pendapat dari beberapa elemennya”.

31
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : Gajah Mada
University, 2009), h. 135
32

a. Rukun & Syarat Musyarakah


Rukun musyarakah terdiri dari empat, yaitu:
1) Ijab-Qabul, yaitu adanya kesepakatan antara kedua belah pihak
yang bertransaksi;
2) Dua pihak yang berakad dan memiliki kecakapan melakukan
pengelolaan harta;
3) Obyek akad, yang disebut juga ma'qud alaihi, yang mencakup
modal atau pekerjaan;
4) Usaha atau proyek;
5) Nisbah keuntungan/bagi hasil.
Sedangkan syarat-syarat dari musyarakah secara umum adalah:
1) Jenis usaha fisikdapat diwakilkan kepada orang lain atau kepada
mitra usahanya.
2) Keuntungan yang didapat dari hasil usaha harus diketahui dengan
jelas dan Keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan, sedangan
kemungkinan rugi dibagi sesuai dengan porsi modal masing-
masing.
3) Semua modal disatukan sebagai modal usaha dan dikelola
bersama. Setiap pemilik modal mempunyai hak turut serta (sesuai
dengan porsinya) dalam menetapkan kebijakan usaya yang
dijalankan oleh pengelola proyek (customer).
4) Adanya transparansi dan diketahui para pihak terhadap biaya yang
timbul dalam pelaksanaan proyek serta jangka waktu proyek.
5) Setelah pekerjaan (proyek) selesai, modal dikembalikan pada
masing-masing pihak beserta sejumlah bagi hasil.
6) Akad hendaknya dibuat selengkap mungkin, sehingga
menghindarkan risiko yang tidak diinginkan di kemudian hari.32

32
Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari‟ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 52
33

3. Jenis-jenis Musyarakah
Secara garis besar musyarakah dikategorikan menjadi dua jenis yaitu,
perserikatan dalam kepemilikan (syirkah al amlak) dan perserikatan
berdasaskan perjanjian (syirkah al „aqd). Musyarakah kepemilikan tercipta
karena adanya warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan
pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah
akad tercipta dengan cara kesepakatan, dimana dua orang atau lebih setuju
bahwa tiap orang mereka memberikan kontribusi modal musyarakah,
mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Akad musyarakah
terbagi menjadi : syirkah al „inan, al mufawadhah, al a‟maal, dan syirkah
al wujuh.33
a. Syirkah Al-„Inan
Merupakan kerjasama antara dua orang atau lebih dimana besarnya
penyertaan modal dari masing-masing anggota tidak harus sama
besarnya, masing-masing anggota mempunyai hak penuh untuk aktif
dalam mengelola usaha, namun yang bersangkutan dapat
menggugurkan hak tersebut, pembagian keuntungan dapat didasarkan
atas presntase modal masing-masing atau dapat pula berdasarkan
negosiasi/kesepakatan dan kerugian dibagi bersama sesuai pernyataan
modal. Syirkah Al-„Inan merupakan bentuk perkongsian yang paling
banyak digunakan antar lain dapat diterapkan dalam perseroan terbatas,
Joint Venture, penyertaan saham, dan proyek khusus (special
investment).34
b. Syirkah Al Mufawadhah
Merupakan kerja sama antara dua orang atau lebih di mana besarnya
penyertaan modal ari masing-masing anggota sama, setiap anggota
menjadi wakil dan penjamin (kafil) bagi partner lainnya, mempunyai

33
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM,
2007), h. 39
34
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 167
34

hahk dan kewajiban yang sama dan pembagian keuntungan dapt


didasarkan atas presentase modal masing-masing. Dengan kata lain,
syarat utama dari jenis syirkah ini adalah kesamaan dari dana yang
diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-
masing pihak. Dalam Fiqh Sunnah, disebutkan kesamaan itu sampai
pada persoalan agama. Syirkah ini akan menjadi syah, jika semua
pihak telah memenuhi kewajibannya secara penuh. Pada dunia usaha,
model syirkah ini dapat dijumpai dalam pembentukan koperasi. Karena
porsi modalnya sama, maka baik keuntungan maupun kerugian juga
ditanggung bersama para pihak yang berserikat.35
c. Syirkah Al-„Amal/Abdan/Shina‟i
Merupakan kerja sama dua orang seprofesi (atau tidak, menurut
pendapat selain Syafi‟i) untuk menerima suatu perkerjaan secara
kolektif/bersama dan berbagai keuntungan dari perkerjaan itu.
Misalnya, kerja sama dua orang konsultan untuk mengerjakan sebuah
proyek atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order
pembuatan seragam sebuah kantor. Pada syirkah ini yang terpenting
dalah pembagian kerja atas keahlian masing-masing sesuai
kesepakatan. Ketidakjelasan pembagian kerja dapat menimbulkan
perselisihan di kemudian hari terutama dalam hal pembagian
keuntungan.
d. Syirkah Al-Wujuh
Merupakan kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli
sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan
dibagi antara sesama mereka36 misalnya kongsi antar pedagang yang
tidak membeli secara tunai atas kepercayaan dan jaminan mitranya,
kemudian menjualnya dengan tunai.

35
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka SM,
2007), h. 40
36
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam ( Fiqh Muamalat ), (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2003), h. 164
35

4. Ketentuan Khusus dalam Syirkah


Dalam menjalankan musyarakah terdapat konsep wakalah, yaitu setiap
pemegang saham (mitra) pada dasarnya mempunyai hak untuk mengelola
usaha/aset syirkah tersebut dengan sendirirnya, tetapi bagi pihak-pihak yan
tidak dapat meakukannya dapat memeberikan wakil kepada pemegang
saham lain atau pihak lain, dengan syarat orangg yang diwakilkan tersebut
berkompoten untuk menjadi wakil sesuai dengan hak dan kewenangan
serta menjaga kepentingan yang memberi wakil, bukan untuk
kepentingannya sendiri.
Seorang mitra tidak bisa menjamin modal mitra lainnya. Prinsip ini
didasarkan kepada al-ghurumu bil ghurumi, hak unutk mendapatkan
keuntungan berbanding dengan resiko yang diterima. Akan tetapi, seorang
mitra dapat meminta mitra yang lain untuk menyediakan jaminan atas
kelalaian atau kesalahan yang disengaja.
Keuntungan dalam syirkah harus dikuantifikasi atau dinilai jumlahnya.
Setiap keuntungan mitra harus meruapakan bagian proposional dari
seluruh keuntungan musyarakah Seorang mitra tidak dibenarkan untuk
menentukan bagian keuntungannya sendiri pada awal kontrak, karena hal
itu melemahkan dasar musyarakah dan melanggar prinsip keadilan.
Namun seseorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentase tersebut diberikan
kepadanya.
Apabila dalam syirkah salah satu mitra akan menghentikan akad atau
karena salah satu mitra meninggal, maka kedudukan hukumnya menurut
mayoritas ulama adalah berhenti. Hal ini karena transaksi musyarakah
merupakan salah satu bentuk transaksi yang jaiz (dibolehkan) bukan lazim
(mengikat), sehingga setiap mitra berhak meghentikannya kapan saja ia
inginkan, sama halnya akad perwakilan (al-wakalah). Untuk melanjutkan
transaksi tersebut maka keluarga mitra yang meninggal dengan
persetujuan ahli waris lainnya dapat mengantikan posisinya sebagai
pengganti.
36

Setiap pemegang saham boleh memidahkan hak milik saham tersebut


keapada pihak/orang lain. Dalam hal pemindahan hak milik saham ini,
dapat dilakukan secara bertahap atau menurun dari modal yang
dimilikinya, sehingga pada akhirnya berpindah hak kepemilikan tersebut.
Bentuk pemindahan hak milik ini sering disebut dengan al-musyarakah al-
muntahiyyah bittamlik atau musyarakah mutanaqisah.37

5. Aplikasi Musyarakah Dalam Aplikasi Perbankan


Musyarakah atau syirkah ini dapat digunakan oleh LKS antara lain dalam
pembiayaan proyek dan modal ventura.
a. Pembiayaan Proyek
Digunakan untuk membiayai proyek-proyek dimana bank dan nasabah
sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut.
Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut sebesar
pokok investasi bank ditambah dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah
dan pendapatan atau keuntungan proyek.
b. Modal Ventura
Digunakan pada lembaga khusus yang diizinkan melakukan kegiatan
usaha investasi pada perusahaan atau proyek khusus, Musyarkah
sering diterapkan sebagai model modal ventura. Penanaman modal
dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan setelah selesai jangka
waktunya, bank dapat menarik investasinya sekaligus atau bertahap
sesuai dengan tahapan hasil usaha.38
c. Manfaat dari pembiayaan secara musyarakah dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Bank dapat menikmati peningkatan pendapatan seiring dengan
naiknya pendapatan nasabah atau mitra.

37
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h 169-170
38
Muhammad Ridwan, Kontruksi Bank Syari‟ah Indonesia, (Yogyakarta :Pustaka SM,
2007), h. 66
37

2) Bank tidak akan terbebani biaya dana tetap (fix cost of funds),
tetapi hanya menanggung beban biaya bagi hasil atas dana dari
nasabah penyimpan sesuai dengan pendapatan dari nasabah
peminjam atau mitra musyarakah nya. Dengan demikian bank
syari‟ah tidak akan mengalami kerugian karena biaya dana
(negative spread).
3) Nasabah akan merasa terbantu, karena tidak akan menanggung
beban tetap. Bagi hasil baru bisa diketahui setelah ada pendapatan
usaha dan bukan sebelum usaha dimulai. Nasabah tidak akan
pernah menanggung beban biaya diatas pendapatan usahanya.
4) Nasabah akan tetap mampu menjaga stabilitas cash flow
perusahaannya, karena pengambilan cicilan pokok disesuaikan
dengan jadwal cash flow yang disepakati bersama.
5) Nasabah akan mendapatkan konsultasi usaha dari bank, karena
skema musyarakah memungkinkan bank untuk melakukan
pendampingan dan konsultasi usaha bagi nasabah dan mitra.
6) Bank akan lebih lebih berhati-hati dalam menentukan investasinya,
karena pendapatan bank sangat dipengaruhi oleh pendapatan usaha
nasabah.
7) Nasabah akan lebih mudah mendapatkan remisi jangka waktu dan
beban bagi hasilnya, karena jika usahanya merugi bank syariah
tidak akan menagih secara rigid, melainkan akan dilakukan
evaluasi ulang terutama menyangkut penyebab kerugian dan
kemungkinan prospek usaha selanjutnya.39
6. Berakhirnya Akad Musyarakah
Hal-hal yang menyebabkan berakhirnya suatu akad syirkah secara umum
yaitu:
a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak
yang lainnya (mengundurkan diri).
39
Muhammad Ridwan, Kontruksi Bank Syari‟ah Indonesia, (Yogyakarta :Pustaka SM,
2007), h. 67
38

b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk ber-tasharruf (keahlian


mengelola harta) baik karena gila maupun karena alasan lainnya.
c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih
dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
d. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampunan, baik karena boros
yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun
sebab yang lain.
e. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas
harta yang menjadi saham syirkah.
f. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama
syirkah.40
C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu
Literatur review merupakan bagian penting dalam proses penelitian.
Proses ini dimulai dengan menggali sumber data penelitian sebelumnya yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya peneliti ini akan
menganalisa mengenai perbedaan dan persamaan dari penelitian yang sudah
ada dengan tujuan agar tidak ada pembahasan yang sama yang saling
bertentangan. Literatur review atau kajian pustaka dapat diambil dari berbagai
jenis penelitian sebelumnya yang sudah pernah diteliti seperti jurnal
penelitian, disertasi, tesis, skripsi, artikel, laporan hasil penelitian, makalah
dan lain sebagainya. Oleh, Karena itu di bawah ini merupakan literatur review
yang dapat peneliti simpulkan beserta aspek pembeda dengan penelitian
sebelumnya. Diantaranya yaitu:
Pertama terdapat pada tesis dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga yang ditulis oleh Rita Putri Lestari
pada tahun 2016 yang berjudul “Klausul-klausul kontrak baku dan model
kontrak dalam perspektif hukum islam”

40
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 134-135
39

Penelitian ini bertujuan untuk melihat penerapan undang-undang No. 8


Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terhadap kontrak baku agar tidak
terjadinya kontrak baku sepihak yang dapat merugikan konsumen.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa hukum positif di Indonesia tidak
melarang adanya kontrak baku. Namun, UU No. 8 Tahun 1999 telah
menetapkan batas-batas pembuatan kontrak baku agar semua perjanjian yang
mengandung perjanjian baku dpat distandarisasikan dan tidak merugikan
pihak kedua kususnya kontrak baku sepihak. Meskipun demikian, banyak
sekali perjanjian baku sepihak yang tidak memperhatikan undang-undang
tersebut. Dengan demikian kontrak baku di Indonesia belum terstandar karena
belum memperhatikan undang-undang perlindungan konsumen. Jika ditinjau
dari hukum Islam, kontrak baku ditetapkan pemerintah dan kontrak baku
dalalm lingkungan Notaris atau Advokat sudah terstandar, namun tidak
dengan kontrak baku sepihak jika tidak memperhatikan beberapa aspek seperti
at taradi dan prinsip keadilan.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena
penelitian yang Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-
klausula kontrak pada kontrak baku akad musyarakah yang digunakan oleh
BPRS Amanah Insani dan BPRS Patriot dengan melihat kesesuaiannya
menurut Syariah secara Khusus pada Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Musyarakah.
Selanjutnya ada skripsi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang ditulis oleh Yudika Dwi Erwanda pada tahun 2019 yang berjudul
“Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Atas Klausula
Eksonerasi Dalam Akad Pembiayaan Pada Perbankan Syariah (Studi Pada
Bank Sumut Syariah Medan)”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan
hukum perjanjian Islam terhadap penerapan klausula eksonerasi dan Untuk
mengetahui dan menjelaskan mengenai perlindungan terhadap nasabah dalam
akad pembiayaan perbankan syariah terkait klausula eksonerasi. Juga peran
dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
40

dalam kewenangannya mengawasi akad pembiayaan perbankan syariah yang


mengandung klausula eksonerasi.
Hasil dari penelitian menjelaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
melaksanakan fungsi pengawasannya melalui pendekatan berdasarkan
kepatuhan bank akan segala ketentuan terkait dengan oprerasional dan
pengelolaan, serta menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dengan
menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan sebagai dasar hukum atas pelaksanaan fungsi pengawasan OJK.
Sedangkan secara umum Dewan Pengawas Syariah memiliki kewenangan
mengawasi berdasarkan aspek keuangan, kepatuhan pada perbankan secara
umum dan prinsip kehati-hatian bank, pengawasan prinsip syariah pada
kegiatan operasional bank.Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor 6/24/PBI/2004 yang telah dirubah dengan PBI Nomor
7/35/PBI/2005 Tenntang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
yang Berdasarkan Prinisp Syariah serta pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah sebagai dasar hukum DPS dalam
mengawasi kegiatan perbankan syariah.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena
penelitian yang Penulis lakukan lebih terfokus untuk menganalisis klausula-
klausula kontrak akad Musyarakah yang digunakan oleh BPRS Amanah Insani
dan Patriot dengan melihat kesesuaiannya secara khusus menurut Fatwa DSN-
MUI dan KUH Perdata. Sedangkan penelitian diatas hanya mencari klausula
eksonerasi yang terkandung dalam kontrak perjanjian pembiayaan pada Bank
Sumut Syariah tersebut dan masih menganalisis peraturan perundang-udangan
secara umum.
Kemudian terdapat pada jurnal Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang oleh Dwi Fidhayanti pada tahun 2014 yang
berjudul “Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah (Tinjauan Yuridis Praktik
Pembiayaan di Perbankan Syariah)”.
41

Peentilian ini bertujuan untuk menjamin kepastian dan perlindungan


hukum pada pembiayaan di perbankan syariah, maka diperlukan adanya
suatu perjanjian. Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam menunjang efektivitas
operasional dan melindungi kepentingan pihak bank, yang dalam hal ini
menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana bagi masyarakat, bank
syariah menggunakan perjanjian baku dalam menjalankan kegiatannya
dalam menyalurkan dana tersebut. Karena perjanjian baku ini digunakan
pada pembiayaan syariah, maka dirasakan perlu untuk mengetahui
Bagaimana perjanjian baku menurut prinsip syariah dan Apa akibat hukum
dari perjanjian baku pada pembiayaan di perbankan syariah bagi para
pihak.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Perjanjian baku telah dibuat
secara sah, namun tidak memperhatikan salah satu prinsip syariah yang
ditetapkan pada produk penerimaan dan produk penyaluran dana pada
perbankan syariah, yaitu keseimbangan (tawâzun). Hak dan kewajiban
antara bank dan nasabah tidak seimbang karena klausula perjanjian telah
dibuat secara baku oleh bank yang bertujuan untuk memproteksi dirinya
dari segala kerugian yang mungkin dilakukan oleh nasabah, sedangkan
nasabah tidak diberi kesempatan untuk memberikan pendapat, saran
ataupun kesempatan untuk merefisi klausul perjanjian baku pembiayaan
tersebut. Perjanjian baku setelah dilakukan analisis menurut prinsip syariah
termasuk pada perjanjian yang rusak atau fasid karena perjanjian tersebut
telah dibuat secara sah, namun terdapat satu prinsip yang tidak dipenuhi
yang kemudian membuat perjanjian tersebut tidak dapat diterapkan.
perjanjian yang fasid tidak menimbulkan akibat hukum apapun bagi para
pihak yang melaksanakan perjanjian sehingga perjanjian tersebut tidak
dapat dilaksanakan.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang Penulis lakukan karena
Selain memperhatikan rukun dalam perjanjian, perjanjian pembiayaan
42

dalam perbankan syariah juga harus memperhatikan pasal Prinsip syariah


yang dimaksud kemudian dituangkan pada pasal 1 ayat (12) undang-
undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah bahwa prinsip syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah. Maka dari itu penulis memfokuskan
kesesuaian perjanjian baku suatu akad musyarakah menurut Fatwa DSN-MUI.
Sedangkan penelitian hanya menganalisis perjanjian baku menurut prinsip
syriah secara umum dan tidak signifikan.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG BPRS AMANAH INSANI KC
MAWAR DAN BPRS PATRIOT BEKASI

A. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Insani Kc Mawar


1. Sekilas Sejarah
BPRS Amanah Insani berdiri pada tanggal 14 Oktober 1997,
melalui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: Kep-
540/KM.17/1997 telah memiliki sebuah Lemabga Keuangan (BANK)
dengan ijin oprasional seacra syariah yang sekarang dikenal dengan
sebutan PT. BPR Syariah Amanah Insani.1

2. Visi dan Misi


BPRS Amanah Insani memiliki visi yaitu menyelamatkan harta
umat agar terhindar dari unsur riba. Serta memiliki misi yaitu menjaga
kemurnian bermu‟amalah secara syariah berdasarkan Qur‟an dan Hadist.
Usaha BPRS Amanah Insani dengan:
1. Menghimpun dana masyarakat dalam bentuk:
a. Tabungan berdasarkan prinsip wadi‟ah atau mudharabah.
b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mu‟amalah.
2. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan
berasarkan:
a. Prinsip jual beli (Murabahah, Istishna‟,Salam)
b. Prisip sewa menyewa (Ijarah)
c. Prinsip bagi hasil (Mudharabah,Musyarakah)
d. Prinsip kebjikan (Qardh)
3. Menempatkan dana dalam bentuk giro, tabungan, deposito pada
bank syariah lain.
4. Melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan UU
Perbankan dan prinsip syariah.

1
Artikel ini diakses pada tanggal 15 Maret 2019 https://www.amanahinsani.co.id/sejarah/

43
44
45

2. Visi Misi
BPRS Patriot Bekasi memiliki visi yaitu menjadi BPR yang sehat,
menguntungkan dan besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Serta memiliki beberapa misi yaitu diantaranya:3
a. Menjadi motor penggerak pemberdayaan ekonomi rakyat.
b. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat.
c. Mengembangkan ekonomi rakyat sesuai syariah.
d. Memasyarakatkan dienul Islam dalam bidang ekonomi dan dunia
usaha.
BPRS Patriot Bekasi memiliki asas legalitas diantaranya: 4
1. Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 8/62/KEP.GBI/2006
Tanggal 31 Agustus 2006 Tentang Pemberian Izin Usaha PD. Bank
Perkreditan Rakyat Syariah Kota Bekasi.
2. Keputusan Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Nomor:
12/1/KEP. Dir.PbS/2010 Tanggal 14 Mei 2010 Tentang Izin Usaha PT.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Pemerintah Kota Bekasi.
3. Keputusan Departemen Perbankan Syariah Bank Indonesia Nomor:
15/2/KEP. Dir.PbS/2013 Tanggal 27 Desember 2013 Tentang Izin
Usaha PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Patriot Bekasi.

3
Artikel ini diakses pada tanggal 29 Maret 2019 https://www.bprspatriot.com/profile/visi-
dan-misi/
4
Artikel ini diakses pada tanggal 29 Maret 2019
https://www.bprspatriot.com/profile/legalitas/
46

3. Struktur Organisasi BPRS Patriot Bekasi


47
BAB IV
ANALISA DAN TEMUAN

A. Praktik Penerapan Kontrak Baku pada Pembiayaan Musyarakah di


BPRS Patriot Bekasi Dan Amanah Insani
PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Patriot Bekasi dan Amanah
Insani, lembaga perbankan syariah menggunakan kontrak baku pada setiap
transaksi pembiayaan yang telah disediakan oleh pihak bank lebih awal.
Kontrak baku ini dibuat atas dasar “take it or leave it” yang artinya nasabah
diberi pilihan untuk lanjut dengan menerima segala ketentuan yang terdapat
dalam kontrak baku tersebut, ataupun dapat menolak untuk tidak lanjut
melakukan transaksi di bank tersebut.
Pembuatan kontrak musyarakah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) Patriot Bekasi dan Amanah Insani juga sudah
distandarisasi/dibakukan oleh pihak bank. Artinya pihak nasabah tidak
ikut serta dalam pembuatan kontrak. Pihak nasabah hanya diberi kesempatan
untuk membaca dan memahami isi dari kontrak Musyarkah tersebut, baik dari
segi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya maupun konsekuensi yang
sewaktu-waktu akan timbul setelah nasabah menandatangani kontrak
perjanjian musyarakah.
Umumnya, masyarakat tidak mengenal dengan yang namanya
kontrak baku, termasuk juga nasabah bank syariah. Kebanyakan nasabah
tidak tahu apa itu kontrak baku (standard contract). Meskipun
pengaplikasian kontrak baku telah berlangsung lama, akan tetapi masyarakat
luas masih awam dengan kata “kontrak baku (standard contract)”. Karena
pengetahuan masyarakat yang kurang inilah dijadikan kesempatan oleh
pengusaha dunia bisnis untuk meraup keuntungan melalui kontrak baku
tersebut. Sedangkan asas kebebasan berkontrak menghendaki bahwa suatu
kontrak bisnis dapat dibuat secara bebas oleh kedua belah pihak yang
telah sepakat mengikat, bukan dibuat secara sepihak karena, setiap kontrak

48
49

yang dibuat secara sepihak pasti akan menimbulkan rasa ketidakadilan di


pihak lain.
Dunia bisnis dan perekonomian ditentukan oleh kedudukan ekonomi
yang terkuat. Sedangkan pihak lemah mau tidak mau harus mengikuti
ketentuan yang telah dibuat oleh pihak ekonomi yang kuat. Akan tetapi
sangat disayangkan bagi masyarakat yang ekonominya kurang, karena hanya
mempunyai satu pilihan yaitu menolak dan membatalkan kontrak tersebut
tanpa memiliki kesempatan untuk bernegosiasi.
Di perbankan syariah, antara bank dan nasabah merupakan dua pihak
yang saling membutuhkan. Tanpa nasabah, bank tidak dapat menjalankan
operasionalnya, sebaliknya tanpa bank nasabah akan kewalahan dalam
mengurusi kebutuhan ekonominya. Sepatutnya, sesama pihak yang saling
membutuhkan juga sama-sama saling menguntungkan, tanpa ada pihak yang
merasa dirugikan walaupun hanya sedikit.
Penerapan kontrak baku pada pembiayaan musyarakah di Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Patriot Bekasi dan Amanah Insani
berlangsung setelah melalui beberapa tahap yaitu adanya pengajuan
pembiayaan dari nasabah, analisa dari bank yang bersangkutan, hingga
dikeluarkannya SP3 (Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan). SP3 (Surat
Penegasan Persetujuan Pembiayaan) adalah surat yang memuat hal-hal
penting mengenai struktur pembiayaan, seperti jangka waktu, nominal,
agunan dan lain-lain. SP3 inilah yang kemudian dituangkan dalam kontrak
pembiayaan ditambah dengan klausul-klausulnya yang telah dibakukan oleh
bank. Pada prinsipnya, jika nasabah sudah setuju dengan SP3, maka tidak
ada negosiasi lagi di akad/kontrak. 1
Secara lengkapnya proses yang ada pada Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) Patriot Bekasi dan Amanah Insani dijelaskan di bawah ini:

1
Hasil wawancara dengan Assistant Manager BPRS Amanah Insani, Singgih Purbhantoro
pada Tanggal 13 Maret 2019
50

1. Pengajuan Permohonan Pembiayaan


Pengajuan permohonan pembiayaan diajukan oleh calon nasabah
kepada account officer, dimana dalam implementasinya pengajuan tersebut
dapat dilakukan secara lisan terlebih dahulu, dengan menggali informasi
awal dari kebutuhan nasabah dan secara singkat dapat melihat peluang
bahwa proses pembiayaan dapat dilanjutkan dengan permohonan secara
tertulis. Informasi pokok yang digali oleh seorang account officer pada
saat wawancara awal dengan calon nasabah adalah:2
a. Latar belakang nasabah menyangkut status pemohon, jenis usaha
yang dijalankan, dan domisili calon nasabah
b. Repayment Capacity (kemampuan membayar) meliputi: sumber
penghasilan, dan jumlah pembiayaan yang dibutuhkan
c. Jaminan yang diserahkan, meliputi: jenis jaminan, perkiraan harga
pasar jaminan, dan status kepemilikan jaminan.
Hasil wawancara tersebut dituangkan dalam pengajuan pembiayaan
secara tertulis. Setelah itu, nasabah akan diminta untuk memenuhi
dokumen-dokumen yang dipersyaratkan untuk dianalisis lebih lanjut.
2. Analisa dari Bank
Analisa yang digunakan ada berupa metode analisa 5C yaitu
Character (Karakter), Capital (modal), Capacity (kemampuan), Condition
(kondisi), dan Colleteral (Jaminan). Juga analisa terhadap dokumen-
dokumen yang telah dilengkapi oleh calon nasabah. Analisa ini dilakukan
oleh account officer. Setelah analisis dilakukan, selanjutnya account
officer membuat usulan pembiayaan dalam bentuk proposal tertulis yang
akan diajukan kepada komite pembiayaan untuk mendapatkan keputusan
persetujuan pembiayaan atau SP3 (Surat Penerimaan Persetujuan
Pembiayaan).

2
Yusak Laksmana, Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2009) h. 43
51

Ada beberapa hal-hal pokok yang disampaikan di dalam Usulan


Pembiayaan sebagai berikut:
a. Permasalahan, menyangkut: jumlah permohonan pembiayaan, tujuan
penggunaan pembiayaan, jangka waktu pembiayaan, dan agunan yang
diajukan
b. Informasi nasabah, berupa: nama pemohon, alamat rumah, alamat
domisili, alamat usaha, bidang usaha, susunan pengurus, lama usaha,
dan grup usaha.
c. Analisis aspek yuridis (keabsahan/legalitas permohonan dan usaha
pemohon), analisis karakter dan manajemen, analisis aspek
teknis dan produksi (meliputi: pola usaha yang dijalankan, proses
produksi, kapasitas produksi, jenis produk yang dihasilkan, dan mesin-
mesin yang dimiliki), analisis aspek pemasaran, analisis aspek
keuangan, analisis aspek sosial ekonomi, dan analisis aspek dampak
lingkungan hidup, serta analisis aspek agunan.
d. Rekomendasi dari account officer apabila permohonan pembiayaan
dari calon nasabah tersebut layak dipertimbangkan untuk mendapatkan
pembiayaan.
3. Diterbitkannya SP3 (Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan)
SP3 (Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan) diterbitkan oleh
komite Pembiayaan atas usulan pembiayaan oleh account officer.
Biasanya komite pembiayaan akan memberikan catatan-catatan atau
disposisi atas hal-hal yang perlu dipenuhi, dilengkapi dan dijalankan oleh
nasabah dalam pemberian pembiayaan. Dan hal ini harus diperhatikan oleh
account officer, apabila hal-hal tersebut merupakan keputusan yang harus
dipenuhi oleh nasabah, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam
persyaratan pembiayaan.
4. Realisasi pembiayaan
Setelah nasabah setuju dengan SP3, kemudian pihak bank akan
menerbitkan kontrak pembiayaan syariah dengan klausul-klausul yang telah
52

dibakukan (distandarisasi). Ada dua hal penting yang dilakukan dalam


merealisasikan pembiayaan, diantaranya:
a. Penandatanganan akad/kontrak pembiayaan dan pengikatan jaminan
b. Pencairan pembiayaan
Pada tahap inilah terbentuknya kontrak/akad pembiayaan, dimana
isinya telah distandarisasi oleh bank. Pihak yang bertugas membuat
kontrak pembiayaan adalah bagian financing operational.
Hasil penelitian di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Patriot Bekasi dan Amanah Insani menunjukkan bahwa ketika nasabah
mengajukan permohonan pembiayaan secara tertulis, dengan menulis
jumlah pembiayaan, jangka waktu dan lain-lain, bank akan
menganalisanya, apakah calon nasabah tersebut layak untuk mendapatkan
jumlah pembiayaan dan jangka waktu sesuai yang diinginkan atau tidak.
Jika menurut bank permintaan nasabah terlalu tinggi, maka bank akan
menurunkan jumlah pembiayaannya ataupun jangka waktunya
diperpanjang atau di perpendek.
Hal ini dapat dikatakan telah terjadinya tawar-menawar yang
dilakukan oleh pihak nasabah kepada pihak bank pada saat pengajuan
pembiayaan. Akan tetapi hasil keputusan mengenai pengajuan pembiayaan
oleh nasabah tersebut tetap diputuskan oleh pihak bank. Dari besarnya
jumlah pembiayaan yang dapat dibiayai oleh bank yang terkadang sesuai
terkadang tidak dengan permintaan nasabah ataupun jangka waktunya
semuanya ditetapkan oleh bank berdasarkan analisis bank terhadap
dokumen-dokumen yang telah dilengkapi nasabah, sehingga nasabah
tidak diberikan kesempatan untuk bernegosiasi atau tawar-menawar
kembali. Karena bank menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
memberikan pembiayaan untuk mencegah atau mengurangi resiko yang
akan terjadi di kemudian hari.
Pada klausul komparisi, pembiayaan dan penggunaan, jangka
waktu, dan nisbah bagi hasil serta jaminan disebut dengan klausul bebas,
karena setiap nasabah yang mengambil pembiayaan pada klausul-klausul
53

tersebut berbeda-beda tujuan dan isinya. Sehingga tidak dapat dibakukan


oleh bank.
1. Komparisi
Yaitu berisi identitas para pihak (seperti nama, alamat,
pekerjaan) yang mengadakan kontrak perjanjian dan kedudukan para
pihak dalam kontrak.
2. Pembiayaan dan Penggunaan
Berisi jumlah pembiayaan yang dibiayai oleh pihak bank
berdasarkan pengajuan pembiayaan yang telah diajukan oleh
nasabah, serta tujuan penggunaan pembiayaan tersebut yang
digunakan untuk suatu usaha tertentu. Klausul ini tidak dibakukan oleh
pihak bank karena setiap nasabah menghendaki jumlah pembiayaan
dan tujuan penggunaannya yang berbeda-beda. Walaupun demikian,
jumlah pembiayaan tetap diputuskan oleh bank apakah akan diberikan
sesuai keinginan nasabah atau tidak sesuai (dikurangi) tergantung
analisa bank terhadap kemampuan dari nasabah tersebut.
3. Jangka Waktu
Berisi batas waktu pengembalian pembiayaan/modal yang
diterima nasabah beserta nisbah bagi hasilnya. Klausul ini pula tidak
dibakukan oleh bank, nasabah dapat mengajukan jangka waktu sesuai
keinginannya. Akan tetapi, jangka waktu yang dikehendaki oleh
nasabah yang ditulis di dalam pengajuan pembiayaan tidak serta merta
disetujui oleh bank, terkadang bank memperpendek jangka waktunya
berdasarkan analisis bank.
4. Kesepakatan Nisbah Bagi Hasil (Syirkah)
Klausul ini berisi pembagian nisbah bagi hasil yang akan
diperoleh oleh bank dan nasabah dalam bentuk persenan (%) serta
waktu maksimum pelaksanaan bagi hasilnya (syirkah). Bagian ini
termasuk klausul bebas karena setiap nasabah yang mengambil
pembiayaan musyarakah berbeda-beda nisbah bagi hasilnya, sehingga
tidak dapat disetarakan. Nisbah bagi hasil ini ditetapkan oleh
54

pihak bank secara sepihak berdasarkan perhitungan terhadap usaha


yang dijalankan dan jumlah pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank.
Akan tetapi, klausul ini juga mengandung beberapa ketentuan atau
syarat yang telah dibakukan sebelumnya oleh pihak bank. Sehingga
klausul ini juga dapat dikategorikan kepada klausul baku.
5. Jaminan
Klausul ini berisi jenis barang jaminan yang diserahkan
nasabah kepada bank untuk menjamin tertibnya
pembayaran/pelunasana pembiayaan tepat pada waktu dan jumlah
yang disepakati kedua belah pihak. Klausul ini disebut klausul bebas
karena tidak dibakukan oleh bank, nasabah dalam hal ini dapat
menjaminkan jenis barang yang dikehendakinya dengan analisa dari
pihak bank apakah jaminan ini layak untuk dijaminkan atau tidak.
Setelah melihat klausul-klausul di atas kiranya dapat
dibenarkan atau masih dalam tahap wajar jika hasil keputusan terhadap
pengajuan pembiayaan nasabah diputuskan sebelah pihak oleh bank
dikarenakan bank dalam hal ini juga mempertimbangkan kemampuan
nasabah untuk dapat mengembalikan modal pembiayaan bank agar
bank tidak sampai mengalami kerugian. Yang menjadi
permasalahannya adalah klausul-klausul yang di dalamnya terdapat
berbagai macam persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah yang
telah dibuat sepihak dan dibakukan oleh pihak bank. Sedangkan
kedudukan bank sebagai pembuat kontrak lebih diuntungkan dengan
hak-hak yang diperolehnya ketimbang kewajiban- kewajiban yang
seharusnya juga dibebankan kepadanya.
Klausul-klausul kontrak pembiayaan musyarakah yang
dibakukan di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Patriot Bekasi
dan Amanah Insani, diantaranya:
a) Judul (Heading)
Judul yang tertera sesuai dengan fasilitas pembiayaan
yang diberikan oleh bank kepada nasabah. Disebutkan juga
55

nomor notaril (nomor kontrak). Pada klausul ini, oleh beberapa


pihak menganggapnya tidak terlalu penting karena hanya
menunjukkan jenis pembiayaan yang diberikan oleh bank.
b) Kutipan Ayat
Pihak bank telah mempunyai format tersendiri untuk
mengawali setiap kontrak perjanjian dengan kutipan ayat-ayat
Al-Quran yang berkenaan dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan. Klausul ini termasuk klausul baku yang baik untuk
menunjukkan bahwa perjanjian ini sesuai dengan syariah.
c) Pendahuluan
Berisi pernyataan kesepakatan para pihak untuk saling
mengikatkan diri dalam kontrak pembiayaan yang dimaksud.
Selanjutnya bank membatasi kerjasama ini dengan berbagai
syarat yang telah dibakukannya di dalam kontrak ini.
d) Definisi
Berisi definisi segala hal yang menyangkut pembiayaan
musyarakah
e) Penarikan pembiayaan
Berisi syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan
dijalankan oleh nasabah sebelum menarik pembiayaan.
f) Kesepakatan Nisbah Bagi Hasil
Ada beberapa syarat dan ketentuan yang dibakukan di
dalam klausul ini yang berkaitan dengan nisbah bagi hasil.
Pada ketentuan di atas dapat dilihat bahwa nisbah bagi hasil
ditetapkan oleh pihak bank secara sepihak dan dibakukan
sehingga nasabah harus mengikuti aturan dari bank dengan
menyatakan kesepakatannya. Walaupun demikian, dalam
klausul ini bank menyatakan kesediaannya untuk menanggung
kerugian yang timbul dari kontrak perjanjian ini, selama
kerugian itu tidak timbul akibat kelalaian, ketidakjujuran, dan
pelanggaran dari nasabah. Bank juga baru akan mengakui
56

kerugian tersebut setelah dilakukan analisanya terhadap laporan-


laporan dari nasabah.
g) Pembayaran Kembali
Klausul ini berisi kewajiban-kewajiban dan ketentuan-
ketentuan yang harus dipenuhi nasabah dalam hal
pelunasan/pengembalian pembiayaan/modal beserta bagi
hasilnya.
h) Biaya, Potongan dan Pajak
Klausul ini juga berisi kewajiban-kewajiban nasabah
dalam menanggung setiap biaya-biaya dalam hal pelaksanaan
pembiayaan musyarakah ini.
i) Kewajiban Nasabah
Di dalam klausul ini memuat beberapa kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh nasabah sehubungan dengan
berlangsungnya usaha yang dijalankan oleh nasabah yang
bekerjasama dengan bank dengan mendapatkan pembiayaan dari
bank, seperti mengembalikan pembiayaan, menyerahkan kepada
bank perhitungan usaha nasabah, membebaskan seluruh harta
nasabah dari beban penjaminan dan lain-lain.
j) Pernyataan dan Pengakuan Nasabah
Pada pasal ini memuat pernyataan nasabah mengenai
seluruh atau sebagian hartanya tidak sedang dijaminkan kepada
orang lain, asuransi tidak dalam keadaan berselisih, nasabah
memiliki perizinan untuk menjalankan usaha, nasabah
mengizinkan bank untuk memasuki tempat usaha dan lain-lain.
k) Cedera Janji
Berisi hak bank untuk menuntut/menagih pembayaran dari
nasabah yang dibayar seketika dan sekaligus tanpa diperlukan
adanya surat pemberitahuan, surat teguran, atau surat lainnya
apabila nasabah cedera janji. Akan tetapi pada klausul ini tidak
57

dinyatakan mengenai keringanan yang sepatutnya diperoleh


oleh nasabah apabila ia cedera janji karena ketidaksengajaannya.
l) Pelanggaran
Di dalam pasal ini dijelaskan ciri-ciri nasabah yang
melakukan pelanggaran.
m) Pengawasan dan Pemeriksaan
Adanya hak bank untuk melakukan pengawasan dan
pemeriksaan atas pembukuan dan jalannya usaha.
n) Asuransi
Adanya kewajiban nasabah untuk tetap menutup asuransi
atas bebannya terhadap seluruh barang yang menjadi jaminan
bagi pembiayaan berdasarkan kontrak ini, pada perusahaan
asuransi yang ditunjuk oleh bank, dengan menunjuk dan
menetapkan bank sebagai pihak yang berhak menerima
pembayaran claim asuransi tersebut (banker‟s clause).
o) Penyelesaian Perselisihan
Klausul ini ditetapkan secara sepihak oleh bank bagaimana
penyelesaian perselisihan apabila sewaktu-waktu terjadi
perselisihan antara bank dengan nasabah.
p) Lain-lain
Berisi bahwa akad kontrak ini merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan akad-akad lainnya yang
behubungan dengan akad ini.
q) Pemberitahuan
Adanya pemberitahuan dari bank bahwa sehubungan
dengan kontrak ini dianggap telah disampaikan secara baik dan
sah dan telah disampaikan secara pribadi dengan tanda terima ke
alamat bank dan nasabah.
58

r) Penutup
Berisi apabila terdapat hal-hal yang belum diatur, maka
bank dan nasabah akan mengaturnya bersama secara
musyawarah untuk mufakat melalui surat menyurat.
Walaupun kenyataannya, setelah kontrak ini terbit, nasabah
biasanya menyatakan persetujuannya tanpa adanya musyawarah
kedepannya.
Kontrak baku di sini adalah klausul-klausulnya yang berupa
isi/syarat/ketentuan-ketentuan yang telah dibakukan oleh bank dalam kontrak
perjanjian ini. Tujuannya untuk menyeragamkan setiap transaksi pembiayaan
yang sama yang dilakukan dalam jumlah yang banyak, juga untuk
menghemat waktu, sehingga waktu yang digunakan lebih efisien. Selain itu
juga, untuk lebih menguntungkan pihak bank dan menghindarinya dari
terjadinya kerugian.
Praktik penerapan kontrak baku di PT. Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah Patriot Bekasi khususnya di pembiayaan musyarakah, bersifat final
artinya tidak dapat diganggu gugat atau direvisi oleh nasabah. Selama
nasabah telah menyetujui SP3 (Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan),
maka nasabah telah dianggap setuju untuk bekerjasama dengan bank dan
menaati segala aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh bank.
Semua ketentuan-ketentuan yang dimaksud tertera di dalam kontrak baku
pembiayaan musyarakah yang telah disiapkan oleh Bank Syariah Mandiri.
Kontrak baku tersebut menjadi pedoman/pegangan bagi nasabah selama
bekerjasama dengan bank.
B. ANALISIS TERHADAP KONTRAK BAKU PADA BPRS PATRIOT
BEKASI DAN AMANAH INSANI
Saat ini, kebanyakan kontrak yang terdapat pada perbankan syariah
dibuat secara baku dimana beberapa klausul yang terdapat pada kontrak
tersebut dapat memberatkan salah satu pihak saja. Memberatkan salah satu
pihak maksudnya adalah adanya pencantuman klausul kontrak yang
59

seharusnya juga dibebankan kepada bank, tapi hanya dibebankan kepada


nasabah, terutama dalam hal ini yaitu kontrak kemitraan (kerjasama).
Pada Pasal 1338 KUH Perdata mencerminkan asas kebebasan
berkontrak bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak. Artinya kedua
belah pihak secara bersama- sama bersepakat, bernegosiasi menentukan
isi/klausul kontrak perjanjian. Akan tetapi kehadiran kontrak baku masih
dipertentangkan apakah kontrak baku memenuhi asas konsensualisme dan
asas kebebasan berkontrak atau tidak. Karena pada prinsipnya asas kebebasan
berkontrak dalam suatu kontrak/akad dapat tercapai apabila terdapatnya
bargaining position (kemampuan daya tawar menawar yang seimbang),
dengan tujuan untuk memberikan hasil yang adil, patut dan sesuai dengan
kehendak masing-masing.
Kontrak baku sebagai kontrak perjanjian paksa (dwang contract).
Biasanya paksaan itu ada berupa paksaan fisik maupun paksaan psikis. Akan
tetapi paksaan yang dimaksud di sini adalah paksaan psikis. Disebut paksaan
psikis karena nasabah sebagai konsumen tidak mempunyai kesempatan untuk
merubah atau merevisi klausul kontrak, nasabah hanya bisa menerima segala
klausul dengan cara mau tidak mau (terpaksa) karena kebutuhan mendesak
dan merasa khawatir atau takut apabila tidak menyetujuinya, maka tidak
memperoleh pembiayaan yang akan mengakibatkan proyek (usahanya) gagal.
Sehingga pihak yang kedudukan ekonominya lemah tidak mempunyai
kebebasan bersuara di dalamnya dan terpaksa menerimanya sebab tidak
mampu berbuat lain. Mengingat kontrak baku tersebut hanya menghendaki
persetujuan yang dibubuhi dengan tanda tangan oleh pihak yang menerima
kontrak tersebut atau pilihan lain adalah dapat menolak dan meninggalkan
kontrak kerjasama tersebut.3
Akad perjanjian harus didasarkan pada suka sama suka atau kerelaan
diantara para pihak. Sementara, dalam kontrak baku cenderung ada unsur
keterpaksaan dari pihak nasabah untuk menerima setiap klausul kontrak baku
3
Miru Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak, (Jakarta : Rajawali Pers,
2016). h. 44
60

pembiayaan yang mereka ajukan karena posisi nasabah adalah pihak yang
lemah sehingga mau tidak mau nasabah akan menerima dan menyetujui
setiap syarat yang disebutkan dalam klausul kontrak. Pasal 31 Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, menjelaskan bahwa paksaan adalah
segala hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak
diridhainya dan tidak merupakan pilihan bebasnya.4
Berikut ini merupakan contoh klausul pada kontrak baku pembiayaan
musyarakah di PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Patriot Bekasi yang
dianggap menyimpang dari konsep musyarakah dan memberatkan sebelah
pihak:
Pada Pasal 6 “Pembayaran Kembali” Dalam hal pembayaran dilakukan
melalui rekening nasabah di bank, maka dengan ini nasabah memberi kuasa
yang tidak dapat berakhir karena sebab–sebab yang ditentukan dalam
Pasal 1813 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata kepada bank untuk
mendebet rekening nasabah guna membayar/melunasi kewajiban nasabah
kepada bank.
Klausul ini mengandung unsur paksaan bagi nasabah, dimana nasabah
harus menyetujui bahwa bank berhak mendebet (mengambil uang) rekening
nasabah untuk melunasi kewajiban nasabah, dan mau tidak mau nasabah
harus rela jika sewaktu- waktu pihak bank mendebet rekening nasabah.
Pembiayaan ini lebih terkesan seperti pembiayaan dengan akad utang piutang.
Selain itu dalam akad pembiayaan musyarakah di Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Insani tidak terdapat klausul pembagian
kerugian. Sedangkan menurut Fatwa MUI08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan musyarakah dijelaskan bahwa kerugian harus dibagi di antara
para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Satu hal lagi pelaksanaan akad pembiayaan musyarkah tidak sesuai dengan
fatwa MUI nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarkah

4
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta, 2011) h. 19
61

Hal lain terjadi juga pada BPRS Amanah Insani seperti terdapat pada
Pasal 9 “Biaya, Potongan, dan Pajak.” Ayat pertama, nasabah berjanji dan
dengan ini mengikatkan diri untuk menanggung segala biaya yang diperlukan
berkenaan dengan pelaksanaan Akad ini, termasuk jasa Notaris dan jasa
lainnya, sepanjang hal itu diberitahukan bank kepada nasabah sebelum
ditandatanganinya Akad ini, dan nasabah menyatakan persetujuannya.
Klausula di atas membebankan setiap biaya pelaksanaan akad tersebut
kepada nasabah yang merupakan mitra kerjanya (bank). Sehingga ada rasa
tidak fair terhadap nasabah karena setiap jasa notaris dan jasa-jasa lainnya
dibebankan kepada nasabah. Ditandai dengan adanya kata-kata “jasa
lainnya” yang harus ditanggung biayanya oleh nasabah, yang belum jelas
jasa apa-apa saja nantinya yang harus ditanggungnya. Seharusnya sesama
mitra kerja dalam perjanjian kerjasama, hal itu ditanggung bersama-sama
tidak ditanggung oleh nasabah seorang.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Insani dalam Pasal
15 “Asuransi” Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk tetap
menutup asuransi atas bebannya terhadap seluruh barang yang menjadi
jaminan bagi Pembiayaan berdasar Akad ini, pada perusahaan asuransi yang
ditunjuk oleh bank, dengan menunjuk dan menetapkan bank sebagai pihak
yang berhak menerima pembayaran claim asuransi tersebut (banker‟s
clause).
Pada klausul di atas, nasabah dibebankan untuk membayar premi
asuransi atas barang jaminannya sendiri ke perusahaan asuransi yang
ditunjuk oleh bank dengan menetapkan pihak bank sebagai pihak yang
menerima pembayaran claim (ganti rugi) atas peristiwa yang terjadi
pada barang jaminan. Sedangkan status barang jaminan yang dijaminkan
kepada bank pada hakikatnya adalah milik bank, meskipun secara fisik
ada barang jaminan yang tidak dikuasai oleh bank. 5 Sehingga pihak banklah
yang seharusnya mengasuransikan barang jaminan tersebut.

5
Yusak Laksmana, Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2009), h. 217
62

Biasanya klausul ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang


piutang antara debitur dan kreditur dikarenakan pembayaran claim yang
diterima oleh bank akan masuk ke rekening bank untuk melunasi utang
nasabah kepada bank, akan tetapi akad pembiayaan yang dijalankan
bukanlah merupakan akad hutang piutang, melainkan akad kerjasama. Hal
ini menyebabkan klausul ini bertentangan dengan akad pembiayaan yang
dijalankan oleh nasabah dan bank, yang menimbulkan kedudukan antara
kedua mitra ini tidak seimbang dan memberatkan sebelah pihak.
Adanya contoh klausul-klausul di atas menyebabkan ketidakadilan
terhadap nasabah seperti, bank mengalihkan tanggung jawabnya kepada
nasabah (adanya klausul eksemi). Klausul eksemsi adalah klausul
tambahan yang terdapat dalam kontrak baku yang cenderung merugikan
nasabah, karena beban yang seharusnya dipikul oleh bank, dengan adanya
klausula tersebut menjadi beban nasabah.6
Kontrak musyarakah dalam praktik pelaksanaannya semakin
berkembang seiring berkembangnya zaman, terutama dalam dunia perbankan
syariah yang merupakan lembaga intermediasi (perantara) antara pihak yang
surplus dana dengan pihak yang deficit dana. Pihak bank tentu lebih berhati-
hati dalam melindungi dana yang diberikan kepada nasabahnya melalui
kontrak yang dibakukan ini. Adanya beberapa klausul di atas, kiranya masih
dalam tahap wajar jika dibebankan/diberatkan kepada nasabah, karena posisi
nasabah selain sebagai mitra kerja juga sebagai pengguna jasa perbankan.
Meskipun tidak seperti akad musyarakah yang sebenarnya diterapkan dalam
fiqh muamalah, namun akad ini semakin berkembang mengikuti
perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan. Berdasarkan asas ibahah “Pada
asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang
melarangnya”, maka kontrak baku musyarkah ini boleh dan sah diterapkan
sampai ada dalil yang melarangnya.

6
Miru Ahmadi, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 59
63

Keterpaksaan yang dimaksudkan di sini seperti yang telah dijelaskan


sebelumnya bukanlah keterpaksaan dikarenakan ancaman yang dilarang oleh
hukum, seperti ancaman dianiaya atau dibuka rahasianya jika tidak
menyetujui perjanjian tersebut ataupun ancaman dibunuh. Tetapi,
keterpaksaan pihak nasabah untuk menerima isi perjanjian dengan melakukan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya ataupun terpaksa menolak
jika tidak setuju dengan isi perjanjian tersebut. Tidak adanya ancaman
tersebut dibuktikan dengan adanya dua pilihan yang diberikan oleh pihak
bank yaitu take it or leave it (terima itu atau tinggalkan itu).
Jika dilihat dari sisi positif dan negatifnya, maka seimbang
kedudukannya antara sisi positif dan negatif yang didapatkan oleh nasabah.
Dengan adanya kontrak baku, transaksi antara nasabah dengan pihak bank
menjadi lebih instan (lebih cepat atau hemat waktu), nasabah dapat
memperoleh pembiayaan yang diharapkannya untuk usahanya dan
nasabah juga terbantu dengan adanya kontrak baku, sebab nasabah yang
tidak mengerti dengan akad musyarakah akan sulit untuk ikut membuat
kontrak musyarakah yang menyebabkan akan memakan waktu yang lama
untuk membuat kontrak secara bersama-sama.
Sedangkan sisi negatifnya, walaupun tidak ada kebebasan berkontrak
yang didapatkan oleh nasabah di dalamnya, keseimbangan (keadilan) dan
kemaslahatan (dalam artian tidak memberatkan), tetapi keuntungan yang
diperoleh oleh nasabah adalah nasabah memperoleh pembiayaan tersebut
untuk menjalankan usahanya, sehingga manfaat yang diperolehnya dari
investasi usahanya sebanding dengan mudharat yang didapatkan. Mudharat
yang dimaksud adalah diberatkan sebelah pihak dan tidak adanya
keseimbangan antara hak dan kewajibannya dengan pihak bank (tidak
adil).
Oleh karena itu, jika nasabah menolak kontrak baku, maka nasabah
menolak menjalankan usahanya karena tidak mendapatkan pembiayaan,
akan tetapi jika nasabah menerima kontrak baku, maka nasabah dapat
menjalankan usahanya melalui pembiayaan tersebut. Karena pada dasarnya
64

kontrak yang ditetapkan di setiap bisnis syariah di zaman modern ini adalah
kontrak baku yaitu kontrak yang telah dibakukan klausul atau isinya. Jadi
mau tidak mau nasabah harus menerima dan mengikuti kontrak baku
tersebut, jika tidak nasabah akan lebih mudharat lagi sebab tidak dapat
menjalankan usahanya karena tidak mendapatkan pembiayaan atau tambahan
modal.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah di uraikan, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam penerapan kontrak baku pada pembiayaan musyarakah di BPRS
Amanah Insani Kc Mawar dan BPRS Patriot Bekasi sama-sama melalui 3
tahap. Pertama, pengajuan pembiayaan. Kedua, tahap analisa bank.
Ketiga, tahap penerbitan SP3 (Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan).
Akhirnya diberlakukannya kontrak baku pembiayaan musyarakah yang
bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat atau direvisi oleh nasabah.
Dalam hal ini nasabah hanya mempunyai dua pilihan yaitu take it or leave
it (terima atau tinggalkan) tanpa ada kesempatan untuk negosiasi.
2. Akad pembiayaan musyarakah di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) Amanah Insani tidak terdapat klausul pembagian kerugian.
Sedangkan menurut Fatwa MUI 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan musyarakah dijelaskan bahwa kerugian harus dibagi di antara
para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam
modal. Satu hal lagi pelaksanaan akad pembiayaan musyarakah tidak
sesuai dengan fatwa MUI nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan musyarakah.
3. Akad pembiayaan musyarakah di BPRS Amanah Insani Kc Mawar dan
BPRS Patriot Bekasi secara keseluruhan sama-sama sesuai menurut KUH
Perdata pasal 1380 tentang kebebasan berkontrak dan telah
mengemukakan bahwasannya dalam setiap klausul-klausulnya tidak
melanggar hukum yang terdapat pada pasal 1380 KUHP Perdata tersebut.

B. Saran
Mengakhiri skripsi ini penulis mengajukan saran-saran bagi pihak
pembuat kontrak baku sebagai berikut:

65
1. Sebaiknya klausul-klausul kontrak yang memberatkan sebelah pihak
dihilangkan, agar terciptanya kontrak baku yang adil, seimbang dan
saling ridha di antara kedua belah pihak yang berkontrak dan
membuka peluang bagi nasabah untuk menegosiasikan isi kontrak,
karena sifat musyarakah itu sendiri yaitu kerjasama, dimana kedua
belah pihak selain bekerjasama dalam hal kontribusi dana, juga
bekerjasama dalam pembuatan kontrak. Tujuannya adalah untuk
menciptakan kebebasan para pihak dalam berkontrak demi mencapai
keadilan dan kesetaraan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
2. Sebaiknya terdapat klausul pembagian kerugian. sesuai Fatwa
MUI08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah
dijelaskan bahwa kerugian harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Demikianlah beberapa kesimpulan dan Rekomendasi yang
berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, semoga bermanfaat bagi para
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:
Abu, Imam Daud. Sunan Abi Daud. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, 1994
Ahmadi, Miru. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Ali, Muhammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 2000.
Anshori, abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gajah
Mada University, 2009.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006
Burhanudin S. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Graha Ilmu,
2010.
Darus, Mariam. Kompilasi Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bhakti, 2002.
Dewan Syariah Nasioanal (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Jakarta: DSN, 2014.
Dewi, Gemala dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Cet ke-2. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Djamil, Faturrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era
Globalisasi. Ed Revisi. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2005.
H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:
sinar Grafika, 2003.
H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008.
H.S, Salim. Perancangan Kontrak dan Memorendum Of Understanding (MOU).
Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

67
68

Hasan M. Ali. Berbagi Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Mualat). Jakarta: PT.
Rajawali Grafindo Persada, 2003.
Hasan, Zubairi. Undang-Undang Perbankan Syariah. Jakarta: Rajawali press,
2009.
Karim, Andiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Jakarta: KHES, 2011.
Laksmana, Yusak. Tanya Jawab Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan di Bank
Syariah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014.
Laksamana, Yusak. Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo, 2009.
Ridwan, Muhammad. Kontruksi Bank Syariah Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
SM, 2007.
R. Tjitrosubdibio, R. Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita, 2008.
Rivai, Veitzhal. Islamic Banking. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010.
Soebekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2002
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali
Press, 2011.
Suhendi, Hendi. Fiqh Mualamah. Jakarta: Pustaka SM, 2007
Supramono, Gatot. Perjanjian Utang-Piutang. Jakarta: Kencana 2013
Yahya, Rizal. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: Erlangga, 2014
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul
Hakim, 2003.

Jurnal Ilmiah:
Sinaga, Anita niru. “ Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan
tujuan Perjanjian”. Jurnal Bina Mulya Hukum. Vol. 7, N0. 2, Desember
2018.
Rusyidi, Ibnu. “Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pembiyaan Mudharabah Pada
Perbankan Syariah”. Jurnal Menejemen Bisnis. Vol. 6, No. 1, Maret, 2018.
Sinegar, Saparudin. “Performance Appraisal Pada BPRS”. Jurnal Menejemen
Bisnis. Vol. 1, No. 1, Januari, 2008.
69

Lain-lain:
https://www.bprspatriot.com/profile/legalitas/
https://www.amanahinsani.co.id/sejarah/
Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang akad Musyarakah.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
KUH Perdata Pasal 1320 tentang Syarat Sahnya Perjanjian
KUH Perdata Pasal 1338 tentang Asas Kebebasan Berkontrak

Anda mungkin juga menyukai